Makalah Amnion

46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cairan amnion mempunyai peranan penting dalam menunjang proses kehamilan dan persalinan. Di sepanjang kehamilan normal . Kompartemen dari cairan amnion menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan berkembang. Tanpa cairan amnion rahim akan mengerut dan menekan janin, pada kasus – kasus dimana tejadi kebocoran cairan amnion pada awal trimester pertama janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi muka , reduksi tungkai dan cacat dinding perut akibat kompresi rahim.Menjelang pertengahan kehamilan cairan amnion menjadi semakin penting untuk perkembangan dan pertumbuhan janin , antara lain perkembangan paru- parunya , bila tidak ada cairan amnion yang memadai selama pertengahan kehamilan janin akan sering disertai hipoplasia paru dan berlanjut pada kematian. Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin . Cairan ini mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat pertumbuhanbakteri yang memiliki potensi patogen.Selama proses persalinan dan kelahiran cairan amnion terus bertindak sebagai medium protektif pada janin untuk memantu dilatasi 1

Transcript of Makalah Amnion

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cairan amnion mempunyai peranan penting dalam menunjang proses

kehamilan dan persalinan. Di sepanjang kehamilan normal . Kompartemen

dari cairan amnion menyediakan ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan

berkembang. Tanpa cairan amnion rahim akan mengerut dan menekan janin,

pada kasus – kasus dimana tejadi kebocoran cairan amnion pada awal

trimester pertama janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi

muka , reduksi tungkai dan cacat dinding perut akibat kompresi

rahim.Menjelang pertengahan kehamilan cairan amnion menjadi semakin

penting untuk perkembangan dan pertumbuhan janin , antara lain

perkembangan paru-parunya , bila tidak ada cairan amnion yang memadai

selama pertengahan kehamilan janin akan sering disertai hipoplasia paru dan

berlanjut pada kematian. Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif

pada janin .

Cairan ini mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat

pertumbuhanbakteri yang memiliki potensi patogen.Selama proses persalinan

dan kelahiran cairan amnion terus bertindak sebagai medium protektif pada

janin untuk memantu dilatasi servik.Selain itu cairan amnion juga berperan

sebagai sarana komunikasi anatara janin dan ibu. Kematangan dan kesiapan

janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin janin yang diekskresikan ke

dalam cairan amnion. Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat

diagnostik untuk melihat adanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan

dan perkembangan janin dengan melakukan kultur sel atau melakukan

spectrometer.Jadi Cairan amnion memegang peranan yang cukup penting

dalam proses kehamilan dan persalinan .

Pada kehamilan normal, cairan amnion memberikan ruang bagi janin

untuk tumbuh, bergerak, dan berkembang. Tanpa cairan amnion, uterus akan

berkontraksi dan menekan janin. Jika terjadi pengurangan volume cairan

1

amnion pada awal kehamilan, janin akan mengalami berbagai kelainan seperti

gangguan perkembangan anggota gerak, cacat dinding perut, dan sindroma

Potter , suatu sindrom dengan gambaran wajah berupa kedua mata terpisah

jauh, terdapat lipatan epikantus, pangkal hidung yang lebar, telinga yang

rendah dan dagu yang tertarik ke belakang. Pada pertengahan usia kehamilan,

cairan amnion menjadi sangat penting bagi perkembangan paru janin. Tidak

cukupnya cairan amnion pada pertengahan usia kehamilan akan menyebabkan

terjadinya hipoplasia paru yang dapat menyebabkan kematian.

Selain itu cairan ini juga mempunyai peran protektif pada janin, cairan

ini mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat

pertumbuhan bakteri yang memiliki potensi patogen. .Selama proses persalinan

dan kelahiran cairan amnion terus bertindak sebagai medium protektif pada

janin untuk memantau dilatasi servik. Selain itu cairan amnion juga berperan

sebagai sarana komunikasi antara janin dan ibu. Kematangan dan kesiapan

janin untuk lahir dapat diketahui dari hormon urin janin yang diekskresikan ke

dalam cairan amnion.

Cairan amnion juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk

melihat adanya kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan

perkembangan janin dengan melakukan kultur sel. Jadi cairan amnion

memegang peranan yang cukup penting dalam proses kehamilan dan

persalinan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari amnion?

2. Apa saja struktur dari amnion?

3. Apa fungsi dari cairan amnion?

4. Bagaimana keadaan normal dari cairan amnion?

5. Apa kelainan dari jumlah cairan amnion?

6. Bagaimanakah fisiologi dari cairan amnion?

7. Bagaimana cara pengukuran cairan amnion?

2

8. Bagaimaa proses distribusu cairan amnion?

9. Apa kandungan dari cairan amnion?

10. Apa saja patologi dari cairan amnion?

11. Jenis pemeriksaan apa saja yang menggunakan cairan amnion?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi amnion

2. Untuk mengetahui struktur dan fungsi cairan amnion

3. Untuk mengetahui keadaan normal cairan amnion

4. Untuk mengetahui kelainan dan volume cairan amnion

5. Untuk mengetehui fisiologi cairan amnion

6. Untuk mengetahui cara pengukuran dan distribusi cairan amnion

7. Untuk mengetahui patologi dan kandungan cairan amnion

8. Untuk mengetahui jenis-jenis pemeriksaan yang menggunakan cairan

amnion

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 STRUKTUR DAN FUNGSI AMNION

A.SELAPUT JANIN (AMNION DAN KORION)

Pada minggu-minggu pertama perkembangan, villi / jonjot meliputi

seluruh lingkaran permukaan korion.

Dengan berlanjutnya kehamilan :

1.      jonjot pada kutub embrional membentuk struktur korion lebat seperti semak-

semak (chorion frondosum) sementara

2.      jonjot pada kutub abembrional mengalami degenerasi, menjadi tipis dan

halus disebut chorion laeve.

Seluruh jaringan endometrium yang telah mengalami reaksi desidua, juga

mencerminkan perbedaan pada kutub embrional dan abembrional :

1.      desidua di atas korion frondosum menjadi desidua basalis

2.      desidua yang meliputi embrioblas / kantong janin di atas korion laeve

menjadi desidua kapsularis.

3.      desidua di sisi / bagian uterus yang abembrional menjadi desidua parietalis.

Antara membran korion dengan membran amnion terdapatrongga korion.

Dengan berlanjutnya kehamilan, rongga ini tertutup akibat persatuan membran

amnion dan membran korion. Selaput janin selanjutnya disebut sebagai membran

korion-amnion (amniochorionic membrane).

Kavum uteri juga terisi oleh konsepsi sehingga tertutup oleh persatuan chorion

laeve dengan desidua parietalis.

B.CAIRAN AMNION

Rongga yang diliputi selaput janin disebut sebagai RONGGA AMNION.

Di dalam ruangan ini terdapat cairan amnion (likuor amnii).

Asal cairan amnion : diperkirakan terutama disekresi oleh dinding selaput

amnion / plasenta, kemudian setelah sistem urinarius janin terbentuk, urine janin

yang diproduksi juga dikeluarkan ke dalam rongga amnion

4

C.FUNGSI CAIRAN AMNION :

1.      Proteksi : melindungi janin terhadap trauma dari luar

2.      Mobilisasi : memungkinkan ruang gerak bagi janin

3.      Homeostasis : menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam-basa (pH)

dalam rongga amnion, untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin.

4.      Mekanik : menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruangan intrauterin

(terutama pada persalinan).

5.      Pada persalinan : membersihkan / melicinkan jalan lahir, dengan cairan yang

steril, sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir.

D.KEADAAN NORMAL CAIRAN AMNION :

1.      Pada usia kehamilan cukup bulan, volume 1000-1500 cc.

2.      Keadaan jernih agak keruh

3.      Steril

4.      Bau khas, agak manis dan amis

5.      Terdiri dari 98-99% air, 1-2% garam-garam anorganik dan bahan organik

(protein terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, vernix caseosa dan sel-sel

epitel.

6.      Sirkulasi sekitar 500 cc/jam

E.KELAINAN JUMLAH CAIRAN AMNION

1.      Hidramnion (polihidramnion)

Air ketuban berlebihan, di atas 2000 cc. Dapat  mengarahkan kecurigaan

adanya kelainan kongenital susunan saraf pusat atau sistem pencernaan, atau

gangguan sirkulasi, atau hiperaktifitas sitem urinarius janin.

2.      Oligohidramnion

Air ketuban sedikit, di bawah 500 cc. Umumnya kental, keruh, berwarna

kuning kehijauan.

Prognosis bagi janin buruk.

5

2.2.FISIOLOGI DAN PATOLOGI CAIRAN AMNION

A. FISIOLOGI CAIRAN AMNION

Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8

perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion,

berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal

mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah

yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion. 1,2,3

Gambar 1.  Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar

sebelah kiri dan di sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-

12 yang selanjutnya akan tumbuh menekan mudigah dikutip dari

Cunningham1

Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena

adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari

lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan

aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal.

Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20

minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion

lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki

peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion

sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. 

6

Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi

oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat

kulit janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran

tersebut dalam memproduksi cairan amnion.

Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan

dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan

menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma

ibu dan cairan amnion. 

Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis

ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan

pada janin, seperti atresia esophagus, atau anensefali, akan menyebabkan

polihidramnion3.

B. Fungsi Cairan Amnion

Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan

perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion

merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua

arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk

uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa

menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan

permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa

cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang

memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus

pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal. 

Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki

peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu.

Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon,

karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-komponen cairan

amnion ditemukan memiliki fungsi sebagai biomarker potensial bagi

abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan,

sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor

pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan

7

usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam

pengembangan medikasi stem cell 1,2,3,4

C. Volume Cairan Amnion

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara

umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan

dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang

kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia

kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada

saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000

– 1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya

100 sampai 200 ml atau kurang.

Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan pada

12 penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara individual. Variasi

terbesar terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu. Pada saat ini, batas

normalnya adalah 400 – 2100 ml1,2,3,4.

Gambar 2. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion

sesuai dengan penambahan usia gestasi

dikutip dari Gilbert 5

8

D. Pengukuran Cairan Amnion

Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion,

dengan teknik single pocket ,dengan memakai Indeks Cairan Amnion (ICA), dan

secara subjektif pemeriksa.

Pemeriksaan dengan metode single pocket pertama kali diperkenalkan

oleh Manning dan Platt pada tahun 1981 sebagai bagian dari pemeriksaan biofisik,

dimana 2ccm dianggap sebagai batas minimal dan 8 cm dianggap sebagai

polihidramnion. 

Metode single pocket telah dibandingkan dengan AFI menggunakan

amniosintesis sebagai gold standar. Tiga penelitian telah menunjukkan bahwa

metode pengukuran cairan ketuban dengan teknik Indeks Cairan Amnion (ICA)

memiliki korelasi yang lemah dengan volume amnion sebenarnya (R2 dari 0.55,

0.30 dan 0.24) dan dua dari tiga penelitian ini menunjukkan bahwa teknik single

pocketmemiliki kemampuan yang lebih baik. 

Kelebihan cairan amnion seperti polihidramnion, tidak mempengaruhi

fetus secara langsung, namun dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Secara

garis besar, kekurangan cairan amnion dapat berefek negatif terhadap

perkembangan paru-paru dan tungkai janin, dimana keduanya memerlukan cairan

amnion untuk berkembang 6,7

Gambar 3. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran 

dikutip dari Gilbert5

9

E. Distribusi Cairan Amnion

1. Urin Janin

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi

urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan

aterm. Wladimirof dan Campbell mengukur volume produksi urin janin secara 3

dimensi setiap 15 menit sekali, dan melaporkan bahwa produksi urin janin adalah

sekitar 230 ml / hari sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat

sampai 655 ml/hari pada kehamilan aterm. 

Rabinowitz dan kawan-kawan, dengan menggunakan teknik yang sama

dengan yang dilakukan Wladimirof dan Campbell, namun dengan cara setiap 2

sampai 5 menit, dan menemukan volume produksi urin janin sebesar 1224

ml/hari. Pada tabel menunjukkan rata-rata volume produksi urin per hari yang

didapatkan dari beberapa penelitian. Jadi, produksi urin janin rata-rata adalah

sekitar 1000-1200 ml/ hari pada kehamilan aterm.1,2,3,5,7,8

2. Cairan Paru

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan

amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-

paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari

produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut.

Meskipun pengukuran secara langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun

data ini memiliki nilai yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal,

janin bernafas dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan

keluar melalui trakea, paru-paru dan mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga

berperan dalam pembentukan cairan amnion.

3. Gerakan menelan

Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba,

proses menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan.

Sherman dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara

bertahap dengan volume sekitar 100-300 ml/kg/hari. 

10

Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukurrata-rata volume cairan

amnion yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun pada manusia,

pengukuranyang tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard meneliti proses

menelan pada janin dengan menginjeksi kromium aktif pada kompartemen

amniotik, dan menemukan rata-rata menelan janin adalah 72 sampai 262

ml/kg/hari.

Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen amniotik dan

menemukan bahwa volume menelan janin meningkat seiring dengan

bertambahnya usia kehamilan. Penelitian seperti ini tidak dapat lagi dilakukan

pada masa sekarang ini karena faktor etik, namun dari penelitian di atas jelas

bahwa kemampuan janin menelan tidak menghilangkan seluruh volume cairan

amnion dari produksi urin dan paru-paru janin, karena itu, harus ada mekanisme

serupa dalam mengurangi volume cairan amnion.

Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan

Dikutip dari Gilbert5

4. Absorpsi Intramembran

Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah

ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru janin, dengan

konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih antara produksi dan

konsumsi cairan amnion, didapatkan selisih sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu

saja ini akan menyebabkan polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa

11

penelitian, akhirnya terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi

melalui intramembran. Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus.

Dengan ditemukan adanya absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa

terdapat keseimbangan yang nyata antara produksi dan konsumsi cairan amnion

pada kehamilan normal. 5

F. Kandungan Cairan Amnion

Pada awal kehamilan, cairan amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma ibu. Pada

awal trimester kedua, cairan ini terdiri dari cairan ekstrasel yang berdifusi melalui

kulit janin sehingga mencerminkan komposisi plasma janin. Namun setelah 20

minggu, kornifikasi kulit janin menghambat difusi ini dan cairan amnion terutama

terdiri dari urin janin. 

Urin janin mengandung lebih banyak urea, kreatinin, dan asam urat

dibandingkan plasma. Selain itu juga mengandung sel janin yang mengalami

deskuamasi, verniks, lanugo dan berbagai sekresi. Karena zat-zat ini bersifat

hipotonik, maka seiring bertambahnya usia gestasi, osmolalitas cairan amnion

berkurang. Cairan paru memberi kontribusi kecil terhadap volume amnion secara

keseluruhandan cairan yang tersaring melalui plasenta berperan membentuk

sisanya. 98% cairan amnion adalah air dan sisanya adalah elektrolit, protein,

peptid, karbohidrat, lipid, dan hormon.3,7,8

Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan amnion, di antaranya

adalah protein total, albumin, globulin, alkalin aminotransferase, aspartat

aminotransferase, alkalinfosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase, kreatinin

kinase, isoenzim keratin kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase

hidroksibutirat, amilase, glukosa, kolesterol, trigliserida, High Density

Lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), very-low-density lipoprotein

(VLDL), apoprotein A1 dan B, lipoprotein, bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin

indirek, sodium, potassium, klorid, kalsium, fosfat, magnesium, bikarbonat, urea,

kreatinin, anion gap , urea, dan osmolalitas. 

Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan factor

pertumbuhan mirip EGF, misalnyatransforming growth factor-α, terdapat di

cairan amnion. Ingesti cairan amnion ke dalam paru dan saluran cerna mungkin

12

meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini melalui gerakan

inspirasi dan menelan cairan amnion.

Beberapa penanda (tumor marker) juga terdapat di cairan amnion

termasuk α-fetoprotein (AFP), antigen karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen

kanker 125 (CA-125), dan 199 (CA-199). 

1. ALFA FETO PROTEIN (AFP)

Merupakan suatu glikoprotein yang disintesa yolk sac janin pada awal

kehamilan Konsentrasinya dalam cairan amnion meningkat sampai kehamilan 13

minggu dan kemudian akan berkurang. 

Jika kadar AFP ini meningkat dan diiringi dengan peningkatan kadar asetil

kolin esterase menunjukan adanya kelainan jaringan syaraf seperti neural tube

defect atau defek janin lainnya. 

Jika peningkatan kadar AFP tidak diiringi dengan peningkatan kadar

asetilkolinesterase menunjukan adanya kemungkinan etiologi lain atau adanya

kontaminasi dari darah janin. 1

1. Lesitin – Sfingomielin

Lesitin ( dipalmitoyl phosphatidycholine) merupakan suatu unsur yang

penting dalam formasi dan stabilisasi dari lapisan surfaktan yang mempertahankan

alveolar dari kolaps dan respiratori distress, sebelum minggu ke 34 kadar lesitin

dan sfingomielin dalam cairan amnion sama konsentrasinya. Setelah minggu ke

34 konsentrasi lesitin terhadap sfingomielin relatifmeningkat .

Jika konsentrasi lesitin dalam cairan amnion lebih dari dua kali

kadar sfingomielin ( L/S Ratio ), menunjukan resiko terjadinya gawat nafas pada

janin sangat rendah. Tetapi jika perbandingan kadar lesitinsfingomielin kecil dari

dua resiko terjadinya gawat nafas pada janin meningkat. Karena lesitin

dansfingomielin juga ditemukan pada darah dan mekonium, kontaminasi oleh

kedua substansi tersebut dapat membiaskan hasil. Selama kehamilan sejumlah

agen bioaktif bertumpuk di cairan amnion, kompartemen cairan amnion

merupakan suatu tempat penyimpanan yang luar biasa yang khususnya

bermanfaat dalam kehamilan dan persalinan. 

13

Banyaknya agen bioaktif yang terakumulasi dalam cairan amnion selama

kehamilan merupakan suatu hal yang tipikal dari inflamasi jaringan. Suatu hal

yang unik dari agen agen bioaktif ini adalah bersifat uterotonik seperti PGE2 ,

PGF2 , PAF dan endothelin-1, produk-produk ini dapat dilihat pada vagina dan

cairan amnion setelah proses persalinan dimulai. Agen-agen inflamasi ini penting

peranannya dalam proses dilatasi servik. 1,6,8,9

1. Sitokin

Makrofag terdapat dalam cairan amnion dalam jumlah yang kecil sebelum

proses persalinan, sebenarnya leukosit tidak dapat melakukan penetrasi normal

melalui membran janin baik secara in vivo atau in vitro, tetapi dengan adanya

inflamasi dari desidua pada partus preterm, leukosit ibu akan diambil menuju

cairan amnion, fenomena juga pada partus yang aterm, aktivasi leukosit

diakselerasi oleh inflamasi dan memungkinkan melewati membran janin. 

2. Interleukin -1β

Interleukin -1β merupakan sitokin primer, yang diproduksi secara cepat

sebagai respon dari infeksi dan perubahan imunologi dan Interleukin -1β akan

merangsang sitokin lain dan mediator inflamasi lainnya.

Interleukin -1β secara normal tidak terdeteksi sebelum proses persalinan,

Interleukin -1β baru akan muncul pada cairan amnion pada persalinan

yangpreterm atau sebagai reaksi dari infeksi pada cairan amnion. 

Pada kehamilan aterm, seperti prostaglandin,Interleukin -1β diproduksi pada

desidua setelah induksi persalinan atau dilatasi servik, yang kemudian akan

didistribusikan pada cairan amnion dan vagina.

Sitokin lainnya yang terdapat dalam cairan amnion adalah Interleukin -6

atau Interleukin -8.

3. Prostaglandin

Prostaglandin terutama PGE2 juga PGF2α di dapatkan pada cairan amnion

pada semua tahap persalinan . Sebelum proses persalinan dimulai prostanoid

dalam cairan amnion dihasilkan dari ekskresi urine janin dan mungkin juga oleh

kulit , paru-paru dan tali pusat. Seiring dengan pertumbuhan janin , kadar

prostaglandin dalam cairan amnion meningkat secara bertahap.

14

Walaupun demikian tidak ada pertambahan kadar prostaglandin yang dapat

dihubungkan atau diinterprestasikan sebagai pertanda pre partus.Faktanya jumlah

total kadar prostaglandin dalam cairan amnion pada saat kehamilan cukup bulan

sebelum persalinan dimulai sangat kecil (sekitar 1µg) , karena waktu paruh

prostaglandin dalam cairan amnion sangat lama yaitu 6 – 12 jam jumlah dari

prostaglandin yang memasuki cairan amnion sangat kecil. 

Hubungan antara peningkatan kadar prostaglandin dalam cairan amnion dan

inisiasi dari persalinan menjadi suatu tanda tanya selama lebih 30 tahun terakhir. 

2.3. PATOLOGI CAIRAN AMNION

Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat menjadi 1 liter

atau lebih sedikit pada gestasi 36 minggu, tapi kemudian berkurang. Secara kasar,

cairan amnion yang lebih dari 2000 ml dianggap berlebihan dan disebut

hidramnion, dan kadang-kadang disebut polihidramnion. Pada kasus yang jarang,

uterus mungkin mengandung cairan dalam jumlah yang sangat besar. Pada

sebagian besar kasus, yang terjadi adalah hidramnion kronik, yaitu peningkatan

cairan berlebihan secara bertahap. Pada hidramnion akut, uterus mungkin

mengalami peregangan mencolok dalam beberapa hari. Volume cairan amnion

yang kurang dari 200 ml disebut oligohidramnion.

A. Hidramnion

Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan. Sebagian

besar penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan amnion yang

lebih besar dari 25 cm. Dengan menggunakan indeks 25 cm atau lebih, Biggio dan

kawan kawan di University of Alabama melaporkan insidensi 1 persen dari

hampir 36.450 kehamilan.

Dalam suatu penelitian terdahulu oleh Hill dan kawan kawan dari Mayo

Clinic,lebih dari 9000 pasien prenatal menjalani evaluasi ultrasonografi rutin

menjelang awal trimester ketiga. Insidensi hidramnion adalah 0,9 persen.

Hidramnion ringan (didefinisikan sebagai kantung yang berukuran vertikal 8-11

cm) terdapat pada 80 persen kasus dengan cairan berlebihan. Hidramnion sedang

(didefinisikan sebagai kantung yang hanya mengandung bagian bagian kecil dan

berukuran kedalaman 12-15 cm) dijumpai pada 15 persen. 

15

Hanya 5 persen yang mengalami hidramnion berat (yang didefinisikan

sebagai adanya janin mengambang bebas dalam kantung cairan yang berukuran

16 cm atau lebih). Walaupun dua pertiga dari semua kasus bersifat idiopatik,

sepertiga lainnya terjadi pada anomali janin, diabetes ibu atau gestasi multi janin.

1. Etiologi Hidramnion

Derajat hidramnion serta prognosisnya berkaitan dengan penyebabnya.

Banyak laporan yang mengalami bias signifikan karena berasal dari dari

pengamatan terhadap wanita yang yang dirujuk untuk menjalani pemeriksaan

ultrasonografi terarah. Penelitian-penelitian lainnya berbasis populasi, tetapi

mungkin masih belum mencerminkan insidensi yang sebenarnya kecuali apabila

dilakukan penapisan ultrasonografi secara universal. Bagaimanapun, hidramnion

yang jelas patologis sering berkaitan dengan malformasi janin, terutama susunan

saraf pusat atau saluran cerna. Sebagai contoh, hidramnion terdapat pada sekitar

separuh kasus anensefalus dan atresia esophagus. Dalam penelitian oleh Hill dan

kawan-kawan (1987) terhadap pasien-pasien prenatal nonrujukan di Mayo Clinic,

kausa hidramnion ringan teridentifikasi hanya pada sekitar 15 persen kasus.

Sebaliknya pada peningkatan volume cairan amnion derajat sedang atau berat,

kausa teridentifikasi pada lebih dari 90 persen kasus.

Secara spesifik, pada hampir separuh kasus hidramnion sedang dan berat,

ditemukan adanya anomali janin. Namun , hal yang sebaliknya tidak berlaku, dan

dalamSpanish Collaborative Study of Congenital Malformations

(ECEMC) terhadap lebih dari 27000 janin dengan anomali, hanya 3,7 persen yang

mengalami hidramnion. Tiga persen lainnya mengalami oligohidramnion.

Tabel 1. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hidramnion. 

Faktor janin Faktor ibu

Anomali kongenital

- Obstruksi gastrointestinal

- Abnormalitas sistem saraf pusat 

- Higroma kistik

- Hidrops non imun

- Aneuploidi

Diabetes tak

terkontrol

Idiopatik

16

Damato dan kawan-kawan melaporkan hasil pemeriksaan lebih dari 105 wanita

yang dirujuk untuk evaluasi kelebihan cairan amnion. Dengan menggunakan

definisi-definis serupa yang dijelaskan oleh Hill dan kawan-kawan, para peneliti

ini mengamati bahwa hampir 65 persen dari 105 kehamilan ternyata abnormal.

Terdapat 47 janin tunggal dengan satu anomali atau lebih: saluran cerna (15),

hidrops non imun(12), susunan saraf pusat (12), toraks (9), tulang rangka (8),

kromosom (7), dan jantung (4). Dari 19 kehamilan kembar, hanya dua yang

normal. Dua belas dari 17 sisanya memperlihatkan transfusi antar kembar. 4,5

Dengan menggunakan indeks cairan amnion yang lebih dari 25 cm sebagai

patokan hidramnion, sebagian besar studi menunjukkan bahwa mortalitas

perinatal meningkat secara bermakna. Dalam suatu laporan oleh Carlson dan

kawan-kawan, mengenai 49 wanita dengan indeks 24 cm atau lebih, 22 (44

persen) mengalami malformasi janin dan enam dari mereka juga mengalami

aneuploidi. Terjadi 14 kematian perinatal di antara ke-49 wanita tersebut. Brady

dan kawan-kawan menggunakan indeks 25 cm atau lebih pada 5000 wanita non

rujukan dan menemukan hidramnion tanpa kausa atau idiopatik pada 125 kasus.

Mereka menemukan dua janin dengan trisomi 18 dan dua dengan trisomi 21.

Panting-Kemp dan kawan-kawan mendapatkan bahwa hidramnion idiopatik tidak

disertai dengan peningkatan hasil yang merugikan selain seksio seksaria.

2. Patogenesis Hidramnion

Pada awal kehamilan, rongga amnion terisi oleh cairan yang komposisinya

sangat mirip dengan cairan ektrasel. Selama paruhpertama kehamilan,

pemindahan air dan molekul kecil lainnya berlangsung tidak saja melalui amnion,

tapi juga menembus kulit janin. Selama trimester kedua, janin mulai berkemih,

menelan dan menghirup cairan amnion. Hampir pasti proses ini secara bermakna

mengatur pengendalian volume cairan amnion.

Karena dalam keadaan normal janin menelan cairan amnion, diperkirakan

bahwa mekanisme ini adalah salah satu cara pengaturan volume cairan amnion.

Teori ini dibenarkan dengan kenyataan bahwa hidramnion hampir selalu terjadi

bila janin tidak dapat menelan, seperti pada kasus atresia esofagus. Proses

17

menelan ini jelas bukan satu-satunya mekanisme untuk mencegah hidramnion.

Pritchard dan Abramovich mengukur hal ini dan menemukan bahwa pada

beberapa kasus hidramnion berat, janin menelan air ketuban dalam jumlah yang

cukup banyak. 1,5,6,9

Pada kasus anesefalus dan spina bifida, faktor etiologinya mungkin adalah

meningkatnya transudasi cairan dari meningen yang terpajan ke dalam rongga

amnion. Penjelasan lain yang mungkin pasca anensefalus, apabila tidak terjadi

gangguan menelan, adalah peningkatan berkemih akibat stimulasi pusat-pusat di

serebrospinal yang tidak terlindung atau berkurangnya efek antidiuretik akibat

gangguan sekresi arginin vasopressin. Hal sebaliknya telah jelas dibuktikan bahwa

kelainan janin yang menyebabkan anuria hampir selalu menyebabkan

oligohidramnion.5,6,9

Pada hidramnion yang terjadi pada kehamilan kembar monozigot, diajukan

hipotesis bahwa salah satu janin merampas sebagian besar sirkulasi bersama dan

mengalami hipertropi jantung, yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan

luaran urin pada masa neonates dini, yang mengisyaratkan bahwa hidramnion

disebabkan oleh meningkatnya produksi urin janin. 

Hidramnion yang sering terjadi pada diabetes ibu selama trimester ketiga

masih belum dapat diterangkan. Salah satu penjelasannya adalah bahwa

hiperglikemia janin yang menimbulkan diuresis osmotik. Bar Hava dan kawan

kawan (1994) membuktikan bahwa volume air ketuban trimester ketiga pada 399

diabetes gestasional mencerminkan status glikemik terakhir. Yasuhi dan kawan

kawan (1994) melaporkan peningkatan produksi urin janin pada wanita

diabetik yang puasa dibandingkan dengan kontrol nondiabetik. Yang menarik,

produksi urin janin meningkat pada wanita nondiabetik setelah makan, tetapi hal

ini tidak dijumpai pada wanita diabetes.

3. Gejala Klinis

Gejala utama yang meyertai hidramnion terjadi semata-mata karena faktor

mekanis dan terutama disebabkan oleh tekanan di dalam sekitar uterus yang

mengalami overdistensi terhadap organ-organ di dekatnya. Apabila

peregangannya berlebihan, ibu dapat mengalami dispnea dan pada kasus ekstrim,

mungkin hanya dapat bernafas bila dalam posisi tegak. Sering terjadi edema

18

akibat penekanan sistem vena besar oleh uterus yang sangat besar, terutama di

ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen. Walaupun jarang, dapat terjadi

oligouria berat akibat obstruksi ureter oleh uterus yang sangat besar.

Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung secara bertahap

dan wanita yang bersangkutan mungkin mentoleransi distensi abdomen yang

berlebihan tanpa banyak mengalami rasa tidak nyaman. Namun pada hidramnion

akut, distensi abdomen dapat menyebabkan gangguan yang cukup serius dan

mengancam. Hidramnion akut cenderung muncul pada kehamilan dini

dibandingkan dengan bentuk kronik dan dapat dengan cepat memperbesar uterus.

Hidramnion akut biasanya akan menyebabkan persalinan sebelum usia gestasi 28

minggu, atau gejala dapat menjadi demikian parah sehingga harus dilakukan

intervensi. Pada sebagian besar kasus hidramnion kronik, tekanan cairan amnion

tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan pada kehamilan normal.

Gejala klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus disertai

kesulitan dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar denyut jantung

janin. Pada kasus berat, dinding uterus sangat tegang.Membedakan antara

hidramnion, asites, atau kista ovarium yang besar biasanya mudah dilakukan

dengan evaluasi ultrasonografi. Cairan amnion dalam jumlah besar hampir selalu

mudah diketahui sebagai ruang bebas-echo yang sangat besar di antara janin dan

dinding uterus atau plasenta. Kadang mungkin ditemui kelainan janin misalnya

anensefalus atau defek tabung syaraf lain, atau anomali saluran cerna. 

Penyulit tersering pada ibu yang disebabkan oleh hidramnion adalah solusio

plasenta, disfungsi uterus dan perdarahan pasca persalinan. Pemisahan dini

plasenta yang luas kadang-kadang terjadi setelah air ketuban keluar dalam jumlah

yang besarkarena berkurangnya luas permukaan uterus di bawah plasenta.

Disfungsi uterus dan perdarahan pasca persalinan terjadi akibat atonia uteri karena

overdistensi. 

1. Penatalaksanaan Hidramnion

Hidramnion derajat ringan jarang memerlukan terapi. Bahkan yang derajat

sedang dengan sedikit gangguan juga dapat ditangani tanpa intervensi sampai

terjadi persalinan atau sampai selaput ketuban pecah spontan. Tirah baring jarang

berpengaruh pada pasien hidramnion, dan pemberian diuretika serta pembatasan

19

air dan garam juga biasanya kurang efektif. Baru-baru ini dilakukan terapi

indometasin untuk hidramnion simtomatik.

Amniosentesis

Tujuannya adalah untuk meredakan penderitaan ibu, dan cukup efektif

untuk tujuan ini. Namun amniosentesis kadang memicu persalinan walaupun

hanya sebagian kecil cairan yang dikeluarkan. Elliot dan kawan-kawan (1994)

melaporkan hasil-hasil dari 200 amniosentesis pada 94 wanita dengan hidramnion.

Kausa umum adalah transfusi antar kembar (38 %), idiopatik (26 %), anomali

janin (17 %) dan diabetes (12%).1,11

Cara melakukan amniosentesis adalah dengan memasukkan sebuah kateter

plastikyang menutupi secara erat sebuah jarum ukuran 18 melalui dinding

abdomen yang telah dianestesi lokal ke dalam kantung amnion. Jarum ditarik dan

set infus intravena disambungkan ke kateter. Ujung selang yang berlawanan

diturunkan ke dalam sebuah silinder berskala yang diletakkan setinggi lantai dan

kecepatan aliran air ketuban dikendalikan dengan klem putar sehingga

dikeluarkan sekitar 500 ml/jam. Setelah sekitar 1500-2000 ml dikeluarkan, ukuran

uterus biasanya cukup berkurang sehingga kateter dapat dikeluarkan. Dengan

menggunakan teknik aseptik ketat, tindakan ini dapat diulang sesuai kebutuhan

agar wanita yang bersangkutan merasa nyaman. Elliott dan kawan-kawan (1994)

menggunakan penghisap di dinding dan mengeluarkan 1000 ml dalam 20 menit

(50 ml/menit).

Terapi Indomestasin

Dalam ulasan terhadap beberapa penelitian,Kramer dan kawan-kawan

(1994) menyimpulkan bahwa indometasin mengganggu produksi cairan paru atau

meningkatkan penyerapannya, mengurangi produksi urin janin, dan meningkatkan

perpindahan cairan melalui selaput janin. Dosis yang digunakan oleh sebagian

besar peneliti berkisar dari 1,5 – 3 mg/kg/hari. Cabrol dan kawan-kawan (1987)

mengobati 8 wanita dengan hidramnion idiopatik sejak usia gestasi 24-35 minggu

dengan indometasin selama 2-11 minggu .

Hidramnion, yang didefinisikan sebagai minimal 1 kantung cairan ukuran

8cm, membaik pada semua kasus. Tidak terjadi efek samping serius dan hasil

semua kasus baik. Kirshon dan kawan-kawan (1990) mengobati 8 wanita

20

(3 kembar) dengan hidramnion dari minggu ke 21 sampai ke 35. Pada seluruh

wanita ini, dilakukan 2 amniosintesis terapeutik sebelum indometasin diberikan.

Dari 11 janin, 3 kasus lahir mati berkaitan dengan sindrom transfusi antar kembar

dan satu neonates meninggal pada usia 3 bulan, 7 bayi sisanya normal.

Mamopoulus dan kawan-kawan (1990) mengobati 15 wanita, 11 mengidap

diabetes yang mengalami hidramnion pada gestasi 25 – 32 minggu. Mereka diberi

indometasin dan volume cairan amnion pada semua wanita ini berkurang, dari

rata-rata 10,7 cm pada gestasi 27 minggu menjadi 5,9 cm setelah terapi. Hasil

akhir pada seluruh neonatus baik. 

Kekhawatiran utama pada penggunaan indometasin adalah kemungkinan

penutupan duktus arteriosus janin. Moise dan kawan-kawan (1988) melaporkan

bahwa 50% dari 14 janin yang ibunya mendapat indometasin mengalami

konstriksi duktus seperti dideteksi oleh ultrasonografi Doppler. Studi – studi yang

dijelaskan sebelumnya tidak menemukan adanya konstriksi menetap dan penyulit

ini juga belum pernah dijelaskan dalam studi-studi yang memberikan

indometasin untuk tokolitik. 

A. OLIGOHIDRAMNION

Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun di bawah

batas normal dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa ml cairan

kental. Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara umum,

oligohidramnion yang timbul pada awal kehamilan jarang dijumpai dan sering

memiliki prognosis buruk. Marks dan Divon (1992) menemukan oligohidramnion

pada 12% dari 511 kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang

diteliti secara longitudinal terjadi penurunan rata-rata ICA sebesar 25%

perminggu setelah 41 minggu. Akibat berkurangnya cairan, risiko kompresi tali

pusat, dan pada gilirannya gawat janin, meningkat pada semua persalinan,

terutama pada persalinan post term.

Kebocoran kronik suatu defek di selaput ketuban dapat mengurangi volume

cairan dalam jumlah bermakna, tetapi seringkali kemudian segera terjadi

persalinan. Pajanan ke inhibitor enzim pengubah-angiotensin (ACE I) dilaporkan

berkaitan dengan oligohidramnion Sebanyak 15 sampai 25 % kasus berkaitan

21

dengan anomali janin. Pryde dan kawan-kawan (2000) mampu memvisualisasikan

struktur-struktur janin pada hanya separuh dari wanita yang dirujuk untuk evaluasi

ultrasonografi terhadap oligohidramnion mid trimester. Mereka melakukan

amnioinfusi dan kemudian mampu melihat 77 % dari struktur-struktur yang

dicitrakan secara rutin. Identifikasi anomali terkait meningkat dari 12 menjadi 31

%. 

Tabel 2. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion 

Faktor Janin Faktor Ibu

- Agenesis ginjal

- Uropati obstruksi

- Pecah selaput ketuban

- Kehamilan lewat waktu

- Penyakit hipertensi

- Insufisiensi utero-plasenta

- Sindrom antifosfolipid

- Dehidrasi-hipovolemi

dikutip dari Gilbert5

Hasil luaran janin pada oligohidramnion di kehamilan usia dini

adalah buruk. Shenker dan kawan-kawan (1991) melaporkan 80 kehamilan

semacam itu dan hanya separuh dari janin-janin ini yang selamat. Mercer dan

Brown (1986) melaporkan 34 kehamilan mid trimester yang mengalami penyulit

oligohidramnion dan didiagnosis secara ultrasonografis berdasarkan tidak adanya

kantung cairan amnion yang besamya lebih dari 1 cm di semua bidang vertikal.

Sembilan (26 persen) dari janin-janin ini mengalami anomali, dan 10 dari 25 yang

secara fenotipe normal mengalami abortus spontan atau lahir mati karena

hipertensi ibu yang parah, hambatan pertumbuhan janin, atau solusio plasenta.

Dari 14 bayi lahir hidup, delapan lahir preterm dan tujuh meninggal. Enam bayi

yang lahir aterm tumbuh normal. 

Garmel dan kawan-kawan (1997) mengamati bahwa oligohidramnion

sebelum minggu ke-37 pada janin yang tumbuh sesuai masa kehamilannya

memperlihatkan peningkatan angka kelahiran preterm sebesar tiga kali lipat, tetapi

tidak untuk hambatan pertumbuhan atau kematian janin. Newbould dan kawan-

kawan(1994) melaporkan temuan otopsi pada 89 bayi dengan sekuensi

oligohidramnion. Hanya 3% yang memiliki saluran ginjal normal; 34 % menderita

agenesis ginjal bilateral; 34 % displasia kistik bilateral; 9 % agenesis unilateral

dengan displasia; dan 10 % kelainan saluran kemih minor. 

22

Bayi yang tadinya normal dapat mengalami akibat dari oligohidramnion

awitan dini yang parah. Perlekatan antara amnion dan bagian-bagian janin dapat

menyebabkan kecacatan serius termasuk amputasi. Selain,itu, akibat tekanan dari

semua sisi, penampakan janin menjadi aneh, dan kelainan otot-rangka, misalnya

kaki gada (clubfoot) sering terjadi.

Insidensi hipoplasia paru saat lahir tidak banyak berubah dan berkisar dari

1,1 sampai 1,4 per 1000 bayi. Apabila cairan amnion sedikit, sering terjadi hipo-

plasia paru. Winn dan kawan-kawan (2000) melakukan suatu studi kohort

prospektif pada 163 kasus oligohidramnion yang terjadi pada selaput ketuban

pecah dini pada gestasi 15 sampai 28 minggu. Hampir 13 % janin mengalami

hipoplasia paru. Penyulit ini lebih sering terjadi seiring dengan berkurangnya usia

gestasi. Kilbride dan kawan-kawan (1996) mempelajari 115 wanita dengan

ketuban pecah dini sebelum minggu ke-29. Terjadi tujuh kelahiran mati dan 40

kematian neonatus sehingga mortalitas perinatal menjadi 409 per 1000.

Risiko hipoplasia paru letal adalah 20 %. Hasil yang merugikan lebih besar

kemungkinannya apabila pecah ketuban terjadi lebih dini serta durasinya melebihi

14 hari. Menurut Fox dan Badalian (1994) serta Lauria dan kawan-kwan (1995),

terdapat tiga kemungkinan yang menjadi penyebab hipoplasia paru. Pertama,

tertekannya toraks mungkin menghambat pergerakan dinding dada dan ekspansi

paru. Kedua, kurangnya gerakan napas janin mengurangi aliran masuk ke paru.

Ketiga dan model yang paling luas diterima adalah kegagalan mempertahankan

cairan amnion atau meningkatnya aliran keluar pada paru yang tumbuh-

kembangnya terhambat. 

Cukup banyaknya cairan amnion yang dihirup olehjanin normal, seperti

dibuktikan oleh Duenhoelter dan Pritchard (1976), mengisyaratkan bahwa cairan

yang terhirup tersebut berperan dalam ekspansi, dan pada gilirannya, pertumbuhan

paru. Namun, Fisk dan kawan-kawan (1992) menyimpulkan bahwa gangguan

pernapasan janin tidak menyebabkan hipoplasia paru pada oligohidramnion.

Dalam suatu eksperimen unik, McNamara dan kawan-kawan (1995) mela-

porkan temuan-temuan dari dua set kembar monoamnionik dengan anomali ginjal

yang berlawanan. Mereka menyajikan bukti bahwa volume cairan amnion yang

23

normal memungkinkan perkembangan paru normal walaupun terdapat obstruksi

ginjal janin

Secara normal, volume cairan amnion secara normal berkurang setelah usia

gestasi 35 minggu. Dengan menggunakan indeks cairan amnion kurang dari 5 cm,

Casey dan kawan–kawan (2000) mendapatkan insidensi oligohidramnion pada 2,3

% dari 6400 kehamilan lebih yang menjalani sonografi setelah minggu ke-34

di Parkland Hospital. Mereka memastikan pengamatan-pengamatan sebelumnya

bahwa hal ini berkaitan dengan peningkatan risiko hasil perinatal yang merugikan.

Pada kehamilan yang terpilih karena "risiko tinggi", Magann dan kawan-

kawan (1999) tidak mendapatkan bahwa oligohidramnion (indeks cairan amnion

kurang dari 5 cm) meningkatkan risiko penyulit intrapartum seperti mekonium

kental, deselerasi variabel frekuensi denyut jantung, seksio sesarea atas indikasi

gawat janin, atau asidemia neonatus. 

Chauhan dkk. (1999) melakukan metaanalisis terhadap 18 penelitian yang

meliputi lebih dari 10.500 kehamilan yang indeks cairan amnion intrapartumnya

kurang dari 5 cm. Dibandingkan dengan kontrol yang indeksnya lebih dari 5 cm,

wanita dengan oligohidramnion memperlihatkan peningkatan risiko bermakna

untuk seksio sesarea atas indikasi gawat janin. Kompresi tali pusat selama

persalinan sering terjadi pada oligohidramnion. Sarno dan kawan-kawan (1989,

1990) melaporkan bahwa indeks 5 cm atau kurang menyebabkan peningkatan

angka seksio sesarea sebesar lima kali lipat. 

Divon dan kawan-kawan (1995) meneliti 638 kehamilan postterm in partu

dan mengamati bahwa hanya wanita yang indeks cairan amnionnya 5 cm atau

kurang yang mengalami deselerasi frekuensi denyut jantung janin dan mekonium. 

Amnioinfusi

Infus kristaloid untuk menggantikan cairan amnion yang berkurang secara

patologis paling sering digunakan selama persalinan untuk mencegah kompresi

tali pusat. Hasil amnioinfusi intrapartum untuk mencegah morbiditas janin akibat

air ketuban tercemar mekonium sering berkaitan dengan oligohidramnion masih

belum jelas.

Pierce dan kawan-kawan melakukan meta-analisis terhadap 13 penelitian

dengan 1924 wanita yang dibagi secara acak untuk mendapat amnioinfus atau

24

tanpa terapi. Mereka mendapatkan penuruan bermakna hasil yang merugikan:

mekonium di bawah tali pusat (odds ratio, OR 0,18), sindrom aspirasi mekonium

(OR 0,30), asidemia neonatus (OR 0,42), dan angka seksio sesarea (0,74).

Wenstrom dan kawan-kawan (1995) mensurvei departemen-departemen obstetri

di fakultas kedokteran dan melaporkan bahwa amnioinfusi digunakan secara luas

dengan penyulit yang relatif sedikit.

2.4. PEMERIKSAAN YANG MENGGUNAKAN CAIRAN AMNION 

A. Amniosintesis

Obstetri modern menginginkan deteksi kelainan pada kehamilan sedini

mungkin . Untuk membuat diagnosis terrsebut umumnya dipakai sel-sel yang

terdapat di dalam cairan amnion dengan melakukan amniosintesis .Amniosintesis

pada saat ini lebih sering dilakukan melalui transabdominal. Penggunaan

amniosintesis antara lain digunakan dalam manajamen kelahiran preterm , dimana

dapat mendeteksi secara cepat adanya infeksi intraamnion.

Penggunaan lainnya adalah untuk mendeteksi infeksi sitomegalo virus pada

janin yang dilakukan dengan kultur cairan amnion. Hal ini berkaitan dengan

adanya reaksi rantai polymerase yang digunakan untuk mendeteksi DNA virus .

Penggunaan lain amniosintesis adalah untuk mendeteksi kadar

alpha AFP dalam cairan amnion .Deteksi kadar alpha feto protein ini dilakukan

jika pada pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya peningkatan kadar alpha

feto protein serum ibu. Amniosintesis sering digunakan untuk mengkonfirmasi

kematangan paru janin, dengan menggunakan konsentrasi relatif dari surfaktan –

aktif fosfolipid.Amniosintesis untuk diagnostik genetik biasanya dilakukan pada

usia kehamilan 15-20 minggu, beberapa pusat studi telah mengkonfirmasikan

pada saat itu amniosintesis cukup aman dilakukan dan mempunyai keakuratan

diagnostik 99%.

Pada wanita yang berusia 35 tahun amniosintesis rutin dilakukan untuk

mendeteksi adanya kelainan genetik, karena terjadinya peningkatan resiko

tersebut . Pada penyakit-penyakit hemolitik dari janin penggunaan amniosintesis

dilakukan untuk mendeteksi kadar bilirubin dalam cairan amnion. Ketika sel-sel

darah janin mengalami hemolisis, menjadi pigmen-pigmen terutama bilirubin. 

25

Kadar bilirubin dalam cairan amnion berhubungan langsung dengan derajat

hemolisis dan secara tidak langsung memprediksikan anemia pada janin,

pengukuran kadar bilirubin ini menggunakan spektrofometer, yang

dilakukan pada lebih 350 - 700µ rentang panjang gelombang dan nilai-nilainya

ditulis pada suatu kertas semilogaritma dengan panjang gelombang sebagai

koordinat linear dan kepadatan optik sebagai koordinat logaritma. Selain

penggunaan diagnostik, amniosintesis juga digunakan sebagai terapi seperti kasus-

kasus hidroamnion, dengan memindahkan cairan amnion. 

Bantuan USG diperlukan untuk memandu jarum spinal ukuran 20-22

mencapai kantong amnion dengan menghindari plansenta, tali pusat dan janin.

Inspirasi awal sekitar 1-2 ml , kemudian cairan tersebut dibuang untuk

mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi sel-sel ibu, kemudian lebih kurang

20 ml cairan diambil lagi , kemudian jarum dilepaskan ,Titik luka di observasi

kalau ada perdarahan dan denyut jantung janin dipantau

Komplikasi kecil seperti bercak perdarahan pada vagina , atau kebocoran

amnion berkisar 1-2 %, dan insiden korioamniotis jauh lebih kecil dari 1

dibandingkan 1000 kejadian.

Kemungkinan terkenanya tusukan jarum pada janin sangat jarang dengan

penggunaan bantuan USG. Kesalahan dalam kultur sel juga sangat jarang tetapi

dapat terjadi jika janin abnormal. Kematian pada janin berkisar kurang dari 0,5 %

yang sebagian dihasilkan karena telah adanya abnormalitas pada janin seperti

abrupsi plasenta , implantasi abnormal plasenta , anomali uterus dan infeksi.

B. Shake Test

Shake test atau test busa diperkenalkan oleh clements dan kawan-kawan pada

tahun 1972, untuk mempersingkat waktu dan mempunyai akurasi yang lebih tepat

dalam mengukur kadar lesitin – sphingomyelin. Tes ini tergantung kepada

kemampuan surfaktan dalam cairan amnion , ketika dicampur dengan ethanol ,

untuk mendapatkan busa yang stabil pada batas air dan cairan.15

C. Lumadex- FSI tes

Merupakan suatu tes yang didasarkan dari shake tes untuk mengidentifikasi

aktifitas surfaktan pada cairan amnion.

26

D. Fluoresen Polarisasi (Microviscometri)

Adalah sebuah tes yang menggunakan mikroviskositas dari lemak yang

terdapat dalam cairan amnion , yang kemudian dicampur dengan suatu bahan

fluorsensi spesifik yang berikatan dengan hidrokarbon dari lemak surfaktan .

Intensitas dari fluoresensi ini diinduksi dengan lampu polarisasi kemudian akan

diukur. Teknik ini cepat dan mudah dilakukan, akan tetapi biaya yang diperlukan

untuk melakukan tes ini cukup mahal12,15

E. Dipalmitoylphosphatidylcholin (DPPC tes)

Merupakan suatu tes dengan menggunakan pengukuran kadar

Dipalmitoylphosphatidylcholin dalam cairan amnion yang mempunyai sensitifitas

dan spesifisitas 100% dan 96% , yang digunakan untuk mendeteksi gawat nafas

pada janin 

F. Pemeriksaan untuk mendiagnosis ketuban pecah dini

Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW), terjadi sekitar 4,5-7,6% pada

kehamilan. Jika terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, dapat diindikasikan

mungkin terjadi amnionitis , dan ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu

dan janin. 15

Belakangan ini, dengan ditemukan banyaknya jenis protein yang terkandung

dalam amnion, termasuk prolaktin, alfa fetoprotein, fetal fibronectin, β-HCG, dan

IGFB-1 (Insulin-Like Growth Factor Binding Protein-1), tentu mempermudah

dalam mendiagnosis ketuban pecah sebelum waktunya. Jenis protein yang cukup

menjanjikan tampaknya adalah IGFBP-1. Untuk mendeteksinya, dengan

menggunakan dipstick immunokromatografi, dimana kadarnya pada cairan

amnion 100-1000 kali lebih tinggi daripada dalam serum, dan keberadaannya

dalam cairan vagina menunjukkan keberadaan cairan amnion, yang merupakan

pertanda pasti ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW).15 

27

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki

peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Cairan amnion merupakan komponen

penting bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Telah

diketahui bahwa cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar

janin yang memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan

tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal. 

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi,

secara umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke 8 usia

kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21

minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap

setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari

50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan

gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Terdapat 3 cara yang sering dipakai

untuk mengetahui jumlah cairan amnion, dengan tehnik single pocket , dengan

memakai Indeks CairanAmnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa.

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai

memproduksi urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai

kehamilan aterm. Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam

pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba,

didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400

ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi

dikeluarkan melalui mulut. Untuk mencapai keseimbangan dalam regulasi cairan

amnion, janin menelan cairan amnion, dan juga mengabsorbsinya. Sembilan puluh

delapan persencairan amnion adalah air dan sisanya adalah elektrolit, protein,

peptide, karbohidrat, lipid, dan hormon. Faktor pertumbuhan epidermis

(epidermal growth factor, EGF) dan faktor pertumbuhan mirip EGF, misalnya

transforming growth factor-α, terdapat di cairan amnion.

28

Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan.

Sebagian besar penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan

amnion yang lebih besar dari 25 cm. Hidramnion terjadi oleh karena berbagai

sebab. Dari faktor janin sendiri misalnya karena anomali kongenital, obstruksi

gastrointestinal, hidrops non imun, aneuploidi.Sedangkan

Oligohidramnion , Marks dan Divon (1992) menemukan pada 12% dari 511

kehamilan usia 41 minggu atau lebih pada 121 wanita yang diteliti secara

longitudinal. Berbagai penyebabnya atara lain, dari faktor janin, adalah agenesis

ginjal, kehamian lewat waktu, dan uropati obstruksi,Dari faktor ibu misalnya

diabetes mellitus tak terkontrol, dan idiopatik.Sedangkan Oligohdramnion, Dari

faktor janin sendiri misalnya agenesis ginjal, uropati obstruksi, ketuban pecah

sebelum waktunya (KPSW), hamil post term. Dari faktor ibu misalnya dehidrasi-

hipovolemi, penyakit hipertensi, insufisiensi utero-plasenta, sindrom

antiposfolipid, dan idiopatik.

Cairan amnion sering digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya

untuk mengetahui kematangan paru janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan

mendiagnosis ketuban pecah sebelum waktunya. 

29