MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA · korupsi di Indonesia. KPK dibentuk melalui UU No. 30...

117
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PENELITIAN Tafsir Konstitusional Dalam Pengujian Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tim Peneliti Ketua Tim : Bisariyadi 19790103 200604 1 003 Anggota : Putria Gusti Asih 19840616 201012 2 002 Abdul Ghoffar 19800701 200712 1 001 PUSAT PENELITIAN, PENGKAJIAN PERKARA DAN PENGELOLAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI JAKARTA 2013

Transcript of MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA · korupsi di Indonesia. KPK dibentuk melalui UU No. 30...

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

LAPORAN PENELITIAN

Tafsir Konstitusional Dalam Pengujian Undang-Undang

tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Tim Peneliti

Ketua Tim : Bisariyadi 19790103 200604 1 003

Anggota : Putria Gusti Asih 19840616 201012 2 002

Abdul Ghoffar 19800701 200712 1 001

PUSAT PENELITIAN, PENGKAJIAN PERKARA DAN PENGELOLAAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

JAKARTA 2013

D A F T A R I S I

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Tujuan Penelitian 5

D. Manfaat Penelitian 5

E. Pembatasan Pengertian (Kerangka Pemikiran) 5

1. Tafsir Konstitusi 5

2. Sifat dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi 7

3. Tindak Pidana Korupsi 9

F. Metodologi Penelitian 12

G. Sistematika Penelitian 13

BAB II PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DI MAHKAMAH KONSTITUSI 15

A. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Norma

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 18

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 18

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 29

B. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Tetap Memberlakukan

Norma Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 33

1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-X/2012 33

2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-X/2012 36

3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 39

BAB III ANALISA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 43

A. Kontroversi Dihapuskannya Elemen “Sifat Melawan Hukum Secara

Materiil” 43

B. Penguatan Kelembagaan KPK Melalui Pemilihan Pimpinan Lembaga 59

C. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 75

BAB IV KESIMPULAN 108

ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah korupsi tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, terutama

media massa lokal dan nasional. Pada dasarnya, korupsi adalah suatu pelanggaran

hukum yang kini telah menjadi suatu kebiasaan. Kata korupsi berasal dari Bahasa

Latin, corruptio yang berarti kemerosotan moral, perilaku jahat, kebusukan atau

kebobrokan (moral decay, wicked behaviour, putridity or rottenness).1 Lazimnya

korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan

pribadi, namun karena makin meluasnya swastanisasi diberbagai bidang, definisi

tersebut dirumuskan oleh Transparancy International secara luas menjadi abuse of

entrusted power for private gain. Dengan demikian korupsi adalah penyalahgunaan

kekuasaan yang diberikan, baik di sektor publik maupun di sektor swasta untuk

keuntungan pribadi yang tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang

menyalahgunakan kekuasaan tersebut, tetapi juga bagi anggota keluarganya dan

teman-temannya.2

Korupsi bukan hanya merupakan permasalahan moral tetapi juga permasalahan

multidimensional (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) yang menyebabkan banyak

ekses negatif. Dalam area politik, korupsi melemahkan nilai demokrasi dan good

governance dengan mengancam proses formal serta menghilangkan kepercayaan

1 Corruption and Human Rights: Making the Connection, International Council on Human Rights Policy, Versoix, Switzerland, 2009, hlm. 15.

2 Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 2 dan 6.

terhadap pemerintah yang terpilih. Dalam pemilihan umum dan dalam badan

legislative, Korupsi juga mengurangi akuntabilitas dan reperesentasi dalam

pembuatan kebijakan. Sementara dalam bidang peradilan, korupsi menghambat the

rule of law. Sedangkan dalam bidang administrasi publik, korupsi menghasilkan

perbedaan perlakuan dalam pelayanan.3 Tidak hanya itu, dalam bidang ekonomi,

korupsi ditenggarai sebagai salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi

suatu negara. Bahkan beberapa penelitian mengatakan bahwa korupsi dianggap

melanggar HAM dan merupakan faktor yang secara tidak langsung menyebabkan

kemiskinan karena menghambat pembangunan ekonomi.

Penyebab terjadinya korupsipun bermacam-macam, antara lain masalah ekonomi,

yaitu rendahnya penghasilan yang diperoleh jika dibandingkan dengan kebutuhan

hidup dan gaya hidup yang konsumtif, budaya memberi tips (uang pelicin), budaya

malu yang rendah, sanksi hukum lemah yang tidak mampu menimbulkan efek jera,

penerapan hukum yang tidak konsisten dari institusi penegak hukum, dan

kurangnya pengawasan hukum.

Maraknya korupsi di Indonesia seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi

budaya. Berdasarkan data Transparency International Indonesia, kasus korupsi di

Indonesia belum teratasi dengan baik. Indonesia menempati peringkat ke-100 dari

183 negara pada tahun 2011 dalam Indeks Persepsi Korupsi. Dalam upaya

pemberantasan korupsi, diperlukan kerja sama semua pihak maupun semua

elemen masyarakat, tidak hanya institusi terkait saja. Beberapa institusi yang diberi

kewenangan untuk memberantas korupsi, antara lain Komisi Pemberantasan

3 A Handbook on Fighting Corruption, Technical Publication Series, Center for Democracy and Governance USAID, Washington, D.C., 1999, hlm. 5.

2

Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan dan lembaga peradilan. Adanya KPK

merupakan salah satu langkah berani pemerintah dalam usaha pemberantasan

korupsi di Indonesia.

KPK dibentuk melalui UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan

memberantas korupsi yakni pembentukan KPK merupakan langkah positif yang

dilakukan oleh pemerintah dan DPR sehingga kejahatan korupsi ini kembali ditakuti

olek koruptor yang semenjak dekade silam penegakan hukum mengalami krisis.

Dalam menangani kasus korupsi, yang harus disoroti adalah oknum pelaku dan

hukum. Kasus korupsi dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab

sehingga membawa dampak buruk pada nama instansi hingga pada pemerintah

dan negara. Hukum bertujuan untuk mengatur, dan tiap badan di pemerintahan

telah memiliki kewenangan hukum sesuai dengan perundangan yang ada. Namun,

banyak terjadi tumpang tindih kewenangan yang diakibatkan oleh banyaknya

campur tangan politik buruk yang dibawa oleh oknum perorangan maupun instansi.

Masalah lain dalam upaya pemberantasan korupsi adalah mengenai legal

substance. Peraturan perundang-undangan terkait dengan pemberantasan tindak

pidana korupsi terkadang juga memberikan kelemahan-kelamahan terjadinya

korupsi. Sebab UU dibuat atas dasar pertarungan kepentingan politik di Parlemen.

Perbedaan persepsi dan pandangan terhadap suatu norma dalam peraturan

perundang-undangan terkait korupsi dapat melemahkan upaya pemberantasan

korupsi. Di sinilah pentingnya sebuah lembaga negara yang berwenang menguji

konstitusionalitasnya dengan UUD 1945.

3

Berkaitan dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan

untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, telah memeriksa

23 permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan korupsi, yaitu

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tentag Perubahan Atas Undang-

undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini paling tidak Mahkamah telah menguji kurang

lebih 102 norma dalam undang-undang tentang korupsi. Dari 23 permohonan

pengujian undang-undang terkait korupsi tersebut, Mahkamah hanya mengabulkan

(atau mengabulkan sebagian) empat permohonan yang diajukan padanya. Lima

belas permohonan ditolak, dan sisanya tidak dapat diterima.

Oleh karena itulah, diperlukan sebuah penelitian yang mendalam mengenai

putusan-putusan pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sebagai

tafsir konstitusional terhadap norma dalam undang-undang pemberantasan tindak

pidana korupsi. Hal ini penting, meningat perkembangan hukum pemberantasan

korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari putusan-putusan MK khususnya

dalam pengujian undang-undang.

B. Rumusan Masalah

1. Perkara pengujian undang-undang terkait pemberantasan tindak pidana korupsi

apa saja yang telah diuji di Mahkamah Konstitusi dan bagaimana tafsir

Mahkamah Konstitusi terhadap norma yang diuji dalam pengujian undang-

undang tersebut?

4

2. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan

pembatalan norma dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak

pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui norma-norma yang masih dan tidak lagi berlaku berkaitan dengan

pengujian Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

sehubungan dengan pengujian Undang-Undang di Indonesia

2. Mengetahui kondisi (implementatif) pasca putusan Mahkamah Konstitusi dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan,

khususnya dalam hal tindak pidana korupsi. Selain itu, diharapkan juga bisa

bermafaat bagi para pemegang kebijakan politik hukum pemberantasan tindak

pidana korupsi di Indonesia serta dapat dijadikan sebagai referensi untuk

memperkaya wacana politik hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.

E. Pembatasan Pengertian (Kerangka Pemikiran)

1. Tafsir Konstitusi

Mahkamah Konstitusi lahir setelah era reformasi. Tepatnya setelah perubahan

tahap tiga UUD 1945. Melalui Pasal 24C lembaga ini diberikan 4 kewenangan, yaitu

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

5

menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga

negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai

politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan wajib

memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

Kewenangan MK melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD merupakan

salah satu kewenangan utama MK. Peran MK dalam judicial review menjadi penting

karena bagaimanapun, suatu undang-undang berdasarkan proses

pembentukannya adalah sebuah produk politik. Dalam konteks ini, fungsi judicial

review oleh MK bukan saja berperan penting dalam menjaga agar produk politik

tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi melainkan juga dalam pengertian

yang lebih luas yaitu menerjemahkan institusi dan kerangka hukum yang

demokratis ke dalam realitas.4 Kewenangan Mahkamah dalam hal pengujian

undang-undang ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan penafsiran

konstitusi.

Istilah ‘penafsiran konstitusi’ merupakan terjemahan dari constitutional

Interpretation yang berbeda dengan ‘interpretation of statutes’ Penafsiran konstitusi

merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam

konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the Basic Law.

Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini adalah penafsiran yang digunakan

sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding) berdasarkan

konstitusi atau undangundang dasar yang digunakan atau berkembang dalam

4 Violaine Autherman dan Keith Henderson, dalam I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitetaraan MKRI, 2008, hlm 14.

6

praktik peradilan MK. Metode penafsiran diperlukan karena peraturan perundang-

undangan tidak seluruhnya dapat disusun dalam bentuk yang jelas dan tidak

membuka penafsiran lagi.5

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode

interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut: (1)

interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa; (2) interpretasi teleologis

atau sosiologis; (3) interpretasi sistematis atau logis; (4) interpretasi historis; (5)

interpretasi komparatif atau perbandingan; (6) interpretasi futuristis.6

Dalam praktik peradilan, metode interpretasi konstitusi yang satu dapat digunakan

oleh hakim bersama-sama dengan metode penafsiran konstitusi yang lainnya.

Tidak ada keharusan bagi hakim hanya boleh memilih dan menggunakan satu

metode interpretasi konstitusi tertentu saja. Hakim memiliki kebebasan untuk

memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran konstitusi mana yang

diyakininya benar. Dengan demikian hakim memiliki kebebasan yang otonom untuk

memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran atau interpretasi itu.

2. Sifat dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Dalam lingkungan pengadilan, penggunaan istilah “putusan” dibandingkan dengan

“keputusan” untuk menunjuk pada produk hukum hakim yang dikeluarkan setelah

melalui proses peradilan lebih lazim digunakan. Istilah tersebut dirasa lebih tepat

digunakan mengingat sifat kekhususan lembaga peradilan dibandingkan sifat

5 http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/11/Penafsiran-Konstitusi.pdf 6Ibid.

7

pekerjaan lembaga-lembaga negara lainya.7 Putusan peradilan pada dasarnya

merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri

sengketa yang dihadapkan kepadanya.8

Berbeda dengan putusan peradilan yang berada dalam lingkup peradilan

Mahkamah Agung, Putusan peradilan konstitusi (MK) dalam konteks pengujian

undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar pada dasarnya menguji

konsistensi dan koherensi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya

terhadap UUD 1945. Putusan MK tentang pengujian suatu undang-undang

terhadap UUD adalah merupakan sebuah produk hukum hakim konstitusi, yang

dapat menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian atau bahkan

keseluruhan dari undang-undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pada dasarnya putusan yang dijatuhkan MK bersifat erga omnes. Hal ini terkait

dengan hakikat perkara yang diadili oleh MK. Objek putusan MK biasanya

menyangkut kepentingan bersama dan semua orang. Dalam pengujian undang-

undang misalnya, dimana UU sendiri mengikat secara umum kepada semua warga

negara, sehingga dengan dinyatakan tidak mengikatnya UU tersebut, maka

kekuatan hukum mengikat putusan tidak hanya berlaku terhadap pemohon, tetapi

juga terhadap semua warga negara.9 Selain itu putusan MK bersifat final dan

7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, 2005), hal. 278.

8 Maruarar Siahan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2010), hlm. 78. 9 Erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi kewajiban dan hak terhadap semua. Sebagai

contoh sebuah hak kepemilikan adalah sebuah hak erga omnes, dan karena itu dilaksanakan terhadap siapa pun yang melanggar hak itu. Sebuah hak erga omnes (a statutory right/ hak undang- undang) di sini dapat dibedakan dari hak yang timbul berdasarkan kontrak, yang hanya dilaksanakan terhadap pihak yang membuat kontrak (inter partes). Miftakhul huda, Erga Omnes, Majalah Konstitusi No. 45-Oktober 2010.

8

mengikat. Hal ini jelas dinyatakan dalam ketentuan pasal 24C ayat 1 UUD 1945.

Final, bermakna bahwa sejak dibacakan dalam persidangan, putusan MK

mempunyai kekuatan hukum tetap, sekaligus mengikat untuk dilaksanakan.

Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat

declaratoir, condemnatoir dan constitutif. Sifat putusan condemnatoir ini dapat

dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sedangkan

Putusan yang bersifat declaratoir nampak jelas dalam amar putusan pengujian

undangundang oleh MK. Lebih lanjut Maruar Siahaan, mengatakan bahwa setiap

putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-

undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat

constitutief. Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945 adalah meniadakan keadaan

hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Sehingga Putusan MK dalam pengujian undang-undang

bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan

hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. 10

3. Tindak Pidana Korupsi

Penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi oleh ahli hukum berbeda-beda.

Ahli hukum memiliki penafsiran sendiri yang dimana penafsiran dari defenisi atau

10 Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap penggugat/termohon. Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Maruarar Siahan, Ibid. hlm. 240 – 242.

9

pengertian korupsi mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Tidak hanya ahli

hukum yang memiliki penafsiran yang berbeda terhadap defenisi ataupun

pengertian korupsi, Undang-undang Tindak Pidana Korupsi memiliki penafsiran

yang berbeda-beda dalam menafsirkan dari defenisi atau pengertian korupsi. Ada

beberapa penafsiran dari defenisi atau pengertian korupsi oleh beberapa ahli dan

Undang-Undang.

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “Coruptio” atau “Corruptus” yang berarti

kerusakan atau kebobrokan,atau dengan kata lain “Corruptio” juga berarti

perbuatan yang tidak baik, buruk curang, dapat disuap, tidak bermoral,

menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental, dan

hukum.11 Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku yang menguntungkan

kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, yang dilakukan oleh para

pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum, sedangkan

menurut norma-norma pemerintah adalah apabila hukum dilanggar atau apabila

melakukan tindakan tercela dalam bisnis.

Korupsi dalam Kamus Ilmiah populer mengandung pengertian kecurangan,

penyelewengan/penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan sendiri,

pemalsuan.Yang menjadi landasan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia

saat ini adalah: (a) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20

Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi; (b) Undang-Undang No. 28 Tahun

1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme; (c) Peraturan Pemerintah Tentang Tata Cara Pelaksanaan

11 IGM. Nurdjana. 2005. Korupsi Dalam Praktek Bisnis Pemberdayaan Penegak Hukum, Program Aksi dan Strategi Penanggulangan Masalah Korupsi.. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, halaman 7-8. 35 Ibid., halaman 8. 36 Partantanto.P.A., Al Barry, M.D. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, halaman 375. 37 IGM. Nurdjana, Op.,Cit., halaman 10.

10

Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan (d) Undang-Undang No. 30 Tahun

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tindak Pidana Korupsi menurut UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001

mencakup perbuatan-perbuatan sebagai berikut: secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 UU

No. 31 Tahun 1999). Undang-undang tersebut juga melarang orang yang dengan

tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara (Pasal 3 UU No. 31 tahun 1999); memberi atau menjanjikan

sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud

supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak

berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau

berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan

atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 UU No. 20 Tahun 2001).

Korupsi bukan hanya masalah Indonesia, tetapi sudah menjadi masalah seluruh

bangsa. Oleh sebab itu lahirlah United Nation Convention Against Corruption

(UNCAC) dimana Indonesia sudah meratifikasi dengan Undang-Undang No. 7

Tahun 2006. Beberapa Pengertian Korupsi berdasarkan UNCAC itu antara lain

adalah: (a) Penyuapan, Janji, tawaran, atau pemberian kepada pejabat

11

publik/swasta, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik/swasta/

internasional, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya

untuk pejabat itu sendiri atau orang atau badan lain yang ditujukan agar pejabat itu

bertindak atau berhenti bertindak dalam pelaksanaan tugas-tugas resmi mereka

untuk memperoleh keuntungan dari tindakan tersebut; (b) Penggelapan,

penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik/swasta/internasional;

(c) Memperkaya diri sendiri dengan tidak sah.

F. Metodologi Penelitian

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini,

digunakan metode penelitian yuridis Normatif (hukum normatif), dengan

pendekatan pendekatan yuridis (pendekatan perundang-undangan),12 pendekatan

historis13 dan berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi permasalahan yang ada.

Pendekatan yuridis akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum

primer,14 bahan hukum sekunder15 dan bahan hukum tersier.16 Sumber Data/

Bahan Hukum Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data data

primer (primary data) dan sekunder (secondary data). Studi Kepustakaan terhadap

data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan, yaitu dengan

12 Peter Mahmud Marzuki menggunakan istilah pendekatan undang-undang (statute approach). Menurutnya, statute approach dilakukan untuk menelaah semuah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dengan undang-undang dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 93.

13 Pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Ibid., hal. 94.

14 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hokum yang mengikat, berupa; norma/kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, dan lain sebagainya. Valerine J.L. Kriekhof, dkk., “Metode Penelitian Hukum (Seri Buku Ajar),” Buku A, (Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal. 27.

15 Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, yang berupa; buku, skripsi, thesis, dan lain-lain. Ibid, hal. 28.

16 Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder atau disebut juga sebagai bahan penunjang, yang berupa; Kamus, Eksiklopedi, Indeks, dan lain-lain. Ibid.

12

mencari dan mengumpulkan serta mengkaji peraturan perundang-undangan,

rancangan undang-undang, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan,

rancangan undang-undang, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan

makalah seminar yang berhubungan dengan Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Teknik Analisis Data Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari

penelitian lapangan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif

kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data

yang diperoleh dari penelitian pustaka mengenai, teori-teori, asas-asas, dan kaidah-

kaidah hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan.

G. Sistematika Penelitian

Adapun kerangka penelitian ini sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

H. Latar Belakang Masalah

I. Rumusan Masalah

J. Tujuan Penelitian

K. Manfaat Penelitian

L. Pembatasan Pengertian (Kerangka Pemikiran)

4. Tafsir Konstitusi

5. Sifat dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi

6. Tindak Pidana Korupsi

M. Metodologi Penelitian

13

N. Sistematika Penelitian

BAB II PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK

PIDANA KORUPSI DI MAHKAMAH KONSTITUSI

C. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Membatalkan Norma Undang-

Undang Tindak Pidana Korupsi

1. PUTUSAN NOMOR 003/PUU-IV/2006

2. PUTUSAN NOMOR 5/PUU-IX/2011

D. Beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Tetap Memberlakukan Norma

Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

4. PUTUSAN 39/PUU-X/2012

5. PUTUSAN 81/PUU-X/2012

6. PUTUSAN 31/PUU-X/2012

BAB III ANALISA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

D. Kontroversi Dihapuskannya Elemen “Sifat Melawan Hukum Secara Materiil”

E. Penguatan Kelembagaan KPK Melalui Pemilihan Pimpinan Lembaga

F. Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

BAB IV KESIMPULAN

14

BAB II

PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI

DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Sudah menjadi pemahaman umum bahwa korupsi adalah kejahatan yang dimasukkan

dalam dikategorikan tindak pidana “luar biasa”. Disebut luar biasa karena umumnya

dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan stakeholder di suatu

daerah, termasuk melibatkan aparat penegak hukum, dan punya dampak “merusak”

dalam spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang menjadikan pemberantasan korupsi

semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum biasa, terlebih jika

korupsi sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek dan lapisan masyarakat.17

Oleh karenanya diperlukan sebuah lembaga penegak hukum yang tidak biasa untuk

menangani persoalan tersebut. di sinilah peran penting dari Komisi Pemberantasan

Korupsi dibentuk pada tahun 2003 melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui UU tersebut, lembaga ini

diberikan kewenangan yang sangat besar dibandingkan dengan lembaga penegak

hukum sejenis, maka tidak heran jika KPK dijuluki lembaga superbody.

Kalau dirunut dari sejarah pembentukan KPK, lembaga ini lahir tidak terlepas dari politik

hukum pada masa itu, yaitu adanya delegitimasi lembaga penegak hukum yang telah

ada. Lembaga kepolisian dan kejaksaan kehilangan kepercayaan dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi. Kepolisian dan kejaksaan dinilai gagal dalam

17 Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya dan Tanzania), hlm. 5. Diambil dari acch.kpk.go.id/.../Komisi-Anti-Korupsi-di-Luar-Neger..., pada tanggal 22 Oktober 2013.

15

memberantas korupsi. Dalam rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat

terhadap penegakan hukum maka pemerintah membentuk KPK sebagai sebuah

lembaga negara baru yang diharapkan dapat mengembalikan citra penegakan hukum

di Indonesia. Tingginya beban kerja lembaga yang telah ada sehingga diperlukan

lembaga baru sebagai pelengkap. Demi tercapainya pelayanan publik yang optimal

bagi masyarakat, maka pemerintah memandang perlu untuk membentuk lembaga baru,

dalam hal ini beban kerja kepolisian dan kejaksaan dianggap terlalu banyak sehingga

banyak terjadi tunggakan perkara.18

Sebagai langkah penyesuaian negara terhadap perkembangan sistem ketatanegaraan

dan tuntutan masyarakat perubahan sistem ketatanegaraan RI memaksa negara

melakukan reformasi dalam berbagai lini, termasuk reformasi kelembagaan. Beberapa

lembaga Non Struktural dibentuk untuk mengakomodir hal ini, termasuk penegakan

supremasi hukum, perbaikan citra pengadilan. Perkembangan kewenangan bidang

pemerintahan tertentu yang diselenggarakan oleh organisasi pemerintahan yang

semakin kompleks, sehingga tidak dimungkinkan lagi dikelola secara regular dalam

organisasi yang bersangkutan. Dalam rangka menerapkan tata kelola pemerintahan

yang baik (good governance). Timbul pemikiran bahwa dengan dibentuknya lembaga-

lembaga tambahan yang bersifat non struktural akan lebih membuka peluang dalam

upaya menerapkan prinsip-prinsip good governance. Perlu disadari bahwa

pembentukan KPK beranjak dari asumsi bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia

18 Fitria, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Sebagai Lembaga Negara Penunjang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, diambil dari jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/.../976‎, pada tanggal 22 Oktober 2013.

16

dianggap sebagai kejahatan luar biasa sehingga dibutuhkan lembaga yang luar biasa

dengan kewenangan yang luar biasa pula.19

Salah satu lembaga negara yang dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini dibentuk sebagai salah satu bagian

agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam

pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.20 Meski demikian, lembaga Komisi

Pemberantasan Korupsi tidak masuk dalam UUD 194 .

Menurut Jimly Assiddiqie, lembaga-lembaga seperti KPK meski tidak secara eksplisit

disebut keberadaannya dalam UUD 1945, namun sejalan dengan prinsip Negara

Hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, lembaga-lembaga negara

tersebut tetap dapat disebut memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum

tatanegara (constitutional law). Apalagi, secara konstitusional keberadaanya dapat

dilacak berdasarkan perintah implisit ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 sendiri

yang menyatakan, “Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dalam undang-undang”. Oleh karena itu, lembaga-lembaga penegak

hukum yang dibentuk berdasarkan undang-undang, baik KPK maupun Kejaksaan,

dapat disebut memiliki “constitutional importance” sebagai lembaga-lembaga

konstitusional di luar UUD 1945.21

Lagi pula, kata Jimly Assiddiqie, seperti dikemukakan oleh A. V. Dicey22 ataupun C. F.

Strong, “constitutional law” itu sendiri tidak hanya bersumber pada hukum konstitusi

yang tertulis, tetapi juga berdasarkan berdasarkan konstitusi yang tidak tertulis. Yang

19 Ibid. 20 Ibid., hlm. 2. 21Jimly assiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD 1945, Diambil dari www.jimly.com. Pada

tanggal 22 oktober 2013. 22 Albert Venn Dicey, The Laws of the Constitution, (ed. E.C.S. Wade), 10th edition, 1959.

17

dimaksud dengan “the laws of the constitution” dalam arti yang tertulispun tidak hanya

menyangkut teks undang-undang dasar, tetapi juga undang-undang tertulis juga dapat

menjadi sumber dalam hukum tatanegara (the sources of constitutional law)23. Oleh

karena itu, lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan

Komnasham, meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam UUD 1945, kedudukannya

tetap memiliki “constitutional importance” yang sama pentingnya dengan Kepolisian

Negara (POLRI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kedudukan dan

kewenangannya secara khusus diatur dalam Pasal 30 UUD 1945.24

Oleh karenanya tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih penting

daripada Kejaksaan Agung atau KPK hanya karena ketentuan mengenai Kepolisian

tercantum dalam UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dan

KPK sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Disinilah letak

pentingnya ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang membuka ruang bagi diakuinya

“badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman [yang]

diatur dalam undang-undang” sebagai lembaga-lembaga yang juga memiliki

“constitutional importance” seperti lembaga-lembaga lain yang keberadaannya disebut

secara eksplisit dalam UUD 1945.25

A. BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MEMBATALKAN NORMA

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

1. PUTUSAN NOMOR 003/PUU-IV/2006

23 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cetakan ke-2, Konpres, Jakarta, 2005. 24 Ibid. 25 Ibid.

18

Dalam permohonan ini, Pemohon terdakwa tindak pidana korupsi sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam:

1. Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 55 ayat (1)

ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana”;

2. Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf a, b UU PTPK jo. Pasal 64 ayat (1)

KUHPidana”.

Menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3,

Penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) UU

PTPK tersebut sangat bertentangan dengan atau melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD

1945. Dalam hal ini kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-

Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai pengertian ganda. Pasal-

pasal yang dimohonkan untuk diuji secara lengkap berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (1) UU PTPK:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).”

Penjelasan Pasal 2 ayat (1):

“Yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam Pasal ini mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni

19

meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,

namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela, karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat,

maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat"

sebelum frasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan

bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana

korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan,

bukan dengan timbulnya akibat.”

b. Pasal 3 UU PTPK:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh

tahun) dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan

paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Penjelasan Pasal 3 UU PTPK:

”Kata “dapat” dalam ketentuan tersebut diartikan sama dalam dengan

Penjelasan Pasal 2”

Dengan demikian, menurut Pemohon adanya kata “dapat” pada kedua pasal

tersebut, baik pada Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU PTPK, mengakibatkan adanya

2 (dua) jenis tindak pidana korupsi yang terdapat di masing-masing pasal, yaitu:

20

a. Suatu tindak pidana korupsi yang telah merugikan negara (kerugian negara sudah terjadi

secara riil dan nyata).

b. Suatu tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara (kerugian negara tidak terjadi).

Kedua tindak pidana korupsi tersebut menimbulkan akibat yang sangat berbeda dan

bahkan sangat bertolak belakang, sehingga seharusnya kedua tindak pidana tersebut

tidak boleh digabung dalam satu pasal, melainkan dibuat dalam pasal yang terpisah

dan berdiri sendiri-sendiri. Dengan digabungkannya kedua tindak pidana dalam satu

pasal menyebabkan kedua tindak pidana berbeda (yang merugikan negara dengan

yang tidak merugikan negara) diancam dengan hukuman yang sama. Seharusnya

besarnya ancaman hukuman terhadap tindak pidana korupsi tersebut harus dibedakan

antara satu dengan yang lain. Artinya, terhadap tindak pidana korupsi yang telah

merugikan negara, ancaman hukumannya lebih berat dibandingkan dengan tindak

pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pemohon juga menguji Pasal 15 UU PTPK menyebutkan, “Setiap orang yang

melakukan percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak

pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.

Dalam kaitannya dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK, maka untuk

percobaan tindak pidana korupsi dalam kedua pasal tersebut disamakan ancaman

hukumannya, baik kepada tindak pidana korupsi yang telah nyata- nyata merugikan

negara maupun kepada tindak pidana korupsi yang tidak merugikan negara.

Ketentuan yang menyamakan ancaman hukuman tersebut, secara jelas telah

menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi siapa saja yang dikenakan

21

dengan ancaman hukuman yang demikian, karena percobaan tindak pidana korupsi

dapat dihukum berat dan dimungkinkan dijatuhi pidana penjara lebih berat dari tindak

pidana (pokok) korupsi itu sendiri. Padahal dalam percobaan tindak tindak pidana

korupsi, perbuatannya sendiri belumlah selesai, apalagi akibatnya belum ada sama

sekali.

Dengan demikian jelas bahwa, selain menimbulkan berbagai penafsiran (multi tafsir),

Pasal 2 ayat (1), Penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, dan

Pasal 15 (sepanjang mengenai kata “percobaan”) UU PTPK, bertentangan atau

melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 khususnya anak kalimat “kepastian hukum

yang adil”.

Dalam permohonan ini, Pemohon juga memohon putusan provisi berupa penghentian

sementara pemeriksaan atas diri Pemohon sebagai Terdakwa di Pengadilan Negeri

Jakarta Timur dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dalam registrasi

perkara Nomor 36/Pid/B/2006/ PN.JKT.TIM atau membuat rekomendasi yang

diperlukan yang sifatnya mengikat kepada lembaga negara lain yang terkait, yaitu

Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta

Timur melalui Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, untuk menangguhkan sementara proses

persidangan sampai adanya putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan ini. Hal

yang mendasari permohonan provisi tersebut adalah jika ternyata Mahkamah

mengabulkan permohonan ini, maka dasar dari Jaksa Penuntut Umum dan Majelis

Hakim untuk menuntut dan mengadili Terdakwa di pengadilan akan menjadi hilang.

Akan tetapi Putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengikat ke depan (prospektif).

22

Sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak akan mengikat terhadap

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Terhadap permohonan ini, Mahkamah berpendapat bahwa pemahaman kata “dapat”

dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK menyebabkan perbuatan yang akan

dituntut di depan pengadilan, bukan saja karena perbuatan tersebut “merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara secara nyata”, akan tetapi hanya “dapat”

menimbulkan kerugian saja pun sebagai kemungkinan atau potential loss, jika unsur

perbuatan tindak pidana korupsi dipenuhi, sudah dapat diajukan ke depan pengadilan.

Kata “dapat” tersebut harus dinilai pengertiannya menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1)

tersebut di atas, yang menyatakan bahwa kata ”dapat” tersebut sebelum frasa

”merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, menunjukkan bahwa tindak

pidana tersebut merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi, cukup

dengan dipenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya

akibat. Karena itu Mahkamah dapat menerima penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang

menyangkut kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara”.

Selanjutnya Mahkamah berpendapat, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana

korupsi, terutama yang berskala besar, sangatlah sulit untuk dibuktikan secara

tepat dan akurat. Ketepatan yang dituntut sedemikian rupa, akan menimbulkan

keraguan, apakah jika satu angka jumlah kerugian diajukan dan tidak selalu dapat

dibuktikan secara akurat, namun kerugian telah terjadi, akan berakibat pada terbukti

tidaknya perbuatan yang didakwakan. Hal demikian telah mendorong antisipasi atas

akurasi kesempurnaan pembuktian, sehingga menyebabkan dianggap perlu

23

mempermudah beban pembuktian tersebut. Dalam hal tidak dapat diajukan bukti akurat

atas jumlah kerugian nyata atau perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa

bahwa kerugian negara dapat terjadi, telah dipandang cukup untuk menuntut dan

memidana pelaku, sepanjang unsur dakwaan lain berupa unsur memperkaya diri atau

orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum (wederrechtelijk) telah

terbukti. Karena, tindak pidana korupsi digolongkan oleh undang-undang a quo sebagai

delik formil. Dengan demikian, kategori tindak pidana korupsi digolongkan sebagai delik

formil, di mana unsur-unsur perbuatan harus telah dipenuhi.

Hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang

bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena,

keberadaan kata ”dapat” sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya

ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana

korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat

dijatuhi pidana.

Asas kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam melindungi hak seseorang, hubungan

kata “dapat” dengan “merugikan keuangan negara” tergambarkan dalam dua

hubungan yang ekstrim: (1) nyata-nyata merugikan negara atau (2) kemungkinan

dapat menimbulkan kerugian. Hal yang terakhir ini lebih dekat dengan maksud

mengkualifikasikan delik korupsi menjadi delik formil. Di antara dua hubungan tersebut

sebenarnya masih ada hubungan yang ”belum nyata terjadi”, tetapi dengan

mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret di sekitar peristiwa yang terjadi,

secara logis dapat disimpulkan bahwa suatu akibat yaitu kerugian negara akan terjadi.

Untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret sekitar peristiwa yang terjadi,

24

yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak terjadi, haruslah

dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli dalam

analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian.

Dengan adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa

“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, kemudian

mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau

perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi, Mahkamah

berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus

dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum

terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Faktor

kerugian, baik secara nyata atau berupa kemungkinan, dilihat sebagai hal yang

memberatkan atau meringankan dalam penjatuhan pidana, sebagaimana diuraikan

dalam Penjelasan Pasal 4, bahwa pengembalian kerugian negara hanya dapat

dipandang sebagai faktor yang meringankan. Oleh karenanya persoalan kata ”dapat”

dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam

praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma;

Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa frasa ”dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara”, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian

hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,

sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally

constitutional).

Mengenai unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid) dalam Penjelasan Pasal 2 ayat

(1) UU PTPK yang tidak hanya mencakup formele wederrechtelijkheid melainkan juga

25

materiele wederrechtelijkheid, sehingga meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan secara formil, yaitu dalam pengertian yang bersifat

onwetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat, yaitu

norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela

menurut norma sosial tersebut, di mana perbuatan tersebut dipandang telah melanggar

kepatutan, kehati-hatian dan keharusan yang dianut dalam hubungan orang-perorang

dalam masyarakat maka dipandang bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur

melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang dipergunakan dalam hal ini adalah

hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rechtsgevoel), norma kesusilaan

atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah cukup untuk

menjadi kriteria satu perbuatan tersebut merupakan tindakan yang melawan hukum,

meskipun hanya dilihat secara materiil.

Dengan demikian Penjelasan dari pembuat undang-undang ini sesungguhnya bukan

hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1) tentang unsur melawan hukum, melainkan telah

melahirkan norma baru, yang memuat digunakannya ukuran-ukuran yang tidak

tertulis dalam undang-undang secara formal untuk menentukan perbuatan yang dapat

dipidana. Penjelasan yang demikian telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan

hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang

dikembangkan sebagai jurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum

dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan yang

memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang

berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di

26

satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi

bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum;

Padahal penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak

boleh: 1) mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan; 2)

Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan

lebih lanjut 3) Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan

terselubung terhadap ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan.

Merujuk pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengakui dan melindungi hak

konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan hukum yang

pasti, yang dalam bidang hukum pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang

dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan satu tuntutan

akan kepastian hukum di mana orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar suatu

peraturan perundang-undangan yang tertulis (lex scripta) yang telah lebih dahulu ada.

Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum,

yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan perbuatan apa

atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga

karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege

stricta;

Sehingga menurut Mahkamah, konsep melawan hukum materiil (materiele

wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan,

kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma

keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu

lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang

27

melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai

sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam

kehidupan masyarakat setempat. Oleh karenanya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU

PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan

dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD

1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang

mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini

mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti

materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-

undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka

perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;

Mengenai delik percobaan dalam Pasal 15 UU PTPK yang ancaman pidananya

disamakan dengan delik yang telah selesai (voltoid delict), Mahkamah berpendapat

bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan,

karena hal ini merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan

oleh sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP yang

berbunyi, “Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini

juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan

yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Rumusan Pasal 15 UU PTPK, merupakan pencerminan legal policy pembentuk

undang- undang, yang dapat dibenarkan, mengingat praktik tindak pidana korupsi di

28

Indonesia telah berlangsung secara meluas dan sistematis, sehingga dibutuhkan cara-

cara yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.

Dengan demikian dalam permohonan ini, Mahkamah mengabulkan hanya sepanjang

menyangkut permohonan atas Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sepanjang frasa yang berbunyi,

”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan

melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan

tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan

tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma

kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”

bertentangan dengan UUD 1945;

2. PUTUSAN NOMOR 5/PUU-IX/2011

Dalam permohonan ini Para Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan

kejelasan tafsir masa jabatan pimpinan KPK pengganti dikaitkan dengan penerapan

Pasal 34 UU 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Permohonan ini diajukan Para Pemohon terkait dengan masa jabatan Busyro

Muqaddas yang pada saat itu telah dipilih oleh Komisi III DPR RI menggantikan

Antasari Azhar. DPR saat itu beranggapan bahwa masa jabatan Busyro sebagai

29

pimpinan KPK pengganti adalah satu tahun saja, meneruskan sisa masa jabatan

pimpinan KPK yang digantikannya. Dalam hal ini Pemerintah dan DPR menyandarkan

tafsir masa jabatan pimpinan KPK pengganti pada Pasal 21 ayat (5) UU 30/2002 di

yang menyatakan bahwa Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial. Sehingga bila

dikaitkan dengan ketentuan Pasal 34, masa jabatan pimpinan pengganti KPK berakhir

secara bersamaan.

Menurut Para Pemohon penafsiran seperti itu berpotensi melanggar asas kemanfaatan

dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Seharusnya menurut

Para Pemohon ketentuan masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 UU

KPK harusnya berlaku tidak hanya terhadap pimpinan KPK akan tetapi juga kepada

pimpinan KPK pengganti. Hal itu sesuai dengan metode penafsiran sistematis, logis,

teleologis, dan analogis sebagaimana diuraikan dibawah ini:

− Masa jabatan Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU KPK,

tidaklah terkait dengan klausul bekerja secara kolektif sebagaimana ketentuan

Pasal 21 ayat (5) UU KPK. Penjelasan ketentuan Pasal 21 ayat (5) UU KPK

menerangkan bahwa yang dimaksud dengan frasa “bekerja secara kolektif” mengacu

pada mekanisme pengambilan keputusan oleh para Pimpinan KPK yang tidak tepat

jika disamakan dengan masa jabatan Pimpinan KPK secara kolektif.

− Pemaknaan Pasal 33 ayat (1) mengenai pimpinan KPK pengganti juncto Pasal 34

mengenai masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun, harus dilakukan sesuai

dengan tujuan dan fungsinya dalam menjawab kebutuhan masyarakat atas

pemberantasan tindak pidana korupsi. Pembatasan waktu bagi Pimpinan KPK

pengganti sepanjang waktu sisa Pimpinan KPK yang digantikannya hanya akan

30

menyebabkan ketidakefektifan pemberantasan korupsi karena pimpinan pengganti

tidak memiliki waktu yang cukup untuk merealisasikan visi dan misinya dalam

pemberantasan korupsi dan hanya akan mampu memenuhi formalitas pengisian

masa jabatan.

− Landasan pemikiran yang menyamakan masa jabatan Pimpinan KPK Pengganti

dengan masa jabatan anggota DPR pengganti dalam mekanisme pergantian

antarwaktu (PAW) adalah penafsiran keliru. Hal itu dikarenakan proses pergantian

anggota DPR melalui PAW berbeda dengan proses seleksi anggota DPR yang

masuk ke lembaga legislatif berdasarkan proses pemilihan umum langsung

berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 Sehingga

pergantian tersebut menyebabkan masa jabatan anggota DPR yang masuk

malalui mekanisme PAW hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari anggota DPR

yang digantikannya.

Dengan demikian menurut para Pemohon, UU KPK sama sekali tidak membedakan

masa jabatan Pimpinan KPK yang dipilih terlebih dahulu dengan masa jabatan

Pimpinan KPK yang digantikan, yakni sama-sama mempunyai masa jabatan empat

tahun.

Terhadap permohonan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa adanya perbedaan

penafsiran a n t a r a P a r a P e m o h o n d e n g a n D P R d a n P r e s i d e n

yang demikian menimbulkan persoalan konstitusional yang harus dinilai oleh

Mahkamah, yaitu penafsiran mana yang benar menurut konstitusi dalam rangka

menghormati, melindungi serta memenuhi prinsip kepastian hukum yang adil bagi

publik, bagi penyelenggara negara, bagi KPK, maupun bagi Pimpinan KPK yang

31

terpilih sebagai anggota pengganti Pimpinan KPK yang telah berhenti.

Menurut Mahkamah, penggantian anggota pimpinan KPK dan hakim konstitusi tidak

sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD yang tidak melalui

proses seleksi yang baru. Mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan

KPK dan hakim konstitusi pengganti dilakukan sama seperti mekanisme pemilihan dan

pengangkatan anggota pimpinan KPK dan hakim konstitusi yang diangkat secara

bersamaan pada awal periode. Oleh karena itu apabila masa jabatan anggota

pimpinan KPK dan hakim konstitusi pengganti hanya melanjutkan sisa masa jabatan

anggota pimpinan KPK dan hakim konstitusi yang digantikannya, maka dari segi biaya

dan waktu, hal tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan

bagi masyarakat dan bagi anggota pimpinan KPK maupun hakim konstitusi pengganti

itu sendiri.

Selanjutnya Mahkamah berpendapat bahwa anggota pimpinan KPK maupun hakim

konstitusi yang hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota pimpinan KPK atau

hakim konstitusi yang digantikannya tidak akan menjamin konsistensi dan

kesinambungan kinerja lembaga yang bersangkutan dalam melakukan tugas dan

wewenangnya. Penerapan pasal sisa masa jabatan pada anggota pimpinan KPK dan

hakim konstitusi pengganti menyebabkan dilanggarnya prinsip kepastian hukum yang

adil, prinsip proporsionalitas, prinsip perlakuan yang sama dihadapan hukum, prinsip

kemanfaatan, prinsip efisiensi dan kewajaran serta prinsip profesionalitas.

Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 34 UU KPK adalah

inkonstitusional secara bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang

tidak dimaknai “Pimpinan KPK baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara

32

bersamaan maupun bagi pimpinan pengganti yang menggantikan pimpinan yang

berhenti pada masa jabatannya adalah empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya

untuk sekali masa jabatan.” Selain itu dalam permohonan ini Mahkamah juga

mengesampingkan Pasal 47 UU MK26 menerapkan asas retroaktif yang berarti

putusan ini berlaku bagi Pimpinan KPK yang sudah terpilih dan menduduki Pimpinan

KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak terpilih.

E. BEBERAPA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG TETAP

MEMBERLAKUKAN NORMA UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

3. PUTUSAN 39/PUU-X/2012

Pemohon keberatan dengan pemberlakuan pidana minimal 4 (empat) tahun penjara

dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

Adanya ketentuan aquo mengakibatkan Pemohon harus dihukum dengan pidana

penjara selama 4 (empat) tahun. Selain itu ketentuan tersebut menurut Pemohon: 1)

memasung Hakim pada peradilan umum disatu sisi untuk menghukum seseorang

selama 4 (empat) tahun, tanpa mempertibangkan proporsi perbuatannya; 2) memasung

Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut seseorang dengan pidana penjara minimal 4

26 Pasal 47 UU MK berbunyi: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.” Alasan diterapkannya asas retroaktif dalam putusan ini adalah didasarkan atas asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum. Alasan yang mendasari penetapan retroaktif secara khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus” berlangsungnya satu penerapan isi undang-undang berdasar penafsiran yang salah sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional dan karenanya harus dihentikan. Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang salah tersebut, saat mana mulai timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional.

33

(empat) tahun, walaupun kualitas perbuatannya tidak sepadan; 3) memasung

seseorang untuk harus menjalani hukuman selama 4 (empat) tahun pidana penjara

walaupun tidak bersesuaian dengan perbuatannya.

Dengan demikian menurut Pemohon ketentuan tersebut melanggar hak konstitusional

Pemohon untuk diperlakukan secara adil dihadapan hukum dan kepentingannya

dilindungi sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, yakni setidak-

tidaknya mendapatkan kepastian hukum yang adil.

Terhadap permohonan ini, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun KUHPidana tidak

mengenal dan mengatur aturan pidana minimum khusus, namun bukan berarti aturan

pidana minimum khusus tidak diperbolehkan, karena KUHPidana sendiri dalam Pasal

103 menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini

juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan

lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu perkecualian untuk delik-

delik tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan atau meresahkan

masyarakat. Sebagai ukuran kuantitatif, dapat digunakan patokan bahwa delik-delik

yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun sajalah yang dapat diberi

ancaman minimum khusus, karena delik-delik itulah yang digolongkan “sangat

berbahaya”. Patokan ini dalam hal-hal tertentu dapat diturunkan pada delik-delik yang

tergolong “berat” (penjara 4 sampai 7 tahun). Adapun mengenai lamanya minimum

khusus disesuaikan dengan sifat, hakikat dan kualitas atau bobot delik yang

bersangkutan.

34

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan

ancaman pidana minimum khusus menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum

sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Pada dasarnya penetapan

atau pencantuman lamanya ancaman pidana, baik dalam bentuk pidana minimum

khusus maupun dalam bentuk pidana maksimum khusus merupakan kewenangan

pembentuk Undang-Undang. Frasa “... pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun”

dalam pasal yang dimohonkan pengujian merupakan opened legal policy pembentuk

Undang-Undang, yang tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari norma

konstitusi, karena tindak pidana korupsi di Indonesia termasuk tindak pidana yang luar

biasa (extraordinary crime) karena telah terjadi secara meluas dan sistematis yang

membahayakan sendi- sendi kehidupan negara, sehingga dibutuhkan cara-cara yang

luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.

Selain itu, pencantuman pidana minimum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999,

sebenarnya menekankan pada aspek pencegahan dan upaya shock therapy bagi

masyarakat luas yang didasarkan pada adanya keinginan kuat untuk mencegah

terjadinya tindak pidana korupsi yang telah sedemikian meluas dan sistematis, dan

memberikan peringatan kepada semua orang untuk tidak melakukan tindak pidana

korupsi, serta untuk mencegah terjadinya potensi kerugian negara baik secara kualitatif

maupun kuantitatif.

Unsur-unsur tindak pidana dari Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 dengan sengaja

dimaksudkan untuk menjangkau seluruh pelaku tindak pidana korupsi baik perbuatan

yang dilakukan perseorangan maupun oleh korporasi. Hal demikian dimaksudkan untuk

35

menimbulkan efek jera baik terhadap pelaku maupun terhadap seluruh warga

masyarakat. Terlepas dari berapa pun jumlah yang dikorupsi, asal telah memenuhi

unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 adalah merupakan tindak kejahatan yang

jelas merugikan kepentingan publik. Oleh karena itu, tidak relevan jika Pemohon

mengaitkan pidana yang dijatuhkan kepadanya dengan pidana yang dijatuhkan kepada

para pelaku tindak pidana lainnya, karena tindak pidana tersebut berbeda dengan

perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Pemohon. Dengan demikian,

frasa “pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun” dalam Pasal 2 ayat (1) UU

31/1999, sudah tepat, dan tidak dapat ditafsirkan lain selain bunyi frasa itu sendiri

karena salah satu sifat hukum pidana yang menuntut kepastian hukum.

4. PUTUSAN 81/PUU-X/2012

Dalam permohonan ini, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memberi

intreprestasi terhadap Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3),

dan (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (UU KPK). Hal ini dimohonkan terkait dengan dugaan korupsi Simulator

SIM yang dilakukan oleh pihak Kepolisian.

Menurut Pemohon, norma yang terkandung dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4)

serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU KPK merupakan norma yang tidak

mencerminkan asas ketertiban dan asas kepastian hukum. Norma tersebut juga

bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena KPK dibentuk berdasarkan

Pasal 2 UU KPK, sementara Kepolisian dinyatakan secara tegas dalam Pasal 30 ayat

(4) UUD 1945 dan Kejaksaan dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.

36

Sehingga secara kelembagaan Kepolisian dan Kejaksaan yang dibentuk berdasarkan

UUD 1945 lebih tinggi daripada KPK yang hanya dibentuk oleh Undang-Undang.

Lebih lanjut menurut Pemohon, KPK tidak boleh memiliki kewenangan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman termasuk

mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang

sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Kewenangan KPK yang seperti itu

selain tidak disebutkan dalam UUD 1945 juga akan bertentangan dengan Pasal 13

huruf b dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Kepolisian dan

Kejaksaan Republik Indonesia untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, juga

penuntutan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan KUHAP dan peraturan

perundang-undangan lainnya seperti yang termuat.

Dengan diberinya kewenangan kepada KPK sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1),

(2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU KPK, maka akan

menimbulkan kerusakan sistem hukum dan rusaknya sistem penyelenggaraan

pemerintahan dan tidak menutup kemungkinan dapat mengancam stabilitas nasional.

Selain itu, kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan atau penuntutan

terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau

kejaksaan yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4) serta Pasal 50 ayat (1),

(2), (3), dan (4) UU KPK menyebabkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga

penegak hukum dan konflik antar lembaga penegak hukum sehingga menimbulkan

keragu-raguan (multi tafsir) dan berpotensi melanggar kepastian hukum.

37

Terhadap permohonan ini, Mahkamah berpendapat bahwa baik Pembukaan dan

beberapa pasal UUD 1945 serta konsiderans Undang-Undang tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memiliki tujuan sejalan, yakni hendak

mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera yang terhambat karena

adanya tindak pidana korupsi, sehingga tindak pidana korupsi harus diberantas. Tindak

pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang pemberantasannya pun

harus dilakukan secara luar biasa. Oleh karena itu, institusi yang diberi kewenangan

untuk memberantasnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(selanjutnya disebut KPK) oleh Pasal 2 UU 30/2002, diberikan kewenangan luar biasa

dalam hal melakukan supervisi dan koordinasi dalam penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi. Bahkan KPK juga diberi kewenangan untuk

melakukan penyadapan pembicaraan seseorang dan tidak boleh mengeluarkan SP3.

Menurut Mahkamah, Pasal 8 UU 30/2002 sudah tertib dan memenuhi kepastian

hukum. Begitu juga dengan Pasal 50 UU 30/2002 yang sudah jelas maksudnya.

Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terjadinya dualisme dalam

penanganan tindak pidana korupsi yang oleh Pemohon didalilkan bahwa adanya

dualisme tersebut merugikan hak konstitusional advokat karena Pemohon

menghadapi ketidakpastian dan ketidakadilan dalam penanganan perkara korupsi,

menurut Mahkamah, meskipun terdapat dualisme namun keduanya tidaklah

tumpangtindih karena masing-masing institusi tetap dapat menjalankan

kewenangannya dan untuk menghilangkan ketidakpastian dan ketidakadilan tersebut

KPK diberikan kewenangan khusus untuk melakukan supervisi dan koordinasi.

38

Dalam kaitan ini, maka yang menjadi dasar adalah hubungan antara lex specialis dan

lex generalis.

5. PUTUSAN 31/PUU-X/2012

Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak

konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil dalam naungan negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat

(3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa dan dituntut berdasarkan Pasal

6 dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Dalam kasus Pemohon,

KPK mendasarkan kerugian negara yang dihitung oleh BPKP, padahal seharusnya

menurut Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, Badan yang bertugas dan berwenang

memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara serta menilai

dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara adalah BPK.

Bahwa kedudukan BPKP sebagai bagian dari Pemerintah, tidak lagi berfungsi dan

berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung-jawab keuangan negara serta

menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara. BPKP juga tidak berwenang

memeriksa indikasi penyimpangan yang merugikan negara yang dilakukan BUMN,

dan badan-badan lain yang di dalamnya terdapat kepentingan Pemerintah.

Seharusnya ketentuan Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 23E serta Pasal 28D

ayat (1) UUD 1945. Atau jika terdapat tafsir lain maka haruslah dinyatakan badan lain

itu dapat melakukan perhitungan, penilaian, dan penetapan kerugian negara,

39

apabila mendapatkan delegasi/mandat atau penugasan dari BPK sesuai dengan

ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang

BPK dan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Pemeriksa

dan/atau Tenaga Ahli dari Luar BPK.

Pemohon juga mengajukan Permohonan Provisi yang memohon agar Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan Sela yang memerintahkan Komisi

Pemberantasan Korupsi untuk menghentikan, atau menunda pengadilan perkara

dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Pemohon sebagai Terdakwa dan

mencabut, atau menunda pelaksanaan Surat Keputusan yang melarang Pemohon

bepergian ke luar negeri. Juga memohon agar putusan Mahkamah dapat diberlakukan

secara surut (retroaktif).

Terhadap permohonan provisi Pemohon, Mahkamah berpendapat permohonan

putusan provisi a quo tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan

pokok permohonan a quo dengan alasan: (i) dalam pengujian Undang-Undang (judicial

review), putusan Mahkamah hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus

konkret seperti memerintahkan KPK untuk menghentikan atau menunda pemeriksaan

perkara di Mahkamah Agung dan mencabut atau menunda berlakunya surat

pencegahan; (ii) putusan Mahkamah tentang norma dalam perkara Pengujian Undang-

Undang (judicial review) bersifat erga omnes; (iii) putusan Mahkamah bersifat

prospektif sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU MK serta Pasal 38 dan Pasal 39

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

Dalam Perkara Pengujian Undang- Undang; Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka

permohonan provisi Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

40

Terhadap pokok permohonan, Mahkamah berpendapat bahwa norma yang diuji oleh

Pemohon, yaitu Pasal 6 huruf a dan Penjelasan Pasal 6 UU KPK mengatur mengenai

tugas KPK untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 6 huruf a tersebut kemudian

dijabarkan lebih lanjut pada Pasal 7 UU KPK. Cakupan dan sifat dari tindak pidana

korupsi yang berkaitan dengan konsep “merugikan keuangan negara” serta berkaitan

dengan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang diterima karena

jabatan atau kedudukan pejabat pemerintahan sangat terkait dengan pelaksanaan

kekuasaan pemerintahan. Oleh karena itulah koordinasi dengan instansi lain

merupakan hal yang penting. Menurut Mahkamah, tugas koordinasi adalah tugas yang

seharusnya dimiliki KPK dalam rangka efektivitas pelaksanaan tugas pemberantasan

tindak pidana korupsi, sehingga fungsi yang demikian tidak dapat dianggap

bertentangan dengan konstitusi. Di dalam beberapa putusan Mahkamah telah

dinyatakan bahwa keberadaan KPK dengan semua fungsi dan wewenangnya adalah

konstitusional, sehingga setiap upaya koordinasi untuk mengefektifkan fungsi dan

wewenang tersebut adalah konstitusional.

Tugas dan kewenangan dari masing-masing instansi seperti BPKP dan BPK telah jelas

diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak perlu disebutkan lebih

lanjut dalam penjelasan UU KPK. KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan

BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan

dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar

temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta

bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan

41

itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari

perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan

kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang

ditanganinya.

Mengenai sah atau tidak sahnya LPHKKN yang digunakan oleh KPK sebagai dasar

penetapan penyidikan yang dibuat dan diterbitkan oleh BPKP tidak berkaitan langsung

dengan konstitusionalitas norma yang mengatur tugas KPK untuk berkoordinasi dengan

instansi-instansi lainnya. KPK sebagai salah satu pelaku dari sistem peradilan

korupsi memiliki kewenangan diskresioner untuk meminta dan menggunakan informasi

tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi atau pihak-

pihak lain yang terkait untuk kepentingan penyidikan. Mengenai terbukti atau tidak

terbuktinya kerugian negara yang disebutkan dalam LPHKKN atau sah-tidak sahnya

LPHKKN tersebut tetap merupakan wewenang mutlak dari hakim yang mengadilinya.

Dengan perkataan lain, walaupun KPK memiliki kewenangan diskresioner untuk

menggunakan informasi tentang kerugian negara dalam bentuk LPHKKN dari BPKP

atau BPK dalam penyidikan, digunakan atau tidaknya informasi tersebut dalam

pengambilan putusan merupakan kemerdekaan hakim yang mengadili perkara.

Penyebutan instansi BPKP maupun instansi lainnya dalam Penjelasan Pasal 6 UU KPK

tanpa menyebut dan membatasi wewenang dari masing-masing instansi tersebut tidak

dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain

itu, permohonan Pemohon yang menginginkan agar KPK tidak lagi diperbolehkan

untuk berkoordinasi dengan BPKP justru akan melemahkan pelaksanaan fungsi dan

kewenangan KPK.

42

BAB III

ANALISA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. KONTROVERSI DIHAPUSKANNYA ELEMEN “SIFAT MELAWAN HUKUM

SECARA MATERIIL”

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 telah

memutuskan rumusan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 yang

berkaitan dengan dengan unsur perbuatan melawan hukum materiil bertentangan

dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mampunyai kekuatan hukum mengikat.

Penjelasan Pasal 2ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 jo. UU nomor 20 tahun 2001

menyebutkan, "Yang dimaksud dengan secara melawan hukum" dalam pasal ini

mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil,

yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,

namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa

keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana"

Putusan ini mendulang kontroversi, baik dari segi formal maupun substansi. Yang

dimaksud dari sisi formal adalah bahwa dalam putusan ini, Majelis hakim

mempertimbangkan dan memutus norma yang tidak diajukan dalam permohonan.

Dalam praktek dan pengalaman empiris MK dalam memeriksa dan memutus perkara

pengujian Undang-Undang terhadap UUD, putusan yang mempertimbangkan norma

yang tidak diajukan dalam permohonan seperti dalam putusan nomor 003/PUU-IV/2006

ini bukanlah yang pertama. Telah ada beberapa contoh kasus dimana MK memutus

43

norma yang tidak diajukan dalam permohonan. Hal ini memunculkan perdebatan di

kalangan akademis. Tidak hanya itu, perdebatan pun berada dalam tingkat kebijakan di

parlemen. Rupanya, model putusan MK yang memutus apa yang tidak diminta oleh

pemohon dipahami oleh sebagian besar anggota legislatif sebagai tindakan yang

melanggar mekanisme checks and balances antar lembaga negara. Model putusan ini

dianggap sebagai bentuk upaya MK untuk memperbesar wilayah kewenangan yang

telah dibatasi oleh konstitusi. Parlemen melihat kecenderungan MK untuk menjadi

lembaga super dengan mengatasnamakan Konstitusi. Oleh karena itu, parlemen

menerbitkan UU perubahan UU MK (UU nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan UU

nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). Akan tetapi upaya parlemen

untuk membatasi kewenangan MK pun kandas di tangan Mahkamah Konstitusi melalui

uji materi norma pengaturan tersebut. Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis hakim

berpendapat bahwa upaya MK untuk menafsirkan dan menegakkan konstitusi tidak

dibatasi dengan pengaturan yang diatur atas kesepakatan Parlemen dan Eksekutif

melalui penerbitan UU yang normanya berada dibawah UUD. Terlepas dari kontroversi

putusan MK yang memutus norma yang tidak diajukan dalam permohonan, kajian yang

lebih dalam dari pembahasan ini akan dititik beratkan pada sisi substantif putusan yang

tidak kalah kontroversialnya.

Alasan Hukum Pembatalan Norma Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31

Tahun 1999

Pembatalan keberlakuan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 jo. UU

nomor 20 tahun 2001 pada putusan nomor 003/PUU-IV/2006 berdampak pada

44

dihapuskannya sifat melawan hukum secara materiil dalam tindak pidana korupsi.

Sebagian kalangan akademisi menganggap bahwa putusan MK mengurangi eksistensi

roh penegakan hukum pidana, karena majelis hakim hanya akan melihat sisi sifat

melawan hukum secara formil dalam memeriksa kasus tindak pidana korupsi. Putusan

MK berdampak pada dihilangkannya dimensi perbuatan melawan hukum materil dalam

pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi. Jadi, ajaran sifat melawan hukum yang

dianut dalam tindak pidana korupsi hanyalah sifat melawan hukum formil dimana setiap

perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah memenuhi rumusan

yang disebutkan dalam undang-undang.

Menurut MK, penjelasan pasal 2 ayat (1) UU nomor 31 tahun 1999 menimbulkan norma

baru dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Suatu perbuatan tindak pidana korupsi

yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan secara formil dalam pengertian

bersifat omvetmatig, namun apabila menurut ukuran yang dianut dalam masyarakat,

yaitu norma-norma sosial yang memandang satu perbuatan sebagai perbuatan tercela

sehingga telah melanggar kepatutan, kehati- hatian dan keharusan dalam masyarakat

maka dipandang telah memenuhi unsur melawan hukum (wederrechtelijk). Ukuran yang

dipergunakan adalah hukum atau peraturan tidak tertulis. Rasa keadilan (rectsgevoel),

norma kesusilaan atau etik, dan norma-norma moral yang berlaku di masyarakat telah

cukup menjadi kretaria perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, meskipun hanya

dikaji dari perspektif secara materiil. Konsekuensi logis penjelasan UU tersebut telah

melahirkan norma baru karena digunakan ukuran tidak tertulis dalam UU secara formal

untuk menentukan perbuatan yang dapat dipidana.

45

Selain itu, penjelasan demikian juga telah menyebabkan kriteria perbuatan melawan

hukum (pasal 1365 KUH Perdata) yang dikenal dalam hukum perdata yang

dikembangkan sebagai yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum

dalam hukum pidana (wederechtelijkheid). Oleh karena itu, apa yang patut dan

memenuhi syarat moralitas dan rasa keadilan yang diakui dalam masyarakat, yang

berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, akan mengakibatkan bahwa apa yang di

satu daerah merupakan perbuatan yang melawan hukum, di daerah lain boleh jadi

bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Dikaji dari praktik pembentukan

perundang-undangan yang baik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

005/PUU-III/2005 yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk

menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan

norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma

yang dijelaskan.

Ketentuan Butir E Lampiran UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan antara lain menentukan penjelasan berfungsi sebagai

tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam

batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih

lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh sehingga penjelasan sebagai sarana

untuk memperjelas nonna batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya

ketidakjelasan norma yang dijelaskan, berikutnya penjelasan tidak dapat digunakan

sebagai dasar hukum untuk peraturan lebih lanjut dan oleh karena itu dalam penjelasan

46

dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan

perundang- undangan yang bersangkutan.

Mahkamah Konstitusi menilai memang terdapat persoalan konstitusionalitas dalam

kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor

20 Tahun 2001 karena ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan

melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan

perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam bidang hukum pidana

diterjemahkan sebagai asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas

tersebut merupakan satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat

dituntut dan diadili atas dasar suatu perundang-undangan yang tertulis (lex scripta)

yang telah ada terlebih dahulu.

Hal demikian menuntut bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum,

yang harus secara tertulis lebih dahulu berlaku, yang merumuskan perbuatan apa atau

akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat yang dilarang sehingga

karenanya dapat dituntut dan dipidana, sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege

stricta. Oleh karena itu konsep melawan hukum yang secara formil tertulis (formele

wederrechtelijk), yang mewajibkan pembuat UU untuk merumuskan secermat dan

serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum (lex certa) atau

yang dikenal juga dengan istilah bestimmheitsgebot.

Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa konsep melawan hukum materiil (materiele

wederrechtelijkheid) dengan titik tolak pada hukum tidak tertulis dengan ukuran

kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu

norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari

47

satu lingkungan masyarakat tertentu kelingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa

yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui

sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal

dalam kehidupan masyarakat setempat sehingga penjelasan Pasal 2 ayat (1) kalimat

pertama UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hal yang

tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat

dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan demikian Penjelasan Pasal 2

ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 sepanjang mengenai

frasa "Yang dimaksud dengan secara melawan hukum" dalam pasal ini mencakup

perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila

perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat

dipidana", adalah bertentangan dengan 1UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Dengan demikian, perbuatan melawan hukum materiil menjadi mati

suri oleh Putusan Mahkamah Konstitusi.

Praktek Pengadilan

Pendapat para pakar mengenai secara melawan hukum sebagai unsur delik atau

bukan, tidak ada kata sepakat atau tidak tidak bulat, sebagian berpendapat, apabila

pada rumusan suatu delik dimuat unsur secara melawan hukum, unsur tersebut harus

dibuktikan, dan sebaliknya apabila tidak dirumuskan, tidak perlu dibuktikan. Hal ini

merupakan pendapat yang menganut paham formal. Berbeda dengan yang menganut

48

paham materiil, yang menyatakan bahwa meskipun tidak dirumuskan, unsur melawan

hukum perlu dibuktikan.

Bagi para sarjana yang menganut pandangan formal mengenai sifat melawan hukum

dalam hubungannya dengan perumusan suatu delik, apabila bersifat melawan hukum

tidak dirumuskan dalam suatu delik, tidak perlu lagi diselidiki tentang bersifat melawan

hukum. Sedangkan jika bersifat melawan hukum ini dicantumkan dalam rumusan delik,

maka bersifat melawan hukum itu harus diselidiki. Dan dalam rangka

penuntutan/mengadili harus terbukti bersifat melawan hukum tersebut. Justru

dicantumkannya bersifat melawan hukum tersebut dalam norma delik, menghendaki

penelitian apakah tindakan ini bersifat melawan hukum atau tidak.

Sebaliknya para sarjana berpandangan material tentang bersifat melawan hukum,

mengatakan bahwa sifat melawan hukum, selalu dianggap ada dalam setiap delik

dengan tegas dirumuskan. Penganut teori ini mengemukakan bahwa pengertian dari

hukum yang merupakan salah satu kata yang terdapat dalam bersifat melawan hukum,

tidak hanya didasarkan kepada undang-undang saja, tetapi kepada yang lebih luas lagi,

yaitu asas-asas umum yang berlaku sebagai hukum. Dengan perkataan lain bersifat

melawan hukum berarti harus dapat dirasakan sebagai tidak boleh terjadi, bertentangan

dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat. Atau lebih tepat jika diartikan

dengan tidak boleh terjadi dalam rangka pengayoman hukum dan perwujudan cita-cita

masyarakat.

Secara historis, konsepsi melawan hukum terumus dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-

undang Tindak Pidana Korupsi sebelum dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah

Konstitusi, bukan tidak mungkin muncul sebagai upaya yang “progresif” dalam rangka

49

pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah menyebar pada berbagai lapisan

sosial di Indonesia, sehingga pembentuk undang-undang memilih konsep melawan

hukum dalam pemgertian materiil yang positif meskipun tidak memperoleh “dukungan’

secara teori atau doktrin hukum pidana. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 31 tahun

1999 menganut ajaran sifat melawan hukum dalam konsepsi yang luas. Dalam konsep

yang luas tersebut, maka penerapannya sangat bergantung pada cara pandang hakim.

Dikaji dari praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam

beberapa putusan Mahkamah Agung hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan

melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi dan tidak sedikit

pula ada yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum materiil pasca putusan

Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum (rechtsvinding)

baik bersifat progresif maupun konservatif. Pada dimensi ini maka Hakim melakukan

pembentukan hukum dengan menetapkan peraturan secara konkrit (law in concreto)

atau tegasnya merupakan suatu proses konkritisasi dan individualisasi peraturan

hukum yang bersifat umum (law in abstracto) dengan mengingat peristiwa konkrit.

Ada beberapa kemungkinan terhadap implementasi dari perbuatan melawan hukum

secara materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUUIV/2006 dalam

penerapannya di pengadilan umum, yaitu:

(1) Secara normatif pengertian ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun

1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menjadi tidak jelas implementasinya. Di satu

sisi perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi ada

dalam kenyataan di masyarakat akan tetapi di sisi lain secara normatif tidak

diatur dalam perundang-undangan.

50

(2) Dalam yurisprudensi tetap (vaste jurisprudentie) yang dianut sejak lama dalam

praktik peradilan, Mahkamah Agung R1 telah menerapkan adanya perbuatan

melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif (Putusan Mahkamah Agung

RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung

Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor:

81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) maupun fungsi positf (Putusan Mahkamah

Agung R1 Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983, Putusan

Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan

Mahkamah Agung Nomor: 1571K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995).

Konsekuensinya, akan muncul polarisasi pemikiran bahwa Mahkamah Agung

ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang

walaupun tidak diatur dalam UU. Aspek tindak pidana korupsi dianggap sebagai

perbuatan tercela tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman

sesuai norma yang hidup dalam masyarakat (living law) dengan tetap

mempergunakan parameter asas keadilan.

(3) Dikaji dari perspektif kebijakan pidana maka hakim selaku pemegang kebijakan

aplikatif harus menerapkan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi hakim

tidaklah harus berarti selalu menjadi penyambung lidah atau corong UU

(bousche de la loi/mouth of the laws). Hakim harus dapat menerapkan dan

mengimplementasikan peraturan, meskipun masih bersifat abstrak, terhadap

kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada

pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu sisi perbuatan korupsi

secara formal (perbuatan melawan hukum formal) tidak ada, akan tetapi di sisi

51

lainnya secara materiil (perbuatan melawan hukum materril) ada maka hakim

sebagai kebijakan aplikasi harus menggali, memahami dan menghayati norma-

norma hukum yang hidup di dalam masyarakat.

Oleh karenanya, di dalam praktik peradilan khususnya terhadap penanganan perkara-

perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung ada yang

menerapkan perbuatan melawan hukum materil sebagaimana putusan Mahkamah

Konstitusi dan tidak sedikit pula yang tetap menerapkan perbuatan melawan hukum

materil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan

hukum (rechtsvinding) baik bersifat progresif maupun konservatif.27 Dari sekian banyak

putusan MA yang tetap menerapkan sifat perbuatan hukum materiil pasca putusan MK

adalah

a. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007

atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi,

b. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006

atas nama terdakwa Hamdani Amin,

c. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006

atas nama terdakwa Rusadi Kantaprawira.

d. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2608 K/Pid/2006 atas nama Terdakwa

Ahmad Rojadi

e. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 131 PK/Pid/2006 atas nama terdakwa Drs.

H. Dharmono K. Lawi

27 Johanes Brata Wijaya, SH, Makna sifat Melawan Hukum Dalam Perkara Pidana Korupsi : Kajian Tentang Putusan Mahkamah Agung Tahun 2005 – 2011,Laporan penelitian litbangdiklatkumdil mahkamah Agung RI, September 2013.

52

f. Putusan Mahkamah Agung Nomor 334 K/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa

John Darwin

Ada beberapa argumentasi yang diterapkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung

dengan melakukan suatu penemuan hukum terhadap tetap diterapkannya perbuatan

melawan hukum materiil sebagaimana norma yang diatur dalam penjelasan ketentuan

Pasal 2 ayat (l) UUNomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Majelis hakim Mahkamah Agung berpendapat bahwa pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi, ketentuan yang dimaksud dengan unsur "melawan hukum" menjadi tidak

jelas rumusannya. Oleh karena itu berdasarkan doctrine "Sens-Clair" (la doctrine du

senclair) hakim harus melakukan penemuan hukum dengan memperhatikan ketentuan

Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menentukan, "Hakim wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat", karena menurut ketentuan Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004,

"Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya". Selain itu juga Hakim dalam mencari

makna "melawan hukum" seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang

bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit.

Sebagaimana disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya

sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam

masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H. Hymans

hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum

warga masyarakatnya yang merupakan "hukum dalam makna sebenarnya". Konklusi

53

dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, "apabila kita memperhatikan

UU, ternyata bagi kita bahwa UU tidak saja menunjukan banyak kekurangan-

kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan

peradilan. Oleh karenanya, UU memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan

sendiri maknanya ketentuan UU itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu

ketentuan. Hakim boleh menafsir suatu ketentuan UU secara gramatikal atau historis,

secara sistimatis atau secara sosiologis, atau dengan cara memperbandingkan hukum.

Selain itu, Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memberi makna unsur "secara

melawan hukum" memperhatikan doktrin dan Yurispudensi Mahkamah Agung RI yang

berpendapat bahwa unsur "secara melawan hukum" dalam tindak pidana korupsi

adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti

materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam fungsi positif dan negatifnya.

Dalam pertimbangan ini, Majelis hakim berpedoman pada:

a. Tujuan diperluasnya unsur ”perbuatan melawan hukum”, yang tidak dalam

pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materil,

adalah untuk mempermudah pembuktiannya dipersidangan, sehingga suatu

perbuatan yang pandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara

materil atau tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak

pidana korupsi, meskipun perbuatannya itu tidak melawan hukum secara formil

b. Butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI. Tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar

diajukannya RUU No. 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengertian perbuatan

melawan hukum secara materil adalah dititik beratkan pada pengertian yang

diperoleh dari hukum tidak tertulis, hal ini disirat dari surat tersebut yang pada

54

pokoknya berbunyi ”maka untuk mencakup perbuatan-perbuatan yang

sesungguhnya bersifat koruptif akan tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului

suatu kejahatan atau pelanggaran-pelanggaran dalam RUU ini dikemukakan

sarana ”melawan hukum dalam rumusan tindak pidana korupsi, yang

pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan

norma-norma yang lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan

hidup untuk bertindak cermat terhadap orang lain, barang maupun haknya;

c. bahwa sejalan dengan politik hukum untuk memberantas korupsi dalam Putusan

Mahkamah Agung RI tanggal 28 Desember 1983 No.275 K/Pid/1983, untuk

pertama kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan

hukum, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela

dan menusuk perasaan hati masyarakat banyak, dengan memakai tolak ukur

asas-asas hukum yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat;

Majelis Hakim MA beralasan yurisprudensi dan doktrin merupakan sumber hukum

formil selain Undang-Undang dan kebiasaan serta trakat yang tepat digunakan oleh

Mahkamah Agung dalam kasus konkrit yang dihadapinya. Yurisprudensi tentang makna

perbuatan melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materil harus tetap dijadikan

pedoman untuk terbinanya konsisten penerapannya dalam perkara-perkara tindak

pidana korupsi, karena sudah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum

yang sedang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam praktik peradilan, melalui yurisprudensi, Mahkamah Agung RI telah memberikan

nuansa baru perbuatan melawan hukum secara materiil. Mahkamah Agung melakukan

55

perluasan makna perbuatan melawan hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI

Nomor. 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi

(kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei

1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) dimana

Mahkamah Agung berpendapat bahwa

“…suatu tindakan dapat dianggap sebagai melawan hukum bukan hanya

berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga

berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan

bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara

penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa”

Selain itu, yurisprudensi Mahkamah Agung pada Putusan Nomor: 275 K/Pid/1983

tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian

diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli

1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995)

secara tegas menyatakan pengertian "melawan hukum" tidk hanya diidentikan sebagai

"melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”. Dalam putusan tersebut, Majelis

hakim berpendapat bahwa

“…penafsiran terhadap sebutan "melawan hukum" tidak tepat, jika hal itu hanya

dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri

tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya akan tetapi sesuai

pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur

berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat

umum menurut kepatutan dalam masyarakat."

56

Lebih lanjut, pertimbangan Majelis hakim mengemukakan pendapat

"… bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-

perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima

fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan

maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau

wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah

merupakan "perbuatan melawan hukum", karena menurut kepatutan perbuatan

itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan

hati masyarakat banyak"

Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap

sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan

masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan

itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi positif. Konklusi dari

apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI

memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum

materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif.

Konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 adalah bahwa

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 tidak mengenal lagi perbuatan melawan hukum materiil. Oleh

sebab itu, terdapat kekosongan norma hukum terhadap eksistensi pengaturan

perbuatan melawan hukum materiil. Di satu sisi, perbuatan melawan hukum materiil

tidak dikenal lagi dalam norma hukum yang mengatur tindak pidana korupsi di

Indonesia khususnya dalam ketentuan hukum positif Indonesia, akan tetapi di sisi

57

lainnya ternyata perbuatan melawan hukum materiil eksistensinya tetap ada dan terjadi

dalam praktik peradilan. Praktik peradilan terhadap perbuatan melawan hukum materiil

dalam tindak pidana korupsi adalah melalui penafsiran hukum tetap mempergunakan

dan menerapkan perbuatan melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid)

dalam Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat pada Putusan Mahkamah Agung

RI Nomor 2064 K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H. Fahrani

Suhaimi, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus

2006 atas nama Terdakwa Hamdani Amin, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas nama Terdakwa Prof. Dr. Rusadi

Kantaprawira, S.H., kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor

91/Pid.B/2008/PN. Kpj. Tanggal 29 April 2008 atas nama terdakwa Abdul Mukti dan

Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 1079/Pid.B/2007/PN.Kpj. Tanggal 23 April

2008 atas nama terdakwa Prayitno. Oleh karena itu, hendaknya kebijakan legislasi

dalam pembentukan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi masa mendatang (ius

constituendum) merumuskan kembali tentang formulasi pasal yang mengatur perbuatan

melawan hukum materiil (materiel wederrechtelijkeheid) dalam Tindak Pidana Korupsi

sehingga dapat menjamin adanya kepastian hukum (recht-zekerheids) pada kasus

tindak pidana korupsi in-concreto.

Korupsi sedang kita berantas karena telah menyengsarakan bangsa dan negara

Indonesia ini, oleh siapapun dan dimanapun perbuatan korupsi dilakukan, tanpa

memandang hukum adat atau kebiasaan setempat atau hukum yang tidak tertulis,

sebab menurut hukum apapun korupsi adalah perbuatan yang tercela, dan tidak patut.

Karena itu tidak salah apabila pembuat undang-undang menegaskan kembali bahwa

58

korupsi adalah perbuatan tidak patut dan tercela seperti telah dikukuhkan dalam

yurisprudensi Indonesia , antara lain Putusan MA RI No. 275K/Pid/1982.

Putusan MK No.003/PUU-IV/2006, dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi,

sebenarnya tidak mengubah apapun, karena secara substansial tidak mengubah isi UU

yang dimohon. Namun, terdapat keuntungan yang dapat diambil dari putusan ini yaitu

dala hal pembuktian. Dalam bidang hukum pembuktian, Jaksa Penuntut Umum cukup

membuktikan unsur melawan hukum ini secara formal. Cara yang dapat ditempuh

adalah menghadirkan ahli yang dapat menyatakan bahwa terdapat kerugian negara

atau perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Berarti bahwa pekerjaan BPK, atau BPKP harus diterima hakim sebagai pembuktian

yang tidak boleh diragukan, karena tidak dapat diterima lagi alasan pembenar tidak

tertulis lainnya, kecuali yang terdapat dalam KUHP dan UU Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. Dan tata cara pembuktian terbalik yang dianut oleh UU PTPK adalah

satu-satunya cara yang dapat digunakan oleh tersangka atau terdakwa.

Walaupun demikian perlu ditegaskan kembali bahwa pemberantasan tindak pidana

korupsi tetap saja dibutuhkan ‘komitmen’ semua pihak, negara, pemerintah, penegak

hukum, masyarakat, dan semua elemen bangsa.

2. PENGUATAN KELEMBAGAAN KPK MELALUI PEMILIHAN PIMPINAN

LEMBAGA

Setelah melihat bagaimana lembaga atau Komisi Anti Korupsi di berbagai negara,

maka jelas terlihat bahwa independensi adalah harga mati untuk keberlangsungan

lembaga anti rasuah tersebut. Dalam sejarah pemberantasan korupsi bangsa ini,

59

lembaga pemberantas koruptor selalu berakhir tragis. Pada era orde lama, misalnya,

masa Kabinet Djuanda, dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), yang

dipimpin oleh A. H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni M. Yamin dan

Roeslan Abdulgani. Para pejabat yang korup melawan. Dan, Paran pun berakhir.28

Pada 1963, Pemerintah menunjuk kembali A. H. Nasution untuk memimpin

pemberanatasan korupsi dengan lembaga baru yang dikenal dengan sebutan Operasi

Budhi. Operasi dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio

kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar)

dengan diketuai oleh Presiden Soekarno. Oleh beberapa sejarawan dikatakan bahwa

lahirnya lembaga ini menjadi awal macetnya pemberantasan korupsi di masa Orde

Lama. 29

Keinginan kembali berkobar pada masa awal Orde Baru. Melalui pidato kenegaraan

pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama yang dinilai

tidak mampu memberantas korupsi. Kemudian Soeharto Tim Pemberantasan Korupsi

(TPK) yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai

dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat.

Komite ini pun bubar. Ketika Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah

Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Operasi ini

pun segera lenyap.30

Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi kembali digalakkan oleh B.J. Habibie

dengan mengeluarkan UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan

Bebas dari KKN. Untuk mendukung itu, BJ Habibie membentuk berbagai komisi atau

28 Abdul Ghoffar, Menambah Nyawa KPK, Harian Pikiran Rakyat Bandung, Agustus 2011. 29 Ibid. 30 Ibid.

60

badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, dan

Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui PP 19/2000. Tetapi PP ini

dicabut oleh MA melalui mekanisme judicial review, dan akhirnya bubar. Nasib serupa

juga dialami oleh KPKPN. Dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas

KPKPN melebur masuk ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).31

Belajar dari sejarah kelam tersebut, harus ada semangat dari semua pihak untuk

menyelamatkan KPK. Di lihat dari sudut ketatanegaran, sedikitnya ada tiga lembaga

negara yang mempunyai tanggung jawab langsung untuk membuat politik hukum yang

menguatkan KPK. Lembaga tersebut adalah Presiden dan DPR yang mempunyai

kewenangan untuk membuat Undang-Undang, serta Mahkamah Konstitusi yang

mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap UU.

Dari ketiga lembaga negara tersebut, peran Mahkamah Konstitusi tidak bisa

disepelekan. Sebab lembaga negara ini mempunyai kewenangan konstitusional untuk

memberi tafsir akhir atas konstitusi. Bahkan oleh banyak pakar, tafsir yang dikeluarkan

oleh mahkamah konstitusi adalah setara dengan konstitusi itu sendiri. Bahkan putusan

dari lembaga peradilan seperti Mahkamah Konstitusi, sejatinya adalah konstitusi yang

hidup (living constitution).

David A. Strauss untuk memulai penulisan bukunya, The Living Constitution (2010),

mengatakan apa yang dimaksud the living constitution adalah notabene dalam

prakteknya sebagian besar mengacu pada putusan-putusan hakim. Menurutnya,

pijakan yang dijadikan oleh hakim dalam memutus adalah berdasar dari hukum umum,

hukum yang tidak tertulis, yang dibangun dari preseden dan tradisi yang menumpuk

31 Ibid.

61

dari waktu ke waktu. Preseden tersebut memungkinkan ruang untuk adaptasi dan

perubahan, tetapi hanya dalam batas tertentu dan hanya dengan cara yang berakar

pada masa lalu. Dengan demikian, dipastikan tidak akan ada hakim, yang karena

kepentingan peribadinya, akan memasukkan ide-ide pribadi tanpa didasarkan pada

hukum yang tidak tertulis yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.32

Dengan demikian, maka peran Mahkamah Konstitusi dalam menjaga independensi

KPK, dilihat dari sudut pandang hukum tata negara, sangatlah besar. Peran tersebut

bisa dilihat dari putusan-putusan MK dalam membuat peta politik hukum

pemberantasan korupsi, khusunya dalam mengawal lembaga anti rasuah KPK.

Peran besar tersebut rupanya disadari betul oleh MK. Sejak Komisi Pemberantasan

Korupsi dibentuk pada tahun 2003 melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga tersebut tidak sepi dari

“godaan.” Misalnya, melalui pengujian UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Dalam 10

tahun usianya, UU yang mengatur lembaga ini diuji berkali-kali keabsahannya di

Mahkamah Konstitusi (MK).33 Dari sekian banyak pengujian tersebut, kalau ditelusuri

putusan MK selalu memberi nyawa baru bagi KPK. Artinya, terhadap permohonan yang

dinilaih melemahkan KPK maka permohonan tersebut ditolek. Sebaliknya, terhadap

permohonan yang dinilai memperkuat KPK, maka permohonan tersebut dikabulkan.

Salah satu putusan yang dianggap menguatkan KPK untuk semakin menjaga

independensinya adalah putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-

32 David A. Strauss, The Living Constitution, (New York: Oxford University Press,2010), hlm. 1. Lihat juga Abdul Ghoffar, Konstitusi yang Bernyawa, Majalah Konstitusi, edisi Desember 2011.

33 Satu Dekade UU KPK, 14 Kali Diuji Materi, diunduh dari http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politisiana&i=36943-Satu%20Dekade%20UU%20KPK,%2014%20Kali%20Diuji%20Materi, pada tanggal 23 Oktober 2013.

62

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

terhadap UUD 1945 pada Juni 2011 yang lalu.

Putusan tersebut terkait dengan masa jabatan pimpinan pengganti di KPK, apakah

meneruskan masa jabatan, atau masa jabatannya 4 tahun. Bermula dari permohonan

Feri Amsari dan kawan-kawan, yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah

Konstitusi yang mendalilkan bahwa masa jabatan “lanjutan” tersebut bertentangan

dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon, DPR menyandarkan tafsir masa jabatan

Pimpinan Pengganti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Pasal 21 ayat

(5) UU KPK, di mana Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial. Sehingga

ketentuan Pasal 34 UU KPK dimaknai bahwa Pimpinan Pengganti KPK berakhir secara

bersamaan. Untuk itu, Pengganti Pimpinan KPK terpilih hanya melanjutkan sisa masa

jabatan saja, yakni sisa masa jabatan Tahun 2007-2011 atau kurang lebih satu tahun.

Para Pemohon juga mendalilkan terdapat kesalahan tafsir atas ketentuan Pasal 34 UU

KPK tersebut. Hal demikian, dapat menimbulkan kerugian hak dan/atau kewenangan

konstitusional para Pemohon atau setidak-tidaknya berpotensi bertentangan dengan

ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama di depan hukum”.

Akibat penafsiran yang keliru oleh DPR, menurut para Pemohon, terhadap ketentuan

Pasal 34 UU KPK telah menyebabkan pimpinan pengganti KPK terpilih, yakni Dr.

Busyro Muqoddas, SH. MH, hanya menjabat selama satu tahun. Hal demikian telah

mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan Pimpinan

Pengganti KPK terpilih. Ketidakpastian masa jabatan tersebut juga berdampak pada

63

efektivitas kerja Pimpinan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan

sekaligus berpotensi melemahkan agenda pemberantasan korupsi oleh KPK yang

bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Ketentuan masa jabatan Pimpinan Pengganti KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34 UU KPK, menurut para Pemohon, seharusnya dimaknai tidak hanya terhadap

Pimpinan KPK akan tetapi juga kepada Pimpinan Pengganti KPK. Hal itu sesuai

dengan metode penafsiran sistematis, logis, teleologis, dan analogis atau setidak-

tidaknya tafsir terhadap ketentuan Pasal 34 UU KPK telah melanggar asas

kemanfaatan maupun asas kepastian hukum.

Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, MK memulai pendapat hukumnya

dengan mengajukan pertanyaan “apakah secara konstitusional masa jabatan anggota

Pimpinan KPK yang menggantikan anggota yang telah berhenti menurut Pasal 34 UU

KPK hanya meneruskan masa jabatan pimpinan yang digantikan atau mendapatkan

masa jabatan yang penuh selama empat tahun?”

Sebelum menjawab pertanyaan atau persoalan tersebut, MK terlebih dahulu

menyampaikan fakta hukum bahwa DPR RI dan Presiden menentukan masa jabatan

anggota yang mengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatannya adalah

hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari Pimpinan KPK yang digantinya. Dalam

menentukan masa jabatan pimpinan pengganti tersebut, DPR RI mendasarkan pada

penafsiran Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bekerja

secara kolektif kolegial, sehingga ketentuan Pasal 34 UU KPK dimaknai bahwa

Pimpinan KPK berhenti secara bersamaan. Dengan demikian, Pimpinan pengganti

64

yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya hanya

bertindak sebagai pengganti antarwaktu, karena itu hanya melanjutkan masa jabatan

anggota pimpinan yang digantikan itu.

Namun pada sisi lain, para Pemohon merujuk pada Pasal 34 UU KPK yang

menyatakan, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4

(empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan”, yang

menurut para Pemohon masa jabatan empat tahun bagi Pimpinan KPK, adalah

merupakan masa jabatan yang berlaku baik terhadap Pimpinan yang diangkat secara

bersamaan sejak awal maupun Pimpinan yang menggantikan Pimpinan yang berhenti

pada saat masa jabatannya.

Terkait hal tersebut, menurut MK, DPR dan Presiden dapat saja melakukan penafsiran

terhadap suatu ketentuan Undang-Undang dalam rangka implementasi dari Undang-

Undang tersebut. Akan tetapi, MK pun berwenang menilai konstitusionalitas penafsiran

suatu norma Undang-Undang yang dilaksanakan baik oleh DPR maupun Presiden,

apabila penafsiran itu mengakibatkan terancamnya penghormatan, perlindungan, dan

pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara serta dalam rangka menjamin

dilaksanakannya amanat dan norma-norma konstitusi dengan benar. Hal itu tidaklah

berarti bahwa MK telah keluar dari kewenangannya menguji pertentangan norma

Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana secara tekstual dinyatakan dalam

Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar”, terkandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara oleh organ-

organ negara harus berdasarkan konstitusi. Dengan dasar itulah negara Indonesia

65

merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan konstitusional, yang dalam

pelaksanaannya dibentuk MK Konstitusi untuk mengawal dan menjamin bahwa sistem

konstitusional tersebut berjalan.

Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga

peradilan konstitusi yang mengawal norma konstitusi supaya berjalan dengan benar

agar sesuai dengan semangat yang terkandung dalam konstitusi, MK di samping

membaca dan memahami teks konstitusi, juga berkewajiban untuk menggali dan

menemukan nilai dan dasar-dasar filosofis yang terkandung dalam konstitusi untuk

memutuskan setiap persoalan yang dihadapkan di MK. Dalam hal ini, apabila MK

menemukan penafsiran norma Undang-Undang yang bertentangan, menyimpang

dan/atau tidak sesuai dengan norma dan semangat konstitusi, maka berdasarkan

fungsi, tugas, dan kewenangannya untuk mengawal konstitusi, MK berwenang untuk

menilai konstitusionalitas penafsiran dari suatu norma Undang-Undang. Oleh karena

itu, dalam menilai permohonan para Pemohon tersebut, MK harus juga menilai

penafsiran ketentuan Undang-Undang tersebut pada tingkat implementasi untuk

menjamin penyelenggaraan negara berdasarkan sistem konstitusional yang dianut oleh

UUD 1945.

Menurut MK, ketentuan Pasal 34 UU KPK sendiri sudah sangat jelas dan tegas bahwa

masa jabatan Pimpinan KPK adalah empat tahun, dan hal itu tidak menimbulkan

persoalan konstitusionalitas. Akan tetapi, ketentuan Pasal 34 UU KPK tersebut menjadi

persoalan konstitusional ketika DPR dan Presiden menafsirkan bahwa ketentuan Pasal

34 UU KPK tersebut tidak berlaku untuk semua anggota Pimpinan KPK dan hanya

berlaku untuk Pimpinan KPK yang diangkat secara bersamaan lima orang sejak awal

66

periode, sedangkan bagi pimpinan yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti

dalam masa jabatannya, hanya melanjutkan sisa masa jabatan anggota yang

digantikannya. DPR dan Presiden, mendasarkan penafsirannya pada ketentuan Pasal

21 ayat (5) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif, sehingga

lima anggota Pimpinan KPK itu dimaknai secara kolektif menjabat satu periode empat

tahun. Dalam hal ini, menurut DPR dan Presiden, jika ada anggota Pimpinan KPK yang

berhenti dalam masa jabatannya maka diganti oleh anggota pengganti yang hanya

melanjutkan masa jabatan sisa dari masa jabatan anggota yang digantikan.

Penafsiran DPR dan Presiden tersebut didasari pula pada ketentuan Pasal 33 ayat (1)

dan ayat (2) UU KPK yang secara tekstual menyebutkan anggota pengganti Pimpinan

KPK untuk menggantikan anggota yang berhenti dalam masa jabatannya. Penafsiran

tersebut dipersoalkan oleh para Pemohon, karena penafsiran seperti itu mengakibatkan

tidak jelasnya makna Pasal 34 UU KPK sehingga melanggar prinsip-prinsip konstitusi

yaitu antara lain prinsip kepastian hukum yang adil yang harus dihormati, dilindungi,

dan dipenuhi menurut konstitusi. Menurut para Pemohon sesuai Pasal 34 UU KPK

masa jabatan anggota pengganti adalah empat tahun, tidak hanya menjabat sisa masa

jabatan anggota yang diganti. Menurut MK, dengan adanya perbedaan penafsiran yang

demikian menimbulkan persoalan konstitusional yang harus dinilai oleh MK, yaitu

penafsiran mana yang benar menurut konstitusi dalam rangka menghormati, melindungi

serta memenuhi prinsip kepastian hukum yang adil bagi publik, bagi penyelenggara

negara, bagi KPK, maupun bagi Pimpinan KPK yang terpilih sebagai anggota pengganti

Pimpinan KPK yang telah berhenti. Apabila MK tidak memberikan kepastian terhadap

penafsiran masa jabatan anggota Pimpinan KPK pengganti tersebut maka persoalan

67

penggantian Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatannya tetap akan menjadi

perdebatan yang terus akan muncul ketika terjadi penggantian anggota Pimpinan KPK

pada masa mendatang yang justru bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang

adil yang dijamin oleh konstitusi.

Menurut MK, menguji konstitusionalitas penafsiran yang benar atas norma ketentuan

Pasal 34 Undang-Undang tersebut , MK mendasarkan pada prinsip-prinsip umum yang

terkandung dalam konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan

dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip kepentingan umum. Prinsip-

prinsip tersebut, adalah merupakan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam konstitusi

dan menjadi semangat keberadaan sebuah negara yang berdasar pada sistem

konstitusional. Di samping itu, prinsip-prinsip tersebut juga ditegaskan dalam Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

sebagai penjabaran Pasal 22A UUD 1945 yaitu dalam Pasal 6 yang menguraikan asas

materi muatan undang-undang yang harus memenuhi asas, antara lain: keadilan,

kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan serta asas ketertiban dan

kepastian hukum. Asas-asas demikian juga ditegaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu asas kepastian hukum, asas tertib

penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas

proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK, mekanisme pemilihan anggota

pengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatan dilakukan sama dengan

mekanisme pemilihan dan pengangkatan anggota pimpinan yang diangkat secara

68

bersamaan pada awal periode. Proses seleksi ini memakan waktu yang lama dan biaya

yang cukup tinggi karena paling tidak melibatkan pembentukan panitia seleksi, proses

pendaftaran yang dilakukan secara terbuka dan transparan dengan melibatkan proses

publikasi di media, dan setelah ditetapkan nama calon-calon tesebut, proses seleksi

dilanjutkan pada pengumuman kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan

yang seterusnya diserahkan di DPR untuk dilakukan seleksi kembali oleh DPR melalui

mekanisme fit and proper test. Proses seleksi yang ketat dan panjang tersebut

dipandang perlu, mengingat begitu pentingnya jabatan Pimpinan KPK, terutama apabila

dikaitkan dengan urgensi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selain itu, MK juga berpendapat bahwa pemilihan dan seleksi Pimpinan KPK pengganti

yang demikian apabila dilihat dari asas keadilan dalam pelaksanaan pemerintahan yaitu

keadilan bagi masyarakat maka pengangkatan anggota pengganti yang menduduki

masa jabatan sisa hanya satu tahun adalah sesuatu yang dirasakan tidak adil bagi

masyarakat, karena negara harus mengeluarkan biaya yang sangat besar serta para

penyelenggara negara yang melakukan proses seleksi menghabiskan waktu yang

cukup panjang hanya untuk memilih seorang anggota pengganti yang menduduki sisa

masa jabatan satu tahun.

Menurut MK, keadilan masyarakat adalah sumber nilai konstitusi tertinggi yang harus

menjadi dasar penilaian MK, karena keadilan konstitusi tidak lain dari keadilan bagi

constituent yaitu keadilan bagi rakyat yang membentuk dan menyepakati konstitusi.

Keadilan masyarakat ini menjadi sangat penting dalam menegakkan prinsip-prinsip

konstitusi untuk menghindari penyelenggaraan negara yang bersifat elitis dan

melanggar prinsip-prinsip demokrasi yang dianut oleh UUD 1945 khususnya demokrasi

69

partisipatoris. Menurut MK, penafsiran demikian juga, menimbulkan ketidakadilan bagi

seseorang yang terpilih sebagai anggota pengganti yang berjuang serta menghabiskan

banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk lulus seleksi dan terpilih menjadi anggota

Pimpinan KPK pengganti. Anggota pengganti yang terpilih yang hanya melanjutkan sisa

masa jabatan anggota yang digantikan mendapat perlakuan yang berbeda dengan

anggota pimpinan yang terpilih secara bersamaan pada awal periode yang

menjalankan masa jabatan penuh empat tahun, padahal anggota pengganti menjalani

segala proses seleksi dan syarat-syarat yang sama, sehingga melanggar prinsip

perlakuan yang sama terhadap setiap warga negara di hadapan hukum dan

pemerintahan [vide Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD

1945].

MK juga berpendapat, jika anggota Pimpinan KPK pengganti hanya menduduki masa

jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, hal itu melanggar prinsip

kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai

kemanfaatan setinggi-tingginya. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti

menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK hanya menduduki masa jabatan sisa, mengeluarkan

biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal

itu, benar-benar merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar.

Menurut MK, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya

menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan

maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang

panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi lima anggota

pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada

70

pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan

KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya,

seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal

217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD

yang menyatakan, ”Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa

masa jabatan anggota DPR yang digantikan” dan Pasal 286 ayat (3) yang menyatakan,

”Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan

anggota DPD yang digantikannya”. Hal itu, lebih memenuhi prinsip efisiensi, dan prinsip

kewajaran. Oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UU KPK yang

mengharuskan pengisian pimpinan pengganti dilakukan melalui proses seleksi yang

sama dengan proses seleksi lima orang anggota KPK yang diangkat secara

bersamaan, menurut MK, penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama

dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Penggantian antarwaktu

anggota DPR dan DPD, tidak melalui proses seleksi yang baru dan sudah ditegaskan

dalam Undang-Undang hanya melanjutkan masa jabatan sisa dari anggota yang

digantikannya. UU KPK menegaskan bahwa Pimpinan KPK pengganti dilakukan

melalui proses seleksi yang baru dan tidak ditentukan bahwa pimpinan pengganti hanya

melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan yang digantikannya. Menurut MK, hal itu

menunjukkan bahwa masa jabatan Pimpinan KPK pengganti tidak dapat ditafsirkan

sama dengan penggantian antarwaktu bagi anggota DPR dan DPD. Dengan demikian

masa jabatan pimpinan KPK yang ditentukan dalam Pasal 34 UU KPK tidak dapat

ditafsirkan lain, kecuali empat tahun, baik bagi pimpinan yang diangkat secara

bersamaan sejak awal maupun bagi pimpinan pengganti. Mempersempit makna Pasal

71

34 UU KPK dengan tidak memberlakukan bagi Pimpinan KPK pengganti untuk

menjabat selama empat tahun adalah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin

konstitusi.

Selain itu, menurut MK, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan

wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan

kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta

melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh

institusi negara yang lain. Untuk mencapai maksud dan tujuan pembentukan KPK

sebagai lembaga negara yang khusus memberantas korupsi, maka dalam

melaksanakan tugas dan kewenangan secara efektif, KPK dituntut untuk bekerja secara

profesional, independen, dan berkesinambungan. Menurut MK, KPK tidak akan

maksimal melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional dan

berkesinambungan tanpa kesinambungan pimpinan KPK. Untuk menjamin

kesinambungan tugas-tugas Pimpinan KPK, agar pimpinan tidak secara bersamasama

mulai dari awal lagi, maka penggantian Pimpinan KPK tidak selayaknya diganti

serentak. Oleh sebab itu, akan menjadi lebih proporsional dan menjamin kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum apabila terjadi

penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK diangkat untuk satu periode masa

jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945].

Terkait keberlakuan putusan MK khusus dalam perkara ini, MK berpendapat bahwa

meskipun menurut Pasal 47 UU MK, putusan MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif),

namun demi asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal hukum

maka untuk kasus-kasus tertentu MK dapat memberlakukan putusannya secara surut

72

(retroaktif). Hal ini sudah menjadi yurisprudensi yang tertuang dalam Putusan MK

Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi

landasan penetapan anggota-anggota DPR periode 2009-2014 terutama berkaitan

dengan penetapan anggota DPR berdasar perhitungan Tahap III yang semula telah

ditetapkan secara salah oleh KPU. Alasan yang mendasari penetapan retroaktif secara

khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus” berlangsungnya satu penerapan

isi undang-undang berdasar penafsiran yang salah sehingga menimbulkan

ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional dan karenanya harus dihentikan.

Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau

secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang salah tersebut, saat mana mulai

timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional seperti terlihat dalam perkara

tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam masa transisi

sebagai akibat dari putusan ini, terkait dengan jabatan Pimpinan KPK pengganti (yang

baru terpilih), maka putusan ini berlaku bagi Pimpinan KPK yang sudah terpilih dan

menduduki Pimpinan KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak

terpilih.

Dengan demikian, MK berpendapat bahwa Pasal 34 UU KPK adalah inkonstitusional

secara bersyarat, yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai

bahwa Pimpinan KPK baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara bersamaan

maupun bagi pimpinan pengganti yang menggantikan pimpinan yang berhenti pada

masa jabatannya adalah empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali

masa jabatan.34

34 Lihat Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945, yang diucapkan pada 20 Juni 2011.

73

Dari uraian pertimbangan Putusan MK tersebut, jelas terlihat bagaimana politik hukum

yang dibangun oleh MK dalam upaya pemberantasan korupsi. Menurut peneliti ada

beberapa catatan terkait dengan politik hukum tersebut.

Pertama, MK membuat garis yang jelas terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi

yang nyata-nyata telah menghancurkan negara. Kedua, atas kesadaran itu kemudian

MK, dengan kewenangan yang dimilikinya, ingin agar lembaga anti rasuah tersebut

benar-benar menjadi lembaga yang independent. Baik independent dalam membuat

keputusan maupun independen dari “terkaman” institusi lain.

Ketiga, untuk membantu menjaga independensi KPK, MK dalam putusan ini mengubah

mekanisme pengisian jabatan para pemimpinnya. Diakui atau tidak, pengisian jabatan

pimpinan KPK, terutama dalam hal pergantian antar waktu, sangat berpotensi terhadap

keberlangsungan lembaga tersebut. Model yang selama ini dipakai adalah, jika terdapat

pimpinan KPK yang kosong ditengah masa jabatan, maka DPR akan melakukan seleksi

untuk mengisi kekosongan tersebut. Seseorang yang kemudian dinyatakan lolos oleh

DPR akan melanjutkan masa tugas dari orang yang dibantikan, bukan menjabat selama

4 tahun penuh.

Mekanisme seperti ini, menurut peneliti, setidaknya ada dua kelemahan. Pertama, tidak

adanya kebersinambungan antara pimpinan KPK dengan periode sebelumnya, karena

pimpinan KPK akan diganti setiap 4 tahun sekali. Syukur kelau ternyata ada pimpinan

KPK yang lama terpilih lagi, tetapi kalau tidak ada, maka pimpinan KPK akan disi oleh

orang-orang yang baru. Belajar dari pengalaman selama ini, belum ada cerita bahwa

pemimpin KPK terpilih dua kali periode. Meskipun ada beberapa yang mencalonkan diri

lagi, tetapi tidak terpilih, seperti Chandra Hamzah.

74

Kedua, akan “memotongh garis” hutang budi dengan lembaga pemilihnya karena masa

jabatan pimpinan KPK bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Bisa terjadi misalnya,

separuh dari pimpinan KPK adalah produk hasil pemilihan anggota DPR periode

sebelumnya, sementara selebihnya dipilih oleh DPR periode sekarang. Dengan

demikian, akan memutus mata rantai hutang budi.

Oleh karenanya, putusan MK terkait dengan masa jabatan bagi pimpinan KPK yang

dipilih untuk masa jabatan “antar waktu”, menurut peneliti, sangat bermanfaat dalam

menebalkan garis perang terhadap para koruptor.

3. EKSISTENSI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Implikasi putusan MK atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang cukup mendasar dalam

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah mengenai keberadaan pengadilan

korupsi. Dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Pasal 53 UU Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur

bahwa “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang

bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang

penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”dinyatakan bertentangan

dengan UUD 1945. Pertimbangan MK adalah bahwa pembentukan pengadilan-

pengadilan khusus, sepanjang masih berada dalam salah satu dari empat lingkungan

peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, dimungkinkan.

Pengertian frasa “diatur dengan undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945

mengandung arti pembentukan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus

75

dilakukan dengan UU. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai implementasi

dari Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945. Pasal 15 Ayat (1) tersebut berbunyi, “Pengadilan

khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang“. Penjelasan ayat

tersebut berbunyi, “Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini,

antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,

pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di

lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha

negara”. Meskipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman dibuat lebih kemudian dari UU KPK, akan tetapi ketentuan yang sama telah

tercantum dalam Pasal 10 Ayat (1) (beserta Penjelasannya) Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Bunyi

ketentuan Pasal 10 Ayat (1) tersebut adalah, “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh

Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan

Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara.” Sementara itu, Penjelasannya berbunyi,

“Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-

masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-

badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan

Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara

tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan Peradilan Umum adalah

peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara

pidana. Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan

76

adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan,

misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan

lalu lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan

Undang-undang.” Di samping itu, frasa yang berbunyi “diatur dengan undang-undang”

yang tersebut dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 juga berarti bahwa susunan,

kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di

bawahnya itu tidak boleh diatur dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain

selain undang-undang.

Dengan demikian maka Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4250) dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun

demikian MK memandang bahwa peralihan dampak hukum dari putusan harus

smoot/halus sehingga diputuskan bahwa Pasal 53 tetap mempunyai kekuatan hukum

mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak

putusan diucapkan.

Berdasarkan Putusan MK atas Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, struktur lembaga kekuasaan

kehakiman di Indoesia telah berubah.

Ada yang berpendapat, putusan ini membuat eksistensi Pengadilan Korupsi dan KPK

(bahkan eksistensi pemberantasan korupsi) terancam. Karena jika dalam waktu tiga

tahun pemerintah dan DPR gagal melahirkan Undang-Undang Pengadilan Korupsi

maka perkara korupsi akan diadili di pengadilan biasa, yang selama ini telah melahirkan

77

putusan-putusan kontroversial. Itu berarti pada 19 Desember 2009 sudah harus ada

Undang-Undang Pengadilan Tipikor yang menyatukan sistem peradilan tindak pidana

korupsi. Jika pada tanggal itu tak terbentuk, Pengadilan Tipikor yang ada sekarang

kehilangan dasar hukumnya. Akibat lanjutan jika pengadilan korupsi hilang karena tidak

adanya Undang-Undang Pengadilan Korupsi maka ketajaman KPK dalam

memberantas korupsi pun akan hilang. KPK lebih banyak akan bertindak secara

preventif dan melakukan pendidikan anti korupsi dan sebagainya. Justru tindakan

represif dari KPK yang menyidik dan menuntut perkara korupsi ke pengadilan korupsi

lah yang selama ini menjadi pusat apresiasi masyarakat. Sementara itu, mungkin ada

pandangan berbeda yang menyatakan, putusan MK menimbulkan ketidakpastian

dimana di satu sisi pengadilan Tipikor dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

tetapi putusannya tidak langsung berlaku dan masih memberi kesempatan tiga tahun

lagi.

Berbagai komentar muncul menyikapi putusan MK. Pengacara senior Adnan Buyung

Nasution menilai, putusan MK bukan saja rancu, tetapi betul-betul bertolak belakang

dalam substansi. Di satu pihak membatalkan Pengadilan Tipikor, tetapi di pihak lain

memberi waktu tiga tahun. Gubernur Lemhanas Muladi menilai, putusan MK yang

memberikan batas waktu tiga tahun merupakan putusan yang ganjil.35

Sedangkan Guru Besar tata negara Indriyanto Seno Adji menilai, putusan MK tersebut

telah membuat KPK kehilangan rohnya. Pasalnya, ujung pemeriksaan KPK adalah

pemeriksaan di Pengadilan Ad Hoc Tipikor. Aturan yang membawahi Pengadilan

Tipikor sangat penting karena menyangkut eksistensi KPK serta proses pemeriksaan

35 Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, Penelitian untuk PUSLITBANG, BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL. JAKARTA, 2011

78

yang telah, sedang, dan akan dilakukan KPK. Kritik terhadap putusan MK juga datang

dari pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Fajrul Falaakh. Ia menilai,

putusan MK sebenarnya telah keluar dari fatsun. Putusan MK yang memberikan jangka

waktu tiga tahun pun dinilai tidak relevan.36

Komentar berbeda disampaikan oleh pakar hukum tata negara Universitas Andalas

Saldi Isra. Saldi menilai, putusan MK memang merupakan putusan transisi yang lebih

mengedepankan soal kemanfaatan dengan tetap menjamin kepastian hukum. Putusan

MK juga bernilai positif, yaitu terbukanya kesempatan membuat aturan untuk

memperkuat hakim tindak pidana korupsi. Komentar senada disampaikan pakar hukum

tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana. Denny berpendapat,

vonis MK terhadap UU KPK merupakan terobosan hukum yang dilakukan MK. Putusan

MK mengandung semangat toleransi antikorupsi yang patut diapresiasi.37

Apabila kita melihat putusan MK, sekilas memang terkesan kontradiktif. Di satu sisi,

pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dinyatakan bertentangan dengan UUD

1945. Di sisi lain, pasal tersebut dinyatakan tetap mempunyai kekuatan hukum

mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak putusan

diucapkan.

Ada baiknya kalau kita kembali melihat latar belakang didirikannya KPK. Pendirian KPK

dimaksudkan sebagai upaya terobosan bagi langkah-langkah pemberantasan korupsi,

mengingat lembaga-lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi

dinilai tidak berfungsi (konsideran Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi). Keputusan politik ini didasari suatu pertimbangan

36 Ibid 37 Ibid

79

bahwa korupsi sudah bukan lagi kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan luar

biasa. Selain itu, korupsi sudah dianggap merugikan hak-hak mendasar yang diatur

dalam ECOSOC, itu artinya melanggar hak-hak konstitusi rakyat. Karena itu,

pemberantasan korupsi juga memerlukan lembaga dengan kewenangan besar dan

dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula, wujudnya adalah dibentuk KPK.

Melengkapi kekhususan KPK, dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)

yang khusus bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi

yang penuntutannya diajukan oleh KPK.

Adalah ironis apabila MK sebagai lembaga yang didirikan dengan semangat dan

landasan moral yang sama dengan KPK, yakni menghadirkan perbaikan kehidupan

berbangsa dan bernegara, dalam praktiknya ternyata menghadapi persoalan yang

saling melemahkan satu sama lain. Namun, apakah benar bahwa MK melakukan hal

tersebut dalam kasus pembatalan keberadaan dasar hukum Pengadilan Tipikor? Kita

harus melihat secara jernih putusan MK. Hukum normatif mungkin saja memiliki logika

dan aturan tersendiri dalam memutus perkara-perkara yang dihadapinya, tetapi nurani

masyarakat dan nilai-nilai keadilan kiranya juga merupakan hal mendasar yang harus

dipertimbangkan. Ini sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis,

perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara

sosiologis, memberikan kemanfaatan.

Keputusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang KPK

bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat sebagai putusan yang memberikan

kepastian hukum. Putusan ini sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945 yang menyatakan,

“Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan

80

peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Pengertian frasa “diatur dengan

undang-undang” dalam Pasal 24A Ayat (5) UUD 1945 tersebut berarti pembentukan

badan peradilan di bawah Mahkamah Agung harus dilakukan dengan undang-undang.

Putusan di atas dibuat MK untuk menghindari dualisme sistem peradilan, walaupun

sebenarnya masih banyak UU lain yang menerapkan hal serupa. Pembentukan

Mahkamah Pelayaran, Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial, dan Peradilan

Pelanggaran HAM Berat, beberapa contoh sistem peradilan yang berada dalam UU

seperti keberadaan pengadilan Tipikor di dalam UU KPK.

Sedangkan putusan lanjutan yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No.30/2002 tetap

mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga

tahun terhitung sejak putusan diucapkan, merupakan terobosan yang didasarkan pada

aspek manfaat. Hal itu dapat dilihat dari empat alasan yang dikemukakan oleh MK;

Pertama, akibat hukum atas kekuatan mengikat Pasal 53 UU KPK tersebut harus cukup

mempertimbangkan agar proses peradilan Tipikor atas pemeriksaan perkara yang

sedang ditangani tidak terganggu atau tidak macet, apa lagi menimbulkan kekacauan

hukum. Kedua, putusan yang diambil oleh MK jangan sampai menyebabkan timbulnya

ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan

dalam penanganan atau pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, putusan MK

jangan sampai pula menimbulkan implikasi melemahnya semangat (disinsentive)

pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bersama bangsa dan masyarakat

Indonesia. Keempat, untuk melakukan penyempurnaan UU KPK dan penataan

kelembagaan pengadilan khusus yang diperlukan untuk itu, tidak dapat diselesaikan

seketika sehingga dibutuhkan waktu yang cukup.

81

Sebenarnya putusan MK dapat berhenti sampai pernyataan bahwa pasal 53 UU

No.53/2002 bertentangan dengan UUD 1945, seperti yang dilakukan oleh salah satu

hakim MK. Tetapi, mengapa MK justeru tetap memelihara keberadaan Pengadilan

Tipikor sampai tiga tahun pasca putusan?

Dari kacamata kepastian hukum, putusan MK dapat diinterpretasikan berpotensi

menimbulkan persoalan baru yang belum pernah terjadi dalam praktek hukum di

Indonesia, yakni dualisme kekuatan hukum atas vonis bagi orang yang dijerat dengan

UU KPK. Dampak lain yang timbul adalah keraguan masyarakat terhadap sepak terjang

KPK. Walaupun KPK masih bisa melakukan penyelidikan, penyidikan dan mengajukan

penuntutan, tetapi pengadilan Tipikor sudah dinyatakan cacat konstitusi.

Namun, apabila kita melihat dari kacamata kemanfaatan, putusan MK memberi waktu

tiga tahun kepada pengadilan Tipikor untuk tetap bekerja merupakan ijtihad dalam

sistem hukum kita. Arti umum ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh

untuk memutuskan suatu perkara yang sulit atau masih multitafsir dengan

menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Empat alasan yang dikemukakan

MK dapat dilihat didasari suatu pertimbangan bahwa korupsi sudah bukan lagi

kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, MK tidak

serta merta memberlakukan pembatalan pengadilan Tipikor yang dapat mengganggu

jalannya pemberantasan korupsi, namun MK memberi waktu tiga tahun untuk

melakukan proses peralihan yang mulus (smooth transition) sampai terbentuknya

aturan yang baru.

Sedangkan secara konstitusional, putusan MK mencoba meletakkan tujuan negara

sebagai muara penegakkan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi. Apabila

82

yang terjadi putusan MK menghambat pembelaaan hak-hak konstitusi rakyat, maka

putusan MK justeru akan inkonstitusional. Masuknya asas manfaat dengan

pertimbangan-pertimbangan sosiologis dan politik dalam putusan MK, akan

memberikan legitimasi konstitusional bagi KPK dan Pengadilan Tipikor untuk menjadi

instrumen penegakan hukum dalam mewujudkan masyarakat adil, makmur dan

sejahtera seperti yang termaktub di dalam konstitusi.

Apabila kita sepakat bahwa korupsi sudah bukan lagi kejahatan biasa, melainkan

merupakan kejahatan luar biasa, maka aspek kepastian hukum harus tetap dijaga.

Namun, memadukan aspek kepastian hukum dan aspek kemanfaatan demi mencapai

keadilan masyarakat harus diusahakan dengan sangat oleh seluruh penegak hukum.

Dalam hal ini MK melalui ijtihadnya mencoba untuk melangkah terlebih dahulu. Apabila

ijtihad MK benar maka nilainya dua, tetapi apabila salah masih mendapatkan nilai satu.

Persoalan pro kontra terhadap putusan MK dapat kita lihat sebagai usaha bersama

dalam proses demokrasi, terutama dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan

korupsi.

Subtansi Pasal 53 adalah bahwa terdapat dualisme pengadilan yang mengadili perkara

korupsi, yakni peradilan umum (PN) dan peradilan khusus (Pengadilan Tipikor yang

secara struktural juga beradilan di bawah lingkungan peradilan umum). Keadaan

demikian dinyatakan ada diskriminasi di depan hukum, yang tidak sejalan

(inkonstitusional) dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. MK memutuskan, Pasal 53 UU

KPK bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan standar ganda peradilan

korupsi antara peradilan umum yang dilakukan PN dan Pengadilan Tipikor. Tetapi MK

tidak menyatakan eksistensi Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. MK

83

hanya memutuskan agar dasar hukum Pengadilan Tipikor diperkuat dengan membuat

UU baru. MK juga menentukan waktu paling lama tiga tahun setelah putusan MK ini

harus sudah ada UU Pengadilan Tipikor yang baru. Pengadilan Tipikor merupakan

Pengadilan yang menyelesaikan perkara tipikor yang melibatkan penyelenggara

Negara. Tidak itu saja, Pengadilan ini juga diharapkan akan memupus kecurigaan

bahwa dalam perkara tipikor majelis hakim kurang objektif dan selalu memenangkan

pihak JPU KPK dan merugikan kepentingan terdakwa.

Pengadilan Tipikor sebagai lembaga ad hoc pemberantasan korupsi telah berhasil

mewujudkan harapan masyarakat dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus

korupsi. Sayangnya tujuan praktis pembentukan Pengadilan Tipikor tersebut dianulir

oleh Mahkamah Konstitusi.

Pengadilan Tipikor dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi. Sebagai sebuah pengadilan khusus, Pengadilan Tipikor

berinduk pada Pengadilan Negeri (PN) dalam hal ini PN Jakarta Pusat.

Tak hanya Pengadilan Tipikor, tiga pengadilan khusus lain juga berinduk di PN Jakarta

Pusat. Antara lain Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM dan Pengadilan Hubungan

Industrial. Karena itu, jabatan ketua pengadilan khusus itu, termasuk Pengadilan

Tipikor, juga dipegang oleh Ketua PN Jakarta Pusat. Meski berkedudukan di Jakarta,

namun Pengadilan Tipikor mempunyai yurisdiksi untuk menerima dan memutus perkara

korupsi di seluruh Indonesia yang diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pada perkembangannya, keberadaan Pengadilan Tipikor akan mengalami perubahan.

Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal

84

19 Desember 2006, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan UU tersendiri, paling

lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK itu.

Sebenarnya tidak ada satu pun amar putusan MK yang menyatakan bahwa Pengadilan

Tipikor harus dihapus. Dianulirnya keberadaan Pengadilan Tipikor disebabkan karena

perumus undang-undang tidak mampu merumuskan Pengadilan Tipikor secara

profesional. Terbukti, keberadaan Pengadilan Tipikor hanya ’’dicantelkan” dalam satu

pasal di Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK). Putusan MK menyatakan keberadaan Pengadilan Tipikor berdasarkan Pasal 53

UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945, khususnya

Pasal 24 A ayat (5),yang menyatakan bahwa susunan, kedudukan dan hukum acara

Mahkamah Agung,dan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.

Dari kalangan pemerintah,yang dikomandani Andi Hamzah,secara tegas mengatakan

bahwa ke depan mereka akan menghapuskan Pengadilan Tipikor dan meniadakan

hakim ad hoc korupsi. Alasannya,PengadilanTipikor dan hakim ad hoc menimbulkan

dualisme pengadilan dalam suatu lingkungan peradilan yang sama. Terhadap wacana

ini,muncul perlawanan.Beberapa LSM dan gerakan mahasiswa yang concern terhadap

pemberantasan korupsi melakukan aksi penolakan.ICW menarik diri dari tim pembahas

Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi versi pemerintah bergabung dalam

koalisi LSM lainnya.

Munculnya dualisme ’’ideologi” menyangkut eksistensi pengadilan tindak pidana korupsi

di masa mendatang menarik untuk dicermati. Pada dasarnya, dualisme ini muncul dari

sebuah ketidaksepakatan empiris dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam

pemberantasan korupsi. Termasuk di dalamnya para pelaku korupsi itu sendiri. Atas

85

dasar ini, perdebatan tentang eksistensi Pengadilan Tipikor ke depan seharusnya tidak

lagi didasarkan kepada kajian-kajian teoritis, tetapi lebih kepada aspek aplikatif dan

manfaat yang dihasilkan dari keberadaan Pengadilan Tipikor selama ini.

Harus diakui bahwa keberadaan Pengadilan Tipikor telah membawa pengaruh yang

sangat besar terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari sisi prestasi,

Pengadilan Tipikor terbukti lebih ’’cerdas’’ dalam menjerat para koruptor dibandingkan

dengan pengadilan umum.Hampir semua perkara yang ditangani oleh Pengadilan

Tipikor berujung dengan dihukumnya terdakwa.Jelas hal ini membawa manfaat bagi

negara, yakni kerugian keuangan negara yang timbul akibat perbuatan korupsi bisa

’’dikembalikan’’.

Dualisme ideologi ini pada akhirnya akan bermuara kepada politik (kebijakan) hukum

pidana. Poin penting dalam menentukan kebijakan hukum pidana adalah harus adanya

kesadaran dan kesengajaan dalam mempergunakan kebijakan hukum pidana.Menurut

pendapat Prof Sudarto, hal itu harus didasarkan pada penilaian dan melakukan

pemilihan dari sekian banyak alternatif yang dihadapi. Pendekatan rasional merupakan

pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan.Dari sekian

banyak alternatif yang ada, mempertahankan Pengadilan Tipikor merupakan pilihan

yang paling rasional.

Dalam konteks pembentukan Pengadilan Tipikor, pendekatan rasional pemberantasan

korupsi dapat dilihat dalam konsideran menimbang huruf b, Undang-Undang No 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan bahwa lembaga

pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara

efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Faktanya, pengadilan

86

umum secara substansial belum mampu berbuat lebih baik dari pada Pengadilan

Tipikor. Dengan dicantumkannya Pasal 53 tentang Pengadilan Tipikor dalam Undang-

Undang KPK, nyata terlihat pilihan pemberantasan korupsi melalui peradilan ad

hocmerupakan pilihan yang didasari kesadaran dan kesengajaan agar penegakan

hukum pemberantasan korupsi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Berkaca pada pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh negara-negara lain, seperti

China, tindakan-tindakan luar biasa (extraordinary action) dalam pemberantasan

korupsi sangat diperlukan.Secara faktual tindak pidana korupsi merupakan kejahatan

yang extraordinary pula. Atas dasar ini maka ’’dualisme’’ Pengadilan Tipikor sebaiknya

diletakkan dalam kerangka extraordinary action pemberantasan korupsi.

Apabila kita melihat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perkara

judicial review UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekilas

memang terkesan kontradiktif. Di satu sisi, pasal 53 UU No.30/2002 tentang

keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dinyatakan bertentangan

dengan konstitusi. Di sisi lain, pasal tersebut dinyatakan tetap mempunyai kekuatan

hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga tahun terhitung sejak

putusan diucapkan.

Ada baiknya kalau kita kembali melihat latar belakang didirikannya KPK. Pendirian KPK

melalui keputusan politik yang didasari suatu pertimbangan bahwa korupsi sudah bukan

lagi kejahatan biasa, melainkan merupakan kejahatan luar biasa. Selain itu, korupsi

sudah dianggap merugikan hak-hak dasar yang diatur dalam ECOSOC, itu artinya

sama dengan melanggar hak-hak konstitusi rakyat. Karena itu, pemberantasan korupsi

memerlukan lembaga khusus dengan kewenangan besar, wujudnya adalah KPK.

87

Melengkapi kekhususan KPK, dibentuk Pengadilan Tipikor yang khusus bertugas dan

berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya

diajukan oleh KPK.

Ironis, apabila MK sebagai lembaga yang didirikan dengan semangat dan landasan

moral yang sama dengan KPK dan Pengadilan Tipikor, yakni menghadirkan perbaikan

kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam praktiknya saling melemahkan satu sama

lain. Tetapi, apakah benar bahwa putusan MK yang menyatakan Pengadilan Tipikor

melanggar konstitusi dimaksudkan untuk menghapus keberadaan Pengadilan Tipikor?

Kita harus melihat secara jernih putusan MK. Hukum formil mungkin saja memiliki

logika dan aturan tersendiri dalam memutus perkara-perkara yang dihadapinya, tetapi

nurani masyarakat dan nilai-nilai keadilan kiranya juga merupakan hal mendasar yang

harus dipertimbangkan. Ini sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara

filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum;

dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.

Putusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No. 30/2002 tentang Pengadilan

Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dapat dilihat sebagai putusan yang

memberikan kepastian hukum. Putusan ini sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945 yang

ditafsirkan MK bahwa pembentukan badan peradilan di bawah MA harus dilakukan

dengan undang-undang. Artinya, Pengadilan Tipikor harus dibentuk dengan undang-

undang tersendiri, bukan di dalam UU KPK seperti saat ini. Walaupun saat ini

sebenarnya masih ada UU lain yang menerapkan hal serupa, seperti; Peradilan

Perselisihan Hubungan Industrial dan Peradilan Pelanggaran HAM Berat.

88

Sedangkan putusan lanjutan yang menyatakan bahwa Pasal 53 UU No.30/2002 tetap

mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat tiga

tahun terhitung sejak putusan diucapkan, merupakan terobosan yang didasarkan pada

aspek manfaat. Hal itu dapat dilihat dari empat alasan yang dikemukakan oleh MK;

Pertama, agar proses peradilan Tipikor tidak terganggu atau tidak macet. Kedua, agar

tidak menyebabkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat

mengacaukan penanganan perkara tipikor. Ketiga, agar tidak memperlemah semangat

(disinsentive) pemberantasan korupsi. Keempat, untuk melakukan penyempurnaan UU

KPK dan penataan kelembagaan pengadilan khusus.

Apa yang dimaksud dengan pengadilan khusus? Pertanyaan ini terkesan sederhana.

Tapi apakah benar sesederhana itu? Berikut penjelasan pasal 15 ayat 1 UU No. 4/2004

menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan pengadilan khusus:

Yang dimaksud dengan ”pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain,

adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia,

pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di

lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata

usaha negara.

Dari penjelasan tersebut terlihat ternyata UU 4/2004 tidak memberikan definisi apa

yang dimaksud dengan pengadilan khusus namun hanya memberikan contoh-contoh

dari pengadilan khusus itu sendiri, yang mana semua contoh pengadilan ’khusus’

tersebut sebenarnya telah ada sebelum UU 4/2004 itu sendiri lahir. Pengadilan Anak

diatur melalui UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga diatur

melalui Perpu No. 1 Tahun 1998, Pengadilan HAM diatur melalui UU No. 26 Tahun

89

2000, Pengadilan Hubungan Industrial diatur melalui UU No. 2 Tahun 2004 dan

Pengadilan Pajak diatur melalui UU No. 14 Tahun 2002. Selain pengadilan-pengadilan

tersebut terdapat satu pengadilan lagi yang dinyatakan sebagai pengadilan khusus,

yaitu Peradilan Syari’ah.

Dengan pendefinisian suatu konsep dengan memberikan contoh-contoh dari sesuatu

yang telah ada sebelumnya maka sangatlah logis jika yang dimaksud dengan konsep

tersebut dapat dilihat dari persamaan diantara contoh-contoh yang diberikan. Jika

ditelusuri dari masing-masing undang-undang yang melandasi pengadilan-pengadilan

yang disebutkan baik dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 maupun pasal 15 ayat 2

sebenarnya hanya terdapat satu kesamaan yang menghubungkan pengadilan-

pengadilan ’khusus’, yaitu pengadilan tersebut memiliki nama tertentu yang dinyatakan

dalam undang-undangnya. Mengapa demikian?

Secara sekilas memang terlihat bahwa terdapat setidaknya dua persamaan lainnya

yang menghubungkan antara pengadilan-pengadilan ’khusus’, yaitu adanya hakim

khusus dan kompentensi khusus. Persamaan ini sebenarnya tidak terdapat pada

semua pengadilan yang disebut pada pasal 15. Pengadilan yang dalam undang-

undanganya diatur adanya hakim khusus baik berupa hakim ad hoc maupun hakim

(karir) yang memiliki kualifikasi khusus, hanya terdapat pada Pengadilan Anak,

Pengadilan Niaga, Pengadilan HAM, Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI).

Untuk Pengadilan Pajak dalam undang-undangnya memang disebutkan kriteria-kriteria

hakim (Bab II Bagian Kedua UU 14/2002), akan tetapi khusus mengenai hakim

pengadilan pajak sebenarnya tidak dapat dipersamakan dengan hakim-hakim

90

pengadilan khusus lainnya. Lebih jauh lagi kedudukan Pengadilan Pajak (dan juga

Peradilan Syari’ah) sebenarnya tidak dapat disejajarkan dengan pengadilan-pengadilan

’khusus’ yang disebut dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 UU 4/2004. Kedudukan

Pengadilan Pajak lebih tepat disejajarkan dengan Peradilan Umum, Agama, Tata

Usaha Negara maupun Militer, sehingga dengan demikian hakim pengadilan pajak

setara dengan hakim pengadilan negeri, dan lainnya, atau dengan kata lain hakim-

hakim yang disebutkan dalam dalam pasal 8 UU Pengadilan Pajak sebenarnya

merupakan hakim ’umum’ itu sendiri, walaupun tidak seperti hakim ’karir’ pada

umumnya yang masa jabataannya ditentukan berdasarkan usia pensiun, hakim

pengadilan pajak dibatasi dengan masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat

diangkat lagi untuk 1 kali masa jabatan.

Pengadilan Pajak dinyatakan sebagai pengadilan khusus yang berada dalam

lingkungan peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya baru pada tahun 2004, yaitu

melalui penjelasan pasal 15 ayat 1 itu sendiri. Sejak awal pengadilan ini sebenarnya

memang dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri yang sejajar

dengan 4 lingkungan peradilan yang telah ada. Indikasi bahwa pengadilan ini

sebenarnya dimaksudkan sebagai suatu lingkungan peradilan tersendiri

yaitu pertama dari tidak dicantumkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN

dalam bagian konsideran mengingatnya, walaupun dua undang-undang yang berkaitan

dengan kekuasaan kehakiman, yaitu UU No. 14/1970 dan UU No. 14/1985 tentang

Mahkamah Agung secara tegas dicantumkan. Kedua, dalam pasal 5 ayat 2 UU 14/2002

dinyatakan bahwa Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan

Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, padahal pada saat itu departemen yang

91

membawahi lingkungan peradilan Tata Usaha Negara adalah Departemen

Kehakiman. Ketiga, dalam penjelasan pasal 33 ayat 1 dinyatakan bahwa putusan

pengadilan pajak tidak dapat diajukan gugatan ke Peradilan Umum, Peradilan Tata

Usaha Negara, atau Badan Peradilan lain…dst. Jika UU 14/2002 merupakan

pengadilan yang berada di lingkungan peradilan TUN maka tentunya dalam penjelasan

pasal 33 ayat 1 tersebut cukup hanya menyebutkan bahwa putusan pengadilan pajak

tidak dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi TUN. Selain itu indikasi bahwa

Pengadilan Pajak sedari awal memang dimaksudkan sebagai suatu lingkungan

peradilan tersendiri juga dinyatakan oleh anggota MPR/DPR Zein Badjebber yang

merupakan anggota PAH I Badan Pekerja MPR. Pada saat pembahasan amandemen

konstitusi khususnya mengenai bab Kekuasan Kehakiman Zein Badjeber menyatakan:

…”Kami ingin mengkaji kembali bersama Tim Ahli, apakah hal-hal tersebut

sesuai dengan kebutuhan negara kita sehingga nantinya dan sekarang ini di

DPR sedang dibicarakan adanya Badan Peradilan Pajak yang menghendaki

merupakan lingkungan peradilan tersendiri, yang menurut kami bertentangan

dengan Pasal 10 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No.

14 Tahun 1970…”

Selain pengadilan pajak, Peradilan Syari’ah khususnya konsep peradilan syari’ah yang

berjalan pada saat dibahasnya UU No. 4 Tahun 2004 juga sebenarnya tidak mengenal

konsep hakim khusus. Dalam UU No. 18 Tahun 2001 yang menjadi landasan hukum

Peradilan/Mahkamah Syai’ah bahkan tidak terdapat pengaturan sama sekali mengenai

hakim dari pengadilan tersebut kecuali dalam pasal 26 ayat 3 UU 18/2001 yang

menyatakan bahwa Hakim Mahkamah Syari’ah diangkat dan diberhentikan oleh

92

Presiden atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur

NAD dan Ketua MA. Pengaturan lebih jauh mengenai hakim mahkamah syariah ini,

termasuk keberadaan hakim ad hoc baru terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh, undang-undang yang lahir dua tahun setelah lahirnya UU

No. 4 Tahun 2004. Selain itu, seperti halnya Pengadilan Pajak, Peradilan Syari’ah ini

sepertinya pada awalnya juga tidak dimaksudkan sebagai suatu pengadilan khusus,

tetapi sebuah badan peradilan khusus sebagaimana yang diatur dalam pasal 13 UU

No. 14 Tahun 1970. Hal ini terlihat dari selain tidak disebutkannya lingkungan peradilan

yang membawahinya, juga terlihat dalam pasal 27 yang menyatakan bahwa sengketa

wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan

lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama

dan tingkat terakhir. Peradilan Syari’ah baru benar-benar masuk dalam suatu

lingkungan peradilan pada tahun 2006 dengan diundangkannya UU No. 11 Tahun

2006. Berbeda dengan Pasal 15 ayat 2 yang menyatakan bahwa Peradilan Syari’at

masuk dalam dua lingkungan peradilan, dalam UU No. 11/2006 dinyatakan bahwa

peradilan ini masuk dalam lingkungan peradilan agama saja.

Mungkin terkesan terlalu tidak masuk akal jika pada akhirnya yang dimaksud dengan

pengadilan khusus hanyalah pengadilan yang diberikan nama tertentu oleh undang-

undang yang mengaturnya, namun jika bukan sekedar bernama yang menjadi

pertanyaan kemudian adalah apa lagi yang bisa kita jadikan parameter untuk menilai

suatu pengadilan merupakan pengadilan khusus atau bukan? Adanya hakim ad hoc?

Parameter ini juga tampaknya tidak begitu valid, selain tidak semua pengadilan ‘khusus’

memiliki hakim ad hoc, seperti pengadilan anak dan pengadilan ekonomi, hakim ad hoc

93

juga sebenarnya bukan ‘monopoli’ dari pengadilan ‘khusus’ itu sendiri mengingat hal ini

juga terdapat dalam Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.

Parameter berikutnya yang bisa kita pakai mungkin kembali dengan menggunakan

parameter adanya hakim khusus –dengan asumsi bahwa pembuat UU No. 4/2004

bermaksud ‘memerintahkan’ agar undang-undang yang menjadi dasar hukum dari

pengadilan pajak maupun peradilan syari’ah untuk segera diubah[9], kini yang menjadi

pertanyaan adalah, bagaimana dengan ‘pengadilan’ yang mengadili perkara pemilu

yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPRD dan DPD? Dalam undang-undang tersebut memang tidak disebutkan adanya

pengadilan yang ‘bernama’, misalnya Pengadilan Pemilu, namun dalam pasal 254 ayat

2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa sidang pemeriksaan perkara pidana

Pemilu sebagaimana dilakukan oleh hakim khusus. Apakah dengan demikian dapat

dikatakan bahwa selain pengadilan khusus yang disebut dalam UU 4/2004 (dan

Pengadilan Perikanan yang diatur dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan) terdapat

pengadilan khusus Pemilu?

Penggunaan istilah ‘pengadilan khusus’ sebenarnya dimulai pada tahun 1998, tepatnya

dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Tentang Kepailitan

yang menjadi landasan hukum dari pengadilan niaga yang kemudian disahkan menjadi

undang-undang melalui UU No. 4 Tahun 1998. Istilah tersebut dapat ditemukan dalam

konsideran Menimbang huruf f yang selengkapnya berbunyi:

bahwa selain untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang-

piutang tersebut diatas, terwujudnya mekanisme penyelesaian sengketa secara

adil, cepat, terbuka dan efektif melalui suatu pengadilan khusus di lingkungan

94

Peradilan Umum yang dibentuk dan bertugas menangani, memeriksa dan

memutuskan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan termasuk di

bidang kepailitan dan penundaan pembayaran, juga sangat diperlukan dalam

penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya;

Jika dilihat dari penjelasan umumnya sebenarnya pengadilan ini merupakan bentuk

pengkhususan yang dimungkinkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam penjelasan pasal 10 ayat 1 UU

tersebut dinyatakan Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan

peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu

dan meliputi Badan-badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena

mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu, sedangkan

Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara

perdata, maupun perkara pidana.

Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya

pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya

dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan lalu lintas,

Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.

UU No. 14/1970 sendiri tidak menjelaskan lebih jauh maksud dari dimungkinkannya

pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) itu sendiri, apakah yang dimaksud

pengkhususan tersebut adalah pengkhususan atau penyimpangan dari hukum acara

yang berlaku umum dari hukum acara yang berlaku bagi masing-masing lingkungan

peradilan atau bidang perkara atau termasuk misalnya membentuk pengadilan

95

tersendiri. Sebagaimana halnya pasal penjelasan pasal 15 UU No. 4/2004, penjelasan

pasal 10 ayat 1 UU 14/1970 juga hanya memberikan contoh dari pengadilan-pengadilan

yang merupakan bentuk pengkhususan itu sendiri dimana pada saat itu setidaknya

memang telah ada salah satu dari tiga contoh pengadilan yang disebutkan, yaitu

pengadilan ekonomi (UU Drt No. 7/1955).

Ketidakjelasan maksud pembuat undang-undang juga ditemukan dalam UU No. 19

Tahun 1964 yang juga mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Hanya saja dalam UU

ini tidak disebutkan baik istilah pengadilan khusus maupun pengkhususan, penjelasan

pasal 7 UU ini langsung menyebutkan bahwa peradilan umum antara lain Pengadilan

Ekonomi, Pengadilan Subversi, dan Pengadilan Korupsi, sementara Peradilan Tata

Usaha Negara antara lain meliputi juga Peradilan Kepegawaian, yang saat itu telah

dinyatakan dalam UU No. 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kepegawaian.

Penggunaan istilah pengadilan khusus sendiri tak jarang ‘tertukar’ dengan

istilahperadilan khusus. Pengadilan Niaga sendiri yang pada bagian konsideran

menimbangnya disebut sebagai pengadilan khusus, namun dalam penjelasan

umumnya justru dinyatakan sebagai peradilan khusus.

Penjelasan umum Perpu No. 1/1998… Ketujuh, penegasan dan pembentukan

peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah kepailitan secara umum.

Lembaga ini berupa Pengadilan Niaga, dengan Hakim-hakim yang dengan

demikian juga akan bertugas secara khusus…dst

Istilah peradilan khusus sendiri memang terdapat dalam UU No. 14/1970. Selain dari

penjelasan pasal 10 ayat 1 yang menyebutkan Peradilan Militer, Agama, maupun Tata

96

Usaha Negara sebagai peradilan khusus, dalam pasal 13 nya juga dinyatakan bahwa

Badan-badan Peradilan khusus disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada,

hanya dapat diadakan dengan Undang-undang. Ketentuan pasal 13 ini memang

seakan menyiratkan bahwa disamping 4 badan peradilan yang disebut dalam pasal 10

dapat dibentuk badan peradilan lainnya. Hal ini tampaknya menjadi salah satu faktor

yang membuat persepsi bahwa pengadilan-pengadilan khusus yang saat itu baru

dibentuk seperti pengadilan niaga dan HAM seperti sebuah badan peradilan

sebagaimana halnya peradilan umum, terlebih setelah akhirnya lingkungan peradilan

dibatasi pada konstitusi tak lama kemudian ternyata UU Pengadilan Pajak (14/2002)

tetap membuat pengadilan ini sebagai lingkungan peradilan tersendiri bukan dibawah

lingkungan peradilan TUN sebagaimana sebelumnya disepakati oleh MPR.[12] Adanya

perbedaan persepsi terhadap kedudukan pengadilan-pengadilan khusus (yang tidak

semuanya dinyatakan dalam undang-undangnya sebagai pengadilan khusus) serta

‘kekeliruan’ UU No. 14/2002 tersebut tampaknya yang melandasi perubahan rumusan

pengaturan penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 15 UU 4/2004 seperti yang

ada saat ini. Atau dengan kata lain, pengaturan pasal 15 UU No. 4/2004 sebagaimana

halnya penjelasan pasal 7 UU No. 19/1964 dan penjelasan pasal 10 UU No. 14/1970

lebih didasari pada pertimbangan memperjelas kedudukan pengadilan-pengadilan

‘bernama’ yang telah ada dibanding memberikan kerangka hukum bagi pengaturan

dimasa mendatang.

Sorotan publik atas lambatnya DPR menyelesaikan RUU Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi kian gencar. Hampir habisnya usia Pengadilan Tipikor yang ada saat ini telah

menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar masyarakat bahwa hal ini merupakan

97

masa berakhirnya era pemberantasan korupsi. Dapat dikatakan Pengadilan Tipikor

merupakan satu-satunya pengadilan khusus atau ‘ bernama’ yang mendapatkan

sorotan begitu besar dibandingkan pengadilan-pengadilan khusus yang ada lainnya.

Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang membuatnya berbeda baik dari pengadilan

khusus lainnya maupun dari pengadilan lainnya yang juga memiliki kewenangan untuk

memeriksa dan mengadili perkara korupsi?

Jika melihat pada pengaturan yang ada mengenai pengadilan Tipikor ini, khususnya

yang ada dalam Bab VII UU No. 30 Tahun 2002 yang menjadi landasan dari pengadilan

ini sebenarnya tidak ada pengaturan yang berbeda dari penanganan perkara korupsi

pada umumnya, mengingat pada dasarnya pengkhususan hukum acara bagi perkara

tindak pidana korupsi sebenarnya terdapat dalam UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001

yang juga berlaku bagi perkara korupsi yang diadili pada pengadilan biasa. Satu hal

yang secara signifikan membedakan pengadilan ini dengan ‘pengadilan tipikor biasa’

sebenarnya hanyalah pengaturan mengenai komposisi hakim yang berwenang

mengadilinya, dimana dalam pengadilan ini terdapat hakim ad hoc yang komposisinya

lebih besar dari hakim biasa atau karir.

Pengadilan Tipikor bukan bagian dari keluarbiasaan, tetapi hanya merupakan bagian

dari kekhususan. Konteks keluarbiasaan dalam pemberantasan korupsi menurutnya

tidak berarti harus memiliki berbagai kekhususan, misalnya harus ada Penyidikan

Khusus Korupsi, Penuntutan Umum Korupsi, dan Pengadilan Khusus Korupsi.

Pernyataan ini seakan menafikan bagaimana sejarah terbentuknya KPK sebagai trigger

mechanism dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

98

Konsekuensi negara menetapkan korupsi sebagai extraordinary crime adalah harus

adanya instrumen extrameasure. Artinya, diperlukan langkah-langkah ekstra untuk

memberantas korupsi dalam bentuk sistem yang luar biasa dan berbeda dengan sistem

yang telah ada. Instrumen dimaksud mencakup aspek peraturan perundang-undangan,

aspek kelembagaan, maupun infrastruktur yang harus disediakan. Bentuk kongkritnya

adalah adanya Undang-Undang Tipikor dan dibentuknya KPK yang di dalam Undang-

Undangnya mengamanatkan pembentukan pengadilan Tipikor.

Artinya, pengadilan Tipikor pun dibentuk menurut logika kerangka sistem yang

terintegrasi dalam sistem peradilan korupsi. Logika ini didasarkan atas pemahaman,

bahwa pengadilan Tipikor sebagai pintu terakhir penanganan kasus tipikor tentu harus

turut memiliki semangat antikorupsi. Jika perkara tipikor yang diperiksa KPK hanya

untuk diserahkan kepada pengadilan umum, maka keluarbiasaan dan kekhususan

tipikor menjadi hilang. Alasannya, pengadilan Tipikor dibentuk karena pengadilan umum

tidak dapat bekerja optimal dan marak dengan mafia peradilan. Belajar dari motto

pengadilan di Inggris yang menyatakan, “berikan aku hakim yang baik, meski di

tanganku ada hukum yang buruk”. Hal itu sangat relevan mengingat keluarbiasaan dari

sistem pemberantasan korupsi justeru akan ditemukan dalam Pengadilan Tipikor.

Bahkan, keberadaan pengadilan Tipikor harus ditunjang oleh sistem peradilan yang luar

biasa dan khusus. Ketersediaan hukum acara khusus yang berbeda dengan KUHAP

sangat diperlukan. Hal itu bukan berarti tidak menjunjung tinggi asas-asas dalam

KUHAP, namun justeru menempatkan hukum tidak hanya sebatas pengertian formil,

melainkan harus diletakkan pula di dalam konteks kemanfaatan dan keadilan. Oleh

99

karena itu, pembentukan pengadilan Tipikor harus diletakkan di dalam usaha bersama

untuk membentuk sistem peradilan pidana secara terintegrasi.

Saat ini, setiap elemen negara seharusnya bergerak bersama di dalam usaha

pemberantasan korupsi. Tak luput, para penegak hukum. Pengadilan adalah salah satu

institusi penegak hukum di Indonesia. Demikian halnya pengadilan Tipikor, yang

eksistensinya semakin ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Terlepas

dasar hukum pembentukannya yang masih perlu dibenahi, namun fungsi dan

kewengannya adalah konstitusional.

Lolosnya setiap tuntutan KPK dalam pengadilan Tipikor bukan sekedar adanya prinsip

kehati-hatian dari KPK di dalam mengajukan tuntutan, tetapi ditunjang oleh kecermatan

pengadilan Tipikor dalam melakukan pemeriksaan setiap perkara yang ditangani. Fakta

dan bukti-bukti yang ditemukan selama proses pemeriksaan di pengadilan tentu

menjadi pertimbangan bagi para hakim untuk membuat putusan yang seadil-adilnya.

Jika akhirnya tuntutan diterima, tentu bukan karena KPK dan pengadilan Tipikor

berkonspirasi untuk menghukum orang secara sembarangan. Sebaliknya, KPK terbukti

sudah mengoptimalkan fungsinya di dalam melakukan penyidikan dan penuntutan.

Sementara pengadilan Tipikor sudah menggali kebenaran untuk membangun

keyakinan majelis hakim dalam mengambil putusan. Hal itu membuktikan bahwa KPK

dan pengadilan Tipikor telah melakukan tugasnya di dalam mengadili perkara korupsi

sesuai dengan pertimbangan hukum formal dan material serta memenuhi asas

kemanfaatan dan keadilan.

Tindakan berani dan progresif hakim Tipikor selama ini di dalam menangani kasus

korupsi ternyata mendapat penilaian yang berbeda dari penulis. Penulis menilai, bahwa

100

para hakim menjadi lebih pandai menghukum daripada mengadili termasuk

mengorupsikan berbagai masalah konflik sipil, bisnis, dan administratif yang terjadi di

masyarakat. Penilaian tersebut dapat dikatakan tendensius dan sebagai bentuk

penghakiman hakim tipikor. Dapat dikatakan demikian, mengingat penulis tidak

mengemukakan data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Penulis hanya

memberikan satu data mengenai putusan pengadilan Tipikor dalam kasus penunjukan

langsung di Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Daan Dimara. Tentu saja hal itu tidak

cukup dijadikan alasan penulis untuk menarik kesimpulan. Apalagi, penulis bertindak

sebagai pembela salah satu pihak yang ada hubungannya dengan kasus korupsi di

KPU yang besar kemungkinan menimbulkan conflict of interest.

Putusan MK tidak dalam konteks meniadakan eksistensi pengadilan Tipikor.

Konsekuensi lain dari putusan MK adalah bahwa sistem administrasi dan manajemen

pengadilan Tipikor justeru harus ditata sedemikian rupa agar mendukung percepatan

pemberantasan korupsi. Bukan justeru disatukan dan disamakan dengan sistem yang

selama ini kita pertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya.

Secara tegas MK pun memandatkan penataan sistem pemberantasan korupsi, dengan

merevisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait, yakni UU KPK dan UU

Tipikor. Tidak untuk meniadakan salah satu kewenangan KPK yang justeru

memperkuat sistem peradilan korupsi. Jika meniadakan pengadilan Tipikor dan

mengalihkan penuntutan tipikor pada kejaksaan dinilai sebagai langkah maju, maka dari

sudut penegakan hukum hal ini tidak tepat. Apabila penulis mengabaikan putusan MK

dengan sengaja, hal itu dapat diartikan mengabaikan penegakan hukum itu sendiri.

101

Meniadakan pengadilan Tipikor dan mengamputasi kewenangan KPK merupakan

bentuk lain dari memotong nadi pemberantasan korupsi.

Pekerjaan rumah penting pasca putusan MK yang harus secepatnya dilakukan oleh

pemerintah dan DPR adalah menyusun RUU Pengadilan Tipikor. Sedangkan LSM,

praktisi dan akademisi seharusnya memberikan masukan yang berharga bukan

memunculkan kontroversi yang tidak produktif. Akhirnya, benar dan salahnya

pernyataan Ketua KPK tidak serta merta dapat dijadikan alasan oleh penulis untuk

menghakimi KPK, apalagi mendorong pembubaran pengadilan Tipikor.

Pemerintah bersama DPR berwenang membuat UU, sementara MK berwenang untuk

membatalkan UU. UU No.30/2002 adalah produk pemerintah bersama DPR dan

ternyata pasal 53 UU.30/2002 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh MK.

Putusan MK bersifat final dan mengikat merupakan sebuah fakta yang harus diterima

oleh semua pihak, terutama lembaga-lembaga penegak hukum.

Pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi itu, ada banyak kalangan yang merasa

pesimis, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor dapat dibuat sesuai batas

penetapan waktu itu. Jika tertunda maka ada sejumlah Implikasi yang sangat serius

karena: (1) Jika Rancangan Undang-undang gagal ditetapkan menjadi undang-undang

pada waktu yang telah ditetapkan, maka pemerintah harus menerbitkan Perpu

mengganti undang-undang. Penggunaan cara seperti ini menimbulkan kerumitan

tertentu karena kemudian juga harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat yang disertasi alasan yang mensyaratkan adanya kondisi darurat. (2) Meskipun

jika pengesahan Rancangan Undang-Undang melampaui batas waktu yang ditetapkan,

Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dengan sendirinya bubar, tetapi penanganan

102

perkara kasus korupsi akan dikembalikan pada pengadilan umum. Kondisi ini dianggap

sebagai “lonceng kematian” bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Korupsi menjadi

dianggap sebagai kasus biasa (ordinary) dan bukan lagi sebagai kasus yang luar biasa

(extraordinary).

Fakta atas keadaan ini menjadi awal dari berakhirnya riwayat pemberantasan korupsi di

Indonesia. Konsekuensi lain jika rancangan ini tidak berhasil diselesaikan, fungsi dan

out come Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai salah satu lembaga yang melakukan

pemberantasan korupsi, khususnya pada tindakan represif akan menjadi terbatas.

Kalau menangani perkara, maka perkara itu akan diserahkan ke polisi. Dan jika sudah

sampai pada penuntutan, perkara itu akan dilimpahkan pada pengadilan negeri

(umum), dan “fungsinya” akan lebih berorientasi pada pencegahan, tidak ada

penindakan”. Pelimpahan perkara ke pengadilan umum itulah yang dikhawatirkan

karena selama ini, hukuman yang diberikan oleh pengadilan negeri pada umumnya

sangat ringan, dan bahkan punya kecenderungan, sebagiannya di bebaskan. Fakta ini

akan berbeda jika dibandingkan dengan putusan di Pengadilan Tipikor. Menurut catatan

Indonesian Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2005-juni 2008 ada sekitar 1184

terdakwa kasus korupsi yang dibawa ke pengadilan umum, dan ada sekitar 450

terdakwa divonis bebas. Keadaan sebaliknya ada di Pengadilan Tipikor, sebagian besar

atau hampir tidak ada terdakwa korupsi yang diadili di Pengadilan Tipikor dinyatakan

lolos dari tuntutan korupsi (tanpa pandang bulu). Sebagian besar putusan yang

dijatuhkan atau vonis pengadilan, rata-rata selama 5 (lima) tahun dan/atau sebagian

besarnya sesuai tuntutan dan cenderung melebihi tuntutan yang ada. Misalnya, dalam

kasus korupsi besar yang diungkap: Abdullah Puteh, yang dituntut 8 tahun, akhirnya

103

dihukum 10 tahun; Nazaruddin Sjamsuddin yang dituntut 8 tahun 5 bulan, ternyata

divonis 7 tahun penjara; Rakhimin Dahuri dituntut 6 tahun, divonis 7 tahun; Rusdihardjo

dituntut 2 tahun 6 bulan, divonis 2 tahun; Urip Tri Gunawan di tuntut 15 tahun, divonis

20 tahun; Mulya W Kusuma dituntut 3 tahun, divonis 2 tahun 7 bulan, Syaukani H.R

dituntut 7 tahun divonis 18 bulan; Irawady Yunus dituntut 6 tahun, divonis 8 tahun;

Artalyta Suryani dituntut 5 tahun, divonis 5 tahun dan Burhanuddin Abdullah dituntut 8

tahun divonis 5 tahun.

Tidak mengherankan jika pengadilan Tipikor, “dianggap” sebagai arena bagi “para

algojo” untuk mengeksekusi, siapa saja yang di bawa masuk kedalamnya. Semuanya

itu telah menunjukkan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan yang paling

serius dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pada Rancangan

Undang-Undang ini juga dikemukakan, setiap perkara korupsi harus disidangkan di

Pengadilan Khusus Tndak Pidana Korupsi. Dengan kata lain, jika Rancangan Undang-

Undang sudah disaahkan, maka semua kasus korupsi akan diadili di Pengadilan Tipikor

ini. Pemeriksaan perkara di Pengadilan Tipikor juga akan ditangani dengan waktu yang

telah ditentukan, misalnya, tidak lebih dari 120 (seratus dua puluh) hari (atau 90 hari).

Fakta ini menegaskan, secara teoritik Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi berisikan dorongan sistematis aagar pemberantasan korupsi dilakukan secara

lebih strukutral dan radikal.

Dari seluruh pasal yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi, paling tidak ada beberapa pasal “panas” yang menimbulkan

perdebatan di kalangan masyarakat. Adapun pasal-pasal dimaksud, yaitu antara lain:

(1) perlu tidaknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini ada di setiap kabupaten, (2)

104

pengangkatan hakim, (3) serta komposisi hakim ad-hoc dan karier dalam majelis hakim

kasus korupsi.

Sebelum dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di sejumlah daerah, kinerja

Pengadilan Tipikor layak diberi apresiasi. Sejak 2004 sampai 2009, dari sedikitnya 68

terdakwa korupsi yang diproses oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, semuanya

dinyatakan bersalah dan dihukum penjara atau belum ada koruptor yang divonis bebas.

Vonis yang dijatuhkan ketika hanya ada satu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di

Jakarta itu cukup memberi efek jera terhadap koruptor dengan hukuman rata-rata 3-4

tahun penjara. Memang tidak semua vonis bebas dapat dikatakan bermasalah.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga tidak adil jika menghukum pelaku yang

sungguh-sungguh tak bersalah. Karena itu, putusan bebas atas terdakwa korupsi harus

dinilai secara obyektif sejak proses persidangan hingga putusan hakim dibacakan.

Aspek integritas hakim juga tidak boleh dilupakan untuk ditelusuri. Semua pihak

sebaiknya tidak boleh mengabaikan adanya indikasi mafia peradilan, yang dapat

mengakibatkan terdakwa kasus korupsi dibebaskan. Misalkan saja hakim Syarifuddin,

yang membebaskan terdakwa korupsi Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu

nonaktif, yang akhirnya tertangkap oleh KPK dalam kasus suap dan pemerasan. Selain

Syarifuddin, dalam lima tahun terakhir sudah empat hakim lainnya ditangkap oleh

penegak hukum karena terlibat praktek mafia peradilan.

Meskipun dilematis, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah sudah

suatu keniscayaan. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya

pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak

105

pidana korupsi. Kasus korupsi yang diadili bukan hanya yang diajukan oleh KPK, tapi

juga dari pihak Kejaksaan.

Regulasi ini juga mengamanatkan paling lama dua tahun Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi harus dibentuk di semua ibu kota provinsi. Per April 2011, Mahkamah Agung

telah membentuk 14 Pengadilan Tipikor di daerah. Munculnya vonis bebas di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi harus dimaknai sebagai lampu kuning bagi upaya

pemberantasan korupsi. Semua pihak harus berhati-hati terhadap upaya pelemahan

pada kinerja pemberantasan korupsi, termasuk melalui Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi.

KPK dan Kejaksaan sebaiknya juga perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja di

bidang penuntutan. Evaluasi dilakukan untuk melihat ada-tidaknya kelemahan dalam

surat dakwaan, proses pembuktian dan penuntutan yang diajukan oleh jaksa KPK.

Proses ini penting agar menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan perilaku hakim Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi baik di dalam kedinasan maupun di luar kedinasan. Apalagi Komisi

Yudisial, melalui regulasi terbaru, telah memiliki kewenangan melakukan penyadapan

terhadap hakim yang dicurigai. Ketika ada indikasi penyuapan terhadap hakim, maka

proses selanjutnya adalah melibatkan KPK untuk menangkap pelaku.

Mahkamah Agung, sebagai atasan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, perlu

mengevaluasi kembali semua hakim Tipikor yang telah berdinas. MA juga harus

memperketat proses seleksi calon hakim Tindak Pidana Korupsi untuk ditempatkan di

pengadilan antikorupsi lain yang belum terbentuk. Lembaga ini juga tidak perlu ragu

melibatkan Komisi Yudisial dalam melakukan proses seleksi dan menelusuri rekam

106

jejak yang bersangkutan. Calon hakim yang memiliki integritas diragukan atau bahkan

buruk sudah selayaknya tidak diterima.

Langkah-langkah tersebut penting dilakukan agar eksistensi Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi, sebagai benteng terakhir antikorupsi, tidak terancam oleh mafia peradilan.

Semua pihak harus menjaga agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi kebanggaan

masyarakat dalam memberantas korupsi dan tidak berubah menjadi kebanggaan para

koruptor.

Semua pihak harus menjaga agar Pengadilan Tipikor tetap menjadi kebanggaan

masyarakat dalam memberantas korupsi dan tidak berubah menjadi kebanggaan para

koruptor

107

BAB IV

KESIMPULAN

Korupsi merupakan penyakit kronis yang diidap oleh bangsa Indonesia. Untuk dapat

mengobati penyakit tersebut diperlukan langkah-langkah luar biasa (extraordinary

measure) yang harus dilakukan oleh Negara. Namun Negara, melalui lembaga-

lembaga penegak hukum, bukanlah menjadi pihak satu-satunya yang

bertanggungjawab atas pelaksanaan langkah-langkah pemberantasan korupsi ini.

Seluruh pihak penyelenggara Negara maupun rakyat selaku shareholder dan

pemangku kedaulatan tertinggi juga berpartisipasi dalam upaya memberantas dan

membumihanguskan korupsi.

Permasalahannya adalah pelaku korupsi juga tidak tinggal diam. Seringkali, pelaku

korupsi melakukan perlawanan dengan menyerang balik lembaga-lembaga penegak

hukum. Permasalahan hukum tercampur aduk dengan masalah politik. Persoalan

makin pelik. Permasalahan korupsi yang terjadi diranah hukum juga acap ditelusuri

hingga akarnya untuk mencari legitimasi konstitusionalnya. Adalah Mahkamah

Konstitusi menjadi ajang terakhir untuk menyelesaikan polemik masalah korupsi.

Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-

undang terhadap UUD 1945, telah memeriksa 23 permohonan pengujian undang-

undang yang berkaitan dengan korupsi, yaitu Undang-undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Tentag Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang

108

Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini paling tidak Mahkamah

telah menguji kurang lebih 102 norma dalam undang-undang tentang korupsi. Dari 23

permohonan pengujian undang-undang terkait korupsi tersebut, Mahkamah hanya

mengabulkan (atau mengabulkan sebagian) empat permohonan yang diajukan

padanya. Lima belas permohonan ditolak, dan sisanya tidak dapat diterima.

Setelah memetakan perkara-perkara pengujian Undang-Undang yang berkaitan dengan

tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh MK, masalah muncul dalam kaitannya

dengan putusan yang mengabulkan permohonan pemohon. Dengan kata lain, putusan

MK mematalkan keberlakuan suatu norma yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi. Permasalahan yang kerap muncul dalam setiap putusan MK adalah dalam hal

implementasi atau pelaksnaannya. Karakteristik dasar putusan MK yang hanya

menggantungkan pada sifat kepatuhan lembaga-lembaga terkait untuk melaksanakan

putusan MK menjadi salah satu unsur pemicu masalah. Hal serupa ditemukan pada

putusan-putusan MK yang membatalkan norma UU tindak pidana korupsi.

Dengan dibatalkannya penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi,

kontroversi muncul berkaitan dengan kepatuhan dari Mahkamah Agung dan lembaga

peradilan yang berada dibawahnya untuk menyelaraskan isi putusannya dengan

Putusan MK. Putusan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sering kali tidak

menyesuaikan dengan pertimbangan hukum pendapat putusan MK nomor 003/PUU-

IV/2006. Mahkamah Agung tetap pada yurisprudensinya yang mempertimbangkan

unsur sifat melawan hukum materiil pada perkara-perkara korupsi. Salah satu putusan

MA yang menjadi titik balik bagi MA untuk konsisten dengan yurisprudensinya adlah

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas

109

nama terdakwa Rusadi Kantaprawira. Setelah putusan ini, sebagian besar putusan MA

maupun lembaga peradilan umum lainnya tetap berpegang pada yurisprudensi dengan

mempertimbangkan sifat melawan hukum materiil untuk mengadili kasus korupsi.

Meskipun ada beberapa putusan lembaga peradilan umum yang patuh pada putusan

MK dengan hanya melihat pada sifat melawan hukum formil saja. Putusan MK

No.003/PUU-IV/2006 sebenarnya tidak mengubah apapun, karena secara substansial

tidak mengubah isi UU yang dimohon. Keuntungannya adah bahwa dalam bidang

hukum pembuktian, Jaksa Penuntut Umum cukup membuktikan unsur melawan hukum

ini secara formal. Sehingga tuduhan korupsi itu dapat segara disidangkan dimuka

peradilan.

Dalah hal penguatan KPK untuk semakin menjaga independensinya, MK memutus

perkara Nomor 5/PUU-IX/2011. Penguatan dimaksud adalah dalam konteks

penggantian Pimpinan KPK yang tidak selayaknya diganti serentak. Akan menjadi lebih

proporsional dan menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum apabila terjadi penggantian antarwaktu di antara Pimpinan KPK

diangkat untuk satu periode masa jabatan empat tahun [vide Pasal 28D ayat (1) UUD

1945].

Pasal 34 UU KPK, menurut pertimbangan MK adalah inkonstitusional secara bersyarat,

yaitu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan KPK

baik pimpinan yang diangkat sejak awal secara bersamaan maupun bagi pimpinan

pengganti yang menggantikan pimpinan yang berhenti pada masa jabatannya adalah

empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.

110

Dari uraian pertimbangan Putusan MK tersebut, jelas terlihat bagaimana politik hukum

yang dibangun oleh MK dalam upaya pemberantasan korupsi. MK membuat garis yang

jelas terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi yang nyata-nyata telah

menghancurkan negara. Atas kesadaran itu, MK ingin agar lembaga anti rasuah

tersebut benar-benar menjadi lembaga yang independen. Untuk membantu menjaga

independensi KPK, MK dalam putusan ini mengubah mekanisme pengisian jabatan

para pemimpinnya. Diakui atau tidak, pengisian jabatan pimpinan KPK, terutama dalam

hal pergantian antar waktu, sangat berpotensi terhadap keberlangsungan lembaga

tersebut. Model yang selama ini dipakai adalah, jika terdapat pimpinan KPK yang

kosong ditengah masa jabatan, maka DPR akan melakukan seleksi untuk mengisi

kekosongan tersebut. Seseorang yang kemudian dinyatakan lolos oleh DPR akan

melanjutkan masa tugas dari orang yang dibantikan, bukan menjabat selama 4 tahun

penuh. Putusan MK terkait dengan masa jabatan bagi pimpinan KPK yang dipilih untuk

masa jabatan “antar waktu”, sangat bermanfaat dalam menebalkan garis perang

terhadap para koruptor.

Kontroversi terakhir adalah Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, yang memutus

mengenai keberadaan pengadilan tindak pidana korupsi. Konsekuensi negara

menetapkan korupsi sebagai extraordinary crime adalah harus adanya instrumen

extrameasure. Bentuk kongkritnya adalah adanya Undang-Undang Tipikor dan

dibentuknya KPK yang di dalam Undang-Undangnya mengamanatkan pembentukan

pengadilan Tipikor. Pengadilan Tipikor dibentuk menurut logika kerangka sistem yang

terintegrasi dalam sistem peradilan korupsi. Logika ini didasarkan atas pemahaman,

bahwa pengadilan Tipikor sebagai pintu terakhir penanganan kasus tipikor tentu harus

111

turut memiliki semangat antikorupsi. Jika perkara tipikor yang diperiksa KPK hanya

untuk diserahkan kepada pengadilan umum, maka keluarbiasaan dan kekhususan

tipikor menjadi hilang.

Pasca lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi, ada banyak kalangan yang merasa

pesimis, Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor dapat dibuat sesuai batas

penetapan waktu 3 (tiga) tahun pasca putusan dibacakan. Undang-Undang Nomor 46

Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akhirnya diterbitkan yang

menegaskan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yang

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi. Kasus

korupsi yang diadili bukan hanya yang diajukan oleh KPK, tapi juga dari pihak

Kejaksaan. Regulasi ini juga mengamanatkan paling lama dua tahun Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi harus dibentuk di semua ibu kota provinsi. Pembentukan Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi di daerah sudah suatu keniscayaan. Munculnya vonis bebas di

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah harus dimaknai sebagai lampu kuning

bagi upaya pemberantasan korupsi. Semua pihak harus berhati-hati terhadap upaya

pelemahan pada kinerja pemberantasan korupsi, termasuk melalui Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi. KPK dan Kejaksaan sebaiknya juga perlu melakukan evaluasi terhadap

kinerja di bidang penuntutan. Evaluasi dilakukan untuk melihat ada-tidaknya kelemahan

dalam surat dakwaan, proses pembuktian dan penuntutan yang diajukan oleh jaksa

KPK. Proses ini penting agar menjadi pembelajaran dan tidak terjadi lagi di masa

mendatang.

112

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Albert Venn Dicey, The Laws of the Constitution, (ed. E.C.S. Wade), 10th edition, 1959.

Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006

Chidir Ali, Yurisprudensi Indonesia tentang Perbuatan Hukum oleh Penguasa (Onrechtmatige Overheidsdaad) Tahun 1950 sampai dengan 1977,Bandung: Bina Cipta, 1978

David A. Strauss, The Living Constitution, (New York: Oxford University Press,2010), hlm. 1. Lihat juga Abdul Ghoffar, Konstitusi yang Bernyawa, Majalah Konstitusi, edisi Desember 2011.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, cetakan ke-2, Konpres, Jakarta, 2005.

Komariah Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya Dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni, 2002

Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi di Indonesia Jalan Tiada Ujung, Bandung: PT Grafiti, 2009.

LIPI. Kajian Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh Kemitraan dan LIPI, Jakarta, 2008.

M.A.Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Pradya Paramita, 1982.

Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi.Jakarta: LP3ES dan Obor, 1995.

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya, 2005

Onghokham, Tradisi dan Korupsi dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta: LP3ES dan Obor, 1995)

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005)

Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Bandung: Bina Cipta, 1991

Topo Santoso, Urgensi Pembenahan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Good Governance, Penelitian untuk Puslitbang, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta, 2011

Valerine J.L. Kriekhof, dkk., “Metode Penelitian Hukum (Seri Buku Ajar),” Buku A, (Depok, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000)

Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Jakarta: Ichtiar, 1974

Internet dan Artikel:

Abdul Ghoffar, Menambah Nyawa KPK, Harian Pikiran Rakyat Bandung, Agustus 2011.

Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (Deskripsi Singapura, Hongkong, Thailand, Madagascar, Zambia, Kenya dan Tanzania). acch.kpk.go.id/.../Komisi-Anti-Korupsi-di-Luar-Neger..., pada tanggal 22 Oktober 2013.

Fitria, Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (Kpk) Sebagai Lembaga Negara Penunjang Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, diambil dari jurnal.untan.ac.id/index.php/nestor/article/.../976‎, pada tanggal 22 Oktober 2013.

Jimly Asshiddiqie, Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD 1945, www.jimly.com.

Satu Dekade UU KPK, 14 Kali Diuji Materi, diunduh dari http://www.politikindonesia.com/, pada tanggal 23 Oktober 2013.

Emerson Yuntho, “Polemik Pengadilan Tipikor”, Republika, 14 November 2011

Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Pengadilan :

Indonesia, Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

iv

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993.

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2064K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani Suhaimi,

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 K/Pid/2006 Tanggal 16 Agustus 2006 atas nama terdakwa Hamdani Amin,

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1974K/Pid/2006 Tanggal 13 Oktober 2006 atas nama terdakwa Rusadi Kantaprawira.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2608 K/Pid/2006 atas nama Terdakwa Ahmad Rojadi

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 131 PK/Pid/2006 atas nama terdakwa Drs. H. Dharmono K. Lawi

v