Makalah Filsafat Islam

6
NALAR DAN WAHYU TUGAS MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU DOSEN PENGAJAR : Bpk Prof .Dr. d. .HMT.Kamaludin, M.Sc, SpFK Oleh : NURHAYATI NIM. 20112508049

description

fffffffff

Transcript of Makalah Filsafat Islam

Page 1: Makalah Filsafat Islam

NALAR DAN WAHYUTUGAS MATA KULIAH : FILSAFAT ILMU

DOSEN PENGAJAR : Bpk Prof .Dr. d. .HMT.Kamaludin, M.Sc, SpFK

Oleh :

NURHAYATI

NIM. 20112508049

PROGRAM STUDI BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN PROGRAM PASCA SARJANA UNSRI PALEMBANG

TAHUN 2011

Page 2: Makalah Filsafat Islam

NALAR dan WAHYUFilsafat dan Agama berbicara tentang hal yang sama, yaitu manusia dan dunianya.

Apabila yang satu membawa kebenaran yang berasal dari Sang Pencipta manusia dan dunianya itu, dan yang lainnya dari akal manusia yang selalu diliputi kekurang-jelasan dan ketidakpastian, Pengetahuan mudah membuat orang menjadi sombong. Filsafat juga dapat membuat orang menjadi sombong, seakan-akan si filosof mengetahui segala-galanya, seakan-akan ia pasti lebih maju daripada orang yang saleh.

 Tiga Pandangan Ekstrem

Untuk membahas hubungan antara wahyu Ilahi dan akal budi manusia, sebaiknya kita bertolak dari tiga pandangan ekstrem tentang hubungan itu. Masing-masing pandangan hanya menekankan satu segi dan melalaikan segi-segi lainnya. Tiga pandangan itu adalah Rasionalisme, Fideisme dan Relativisme.

Sikap rasional tidak menuntut agar segala sikap harus dibuktikan secara lengkap atau "ilmiah. " Sikap rasional justru menerima keterbatasan seseorang dalam memastikan kebenaran suatu masalah. Dalam hampir semua pengandaian hidup, kita tergantung kepada pengertian dan kepastian orang lain dan masyarakat. Saya belum pernah pergi ke kota Jayapura, tetapi bukanlah sikap irasional kalau saya yakin bahwa kota itu ada; kalau pun saya pernah bermaksud pergi ke sana, saya tetap tidak dapat mengecek sendiri apakah kota itu betul-betul terletak di pantai utara Irian Jaya dan bahwa kota itu memang Jayapura. Adalah tidak bertentangan dengan sikap rasional, kalau kita dalam banyak hal mengandalkan pendapat orang lain, adat kebiasaan, bahkan perasaan kita sendiri (yang kadang-kadang lebih dapat dipercayai daripada sekedar pikiran pintar yang masuk ke kepala kita). Sikap rasional tidak menuntut kita untuk membuktikan segala-galanya sebelum kita mengandaikannya (misalnya, apakah sebuah jembatan yang akan kita lewati betul-betul masih cukup kuat). Tetapi, apabila pendapat atau pengandaian kita memang dipersoalkan, kita tidak boleh menjawabnya dengan mengacu kepada kebiasaan, kepercayaan, perasaan, pendapat orang atau otoritas di sekeliling kita, melainkan mencari pertimbangan-pertimbangan yang dapat dimengerti dan dicek oleh orang lain untuk menanggapi keberatan itu.

Jadi, sikap rasional itu kelihatan dalam tantangan. Orang yang bersikap tidak rasional adalah orang yang menolak tantangan semata-mata karena keyakinannya. Sedangkan orang yang bersikap rasional adalah orang yang betul-betul memperhatikan, memeriksa dan menjawabnya.

Sikap rasionalisme lebih dari itu. Seorang rasionalis tidak menerima sesuatu apapun yang tidak dibuktikan. Maka ia tidak dapat percaya pada cinta orang lain, pada pengalaman masyarakat yang tertuang dalam adat kebiasaan, dan tentu juta tidak percaya pada wahyu. Allah hanya mau diterima sejauh ia sendiri dapat mengertinya. Padahal Allah dengan sendirinya mengatasi jangkauan pengertian ciptaan. Maka rasionalisme adalah lawan agama.

Yang harus dituntut adalah sikap rasional, sebagaimana mau saya perlihatkan di bawah, dan bukan sikap rasionalisme. Fideisme adalah kebalikan dari rasionalisme. Fideisme (dari kata Latin ':fides", iman) adalah sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Allah, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu. Fideisme dapat berwujud iman sederhana seseorang yang merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. la dapat juga berwujud pandangan dunia yang secara prinsipiil menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu Allah.

Page 3: Makalah Filsafat Islam

Sikap terakhir itu menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu.

Fideisme pada hakekatnya tidak menyadari bahwa kemampuan manusia untuk bernalar adalah juga ciptaan Tuhan yang diberikan untuk dipergunakan serta dimanfaatkan demi tujuan yang baik. Kecuali itu, fideisme salah dalam pengandalan bahwa antara hasil nalar dan wahyu nahi mesti ada pertentangan.

Relativisme dapat juga disebut sebagai ajaran tentang dua kebenaran : Ada kebenaran agama dan ada kebenaran nalar. Dua-duanya boleh bertentangan. Misalnya, sebagai orang bernalar, seseorang menerima ajaran Darwin tentang evolusi jenis-jenis makhluk hidup di dunia selama beratus-ratusjuta tahun. Sedangkan sebagai orang beriman kristiani, ia percaya bahwa dunia diciptakan sekitar 7000 tahun lalu dalam waktu tujuh hari.

Jelaslah bahwa relativisme adalah siap yang paling lemah dari tiga sikap ekstrem itu. Relativisme melepaskan paham kebenaran sama sekali. Menurut prinsip non-kontradiksi, sesuatu itu sejauh ada, tidak mungkin tidak ada. Kalau bumi kita sudah berumur beratus-ratus juga tahun (menurut anggapan ilmiah, sekarang bumi berumur antara 4 dan 5 milyar tahun), maka tak mungkin bumi baru mulai berada, melalui penciptaan, sekitar tujuh ribu tahun yang lalu. Dan sebaliknya. Relativisme merupakan penyerahan claim atas pengetahuan yang benar. Maka, menurut relativisme, Allah itu sekaligus dapat disebut ada dan tidak ada. Sikap ini membuat mustahil pengambilan sikap yang sungguhan.

2. Pandangan Seimbang

Kita mulai dengan fideisme. Fideisme mementingkan iman, percaya kepada wahyu ilahi. Kalau orang percaya kepada Allah, ia langsung akan mengakui bahwa sikap dasar fideisme itu benar. Kalau Allah memang ada, jelas Allah itu ada mutlak, baik sebagai kebenaran, maupun dalam kekuasaan untuk bertindak. Maka sabda Allah adalah mutlak benar dan merupakan pegangan mutlak bagi manusia. Wajarlah orang beriman mendasarkan hidupnya atas wahyu Allah.

Jadi, adalah tidak mungkin, kalau manusia mempergunakan nalarnya secara benar, artinya secara terbuka, kritis, mendalam, ia sampai pada hasil yang bertentangan dengan wahyu. Karena semuanya berasal dari sumber yang sama, maka hanya ada satu kebenaran. Itu juga berarti bahwa adalah tidak tepat kalau hubungan nalar-wahyu dirumuskan begini : Pakailah nalar sejauh tidak menyangkut isi wahyu. Hakekat nalar manusia adalah mencari kebenaran. Seseorang akan berdosa apabila pencarian kebenaran diputuskan begitu saja pada titik tertentu. Berdosa terhadap kehendak Dia yang menciptakan nalar itu.

Maka, semua pemecahan konflik wahyu-nalar yang berpola : Kurangilah, atau hentikanlah penalaran, jangan bernalar secara radikal dan sebagainya, adalah salah. Salah terhadap nalar, salah secara moral karena membuka pintu pada sikap munafik dan bohong, dan salah secara keagamaan karena menyangkal bahwa nalar berasal dari Allah. Tidaklah benar pendapat bahwa semakin alim seseorang, semakin ia tidak berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui.

Page 4: Makalah Filsafat Islam

Lalu, mengapa terdapat pertentangan antara wahyu dan nalar manusia? Atas pengandalan di atas, sebenarnya tidak boleh ada perten- tangan, dan pertentangan itu kelihatan bersifat sementara. Hal itu tidak mengherankan. Nalar manusia tidak pernah sempurna, tidak pernah menangkap seluruh kebenaran. la suka melihat satu sudut dan melupakan yang satunya. la terpengaruh oleh prasangkanya. Dari mana pertentangan sementara itu? Pertentangan antara wahyu dan nalar dapat berasal dari keduabelah pihak, dari fihak nalar dan dari pihak wahyu.

Tetapi kesalahan sering terletak bukan di pihak nalar, melainkan di pihak wahyu. Tentu saja bukan pada wahyu itu sendiri. Wahyu sendiri tidak dapat salah karena wahyu adalah Sabda Allah yang Maha benar. Tetapi, cara manusia menangkap dan mengartikan wahyu dapat saja salah, karena untuk itu manusia mau tak mau mempergunakan nalar yang sama yang juga di pergunakan dalam penyelidikan ilmiah atau dalam filsafat. Jadi dapat saja terjadi pertentangan antara nalar dan apa yang dianggap wahyu, karena manusia menyebut sesuatu kebenaran wahyu yang sebenarnya bukan wahyu, melainkan tafsirannya. Jadi, kontradiksi itu terletak bukan antara wahyu dan nalar, melainkan antara tafsiran nalar manusia tentang wahyu dan hasil nalar manusia lain.

Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa antara wahyu dan pengetahuan manusia tidak mungkin ada pertentangan, asal saja keduabelah pihak tahu batas mereka masing-masing. Kalau ada pertentangan, pertentangan itu sebenarnya tak pernah terjadi antara wahyu dan nalar, melainkan antara nalar yang satu (yang berusaha mengerti, dan dengan demikian selalu juga menafsirkan wahyu) dengan nalar yang lain (yang dipakai dalam kegiatan ilmiah maupun dalam kehidupan sehari-hari).Kiranya manusia dijadikan makhluk bernalar oleh Sang Pencipta agar supaya ia mempergunakan nalarnya itu sebaik-baiknya untuk mewujudkan kehidupannya. Jadi, nalar diberikan untuk hal-hal yang terletak dalam jangkauan nalar itu. Yang ada dalam jangkauan nalar adalah alam terbatas, alam tercipta. Maka nalar itu dipanggil untuk mencari pengetahuan serta pengertian yang semakin benar dan men- dalam tentang seluruh alam ciptaan. Untuk itu, manusia dapat mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dengan cara masing-masing untuk menyelidiki apa yang ada. Wilayah nalar adalah manusia sendiri, alam inderawi dan masyarakat. Sedangkan Allah tidak dapat "dikuasai" oleh nalar .Satu-satunya yang dapat dicapai nalar menuju Allah adalah keterbukaannya, serta pencarian jejak-jejak kebesaran Allah dalam alam ciptaan. Tetapi tentang siapa Allah yang sebenarnya, bagaimana hidup batin Allah, apa yang menjadi kehendak dan tuntutannya serta sikapnya terhadap manusia, itu semua secara prinsipiil tak terjangkau oleh nalar manusia (Mengapa? Karena nalar manusia bersifat terbatas/terhingga sehingga kekhasan Allah yang justru tak terbatas/tak terhingga tidak teljangkau olehnya).

Semua hal ini kita cari jawabannya bukan dalam wahyu, melainkan dari pengalaman kita, dengan bantuan ilmu pengetahuan. Kalau kita mencari jawaban tentang hal-hal manusia dan duniawi itu dalam wahyu, kemungkinan besar kita akan salah tafsir dan lalu menciptakan kesan pertentangan yang sebetulnya tak benar.Maka, adalah tidak betul pendapat bahwa semakin alim seseorang semakin ia merasa tidak perlu berpikir, mencari-cari, menyelidiki dan mengetahui. Justru orang yang mantap karena berakar dalam iman, akan lebih mantap dan berani juga untuk mempergunakan akalbudinya. la tidak takut dengan pengetahuan yang lebih kritis dan mendalam akan menjauhkannya dari iman. Dan menurut hemat saya, kita tidak boleh memberikan kesan bahwa semakin kita berpikir secara mendalam dan kritis, semakin agama berada dalam bahaya.

KEPUSTAKAANAchmad Sanusi (1998), Filsafat Ilmu, Teori Keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung: Program Pasca Sarjana IKIP Bandung.-------------------(1999), Titik Balik Paradigma Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Orasi limiah Pada Wisuda UHAMKA tanggal 31 Juli 1999, Jakarta: Majelis Pendidikan