Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

26

Transcript of Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Page 1: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1
Page 2: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1
Page 3: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

4 Editorial13 Dialog Utama

• Lahan Gambut Land Swap Dukung Restorasi

Gambut18 Liputan Khusus

• Membedah Beleid Ekosistem Gambut

21 Dialog Khusus• Usaha Sektor Kehutanan Antara Investasi & Lingkungan

24 Hukum dan Kebijakan• Perjalanan 4 Peraturan

Tentang Gambut• Land swap : Menjawab Kegelisahan

29 Opini• Perlu Riset & Kajian Teknis

Batas Kedalaman Muka Air Gambut Setinggi 0,4 Meter

31 Profil

36 Teknologi• Desa Makmur Peduli Api

(DMPA) Wujud Nyata Konservasi• Program Desa Bebas Api

Dorong Waspada Kebakaran di Riau

46 Sosial• Kemiri Sunan di Lahan Gambut Pengganti CPO di Masa Depan

49 Manca• Belajar dari Kesuksesan

Malaysia Kelola Lahan Gambut

52 Riset• Lingkungan Pengaruhi

Pengelolaan Gambut• Hasil Penelitian Lahan Gambut

di Sumatera Ekosistem Lahan Gambut Miliki

Keragaman Habitat Alam

COVER BELAKANG 1 HAL FC 21x27cm Rp 12.500.000COVER BELAKANG DALAM 1 HAL FC 21x27cm Rp 10.000.000COVER DEPAN DALAM 1 HAL FC 21x27cm Rp 10.000.000HALAMAN DALAM 21x27cm Rp 5.000.000ADVERTORIAL Rp. 7.500.000

TARIF IKLAN MAJALAH HUTAN INDONESIAAlamat Iklan:Gd. Manggala Wanabakti Blok IV Lt.9. Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270.Tlp. (021) 57370236,Fax: (021) 5732564. Kontak: Redy Hadiarsa, 081383444723

Tulisan Utama5

Land Swap : Jalan Tengah Kebijakan Pemerintah menyiapkan skema lahan pengganti atau land swap bagi pemegang

konsesi kehutanan dan perkebunan yang 40% luas areal kerjanya berupa kawasan

gambut fungsi lindung.

43 TeknologiLiDAR Permudah Bisnis Kehutanan

Kawasan Gambut Fungsi Lindung

Iwan Setiawan, DP Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

(APHI) Anggota Bidang Sosial & Lingkungan

Page 4: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Perubahan Peraturan Untuk Menjadi Lebih Baik

Penasihat : Indroyono Soesilo

Pembina : Rahardjo Benyamin, Bambang

Supriyambodo, Iman Santosa, Tjipta Purwita, Sugijanto, Kusnan Rahmin, David, Soewarso,

Endro SiswokoPenanggung jawab : Irawan D. KadarmanPemimpin Redaksi :

Imam Harmain

Wakil Pimpinan Redaksi : Purwadi Soeprihanto

Redaktur Pelaksana : Trisia Megawati, Tim Outsource

Dewan Redaksi : Dian Novarina, Nurman, Sudianto, Mufti

Al Amin,Iklan dan Kerjasama :

Redy Hadiarsa, Tim OutsourceDesain Grafis dan Layout :

Tim Outsource

Riset dan Dokumentasi : APHI

Sirkulasi dan Umum : Hesti Mulyandari, Samsudin, Fajarmart S

Alamat Redaksi : Gd. Manggala Wanabakti Blok IV Lt.9, Jl.

Gatot Subroto-Senayan, Jakarta 10270, Telp. (021) 5737036

Pengelola : Divisi Media Service Bisnis Indonesia

Percetakan :

Berkembang menjadi lebih baik tentu menjadi tujuan dari perubahan. Demikian juga yang terjadi pada Majalah Hutan Indonesia (HI).

Kami berupaya terus melakukan perubahan menjadi lebih baik, termasuk dari materi tulisan, desain grafis hingga tampilan cover majalah, seperti yang dihadirkan pada edisi kali ini.

Perubahan yang mendasar utamanya menyangkut substansi materi. Mulai terbitan kali ini, HI akan menampilkan isu-isu tematik, yang dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah populer.

Dalam edisi kali ini, HI mengangkat topik tentang pengelolaan lahan gambut, baik dari perspektif kebijakan yakni Peraturan Pemerintah (PP) PP No. 57 Tahun 2016 tentang jo PP No. 71 Tahun 2014 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan aturan pelaksanaannya, beberapa riset dan kajian serta serta praktek pengelolaan di lapangan.

Pemegang izin berbasis lahan, termasuk pemanfaatan hutan, menghadapi tantangan yang makin berat dengan terbitnya regulasi tentang gambut tersebut. Perlu dicari jalan tengah agar agar upaya perlindungan lahan gambut tetap memberi ruang untuk pengelolaan berkelanjutan.

Terkait lahan gambut , diulas tulisan mengenai komoditas yang dapat dikembangkan di lahan tersebut, berikut upaya yang dilakukan anggota Asosiasi Perusahaan Hutan Indonesia

(APHI) dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan, anatar lain melalui program Desa Bebas Api dan Desa Makmur Peduli Api.

Kami berharap topik di edisi kali ini yang sajikan dalam bentuk tematik dapat memperluas informasi dan pandangan bagi masyarakat mengenai pengelolaan ekosistem gambut .

Layout: Yunika RotuaSumber Foto: Digital Image

EDITORIAL

Atas nama Redaksi Majalah Hutan Indonesia,Imam [email protected]

Assalamualaikum Wr. Wb…Salam Rimbawan,

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

4M

ajalah Hutan Indonesia

Page 5: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Pemerintah cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan paket

kebijakan sebagai regulasi teknis dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Ekosistem Gambut atau yang dikenal dengan PP Gambut. Berdasarkan paket kebijakan yang terdiri atas empat peraturan menteri itu, setiap konsesi wajib menyisihkan 30% lahan sebagai zona gambut fungsi lindung yang tidak boleh

digarap. Zona lindung berpotensi membengkak lebih dari 30% jika terdapat beberapa kriteria fungsi lindung lain seperti gambut setebal lebih dari 3 meter.

Situasi ini menempatkan para pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri (HTI) dalam posisi yang sulit. Bagaimana tidak, mengacu kebijakan tersebut, banyak areal yang konsesi berubah menjadi fungsi lindung. Guna memberikan kepastian bisnis,

LAND SWAP : JALAN TENGAH KEBIJAKAN

Kawasan Gambut Fungsi Lindung

Pemerintah menyiapkan skema lahan pengganti atau land swap bagi pemegang konsesi kehutanan dan perkebunan yang 40% luas areal kerjanya berupa kawasan gambut fungsi lindung.

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

5

Majalah H

utan Indonesia

Page 6: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

KLHK menawarkan skema lahan pengganti bila zona lindung minimal 40% dari seluruh luas konsesi.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Ida Bagus Putera Parthama mengakui, pencadangan zona lindung mencemaskan pelaku bisnis karena lahan gambut yang sedang digarap dapat beralih menjadi fungsi lindung. Namun, dampak dari kewajiban itu tidak akan diterima dalam jangka waktu pendek.

Pasalnya, zona lindung yang dibudidayakan dapat tetap digarap sampai masa panen. Sementara untuk mengantisipasi gangguan investasi jika zona lindung mencapai minimal 40% luas

konsesi, pengusaha diperkenankan mengusulkan lahan pengganti. Menurutnya, KLHK sedang menyusun Peraturan Menteri untuk mengatur skema land swap tersebut.

Berdasarkan data KLHK, saat ini terdapat sekitar 2,52 hektare (ha) lahan gambut fungsi lindung di areal perizinan. Sebanyak 1,5 juta ha berada di dalam 101 konsesi perusahaan hutan tanaman industri (HTI).

Putera belum dapat memutuskan apakah luas lahan pengganti sama dengan zona lindung atau kurang. Dia hanya memastikan tidak ada masalah dengan lahan pengganti karena ada pencadangan 800.000 ha kawasan hutan produksi. “Lahan bisa diambil dari HTI-HTI yang tidak lagi aktif,” katanya.

Klausul terkait tukar guling yang disiapkan KHLK adalah kewajiban mengalokasikan 40% konsesi pengganti untuk garapan masyarakat. Angka ini jauh lebih tinggi dari kewajiban kemitraan HTI saat ini yang hanya mengalokasikan minimal 20%.

Sementara itu, pengaturan skema tukar guling untuk pelaku usaha perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao) akan diatur oleh peraturan Menteri Pertanian.

4 PERMEN KLHKPermen LHK yang akan

mengatur skema lahan pengganti merupakan satu dari beberapa Permen turunan PP No. 57/2016. Empat beleid lain sudah diteken oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Pertama, Permen LHK tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut. Kedua, Permen LHK

tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.

Ketiga, Permen tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut. Keempat, Permen LHK tentang Perubahan Permen LHK No. 12/2015 tentang Pembangunan HTI.

Isi keempat beleid itu sesuai dengan klausul saat diuji publik. Misalnya, kriteria gambut rusak adalah jika tinggi muka air tanah sedalam lebih besar dari 0,4 m dan titik pengukuran tinggi muka diambil sebanyak 15% dari total blok produksi.

Kepada 101 pemegang perusahaan HTI yang konsesinya bergambut, KLHK mewajibkan mereka mengajukan perubahan rencana kerja usaha (RKU). Perubahan RKU mengacu pada Kepmen LHK tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut yang juga sudah diteken Menteri LHK.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono menegaskan bahwa keputusan pemerintah untuk mempertahankan tinggi muka air 0,4 m semata untuk mencegah gambut dalam kondisi kering yang terbakar. Pelaku usaha wajib membangun infrastruktur pembasahan paling lambat 6 bulan sejak gambut dilaporkan rusak.

Munculnya skema land swap memang perlu dilihat secara cermat. Maklum, Pasal 45 PP No. 71/2014 menyebutkan konsesi yang di dalamnya terdapat gambut fungsi lindung, termasuk yang sudah digarap, tetap berjalan sampai izinnya berakhir. Klausul ini tidak diubah dalam PP No. 57/2016.

Ketentuan lain yang kerap menjadi pertanyaan Pemegang Izin adalah penetapan 30% fungsi lindung dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Dengan

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

6M

ajalah Hutan Indonesia

Page 7: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

mengambil skema KHG, maka bisa dipastikan paling sedikit 30% konsesi bergambut menjadi fungsi lindung.

Bahkan, KLHK mengestimasi persentase fungsi lindung bisa lebih besar. Berdasarkan penelusuran sekitar 101 perusahaan HTI bergambut, rata-rata 40% konsesi berfungsi lindung. Artinya, ada beberapa perusahan yang zona lindungnya 50%-60% jika di-overlay dengan Peta Fungsi Ekosistem Gambut.

Padahal, pada 2015 KLHK menetapkan sebuah perusahaan HTI menggarap maksimal 70% luas areal kerjanya, sebanyak 20% dialokasikan untuk kemitraan dengan masayarakat, dan 10% buat fungsi lindung. Bukan mustahil jika persentase ini tetap berlaku, maka areal yang bisa dikelola sebagai tanaman pokok akan tambah mengecil.

Inilah yang mendasari

pemerintah untuk memperkenalkan skema lahan pengganti. Pemerintah menghitung garapan 70% lahan sebagai skala keekonomian minimal sebuah perusahaan HTI. Jika kurang dari itu maka dalam jangka panjang akan berdampak bagi keberlanjutan usaha.

Skema lahan pengganti ditawarkan untuk perusahaan yang zona lindung konsesinya minimal 40%. Pemerintah menyediakan lahan mineral atau gambut fungsi budi daya untuk lahan tanam pengganti.

Namun, jika merujuk Pasal 45 PP No. 71/2014, pemerintah tidak akan menarik fungsi lindung itu dari konsesi. Jika dikeluarkan, ini bertentangan dengan syarat 30% zona lindung dalam satu areal kerja. Celah ini juga untuk menghindari kemungkinan terjadinya kondisi akses terbuka.

Guru Besar Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor

(IPB) Bambang Hero Saharjo mengungkapkan skema lahan pengganti baru pertama kali diterapkan meskipun sempat digulirkan lima tahun lalu. Ketika itu, mekanisme ini ditujukan sebagai jalan keluar untuk kawasan konservasi dan berkarbon tinggi di dalam sebuah konsesi. “Sebenarnya kawasan itu menjadi tanggung jawab perusahaan, tetapi karena persentasenya 30%-40% lahan mereka tidak ekonomis sehingga minta dikeluarkan dari wilayah usahanya,” tuturnya.

Saat ini, pemerintah sudah memastikan fungsi lindung tetap berada di lahan konsesi. Dengan skema ini maka pembatasan luas lahan tidak diberlakukan, karena pengelolaan areal dengan fungsi lindung ini tetap menjadi tanggung jawab perusahaan (tidak dikeluarkan areal izin). Lahan pengganti diberikan atas areal budidaya yang berkurang

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

7

Majalah H

utan Indonesia

Page 8: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

signifikan. Menanggapi skema lahan

pengganti tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto berharap kebijakan lahan pengganti segera diterbitkan untuk menjamin keberlanjutan pasokan bahan baku ke industri. Pencadangan areal HTI yang ditawarkan sebagai lahan pengganti perlu disurvey kondisinya di lapangan, karena ada kemungkinan sudah dikuasai oleh pihak-pihak lain.

”APHI mendorong anggotanya untuk segera mengidentifikasi lahan pengganti dan menyiapkan usulan ke Pemerintah, paralel dengan proses penerbitan Permen tentang pemberian lahan pengganti tersebut,” kata Purwadi.

Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Ida Bagus Putera Parthama mennyatakan, draf permen LHK tentang lahan pengganti tengah digodok di tingkat kementerian. “Luas areal yang menjadi fungsi lindung menjadi pertimbangan dalam penentuan lahan pengganti,” katanya ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (1/3/2017).

PrioritasGuru Besar Ekologi Kuantitatif

IPB Yanto Santosa meminta agar pemerintah memberi perhatian kepada perusahaan hutan tanaman industri skala menengah dan kecil lantaran lebih rentan terdampak akibat penetapan ekosistem gambut fungsi lindung.”Rencana perusahaan skala menengah dan kecil berpotensi terancam, karena lahan garapan kelompok ini dianggap sudah sempit dan tambah menciut akibat penetapan fungsi lindung,” kata Yanto.

Mempertimbangkan keberadaaan lahan pengganti yang sulit diperoleh dalam satu hamparan, Yanto menilai langkah paling logis bagi pemerintah adalah dengan mengambil lahan penukar dari konsesi-konsesi HTI yang tidak aktif. Dengan mencabut izinnya, pemerintah tidak hanya dapat memastikan lahan yang ideal untuk menggarap hutan tanaman, tetapi juga dapat mengakhiri para spekulan yang tidak serius dalam

berbisnis. “Memang harus dipilah-pilah mana pengusaha yang serius dan nakal. Yang didorong kan pengusaha yang serius,” ujarnya.

KemitraanIsu penting dalam pemberian

lahan pengganti adalah penguatan kemitraan dengan masyarakat. Ini diluar areal HTI yang memang sudah diwajibkan kepada Pemegang Izin untuk mengalokasikan minimal 20%

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

8M

ajalah Hutan Indonesia

Page 9: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

konsesi sebagai areal tanaman kehidupan yang dikelola bersama masyarakat. Beleid itu diteken Menteri LHK Siti Nurbaya pada 24 Maret 2015 dalam bentuk Permen LHK No. 12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Dalam konteks skema lahan pengganti, KLHK mewajibkan alokasi areal seluas 40% untuk usaha kelola masyarakat, yang tanggung jawab pengelolaannnya

mennjadi kewajiban pemegang IUPHHK-HTI. Ini mengisyaratkan perlunya dibangun mekanisme kemitraan antara Pemegang Izin dengan Masyarakat.

Direktur Pelaksana Grup Sinar Mas Gandi Sulistiyanto menyebutkan skema kemitraan tersebut mirip dengan pola plasma di industri perkebunan kelapa sawit. Dia memastikan sayap bisnis HTI Sinarmas Forestry siap mengembangkan kemitraan

Target Restorasi Gambut di Kawasan Konsesi 2016—2020 (Ha)

Provinsi Luas (Ha)

Riau 726,82

Sumatera Selatan 458,43

Jambi 99,775

Kalimantan Barat 64,077

Kalimantan Tengah 29,8

Kalimantan Selatan 27,609

Papua 4,422Sumber: Badan Restorasi Gambut, 2016 BISNIS/TRI UTOMO

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

9

Majalah H

utan Indonesia

Page 10: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

10M

ajalah Hutan Indonesia

sebagaimana telah dipraktikkan oleh Golden Agri Resources ketika menggarap kebun plasma kelapa sawit. “Kami berupaya mengembangkan kemitraan sehingga hubungannya tidak lagi antara majikan dan karyawan, tetapi mitra,” ujarnya di Jakarta, baru-baru ini.

Lewat pola kemitraan, Gandi menjelaskan perusahaan HTI tidak semata sebagai pembeli. Korporasi, misalnya, akan bertindak sebagai penjamin saat masyarakat mengajukan kredit di bank, dan membina, serta mendampingi mereka menjalankan kegiatan usaha.

Sementara itu, Direktur Eksekutif APHI Purwadi Soeprihanto mengungkapkan asosiasi sudah memproyeksikan dampak alokasi tanaman kehidupan tersebut untuk penguatan bisnis HTI jangka panjang. Areal tanaman kehidupan dan areal usaha kelola masyarakat tersebut sangat potensial untuk mendukung diversifikasi usaha HTI dalam bentuk pengembangan tanaman pangan, selain komoditas kayu yang selama ini dikembangkan.

Ketua Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menilai bahwa PP No. 57/2016 dan empat Permen LHK sebagai turunan dari peraturan pemerintah tersebut sebagai langkah baik dalam pengelolaan lahan gambut di Tanah Air. Menurut dia, Permen itu justru memberikan jalan keluar kepada pelaku usaha/pemegang izin konsesi dengan mengajukan lahan usaha pengganti.

Nazir berharap aturan tersebut harus berjalan dengan adil dan berimbang melengkapi kepentingan antara kedua belah pihak yaitu pemerintah dan pelaku

usaha. Dia juga menilai bahwa batasan kedalaman yang ditetapkan 0,4 meter itu tidak mematikan tanaman.

Kuncinya, air kanal di lahan gambut harus mengalir sehingga tanaman seperti akasia bisa mendapatkan oksigen. “Seperti salah satu perusahaan yang saya lihat di Riau, itu mereka menjaga tinggi muka air antara 30-40 cm. Jadi tidak masalah, bagus. Tumbuhannya bertumbuh dengan baik. Bahkan, karena mereka mengelola air dengan baik, sumber airnya itu dimanfaatkan juga oleh perusahaan menjadi industri air mineral dari lahan gambut,” tuturnya.

Aturan mengenai lahan pengganti itu tentu semakin memuluskan langkah BRG untuk merestorasi gambut. Apalagi, BRG menargetkan untuk merestorasi lahan gambut seluas 400.000 ha pada tahun ini dari total 2,4 juta hingga 2020.

Konsesi Sawit

Dalam PP No. 57/2016 secara implisit menetapkan 30% luas konsesi yang bergambut sebagai fungsi lindung. Ketentuan ini berlaku baik lahan gambut di kawasan hutan maupun areal penggunaan lain (APL).

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang memastikan pemerintah masih mengizinkan perusahaan perkebunan menggarap kelapa sawit di lahan zona lindung. Pelonggaran ini berlaku sampai sertifikat usaha, seperti izin usaha perkebunan maupun hak guna usaha berakhir. “Mereka kemudian dipersilahkan menghijaukan kembali dengan komoditas yang cocok di lahan gambut dan mencari

lahan pengganti,” ujarnya, Kamis (9/3/2017).

Meski begitu, Bambang belum bersedia mengungkapkan apakah skema lahan pengganti akan ditawarkan bila izin belum berakhir.

Bambang meminta pengusaha kelapa sawit dapat memaklumi regulasi pengelolaan gambut yang baru. Menurutnya, penerbitan PP No. 57/2016 juga dapat dimaknai sebagai cara menunjukkan kepada dunia bahwa industri kelapa sawit Indonesia peduli dengan pelestarian lingkungan.

Berdasarkan data KLHK, saat ini sekitar 2,52 juta ha ekosistem gambut fungsi lindung berada di kawasan perizinan. Dari jumlah tersebut, sekitar 1 juta ha masuk dalam perkebunan kelapa sawit.

Menteri LHK Siti Nurbaya mengingatkan agar Kementerian Pertanian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) menyiapkan kebijakan yang koheren dengan kebijakan yang sudah diambil oleh Kementerian LHK terkait pengelolan dan perlindungan lahan gambut. “Saya sudah kirim surat ke Menteri Pertanian dan Menteri ATR,” kata Menteri Siti, Selasa (21/3/2017).

Menteri LHK juga mengaku, sudah memberi arahan khusus kepada Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian soal pengelolaan gambut. Arahan itu diberikan langsung saat dirinya menjabat sebagai Menteri Pertanian ad interim ketika Menteri Andi Amran Sulaiman bertugas ke luar negeri. “Saya sudah pangil dirjennya,” kata dia.

Menteri LHK menegaskan pengelolaan gambut harus serius untuk mencegah terjadinya kebakaran dan bencana asap seperti di tahun 2015 berulang. Bahkan, kata dia, klaim yang

Page 11: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

menyatakan bahwa gambut bisa dimanfaatkan jika dikelola dengan baik adalah sesuatu yang spekulatif. “Kejadian 2015 kan sangat dahsyat. Dan yang paling menanggung tanggung jawabnya adalah pemerintah. Oleh karena itu pengelolaan gambut memang harus diatur,” kata Menteri.

Meski menerapkan kebijakan yang ketat soal pengelolaan gambut, Menteri LHK menyatakan pemerintah sebagai simpul negosiasi tetap menampung aspirasi

dari kalangan dunia usaha. Itu sebabnya pemerintah menyediakan jalan keluar jika ada siklus bisnis yang terganggu. “Dalam regulasinya, sudah kami antisipasi dengan land swap. Tapi ini juga harus hati-hati,” katanya.

Menteri menegaskan, land swap bukanlah bonus lahan bagi pemegang izin usaha yang lahannya ditetapkan sebagai fungsi lindung. Itu sebabnya, bagaimana implementasi dari kebijakan tersebut akan dilakukan dengan hati-hati.

Menteri menuturkan, selain land swap, pemegang izin HTI sejatinya bisa mengoptimalkan konsesinya yang selama ini tak dimanfaatkan akibat adanya konflik. Pemerintah, katanya siap untuk memfasilitasi untuk mencari resolusi konflik. “Kalau pemerintah turun bersama untuk memfasilitasi resolusi konflik, itu juga bisa jadi jalan keluar untuk mereka yang siklus bisnisnya tergangu,” kata Siti Nurbaya.

Regulasi Land SwapMenjawab kegelisahan

pemegang izin HTI, Pemerintah akhirnya menerbitkan PermenLHK No. P.40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tanggal 14 Juni 2017, yang mengatur tentang tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Terbitnya beleid ini sejalan dengan paket kebijakan MENLHK sebelumnya, yang mewajibkan pemegang izin HTI merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) ketika areal kerjanya ditetapkan sebagai Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG).

Ada 3 (tiga) mekanisme yang disiapkan Pemerintah terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Pertama, fasilitasi penanganan dan penyelesaian konflik dalam areal HTI. Kedua, fasilitasi pengembangan perhutanan sosial melalui kerjasama antara pemegang HTI dengan kelompok masyarakat/Koperasi. Dan ketiga, fasilitasi penyediaan areal lahan usaha pengganti (land swap) sebagai bentuk penggantian areal kerja HTI yang berubah menjadi FLEG.

Sangat menarik ketika mekanisme land swap yang

Jambi 621,089

Papua Barat 1,046,483

Sumatera Selatan 1,262,385

Kalimantan Barat 1,680,135

Papua 2,644,438

Kalimantan Tengah 2,659,234

Riau 3,867,413

Tujuh Provinsi dengan Lahan Gambut Terluas di Indonesia (Ha)

Perbandingan Performa Bisnis Kehutanan

Indikator 2015 2016

Produksi HPH (meter kubik) 5,84 juta 6,3 juta

Produksi HTI(meter kubik) 24,99 juta  31,71 juta

Kayu olahan(meter kubik) 29,97 juta 34,71 juta

Hasil hutan bukan kayu (ton) 217,69 301,15

Nilai Ekspor (US$) 10,28 miliar 9,09 miliar

Target Restorasi Gambut di Kawasan Konsesi 2016-2020 (hektare)

Riau 726,82

Sumatera Selatan 458,43

Jambi 99,775

Papua 4,422

Kalimantan Tengah 29,811

Kalimantan Selatan 27,609

Kalimantan Barat 64,077

Jumlah 1,410,944Sumber: Kementerian Pertanian, 2011, Badan Restorasi Gambut, 2016, KLHK, 2017 BISNIS/TRI UTOMO

Tulisan Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

11

Majalah H

utan Indonesia

Page 12: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

ditawarkan Pemerintah konteksnya adalah pemberian, bukan permohonan izin baru. Regulasi ini juga dikecualikan dari ketentuan tentang pembatasan areal kerja. Mekanisme dibuat sesederhana mungkin, persyaratan seperti rekomendasi Gubernur dan AMDAL ditiadakan (baca Hukum dan Kebijakan, Land Swap : Menjawab Kegelisahan).

Penerapan PP Gambut dan kebijakan turunannya memang perlu jalan tengah, dan land swap tampaknya dipandang sebagai jawabannya. Karena permasalahan pengurangan areal kerja sudah nyata di depan mata, penerapan kebijakan land swap tidak bisa ditunda lagi .

Sementara itu, dalam rangka membangun pemahaman yang sama antara para pihak terkait dengan penerbitan Permen LHK No. 40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017, Kementerian LHK

menyelenggarakan “Media Briefing” pada Kamis (13/7).

Dalam pertemuan tersebut di antaranya hadir Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) M.R. Karliansyah, dan Direktur Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Drasospolino.

Pemerintah menyiapkan lahan pengganti sekitar 910.393 hektare untuk land swap lahan perusahaan hutan tanaman industri yang minimal 40% konsesinya ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung. Luasan itu berdasarkan realisasi tanaman pokok di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) seluas 699.929 hektare dan alokasi tanaman pokok di FLEG, serta belum ditanami 210.464 hektare.

Land swap merupakan kawasan hutan produksi yang berupa tanah mineral. Lahan pengganti akan diberikan kepada perusahaan

HTI yang telah menyampaikan Rencana Kerja Usaha (RKU) kepada Kementerian LHK dan mendapat persetujuan dari kementerian tersebut.

Saat ini ada tiga perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan RKU, yakni PT Hutan Ketapang Industri, PT Taiyoung Engreen, dan PT Dharma Hutani Makmur. “Kalian [perusahaan HTI] yang konflik-konflik [konflik dengan masyarakat atau sengketa lahan] segera selesaikan. Kami fasilitasi, kami datangi bersama tim terkait. Jadilah sebuah areal yang bisa dikelola dengan baik,” kata Bambang Hendroyono dalam dialog tersebut.

Dia memerinci, lahan pengganti itu berada di Sumatera seluas 281.195 hektare, Kalimantan 300.390 hektare, Sulawesi 11.060 hektare, Nusa Tenggara 60.515 hektare, Maluku 101.210 hektare, dan Papua 158.145 hektare. (ss/raa)

Tulisan Utama

Dialog dengan mitra kerja dalam rangka “Media Briefing” terkait Permen LHK No. 40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri dalam rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

12M

ajalah Hutan Indonesia

Page 13: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Nazir Foead, Ketua Badan Restorasi Gambut

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya meneken paket kebijakan

sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016 tentang Perubahan Atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP Gambut).

Paket kebijakan tersebut terdiri dari Peraturan Menteri (Permen) LHK No. P.14/2016 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No P.15/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No P.16/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut, dan Permen LHK No P.17/2017 tentang Perubahan P.12/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Terbitnya paket kebijakan tersebut melengkapi kegalauan yang kini dirasakan kalangan pelaku usaha berbasis lahan. Maklum, beberapa aturan kontroversial tentang pengelolaan masih dipertahankan.

Termasuk soal batasan muka air gambut paling rendah 0,4 meter dari permukaan gambut. Pemantauan akan dilakukan di titik pantau yang sudah ditentukan. Detailnya, setiap konsesi harus

dibagi blok pengelolaan yang luasnya sekitar 30 hektare dan ditetapkan jumlah lokasi pemantauan, yaitu 15% dari total jumlah blok pengelolaan yang ada.

Juga diatur penetapan fungsi lindung ekosistem gambut paling sedikit 30% dari seluruhluas kesatuan hidrologis gambut yang letaknya dimulai dari satu atau lebih puncak kubah gambut. Selain itu, ada opsi bagi pemegang konsesi dengan areal kerja 40% atau lebih yang ditetapkan menjadi ekosistem gambut dengan fungsi lindung untuk mengajukan land swap.

Siti Nurbaya berjanji akan memberikan lahan pengganti kepada perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang terkena imbas dari PP No. 57/2016 yang memiliki usaha di lahan gambut. Lahan landswap atau tukar guling tersebut telah dialokasikan dan disesuaikan dengan kebutuhan usaha. Kementerian LHK, lanjut Siti, telah mengalokasikan lahan pengganti seluas 620.000 hektare bagi HTI yang memiliki usaha di fungsi lindung.

Sementara lahan seluas 200.000 hektare ditujukan kepada HTI yang memiliki usaha di areal kubah gambut. Keputusan tersebut adalah hasil dari diskusi yang digelar selama tiga minggu dengan seluruh pemegang izin HTI yang

selama ini memiliki konsesi di lahan gambut. Oleh karena itu, lahan tersebut akan dipecah/dibagi berdasarkan kebutuhan setiap pemegang izin.

Menurut Siti, penanaman tanaman industri di lahan gambut tidak begitu luas. Dia menjelaskan, penanaman tanaman industri di lahan gambut berkisar antara 3.000 hektare hingga 8.000 hektare dengan luas total keseluruhan mencapai 400.000 hektare per tahun. Oleh karena itu, lanjutnya, pelaku usaha tidak perlu merasa khawatir dengan penggantian/aturan landswap tersebut yang selama ini disinyalir sangat merugikan pengusaha.

Selain itu, Kementerian LHK juga akan membantu perusahaan HTI di lahan pengganti jika terjadi konflik horizontal dengan

Land Swap Dukung Restorasi Gambut

Dialog Utama

Lahan Gambut

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

13

Majalah H

utan Indonesia

Page 14: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Dialog Utama

masyarakat setempat dengan cara fasilitas mediasi konflik dan memberi ruang hutan sosial/HTR yang dapat membantu masyarakat, dan landswap. Siti berpendapat, dengan diberlakukannya landswap oleh pemerintah, izin pelaku usaha tidak akan terganggu.

Bahkan, dia menuturkan, lahan pengganti tersebut diberikan izin untuk perluasan berdasarkan hasil kajian dari tim ahli. “Dia boleh perluasan, padahal sebelumnya nggak boleh. Ini boleh karena ketentuannya khusus dan berlaku satu kali ini saja. Nanti waktu meneliti ada tim ahlinya, jadi dia (lahan konsesi) tambah luas tapi harus dia jaga,” jelasnya.

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead menyambut baik paket kebijakan tersebut. Dia menyatakan paket kebijakan pengelolaan gambut tersebut bisa mendukung upaya restorasi gambut yang kini dikerjakan pemerintah.

Nazir menuturkan, adanya opsi land swap memberikan jalan

keluar kepada pelaku usaha atau pemegang izin konsesi dengan mengajukan lahan usaha pengganti (land swap). Dia berharap aturan tersebut harus berjalan dengan adil dan berimbang melengkapi kepentingan antarakedua belah pihak.

Sementara itu, lanjutnya, batasan kedalaman yang ditetapkan 0,4 meter tidak mematikan tanaman. Kuncinya, air kanal di lahan gambut harus mengalir sehingga tanaman seperti Akasia bisa mendapatkan oksigen. “Seperti salah satu perusahaan yang saya lihat di Riau, itu mereka menjaga tinggi muka air antara 30 cm hingga 40 cm. Jadi tidak masalah, bagus. Tumbuhannya bertumbuh dengan baik. Bahkan, karena mereka mengelola air dengan baik, sumber airnya itu dimanfaatkan juga oleh perusahaan menjadi industri air mineral dari lahan gambut,” tuturnya.

Aturan mengenai land swap itu tentu semakin memuluskan langkah BRG untuk merestorasi

gambut. Apalagi, BRG menargetkan untuk merestorasi lahan gambut seluas 400.000 hektare pada tahun ini dari total 2,4 juta hektare hingga 2020.

Selama satu tahun terakhir, Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk Presiden RI Joko Widodo telah melakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan lahan gambut dari potensi kebakaran. Langkah pemulihan lahan gambut dilakukan dengan berbagai cara, yakni restorasi, penyusunan peta indikatif restorasi dan konstruksi pembasahan dan revegetasi. Tidak kalah penting, intervensi sosial pada desa bergambut dan penugasan restorasi kepada pemegang konsensi juga dilakukan.

Sementara itu, menurut Kepala Badan Litbang Kementerian LHK Chairil Anwar Siregar, kebijakan pemerintah dalam menentukan arah konservasi harus rasional dan tidak mengganggu produksi. Chairil mengatakan, Kementerian LHK seharusnya mendorong sinergi antara upaya konservasi

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

14M

ajalah Hutan Indonesia

Page 15: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

dan produksi sehingga berjalan seimbang karena dua komponen tersebut sama-sama penting.

Akan tetapi, hal yang terjadi saat ini justru Kementerian LHK cenderung mengedepankan aspek konservasi sehingga mengenyampingkan aspek produksi. Sebagai contoh, lanjutnya, hingga saat ini Kementerian LHK masih tetap bersikukuh mewajibkan aturan kedalaman muka air gambut sedalam 0,4 meter kepada pemegang konsesi.

Chairil menilai, kebijakan itu akan mematikan HTI dan perkebunan sawit secara perlahan dan Litbang Kementerian LHK tidak pernah merekomendasikan aturan tersebut. “Justru pada dua tahun lalu, pihaknya meminta agar Kementerian LHK bisa mengubah batas kedalaman muka air dari 0,3 meter menjadi 0,7 meter hingga 0,8 meter untuk tanaman tahunan,” tuturnya.

Dia menyatakan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tersebut tidak ada korelasinya dengan batas muka air, tetapi menyangkut persoalan konflik sosial. Hal Terbakarnya lahan gambut, lanjutnya, dilakukan karena faktor kesengajaan suatu oknum untuk membakar hutan.

Chairil menjelaskan, batas muka air sedalam 0,8 meter masih dapat melembabkan permukaan tanah dengan kadar air yang terjaga sebesar 200% hingga 300%. “Kalau seperti itu tidak terbakar gambut itu. Gambut itu terbakar karena dibakar. Jadi bukan peroslan tinggi muka air. [Jika persoalannya] 0,4 meter tumpahin aja solar pasti terbakar itu. Perusahaan itu tidak mungkin membakar. Dia tahu bahwa hukumannya ada dan dia tidak mungkin merusak asetnya,” tuturnya.

Dia mencontohkan, pengelolaan tanaman di areal gambut di Malaysia dengan kedalaman batas muka air 14 meter dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memacu produksinya dan juga diziinkan oleh pemerintah setempat. Yang membingungkan, lanjutnya, angka ketinggian batas muka air seperti itu tidak diizinkan di Indonesia sehingga laju produksi menjadi terhenti untuk sementara waktu.

Selain itu, Chairil juga mempertanyakan akurasi peta kesatuan hidrologis gambut yang telah dikeluarkan Kementerian LHK. Menurut dia, pembuatan peta yang

hanya memakan waktu kurang lebih dua tahun ini membuat tanda tanya di kalangan peneliti. Dia tidak memungkiri pembuatan peta tersebut lebih bernada politis ketimbang teknis dan dilakukan atas desakan pihak tertentu.

“Bisa saja dua tahun, tapi asal saja itu. Tapi kalau mau bikin tidak mungkin dua tahun. Saya pernah mengatakan, kalau memang betul serius bikin petanya itu dengan skala 1:1000. Itu baru asli,” ungkapnya.

Pemetaan IndikatifPemetaan merupakan proses

penting dalam implementasi tata kelola lahan gambut guna mendata perbedaan luas lahan gambut yang dimiliki pemerintah dengan yang

dimiliki pihak swasta. Jika pemetaan tidak dilakukan dengan cermat, tentu hal ini dikawatirkan akan menimbulkan pertikaian tata batas lahan antar berbagai pihak.

Nazir mengatakan BRG telah melakukan pemetaan indikatif prioritas restorasi gambut seluas 2,49 juta hektare yang akan ditargetkan selesai pada 2020. Pemetaan telah dilakukan di daerah Pulau Padang, Riau pada Januari tahun ini. Sementara untuk pemetaan di daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah akan selesai pada Maret dan April mendatang.

Pemetaan tersebut menggunakan skala perbandingan 1:50.000 dan 1:2.500 yang sudah dilakukan pada lokasi seluas 400.000 hektare. Pemetaan dengan skala 1:50.000 dibutuhkan pemerintah jika ingin membangun kanal blocking.

Peta dengan skala besar itu juga digunakan untuk membedakan antara zona gambut dengan fungsi lindung maupun budidaya. Sementara, peta dengan skala 1:2.500 dapat detail hingga 1:1.000 menjadi bahan BRG untuk memberikan masukan kepada Kementerian LHK terkait dengan teknis restorasi pada pemegang konsesi.

Mekanismenya dengan berpatokan pada informasi peta,

Dialog Utama

Batasan kedalaman yang ditetapkan 0,4 meter tidak mematikan tanaman. Kuncinya, air kanal di lahan gambut harus mengalir sehingga tanaman seperti Akasia bisa mendapatkan oksigen.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

15

Majalah H

utan Indonesia

Page 16: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari mengirim surat penugasan restorasi kepada pengelola konsesi kehutanan untuk merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU). Nazir menambahkan bahwa pihaknya akan segera melakukan kegiatan pembasahan tanpa menunggu pemetaan indikatif itu selesai seluruhnya.

Langkah tersebut diambil agar restorasi gambut berjalan cepat. Pembahasan telah dilakukan di daerah Kabupaten Meranti Riau, Kabupaten Pulau Pisang Kalimantan Tengah, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Musi Banyuasin Sumatera Selatan.

Kawasan Hutan untuk PendudukSementara itu, pemetaan lahan juga

menjadi acuan dalam permasalahan sertifikasi tanah, termasuk untuk kawasan hutan. Hal itu dikarenakan hingga saat ini total kepemilikan tanah di Indonesia yang

tersertifikasi baru mencapai 44%. Prosentasi itu pun belum termasuk hitungan tanah di kawasan hutan.

Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menuturkan, dari total luas tanah di Indonesia yang mencapai 189 juta hektare, Kementerian LHK)mengklaim 70% di antaranya merupakan kawasan hutan, sedangkan sisanya ialah kawasan non hutan.

Dia menginginkan, agar Kementerian LHK dapat melepaskan lahan seluas 4,5 juta hektare yang merupakan kebun pertanian semusim yang saat ini diklaim berada dalam kawasan hutan. Begitu juga dengan lahan perkebunan seluas 6,1 juta hektare dan area kebun campuran 4,7 juta hektare. Sementara 395.000 hektare merupakan permukiman penduduk yang berada dalam kawasan hutan.

Dialog Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

16M

ajalah Hutan Indonesia

Page 17: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

“ Orang-orang tradisional yang tinggal dalam kawasan hutan itu bisa kita berikan sertifikat haknya dan memanfaatkan tempat tinggalnya menjadi suatu yang mereka miliki.”

Sofyan Djalil, Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)

Selama ini, Sofjan menjelaskan bahwa UU Kehutanan dan turunannya tidak memperbolehkan lahan dalam berbagai izin usaha pemanfaatan hasil hutan, termasuk pada hutan alam dan hutan tanaman industri sebagai aset perusahaan. Akibatnya, pemegang konsesi kesulitan mendapatkan pinjaman di bank untuk memperoleh kredit.

Menyikapi hal itu, ATR/BPN tengah memikirkan agar kebun seluas 2,6 juta hektare yang berada di dalam kawasan hutan dapat tersertifikasi. Sofyan mengatakan, pihaknya akan melegalisasi atau melepaskan kawasan hutan bagi penduduk yang telah tinggal di sekitar kawasan hutan selama puluhan tahun.

Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) atas konsesi kehutanan sebagai salah satu solusi menggairahkan bisnis kehutanan akan segera terwujud. Sofyan menjelaskan bahwa pihaknya berencana memberikan ketentuan mengenai pemberian hak atas konsesi hutan untuk dimasukkan dalam RUU Pertanahan. “Pengaturan lebih spesifik soal pemberian HGU atas konsesi kehutanan itu akan dicantumkan dalam revisi UU No. 41/1999 tentang Kehutanan,” katanya.

Legalisasi itu dalam bentuk pemberian sertifikat HGU. Selama ini, lanjut Sofjan, masih banyak pemilik kebun yang berada di kawasan hutan tidak memiliki HGU kendati mereka telah mengantongi Izin Prinsip dan Izin Usaha Perkebunan (IUP).

“Nanti harus kita lihat lagi, apakah hutan itu hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung. Mana yang menurut undang-undang dimungkinkan untuk

dilepaskan itu harus dicari penyelesaiannya. Orang-orang tradisional yang tinggal dalam kawasan hutan itu bisa kita berikan sertifikat haknya dan memanfaatkan tempat tinggalnya menjadi suatu yang mereka miliki,” tuturnya. Tidak kalah penting, Sofyan juga mendorong pemerintah agar segera menyelesaikan one map policy atau kebijakan satu peta agar tumpang tindih lahan yang kerap terjadi di antara masyarakat, pelaku usaha, pemerintah dan antar kementerian dapat diselesaikan.

Menurut dia, maraknya kasus tumpang tindih lahan yang terjadi di beberapa daerah disebabkan setiap institusi pemerintahan memiliki peta yang berbeda sehingga klaim dari masing-masing pihak tidak dapat dihindari.

“Begitu ada peta ini, maka akan ketahuan. Mana yang tumpang tindih. Itu harus kita selesaikan. Kalau kawasan gambut, itu sudah ada BRG sebagian besar lahan gambut akan direhabilitasi,” jelas Sofjan. (raa)

Dialog Utama

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

17

Majalah H

utan Indonesia

Page 18: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Membedah Beleid Ekosistem Gambut

Liputan Khusus

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP)

57/2016 sebagai revisi dari PP 71/2014 tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Ekosistem Gambut.

PP itu kemudian melahirkan empat Peraturan Menteri (Permen) LHK, yaitu Permen LHK No P. 14 tahun 2016 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No P. 15 tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, Permen LHK No P. 16 tahun 2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambuut, dan Permen LHK No P. 17 tahun 2017 tentang Perubahan P. 12 tahun 2015 tentang

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK Karliansyah menjelaskan, terbitnya PP No. 57/2016 sebagai bentuk penguatan terhadap upaya pemulihan ekosistem gambut dan kriteria kawasan fungsi lindung dan budi daya yang selama ini mengalami kerusakan.

Menurutnya, beberapa poin penting yang dimasukkan dalam turunan PP No. 57/2016 itu di antaranya soal inventarisasi dan penetapan fungsi ekosisitem gambut yang mengacu pada skala peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).

Dalam PP Np. 57/2016 itu, skala

peta mengacu pada arahan Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan menggunakan skala nasional 1:250.000.

Sementara itu, inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut provinsi atau kabupaten dilakukan dengan skala peta 1:50.000. Peta tersebut disusun oleh Kementerian LHK, BRG, dan beberapa perusahaan kehutanan.

Indonesia, lanjutnya, memiliki total 865 KHG seluas 24.667.804 hektare. Sumatera memiliki 207 KHG seluas 9.604.529 hektare, Kalimantan 190 KHG seluas 8.404.818 hektare, Sulawesi tiga KHG seluas 63.290 hektare, dan Papua 465 KHG seluas 6.595.167 hektare. Sementara itu, lahan yang ditetapkan sebagai fungsi lindung

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

18M

ajalah Hutan Indonesia

Page 19: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

sebanyak 15 KHG. Dia memaparkan, peta fungsi ekosistem gambut nasional di luar mineral mencakup fungsi lindung seluas 10.585.924 hektare, sedangkan fungsi budi daya seluas 4.732.197 hektare.

PP No. 57/2016 mengatur tentang penetapan fungsi lindung paling sedikit 30% dari seluruh luas kesatuan hidrologi gambut yang terletak mulai dari dua atau lebih puncak kubah gambut.

Penetapan fungsi lindung diambil dari puncak gambut dengan keadalaman lebih dari tiga meter. Aturan itu, lanjutnya, berubah dari yang sebelumnya hanya mempertimbangkan satu kubah gambut dalam satu kesatuan hidrologis pada PP No. 71/2014.

Menyoal tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut, Karliansyah menyebutkan, pemulihan dilakukan terhadap fungsi budi daya dan fungsi lindung. Kubah gambut yang berada dalam areal usaha yang belum dilakukan budi daya/masih utuh wajib dipertahan sebagai ekosistem gambut dengan fungsi lindung.

Jika terlanjur dilakukan budi daya, pelaku usaha dilarang menanam kembali (replanting) setelah masa panen selesai. Ditambah, pemegang izin konsesi diwajibkan melakukan pemulihan terhadap lahan gambut bekas budi daya tersebut.

Dalam PP itu, Kementerian LHK juga menambahkan klausul baru larangan bagi masyarakat dan perusahaan untuk membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budi daya pada areal ekosistem gambut (land clearing).

Pemerintah juga melarang pembuatan saluran drainase,

larangan membakar lahan gambut atau melakukan kegiatan lain yang mengakibatkan kerusakan pada lahan gambut.

PP No. 57/2016 juga mempertegas sanksi atas pelanggaran yang dilakukan, yakni sanksi administratif berupa paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan hingga pidana.

Karliansyah menjelaskan, Kementerian LHK telah menetapkan kriteria baku kerusakaan ekosistem gambut. Berdasarkan kriteria itu, fungsi lindung akan rusak jika terdapat drainase buatan, tereksposnya sedimen berparit atau kwarsa di bawah lapisan gambut, dan terjadinya pengurangan luas dan/atau volume tutupan lahan di ekosistem gambut fungsi lindung.

Sementara itu, ekosistem gambut dengan fungsi budi daya memiliki dua kriteria rusak, yakni jika muka air di drainase lebih dari satu meter di bawah permukaan gambut dan tereksposnya sedimen berpurut dan/atau kwarsa di bawah lapisan gambut.

Untuk penataan batas muka air pada ekosistem gambut, lanjutnya, Kementerian LHK masih menetapkan pengukuran muka air tanah harus lebih rendah 0,4 meter dari permukaan gambut di titik penaatan yang telah ditetapkan. Untuk titik penaatan, diatur setidaknya mewakili 15% dari luas keseluruhan petak produksi.

Titik penaatan yang dicantumkan dalam PP 57 mencakup karakteristik lahan, topografi, zona pengelolaan air, kanal dan/atau bangunan air.

Penetapan ini, lanjutnya, telah dicantumkan dalam Permen LHK No. 15/2017 tentangTata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut.

“Kenapa penting sekali 0,4 meter ini? Karena inilah jaminan untuk mengurangi kebakaran lahan dan hutan sebagaimana yang terjadi pada 2015. Yang kedua, kita sudah pernah coba menghitung kalau muka air tanah di ekosistem gambut 0,4 meter ini bisa dijaga, maka komitmen kita untuk penurunan gas rumah kaca 29% tanpa kegiatan apapun sudah bisa diselesaikan dengan 0,4 meter ini,” paparnya pada acara Tindak Lanjut PP No. 57/2016 di Kementerian LHK awal Maret 2017.

Mengurangi KebakaranDirjen Planologi Kehutanan

dan Tata Lingkungan Kementerian LHK San Afri Awang memastikan jika pemegang izin HTI mampu mempertahankan batas muka air gambut 0,4 meter itu, potensi kebakaran hutan dapat diminimalisir. Aturan itu, lanjutnya dilakukan berdasarkan kajian dan teori akademis yang sudah terbukti.

“PP No. 57/2016 ini lebih mempertegas lagi regulasi pengambil alihan areal terbakar pada konsesi korporasi yang telah diatur dalam Permen LHK No. 77 Tahun 2015. Misalnya, disebutkan hasil verifikasi dapat berupa pengurangan areal perizinan usaha,” ujarnya.

Awang menambahkan, terkait areal gambut di dalam konsesi korporasi yang terbakar, PP No. 57/2016 mengatur bahwa pemerintah akan mengambil tindakan penyelamatan dan pengambilalihan sementara areal bekas kebakaran yang dilakukan melalui verifikasi.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah telah mempertegas larangan bagi pihak manapun untuk membuka lahan baru sampai ditetapkannya

Liputan Khusus

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

19

Majalah H

utan Indonesia

Page 20: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

zonasi fungsi lindung dan fungsi budi daya pada areal ekosistem gambut melalui penambahan klausul baru dalam PP No. 57/2016.

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian LHK Ida Bagus Putera mengatakan, sebelum pemerintah menetapkan fungsi lindung terhadap lahan gambut, pemegang izin HTI yang memiliki budi daya di ekosistem gambut diwajibkan melakukan tata ruang dan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU). Revisi itu didasarkan pada peta fungsi hidrologis gambut.

Usulan revisi paling lambat diajukan 30 hari sejak peta fungsi hidrologis gambut resmi dikeluarkan. Saat ini, ada sekitar 101 HTI yang perlu melakukan revisi terkait tata ruang dan RKU tersebut.

Jika pemegang konsesi tidak mengindahkan aturan itu, pemerintah akan memberikan sanksi administratif. Aturan itu. Lanjutnya, tercantum dalam Permen LHK tentang Perubahan Permen LHK No. 12/2015 tentang Pembangunan HTI.

Dalam aturan peralihan, penetapan fungsi lindung dan budi

daya tentu membuat areal usaha perusahaan HTI maupun sawit akan masuk ke dalam fungsi lindung. Karena itu, jika areal kerja itu 40% atau lebih ditetapkan menjadi ekosistem gambut dengan fungsi lindung, penanggung jawab usaha kegiatan dapat mengajukan areal pengganti kepada pemerintah.

Dia menambahkan, areal pengganti (land swap) yang diberikan pemerintah sebesar 40% dalam pelaksanaannya harus bermitra dengan masyarakat. Keputusan ini dilakukan atas dasar pertimbangan pemerintah untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis kehutanan.

Kementerian LHK, lanjutnya, akan membentuk tim untuk mengkaji layak atau tidaknya perusahaan yang mengajukan land swap. Tim tersebut tidak hanya berasal dari Direktorat PHPL, tetapi melibatkan akademisi, pemerintah daerah dan sebagainya. Implementasi tersebut, lanjutnya, dapat diajukan setelah Permen tentang land swap diterbitkan.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Kementerian LHK Bambang Hendroyono

menjelaskan, substansi PP No. 57/2016 akan menekankan pada kebijakan pencegahan kerusakan yang disebabkan oleh kebakaran hutan yang belum diatur di dalam PP No. 71/2014. Kebijakan itu dilatarbelakangi keberhasilan metode yang telah dilakukan LHK dalam mengurangi hot spot kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 2016.

PP tersebut juga mengatur pemulihan fungsi ekosisitem gambut dengan cara suksesi alami, rehabilitasi vegetasi, restorasi hidrologis, dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berdasarkan aturan itu, Kementerian LHK memasukkan substansi penegakan hukum/sanksi administrasi bagi penanggung jawab kegiatan usaha tidak melaksanakan pemulihan fungsi ekosistem gambut sesuai dengan kewajiban. Jika di areal konsesi masih ditemukan kerusakan, sanksi itu tidak lagi sebatas surat peringatan, tapi dipertegas dalam bentuk pembekuan izin, pencabutan izin hingga hukum pidana. (raa)

Liputan Khusus

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

20M

ajalah Hutan Indonesia

Page 21: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Antara Investasi & Lingkungan

Mengenai lahan tukar guling (land swap) pemerintah tengah menyiapkan lahan pengganti milik perusahaan

Hutan Tanaman Industri (HTI) yang minimal 40% konsesinya ditetapkan sebagai kawasan fungsi lindung. Luasan tersebut berdasarkan realisasi tanaman pokok di Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan alokasi tanaman pokok di FLEG, serta yang belum ditanami. Land swap itu berupa kawasan hutan produksi yang berupa tanah mineral.

Lahan pengganti merupakan jalan keluar setelah penerbitan PP No. 57/2016 tentang Perubahan atas PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sebagai tindak lanjutnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya kemudian menerbitkan Permen No. P.40/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 yang mengatur fasilitas pemerintah pada usaha HTI untuk melindungi dan mengelola ekosistem gambut.

Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono mengingatkan regulasi tata kelola gambut dibuat untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan kembali terulang. Selama bertahun-tahun, kebakaran terjadi di areal gambut karena pemanfaatannya tidak memenuhi kaidah ekologis.

Dia menginginkan supaya pelaku usaha ikut menjaga ekosistem gambut, baik fungsi lindung maupun budi daya. Sementara mengenai pemulihan dan restorasi harus dilakukan, khususnya di

Pengurangan luas areal kerja HTI karena keberadaan Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan terbitnya kebijakan pemerintah mengenai land swap, sesungguhnya adalah bagian dari kompromi agar kepentingan invetasi dan lingkungan dapat berjalan seiring.

Usaha Sektor Kehutanan

Dialog Khusus

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

21

Majalah H

utan Indonesia

Page 22: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

areal bekas terbakar.Bambang menjamin proses

pengajuan land swap hanya berlangsung antara dua bulan hingga tiga bulan. Demikian pula dengan kesangsian tentang lahan pengganti. “Kami yang tahu kok di areal kosong yang mana,” jelas Bambang, Kamis (13/7).

Bambang merinci, dari 97 HTI yang sudah mengajukan land swap, sekitar 40%-50% meminta lahan dengan luasan kecil, yakni sekitar 10.000 hektare. Jumlah HTI yang mengajukan lahan di atas 10.000 hektare hingga 40.000 hektare hanya skeitar 35%. Adapun luasan di atas 40.000 hektare hanya diusulkan oleh 15% HTI.

Berdasarkan pertimbangan kekuatan tanaman setiap perusahaan seluas 13.700 hektare per tahun, Kementerian LHK akan memberikan lahan pengganti hanya 15.000 hektare per tahun.

Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Yanto Santoso menilai, setiap keluarnya aturan itu pasti didasari oleh keinginan yang baik secara filosofi. Kendati setuju dengan skema tukar guling lahan, Yanto berharap lahan pengganti

dapat dipastikan keberadaannya. Dengan kondisi saat ini, kecil kemungkinan lahan tersebut dapat tersedia dalam satu hamparan alias tidak terpencar-pencar. Pendirian industri, lanjutnya, sudah direncanakan sesuai dengan jarak ke hutannya.

Secara bisnis, menurut Yanto, idealnya satu konsesi HTI minimal memiliki areal efektif tanam 7.500 hektare dengan areal tanam per

tahun sekitar 1.200 hektare . “Perlu ada keterbukaan bahwa ada lahan yang bisa dipakai,” jelasnya.

Ketua Umum APHI, Indroyono Soesilo memandang opsi land swap adalah wujud perhatian pemerintah untuk tetap menjaga kelangsungan usaha HTI, yang arealnya berkurang karena FLEG. “Kita tidak bisa menunggu, upaya proaktif diperlukan untuk mengidentifikasi areal land swap, baik dari sisi lokasi,

Dialog Khusus

Opsi land swap adalah wujud perhatian pemerintah untuk tetap menjaga kelangsungan usaha HTI, yang arealnya berkurang karena FLEG.

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

22M

ajalah Hutan Indonesia

Bambang Hendroyono, Sekjen Kementerian LHK

Page 23: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

luas dan kelayakannya,” kata Indro. Langkah ini mendesak, kata

Indro, karena harus segera ada kepastian areal tanam di areal eks panen HTI. “Kejelasan land swap akan meminimalkan dampak kesenjangan pasokan baku industri dalam 5 tahun hingga 6 tahun ke depan,” tutur Indro.

Dia menegaskan, pihaknya akan segera membentuk Tim di internal APHI untuk mempercepat proses identifikasi areal land swap. “Waktu berjalan terus, pemegang izin hanya diberi waktu 6 bulan untuk mengajukan areal land swap setelah RKU disahkan,” kata Indro. Hasil dari identifikasi ini akan dikonsultasikan ke pemerintah untuk bahan pertimbangan lebih lanjut .

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo saat menggelar rapat terbatas mengenai restorasi lahan gambut memberi target khusus kepada Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi 400.000 hektare lahan gambut tahun ini. Dia mengatakan, setelah satu tahun terbentuknya BRG, pemerintah terus mengevaluasi pengaturan dan tataran implementasi restorasi lahan gambut di lapangan.

“Evaluasi harus terus-menerus kita lakukan karena BRG diberi target restorasi pada tahun 2020 sampai dua juta hektare di tujuh provinsi. Lokasi kawasan itu adalah Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Pada tahun ini, BRG diberi target untuk melakukan restorasi sampai 400.000 hektare atau 20% dari total target,” kata Jokowi membuka rapat terbatas di kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (26/4).

Menurut Jokowi, dirinya ingin mendapatkan laporan rutin dari

BRG, terutama terkait dengan kendala di lapangan dalam memenuhi target tersebut. Dia juga menegaskan bahwa BRG tidak akan bekerja sendirian dalam upaya mencapai target tersebut.

“Perlu dukungan penuh dari kementerian lembaga dan pemda. Saya juga menekankan agar seluruh warga di sekitar ekosistem gambut maupun swasta dan BUMN pemegang konsesi diwajibkan terlibat dalam restorasi gambut,” katanya. Jokowi menambahkan, semua pihak yang terlibat, terutama masyarakat, harus ikut menjaga kelestarian dan ekosistem lahan gambut dengan prinsip pengelolaan gambut yang lestari.

Jadi, lanjutnya, pemanfaatan lahan gambut untuk tujuan ekonomi dan kesejahteraan dapat dilakukan tanpa mengabaikan aspek kelestarian lingkungan. Terutama menjaga hidrologis dan keutuhan ekologis kubah gambut. Selain itu, lanjut Jokowi, perlindungan dan pemulihan fungsi ekologis kubah gambut sangat penting dan jadi prioritas bersama untuk mencegah terulangnya kebakaran di lahan gambut yang sangat sulit dipadamkan. (raa)

Profesor Yanto Santosa, Guru Besar Ekologi Kuantitatif Institut Pertanian Bogor (IPB)

Dialog Khusus

Indroyono Soesilo, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI)

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

23

Majalah H

utan Indonesia

Page 24: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

Permen No. 14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi

dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut.

Permen LHK No. 14/2017 mengatur mengenai tiga hal penting. Pertama, tata cara inventarisasi dan penetapan peta final Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Tata cara inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut nasional ditetapkan dengan skala 1:250.000.

Permen ini juga mengatur cara inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut provinsi atau kabupaten dengan skala 1:50.000, serta perubahan penetapan fungsi ekosistem gambut.

Saat ini, Indonesia terdapat 865 KHG seluas 24.667.804 hektare. Sumatera memiliki 207 KHG (9.604.529 hektare), Kalimantan 190 KHG (8.404.818 hektare), Sulawesi tiga KHG (63.290 hektare), dan Papua 465 KHG (6.595.167 hektare). Yang ditetapkan sebagai fungsi lindung ada 15 KHG, sedangkan peta fungsi ekosistem gambut nasional mencakup fungsi lindung seluas 12.398.482 hektare dan fungsi budi daya seluas 12.269.321 hektare.

Kedua, kriteria penetapan fungsi lindung ekosistem gambut. Kriteria penetapan fungsi lindung ekosistem gambut yakni, paling sedikit 30% dari seluruh KHG, masih terdapat gambut kedalaman tiga meter

Perjalanan 4 Peraturan Tentang Gambut

Sebagaimana diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menerbitkan empat Peraturan Menteri (Permen) tidak lama setelah keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 57/2016. Keempat Permen tersebut merupakan aturan rinci, penjabaran dan penguatan aturan terhadap aturan sebelumnya. Berikut beberapa poin yang dapat dicermati pelaku usaha sebelum nantinya menjalankan kewajiban terhadap masing-masing Permen.

Hukum dan Kebijakan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

24M

ajalah Hutan Indonesia

Page 25: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

atau lebih, plasma nutfah spesifik atau endemik, spesies dilindungi, atau ekosistem gambut fungsi lindung yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Aturan tersebut mempertegas Keputusan Presiden (Kepres) No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dimana gambut dengan tiga meter yang ditetapkan sebagai fungsi lindung. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Planologi dan Tata Lingkungan, jumlah fungsi lindung Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia mencapai 1,427 juta hektare dari total 2,64 juta hektare lahan gambut.

Ketiga, perubahan fungsi ekosistem gambut. Dalam Permen ini diatur tentang mekanisme perubahan fungsi ekosistem gambut. Besar kemungkinan, fungsi budi daya dapat berubah menjadi fungsi lindung jika terdapat ekosistem gambut yang memenuhi kriteria fungsi lindung. Perubahan fungsi ekosistem gambut itu juga didasarkan pada urgensi ekologis untuk upaya pencegahan atau pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan kebutuhan untuk pencadangan ekosistem gambut di provinsi atau kabupaten/kota.

Beberapa kewajiban perusahaan yang harus dipenuhi, di antaranya

Pertama, perusahaan diwajibkan melakukan invetarisasi karakteristik ekosisitem gambut di lokasi kegiatan dan menyerahkan hasilnya kepada Kementerian LHK. Kedua, perusahaan diwajibkan melakukan revisi Rencana Kerja Usaha (RKU), dokumen rencana usaha, dokumen rencana pengelolaan atau sejenisnya untuk disesuaikan dengan peraturan pemerintah.

Kewajiban Ketiga, perusahaan diwajibkan mengajukan perubahan

izin lingkungan sebagai akibat perubahan fungsi. Keempat, perusahaan wajib menaati seluruh peraturan perundang-undangan.

Kelima, jika kegiatan inventarisasi dilakukan di dalam lahan usaha, maka secara otomatis menjadi beban perusahaan. Sebaliknya, jika invetarisasi berada di luar lahan usaha, maka biaya ditanggung oleh Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD).

Untuk keberlanjutan usaha, penanggung jawab usaha kegiatan areal kerja yang memiliki kegiatan usaha 40% atau lebih ditetapkan sebagai fungsi lindung, berhak mengajukan areal pengganti (land swap) sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Permen No. 15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penaatan Ekosistem Gambut.

Inilah Permen yangmengatur detil bagaimana pemantauan muka air tanah yang ditetapkan tidak boleh lebih rendah dari 0,4 meter dari permukaan gambut.

Berdasarkan Permen ini, titik penaatan ditetapkan minimal sekurang-kurangnya 15% dari jumlah petak tanaman pokok/blok produksi dan berada di tengah. Hal ini menjadi dasar penyesuaian perizinan dan harus ditetapkan oleh Direktorat Jenderal atas dasar kesepakatan. Pengukuran muka air tanah di titik penaatan ekosistem gambut dilakukan untuk mengetahui kerusakan ekosisitem gambut dengan fungsi budi daya dan fungsi lindung. Titik penaatan muka air tanah itu, digunakan

sepanjang radius 50 meter terhitung dari titik tengah blok produksi.

Penyebaran titik penaatan muka air tanah memperhatikan karakteristik lahan, topografi, zona pengelolaan air, kanal dan bangunan air. Zona pengelolaan air ditentukan dari pengelompokan ketinggian permukaan air dengan rentang perbedaan satu meter berdasarkan topografi.

Kewajiban perusahaan di antaranya, Pertama tentang mengukur tinggi muka air tanah di lahan gambut yang diharapkan pada posisi 0,4 meter. Kedua, mengajukan penaatan muka air tanah dengan melampirkan informasi dan peta kepada Direktorat Jenderal.

Ketiga, Melaporkan secara rutin hasil pengukuran. Keempat, Mentaati seluruh peraturan perundang-undangan, dan Kelima tentang perusahaan diwajibkan melakukan RKU, dokumen rencana usaha, dokumen rencana pengelolaan atau sejenisnya untuk disesuaikan dengan peraturan pemerintah.

Kewajiban Keenam, perusahaan diwajibkan mengajukan perubahan izin lingkungan sebagai akibat perubahan fungsi. Ketujuh, jika kegiatan inventarisasi dilakukan di dalam lahan usaha, maka secara otomatis menjadi beban perusahaan. Sebaliknya, jika invetarisasi berada di luar lahan usaha, maka biaya ditanggung oleh APBN dan APBD.

Permen No. 16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Ekosistem Gambut.

Permen ini mengatur bagaimana pemulihan gambut

Hukum dan Kebijakan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

25

Majalah H

utan Indonesia

Page 26: Majalah Hutan Indonesia Edisi XV.1

dan bagaimana kriteria gambut dinyatakan pulih.

Berdasarkan Permen ini, pemulihan dilakukan terhadap lahan fungsi lindung maupun budi daya. Sebagaimana yang juga disebutkan di dalam PP No. 57/2016, kerusakan pada fungsi lindung diputuskan bila terdapat drainase buatan, tereksposenya sedimen berpirit, terjadinya pengurangan luas volume/tutupan lahan. Untuk kriteria kerusakan pada fungsi budi daya, yakni bila muka air tanah di lahan gambut lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut pada titik penaatan, tereksposenya sedimen berpirit, dan melampaui kriteria baku kerusakan ekosistem gambut.

Di dalam aturan ini terdapat sebuah pasal mengenai kubah gambut. Jika lahan budi daya berada pada kubah gambut, maka secara otomatis lahan tersebut akan menjadi fungsi lindung.

Bagi, pengusaha yang belum melakukan budi daya di kubah gambut diwajibkan untuk tidak melakukan penanaman dan dipertahankan sebagai fungsi lindung. Sementara itu, untuk areal usaha yang telah dilakukan budi daya pada kubah gambut, tidak dilarang melakukan replanting setelah masa panen.

Adapun, setelah masa panen selesai, perusahaan diwajibkan untuk melakukan pemulihan terhadap areal itu. Pemulihan harus dilakukan 30 hari sejak dikerusakan dan juga didahului oleh revisi RKU.

Jika pemilik kegiatan tidak mampu melakukan, bupati dan walikota dapat menggunakan jasa pihak ketiga untuk melakukan pemulihan dengan biaya yang ditanggung perusahaan. Mengenai pemulihan, dapat dilakukan

dengan metode suksesi alami, rehabilitasi, restorasi dan cara lain sesuai dengan perkembangan iptek.

Perusahaan diberikan waktu enam bulan untuk membangun sarana atau sistem pengelolaan tata air. Setelah sistem itu dibangun, Kementerian LHK memberikan waktu selama tiga bulan kepada perusahaan untuk mengatur batas kedalaman muka air 0,4 meter.

Permen No. 17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 12/MENLHK-II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri.

Permen ini mengatur secara spesifik mengenai tata ruang lahan gambut yang pada Permen sebelumnya, yakni Permen No. 12/2015 belum begitu banyak banyak dibicarakan. Pengaturan tata ruang ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan tiga fungsi hutan, yakni ekologi, lingkungan dan sosial.

Permen ini mengklasifikasikan tiga penetapan tata ruang HTI, yakni areal tanaman pokok, areal tanaman kehidupan, kawasan perlindungan setempat dan kawasan lindung lainnya, dan kawasan fungsi lindung ekosistem gambut. Tata ruang HTI ini berubah dari Permen yang sebelumnya hanya mengelompokkan tiga areal HTI.

Jika masing-masing areal tersebut berada pada kubah gambut, maka secara otomatis lahan itu akan menjadi fungsi lindung. Ketetapan itu dapat dilihat mengacu pada revisi RKU yang dilakukan dengan cara tumpang susun/overlay antara peta fungsi ekosistem gambut dengan peta RKU.

Pelaku usaha diundang untuk menerima peta fungsi ekosistem gambut. Kemudian, perusahaan wajib mengajukan usulan revisi RKU sejak peta tersebut diterima.

Pada Permen ini terdapat salah satu perubahan kriteria pada Pasal 7, Permen sebelumnya mengenai identifikasi analisis areal HTI. Perubahan dilakukan pada Kriteria D yang berubah menjadi, kawasan hutan dengan fungsi ekosistem gambut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut dilakukan untuk mengakomodasi ketentuan baru mengenai lahan gambut pada tiga Permen yang lain sehingga aturan ini tidak menyokong dan kontradiktif dengan aturan lainnya. (raa)

Perusahaan diberikan waktu enam bulan untuk membangun sarana atau sistem pengelolaan tata air. Setelah sistem itu dibangun, Kementerian LHK memberikan waktu selama tiga bulan kepada perusahaan untuk mengatur batas kedalama muka air 0,4 meter.

Hukum dan Kebijakan

F O R U M K O M U N I K A S I H U TA N D A N K E H U TA N A N I N D O N E S I A | J U L I 2 0 1 7

26M

ajalah Hutan Indonesia