LP PEB

41
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia setiap menit perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau kurang lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan. Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana diperkirakan sedikitnya 18.000 ibu meninggal setiap tahun, karena kehamilan atau persalinan. Dari jumlah kematian ibu prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003). Pre eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Kejadian pre eklampsia menduduki urutan nomor 2 dengan persentase 24% dari angka kematian ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5, meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras (Depkes RI, 2010).

Transcript of LP PEB

Page 1: LP PEB

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) memperkirakan di dunia setiap menit

perempuan meninggal karena komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan

persalinan, dengan kata lain 1400 perempuan meninggal setiap harinya atau kurang

lebih 500.000 perempuan meninggal setiap tahun karena kehamilan dan persalinan.

Kematian ibu di Indonesia merupakan peringkat tertinggi di negara ASEAN, yang mana

diperkirakan sedikitnya 18.000 ibu meninggal setiap tahun, karena kehamilan atau

persalinan. Dari jumlah kematian ibu prevalensi paling besar adalah pre-eklampsia dan

eklampsia sebesar 12,9% dari keseluruhan kematian ibu (Siswono, 2003).

Pre eklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat

kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Kejadian

pre eklampsia menduduki urutan nomor 2 dengan persentase 24% dari angka kematian

ibu di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu

target yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yaitu tujuan ke 5,

meningkatkan kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah

mengurangi sampai ¾ risiko jumlah kematian ibu. Dari survei yang dilakukan AKI

telah menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu, namun demikian upaya untuk

mewujudkan target tujuan pembangunan millenium masih membutuhkan komitmen

dan usaha keras (Depkes RI, 2010).

Menurut Depkes RI (2010), angka kematian ibu melahirkan di Indonesia saat ini

tergolong masih cukup tinggi yaitu mencapai 228 per 100.000 kelahiran. Walaupun

sebelumnya Indonesia telah mampu melakukan penurunan dari angka 300 per 100.000

kelahiran pada tahun 2004. Padahal berdasarkan Sasaran Pembangunan Milenium atau

Millenium Development Goal (MDGs), kematian ibu melahirkan ditetapkan pada angka

103 per 100.000 kelahiran pada tahun 2015. Masalah AKI di Indonesia masih cukup

tinggi dari Asia. Berdasarkan persentase penyebab kematian ibu melahirkan,

perdarahan merupakan penyebab terbesar kematian ibu melahirkan denganj persentase

28%, penyebab kedua adalah hipertensi saat hamil atau pre eklampsia dengan

persentase 24%, penyebab ketiga dikarenakan infeksi saat melahirkan dan lain-lain

yang merupakan penyakit penyerta saat kehamilan maupun persalinan dengan

persentase 11%. Penyebab lain adalah komplikasi masa puerperium dengan persentase

8%. Selain itu, masih ada penyebab lain seperti persalinan lama atau macet dan abortus

Page 2: LP PEB

dengan persentase 5%, dan penyebab lain karena terjadinya emboli obat sebanyak 3%

(survei SDKI 2007).

Tingginya angka kematian ibu akibat pre eklamsia dan eklamsia menuntut

peranan tenaga kesehatan dalam mencegah komplikasi dari terjadinya pre eklamsia.

Tenaga kesehatan khususnya perawat harus mampu melakukan perawatan yang tepat

terhadap ibu pre eklamsia sehingga kejadian pre eklamsia dapat ditangani dengan cepat

dan tepat. Hal tersebut akan lebih baik apabila pre eklamsia dapat ditangani sampai

sebelum ibu akan melakukan proses persalinan sehingga ibu dapat melahirkan dalam

kondisi dan partus normal tanpa adanya komplikasi persalinan. Oleh karena itu,

dilakukan penyusunan laporan pendahuluan tentang post partum dengan pre eklamsia,

supaya mahasiswa memahami tentang bagaimana konsep dasar dan pemberian asuhan

keperawatan terhadap pasien post partum dengan pre eklamsia.

2. Tujuan

a. Tujuan Instruksional Umum

Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat

mengelola pasien post partum dengan pre eklamsia.

b. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa dapat:

1) Mengetahui konsep post partum dengan pre eklamsia.

2) Melakukan pengkajian pada pasien post partum dengan pre eklamsia.

3) Menetapkan diagnosa keperawatan pasien post partum dengan pre eklamsia.

4) Melakukan intervensi keperawatan pada pasien post partum dengan pre eklamsia.

Page 3: LP PEB

B. TINJAUAN PUSTAKA

Pre Eklamsi Berat (PEB)

1. Pengertian

Pre eklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan

gejala trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan

edema atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus

ada yaitu hipertensi).

Menurut Mansjoer (2000), pre eklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai

proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera

setelah persalinan.

Pre eklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi

terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah

normal dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem

dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, &

Jensen, 2005).

Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:

a. Pre eklamsia ringan

Pre eklamsia ringan ditandai dengan:

1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring

terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi

sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara

pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1

jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.

2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih

dalam seminggu.

3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin

kateter atau midstream (aliran tengah).

b. Pre eklamsia berat

Pre eklamsia berat ditandai dengan:

1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.

3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .

4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan

rasa nyeri pada epigastrium.

Page 4: LP PEB

5) Terdapat edema paru dan sianosis

6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.

7) Perdarahan pada retina.

8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.

2. Etiologi

Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap

sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum

yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan

darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi

terjadinya pre eklamsia, diantaranya yaitu:

a. Primigravida atau primipara mudab (85%).

b. Grand multigravida

c. Sosial ekonomi rendah.

d. Gizi buruk.

e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).

f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.

g. Hipertensi kronik.

h. Diabetes mellitus.

i. Mola hidatidosa.

j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau

polihidramnion (14-20%).

k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan).

l. Hidrofetalis.

m. Penyakit ginjal kronik.

n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan

diabetes mellitus.

o. Obesitas.

p. Interval antar kehamilan yang jauh.

3. Patofisiologi

Pada preeklampsia terdapat penurunan  aliran darah. Perubahan ini

menyebabkan  prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus.

Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat

Page 5: LP PEB

hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam

proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin.

Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/

agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan

terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan

menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan

konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor

pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis.  Renin uterus

yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama

angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.

Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.

Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit

menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer

akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya

hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula

suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi

intravaskular akan  menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.

Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,

paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan

terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi

serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan

risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan

pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya

pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya

anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya

kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya

edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada

hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas

miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa

keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi

peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat

menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan

kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan

Page 6: LP PEB

penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR

tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan

diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau

anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.

Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein

akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan

terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina.

Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa

keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan

hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga

dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan

diagnosa keperawatan risiko gawat janin.

Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis

akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan

ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia

duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat

menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang

meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa

keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas

dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah

yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan

sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah

sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan

mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa

keperawatan kurang pengetahuan.

4. Manifestasi Klinis

Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat

badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre

eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre

eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,

diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-

gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan

petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia

Page 7: LP PEB

yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu

hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik

medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam

penegakkan diagnosa pre eklamsia.

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu

sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah

a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk

wanita hamil adalah 12-14 gr%).

b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).

c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)

2) Urinalisis

Ditemukan protein dalam urine.

3) Pemeriksaan Fungsi Hati

a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).

b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.

c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.

d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)

e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)

f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)

4) Tes Kimia Darah

Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7

mg/dL

b. Pemeriksaan Radiologi

1) Ultrasonografi (USG).

Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra

uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan

ketuban sedikit.

2) Kardiotografi

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa

denyut jantung janin lemah.

Page 8: LP PEB

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada

derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia

antara lain:

a. Komplikasi pada Ibu

1) Eklamsia.

2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal

jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.

3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes

and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom

HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),

meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.

HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai

dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit

rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan

atas.

4) Solutio plasenta.

5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.

6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.

7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan

untuk sementara.

8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.

9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat

serangan kejang.

10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan

darah.

b. Komplikasi pada Janin

1) Hipoksia karena solustio plasenta.

2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan

angka morbiditas dan mortalitas perinatal.

3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan

dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).

4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

Page 9: LP PEB

7. Penatalaksanaan

a. Pencegahan atau Tindakan preventif

1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-

tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup

supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.

2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada

faktor-faktor predisposisi.

3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta

pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi

protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan

b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif

Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah

terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan

sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.

1) Penanganan pre eklamsia ringan

Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita

dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2

kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah

dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti

valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis

3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini

tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi

berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan

janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan

sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia

kehamilan minggu 37 ke atas.

2) Penanganan pre eklamsia berat

a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.

Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji

kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:

(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular

kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak

ada kontraindikasi.

Page 10: LP PEB

(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat

diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan

kecuali ada kontraindikasi.

(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta

berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi

timbulnya lagi gejala.

(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi

kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.

Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,

maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.

b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.

(1) Penderita dirawat inap

(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.

(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.

(c)Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus

kanan dan 4 gr digluteus kiri.

(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.

(e)Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc

dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia

antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.

(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.

(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya

dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.

(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru

dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV

lasix.

(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi

partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin

(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.

(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu

dilarang mengedan.

(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan

yang disebabkan atonia uteri.

Page 11: LP PEB

(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian

diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.

(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.

c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia

1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat

menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi

seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga

aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,

fenel, hyssop dan sage.

2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan

dan kenyamanan.

3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi

4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen

mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.

Page 12: LP PEB

9. Pengkajian

a. Data Subjektif

1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun

2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya

edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan

berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,

muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre

eklamsia berat < 400 ml/24 jam).

3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,

hipertensi kronik, DM.

4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta

riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya

5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun

selingan

6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,

oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.

b. Data Objektif

1) Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.

b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.

c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika

refleks positif.

d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.

Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg

atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan

biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).

Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan

atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.

2) Pemeriksaan Penunjang

a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali

dengan interval 4-6 jam

b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya

meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),

Page 13: LP PEB

kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat,

uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.

c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.

d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.

e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.

f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.

10. Diagnosa Keperawatan

Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai

berikut:

a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia

berat.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat

penimbunan cairan paru : adanya edema paru.

c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.

d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.

f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.

g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan

ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.

h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.

Page 14: LP PEB

11. Rencana Asuhan Keperawatan

Dx Tujuan Intervensi RasionalRisiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia berat.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam diharapkan status neurologi membaik dan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral teratasi dengan indikator:NOC: Management neurology

Indikator Awal TargetStatus neurologi: syaraf sensorik dan motorik dbn

2 3

Ukuran pupil 4 4Pulil reaktif 3 4Pola pergerakan mata

3 4

Pola nafas 3 5TTV dalam batas normal

3 4

Pola istirahat dan tidur

3 4

Tidak muntah 5 5Tidak gelisah 3 4

Keterangan :1= keluhan ekstrim2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

Neurologic monitoring1. Monitor ukuran pupil, bentuk,

simetris dan reaktifitas pupil2. Monitor keadaan klien dengan

GCS3. Monitor TTV4. Monitor status respirasi:

ABClevels, pola nafas, kedalaman nafas, RR

5. Monitor reflek muntah6. Monitor pergerakan otot7. Monitor tremor8. Monitor reflek babinski9. Identifikasi kondisi gawat

darurat pada pasien.10. Monitor tanda peningkatan

tekanan intrakranial11. Kolaborasi dengan dokter jika

terjadi perubahan kondisi pada klien

1. Klien dengan cedera kepala akan mempengaruhi reaktivitas pupil karena pupil diatur oleh syaraf cranialis

2. Mengetahui penurunan kesadaran klien

3. Memantau kondisi hemodinamik klien

4. Mengetahui kondisi pernafasan klien

5. Peningkatan TIK6. Memonitor kelemahan7. Memonitor persyarafan di

perifer8. Reflek babinsky (+)

menunjukan adanya perdarahan otak

9. Peningkatan TIK dengan tanda muntah proyektil, kejang, penurunan kesadaran

Page 15: LP PEB

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat penimbunan cairan paru : adanya edema paru.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respiratori: pertukaran gas dengan indikator:

1. Status mental dalam batas normal (5)

2. Dapat melakukan napas dalam (5)

3. Tidak terlihat sianosis (5)4. Tidak mengalami somnolen (4)5. PaO2 dalam rentang normal (4)6. pH arteri normal (4)7. ventilasi-perfusi dalam kondisi

seimbang (4)

NIC: Airway managementa. Posisikan klien untuk

memaksimalkan potensi ventilasinya.

b. Identifikasi kebutuhan klien akan insersi jalan nafas baik aktual maupun potensial.

c. Lakukan terapi fisik dada

d. Auskultasi suara nafas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan adanya bunyi tambahan

e. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sesuai kebutuhan

a. Untuk mempermudah pertukaran gas

b. Untuk memantau kondisi jalan nafas klien

c. Untuk mengeluarkan sputum

d. Memantau kondisi pernafasan klien

e. Memantau kondisi klien

Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung teratasi dengan indikator:NOC:

- Cardiac Pump effectiveness- Circulation Status- Vital Sign Status- Tissue perfusion: perifer

Indikator Awal TargetTTV dbn 2 3Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan

1 3

Tidak ada edema paru

1 1

Tidak ada asites 5 5Tidak ada udema 2 2

1. Evaluasi adanya nyeri dada2. Catat adanya disritmia jantung3. Catat adanya tanda dan gejala

penurunan cardiac putput4. Monitor status pernafasan yang

menandakan gagal jantung5. Monitor balance cairan6. Monitor respon pasien terhadap

efek pengobatan antiaritmia7. Monitor adanya dyspneu, fatigue,

tekipneu dan ortopneu8. Anjurkan untuk menurunkan stress9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR 10. Monitor irama jantung11. Monitor frekuensi dan irama

pernapasan12. Monitor pola pernapasan abnormal

1. Menunjukan jantung dalam kondisi abnormal

2. Takikardi, bradikardi3. Tanda dan gejala

penurunan cardiac output : pucat, akral dingin, udema ekstermitas

4. Gagal jantung kiri menyebabkan udema di paru dan gagal jantung kanan menyebabkan udema ekstermitas

5. Mengetahui adanya kelebihan cairan karena klien biasanya udema

6. Mengetahui respon pasien terhadap obat

Page 16: LP PEB

periferTidak terjadi penurunan kesadaran

5 5

Tidak ada distensi Vena jugularis

5 5

Warna kulit normal 1 2Keterangan :1= keluhan ekstrim2= keluhan substansial3= keluhan sedang4= keluhan ringan5= tidak ada keluhan

13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit

14. Monitor sianosis perifer15. Jelaskan pada pasien tujuan dari

pemberian oksigen16. Kelola pemberian obat anti aritmia

dan vasodilator

7. Udema paru menyebabkan dyspnea

8. Stres menambah berat kerja jantung

9. Mengetahui kondisi hemodinamik klien

10.Suara jantung tambahan, S3, S4

11.Ronchi basah menunjukan adanya cairan di pulmo

12.Dyspnea, cepat dan dangkal

13.Memungkinkan terjadinya sianosis

14.Kurang 02 menyebabkan sianosis perifer

15.Membantu suplai O2 ke pasien

16.Obat antiaritmia dan vasodilatator untuk membantu pengelolaan kontraktilitas jantung

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien stabil dengan kriteria hasil:1. Keseimbangan intake dan output

cairan (4).2. TTV normal (4).3. BB stabil dan tidak terdapat edema

(4).

1. Monitor pengeluaran urin, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.

1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan membantu dalam proses penentuan

Page 17: LP PEB

4. Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual (5). 2. Monitor dan hitung intake dan

output cairan selama 24 jam.

3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau posisi yang nyaman bagi pasien selama fase akut.

4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).

5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.

6. Timbang berat badan setiap hari jika memungkinkan dan amati turgor kulit serta adanya edema.

7. Kolaborasi pemberian medikasi seperti pemberian diuretik: furosemid, spironolacton, dan hidronolacton.

diagnosa pasien.2. Pemantauan intake dan

output cairan membantu dalam proses penentuan keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.

3. Posisi duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler dapat meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.

4. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan kongesti paru serta gagal jantung.

5. Pemantauan dan pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran urin, dan respon terhadap terapi.

6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan dalam tubuh.

7. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan dijaringan

Page 18: LP PEB

sehingga menurunkan risiko terjadinya edema.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan kriteria hasil:

1. TTV normal (4).2. EKG normal (4).3. Koordinasi otot, tulang, dan

anggota gerak lainnya baik (4).4. Pasien melaporkan kemampuan

dalam ADL (4).

1. Kaji aktivitas dan periode istirahat pasien, rencanakan dan jadwalkan periode istirahat dan tirah baring yang cukup dan adekuat.

2. Berikan latihan aktivitas fisik secara bertahap (ROM, ambulasi dini, cara berpindah, dan pemenuhan kebutuhan dasar).

3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar.

4. Lakukan terapi komponen darah sesuai resep bila pasien menderita anemia berat.

5. Kaji aktivitas dan respon pasien setelah latihan aktivitas (Monitor TTV).

1. Mengetahui aktivitas dan periode istirahat pasien serta upaya untuk menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.

2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan dengan menghemat tenaga namun tujuan tepat.

3. Mengurangi pemakaian enargi sampai kekuatan pasien pulih kembali.

4. Mencegah dan mengurangi anemia berat yang berakibat pada kelemahan.

5. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari latihan.

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan

Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:a. Masukan per oral meningkat (5).

1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.

2. Kaji TTV pasien secara rutin, status

1. Meningkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi.

2. Monitor KU pasien,

Page 19: LP PEB

ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.

b. Porsi makan yang disediakan habis (5).

c. Masa dan tonus otot baik (5).d. Tidak terjadi penurunan BB (5).e. Mual dan muntah tidak ada (5).

mual, muntah, dan bising usus.

3. Berikan makanan sesuai diet dan berikan selagi hangat.

4. Jelaskan pentingnya makanan untuk kesembuhan.

5. Anjurkan pasien makan sedikit tetapi sering.

6. Anjurkan pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat terutama makanan yang banyak mengandung karbohidrat atau glukosa, protein, dan makanan berserat.

7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet sesuai indikasi.

mengetahui kemampuan pasien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi.

3. Meminimalkan anoreksia dan mengurangi iritasi gaster.

4. Pasien termotivasi untuk makan.

5. Meningkatkan kenyamanan saat makan.

6. Glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap sehingga akan membebani hepar, protein baik untuk meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pasien, makanan berserat membantu mencegah terjadinya konstipasi.

7. Meningkatkan proses penyembuhan

Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan tidak terjadi cedera, dengan kriteria hasil:

1. Pasien tidak mengeluh pusing (5).

2. Pasien tidak mengalami cedera

1. Identifikasi keterbatasan fisik dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan risiko cedera.

2. Ajarkan pasien untuk meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur maka

1. Mengetahui penyebab pasien mengalami risiko cedera.

2. Memberikan pengetahuan kepada pasien sehinggapasien

Page 20: LP PEB

(5).3. Pasien mampu menjelaskan cara

mencegah terjadinya cedera (5)

gunakan side rail, ketika mobilitas dari tempat tidur anjurkan untuk dibantu oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika pasien pusing anjurkan untuk istirahat terlebih dahulu.

3. Dampingi pasien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan ADL.

4. Anjurkan pasien untuk banyak mengkonsumsi makanan yang dapat menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet rendah garam untuk menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango pusing.

bisa terhindar dari cedera.

3. Mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera.

4. Sayuran hijau dapat menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah garam dapat mengurangi kekambuhan penyakit hipertensi.

Page 21: LP PEB

8. Pathway

Tekanan darah

Meningkat (140/90 mmHg) Normal

Hipertensi kronik Superimposed pre eklamsia

Hamil < 20 minggu Hamil >20 minggu

PRE EKLAMSIA

Kejang (-) Kejang (+)

EKLAMSIAFaktor predisposisi PE :Primigravida atau primipara mudab (85%), Grand multigravida, Sosial ekonomi rendah, Gizi buruk., Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun), Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya, Hipertensi kronik, Diabetes mellitus, Mola hidatidosa, Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau polihidramnion (14-20%), Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan), Hidrofetalis, Penyakit ginjal kronik, Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan diabetes mellitus, Obesitas, Interval antar kehamilan yang jauh.

Penurunan aliran darah

Prostaglandin plasenta menurun

Iskemia uterus

Hiperoksidase lemak & pelepasan renin uterus

Merangsang pengeluaran bahan tropoblastik

Proses endotheliosis

Merangsang pelepasan tromboplastin

Merangsang pengeluaran bahan tromboksan

Aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin

Koagulasi intravaskuler

Penurunan perfusi darah & konsumtif koagulatif

Penurunan trombosit & faktor pembekuan darah

Gangguan fisiologis homeostasis

Vasospasme PD

Lumen arteriol menyempit

Hanya 1 SDM yg dpt lewat

Tek. Perifer meningkat kompensasi oksigen

*HIPERTENSI

Gangguan perfusi darahGangguan Multi Organ

Renin+darah hati

Renin+angiotensinogen

Angiotensin I Angiotensin II

Angiotensin II + tromboksan

Page 22: LP PEB

Gangguan Multi Organ

Otak Darah

Edema serebri

Peningkatan tek.intrakranial

Risiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan

Otak

Kejang

Risiko Cedera

Endotheliosis

PD pecah SDM pecah

Perdarahan Anemia hemolitik

Kelemahan Ketidakseimbangan suplay & kebutuhan

O2

Intoleransi Aktivitas

Paru

Penumpukan darah

Peningkatan LAEDP

Kongesti vena pulmonal

Proses perpindahan cairan karena perbedaan tekanan

Timbul edema (gangguan fungsi alveoli (ronchi, rales, takipnea, PaCO2

menurun

Gangguan Pertukaran Gas

Hati

Spasmus arteriola

Penurunan Curah Jantung

Payah jantung

Gangguan kontraktilitas miokard

Vasokontriksi PD miokard

Mata

Edema duktus optikus dan retina

Diplopia

Risiko Cedera

Page 23: LP PEB

Gangguan Multi Organ

Ginjal

Adanya rangsangan angiotensin II pada gland.suprarenal

aldosteron

Peningkatan reabsorpsi Na

Retensi cairan

*EDEMA

Kelebihan Volume Cairan

Vasospasme arteriol pada ginjal

Penurunan GFR

Peningkatan permeabilitas

protein

Diuresis menurun

Oliguri/anuri

Gangguan Eliminasi

Urin

>> protein yg lolos dari

filtrasi glomerulus

*PROTEINURIA

Plasenta Ekstremitas

Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)

Gangguan pertumbuhan

plasenta

Hipoksia/anoksia

Penurunan perfusi plasenta

Risiko Gawat Janin

Intoleransi Aktivitas

Cepat lelah & lemah

Pembentukan asam laktat

ATP diproduksi 2 ATP

Metabolisme anaerob

Kelemahan umum

GI Tract

HCL meningkat

Peristaltik turun

Peningkatan akumulasi gas

Konstipasi

Kembung

Mual & Muntah

Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan

tubuh

Nyeri

Page 24: LP PEB

DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi 4. Jakarta: EGC

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby.

McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

Widiastuti, N. P. A. (2012). “Asuhan keperawatan pre eklamsia”. http://nursingisbeautiful.wordpress.com/2010/12/03/askep-preeklampsia/.

Page 25: LP PEB

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MATERNITAS

PEB (PRE EKLAMSI BERAT)

DI RUANG ANGGREK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS

oleh:

FERRA FEBRIANI

G1B212004

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI NERS

PURWOKERTO

2013