LP PEB
-
Upload
ferra-febriani -
Category
Documents
-
view
1.808 -
download
448
Transcript of LP PEB
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia setiap menit
perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan
persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau kurang
lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan.
Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana
diperkirakan sedikitnya 18.000 ibu meninggal setiap tahun, karena kehamilan atau
persalinan. Dari jumlah kematian ibu prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan
eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003).
Pre eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Kejadian
pre eklampsia menduduki urutan nomor 2 dengan persentase 24% dari angka kematian
ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk
melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu
target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5,
meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah
mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI
telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk
mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen
dan usaha keras (Depkes RI, 2010).
Menurut Depkes RI (2010), angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini
tergolong masih cukup tinggi yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Walaupun
sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan dari angka 300 per 100.000
kelahiran pada tahun 2004. Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau
Millenium Development Goal (MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka
103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015. Masalah AKI di Indonesia masih cukup
tinggi dari Asia. Berdasarkan persentase penyebab kematian ibu melahirkan,
perdarahan merupakan penyebab terbesar kematian ibu melahirkan denganj persentase
28%, penyebab kedua adalah hipertensi saat hamil atau pre eklampsia dengan
persentase 24%, penyebab ketiga dikarenakan infeksi saat melahirkan dan lain-lain
yang merupakan penyakit penyerta saat kehamilan maupun persalinan dengan
persentase 11%. Penyebab lain adalah komplikasi masa puerperium dengan persentase
8%. Selain itu, masih ada penyebab lain seperti persalinan lama atau macet dan abortus
dengan persentase 5%, dan penyebab lain karena terjadinya emboli obat sebanyak 3%
(survei SDKI 2007).
Tingginya angka kematian ibu akibat pre eklamsia dan eklamsia menuntut
peranan tenaga kesehatan dalam mencegah komplikasi dari terjadinya pre eklamsia.
Tenaga kesehatan khususnya perawat harus mampu melakukan perawatan yang tepat
terhadap ibu pre eklamsia sehingga kejadian pre eklamsia dapat ditangani dengan cepat
dan tepat. Hal tersebut akan lebih baik apabila pre eklamsia dapat ditangani sampai
sebelum ibu akan melakukan proses persalinan sehingga ibu dapat melahirkan dalam
kondisi dan partus normal tanpa adanya komplikasi persalinan. Oleh karena itu,
dilakukan penyusunan laporan pendahuluan tentang post partum dengan pre eklamsia,
supaya mahasiswa memahami tentang bagaimana konsep dasar dan pemberian asuhan
keperawatan terhadap pasien post partum dengan pre eklamsia.
2. Tujuan
a. Tujuan Instruksional Umum
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat
mengelola pasien post partum dengan pre eklamsia.
b. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat:
1) Mengetahui konsep post partum dengan pre eklamsia.
2) Melakukan pengkajian pada pasien post partum dengan pre eklamsia.
3) Menetapkan diagnosa keperawatan pasien post partum dengan pre eklamsia.
4) Melakukan intervensi keperawatan pada pasien post partum dengan pre eklamsia.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Pre Eklamsi Berat (PEB)
1. Pengertian
Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan
gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan
edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus
ada yaitu hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan.
Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi
terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah
normal dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem
dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi
sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1
jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih
dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin
kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan
rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.
2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum
yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan
darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi
terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan
diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.
3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus.
Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam
proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/
agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan
terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan
menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan
konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor
pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus
yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer
akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya
hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula
suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi
intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,
paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi
serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya
edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada
hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.
Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein
akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan
terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa
keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga
dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan
ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang
meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas
dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah
yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan
sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah
sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan
mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa
keperawatan kurang pengetahuan.
4. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia
yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu
hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik
medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam
penegakkan diagnosa pre eklamsia.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7
mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa
denyut jantung janin lemah.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit
rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan
atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-
tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan
sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita
dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2
kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah
dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti
valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis
3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini
tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi
berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan
janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan
sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia
kehamilan minggu 37 ke atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji
kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak
ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat
diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan
kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta
berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi
timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,
maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus
kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc
dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya
dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru
dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV
lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu
dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian
diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen
mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
9. Pengkajian
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan
berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,
muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre
eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika
refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg
atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan
biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).
Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan
atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat,
uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
10. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai
berikut:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
berat.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat
penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.
g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
11. Rencana Asuhan Keperawatan
Dx Tujuan Intervensi RasionalRisiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia berat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam diharapkan status neurologi membaik dan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral teratasi dengan indikator:NOC: Management neurology
Indikator Awal TargetStatus neurologi: syaraf sensorik dan motorik dbn
2 3
Ukuran pupil 4 4Pulil reaktif 3 4Pola pergerakan mata
3 4
Pola nafas 3 5TTV dalam batas normal
3 4
Pola istirahat dan tidur
3 4
Tidak muntah 5 5Tidak gelisah 3 4
Keterangan :1= keluhan ekstrim2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan
Neurologic monitoring1. Monitor ukuran pupil, bentuk,
simetris dan reaktifitas pupil2. Monitor keadaan klien dengan
GCS3. Monitor TTV4. Monitor status respirasi:
ABClevels, pola nafas, kedalaman nafas, RR
5. Monitor reflek muntah6. Monitor pergerakan otot7. Monitor tremor8. Monitor reflek babinski9. Identifikasi kondisi gawat
darurat pada pasien.10. Monitor tanda peningkatan
tekanan intrakranial11. Kolaborasi dengan dokter jika
terjadi perubahan kondisi pada klien
1. Klien dengan cedera kepala akan mempengaruhi reaktivitas pupil karena pupil diatur oleh syaraf cranialis
2. Mengetahui penurunan kesadaran klien
3. Memantau kondisi hemodinamik klien
4. Mengetahui kondisi pernafasan klien
5. Peningkatan TIK6. Memonitor kelemahan7. Memonitor persyarafan di
perifer8. Reflek babinsky (+)
menunjukan adanya perdarahan otak
9. Peningkatan TIK dengan tanda muntah proyektil, kejang, penurunan kesadaran
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respiratori: pertukaran gas dengan indikator:
1. Status mental dalam batas normal (5)
2. Dapat melakukan napas dalam (5)
3. Tidak terlihat sianosis (5)4. Tidak mengalami somnolen (4)5. PaO2 dalam rentang normal (4)6. pH arteri normal (4)7. ventilasi-perfusi dalam kondisi
seimbang (4)
NIC: Airway managementa. Posisikan klien untuk
memaksimalkan potensi ventilasinya.
b. Identifikasi kebutuhan klien akan insersi jalan nafas baik aktual maupun potensial.
c. Lakukan terapi fisik dada
d. Auskultasi suara nafas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan
e. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sesuai kebutuhan
a. Untuk mempermudah pertukaran gas
b. Untuk memantau kondisi jalan nafas klien
c. Untuk mengeluarkan sputum
d. Memantau kondisi pernafasan klien
e. Memantau kondisi klien
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung teratasi dengan indikator:NOC:
- Cardiac Pump effectiveness- Circulation Status- Vital Sign Status- Tissue perfusion: perifer
Indikator Awal TargetTTV dbn 2 3Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan
1 3
Tidak ada edema paru
1 1
Tidak ada asites 5 5Tidak ada udema 2 2
1. Evaluasi adanya nyeri dada2. Catat adanya disritmia jantung3. Catat adanya tanda dan gejala
penurunan cardiac putput4. Monitor status pernafasan yang
menandakan gagal jantung5. Monitor balance cairan6. Monitor respon pasien terhadap
efek pengobatan antiaritmia7. Monitor adanya dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu8. Anjurkan untuk menurunkan stress9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 10. Monitor irama jantung11. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan12. Monitor pola pernapasan abnormal
1. Menunjukan jantung dalam kondisi abnormal
2. Takikardi, bradikardi3. Tanda dan gejala
penurunan cardiac output : pucat, akral dingin, udema ekstermitas
4. Gagal jantung kiri menyebabkan udema di paru dan gagal jantung kanan menyebabkan udema ekstermitas
5. Mengetahui adanya kelebihan cairan karena klien biasanya udema
6. Mengetahui respon pasien terhadap obat
periferTidak terjadi penurunan kesadaran
5 5
Tidak ada distensi Vena jugularis
5 5
Warna kulit normal 1 2Keterangan :1= keluhan ekstrim2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan
13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
14. Monitor sianosis perifer15. Jelaskan pada pasien tujuan dari
pemberian oksigen16. Kelola pemberian obat anti aritmia
dan vasodilator
7. Udema paru menyebabkan dyspnea
8. Stres menambah berat kerja jantung
9. Mengetahui kondisi hemodinamik klien
10.Suara jantung tambahan, S3, S4
11.Ronchi basah menunjukan adanya cairan di pulmo
12.Dyspnea, cepat dan dangkal
13.Memungkinkan terjadinya sianosis
14.Kurang 02 menyebabkan sianosis perifer
15.Membantu suplai O2 ke pasien
16.Obat antiaritmia dan vasodilatator untuk membantu pengelolaan kontraktilitas jantung
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien stabil dengan kriteria hasil:1. Keseimbangan intake dan output
cairan (4).2. TTV normal (4).3. BB stabil dan tidak terdapat edema
(4).
1. Monitor pengeluaran urin, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan membantu dalam proses penentuan
4. Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual (5). 2. Monitor dan hitung intake dan
output cairan selama 24 jam.
3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau posisi yang nyaman bagi pasien selama fase akut.
4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).
5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.
6. Timbang berat badan setiap hari jika memungkinkan dan amati turgor kulit serta adanya edema.
7. Kolaborasi pemberian medikasi seperti pemberian diuretik: furosemid, spironolacton, dan hidronolacton.
diagnosa pasien.2. Pemantauan intake dan
output cairan membantu dalam proses penentuan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.
3. Posisi duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler dapat meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan kongesti paru serta gagal jantung.
5. Pemantauan dan pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran urin, dan respon terhadap terapi.
6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh.
7. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan dijaringan
sehingga menurunkan risiko terjadinya edema.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan kriteria hasil:
1. TTV normal (4).2. EKG normal (4).3. Koordinasi otot, tulang, dan
anggota gerak lainnya baik (4).4. Pasien melaporkan kemampuan
dalam ADL (4).
1. Kaji aktivitas dan periode istirahat pasien, rencanakan dan jadwalkan periode istirahat dan tirah baring yang cukup dan adekuat.
2. Berikan latihan aktivitas fisik secara bertahap (ROM, ambulasi dini, cara berpindah, dan pemenuhan kebutuhan dasar).
3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar.
4. Lakukan terapi komponen darah sesuai resep bila pasien menderita anemia berat.
5. Kaji aktivitas dan respon pasien setelah latihan aktivitas (Monitor TTV).
1. Mengetahui aktivitas dan periode istirahat pasien serta upaya untuk menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.
2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan tepat.
3. Mengurangi pemakaian enargi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
4. Mencegah dan mengurangi anemia berat yang berakibat pada kelemahan.
5. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:a. Masukan per oral meningkat (5).
1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.
2. Kaji TTV pasien secara rutin, status
1. Meningkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi.
2. Monitor KU pasien,
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
b. Porsi makan yang disediakan habis (5).
c. Masa dan tonus otot baik (5).d. Tidak terjadi penurunan BB (5).e. Mual dan muntah tidak ada (5).
mual, muntah, dan bising usus.
3. Berikan makanan sesuai diet dan berikan selagi hangat.
4. Jelaskan pentingnya makanan untuk kesembuhan.
5. Anjurkan pasien makan sedikit tetapi sering.
6. Anjurkan pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat terutama makanan yang banyak mengandung karbohidrat atau glukosa, protein, dan makanan berserat.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet sesuai indikasi.
mengetahui kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi.
3. Meminimalkan anoreksia dan mengurangi iritasi gaster.
4. Pasien termotivasi untuk makan.
5. Meningkatkan kenyamanan saat makan.
6. Glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap sehingga akan membebani hepar, protein baik untuk meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pasien, makanan berserat membantu mencegah terjadinya konstipasi.
7. Meningkatkan proses penyembuhan
Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan tidak terjadi cedera, dengan kriteria hasil:
1. Pasien tidak mengeluh pusing (5).
2. Pasien tidak mengalami cedera
1. Identifikasi keterbatasan fisik dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan risiko cedera.
2. Ajarkan pasien untuk meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur maka
1. Mengetahui penyebab pasien mengalami risiko cedera.
2. Memberikan pengetahuan kepada pasien sehinggapasien
(5).3. Pasien mampu menjelaskan cara
mencegah terjadinya cedera (5)
gunakan side rail, ketika mobilitas dari tempat tidur anjurkan untuk dibantu oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika pasien pusing anjurkan untuk istirahat terlebih dahulu.
3. Dampingi pasien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan ADL.
4. Anjurkan pasien untuk banyak mengkonsumsi makanan yang dapat menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet rendah garam untuk menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango pusing.
bisa terhindar dari cedera.
3. Mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera.
4. Sayuran hijau dapat menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah garam dapat mengurangi kekambuhan penyakit hipertensi.
8. Pathway
Tekanan darah
Meningkat (140/90 mmHg) Normal
Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia
Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu
PRE EKLAMSIA
Kejang (-) Kejang (+)
EKLAMSIAFaktor predisposisi PE :Primigravida atau primipara mudab (85%), Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola hidatidosa, Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%), Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan), Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik, Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan diabetes mellitus, Obesitas, Interval antar kehamilan yang jauh.
Penurunan aliran darah
Prostaglandin plasenta menurun
Iskemia uterus
Hiperoksidase lemak & pelepasan renin uterus
Merangsang pengeluaran bahan tropoblastik
Proses endotheliosis
Merangsang pelepasan tromboplastin
Merangsang pengeluaran bahan tromboksan
Aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin
Koagulasi intravaskuler
Penurunan perfusi darah & konsumtif koagulatif
Penurunan trombosit & faktor pembekuan darah
Gangguan fisiologis homeostasis
Vasospasme PD
Lumen arteriol menyempit
Hanya 1 SDM yg dpt lewat
Tek. Perifer meningkat kompensasi oksigen
*HIPERTENSI
Gangguan perfusi darahGangguan Multi Organ
Renin+darah hati
Renin+angiotensinogen
Angiotensin I Angiotensin II
Angiotensin II + tromboksan
Gangguan Multi Organ
Otak Darah
Edema serebri
Peningkatan tek.intrakranial
Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan
Otak
Kejang
Risiko Cedera
Endotheliosis
PD pecah SDM pecah
Perdarahan Anemia hemolitik
Kelemahan Ketidakseimbangan suplay & kebutuhan
O2
Intoleransi Aktivitas
Paru
Penumpukan darah
Peningkatan LAEDP
Kongesti vena pulmonal
Proses perpindahan cairan karena perbedaan tekanan
Timbul edema (gangguan fungsi alveoli (ronchi, rales, takipnea, PaCO2
menurun
Gangguan Pertukaran Gas
Hati
Spasmus arteriola
Penurunan Curah Jantung
Payah jantung
Gangguan kontraktilitas miokard
Vasokontriksi PD miokard
Mata
Edema duktus optikus dan retina
Diplopia
Risiko Cedera
Gangguan Multi Organ
Ginjal
Adanya rangsangan angiotensin II pada gland.suprarenal
aldosteron
Peningkatan reabsorpsi Na
Retensi cairan
*EDEMA
Kelebihan Volume Cairan
Vasospasme arteriol pada ginjal
Penurunan GFR
Peningkatan permeabilitas
protein
Diuresis menurun
Oliguri/anuri
Gangguan Eliminasi
Urin
>> protein yg lolos dari
filtrasi glomerulus
*PROTEINURIA
Plasenta Ekstremitas
Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)
Gangguan pertumbuhan
plasenta
Hipoksia/anoksia
Penurunan perfusi plasenta
Risiko Gawat Janin
Intoleransi Aktivitas
Cepat lelah & lemah
Pembentukan asam laktat
ATP diproduksi 2 ATP
Metabolisme anaerob
Kelemahan umum
GI Tract
HCL meningkat
Peristaltik turun
Peningkatan akumulasi gas
Konstipasi
Kembung
Mual & Muntah
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan
tubuh
Nyeri
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC
Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby.
McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.
Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.
Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”. http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN MATERNITAS
PEB (PRE EKLAMSI BERAT)
DI RUANG ANGGREK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS
oleh:
FERRA FEBRIANI
G1B212004
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2013