Makalah

21
Obat yang Perlu Penyesuaian Berikut adalah contoh obat-obatan yang perlu penyesuaian saat diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal: Antibiotik/Antifungi: aminoglikosida (ct. gentamisin), vancomisin, ceftazidime, cefepime, cephazolein, ciprofloxacin, fluconazole, piperacillin, carbapenems (ct. meropenem), sulfamethoxazole Antiviral: famciclovir, acyclovir, valaciclovir, valganciclovir, ganciclovir Antikoagulan: low molecular weight heparins (ct. enoxaparin) Obat jantung: digoksin, sotalol, atenolol Diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/mnt maka hindari penggunaan obat diuretic yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang efektifitasnya Psikotropika/antikejang: amisulpride, gabapendtin, lithium, levetiracetam, topiramate, vigabatrin Obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid, glimepirid, insulin Obat asam urat: allopurinol, kolkhisin Obat lain: lamivudine, methotrexate, penicillamine Prinsip Penyesuaian Dosis pada Gangguan Fungsi Ginjal Batas fungsi ginjal yang mengharuskan dosis suatu obat dikurangi bergantung pada apakah obat tersebut dieliminasi seluruhnya lewat ginjal atau sebagian dimetabolisme, dan seberapa besar toksisitasnya.

description

makalah

Transcript of Makalah

Obat yang Perlu PenyesuaianBerikut adalah contoh obat-obatan yang perlu penyesuaian saat diberikan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal: Antibiotik/Antifungi: aminoglikosida (ct. gentamisin), vancomisin, ceftazidime, cefepime, cephazolein, ciprofloxacin, fluconazole, piperacillin, carbapenems (ct. meropenem), sulfamethoxazole Antiviral: famciclovir, acyclovir, valaciclovir, valganciclovir, ganciclovir Antikoagulan: low molecular weight heparins (ct. enoxaparin) Obat jantung: digoksin, sotalol, atenolol Diuretik: bila klirens kreatinin kurang dari 30 mL/mnt maka hindari penggunaan obat diuretic yang menahan kalium, obat thiazide akan berkurang efektifitasnya Psikotropika/antikejang: amisulpride, gabapendtin, lithium, levetiracetam, topiramate, vigabatrin Obat hipoglikemik: metformin, glibenklamid, glimepirid, insulin Obat asam urat: allopurinol, kolkhisin Obat lain: lamivudine, methotrexate, penicillamine

Prinsip Penyesuaian Dosis pada Gangguan Fungsi Ginjal Batas fungsi ginjal yang mengharuskan dosis suatu obat dikurangi bergantung pada apakah obat tersebut dieliminasi seluruhnya lewat ginjal atau sebagian dimetabolisme, dan seberapa besar toksisitasnya.Pada sebagian besar obat yang efek sampingnya tidak berhubungan atau sedikit hubungannya dengan dosis, modifikasi regimen dosis secara tepat tidak diperlukan dan cukup dilakukan perencanaan pengurangan dosis secara sederhana.Pada obat yang lebih toksik dengan batas keamanan yang sempit, sebaiknya digunakan regimen dosis yang didasarkan atas laju filtrasi glomerulus. Pada obat yang efikasi dan toksisitasnya berkaitan erat dengan kadar plasma, anjuran regimen hanya dapat dijadikan sebagai pedoman pengobatan awal; pengobatan selanjutnya harus disesuaikan dengan respon klinis dan kadar plasma.Dosis pemeliharaan total per hari suatu obat dapat dikurangi baik dengan cara mengurangi dosis tiap kali pemberian atau dengan memperpanjang interval pemberian antar dosis. Untuk beberapa obat, jika dosis pemeliharaan dikurangi, perlu diberikan suatu dosis muatan jika dibutuhkan efek segera. Hal ini disebabkan apabila pasien diberi obat apapun dengan dosis lazim, diperlukan waktu lebih dari lima kali waktu paruh untuk mencapai kadar plasma steady state. Karena waktu paruh obat yang diekskresikan melalui ginjal menjadi lebih lama pada keadaan gagal ginjal, maka diperlukan beberapa hari agar dosis yang telah dikurangi dapat mencapai kadar plasma terapetik. Dosis muatan ini biasanya sama besarnya dengan dosis awal untuk pasien yang fungsi ginjalnya normal.

Penggunaan Tabel DosisDosis yang dianjurkan ditetapkan berdasarkan tingkat keparahan gangguan fungsi ginjal. Fungsi ginjal dinyatakan dalam Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) yang dihitung berdasarkan formula yang berasal dari penelitian mengenai modifikasi diet pada penyakit ginjal (Formula MDRD / Modification of Diet in Renal Disease yang menggunakan kreatinin serum, umur, jenis kelamin, dan ras) atau dapat juga dinyatakan sebagai bersihan kreatinin (yang paling baik diperoleh dari urin yang dikumpulkan selama 24 jam namun seringkali dihitung berdasarkan formula atau nomogram yang menggunakan kreatinin serum, berat badan, jenis kelamin, dan usia). Kadar kreatinin serum kadang-kadang juga digunakan sebagai ukuran fungsi ginjal namun hanya sebagai panduan kasar.PentingDiperlukan perhatian khusus saat menginterpretasikan anjuran penyesuaian dosis yang didasarkan pada bersihan kreatinin (misalnya dihitung berdasarkan formula Cockroft dan Gault) karena fungsi ginjal saat ini sering dilaporkan berdasarkan perkiraan kecepatan filtrasi glomerulus normal pada luas permukaan tubuh 1,73 m2 dan diperoleh dari formula MDRD. Dua jenis ukuran fungsi ginjal tidak dapat saling dipertukarkan penggunaannya.Untuk keperluan peresepan obat, gangguan fungsi ginjal secara umum dibagi ke dalam tiga tingkat (definisi bervariasi sesuai dengan tingkat gangguan fungsi ginjal; selanjutnya, apabila informasi yang tersedia tidak sesuai dengan penggolongan ini, nilai bersihan kreatinin atau ukuran fungsi ginjal yang lain bisa digunakan).

Tingkat Gangguan Fungsi GinjalTingkatGFR absolutKreatinin serum (perkiraan) (lihat keterangan di atas)

Ringan20 50 mL/menit150 300 mikromol/L

Sedang10 20 mL/menit300-700 mikromol/L

Berat700 mikromol/L

Faktor konversi:Liter/24 jam : mL/menit x 1,44mL/menit : Liter/24 jam x 0,69

Formula modifikasi diet pada penyakit ginjal (MDRD, Modification of Diet in Renal Disease) menghasilkan perkiraan laju filtrasi glomerulus normal pada pasien dengan luas permukaan tubuh 1,73 m2. Laju filtrasi glomerulus absolut individual dapat dihitung berdasarkan eGFR seperti di bawah ini :GFR (absolut) : eGFR x luas permukaan tubuh individual/1,73

Akibat Penggunaan Obat pada Pasien Gangguan GinjalPenggunaan obat pada pasien dengan fungsi ginjal menurun dapat memperburuk kondisi penyakit karena beberapa alasan : Kegagalan untuk mengekskresikan obat atau metabolitnya dapat menimbulkan toksisitas Sensitivitas terhadap beberapa obat meningkat, meskipun eliminasinya tidak terganggu Banyak efek samping yang tidak dapat ditoleransi oleh pasien gagal ginjal Beberapa obat tidak lagi efektif jika fungsi ginjal menurunSebagian besar masalah ini dapat dihindari dengan mengurangi dosis atau dengan menggunakan alternatif obat lain.

Patofisiologi & Penyebab Kejang pada Gangguan GinjalKejang pada gagal ginjal lebih sering dialami pada penderita gagal ginjal akut dibandingkan gagal ginjal kronik. Penurunan insidensi ini dapat mencerminkan tatalaksana gagal ginjal kronik yang lebih agresif (Aminoff & Parent, 2008). Klasifikasi gagal ginjal akut dan kronik tercantum dalam Tabel 1 dan 2. Klasifikasi gagal ginjal akut didasarkan pada kadar serum kreatinin dan jumlah urine, sedangkan pada gagal ginjal kronik didasarkan pada GFR. Disfungsi sistem saraf pusat dapat timbul ketika GFR turun di bawah 10% normal (Weisberg et al, 2003).

Kejang muncul akhir pada ensefalopati renal, dan apabila timbul pertimbangkan pula kondisi patologis yang merupakan komplikasi gagal ginjal (Weisberg et al, 2003). Kejang pada uremia akut cenderung berkaitan dengan ensefalopati berat, umumnya antara 7-10 hari setelah awitan gagal ginjal dan selama stadium anuria/oliguria. Umumnya, kejang berupa bangkitan general tonik-klonik dan seringkali multipel. Kejang berupa mioklonik, parsial sederhana, parsial kompleks juga dapat muncul dengan frekuensi lebih jarang, demikian pula epilepsia partialis continua. Apabila terdapat kejang rekuren atau kejang parsial, investigasi untuk menyingkirkan kemungkinan adanya lesi struktural perlu dilakukan (Aminoff & Parent, 2008; Michelagnoli et al, 2013).Kejang dialami oleh hampir 2/3 pasien dengan dialysis encephalopathy, muncul selama atau segera setelah dialysis. Kejang juga dapat muncul pada dialysis disequilibrium syndrome yang terjadi pada akhir hemodialysis (HD) atau beberapa jam setelah HD (Aminoff & Parent, 2008).

Kejang pada pasien gagal ginjal juga dapat disebabkan oleh gangguan serebrovaskuler. Pembuluh darah otak rentan terhadap terjadinya kalsifikasi dan atherosclerosis akibat gangguan mineral (chronic kidney diseasemineral and bone disorder atau CKD-MBD) dan hiperhomosisteinemia. Perdarahan otak (ICH/ SAH/ SDH) pada gagal ginjal berkaitan dengan penggunaan antikoagulan pada dialysis dan disfungsi platelet akibat uremia (Michelagnoli et al, 2013; Rizzo et al, 2012; Aminoff & Parent, 2008; Weisberg et al, 2003).Ginjal merupakan organ yang umum dilakukan transplantasi. Obat imunosupresan yang sering diberikan antara lain steroid, cyclosporine, tacrolimus, azathioprine dan mycophenolate. Cyclosporine dan tacrolimus diketahui berkaitan dengan terjadinya posterior leukoencephalopathy dan kejang. Cyclosporine juga dapat menurunkan ambang kejang. Apabila pasien epilepsi yang menjalani transplantasi mengalami kejang, pertimbangkan etiologi kejang selain epilepsi, terutama ensefalopati uremik, gangguan metabolik, infeksi oportunistik, dan leukoencephalopathy (Murphy & Delanty, 2009). Antibiotik yang digunakan dalam terapi infeksi pada pasien gagal ginjal juga dapat menurunkan ambang kejang, antara lain penicillin, cefepime dan quinolone (Michelagnoli et al, 2013; Rizzo et al, 2012; Aminoff & Parent, 2008; Weisberg et al, 2003).

Prinsip Terapi Obat Antiepilepsi pada Gangguan GinjalGagal ginjal dan uremia sangat mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik OAE beserta metabolitnya. Pada umumnya, reduksi dosis diindikasikan pada pasien penyakit ginjal kronik bila 30% obat atau metabolit aktif tak berubah di urine (Diaz et al, 2012).Dalam absorpsi, penyakit ginjal dapat berpengaruh secara langsung maupun tak langsung dan berefek terhadap bioavailabilitas obat oral. Gangguan ginjal dapat berpengaruh pada pH lambung, menyebabkan peningkatan pertumbuhan bakteri intestinal dan mengurangi ionisasi beberapa obat. Pada neuropati gastrointestinal (pada diabetes mellitus atau penuaan yang mengakibatkan gangguan ginjal), adanya gangguan motilitas, mual dan muntah dapat mengubah waktu kontak obat dengan mukosa saluran cerna, sehingga absorpsi obat berkurang; Demikian pula pada kondisi edema saluran cerna akibat volume overload (pada sirosis dan gagal jantung pada penyakit ginjal). Absorpsi yang berkurang mengakibatkan penurunan bioavailabilitas obat (Diaz et al, 2012; Murphy & Delanty, 2009).Loading dose ditentukan dengan volume distribusi. Loading dose berkaitan dengan jumlah obat yang terdapat dalam tubuh dibandingkan dengan konsentrasi dalam plasma, ini digunakan untuk mengurangi waktu mencapai kadar steady state. Loading dose tidak bergantung pada clearance ginjal, oleh karena itu umumnya tidak membutuhkan penyesuaian dosis pada gangguan ginjal (Diaz et al, 2012).Pada penyakit ginjal kronik, didapatkan perubahan ikatan protein. Obat yang terikat umumnya tidak menimbulkan efek farmakologis, dan beberapa obat sangat berikatan dengan protein plasma. Pasien penyakit ginjal kronik dan sindroma nefrotik dalam kondisi hipoalbuminemia mengalami penurunan ikatan obat, menghasilkan peningkatan jumlah obat bebas (dibandingkan dengan konsentrasi total yang sama pada kondisi normal) untuk menimbulkan efek farmakologis (Diaz et al, 2012). Hal ini membuat kerancuan dalam interpretasi kadar total OAE dalam plasma. Kadar total OAE dalam plasma dapat berada dalam therapeutic range sementara kadar obat bebas sudah mencapai toksisitas. Oleh karena itu, pengukuran kadar bebas OAE yang berikatan kuat dengan protein dalam plasma lebih bermanfaat (Murphy & Delanty, 2009). Bila pasien menderita hypoalbuminemia berat, kadar phenytoin dapat dikoreksi dengan rumus berikut: PHT corrected = PHT measured/ [(albumin*0.2)+1] (DeLacerda, 2008)Molekul uremik dan produk sisa organik lainnya yang terakumulasi dalam tubuh pada kondisi gagal ginjal memiliki kemampuan untuk berikatan dengan protein plasma dan menggeser ikatan obat dari binding site-nya. Molekul dan produk tersebut juga menurunkan aktivitas ekspresi enzim cytochrome P450, memperlambat metabolisme di liver, memperpanjang waktu paruh obat, dan meningkatkan toksisitas (Diaz et al, 2012).Manajemen farmakologis penyakit ginjal kronik memerlukan estimasi fungsi ginjal, penilaian klinis, dan monitor kadar obat yang akurat. Beberapa metode telah diajukan untuk menghitung dosis OAE berdasarkan pada creatinine clearance, volume distribusi, dan variabel-variabel lain, namun penghitungan tersebut rumit dan konsentrasi aktual obat dapat berbeda dari yang diperhitungkan. Pada pasien dengan gangguan ginjal, OAE dimulai dengan dosis rendah (Murphy & Delanty, 2009). Sebagai rekomendasi umum, untuk pasien dengan gagal ginjal akut yang berat, dosis diperhitungkan berdasarkan estimasi GFR