makalah Ekonomi Kesehatan

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, lebih dari 100 juta atau sekitar 50% dari seluruh penduduk Indonesia menderita berbagai bentuk masalah gizi yang meliputi IDD (Iodine Deficiency Disorder), stunted, underweight, wasted, VAD (Vitamin A Deficiency), overweight, CVD (Cardiovasculer Disease) serta IDA (Iron Deficeincy Anemia) (Soekirman et al., 2003). Menurut Atmarita dan Falah (2004), berdasarkan hasil survai yang dilakukan pada tahun 2003, sebanyak 2 - >4 orang dari 10 balita menderita gizi kurang di 72% kabupaten Indonesia. Selain itu, Soekirman et al. (2003) menyebutkan bahwa prevalensi KEP pada balita dan anak-anak pra sekolah meski mengalami penurunan sekitar 10% dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 27.5% pada tahun 2003 namun jumlah penurunan tadi sesungguhnya tidak nyata karena diketahui bahwa prevalensi gizi buruk (< -3SD, BB/U) mengalami peningkatan dari 6.3% pada tahun 1989 menjadi 10.5% pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masalah KEP yang

description

makalah ekonomi kesehatankerugian ekonomi akibat gizi buruk

Transcript of makalah Ekonomi Kesehatan

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangSaat ini, lebih dari 100 juta atau sekitar 50% dari seluruh penduduk Indonesia menderita berbagai bentuk masalah gizi yang meliputi IDD (Iodine Deficiency Disorder), stunted, underweight, wasted, VAD (Vitamin A Deficiency), overweight, CVD (Cardiovasculer Disease) serta IDA (Iron Deficeincy Anemia) (Soekirman et al., 2003). Menurut Atmarita dan Falah (2004), berdasarkan hasil survai yang dilakukan pada tahun 2003, sebanyak 2 - >4 orang dari 10 balita menderita gizi kurang di 72% kabupaten Indonesia. Selain itu, Soekirman et al. (2003) menyebutkan bahwa prevalensi KEP pada balita dan anak-anak pra sekolah meski mengalami penurunan sekitar 10% dari 37.5% pada tahun 1989 menjadi 27.5% pada tahun 2003 namun jumlah penurunan tadi sesungguhnya tidak nyata karena diketahui bahwa prevalensi gizi buruk (< -3SD, BB/U) mengalami peningkatan dari 6.3% pada tahun 1989 menjadi 10.5% pada tahun 1998. Hal ini menunjukkan bahwa masalah KEP yang merupakan masalah gizi makro, khususnya yang terjadi pada balita adalah masalah serius yang harus segera ditanggulangi.Dampak dari permasalahan gizi buruk sangat kompleks. Gizi buruk berdampak pada kematian anak, penyakit anak, gangguan pertumbuhan fisik, penurunan kemampuan belajar , penurunan kemampuan kognitif, anggaran pencegahan dan perawatan yang meningkat sampai pada penurunan produktivitas kerja yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya kerugian ekonomi pada wilayah tersebut.Persoalan gizi buruk bukan hanya masalah gizi dan kesehatan, tetapi juga berdampak ekonomi. Konig (1995) dalam Jalal dan Atmodjo (1998) mengasumsikan bahwa orang- orang yang memiliki riwayat gizi buruk pada saat balita akan mengalami penurunan produktivitas hingga 100%. Sampai saat ini, kajian mengenai dampak ekonomi dari gizi buruk, khususnya KEP masih sangat terbatas. Oleh karena itu penelitian ini ditujukan untuk mengkaji besarnya kerugian ekonomi akibat permasalahan gizi buruk. Informasi ini sangat penting bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan prioritas pembangunan di wilayahnya, khususnya dalam penetapan prioritas untuk sektor sosial dan ekonomi yang seringkali tidak selalu sejalan. Pada akhirnya diharapkan gizi buruk yang masih banyak di Indonesia dapat segera diatasi.

1.2 Tujuan1. Melakukan estimasi besarnya kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh gizi buruk pada balita di berbagai provinsi di Indonesia.2. Melakukan estimasi biaya yang dibutuhkan untuk penanggulangan masalah gizi buruk (melalui program PMT) di Indonesia dan perbandingannya dengan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat status gizi buruk (KEP) pada balita.

1.3 Manfaat 1. Agar kita dapat melakukan estimasi kerugian ekonomi akibat gizi buruk pada balita2. Agar dapat menghitung estimasi biaya yang dibutuhkan untuk penanggulangan masalah gizi buruk.

BAB IIKAJIAN KONSEPSIONAL

2.1. Kerugian Ekonomi Akibat Gizi BurukPerbaikan gizi berkontribusi terhadap meningkatnya produktivitas, pembangunan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan. Hal ini terjadi melalui peningkatan kemampuan kapasitas aktifitas fisik, peningkatan kemampuan kognitif, performa belajar dan penurunan angka kesakitan dan angka kematian. Gizi buruk jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan lingkaran setan antara kemiskinan dan gizi buruk melaui tiga mekanisme: penurunan produktifitas kerja, kehilangan tidak langsung akibat penurunan kemampuan kognitif dan tingginya biaya kesehatan.Gizi buruk berkontribusi terhadap 60% angka kematian pada anak dan anak yang memiliki berat badan rendah memiliki resiko kematian dua kali lebih besar dibandingkan anak yang bergizi baik. Bayi yang lahir dengan berat badan rendah atau BBLR (< 2,5 kg) memiliki resiko kematian dua kali lebih besar dibanding bayi normal. Di masa dewasanya mereka juga memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita penyakit degenaratif seperti diabetes mellitus dan penyakit kardivaskuler.Gizi burukjuga berpengaruh nyata terhdapa penurunan fungsi kognitif. Laporan Bank Dunia 2006 menyebutkan bahwa BBLR berpengaruh terhdapa penurunan IQ sebesar 5 poin. Anak yang pendek cenderung memiliki IQ lebih rendah sebesar 5 hingga 11 poin. Gangguan akibat akibat kekurangan yodium menurunkan IQ sebesar 10-15 poin. Anemia gizi besi secara konsisten menurunkan IQ sebesar 8 poin. Anak yang memiliki riwayat gizi buruk semasa kecilnya terbukti memiliki kognitif yang rendah, fungsi motoric yang rendah dan mereka memiliki yag rendah dan mereka memiliki tingkat konsentrasi yang rendah pula. Kemampuan kognitif di masa dewasa mereka dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kemampuan untuk mencari penghasilan.

2.2. Resiko Ekonomi Mengabaikan Gizi BurukBiaya akobat gizi buruk di negara berkembang menelan biaya jutaan dollar setiap tahunnya. Laporan Bank Dunia 2006 juga menyebutkan bahwa kerugian financial akibat giziburuk sangat tinggi. Pada level negara, India sebagai contoh; kerugian yang timbul akibat kehilangan produktivitas akibta gizi buruk sebesar 2,95% dari Produk Domestik Bruto negara tersebut. Kerugian akibat defisiensi gizi mikro saja menakibatkan kerugian sebesar US$ 2,5 juta per tahunnya atau sekitar 0,4 persen dari PDB negara yang bersangkutan.Anak yang berstatus gizi buruk memerlukan pelayanan kesehatan yang lebih khusus (memerlukan perhatian lebih) dan memerlukan biaya yang lebih besar di bandig anak yang berstats gizi baik. Anak yang bergizi buruk juga memiliki prestasi sekolah yang lebih buruk dan cenderung lebih sering tidak naik kelas dibanding anak yang bergizi baik, hal ini pada akhirnya juga akan meningkatkan pengeluaran untuk biaya pendidikan.

2.3. Rasio Manfaat Program GiziProgram perbaikan gizi sangat menguntungkan secara ekonomi, manfaat yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Behrman, Alderman, dan Hoddinott (2004) menunjukkan bahwa hassil atau manfaat yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeuarkan untuk program perbaikan gizi. Perhitungan manfaat tersebut diperoleh melalui asusmsi terhadappenurunan angka kematian, penurunan biaya kesehatan, dan meningkatnya produktivitas serta manfaat-manfaat lainnya. Sebagai contoh untuk setiap 1 rupiah biaya yang dikeluarkan untuk program promosi ASI ekslusif di rumah sakit menghasilkn manfaat sebesar 5-6 rupiah.

BAB 3PEMBAHASAN

Hasil SUSENAS tahun 2003 menunjukkan bahwa di seluruh wilayah Indonesia terdapat 1 570 955 balita yang mengalami gizi buruk. Jika dirinci, maka diketahui bahwa prevalensi gizi buruk yang tertinggi terdapat di provinsi Gorontalo yaitu sebesar 21.48% atau sebanyak 19 698 balita dari 91 706 balita sedangkan yang terendah di provinsi Jambi yaitu sebesar 2.75% atau sebanyak 6 713 balita.Kemiskinan dan kurang gizi merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena itu meningkatkan status gizi suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara.Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya kurang gizi dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan produktivitas. Manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah: berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya peningkatan kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat intergenerasi melalui peningkatan kualitas kesehatan.Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah kelompok rawan pada penduduk yang selalu harus menjadi perhatian. Indonesia tidak mempunyai vital statistic yang dapat dilakukan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup untuk periode 1989-1994, dan 334 pada periode tahun 1992-1997. Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi dari analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku), 686 (Jawa Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih sangat bermasalah memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999).Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita, masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000).Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989. Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi, 2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang.Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7 sampai 14% pada periode 1990-2000. Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan Atas (LILA