makalah jurnal 2 uu.docx
-
Upload
putri-nur-handayani -
Category
Documents
-
view
183 -
download
1
Transcript of makalah jurnal 2 uu.docx
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjul
Etika dalam Penelitian Klinis : Apakah Etika Terlibat ke dalam Studi Farmasi Di Eropa?
Makalah ini disusun bertujuan untuk memenuhi tugas Etika dan Perundang-undangan
dibidang Farmasi.
Salawat dan salam disampaikan kepada junjungan alam nabi muhammad SAW.
Makalah ini ditulis sebagai upaya untuk memberi pengetahuan kepada pembaca tentang kode
etik pada penelitian klinis.dan untuk mengetahui bagaiman peran etika dalam studi farmasi
di Eropa.
Penulis menyadari sepenuhnya , bahwa dalam penyelesaian makalah ini tidak terlepas
dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada Dr. Delina Hasan, Mkes, Apt, selaku dosen Etika dan
Perundang-undangan dibidang Farmasi, yang telah memberikan kesempatan serta arahan
selama pendidikan dan penulisan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan tentang kode etik
pada farmasi menjadi pedoman bagi apoteker serta teknisi farmasi dalam berperilaku atau
beretika.
Tangerang, oktober 2013
1 November 2013
Putri Nur Handayani
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. 1
DAFTAR ISI .............................................................................................. 2
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................... 3
I.1 Latar Belakang ........................................................................... 3
I.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 4
I.3 Perumusan Masalah ..................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5
BAB III METODELOGI PENELITIAN ………………......................... 9
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 10
IV.1 Hasil........................................................................... 10
IV.2 Pembahasan ..................................................................... 11
BAB V KESIMPULAN .............................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 15
LAMPIRAN JURNAL ....................................................................... 16
2
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Salah satu pertanyaan utama dalam bidang pengobatan saat ini adalah etika dan
keterlibatannya secara maksimum dalam profesi medis. Tidak adanya etika menjadi
sangat penting dalam hubungan masyarakat dan profesional. Terlepas dari kenyataan
bahwa profesi farmasi dipisahkan dari profesi medis di abad ke-13 oleh kaisar
Frederic II, terlibatnya etika dalam studi farmasi hanya dalam jumlah minimum.
Apoteker farmasi memiliki peran penting dan bertanggung jawab dalam
pelayanan kesehatan dan perawatan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Untuk
menjalani kewajiban dan peran tersebut apoteker harus mendapatkan kepercayaan
dari pasien dan masyarakat. Dalam mendapatkan kepercayaan dari pasien ,
masyarakat, dan professional kesehatan lainnya, apoteker harus kompeten dan
professional dalam semua hal yang mereka lakukan tidak hanya dalam pelayanan.
Sebagai profesional, apoteker ditantang dan diharapkan untuk mematuhi standar yang
berpedoman pada etik. Etika mencerminkan jiwa setiap profesi . perilaku etis yang
konsisten menciptakan citra yang positif dari setiap individu terhadap profesinya.
Sebaliknya, praktek-praktek tidak etis dan keputusan terkadang membuat sebuah citra
negatif sehingga mengurangi kepercayaan dan meningkatan kecurigaan profesi
farmasi.
Etika sangat diperlukan dalam bidang profesi khususnya farmasi karena etika
berfungsi sebagai alat pengendalian diri bagi apoteker. Profesi apoteker (farmasis)
dilapangan pekerjaannya sering kali berhadapan dengan situasi yang menyangkut
aspek legal (doing right) seperti telah diuraikan diatas, maupun aspek etis (knowing
wrong) yang kadang menimbulkan dilema moral karena itu etika tetap bagian penting
dari profesi farmasi dan penting keterlibatannya dalam studi farmasi. Kode Etik bagi
mahasiswa farmasi dengan tujuh prinsip akan menjadi bagian dari persiapan etika
apoteker masa depan di Eropa.
3
I.2. Rumusan masalah
1. Mengapa kode etika penting bagi profesi farmasi?
2. Bagaimana peran etika dalam penelitian klinis di Eropa?
3. Bagaimana prinsip – prinsip kode etik menurut Amerika dan contrary to British
Code of Ethics?
I.3. Tujuan
1 Apoteker dan pelajar dibidang farmasi dapat mengetahui makna Etika?
2 Apoteker dan pelajar dibidang farmasi dapat mengetahui pentingnya studi Kode
Etik dalam program pendidikan farmasi ?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Tinjaun Pustaka
Farmasi (bidang kefarmasian) adalah suatu profesi yang concerns, commits, dan
competents tentang obat. Dari definisi tersebut muncul istilah profesi, yaitu suatu
pekerjaan (occupation) yang menunjukkan karakter specialised knowledge dan
diperoleh melalui academic preparation (Wertheimer dan Smith, 1989).
Berdasarkan undang-undang, farmasi merupakan profesi di bidang kesehatan yang
bertanggung jawab atas kualitas (quality assurance) obat dan penggunaan kliniknya.
Selanjutnya farmasi, secara fundamental dan profesional, menyelenggarakan
pelayanan tentang keamanan dan penggunaan obat yang tepat/benar (safe and
appropriate/rational use of drugs) untuk mencapai tujuan fundamental, yaitu
peningkatan kesehatan. Dengan demikian, farmasi harus mengandung makna profesi
yang memiliki sikap kepemimpinan (leadership) yang karakteristik (Brown, 1992).
The American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) mendefinisikan farmasi
sebagai ”Suatu sistem pengetahuan (knowledge system) yang merupakan bagian dari
pelayanan kesehatan (health service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan
farmasi secara lengkap, yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat,
atau tujuan pemakaian obat. Pada ekspose perkembangan ilmu kesehatan oleh
ISFI/IDI di Jakarta bulan Maret 1986 (Wattimena, 1986) oleh suatu Tim dari Institut
Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi farmasi sebagai berikut : “Farmasi
pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi, dan sosial budaya)
yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan
dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan, dan mengembangkan
pengetahuan tentang obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek
dan pengaruh obat pada manusia dan hewan.”
5
Pengertian profesi dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu (Wertheimer dan
Smith, 1989) :
1) Statutory Profession, berdasarkan legislative act, profesi yang didasarkan atas
undang-undang.
2) Learned Profession, merupakan out-put suatu pendidikan tinggi dengan proses
belajar-mengajar yang membutuhkan waktu relatif panjang, berkesinambungan,
dan karakteristik, dengan bercirikan:
Fakultas farmasi mengajarkan antara lain physical pharmacy, medicinal
chemistry, pharmacognosy, pharmaceutical chemistry, pharmaceutical technology,
phytochemistry, pharmacokinetics and biopharmaceutics, dan clinical pharmacy,
yang kesemuanya bersifat khas dan tidak umum. Hal ini merupakan salah satu bukti
kuat bahwa farmasi adalah suatu profesi (Sudjaswadi, 2001).
Adanya confidential relationship dalam pengabdiannya, contoh nyata dalam hal
ini adalah resep dokter yang secara undang-undang maupun kode etik harus
dirahasiakan, master formula suatu sediaan, demikian pula obat, meskipun informasi
penggunaannya harus disampaikan dengan jelas agar diperoleh hasil optimal, namun
khasiat obat (mekanisme kerja obat) tidak perlu diterangkan. Kenyataan tersebut
memperkuat bukti bahwa farmasi merupakan learned profession (Sudjaswadi, 2001).
Academic preparation harus diselenggarakan, karena merupakan proses
pembentukan profesi (farmasi) yang mampu menunjukkan sikap profesional, yaitu
sikap khusus yang mengutamakan sisi intelektual daripada ketrampilan sehingga akan
memperoleh status dan penghargaan tertentu. Selanjutnya sikap yang bersangkutan
berkembang dalam lindungan kode etik, menyebabkan profesi (farmasi) bersifat
altruistic dan esoteric (Sudjaswadi, 2001).
Menurut referensi Amerika, lama pendidikan tinggi farmasi mirip dengan
pendidikan tinggi dokter, dokter gigi, dokter hewan, dokter spesialis mata, yaitu
terbagi atas 2 bagian pokok, pendidikan pre-professional kurang lebih 2 tahun (3
tahun untuk pendidikan dokter), dan pendidikan professional dengan jangka waktu 4
tahun (Wertheimer dan Smith, 1989). Sementara itu di negara-negara lain, pendidikan
6
dokter selama 5 tahun, pendidikan farmasi 4 – 5 tahun (Anonim, 1993). Dengan
demikian, farmasis yang merupakan lulusan pendidikan tinggi telah siap dan mandiri
untuk pengabdian profesi dan pengembangan kualitas, mengingat 2 keahlian dasar
pertama dikuasai berdasar penelitian (research base learning), sedangkan 2
kemampuan dasar terakhir diperoleh berdasar sistem pelayanan (care/services base
learning) (Sudjaswadi, 2001).
Berdasarkan hasil kongres WHO di New Delhi (1988), maka pada tahun 1990
badan dunia di bidang kesehatan tersebut mengakui/merekomendasi/menetapkan
kemampuan untuk diserahi tanggung jawab kepada farmasis yang secara garis besar
adalah sebagai berikut (Anonim, 1990) :
1) Memahami prinsip-prinsip jaminan mutu (quality assurance) obat sehingga dapat
mempertanggung jawabkan dan fungsi kontrol.
2) Menguasai masalah-masalah jalur distribusi obat (dan pengawasannya), serta
paham prinsip-prinsip penyediaannya.
3) Mengenal dengan baik struktur harga obat (sediaan obat).
4) Mengelola informasi obat dan siap melaksanakan pelayanan informasi.
5) Mampu memberi advice yang informatif kepada pasien tentang penyakit ringan
(minor illnesses), dan tidak jarang kepada pasien dengan penyakit kronik yang
telah ditentukan dengan jelas pengobatannya.
6) Mampu menjaga keharmonisan hubungan antara fungsi pelayanan medik dengan
pelayanan farmasi.
WHO juga merekomendasikan bidang pekerjaan untuk farmasis, yang katagorinya
dapat disampaikan sebagai berikut (Anonim, 1990) :
a) Apotik dan rumah sakit (community and hospital pharmacy).
b) Spesialis dalam aspek-aspek ilmiah kefarmasian .
c) Industri farmasi, sebagai manager sub sistem, pengelola teknologi, dan penelitian.
d) Pendidikan, pengelolaan, dan administrator sistem-sistem dan pelayanan
kefarmasian.
Pendidikan tinggi Farmasi mengajarkan etika berdasarkan kode etik dan undang-
undang yang diakui negara dan pemerintah setempat, bukti tersebut diperkuat dengan
7
fenomena pengangkatan sumpah saat selesai pendidikan dan siap bekerja mengabdi
pada profesi (Sudjaswadi, 2001).
Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya sejak masa
Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani pada abad ke-5 SM. Dari Hippocrates
muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli pengobatan membuat janji di
depan masyarakat bahwa mereka akan menempatkan kepentingan pasien mereka di
atas kepentingan mereka sendiri (Williams, 2005).
Etika berasal dari bahasa yunani kuno. Kata yunani ethos mepunyai banyak arti,
yaitu : tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak;
watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak artinya adalah adat
kebiasaan. Sehingga etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan (Bertens, 1993).
Secara sederhana etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap
moral secara sistematik dan hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan
perilaku baik pada masa lampau, sekarang atau masa mendatang. Moralitas
merupakan dimensi nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia.
Bahasa moralitas termasuk kata-kata seperti ’hak’, ’tanggung jawab’, dan ’kebaikan’
dan sifat seperti ’baik’ dan ’buruk’ (atau ’jahat’), ’benar’ dan ’salah’, ’sesuai’ dan
’tidak sesuai’. Menurut dimensi ini, etika terutama adalah bagaimana mengetahuinya
(knowing), sedangkan moralitas adalah bagaimana melakukannya (doing). Hubungan
keduanya adalah bahwa etika mencoba memberikan kriteria rasional bagi orang untuk
menentukan keputusan atau bertindak dengan suatu cara diantara pilihan cara yang
lain (Williams, 2005). Oleh karena itu, mempelajari etika akan menyiapkan
mahasiswa farmasi untuk mengenali situasi-situasi yang sulit dan melaluinya dengan
cara yang benar sesuai prinsip dan rasional. Etika juga penting dalam hubungan
apoteker dengan masyarakat dan kolega mereka dan dalam melakukan penelitian
maupun pelayanan kesehatan (Sudjaswadi, 2001).
8
BAB III
METODELOGI
III.1. Metodologi
`Sepanjang tahun terakhir beberapa tantangan tentang etika dalam studi farmasi
telah stabil. Isu-isu ini telah membentuk hubungan masa depan anatara apoteker dan
pasien.Sayangnya artikel yang mendedikasikan perhatian mereka dengan etika dalam
farmasi tidak mencapai jumlah 50 setiap tahun, namun artikel dengan etika
kedokteran mencapai jumlah 2000. Angka 1 dan 2 menggambarkan artikel dan
penelitian yang berfokus pada etika dalam bidang kedokteran dan di bidang farmasi.
Metodologi yang kami lakukan dengan meneliti 31 fakultas farmasi disekitar Uni
Eropa melalui halaman web mereka dan menganalisis apakah etika dimasukkan ke
dalam struktur studi farmasi.
9
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
VI.1. Hasil
Kami telah meneliti 31 fakultas farmasi disekitar Uni Eropa melalui halaman web
mereka dan menganalisis bahwa etika dimasukkan ke dalam struktur studi farmasi
(lihat Lampiran 1). Etika yang diajarkan dalam program studi sebesar 45%. Dan hal
ini merupakan sebagian besar dari bagian silabus Program Magister (Republik Ceko,
Estonia, dan Portugal) atau Program Bachelor (Slowakia).
Kewajiban mempelajari etika (sebagai subjek tunggal atau kombinasi dengan
hukum) pada program studi diidentifikasi dalam 67% dan program studi pilihan yang
juga meliputi pendekatan etika dicapai dalam 20%. Kami belum berhasil menemukan
rencana pembelajaran penuh di 13% dari rencana studi tetapi kita tidak bisa
mengecualikan beberapa masalah etika menjadi bagian dari subjek wajib atau pilihan
lainnya. Ada pendekatan pemersatu yang dihilangkan dalam mengajarkan etika di
universitas-universitas Eropa. Kode Etik bagi siswa farmasi dapat dengan mudah
ditemukan di halaman web universitas mereka, yang menurut kami bisa diambil
sebagai pengetahuan dasar etika untuk semua mahasiswa farmasi di seluruh negara-
negara Eropa dan dan yang terlibatdalam silabus studi wajib.
10
VI.2. Pembahasan
Studi farmasi mempersiapkan siswa untuk masuki ke dunia profesi. Farmasi
merupakan salah satu profesi pelayanan kesehatan yang terdaftar dan memiliki hak
istimewa dan tanggung jawab. Mahasiswa farmasi harus menyatakan ia mampu
melaksanakan hak-hak istimewa dan dapat bertanggung jawab. Ini berarti ia harus
memilki perilaku yang baik setiap saat. Menurut Royal Pharmaceutical Society of
Great Britain, Kode Etik untuk mahasiswa farmasi (Code of Conduct) berlaku sejak
hari pertama ia lulus. Kode Etik berlaku baik masih berada sebagai pelajar di
universitas maupun tidak. Farmasis perlu ingat bahwa setiap kali dia berada, dia
mewakili profesi farmasi dan universitasnya.
Kode Etik telah disahkan oleh Dewan Universitas Kepala Farmasi (CCPS,2010)
dan Himpunan Mahasiswa Farmasi Inggris'. Hal ini didasarkan pada tujuh prinsip,
etika dan kinerja. Pada baris berikut ini kita akan mengekspos prinsip-prinsip dalam
penelitian farmasi. Ini akan membantu siswa mengembangkan pemahaman tentang
apa itu apoteker.
Kode Etik terdiri dari tujuh prinsip:
1. Membuat pasien menjadi perhatian pertamanya.
2. Menggunakan pertimbangan profesional pada kepentingan pasien dan masyarakat.
3. Menghormati orang lain.
4. Mendorong pasien dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan tentang perawatan kesehatan mereka.
5. Mengembangkan pengetahuan profesionalnya dan kompetensi.
6. Bersikap jujur dan dapat dipercaya.
7. Bertanggung jawab dalam praktek kerjanya (CCPS, 2010).
The Royal Pharmaceutical Society of Great Britain mengatur prinsip-prinsip yang
harus dipenuhi oleh apoteker dan apoteker juga dituntut untuk memenuhi
kewajibannya sebagai apoteker profesional dan farmasi teknisi. Kode Etik apoteker
11
dan teknisi farmasi membawa kewajiban dan hak istimewa. Hal ini membuat apoteker
perlu untuk :
Mengembangkan dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan profesional
mereka untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan pelayanan profesional
mereka
Menjaga hubungan profesional yang baik dengan orang lain, dan
Berperilaku sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keyakinan dan
kepercayaan pada farmasi professional.
The American Pharmaceutical Association pada tahun 1994 menyusun dan
mendukung prinsip-prinsip yang membentuk dasar fundamental dari peran dan
tanggung jawab apoteker. Prinsip-prinsip ini, berdasarkan kewajiban moral dan
kebaikan, yang dibentuk untuk apoteker yang secara langsung berhubungan dengan
pasien, kesehatan, tenaga profesional dan masyarakat.
On the contrary to British Code of Ethics, Amerika terdiri atas delapan prinsip.
Kedua kode etik itu memiliki tiga poin yang sama yaitu:
1) Nomor 3: Seorang apoteker menghormati otonomi dan martabat setiap pasien.
Prinsip ini tercatat pada Prinsip keempat dalam kode etik British: Mendorong
pasien dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang
perawatan mereka. Seorang apoteker mendorong pasien unutuk dapat
menentukan nasibnya sendiri dan menunjukkan bahwa dirinya memiliki hak yang
sama dengan pasien dengan cara mengarahkan pasien untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan tentang kesehatan mereka.
2) No 4: Seorang apoteker bertindak dengan jujur dan berintegritas didalam
hubungan profesinya. Pada kode etik British no. 6 menyatakan pesan yang serupa:
Bersikap jujur dan dapat dipercaya, mencakup apoteker memiliki kewajiban untuk
memberitahu kebenaran dan bertindak dengan keyakinan hati nurani.
3) No 5: Seorang apoteker mempertahankan kompetensi profesional. Prinsip ini
berhubungan dengan kode etik Inggris no. 5: Mengembangkan pengetahuan
profesionalnya dan kompetensi. Seorang apoteker memiliki tugas untuk
mengembangkan pengetahuan dan kemampuannya seperti pada pengobatan baru,
peralatan dan teknologi dan pada kemajuan informasi kesehatan.
12
Di Slowakia etika dalam profesi apoteker diatur oleh Kode Etik industri farmasi di
Slovakia (CEPI), yang direvisi pada Februari 2012. Pedoman ini mengatur tentang
pengujian produk obat yang menggunakan manusia sebagai subjek untuk peresepan
pengobatan dengan bekerjasama dengan petugas kesehatan, serta kegiatan promosi
terhadap pelayanan kesehatan tenaga profesional dan komunikasi terhadap mereka
dan hubungan timbal balik antara pelayanan kesehatan tenaga profesional dan
perusahaan farmasi. Kode ini juga memodifikasi hubungan antara anggota dan
organisasi pasien dan pengambil keputusan.
Tujuan dari Kode ini tidak untuk mengendalikan atau untuk standarisasi ketentuan
non-promosi medis, informasi ilmiah dan akurat, tidak juga bertujuan mengendalikan
atau untuk mengatur kegiatan terarah terhadap masyarakat umum dan terkait semata-
mata untuk produk obat-obatan yang tidak digunakan sebagai resep medis (Cepi,
2012).
13
BAB V
KESIMPULAN
V.1. Kesimpulan
Masalah tentang keterlibatan etika dalam studi farmasi dan profesi farmasi masih
tetap dalam agenda otoritas farmasi profesional. Perhatian yang diberikan pada
pendekatan etis, perlu ditingkatkan sesegera mungkin. Dan juga harus memperbanyak
jumlah artikel dan Studi yang berfokus pada etika dalam penelitian farmasi dan
profesi. Setelah menyelesaikan studinya, mahasiswa farmasi harus sepenuhnya
memahami sikap etis untuk profesi mereka. Dengan Kode Perilaku tersebut mereka
menjadi sepenuhnya kompeten untuk mendukung prinsip-prinsip etika, menunjukkan
rasa hormat terhadap martabat, pandangan dan hak orang lain dan memilki
pengetahuan dan keterampilan yang up to date. Marilah kita mempersiapkan siswa
kami untuk menjadi etis apoteker.
14
Daftar Pustaka
Anonim. 1990. The Role of the Pharmacist in Health Care System. WHO Consultative
Group.
American Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts,
The Final Report of the Task Force on Pharmacy Education. Washington DC.
Bertens, K. 1993. Etika. PT Gramedia Pustaka. Jakarta.
Brown, T.R. 1992. Handbook of Institusional of Pharmacy Practice, 3rd ed. Hal. 11-18, 63
133. ASHP. Bethesda.
Sudjaswadi, Riswaka. 2001. Farmasi, Farmasis, dan Farasi Sosial. Majalah Farmasi
Indonesia. Hal.12(3), 128-134.
Wattimena, J.R. et al. 1986. Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan. IDI/ISFI. Jakarta.
Wertheimer, A.I. dan Smith, M.C. 1989. Pharmacy Practice: Social and Behavioral Aspects.
3rd ed. Williams-Wilkins. Batlimore. Hal. 23 – 125, 417 - 441.
Williams, John R. 2005. Medical Ethics Manual. Ethics Unit of the World Medical
Association.
15