Makalah Andika (SCC - Abu Bromo)

24
PERILAKU FISIK DAN MEKANIK SELF COMPACTING CONCRETE (SCC) DENGAN PEMANFAATAN ABU VULKANIK SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PENGGANTI SEMEN Andika Ade Indra SAPUTRA*, TRIWULAN**, Pujo AJI **, Januarti Jaya EKAPUTRI** ABSTRAK Kemajuan di bidang konstruksi menuntut akan adanya inovasi-inovasi sebagai penyelesaian dari permasalahan yang sering ditemui. Saat ini Self Compacting Concrete (SCC) terus dikembangkan sebagai alternatif dalam pelaksanaan pengecoran beton. Self Compacting Concrete (SCC) merupakan beton yang mampu mengalir dibawah beratnya sendiri, mampu memenuhi atau mengisi begisting (formwork) dan mencapai kepadatan tertingginya. Selain memerlukan mineral admixture berupa superplasticizer yang memiliki viscositas tinggi, Self Compacting Concrete (SCC) juga memerlukan komposisi semen yang lebih banyak dibandingkan dengan beton normal. Hal ini bertujuan untuk memenuhi flowability yang disyaratkan. Oleh karena itu, diperlukan juga bahan pengganti tambahan semen sebagai inovasi untuk mewujudkan komposisi beton Self Compacting Concrete (SCC) yang ekonomis. Dalam penelitian ini, akan digunakan abu vulkanik yang merupakan limbah erupsi Gunung Bromo sebagai bahan pengganti semen dalam campuran mix design. Trial mix dilakukan untuk mengetahui semua komposisi variasi agar memenuhi persyaratan filling ability, passing ability, flow ability dan segregasi pada saat beton kondisi segar. Pengujian filling ability menggunakan slump cone, passing ability menggunakan L-box, sedangkan flow ability dan segregasi menggunakan V-funnel. Variabel penelitian ini adalah perbandingan semen dan abu vulkanik yang diambil nilai optimum dari penelitian sebelumnya, yaitu 100% : 10%, 90% : 10%, 85% : 15%, dan 80% : 20%. Masing-masing komposisi akan diberikan tambahan superplasticizer berupa viscocrete 10 dengan dosis 0.5-1.8% dari berat semen sesuai yang disyaratkan oleh Sika Indonesia. Pada kondisi keras beton akan dilakukan tes kuat tekan pada usia 3, 7, 14, 21, dan 28 hari, serta tes kuat tarik belah, tes porositas, dan tes susut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa workability sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis superplasticizer yang ditambahkan pada campuran beton. Penggunaan superplasticizer Glenium C-351 memberikan workability yang lebih baik jika dibandingkan dengan Viscocrete 10 pada saat pengetesan beton kondisi segar. Besarnya penambahan abu vulkanik tidak berpengaruh 1

description

Penelitian tentang penggunaan abu bromo sebagai replacement cement

Transcript of Makalah Andika (SCC - Abu Bromo)

PERILAKU FISIK DAN MEKANIK SELF COMPACTING CONCRETE (SCC) DENGAN PEMANFAATAN ABU VULKANIK SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN PENGGANTI SEMEN

Andika Ade Indra SAPUTRA*, TRIWULAN**, Pujo AJI **, Januarti Jaya EKAPUTRI**

ABSTRAK Kemajuan di bidang konstruksi menuntut akan adanya inovasi-inovasi sebagai penyelesaian dari permasalahan yang sering ditemui. Saat ini Self Compacting Concrete (SCC) terus dikembangkan sebagai alternatif dalam pelaksanaan pengecoran beton. Self Compacting Concrete (SCC) merupakan beton yang mampu mengalir dibawah beratnya sendiri, mampu memenuhi atau mengisi begisting (formwork) dan mencapai kepadatan tertingginya. Selain memerlukan mineral admixture berupa superplasticizer yang memiliki viscositas tinggi, Self Compacting Concrete (SCC) juga memerlukan komposisi semen yang lebih banyak dibandingkan dengan beton normal. Hal ini bertujuan untuk memenuhi flowability yang disyaratkan. Oleh karena itu, diperlukan juga bahan pengganti tambahan semen sebagai inovasi untuk mewujudkan komposisi beton Self Compacting Concrete (SCC) yang ekonomis.

Dalam penelitian ini, akan digunakan abu vulkanik yang merupakan limbah erupsi Gunung Bromo sebagai bahan pengganti semen dalam campuran mix design. Trial mix dilakukan untuk mengetahui semua komposisi variasi agar memenuhi persyaratan filling ability, passing ability, flow ability dan segregasi pada saat beton kondisi segar. Pengujian filling ability menggunakan slump cone, passing ability menggunakan L-box, sedangkan flow ability dan segregasi menggunakan V-funnel. Variabel penelitian ini adalah perbandingan semen dan abu vulkanik yang diambil nilai optimum dari penelitian sebelumnya, yaitu 100% : 10%, 90% : 10%, 85% : 15%, dan 80% : 20%. Masing-masing komposisi akan diberikan tambahan superplasticizer berupa viscocrete 10 dengan dosis 0.5-1.8% dari berat semen sesuai yang disyaratkan oleh Sika Indonesia. Pada kondisi keras beton akan dilakukan tes kuat tekan pada usia 3, 7, 14, 21, dan 28 hari, serta tes kuat tarik belah, tes porositas, dan tes susut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa workability sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis superplasticizer yang ditambahkan pada campuran beton. Penggunaan superplasticizer Glenium C-351 memberikan workability yang lebih baik jika dibandingkan dengan Viscocrete 10 pada saat pengetesan beton kondisi segar. Besarnya penambahan abu vulkanik tidak berpengaruh signifikan pada workability, akan tetapi berpengaruh pada hasil kuat tekan. Kuat tekan optimum dihasilkan dari penambahan abu vulkanik sebanyak 15%.

Kata Kunci: Inovasi, Self Compacting Concrete (SCC), Abu Vulkanik, Viscocrete 10 Glenium C-351, Fillingability, Passing Ability, Flow Ability, Segregasi, Kuat Tekan.

*Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS**Dosen Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS

BAB IPENDAHULUAN1.1. LATAR BELAKANG

Self Compacting Concrete (SCC) merupakan beton yang mampu memadat sendiri dengan slump yang cukup tinggi. Dalam proses penempatan pada volume bekisting (placing) dan proses pemadatannya (compaction), SCC tidak memerlukan proses penggetaran seperti pada beton normal. SCC mempunyai flowability yang tinggi sehingga mampu mengalir, memenuhi bekisting, dan mencapai kepadatan tertingginya sendiri (EFNARC 2005). Berbeda dengan di Jepang, Self Compacting Concrete (SCC) di Indonesia masih belum berkembang dengan pesat. Pengembangan Self Compacting Concrete (SCC) di Indonesia masih terbatas pada metode uji coba mix design yang akan digunakan pada beton tersebut. Berbeda dengan beton normal pada umumnya, komposisi semen yang dibutuhkan pada mix design Self Compacting Concrete (SCC) lebih banyak jika dibandingkan komposisi semen pada beton normal (Okamura dan Ouchi 2003). Hal inilah yang juga sering dijadikan sebagai penelitian untuk menemukan bahan tambahan pengganti semen yang sesuai dengan sifat dan karakteristik semen itu sendiri.

Pada penelitian sebelumnya, fly ash yang merupakan limbah pembakaran batu bara telah diuji mampu menggantikan peranan semen. Variasi fly ash 50% merupakan variasi yang paling ekonomis sebagai bahan tambahan pengganti semen. Dikarenakan tekstur fly ash yang sangat kecil dan bulat, penambahan fly ash pada Self Compacting Concrete (SCC) juga mampu menambah workabilitas dari beton tersebut. Selain itu, biaya produksi juga dapat diperkecil karena harga fly ash yang relatif sangat murah jika dibandingkan dengan semen (Hamka 2008).

Selain fly ash, abu vulkanik yang keluar akibat letusan Gunung Bromo pada bulan November 2010 kemarin juga menjadi limbah yang masih belum termanfaatkan secara maksimal. Bahkan abu vulkanik dianggap sebagai material yang berbahaya bagi kesehatan karena memliki kandungan pasir silika (SiO2). Pada dasarnya setiap kali gunung berapi meletus, senyawa yang dikeluarkan adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (SO2), asam klorida (HCl), dan asam fluorida (HF) (Widodo 2011).

Dengan belum termanfaatkannya abu vulkanik Gunung Bromo secara maksimal serta kandungan senyawa yang ada di dalamnya, perlu dilakukan penelitian tentang abu vulkanik Gunung Bromo sebagai bahan tambahan pengganti semen. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul Perilaku Fisik dan Mekanik Self Compacting Concrete (SCC) dengan Pemanfaatan Abu Vulkanik sebagai Bahan Tambahan Pengganti Semen1.2. RUMUSAN MASALAH1. Bagaimanakah perilaku workability beton Self Compacting Concrete (SCC) dengan tambahan abu vulkanik Gunung Bromo sebagai bahan tambahan pengganti semen?

2. Bagaimanakah proses mix design yang tepat pada Self Compacting Concrete (SCC) dengan menggunakan abu vulkanik Gunung Bromo?3. Bagaimanakah perilaku kuat tekan, kuat tarik belah, susut, dan porositas Self Compacting Concrete (SCC) dengan tambahan abu vulkanik Gunung Bromo sebagai bahan tambahan pengganti semen?4. Bagaimanakah kandungan senyawa kimia abu vulkanik Gunung Bromo?1.3. TUJUAN PENELITIAN1. Memperoleh hasil mengenai perilaku workability beton Self Compacting Concrete (SCC) dengan tambahan abu vulkanik gunung bromo sebagai bahan tambahan pengganti semen.

2. Mencari formula mix design yang tepat pada campuran Self Compacting Concrete (SCC) dengan menggunakan abu vulkanik.3. Memperoleh hasil mengenai perilaku kuat tekan, kuat tarik belah, susut, dan porositas beton Self Compacting Concrete (SCC) dengan tambahan abu vulkanik gunung bromo sebagai bahan tambahan pengganti semen.4. Mencari kandungan kimia yang terdapat pada abu vulkanik Gunung Bromo.

1.4. MANFAAT

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan abu vulkanik sebagai bahan tambahan pengganti semen.

2. Mengambangkan penelitian beton Self Compacting Concrete (SCC) dengan abu vulkanik gunung berapi yang masih aktif.1.5. RUANG LINGKUP

1. Metode yang digunakan adalah DOE (Departement of Environment) SK.SNI.T-15-1990-03 Tata Cara Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal

2. Hanya mencari kandungan kimia dan tidak membahas reaksi kimia yang terjadi pada abu Bromo.3. Mutu beton rencana adalah fc = 40 MPa.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Self Compacting Concrete (SCC)

2.1.1DefinisiSelf Compacting Concrete (SCC) merupakan campuran beton yang dapat memadat sendiri tanpa menggunakan bantuan alat vibrator untuk memperoleh konsolidasi yang baik. Metode Self Compacting Concrete (SCC) ini merupakan suatu hasil riset di Jepang pada awal tahun 1980an dengan menghasilkan suatu prototype yang cukup sukses pada tahun 1988 (Okamura dan Ouchi 2003).

2.1.2Sifat Sifat

Beton dapat dikategorikan Self Compacting Concrete (SCC) apabila beton tersebut memiliki sifat-sifat tertentu. Diantaranya memiliki slump yang menunjukkan campuran atau pasta beton yang memiliki kuat geser dan lentur yang rendah sehingga dapat masuk dan mengalir dalam celah ruang dalam formwork dan tidak diizinkan memiliki segregasi akibat nilai slump yang tinggi. Karakteristik Self Compacting Concrete (SCC) adalah memiliki nilai slump berkisar antara 550-850 mm (European Guidelines 2005).

Kriteria workability dari campuran beton yang baik pada Self Compacting Concrete (SCC) adalah mampu memenuhi kruteria berikut (EFNARC 2002): Fillingability, kemampuan campuran beton untuk mengisi ruangan.

Passingability, kemampuan campuran beton untuk melewati struktur ruangan yang rapat.

Segregation resistance, ketahanan campuran beton segar terhadap efek segregasi.2.1.3Dasar Mix Design

Komposisi agregat kasar pada beton konvensional menempati 70-75 % dari total volume beton. Sedangkan dalam SCC agregat kasar dibatasi jumlahnya sekitar kurang lebih 50 % dari total volume beton sesuai pada Gambar 2.1. Pembatasan agregat ini bertujuan agar beton bisa mengalir dan memadat sendiri tanpa alat pemadat (Okamura dan Ouchi 2003).

Gambar 2.1 Bahan Campuran Beton SCC (Okamura dan Ouchi 2003)2.1.4Pengujian

2.1.4.1Slump ConePengujian Slump cone ini digunakan untuk mengetahui flowability dan fillingability campuran beton Self Compacting Concrete (SCC)2.1.4.2 V Funnel

V-Funnel test ini digunakan untuk mengetahui fillingability campuran beton Self Compacting Concrete (SCC).2.1.4.3 L Box

Pengujian L-Box digunakan untuk mengetahui passingability beton Self Compacting Concrete (SCC).2.2. Abu Vulkanik

2.2.1DefinisiAbu Vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik adalah bahan material vulkanik yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan. Abu vulkanik ini terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus. Batuan yang berukuran besar (bongkah kerikil) biasanya jatuh disekitar kawah sampai radius 7 km dari kawah, dan yang berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan km.2.2.1Tampilan StrukturMenurut dr Mukhtar Ikhsan, SpP(K), dokter spesialis paru-paru dari Rumah Sakit PersahabatanBentuk dan struktur Abu Vulkanik berbeda dengan abu pada umumnya. Abu vulkanik lebih tajam jika dibandingkan dengan abu pada umumnya. Bentuk abu vulkanik dapat dilihat di Gambar 2.4 dengan ukuran abu yang telah diperbesar 10.000 kali.

Gambar 2.2 Scanning Electron Micrograph

BAB IIIMETODOLOGI PELAKSANAAN

Untuk mempermudah pelaksanaan dan sebagai arahan kerja penelitian, maka perlu dibuat flowchart. Berikut adalah flowchart yang dipakai selama penelitian:

3.2. Studi Literatur

Langkah pertama yang dilakukan untuk menunjang kelancaran dalam penelitian tugas akhir ini adalah dengan melakukan studi literatur. Sumber acuan yang dijadikan referensi dalam studi literatur ini diambil dari jurnal, peraturan, buku, hasil penelitian, dan informasi dari internet3.2. Persiapan Bahan

3.2.1 Pemilihan Semen

Semen yang digunakan adalah Semen Gresik OPC Type I.

3.2.2 Agregat Kasar

Agregat kasar yang digunakan adalah batu pecah ukuran single size 10-10 yang diambil dari mojosari.

3.2.3 Agregat Halus

Agregat haslus yang digunakan adalah pasir dari lumajang

3.2.4 Abu Vulkanik

Abu Vulkanik yang digunakan adalah limbah erupsi dari Gunung Bromo dengan ayakan lolos #200.

3.2.5 Superpalsticizer

Superplasticizer yang digunakan adalah Viscocrete 10 dan dengan pembanding.

3.2.6 Air

Air yang digunakan adalah air yang berasal dari PDAM Surabaya.

3.3. Pengujian Material

3.3.1 Agregat Halus

Percobaan Kelembapan Pasir

Percobaan Berat Jenis Pasir

Percobaan Air Resapan Pasir

Percobaan Berat Volume Pasir

Tes Kebersihan Terhadap Bahan Organik

Tes Kebersihan Terhadap Lumpur

Analisa Saringan Pasir

3.3.2 Agregat Kasar

Percobaan Kelembapan Batu Pecah

Percobaan Berat Jenis Batu Pecah

Percobaan Air Resapan Batu Pecah

Percobaan Berat Volume Batu Pecah

Tes Kebersihan Terhadap Lumpur

Tes Keausan

Analisa Ayakan Batu Pecah3.4. Penentuan Komposisi Mix DesignPenentuan komposisi awal tiap bahan adalah sebagai berikut :

1. Agregat kasar dibatasi jumlahnya sekitar kurang lebih 50 % dari total volume beton supaya bisa mengalir dan memadat sendiri tanpa alat pemadat.

2. Perbandingan volume agregat halus dan agregat kasar adalah 55% : 45%3. Perbandingan Semen : Abu Vulkanik diambil dari nalai optimum penelitian sebelumnya.

4. Dosis admixture (superplasticizer) diberikan antara 0.5% sampai dengan 1.8 % dari jumlah total semen.

3.7. Pengadukan Komposisi Bahan

Pada proses ini, bahan campuran mulai dari agrgat kasar, agragat halus, semen, air, abu vulkanik, dan superplasticizer akan dicampur dan diaduk menjadi satu (ASTM C192-76).3.8. Pengujian Beton Segar

Pada kondisi segar, benda uji beton dianalisa dengan melakukan beberapa tes untuk menilai sifat self-compacted-nya, yaitu tes slump cone untuk untuk mengetahui flowability dari campuran beton, L-box test untuk mengetahui passing ability dari self-compacting concrete dan Funnel test untuk mengetahui flowability dari campuran beton.3.8.1Slump Cone Test

Gambar 3.1 Baseplate (EFNARC 2005)

Gambar 3.2 Slump Cone (Sugiharto 2006)

Slump flow spread (S) adalah harga rata-rata dari dmax dan dperp, seperti yang terlihat pada perhitungan di bawah. S dalam mm (hasil perhitungan S dibulatkan menjadi 5 mm-an).

Rumus yang digunakan:

S =

Slump flow time T50 adalah waktu pada saat cone mulai diangkat dari base plate sampai SCC menyentuh tanda lingkaran D 500 mm. T50 dinyatakan dalam detik dengan ketelitian 1/10 detik.

3.8.2V - Funnel Test

V-funnel flow time adalah waktu yang diperlukan SCC untuk dapat melewati celah yang sempit dan menentukan fillingability dari SCC yang dapat diketahui dari adanya blocking atau segregasi yang terjadi.

3.8.3L-Box Test (EFNARC 2005)

Passing ratio, PL atau blocking ratio, BL dihitung berdasarkan rumus (12) dan dinyatakan tanpa satuan dengan ketelitian 0,01 (dua angka desimal).

PL = atau BL = 1 -

Dimana (tinjau Gambar 3.4):

H1 = Tinggi beton segar dalam L Box yang tidak melewati tulangan

H2 = Tinggi beton segar akhir dalam L Box setelah melewati tulangan.

3.9 Cetak Benda Uji

Mencetak pasta campuran beton pada cetakan (molding) silinder besi/metal ukuran 10 x 20 cm dengan tebal dinding cetakan 0.33 mm. Perawatan beton mengacu pada standart ASTM C-192-81 dilakukan dengan cara curing pada bak air dengan air tawar bersuhu 23 1.7C.

3.10 Pengujian Beton Kondisi Keras

3.10.1 Uji Susut

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan dalam dimensi linear yang diukur searah dengan sumbu memanjang dari benda uji yang terjadi karena sebab pembebebanan dan suhu.

3.10.2 Uji Kuat Tekan

Pengujian ini lakukan untuk mengetahui kuat tekan hancur dari silinder beton yang mewakili spesimen beton dalam mix design. Pengujian ini dilakukan pada saat beton berusia 7, 14, 21, 28, dan 56 hari. Untuk mengetahui kualitas dari beton yang telah dilakukan tes tekan, perlu dilakukan standart deviasi. Jumlah data yang diambil dari masing-masing pengujian adalah sebanyak 3 buah.

3.10.3 Uji Kuat Tarik Belah

Pengujian kuat tarik belah pada beton SCC dengan penambahan abu vulkanik sebagai pengganti semen dilakukan pada saat beton berumur 28 hari. Setiap pengujian dilakukan pada 3 buah benda uji untuk kemudian hasil dari pengujian diambil rata-ratanya. Pelaksanaan pengujian kuat tarik belah ini pada dasarnya sama dengan pelakasanaan kuat tekan. Hanya saja apabila kuat tekan benda uji diletakkan secara vertikal pada pengujian kuat tarik ini benda uji diletakkan secara horozontal dan tanpa dilakukan caping.

3.10.4 Uji Porositas

Pada dasarnya tes porositas ini dilakukan untuk mengetahui pori terbuka dan pori tertutup yang terdapat pada beton. Pori terbuka merupakan pori yang bersifat permeable (dapat ditembus oleh udara ataupun air). Sedangkan pori tertutup lebih bersifat impermeable (tidak tembus udara ataupun air). Pori tertutup ini mampu meningkatkan kuat tekan beton karena memiliki tekanan hidrostatis dan mampu menghindarkan beton dari retak. Sedangkan pori yang terbuka lebih bersifat merusak kuat tekan beton, semakin tinggi pori terbuka maka beton tersebut semakin keropos.

BAB IVANALISA DATA

4.1. Umum

Bab ini akan menjelaskan mengenai hasil-hasil pengujian berikut analisanya selama pengerjaan penelitian tugas akhir yang meliputi hasil analisa material, pengetesan beton SCC kondisi segar dan pengetesan beton SCC kondisi keras yaitu tes tekan, tes tarik belah, porositas, dan tes susut.

4.2 Analisa Material

4.2.1 Agregat Halus

Berikut adalah hasil tes analisa material agregat halus:

1. Berat jenis (SSD) : 2.72 gr/cm3

2. Berat Volume : 1.485gr/cm33. Kelembaban : 5.82 %

4. Resapan

: 1.52 %

5. Modulus Kehalusan : 2.2495

6. Grading zone : 2

4.2.2 Agregat Kasar

1. Berat jenis (SSD) : 2.745 gr/cm3

2. Berat Volume : 1.405gr/cm33. Kelembaban : 1,25 %

4. Resapan

: 1.35 %

5. Modulus Kehalusan : 2.24956. Tes Keausan : 25,1 %

7. Ukuran maks : 20 mm4.3 PelaksanaanMix DesignPada penelitian tugas akhir ini, sumber acuan yang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan rancangan campuran (mix design) beton Self Compacting Concrete adalah metode DOE (Departemen of Environment). Komposisi agregat kasar dan agregat halus yang digunakan adalah 45% : 55% sesuai dengan batas maksimum yang direkomandasikan oleh Europena Guidelines. Faktor air semen yang digunakan adalah seragam yaitu 0,44 dengan penambahan superplasticizer berupa Viscocrete 10. Selain itu sebagai komplemen penelitian tugas akhir ini, juga dilakukan penelitian dengan menambahkan superplasticizer lain berupa Glenium C 351.

Tabel 4.1 Mix Design

NoFaktorNilai

1Kuat Tekan Rencanafc = 40 MPa

2Faktor Air Semen0,44

3Kadar Air Bebas205 kg/m3

4Ukuran Agregat Max20 mm

5Jumlah Semen466 kg/m3

6Persen Agregat Halus55 %

7Berat Jenis Relatif2,729

8Berat Isi Beton2450 kg/m3

9Kadar Agr. Gab1779 kg/m3

10Kadar Agr. Halus978 kg/m3

11Kadar Agr. Kasar801 kg/m3

JumlahPer m3Per 0,05 m3

12Semen (kg)46623,30

13Air (kg)20510,25

14Agr. Halus (kg)97848,90

15Agr. Kasar (kg)80140,05

Mix design di atas belum termasuk jumlah superplasticizer yang ditambahkan pada saat pengecoran, yaitu 0,8% dan 1,0 %. Penentuan besarnya dosis ini adalah berdasarkan trial and error dengan mengacu pada persyaratan batas minimum dan maksimum dari dosis masing-masing superplasticizer dan persyaratan yang harus dipenuhi pada saat pengujian beton SCC kondisi segar. Syarat untuk Viscocrete adalah 0,5 1,8 % (Sika 2007) dan Glenium adalah 0,6 2,0 % (BASF 2007). Berdasarkan penelitian sebelumnya penggunaan dosis superplasticizer sebesar 0,8% dapat mengahasilkan SF 735 mm. Sedangkan untuk dosis 0,6% dan 0,4% masing-masing adalah sebesar 655mm dan 555mm. Dari hasil penelitian tersebut penambahan dosis 0,2% superplasticizer dapat meningkatkan SF antara 80-100 mm (Tjaronge 2006)4.4 Hasil Tes Beton Kondisi Segar

Berikut adalah hasil tes beton kondisi segar dengan menggunakan superplasticizer Viscocrete 10 dan Glenium C-351.

4.4.1 Slump Cone Test (T50)

Gambar 4.1 Slump Cone Test T50Analisa Gambar 4.1:

Berdasarkan Gambar 4.1, semakin besar jumlah superplasticizer yang diberikan maka semakin cepat pula campuran beton mencapai diameter 50 cm pada saat pengujian slump cone test. Hal ini dikarenakan reaksi pada superplasticizer yang menyebabkan fluiditas pada campuran sehingga mampu meningkatkan flowability (Sika 2007). Sedangkan kaitannya dengan penambahan abu sebagai bahan pengganti semen, dapat dilihat pula bahwa semakin banyak abu, semakin lama T50 yang dicapai. Hal ini dikarenakan tekstur abu cenderung lebih tajam dan kasar (tinjau gambar 2.2). Selain itu, abu yang digunakan pada penelitian ini hanya lolos ayakan #200. Kondisi ini berbeda pada penelitian sebelumnya, dimana dengan menambahkan jumlah fly ash yang teksturnya cenderung bundar dan halus, maka semakin cepat waktu alir beton mencapai diameter 50 cm (Hamka 2008). Penggunaan superplasticizer berupa Glenium C-351 memberikan hasil flowabilty yang lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan superplasticizer Viscocrete 10. Hal ini dikarenakan Glenium memiliki cabang polymer (graft chain/side chain) yang lebih panjang dan banyak sehingga mampu mendispersikan partikel-partikel semen dengan lebih baik. (Herianto dan Alfred 2007)4.4.2 Slump Flow Test (SF)

Gambar 4.2 Slump Flow Test (SF)

Analisa Gambar 4.2:

Mengacu pada penelitian sebelumnya dimana setiap penambahan superplasticizer sebesar 0,2% dapat menambah Slump Flow (SF) antara 80 100 mm (Tjangroe 2006). Berdasarkan Gambar 4.2, semakin besar jumlah superplasticizer yang diberikan maka semakin besar pula nilai diameter akhir yang dapat dicapai campuran pada saat pengujian Slump Flow Test. Hal ini dikarenakan reaksi pada superplasticizer yang menyebabkan fluiditas pada campuran sehingga mampu meningkatkan flowability (Sika 2008). Walaupun dari Gambar 4.1 terlihat bahwa waktu Glenium untuk mencapai diameter 50 cm lebih cepat dibandingkan dengan Viscocrete, akan tetapi berdasarkan Gambar 4.2 diameter akhir beton dengan menggunakan Glenium 0,8% ternyata tidak jauh lebih besar dari yang menggunakan Viscocrete dengan dosis 1,0%. Sedangkan kaitannya dengan penambahan abu sebagai bahan pengganti semen, berdasarkan Gambar dapat dilihat pula bahwa komposisi abu tidak memiliki pengaruh yang besar dalam hal flowability. Dengan penggunaan abu vulkanik sebagai material pengganti semen, ternyata penambaham superplasticizer atau jenis superplasticizer memiliki pengaruh yang kecil terhadap besarnya Slump Flow.

4.4.3 V-Funnel Test (Tv)

Gambar 4.3 V-Funnel Test (Tv) Analisa Gambar 4.3:

Dari Gambar 4.3, perilaku campuran beton SCC pada saat dilakukan pengetesan V-Funnel tidak mengalami perbedaan yang signifikan di masing-masing campuran yang menggunakan Viscocrete 10. Jumlah abu dan jumlah dosis superlasticizer yang berbeda hanya berpengaruh kecil dalam hal fillingability secara vertikal. Hal ini dikarenakan gaya gravitasi yang lebih dominan memberikan pengaruh terhadap fillingability secara vertikal. Kondisi ini berbeda jika dengan menggunakan fly ash sebagai bahan pengganti semen. Kadar fly ash yang semakin tinggi mampu membuat waktu fillingability semakin cepat (Tarsan 2010). Penggunaan superplasiticizer Glenium C-351 ternyata memberikan pengaruh yang besar dalam hal fillingability pada saat pengujian dengan menggunakan V-Funnel. Berdasarkan data, penggunaan Glenium C-351 bisa mempercepat fillingability secara vertikal 3 kali lebih cepat daripada penggunaan Viscocrete 10. Hal ini dikarenakan Glenium memiliki cabang polymer (graft chain/side chain) yang lebih panjang dan banyak sehingga mampu mendispersikan partikel-partikel semen dengan lebih baik. (Herianto dan Alfred 2007)4.4.4 L-Box Test (PL)

Gambar 4.4 L - Box Test (PL) Analisa Gambar 4.4:

Berdasarkan Gambar 4.4, untuk superplastisizer jenis Viscocrete 10 semakin besar jumlah dosis yang diberikan maka semakin besar pula nilai passing ratio yang dapat dicapai campuran pada saat pengujian L-Box test. Semakin besar nilai passing ratio yang diberikan, maka semakin baik pula passing ability yang dimiliki campuran beton tersebut (European Guidelines 2005). Hal ini dikarenakan superplasticizer yang mampu mendispersikan partikel material beton segar sehingga mampu mengalir dan melewati tulangan yang ada (Sika 2008). Berdasarkan Gambar dapat dilihat pula bahwa semakin besar abu yang diberikan maka passing ratio yang dihasilkan semakin kecil. Hal ini diakibatkan ukuran abu yang hanya lolos ayakan #200, jika ditambahkan dalam jumlah yang semakin besar dapat menyebabkan kekentalan pada campuran, sehingga kemampuan campuran untuk melewati celah menjadi terhambat. Kondisi ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya yang menggunakan fly ash (Hamka 2008 dan Tarsan 2010), di mana semakin besar jumlah fly ash yang ditambahkan sebagai pengganti semen, maka semakin tinggi PL yang dihasilkan. Penggunaan superplasticizer Glenium C-351 memberikan efek yang sama dengan apabila pengujian dilakukan dengan menggunakan Viscocrete 10. Pemakaian abu dalam skala yang lebih besar juga masih memberikan efek pada semakin kecilnya passing ratio yang dihasilkan. Bentuk fly ash yang cenderung lebih bundar dan halus juga mengakibatkan campuran lebih bisa mengalir jika dibandingkan dengan bentuk abu vulkanik yang cenderung lebih kasar dan tajam. Berikut adalah gambar Scanning Electron Micrograph dari abu vulkanik dan fly ash.

Gambar 4.5 SEM Fly Ash 2.0K X (www.sciencephoto.com)

Gambar 4.6 SEM Abu Vulkanik 2.5K X

(Hasil Pengamatan Research Center ITS)

4.5 Pengujian Beton Kondisi Keras

4.5.1 Uji Kuat Tekan

Pengujian dilakukan dari umur 7, 14, 21, 28, dan 56 hari dengan masing-masing benda uji sebanyak 3 buah silinder. Pengujian kuat tekan ini terdiri dari:

1. Pengujian Benda Uji Viscocrete 10

2. Pengujian Benda Uji Glenium C-351

Gambar 4.7 Rata-Rata Kuat Tekan Benda Uji Viscocrete 0,8%

Gambar 4.8 Rata-Rata Kuat Tekan Benda Uji Viscocrete 1,0%

Gambar 4.9 Rata-Rata Kuat Tekan Benda Uji Glenium 0,8%

Gambar 4.10 Perbandingan Kuat Tekan

Usia 28 HariAnalisa Hasil Kuat Tekaa:

Terjadi kecenderungan pola yang tidak biasa pada pembuatan beton SCC dengan pemanfaatan abu vulkanik ini. Dari Gambar 4.10 menunjukkan bahwa dengan penambahan kadar abu sebesar 10% mengakibatkan kuat tekan beton justru mengalami penurunan dan mengalami kenaikan kembali pada kadar 15% yang merupakan puncak dari kuat tekan akibat penambahan abu vulkanik. Hal ini diduga dikarenakan pada kadar 10% abu tidak mampu menggantikan peran semen dalam memberikan reaksi kimia yang mampu mengikat masing-masing material penyusun beton. Penggunaan abu vulkanik sebesar 10% diperkirakan hanya mengganggu rekasi kimia dan juga diperkirakan hanya berperan sebagai filler sehingga kuat tekan yang dihasilkan mengalami penurunan. Kondisi ini juga terjadi pada penelitian sebelumnya pada beton normal dengan pemanfaatan abu vulkanik (Baihaqi 2011). Penggunaan superplasticizer Viscocrete 10 sangat berpengaruh pada kekuatan beton. Berdasarkan hasil penelitian beton SCC dengan menggunakan abu vulkanik, dosis superplasticizer berbanding terbalik dengan kuat tekan yang dihasilkan. Semakin tinggi dosis yang diberikan, maka semakin rendah kekuatan beton yang dihasilkan. Hal ini juga dibuktikan dari hasil penelitian sebelumnya dengan beton SCC yang menggunakan fly ash (Tarsan 2010). Penggunaan superplasticizer Glenium C 351 memberikan pola Gambar yang sama dengan superlplasticizer Viscocrete 10. Terjadi pola yang tidak biasa pada penambahan kadar abu sebanyak 10 % dari jumlah semen. Kondisi ini berbeda dengan penelitian dengan menggunakan fly ash sebagai bahan pengganti semen, dimana semakin banyak kadar fly ash yang digunakan maka kekuatan yang dihasilkan pun semakin rendah (Hamka 2008). Pada usia 56 hari kuat tekan beton masih mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan dengan penambahan abu vulkanik sebagai pozzolan dapat memperpanjang waktu pengikatan dan menurunkan kekuatan awal beton. Kuat tekan beton dengan tambahan pozzolan akan dicapai setelah mortar atau beton berumur minimal 90 hari (Tjokrodimuljo 1996).4.5.2 Uji Kuat Tarik Belah

Gambar 4.11 Hasil Kuat Tarik ft (Mpa)

Gambar 4.12 Hubungan Kadar Abu dan ft/fc

Gambar 4.13 Hubungan fc-ft Viscocrete 0,8%

Gambar 4.14 Hubungan fc-ft Viscocrete 1,0%

Gambar 4.15 Hubungan fc-ft Glenium 0,8 %

Analisa Hasil Kuat Tarik: Selain dengan menggunakan pengetesan langsung, kuat tarik dapat ditentukan dengan menggunakan rumus dengan batas min 0,95x dan batas maks 1,85x . Dengan menggunakan rumus, kuat tarik yang dihasilkan dari konversi kuat tekan memenuhi persyaratan batas minimum dan batas maksimum (CEB FIP Model Code 1993). Berdasarkan data penelitian, beton SCC dengan menggunakan tambahan pozzolan abu vulkanik dan dengan penambahan dosis SP 0,8% dan 1,0% hanya memiliki pengaruh yang kecil pada pola hubungan kuat tarik dan kuat tekan. Sama halnya dengan pada beton normal yang ada, hubungan antara kuat tarik dan kuat tekan (ft/fc) adalah sekitar +/- 10%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Baihaqi 2011) pada beton normal dengan pemanfaatan abu vulkanik. Besarnya kuat tarik yang dihasilkan dari masing-masing komposisi abu vulkanik cenderung memiliki pola grafik yang berbeda dengan kuat tekan yang dihasilkan dari masing-masing komposisi pada usia usia yang sama, yaitu 28 hari. Dari gambar 4.13 4.15 ditunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan atau kenaikan yang signifikan pada masing-masing komposisi.4.5.3 Uji Kuat Tarik Belah

Pengujian porositas ini dilakukan pada beton berumur di atas 28 hari dengan melakukan pengujian porositas terbuka dan porositas tertutup.

Gambar 4.16 Porositas Viscocrete 0,8%

Gambar 4.17 Porositas Viscocrete 1,0%

Gambar 4.18 Porositas Glenium 0,8%

Gambar 4.19 Perbandingan Porositas TotalAnalisa:

Porositas tertutup memberikan kontribusi terhadap kenaikan kuat tekan, semakin besar kuat tekan kecenderungan kenaikan porositas tertutup juga semakin ada. Hal ini dikarenakan pori yang tertutup memiliki tekanan hidrostatis yang mampu menambah kuat tekan beton dan terhindar dari retak (Triwulan, Ekaputri, Adiningtyas 2007). Secara umum, porositas total berbanding terbalik dengan kuat tekan yang dihasilkan oleh beton. Semakin tinggi kuat tekan, maka semakin rendah porositas dari beton tersebut. Hal ini dikarenakan yang berperan dominan pada porositas total adalah porositas terbuka. Pada Gambar 4.29, perilaku porositas total menunjukkan pola yang sesuai dengan kuat tekan pada beton itu sendiri.

4.5.4 Uji Susut

Pengujian susut ini dilakukan untuk mengetahui reduksi pada volume beton yang diakibatkan karena kehilangan air akibat penguapan pada saat proses setting beton maupun akibat hidrasi dari semen (Neville 1990). Benda uji yang digunakan adalah balok dengan ukuran 28,50 x 7,50 x 7,50 cm dengan masing-masing ujung ditanam baut yang telah ditumpulkan untuk dipasang pada saat pembacaann dial ukur.Tabel 4.2 Hasil Uji Susut

Gambar 4.20 Kuat Tekan 28 Hari vs Susut Glenium 0,8%Analisa:

Walaupun pada penambahan kadar abu 10% tidak dianalisa secara kimiawi penyebab turunnya kekuatan beton, dari tabel susut di atas terlihat bahwa susut terbesar terjadi beton dengan penambahan kadar abu 10%. Hal ini juga diperkuat dari data hubungan antara kuat tekan dan porositas total di bawah ini.

Gambar 4.21 Kuat Tekan vs Porositas Total Viscocrete 0,8%

Gambar 4.22 Kuat Tekan vs Porositas Total Viscocrete 1,0%

Gambar 4.23 Kuat Tekan vs Porositas Total Glenium 0,8%

4.5.5 Uji Setting Time

Pengujian ini dilakukan pada benda uji dengan campuran superplasticizer glenium 0,8%, viscocrete 0,8% dan 1,0% dengan masing-masing komposisi abu sebanyak 0%, 10%, 15%, dan 20% dari jumlah semen yang digunakan. Jumlah air yang digunakan adalah berdasarkan pada konsistensi normal yaitu masing-masing 72,9ml, 75,36ml, 77,5ml, dan 78,6ml sesuai dengan jumlah abu. Jumlah air direduksi sebesar 25% akibat dari penambahan superplasticizer yang ditentukan dari trial dan error pada saat penelitian.

Tabel 4.3 Hasil Setting Time Viscocrete 0,8%

Tabel 4.4 Hasil Setting Time Viscocrete 1,0%

Tabel 4.5 Hasil Setting Time Glenium 0,8%

Analisa:

Berdasarkan data setting time hasil pengujian di atas terlihat bahwa semakin banyak abu yang ditambahkan maka semakin lama setting time yang terjadi. Begitu pula dengan penambahan superplasticizer mengakibatkan setting time menjadi lama. Sifat abu vulkanik berbanding lurus dengan sifat fly ash dalam hal setting time. Dari hasil penelitian sebelumnya (Hamka 2008) semakin banyak kadar fly ash yang ditambahkan maka semakin lama terjadinya final setting pada campuran. Kedua hal ini terjadi karena abu dan superplasticizer menghambat terjadi proses hidrasi pada semen dan air atau yang disebut retarder. (Sika 2008)

Gambar 4.24 Hubungan Kadar Abu dan Setting Awal

Gambar 4.25 Hubungan Kadar Abu dan Setting Akhir4.6 Uji Mikrostruktur Abu Vulkanik

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa yang terdapat dalam Abu Vulkanik Gunung Bromo. Pengujian ini dengan tes XRD (X-Ray Diffractometer) dan XRF yang dilakukan di Laboratorium Energy Research Center ITS. Berikut adalah hasil tes XRF yang dilakukan pada abu vulkanik Gunung Bromo

Tabel 4.6 Senyawa dalam Abu Bromo

NoSenyawaKonsenstrasi

1SiO235,70 %

2Na2O 22,00 %

3Fe2O315,80 %

4Al2O3 9,90 %

5CaO 8,32 %

6K2O 3,37 %

7TiO2 1,50 %

8SO3 1,30 %

9MgO 1,00 %

Tabel 4.8 Tabel Perbandingan Pozolan Yang Dibakar

Analisa:

Berdasarkan pada perbandingan pozolan yang dibakar, ada beberapa senyawa yang terkandung dalam Abu Bromo yang melebihi ataupun kurang dari syarat maksimum dan minimum dari persyaratan yang telah ditentukan. Pada Abu Bromo mengandung Na2O yang cukup tinggi. Kondisi ini tidak baik pada beton, hal ini dikarenakan alkali reaksi yang terjadi dapat menyebabkan retak pada beton. Hal ini dikarenakan dengan reaksi alkali agregat membuat semacam antibodi sehingga terlepas dari campuran pasta yang ada.

4.7 Rekomendasi Penggunaan

Selain tanah diatomic, opaline chertz, dan shales, abu vulkanik adalah salah satu jenis dari pozzolan alami yang ada di bumi.Pozzolan ini tersedia akibat erupsi gunung berapi, sehingga pozzolan ini tidak dapat diciptakan atau diproduksi khusus oleh manusia. Sebagai limbah akibat erupsi, manusia hanya bisa sebatas memanfaatkan semaksimal mungkin abu vulkanik tersbut. Dari hasil penelitian beton SCC dengan menggunakan abu vulkanik Bromo menunjukkan bahwa optimasi kuat tekan dapat tercapai pada penambahan kadar abu sebanyak 15%.

Berikut adalah analisa biaya sederhana perbandingan antara penggunaan abu vulkanik dan fly ash.

Harga Fly Ash per kg = Rp 500

Harga Abu Vulkanik per kg = Rp 1.250Harga Abu Vulkanik ditentukan dari proses pengambilan bahan untuk penelitian. Penelitian ini membutuhkan 2 ton abu basah + pasir dari Bromo, dengan biaya jasa angkut sebesar Rp 1.000.000. Dari 2 ton abu basah, melalui proses penjemuran, oven, dan ayakan, dihasilkan jumlah abu murni lolos ayakan #200 sebanyak 40% dari total abu basah + pasir = 800 kg. Harga per kg ditentukan dari biaya jasa angkut dibagi jumlah abu murni = Rp 1.250. Berdasarkan analisa biaya sederhana di atas, abu vulkanik tidak direkomendasikan untuk diproduksi secara massal. Hal ini dikarenakan harga per kg bisa mencapai 250% dari harga fly ash yang ada. Selain itu, jumlahnya tidak menentu karena berupa limbah dari erupsi. Akan tetapi,Abu Vulkanik Gunung Bromo cocok untuk masyarakat sekitar Gunung Bromo yang memerlukan pozzolan tambahan untuk melaksanakan proses konstruksi akibat bencana Erupsi Gunung Bromo.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisa penelitian Self Compacting Concrete dengan pemanfaatan Abu Vulkanik diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Banyaknya dosis superplasticizer yang ditambahkan berpengaruh pada besarnya workability beton SCC pada saat dilakukan pengetesan beton kondisi cair. Semakin banyak dosis superplasticizer yang diberikan, flowability, passing ability, dan passing ratio juga semakin besar.

2. Workability yang dihasilkan dengan menggunakan Glenium C-351 lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan Viscocrete 10. Akan tetapi dalam hal pencapaian diameter akhir penggunaan Glenium C-351dan Viscocrete 10 relatif sama.3. Walaupun terdapat perbedaan, secara umum penambahan abu vulkanik sebagai bahan tambahan pengganti semen tidak mempengaruhi workability beton SCC pada saat dilakukan pengetesan beton kondisi cair.

4. Pengaruh penambahan Abu Vulkanik mempengaruhi besarnya kuat tekan. Penambahan Abu Vulkanik 10% dan 20% justru menyebabkan penurunan kekuatan, akan tetapi mengalami kenaikan kuat tekan pada penambahan kadar Abu Vulkanik sebanyak 15%. Dari penelitian yang dilakukan, direkomendasikan untuk pemanfaatan abu vulkanik sebagai bahan pengganti semen dalam beton SCC sebaiknya digunakan kadar abu sebanyak 15%.

5. Besarnya kuat tarik belah (split) yang dihasilkan dari beton SCC dengan menggunakan Abu Vulkanik adalah sebesar 10% +/- 2.

6. Porositas yang terjadi pada beton SCC ini berbanding terbalik dengan kuat tekan. Semakin besar kuat tekan yang dihasilkan semakin kecil porositas yang ada.

7. Berdasarkan hasil pengujian susut, susut yang terbesar terjadi pada komposisi abu vulkanik 10% yaitu sebesar 0,40 %.

5.2 Saran

1. Pada penelitian ini tidak membahas lebih dalam reaksi kimia yang terdapat dalam abu vulkanik sebagai bahan tembahan pengganti semen, oleh karena itu diharapkan kelak ada penelitian lanjutan untuk membahas reaksi kimia yang mendalam pada senyawa, ikatan, dan reaksi kimia dengan bahan penyusun beton.

2. Perawatan superplasticizer memiliki pengaruh yang besar terhadap penelitian beton Self Compacting Concrete, oleh karena itu penyimpanan dan perawatan superplasticizer harus sesuaidengan aturan pada superplasticizer tersebut.

3. Pada penelitian ini tidak dibahas optimasi biaya yang ideal diterapkan dengan pemanfaatan abu vulkanik dan superplasticizer, diharapkan kedepannya terdapat penelitian yang membahas optimasi biaya mengingat biaya superplasticizer masih sangat mahal.

Gambar 3.3 Alat uji V-Funnel

(EFNARC 2005)

Gambar 3.4 Alat Uji LBox (EFNARC 2005)

1