LP Stroke Non Hemoragik

51
A. Definisi Stroke atau cedera cerebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2001). Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/ atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata–mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer A, 2000; Rumantir CU, 2007.). Menurut Price & Wilson (2005) pengertian dari stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak (Price, 2005). Stroke adalah masalah neurologik primer di AS dan di dunia. Meskipun upaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden dalam beberapa tahun terakhir, stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian, dengan laju mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesar 62% untuk stroke selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke yang mempunyai beberapa kecacatan; dari angka ini, 40% memerlukan bantuan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, menurut SKRT tahun 1995, stroke termasuk penyebab kematian utama, dengan 3 per 1

description

aa

Transcript of LP Stroke Non Hemoragik

Page 1: LP Stroke Non Hemoragik

A. Definisi

Stroke atau cedera cerebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak

yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2001).

Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah sindrom klinis yang

awal timbulnya mendadak, progesif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/

atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan

kematian, dan semata–mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non

traumatik (Mansjoer A, 2000; Rumantir CU, 2007.). Menurut Price & Wilson

(2005) pengertian dari stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang

terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri

otak (Price, 2005).

Stroke adalah masalah neurologik primer di AS dan di dunia. Meskipun

upaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden dalam beberapa

tahun terakhir, stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian, dengan laju

mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesar 62% untuk stroke

selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke yang

mempunyai beberapa kecacatan; dari angka ini, 40% memerlukan bantuan dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, menurut SKRT tahun 1995, stroke

termasuk penyebab kematian utama, dengan 3 per 1000 penduduk menderita

penyakit stroke dan jantung iskemik. (Smeltzer, 2001).

Stroke non hemoragik atau disebut juga stroke iskemik didefinisikan

sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini

berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran

darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian. Stroke non hemoragik

sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri

besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus)

yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.

Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus (Price, 2005).

B. Anatomi Vaskularisasi Otak

Anatomi vaskularisasi otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior

(carotid system) dan posterior (Vertebrobasiler). Darah arteri yang ke otak berasal

dari arkus aorta. Di sisi kiri, arteri karotis komunis dan arteri subklavia berasal

1

Page 2: LP Stroke Non Hemoragik

langsung dari arkus aorta. Di kanan, arteri trunkus brakiosefalika (inominata)

berasal dari arkus aorta dan bercabang menjadi arteri subklavia dextra dan arteri

karotis komunis dextra. Di kedua sisi, sirkulasi darah arteri ke otak di sebelah

anterior dipasok oleh dua arteri karotis interna dan di posterior oleh dua arteri

vertebralis (Price, 2005).

Gambar 1. Anatomi vaskulrisasi otak

Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri serebri anterior dan arteri

serebri media setelah masuk ke kranium melalui kanalis karotikus, berjalan dalam

sinus kavernosus, kedua arteri tersebut memperdarahi lobus frontalis, parietal, dan

sebagian temporal (Price, 2005).

Arteri vertebralis berukuran lebih kecil dan berjalan melalui foramen

transversus vertebra servikalis kemudian masuk ke dalam kranium melalui

foramen magnum, arteri tersebut menyatu untuk membentuk arteri basilaris

(sistem vertebrobasiler) taut pons dan medulla di batang otak. Arteri basilaris

bercabang menjadi arteri serebellum superior kemudian arteri basilaris berjalan ke

otak tengah dan bercabang menjadi sepasang arteri serebri posterior (Price, 2005).

Sirkulasi anterior bertemu dengan sirkulasi posterior membentuk suatu

arteri yang disebut sirkulus willisi. Sirkulus ini dibentuk oleh arteri serebri

anterior, arteri komunikantes anterior, arteri karotis interna, arteri komunikantes

posterior, dan arteri serebri posterior. Untuk menjamin pemberian darah ke otak,

setidaknya ada 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sistem vertebrobasiler,

yaitu (Price, 2005):

2

Page 3: LP Stroke Non Hemoragik

a. Sirkulus Willisi yang merupakan anyaman arteri dasar otak

b. Anastomosis arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbital

melalui arteri oftalmika

c. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis interna.

C. Klasifikasi Stroke

Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Israr, 2008):

1. Berdasarkan kelainan patologis

a. Stroke hemoragik, yaitu pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan

keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis di

sekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan

gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh

hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya.

Peningkatan tekanan intracranial pada gilirannya akan menimbulkan

herniasi jaringan otak dan menekan batang otak (Price, 2005).

1) Perdarahan intra serebral

2) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)

b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)

1) Stroke akibat trombosis serebri

2) Emboli serebri

3) Hipoperfusi sistemik

Gambar 2. Stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik

2. Berdasarkan waktu terjadinya

1) Transient Ischemic Attack (TIA)

3

Page 4: LP Stroke Non Hemoragik

2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)

3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke

4) Completed stroke

3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler

a. Sistem karotis

1) Motorik : hemiparese kontralateral, disartria

2) Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia

3) Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks

4) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia

b. Sistem vertebrobasiler

1) Motorik: hemiparese alternans, disartria

2) Sensorik: hemihipestesi alternans, parestesia

3) Gangguan lain: gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

D. Etiologi

Stroke non-hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari tiga mekanisme

patogenik yaitu trombosis serebri atau emboli serebri dan hipoperfusion sistemik

(Sabiston, 1994; Nurarif, 2013).

1. Trombosis serebri merupakan proses terbentuknya thrombus yang membuat

penggumpalan. Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis

atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis yang mendasari. Proses ini

sering timbul selama tidur dan bisa menyebabkan stroke mendadak dan

lengkap. Defisit neurologi bisa timbul progresif dalam beberapa jam atau

intermiten dalam beberapa jam atau hari.

2. Emboli serebri merupakan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.

Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau

cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal,

seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis

biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai

trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak

sendiri. Embolisme serebri sering di mulai mendadak, tanpa tanda-tanda

disertai nyeri kepala berdenyut.

4

Page 5: LP Stroke Non Hemoragik

3. Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian

tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

E. Faktor Risiko

Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke

non hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan

yang dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2006) di RSUD

Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto mengenai gambaran faktor-faktor risiko

penderita stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%,

diikuti dengan diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97% (Rismanto,

2006; Madiyono, 2003).

Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Rismanto; Madiyono, 2003):

1. Usia

Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan

meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir

13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2002), dari

penelitianya terhadap 45 kasus stroke didapatkan yang mengalami stroke non

hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65 tahun (Madiyono, 2003;

Ritarwan, 2003).

2. Jenis kelamin

Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria

lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan  perbedaan

angka kematianya masih belum jelas. Penelitian yang di lakukan oleh Indah

Manutsih Utami (2002) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-

faktor risiko yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah kasus

terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya terhadap 197 pasien

stroke non hemoragik tahun (Madiyono , 2003; Utami, 2002).

3. Herediter

Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya

hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan

riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga

pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko

5

Page 6: LP Stroke Non Hemoragik

terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-

2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar

29,3% (Madiyono, 2003; Sinaga, 2008).

4. Ras atau etnik

Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih.

Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku

Jawa (khususnya Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Madiyono, 2003):

1. Riwayat stroke

Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu

lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai

42%

2. Hipertensi

Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai

enam kali ini sering di sebut the silent killer dan merupakan risiko utama

terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan Klasifikasi

menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggai apabila tekanan

darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi tekanan darah kemungkinan

stroke makin besar karena mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding

pembuluh darah, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan atau

perdarahan otak (Madiyono, 2003; Sudoyo, 2006).

3. Penyakit jantung

Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,

paska oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering

menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya

pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh

darah otak.

4. (DM) Diabetes melitus

Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan

endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Menurut penelitian

Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan desain case control,

6

Page 7: LP Stroke Non Hemoragik

penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke 3,39 kali

dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus (Madiyono, 2003;

Sinaga, 2008).

5. TIA

Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan

singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan

tingkat penyembuhan bervariasi tapi biasanya 24 jam. Satu dari seratus orang

dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur hidup

mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan

mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan

terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama (Price, 2005).

6. Hiperkolesterol

Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak

bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna

klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma

sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam serum,

ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron,

lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL),

dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat lipo protein LDL yang paling

tinggi kadar kolesterolnya, VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar

protein tertinggi terdapat pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan peningkatan

kolesterol dan atau trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara

langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak dinding

pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar

kolesterol total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl, dan trigliserida

>150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di jantung

maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari penelitianya 43 pasien, di

dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida 4,7%, HDL yang rendah

53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8% (Price, 2005).

7. Obesitas

Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes

melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas

7

Page 8: LP Stroke Non Hemoragik

merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur adanya

obesitas dengan cara mencari body mass index (BMI) yaitu berat badan dalam

kilogram dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Normal BMI antara

18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99 kg/m2 selebihnya adalah

obesitas.

8. Merokok

Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan

perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan

karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding

pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah sehingga

mempermudah terjadinya proses gumpalan darah. Berdasarkan penelitian Siregar

F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan merokok meningkatkan

risiko terkena stroke sebesar empat kali (Sinaga, 2008).

F. Patofisiologi dan Web of Caution

Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang

dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang

memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara

berbagai neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar

2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%

oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal

darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per

menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak  adalah 700-840

ml/menit, dari jumlah darah itu disalurkan melalui arteri karotis interna yang

terdiri dari arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian

depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah

vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai

sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior

bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus

Willisi (Sinaga, 2008; Mardjono, 2010).

Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-

arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,

apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi

8

Page 9: LP Stroke Non Hemoragik

infark atau kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak

selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut

dikarenakan masih  terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.

Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam

pembuluh darah yang memperdarahai otak diantaranya berupa (Price, 2005):

1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis

dan thrombosis.

2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau

hiperviskositas darah.

3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari

jantung atau pembuluh ekstrakranium.

Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan

terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak

mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di system motorik,

sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang

terkena.

9

Page 10: LP Stroke Non Hemoragik

10

Pathway Stroke Non Hemoragik

Gambar 3. Patofisiologi dan Patway Stroke Non-Hemoragik

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Gangguan komunikasi

verbal

Hambatan Mobilitas

fisikRisikoJatuh, risiko

Cedera

Page 11: LP Stroke Non Hemoragik

G. Manifestasi Klinis

Gejala stroke non-hemoragik yang timbul akibat gangguan

peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan

pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi,

kesadaran biasanya tidak mengalami penurunan, menurut penelitian Rusdi

Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non hemoragik tidak terdapat

hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran, kesadaran seseorang

dapat di nilai dengan menggunakan skala koma Glasgow yaitu (Mansjoer,

2000; Sinaga, 2008):

Tabel 1. Skala koma Glasgow (Mansjoer, 2000).

Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)

1.   Tidak ada respons 1. Tidak ada suara 1.  Tidak ada gerakan

2. Respons dengan rangsangan nyeri

2. Mengerang 2.  Ekstensi abnormal

3. Buka mata dengan perintah

3.  Bicara kacau 3. Fleksi abnormal

4. Buka mata spontan 4.  Disorientasi tempat dan waktu

4. Menghindari nyeri

5.  Orientasi baik dan sesuai 5. Melokalisir nyeri

6. Mengikuti perintah

Penilaian skor GCS :

a. Koma (skor < 8)

b. Stupor (skor 8 -10)

c. Somnolent (skor 11-12)

d. Apatis ( skor 12-13)

e. Compes mentis (GCS = 14-15)

Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik

(hemiparese), sensorik (anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan,

gerakan yang canggung serta simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf

otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi,

memori, emosi)  yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan

koordinasi (sidrom serebelar) (Sinaga, 2008; Mardjono, 2010):

1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat

seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri

11

Page 12: LP Stroke Non Hemoragik

2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan

seterusnya. Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam

mewujudkan suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan

lokomotorik dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik

secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis

tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan

supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.

3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan

4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan

kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam

hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap

sehingga bergoyang-goyang.

Tabel 2. Gangguan nervus kranial (Swartz, 2002).

Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi

I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya penghidu)

II: Optikus Penglihatan Amaurosis

III: Okulomotorius Gerak mata; kontriksi pupil; akomodasi

Diplopia (penglihatan kembar), ptosis; midriasis; hilangnya akomodasi

IV: Troklearis Gerak mata Diplopia

V: Trigeminus Sensasi umum wajah, kulit kepala, dan gigi; gerak mengunyah

”mati rasa” pada wajah; kelemahan otot rahang

VI: Abdusen Gerak mata Diplopia

VII: Fasialis Pengecapan; sensasi umum pada platum dan telinga luar; sekresi kelenjar lakrimalis, submandibula dan sublingual; ekspresi wajah

Hilangnya kemampuan mengecap pada dua pertiga anterior lidah; mulut kering; hilangnya lakrimasi; paralisis otot wajah

VIII: Vestibulokoklearis

Pendengaran; keseimbangan Tuli; tinitus(berdenging terus menerus); vertigo; nitagmus

IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi umum pada faring dan telinga; mengangkat palatum; sekresi kelenjar parotis

Hilangnya daya pengecapan pada sepertiga posterior lidah; anestesi pada farings; mulut kering sebagian

X: Vagus Pengecapan; sensasi umum pada farings, laring dan telinga; menelan; fonasi; parasimpatis untuk jantung dan visera abdomen

Disfagia (gangguan menelan) suara parau; paralisis palatum

12

Page 13: LP Stroke Non Hemoragik

XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; leher dan bahu

Suara parau; kelemahan otot kepala, leher dan bahu

XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah

Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana

pendeita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer

otak kiri  akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan,

dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi Hemiparese dupleks,

pendeita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesesi dupleks

akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh

sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.

Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2008) terhadap 281

pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan  di dapatkan hemiparese sinistra

yaitu 46,3%, diikuti oleh hemiparese dekstra 31,7%, tidak tercatat

sebanyak 14,2% dan hemiparesese dupleks 7,8%. Gambaran klinis utama

yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan

dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan

disebut sindrom neurovaskular (Price, 2008):

1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)

a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat

insufisiensi arteri retinalis

b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena

insufisiensi arteria serebri media

c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau

arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan

mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi

afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.

2. Arteri serebri media (tersering)

a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)

b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral

c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi

yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi

d. Disfasia

3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)

13

Page 14: LP Stroke Non Hemoragik

a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai

b. Defisit sensorik kontralateral

c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis

4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)

a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas

b. Meningkatnya reflek tendon

c. Ataksia

d. Tanda Babinski bilateral

e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo

f. Disfagia

g. Disartria

h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah

i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi

j. Gangguan penglihatan dan pendengaran

5. Arteri serebri posterior

a. Koma

b. Hemiparese kontralateral

c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)

d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis

H. Pemeriksaan

Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab

stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang

menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang

dialami, pemeriksaan neurologik terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini

(Swartz, 2002):

1. Status mental

a. Tingkat kesadaran

b. Bicara

c. Orientasi

d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir

14

Page 15: LP Stroke Non Hemoragik

e. Pertimbangan

f. Abstraksi

g. Kosakata

h. Respons emosional

i. Daya ingat

j. Berhitung

k. Pengenalan benda

l. Praksis (integrasi aktivitas motorik).

2. Nervus kranial

a. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang

hidung pasien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada lubang

hidung kemudian di suruh membedakan bau.

b. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan

pemeriksaan oftalmoskopi.

c. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan akomodasi.

d. Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas,

bawah, kiri, kanan, lateral, diagonal.

e. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea

dengan menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya pasien akan

menutup mata, Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi,

pemeriksaan cabang motorik pada pipi.

f. Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi mata ke

samping kiri dan kanan.

g. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua

pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.

h. Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran,

keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.

i. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga

posterior lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian.

j. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.

15

Page 16: LP Stroke Non Hemoragik

k. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus

sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai tahanan

yang di berikan si pemeriksa.

l. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan

ke luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.

3. Fungsi motorik

a. Masa otot bisa dengan inspeksi.

b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan

tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan

yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan

yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan

melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi

dengan tahanan penuh (normal).

c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu

bandingkan dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi

peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah

menyebabkan penurunan tonus otot.

4. Reflek

Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau

tendo profunda, dan reflek superfisial.  Reflek renggang diantaranya yaitu

reflek biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai

berdasarkan sekala 0-4+  yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+:

normal, 3+: meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan

ciri penyakit traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme

dan kelainan metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek

merupakan ciri kelainan sel kornu anterior dan miopati. Reflek superfisial

yang abnormal yaitu reflek babinski, reflek chaddock, reflek openheim.

Reflek babinski untuk menguji radiks saraf pada lumbal lima sampai

sacrum dua, dengan menggores bagian telapak kaki bagian lateral dari

tumit  ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung ke medial, maka akan

terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran jari-jari lainya. Reflek

16

Page 17: LP Stroke Non Hemoragik

chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores. Reflek

openheim dengan penekanan tulang kering yang akan menyebabkan

dorsofeksi ibu jari kaki.

5. Fungsi sensorik

a. Sentuhan ringan

b. Sensasi nyeri

c. Sensasi getar

d. Propriosepsis (sensasi posisi)

e. Lokalisasi taktil.

6. Fungsi serebelar

a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati

sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.

b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas

bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai

dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang

dari sisi ke sisi.

c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.

d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa,

dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling

bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus

memindahkan kakinya untuk keseimbangan.

e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. parkinson

cenderung berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala membungkuk

dengan punggung membungkuk dan tergesa-gesa. Ataksia serebelum

berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh

terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar

yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang

tinggi.

Pemeriksaan Laboratorium dan Teknik Pencitraan

Pemeriksaan laboratorium standar biasanya digunakan untuk

menentukan etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap, kimia

darah, dan serologi. Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk menentukan

17

Page 18: LP Stroke Non Hemoragik

etiologi yaitu pemeriksaan kadar gula darah, dan pemeriksaan lipid untuk

melihat faktor risiko dislipidemia :

1. Gula darah

Tabel 3. Kadar glukosa darah (Mansjoer, 2000).

Kriteria diagnostik DM

Bukan DM (mg/dl)

Belum pasti DM (mg/dl)

DM (mg/dl)

Kadar glukosa darah sewaktu

Plasma Vena <110 110 – 199 >200

Darah kapiler <90 90 – 199 >200

Kadar glukosa darah puasa

Plasma vena <110 110 – 125 >126

Darah <90 90 – 109 >110

Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun

tidak sekuat hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke

aterotrombotik di jumpai 30% dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus

mampu menebalkan pembuluh darah otak yang besar, menebalnya

pembuluh darah otak akan mempersempit diameter pembuluh darah otak

dan akan mengganggu kelancaran aliran darah otak di samping itu,

diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan

pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap

terjadinya stroke (Sinaga, 2008).

2. Profil lipid

Tabel 4. Kadar Lipid Serum Normal (Kristofer, 2010).

Kolesterol Total (mg/dl)

Optimal < 200

Diinginkan 200 –239

Tinggi ≥240

LDL

Optimal < 100

Mendekati optimal 100 –129

Diinginkan 130 –159

Tinggi 160 –189

Sangat tinggi ≥190

HDL

Rendah < 40

Tinggi ≥ 60

Trigliserida

Optimal < 150

Diinginkan 150 –199

18

Page 19: LP Stroke Non Hemoragik

Tinggi 200 –449

Sangat tinggi ≥500

LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung

kolesterol. LDL merupakan komponen utama kolesterol serum yang

menyebabkan peningkatan risiko aterosklerosis, HDL berperan

memobilisasi kolesterol dari ateroma yang sudah ada dan

memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke empedu , oleh karena itu

kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif dan dengan cara inilah

kolesterol dapat di turunkan, namun penurunan kadar HDL merupakan

faktor yang meningkatkan terjadinya aterosklerosis dan stroke.

Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan

menggunakan teknik pencitraan diantaranya yaitu (Rubenstein, 2005;

Price, 2005):

1. CT scan

Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang peka

untuk mendeteksi stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap

paling awal. CT scan dapat memberi hasil tidak memperlihatkan adanya

kerusakan hingga separuh dari semua kasus stroke non hemoragik.

2. MRI (magnetic resonance imaging)

Lebih sensitif dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi

stroke non hemoragik rigan, bahkan pada stadium dini, meskipun tidak

pada setiap kasus. Alat ini kurang peka dibandingkan dengan CT scan

dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan.

3. Ultrasonografi dan MRA (magnetic resonance angiography)

Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi

(menggunakan gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA

digunakan untuk mencari kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di

arteri utama, MRA khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi

aneurisma intrakranium dan malformasi pembuluh darah otak.

4. Angiografi otak

19

Page 20: LP Stroke Non Hemoragik

Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra

sinar-X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian

dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di leher dan kepala.

I. Penatalaksanaan

Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke

non  hemoragik yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda

terapi dari stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan

cermat memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir

pengobatan (Mansjoer, 2000).

1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik

a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)

menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen

activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT

scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah

sakit yang fasilitasnya lengkap.

b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang

diantaranya yaitu :

1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan

manitol dan hindari cairan hipotonik.

2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah

trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang

dapat menyerupai kegagalan perfusi.

3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor

utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini

tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada

hipertensi beri obat antihipertensi.

4) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke

terapi dengan heparin.

2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut

a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di

berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1 jam jika

20

Page 21: LP Stroke Non Hemoragik

onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang

luas.

b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia

miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan

digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau

amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.

c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas

infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila

terdapat salah satu hal berikut :

1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis

seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna

(retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.

2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali

pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120

mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.

3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan

darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.

Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin.

Nifedifin sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena

penurunan darahnya sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah

masih sulit di turunkan maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50

mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3

ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan.

Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di

jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka harus di naikkan

dengan dopamin atau debutamin drips.

d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda

klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan

pernafasan atau stroke dalam evolusi.

e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.

21

Page 22: LP Stroke Non Hemoragik

f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke

vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT

scan.

g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam,

20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai

masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :

1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli

2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis

3) Stroke dalam evolusi

4) Diseksi arteri

5) Trombosis sinus dura

Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas.

Pasien stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium,

penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan

antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.

Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan

nafas yang adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan

dengan aman dan jaga pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi.

Menelan harus di nilai (perhatikan saat pasien mencoba untuk minum, dan

jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui selang lambung atau

intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan

penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga

kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan

trombolitika  (Rubenstein, 2005):

1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di

gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.

Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin (Rambe, 2002).

2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit

sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama

sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah

aspirin, dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel (Rambe,

2002).

22

Page 23: LP Stroke Non Hemoragik

3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus

diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan

perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,

alteplase, urokinase, dan reteplase (Rambe, 2002).

4. Pengobatan juga ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi

yang  muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu melakukan

pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali, di samping

melakukan pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan bantuan

anggota keluarga dan ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani

(2008) terhadap 281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan  di dapatkan

60% berobat jalan, 23,8% meninggal dan sisanya pulang atas permintaan

sendiri (Rambe, 2002).

J. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji

Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu asuhan

keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan keperawatan yang

tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari pengkajian yang diambil

adalah merupakan respon pasien, baik respon biopsikososial maupun spiritual,

kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan perawatan untuk menuntun tindakan

perawatan. Dan untuk menilai keadaan pasien, diperlukan suatu evaluasi yang

merujuk pada tujuan rencana perawatan pasien dengan stroke non hemoragik.

Adapun pengkajian pada pasien dengan stroke adalah:

a. Aktivitas/ Istirahat

Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,

kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah

untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).

Tanda: gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan

umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.

b. Sirkulasi

Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.

Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/ malformasi

vaskuler, frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.

c. Integritas Ego

23

Page 24: LP Stroke Non Hemoragik

Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa

Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan gembira,

kesulitan untuk mengekspresikan diri.

d. Eliminasi

Gejala: perubahan pola berkemih

Tanda: distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.

e. Makanan/ Cairan

Gejala: nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan sensasi

pada lidah, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes, peningkatan

lemak dalam darah.

Tanda: kesulitan menelan, obesitas.

f. Neurosensori

Gejala: sakit kepala, kelemahan/ kesemutan, hilangnya rangsang sensorik

kontralateral pada ekstremitas, penglihatan menurun, gangguan rasa

pengecapan dan penciuman.

Tanda: status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal

hemoragis, gangguan fungsi kognitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia,

ukuran/ reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.

g. Kenyamanan / Nyeri

Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda

Tanda: tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot

h. Pernapasan

Gejala: merokok

Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas, timbulnya

pernafasan sulit, suara nafas terdengar ronchi.

i. Keamanan

Tanda: masalah dengan penglihatan, perubahan sensori persepsi terhadap

orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespons

terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan, gangguan dalam

memutuskan.

j. Interaksi Sosial

Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi

24

Page 25: LP Stroke Non Hemoragik

k. Penyuluhan/ Pembelajaran

Gejala: adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian

kontrasepsi oral, kecanduan alkohol.

K. Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan yang lazim muncul pada stroke non hemoragik, yaitu

(Bulecheck, 2012;Nurarif, 2013) :

1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan sensori persepsi,

gangguan neuromuskular, menurunnya kekuatan otot.

2. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan gangguan neuromuskular,

gangguan muskuluskeletal.

3. Defisit perawatan diri berpakaian berhubungan dengan gangguan

neuromuskular, gangguan muskuluskeletal.

4. Defisit perawatan diri makan berhubungan dengan gangguan neuromuskular,

gangguan muskuluskeletal.

5. Defisit perawatan diri eliminasi berhubungan dengan gangguan

neuromuskular, gangguan muskuluskeletal.

6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/ hemiplegia, tidak

ada mobilisasi fisik, gangguan sirkulasi, gangguan sensasi.

7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan transmisi sensory,

perubahan integrasi sensory.

8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke

otak, defek anatomis (perubahan neuromuskular pada sistem penglihatan,

pendengaran, dan aparatus fonatori).

9. Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis (stroke)

10. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

faktor biologi, ketidakmampuan mengunyah.

11. Ketidakefektifan Bersihan Jalan nafas berhubungan dengan spasme jalan

nafas, eksudat di alveoli, disfungsi neuromuskular, sekresi.

12. Risiko jatuh

13. Risiko cedera

14. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

25

Page 26: LP Stroke Non Hemoragik

L. Rencana Tindakan Keperawatan (secara teoritis) (Nurarif, 2013; Ackley, 2011):

No. Diagnosa NOC NIC Rasional

1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan sensori persepsi, gangguan neuromuskular, menurunnya kekuatan otot.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 x 2 jam gangguan mobilitas fisik teratasi.

NOC:a. Joint movement: Activeb. Mobility levelc. Self care: ADLsd. Transfer performance

Kriteria Hasil:a. Pasien meningkat dalam aktivitas

fisikb. Mengerti tujuan dari peningkatan

mobilitasc. Memverbalisasikan perasaan

dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah

d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker)

Exercise therapy: ambulation1. Monitoring tanda-tanda vital

sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan.

2. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan.

3. Bantu pasien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera.

4. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi dan ROM

5. Latih pasien dalam pemenuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan.

6. Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien

7. Berikan alat bantu jika pasien memerlukan

8. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan

1. Mengidentifikasi kelemahan/ kekuatan dan dapat memberikan informasi bagi pemulihan.

2. Berdasarkan penelitian intervensi untuk peningkatan mobilitas ditentukan sebuah regimen dari aktivitas fisik regular mencakup latihan aerobik dan aktivitas penguatan otot adalah bermanfaat untuk pasien dengan kerusakan mobilitas fisik (Yeom, Keller, & Fleury, 2009)

3. Tongkat dapat membantu mobilisasi pasien (Nelson et al, 2003)

4. Mengkaji kualitas mobilisasi pasien, kemampuan berjalan dan berpindah dan kemampuan lainnya (Kneafsey, 2007)

5. Membantu peningkatan kemampuan mobilisasi pasien

6. Membantu pasien supaya tidak cedera dan membantu pemenuhan kebutuhan ADLs pasien

7. Membantu pasien dalam meningkatan mobilitas (Yeom, Keller, & Fleury, 2009)

8. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur.

26

Page 27: LP Stroke Non Hemoragik

9. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit (ROM)

9. Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur dan dapat berespons baik jika daerah yang sakit tidak menjadi lebih terganggu

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/ hemiplegia, tidak ada mobilisasi fisik, gangguan sirkulasi, gangguan sensasi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x30 menit, diharapkan integritas kulit pasien mengalami perbaikan dengan :

NOC : Integritas jaringan : kulit dan

membran mukosa Wound healing

Kriteria hasil : Luka pasien sudah tertutup

dengan baik Pasien tidak mengeluhkan nyeri

pada luka Kerusakan jaringan tertangani

Pressure Management1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian

yang longgar.

2. Hindari kerutan pada tempat tidur.

3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering.

4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali.

5. Monitor kulit dari kemerahan.

6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada daerah yang tertekan.

7. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien.

8. Monitor status nutrisi pasien.

9. Memandikan pasien

1. Pakaian yang longgar berguna untuk mengurangi rasa panas pada tubuh sehingga pasien tidak mudah berkeringat.

2. Kerutan pada tempar tidur menyebabkan lecet pada bagian kulit yang tertekan.

3. Kulit yang kotor dan lembab rentan mengalami kerusakan kulit.

4. Ubah posisi pasien berguna agar kulit pasien tidak lecet sehingga pasien tidak mengalami dekubitus.

5. Merah merupakan salah satu tanda terjadinya infeksi.

6. Lotion/Minyak./baby oil merupakan barier untuk mencegah kerusakan kulit bagi pasien yang sering bad rest total.

7. Aktivitas dan mobilisasi pasien yang berat bisa menyebabkan kerusakan kulit.

8. Nutrisi yang kurang membuat perbaikan kulit menjadi berkurang.

9. Mandi mencegah adanya penumpukan bakteri pada bagian-bagian lipatan kulit. Kulit yang bersih terhindar dari kerusakan kulit.

27

Page 28: LP Stroke Non Hemoragik

3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi ke otak (stroke), defek anatomis

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6x15 menit, hambatan komunikasi verbal pasien mengalami penurunan.

NOC : Sensory function : speech Fear self control

Kriteria Hasil Komunikasi : penerimaan,

interpretasi dan ekspresi pesan lisan, tulisan, dan non verbal meningkat.

Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara) : ekspresi pesan verbal dan atau non verbal yang bermakna.

Pengolahan informasi : pasien mampu untuk memperoleh, mengatur, dan menggunakan informasi.

Communication Enhancement : Speech Deficit1. Beri satu kalimat simple setiap bertemu jika

diperlukan

2. Konsultasikan dengan dokter kebutuhan terapi wicara.

3. Dorong pasien untuk berkomunikasi secara perlahan dan untuk mengulangi permintaan.

4. Dengarkan dengan penuh perhatian.

5. Berdiri di depan pasien ketika berbicara.

6. Gunakan kartu baca, kertas, pensil, bahasa tubuh, gambar, daftar, kosakata bahasa asing, computer, dan lain-lain untuk memfasilitasi komunikasi dua arah yang optimal.

7. Ajarkan bicara dari esophagus, jika diperlukan.

8. Berikan pujian positive, jika diperlukan.

9. Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur

10. Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain dalam menyampaikan informasi (bahasa isyarat)

1. Untuk memberikan latihan berbicara dimulai dengan kata-kata yang mudah.

2. Terapi wicara terbukti mampu mengembalikan cara bicara pasien menjadi normal.

3. Untuk melatih komunikasi sehingga komunikasi menjadi lancar.

4. Perhatian yang baik dari perawat menandakan bahwa perawat peduli dengan pasien.

5. Untuk mengetahui ekspresi yang diungkapkan oleh pasien dan meningkatkan BHSP.

6. Mempermudah komunikasi 2 arah

7. Memodifikasi komunikasi sehingga memudahkan pasien untuk berkomunikasi.

8. Pujian mampu memberikan semangat kepada pasien.

9. Kunjungan bertujuan agar memberikan stimulus komunikasi.

10. Untuk mempermudah komunikasi 2 arah.

28

Page 29: LP Stroke Non Hemoragik

4. Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x8 jam, pasien menunjukkan penurunan kerusakan memori.

NOC : Perfusi jaringan serebral Level bingung akut

Kriteria hasil Mampu untuk melakukan proses

mental yang kompleks Orientasi kognitif Kondisi neurologis : kesadaran Kondisi neurologis :

kemampuan sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat untuk menerima, memproses, dan memberi respon terhadap stimuli internal dan eksterna.

Neurologi monitoring1. Memantau ukuran pupil, bentuk, simetri, dan

reaktivitas.

2. Memantau tingkat kesadaran.

3. Memantau tingkat orientasi.

4. Memantau GCS

5. Memonitor memori baru, rentang perhatian, memori masa lalu, suasana hati, dan perliaku.

6. Memonitor tanda vital.

7. Memonitor status pernapasan

8. Memantau refleks kornea.

9. Memantau otot dan gerakan motorik.

10. Memantau untuk gemetar

11. Memantau simetri wajah.

12. Memantau tonjolan lidah.

1. Masalah pada pupil menandakan adanya gangguan pada nervus III.

2. Tingkat kesadaran dinilai berdasarkan GCS

3. Orientasi yang baik menandakan bahwa pasien tidak ada masalah kognitif.

4. Memonitor tingkat kesadaran pasien.

5. Gangguan pada otak menyebabkan hilangnya memori baik itu jangka pendek atau jangka panjang.

6. Memantau perkembangan keadaan pasien

7. Status pernapasan menginditifikasi terjadi hipoksia otak.

8. Masalah pada kornea menandakan adanya gangguan pada nervus V.

9. Pergerakan otot dan motorik yang bermasalah menandakan ada gangguan pada otak.

10. Gemetar atau tremor adalah salah satu tanda adanya terjadinya SNH.

11. Mengetahui adanya gangguan pada komunikasi verbal.

12. Tonjolan abnormal pada lidah menandakan ada masalah pada nervus XII

29

Page 30: LP Stroke Non Hemoragik

13. Memantau tanggapan pengamatan.

14. Memantau untuk gangguan visual.

15. Catatan keluhan sakit kepala.

16. Memantau karakteristik berbicara : kelancaran, keberadaan aphasias, atau kata temuan kesulitan.

17. Memantau adanya paresthesia : mati rasa dan kesemutan.

18. Memantau respon babinski

19. Meningkatkan frekuensi pemantauan neurologis

20. Hindari kegiatan yang meningkatkan tekanan intrakranial.

21. Beritahu dokter dari perubahan kondisi pasien.

22. Melakukan protokol darurat.

13. Tanggapan yang salah bisa diindetifikasikan sebagai tanda adanya stroke.

14. Stroke dapat menyebabkan hilangnya koordinasi melihat.

15. Sakit kepala dan pusing menandakan pasien mengalami vertigo

16. Gangguan komunikasi verbal mengidintifikasi ada masalah pada nervus

17. Parasthesia menandakan adanya penyumbatan pembuluh darah pada otak,

18. Respon babinski menandakan abnormalitas pada otak

19. Untuk secara dini terjadinya kegawatan

20. Meningkatnya tekanan intrakranial bisa menyebabkan kelumpuhan dan kesadaran menurun.

21. Pasien bisa mendapat Tindakan medis terkait pemberian obat

22. Mengusahakan keselamatan pasien.

30

Page 31: LP Stroke Non Hemoragik

Daftar Pustaka

Ackley BJ, Ladwig GB. Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-Based Guide to Planning Care. Ninth Edition. United States of Amerika: Elsevier, 2011.

Israr YA. Stroke. Riau: Faculty of Medicine, 2008. http://case-s-t-r-o-k-e.pdf Diakses pada 1 Juni 2013.

Kneafsey R: A systematic review of nursing contributions to mobility rehabilitation: examining the quality and content of the evidence, J Clin Nurs 16(11c):325-340, 2007.

Kristofer D. Gambaran Profil Lipid Pada Penderita Stroke Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Medan: FK USU, 2010. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21421 Diakses pada 1 Juni 2013.

Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke & Serangan Jantung Pada Usia Muda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2003.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, 2000.

Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction, 2013.

Price, Sylvia A, Lorraine MW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC, 2005.

Rambe AS. Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. Medan: FK USU, 2002. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3458. Diakses pada 1 Juni 2013.

Rismanto. Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2006. Semarang: FKM UNDIP, 2006. http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3745. Diakses pada 1 Juni 2013.

Ritarwan K. Pengaruh Suhu Tubuh Terhadap Outcome Penderita Stroke Yang Dirawat Di Rsup H. Adam Malik Medan. Medan: FK USU, 2003.

Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.

31

Page 32: LP Stroke Non Hemoragik

Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru: SMF Saraf RSUD Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru, 2007.

Sabiston. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta:EGC, 1994.

Sinaga SA. Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap Di Rumah Sakit Haji Medan Tahun 2002-2006. Medan: FKM USU, 2008. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16617. Diakses pada 1 Juni 2013.

Smeltzer SC, Brenda GB. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 vol.1. Jakarta: EGC, 2001.

Sudoyo AW. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.

Swartz MH. Buku Ajar Diagnostic Fisik. Jakarta: EGC ,2002.

Utami IM. Gambaran Faktor - Faktor Risiko Yang Terdapat Pada Penderita Stroke Di RSUD Kabupaten Kudus. Semarang: FK UNDIP, 2002. http://eprints.undip.ac.id/4021/1/2042.pdf . Dakses pada 1 Juni 2013.

Yeom HA, Keller C, Fleury J: Intervention for promoting mobility in community-dwelling older adults, J Am Acad Nurse Pract 21 (2):95-100, 2009.

32