MAKALAH filsafat
-
Upload
mc-harson-no-ez-forging -
Category
Documents
-
view
846 -
download
2
Transcript of MAKALAH filsafat
MAKALAH
“FILSAFAT TIMUR”
OLEH
MUHAMMAD HARSONO
101 06 11 017
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2010
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T, Sang Pencipta
alam semesta, manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat
limpahan rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Filsafat Timur” yang sederhana ini dapat
terselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Zulkarnain selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu serta semua pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini baik secara moril maupun materil.
Demikian pengantar yang dapat penulis sampaikan dimana penulis pun sadar
bawasannya penulis hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam
penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang konstruktif akan senantiasa penulis terima dalam upaya evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan
penulisan dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat
memberikan manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh
mahasiswa-mahasiswi Universitas Bangka Belitung. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Balun Ijuk, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Teori Pengetahuan
1.2 Filsafat
1.3 Konsep dan Pernyataan Ilmiah
1.3.1 Empirisme
1.3.2 Falsiabilitas
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Munculnya Filsafat
2.2 Filsafat Timur
2.3 Pemikiran Timur sebagai Filsafat
2.3.1 Keberatan-Keberatan
2.3.2 Pemikiran Timur memenuhi Definisi Filsafat
2.3.3 Pemikiran Timur memenuhi Kriteria Filsafat
2.4 Perbedaan dengan Filsafat Barat
2.4.1 Pengetahuan
2.4.2 Sikap Terhadap Alam
2.4.3 Cita-cita Hidup
2.4.4 Status Manusia
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah bagian yang esensial- aksiden
manusia, karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah)
adalah sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-
nya,yaitu hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan " barangkali " keunggulannya
dari spesies-spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini
tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui
oleh manusia ? Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan
apa agar memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa
yang mejadi tolak ukur kebenaran ?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-
pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam
realita. Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu
maka tidak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu
yang mudah menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu
yang rumit (complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam
pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan.
Perselisihan tentangnya menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world
view), sehingga pada gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari
kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah
diatas- perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi
menjadi satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada
dalam benak, tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini
dengan epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah). Epistemologi
menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga abad yang lalu
dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang ini sebagai
sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan filusuf Islam
menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari dengan
bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad Amuli
dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela
buku-buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang
besar terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat
(baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat
besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma
intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad
kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru.
Supremasi dan dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari
runtuhnya gereja yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama
Tuhan dan agama, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia
(baca: realita). Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian
dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat
muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah
lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan
dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James
dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya. Berbeda dengan barat,
di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam agama dan ilmu
pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat beberapa friksi
antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena interpretasi dari teks
agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu saling mendukung.
Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti : Ibnu Sina, al
Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang lainnya. Oleh
karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia
Islam relatif stabil dan tenang.
1.2 Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari
dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama
kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena
dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas
pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia
memilih untuk disebut pecinta pengetahuan. Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat
beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka
pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi
kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada.
Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap
segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran
tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu
membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus
tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan
kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata
philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian perjuangannya
dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles
menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika
(mantiq) Aristotelian.Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang
dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis
dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti:
fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3)
ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma
(akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang
mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi.
1.3 Konsep dan Pernyataan Ilmiah
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan
bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam.
Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta
pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
1.3.1 Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau
ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan
diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan
ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah
dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan
eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan
mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat
digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan
fenomena alam.
1.3.2 Falsiabilitas
Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu
adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919-20
dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini
adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat
digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan dengan
mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan
ilmiah tersebut memang benar.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Munculnya Filsafat
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani dan masuknya ilmu
pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan kebenaran yang diberikan oleh
pemikiran keagamaan, peran mitologi yang sebelumnya mengikat segala aspek
pemikiran kemudian secara perlahan-lahan digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian mencoba memandang dunia dengan cara
yang lain yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah.
Dalam mencari keterangan tentang alam semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal
mistis yang secara turun-temurun diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai
berpikir sendiri. Di balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai
mencari suatu keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-
kejadian itu. Dalam artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan
kejadian alam semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini, terbukalah kemungkinan bagi
pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta kritik dalam memahami alam semesta.
Semangat inilah yang memunculkan filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan
ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7
S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan
keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri
kepada agama pada saat itu yang dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di
daerah yang berberadaban lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir.
Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta
pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas.
2.2 Filsafat Timur
Filsafat Timur merupakan sebutan bagi pemikiran-pemikiran filosofis yang
berasal dari dunia Timur atau Asia, seperti Filsafat Cina, Filsafat India, Filsafat Jepang,
Filsafat Islam, Filsafat Buddhisme, dan sebagainya. Masing-masing jenis filsafat
merupakan suatu sistem-sistem pemikiran yang luas dan plural. Misalnya saja, filsafat
India dapat terbagi menjadi filsafat Hindu dan filsafat Buddhisme, sedangkan filsafat
Cina dapat terbagi menjadi Konfusianisme dan Taoisme. Belum lagi, banyak terjadi
pertemuan dan percampuran antara sistem filsafat yang satu dengan yang lain, misalnya
Buddhisme berakar dari Hinduisme, namun kemudian menjadi lebih berpengaruh di
Cina ketimbang di India. Di sisi lain, filsafat Islam malah lebih banyak bertemu dengan
filsafat Barat. Akan tetapi, secara umum dikenal empat jenis filsafat Timur yang
terkenal dengan sebutan "Empat Tradisi Besar" yaitu Hinduisme, Buddhisme, Taoisme,
dan Konfusianisme.
Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang mana
ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat Timur, sehingga banyak ahli berdebat
mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Di dalam
studi post-kolonial bahkan ditemukan bahwa filsafat Timur dianggap lebih rendah
ketimbang sistem pemikiran Barat karena tidak memenuhi kriteria filsafat menurut
filsafat Barat, misalnya karena dianggap memiliki unsur keagamaan atau mistik. Akan
tetapi, sekalipun di antara filsafat Timur dan filsafat Barat terdapat perbedaan-
perbedaan, namun tidak dapat dinilai mana yang lebih baik, sebab masing-masing
memiliki keunikannya sendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi
khazanah filsafat secara luas.
2.3 Pemikiran Timur sebagai Filsafat
2.3.1 Keberatan-Keberatan
Banyak ahli tidak melihat pemikiran Timur sebagai filsafat melainkan sebagai
agama, karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Kriteria radikal
(berpikir secara mendalam), sistematis, dan kritis berasal dari filsafat Barat. Selain itu,
pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu
kajian kritis; mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian
mengamalkannya. Akan tetapi, sebenarnya hal itu tidak bisa menjadi kriteria untuk
menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau tidak, sebab seringkali
kategorisasi filsafat dan bukan filsafat ditentukan oleh Barat yang memaksakan kriteria-
kriterianya terhadap Timur. Pemikiran-pemikiran Timur banyak yang memiliki
kedalaman, bersifat analitis, dan kritis, bahkan melebihi pemikiran Barat, misalnya
seperti Konfusius, Lao Tzu, dan Siddharta Gautama.
2.3.2 Pemikiran Timur memenuhi Definisi Filsafat
Definisi menurut asal kata filsafat adalah cinta kepada kebenaran. Dilihat dari
definisi filsafat, sebenarnya pemikiran Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat,
sejauh filsafat Timur merupakan usaha manusia untuk memperoleh kebenaran, yang
didasarkan pada rasa cinta akan kebenaran itu sendiri. Pengetahuan akan kebenaran
selalu berkaitan dengan kebijaksanaan dan mengandung dua unsur, yakni pengetahuan
akan kebaikan tertinggu dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi. Pengetahuan
dan tindakan haruslah hadir di dalam diri seorang yang bijaksana. Kedua hal ini ada di
dalam pemikiran sejumlah pemikir Timur seperti Lao Tzu, Konfusius, Siddharta
Gautama, para filsuf Hindu, dan para filsuf Islam, sehingga pemikiran mereka dapat
disebut filsafat Timur.
2.3.3 Pemikiran Timur memenuhi Kriteria Filsafat
Selain melalui definisi, filsafat Timur juga dapat memenuhi kriteria-kriteria
sebuah filsafat seperti yang lazim menjadi kriteria filsafat Barat, yakni kritis, sistematis,
dan radikal Tentu saja ada perbedaan cara dengan yang dipahami oleh filsafat Barat.
Aspek kritis dapat dipenuhi bila pemikiran-pemikiran yang telah ada diolah secara kritis
dan terbuka terhadap modifikasi. Pengolahan dilakukan melalui dialog, diskusi, adu
argumentasi, dan kesiapan untuk membuka diri terhadap pemikiran baru. Aspek
sistematis sebenarnya telah ada di dalam pemikiran-pemikiran Timur, dan dapat
berbeda-beda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Misalnya filsafat Cina
didasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari penciptaan alam hingga
meninggalnya manusia. Di sini, yang penting terdapat alur yang runut dalam setiap
sistem pemikiran, ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai
upaya penyelesaian masalah, dan ada solusi bagi masalah tersebut. Mengenai sifat
radikal dalam arti mendalami obyeknya, hal itu juga telah lama berakar pada pemikiran
Timur. Siddharta Gautama, misalnya, mencoba menggali hakikat hidup sampai
sedalam-dalamnya, melakukan pembaruan terhadap sistem India yang sudah ada, dan
membentuk sistem baru yang dikenal sebagai Buddhisme.
2.4 Perbedaan dengan Filsafat Barat
Filsafat Barat dan Filsafat Timur tampak amat berbeda sebab berkembang di
dalam budaya yang amat berbeda, dan sepanjang sejarah tidak terlalu banyak pertemuan
di antara keduanya, kecuali di dalam filsafat Islam. Meskipun demikian, bukan berarti
tidak ada persamaan di antara keduanya.
2.4.1 Pengetahuan
Filsafat Barat sejak masa Yunani telah menekankan akal budi dan pemikiran
yang rasional sebagai pusat kodrat manusia. Filsafat Timur lebih menekankan hati
daripada akal budi, sebab hati dipahami sebagai instrumen yang mempersatukan akal
budi dan intuisi, serta intelegensi dan perasaan. Tujuan utama berfilsafat adalah menjadi
bijaksana dan menghayati kehidupan, dan untuk itu pengetahuan harus disertai dengan
moralitas.
2.4.2 Sikap Terhadap Alam
Filsafat Barat menjadikan manusia sebagai subyek dan alam sebagai obyek
sehingga menghasilkan eksploitasi berlebihan atas alam. Sementara itu, filsafat Timur
menjadikan harmoni antara manusia dengan alam sebagai kunci. Manusia berasal alam
namun sekaligus menyadari keunikannya di tengah alam.
2.4.3 Cita-cita Hidup
Jikalau filsafat Barat menganggap mengisi hidup dengan bekerja dan bersikap
aktif sebagai kebaikan tertinggi, cita-cita filsafat Timur adalah harmoni, ketenangan,
dan kedamaian hati. Kehidupan hendaknya dijalani dengan sederhana, tenang, dan
menyelaraskan diri dengan lingkungan.
2.4.4 Status Manusia
Filsafat Barat amat menekankan status manusia sebagai individu dengan segala
kebebasan yang ia miliki, dan masyarakat tidak bisa menghilangkan status seorang
manusia dengan kebebasannya. Filsafat Timur menekankan martabat manusia tetapi
dengan penekanan yang berbeda, sehingga manusia ada bukan untuk dirinya melainkan
ada di dalam solidaritas dengan sesamanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat merupakan dasar-dasar dari keseluruhan yang terjadi pada diri manusia
serta makhluk hidup lain yang ada di muka bumi ini baik dari awal penciptaan manusia
dimuka bumi ini, ilmu-ilmu pengetahuan, dan ilmu-ilmu lainnya. Lahirnya filsafat
karena rasa ingin ketahuan manusia terhadap sesuatu hingga lahirlah para-para filsuf
baik dari belahan Bumi Barat maupun dari belahan Bumi Timur. Dengan adanya filsafat
ini manusia dapat berfikir dari alur yang berpikir rasional dan meninggalkan alur pikir
yang selalu mengaitkan sesuatu dengan mitos atau mistis yang kejadiannya bisa saj
secra kebetulan. Filsafat merupakan teoritis ilmu yang dapat mematahkan teori lain
dengan adanya pembuktian yang menyatakan bahwa teori itu dapat diterima dengan
akal pikiran serta terbukti kebenarannya atau disebut empirisme.
Secara garis besar filsafat Timur banyak memasukkan unsur-unsur agama yang
menjadikan filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat,
sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya pemikiran Timur
dikatakan sebagai fisafat, walaupun terdapat perbedaan-perbedaan diantara filsafat
Barat dan Timur keduanya tidak dapat nilai mana yang lebih baik karena memiliki
keunikan tersendiri. Selain itu, keduanya diharapkan dapat saling melengkapi khazanah
filsafat secara luas.
Daftar Pustaka
http://www.wikipedia.org/filsafat-timur
blog.wordpress.com
Filsafat-ilmu.blogspot.com