Makalah (Kasus 02)

download Makalah (Kasus 02)

of 2

Transcript of Makalah (Kasus 02)

AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)SEBUAH dokumen penting mencuri perhatian anggota tim investigasi dugaan manipulasi pajak oleh Asian Agri Group, milik orang terkaya Indonesia saat ini, Sukanto Tanoto. Dokumen itu berjudul "AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)", yang disusun pada sekitar 2002. Dalam dokumen itulah semua persiapan transfer pricing diungkap rinci. Modus ini pada dasarnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (CPO) keluaran Asian Agri ke perusahaan afiliasi di luar negeri di bawah harga pasar, untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Menurut sumber Tempo, untuk setiap ton CPO yang dijual, rata-rata terjadi transfer pricing US$ 40. Dalam setahun, profit yang ditransfer ke luar negeri mencapai US$ 30 juta-40 juta. Masih ada dua modus lain yang konon juga kerap dipakai, yaitu pembuatan biaya fiktif dan transaksi hedging fiktif. Lewat berbagai modus ini, diperkirakan pajak penghasilan (PPh) badan yang tidak dibayarkan sejak 2002 mencapai Rp 1,1 triliun. Nah, bagaimana rencana transfer pricing ini dipersiapkan, semua diungkap detail dalam dokumen tersebut. Di bagian struktur organisasi, misalnya, disebutkan akan dibentuk dua tim dalam divisi operasi perencanaan pajak. Seorang staf bernama Ratna ditempatkan di bagian administrasi perusahaan di dalam negeri (inshore companies). Adapun staf lainnya, Listina, menangani administrasi di perusahaan luar negeri (offshore companies). Organisasi perencanaan pajak ini seolah-olah dibuat terpisah dengan kantor operasi pemasaran normal. Meski sama-sama satu atap, kantor operasi perencanaan pajak ditempatkan di lantai 7 Gedung Uniland, Medan, markas utama Asian Agri. Sedangkan kantor pemasaran normal di lantai 6. Keduanya berada di bawah kendali yang sama, yaitu General Manager Departemen Marketing, Kwan Kim Kong. Operasi offshore companies juga dipisahkan total dari Asian Agri, mulai dari staf, tempat penyimpanan dokumen, kop surat, sampai nomor telepon dan faksimile. Ini dimaksudkan agar perusahaan-perusahaan di luar negeri itu terlihat sebagai pelanggan yang tidak punya kaitan dengan perusahaan perkebunan Asian Agri. "Penataan ini akan menunjukkan ekspor benar-benar dilakukan ke pihak eksternal," begitu bunyi dokumen tersebut. Adapun jalannya transaksi dibuat sebagai berikut. Belasan perusahaan perkebunan di Indonesia pertama-tama menjual CPO di bawah harga pasar ke sejumlah perusahaan afiliasi di Hong Kong-disebut sebagai re-invoicing companies. Di antara perusahaan itu, misalnya, Twin Bonus Edible Oil & Fats Ltd. dan United Oils & Fats Ltd. Berikutnya, produk CPO itu dijual kembali ke Asian Agri Abadi Oils & Fats Ltd., perusahaan afiliasi di British Virgin Islands-belakangan juga ke Global Advance Oils & Fats Ltd. (Makao)-dengan harga yang hampir sama. Baru setelah itu dijual ke pihak eksternal, seperti Cargill, Safic Alcan, atau Wilmar Trading dengan harga pasar. Eddy Lukas, Direktur Asian Agri, mengatakan tax planning adalah sesuatu yang wajar dalam dunia usaha. "Yang harus dihindari adalah tax evasion (penghindaran pajak)," ujarnya. Dia juga menegaskan, tak ada korelasi antara tax planning dan manipulasi pajak. Apalagi, sangat mudah menghitung jumlah pajak yang harus dibayarkan dari

data faktual luas areal kebun, transaksi jual-beli CPO dan turunannya, serta produk CPO Asian Agri. Soal transfer pricing, Eddy pun menandaskan tak mungkin ekspor CPO dilakukan dengan harga supermurah. Sebab, ada harga patokan ekspor yang diterbitkan pemerintah setiap bulan. Tapi, tunggu dulu. Sejumlah dokumen otentik juga menunjukkan indikasi praktek transfer pricing dengan cara menjual CPO ke perusahaan refinery lokal afiliasi, yaitu PT Sari Dumai Sejati (SDS) dan PT Asianagro Agung Jaya (AAJ). Dokumen itu berisi amendemen perjanjian jual-beli CPO yang dibuat belasan anak perusahaan Asian Agri dengan SDS dan AAJ, dan ditandatangani petinggi Asian Agri, yaitu Linda Rahardja, Albert Kwek, Lee Boon Heng, Anwar Lawden, dan Vincentius Amin Sutanto. Di situ disebutkan, CPO tak jadi dijual dengan harga penutupan CIF Rotterdam dikurangi pajak ekspor dan biaya administrasi US$ 85, tapi menjadi minus US$ 110 per metrik ton. Ketentuan baru ini berlaku efektif sejak 1 Desember 2005. "Harga ini sangat rendah," kata seorang praktisi perkebunan sawit. Sebab, normalnya hanya dipotong sekitar US$ 60. Diduga, dana hasil "penghematan" itu kemudian ditransfer ke luar negeri lewat kontrak jual-beli (hedging) dengan perusahaan afiliasi di Hong Kong dan Makao. Indikasinya, SDS dan AAJ sebagian besar mengalami kerugian dalam transaksi hedging, sehingga harus mentransfer dana ke luar negeri. "Agar tak mencolok, dibuat beberapa kali untung," kata sumber Tempo. Eddy Lukas menampik tudingan itu. Menurut Bendahara Asosiasi Pengusaha Sawit ini, dokumen itu hanya mengungkap sebagian, dan sudah dipilah-pilah untuk membentuk opini bahwa Asian Agri telah melakukan transfer pricing. Meski begitu, ketika berkunjung ke kantor Tempo, 5 Januari lalu, Eddy sendiri mengakui normalnya harga jual paling banter dikurangi US$ 75. "Kalau sampai US$ 100-an, jarang terjadi," ujarnya. Lagi pula, kata Eddy, penjualan dengan sesama perusahaan dalam Asian Agri Group pun selalu lewat hitung-hitungan ketat. Metta Dharmasaputra, Yandhrie Arvian