M. romli, s.ag, s.hi

33
1 STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH, ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI. Disusun oleh Kelompok II: DARMANSYAH AYU FITRIANI ATAILLAH Mahasiswa Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH BANDA ACEH

description

 

Transcript of M. romli, s.ag, s.hi

1

STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH,ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI.

Disusun oleh Kelompok II:

DARMANSYAHAYU FITRIANI

ATAILLAH

Mahasiswa Fakultas TarbiyahJurusan Pendidikan Agama Islam

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH

BANDA ACEH

2

STUDY AGAMA ISLAM DALAM PENDEKATAN SEJARAH, ETNOTOLOGI DAN AUTROPOLOGI.

BAB IPENDAHULUAN

A.           Latar BelakangAntropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan

memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.[1]

Antropologi mempelajari kultur dalam masyarakat. Kultur diwujudkan dengan ideational dan behavioral. Ideational membentuk perilaku yang khas dalam masyarakat dan behavioral melihat bagaimana tingkah laku yang berjalan dalam masyarakat. Kultur membentuk masyarakat dalam bertindak dan mempengaruhi bagaimana masyarakat ikut serta dalam pembanguan. Koentjaraningrat pernah mengatakan istilah kebudayaan, sistem nilai budaya dan sikap mental adalah termasuk ke dalam konsep kultur, menurut aliran cultural developmentalism (2005:19). Penguasaan akan konsep kultur sesuatu yang mendasar keperluannya bagi antropologi. Antropolog mengenalkan keadaan dunia luar tanpa meninggalkan kultur yang ada dalam masyarakat dan mengatasi hambatan berupa adat istiadat dan sikap mental yang kolot, pranata-pranata sosial dan unsur-unsur kebudayaan tradisional, harus digeser disesuaikan dengan kultur kemajuan demi keperluan hidup masa kini.

B.            Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan, maka perumusan masalah

yang dapat disusun adalah sebagai berikut.1.             Bagaimana paradigma ilmu antropologi?2.             Apakah objek kajian dalam antropologi?3.             Bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan?4.             Bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia?5.             Bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia?6.             Apakah tantangan antropologi pembangunan di Indonesia?7.             Bagaimana konsep kultur dalam antropologi?

C.           Tujuan Penulisan

3

Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penulis menulis mekalah ini adalah sebagai berikut.

1.             Mengetahui paradigma ilmu antropologi.2.             Mengetahui objek kajian dalam antropologi.3.             Mengetahui bagaimana teori-teori dalam antropologi pembangunan.4.             Mengetahui bagaimana aplikasi pembangunan di Indonesia.5.             Mengetahui bagaimana situasi Departemen Antropologi Universitas Indonesia.6.             Mengetahui tantangan antropologi pembangunan di Indonesia.7.             Mengetahui bagaimana konsep kultur dalam antropologi.

BAB IILANDASAN TEORI

A. Pengertian PendekatanDalam KBBI pendekatan adalah “1.) proses perbuatan, cara mendekati; 2.) usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti; metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian.”1 Secara terminology, pendekatan merupakan serangkaian pendapat tentang hakikat belajar dan pengajaran. Jika dihubungkan dengan studi Islam, pendekatan berarti serangkaian pendapat atau asumsi tentang hakikat studi Islam dan pengajaran agama islam.Pendekatan tidak terpisah dari tujuan, metode, dan teknik. Pendekatan memiliki peranan yang sangat penting dalam studi Islam karena terkait dengan pemahaman akan Islam itu sendiri.Pendekatan ada beberapa macam. Namun pada makalah ini hanya akan dipaparkan pendekatan secara filosofis, histories, semiotika, dan fenomologis. 

B. Macam-Macam Pendekatan1) Pendekatan FilosofisBerdasarkan pendekatan filosofis, pendidikan islam diartikan sebagai studi proses tentang kependidikan yang didasari dengan nilai- nilai ajaran islam yang bersumber Al-qur'an dan As-sunnah.Pendekatan filosofis ini memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan kepada sejauh mana pengembangan berfikir dapat dikembangkan. Dalam proses belajar mengajar,pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya:pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam dan proses penciptaan manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,yaitu allah).Dalam hal ini Al-qur'an memberikan motivasi kepada manusia untuk selalu menggunakan pikirannya secara tepat guna untuk menemukan hakikatnya selaku hamba Allah, selaku makhluk sosial dan selaku khalifah di bumi.Pendekatan filosofis, al-qur'an memberikan konsep secara konkrit dan mendalam. Terbukti dengan adanya penghargaan Allah kepada manusia yang selalu menggunakan pemikiran. Ungkapan penghargaan tersebut. Terulang sebanyak 780 kali salah satu di antaranya ayat:Artinya: Allah SWT memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya .Dan barang siapa yang

4

diberi hikmah,sungguh telah diberi kebijakan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.2 (Q.S.Al-Baqarah:2:269).Tujuan pendekatan ini dimaksudkan agar manusia dapat menggunakan pemikiran seluas-luasnya sampai titik maksimal dari daya tangkapnya. Sehingga manusia terlatih untuk terus berfikr dengan menggunaka kemampuan berfikirnya. 2) Pendekatan HistorisSejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan perilaku dari proses tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.3Pendekatan sejarah juga dipakai untuk meneliti dan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan mitos dan kepercayaan agama-agama besar, seperti mitos atau cerita tentang Budha, Yesus, Musa dianalisa dengan memperhatikan muatan sejarahnya. Diasumsikan bahwa sebagai mitos untuk menunjuk pada peristiwa-peristiwa atau pribadi-pribadi dalam sejarah yang benar-benar eksis, sebab tanpa terdapat beberapa basis dalam sejarah, maka cerita-cerita itu tidak lain hanya akan bersifat fiksi atau khayal belaka.Problem dasar dalam pedekatan sejarah adalah bahwa suatu penjelasan tentang sebuah agama yang hidup tidak akan pernah sempurna atau berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa membawa perubahan dan usaha menunjukkan kembali agama keaslinya akan selalu bersifat rabaan.4Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealisme alam yang yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.Melalui pendekatan sejarah di temukan informasi tentang pendidikan islam yaitu terdapat sejumlah lembaga pendidikan islam yang pernah memainkan peranan dan sumbangan bagi pengembangan ajaran islam dan pemberdayaan umat. Sejumlah lembaga pendidikan tersebut antara lain rumah, seperti suffah,kuttab, masjid dan lain sebagainya.Munculnya berbagai tempat tersebut memperlihatkan hal-hal seberikut:51.Sejak kedatangan islam, umat islam tergerak hati, pikiran, dan perasaannya untuk memberikan perhatian yang besar terhadap penyelengaraan pendidikan.2.Model lembaga pendidikan islam yang diadakan oleh umat islam adalah model lembaga pendidikan informal, nonformal dan formal.3.Lembaga pendidikan yang di bagun umat islam bersifat dinamis, kreatif, inovatif, fleksibel dan terbuka untuk dilakukan perubahan dari waktu ke waktu.4.Adanya lembaga-lembaga pendidikan tersebut menunjukkan adanya pendidikan yang berbasis masyarakat, gerakan wajib belajar dan pendidikan gratis.5.Diketahui bahwa di kalangan umat islam telah terdapat sejumlah ulama’ yang memiliki perhatian untuk berkiprah dalam bidang pendidikan.6.Diketahui tentang kehidupan para guru dan pelajar.7.Diketahui tentang adanya sistem pengaturan atau menejemen pendidikan, mulai dari yang amat sederhana seperti di masjid-masjid sampai kepada yang besar dan canggih seperti yang diselenggarakanpada madrasah-madrasah. Menejemen pendidikan yang diterapkan pada saat ini dapat dikategorikan masih sederhana karena masih dalam taraf pertumbuhan dan

5

perkembangan.8.Diketahui tentang adanya pendanaan biaya pendidikan, selain bersumber dari pemerintah , wakaf, infak, sedekah dari orang dermawan dan lain sebagainya.9.Diketahui adanya sumbangan yang diberikan dunia pendidikan dan pengajaran, baik yang bersifat informal, nonformal maupun formal dalam rangka menghasilkan para ulama’ yang berkiprah, tidak hanya dalam pemerintah tetapi juga dimasyarakat pada umumnya sesuai dengan bidang keahliannya sehingga membawa kemajuan.10.Diketahui tentang adanya kurikulum yang diterapkan di berbagai lembaga pendidikan yang disesuaikan dengan visi, misi, tujuan dan ideologi keagamaan yang dimiliki oleh tokoh pendiri atau masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan.Model dan strategi ilmu pendidikan islam dengan pendekatan sejarah telah dilakukan baik oleh sarjana muslim maupun nonmuslim.Jika dilakukan analisis secara seksama terhadap hasil penelitian ilmu pendidikan islam dengan pendekatan sejarah dapat dikemukakan beberapa catatan sebagai berikut:61.Permasalahan yang menjadi fokus kajian ternyata vukup variatif. Bertitik tolak pada pendekatan waktu, pendekatan aspek-aspek pendidikan tertentu, dari segi para tokoh yang berperan dalam kegiatan pendidikan, dari segi pertumbuhan dan perkembangan.2.Berkaitan dengan metode yang digunakan. Dilihat dari segi bahan kajiannya ada yang bersifat riset kepustakaan dan riset lapangan; dari segi tujuan bersifat deskriptif, eskploratif dan uji teori; dari segi pendekatan analisnya mengunakan pendekatan analis sejarah; dan dari segi tujuan dan mafaatnya antara lain untuk menambah dan mengembangkan khazanah ilmu pendidikan islam, untuk selanjutnya digunakan bagi kepentingan peningkatan kualitas pendidikan islam.

3) Pendekatan SemiotikaKata semiotika ( semioligi ) berasal dari bahasa Yunani “ semeion” yang berarti tanda. Tanda ini bersifat universal, misalnya: bahasa, gambar, gerak, isyarat , warna, suara. Semuanya merujuk sebagai tanda Karena kehadirannya direspon manusia sebagai sarana komunikasi yang mempunyai arti. Misalnya ada bunyi bel dil luar rumah, itu merupakan tanda yang berarti ada orang di luar rumah yang mau bertamu. Dalam hal ini, Charles Sanders pierce menyatakan bahwa manusia hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Artinya, manusia dalam komuniasi seehari-harinya selalu mempergunakan tanda.7 Sementara Scoles menegaskan bahwa semiotika merupakan studi mengenai tanda-tanda (the study of signs) yang merupakan studi atas kode-kode sebagai suatu sistem yang memungkinkan manusia memandang sebagai tanda atau sesuatu yang bermakna. Pada hakikatnya, semiotika merupakan studi tentang tanda dengan segala substansinya. Simbol-simbol keagamaan menunjuk kepada struktur kehidupan mengungkapkan kehidupan secara lebih mendasar dan misterius dengan membukakan sisi kehidupan yang gaib dan tak terpahami. Dan pada saat yang sama dimensi sacramental eksistensi manusia di tangkap dalam sinaran-sinaran simbol-simbol keagamaan, kehidupan manusia mengungkapakan sisinya yang tersembunyi. Bagi masyarakat primitife, simbol-simbol selalu bersifat religius karena mengacu kepada sesuatu yang nyata atau struktur dunia. Karena budaya primitife yang nyata adalah yang berkekuatan, bermakna dan hidup adalah sejajar dengan yang sakral.

6

4)Pendekatan FenomenologisMunculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Edmund Husserl (1859- 1938) yang mengembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Berdasarkan prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Fenomenologi memperoleh pamor yang sangat luas karena fenomenologi tidak mengajukan suatu sistem pemikiran yang ekslusif, sebagaimana aliran- aliran filsafat yang pernah berkembang sebelumnya, yang menjadi isme- isme basar, melainkan cara atau metode saja dalam mendekati persoalan. Dengan demikian fenomenologi bisa digunakan untuk atau dianut oleh berbagai bidang ilmu seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan studi- studi agama.8Husserl kemudian mengembangkan fenomenologi menjadi sebuah metode untuk menemukan hakikat realitas yang akan diperoleh manakala subjek dan kesadaran manusia menemukan kesadaran yang murni dengan jalan membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari- hari agar sampai pada gambaran- gambaran yang esensial atau intuisi esensi (intuition esensi). Operasi ini oleh Husserl disebut epoche yaitu menempatkan antara kurung segala hal yang bukan esensial. Ini bukan berrati bahwa aspek- aspek tertentu dari suatu benda tidak dihargai atau ditolak, tetapi sedapat mungkin aspek- aspek tersebut tidak diperhatikan dulu. 9Sebelumnya kata fenomenologi sudah digunakan oleh Hegel dalam bukunya yang terkenal, Phanomenologie der Geistes (1807), dimana ia mengadakan pembedaan antara esensi (hakikat) dan manifestasi (pengungkapannya). Menurut CJ. Bleeker dalam bukunya The Phenomenological Method, pendekatan fenomenolgi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sini adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bentuk luar dari ungkapan manusia mempunyai pola atau konfigurasi kehidupan dalam yang teratur, yang dapat dilukiskan kerangkanya dengan menggunakan metode fenomenologi. Metode ini mencoba menemukan struktur yang mendasari fakta sejarah dan memahami maknanya yang lebih dalam, sebagaimana dimanifestasikan lewat struktur tersebut dengan hukum- hukum dan karakteristik yang khas.10Boleh dikata penekanan pendekatan fenomenologis bertolak belakang dengan pendekatan historis. Jika pendekatan Historis menekankan tentang apa yang sebenarnya terjadi, maka pendekatan fenomenologis menekankan pada apa yang di anggap subjek telah terjadi, meskipun bukti empirisnya tidak ada. Misalnya beberapa cerita maulid yang ditulis kaum muslim mengatakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW lahir, beliau sudah dalam keadaan dikhitan dan bercelak mata, dan waktu kelahirannya itu dihadiri oleh Maryam (Ibu Isa) dan Asiyah (isteri Fir’aun) serta para bidadari. Pendekatan historis akan cenderung menolak riwayat semacam ini karena sulit dibuktikan, tetapi pendekatan fenomenologis menerimanya sebagai suatu fenomena keagamaan kaum muslim yang menunjukkan pengagungan mereka terhadap nabi. Selain itu kalau pendekatan historis menekankan hubungan sebab akibat dalam kerangka kesinambungan dan perubahan, pendekatan fenomenologis lebih melihat pada kesamaan struktur diantara fenomena keagamaan tanpa keharusan untuk melihat hubungan

7

pengaruh mempengaruhiFenomenologi dan sejarah saling melengkapi, fenomenologi tidak dapat bekerja tanpa etnologi, filologi dan disiplin- displin yang lain. Fenomenologi di sisi lain memberikan kepada disiplin- displin historis makna religiositas yang tak tertangkap oleh disiplin- disiplin tersebut. Dengan demikian fenomenologi keagamaan adalah pemahaman keagamaan (verstandniss) terhadap sejarah; ia adalah sejarah dalam dimensi keagamaannya. Fenomenologi keagamaan dan sejarah bukanlah dua buah ilmu, melainkan dua aspek yang saling melengkapi dari satu ilmu agama yang integral dan ilmu agama yang murni memiliki sifat yang sudah didefinisikan secara mapan sebagai hasil dari objek kajiannya yang unik.

C. Pengertian Antropologi

Antropologi berasal dari bahasa Yunani Anthropos yang berarti manusia dan Logos yang berarti wacana (dalam pengertian "bernalar", "berakal").[2]

Menurut Achmad Fedyani Saifuddin[3], antropologi bisa saja didudukkan sebagai salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial Hanya saja, ia sejatinya adalah suatu perspektif ilmiah. Mengingat sukarnya tercapai kesepakatan di kalangan antropolog mengenai kualifikasi antropologi –apakah- sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah bukan.

Para pengkaji memang tampak berbeda pendapat mengenai definisi (pengertian) antropologi. Misalnya:[4]

1.      William A. Havilland : Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

2.      David Hunter : Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

3.      Koentjaraningrat : Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat sertakebudayaan yang dihasilkan.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disusun pengertian sederhana bahwa antropologi adalah sebuah ilmu (studi) yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.

Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial-(ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.[5]

8

Secara garis besar antropologi –sebagai sebuah ilmu- memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:[6]

A.    Antropologi Fisik

1.      Paleoantropologi : ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.

2.      Somatologi : ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.

B.     Antropologi Sosial-Budaya

1.      Prehistori : ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.

2.      Etnolinguistik Antropologi : ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.

3.      Etnologi : ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.

4.      Etnopsikologi : ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

D.    Perkembangan Kajian Antropologi

Antropologi –sebagai sebuah ilmu- juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Menurut Koentjaraninggrat,[7]antropologi –sebagai sebuah ilmu- mengalami empat fase (tahapan) dalam perkembangannya. Meliputi:

1.      Fase Kesatu : sebelum tahun 1800-an.

Sekitar abad ke-15-16 M, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika,Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-sukuyang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik,kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 M perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

9

2.      Fase Kedua : pertengahan abad 19 M.

Pada fase ini bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusimasyarakat pada saat itu. Masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsaprimitif yang tertinggal dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.

Pada fase ini antropologi bertujuan akademis mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

3.      Fase Ketiga : awal abad ke-20 M

Pada fase ini negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

4.      Fase Keempat : setelah tahun 1930-an

Pada fase ini antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.

Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa:Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga muncullah semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

Menurut David N. Gellner,[8] antropologi bermula pada abad 19 M. Pada abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian –yang difokuskan- pada kajian asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.

10

Antropologi –masih menurut David N Gellner- juga tertarik untuk mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, misalnya  pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19 M. Antropologi abad 19 M tampak menghasilkan setidaknya dua karya besar tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan  The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim.

E.    Obyek Antropologi

Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar ia –menurut obyek kajiannya- bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial (ber)budaya. Selanjutnya, obyek kajian antropologi budaya terdiri dari tiga cabang: arkeologi, linguistik dan etnologi.

Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi manusia sebagai organisme biologis. Tetapiantropologi fisik inilah yang sejatinya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[9]

F.     Antropologi Sebagai Suatu Pendekatan Dalam Penelitian Agama

Agama (Islam) merupakan bagian dari kebudayaan. Sehingga ia pun bisa dikaji dengan pendekatan antropologis. Agama (islam) bisa dikaji dengan pendekatan antropologis karena ia dipandang secara antropologis sebagai suatu –produk- budaya atau suatu fenomena –agama- yang memiliki unsur budaya.

Pendekatan antropologis masih dan sangat dibutuhkan untuk –lebih- memahami makna-makna yang terkandung dalam ajaran agama. Pendekatan antropologis dalam memahami agama juga dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pendekatan Antropologis dalam arti ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan bersifat partisipatif.

Dan salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitu pandangan bahwa praktik-praktik sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti itu harus dilihat sebagai praktik-praktik yang secara esensial saling berkaitan.

Agama (Islam) bisa dikaji dan diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri dengan berbagai pendekatan. Termasuk dengan pendekatan antropologis. Melalui pendekatan antropologis, sosok agama yang berada pada tataran empirik pun akan dapat dilihat hubungan dan keterkaitannya dengan berbagai pranata sosial-budaya yang ada di masyarakat.

G.     Obyek Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama

Budaya sebagai produk manusia yang bersosial-budaya pun dipelajari oleh Antropologi. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari di

11

sini adalah agama sebagai fenomena budaya, bukannya agama (ajaran) yang datang dari Tuhan.[10]

Menurut Atho Mudzhar,[11] fenomena agama –yang dapat dikaji- ada lima kategori. Meliputi:

1.      Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.

2.      Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.

3.      Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.

4.      Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.

5.      Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan. Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.

Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.

H.    Paradigma Pendekatan Antropologis

Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Meliputi:[12]

1.      Evolusionisme Klasik : paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.

2.      Difusionisme : paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di antara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.

3.      Partikularisme : paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.

4.      Struktural-Fungsionalisme : paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.

5.      Antropologi Psikologi : paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian khas masyarakat.

6.      Strukturalisme : paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.

12

7.      Materalisme Dialektik : paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.

8.      Kultural Materialisme : paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan pebedaan sosial budaya.

9.      Etno-sains : paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi kognitif” . Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.

10.  Antropologi Simbolik : paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada kehidupannya.

11.  Sosiobiologi : paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.

Menurut David N Gellner,[13] salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah Holisme. Yaitupandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Dalam konsepHolisme, agama –menurut Gellner- tidak bisa dilihat oleh seorang antropolog sebagai satu sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya. Sebaliknya, agama harus dilihat oleh para antropolog dengan praktik pertanian, kekeluargaan, politik,magic, dan pengobatan secara bersama-sama.

I.    Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Penelitian Agama

Menurut Amin Abdullah,[14] cara kerja –yang dalam hal ini bisa kita artikan sebagai langkah dan tahapan- pendekatan antropologis pada penelitian agama memiliki empat ciri fundamental. Meliputi:

1.      Deskriptif : Pendekatan antropologis  bermula dan diawali dari kerja lapangan  (field work),  berhubungan  dengan orang dan –atau- masyarakat (kelompok)  setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama.  Inilah yang biasa disebut dengan (thick description).

2.      Lokal Praktis : Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di lapangan. Yakni, dengan ikut praktik di dalam peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan, semisal kelahiran, perkawinan, kematian dan pemakaman.

3.      Keterkaitan antar domain kehidupan  secara lebih utuh (connections across social domains) : Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara domain-domain kehidupan  sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik.  Hal ini dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan yang lainnya.

4.      Komparatif (Perbandingan) : Pendekatan antropologis –perlu- melakukan perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.

13

J.       Contoh Penelitian Agama Dengan Pendekatan Antropologis

Salah satu contoh rancangan penelitian yang akan dikemukakan pada bagian  ini adalah rancangan penelitian bertopik: Runtuhnya Daulah Bani Umawiyah Dan Bangkitnya Daulah BaniAbbasiyah. Menurut M. Atho Mudzhar,[15] rancangan penelitian tersebut sebaiknya memperhatikan dan memperjelas –setidaknya-  empat hal. Meliputi:

1.      Rumusan Masalah : faktor-faktor apa saja yangmenyebabkan jatuhnya Bani Umawiyah dan bangkitnya Bani Abbasiyah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dirumuskan faktor penyebab runtuh atau bangkitnya dinasti, dan aspek –antropologis- apa saja yang akan dikaji.

2.      Arti Penting Penelitian : menjelaskan signifikasi penelitian. Misalnya, menjelaskan maksud penelitian (sesuatu yang belum pernah diteliti atau dibahas sebelumnya) dan kontribusi apa yang diperoleh dari hasil penelitian setelah dilakukan nantinya.

3.      Metode Penelitian : metode yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Yakni, dengan merinci hal-hal semisal: bentuk dan sumber informasi serta cara mendapatkannya, cara memahami dan menganalisa informasi, dan cara pemaparan informasi.

4.      Sumber Literatur : melakukan telaah pustaka dan membuat rangkuman dari teori yang telah dipaparkan. Setelah itu, seorang peneliti harus mengetahui apa saja yang belum dibicarakan, dan dari sinilah akan diperoleh kontribusi dari hasil penemuan penelitianyang digunakan.

K.           Paradigma AntropologiAntropologi, khususnya antropologi sosiokultural adalah suatu disiplin ilmu dengan

ciri-ciri dan tradisi yang khas berbeda dari disiplin-disiplin ilmu lain. Antropologi adalah sebuah science yang berisi pardigma yang khas. Di bawah ini adalah beberapa butir penting dalam tradisi paradigma ilmu antropologi sosiokultural yang harus diketahui secara mendalam oleh mahasiswanya.

1.             Objek Kajian Ilmu Antropologi           Antropologi sosiokultural secar tradisional berasal dari hasil kajian-kajian terhadap

kelompok-kelompok  masyarakat yang berskala kecil, relative terisolasi dan sederhana secara teknologi, sosial, politik, dan ekonomi. Mereka antara lain adalah kelompok-kelompok orang aborigin di Australia, suku-suka bangsa di Papua dan Papua Nugini, kelompok-kelompok Indian di Amerika, Dayak di pedalaman Kalimantan, suku-suku bangsa di Afrika, dan seterusnya. Hampir seluruh teori, metode, konsep, dan pendekatan antropologi sosiokultural berasal dari kajian terhadap masyarakat seperti ini. Dulu masyrakat yang seperti ini disebut dengan istilah masyarakat primitif atau masyarakat savage oleh para penelitinya. sedangkan penelitiannya yaitu para antropologi, adalah anggota dari masyarakat modern dan beradab yang berasal dari Eropa dan Amerika. Karena itu, studi tentang masyarakt primitf dan savage ini mereka sebut sebagai studi tentang “other culture”. Antropologi adalah studi tentang budaya dari masyarakat lain. Sang peneliti berbeda tataran budayanya dari masyarakat objek kajiannya.

14

           Meskipun pada masa kini kelompok masyarakat yang dulu dianggap primitif dansavage tersebut sudah hampir punah dari muka bumi karena mereka sudah bersalin rupa menjadi masyarakat modern tapi tinggalan-tinggalan teori, konsep, metode, dan pendekatan antropologi hasil dari kajian terhadap kelompok-kelompok ini tetap mendominasi paradigma antropologi. Sebagai contoh dapat kita ambil teori, konsep dan metode penelitian the culture of poverty dari Oscar lewis. Ini adalah teori, konsep dan metode penelitian modern dalam antropologi sosiokultural , berasal dari kajian terhadap kampung-kampung kumuh di perkotaan Amerika Latin. Konsep baru ini adalah tradisi penelitian Etnografi tradisional pada masyarakat primitive, savage,sederhana yang berskala kecil, seperti yang dulu dirintis oleh Malinowski, Margaret Mead, Radcliff-Brown, dan sebagianya pada awal ke 20.

2.             MetodologiDalam antropologi sosiokultural, metodologi tidak terlepas dari teori. Secara teoritis

dan metodologis, antropologi dibagi menjadi dua peringkat. Peringkat bawah disebut Etnografi, sedangkan peringkat atas adalah Etnologi. Pada peringkat bawah melalui hasil karya etnografi lapangan, seorang ahli antropologi sosiokultural disebut sebagai Etnografer. Sedangkan pada peringkat selanjutnya melalui karya-karya kompararif dia berupaya membangun teori-teori, dan dengan demikian dia akan menjadi seorang ahli Etnologi. Etnografi adalah metode penelitian lapangan yang dilaksanakan secara mendalam melalui keterlibatan langsung dan peneliti dalam masyarakat yang menjadi objek penelitian, dengan mengambil satu kelompok social tertentu sebagai kasus. Secara tradisional, kelompok sosial tersebut adalah juga dapat disebut sebagai deskripsi mengenai masyarakat dan budaya suatu suku bangsa tertentu. Jadi Etnografi adalah metode penelitian yang khas antropologi sekaligus hasil laporan dari penelitian tersebut. Etnografi adalah kerja lapangan sekaligus buku laporannya.Karena pada masa lampau suku bangsa selalu diasumsikan bersifat homogeny secara sosiokultural, maka gambaran sosiokultural sebuah buku bangsa dianggap dapat terwakili oleh sebuah komunitas yang tipikal dari suku bangsa tersebut. Demikianlah, misalnya “agama jawa” dianggap oleh Clifford Geertz akan terwakili dengan melakukan penelitian etnografi terhadap agama dari komunitas “Mojokuto” dekat Kediri. Atau budaya orang Trobriand, menurut Melinowski cukup akan terwakili dengan meneliti Komunitas Kiriwana di kepulauan Trobriand, Irian timur. Dengan adanya kebiasaan seperti ini, maka etnografi sering juga disebut sebagai kajian komunitas. Di Inggris istilah lain untuk antropologi sosiokultural adalah micro sociology karena antropologi meneliti masyarakat berskala kecil, atau juga disebutcomparative sociology, Karena pembangunan dan pengujian teori dilakukan dengan menggunakan pendekatan komparatif.Bagaimanapun etnografi adalah pekerjaan tingkat awal dari seorang ahli antropologi yang profesional. Etnografi adalah satu pekerjaan inisiasi bagi seorang yang ingin menjadi ahli antropologi yang profesional. Seseorang tidak mungkin dapat diakui sebagai seorang ahli antropologi profesional sebelum dia melakukan etnografi, dan melaporkan hasil penelitannya. Hasil penelitiannya dinilai kualitasnya oleh para ahli antropologi senior. Setelah itu jika etnografer ini tetap tinggal menggeluti kegiatan seperti itu tanpa ada usaha untuk meningkat ke peringkat yang lebih tinggi maka dia tidak akan pernah menjadi seorang ahli etnologi atau ahli antropologi yang sesungguhnya. Tingkat pekerjaan yang harus dilakukan selanjutnya

15

adalah apa yang disebut sebagai comparative study, basic secra diakronis maupun secara sinkronis. Dalam fase ini dia tidak lagi wajib ke lapangan, seperti yang dia lakukan dulu waktu menghasilkan sebuah etnografi. Tapi dia pergi ke perpustakaan.Setelah memeilih topik tertentu sebagai fokus penelitiannya, ia mulai melakukan pekerjaan perbandingan. Misalnya, dia memilih topik tentang upacara kematian kemudian ia membandingkan dengan adat kematian suku lain. Dari hasil perbandingan akan muncul sebuah generalisasi atau sebuah teori  tentang upacara kematian. Ini adalah perbandingan sinkronis, yaitu membandingkan berbagai upacara kematian pada berbagai suku bangsa pada masa kini. Ahli antropologi ini juga dapat melakukan perbandingan secra diakronis misalnya membandingkan sistem pertanian yang dipraktikkan orang di Mesopotamia 10.000 tahun yang lalu, dan dengan praktik pada masa kini. Hasilnya adalah sebuah teori tentang perkembangan system pertanian Mesopotamia.  Sehubungan dengan system pertanian ini atau system pencarian hidup secara umumnya, banyak orang yang tidak menyadari bahwa pada suatu masa dulu seluruh penduduk Jawa yang modern ini adalah pemburu dan peramu, Setelah itu pada suatu titik masa tertentu kemampuan cultural orang jawa dapat mengembangkan system pertanian primitive yaitu system pertanian berladang tebang-bakar seperti yang dipraktikkan kebanyak orang dayak pada masa kini. Setelah itu, orang jawa khususnya yang bermukim di tepi bengwan solo di sekeliling gunung sumbing, Merapi dan Merbabu, katanya sekitar 700 masehi mampu menegembangkan system pertanian sawah bawah. Terakhir, pada masa millennium ketiga akhir-akhir ini, petani jawa mulai berkembang menjadi petani modern komersil.   

L.            Teori – Teori PembangunanSyarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis

adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi–institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.

Pada matra internasional berkembang teori dependasi dan pendekatan sistem global. Matra universal adalah matra yang jarang di masuki oleh antropolog, karena secara tradisional perhatian antropolog adalah para small scale society. Orang antropologi cenderung berwawasan suntuk, yaitu think locally, act locally. Mereka yang meneliti tentang masyarakat Orang Dayak, hanya berpikir dan bergelut di sekitar masalah Orang Dayak saja. Padahal wawasan yang seperti ini tidak sesuai dengan tradisi awal ilmu antropologi, yang bertujuan untuk menjawab mengapa kelompok dan masyarakat manusia berbeda di seluruh dunia. Seharusnya seorang antropolog memegang semboyan act locally, think globally,

16

melalui kajian-kajian kasus pada masyarakat lokal, antropolog harus berpikir secara global tentang perbedaan dan persamaan masyarakat di seluruh dunia. Berdasarkan atas kenyataan kurangnya antropolog Indonesia yang berwawasan nasional, wawasan mereka hanya sebatas masyarakat suku bangsa yang mereka kaji, maka sampai kini kita bisa mengatakan bahwa yang namanya antropolog Indonesia itu belum ada apalagi ahli antropologi Indonesia yang berkelas dan berwawasan universal. Mungkin sebagian orang tidak setuju akan pernyataan ini. Tapi adalah lebih baik kita berlaku rendah hati, dalam rangka mencabuk diri sendii agar terus mengejar pencapaian yang lebih tinggi.

M.           Pembangunan IndonesiaIni adalah satu lagi hal yang harus diketahui oleh para antropolog. Pembangunan

Indonesia, atau pembangunan masyarakat dan manusia Indonesia sampai kejatuhan pemerintahan Soeharto 1998, garis besarnya ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun dalam apa yang disebut Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN ini kemudian diperinci kedalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Pelaksanaan dari rencana ini terwujud dalam kebijakan, program, dan proyek-proyek Departemen. Semua kebijakan dan implemensinya ini harus didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.

Jadi, dalam pembangunan Indonesia terdapat lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa, UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, GBHN, PELITA, dan kebijakan-kebijakan Departemen. Tentu saja tidak seluruh hal tersebut perlu diketahui oleh antropolog yang ingin ikut berkiprah dan pembangunan Indonesia. Dia cukup mengonsetrasikan dirinya pada suatu bidang atau suatu aspek pembangunan yang digelutinya. Ambil contoh tentang seorang antropolog yang begelut dalam bidang pembangunan kehutanan, khususnya pembangunan masyarakat desa hutan. Dia mungkin perlu mulai belajar dari UUD No. 33 Pasal (3), yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Dasar-Dasar Agraria. Dari sini kemudian meningkat kepada penguasaan Bidang Kehutanan dalam GBHN. Ini pada tingkat nasional. Setelah itu dia perlu mempelajari dengan cermat UU pokok kehutanan No. 41 Tahun 1999 (No. 5 Tahun 1967), beserta segala Keutusan Mentri dan Drijen yang relevan. Barulah setelah itu dia masuk ke dalam aspek khusus, yaitu program dan proyek-proyek yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat desa hutan.

Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa keterlibatan orang terebut dalam bidang di atas adalah dalam kapasitas sebagai seorang antropolog. Artinya, sebagai seorang antropolog, dia adalah juga seorang etnografer yang menguasai pengetahuan mengenai budaya dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Sehingga ketika antropolog tersebut diminta untuk menyusun sebuah program pembangunan masyarakat desa hutan di Kalimantan, misalnya, dia bukan hanya menguasai dasar-dasar kebijakan pembangunan masyarakat desa hutan, tetapi juga dianggap menguasai ciri-ciri umum masyarakat dan kultur suku-suku bangsa di Kalimantan.

N.           Situasi Departemen Antropologi Universitas IndonesiaSeorang antropolog tidak akan pernah memahami cara menerapkan ilmu antropologi

dalam pembangunan Indonesia, dan tidak akan mengerti peranan yang harus dia maikan

17

sebagai seorang antropolog dalam proyek-proyek pembangunan, kecuali dia menguasai pengetahuan yang memadai tentang sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu paradigma ilmu antropologi, teori-teori sosial pembangunan, dan kebijakan dalam program pembangunan Indonesia. Maka dari itu penulis mencoba menggambarkan situasi dan kondisi mahasiswa dalam Departemen Antropologi Universitas Indonesia.

Departemen Antropologi UI, sebagai pewaris tradisi ilmu antropologi dari Dunia barat selama ini berada di bawah bayang-bayang nilai ilmu murni atau ilmu abstrak (pure science). Pada tahun 1970-an, Prof. Koentjaraningrat membuka mata kuliah baru yaitu “Antropologi Pembangunan”. Selanjutnya, Departemen Antropologi UI pada tahun 1994 menambahkan beberapa kurikulum baru untuk memudahkan mahasiswa memahami antropologi pembangunan yaitu; a) Analisis faktor sosial-Kultural dalam Pembangunan, b) Antropologi terapan, c) Dampak pembanguna terhadap masyarakat dan budaya daerah, d) Manajemen dan Kultur, Industrialisasi dan Perubahan Kebudayaan. Permasalahan terbesar dalam Departemen Antropologi UI adalah kurangnya tenaga pendidik yang tidak terampil dalam ilmu pendidikan.

O.            Sebuah Tantangan Antropologi Pembangunan di IndonesiaSumbangan antropologi sangat besar dalam pembangunan Indonesia, yaitu aktualisasi

konsep budaya atau (culture). Titik temu dan titik pisah antara Departemen Antropologi dengan pembangunan Indonesia ketika berbicara tentang budaya adalah dalam pendekatan UUD 45 dan GBHN yang meliputi sektor-sektor sebagai berikut.

1.             Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa2.             Nilai Budaya Indonesia3.             Tanggung jawab sosial dan disiplin nasional4.             Pembaruan bangsa5.             Bahasa dan sastra6.             Kesenian7.             Pembukuan dan kepustakaan8.             Warisan budaya dalam bentuk artefak, lokasi, bangunan, dan tulisan kuno.

Dengan uraian diatas, dapat dapat diartikan bahwa kebudayaan menurut pengertian pemerintah, adalah salah satu sektor kehidupan yang terdiri atas 8 subsektor. Dengan memajukan 8 hal ihwal kebudayaan diatas, maka pemerintah berharap dapat membangun kultur bangsa. Secara regional, pemerintah menganggap kebudayaan adalah sebagai tradisi kebudayaan (cultural heritage) yang  menjadi milik suku bangsa di Indonesia.

P.            Konsep Kultur dalam AntropologiDalam ilmu antropologi masa kini ada dua aliran besar dalam pendefinisian konsep

kultur (culture), yaitu aliran behavorial dan aliran ideational. Aliran behavorial melihat kultur sebagai a total way of life. Pada masa kini konsep ini masih digunakan para antropolog untuk menekuni bidang studi evolusi kebudayaan dan ekologi manusia. Sementara aliranideational melihat kultur sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang bersifat ideational(gagasan, pemikiran) yang membentuk pola perilaku yang khas suatu kelompok masyarakat. Kultur yang bersifat abstrak tersebut dapat: sistem pengetahuan, the state of mind, spirit, belief, meaning, ethos, value, the capability of mind, dan sebagainya.

18

Dari sini kita dapat menganalisis perbedaan pemerintah dan antropolog dalam memandang kultur dan budaya. Di satu pihak kita melihat konsep kebudayaan pemerintah yang berorientasi kepada program praktisa dan problem oriented., yaitu kepada pembangunan bangsa, namun definisi dan tolak ukurnya belum jelas. Disisi lain kita melihat definisi kultur ilmu antropologi yang lebih berorientsi pada pengembangan teori dan aplikasinya terhadap penelitian etnografi. 

Q. Analisis Pembangunan Gedung DPR RI yang Masih Penuh Kontroversi

Kali ini penulis akan mencoba mengangkat studi kasus tentang pembiayaan pembangunan Gedung Baru DPR RI yang beberapa tahun lalu sempat menjadi kontroversi dan bahkan sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Seperti yang kita ketahui, gedung DPR yang berada di Senayan masih berdiri megah dan layak ditempati para wakil rakyat kita. Kalaupun mereka bosan dengan kondisi gedung DPR yang sekarang, tinggal panggil desainer interior yang handal untuk merombaknya. Karena itulah, mengapa gedung baru DPR ini harus didirikan.

DPR RI merencanakan melakukan pembangunan gedung baru dengan anggaran yang sangat besar yaitu berkisar 1,6 triliun. Gedung DPR RI yang baru ini akan dilengkapi berbagai fasilitas yang begitu mewah padahal telah kita ketahui kinerja anggota DPR RI masih belum maksimal  sehingga pembangunan gedung ini banyak menuai kontroversi. Alasan mereka mengusulkan adanya pembangunan gedung baru ini dikarenakan gedung Nusantara I dirasa sudah tidak muat menampung maupun mengatur jumlah karyawan yang ada sehingga kurang menunjang kinerja para anggota DPR RI. Pertanyaan pun bermunculan saat berita pembangunan gedung yang rencanannya memiliki 27 lantai dan luas total 120 ribu meter persegi ini, salah satunya adalah darimanakah sumber pembiayaan pembangunan gedung yang mewah ini?.

Total biaya pembangunan gedung DPR RI yang baru ini berkisar Rp1.162.202.186.793 (Rp1,162 triliun). Biaya tersebut belum termasuk anggaran fasilitas pendukung misalnya Perlengkapan IT, Security System dan Furniture/mebelair. Seperti yang kita ketahui, sumber pembiayaan pembangunan dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan konvensional dan non-konvensional. Pada kasus kali ini, sumber pembiayaan pembangunan gedung baru DPR RI ini berasal dari dana 3 tahun APBN dengan asumsi pada tahun 2010 sebesar Rp.50 milyar, tahun 2011 sebesar 800 milyar dan 2012 menutupi sisa dari anggaran proyek pembangunan gedung DPR RI, maka pembiayaan pembangunannya bersifat konvensional. Dimana kucuran dana konvensional dari APBN tersebut didapatkan dari Pajak, DAU, DAK, dan juga Retribusi Nasional. Pihak swasata sama sekali tidak bisa berinvestasi dalam proyek ini, dikarenakan gedung DPR termasuk barang Toll Goods. Artinya adalah, semua orang berhak masuk ke dalam gedung DPR, tetapi harus sesuai dengan kepentingan. Tetapi kepentingan disini bukanlah kepentingan dalam mencari keuntungan. Oleh karena itu sumber pembiayaan yang sesuai dengan status gedung DPR sebagai pelayanan masyarakat adalah pembiayaan konvensional.

Tetapi, jika melihat nilai proyek yang mencapai triliunan ini, pembiayaan konvensional melalui APBN dirasa terlalu membebani negara. Tingkat prioritas yang harus dibiayai oleh APBN harusnya peningkatan kualitas masyarakat terlebih dahulu, misalnya dengan peningkatan fasilitas pendidikan ataupun fasilitas kesehatan. Jika memang memaksa Gedung

19

DPR baru ini untuk terus dibangun, maka pemerintah harus mengurangi pengeluaran pembayaran gaji pegawai (Terutama anggota DPR) supaya dana APBN bisa bertambah dan layak untuk diinvestasikan dalam proyek ini. Selain itu, pemerintah harus mulai berinovasi dengan bekerjasama dengan pihak swasta dalam pembiayaan pembangunan, misalnya dengan BOT (Build Operate Transfer), Konsesi, Joint Venture, dan juga Kontrak pelayanan. Adanya kucuran dana dari investor tersebut juga mempercepat pengembangan proyek. Dengan demikian, APBN pun tidak terlalu terbebani dengan nilai proyek yang mencapai triliunan. Biaya pembangunan gedung MPR ini pada akhirnya dapat dialihkan untuk pembangunan dalam bidang lain yang lebih bermanfaat dan tepat guna.

BAB IIIKESIMPULAN

Antropologi mempelajari manusia dan segala aspeknya. Antropologi berperan memecahkan masalah manusia yang berkaitan dengan pembangunan. Antropologi dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk membuat kebijakan pada suatu permasalahan pada pembangunan Indonesia dan ikut serta dalam perencanaan program pemerintah.Dalam buku Antropological Praxis: Translating Knowledge Into Action, Robert M. Wulff and Sherly J. Fiske yang diterbitkan pada tahun 1991 menyebutkan antropologi harus bekerja dalam seluruh tahap proyek pembangunan. Ada tahap yang harus dilakukan (Marzali: 2005). Meneliti, cari dan menentukan kebutuhan masyarakat. Memformulasikan kebijakan dan memilih alternatif solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat. Merencanakan dan melaksanakan proyek sesuai dengan kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan.

Syarat berikutnya bagi seorang antropolog untuk dapat berkiprah di dalam dunia praktis adalah pengusaan akan teori–teori pembangunan. Secara umum terdapat beberapa teori pembangunan yang harus dipelajari oleh ahli–ahli ilmu sosial, termasuk ahli antropologi. Teori ekonomi pembangunan, atau pertumbuhan ekonomi, meskipun merupakan perkembangan yang khas dalam ilmu ekonomi, namun karena teori ini mendominasi kebijakan–kebijakan pembangunan di masyarakat dunia ketiga, maka ahli ilmu–ilmu sosial lain mau tidak mau harus mempelajarinya, sekurang–kurangnya secara garis besar. Sementara itu, ahli ilmu–ilmu sosial lain, seperti sosiologi dan politik, telah mengembangkan teori pembangunan yang disebut teori modernisasi. Inti dari teori ini adalah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi–institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultural). Teori ini bukan lagi patut dipelajari oleh mereka yang mengaku ahli antropologi, tapi bahkan justru memerlukan masukan–masukan baru para ahli antropologi dalam proses pengembangannya.

Setelah menguraikan secara singkat pendekatan antropologis di atas, dapat dipahami bahwa pendekatan antropologis mendekati dan meneliti segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia (masyarakat) sebagai makhluk hidup (organisme biologis) dan –atau- makhluk sosial-budaya. Dalam lingkup penelitian agama, pendekatan tersebut bisa terfokus pada para penganut atau pemuka agama, organisasi keagamaan pemeluk agama, naskah (sumber) dan simbol agama, ritual peribadatan serta alat-alat dan sarananya.

20

Pendekatan filosofis memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional atau “homo rational” sehingga segala sesuatu yang menyangkut pengembangannya didasarkan kepada sejauh mana pengembangan berfikir dapat dikembangkan. Dalam proses belajar mengajar, pendekatan filosofis dapat diaplikasikan ketika guru mengajar. Contohnya: pada pelajaran mengenai proses terjadinya penciptaan alam dan proses penciptaan manusia. Hal ini terus berlangsung sampai batas maksimal pemikiran manusia (hingga pada zat yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran,yaitu allah).Problem dasar dalam pendekatan sejarah adalah bahwa suatu penjelasan tentang sebuah agama yang hidup tidak akan pernah sempurna atau berakhir. Selalu ada hari esok yang bisa membawa perubahan dan usaha menunjukkan kembali agama keaslinya akan selalu bersifat rabaanSemiotika merupakan studi mengenai tanda-tanda (the study of signs) yang merupakan studi atas kode-kode sebagai suatu sistem yang memungkinkan manusia memandang sebagai tanda atau sesuatu yang bermakna. Pada hakikatnya, semiotika merupakan studi tentang tanda dengan segala substansinya. Simbol-simbol keagamaan menunjuk kepada struktur kehidupan mengungkapkan kehidupan secara lebih mendasar dan misterius dengan membukakan sisi kehidupan yang gaib dan tak terpahami. Dan pada saat yang sama dimensi sacramental eksistensi manusia di tangkap dalam sinaran-sinaran simbol-simbol keagamaan, kehidupan manusia mengungkapakan sisinya yang tersembunyi. Pendekatan fenomenologi adalah study pendekatan agama dengan cara memperbandingkan berbagai macam gejala dari bidang sama antara berbagai macam agama, misalnya cara penerimaan penganut, doa- doa, upacara penguburan dan sebagainya. Yang di coba diperoleh di sisi adalah hakikat yang sama dari gejala- gejala yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Marzali Amir. 2009.  Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada media.Abd. Somad, “Pendekatan Antropologi”, dalam M. Amin Abdullah,Metodologi Penelitian

Agama: Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.

Achmad  Fedyani Saifuddin , Antropologi Kontemporer : SuatuPengantar Kritis Mengenai Paradigma, Jakarta:  Kencana Prenada Media Group, 2006.

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.

Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.

21

David N. Gellner, “Pendekaan Antropologis”, dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Yogyakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori Dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

http://aminabd.wordpress.com/2011/01/14/urgensi-pendekatan-antropologi-untuk-studi-agama-dan-studi-islam/

http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi

[1] Lihat: Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996, hlm. 1.

[2] Lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi

Armai, Arief, 2002, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta:Ciputat Pers

AR Badafal, Fadal 2005, Al-Qur’an dan terjemahnya, Bandung: Sygma.

Connolly (ed), Peter, 2009, Aneka Pendekatan Study Agama, Yogyakarta:LkiS

Davamony,MariaSusai, 2008, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: KANISIUS

Djam’annuri, 2000, Agama kita: Perspektif sejarah agama- agama (sebuah pengantar),

Yogyakarta: Karunia Kalam Semesta

Hakim, Atang Abdul dan Jaih Mubarak.2000. Metodologi Studi Islam,Bandung: Remaja

Rosdakary

Kurniawan, Heru, 2009, Sastra Anak,Yogyakarta:Graha Ilmu

Nata, Abuddin , 2002, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nata, Abuddin, 2009, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner: Normative,

Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajement, Teknologi, Informasi,

Kebudayaan, Politik, Hukum Jakarta: Rajawali Pers

Permata, Ahmad Norma. 2000. Metodologi Studi Islam. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

http://ceritamahasiswa.multiply.com/journal/item/148/Peran_Ilmu_Antropologi_Dalam_Pembangunan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

http://www.dpr.go.id/id/sosialisasi-gedung/

http://fokus.vivanews.com/news/read/213024-pembangunan-gedung-dpr-digugat