Makalah Kasus Mayor

68
MAKALAH LAPORAN KASUS MAYOR ILMU PENYAKIT MULUT : LUPUS ERITOMATOSUS SISTEMIK DAN PENYAKIT PENYERTA Disusun oleh: LULU FAZA 160112140050 Dosen pembimbing: Riani Setiadhi, drg., Sp. PM BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUT

description

makalahkasus mayor

Transcript of Makalah Kasus Mayor

Page 1: Makalah Kasus Mayor

MAKALAH LAPORAN KASUS MAYOR ILMU PENYAKIT MULUT :

LUPUS ERITOMATOSUS SISTEMIK DAN PENYAKIT PENYERTA

Disusun oleh:LULU FAZA160112140050

Dosen pembimbing:Riani Setiadhi, drg., Sp. PM

BAGIAN ILMU PENYAKIT MULUTFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG

2015

Page 2: Makalah Kasus Mayor

JUDUL : LUPUS ERITOMATOSUS SISTEMIK DAN PENYAKIT

PENYERTA

PENYUSUN : LULU FAZA

NPM : 160112140050

Bandung, 2015Menyetujui,

Pembimbing Utama

Riani Setiadhi, drg., Sp. PM NIP 195410241980032002

1

Page 3: Makalah Kasus Mayor

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik/ Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

merupakan kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem imun yang dapat

menyebabkan kerusakan multi organ. SLE tergolong penyakit kolagen vaskular

yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan

pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan

pengobatan yang kompleks. Tingkat SLE sangat bervariasi antar negara, etnis,

usia dan gender. Penyakit ini terjadi sembilan kali lebih sering pada wanita

dibandingkan pria ( Anna et al, 2013; Bertsias et al, 2013).

Penyebab SLE masih belum diketahui. Terdapat sedikit keraguan bahwa

penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan

adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan

efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Etiologi lain yang

diduga dapat menyebabkan SLE antara lain induksi obat, genetik, dan virus

(Bertsias et al, 2013; Hom et al, 2008).

Pada makalah ini akan dijelaskan mengenai Lupus Eritematosus Sistemik/

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) serta manifestasi oral yang timbul akibat

penyakit tersebut dan merupakan diagnosis dari pasien yang datang ke Rumah

Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dengan keluhan utama keropeng di wajah.

2

Page 4: Makalah Kasus Mayor

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Data Umum Pasien

Nama : Tn. S

Umur                           : 19 tahun

Alamat                       : Loa, Majalaya

Jenis Kelamin          : Laki-laki

Status : Belum Menikah

No. Rekam Medis       : xxxxx

Agama : Islam

Tanggal Masuk RS : 13 Juni 2015

2.2 Keluhan Utama

Keropeng di wajah.

2.3 Anamnesa

Sejak ± 1 tahun yang lalu, SMRS (sebelum masuk rumah sakit) penderita

mengeluh adanya keropeng di wajah yang awalnya berupa bintik-bintik hitam

pada kedua pipi yang kemudian semakin melebar hingga hidung, tampak pula di

kulit kepala dan telinga, tampak juga pada kaki dan kedua telapak kaki. Tidak

gatal, tidak nyeri dan tidak ada perdarahan. Kulit pada betis, paha dan wajah

3

Page 5: Makalah Kasus Mayor

tampak beberapa bagian kehitaman dan sedikit mengelupas. Pernah diberi salep

yang dibeli di apotik, tetapi tidak ada perbaikan. Keluhan batuk-batuk jarang

bahkan tidak ada, tidak berdahak, tidak berdarah, tidak sesak nafas dan tidak ada

keluhan benjol-benjol di tubuh. Penderita terkadang mengeluh nyeri pada kaki

dan tangan. Sebelumnya, pasien berobat ke Puskesmas. Pasien dikatakan sakit

kulit dan paru-paru kemudian dirujuk ke RSHS.

2.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Riwayat dirawat (+), 1 th yang lalu pasien masuk RS Majalaya. Panas

badan ± 1 minggu, dirawat 2 hari dan tidak diketahui sakit apa. Tidak pernah

berobat lagi.

2.5 Keadaan Umum

Kesadaran : CM

Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg

Denyut Nadi : 110x / menit

Pernafasan : 20x / menit

Suhu : 38 °C

Gizi : Kurang

Tinggi : 160 cm

Berat badan : 33 kg

4

Page 6: Makalah Kasus Mayor

2.6 Pemeriksaan Ekstra Oral

Kepala : Mata : Konjungtiva anemis

Sklera : non ikterik

Hidung : Sekret -/-

Mukosa mulut dan bibir : Hipertrofi (- )

Papila lidah atrofi (-)

Butterfly Rash (+)

Gambar 2.1 Gambaran ekstra oral pasien

Leher : Jugulare Vena Pressure (JVP) : 5 + 0 cm

KGB : (-)

Thoraks : Bentuk dan gerak kesan simetris

BpH ICS V kanan peranjakan (panjang) 2 cm

Cor : Ictus Cordis teraba di ICS V, LMCS, tidak kuat angkat,

Batas kanan LSD, Batas kiri LMCS, Batas atas ICS III kiri

Bunyi Jantung s1 - s2, Normal, s3 (-), s4 (-), murmur (-)

5

Page 7: Makalah Kasus Mayor

Pulmo : VF kiri = kanan, Sonor, VBS kiri = kanan,

VR kiri = kanan Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Abdomen : Datar,lembut, hepar 2 cm bac tumpul, kenyal,rata, nyeri(-)

Kiri tidak teraba, Ruang Traube, Bising Usus (+)

Ekstremitas : Edema (-), Melena (-)

KGB (+), Inguinal Bilateral Multiple Ø 0,5-1 cm, kenyal,

berbatas tegas, nyeri (-)

2.7 Pemeriksaan Intra Oral

Oral Hygiene (OH) : Buruk

Plak : (+), semua regio

Kalkulus : (+), semua regio

Dasar mulut : t.a.k

Tonsil : T1-T1

Bibir : Kering, simetris

Gambar 2.2 Bibir pasien yang kering.

Mukosa labial : t.a.k

6

Page 8: Makalah Kasus Mayor

Mukosa bukal : Cheek bitting regio ka-ki

Ulkus Traumatikus pada region gigi 36-37

Palatum : t.a.k

Lidah : Crenated tongue pada lateral kanan-kiri

Gambar 2.3 Gambaran crenated tongue pada pasien.

Gingiva : Oedem seluruh regio, perdarahan spontan (+)

Gambar 2.4 Gambaran gingiva yang oedem pada pasien.

Gigi-geligi : Karies (+)

2.8 Pemeriksaan Pelengkap

Pemeriksaan lab (sputum, BTA, Kultur, Gram, PPD 5TV, LED, SGOT /

SGPT) dan radiologi (foto thoraks lateral kanan, CT-scan thoraks).

7

Page 9: Makalah Kasus Mayor

Tabel 2.1 Hasil pemeriksaan laboratorium.

No. Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

1

2

3

HEMATOLOGIHemoglobinLeukosit Hematokrit Thrombosit

KIMIA KLINIKUreum Kreatinin (LK)Glukosa sesudah NaKalium

URINEBerat Jenis pHProteinReduksi Bilirubin Urobilinogen Nitrit Keton Eritrosit Leukosit Epitel

9,4500028381.000

220,67921374,0

1.0206,525/neg --1---1-20-1

13,83,8-10,6 rb 40-52150.000-440.000

15-500,7-1,2<140135-1453,6-5,5

1.002-1.034,8-7,5---<1-<1<6

gr /dL / mm3%/ mm3

mg / dlmg / dlmg / dlmEq / LmEq / L

mg / dlmg / dlml / dlmg / dl/ Lpb / Lpb / Lpk

/ Lpb/ Lpb/ Lpk

2.9 Rujuk

Bagian : Kulit kelamin

Gizi

Rheumatologi

8

Page 10: Makalah Kasus Mayor

2.10 Diagnosis Klinik

1. SLE, cutaneous LE

2. TB disseminata manifestasi TB Paru, efusi pleura ka, limfadenitis TB

3. Dehidrasi sedang e.c intake kurang

4. Anemia e.c penyakit kronis

2.11 Diagnosa Banding

1. Dermatitis seboroik

2. Malnutrisi

2.12 Terapi

1. Umum : Menerangkan kepada pasien dan keluarga mengenai

kemungkinan penyakit dan pengobatan.

Monitoring input-output (masuk cairan dan keluar cairan

dihitung).

2. Khusus : Bedrest

Diet nasi 1000 kkal/hr

Protein 35 gr/hr

Karbohidrat 430 kkal = 107,5 gr/hr

Lemak 430 kkal = 48 gr/hr

Infus NaCl 0,9% : 0,5%, 1:1 = 2000 cc/24 jam

B kompleks, 3x1 tablet per oral

Rencana RHEZ, pungsi (USG, pro diagnosa)

9

Page 11: Makalah Kasus Mayor

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Lupus Eritematosus (LE)

Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,

sedangkan eritematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah

lupus eritematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk menyatakan

suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh gigitan anjing

hutan (Waluyo, 2012). Menurut Lupus Foundation of America (2013) terdapat

beberapa tipe dari penyakit lupus eritematosus yaitu:

1. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) : jenis penyakit lupus yang

menyerang organ tubuh.

2. Cutaneus Lupus Erythematosus (CLE) : jenis lupus yang terbatas pada

kulit.

1) Chronic Cutaneus Lupus Erythematosus (CCLE) : Discoid

Lupus Erythematosus (DLE)

2) Subacute Cutaneus Lupus Erythematosus (SCLE)

3) Acute Cutaneus Lupus Erythematosus (ACLE)

3. Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE): jenis penyakit lupus yang

disebabkan oleh obat-obatan tertentu.

4. Neonatal Lupus Erythematosus (NLE) : jenis penyakit lupus yang

langka pada bayi, disebabkan oleh antibodi tertentu dari ibu.

10

Page 12: Makalah Kasus Mayor

3.2 Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)

merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum

diketahui dan manifestasi klinis, perjalanan penyakit serta prognosis yang sangat

beragam (Tutuncu, 2007). Penyakit ini terutama menyerang wanita usia

reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik

dan hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.

3.2.1 Etiologi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa

faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.

Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui

faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya SLE. Berikut ini beberapa

faktor predisposisi yang berperan :

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga

timbul

produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita

SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5%

anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,

risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang

memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan

pada populasi umum (Greenberg, 2008).

11

Page 13: Makalah Kasus Mayor

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu

(Alexis et al, 2013) :

1). Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa

reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur

maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali.

Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah

mengenali perintah dari sel T.

2). Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel tersebut akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel

B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi

imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.

3). Kelainan antibodi

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti

substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan

memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi

terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah

mengendap di jaringan.

12

Page 14: Makalah Kasus Mayor

3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya SLE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen

yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang

abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi

dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut

terdiri dari :

1). Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri dapat berperan dalam timbulnya

SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.

2). Paparan sinar ultra violet

Sinar ultraviolet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga

terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah

berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin

sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran

pembuluh darah.

3). Stres

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

13

Page 15: Makalah Kasus Mayor

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan

terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan

mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada

gangguan sejak awal.

4). Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat

menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid.

3.2.2 Gambaran Klinis dan Manifestasi Oral

Kriteria dari SLE menurut American College of Rheumatology (1999)

yaitu:

1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam dan penurunan berat badan.

5. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis.

6. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi

membran mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,

vaskulitis.

7. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

8. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

9. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru.

10. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

14

Page 16: Makalah Kasus Mayor

11. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,

hepatomegali)

12. Hematologi: anemia, leukopenia dan trombositopenia

13. Neuropsikiatri: psikosis, kejang dan mielitis transversus.

Gambar 3.1 Butterfly rash. (sumber:Jeffrey et al, 2007)

Sekitar 20-45% pasien SLE dilaporkan memiliki lesi oral. Beberapa

manifestasi oral yang dapat timbul pada pasien SLE, antara lain :

1). Serostomia

Serostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut.

Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa

kering terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Laju aliran saliva terlihat

menurun pada beberapa penderita SLE. Hal ini dapat dikaitkan pada penyakit

autoimun lain yaitu Sjogren’s Syndrome yang menyerang kelenjar saliva mayor.

Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat

pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat

15

Page 17: Makalah Kasus Mayor

terlihat adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig

G biasanya dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M

disintetis secara lokal dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G

diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian ini ditemukan pada 30% pasien lupus.

Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat disebabkan oleh penurunan

kuantitas saliva (Lourenco et al, 2007).

2). Lesi Ulserasi

Berdasarkan kriteria ACR 1999, ulser rongga mulut merupakan salah satu

kriteria untuk penegakan diagnosis SLE. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih dari

1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan halo eritema.

Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada

pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas

ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimptomatik dan bila semakin

parah akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman.

Gambar 3.2 Ulser oral pada pasien SLE (sumber: ACR, 1999)

16

Page 18: Makalah Kasus Mayor

Selain ulser, sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk

garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini

dapat dikatakan mirip dengan lichen planus. Hal ini disebabkan karena keduanya

merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang memiliki

gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser. Pada pemeriksaan

histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan lichen planus, yaitu terdapat

kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis dan atrofi

perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat

membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada

pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen

planus, yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh

darah, sementara pada lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut

(Langlais, 2012).

Gambar 3.3 Lesi ulserasi mirip lichen planus pada pasien SLE (sumber:Burket et al, 2003).

Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir,

seperti lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat

berupa vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam

17

Page 19: Makalah Kasus Mayor

vesikel akan pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat lapisan

berwarna kekuningan.

Gambar 3.4 Lesi Herpes Simplek (Scully, 2012)

3). Lesi Diskoid

Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian

tepi vermillion yang sering terkena sinar sinar matahari, sementara itu bibir bagian

atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang terdapat

pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lama kelamaan

berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik. Bila sisik diangkat, maka bibir akan

perih dan menimbulkan perdarahan (Langlais, 2012).

Gambar 3.5 Lesi diskoid pada bibir pasien SLE (Langlais, 2012).

18

Page 20: Makalah Kasus Mayor

Gambar 3.6 Lesi bibir bersisik dan merah pada pasien SLE (Langlais, 2012).

4). Lesi Mirip Lichen Planus

Pada pasien SLE dapat terlihat beberapa lesi mirip lichen planus, namun

tidak disertai ulserasi. Lesi terlihat berupa garis-garis atau papula-papula putih

halus berkilauan yang tersusun dalam satu jaringan mirip jala dan pada umumnya

tidak sakit. Lesi biasanya dapat terlihat pada pasien SLE berupa bercak-bercak

pada mukosa yang berwarna merah, tanpa disertai ulserasi. Striae sering terlihat di

tepi lesi. Dapat terlihat di pipi, lidah, gusi, dan palatum (Langlais, 2012).

Gambar 3.7 Lesi mirip lichen planus retikuler (Greenberg, 2008).

Gambar 3.8 Lesi mirip lichen planus atrofik (Greenberg, 2008).

5). Kandidiasis Oral

19

Page 21: Makalah Kasus Mayor

Kandidiasis pseudomembran akut (trush) merupakan suatu infeksi yang

disebabkan oleh jamur candida albicans superficial dan menjadi komplikasi yang

paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid

sistemik yang sering digunakan oleh pasien SLE. Secara klinis, trush terlihat

sebagai plak-plak putih, berkelompok, mempunyai tepi eritema dan jika dikerok

akan meninggalkan permukaan yang merah, kasar hingga berdarah (Langlais,

2012).

Gambar 3.9 Trush (Greenberg, 2008)

Gambar 3.10 Trush pada pasien SLE (Greenberg, 2008).

Kandidiasis hiperplastik kronis disebabkan oleh jamur Candida albicans

yang masuk melalui permukaan mukosa mulut dan menstimulasi respon

hiperplastik. Lesi paling sering timbul di daerah dorsum lidah, palatum dan sudut

bibir. Lesi tersebut mempunyai tepi menimbul yang tegas, permukaan putih

berbintil-bintil dengan beberapa daerah merah dan tidak dapat dikerok

(Greenberg, 2003).

20

Page 22: Makalah Kasus Mayor

Gambar 3.11 Kandidiasis hiperplatik kronis disudut mulut yang menyebar ke mukosa pipi (Langlais, 2012).

Penggunaan antibiotik spektrum luas terutama tetrasiklin, dapat

mengakibatkan kondisi mulut yang disebut kandidiasis atrofik akut. Infeksi ini

membuat daerah mukosa permukaan mengelupas dan tampak seperti bercak-

bercak merah difus. Sakit seperti terbakar adalah keluhan utama.

Gambar 3.12 Kandidiasis atrofik akut (Greenberg, 2008).

3.2.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan

agar tujuan terapi dapat tercapai. Terapi SLE diantaranya yaitu (Perhimpunan

Reumatologi Indonesia, 2011) :

1. Edukasi dan Konseling

21

Page 23: Makalah Kasus Mayor

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan

oleh pasien SLE dengan tujuan agar pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal

yang perlu diketahui pasien, antara lain perubahan fisik yang akan dialami,

perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti

melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika

terjadi infeksi dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,

displidemia atau terjadinya osteoporosis.

2. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh

pasien SLE antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi

dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik dan lain-lain.

3. Terapi Medikasi

Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID

(Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan

obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.

1). NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan

yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan

jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-

obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan

seperti mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.

2). Kortikosteroid

22

Page 24: Makalah Kasus Mayor

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam

pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai

tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit.

3.2.4 Diagnosis Banding

Terdapat beberapa diagnosis banding untuk penyakit SLE yaitu :

1. Rheumatoid arthritis (RA)

2. Rhupus

3. Mixed connective tissue disease (MCTD)

4. Undifferentiated connective tissue disease (UCTD)

5. Sistemik sclerosis (SSc)

6. Sindrom Sjögren

7. Vaskulitis

8. Sindrom Behcet

9. Dermatomiositis (DM) dan polymyositis (PM)

10. Adult Still’s disease (ASD)

11. Penyakit Kikuchi

12. Serum sickness

13. Fibromyalgia

14. Infeksi

15. Multiple sclerosis (MS)

16. Keganasan

17. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)

23

Page 25: Makalah Kasus Mayor

3.3 Keilitis Eksfoliatif

Keilitis eksfoliatif (exfoliative cheilitis) atau istilah bibir kering yang

sering disebut masyarakat awam merupakan kelainan pada bibir berupa

deskuamasi epitel pada batas bibir dengan kulit wajah (vermilion border)

(Greenberg, 2008). Keilitis eksfoliatif merupakan kelainan pada bibir yang cukup

jarang terjadi dan merupakan kondisi inflamasi superfisial yang kronis, yang

dikarakteristikan dengan pengelupasan lapisan keratin pada bibir.

3.3.1 Etiologi

Etiologinya tidak diketahui namun pada beberapa kasus dapat

berhubungan dengan kondisi psikis seperti stress dan depresi.

3.3.2 Gambaran Klinis

Gambaran klinisnya yaitu tampak pengelupasan, krusta dan eritem pada

bibir. Pada beberapa kasus dapat terjadi pada bibir atas maupun bibir bawah.

Gambar 3.13 Keilitis eksfoliatif (sumber: Bruch, 2010)

3.3.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Penggunaan topical petrolatum jelly (Vaseline) dan perbanyak asupan

cairan.

24

Page 26: Makalah Kasus Mayor

3.4 Dermatitis Seboroik

Dermatitis seboroik (D.S.) atau Seborrheic eczema merupakan penyakit

yang umum, kronik dan merupakan inflamasi superfisial dari kulit, ditandai oleh

pruritus, berminyak, bercak merah dengan berbagai ukuran dan bentuk yang

menutupi daerah inflamasi pada kulit kepala, muka dan telinga. Ketombe

berhubungan juga dengan dermatitis seboroik, tetapi tidak separah dermatitis

seboroik. Ada juga yang menganggap dermatitis seboroik sama dengan ketombe

(Kurniati, 2003).

Gambar 3.14 Gambaran dermatitis seboroik pada wajah (sumber : nationaleczema.org)

3.4.1 Etiologi

Penyebabnya belum diketahui pasti, hanya didapati aktivitas kelenjar

sebasea berlebihan. Faktor diduga sebagai penyebab penyakit ini yaitu (Collins &

Hivnor, 2012):

1. Iklim

2. Genetik

3. Lingkungan

4. Hormon

5. Neurologik

25

Page 27: Makalah Kasus Mayor

3.4.2 Gambaran klinis

1. Menurut usia (Kurniati, 2003):

1). Pada orang remaja dan dewasa

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak

kekuningan, batas agak kurang tegas. DS yang ringan hanya mengenai kulit

kepala berupa skuama-skuama yang halus, mulai sebagai bercak kecil yang

kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan

kasar yang disebut pitiriasis sika ( ketombe/dandruff). Bentuk yang berminyak

yang disebut pitiriasis steatoides yang dapat disertai eritema dan krusta-krusta

yang tebal.

2). Pada bayi

Terdapat tiga bentuk khas yang terjadi, yaitu secara klinis, cradle cap

muncul pada minggu ketiga sampai minggu keempat dua gambarannya berupa

eritema dengan skuama seperti lilin pada kulit kepala. Bagian frontal dan parietal

berminyak dan sering menjadi krusta yang menebal tanpa eritema. Skuama

dengan mudah dapat dihilangkan dengan sering menggunakan sampo yang

mengandung sulfur, asam salisil, atau keduanya (misalnya sampo Sebulex atau

sampo T-gel).

2. Menurut lokasi (Collins & Hivnor, 2012)

1). Seboroik kepala

Pada daerah berambut, dijumpai skuama yang berminyak dengan warna

kekuningan sehingga rambut terlihat lengket, kadang-kadang dijumpai krusta

26

Page 28: Makalah Kasus Mayor

yang disebut pitiriasis oleasa ( pityriasis steatoides ). Kadang-kadang skuamanya

kering dan berlapis-lapis dan sering lepas sendiri disebut pitiriasis sika

( ketombe ). Jenis seboroik ini menyebabkan rambut rontok sehingga terjadi

alopesia dan rasa gatal. Perluasan bisa sampai ke belakang telinga (retro

aurikularis). Bila meluas, lesinya dapat sampai ke dahi disebut korona seboroik.

2). Seboroik Muka

Pada daerah mulut, palpebra, sulkus nasolabial, dagu dan daerah wajah

lainnya. Terdapat makula eritem yang diatasnya dijumpai skuama berminyak

kekuning-kuningan. Bila sampai ke palpebra bisa terjadi blefaritis hal ini sering

terjadi pada wanita. Bila terdapat didaerah berambut, seperti dagu dan atas bibir

bisa terjadi folikulitis hal ini sering dijumpai pada laki-laki yang sering mencukur

janggut dan kumisnya. Seboroik muka didaerah jenggot disebut sikosis barbe.

3). Seboroik Badan dan Sela-sela

Jenis ini mengenai daerah presternal, interskapula, ketiak, inframamma,

umbilikus dan krural ( lipatan paha, perineum, nates ). Dijumpai ruam berbentuk

makula eritema dan pada permukaanya terdapat skuama berminyak kekuning-

kuningan. Pada daerah badan, lesinya bisa berbentuk seperti lingkaran dengan

penyembuhan sentral. Didaerah intertrigo, kadang-kadang bisa timbul fisura

sehingga menyebabkan infeksi sekunder.

3.4.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Penderita harus diberi tahu bahwa penyakit ini berlangsung kronik dan

sering kambuh. Harus hindari faktor pencetus seperti stres emosional, makanan

27

Page 29: Makalah Kasus Mayor

berlemak dan sebagainya (Collins & Hivnor, 2012). Berikut pengobatan yang bisa

dilakukan yaitu:

1. Pengobatan topikal

Digunakan sampo yang mengandung sulfur atau asam salisil dan selenium

sulfid 2 %, 2-3 kali seminggu selama 5-10 menit atau dapat diberikan sampo yang

mengandung sulfur, asam salisil, zing pirition 1-2 %.

2. Pengobatan sistemik

Dapat diberikan anti histamin ataupun sedatif. Pemberian dosis rendah dari

terapi oral bromida dapat membantu penyembuhan. Terapi oral yang

menggunakan dosis rendah dari preparat hemopoetik yang mengandung potasium

bromida, sodium bromida, nikel sulfat dan sodium klorida dapat memberikan

perubahan yang berarti dalam penyembuhan DS dan dandruff setelah penggunaan

setelah 10 minggu. Pada keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid

sistemik dengan dosis prednison 20-30 mg sehari. jika ada perbaikan, dosis

diturunkan perlahan-lahan. Kalau ada infeksi sekunder dapat diberikan

antibiotika.

3. Obat Alternatif

Terapi alami saat ini menjadi semakin populer. Tea tree oil (Melaleuca oil)

adalah minyak esensial yang berasal dari Australia. Terapi ini dapat efektif bila

digunakan setip hari dalam bentuk sampo 5 %.

3.5 Tuberkulosis

28

Page 30: Makalah Kasus Mayor

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit paru menular yang disebabkan oleh

basil tuberkel dan menyebar saat droplet aerosol yang mengandung bakteri aktif

terhirup individu yang rentan. Infeksi penyakit ini memiliki periode dorman yang

bergantian dengan periode reaktivasi selama beberapa tahun. Reaktivitas TB

individu terjadi pada saat mekanisme pertahanan tubuh menurun yang

diperkirakan 90% pada kasus dewasa (Depkes RI, 1997).

Dalam jangka yang panjang penderita TB ditandai dengan batuk yang

tidak sembuh lebih dari 2 minggu atau lebih, bersin dan dahak yang terkadang

disertai darah, dada terasa nyeri dan napas semakin berat, pembengkakan kelenjar

getah bening dileher, nyeri tulang ,gangguan pencernaan kronis serta sering mual

dan muntah.

3.5.1 Etiologi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

agen mikroba mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan

bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai bakteri Batang Tahan Asam

(BTA) (Kaur & Saxena, 2011). Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis

BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke

udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung bakteri

dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.

3.5.2 Gambaran Klinis dan Manifestasi Oral

29

Page 31: Makalah Kasus Mayor

Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan

berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah

batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak

nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan

demam meriang lebih dari sebulan.

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang paru-

paru namun juga memiliki kemampuan untuk menyerang hampir seluruh bagian

dari tubuh termasuk rongga mulut. Lesi TB rongga mulut, dapat berupa infeksi

primer dan sekunder dari infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Patogenesis

biasanya karena inokulasi sendiri melalui sputum yang terinfeksi tetapi dapat juga

terjadi melalui aliran darah. Inokulasi langsung sering melibatkan gingiva, soket

gigi dan lipatan bukal.

Ulkus merupakan suatu keadaan patologis yang menimbulkan kerusakan

seluruh lapisan epitel dan jaringan dibawahnya yang berwarna putih kekuningan

(Umar dkk, 2005). Ulkus dapat terjadi dimana saja di seluruh bagian dari tubuh

manusia. Lesi oral pada penderita TB jarang ditemui. Banyak penelitian yang

dilakukan tapi biasanya hanya menunjukkan prevalensi kurang dari 1% per

populasi sampel. Weaker (1995) melaporkan hanya 1–1,5% kasus TB paru dapat

melibatkan mukosa mulut, palatum, lidah, tonsil dan faring. Gambaran klinis lesi

ulkus TB rongga mulut umumnya : tidak berbatas jelas, terdapat granulasi pada

dasar lesi dan tidak selalu nyeri, bentuk lesi…..

30

Page 32: Makalah Kasus Mayor

Gambar 3.14 Ulkus pada pasien TB

3.5.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Tujuan perawatan TB yaitu untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis). Jenis OAT

terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan

Streptomisin (S). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar

penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada

tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama, tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persisten

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

3.6 Dehidrasi

Dehidrasi merupakan ketidakseimbangan cairan tubuh dikarenakan

pengeluaran cairan lebih besar daripada pemasukan (Almatsier, 2009). Dehidrasi

31

Page 33: Makalah Kasus Mayor

dapat terjadi tanpa disadari saat melakukan aktivitas dan juga karena cuaca panas

(D’anci et al., 2009).

3.6.1 Etiologi

Asupan cairan yang buruk, cairan keluar berlebihan, peningkatan

insensible water loss (IWL) atau kombinasi hal tersebut dapat menjadi penyebab

deplesi volume intravaskuler. Keberhasilan terapi membutuhkan identifikasi

penyakit yang mendasari kondisi dehidrasi.

Beberapa faktor patologis penyebab dehidrasi yang sering (Huang et al.

2014):

1. Gastroenteritis : Diare adalah etiologi paling sering. Pada diare yang

disertai muntah, dehidrasi akan semakin progresif.

2. Stomatitis dan faringitis : Rasa nyeri mulut dan tenggorokan dapat

membatasi asupan makanan dan minuman lewat mulut.

3. Ketoasidosis diabetes (KAD): KAD disebabkan karena adanya diuresis

osmotik. Berat badan turun akibat kehilangan cairan dan katabolisme

jaringan.

4. Demam: Demam dapat meningkatkan IWL dan menurunkan nafsu makan

Berdasarkan perbandingan jumlah natrium dengan jumlah air yang hilang,

dehidrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu (Modric, 2013):

32

Page 34: Makalah Kasus Mayor

1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipe ini merupakan yang paling sering

(80%). Pada dehidrasi isotonik kehilangan air sebanding dengan jumlah

natrium yang hilang dan biasanya tidak mengakibatkan cairan ekstrasel

berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar natrium dalam darah pada

dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L dan osmolaritas efektif serum 275-295

mOsm/L.

2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik). Natrium hilang lebih banyak daripada

air. Penderita dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar

natrium serum (kurang dari 135 mmol/L) dan osmolalitas efektif serum

(kurang dari 270 mOsml/L). Karena kadar natrium rendah, cairan

intravaskuler berpindah ke ruang ekstravaskuler, sehingga terjadi deplesi

cairan intravaskuler.

3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik). Hilangnya air lebih banyak daripada

natrium. Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium

serum (lebih dari 145 mmol/L) dan peningkatan osmolalitas efektif serum

(lebih dari 295 mOsm/L). Karena kadar natrium serum tinggi, terjadi

pergeseran air dari ruang ekstravaskuler ke ruang intravaskuler. Untuk

mengkompensasi, sel akan merangsang partikel aktif (idiogenik osmol)

yang akan menarik air kembali ke sel dan mempertahankan volume cairan

dalam sel. Saat terjadi rehidrasi cepat untuk mengoreksi kondisi

hipernatremia, peningkatan aktivitas osmotik sel tersebut akan

menyebabkan influks cairan berlebihan yang dapat menyebabkan

pembengkakan dan ruptur sel, edema serebral adalah konsekuensi yang

33

Page 35: Makalah Kasus Mayor

paling fatal. Rehidrasi secara perlahan dalam lebih dari 48 jam dapat

meminimalkan risiko ini.

3.6.2 Gambaran Klinis dan Manifestasi Oral

Berdasarkan persentase kehilangan air dari total berat badan, derajat atau

skala dehidrasi dapat ringan, sedang, hingga derajat berat (Modric, 2013). Derajat

dehidrasi berbeda antara usia bayi dan anak jika dibandingkan usia dewasa. Bayi

dan anak (terutama balita) lebih rentan mengalami dehidrasi karena komposisi air

di tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih bergantung pada

orang lain untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuhnya, selain itu penurunan berat

badan juga relatif lebih besar. Pada anak yang lebih tua, tanda dehidrasi lebih

cepat terlihat dibandingkan bayi karena kadar cairan ekstrasel lebih rendah.

Tabel 3.1 Tanda klinis dehidrasi

Tanda klinis Ringan Sedang Berat

Defisit cairan 3-5% 6-8% >10%

Hemodinamik Takikardi

Nadi lemah

Takikardi

Nadi sangat lemah

Volume kolaps

Hipotensi ortostatik

Takikardi

Nadi tak teraba

Akral dingin,sianosi

Jaringan Lidah kering

Turgor turun

Lidah keriput

Turgor kurang

Atonia

Turgor buruk

Urin Pekat Jumlah turun Oliguria

SSP Mengantuk Apatis Koma

Manifestasi oral yang timbul akibat dehidrasi yaitu keilitis eksfoliatif

(exfoliative cheilitis). Keilitis eksfoliatif (exfoliative cheilitis) atau istilah bibir

34

Page 36: Makalah Kasus Mayor

kering yang sering disebut masyarakat awam merupakan kelainan pada bibir

berupa deskuamasi epitel pada batas bibir dengan kulit wajah (vermilion border)

(Greenberg, 2003).

Gambar 3.15 Keilitis eksfoliatif (sumber: Bruch, 2010 )

3.6.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti

cairan yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga

keseimbangan hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat

dehidrasi, penanganan juga ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas pasien.

Disarankan memberikan makanan tergolong karbohidrat kompleks, buah, sayur

dan daging rendah lemak.

Dehidrasi derajat ringan-sedang dapat diatasi dengan efektif melalui

pemberian cairan ORS (oral rehydration solution) untuk mengembalikan volume

intravaskuler dan mengoreksi asidosis (Bellemare et al, 2004). Selama terjadi

gastroenteritis, mukosa usus tetap mempertahankan kemampuan absorbsinya.

Kandungan natrium dan sodium dalam proporsi tepat dapat secara pasif

dihantarkan melalui cairan dari lumen usus ke dalam sirkulasi. Jenis ORS yang

diterima sebagai cairan rehidrasi adalah dengan kandungan glukosa 2-3 g/dL,

35

Page 37: Makalah Kasus Mayor

natrium 45-90 mEq/L, basa 30mEq/L, kalium 20-25 mEq/L, dan osmolalitas 200-

310 mOsm/L.

Pada dehidrasi berat dibutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi rehidrasi

intraven. Penyebab dehidrasi harus digali dan ditangani dengan baik. Penanganan

kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap. Tahap Pertama berfokus untuk mengatasi

kedaruratan dehidrasi yaitu syok hipovolemia yang membutuhkan penanganan

cepat. Pada tahap ini dapat diberikan cairan kristaloid isotonik, seperti ringer

lactate (RL) atau NaCl 0,9% sebesar 20 mL/kgBB.

Tahap Kedua berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan

pemeliharaan dan penggantian kehilangan yang masih berlangsung. Kebutuhan

cairan pemeliharaan diukur dari jumlah kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah

IWL. Jumlah IWL adalah antara 400-500 mL/m2 luas permukaan tubuh dan dapat

meningkat pada kondisi demam dan takipnea. Secara kasar kebutuhan cairan

berdasarkan berat badan adalah:

1. Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB

2. Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/ kgBB untuk setiap kilogram berat

badan di atas 10 kg.

3. Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/ kgBB untuk setiap kilogram berat

badan di atas 20 kg.

3.7 Anemia

Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar

hemoglobin atau hematokrit di bawah normal (Brunner & Suddarth, 2000).

36

Page 38: Makalah Kasus Mayor

Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya satu atau lebih parameter sel darah

merah seperti konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah.

Menurut kriteria WHO anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g/dl pada

pria dan di bawah 12 g/dl pada wanita.

3.7.1 Etiologi

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya anemia tergantung jenis

anemia yang diderita seperti anemia defisiensi zat besi, defisiensi vitamin C,

makrositik (defisiensi vitamin B12), hemolitik (keturunan atau karena penyakit

sistemik), anemia sel sabit (keturunan) dan anemia aplastik (terganggunya

sumsum tulang tempat pembuatan sel-sel darah) (Soebroto, 2010). Penyebab lain

anemia yaitu :

1. Diet yang tidak mencukupi.

2. Absorbsi yang menurun.

3. Kebutuhan yang meningkat pada kehamilan.

4. Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi, donor darah.

5. Hemoglobinuria.

6. Penyimpangan besi yang berkurang, seperti pada hemosiderosis paru.

3.7.2 Gambaran Klinis dan Manifestasi Oral

Gejala yang sering terjadi pada penderita anemia diantaranya (Soebroto,

2010):

1. Lemah, letih, lesu, mudah lelah dan lunglai.

37

Page 39: Makalah Kasus Mayor

2. Wajah tampak pucat

3. Nafsu makan berkurang

4. Sulit berkonsentrasi dan mudah lupa.

Manifestasi oral pada pasien dengan anemia yaitu mukosa yang pucat

(pallor), atrofik glositis dan kandidiasis. Atrofik glositis tampak seperti lidah yang

botak disebabkan oleh atrofi papila lidah. atrofik glositis temuan yang nonspesifik

yang berhubungan dengan anemia defisiensi besi, anemia pernisiosa / kekurangan

vitamin B kompleks dan berbagai kondisi lain. Timbul pula adanya eritem pada

lidah, rasa terbakar, nyeri dan konsistensi yang lunak (Neville et al, 2009).

Kandidiasis kemungkinan penyebab alternatif dari eritema, rasa terbakar

dan atrofi. Selain itu, beberapa pasien bisa mengalami cheilitis angularis (infeksi

bibir yang disebabkan oleh Candida albicans atau Staphylococcus aureus) yang

muncul sebagai eritema, adanya fissure dan krusta pada sudut mulut.

Gambar 3.16 Atrophic glossitis pada pasien dengan anemia perniosa (sumber : www.aafp.orf/afp)

3.7.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Menurut Engram (1999), penatalaksanaan pada pasien dengan anemia

yaitu :

38

Page 40: Makalah Kasus Mayor

1. Memperbaiki penyebab dasar.

2. Suplemen nutrisi (vitamin B12, asam folat, besi).

3. Transfusi darah.

3.8 Malnutrisi

Malnutrisi adalah kondisi tubuh yang mengalami kekurangan nutrisi atau

status gizi yang dimiliki berada di bawah standar rata-rata (WHO, 2007). Nutrisi

yang dibutuhkan manusia yaitu makronutrisi (karbohidrat, protein dan lemak) dan

mikronutrisi (vitamin dan mineral).

3.8.1 Etiologi

Etiologi malnutrisi dapat bersifat primer dan sekunder (Alpers, 2006) :

1. Malnutrisi bersifat primer

Apabila kebutuhan individu yang sehat akan protein, energi atau keduanya

tidak dipenuhi dengan makanan yang adekuat. Kekurangan kalori umumnya

dikaitkan dengan keadaan-keadaan perang, kekacauan sosial, kemiskinan,

penyakit infeksi dan ketidakseimbangan distribusi makanan.

2. Malnutrisi bersifat sekunder

Akibat adanya penyakit yang dapat menyebabkan asupan suboptimal,

gangguan penyerapan atau peningkatan kebutuhan karena terjadi kehilangan

nutrien atau keadaan stres.

3.8.2 Gambaran Klinis dan Manifestasi Oral

39

Page 41: Makalah Kasus Mayor

Gejala klinis terjadinya malnutrisi yaitu :

1. Badan kurus

2. Lemah lesu

3. Selera makan kurang

4. Gangguan pertumbuhan dan gangguan kecerdasan

Manifestasi oral yang timbul sebagai akibat kekurangan nutrisi dapat

dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.2 Manifestasi oral defisiensi mikronutrisi (WHO, 2007).

Defisiensi nutrisi Manifestasi oral

Vitamin AGingivitis

PeriodontitisHiperplasia gingiva

Tiamin/ Vitamin B1Bibir retak

Gambaran satin lidah dan gingivaAngular cheilosis

Vitamin B2/RiboflavinNiasin

Inflamasi lidahFiery red inflammation of the tongue

Angular cheilosisGingivitis ulseratif

Vitamin B6

KariesPenyakit periodontal

Anemia Sore tongue

Burning sensation di rongga mulut.

Vitamin B12

Angular cheilosis Halitosis Bone loss

Hemorrhagic gingivitis Detachment of periodontal fibers

Painful ulcers in the mouth

Vitamin CPerdarahan gingiva

Kegoyanga gigi Delayed wound healing

40

Page 42: Makalah Kasus Mayor

Vitamin DHipoplasia enamel

Absence of lamina dura Abnormal alveolar bone patterns

IronLidah yang sangat sakit dan merah dengan sensasi terbakar

Disfagia Angular cheilosis

3.8.3 Terapi dan Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien malnutrisi yaitu berupa terapi

makanan yang mengandung banyak protein bernilai tingi, banyak cairan, cukup

vitamin dan mineral (Ngastiyah, 2005).

41

Page 43: Makalah Kasus Mayor

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesa serta pemeriksaan-pemeriksaan yang telah

dilakukan, diagnosis yang didapatkan yaitu Lupus Eritematosus Sistemik/

Systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit tersebut merupakan kondisi

inflamasi yang berhubungan dengan sistem imun yang dapat menyebabkan

kerusakan multi organ (Anna et al, 2013). Etiologi dari penyakit ini masih belum

jelas namun beberapa faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis

terjadinya penyakit ini. Beberapa faktor predisposisi tersebut yaitu faktor genetik,

imunologi, hormonal dan lingkungan (Greenberg, 2008; Alexis et al, 2013).

Pada pemeriksaan ekstra oral tampak jelas terdapat gambaran keropeng

yang membentuk seperti kupu-kupu (malar rash) pada wajah pasien dimana

menurut American College of Rheumatology (ARA) gambaran tersebut

merupakan salah satu gejala klinis dari penyakit SLE. Pada pemeriksaan ekstra

oral, tampak pula pada mata pasien menunjukkan konjungtiva yang anemis.

Terdapat berbagai manifestasi oral yang dapat muncul pada pasien SLE,

namun pada pasien dalam kasus ini manifestasi oral SLE tidak ditemukan, ini

42

Page 44: Makalah Kasus Mayor

terjadi karena menurut Tan et al (1982) hanya sekitar 20-45% pasien SLE yang

memiliki lesi oral. Pada pemeriksaan intra oral hasil yang didapatkan yaitu oral

hygiene pasien buruk disertai plak dan kalkulus di seluruh region sehingga

menyebabkan gingiva pasien mengalami oedem serta perdarahan spontan

(gingivitis), adanya cheek biting dan ulkus traumatikus pada mukosa bukal region

gigi 36-37. Bibir pasien yang kering terjadi karena pasien mengalami dehidrasi.

Perlunya banyak ahli untuk menangani kasus SLE sehingga pada pasien

ini rujukan diperlukan ke beberapa bagian diantaranya yaitu bagian kulit kelamin,

gizi dan rheumatologi. Terdapat dua terapi yang diberikan pada pasien dalam

kasus ini yaitu terapi umum dan khusus. Pada terapi umum dokter yang

menangani menerangkan kepada pasien dan keluarga mengenai kemungkinan

penyakit dan pengobatan serta perlu menghitung masuk dan keluarnya cairan pada

pasien. Untuk terapi khususnya yaitu pasien disarankan untuk Bedrest, diet nasi

1000 kkal/hr, protein 35 gr/hr, karbohidrat 430 kkal = 107,5 gr/hr, lemak 430 kkal

= 48 gr/hr, pemasangan infus NaCl 0,9% : 0,5%, 1:1 = 2000 cc/24 jam, pemberian

B kompleks 3x1 tablet per oral dan rencana RHEZ, pungsi (USG, pro diagnosa).

43

Page 45: Makalah Kasus Mayor

BAB V

KESIMPULAN

Pasien pada kasus ini di diagnosa mengalami Lupus Eritematosus

Sistemik/ Systemic Lupus Erythematosus (SLE) disertai tuberkulosis paru,

dehidrasi dan anemia. Pada pasien ini tidak terdapat manifestasi oral dari penyakit

SLE namun perlu adanya tindakan preventif mengenai praktik kebersihan mulut

untuk meminimalisir timbulnya lesi oral pada pasien karena pasien memiliki oral

hygiene yang buruk.

44

Page 46: Makalah Kasus Mayor

DAFTAR PUSTAKA

Alexis FA, Barbosa HV. Skin of Color : A practical guide to dermatologic diagnosis and treatment. New York: Springer Science, 2013

American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum. 1999.

Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus. 2013 : http://www.aafp.org

Bellemare S, Hartling L, Wiebe N, Russel K, Craig WR, McConnell D, et al. Oral rehydration versus intravenous therapy for treating dehydration due to gastroenteritis in children: A metaanalysis of randomised controlled trials. BMC Med. 2004.

Bertsias G, Ricard Cervera, Dimitrios T Boumpas. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis and Clinical Features. 2013 :http://www.eular.org/edu_textbook.cfm.

Bruch JM, Theister NS. Clinical oral medicine and pathology. New York: Springer. 2010.

Burket, Lester William, Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A. Ship. 2003. Burkett’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment 10th edition. Ontario: BC Decker Inc.

Collins CD, Hivnor C. Seborrheic dermatitis. Dalam : Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. Editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York. McGraw.Hill Companies;2012.

Depkes RI. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Jakarta: Dirjen P2M dan PLP; 1997.

Gayford JJ. Clinical oral medicine: Penyakit mulut. Alih Bahasa. Yuwono Lilian. Jakarta: EGC, 1993

Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc. 2008.

45

Page 47: Makalah Kasus Mayor

Hom G, Graham RR, Modrek B, Taylor KE, Ortmann W, Garnier S, et al. Association of Systemic Lupus Erythematosus with C8orf13-BLK and ITGAM-ITGAX. N Engl J Med 2008.

Huang LH, Anchala KR, Ellsbury DL, George CS. Dehydration [Internet]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/906999.

Jeffrey P. Harris, Michael H. Weisman. Head and Neck Manifestations of Systemic Disease. New York : Informa Healthcare USA. 2007.

Kaur M, Saxena S. Oral Tuberculosis as Primary Manifestation: Report of four cases. Journal of Oral Health & Research. 2011.

Kurniati DD. Dermatitis seboroik: Gambaran klinis. Dalam: Tjarta A, Sularsito SA, Kurniati DD, Rihatmaja R. Editor. Metode Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis dan Dermatitis Seboroik. Jakarta. Balai Penerbit FK UI; 2003

Langlais PR, Miller SC. Atlas berwarna kelainan rongga mulut yang lazim.Alih Bahasa. Budi Susetyo. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2012.

Lourenco SV, Fabio C, et al. Lupus erythematosus: Clinical and histopathological study of oral manifestations and immunohistochemical profile of the inflammatory infiltrate. J Cutan Pathol. 2007.

Lupus Foundation of America. Available from : http://www.lupus.org/answers/entry/forms-of-lupus diakses pada tgl 4 Desember 2015.

Modric J. Dehydration types: Pathophysiology, lab test and values. eHealthstar [Internet]. Available from: http://www.ehealthstar.com/dehydration/types-pathophysiology.

Neville BW, Damm DD, Allen CM, Bouquot JE. Pernicious anemia. In: Oral and Maxillofacial Pathology. 3rd ed. St. Louis, Mo.: Saunders Elsevier; 2009.

Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupuseritematosus sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011.

Rheumatology Image Bank. Butterfly Rush. http://images.rheumatology.org/login.php?referer=/viewphoto.phpdanparams=/imageId/2862550/albumId/75693/j/1.

Scully C, Cawson RA. Atlas bantu kedokteran gigi: Penyakit Mulut. Alih Bahasa: Yuwono L. Jakarta: Hipokrates. 2012.

Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia. Lippincott William dan Wilkins; 2007

46

Page 48: Makalah Kasus Mayor

Umar,Basri, Ratih Dkk PHARMACEUTICAL CARE UNTUK PENYAKIT TUBERKULOSIS. Direktorat bina farmasi komunitas dan klinik Direktorat jenderal Bina kefarmasian dan alat kesehatan Departemen kesehatan RI; 2005.bbgnm.

Waluyo S, Putra MB. 100 question & answers lupus. Jakarta: Gramedia, 2012

Web Md. Lupus Health Center. http://lupus.webmd.com/.

WHO. Malnutrition The Global Picture.World Health Organization.2007.

47