Makalah Dermatitis Atopik

39
Modul Alergi Imunologi BAYI YANG TERLAMBAT DIIMUNISASI KELOMPOK 4 030.0 Adrianus 030.09.244 Sureza Larke Wajendra 030.10.140 Jeffrie Irtan 030.10.152 Komang Ida Widiayu R.N 030.10.166 M. Reza Adriyan 030.10.178 Mentari 030.10. Fahri 030.10.201 Nadya Zahra 030.10.214 Okky Nafiriana 030.10.226 R. Ifan Fahrurozi 030.10.238 Riza Tafson 030.10.250 Seruni Mentari Putri 030.10.262 Syarfina Rosyadah 030.10.273 Ula Inda Rahmadhani 030.10.286 Yudia Pratama

Transcript of Makalah Dermatitis Atopik

Modul Alergi Imunologi

BAYI YANG TERLAMBAT DIIMUNISASI

KELOMPOK 4

030.0 Adrianus

030.09.244 Sureza Larke Wajendra

030.10.140 Jeffrie Irtan

030.10.152 Komang Ida Widiayu R.N

030.10.166 M. Reza Adriyan

030.10.178 Mentari

030.10. Fahri

030.10.201 Nadya Zahra

030.10.214 Okky Nafiriana

030.10.226 R. Ifan Fahrurozi

030.10.238 Riza Tafson

030.10.250 Seruni Mentari Putri

030.10.262 Syarfina Rosyadah

030.10.273 Ula Inda Rahmadhani

030.10.286 Yudia Pratama

JAKARTA, 27 MARET 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 2

BAB II LAPORAN KASUS 4

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Hipotesis 5

3.2 Anamnesis 5

3.3 Anamnesis Tambahan 5

3.4 Pemeriksaan Fisik 6

3.5 Pemeriksaan Penunjang 6

3.6 Diagnosis Kerja 7

3.7 Penatalaksanaan 8

3.8 Prognosis 9

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Vaksinasi 10

4.2 Dermatitis Atopik 13

BAB V KESIMPULAN 25

BAB VI DAFTAR PUSTAKA 26

1

BAB I

PENDAHULUAN

Imunisasi memproteksi anak-anak dan orang dewasa melawan infeksi yang berbahaya

sebelum mereka kontak dengan infeksi tersebut dalam masyarakat. Imunisasi memanfaatkan

mekanisme pertahanan alami tubuh untuk membangun daya tahan terhadap infeksi-infeksi

tertentu. Sistem imunitas pada anak-anak kecil tidak bekerja sebaik sistem imunitas pada

anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa, karena system imun yang belum matang.

Dalam beberapa bulan pertama kehidupannya, seorang bayi telah terproteksi terhadap

kebanyakan penyakit menular oleh antibodi dari ibunya yang dialihkan kepada bayi selama

masa kehamilan. Pada saat antibodi tersebut telah habis, bayi tersebut menghadapi risiko

infeksi dan dengan demikian diperlukan beberapa imunisasi pertama diberikan sebelum

antibodi tersebut habis sama sekali.

Prevalensi penyakit atopi terus meningkat baik di negara berkembang maupun negara

maju. Di Swedia, misalnya, jumlah anak yang menderita asma, rinitis dan eksema meningkat

2 kali lipat selama 12 tahun terakhir. Pada dasarnya ada 2 faktor utama yang berperan dalam

timbulnya atopi yaitu genetik dan lingkungan. Seorang anak berisiko mengalami atopi

sebesar 50% bila salah satu orang tuanya memiliki atopi. Risiko itu meningkat menjadi 66%

bila kedua orang tuanya memiliki atopi. Oleh karena genetik merupakan faktor yang tidak

dapat dicegah, maka langkah terbaik adalah menghindari faktor lingkungan yang diduga

dapat menjadi pemicu timbulnya atopi (avoidance).

Dermatitis atopik ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif serta disertai gatal

,yang umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak. Sering berhubungan dengan peningkatan

kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopik,

rhinitis alergi,dan atau asma bronchial). Kelainan kulit pada dermatitis atopic yaitu berupa

papula gatal,yang kemudian mengalami ekskoriasi dan likenifikasi dimana distribusinya pada

lipatan (fleksural). Eksema dapat memberikan gambaran yang sedikit berbeda sesuai usia.

Pada bayi, eksema umumnya berupa ruam merah yang sangat gatal di wajah, kulit kepala,

belakang telinga, badan, atau lengan dan tungkai. Pada anak balita, ruam sering kali

ditemukan di lipatan kulit sekitar lutut, siku, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki.

Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12

bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa

2

tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil

anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.

Kata “atopi” pertama kali di kenalkan oleh coca (1923), yaitu istilah yang di pakai

untuk sekelompok individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya.

Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik menurut Hanifin dan Rajka pada

tahun 1980 yang sampai sekarang masih digunakan. Beberapa kriteria diagnostik lain yaitu

kriteria Svenssons dan yang terbaru adalah kriteria William dkk. pada tahun 1994

( Kariosentono, 2006). Penyakit DA merupakan bentuk ekzema yang paling sering dijumpai

dan menyerang 2-3% anak-anak di seluruh dunia (Mahadi, 2000).

3

BAB II

LAPORAN KASUS

Sesi 1

Seorang bayi perempuan, 5 bulan, datang untuk mendapatkan vaksinasi yang pertama

kali. Ibunya belum membawa bayinya untuk imunisasi selama ini karena khawatir efek

samping vaksinasi. Bayinya menderita ekzema dikedua pipinya.

Sesi 2

Keterlambatan vaksinasi pada bayi karena ia menderita eczema di kedua pipinya,

sehingga ibunya khawatir. Kakak si bayi menderita asma bronkiale, sedangkan ibunya

menderita rhinitis alergika.

4

BAB III

PEMBAHASAN

Berdasarkan laporan kasus diatas, kelompok kami menetapkan beberapa masalah pada pasien ini

yaitu:

1. Ekzema pada kedua pipi.

2. Bayi berumur 5 bulan baru akan mendapatkan vaksinasi untuk pertama kali.

3. Kakak menderita asma bronkiale dan ibu menderita rhinitis alergika Hal ini

menunjukkan adanya atopik dalam keluarga.

3.1 HIPOTESIS

Berdasarkan masalah tersebut diatas, kelompok kami memikirkan hipotesis yang mungkin

terjadi pada pasien, yaitu :

1. Dermatitis Atopik

2. Dermatitis Kontak

3.2 ANAMNESIS

Identitas Pasien

Nama : -

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 5 bulan

Pekerjaan : -

Keluhan Utama : Terlambat vaksinasi karena menderita ekzema di kedua pipi

3.3 ANAMNESIS TAMBAHAN

1. Sudah berapa lama terdapat ruam di pipi?

2. Apakah terdapat ruam di bagian tubuh lain?

5

3. Gatal bertambah hebat pada saat kapan?

3. Apakah sebelumnya sudah pernah diobati?

4. Apakah pasien suka memakai pakaian berbahan wol?

5. Apakah di rumah sering dalam keadaan berdebu?

6. Apakah di rumah terdapat hewan peliharaan yang berbulu?

7. Adakah kontak yang lama antara daerah ruam dengan susu saat minum susu?

3.4 PEMERIKSAAN FISIK

•Status Generalis:

Keadaan umum : Periksa tanda vital

Inspeksi : Melihat seluruh tubuh pasien apakah terdapat perubahan

maupun kelainan.

Palpasi : Meraba organ (KGB, abdomen) untuk mengetahui konsistensinya.

Perkusi : Mendengar perbedaan suara ketuk organ abdomen apakah ada

pergeseran batas organ.

Auskultasi : Mendengar bising jantung, suara pernafasan, peristaltic usus.

•Status Lokalis : Mencari keleinan-kelainan pada kriteria minor.

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dianjurkan kepada pasien:

1. Pemeriksaan ELISA, untuk menilai :

• Imunoglobulin :  IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada

penderita DA. Kadar IgE meningkat pada 80-90% penderita DA dan lebih tinggi lagi bila sel

asma dan rinitis alergika. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah terjadi

remisi.

6

• Leukosit :

- Limfosit  : Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada

asma, rinitis alergilk, maupun pada DA Walaupun demikian pada beberapa penderita

DA berat. dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B.

- Eosinofil : Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini

seiring dengan meningkatnya IgE.

- Leukosit polimorfonuklear (PMN) : Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT)

ternyata jumlah PMN biasanya dalam batas normal.

- Komplemen : Pada penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit

meningkat.

- Bakteriologi : Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, seperti

Staphylococcus aureus.

2. Prick test/ uji tusuk 

Pr i ck t e s t   dapa t d i l akukan s ebaga i pemer ik saan  penunjang untuk

mengetahui penyebab timbulnya DA (Dermatitis Atopik) pada pasien i n i ,

dengan menggunakan eks t r ak a l e rgen yang k i r a -k i r a ada d i

l i ngkungan pa s i en . Bila indurasi >6 mm pada usia <2 tahun akan memiliki

korelasi yang baik dengan uji DBPCFC.

3. Uji Eliminasi/Provokasi

Merupakan gold standart da r i d i agnos i s a l e rg i makanan . U j i yang

l a z im d igunakan adalah DBPCFC (double blind placebo control food challenge).

Orang tua mencatat diet makanan, gejala yang timbul, dan obat yang

diberikan kepada anak s e l ama 2 minggu . Se t e l ah i t u d i eva lua s i o l eh

dok t e r , dan mungk in d i t emukan makanan yang dicurigai, kemudian

makanan t e r s ebu t d i e l im inas i da r i d i e t nya s e l ama 2 minggu . B i l a

ge j a l a h i l ang a t au  berkurang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang

dicurigai. Uji provokasi sebaiknya dilakukan di rumah sakit.

3.6 DIAGNOSIS KERJA

Dermatitis Atopik

7

3.7 PENATALAKSANAAN

Non Medika Mentosa

Pada umumnya dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol. Langkah

yang penting penatalaksanaan non medika mentosa adalah seperti berikut :

1. Edukasi kepada orang tua pasien. Perlu dijelaskan secara rinci perjalanan penyakit,

dampak psikologis, prognosis dan prinsip penatalaksanaan. Langkah pertama yaitu

edukasi kepada orang tua pasien untuk menghindari atau mengurangi faktor penyebab

misalnya dengan eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus.

2. Menghindari faktor alergen pada bayi berumur kurang dari satu tahun akan

mengurangi beratnya gejala dermatitis atopik.

3. Mengganti popok, pakaian bayi agar kebersihan bayi tetap terjaga.

4.  Perawatan Kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Mandi selama 15-20 menit

2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)

karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan dan

setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut.

Medika Mentosa

Secara topikal : Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan

peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit

dapat dilakukan dengan :

1. Mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Jangan menggunakan

sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau

pembersih yang mempunyai pH 7,0.

2. Pelembab kulit, antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam

minyak, atau urea 10% dalam krim.

3. Krim kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi peradangan.

Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan

efek vasokonstriktor. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat

sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Untuk

daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Bila kasus

8

membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang

potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol maka hentikan

penggunaan.

Secara sistemik: Digunakan apabila tidak berhasil dengan pengobatan secara topical.

1. Antihistamin. Digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Merupakan

terapi standar, tetapi belum tentu efektif karena rasa gatal pada DA

bisa tak terkait dengan histamin. Dapat diberikan antihistamin seperti

difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Pada

bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula

menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk

menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang

memuaskan pada 50% penderita. 

3.8 PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad malam

9

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 VAKSINASI

Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan

aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

oleh organisme alami atau yang lainnya.

Pada umumnya, ada 3 kelompok vaksin berdasarkan struktur dan keadaan

mikroorganisme patogen yang digunakan sebagai imunogen, yaitu live vaccines, dead

vaccines dan subunit vaccines. Respon imun yang timbul akibat tindakan vaksinasi, sama

dengan respon imun yang timbul akibat masuknya patogen ke dalam tubuh. Oleh karena jenis

vaksin yang mirip dengan patogen adalah live vaccines, maka respon imun yang muncul dari

masuknya live vaccines mirip sekali dengan infeksi alamiah. Sedangkan dead vaccines dan

sub unit vaccines bukan imunogen yang kuat seperti live vaccines, maka respon imun yang

muncul agak berbeda.(1)

Tiga kelompok vaksin tersebut adalah :

1. Live vaccines : Merupakan imunogen yang baik, sebab mencetuskan danger signal

selama siklus hidupnya. Karena hidup intrasel, peptidanya memiliki akses kepada

mekanisme penetrasi antigen, lewat HLA kelas I dan merangsang CTLs. Live vaccines

merupakan vaksin yang pertama kali ditemukan dan masih merupakan jenis vaksin

yang paling efektif. Live vaccines sangat efektif karena:

Berkembang biak, sehingga terus menerus menyediakan antigen yang cukup

Replikasi intraseluler, menyediakan antigenic peptide kepada MHC kelas I,

sehingga merangsang CTLs

Replikasi pada tempat infeksi, membuat respons imun terfokus.

Contoh-contoh live vaccines antara lain BCG, Polio, Thypoid, MMR, Varicella

dan Yellow fever.

2. Killed Vaccines : Umumnya tidak seefektif seperti live vaccines dalam menimbulkan

suatu protective immune responses, meskipun teoritis lebih aman akan tetapi a killed

pertussis vaccines, dikhawatirkan karena efek sampingnya juga pada incompetent host,

10

yang sedang menggunakan immunosupresant seperti kortikosteroid atau mendapat

radiasi atau mengalami defek imunitas seluler. Vaksin ini tidak mencegah sepenuhnya

infeksi tetapi melindungi anak-anak dari komplikasi yang berat. Contoh-contoh killed

vaccines anatara lain Hepatitis A, Influenza, Polio dan Rabies.

3. Purified Antigen/Subunit vaccines : Merupakan jenis vaksin yang tidak memproduksi

danger signal dan memerlukan adjuvants untuk memperoleh T cells mediated respons

dengan cara menimbulkan depot effect, sehingga muncul repons imun alamiah dan

meningkatkan ekspresi kostimulator dan produksi sitokin. Tiga tipe vaksin ini yaitu :

toxoid, recombinant, polysaccharide-conjugate. Contoh-contoh Sub unit vaccines

antara lain : DTPw, DTsP, TT, Hepatitis B, HPV, HIB, Meningococcal dan

Pneumococcal.

Pada prinsipnya vaksinasi diberikan pada bayi usia 2 bulan, dimana sistem imunnya

sudah cukup matang untuk memproses vaksin yang diberikan. Neonatus memiliki APC yang

belum berfungsi sempurna, karena ekspresi MHC-nya masih kurang.Ditambah lagi, pada

masa janin sistem imun masih bersifat toleran.Hal ini bertujuan untuk mencegah agar janin

tidak ditolak, sehingga neonatus masih belum responsif terhadap vaksinasi.Oleh karena itu,

vaksinasi yang dilakukan sebelum 2 bulan perlu diulang.(1) Vaksinasi sebelum usia 2 bulan

umumnya diberikan untuk mencegah hepatitis B dan TBC.

Vaksinasi hepatitis B diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, karena dianggap

sebagai upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutus rantai penularan melalui

transmisi maternal dari ibu kepada bayinya. Bila status HbsAg ibu positif, diberikan secara

bersamaan, imunisasi pasif hepatitis B-immune globulin.

Vaksinasi BCG meski dianggap tidak dapat mencegah penyakit TBC, tetapi dapat mencegah

komplikasinya.Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan. Bila BCG diberikan pada usia lebih

dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.

Vaksin polio-0, sesuai pedoman Program Pengembangan Imunisasi, diberikan pada

saat bayi lahir. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar

dari daerah endemic polio.Karena OPV (Oral Polio Vaccine) berisi virus polio hidup, maka

penetesannya dilakukan saat bayi meninggalkan rumah sakit, agar tidak mencemari bayi lain,

karena virus polio oral dapat dieksresikan melalui tinja.

11

Vaksin polisakarida ini berasal dari bagian polisakarida kapsul bakteri yang bukan

protein. Oleh karena itu, vaksin ini merupakan T independent antigen yang hanya akan

menginduksi sekresi IgM, tanpa sel mepri ataupun class switching. Ada 4 jenis vaksin

polisakarida; yaitu untuk mencegah infeksi Streptococcus pneumonia, Neisseria mengitidis,

Haemophilus influenza tipe b, dan Salmonella typhi.Capsular polysaccharida merupakan

imunogen yang lemah, sehingga pemberiannya diperuntukan bagi anak diatas usia2 tahun.

Imunogenisitas vaksin polisakarida dapat ditingkatkan dengan mengikatkan suatu protein

karier, biasanya toksoid tetanus atau toksoid difteria, sehingga menjadi T dependet vaccines.

Saat ini vaksin polisakarida konjugat sudah tersedia di pasaran yaitu untuk Pneumococcus,

Meningococcus dan H. Influenza tipe b, yang akan menimbulkan repons humoral IgG dan

dapat diberikan kepada bayi usia 2 bulan.(1)

12

4.2.1 DERMATITIS ATOPIK

4.2.1 Definisi

Dermatitis Atopik (DA) merupakan dermatitis yang bersifat kronik, residif, distibrusi

simetris, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat gangguan alergi pada keluarga atau

individu tersebut (Mulyono, 1986).

Dermatitis Atopik (DA) adalah inflamasi kulit dengan etiologi yang belum diketahui,

berhubungan dengan keadaan atopi, timbul pada masa bayi atau anak serta dapat berlanjut

pada usia dewasa dengan tanda khas berupa rasa gatal dan predileksi lesi sesuai umur

penderita (Kariosentono, 2006).

4.2.2 Etiopatogenesis

Sampai saat ini, etiologi maupun mekanisme yang pasti mengenai DA belum

semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama

memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke

saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk

diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa

gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. DA

mempunyai penyebab multi factorial, antara lain :

1. Respon Imun Sistemik : Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang

diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga

terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.

2. Imunopatologi Kulit : Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini

menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi

endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+

maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda CLA+CD45RO+ dalam status

teraktivasi. Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi

penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka

diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut

mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan

menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinocyte diinduksi

13

oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di

microenvironment.

3. Respon imun kulit : Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari

kulit maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,

sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada

produksi IgE.

4. Genetik : Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom

3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari

mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya

berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma dan rhinitis. Resiko seorang kembar

monozigotik yang saudara kembarnya menderita DA adalah 86%.

Sebagian patogenesis DA  dapat dijelaskan secara imunologik dan non imunologik,

yaitu:

Reaksi imunologis

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti

asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar

80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA

terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di

kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA

adalah suatu penyakit atopi.

Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi

inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4,

Il-5, dan Il-13 yang tinggi, sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang

lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating

factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan 

(makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I.

Imunitas  seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada

80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga

rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat

kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri,  dan jamur meningkat.

14

Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah

vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya.

Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di

epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya

eksema.

Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi

untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan

beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di

kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.

Reaksi non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya

faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara

yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun.

Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan

rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan

mengakibatkan rasa gatal.

4.2.3 Gambaran Klinis

Bentuk klinis DA berbeda menurut fase umur penderita. Dikenal 3 fase dengan

gambaran klinik masing-masing fase berbeda (Moelyono, 1986) :

1. Tipe infantil.

Biasanya timbul pada usia 2 bulan sampai usia 2 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada usia

2-3 minggu. Bentuk yang paling sering adalah bentuk basah. Mula-mula berupa papula

milier kemudian timbul eritem, papulovesikel yang bila pecah akan menimbulkan erosi

dan eksudasi. Biasanya terjadi pada muka terutama pipi, dapat meluas ke dahi, kulit

kepala, leher, pergelangan tangan, ekstremitas bagian ekstensor dan bokong. Bentuk lain

yang jarang terjadi adalah bentuk kering. Kelainan dapat berupa papula kecil, skuama

halus, likenifikasi dan erosi. Eksaserbasi bisa terjadi karena tindakan vaksinasi, makanan,

bulu binatang atau perubahan suhu.

15

2. Tipe anak-anak

Timbul pada usia 2 tahun sampai 10 tahun. Kelainan dapat berupa papula, likenifikasi,

skuama, erosi dan krusta. Biasanya terjadi pada fossa poplitea, antekubiti, pergelangan

tangan, muka dan leher. Eksaserbasi tipe anak lebih sering terjadi karena iritasi dan

kadang-kadang karena makanan. Adapun stigmata Atopik pada anak (Soedarmadi, 1986),

yaitu :

Temperamen, anak tak pernah diam, iritabel dan agresif.

Lipatan bawah mata ( tanda Dennie-Morgan ).

Penipisan alis bagian lateral ( tanda Hertoghe ).

Kulit kering atau xerotik.

Pitiriasis alba.

Keratosis pilaris.

Muka pucat ( paranasal dan periorbita ).

Lipatan garis tangan berlebihan.

Keratokonus dan katarak juvenile.

Mudah terkena infeksi.

3. Tipe Dewasa

Kelainan yang ditemukan berupa bercak kering dengan likenifikasi, skuama halus dan

hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Biasanya terjadi pada daerah ekstremitas bagian

fleksor, leher, dahi dan mata. Eksaserbasi pada DA tipe dewasa sering terjadi karena

tekanan mental, iritasi dan makanan.

4.2.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan ELISA, untuk menilai :

• Imunoglobulin :  IgG, IgM, IgA dan IgD biasanya normal atau sedikit meningkat pada

penderita DA. Tujuh persen penderita DA mempunyai kadar IgA serum yang rendah, dan

defisiensi IgA transien banyak dilaporkan pada usia 3-6 bulan. Kadar IgE meningkat pada 80-

90% penderita DA dan lebih tinggi lagi bila sel asma dan rinitis alergika. Tinggi rendahnya

kadar IgE ini erat hubungannya dengan berat ringannya penyakit, dan tinggi rendahnya kadar

IgE tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, atau yang sedang mendapat

16

pengobatan prednison atau azatioprin. Kadar IgE ini akan menjadi normal 6-12 bulan setelah

terjadi remisi.

• Leukosit :

- Limfosit  : Jumlah limfosit absolut penderita alergi dalam batas normal, baik pada

asma, rinitis alergilk, maupun pada DA Walaupun demikian pada beberapa penderita

DA berat. dapat disertai menurunnya jumlah sel T dan meningkatnya sel B.

- Eosinofil : Kadar eosinofil pada penderita DA sering meningkat. Peningkatan ini

seiring dengan meningkatnya IgE, tetapi tidak seiring dengan beratnya penyakit.

- Leukosit polimorfonuklear (PMN) : Dari hasil uji nitro blue tetrazolium (NBT)

ternyata jumlah PMN biasanya dalam batas normal.

- Komplemen : Pada penderita DA kadar komplemen biasanya normal atau sedikit

meningkat.

- Bakteriologi : Kulit penderita DA aktif biasanya mengandung bakteri patogen, seperti

Staphylococcus aureus.

2. Prick test/ uji tusuk 

Pasien diduga menderita alergi makanan, juga diperiksa apakah pasien alergi

t e rhadap a l e rgen h i rup , ka r ena i t u p r i ck t e s t   dapa t d i l akukan s ebaga i

pemer ik saan  penunjang untuk mengetahui penyebab timbulnya DA (Dermatitis

Atopik) pada pasien i n i , dengan menggunakan eks t r ak a l e rgen yang k i r a -

k i r a ada d i l i ngkungan pa s i en , m i sa lnya a l e rgen h i rup s epe r t i t ungau ,

kapuk , debu rumah , bu lu kuc ing , t epung s a r i rumput; atau alergen makanan

seperti susu dan telur. Bila indurasi >6 mm pada usia <2 tahun akan memiliki

korelasi yang baik dengan uji DBPCFC.(2)

3. Uji Eliminasi/Provokasi

Merupakan gold standart da r i d i agnos i s a l e rg i makanan . U j i yang

l a z im d igunakan adalah DBPCFC (double blind placebo control food challenge). Orang

tua mencatat diet makanan, gejala yang timbul, dan obat yang diberikan kepada

anak s e l ama 2 minggu . Se t e l ah i t u d i eva lua s i o l eh dok t e r , dan mungk in

d i t emukan makanan yang dicurigai, kemudian makanan t e r s ebu t d i e l im inas i

da r i d i e t nya s e l ama 2 minggu . B i l a ge j a l a h i l ang a t au  berkurang maka

17

dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Uji provokasi sebaiknya

dilakukan di rumah sakit.

4. PRIST (Paper Radioimmunosorbent Test)

Merupakan pemeriksaan IgE total, berguna untuk menentukan status alergi

penderita.Kadar IgE > 300µ/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita

adalah atopi, ataumengalami infeksi parasit, atau keadaan depresi imun selular.

4.2.5 Diagnosis

Kriteria diagnostik DA pada mulanya didasarkan atas fenomena klinis yang menonjol,

yaitu gejala gatal. George Rajka menyatakan bahwa diagnosis DA tidak dapat dibuat tanpa

adanya riwayat gatal. Kemudian pada tahun 1980 Hanifin dan Rajka membuat kriteria

diagnostik DA yang masih sering digunakan hingga saat ini ( Kariosentono, 2006). Untuk

membuat diagnosis DA berdasarkan kriteria menurut Hanifin dan Rajka, dibutuhkan

sedikitnya 3 kriteria mayor ditambah 3 atau lebih kriteria minor.

Kriteria Diagnostik DA menurut Hanifin dan Rajka, 1980(3) :

A.Kriteria Mayor :

Pruritus

Morfologi sesuai umur dan distribusi lesi yang khas

Bersifat kronik eksaserbasi

Ada riwayat atopi individu atau keluarga

B.Kriteria Minor :

Hiperpigmentasi daerah periorbita

Tanda Dennie-Morgan

Keratokonus

Konjungtivitis rekuren

Katarak subkapsuler anterior

Cheilitis pada bibir

White dermatographisme

Pitiriasis Alba

Fissura pre aurikular

Dermatitis di lipatan leher anterior

18

Facial pallor

Hiperliniar palmaris

Keratosis palmaris

Papul perifokular hiperkeratosis

Xerotic

Iktiosis pada kaki

Eczema of the nipple

Gatal bila berkeringat

Awitan dini

Peningkatan Ig E serum

Reaktivitas kulit tipe cepat (tipe 2)

Kemudahan mendapat infeksi Stafilokokus dan Herpes Simpleks

Intoleransi makanan tertentu

Intoleransi beberapa jenis bulu binatang

Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi

Tanda Hertoghe ( kerontokan pada alis bagian lateral)

Kriteria Diagnostik DA menurut William tahun 1994 (cit. Mahadi, 2000) harus ada

rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan) ditambah 3 atau lebih :

o Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher

(termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).

o Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat penyakit atopi

pada anak-anak).

o Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.

o Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4 tahun).

o Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4 tahun).

4.2.6 Diagnosis Banding

Menurut Djuanda dan Sularsito tahun 2002, terdapat beberapa diagnosis banding

Dermatitis Atopik, yaitu(4) :

1. Dermatitis Seboroik Fasii : Dermatitis seboroik pada muka mirip dengan dermatitis atopik

tipe infant. Pada Dermatitis seboroik ditemukan skuama kekuningan dan berminyak pada

19

daerah alis mata dan lipatan nasolabial. Pada DA lesi ditemukan biasanya pada pipi dan

simetris.

2. Neurodermatitis Sirkumskripta (Liken Simpleks Kronikus) : Pada DA tipe anak dan

dewasa. Neurodermatitis Sirkumskripta dan DA sama-sama terasa gatal. Predileksi DA

pada lipat siku, lipat lutut (fleksor) dan tengkuk. Predileksi neurodermatitis Sirkumskripta

pada siku, punggung kaki (ekstensor) dan tengkuk. Pada DA biasanya sembuh setelah

umur 30 tahun sedangkan neurodermatitis sirkumskripta dapat berlanjut sampai tua.

3. Dermatitis Kontak Alergika : Lokasi pada semua bagian tubuh yang tekena bahan

kontaktan. Lesi eritema bentuk numular hingga plakat, papula dan vesikel berkelompok

disertai erosi. Terjadi pada semua umur.

4. Dermatitis Numularis : Lesi eritematosus eksudatif berbentuk koin pada ekstremitas

bagian ekstensor, bokong dan bahu disertai dengan Koebner fenomena. Lebih sering

dijumpai pada pria dewasa.

4.2.7 Penatalaksanaan

Pada umumnya dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikontrol.

Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala dan

mencegah kekambuhan. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan

bertambahnya usia. Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan,

sedang maupun berat, berupa perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin,

tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan.

Adapun penatalaksanaan Dermatitis Atopik dibagi menjadi medika mentosa dan non-medika

mentosa.(5)

Non Medika Mentosa

1. Edukasi kepada orang tua pasien. Perlu dijelaskan secara rinci perjalanan penyakit,

dampak psikologis, prognosis dan prinsip penatalaksanaan. Langkah pertama yaitu

edukasi kepada orang tua pasien untuk menghindari atau mengurangi faktor penyebab

misalnya dengan eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor pencetus.

2. Menghindari faktor alergen pada bayi berumur kurang dari satu tahun akan mengurangi

beratnya gejala dermatitis atopik. Maka dianjurkan agar bayi dengan riwayat keluarga

alergi memperoleh ASI sedikitnya 3 bulan, jika memungkinkan 6 bulan pertama dan ibu

20

yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang tanah, terigu, dan susu sapi.

Karena susu sapi diduga alergen kuat pada bayi dan anak. Maka bagi mereka yang jelas

alergi terhadap susu dapat menggantinya dengan susu kedelai, walaupun kemungkinan

alergi terhadap susu kedelai masih ada. Sekitar 60% penderita DA di bawah usia 2 tahun

memberikan reaksi positif pada uji kulit terhadap telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi

positif ini akan menghilang dengan bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif

terhadap antigen makanan tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala klinisnya.

Demikian pula hasil uji provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak selalu

berhasil untuk mengatasi penyakitnya.

3. Mengganti popok, pakaian bayi agar kebersihan bayi tetap terjaga.

4.  Perawatan Kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat

adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar

hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak

menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi

penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi memberihkan sisa air

dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi

karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan

water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid.

Medika Mentosa : Secara medika mentosa pasien ini perlu diberi obat secara topikal dan

sistemik.

Secara topikal : Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan

pengobatan sistemik. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat

dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik. Pengobatan topikal adalah untuk

mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara

hidrasi kulit dapat dilakukan dengan :

1 Mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Jangan menggunakan sabun yang

bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai

pH 7,0.

3. Pemberian pelembab kulit, antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam

minyak, atau urea 10% dalam krim.

4. Krim kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi peradangan. Kortikosteroid

topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor.

21

Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak

digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya

pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim

pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Bila

dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat

ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat.

Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat

dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik. Efek samping dari penggunaan

kortikosteroid yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne

dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-

pituitary-adrenal axis. Bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan

diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol maka

hentikan penggunaan.

Secara sistemik: Digunakan apabila tidak berhasil dengan pengobatan secara topikal.

1. Antihistamin. Digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Merupakan terapi standar,

tetapi belum tentu efektif karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan

histamin. Dapat diberikan antihistamin seperti difenhidramin atau terfenadin, atau

antihistamin nonklasik lain. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan

kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium

kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang

memuaskan pada 50% penderita. 

2. Kortikosteroid oral : Pemakaian sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat

dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari

dalam waktu 4 hari. Dengan kortikosteroid sistemik, efek perbaikannya cepat,

tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus

diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.

3. Tars : Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti

kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar

adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak.

4. Antibiotik sistemik : Dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas

dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin,

sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada krusta

yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin

22

merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin,

dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila

alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada

pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan

metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari

hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus 60% resisten

terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak

ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan

umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.

Secara konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut Boguniewicz & Leung

tahun 1996 (cit.Kariosentono, 2006) adalah sebagai berikut :

1. Menghindari bahan iritan : Bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena penderita

DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.

2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : Pemicu kekambuhan yang telah terbukti

misalnya makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus disingkirkan.

3. Mengurangi stress : Stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan, bukan

sebagai penyebab.

4. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : Dapat memperbaiki

barier stratum korneum.

5. Kortikosteroid topikal : Sebagai anti inflamasi dann anti pruritus. Dipilih yang potensinya

paling lemah untuk menghindari efek samping berupa atrofi, teleangiektasi, striae dan

takifilaksi.

6. Antibiotik : Ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder.

7. Antihistamin : Digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan banyak

digunakan untuk terapi DA.

4.2.8 Komplikasi

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari.

Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus maupun

bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan herpes). Infeksi

23

virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan disebut eksema

herpetikum atau eksema vaksinatum.

Eksema vaksinatum ini sudah jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian

vaksin varisela, baik pada keluarga maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat

tertular oleh salah seorang anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah

pecah dan membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita

DA juga mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus aureus.

4.2.9 Prognosis

Tujuh puluh lima persen DA tipe infantil dan anak akan sembuh spontan pada umur

10-14 tahun menurut Gigli dan Baer tahun 1979 (cit. Soedarmadi, 1986). Sebagian akan

berkesinambungan dengan kulit yang sensitif dan cenderung terjadi DA akibat iritan primer

yang mudah terkontrol menurut Emerson tahun 1979 (cit. Soedarmadi, 1986).

BAB V

KESIMPULAN

24

Istilah atopik bisa mencakup sindrom-sindrom pernapasan berupa asma dan rhinitis

dan manifestasi kulit atopik, yang memiliki predisposisi genetik sama dan hiperaktivitas

organ target terhadap agen-agen farmakologi (iritan). Definisi dari dermatitis Atopik (DA)

sendiri adalah keadaan peradangan kulit kronis residif, disertai rasa gatal yang berhubungan

dengan riwayat atopi. Sampai saat ini, etiologi maupun mekanisme yang pasti belum

semuanya diketahui. Adapun beberapa factor pencetus terjadinya dermatitis atopik yaitu

makanan, alergen hirup, cuaca, dan sebagainya. Terdapat tiga bentuk klinis dermatitis atopik,

yaitu bentuk infantil, bentuk anak, dan bentuk dewasa.

Diagnosis DA ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik menurut Hanifin dan Rajka

pada tahun 1980 yang sampai sekarang masih digunakan. Beberapa kriteria diagnostik lain

yaitu kriteria Svenssons dan yang terbaru adalah kriteria William dkk. pada tahun 1994.

Menurut Kriteria Asosiasi Dermatologi Jepang, untuk diagnosis dermatitis atopik

menekankan bahwa kebanyakan orang dengan dermatitis atopik memiliki diatesis atopik –

didefinisikan sebagai memiliki riwayat pribadi dan produksi antibodi IgE yang berlebihan.

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari.

Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk menghilangkan gejala dan

mencegah kekambuhan. Membutuhkan terapi yang integral dan sistemik, meliputi hidrasi

kulit, terapi topikal, identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dan pencetus dan bila perlu

terapi sistemik. Sebagian penderita mengalami perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

25

1. Wiradharma D, Wiradharma K, Rusli I. Jenis-Jenis Vaksin.In:Wiradharma K. Konsep

Dasar Vaksinasi. 2011. Jakarta: Sagung Seto. P. 5-20.

2. Kliegman RM, Behrman RE, Jensen HB, Stanton BF. NelsonTextbook of

Pediatrics. 18th Edition. Saunders Elsevier. P. 971-5.

3. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . Edisi 5.

2008. Jakarta: FKUI. P.138-47.2.

4. Mahadi IDR. Ekzema dan Dermatitis. In: Harahap M, Ed. Ilmu Penyakit

Kulit. 2000. Jakarta: Hipokrates. P. 6 – 14.

5. Children allergy center. Dermatitis atopik pada anak.

http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/17/dermatitis-atopik/. Accessed

on 15 march 2012.

26