Makalah kemiskinan 1

download Makalah kemiskinan 1

If you can't read please download the document

Transcript of Makalah kemiskinan 1

Makalah kemiskinan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Selamat! Pendapatan per kapita penduduk Indonesia menembus angka US $ 18,000 atau sekitar Rp. 180.000.000,00 per tahun. Angka tersebut jauh di atas beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia yang hanya memiliki pendapatan per kapita penduduk US $ 6,220, atau Thailand dengan pendapatan per kapita penduduknya US $ 2,990. Rekor tersebut hampir menyamai Korea yang memiliki income per kapita penduduk US $ 20,000, meskipun masih jauh di bawah Jepang, Australia, dan Amerika yang memiliki pendapatan per kapita penduduk di atas US $ 30,000. Itulah topik terhangat yang dicatat di halaman surat kabar nasional pada tahun 2030. Itu pun hanya prediksi beberapa ahli yang mengabaikan peningkatan pendapatan beberapa negara lain di atas yang memang memiliki pendapatan per kapita seperti apa yang tertulis saat ini. Dengan berat hati kita harus mengakui bahwa pendapatan per kapita penduduk Indonesia hanya US $ 1,946 pada tahun 2008, jauh di bawah Jepang US $ 34,189, Amerika US $ 43,444, Australia US $ 50,000, dan Singapura US $ 29,320. Apa masyarakat Indonesia harus menunggu sampai tahun 2030? Dan apa mungkin di tahun 2030 prediksi itu benar-benar akan tercapai? Atau itu hanyalah mimpi indah belaka bagi rakyat Indonesia? Sampai sekarang masalah kemiskinan masih menjadi hantu yang menakutkan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era

kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan terkaya di dunia. Pada kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global kemiskinan Negara-negara di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang nota-benenya ada di belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik mengenai kemiskinan di Negara Indonesia. Adapun yang dimaksudkan Negara berkembang adalah Negara yang memiliki standar pendapatan rendah dengan infrastruktur yang relatif terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia dengan norma secara global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian Negara-negara Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan Negara-negara pinggiran benua Asia. Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan. B. Perumusan Masalah Dalam tugas terstruktur individu ini, penyusun yang membahas mengenai masalah kemiskinan, didapatkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam analisis permasalahan. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: Apa yang menjadi masalah dasar dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia.

C. Tujuan Adapun tujuan dibuatnya makalah yang membahas tentang kemiskinan di Indonesia ini adalah sebagai berikut: 1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia yang mampu dalam hal materi agar ikut berperan serta untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia. 2. Memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia untuk menghadapi kemiskinan yang merupakan tantangan global dunia ketiga. 3. Untuk mengetahui sejauh mana upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. D. Manfaat A. Bagi Penulis Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. A. Bagi pihak lain Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan dengan permasalahan dan upaya penyelesaian kemiskinan di Indonesia. E. Ruang Lingkup Dalam penyusunan Makalah ini penyusun mengambil sampel ruang lingkup berupa masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

BAB II METODE PENULISAN A. Objek Penulisan Objek penulisan dalam tugas terstruktur individu ini adalah pengertian dan permasalahan utama akibat kemiskinan, aspek kebijaksanaannya dan upaya penyelesaian yang telah dilakukan oleh pemerintah.

B. Dasar Pemilihan Objek Kami memilih Objek Penulisan ini adalah karena Kemiskinan merupakan permasalahan kemanusiaan yang sangat kompleks. Selain itu, kemiskinan juga menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Sebagai warga negara Indonesia, dalam mengentaskan kemiskinan tidak hanya bertumpu pada bantuan pemerintah saja namun di zaman globalisasi ini warga negara Indonesia dituntut untuk mempunyai kualitas SDM yang unggul sehingga memungkinkan munculnya keunggulan individual yang dapat memberikan sumbangan kepada kemakmuran individu dan masyarakat. C. Metode Pengumpulan Data Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu masalah mengenai permasalahan dan upaya penuntasan kemiskinan di Indonesia. Sebagai referensi juga diperoleh dari media berbagai media informasi baik dari televisi, koran maupun situs web internet yang membahas mengenai permasalahan dan upaya penuntasan kemiskinan di Indonesia. D. Metode Analisis Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, menganalisis permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari alternatif pemecahan masalah

BAB III ANALISIS PERMASALAHAN A. Pembahasan Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh

negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran. Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi dilema mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya. 1. Definisi Dalam kamus ilmiah populer, kata Miskin mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau bokek. Adapun kata fakir diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka

perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan. Senada dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih dikenal dengan kemiskinan struktural. Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan yang mulai bergeser misal pada awal tahun 1990-an definisi kemiskinan tidak hanya berdasarkan tingkat

pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an telah muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan, ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran. Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin. Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.

1. Indikator-indikator Kemiskinan Untuk menuju solusi kemiskinan penting bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-indikator kemiskinan tersebut. Adapun indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut: 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan). 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). 3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa. 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam. 6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat. 7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil). 1. Penyebab Kemiskinan Di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan menurut pendapat Karimah Kuraiyyim. Yang antara lain adalah: a. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global. Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-

kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem. Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar

perkembangan pendapatan per-kapita: a) Naiknya standar perkembangan suatu daerah. b) Politik ekonomi yang tidak sehat. c) Faktor-faktor luar neger, diantaranya: Rusaknya syarat-syarat perdagangan Beban hutang Kurangnya bantuan luar negeri, dan Perang b. Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat. Terlihat jelas faktor ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas masyarakat harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan maksimal c. Biaya kehidupan yang tinggi. Melonjak tingginya biaya kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga kerja ahli, lemahnya peranan wanita di depan publik dan banyaknya pengangguran. d. Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang merata.

Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak negara. 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Bagaimana perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia? Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan laporan tahunan Pembangunan manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyord scarcity; power, poverty dan the global water. Laporan ini menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu Indikator kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade ini Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan menurun pada salah satu periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi 47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002, penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi 38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005) yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006 penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%) berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%). Adapun laporan terakhir, Badan Pusat Statistika ( BPS ) yang telah melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret 2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah 39,1 juta orang dengan kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau garis kemiskinan ketika pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.

1. Penjelasan Teknis dan Sumber Data Sebagai tinjauan kevalidan dan pemahaman data di atas secara lugas, dipaparkan penjelasan data dan sumber data yang diambil dari Berita Resmi Statistika No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai berikut: a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Head Count Indeks (HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. b. Metode yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan per-kapita di bawah garis kemiskinan. c. Sumber utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret 2006. Sebagai informasi tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari Pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. 1. Tantangan Kemiskinan di Indonesia Masalah kemiskinan di Indonesia sarat sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat Sumber Daya Manusia (SDM). dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692. yang masih menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara negaranegara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada

tahun yang sama sebesar 0,178. masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya. Tantangan lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Data Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Selain itu juga tantangan yang sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM). Tantangan selanjutnya adalah otonomi daerah. di mana hal ini mempunyai peran yang sangat signifikan untuk mengentaskan atau menjerumuskan masyarakat dari kemiskinan. Sebab ketika meningkatnya peran keikutsertaan pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang relatif singkat kita akan bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan pada skala nasional terutama dalam mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat. Akan tetapi ketika pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta bisa menimbulkan bahaya laten dalam skala Nasional. 1. Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan

pembangunan tahunan. Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan. Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut: a) Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan; (i) penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air bersih. (ii) pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal. (iii) redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) . b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan investasi dan revitalisasi industri. c) Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain (i) pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga. Di bawah ini merupakan contoh dari upaya mengatasi kemiskinan di Indonesia. Contoh dari upaya kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di Bandung dengan diadakannya Bandung Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 25

Februari 1998. Bandung Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orangorang yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama, kepercayaan, ataupun haluan politik. Oleh karena sumbangan dari para dermawan tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan permasalahan kelaparan dan kemiskinan yang dihadapi, maka Bandung Peduli melakukan targetting dengan sasaran bahwa orang yang dibantu tinggal di Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan mereka yang tergolong fakir. Golongan fakir yang dimaksud adalah orang yang miskin sekali dan paling miskin bila diukur dengan Ekuivalen Nilai Tukar Beras. B. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Masalah dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan akan mencapai hasil yang seminimal mungkin. 2. Saran Dalam menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha yang lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi zaman globalisasi ke depan mau tidak

mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah standar global.

DAFTAR PUSTAKA Nugroho, Gunarso Dwi.2006. Modul Globalisasi. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka Santoso Slamet, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Unsoed : Purwokerto. Santoso, Djoko. 2007. Wawasan Kebangsaan. Yogyakarta. The Indonesian Army Press Riyadi, Slamet dkk. 2006. Kewarganegaraan Untuk SMA/ MA. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka. www.pu.go.id/publik/p2kp/des/memahami99.html www.geocities.com/rainforest/canopy/8087/miskin.html http://fosmake.blogspot.com/20/07/08/kemiskinan-25.html

makalah kemiskinan dan cara penganggulangannyaDalam sebuah Negara yang Sedang Berkembang (NSB) banyak sekali permasalahanpermasalahan yang sangat komplek untuk ditangani yang terkadang hal ini menjadi sebuah penghambat bagi perkembangan negara untuk maju menuju tahap selanjutnya. Salah satu permasalahan yang menjadi prioritas perhatian dari pemerintah adalah kemiskinan, hal ini pun sangatlah berpengaruh besar terhadap perkembangan negara. Tingkat perkembangan jumlah pendudukyang tinggi dan tingkat kemiskinan yang mengikutinya mesti dijadikan pemicu bagi kelancaran program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan bukannya menjadi faktor penghambat. Namun mengenai masalah kemiskinan ini bukan hanya dialami oleh NSB saja, bahkan sebuah negara yang maju pun memiliki permasalahan ini, namun tidak separah yang dialami oleh negara yang sedang berkembang. Hal ini tercermin dari konferensi tingkat tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan sosialyang ada di setiap negara. Mengenai penanganan permasalahan kemiskinan ini beberapa usaha yang dilakukan oleh pihak pemerintah ataupun swasta menunjukan bahwa adanya kepedulian untuk

meningkatkan perekonomian masayarakat secara keseluruhan sepertiyang tertuang dalam UUD Tahun 1945. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra), Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety NetProgram) dan lain-lain. Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3% (BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6 juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunanyang sudah dilakukan, angka kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh. Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini tercermin dari konsentrasi industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan. Lalu kenapa kemiskinan tetap melanda pada sebuah negara yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah, (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, (2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah, (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, (7) terbatasnya akses terhadap air bersih, (8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, (9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam, (10) lemahnya jaminan rasa aman, (11) lemahnya partisipasi, (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga, (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat. Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu (berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktoryang mempunyai peran

penting untuk mengatasi masalahnya. http://one.indoskripsi.com/node/727

Makalah Tentang Masalah Kemiskinan dan Upaya Pemecahan MasalahnyaMata Kuliah : Sosiologi dan Politik Dosen : Muhammad Burhan Amin Topik Tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan) dan upaya Pemecahannya Kelas : 1-EB17 Kami Dateline Tugas : 06 Maret 2010 Tanggal Penyerahan Tugas : 06 Maret 2010 PERNYATAAN Dengan ingin kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim/pihak lain. Apabila terbukti tidak benar , kami siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini. penyusun NPM 25209262 Nama Lengkap Nuky Putri Utami Program Sarjana Akuntansi dan Manajemen Universitas Gunadarma 2010 DAFTAR ISI Lembar Pernyataan Daftar Isi Kata Pengantar BAB I A. Intensitas dan Kompleksitas masalah B. Latar Belakang 1 2 i ii iii 1 Tanda Tangan

BAB II C. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat : C1. Mengembangkan masalah yang berbasis responsif 3 C2. Pemanfaatan Modal Usaha C3. Pemanfaatan Institusi Sosial a. Organisasi Masyarakat dan Swasta b. Kerjasama dan Jaringan BAB III D. Upaya Penanganan Masalah Kesimpulan Referensi KATA PENGANTAR 7 5 6 4 5

3 3

7

8 9

Segala puji syukur bagi Tuhan YME yang telah menolong hambanya untuk menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuannya tentang masalah kemiskinan khususnya di Negara kita Indonesia. Pada kesempatan ini penulis berkenan mangucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Burhan Amin, selaku dosen sosiologi dan politik. Penulis menyadari makalah ini kurang sempurna namun mudah-mudahan dapat memberikan informasi bagi para pembaca. Dengan adanya kelebiahan dan kekurangan penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih. Bekasi, 5 Maret 2010 Penyusun Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik Dosen : Muhammad Burhan Amin Topik Tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan) dan upaya Pemecahannya Kelas : 1-EB17 Kami Dateline Tugas : 06 Maret 2010

Tanggal Penyerahan Tugas : 06 Maret 2010 PERNYATAAN Dengan ingin kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim/pihak lain. Apabila terbukti tidak benar , kami siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini. penyusun NPM 25209262 Nama Lengkap Nuky Putri Utami Program Sarjana Akuntansi dan Manajemen Universitas Gunadarma 2010 DAFTAR ISI Lembar Pernyataan Daftar Isi Kata Pengantar BAB I A. Intensitas dan Kompleksitas masalah B. Latar Belakang BAB II C. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat : C1. Mengembangkan masalah yang berbasis responsif 3 C2. Pemanfaatan Modal Usaha C3. Pemanfaatan Institusi Sosial a. Organisasi Masyarakat dan Swasta b. Kerjasama dan Jaringan BAB III D. Upaya Penanganan Masalah 7 5 6 7 4 5 1 2 3 3 i ii iii 1 Tanda Tangan

Kesimpulan Referensi KATA PENGANTAR

8 9

Segala puji syukur bagi Tuhan YME yang telah menolong hambanya untuk menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuannya tentang masalah kemiskinan khususnya di Negara kita Indonesia. Pada kesempatan ini penulis berkenan mangucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Burhan Amin, selaku dosen sosiologi dan politik. Penulis menyadari makalah ini kurang sempurna namun mudah-mudahan dapat memberikan informasi bagi para pembaca. Dengan adanya kelebiahan dan kekurangan penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Akhir kata saya ucapkan terima kasih. Bekasi, 5 Maret 2010 Penyusun Nuky Putri Utami Nuky Putri Utami BAB I 1.1 Intensitas dan Kompleksitas masalah Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk paling banyak setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Oleh karena itu tentunya Indonesia memiliki berbagai masalah yang lebih kompleks, salah satunya adalah kemiskinan yang sudah tidak asing lagi. Berbicara masalah kemiskinan maka kita akan dihadapkan kepada suatu kompleksitas permasalahan yang rumit. Pada dasarnya pemerintah dan pemerintah daerah khususnya telah berusaha untuk menanggulangi masalah tersebut namun pada kenyataannya belum memberikan hasil yang baik, Sebenarnya masalah kemiskinan terkait erat dengan adanya berbagai ketimpangan social, oleh karena itu perlu strategi khusus yang tidak bisa dilepaskan dari masalah social dan budaya, begitu juga halnya dengan urbanisasi sebagai akibat dari bergesernya orientasi negara dari pertanian kepada industri. Seperti prosentase yang dikemukakan oleh Houser dan Gardner menunjukan bahwa terdapat 53,7 % penduduk asia pada tahun 2025 yang bermukim di kota 62,5% penduduk dunia yang bermukim di kota . Fakta ini mengidentifikasikan bahwa urbanisasi pada masa mendatang akan semakin besar pada tataran jumlah dan tentunya harus diimbangi dengan penyediaan lapangan pekerjaan, perumahan yang layak dan sarana prasarana yang memadai, namun apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka tidak mustahil akan menimbulkan kemiskinan kota yang komplikatif. Dengan adanya kemiskinan yang semakin besar jumlahnya akan menimbulkan tindakan kualitas, oleh karena itu perlu

adanya optimalisasi kebijakan pemarintah dalam bidang tersebut dan tentu saja tanpa partisipasi masyarakat semua itu tidak akan berjalan lancar. 1.2Latar Belakang Masalah kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu. Namun, realitasnya hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, dan negara-negar merdeka semakin banyak, dan negara-negara kaya semakin bertambah. Tetapi jumlah orang miskin dunia di dunia tidak kunjung berkurang. Begitupun di Indonesia, kemiskinan bahkan telah bertranformasi menjadi wajah terror yang menghantui dunia. Kemiskinan telah menjadi salah satu masalah di Indonesia sejak dulu hingga sekarang apalagi sejak terhempas dengan pukulan krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak tahun 1997. Kemiskinan seringkali dipahami sebagai gejala rendahnya tingkat kesejahteraan semata padahal kemiskinan merupakan masalah yang bersifat komplek dan multidimensi. Rendahnya tingkat kehidupan yang sering sebagai alat ukur kemiskinan, pada hakekatnya merupakna salah satu mata rantai dari munculnya lingkatan kemiskinan. BAB II C. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat Respon dari masyarakat terhadap masalah sosial dapat berupa : Tindakan kolektif untuk melakukan perubahan dalam bentuk rehabilitatif Permasalahan kesejahteraan social ke depan masih didominasi oleh permasalahan kenvensional, terutama kemiskinan dan ketergantungan, kecacatan, keterpencilan, dan ketertinggalan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku serta akibat bencana. Namun demikian, permasalahan aktual yang terkait dengan kelangsungan kehidupan bernegara seperti disintegrasi dan kesenjangan sosial, perlu memperoleh perhatian yang serius dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, proses pembangunan kesejahteraan sosial meilputi seluruh lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia termasuk warga yang mengundang masalah kesejahteraan sosial sebagai sasaran dari pembangunan kesejahteraan sosial yang berstatus sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat juga memiliki kesamaan sama dengan masyarakat lainnya dalam mendapatkan kesempatan, hak, kedudukan, peran,partisipaasi,kewajiban,dan tanggung jawab. Untuk menanggulanginya terdapat program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) yang dipunyai oleh pemerintah dan dapat dijalankan oleh berbagai institusi sosial masyarakat secra mandiri. RBM memberikan pelayanan rehabilitasi terhadap mereka nantinya. Sehingga merekan memiliki hak dalam kesempatan kerja serta pekerjaan untuk penghidupan yang layak dan bermartabat bagi dirinya. C1. Mengembangkan Sistem Yang Berbasis yang Responsif Ilmu sosiatri adalah salah satu cabang ilmu sosial yang khusus mempelajari hubungan

antar individu dan antar kelompok manusia dalam masyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat itu sendiri. Kajian utama dari ilmu sosiatri ini adalah tindakantindakan manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara kebutuhan dengan sumber daya mencapai kesejahteraan fisik, mental, dan sosial masyarakat. Kelahiran ilmu sosiatri ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang terjadi di Indonesia setelah kemerdekaan. Kebutuhan mesyarakat pada sumber daya ekonomi, sosial, dan politik sebagai basis integrasi sosial sangat tinggi, tetapi ketersediaan sumberdaya tersebut sangat terbatas. Akibatnya daya tahan masyarakat sebagai suatu komunitas menjadi lemah untuk melindungi diri dari ancaman disintegrasi dan disorganisasi sosial. Ada 2pendekatan utama yang digunakan ilmu sosiatri di dalam kajian tentang objek ilmunya, yaitu pendekatan Community Organization dan Community Development. C2. Pemanfaatan Modal Usaha Modal usaha telah berfungsi dengan baik sebagai jarring pengaman sosial bagi kaum miskin di Indonesia. Bantuan dalam level keluarga besar, komunitas atau dal;am relasi pertemanan telah menyelamatkan banyak kaum miskin. Namun, modal sosial dalam bentuk-bentuk itu sedang dan akan menyurut. Sebabnya, bentuk modal sosial itu membutuhkan hubungan personal. Padahal, spesialisasi dan pembagian kerja (division of labor) cenderung bersifat impersonal. Ditambahkan lagi waktu dan ruang interaksi yang tersedia semakin sempit. Hal ini terutama tampak jelas dari kota-kota besar. Akibatnya warga kota yang berkecukupan secara ekonomi todak terdorong membantu kaum miskin meski kemiskinan hadir begitu dekat, Contohnya dalam bentuk rumah kumuh dan tunawisma. Kepedulian mengkin saja masih besar tetapi relasi yang bersifat impersonal menyulitkan kepedulian itu. Tentu saja modal sosial tidak menyurut sepenuhnya. Modal sosial tidak lagi dominan di level komunitas atau keluarga besar, tetapi berubah dalam bentuk kelompok-kelompok professional atau hobi seperti fotogarafi, kelompok pengajian dan lain-lain. Syang sekali kelompok-kelompok seperti itu cenderung beranggotakan orang-orang dengan strata yang homogeny. Sulit sekali terjadi pertemuan antara kaum miskin dan kalangan ekonomi menengah keatas. Bentuk modal sosial seperti ini, kurang efektif untuk menjadi jarring pengaman sosial kemiskinan. Modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Banyak keuntungan dari modal sosial diantanya adalah menyelesaikan masalah kolektif, mendorong roda perubahan yang cepat di tengah masyarakat, memperluas kessadaran bersama bahwa banyak jalan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki nasib pada setiap anggota kelompok secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti meningkatkan seperti meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan anak. Bangsa yang mempunyai modal sosial yang tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya. C3. Pemanfaatan Intitusi Sosial a.Organisasi swasta dan masyarakat Mengenai penanganan masalah kemiskinan ini beberapa usaha ynag dilakukan oleh pihak pemerintah ataupun swasta menujukan bahwa adanya kepedulian untuk meningkatkan kesejahteraan perekonomian secara keseluruhan seperti yang tertuang pada UUD Tahun

1945. Berbagi model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejaheraan Masyarakat (Takersa), Kredit Usaha Kesejahteraan Masyarakat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lain-lain. b. Optmalisasi Konstibusi Dalam Pelaytanan Sosial 1. Pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi tentang bagaimana mencapai hidup yang sejahtera secara fisik maupun rohani. 2. Adanya media untuk membuat masyarakat peduli terhadap masalah social yang sedang terjadi. 3. Diadakannya kebijakan-kebijan, contohnya :Kebijakan birokratis c.Kerjasama dan Jaringan Kesjahteraan masyarkat miskin dapat diupayakan dengan cara kerja sama antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintahan. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara: 1. Perluasan kesempatan (Promoting Oportunity) yaitu secar tidak langsung mengarah pada sasaran, tetapi menciptakn suasana dan lingkungan yang mendukung kemiskinan. 2. Pemberdayaan masyarakat (Community Empowermwnt) sebagai strategi yang secara langsung mengarah pada kelompok masyarakat miskin. 3. Perlindungan sosial (Sosial Protection) bagi keluarga miskin yang berada di wilayah terpencil melalui upaya khusus . 4. Penguatan jaringan kerja daerah guna mengoptimalisasikan kemiskinan antara pemerintah, swasta, masyarakat madani dalam membantu masyarakat miskin. BAB III D.Upaya Penanganan Masalah Beberapa hal yang mempengaruhi upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan sehingga program yang dilakukan selama ini tidak bertahan lama, memaksakan dan tidak dapat diakses karena hambatan stuktural : 1. Permasalahan kemiskinan merupakan problem structural dan cultural yang melibatkan peran dan tranggungjawab negar dan masyarakat. Upayanya dengan kebijakan baik regulasi maupun program penyelesaiannya perlu deperiksa secara mendalam. 2. Desain kelembagaan adalah instrument yang tidak bisa dipisahkan dalam skema kebijakan yang dikeluarkan. Dalam setiap kebijakan yang dirumuskan membutuhkan desain dan format kelembagaan yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan kebijakan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, bahwa strategi penanggulangan

kemiskinan di daerah kurang baik karena kelembagaan yang dibentuk kurang berjalan. Upayanya adalah dengan memeriksa masalah yang muncul dalam kelembagaan ini. 3. Pemberdayaan komunitas adalah dimensi yang selalu menjadi nilai (value) sekaligus kerangka metodologi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan selalu membutuhkan prasyarat modal sosial yang bisa menjamin keberlanjutan program yang dijlankan. BAB IV KESIMPULAN Masalah kemiskinan bukanlah ha lasing lagi bagi kita. Namun mengapa masalah kemiskinan sampai kini belum juga dapat diatasi. Semestinya masyarakat juga mesti berperan aktif dalam menyelesaikan masalah yang pelik ini. Program-program yang dikeluaarkan pemerintahpun tidak akan berjalan lancar tanpa ada kerjasama dari masyarakatnya. Olehkarena itu seharusnya mulai dari sekareanglah masyarakat menyadari betapa pentingnya peduli terhadap sesame dan tidak menjadi egois dalam menjalani hidup yang sementara ini. REFERENSI Zaymuttaqin.wordpress.com Communicare-santi.blogspot.com www.damandiri.or.id

makalah ttg cara mengatasi kemiskinanPosted by: iluvmyclass on: September 8, 2008

In: makalah Comment!

Melembagakan Social Enterpreneurship Di Lingkungan Perguruan Tinggi(Memenangkan Hadiah Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Dosen Unisba 2007, 18 November 2007) ABSTRAK Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu diatasi dengan melibatkan peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Dari sekian banyak strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social enterpreneurship yang bertumpu pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan perubahan sosial, kini semakin banyak digunakan karena dianggap mampu memberikan hasil yang optimal. Konsep atau pendekatan ini layak diujicobakan dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan

dasarnya sebenarnya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian masyarakat. Caranya adalah dengan menerjemahkan konsep social enterpreneurship pada empat level: kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring evaluasi. I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu. Namun, realitasnya, hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka semakin banyak, dan negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya!). Tetapi, jumlah orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantui dunia. Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita saat ini? Data World Bank 2006 menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar penduduk miskin di dunia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang dikategorikan supermiskin[1] oleh World Bank) pada tahun 2007 mencapai 39 juta orang atau 17,75 persen dari total populasi. Untuk wilayah Jawa Barat, yang punya cita-cita meningkatkan poin IPM menjadi 80 pada 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 5,46 juta orang, atau sekitar 13,55 persen dari total penduduk miskin di Indonesia[2]. Memprihatinkan, karena data ini memperlihatkan adanya peningkatan penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 317.000 orang![3] Ini berarti, program-program pengentasan kemiskinan yang digagas pemerintah pusat maupun daerah telah gagal mengentaskan penduduk Jawa Barat dari cengkeraman kemiskinan. Seiring berkembangnya pemikiran bahwa kemiskinan adalah masalah struktural, maka upaya untuk mengatasi kemiskinan pun kini dikaitkan dengan perbaikan sistem dan struktur, tidak semata-mata bertumpu pada aksi sesaat berupa crash program. Sebuah upaya yang kini populer adalah mengembangkan konsep social enterpreneurship (selanjutnya disingkat SEpen.), atau kewirausahaan sosial, yang bermaksud menggandengkan kekuatan kapitalisme dengan komitmen sosial bagi komunitas di sekitarnya. Makalah ini tidak bermaksud membahas metode dan operasionalisasi Grameen Bank. Sesuai dengan tema karya tulis yang difokuskan pada upaya perguruan tinggi dalam mengentaskan kemiskinan, makalah ini menggagas alternatif-alternatif yang bisa dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi untuk berperan-aktif mengatasi persoalan kemiskinan, disemangati oleh spirit SE. 1.2 Perumusan Masalah Bertitiktolak dari latar belakang permasalahan, maka masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sbb. Bagaimana melembagakan konsep SE di lingkungan perguruan tinggi untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan? Permasalahan yang general ini kemudian dibagi menjadi beberapa identifikasi permasalahan, sbb. Bagaimana konsep SE diterjemahkan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi? Bagaimana rumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan perguruan Tinggi? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat coba diatasi melalui peran perguruan tinggi lewat strategi pelembagaan SE. Tujuan ini secara spesifik terbagi menjadi: Penerjemahan konsep SE sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi. Perumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan Perguruan Tinggi. Manfaat yang bisa diperoleh dari karya tulis ini adalah sbb. Pada level praktis, penelitian ini memperlihatkan sebuah skema yang applicable untuk melembagakan konsep SE di lingkungan Perguruan Tinggi. Pada level sosial, melalui skema SE Unisba dapat turut serta menyumbangkan alternatif solusi mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan, terutama di lingkungannya. 2. Kerangka Pemikiran Ragangan, atau kerangka pemikiran, berisi uraian logis mengenai konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Dalam membincangkan kemiskinan, sebagai penghantar menuju pada pembahasan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dijadikan landasan diskusi. Hal pertama berkenaan dengan pembahasan mengenai konsep-konsep kemiskinan dalam upaya memahami kompleksitas permasalahan kemiskinan. Kedua, gambaran mengenai kemiskinan di Jawa Barat sebagai upaya mengaitkan pembahasan makalah dengan konteks permasalahan yang dihadapi di lapangan. Ketiga, uraian konsep SE yang dijadikan pendekatan utama dalam makalah ini untuk memberikan solusi sesuai dengan tema penelitian. 2.1. Mendefinisikan Kemiskinan The poor will always be with us. Inilah idiom populer tentang kemiskinan yang dikutip oleh sosiolog kemiskinan paling populer saat ini, Zygmunt Baumant (1998:1). Idiom tersebut memberi makna bahwa kemiskinandan orang-orang miskinadalah kondisi inheren dalam masyarakat manapun, dulu dan sekarang, kemungkinan di masa depan jika dunia tak berubah. Poverty, atau kemiskinan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan. Ada banyak cara memaknai kekurangan, karena itu, Wikipedia merinci setidaknya terdapat 3 pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan. a) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kekurangan material need. Kemiskinan, dalam hal ini, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas kekurangan esensial untuk memenuhi standar kehidupan minimum yang terdiri dari sandang, pangan, papan (sumberdaya material). b) Kemiskinan yang dideskripsikan dari aspek hubungan dan kebutuhan sosial, seperti social exclusion (pengucilan sosial), ketergantungan, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk pendidikan dan informasi. c) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kurangnya pendapatan dan kemakmuran yang ditetapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu. Dari sinilah munculnya pemilahan kemiskinan secara global berdasarkan pendapatan harian keluarga, yaitu kurang dari $1 atau $2 sehari. Konkretnya, survei data riset World Bank Voices of the Poor, terhadap 20.000 penduduk miskin di 23 negara (termasuk Indonesia!), faktor-faktor kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kehidupan yang sulit, lokasi yang terpencil, keterbatasan fisik, hubungan timpang gender, problem dalam hubungan sosial, kurangnya keamanan, penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang tidak memberdayakan, terbatasnya kapabilitas,

dan lemahnya organisasi komunitas (Wikipedia, 2007). Jelas, permasalahan kemiskinan bukan terletak pada ketidakmampuan memenuhi standarstandar ekonomi yang didasarkan pada ukuran material resources. Adapula kondisi kekurangan social resources yang menyebabkan kemiskinan. Itu sebabnya kemiskinan begitu kompleks, mencakup berbagai bidang, hingga kemiskinan acap pula disebut sebagai plural povertykemiskinan plural. Guna mengatasi kemiskinan, Wikipedia merinci sejumlah strategi sbb. Strategi pertumbuhan ekonomi. Penciptaan pasar bebas. Bantuan langsung. Perubahan lingkungan sosial dan kapabilitas warga miskin. Millenium Development Goals. Pendekatan berbasis kultural. Di Indonesia, pada tahun 1970-an, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan adalah pemenuhan kebutuhan dasar[4]. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan pangan senilai 2100 kalori per orang/hari, adanya fasilitas kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dan akses pendidikan. Memasuki dekade 1990-an, upaya pengentasan kemiskinan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, dengan cara meningkatkan kapabilitas SDM. Ini ditempuh lewat pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset ekonomi dan modal usaha, serta penguatan kelembagaan masyarakat melalui program berskala nasional meliputi IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), hingga KDP (Kecamatan Development Program). Kini, yang coba diterapkan dalam pembangunan nasional adalah pendekatan berbasis hak (rights based approach). Wujudnya adalah Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang secara pelahan diupayakan melalui pemenuhan sepuluh hak-hak dasar, yaitu hak atas pangan, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumber daya alam, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi. Dalam rumusannya, SNPK memperlihatkan adanya pergeseran paradigma kemiskinanyang kini tidak lagi terbatas pada upaya mencukupi kebutuhan material, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan sosial. 2.2. Gambaran Kemiskinan di Jawa Barat Sebelum menyoal wajah kemiskinan di Jawa Barat, mari sejenak kita cermati data-data kekayaan propinsi yang strategis ini. Pertama, Jawa Barat adalah propinsi terkaya di Indonesia dalam kategori populasi penduduk (39 juta jiwa, yang artinya sekitar 17.80% dari total populasi Indonesia), mengalahkan Jawa Tengah (32 juta jiwa) dan Jawa Timur (36 juta jiwa). Jawa Barat adalah propinsi kedua terpadat setelah DKI Jakarta (1126 jiwa/km2). Nilai APBD Jawa Barat pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 5,2 trilyun rupiah. Namun, sumber pemasukan sesungguhnya tidak cuma berasal dari pos APBD propinsi. Digabungkan dengan DIPA, Dana Dekon, dan APBD-APBD Daerah Tingkat II, angka keseluruhannya bisa mencapai Rp. 45-47 milyar! Gubernur Jawa Barat H. Danny Setiawan bahkan berani mengasumsikan, bila dibagikan maka seorang warga Jawa Barat kebagian setidaknya Rp. 1 juta per tahun.[5] Dari segi sosial budaya, masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai masyarakat agamis dominan Islam. Toleransi umat beragama boleh dibanggakan, dan potensi konflik tergolong rendah. Jawa Barat juga dikenal sebagai gudangnya warga yang kreatif,

sehingga keunggulan wisatanya, misalnya, tidak perlu mengandalkan sumberdaya alam. Wisata belanja dan lifestyle menjadi unggulan Bandung. Bahkan, awal tahun ini, masyarakat industri kreatif Bandung memproklamirkan Jawa Barat dan Bandung sebagai ikon industri kreatif. Sesungguhnya, ini modal sosial yang penting. Tanpa penanganan serius dari pemerintah lokal saja, industri kreatif Jawa Barat sudah mampu unjuk gigi. Apalagi kalau ditangani pemerintah secara serius. Namun, Jawa Barat juga memiliki segudang permasalahan, di antaranya kebijakan birokrasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan industri maupun pengentasan kemiskinan, penanganan masalah sosial yang masih bersifat sporadis dan reaksioner, kerusakan lingkungan dan penataan wilayah yang parah, serta kegagalan pemerintah propinsi merumuskan target dan rencana pembangunan yang visioner dan realistis. Ambisi pemerintah propinsi yang menetapkan peningkatan poin IPM menjadi 80 pada tahun 2008, misalnya, tidak dibarengi langkah nyata perbaikan infrastruktur maupun kebijakan, sehingga tahun ini IPM hanya meningkat tak lebih dari 0.71.[6] Bagaimana wajah kemiskinan di Jawa Barat? Bulan Agustus 2007, BPS melansir data yang mengejutkan. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat bertambah 317.000 jiwa. Totalnya, 5,45 juta jiwa atau 13.5% dari total penduduk Jawa Barat. Proporsi antara warga miskin perkotaan dan pedesaan relatif berimbangsebanyak 51% warga miskin bermukim di pedesaan, jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa. Bicara soal lokasi, wilayah Pantura menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Diperkirakan 5 juta penduduk miskin berada di sabuk Pantura[7]. Profil kemiskinan di Jawa Barat cukup memprihatinkan. Sumbangan terbesar kemiskinan, yaitu sebesar 73%, diakibatkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan makanan. Fluktuasi harga beras dan kini, harga minyak, menjadi biang keladinya. Belum lagi transisi konversi energiyang tentunya punya dampak sosial-ekonomi yang cukup signifikan. Daya beli yang rendah, dan tingginya pengangguran juga menjadi persoalan, di samping kenaikan UMR yang tidak memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum keluarga[8]. Tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 5,14 juta jiwa. Dilihat dari data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), jumlah keluarga miskin di Jabar 1,06 juta keluarga, kategori sangat miskin 615.875 keluarga, dan hampir miskin mencapai 1,22 juta keluarga. Kenaikan angka penduduk miskin tahun ini menunjukkan kegagalan program-program pengentasan kemiskinan di Jawa Barat. Sama halnya dengan propinsi Indonesia lainnya, pelbagai strategi nasional pengentasan kemiskinan pernah menyentuh Jawa Barat. Mulai dari IDT, P2KP, JPS, hingga BLT. Selain itu, masih terdapat pula Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), Program Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah untuk Sekolah Dasar dan Menengah serta Ibtidaiyah (DB-BOS), JPS Khusus Bidang Sosial, Prakarsa Khusus untuk Penganggur Perempuan (PKPP), Padat Karya Perkotaan (PKP), Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Mengingat tingginya intensitas kemiskinan di Jawa Barat, nilai proyek yang diserap propinsi ini senantiasa tergolong tinggi. Sebagai gambaran, untuk P2KP yang tahun ini digabungkan dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di bawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), dana yang digelontorkan untuk Propinsi Jawa Barat mencapai Rp. 276,020 milyar untuk 220 kecamatan. Sebanyak 123 kecamatan di pedesaan menerima dana sebesar Rp. 133,850 milyar. Sisanya, 97

kecamatan di perkotaan menerima Rp. 142,170 milyar[9]. Selain program pengentasan kemiskinan nasional, Propinsi Jawa Barat juga memiliki program penanggulangan tersendiri, berupa: Program Dakabalarea (Kepgub No. 2/Th. 1999). Gerakan Rereongan Sarupi. Gerakan Jumat Bersih. Gerakan SARASA. Program Raksa Desa. Program Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM) (Kepgub No. 34/Th. 2005). Program Dakabalarea yang merupakan program pemberian kredit dengan pola bagi hasil kepada pengusaha mikro & usaha kecil hingga th. 2005 telah menggulirkan dana tak kurang dari Rp. 93.657.109.350 dari target Rp. 66.770.000.000 untuk 3.065 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 26.886 orang. Sedangkan dana yang digelontorkan melalui PPK IPM[10] pada tahun 2006 mencapai Rp. 190 milyar, diperuntukkan bagi 9 kabupaten/kota yang proposalnya terpilih[11]. Untuk tahun 2007, 6 kabupaten/kota terpilih berhak mendapatkan dana senilai Rp. 315 milyar. Khusus untuk kota Bandung, dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang dikucurkan tahun 2007 mencapai Rp. 8.8 milyar[12]. Upaya pemerintah melalui inisiatif pendanaan dan penyusunan program seperti ini sesungguhnya mencerminkan kehendak serius mengentaskan kemiskinan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata masih mengandung kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, upaya selama bertahun-tahun menghabiskan dana milyaran rupiah mudah sekali digoncangkan oleh kenaikan BBM atau fluktuasi harga sembako[13]. Sejumlah pengamat menilai, kegagalan tersebut dikarenakan antara lain faktor pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, akibat jumlah penduduk usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah migran yang masuk untuk tujuan bekerja. Padahal, di sisi lain, jumlah kesempatan kerja relatif stagnan, karena pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi, laju investasi asing belum optimal, dan iklim usaha belum kondusif.[14] Berhubung kemiskinan adalah masalah yang kompleks, tentu penanganannya tidak bisa distrukturkan secara tersentralisir. Penanganan kemiskinan juga menuntut kepekaan sosiokultural. Kucuran dana dan modal saja tidak cukup, pembukaan kesempatan kerja juga belum tentu memberdayakan, malah bisa menimbulkan ketergantungan. Tetapi, di sisi lain, penanganan kemiskinan secara sporadis, tanpa disain atau skema penanggulangan terpadu yang jelas indikator pencapaiannya, juga dapat menggagalkan upaya mengeluarkan orang dari lingkaran kemiskinan. Dalam konteks inilah konsep social enterpreneurship mau pun social enterpreneurs layak diperkenalkan, karena pendekatan ini berupaya menanggulangi kemiskinan lewat disain atau skema pengentasan kemiskinan yang matang, didukung oleh sosok-sosok yang kompeten. 2.3. Social Enterpreneurship: Sebuah Wacana Tri Mumpuni Wiyatno adalah orang yang selalu yakin bahwa desa merupakan sumber kekuatan ekonomi yang belum tergarap optimal. Banyak persoalan pembangunan akan terselesaikan, jika desa menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mandiri. Ia mewujudkan gagasannya dengan menyebarluaskan teknologi mikrohidro untuk membangun pembangkit listrik skala kecil ke desa-desa. Maria Hartiningsih[15], seorang jurnalis cum pejuang feminis di Indonesia melaporkan, bersama lembaganya Institut

Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni turun ke desa-desa, memberi pelatihan manajemen air ramah lingkungan kepada penduduk setempat. Rakyat desa juga kemudian dilatih memelihara alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Begitu energi listrik dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan. Di belahan dunia lain, tepatnya di Palmares do Sul, Brazil Utara, Fabio Rosa bergelut dengan masalah yang sama. 25 juta penduduk Brazil tidak punya akses pada listrik. Akibatnya, standar hidup mereka rendah. Tak ada kulkas, lampu, apalagi komputer. Biaya penyediaan listrik untuk mencahayai sebuah desa pada awal tahun 1980an, membubung tinggi pada angka 7.000 dollar. Ini sama artinya dengan 5 kali lipat income seorang petani miskin selama sepuluh tahun! Fabio Rosa menjadikan Palmares sebagai model eksperimen listrik pedesaannya yang pertama. Pada 1992, ia memutuskan mendirikan perusahaan profitSistemas de Tecnologia Adequada Agroelectro (STA Agroelectro)dan mulai menyebarkan teknologinya ke desa-desa. Lewat skema pembiayaan yang ekonomis, ditambah dengan pola ekonomi produktif yang diperkenalkannya, STA berhasil melistriki tak kurang dari 800.000 rumah tangga. John Wood adalah seorang eksekutif Microsoft bergaji milyaran. Titik balik kehidupan Wood datang dalam sebuah liburan ke Nepal. Ia bertemu dengan seorang guru, yang mengajaknya memanjat pegunungan selama 3 jam untuk melihat sekolahnya. Sebuah sekolah yang hanya punya satu kelebihan: murid yang banyak. Lain-lainnya persis seperti di Indonesia: kurang guru, kurang sarana dan prasarana, termasuk perpustakaan. John Wood tersentuh, dan tahun berikutnya ia datang membawa 3500 buku untuk sekolah itu, dan sekolah-sekolah lain. Ia memutuskan meninggalkan Microsoft, mendirikan organisasi Room to Read, dan saat ini telah mendirikan tak kurang dari 3600 perpustakaan di Asia. John Wood bersama organisasinya juga melibatkan diri dalam penyusunan programprogram alternative pendidikan dasar di Asia dan Afrika. Sebuah frase yang menyatukan Tri Mumpuni, Fabio Rosa, dan John Wood adalah restless people (Bornstein, 2004: 1). Orang-orang yang gelisah. Inilah orang-orang yang mencoba memecahkan masalah dalam skala besar. Mereka sadar bahwa lilitan kemiskinan baru bisa dilepaskan jika seseorang itu berdaya: berdaya ekonominya, berdaya mentalnya, berdaya lingkungan sosial-politiknya. Mereka adalah social innovator, atau social entrepreneurs. Mereka punya gagasan-gagasan kuat untuk memperbaiki kehidupan orang lain, meningkatkan kualitas masyarakat. Mereka menyusun kerangka besar perubahan tersebut, dan berjuang mempraktikkannya di pelbagai pelosok dunia. Lantas, apa yang dimaksud dengan SE? Pertama-tama perlu dibahas definisi kewirausahaan atau enterpreneurship. Kewirausahaan didefinisikan sebagai individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya, serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapaian keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004 dalam Palestine, 2007)[16]. Pada intinya, kewirausahaan adalah kemampuan untuk menangkap peluang dan dengan cara yang inovatif menciptakan nilai tambah pada sesuatu yang tidak ada menjadi ada[17]. Di mana pun, model enterpreneurship atau kewirausahaan mengandung dua prinsip: otonomi dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Prinsip otonomi diterjemahkan sebagai advokasi masyarakat, sedangkan prinsip penentuan nasib sendiri (selfdetermination) diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan (Palestin, 2007). Selama ini,

kewirausahaan senantiasa dikaitkan dengan upaya memberdayakan diri/lembaga dalam konteks ekonomi untuk menunjang kehidupan. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apa bedanya model kewirausahaan ekonomi konvensional dengan definisi kewirausahaan sosial. Menurut Dave Roberts dan Christine Woods (2007), social entrepreneurship is a construct that bridges an important gap between business and benevolence; it is the application of entrepreneurship in the social sphere.[18] Sederhananya begini: social entrepreneurship adalah penerapan prinsip kewirausahaan dalam lingkup sosial, yang ditujukan untuk mencapai perubahan sosial tertentu. Kewirausahaan sosial bisa dijalankan atas nama perseorangan, bisa juga secara kelembagaan. Namun, karena skala perubahan yang diharapkan sangat besar, maka lazimnya kewirausahaan sosial dijalankan oleh badan-badan khusus untuk itu. Bagan berikut ini memperlihatkan rentang bentuk kelembagaan di antara dua kutub: perusahaan bisnis tradisional di sebelah kiri, dan LSM tradisional di sebelah kanan. Sumber: http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php Gerakan-gerakan yang murni SE berada dalam simpul hybrid social enterprise, berupa badan yang didirikan dengan tujuan melakukan aksi sosial, sehingga segala upaya pendanaan, kegiatan, mau pun fundraising dibingkai dalam kerangka tersebut. Bagaimana gerakan SE menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan? Contoh paling gamblang diberikan oleh Professor M. Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh. Didirikan sebagai bagian dari action research Universitas Chittagong (1976), Grameen Bank memberikan kredit mikro bagi komunitas miskin di Bangladesh. Jumlahnya hanya $27, digulirkan pada 42 keluarga. Namun, uang setara dengan Rp. 243.000,- itu mampu melepaskan keluarga-keluarga tersebut dari jeratan rentenir. Kini, lebih dari 2100 cabang Grameen Bank didirikan di seluruh Bangladesh. Menurut catatan Wall Street Journal, seperlima kreditnya sudah setahun ini macet. Tapi, jurnal yang sama juga mencatat, tingkat pengembalian kredit mencatat rekor 98% untuk nasabah-nasabah perempuan. Setengah dari peminjamnya (mendekati 50 juta nasabah), juga dinyatakan berhasil melepaskan diri dari kemiskinan absolut. Ini terlihat dari standar yang diukur melalui indikator anak-anak yang bersekolah sesuai tingkat umurnya, kemampuan memberi makan keluarga tiga kali sehari, toilet dan air minum yang bersih, rumah beratap, dan kemampuan pengembalian pinjaman sebesar 300 taka (atau senilai 4 dollar) per minggu. Grameen Bank merupakan contoh organisasi SE yang berhasil. Agar bisa mencapai kesuksesan yang sama, organisasi SE mesti memenuhi prinsip-prinsip inovasi dalam praktik sbb.: Institutionalize Listening. Komitmen kuat untuk menyimak, mendengar suara-suara di lapangan. Pay attention to the exceptional. Yang dimaksud adalah kepekaan mengenali informasi yang tak diduga, khususnya keberhasilan-keberhasilan tak terduga. Design real solutions for real people. Kelebihan social enterpreneur adalah mereka sangat peka dan realistis dengan perilaku manusia. Focus on human qualities. (Bronstein, 2004: 200-211) Adalah tantangan yang luarbiasa berat untuk bisa menemukan orang-orang seperti ini. Pendekatan SE kini coba dipromosikan dalam makalah ini sebagai landasan bagi

perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana konkretnya, dapat dilihat pada pembahasan berikut. 3. Pembahasan: Melembagakan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan SE, kendati bukan konsep yang relatif baru, perlu dipromosikan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, yang didalamnya terkandung persoalan struktur, sosial politik, kebudayaan. Pendekatan ini punya kelebihan: membumi, melibatkan setiap stakeholder secara aktif, dan bertumpu pada inisiatif serta pemecahan solusi yang berasal dari masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi dapat berperan di sini? Pertama-tama, mari kita ingat bahwa institusi pendidikan tinggi di Indonesia dibingkai oleh pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi mengandung tiga dharma, yaitu: (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penulisan Karya Ilmiah; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat. Sangat eksplisit terlihat bahwa pendekatan SE sebenarnya adalah wujud dari aspek ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Jadi, bicara soal tempat, SE punya tempat dan posisi yang jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan segala keterbatasannya, sesungguhnya PT punya potensi besar untuk mengatasi persoalan bangsa, utamanya mengentaskan kemiskinan, bertitiktolak dari pendekatan SE. Caranya adalah dengan melembagakan konsep SE di lingkungan PT. Hal ini dapat dicapai melalui dua langkah besar: (1) menerjemahkan konsep SE dengan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun visi-misi spesifik PT (dalam kasus Unisba, menerjemahkan konsep SE pada 3M); dan (2) Menerjemahkan pendekatan SE dalam level aksi. 3.1. Menerjemahkan Konsep SE dalam Konteks Perguruan Tinggi. Menimbang literatur-literatur SE dalam tinjauan pustaka, maka SE dalam lingkup perguruan tinggi harus diterjemahkan menjadi aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga. Realistis, maksudnya program-program SE disesuaikan dengan kebutuhan lapangan dan ketersediaan resources yang dimiliki perguruan tinggi maupun komunitas. Kreatif, maksudnya aktivitas SE mesti didesain secara kreatif guna menemukan solusi terbaik. Mengikat, maksudnya ada satu desain besar dan timeframe yang jelas, serta indikatorindikator guna mengukur tingkat keberhasilan program. Berkesinambungan, maksudnya program SE didesain bukan untuk memberikan hasil sesaat, tetapi lebih mementingkan upaya-upaya kecil namun berkelanjutan sehingga dampaknya lebih lama terasa. Melibatkan seluruh civitas academica, maksudnya tidak menjadikan SE sebagai proyeknya salah satu stakeholder universitas saja, misalnya dosen. Pihak lain seperti mahasiswa atau tenaga-tenaga lain perlu diberi kesempatan dan pengalaman untuk berkiprah. Sehingga, gerakan SE menjadi gerakan bersama. Melembaga, maksudnya diinstitusionalisasikan secara resmi sehingga bisa mengikat komitmen dan memberikan jaminan keorganisasian yang jelas. Demikianlah prinsip-prinsip yang harus terkandung dalam setiap aksi SE. Apabila sudah jelas prinsip-prinsip, tujuan, mau pun visi-misinya, apabila PT memang benar-benar sudah memutuskan akan serius berkiprah dalam SE, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengoperasionalkan rencana besar ini dalam langkah-langkah konkret. 3.2. Mengoperasionalkan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi

Langkah-langkah untuk mengoperasionalkan SE di lingkungan PT dapat dirumuskan dengan mengacu pada level kelembagaan, level regulasi, level aksi, dan level audit. Ketika level-level operasional ini disilangkan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka hasilnya adalah matriks, sbb. Matriks Operasionalisasi Social Enterpreneurship Untuk Perguruan Tinggi No. Pelembagaan SE Tridharma Perguruan Tinggi Pendidikan dan Pengajaran Penelitian dan Karya Ilmiah Pengabdian Masyarakat 1 Level Kelembagaan Mendirikan SE Center di tingkat universitas Melakukan konsolidasi kelembagaan Melakukan pemetaan resources Menjalin relasi dan melakukan lobi-lobi internal maupun eksternal, apakah itu dengan pemerintah, lembaga legislatif, sesama perguruan tinggi, maupun kontak dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility. Fundraising: langkah dan aksi fundraising yang tidak norak dan mengandalkan pihak luar semata, tapi elegan dan sesuai dengan semangat SE. Mempublikasikan jurnal-jurnal program SE. Merencanakan award-award (internal): SE Award Unisba, misalnya, untuk mahasiswa, dosen, dan pusat kajian yang terpilih. Berkompetisi mengikuti award-award dari dalam dan luar negeri (eksternal): dari Pemerintah, Kementerian, organisasi funding seperti Skoll Enterprise, Schwab Foundation, Ashoka International, dll. Menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek. Merumuskan affirmative actions untuk melembagakan SE, mis. merencanakan programprogram pelatihan berbasis SE. 2 Level Regulasi Memberlakukan kurikulum wajib SE di tingkat fakultas Memberlakukan ketentuan penyisihan porsi penelitian dan karya ilmiah berwajah SE Memberlakukan ketentuan pengabdian masyarakat berbasis SE 3 Level Aksi Mendata mata kuliah yang berpotensi dijadikan bagian kurikulum wajib SE. Menyusun dan melaksanakan program-program penelitian berbasis SE. Menyusun dan melaksanakan PKM berbasis SE Menyusun atau mendampingi penyusunan silabi berbasis SE. Melatih dosen agar berwawasan SE. Melakukan pelatihan bagi penelitian berbasis SE. Melakukan pelatihan bagi PKM berbasis SE. 4

Level Audit/Monev: Mengembangkan panduan audit monev berbasis SE. Apa saja indikator-indikatornya? Mengembangkan indikator-indikator audit monev program pendidikan dan pengajaran berbasis SE. Mengembangkan indikator-indikator audit monev program penelitian dan karya ilmiah berbasis SE. Mengembangkan indikator-indikator audit monev PKM berbasis SE. Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang pendidikan pengajaran dengan indikator berbasis SE. Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang penelitian dan karya ilmiah dengan indikator berbasis SE. Menyusun program-program audit monev secara teratur untuk PKM dengan indikator berbasis SE. Melakukan audit monev dalam program pendidikan dan pengajaran berdasarkan indikator-indikator berbasis SE. Melakukan audit monev dalam program penelitian dan karya ilmiah berdasarkan indikator-indikator berbasis SE. Melakukan audit monev dalam program PKM berdasarkan indikator-indikator berbasis SE. Ketr. SE = Social Enterpreneurship. Matriks yang disajikan di sini hanya sekadar stimulan untuk merumuskan langkahlangkah konkret yang bisa dilakukan PT untuk mengentaskan kemiskinan dengan pendekatan social enterpreneurship. Walau demikian, stimulan ini dapat dijadikan pijakan awal apabila PT memang serius ingin berkontribusi mengentaskan kemiskinan, sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki. 3.3. Melembagakan SE di Unisba: Studi Kasus SE di Kelas Filsafat Komunikasi Sesungguhnya, Unisba memiliki potensi luarbiasa untuk memberi kontribusi bagi pengentasan kemiskinan. Unisba mempunyai modal sosial dari segi kelembagaan, sumberdaya manusia, potensi jejaring dan relasi, power, serta potensi keuangan dan fasilitas. Modalitas brainware, hardware, software-nya jelas sudah ada. Unisba juga bukan universitas yang terpisah dari lingkungan sosialnya secara geografis. Terletak di Tamansari dan Ciburial, warga Unisba punya kesempatan untuk berinteraksi secara intens dengan persoalan sosial, sehingga tidak perlu kerepotan mencari target sasaran. Apalagi, Kelurahan Tamansari maupun kawasan Ciburial adalah wilayah urban yang memerlukan penataan dan pembinaan serius. Dalam lingkup kelas, penulis mencoba bereksperimen menerapkan pendekatan SE untuk mata kuliah Filsafat Komunikasi. Kepada mahasiswa, diberikan tugas kelompok melakukan kerja volunteer di wilayah Bandung. Lewat tugas ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman bersentuhan langsung dengan permasalahan sosial, sehingga dapat menjadi stimulan untuk menerapkan SE di masa mendatang. Tujuan lain yang diharapkan adalah adanya kesempatan untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan, sambil memperbaiki kualitas kepribadian. Laporan-laporan yang dikumpulkan mau pun dipresentasikan hasilnya di luar dugaan.

Terbentuk sepuluh kelompok beranggotakan 2-5 orang, dengan kiprah meliputi: Volunteer Food-Not-Bombs, sebuah organisasi yang menampung sayuran reject dari supermarket maupun pasar sayur petani Lembang, namun masih layak-olah. Sayuran dimasak untuk anak-anak jalanan di Taman Lansia, Cilaki. Reader di Panti Wyata Guna. Membacakan dan mencarikan buku-buku yang diperlukan pelajar penghuni Wyata Guna. Konselor bagi siswa-siswi SMU XX yang menghadapi permasalahan keluarga dan problematika belajar. Volunteer di Panti Wredha dan Panti Asuhan. Kegiatannya antara lain merayakan 17 Agustusan di Panti Asuhan dan Panti Wredha sambil menyelenggarakan bursa amal. Volunteer di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah. Trainer musik untuk anak-anak jalanan. Menyelenggarakan konser anak jalanan, yang kini laris ditanggap di pelbagai event. Mengorganisasikan tim kebersihan di lingkungan kos-kosan. Kini tidak terbatas pada kos-kosannya sendiri tapi juga meluas ke kosan lain di wilayahnya. Kakak asuh bagi anak-anak SD dari keluarga tidak mampu. Kelompok ini bukan saja secara teratur menyisihkan uang untuk membiayai SPP (Rp 25.000 s.d. Rp 75.000), tetapi juga mengupayakan buku-buku bekas (pelajaran maupun bacaan yang sehat) dan menjadi mentor belajar. Sasaran mereka adalah anak-anak yatim/piatu yang orangtuanya single parent, bekerja sebagai buruh atau pembantu. Volunteer bagi TK di wilayah ekonomi kelas bawah. Kegiatan selain di dalam kelas adalah menyelenggarakan lomba 17 Agustusan dan jalan-jalan ke Kebun Binatang. Volunteer untuk Harm Reduction, sebuah organisasi penanggulangan narkoba. Dalam presentasi, anggota kelompok ini saling sharing, merefleksikan pengalaman masing-masing. Hal yang menarik adalah mereka sama-sama tergerak untuk meneruskan keterlibatannya. Mereka juga jadi lebih memahami realitas di lapangan, permasalahan sosial di Bandung, serta terpicu semangatnya untuk memberi kontribusi bagi sesamanya. Dalam konteks ini, pendekatan SE berhasil memberikan pencerahan dan pengalaman. Pengelolaan kelas sangat low cost, karena dengan prinsip otonomi, partisipasi, serta selfdetermination, mahasiswa bisa berbuat banyak dan menemukan solusi-solusi kreatif. Pendekatan ini layak diujicobakan sebagai bagian penciptaan kurikulum berwajah SE. Padahal, ini baru level aksi institusional, sebatas menyentuh salah satu kemungkinan aspek SE di lingkungan perguruan tinggi, seperti tergambar dalam matriks tadi. 4. Penutup Kemiskinan bagaikan benang kusut. Mengurai kompleksitasnya butuh waktu, motivasi, komitmen, dan upaya setiap pihak. Konsep SE yang dipromosikan sebagai pendekatan membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensinya bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Berikut adalah kesimpulan karya tulis ini. 1. Dari segi konsep, pendekatan SE sesungguhnya merupakan wujud prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. Namun, agar lebih applicable, SE perlu dilakukan lewat aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga. 2. Guna menerjemahkan pendekatan SE pada level yang operasional, PT dapat mengikuti skema atau langkah-langkah yang telah diidentifikasi dalam matriks, meliputi level kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring-evaluasi. Terkait dengan kesimpulan dan tujuan penulisan makalah ini, maka saran-saran yang

dapat diberikan mencakup beberapa hal: 1. Untuk lingkup eksternal, PT perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi dengan pihak-pihak terkait seperti Pemda, sesama PT, pihak swasta, atau para pebisnis yang punya concern terhadap perubahan sosial lewat program-program CSR. 2. Pada lingkup internal kelembagaan, PT perlu sesegera mungkin melakukan initial assesment dan mengonsolidasikan resources-nya sebagai persiapan awal untuk berkiprah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Termasuk menyiapkan SDM yang bermutu lewat pelatihan dan upgrading. Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutipkan sebuah hikmah dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Terlepas dari gaya hidup sederhana (zuhud) yang diterapkannya, Rasulullah ternyata menaruh perhatian pada masalah kemiskinan. Rasulullah acap menyatakan bahwa kemiskinan membawa kekufuran (HR. Abu Nuaim yang diriwayatkan oleh Anas). Oleh karena itu, mencegah mengurangi kemiskinan merupakan salah satu tindakan sosial nan mulia. Karena, dapat mengurangi peluang kejahatan dan penyimpangan akidah. Itu sebabnya, dalam beberapa riwayat dikisahkan betapa bijaknya Rasulullah menyikapi kejahatan yang diakibatkan oleh kemiskinan. Rasulullah juga mengajarkan sikap hidup dan doa-doa untuk menghindarkan manusia terjebak dalam kemiskinan. Riwayat Rasulullah memperlihatkan pentingnya mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Perguruan tinggi, dalam kasus ini, jelas mengemban tanggungjawab sosial untuk berkiprah di sini. Sudah saatnya perguruan tinggi mendobrak status dan fungsi ekonomi yang lebih dominan, berhenti didominasi dan diposisikan sebagai sekrup industri, dan mulai secara serius memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan bangsa, tanpa tergiring lagi-lagi dalam pemikiran berparadigma proyek cari duit dan cari nama.*** Daftar Pustaka Buku. Bauman, Zygmunt. 1998. Works, Consumerism, and the New Poor. Philadelphia: Open University Press. Bornstein, David. 2004. How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power of New Ideas. Oxford: Oxford University Press. Wood, John. 2006. Leaving Microsoft to Change The World (diterjemahkan oleh Widi Nugroho menjadi Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia). Jokja: Bentang. Koran. Bawazier, Fuad. Super Miskin. Artikel Opini dalam HU Republika, 16 April 2007. Hartiningsih, Maria. Energi Tri Mumpuni. Artikel Opini Kompas, 7 Oktober 2005. Kustiman, Erwin. Kemiskinan, Bahaya Laten Jawa Barat. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, Agustus 2007. Natsir, Irwan. Perencanaan Daerah. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat Bertambah. Berita HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007. Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.

Gatot Johanes Silalahi. Kesempatan Wirausaha Bagi Mahasiswa. Sinar Harapan, 2003. www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0108/ukm3.html Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat. Berita HU Republika, 19 Maret 2003. Internet. Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com. Prabowo, Agus dan Didy Wurjanto. Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id Roberts, Dave dan Christine Woods. Changing the World in a Shoestring: The Concept of SE. www.businessjournal.com. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.55 WIB. Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB. Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 21 September 2007, pk. 19.33 WIB. www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB Sumber lain: Makalah berjudul Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat. Dalam Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan Bogor, 21 Agustus 2007. Bandung: Pemkot Bandung. [1] Disebut supermiskin karena memiliki penghasilan di bawah 1 dollar sehari, yang berarti tidak bisa memenuhi basic needs. Data BPS memperlihatkan, tingkat pendapatan kelompok ini tak lebih dari Rp. 5.095,- (Republika, 16 April 2007). [2] Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB. [3] Kompas, 2 Agustus 2007. [4] Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id. [5] Irwan Natsir, Perencanaan Daerah, HU Pikiran Rakyat 10 Januari 2007. [6] Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyatakan, pembangunan Jabar pada 2006 masih menyimpan banyak persoalan yang harus dibenahi. Parameter makro berupa IPM hanya meningkat 0,71 poin atau menurun dibandingkan 2005 (0,99). IPM Jabar pada 2006 hanya 70,05 dari target 75,60. Ini harus menjadi perhatian karena target IPM 80 pada 2010 tinggal menyisakan 3 tahun lagi, ungkap juru bicara FPKS, Tate Qomarudin (HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007) [7] Erwin Kustiman, Kemiskinan Bahaya Laten Jawa Barat (HU Pikiran Rakyat, 2007). [8] Data Litbang Kompas (2007) merinci, terjadi kenaikan rata-rata upah minimum regional di Jabar hanya 4,04 persen, dari Rp 899.122 menjadi Rp 935.450 per bulan. Namun, proporsi kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran masyarakat per bulan. Pengeluaran per kapita per bulan meningkat 12,79 persen. Apa artinya naik penghasilan 4.04 persen kalau pengeluaran pun bertambah 12.79%? [9] Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id. [10] PPK IPM merupakan inisiatif Pemda Jabar untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberi stimulus pada kepada Pemerintah Kab/Kota untuk dapat menggalang

potensi stakeholders pembangunannya, guna merumuskan langkah dan strategi dalam peningkatan IPM di daerah masing-masing dan menuliskannya dalam sebuah proposal yang diajukan kepada Gubernur. Data Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat. [11] Komposisi penggunaan dana meliputi 30% untuk bidang pendidikan, 25% bidang kesehatan dan 45% untuk bidang ekonomi peningkatan daya beli. Data Seminar Nasional Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat. [12] www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB. [13] Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005. [14] Erwin Kustiman, Kemiskinan, Ancaman Laten Jawa Barat. HU Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005. [15] Kompas, 7 Oktober 2005. Energi Tri Mumpuni. [16] Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com. [17] Republika, 19 Maret 2003. Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat. [18] Changing The World On A Shoestring: The Concept of Social Enterpreneurship. Journal of Business Review.

santi indra astuti

Umur: 38 Jenis Kelamin: Wanita Tanda Astrologi: Leo Tahun Zodiak: Anjing Industri : Komunikasi atau Media Pekerjaan: Dosen, periset, aktivis media literacy Lokasi: Bandung : Jawa Barat : Indonesia

http://www.blogger.com/profile/16118165090951505930 Berdasar dari data yang terhimpun melalui penelitian ini terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya. Bentuk-bentuk strategi dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Optilalisasi sumber daya manusia (SDM) Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan memperoleh atau mengerahkan Berdasar anggota hasil keluarga untuk ini penghasilan. skoring, strategi

memperoleh nilai 2,70. Secara numerik angka ini menunjukkan, bahwa strategi dimaksud sering dilakukan. Bahkan dalam strategi ini, sebagian dari mereka adalah anak yang masih duduk di bangku sekolah. Jika rata-rata dalam keluarga mempunyai 5 orang anggota, maka kondisi ini merupakan potensi yang relatif besar untuk mengakses uang.

Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk membaca peluang ekonomi. Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.2. Penekanan/pengetatan pengeluaran

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Secara kumulatif hasil skoring terhadap strategi ini memperoleh nilai 2,76. Angka ini dapat diterjemahkan, bahwa mereka sering menekan biaya pengeluaran dan menghindari resiko. Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah.3. Pemanfaatan jaringan.

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya). Secara numerik, skor yang diperoleh dari pemanfaatan jaringan (2,57). Angka ini menunjukkan, bahwa mereka sering meminta bantuan kepada relasi sosialnya terutama kepada teman sekerja atau tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa di antara mereka mempunyai solidaritas yang kuat dan saling percaya. Tampaknya teman merupakan tumpuan untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat pertama yang akan dituju apabila mereka mengalami masalah. Relasi mereka tidak hanya sebatas di bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif untuk memperoleh dukungan emosional.

III.

Kesimpulan dan Saran

A. KesimpulanDari segi kuantitas, jumlah keluarga miskin yang relatif banyak merupakan potensi besar bagi pembangunan nasional. Berbagai upaya yang telah ditempuh keluarga fakir miskin telah cukup banyak. Jumlah anggota keluarga yang relatif besar (rata-rata 5 orang) dan setiap anggota keluarga dapat berperan dalam kegiatan ekonomi, namun realitas perekonomiannya masih tetap sulit berkembang (statis) dan cenderung terkesan apatis, dan pasrah pada nasib. Solidaritas di antara mereka (baik dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi) merupakan potensi besar untuk pencegahan terhadap munculnya permasalahan sosial lain yang lebih besar, sehingga mereka tetap mampu bertahan dalam berbagai kindisi yang serba sulit.

B. SaranUpaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak dilakukan terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter semakin menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian masyarakat untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Penyelesaian suatu masalah secara lebih strategik biasanya tidak kasatmata dan memerlukan waktu. Dalam kera