Makalah dermatitis atopik part 1

36
BAB I EPIDEMIOLOGI Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009). Peningkatan prevalensi dermatitis atopik telah tercatat secara baik pada berbagai rentang kelompok usia dan lokasi geografis. Tingkat polusi udara, industrialisasi dan urbanisasi, perubahan pola makan, dan tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi merupakan beberapa faktor yang dianggap bertanggung jawab pada peningkatan prevalensi penyakit tersebut. Walaupun kurang lebih setengah kasus dapat didiagnosis pada tahun pertama kehidupan, dermatitis atopik biasanya berdampak pada kondisi jangka panjang. Sebagai contoh, sepertiga pasien mengalami dermatitis atopik hingga dewasa. Prevalensi pada anak usia sekolah kurang lebih 17%. Gejala yang parah dengan onset yang lebih cepat memiliki hubungan yang erat dengan penyebaran penyakit yang lebih luas. Seringkali dermatitis atopik tidak dianggap sebagai penyakit mayor, tetapi dianggap sebagai kondisi minor. Walaupun demikian, banyak penelitian menunjukkan dampak yang besar pada keluarga pasien, terutama dari segi keuangan, sosial, serta dari hubungan sosial. Penelitian di Australia melaporkan adanya peningkatan stres pada orang tua yang merawat anak dengan dermatitis atopik dibandingkan anak dengan diabetes yang tergantung dengan insulin. Dilaporkan juga adanya gangguan tidur. Di Amerika Serikat, dermatitis atopik mewakili sekitar 4 % kunjungan ruang gawat darurat. Sistem kesehatan di hampir seluruh negara terbebani dengan biaya ekonomi yang besar baik secara langsung

Transcript of Makalah dermatitis atopik part 1

Page 1: Makalah dermatitis atopik part 1

BAB I

EPIDEMIOLOGI

Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai dengan

rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik ditandai dengan

penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan ini juga berhubungan

dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya (Fauzi N., dkk.,2009).

Peningkatan prevalensi dermatitis atopik telah tercatat secara baik pada berbagai rentang kelompok

usia dan lokasi geografis. Tingkat polusi udara, industrialisasi dan urbanisasi, perubahan pola makan, dan

tingkat sosioekonomi yang lebih tinggi merupakan beberapa faktor yang dianggap bertanggung jawab

pada peningkatan prevalensi penyakit tersebut. Walaupun kurang lebih setengah kasus dapat didiagnosis

pada tahun pertama kehidupan, dermatitis atopik biasanya berdampak pada kondisi jangka panjang.

Sebagai contoh, sepertiga pasien mengalami dermatitis atopik hingga dewasa. Prevalensi pada anak usia

sekolah kurang lebih 17%. Gejala yang parah dengan onset yang lebih cepat memiliki hubungan yang erat

dengan penyebaran penyakit yang lebih luas.

Seringkali dermatitis atopik tidak dianggap sebagai penyakit mayor, tetapi dianggap sebagai kondisi

minor. Walaupun demikian, banyak penelitian menunjukkan dampak yang besar pada keluarga pasien,

terutama dari segi keuangan, sosial, serta dari hubungan sosial. Penelitian di Australia melaporkan adanya

peningkatan stres pada orang tua yang merawat anak dengan dermatitis atopik dibandingkan anak dengan

diabetes yang tergantung dengan insulin. Dilaporkan juga adanya gangguan tidur. Di Amerika Serikat,

dermatitis atopik mewakili sekitar 4 % kunjungan ruang gawat darurat. Sistem kesehatan di hampir

seluruh negara terbebani dengan biaya ekonomi yang besar baik secara langsung maupun tidak langsung

akibat dari terapi dan kesakitan sosial (Sukandar, et al., 2011).

Sejak tahun 1960an, terjadi peningkatan prevalensi dermatitis atopik lebih dari tiga kali lipat. Di

samping itu, perkiraan terbaru menunjukkan bahwa dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan

masyarakat utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak-anak mencapai 10% hingga 20% di

Amerika Serikat, Eropa Utara dan Barat, Afrika Perkotaan, Jepang, dan negara-negara maju. Prevalensi

dermatitis atopik pada orang dewasa adalah sekitar 1% sampai 3%. Menariknya, prevalensi dermatitis

atopik jauh lebih rendah di negara-negara pertanian seperti Cina dan di Eropa Timur, Afrika Pedesaan,

dan Asia Tengah. Juga terdapat kecenderungan pada wanita, dengan rasio 1,3:1,0.

Dalam hal ini, perkembangan kajian epidemiologi dermatitis atopik dikatakan sangat lambat, hal ini

disebabkan oleh beragamnya manifestasi klinis dermatitis atopik, masih terdapatnya perbedaan cara

pencatatan serta tidak seragamnya pengertian terminologi terkait dermatitis atopik. Perbedaan ini

menyebabkan studi banding antar negara menjadi tidak mudah, variasi yang ditemukan sangat besar,

berkisar antara 0,7% sampai 20,1% (Williams, 2000; Beltrani and Boguniewicz, 2004).

Page 2: Makalah dermatitis atopik part 1

Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dermatitis atopik terus meningkat dan

mencapai angka estimasi 20% pada populasi umum (Laughter et al., 2000; Kagi et al., 1994). Prevalensi

dermatitis atopik dapat meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara-negara industri selama tiga

dekade terakhir, 15 sampai 30% dari anak-anak dan 2 sampai 10% dari orang dewasa adalah terkena.

Gangguan ini sering merupakan tahap awal menuju diatesis atopik yang mencakup asma dan penyakit

alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa infan.

Dermatitis atopik bisa menyerang semua ras. Imigran dari negara maju ke negara berkembang

memiliki insidensi lebih tinggi dibandingkan dengan populasi biasanya. Perbandingan rasio penderita

laki-laki dan perempuan adalah 1:1,4. Delapan puluh lima persen dermatitis atopik terjadi pada 1 tahun

pertama kehidupan, dan 95% kasus terjadi pada 5 tahun pertama. Insidensi dermatitis atopik paling tinggi

terjadi pada masa bayi dan anak-anak. Penyakit ini dapat mengalami remisi terutama di masa remaja, dan

dapat kambuh kembali saat dewasa (Krafchik, 2011).

Sekitar 60% kasus dermatitis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 85% dermatitis atopik terjadi

pada 5 tahun pertama dan jarang terjadi setelah umur 45 tahun. (Beltrani and Boguniewicz, 2004).

Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin, kejadian saat dewasa lebih banyak pada wanita,

sedang pada anak-anak lebih banyak laki-laki (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010).

Pada 70 % kasus dermatitis atopik umumnya dimulai saat anak-anak di bawah 5 tahun dan 10% saat

remaja / dewasa (William H.C., 2005). Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan

episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak

akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema

hingga dewasa. Diperkirakan angka kejadian di masyarakat adalah sekitar 1-3% dan pada anak < 5 tahun

sebesar 3,1% dan prevalensi DA pada anak  meningkat 5-10% pada 20-30 tahun terakhir (Judarwanto W.,

2009). Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang

menderita atopi akan mengalami dermatitis atopik (Djuanda et al., 2007).

Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita dermatitis atopik (Williams,

2000). Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka prevalensi yang pernah

dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan 20,8% di Singapura (Tay et al., 2002).

Prevalensi dermatitis atopik di Indonesia sendiri juga bervariasi. Data dari tujuh RS di lima kota besar di

Indonesia pada tahun 2000 menemukan dermatitis atopik masih menempati peringkat pertama (23,67%)

dari 10 besar penyakit kulit anak (Anonim-2, 2000). Data serupa pada tahun 2005 dari 10 RS besar di

seluruh Indonesia menemukan angka 36% dari seluruh kasus (Anonim-1, 2005).

Menurut Boediardja (1996) yang telah mengumpulkan data prevalensi dalam kurun waktu 1 tahun

(Oktober 1994 - September 1995) diperoleh dari 10 rumah sakit terbesar di Indonesia dengan jumlah total

3237, kelompok umur terbanyak 5 - 14 tahun diikuti 1 - 4 tahun dan sisanya penderita dewasa. Jumlah

penderita perempuan sebanyak 1851 orang sedangkan laki-laki sebanyak 1386 orang. (Boediarja, 1999).

Page 3: Makalah dermatitis atopik part 1

Data morbiditas di 10 rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia menunjukkan bahwa dermatitis atopik

mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis dermatitis. (Anonim-1, 2005).

Menurut laporan kunjungan bayi dan anak di RS di Indonesia, dermatitis atopik berada pada urutan

pertama (611 kasus) dari 10 penyakit kulit yang umum ditemukan pada anak-anak. Di klinik

Dermatovenereologi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta, pada periode bulan Februari 2005 sampai Desember

2007, terdapat 73 kasus dermatitis atopik pada bayi (Budiastuti M.,dkk., 2007). Sedangkan data di Unit

Rawat Jalan Penyakit kulit Anak RSU Dr. Soetomo didapatkan jumlah pasien DA mengalami

peningkatan sebesar 116 pasien (8,14%) pada tahun 2006, tahun 2007 sebesar 148 pasien (11.05%)

sedangkan tahun 2008 sebanyak 230 pasien (11.65%) (Zulkarnain I., 2009). Prevalensi pada anak laki-

laki sekitar 20 %, 12 persen pada tahun-tahun sebelum studi, dan 19% anak perempuan (11% pada tahun

sebelum tahun 2000) (Tada J., 2002).

Pada penderita DA 30 % akan berkembang menjadi asma, dan 35% berkembang menjadi rhinitis

alergi. Berdasarkan International Study of Ashma, and Alergies in Children prevalensi gejala dermatitis

atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun pertama bervariasi yakni kurang dari dua

persen di Iran dan Cina sampai kira-kira 20 persen di Australia, Inggris dan Skandinavia. Prevalensi yang

tinggi juga ditemukan di Amerika. Di Inggris, pada survei populasi pada 1760 anak-anak yang menderita

DA dari usia satu sampai lima tahun ditemukan kira-kira 84 persen kasus ringan, 14 persen kasus sedang,

2 persen kasus berat (William H.C., 2005).

Page 4: Makalah dermatitis atopik part 1

BAB II

PATOFISIOLOGI

a. Definisi

Dermatitis adalah peradangan kulit  (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh

faktor eksogen dan atau faktor endogen. Sedangkan atopi berasal dari kata atopos (Yunani) yang berarti

Out of Place atau Strange diseases. Kata atopi pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1928), yaitu istilah

yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam

keluarganya misalnya asma bronkial, rinitis alergika, dermatitis atopik,  dan konjungtivitis alergik

(Djuanda, dkk., 2005).

Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai

riwayat kepekaan dalam keluarganya misalnya asma bronchial, rhinitis alergika, dermatitis atopik dan

konjungtivitis alergik atau juga bisa berarti hipersensitifitas familial di kulit dan membran mukosa

terhadap alergen lingkungan, terkait dengan peningkatan produksi IgE, diikuti dengan perubahan

reaktifitas di kulit pada pasien dermatitis atopik (DA) dan di paru pada pasien asma. Pada sebagian besar

pasien dengan berbagai faktor misalnya adanya kerusakan fungsi sawar kulit, infeksi dan stress

merupakan faktor yang lebih penting bila dibandingkan dengan reaksi alergi.

Atopi juga dapat didefinisikan sebagai sifat hipersensitivitas kulit dan membran yang bersifat

mukosa familial, terhadap bahan-bahan dari lingkungan, yang berhubungan dengan peningkatan sekresi

IgE dan/atau keadaan reaktivitas jaringan yang mengalami perubahan, pada kulit penderita DA atau paru

penderita asma (Wollenberg and Bieber, 2000, Leung, 2000).

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dijabarkan definisi dermatitis menurut beberapa peneliti

yakni :

Dermatitis atopik adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif, disertai gatal, yang

berhubungan dengan atopi, yaitu sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat

kepekaan dalam keluarganya, misal: asma bronkial, rinitis alergika, konjungtivitis alergika

(Djuanda et al., 2007).

Dermatitis atopik adalah dermatitis yang sering terjadi pada orang yang mempunyai riwayat atopi,

serta merupakan jenis dermatitis yang paling sering dijumpai (Harahap, 2000). Penyakit ini ditandai

adanya pruritus, lesi eksematosa, xerosis (kulit kering, dan likenifikasi (penebalan kulit) (Krafchik,

2011).

Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dengan adanya hipereaktivitas

kulit terhadap pengaruh lingkungan yang pada umumnya tidak membahayakan bagi orang-orang

yang normal (Leung, et al., 2004). Penderita dermatitis atopik memiliki serum IgE, eosinofil dan

dehidrogenase laktat yang meningkat (Reitamo et al., 2000).

Page 5: Makalah dermatitis atopik part 1

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat menahun dan kumat-kumatan, umumnya

muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa yang mempunyai riwayat atopik pada diri

sendiri atau pada keluarganya, baik berupa asma, rinitis alergi, konjungtivitis ataupun DA (Wutrich

and Grendelmeier, 2002; Leung et al., 2008; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010).

Dermatitis atopik adalah kondisi yang sangat umum, khususnya selama masa anak-anak. Dermatitis

atopik adalah peradangan pada epidermis dan dermis yang bersifat kronis, residif, sering berhubungan

dengan individu atau keluarga dengan riwayat atopi, distribusi simetris, biasanya terjadi pada individu

dengan riwayat gangguan alergi pada atau individu tersebut. Dermatitis atopik merupakan dermatitis

tersering dijumpai pada anak. Awitan biasanya pada masa anak dan sering dialami oleh anak dengan

riwayat alergi saluran nafas dan riwayat atopi pada keluarga. Bila residif biasanya disertai infeksi, atau

alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.

Dermatitis atopi adalah salah satu bentuk penyakit alergi, sering berhubungan dengan peningkatan

kadar IgE dalam serum. Kelainan kulit berupa papul gatal yang kemudian mengalami ekskoriasi,

likenifikasi, distribusinya di lipatan (fleksular). Data muktahir mendukung bahwa dermatitis atopik

merupakan kelainan alergik dan mempunyai keterkaitan erat secara imunologik dengan asma.

Dermatitis atopik atau biasa disebut sebagai eksem atopik merupakan suatu kondisi peradangan

pada kulit yang dapat menyebar. Penyakit ini terkenal sebagai penyakit yang “kejam” karena dapat

menimbulkan bulatan yang sangat gatal dan penuh guratan. Gejala khas dari dermatitis atopik adalah

penyakitnya kronis, dapat kambuh, kulit gatal dan meradang. Pada penyakit ini timbul gatal yang amat

sangat dan tidak tertahankan sehingga pasien akan menggaruknya hingga timbul rasa sakit yang

kemudian berdampak pada guratan. Walaupun istilah atopi secara umum digunakan untuk

mendeskripsikan kondisi seseorang yang rentan terhadap alergi, asma, serta dermatitis atopik, pada

penyakit ini tidak ada tanda-tanda atopi yang jelas. Memang, terdapat suatu studi yang menunjukkan

asosiasi antara kondisi-kondisi kronik tersebut. Sejumlah 80% anak dengan dermatitis atopik memiliki

kecenderungan mengalami rhinitis alergi atau asma atau memiliki riwayat keluarga alergi (Sukandar, et

al., 2011)

b. Etiologi

Selama beberapa dekade terakhir ini telah banyak upaya untuk mencari penyebab dari kondisi

tersebut. Akan tetapi, belum ada penyebab absolut yang diketahui. Hal tersebut karena penyakit ini sangat

kompleks dan melibatkan berbagai mekanisme, meliputi genetik, lingkungan, dan imunologi. Komponen

genetik berpengaruh secara kuat pada dermatitis atopik. Sebagai contoh, apabila salah satu dari orang tua

memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 60%, sedangkan apabila dua

orang tua memiliki kondisi atopik, kemungkinan anak memiliki kondisi atopik sebesar 80%. Selain itu,

diketahui juga bahwa riwayat atopik pada ayah akan lebih berpengaruh. Kebanyakan pasien dengan

dermatitis atopik mengalami peningkatan kadar serum eosinofil dan IgE. Fakta tersebut mendukung

Page 6: Makalah dermatitis atopik part 1

kenyataan bahwa besar kemungkinan anak dengan dermatitis atopik dapat mengalami rhinitis alergi atau

asma.

Nampak bahwa hampir setiap imunosit, termasuk sel langerhans, monosit, makrofag, limfosit, sel

mast, dan keratinosit, menunjukkan abnormalitas pada dermatitis atopik (Sukandar, et al., 2011)

Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor

yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan fisiologi dan

biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan disregulasi/ ketidakseimbangan sistem

saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen

hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan temperatur, dan trauma (Fauzi N., dkk., 2009). Faktor

psikologis dan psikosomatis dapat menjadi faktor pencetus (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Faktor pencetus lain di antaranya yaitu

Makanan

Berdasarkan hasil Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC), hampir 40% bayi

dan anak dengan DA sedang dan berat mempunyai riwayat alergi terhadap makanan. Bayi dan anak

dengan alergi makanan umumnya disertai uji kulit (skin prick test) dan kadar IgE spesifik positif terhadap

pelbagai macam makanan. Walaupun demikian uji kulit positif terhadap suatu makanan tertentu, tidak

berarti bahwa penderita tersebut alergi terhadap makanan tersebut, oleh karena itu masih diperlukan suatu

uji eliminasi dan provokasi terhadap makanan tersebut untuk menentukan kepastiannya (Judarwanto W.,

2009). Prevalensi reaksi alergi makanan lebih banyak pada anak dengan dermatitis atopik berat. Makanan

yang sering mengakibatkan alergi antara lain susu, telur, gandum, kacang-kacangan kedelai dan makanan

laut (Roesyanto I.D., & Mahadi., 2009).

Alergen hirup

Alergen hirup sebagai penyebab DA dapat lewat kontak, yang dapat dibuktikan dengan uji tempel,

positif pada 30-50% penderita DA, atau lewat inhalasi. Reaksi positif dapat terlihat pada alergi tungau

debu rumah (TDR) bulu binatang rumah tangga, jamur atau ragweed di negara-negara dengan 4 musim

(Judarwanto W., 2009).

Infeksi kulit

Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik yang berperan memberi

kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik. Mikroorganisme utamanya adalah

Staphylococcus aureus (SA). Pada penderita DA didapatkan perbedaan yang nyata pada jumlah koloni

Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada

kulit dengan lesi ataupun non lesi pada penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus

yang penting pada terjadinya eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya

penyakit. Faktor lain dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya

toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus

ini dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi. Enterotoksin

Page 7: Makalah dermatitis atopik part 1

tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi sel T dan makrofag

yang selanjutnya melepaskan histamin. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada

dermatitis atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin

Staphylococcus aureus, tetapi menurut penelitian dari Fauzi nurul, dkk, 2009., tidak didapatkan korelasi

antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin

Staphylococcus aureus.

c. Patogenesis

Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik terkait dengan

kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan (Soebaryo R.W., 2009).

Genetik

Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33, kromosom 3q21, serta

kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang independen dari mekanisme alergi. Ada

peningkatan prevalensi HLA-A3 dan HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya,

seperti asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara kembarnya menderita DA

adalah 86% (Judarwanto W., 2009).

Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga akan mengalami DA

pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari separuh

jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua

orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita DA dibandingkan

dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan

kepada anaknya sama saja yaitu kira-kira 50%.

Sawar kulit

Hilangnya ceramide di kulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat air di ruang

ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit

dapat menyebabkan kelainan metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan

peningkatan transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port d’entry untuk

terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri pada pasien DA mensekresi ceramide

sehingga menyebabkan kulit makin kering (Soebaryo R.W., 2009).

Respon imun kulit sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang diisolasi dari kulit

(CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer, terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13,

sehingga dengan kondisi ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE.

Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik didominasi oleh ekspresi IL-5,

GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi makrofag dan eosinofil (Judarwanto W., 2009).

Imunopatologi kulit. Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah CD45RO+. Sel T ini

menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh

Page 8: Makalah dermatitis atopik part 1

darah. Di pembuluh darah perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan

petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+, HLADR+). Sel yang teraktivasi ini

mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak

menunjukkan apoptosis karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM).

Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada keratinocytes dan

menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit. Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand

yang diekspresi di permukaan sel-sel T atau yang berada di microenvironment (Judarwanto W., 2009).

Lingkungan

Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada DA dapat dipicu oleh

berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan virus, juga pajanan tungau debu rumah dan

binatang peliharaan. Hal tersebut mendukung teori Hygiene Hypothesis (Roesyanto I.D., & Mahadi.,

2009).

Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun oleh pajanan antigen

mikroba di negara barat mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit atopik (Sugito T.L.,

2009).

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian

pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal,

yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke

talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas

rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri.

Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik (Judarwanto W., 2009).

Imnopatogenesis DA

Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan menyebabkan pruritus. Histamin

menghambat kemotaksis dan menekan produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik

kronis. Sel ini mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat menyebabkan

lesi ekzematosa. Kemungkinan zat tersebut menyebabkan pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan

karena gatal menimbulkan lesi ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan

IgE secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T penekan (suppressor).

Defisiensi sel ini menyebabkan produksi berlebih igE (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Respon imun sistemik terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik alergen yang diproduksi

sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan

peningkatan IgE (Judarwanto W., 2009).

• Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial,

rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan

kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan

Page 9: Makalah dermatitis atopik part 1

berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini

memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

• Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi

penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang

tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5,

GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan

pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan

inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons

terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat

menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap

limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur

meningkat.

Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif

amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat

dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya

tidak terlalu menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai

manfaat antihistamin pada DA (Soebaryo R.W., 2009). Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan

TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas

DA dan bertambah beratnya eksema (Judarwanto W., 2009).

Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk

mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan berperan untuk

mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan

mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto W., 2009).

Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik,

yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal

menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal

akan mengakibatkan rasa gatal (Judarwanto W., 2009).

Autoalergen

Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE terhadap protein manusia.

Autoalergen tersebut merupakan protein intraseluler, yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit

akibat garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. Pada dermatitis atopik berat, inflamasi tersebut

Page 10: Makalah dermatitis atopik part 1

dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan

sebagai penyakit terkait dengan alergi dan autoimunitas (Soebaryo R.W., 2009).

Gambar 1. Mekanisme Alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Keterangan: Pada individu yang memiliki predisposisi alergi, paparan pertama alergen

menimbulkan aktivasi sel-sel allergen-specific T helper 2 (TH2) dan sintesis IgE, yang dikenal sebagai

sensitisasi alergi. Paparan allergen selanjutnya akan menimbulkan penarikan sel-sel inflamasi dan aktivasi

serta pelepasan mediator-mediator, yang dapat menimbulkan early (acute) allergic responses (EARs) dan

late allergic responses (LARs). Pada EAR, dalam beberapa menit 3 kontak dengan alergen, sel mast yang

tersensitisasi IgE mengalami degranulasi, melepaskan mediator pre-formed dan mediator newly

synthesized pada individu sensitif. Mediator-mediator tersebut meliputi histamin, leukotrien dan sitokin

yang meningkatkan permeabilitas vaskuler, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Kemokin yang

dilepas sel mast dan sel-sel lain merekrut sel-sel inflamasi yang menyebabkan LAR, yang ditandai dengan

influks eosinofil dan sel-sel TH2. Pelepasan eosinofil menimbulkan pelepasan mediator pro-inflamasi,

termasuk leukotrien-leukotrien dan protein-protein basic (cationic proteins, eosinophil peroxidase, major

basic protein and eosinophil-derived neurotoxin), dan mereka merupakan sumber dari interleukin-3 (IL-

3), IL-5, IL-13 dan granulocyte/macrophage colony-stimulating factor. Neuropeptides juga berkonstribusi

pada patofisiologi simptom alergi (Endaryanto E., & Harsono A., 2010).

Page 11: Makalah dermatitis atopik part 1

Gambar 2: Patogenesis DA (Judarwanto W., 2009).

Abnormalitas klinis

Alergi pernapasan umumnya berhubungan dengan DA pada usia dewasa (70% pasien). Alergen

yang paling sering ditemukan antara lain debu, serbuk sari, bulu binatang, dan jamur. Alergi makanan

cenderung terjadi pada bayi dan anak-anak penderita DA, sejak usia 2 tahun kemudian diikuti dengan

alergi inhalasi (Helen, 2008). Susu sapi, telur, kacang dan kedelai adalah penyebab yang paling sering

ditemukan (Sampson, 2004; Han, 2004). Agen mikroba terutama Staphylococcus aureus berkoloni pada

90% lesi kulit DA. Karbohidrat, protein dan glikolipid dari mikroba – mikroba tersebut dapat berfungsi

sebagai antigen asing yang terdapat dalam molekul MHC kelas I dan kelas II dan eksotoksinnya juga

dapat berfungsi sebagai superantigen, semuanya dapat memperparah dermatitis. (Kang K, 2003; Laonita,

2000)

Disfungsi sawar kulit

Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal

water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan,

karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan

Page 12: Makalah dermatitis atopik part 1

toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi

peningkatan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit. Proses

tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis

DA. Perubahan kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum

korneum menyusun sawar utama untuk difusi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari korneosit dan lipid,

terutama ceramid, sterol dan asam lemak bebas. Ceramid berperan menahan air dan fungsi sawar stratum

korneum. Kadar ceramid pada penderita DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit.

(Lawrence, 2003; Abramorvits, 2005; Wuthrich et al., 2007).

Imunopatologi

Ketidaknormalan imunologik termasuk disregulasi sel T, peningkatan kadar IgE, dan penurunan

jumlah IFN- memegang peranan yang penting dalam patofisiologi dari DA (Blauvelt, 2003). Sel

Langerhans (SL) epidermis dan sel dendritik dermis sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell,

APC) pada DA dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik yang

terikat pada reseptor FcIgE (Wollenberg and Bieber, 2000) . Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit

merupakan ciri khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin Th2 yang

akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga

menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi (Helen, 2008). Dermatitis

atopik kronik, juga terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN- dan IL-12 yang akan

memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag (Leung and Soter, 2001; Friedmann, Ardern-Jones

& Holden, 2010).

Sel T menunjukkan peran sentral dalam proses terjadinya DA. Sel T mempunyai subpopulasi yang

berperan dalam terjadinya DA, yaitu Th1 dan Th2. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-

10 dan Prostaglandin (PG)E. Sel Th2 mengeluarkan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin

4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi

yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit. Sel Th1 menginduksi produksi IL-1, IFN-, dan

TNF, mengaktivasi makrofag dan memperantarai reaksi hipersensivitas tipe lambat. IFN- akan

menghambat proliferasi sel Th2, ekspresi IL-4 pada sel T, dan produksi IgE (Friedmann, Ardern-Jones &

Holden, 2010).

Infiltrat seluler yang terbanyak pada lesi DA akut, adalah sel T CD4+ yang mengeluarkan sel T

memori dan homing reseptor cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA). Sel T ini akan

menyebabkan peningkatan IL-4, IL-5 dan IL-13, dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam

menginduksi molekul adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi k edalam kulit (Boguniewicz and

Leung, 2000).

Imunoregulasi cell mediated

Sel-sel langerhans (SL) monosit/magrofag, limfosit, eosinofil, sel mast/basofil dan keratinosit

adalah tipe-tipe sel utama yang berperan aktif dalam imunoregulasi DA. Sel langerhans adalah sel

Page 13: Makalah dermatitis atopik part 1

dendritik penghasil antigen (APC) yang terdapat dalam dermis. Pada kulit normal, terjadi

kompartementalisasi fenotip SL. SL epidermal adalah CD1a, CD1b+ dan CD36-. Namun dalam kulit lesi

DA SL dermal dan epidermal mengeluarkan CD1a dan b serta CD38, CD32 dan FcεR1 dalam jumlah

besar. SL tersebut disebut sebagai sel-sel epidermal dendritik inflamasi. Fcε R1 adalah reseptor IgE

berafinitas tinggi yang ekspresi rata-ratanya meningkat pada SL penderita DA. Pengaruh fungsional

kelainan fenotip ini belum dipahami dengan jelas, namun SL diduga berhubungan dengan peningkatan

aktivitas produksi antigen terhadap sel T autoreaktif (Kang K, 2003).

Kelainan imunologi yang utama pada DA berupa pembentukan IgE yang berlebihan, sehingga

memudahkan terjadinya hipersensitivitas tipe I dan gangguan regulasi sitokin. Terdapat 2 fase partisipasi

IgE dalam menimbulkan suatu respon inflamasi pada DA yaitu : (Spergel and Schneider, 1999; Arshad,

2002; Beltrani and Boguneiwicz, 2004)

- Early phase reaction (EPR), terjadi 15-60 menit setelah penderita berhubungan dengan antigen,

dimana antigen ini akan terikat IgE yang terdapat pada permukaan sel mast dan akan menyebabkan

pelepasan beberapa mediator kimia antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan

kulit.

- Late phase reaction (LPR), terjadi 3-4 jam setelah EPR, dimana terjadi ekspresi adhesi molekul

pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil, limfosit, monosit pada area radang,

mekanismenya terjadi karena peningkatan aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3 ,IL-4, IL-5, IL-13,

GM-CSF yang menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan

meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi peningkatan Th1.

Garukan dapat menyebabkan rangsangan pada keratinosit untuk mensekresi sitokin yang

menyebabkan migrasi Th 2 ke kulit (Spergel and Schneider, 1999).

d. Prognosis

Perjalanan penyakit DA pada seseorang tidak dapat diperkirakan, namun akan terlihat lebih berat

dan persisten pada tipe anak-anak. Selain itu juga didapatkan bahwa pada hampir 40% kasus penderita

dermatitis atopik mengalami resolusi spontan setelah mereka berumur 5 tahun.

Sulit meramalkan prognosis DA pada seseorang. Prognosis lebih buruk bila kedua orangtua

menderita DA. Ada kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada

masa remaja, sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun.

Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA, yaitu :

DA luas pada anak

Menderita rhinitis alergik dan asma bronchial

Riwayat DA pada orangtua atau saudara kandung

Awitan (onset) DA pada usia muda

Anak tunggal

Page 14: Makalah dermatitis atopik part 1

Kadar IgE serum sangat tinggi

Perkembangan penyakit dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti karena beberapa penelitian

memiliki kekurangan dalam hal ukuran sampel dan definisi yang tidak jelas mengenai remisi, follow up

yang tidak adekuat, bias seleksi pada kohort, dan kehilangan banyak pasien yang harus di follow up.

Meskipun demikian kesembuhan dermatitis atopi sulit diperkirakan secara individual, dan penyakit secara

umum berkembang menjadi parah dan menetap pada anak-anak. Periode remisi seringkali nampak pada

pasien yang telah bertumbuh kembang. Resolusi spontan dari dermatitis atopik telah dilaporkan terjadi

pada usia setelah lima tahun dalam 40 hingga 60 persen dari pasien yang menderita ketika bayi, umumnya

hal ini terjadi jika penyakitnya ringan. Meskipun penelitian terakhir menyarankan bahwa hampir 84

persen dari anak-anak teratasi penyakit dermatitis atopik ketika remaja, lebih banyak penelitian terakhir

telah dilaporkan bahwa dermatitis atopi akan menghilang pada hampir 20 persen anak-anak yang diikuti

perkembangannya mulai dari bayi hingga remaja, tetapi beberapa menjadi parah pada jumlah 65 persen.

Sebagai tambahan, lebih dari setengah remaja yang telah ditangani, akan kambuh lagi ketika dewasa.

Hal yang terpenting dalam konseling okupasi, orang dewasa yang masa kecilnya menderita

dermatitis atopi dan telah mengalami remisi selama beberapa tahun, mungkin akan menderita dermatitis

tangan, khususnya jika pekerjaan kesehariannya berhubungan dengan hal-hal yang membasahkan tangan.

Penderita dermatitis atopik yang bermula sejak bayi, sebagian ( 40 % ) sembuh spontan, sebagian

berlanjut ke bentuk anak dan dewasa. Ada pula yang mengatakan bahwa 40- 50% sembuh pada usia 15

tahun. Sebagian besar menyembuh pada usia 30 tahun. Secara umum bila ada riwayat dermatitis atopic di

keluarganya bersamaan dengan asma bronchial, masa awitan lambat, atau dermatitisnya berat, maka

penyakitnya lebih persisten.

Page 15: Makalah dermatitis atopik part 1

BAB III

Presentasi Klinis (Gejala dan Tanda) dan Diagnosis

a. Clinical Presentation (Gejala dan Tanda)/ Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis DA berbeda pada setiap tahapan atau fase perkembangan kehidupan, mulai dari

saat bayi hingga dewasa. Pada setiap anak didapatkan tingkat keparahan yang berbeda, tetapi secara

umum mereka mengalami pola distribusi lesi yang serupa (Zulkarnain I., 2009).

Gejala utama dermatitis atopik ialah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya

lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita akan menggaruk sehingga timbul bermacam-macam

kelainan di kulit berupa papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta (Djuanda et al.,

2007).

Kulit penderita DA umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis berkurang dan

kehilangan air lewat epidermis meningkat. Penderita DA cenderung tipe astenik, dengan intelegensia di

atas rata-rata, sering merasa cemas, egois, frustasi, agresif, atau merasa tertekan (Sularsito S.A., &

Djuanda A., 2005).

Subyektif selalu terdapat pruritus. Terdiri atas 3 bentuk, yaitu :

1. Bentuk infantil ( 0 - 2 tahun)

Lesi awal dermatitis atopik muncul pada bulan pertama kelahiran, biasanya bersifat akut, sub akut,

rekuren, simetris di kedua pipi (Zulkarnain I., 2009). Karena letaknya di daerah pipi yang berkontak

dengan payudara, sering disebut eksema susu. Terdapat eritem berbatas tegas, dapat disertai papul-papul

dan vesikel-vesikel miliar, yang menjadi erosif, eksudatif, dan berkrusta. Tempat predileksi di kedua pipi,

ekstremitas bagian fleksor, dan ekstensor (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Rasa gatal yang timbul sangat mengganggu sehingga anak gelisah, susah tidur, dan sering

menangis. Pada umumnya lesi DA infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta dan dapat mengalami

infeksi. Lesi dapat meluas generalisata bahkan walaupun jarang, dapat terjadi eritroderma. Sekitar usia 18

bulan mulai tampak likenifikasi (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 3: Dermatitis Atopik Infantil (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Page 16: Makalah dermatitis atopik part 1

2. Bentuk anak (2 - 12 tahun)

Awitan lesi muncul sebelum umur 5 tahun. Sebagian merupakan kelanjutan fase bayi. Pada kondisi

kronis tampak lesi hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan likenifikasi. Akibat adanya gatal dan garukan,

akan tampak erosi, eksoriasi linear yang disebut starch marks. Tempat predileksi tengkuk, fleksor kubital,

dan fleksor popliteal. Sangat jarang di wajah (Mansjoer A.,dkk., 2001). Lesi DA pada anak juga bisa

terjadi di paha dan bokong (Zulkarnain I., 2009).

Eksim pada kelompok ini sering terjadi pada daerah ekstensor (luar) daerah persendian, (sendi

pergelangan tangan, siku, dan lutut), pada daerah genital juga dapat terjadi (Simpson E.L., & Hanifin

J.M., 2005).

Gambar 4.a

Gambar 4.b.

Page 17: Makalah dermatitis atopik part 1

Gambar 4.c.

Gambar 4a, b, c: Dermatitis Atopik pada Anak-anak (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

3. Bentuk dewasa (> 12 tahun)

Bentuk lesi pada fase dewasa hampir serupa dengan lesi kulit fase akhir anak-anak (Zulkarnain I.,

2009). Lesi selalu kering dan dapat disertai likenifikasi dan hiperpigmentasi. Tempat predileksi tengkuk

serta daerah fleksor kubital dan fleksor popliteal.

Manifestasi lain berupa kulit kering dan sukar berkeringat, gatal-gatal terutama jika berkeringat.

Berbagai kelainan yang dapat menyertainya ialah xerosis kutis, iktiosis, hiperlinearis Palmaris et

plantaris, pomfoliks, ptiriasis alba, keratosis pilaris (berupa papul-papul miliar, di tengahnya terdapat

lekukan), dll (Mansjoer A.,dkk., 2001).

Pada orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh apabila mengalami stress,

mungkin karena stress menurunkan ambang rangsang gatal. DA remaja cenderung berlangsung lama

kemudian menurun dan membaik (sembuh) satelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan, hanya

sebagian kecil berlangsung sampai tua (Sularsito S.A., & Djuanda A., 2005).

Gambar 5.a.

Page 18: Makalah dermatitis atopik part 1

Gambar 5.b.

Gambar 5.a,b: Dermatitis Atopik Dewasa (Simpson E.L., & Hanifin J.M., 2005).

Gambar 6: Tempat predileksi DA bentuk infantil (Judarwanto W., 2009).

Gambar 7: Tempat predileksi DA bentuk anak-anak (Judarwanto W., 2009).

b. Diagnosis

Page 19: Makalah dermatitis atopik part 1

Kriteria mayor dan minor dalam diagnosis dermatitis atopik meliputi keberadaan pruritus dengan

tiga atau lebih gejala berikut :

1. Riwayat dermatitis fleksural di wajah pada anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.

2. Riwayat asma atau rhinitis alergi pada anak-anak atau keluarga tingkat pertama.

3. Riwayat xerosis dalam setahun terakhir.

4. Nampak eksem fleksural.

5. Onset munculnya ruang pada usia 2 tahun.

Jika bukan merupakan dermatitis atopik, gejala yang muncul dapat menjadi suatu indikator adanya

kondisi atau diagnosis dari penyakit lain. Oleh karena itu, rujukan kepada spesialis amat diperlukan. Perlu

dicatat bahwa kriteria tersebut merupakan kriteria yang akan membantu para klinisi untuk menentukan

diagnosis secara tepat. Meskipun ditemukan peningkatan IgE dan eosinofil perifer pada dermatitis atopik,

belum ada tes laboratorium tunggal yang dapat terpercaya untuk digunakan dalam diagnosis dermatitis

atopik sebab beberapa pasien tidak menunjukkan abnormalitas pada kedua parameter tersebut. Tes kulit

atau ELISA dapat digunakan untuk identifikasi serta eksklusi atopi yang mungkin disebabkan oleh

pemicu alergi, tetapi tidak cukup spesifik dan sensitif untuk diagnosis.

Tidak hanya diagnosis atau tes laboratorium yang kurang, tetapi juga kurang dalam hal standarisasi

tingkat keparahan penyakit. Saat ini terdapat sistem skor yang disebut sebagai indeks SCORAD ( the

Severity Scoring of Atopic Dermatitis). Sistem tersebut diabsorsi dari the European Task Force on Atopic

Dermatitis. Walaupun sering digunakan, sistem tersebut masih menunjukkan adanya variasi tiap

pengamat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa belum ada konsensus yang objektif mengenai

skala keparahan sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut (Sukandar, et al., 2011).

Kriteria dermatitis atopik yang disusun oleh Hanifin dan Rajka dan dimodifikasi oleh William

(1994) adalah sebagai berikut :

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR

Pruritus Serosis

Dermatitis di muka/ ekstensor pada bayi dan

anak-anak

Infeksi kulit khususnya S.aureus dan Herpes

simplex

Dermatitis flexura pada dewasa Dermatitis non spesifik pada kaki dan tangan

Dermatitis kronik Iktiosis / hiperlinearis Palmaris

Riwayat atopi pada penderita atau pada

keluarga penderitaPitiaris alba

Dermatitis papilla mammae

White dermatografism dan delayed blanched

response

Keylitis

Lipatan infra orbital dennie-morgan

Page 20: Makalah dermatitis atopik part 1

Konjungtivitis berulang

Keratokonus

Katarak subkapsular anterior

Orbita menjadi gelap

Muka pucat atau eritema

Gatal bila berkeringat

Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak

Aksentuasi perifolikular

Hipersensitif terhadap makanan

Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor

lingkungan dan atau emosi

Tes kulit alergi tipe dadakan positif

Kadar IgE di dalam serum meningkat

Awitan pada usia dini

Diagnosis dermatitis atopik harus mempunyai 3 kriteria mayor dan 3 kriteria minor. Untuk bayi,

kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:

1. Kriteria Mayor

Riwayat atopi pada keluarga

Dermatitis di muka atau ekstensor

Pruritus

2. Ditambah 3 kriteria minor :

Xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris

Fisura belakang telinga

Skuama di scalp kronis. (Djuanda et al., 2007)

Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis.

Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental,

tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan

pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk

pengulangan (repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang

dikoordinasi oleh William memperbaiki dan menyederhanakan kriteria Hanifin dan Rajka menjadi satu

set kriteria untuk pedoman diagnosis D.A. yang dapat diulang dan divalidasi. Pedoman ini sahih untuk

orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter

Puskesmas membuat diagnosis.

Pedoman diagnosis D.A. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu :

Page 21: Makalah dermatitis atopik part 1

- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya bahwa anaknya

suka menggaruk atau menggosok.

- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut :

1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian depan

pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah 10 tahun).

2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit atopi pada

keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).

3. Riwayat kulit kering secara umum pada tahun terakhir.

4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan anggota badan

bagian luar anak di bawah 4 tahun). Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak

di bawah 4 tahun).

Tingkatan Dermatitis Atopik

Nilai

1. Luasnya kelainan kulit

a. Fase anak dan dewasa

<9% luas tubuh

>9%-36%

>36% luas tubuh

b. Fase Infantil

18% luas tubuh terkena

18%-54%

54% luas tubuh terkena

2. Perjalanan Penyakit

Remisi > 3 bulan dalam 1 tahun

Remisi < 3 bulan dalam 1 tahun

Kambuhan

3. Intensitas Penyakit

Gatal ringan, kadang-kadang

terganggu tidur

Gatal sedang

Gatal hebat selalu tidur.

1

2

3

1

2

3

1

2

3

1

2

3

Penilaian

3-4 : ringan

Page 22: Makalah dermatitis atopik part 1

4,5-7,5 : sedang

8,5-9 : berat (Harahap, 2000).

c. Diagnosis Banding

Diagnosis banding bentuk infantil ialah dermatitis seboroik, pada bentuk anak dan dewasa ialah

neurodermatitis (Mansjoer A.,dkk., 2001). Diagnosis banding lainnya :

Dermatitis Kontak Alergi

Dermatophytosis atau dermatophytids

Sindrom defisiensi imun

Sindrom Wiskott-Aldrich

Sindrom Hyper-IgE

Penyakit Neoplastik

Langerhans’ cell histiocytosis

Penyakit Hodgkin

Dermatitis Numularis

Dermatitis Seborrheic

Berikut penjelasan mengenai jenis diagnosa banding terhadap dermatitis atopik antara lain :

1. Dermatitis seboroik

Ditandai erupsi berskuama, salmon colored atau kuning berminyak yang mengenai kulit kepala,

pipi, badan, ekstremitas dan diaper area. Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus ringan, (2)

onset invariabel pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning

gelap pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan dermatitis

atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi DA 5-13 tahun

kemudian.

2. Dermatitis kontak

Biasanya lesi sesuai dengan tempat kontaktan, lesi berupa popular miliar dan erosif. Anak yang

lebih tua dengan DA dapat menjadi eksema kronik pada kaki. Bentuk ini harus dibedakan dengan

dermatitis kontak karena sepatu (Judarwanto W., 2009).

3. Dermatitis numularis

Penyakit yang ditandai lesi yang berbentuk koin. Ukuran diameter 1 cm atau lebih, timbul pada

kulit yang kering.

4. Psoriasis

Lesi psoriasis berwarna merah dan skuama seperti perak micaceous (seperti mika). Predileksi

psoriasis di permukaan ekstensor, terutama pada siku dan lutut, kulit kepala dan daerah genital.

5. Skabies

Page 23: Makalah dermatitis atopik part 1

Pada bayi, gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan serta kaki.

Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada punggung atas), vesikel

pada telapak tangan dan kaki, dan terdapat dennatilis pruritus pada anggota keluarga. Tungau dan telur

dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi respons yang baik terhadap

pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida.

Diagnosis ditegakkan dengan adanya riwayat rasa gatal di malam hari, distribusi lesi yang khas,

dengan lesi primer yang patognomonik berupa adanya burrow dan adanya kutu pada pemeriksaan

mikroskopik.

6. Penyakit Lettere-Siwe

Biasanya terjadi pada tahun pertama dari kehidupan. Pada penyakit ini erupsi kulit biasanya mulai

dengan skuama, eritematosa, seborrhea-like pada kulit kepala, di belakang telinga, dan pada daerah

intertriginosa.

7. Acrodermatitis enteropathica

Suatu penyakit herediter yang ditandai dengan lesi vesikulobullous eczematoid di daerah akral dan

periorifisial, kegagalan pertumbuhan, diare, alopesia, kekurangan gizi dan infeksi kandida.

8. Sindroma Wiskott-Aldrich

Penyakit X-linked resesif, ditemukan pada anak lelaki muda ditandai dengan dermatitis eksematosa

rekalsitrant, disfungsi platelet, trombositopeni, Infeksi pyogenik rekuren dan otitis media supuratifa.

9. Dermatitis herpetiformis

Penyakit yang menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel, tersusun

berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal.

10. Sindroma Sezary

Ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universial disertai skuama dan rasa sangat

gatal.

Penyakit Gambaran klinis

Seboroik dermatitis Berminyak, squama, riwayat keluarga tidak ada

Psoriasis Plak pada daerah ekstensor, skalp, gluteus, pitted nail

Neurodermatitis Gatal, soliter, riwayat keluarga tidak ada

Contact dermatitisRiwayat kontak, ruam di tempat kontak, riwayat keluarga

tidak ada

Skabies Papul, sela jari, positif ditemukan tungau

SistemikRiwayat, pemeriksaan fisik. Pemeriksaan banyak sesuai

dengan penyakit

Dermatitis herpetiforme Vesikel berkelompok di daerah lipata

Dermatofita Plak dengan sentral healing, KOH negatif

Page 24: Makalah dermatitis atopik part 1

Immmunodefisiensi

disorderRiwayat infeksi berulang

Diagnosis Banding Dermatitis Atopik

Kemungkinan besar Dermatitis kontak (alergi dan iritan) Dermatitis seboroik Scabies Psoriasis Ichthyosis vulgaris Keratosis pilaris Dermatofitosis

Dipertimbangkan Asteotic eczema Liken simplek kronis Dermatitis numular Juvenil palmar-plantar dermatosis Impetigo Drug eruptions Perioral dermatitis Pityriasis alba Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption,

porphyrias) Moluscum dermatitis

Gangguan kurang umum atau langka terutama pada remaja dan dewasa

Cutaneous T-cell lymphoma (kycosis fungoides atau sindrom Sezary) Human immunodeficiency virus Dermatosis Lupus eritematosus Dermatomitosis Graft-versus-host disease Pemphigus foliacues Dermatitis herpetiformis Photosensivity disorder (hidroa vacciniform; polymorphous light eruption,

porphyrias)

Gangguan kurang umum atau langka terutama pada bayi dan anak Metabolik / nutrisi

Phenilketonuria Prolidase deficiency Multiple carboxylase deficiency Defisiensi Zinc (Acrodermatitis enteropathica; prematuritas; defisiensi

breast milk zinc; cystic fibrosis) Lainnya: Biotin, essential fatty acids, organic acidurias

Primary immunodeficiency disorders Severe combined immunodeficiency disorder DiGeorge syndrome Hypogammaglobulinemia Agammaglobulinemia Wiskot – Aldrich syndrome Ataxia telengiektasi Hyperimmunoglobulin E syndrome Chronic mucocutaneous candidiasis Omenn syndrome

Sindrom genetik Netherton syndrome Hurler syndrome

Inflammatory, autoimune disorders Eosinophilic syndrome Gluten-sensitive enteropathy Neonatal lupus erythematous

Proliferative disorder Langerhans cell histiocytosis