Macam-macam pernikahan

3
Nomor 39 MACAM-MACAM PERNIKAHAN TERLARANG Nikah Mut’ah Istilah Mut’ah berasal dari kata Tamattu’ yang artinya menikmati. Dalam istilah Fiqih kawin Mut’ah ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki -laki terhadap wanita dengan batas waktu tertentu, misalnya untuk satu hari, satu minggu dan seterusnya. Ibnu Hazm menyebutkan bahwa nikah Mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan dilarang dalam agama. Nikah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah Saw, namun kemudian Allah SWT menghap us atau melarangnya. Seperti yang tertera dalam hadits. صلى ، نهى رسول عنه عن على رضي الحمرعن لحوم، نهى المتعة و عليه وسلم )متفق عليه( هلية زمن خيبر اArtinya:”Dari Ali r.a ia berkata, Rasulullah Saw telah melarang nikah mut’ah dan makan daging khimar pada zaman khaibar(H. R Muttafaqun'Alaih)”. Nikah Sighar Yang dimaksud dengan Syighar adalah tukar menukar, yaitu: seorang laki-laki memberikan saudara wanitanya, anak perempuannya/anak perempuan di bawah perwaliaannya kepada seorang laki-laki dengan imbalan diterimanya anak perempuan/saudara perempuan bawah perwaliaannya, tanpa memakai maskawin, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits: ابنته علىرجلر ان يزوج ال لشغار وا لشغاهى عن ا صلعم: ن ان رسول عنهما رضي عن ابن عمر نافع عن ان يزوج)متفق عليه( صداق ليس بينهماخر ابنته اArtinya:”Dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah melarang perbuatannya syighar (dan kemudian dijelaskan dengan perkataannya), syighar ialah laki-laki mengawinkan dengan imbalan dia dikawinkan kepada anak perempuan dari laki-laki tadi keduanya tanpa memberikan maskawin (H. R. Muttafaqun’Alaih)". Maharnya di sini ialah kelamin masing- masing wanita itu yang dimiliki laki-laki tersebut diatas. Nikah Muhallil Muhallil artinya menghalalkan, maksud yang dikehendaki menurut ilmu fiqh ialah suatu bentuk perkawinan yang semata-mata untuk menghalalkan kembalinya suami kepada mantan istrinya, akibat dari hak rujuk setelah talak ketiga. Seperti yang dijelaskan dalam hadits yang berbunyi: artinya:”Rasulullah SAW, melaknat muhallil dan muhallil lahu.” وعن ابنئ والت لنسارواه ا( لهلمحل واللمحلم، ال عليه وسل صلى عن رسول ل عنه قال مسعود رضي) رمذىArtinya: ”Dari Ibn Mas'ud r.aberkata Rasulullah Saw, melaknat muhallil dan muhallil lahu.” (H.R An-Nasa'I dan At-Turmudzi). Menurut hukum Islam seorang isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, tidak diperbolehkan kawin kembali dengan bekas suaminya kalau belum memenuhi syarat-yarat tertentu, yaitu: a. Harus kawin dengan laki-laki lain. b. Sudah berhubungan suami istri. c. Ditalak oleh suaminya yang baru tadi. d. Habis masa iddahnya.

Transcript of Macam-macam pernikahan

Page 1: Macam-macam pernikahan

Nomor 39

MACAM-MACAM PERNIKAHAN TERLARANG

Nikah Mut’ah

Istilah Mut’ah berasal dari kata Tamattu’ yang artinya menikmati. Dalam istilah Fiqih kawin

Mut’ah ialah perkawinan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki terhadap wanita dengan batas waktu tertentu, misalnya untuk satu hari, satu minggu dan seterusnya.

Ibnu Hazm menyebutkan bahwa nikah Mut’ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu

dan dilarang dalam agama. Nikah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah Saw, namun kemudian Allah SWT menghapus atau melarangnya. Seperti yang tertera dalam hadits.

هللا عليه وسلم، نهى المتعة وعن لحوم الحمر عن على رضي هللا عنه، نهى رسول هللا صلى

اال هلية زمن خيبر )متفق عليه(Artinya:”Dari Ali r.a ia berkata, Rasulullah Saw telah melarang nikah mut’ah dan makan daging khimar pada zaman khaibar(H. R Muttafaqun'Alaih)”.

Nikah Sighar

Yang dimaksud dengan Syighar adalah tukar menukar, yaitu: seorang laki-laki memberikan saudara wanitanya, anak perempuannya/anak perempuan di bawah perwaliaannya kepada seorang laki-laki dengan imbalan diterimanya anak perempuan/saudara perempuan bawah

perwaliaannya, tanpa memakai maskawin, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits:

ان يزوج عن نافع عن ابن عمر رضي هللا عنهما ان رسول هللا صلعم: نهى عن الشغار والشغار ان يزوج الرجل ابنته على االخر ابنته ليس بينهما صداق )متفق عليه(Artinya:”Dari Ibnu Umar r.a, Rasulullah melarang perbuatannya syighar (dan kemudian

dijelaskan dengan perkataannya), syighar ialah laki-laki mengawinkan dengan imbalan dia dikawinkan kepada anak perempuan dari laki-laki tadi keduanya tanpa memberikan

maskawin (H. R. Muttafaqun’Alaih)". Maharnya di sini ialah kelamin masing-masing wanita itu yang dimiliki laki-laki tersebut

diatas.

Nikah Muhallil

Muhallil artinya menghalalkan, maksud yang dikehendaki menurut ilmu fiqh ialah suatu bentuk perkawinan yang semata-mata untuk menghalalkan kembalinya suami kepada mantan

istrinya, akibat dari hak rujuk setelah talak ketiga. Seperti yang dijelaskan dalam hadits yang berbunyi: artinya:”Rasulullah SAW, melaknat muhallil dan muhallil lahu.”

رمذى(مسعود رضي هللا عنه قال لعن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، المحلل والمحلل له )رواه النسائ والت ابن وعن Artinya: ”Dari Ibn Mas'ud r.aberkata Rasulullah Saw, melaknat muhallil dan muhallil lahu.” (H.R An-Nasa'I dan At-Turmudzi).

Menurut hukum Islam seorang isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, tidak diperbolehkan kawin kembali dengan bekas suaminya kalau belum memenuhi syarat-yarat

tertentu, yaitu: a. Harus kawin dengan laki-laki lain. b. Sudah berhubungan suami istri.

c. Ditalak oleh suaminya yang baru tadi. d. Habis masa iddahnya.

Page 2: Macam-macam pernikahan

Nikah Tafwidh

“Nikah Tafwidh” ialah nikah yang di dalam sighat akadnya tidak dinyatakan kesediaan

membayar mahar (maskawin) oleh pihak calon suami kepada pihak calon istri.

Nikah Sirri

Pernikahan yang tidak diketahui oleh siapapun dan tidak ada wali dari wanita. Pada hakiktnya ini adalah zina karena tidak memenuhi syarat sahnya nikah.

Al-qur’an dan hadits telah menunjukkan bahwa salah satu syarat sahnya nikah adalah adalah adanya wali. Pernikahan ini tidak sah dan harus dibatalkan.

Pernikahan Silang

Yaitu pernikahan antara laki-laki dengan perempuan yang berbeda agama atau keyakinan.

Pernikahan Khadan Khadan artinya gundik atau piaraan, baik laki-laki yang menjadikan wanita sebagai gundik maupun wanita yang menjadikan laki-laki sebagai gundik.

Menikahi wanita yang berzina

Nomor 40

PERKAWINAN MENURUT UUD NO.1 TAHUN 1974

Perawinan menurut UU. No. I Tahun 1974. Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab yang terbagi menjadi 67 pasal, yang secara garis besar sebagai berikut .

1. Bab I : Dasar Perkawinann, terdiri dari 5 pasal. 2. Bab II : Syarat-syarat perkawinan, terdiri dari 7 pasal.

3. Bab III : Pencegahan Perkawinan, terdiri dari 9 pasal. 4. Bab IV : Batalnya Perkawinan, terdiri dari 7 pasal. 5. Bab V : Perjanjian Perkawinan, hanya 1 pasal.

6. Bab VI : Hak dan Kewajiban suami istri, terdiri dari 5 pasal. 7. Bab VII : Harta benda dalam perkawinan, terdiri dari 3 pasal.

8. Bab VIII : Putusnya Perkawinan serta Akibatnya, terdiri dari 4 pasal. 9. Bab IX : Kedudukan anak, terdiri dari 3 pasal. 10.Bab X : Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak, terdiri dari 5 pasal.

11.Bab XI : Perwalian terdiri dari 5 pasal. 12.Bab XII : Ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari 9 pasal.

13.Bab XIII : Ketentuan Peralihan, terdiri dari 2 pasal. 14.Bab XIV : Ketentuaan Penutup, terdiri dari 2 pasal.

a. Kewajiban Tentang Pencatatan Perkawinan.

UU No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa : Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam kompilasi Hukum Islam di Indonesia buku I Bab II pasal 5 dinyatakan bahwa : 1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus

dicatat. 2. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Nikah.

Page 3: Macam-macam pernikahan

3. Setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

4. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

b. Sahnya Perkawinan.

UU. No. I Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) menegasklan bahwa “Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam kompilasi hukum Islam Bab II disebutkan :

1. Pasal 4, Perkawinan itu sah, apabila menurut Hukum Islam. 2. Pasal 2, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidhan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

c. Tujuan Perkawinan

1. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuuhanan Yang Maha Esa. (UU. No. 1 Th. 1974)

2. “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.

d. Peranan Pengadilan Agama dalam Penetapan Talak

Menurut UU No. I Tahun 1974 Bab VIII :

1. Pasal 39 : Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

2. Pasal 40 : Gugatan perceraian diajukan dalam Pengadilan. Tata cara perceraian dan pengajuan gugatan cerai diatur tersendiri dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 Bab V pasal 14 sampai dengan pasal 36. Sedangkan peranan Pengadilan Agama menurut UU RI No. 7 Tahun 1989, pada

dasarnya sama dengan pasal 39 UU No. I Tahun 1974. Kemudian untuk mendapatkan gambaran yang agak jelas, pelajarilah pasal 66 UU No. 7 Tahun 1989

Batasan Umur

Untuk kemaslahatan keluarga Dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh di lakukan calon

mempelai yang telah mencapai umur yang sudah di tetapkan dalam undang-undang No 1 tahun 1974, yaitu ; menerangkan tentang : - Pihak pria ( calon suami )sekurang-kurangnya sudah mencapai umur 19 tahun.

- Pihak Wanita ( calon istri )sekurang-kurangnya sudah mencapai umur 16 tahun. Pasal 7 ayat 2 menerangkan, dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 dapat meminta

dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang di tunjuk oleh kedua orang tua pihak putra maupun pihak wanita.

Luthfi Rahmawati /20/XII IPS 2