Makalah BK Kelompo 6
-
Upload
yanni-handayani -
Category
Documents
-
view
43 -
download
2
description
Transcript of Makalah BK Kelompo 6
TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA
MENERIMA KEADAAN FISIKNYA BERIKUT KERAGAMAN KUALITASNYA
DAN
MEMILIKI KEBERMAKNAAN KEBERAGAMAAN
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bimbingan dan Konseling
Bapak Eka Sakti Yudha, M. Pd.
Oleh:
Arifa Novianty Effendi Putri 1302000
Chiandra Ferdana Pingas 1102847
Fadhil Ibrahim 1304163
Galuh Sri Kartika 1306920
Nida Fadhlah 1300963
Widia Putri Audia 1305456
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI
FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Karl C. Garrison (dalam Al-Mighwar) ada 6 kelompok
pembagian tugas perkembangan yang berbeda, salah satunya yaitu
menerima keadaan jasmani. Pada periode pra-remaja (periode pubertas),
anak tumbuh cepat yang mengarahkannya pada bentuk orang dewasa.
Pertumbuhan ini diiringi juga oleh perkembangan sikap dan citra diri.
Mereka memiliki gambaran diri seolah-olah sebagai model pujaannya.
Remaja wanita biasaya sering mendambakan wajahnya secantik bintang
film pujaannya, sementara remaja laki-laki sering berkhayal menjadi
seorang pahlawan pujaannya. Mereka sering membandingkan dirinya
dengan teman-teman sebayanya, sehingga akan cemas bila kondisinya
tidak seperti model pujaanya atau teman-teman sebayanya. Pada masa
remaja, hal itu semakin berkurang, dan mulai menerima kondisi
jasmaninya, serta memelihara dan memanfaatkannya seoptimal mungkin.
Mereka juga diharapkan mampu menilai kondisi dirinya secara apa
adanya. Maksudnya, mampu mengukur kelebihan dan kekurangannya
serta dapat menerima, memelihara, dan memanfaatkannya semaksimal
mungkin, dan mampu mengukur apa saja yang disenangi atau tidak
disenangi oleh teman-teman sebayanya.
Remaja merupakan pribadi masa pertumbuhan untuk memasuki
tahap masa dewasa. Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi
yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau
dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek dan aktivitas. Sehubungan dengan
jiwa remaja yang berada dalam transisi dari masa anak-anak menuju
kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa remaja berada dalam
keadaan peralihan dari kehidupan beragama anak-anak menuju
kemantapan beragama. Di samping jiwanya yang labil dan mengalami
kegoncangan, daya piker yang abstrak, logika dan kritis mulai
berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai otonom
dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Dengan adanya
gejolak batin tersebut akan tampak dalam kehidupan agama yang mudah
goyah, timbul kebimbangan, dan kerisauan. Di samping itu remaja mulai
menemukan pengalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang bersifat
individual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam
pertobatan. Keimanan mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin
disertai dengan kesadaran dan kegiatannya dalam masyarakat makin
diwarnai oleh rasa keagamaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa masalah-masalah yang dialami remaja terkait dengan tugas
perkembangan remaja, yaitu menerima keadaan fisiknya berikut
keragaman kualitasnya?
2. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi remaja menerima keadaan
fisiknya berikut keragaman kualitasnya?
3. Upaya apa yang dapat dilakukan dalam menangani masalah tugas
perkembangan remaja yaitu menerima keadaan fisiknya berikut
kualitasnya?
4. Apa masalah-masalah yang dialami remaja terkait dengan tugas
perkembangan remaja, yaitu memiliki kebermaknaan keberagamaan?
5. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi remaja memiliki rasa
kebermaknaan keberagamaan?
6. Upaya apa yang dapat dilakukan dalam menangani tugas
perkembangan remaja yaitu memiliki kebermaknaan keberagamaan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dialami remaja terkait
dengan tugas perkembangan remaja, yaitu menerima keadaan fisiknya
berikut keragaman kualitasnya.
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi remaja menerima
keadaan fisiknya berikut keragaman kualitasnya.
3. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam menangani
masalah tugas perkembangan remaja yaitu menerima keadaan fisiknya
berikut kualitasnya.
4. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dialami remaja terkait
dengan tugas perkembangan remaja, yaitu memiliki kebermaknaan
keberagamaan.
5. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi remaja memiliki rasa
kebermaknaan keberagamaan.
6. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan dalam menangani tugas
perkembangan remaja yaitu memiliki kebermaknaan keberagamaan.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. MENERIMA KEADAAN FISIKNYA BERIKUT KERAGAMAN
KUALTASNYA
Menurut Havighurst, tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang
harus diselesaikan individu pada fase-fase atau periode kehidupan tertentu;
dan apabila berhasil mencapainya mereka akan berbahagia, tetapi sebaliknya
apabila mereka gagal akan kecewa dan dicela orang tua atau masyarakat dan
perkembangan selanjutnya juga akan mengalami kesulitan.
Banyak ahli yang menyebutkan berbagai tugas perkembangan. Salah
satunya adalah William Kay. William Kay mengemukakan tugas-tugas
perkembangan remaja itu sebagai berikut:
Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya.
Mencapai kemandirian emosional dari orang tua atau figur-figur yang
mempunyaiotoritas.
Mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar
bergaul denganteman sebaya atau orang lain, baik secara individual
maupin kelompok.
Menemukan manusia model yang dijadikan identiasnya.
Menerima dirinya sendiri dan memilki kepercayaan terhadap
kemampuannya sendiri.
Memperkuat self-control (kemampuan mengendalikan diri) atas dasar
skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup (weltanschauung).
Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku)
kekanak-kanakan.
Menurut William Kay, salah satu tugas perkembangan pada masa
remaja adalah: menerima keadaan fisiknya berikut keragaman kualitasnya.
Menerima keadaan fisik adalah jika seorang laki-laki akan menjadi sebenar-
benarnya laki-laki, begitu pun dengan seorang perempuan akan menjadi
sebenar-benarnya perempuan. Dan menghindari segala macam bentuk yang
dapat mengindikasikan kecondongan terhadap lawan jenis. Harlock (2006)
menambahkan dalam tugas-tugas perkembangannya, dalam menerima fisik
sendiri, juga harus disertai dengan mempelajari cara memperbaiki penampilan
diri. Hal ini dapat membantu remaja untuk memiliki kepuasan secara personal
terhadap tubuh mereka.
Dalam tugas menerima keadaan fisiknya, remaja seringkali menemui
permasalahan. Salah satunya yaitu perubahan fisik yang dapat menimbulkan
kecemasan. Kegagalan seseorang dalam mencapai kateksis tubuh (merasa
puas terhadap bentuk tubuh) dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menurut
Brehm (1999) disebutkan sebagai berikut:
A. First Impression Culture
Lingkungan seringkali menilai seseorang berdasarkan pakaian, cara
bicara, cara berjalan, dan tampilan fisik. Tampilan yang baik akan
diasosiasikan dengan status yang lebih tinggi, dan kualitas positif yang
lain, termasuk meraih peranan penting dalam dunia usaha, profesi, serta
keluarga. Perubahan yang terjadi yang dipandang negative akan
memunculkan perasaan tidak senang dari individu terhadap diri mereka.
B. Kepercayaan bahwa Adanya Kontrol Diri dapat Memberikan Jalan untuk
Mencapai Tubuh Ideal
Sebenarnya kontrol individu terhadap penampilan tubuh sangat
terbatas, termasuk kepercayaan bahwa ketidaksamaan salah satu bentuk
tubuh dengan yang lain merupakan hal yang berfungsi sebagai kontrol diri
seringkali menjerumuskan, kepercayaan tersebut dapat menyebabkan
seseorang merasa frustrasi dan bersalah apabila usaha untuk mengontrol
keadaan fisik mereka tidak memberikan hasil yang diinginkan atau
mencapai tubuh ideal.
C. Rasa Tidak Puas yang Mendalam terhadap Kehidupan dan Diri Sendiri
Tingkat kepuasan terhadap bentuk tubuh yang tinggi diasosiasikan
dengan tingkat harga diri sosial yang tinggi pula.Beberapa ahli citra tubuh
percaya bahwa ketidakpuasan terhadap sosok tubuh terutama apabila
diikuti dengan emosi yang negatif, merupakan suatu ekspresi harga diri
yang rendah (Asri dan Setiasih, 2004). Brehm (1999) menambahkan
bahwa hal tersebut disebabkan tubuh merupakan bagian dari diri yang
mudah terlihat, sehingga bila seseorang merasa ambivalen terhadap diri
sendiri, mereka juga akan merasa ambivalen terhadap tubuh mereka.
D. Rasa Percaya Diri yang Kurang
Individu dengan rasa percaya diri yang rendah akan lebih mudah
mengalami ketidakpuasan bentuk tubuh.
Salah satu strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah
tersebut adalah: strategi koping. Menurut Kalimo (1987) coping diartikan
sebagai suatu usaha baik mengarah pada suatu tindakan dan Intrapsychic,
untuk mengatur lingkungan dan tuntutan dari dalam dan konflik yang mana
beban sudah terlampaui dari akal seseorang. Dibeberapa situasi para pekerja
mencoba untuk mengatasi dengan membuat suatu usaha untuk merubah situasi
menjadi lebih baik, atau di situasi yang berbeda dapat dimungkinkan juga
untuk menghindari situasi yang tidak bersahabat. Dimana dalam strategi ini,
individu akan mencari upaya-upaya untuk dapat menyelesaikan masalahnya
agak tidak menjadi beban bagi dirinya, juga tidak menibulkan bebas dari
lingkungan.
B. MEMILIKI KEBERMAKNAAN KEBERAGAMAAN
1. Pengertian Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem
yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata "agama"
berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Kata lain
untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin
religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya
kepada Tuhan.
Menurut filsuf Max Müller, akar kata bahasa Inggris "religion",
yang dalam bahasa Latin religio, awalnya digunakan untuk yang berarti
hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati-hati tentang
hal-hal ilahi, kesalehan" (kemudian selanjutnya Cicero menurunkan
menjadi berarti "ketekunan"). Max Müller menandai banyak budaya lain
di seluruh dunia, termasuk Mesir, Persia, dan India, sebagai bagian yang
memiliki struktur kekuasaan yang sama pada saat ini dalam sejarah. Apa
yang disebut agama kuno hari ini, mereka akan hanya disebut sebagai
"hukum".
Unsur-unsur agama menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama
terdiri dari beberapa unsur pokok:
a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar
tanpa ada keraguan lagi.
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dan
Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat
beragama sesuai dengan ajaran agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman
keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.
Dismaping itu fungsi agama bagi pemeluknya adalah diantaranaya:
a. Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok
b. Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia
dengan manusia.
c. Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah.
d. Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan.
e. Pedoman perasaan keyakinan.
f. Pedoman keberadaan.
g. Pengungkapan estetika (keindahan).
h. Pedoman rekreasi dan hiburan.
i. Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu
agama.
Kata agama kadang-kadang digunakan bergantian dengan iman,
sistem kepercayaan atau kadang-kadang mengatur tugas. Namun, dalam
kata-kata Émile Durkheim, agama berbeda dari keyakinan pribadi dalam
bahwa itu adalah "sesuatu yang nyata sosial" Émile Durkheim juga
mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri
atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci.
Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus
meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani
yang sempurna kesuciannya. Sebuah jajak pendapat global 2012
melaporkan bahwa 59% dari populasi dunia adalah beragama, dan 36%
tidak beragama, termasuk 13% yang ateis, dengan penurunan 9 persen
pada keyakinan agama dari tahun 2005. Rata-rata, wanita lebih religius
daripada laki-laki. Beberapa orang mengikuti beberapa agama atau
beberapa prinsip-prinsip agama pada saat yang sama, terlepas dari apakah
atau tidak prinsip-prinsip agama mereka mengikuti tradisional yang
memungkinkan untuk terjadi unsur sinkretisme.
2. Kebermakanaan Keberagamaan
Keberagamaan dari kata dasar agama yang berarti segenap
kepercayaan kepada Tuhan. Beragama berarti memeluk atau menjalankan
agama. Sedangkan keberagamaan adalah adanya kesadaran diri individu
dalam menjalankan suatu ajaran dari suatu agama yang dianut.
Keberagamaan juga berasal dari bahasa Inggris yaitu religiosity dari akar
kat religy yang berarti agama. Religiosity merupakan bentuk kata dari kata
religious yang berarti beragama, beriman. Jalaluddin Rahmat
mendefinisikan keberagamaan sebagai perilaku yang bersumber langsung
atau tidak langsung kepada Nash. Keberagamaan juga diartikan sebagai
kondisi pemeluk agama dalam mencapai dan mengamalkan ajaran
agamanya dalam kehidupan atau segenap kerukunan, kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran dan kewajiban melakukan sesuatu
ibadah menurut agama.
Tingkat keberagamaan dapat disebut juga sebagai seberapa jauh
seseorang taat kepada ajaran agama dengan cara menghayati dan
mengamalkan ajaran agama tersebut yang meliputi cara berfikir, bersikap
serta berperilaku baik dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial
masyarakat yang dilandasi ajaran agama. Pada ajaran agama Islam
landasan yang digunakan adalah Hablum Minallah dan Hablum Minannas
yang diukur melalui dimensi keberagamaan yaitu keyakinan, praktik
agama, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi atau pengalaman.
Keberagamaan (Religiusiy) dalam dataran situasi tentang
keberadaan agama diakui oleh para pakar sebagai konsep yang rumit
(complicated) meskipun secara luas ia banyak digunakan. Secara
substantif kesulitan itu tercermin terdapat kemungkinan untuk mengetahui
kualitas untuk beragama terhadap sistem ajaran agamanya yang tercermin
pada berbagai dimensinya.
Beragama berarti mengadakan hubungan dengan sesuatu yang
kodrati, hubungan makhluk dengan khaliknya, hubungan ini mewujudkan
dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan
tercermin pula dalam sikap kesehariannya.
Adapun perwujudan keagamaan itu dapat dilihat melalui dua
bentuk atau gejala yaitu gejala batin yang sifatnya abstrak (pengetahuan,
pikiran dan perasaan keagamaan), dan gejala lahir yang sifatnya konkrit,
semacam amaliah-amaliah peribadatan yang dilakukan secara individual
dalam bentuk ritus atau upacara keagamaan dan dalam bentuk muamalah
sosial kemasyarakatan.
Bagi kaum beragama Tuhan merupakan sumber dari segala sumber makna
dalam hidup. Jadi agama utuk membantu manusia untuk
menginterpretasikan hidup dan kematian (Gordon, 1992). Agama mengisi
kekosongan akan koordinasi dan adaptasi langsung terhadap ruang
ahbitatnya (Berger dkk, 1992). Frankl (dalam Bastaman, 1996) mengakui
adanya makna hidup yang universal, mutlak dan praripurna. Bagi
golongan non agamis hal ini mungkin berupa semesta alam, ekosistem,
kemanusiaan, ideologi atau pandangan sumber makna Yang Maha
Sempurna dengan agama sebagai wujud tuntunannya.
3. Tugas-tugas Perkembangan Keragaman Keberagamaan
Remaja merupakan pribadi masa pertumbuhan untuk memasuki
tahap masa dewasa. Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi
yang hadir (terasa) dalam pikiran dalam pikiran dan dapat diuji melalui
instropeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan
aktivitas.
Kesadaran beragama merupakan sesuatu yang terasa, dapat diuji
melalui instropeksi dan sudah ada internalisasi dalam diri seseorang, di
mana ia merupakan rasa keterdekatan dengan sesuatu yang lebih tinggi
dari segalanya, yaitu Tuhan.
Sehubungan dengan jiwa remaja yang berada dalam transisi dari
masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada
masa remaja berada dalam keadaan peralihan dari kehidupan beragama
anak-anak menuju kemantapan beragama. Disamping jiwanya yang labil
dan mengalami kegoncangan, daya piker yang abstrak, logika dan kritis
mulai berkembang. Emosinya semakin berkembang, motivasinya mulai
otonom dan tidak dikendalikan oleh dorongan biologis semata. Dengan
adanya gejolak batin tersebut akan tampak dalam kehidupan agama yang
mudah goyah, timbul kebimbangan, dan kerisauan. Disamping itu remaja
mulai menemukan penngalaman dan penghayatan ke-Tuhanan yang
bersifat individual dan sukar digambarkan kepada orang lain seperti dalam
pertobatan. Keimanan mulai otonom, hubungan dengan Tuhan makin
disrtai dengan kesadaran dan kegiatannya dalam masyarakat makin
diwarnai oleh rasa keagamaan.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan
moral. Bahkan, sebagaiman dijelaskan oleh Adams & Gullotta (1983),
agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang
mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama dapat menstabilkan
tingkah laku dan bias memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa
seseorang berada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa
aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama
remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada
masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berpikir
simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka
pada masa remajamereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang
lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensi. Perkembangan pemahaman
remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh
perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah
diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja
mereka mengalami kemajuann dalam perkembangan kognitif, mereka
mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka
sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap
perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman (1962) tentang
perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar
belakang teori perkembangan kognitif Piaget, ditemukan bahwa
perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3, yaitu
formal operational religious thought, di mana remaja memperlihatkann
pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Peneliti lain juga
menemukan perubahan perkembangan yang sama, pada anak-anak dan
remaja. Oser & Gmunder, 1991 (dalam Santrock, 1998) misalnya
menemukan bahwa remaja usia sekitar 17 atau 18 tahun makin meningkat
ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-
konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama.
Para ahli umumnya sependapat bahwa pada garis besarnya
perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat di bagi dalam dua
tahapan yang secara kulitatif menunjukkan karakteristik yang berbeda.
Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
a. Masa Remaja Awal
Masa ini dapat dibagi ke dalam tiga sub tahapan sebagai
berikut:
1) Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan)
disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan
orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang
pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan
perbuatannya.
2) Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia
banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan
pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau
bertentangan satu sama lain.
3) Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic(diliputi kewas-
wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai
kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
b. Masa Remaja Akhir
Masa ini tandai antara lain oleh hal-hal berikut ini:
1) Sikap kembali, pada umumnya, kearah positif dengan
tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat
menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa.
2) Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam
konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
3) Penghayatan rohaniahnya kembali tenanh setelah melalui proses
identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara
agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya,
yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa
terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh
toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup
didunia ini.
4. Sikap Remaja Dalam Beragama
a. Percaya Ikut-ikutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan agama
secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya.
Namun demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal
(usia 13-16 tahun). Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang
lebih kritis dan sadar sesuai dengan perkembangan psikisnya.
b. Percaya dengan Kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang
masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka
ingin menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk
membuktikan pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara
ikut- ikutan saja. Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia
17 tahun atau 18 tahun. Semangat agama tersebut mempunyai dua
bentuk:
1) Dalam bentuk positif semangat agama yang positif, yaitu
berusahamelihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi
menerima hal- hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin
memurnikan dan membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat,
dari kekakuan dan kekolotan.
2) Dalam bentuk negative Semangat keagamaan dalam bentuk
kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi,
yaitu kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari
luar ke dalam masalah- masalah keagamaan, seperti bid’ah,
khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
c. Percaya, tetapi Ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi
menjadi dua:
1) Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses
perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
2) Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang
dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan
pengetahuan yang dimiliki.
d. Tidak Percaya atau Cenderung Ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya
mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak
merasa tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia
telah memendam sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua,
selanjutnya terhadap kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
Ada beberapa ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada
masa remaja. Diantaranya adalah:
1) Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
2) Keimanannya semakin menuju realitas sebenarnya
3) Peribadatan mulai disertai penghayatan yang tulus
5. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Rasa Beragama Remaja
Menurut W. Stabuck, pertumbuhan dan perkembangan agama dan
tindak lanjut keagamaan remaja sangat berkaitan dengan:
a. Pertumbuhan dan Pikiran Mental
Pertumbuhan pengertian tentang ide-ide agama sejalan dengan
pertumbuhan kecerdasan (Zakiyah Darajat, 2003: 86). Menurut Peaget
”Perkembangan kognitif usia remaja bergerak dari cara berpikir yang
konkrit menuju cara berpikir yang proporsional”. Berdasarkan
pendapat ini, Ronald Goldman menerapkannya dalam bidang agama
dengan membuat sebuha kecimpulan: “Pertumbuhan kognitif memberi
kemungkinan terjadi perpindahan/transisi dari agama yang lahiriyah
menuju agama yang batiniah”.
Perkembangan kognitif memberi kemungkinan remaja untuk
meninggalkan agama anak-anak yang diperoleh dari lingkungan dan
mulai memikirkan konsep serta bergerak menuju agama “iman” yang
sifatnya sungguh-sungguh personal (Sururin. 2004:67). Agama
berkaitan dengan hal-hal yang abstrak seperti tentang hari akhirat,
syurga, neraka, dll. Pengertian tentang hal-hal yang abstrak itu baru
dapat diterima apabila pertumbuhan kecerdasan individu telah
memungkinkan untuk itu.
Menurut Alfred Binet, kemampuan untuk mengerti masalah-
masalah yang abstrak tidak sempurna perkembangannya sebelum
mencapai usia 12 tahun. Kemungkinan untuk mengambil kesimpulan
yang abstrak dari fakta-fakta yang ada baru tampak pada usia 14 tahun.
Pada masa remaja perkembangan mental dan pemikirannya
berkembang kearah berpikir logis. Apa dampaknya terhadap
pandangan dan kepercayaannya pada Tuhan? Dampaknya: “Remaja
tidak dapat melupakan Tuhan dari segala peristiwa yang terjadi dialam
ini, sehingga segala apapun yang terjadi dialam, baik peristiwa alamiah
maupun peristiwa sosial dilimpahkan tanggungjawabnya kepada
Tuhan”. Misalnya:
1) Ketika remaja melihat adanya kekacauan, kerusuhan,
ketidakadilan dalam masyarakat, maka mereka akan merasa
kecewa terhadap Tuhan, padahal Tuhan Maha Kuasa.
2) Sebaliknya, ketika remaja melihat keindahan alam,
keharmonisan dalam segala sesuatu, maka mereka akan menjadi
yakin kepada Tuhan, bahwa Tuhan Maha Bijaksana.
Dampak dari perkembangan mental/kecerdasarn pada masa
remaja terhadap agama adalah sebagai berikut;
1) Ide dan dasar keyakinan yang diterima remaja dari masa kanak-
kanak sudah tidak begitu menarik lagi.
2) Remaja sudah mulai kritis terhadap ajaran agama, dengan cara
dapat menolak saran-saran yang tidak dapat dimengertinya atau
mengkritik pendapat-pendapat yang berlawanan dengan
kesimpulan yang diambilnya.
3) Remaja menjadi bimbang beragama (efek kecerdasan).
4) Remaja menerima ide-ide atau pengertian-pengartian yang
abstrak dari tanpa pengertian menjadi menerima dengan
penganalisaan.
Perkembangan mental/kecerdasan itu akan mengantarkan
remaja kepada bimbang beragama. Hal ini dapat terjadi apabila;
1) Bimbang beragama: jika anak/remaja mendapat pendidikan
agama dengan cara yang memungkinkan mereka untuk berpikir
bebas dan boleh mengkritik hal yang berkaitan dengan agama.
2) Tidak bimbang beragama: jika anak/remaja mendapat
pendidikan agama dengan cara yang tidak memungkinkan
mereka untuk berpikir bebas dan boleh mengkritik hal yang
berkaitan dengan agama
BAB III
KASUS DAN ANALISIS KASUS
A. MENERIMA KEADAAN FISIKNYA BERIKUT KEBERAGAMAN
KUALITASNYA
1. Kasus
Salah satu kasus yang kelompok kami ambil tentang “menerima
keadaan fisiknya berikut keragaman kualitasnya” yaitu mengenai trend
seter pemakaian kawat gigi pada anak remaja zaman sekarang. Faktanya
pada zaman sekarang, ada 2 fungsi pemakaian kawat gigi bagi
penggunanya. Pertama digunakan sebagai media dalam kesehatan yaitu
meratakan gigi, dan yang kedua hanya sebagai aksesoris yang
mempercantik gigi pengunanya. Disamping itu pemasangan kawat gigi
tersebut dilakukan oleh tukang gigi (yang bukan ahli) dan dokter gigi ahli
spesialis ortodok.
Pada kasus yang kami ambil yaitu pada sebuah berita yang
bersumber pada web: http://www.tempo.co,Senin, 29 Oktober 2012 |
08:03 WIB Mengenai Behel Gigi untuk Gaya Justru Jadi Bahaya.
Berita ini menyebutkan bahwa:
“Pemakai kawat gigi akan merasakan sakit, terutama untuk pasien
dengan kasus gigi rusak. "Pada bulan-bulan awal pemasangan behel, gigi
terasa sakit banget, gusi berdarah, pipi bagian dalam juga bengkak-
bengkak dan sariawan karena gesekan dengan kawat," kata Dessy
Rosalina, 27 tahun. Dia sempat kesulitan makan karena sakit. Dessy
mengatakan dirinya memakai kawat gigi sejak dua tahun lalu. Ini
dilakukan karena dia mempunyai gigi yang berantakan dan renggang.
Dia jadi tidak pede dengan penampilannya. Sejak menggunakan behel,
masalah kebersihan gigi menjadi krusial bagi Dessy. Sebab itulah,
kemana pun pergi dia senantiasa membawa sikat gigi kecil atau tusuk
gigi serta cermin kecil.”
2. Analisis Kasus
Dari berita tersebut dapat dianalisi bahwa Dessy dapat dikatakan
sebagai seorang remaja yang tidak menerima keadaan fisiknya. Mengapa
dapat dikatakan demikian?
Jika dianalisis menurut Rosen dan Reiter (dalam Asri dan Setiasih,
2004) aspek-aspek ketidakpuasan pada bentuk tubuh (body
dissatisfaction)yaitu:
1. Penilaian Negatif terhadap Bentuk Tubuh
Remaja tersebut diindikasikan memiliki pandangan negatif terhadap
bentuk giginya. Ia merasakan, bahwa iamempunyai gigi yang
berantakan dan renggang.
2. Perasaan Malu terhadap Bentuk Tubuh Ketika Berada di Lingkungan
Sosial
Dapat diindikasikan bahwa jika ia mengatakan ia tidak percaya
diri dengan bentuk fisiknya itu, maka mungkin akan timbul perasaan
malu dalam melakukan kegiatan sosial dilingkungannya.
3. Body Checking
Jika remaja tersebut seringkalimengecek atau memeriksa
kondisi fisik mereka, sepertimelihat tampilan fisik mereka didepan
cermin. Maka dapat diindikasikan remaja tersebut terindikasi Body
checking
4. Kamuflase Tubuh
Jika pengunaan kawat gigi hanya dilakukan untuk
menenangkan hati. Maka remaja tersebut melakukan kamuflase tubuh.
5. Menghindari Aktivitas Sosial dan Kontak Fisik dengan Orang Lain
Kemudian kasus tersebut dianalisi dari segi faktor-faktor yang
mempengaruhi ketidakpuasan bentuk tubuh, maka:
1. First Impression Culture
Menjelaskan bahwa faktor lingkungan seringkali untuk menilai
sesorang berdasarkan berdasarkanpakaian, cara bicara, cara berjalan, dan
tampilan fisik. Penilaian tersebut diasosiasikan dengan status yanglebih
tinggi.Tampilan fisik disini merupakan gigi remaja tersebut.
2. Kepercayaan Bahwa Adanya Kontrol Diri dapat Memberikanjalan Untuk
Mencapai Tubuh Ideal
Dapat diindikasikan tubuh yang ideal merupakan suatu tampilan
yang sempurna, termasuk kerapihan gigi remaja ini.
3. Standar Kecantikan yang Tidak Mungkin dapat Dicapai
Karena bentuk gigi remaja ini tidak rapih dan renggang, maka
pemakaian kawat gigi merupakan salah satu cara agar standar kecantikan
anak tersebut dapat tercapai.
4. Rasa Tidak Puas yang Mendalam terhadap Kehidupan dan Diri Sendiri
Anak tersebut mengatakan bahwa dirinya memiliki rasa tidak
percaya diri terhadap tampilan giginya, maka anak ini meras tidak puas
akan bentuk fisiknya terhadap kehidupannya.
5. Kebutuhan Akan Kontrol
Anak tersebut memiliki rasa untuk mengontrol kerapihan giginya.
6. Rasa Percaya Diri yang Kurang
Remaja ini memiliki rasa ketidak puasan dalam dirinya.
Kasus tersebut dapat berdampak ketidakpuasan bentuk tubuh,
seperti:
1. Depresi;
2. Rendahnya kepercayaan diri dan harga diri;
3. Eating disorder dan masalah kesehatan;
4. Kematian.
Menurut teori ketidakpuasan pada bentuk tubuh menurut Rosen dan
Reiter(dalam Asri dan Setiasih, 2004) adalah keterpakuan pikiran
akanpenilaian yang negatif terhadap tampilan fisik dan adanya perasaan malu
dengan keadaan fisik ketika berada di lingkungan sosial. Maka dapat
dikatakan bahwa remaja tersebut memiliki ketidak puasan pada bentuk
tubuh. Ia merasa kurang percaya diri dengan bentuk gigi yang berantakan dan
renggang. Namun jika di analisis kembali, penggunaan kawat gigi yang
digunakan, berdampak pada pengaruhnya dalam kesehatan diri pengunanya.
Kasus ini adalah salah satu bentuk remaja yang tidak menerima keadaan
fisiknya, namun dengan cara yang positif. Positif disini, ia mengguakan cara
pemakaian kawat gigi yang sesuai dengan yang seharusnya, melalui
pemasakan ahli dokter gigi dan tidak melenceng pada fungsi pemakaian kawat
gigi yang sebenarnya, yaitu yang berguna didalam bidang kesehatan dirinya.
Upaya yang dapat dilakukan oleh dirinya sendiri, yang mengalami
ketidakpuasan dalam bentuk fisik yaitu dengan menggunakan strategi koping
(baik mental maupun perilaku), seperti yang tercantum pada kajian teori.
Diantaranya:
Menahan diri (exercised caution/cautiousness)
Tindakan instrumental (instrumental action)
Sedangkan upaya yang dilakukan oleh orang lain, utuk mengatasi
seseorang yang mengalami ketidakpuasan dalam bentuk fisik yaitu dengan
menggunakan strategi koping (baik mental maupun perilaku). Diantaranya:
Negosiasi (negotiation)
Dukungan sosial (support mobilization)
B. MEMILIKI KEBERMAKNAAN KEBERAGAMAAN
1. Kasus
Makna agama bagi beberapa remaja adalah hal yang sangat penting
dalam hidupnya karena segala suatu tindakan berasal dari agama. Namun
beberapa remaja menganggap bahwa agama hanyalah tuntutan belaka.
Seperti yang terjadi pada seorang siswa remaja laki-laki yang sekarang
kelas XII.
Pada saat ia masih kecil ia begitu rajin belajar agama Islam di
sekolah agama Islam (Madrasah Diniyyah), bahkan hampir di setiap
tahunnya ia selalu mendapat rangking, hafal juz 'amma lebih dahulu
daripada teman-teman yang lainnya, shalatnya tidak pernah tertinggal dan
sangat mahir dalam membaca Al-Qur'an. Setiap adzan berkumandang ia
sudah selalu berada di mushola dengan menggunakan baju koko, sarung
dan peci. Terkadang ia diperintahkan adzan. Begitu banyak cacian dan
pujian yang ia dapatkan, namun ia seolah-olah tak memperdulikannya.
Dan hal tersebut terjadi terus-menerus sampai ia duduk di kelas X SMA.
Dipertengahan semester kelas X, ayahnya meninggal. Sepeninggalan
ayahnya seolah-olah membuat segala dalam hidupnya berubah. Ia menjadi
tak pernah kembali lagi shalat di masjid dan mangikuti kegiatan agama
lainnya.
Ternyata selama ayahnya hidup ia dipaksa melakukan semuanya
itu. Bahkan pernah terjadi ketika ia tidak melakukan wudlu dengan benar,
ayahnya langsung menyambuknya dengan sabuk tentara beberapa kali.
2. ANALISIS KASUS
1. Faktor Keluarga
Keluarga sangat berpengaruh penting dalam pertumbuhan dan
perkembangan suatu individu. Di dalam kasus ini, saya menghipotesis
sepeninggal almarhum ayahnya, keluarga dari remaja tersebut menjadi
tidak harmonis. Hal ini dikarenakan keluarga ini tidak terbiasa dengan
kondisi dimana tidak adanya kepala keluarga. Keadaan ini membuat
goyahnya tiang dari keluarga remaja tersebut. Dengan ketiadaan sang
ayah, ibu menjadi pribadi yang berbeda dari biasanya. Mungkin saja
ibu dari remaja tersebut menjadi tidak terlalu peduli kepada
keluarganya. Faktor ini juga dirasakan oleh kakak dan adik remaja
tersebut. Mereka menjadi lebih bebas dalam pergaulan, karena
hilangnya sosok pengatur di dalam keluarga. Hal ini membuat suasana
di rumah remaja tersebut menjadi tidak sekondusif biasanya. Melihaf
hal ini, remaja tersebut bisa mendapat beban fikiran yang lebih berat
dan tidak seharusnya di alami remaja seumurnya. Remaja ini pun
menjadi tidak betah di lingkungan rumahnya, sehingga dia lebih sering
berada diluar rumah, bermain bersama teman-temannya, dan
menghabiskan waktu sesukanya tanpa ada yang menunjukan perhatian
lebih kepadanya.
Hipotesis saya selanjutnya masih mengenai pengaruh keluarga
terhadap sisi keagamaan dari remaja ini. Remaja yang awalnya
memliki kepribadian yang santun, akhlak yang baik dan rajin
beribadah ini menjadi berubah. Kesehariannya yang dahulu selalu
pergi ke mesjid untuk sholat berjamaah, untuk mengaji bersama
teman-temannya, tidak ia lakukan lagi. Hal ini terjadi karena dulu pada
saat almarhum ayahnya masih hidup, ia selalu di wanti-wanti untuk tak
lupa beribadah, mengerjakan sholat lima waktu berjamaah di mesjid,
dan selalu mengikuti pengajian rutin di mesjid dekat rumahnya. Ibadah
remaja tersebut menjadi terbengkalai, tak serajin biasanya, karena tak
ada lagi sosok ayah yg selalu mengingatkannya untuk beribadah tepat
waktu. Mungkin saja dulu hanya ayahnya yang selalu
mengingatkannya untuk beribadah, tidak ada campur tangan dari
anggota keluarga lain mengenai ibadah remaja tersebut. Sepeninggal
ayahnya pun bisa jadi tidak berubah. Ibu, kakak, dan adiknya mungkin
tetap tidak memperhatikan ibadah remaja tersebut, terlebih karena
mereka pun merasa harus mengurus urusannya masing-masing tanpa
adanya sesosok ayah.
2. Faktor Lingkungan
Masalah yang coba kami angkat adalah “seorang anak yang
dipaksa oleh ayahnya untukk soleh, ternyata setelah ayahnya
meninggal anak remaja tersebut menjadi nakal kembali”.
Remaja merupakan peralihan antara masa kanak kanak menuju
dewasa. Pada masa remaja memiliki keingin tahuan yang tinggi, belum
sepenuhnya memiliki pertimbangan yang matang . mudah terombang
ambing, mudah terpengaruh nekat dan berani emosi tinggi dan tak mau
ketinggalan. Menurut Hurlock (1973) ada beberapa masalah yang
dialami oleh remaja :
1. Masalah pribadi, yaitu masalah masalah yang berhubungan dengan
situasi.
2. Masalah masalah remaja, yaitu masalah yang timbul akibat situasi
yang tidak jelas pada remaja.
Oleh karena itu perlu adanya orang tua sebagai control dan
sebagai pembimbing pada perkembangan remaja. Pada masalah atau
kasus diatas dimana orang tua seorang remaja meninggal dunia, anak
tersebut menjadi nakal. Menurut pendapat saya hal tersebut timbul
karena peran orang tua sebagai control serta pembimbing sudak tidak
ada, padahal mereka masih tergolong ke dalam masa remaja dimana
pada masa ini remaja belum sepenuhnya memiliki pertimbangan yang
matang sehingga pada masa ini perlu adanya pembimbing. Karena
tidak adanya pembimbing inilah remaja mulai mencari jawaban
jawaban terhadap permasalahan permasalahan yang dialami oleh
remaja yaitu dengan mencari jawaban itu pada lingkungan. Namun
kondisi lingkungan social ada yang sehat dan tidak sehan, yang bahaya
adalah apabila remaja mencari jawaban tasa masalah masalahnya di
kondisi lingkingan yang kurang sehat/kurang baik. Hal inilah yang
mempengaruhi kenakalan remaja dari factor lingkungan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trend seter pemakaian kawat gigi pada anak remaja zaman sekarang.
Faktanya pada zaman sekarang, ada dua fungsi pemakaian kawat gigi bagi
penggunaanya. Pertama, diguankan sebagai media dalam kesehatan yaitu
meratakan gigi, dan yang kedua, hanya sebagai aksesoris yang
mempercantik gigi penggunanya. Di samping itu pemasangan kawat gigi
tersebut dilakukan oleh tukang gigi (yang bukan ahli) dan dokter gigi ahli
spesialis ortodok.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpuasan bentuk tubuh, adalah
sebagai berikut:
a. First impression culture.
b. Kepercayaan bahwa adanya control diri dapat memberikan jalan untuk
mencapai tubuh ideal.
c. Standar kecantikan yang tidak mungkin dapat dicapai.
d. Rasa tidak puas yang mendalam terhadap kehidupan dan diri sendiri.
e. Kebutuhan akan control.
f. Rasa percaya diri yang kurang.
Upaya yang dapat dilakukan oleh dirinya sendiri, yang mengalami
ketidakpuasan dalam betuk fisik yaitu menahan diri (excercised
caution/cautiousness) dan tindakan instrumental (instrumental action).
Sedangkan upaya yang dilakukan oleh orang lain diantaranya negosiasi
(negotiation) dan dukungan social (support mobilization).
Salah satu masalah yang terjadi pada remaja dalam kebermaknaan
keberagamaan adalah remaja yang memiliki sikap percaya tetapi agak
ragu-ragu dalam beragama setelah ayahnya meninggal.
Faktor-faktor yang menyebabkan remaja memiliki sikap percaya tetapi
agak ragu-ragu dalam beragama setelah ayahnya meninggal sebagai
berikut:
a. Faktor pertumbuhan dan pikiran mental.
b. Faktor keluarga.
c. Faktor lingkungan.
Upaya yang dapat dilakukan baik dirinya sendiri, keluargaya maupun
orang yang berada di lingkungannya mengenai masalah yang terjadi pada
remaja tersebut adalah sebagai berikut:
a. Control diri.
b. Control dari keluarga.
c. Biarkan remaja tersebut mendapatkan pendidikan agama dengan cara
yang tidak memungkinkan ia untuk berfikir bebas dan boleh
mengkritik hal yang berkaitan dengan agama.
d. Berikan pujian ketika ada remaja yang melakukan kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Marthayuanda. 2010. Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Tersedia di:
http://dillamelinda.blogspot.com
Muhammad Al-Mighwar, M. Ag. 2006. Psikologi Remaja: Petunjuk bagi Guru
dan Orangtua. Bandung: Pustaka Setia.
PakMarc. 2010. Tugas dan Tahap Perkembangan Remaja. Tersedia di:
http://id.shvoong.com.
Sari, Gannis Eka Pramita. 2010. Perbedaan Ketidakpuasan terhadap Bentuk
Tubuh dari Strategi Koping pada Remaja Wanita di SMA Negeri 2 Ngawi
(Skripsi). Tersedia di: http://www.foxitsoftware.com.