Dermatitis Atopik (Makalah)

25
DERMATITIS ATOPIK 1. Definisi Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005). Istilah lain adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural, neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier. Dermatitis Atopik adalah sautu peradangan menahun pada lapisan atas kulit yang menyebabkan rasa gatal; seringkali terjadi pada penderita rinitis alergika atau penderita asma dan pada orang-orang yang anggota keluarganya ada yang menderita rinitis alergika atau asma. Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama (70-80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai dengan peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik atau non alergik, terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan tanpa sensitisasi terhadap

Transcript of Dermatitis Atopik (Makalah)

Page 1: Dermatitis Atopik (Makalah)

DERMATITIS ATOPIK

1. Definisi

Dermatitis atopik (DA) ialah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,

disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering

berhubungan dengan peningkatan IgE dalam serum dan riwayat atopi keluarga atau

penderita (DA, rhinitis alergi, dan atau asma bronchial) (Sularsito S.A., & Djuanda

A., 2005).

Istilah lain adalah ekzema atopik, ekzema konstitusional, ekzema fleksural,

neurodermatitis diseminata, prurigo Besnier.

Dermatitis Atopik adalah sautu peradangan menahun pada lapisan atas kulit

yang menyebabkan rasa gatal; seringkali terjadi pada penderita rinitis alergika atau

penderita asma dan pada orang-orang yang anggota keluarganya ada yang menderita

rinitis alergika atau asma.

Didapatkan dua tipe DA, bentuk alergik yang merupakan bentuk utama (70-

80% pasien) terjadi akibat sensitisasi terhadap alergen lingkungan disertai dengan

peningkatan kadar IgE serum. Bentuk lain adalah bentuk intrinsik atau non alergik,

terdapat pada 20-30% pasien, dengan kadar IgE rendah dan tanpa sensitisasi terhadap

alergen lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan kadar IgE bukan

merupakan prasyarat pada patogenesis dermatitis atopik. Terdapat pula konsep

bentuk murni (Pure Type), tanpa berkaitan dengan penyakit saluran nafas dan bentuk

campuran (Mixed Type) yang terkait dengan sensitisasi terhadap alergen hirup atau

alergen makanan disertai dengan peningkatan kadar IgE (Soebaryo R.W., 2009).

2. Etiologi

Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan

oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa

predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis,

interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem saraf otonom,

Page 2: Dermatitis Atopik (Makalah)

sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen

hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk.,

2009).

Faktor psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus

faktor pencetus lain diantaranya yaitu :

1. Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge

(DBPCFC), hampir 40% bayi dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai

riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak dengan alergi makanan

umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap

pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu

makanan tertentu, tidak berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan

tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu uji eliminasi dan provokasi

terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W.,

2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan

dermatitis atopik berat. Makanan yang sering mengakibatkan alergi antara lain

susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan laut (Roesyanto I.D.,

& Mahadi., 2009).

2. Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat

dibuktikan dengan uji tempel, positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat

inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau debu rumah (TDR) bulu

binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim

(Judarwanto W., 2009).

3. Infeksi kulit

Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang

berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik.

Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita

DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus

Page 3: Dermatitis Atopik (Makalah)

dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada

kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan

salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan

merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain

dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah

adanya toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang

dihasilkan Staphylococcus aureus ini dapat menembus fungsi sawar kulit,

sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin tersebut bersifat

sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan

makrofag yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus

aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis atopik dan memprovokasi

pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus,

tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi

antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap

enterotoksin Staphylococcus aureus.

3. Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor

genetik terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor

lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).

a. Genetik

Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,

kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang

independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan

HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti asma

dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya

menderita DA adalah 86% (Judarwanto W., 2009).

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga

akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang

tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi

Page 4: Dermatitis Atopik (Makalah)

sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orangtua menderita

atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan

dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka

risiko untuk mewariskan kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.

b. Sawar kulit

Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat

air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan

fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan metabolisme

lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan transepidermal

water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port d’entry untuk

terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA

mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W.,

2009).

Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang

diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti

mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi ini lifespan

dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE. Lesi akut

didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh

ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil

(Judarwanto W., 2009).

Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+.

Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan

menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah perifer pasien

DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan petanda

CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang

teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab

apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis karena mereka

diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM). Sel-sel T tersebut

mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan

menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit

Page 5: Dermatitis Atopik (Makalah)

diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang

berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).

c. Lingkungan

Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada

DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan

virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut

mendukung teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh

pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan

terhadap penyakit atopik (Sugito T.L., 2009). Sampai saat ini etiologi maupun

mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus

pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut

dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal

sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk

diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah

menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi

menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara

imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).

d. Imnopatogenesis DA

Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan

menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan produksi

sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini mempunyai

kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan lesi

ekzematosa. kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema,

mungkin akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien

dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE secara berlebihan diturunkan

secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor). Defisiensi

sel ini menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik

alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-

Page 6: Dermatitis Atopik (Makalah)

13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE (Judarwanto W.,

2009).

Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya

seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak

dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam

darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan

asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini

memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

• Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada

reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai

dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai

kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-

macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan

pada DA akut. Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen

lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi

hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas

tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya

jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+)

terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi

virus, bakteri, dan jamur meningkat. Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel

mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin,

bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa

dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya

tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para

ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma

mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya

diepidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah

beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).

Page 7: Dermatitis Atopik (Makalah)

e. Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai

afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI

pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit

Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan

Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).

f. Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain

adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering

akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan

rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan

mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W., 2009).

g. Autoalergen

Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE

terhadap protein manusia.Autoalergen tersebut merupakan protein

intraseluler,yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat garukan

dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada dermatitis atopik berat, inflamasi

tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga

dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit terkait dengan alergi dan

autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009).

4. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan

kehidupan, mulai dari saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat

keparahan yang berbeda, tetapi secara umum mereka mengalami pola distribusi lesi

yang serupa (Zulkarnain I., 2009).

Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid diepidermis

berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung

tipe astenik, dengan intelegensia diatas rata-rata,sering merasa cemas, egois, frustasi,

agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Page 8: Dermatitis Atopik (Makalah)

Subyektif selalu terdapat pruritus.Terdiri atas 3 bentuk, yaitu:

1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun).

Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya

bersifat akut, sub akut, rekuren, simetris dikedua pipi (Zulkarnain I., 2009).

Karena letaknya didaerah pipi yang berkontak dengan payudara, sering disebut

eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul dan

vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat

predileksi dikedua pipi, ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer

A.,dkk., 2001). Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak

gelisah, susah tidur, dan sering menangis. Pada umumnya lesi DA infantil

eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami infeksi. Lesi dapat

meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar

usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)

Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan

fase bayi. Pada kondisi kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan

likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan, akan tampak erosi, eksoriasi linear

yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital, dan

fleksor popliteal. Sangat jarang diwajah. lesi DA pada anak juga bisa terjadi

dipaha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).

Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor(luar) daerah

persendian, (sendi pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga

dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)

Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-

anak. Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi.

Tempat predileksi tengkuk serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.

Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama

Page 9: Dermatitis Atopik (Makalah)

jika berkeringat. Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis,

iktiosis, hiperlinearis Palmaris et plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis

pilaris (berupa papul-papul miliar, ditengahnya terdapat lekukan), dll. (Mansjoer

A.,dkk., 2001). Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh

apabila mengalami stress, mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang

gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama kemudian menurun dan membaik

(sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya sebagian

kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

5. Komplikasi

Pada anak penderita DA, 75% akan disertai penyakit alergi lain di kemudian hari.

Penderita DA mempunyai kecenderungan untuk mudah mendapat infeksi virus

maupun bakteri (impetigo, folikulitis, abses, vaksinia. Molluscum contagiosum dan

herpes). Infeksi virus umumnya disebabkan oleh Herpes simplex atau vaksinia dan

disebut eksema herpetikum atau eksema vaksinatum. Eksema vaksinatum ini sudah

jarang dijumpai, biasanya terjadi pada pemberian vaksin varisela, baik pada keluarga

maupun penderita. lnfeksi Herpes simplex terjadi akibat tertular oleh salah seorang

anggota keluarga. Terjadi vesikel pada daerah dermatitis, mudah pecah dan

membentuk krusta, kemudian terjadi penyebaran ke daerah kulit normal. Penderita

DA juga mempunyai kecenderungan meningkatnya jumlah koloni Staphylococcus

aureus.

6. Penatalaksanaan

Pada umumnya dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat

dikontrol. Pengobatan DA tidak bersifat menghilangkan penyakit tapi untuk

menghilangkan gejala dan mencegah kekambuhan. Sebagian penderita mengalami

perbaikan sesuai dengan bertambahnya usia. Penatalaksanaan dasar diberikan untuk

semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa perawatan kulit, hidrasi,

kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan

Page 10: Dermatitis Atopik (Makalah)

eliminasi faktor-faktor pencetus kekambuhan. Adapun penatalaksanaan Dermatitis

Atopik dibagi menjadi medika mentosa dan non-medika mentosa.

Non Medika Mentosa

1. Edukasi kepada orang tua pasien. Perlu dijelaskan secara rinci perjalanan

penyakit, dampak psikologis, prognosis dan prinsip penatalaksanaan. Langkah

pertama yaitu edukasi kepada orang tua pasien untuk menghindari atau mengurangi

faktor penyebab misalnya dengan eliminasi makanan, faktor inhalan, atau faktor

pencetus.

2. Menghindari faktor alergen pada bayi berumur kurang dari satu tahun akan

mengurangi beratnya gejala dermatitis atopik. Maka dianjurkan agar bayi dengan

riwayat keluarga alergi memperoleh ASI sedikitnya 3 bulan, jika memungkinkan 6

bulan pertama dan ibu yang menyusui dianjurkan untuk tidak makan telur, kacang

tanah, terigu, dan susu sapi. Karena susu sapi diduga alergen kuat pada bayi dan anak.

Maka bagi mereka yang jelas alergi terhadap susu dapat menggantinya dengan susu

kedelai, walaupun kemungkinan alergi terhadap susu kedelai masih ada. Sekitar 60%

penderita DA di bawah usia 2 tahun memberikan reaksi positif pada uji kulit terhadap

telur, susu, ayam, dan gandum. Reaksi positif ini akan menghilang dengan

bertambahnya usia. Walaupun pada uji kulit positif terhadap antigen makanan

tersebut di atas, belum tentu mencerminkan gejala klinisnya. Demikian pula hasil uji

provokasi, sehingga membatasi makanan anak tidak selalu berhasil untuk mengatasi

penyakitnya.

3. Mengganti popok, pakaian bayi agar kebersihan bayi tetap terjaga.

4. Perawatan Kulit Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang

adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan

menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit

2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)

karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah

mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan

Page 11: Dermatitis Atopik (Makalah)

topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien

kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid.

Medika Mentosa : Secara medika mentosa pasien ini perlu diberi obat secara topikal

dan sistemik.

Secara topikal : Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan

pengobatan sistemik. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka

dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik. Pengobatan topikal adalah

untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau

memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan :

Mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Jangan menggunakan sabun

yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang

mempunyai pH 7,0.

Pemberian pelembab kulit, antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam

minyak, atau urea 10% dalam krim.

Krim kortikosteroid dapat diberikan untuk mengatasi peradangan.

Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek

vasokonstriktor. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya

berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah

teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan

kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka

sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%. Bila dengan kortikosteroid

topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim

yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan

pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan

pemberian pengobatan sistemik. Efek samping dari penggunaan kortikosteroid

yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan

kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-

pituitary-adrenal axis. Bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan

dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol

Page 12: Dermatitis Atopik (Makalah)

maka hentikan penggunaan. Secara sistemik: Digunakan apabila tidak berhasil

dengan pengobatan secara topikal.

1. Antihistamin. Digunakan untuk mengurangi rasa gatal. Merupakan terapi standar,

tetapi belum tentu efektif karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan

histamin. Dapat diberikan antihistamin seperti difenhidramin atau terfenadin,

atau antihistamin nonklasik lain. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan

kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium

kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang

memuaskan pada 50% penderita.

2. Kortikosteroid oral : Pemakaian sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat

dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari

dalam waktu 4 hari. Dengan kortikosteroid sistemik, efek perbaikannya cepat,

tetapi flare yang parah sering terjadi pada steroid withdrawal. Bila tetap harus

diberikan, tapering dan perawatan intensif kulit harus dijalankan.

3. Tars : Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti

kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar

adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis kontak.

4. Antibiotik sistemik : Dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas

dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin,

sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin Infeksi di curigai bila ada

krusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten

penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi

penisilin, dicloxacillin atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini

pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan

perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan

menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah

klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus

aureus 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap

tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan

ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.

Page 13: Dermatitis Atopik (Makalah)

Secara konvensional pengobatan DA pada umumnya menurut Boguniewicz & Leung

tahun 1996 (cit.Kariosentono, 2006) adalah sebagai berikut :

1. Menghindari bahan iritan : Bahan seperti sabun, detergen, bahan kimiawi karena

penderita DA mempunyai nilai ambang rendah dalam merespon berbagai iritan.

2. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti : Pemicu kekambuhan yang telah

terbukti misalnya makanan, debu rumah, bulu binatang dan sebagainya harus

disingkirkan.

3. Mengurangi stress : Stress pada penderita DA merupakan pemicu kekambuhan,

bukan sebagai penyebab.

4. Pemberian pelembab kulit dan menghilangkan pengeringan kulit : Dapat

memperbaiki barier stratum korneum.

5. Kortikosteroid topikal : Sebagai anti inflamasi dann anti pruritus. Dipilih yang

potensinya paling lemah untuk menghindari efek samping berupa atrofi,

teleangiektasi, striae dan takifilaksi.

6. Antibiotik : Ditujukan pada DA dengan infeksi sekunder.

7. Antihistamin : Digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan dan banyak

digunakan untuk terapi DA.

7. Pencegahan

Salah satu faktor perlindungan utama DA adalah ASI. ASI yang diberikan

secara eksklusif selama 6 bulan kehidupan akan memberikan keuntungan nutrisional

dan melindungi anak dari penyakit alergi. ASI eksklusif selama 6 bulan dimaksudkan

untuk menghindarkan bayi dari pemberian makanan yang dapat menimbulkan dan

sebagai faktor presipitasi alergi. ASI kaya akan immunoglobulin A (IgA) yang dapat

membantu melindungi saluran cerna dengan mengikat protein asing yang berpotensi

sebagai alergen dan menghambat absorbsinya. Kandungan ASI akan menstimulasi

pematangan saluran cerna, sehingga akan lebih siap untuk menerima antigen,

mengatur flora normal saluran cerna dan faktor imunomodulator. Bayi dengan risiko

Page 14: Dermatitis Atopik (Makalah)

tinggi atopik yang tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai risiko lebih tinggi untuk

menderita dermatitis atopic.

Page 15: Dermatitis Atopik (Makalah)

DAFTAR PUSTAKA

Budiastuti M., Wandita S., Sumandiono., 2007 . Exclusive breastfeeding and risk of

atopic dermatitis in high risk infant. Berkala Ilmu Kedokteran, Volume 39, No. 4,

Hal. 192-198.

Fauzi N., Sawitri, Pohan S.S., 2009. Korelasi antara Jumlah Koloni Staphylococcus

Aureus & IgE spesifik terhadap Enterotoksin Staphylococcus Aureus pada Dermatitis

Atopik. Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR / RSU Dr.

Soetomo. Surabaya.

Judarwanto W., 2009. Dermatitis Atopik. Children Allergy Clinic Information;

www.Childrenallergicclinic.wordpress.com.

Mansjoer A., Kuspuji T., Rakhmi S., Wahyu I.W., Wiwiek S.,(Ed). 2001. Dermatitis

Atopik dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta. Penerbit

Media Aesculapius FKUI. Hal.

Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009. Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik.

dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed).

Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal.12-20.

Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005. Atopic dermatitis. Periodic synopsis. J Am

Acad Dermatol. 53(1): 115-28

Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005. Dermatitis. dalam Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin. (Ed).IV.Jakarta; Balai Penerbit FK UI; Hal.129-47.

Sugito T.L., 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja

S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai

Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-55

Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L.,

Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Balai Penerbit FK UI.

Jakarta. Hal. 39-51.

William H.C., 2005. Atopic Dermatitis. N Engl J Med;; 352: 2314-24.

Zulkarnain I., 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam

Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis

Atopik. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. Hal. 39-51

Page 16: Dermatitis Atopik (Makalah)

TUGAS FARMAKOTERAPI

TERAPAN II

DERMATITIS ATOPIK

Oleh:

MUKHSIN MUKHTAR

REZI DOVETRA

PROGRAM PROFESI APOTEKER ANGKATAN II

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2014