Logika Media Koran Tempo

31
MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER 1 Logika Media Koran Tempo “Tinjauan Analisis Wacana Pada Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 1 Juni-1 Juli 2004 di Indonesia” Ayub wahyudi 2 I. Pengantar Dalam sejarah panjang yang tertulis tentang Indonesia kita dapar melihat dinamika peristiwa yang mewarnai Indonesia. Setelah era penajajahan selama hampir 353,5 tahun yang memberikan andil terhadap perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya, Indonesia telah merasakan era kemerdekaan yang telah berjalan 66 tahun. Dalam bentang waktu tersebut Indonesia telah menjalani tiga orde politik. Orde lama yang terhitung sejak kemerdekaan diproklamasikan hingga lengsernya pemimpin orde lama, presiden pertama, Ir. Soekarno pada tahun 1965. Orde baru yang terhitung dari pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada Soeharto yang berkuasa hingga 32 tahun sampai kembali dilengserkan pada tahun 1998. Era reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto hingga saat ini. Setiap orde mempunyai karakteristik yang berbeda, khususnya secara politik. Pada orde lama dikenal dengan politik demokrasi terpimpin, orde baru dikenal dengan politik pembangunan nasional dan orde reformasi dikenal dengan politik wacana demokrasi. 1 Mata kuliah Media Massa Dan Sistem Politik, Dosen pengajar: Fernando Rahadian Srivanto, 2011 2 Mahasiswa kajian media, Ilmu komunikasi, univ. paramadina. 209000012. 1

description

menjelaskan logika media Koran Tempo dengan analisis wacana tematik dan melihat hubungan dengan media massa dan sistem politik

Transcript of Logika Media Koran Tempo

Page 1: Logika Media Koran Tempo

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER1

Logika Media Koran Tempo

“Tinjauan Analisis Wacana Pada Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 1 Juni-1 Juli

2004 di Indonesia”

Ayub wahyudi2

I. Pengantar

Dalam sejarah panjang yang tertulis tentang Indonesia kita dapar melihat dinamika

peristiwa yang mewarnai Indonesia. Setelah era penajajahan selama hampir 353,5 tahun yang

memberikan andil terhadap perkembangan ekonomi, politik, sosial dan budaya, Indonesia telah

merasakan era kemerdekaan yang telah berjalan 66 tahun. Dalam bentang waktu tersebut

Indonesia telah menjalani tiga orde politik. Orde lama yang terhitung sejak kemerdekaan

diproklamasikan hingga lengsernya pemimpin orde lama, presiden pertama, Ir. Soekarno pada

tahun 1965. Orde baru yang terhitung dari pergantian kepemimpinan dari Soekarno kepada

Soeharto yang berkuasa hingga 32 tahun sampai kembali dilengserkan pada tahun 1998. Era

reformasi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto hingga saat ini.

Setiap orde mempunyai karakteristik yang berbeda, khususnya secara politik. Pada orde

lama dikenal dengan politik demokrasi terpimpin, orde baru dikenal dengan politik

pembangunan nasional dan orde reformasi dikenal dengan politik wacana demokrasi. Karakter

politik setiap orde mempunyai pengaruh pada setiap lingkup perkembangan Indonesia, salah

satunya media massa. Media massa adalah institusi yang didasar oleh ideologi dan berperan

sebagai pilar keempat demokrasi. Posisi media massa dalam perkembangan dan perubahan

politik di Indonesia sangat signifikan. Mulai dari membantu kemerdekaan hingga menjadi anjing

pengawas (watchdog) selama demokrasi dijalankan.

Memahami institusi politik dari pandangan para institusionalis adalah cara yang tepat.

Para institusionalis biasanya mempunyai masalah dalam menjelaskan perubahan politik dan

sosial, khususnya dalam institusi sendiri, dan sering terpaksa untuk mengakui goncangan yang

bersifat datang dari luas institusi itu sendiri dan tidak mudah diramalkan atau tindakan dari

1 Mata kuliah Media Massa Dan Sistem Politik, Dosen pengajar: Fernando Rahadian Srivanto, 20112 Mahasiswa kajian media, Ilmu komunikasi, univ. paramadina. 209000012.

1

Page 2: Logika Media Koran Tempo

bermacam-macam agen3. Meski demikian, bukan berarti para institusionalis tidak bisa

menjelaskan defenisi institusi itu sendiri.

Untuk memahami defenisi institusi politik, kita perlu memahami bagaimana sebuah

institusi bisa muncul dan terbentuk:

Institutional arguments rely not on aggregations of individual action, or on

patterned interaction games between individuals, but on “institutions that structure

action”4.

Tebentuknya sebuah institusi tidak berasal dari sekedar manusia berkumpul dan bertindak. Hal

diperjelas bahwa:

Institutions are emergent, “higher-order” factors above the individual level,

constraining or constituting the interests and political participation of actors

“without requiring repeated collective mobilization or authoritative intervention to

achieve these regularities”5.

Kemunculan institusi dimulai dari munculnya “sesuatu” yang tidak berasal dari manusia tapi

mampu membuat manusia bersatu untuk menciptakan institusi baru atau bahkan merubah sebuah

institusi yang lama. Semua ketiga bentuk para institusionalis – sosiologis, historis dan politis –

memberikan defenisi institusi secara luas.

All three forms of institutionalists define institutions broadly. Political and historical

institutionalists see institutions as formal or informal procedures, routines, norms,

and conventions in the organizational structure of the polity or the political

economy, whereas sociological institutionalists add cognitive scripts, moral

templates and symbol systems6 that may reside at suprastate or supraorganizational

levels.

Jika kita memperhatikan faktor-faktor yang disebutkan dalam defenisi institusi oleh ketiga

pemikiran institusional maka akan menghasilkan sebuah ketimpangan. Penjelasan tersebut

mendapat hambatan pada perbedaan institusi dan budaya7. Oleh sebab itu, kita harus memahami

lebih dalam lagi tentang defenisi sebuah institusi dengan cara memberikan perbedaan antara

institusi dan budaya yaitu:

3 Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Handbook of Politics. New York: Springer Science+Business. 2010: 154 Dikutip dari Clemens and Cook dalam Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Ibid. hlm. 165 Dikutip dari Japperson dalam Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Ibid.6 Dikutip dari Hall and Taylor dalam Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Ibid.7 Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Ibid. hlm.17

2

Page 3: Logika Media Koran Tempo

The influence and durability of institutions is a function of the extent to which they

are inculcated in political actors at the individual or organizational level, and the

extent to which they thereby tie up material resources and networks.8

Secara sederhana perbedaan institusi dengan budaya terletak pada kemampuan institusi bertahan

dengan menggunakan pengaruh dan daya tahan tersendiri yang sekaligus menjadi fungsi

ditempat dimana dia berada.

Institusi bukan berasal dari gerakan kolektif atau sekedar hasil dari interaksi sekelompok

manusia karena sebuah gerakan atau berkumpulnya manusia didasari oleh suatu alasan yang

yang sama antara manusia-manusia tersebut. Alasan tersebut bisa dianggap seperti sebuah

kepentingan yang ingin diwujudkan bersama dan pada akhirnya dijadikan sebuah ideologi.

Ideologi ini pada akhirnya akan dijadikan wacana untuk bertahan dan mempengaruhi sebagai

fungsi yang menegaskan perbedaan antara institusi dan budaya. Dengan begitu keinginan untuk

mendapatkan kekuasaan bisa dilakukan dalam bentuk institusi yaitu institusi politik

Institusi adalah ideologi yang menjalankan fungsi bertahan dan mempengaruhi. Untuk itu

perlu kita pahami apa yang mampu membuat media bertahan dan bagaimana dia mempengerahi.

Akan tetapi kita juga dapat memahami peran media sebagai sebuah institusi, dalam hal ini

institusi yang bersifat demokratis. Media massa sebagai institusi yang bersifat demokratis

didukung oleh tiga bentuk penjelasan yang membenarkan secara normative tentang peran politis

media massa pada demokrasi barat – keberagaman dan konsep “pasar ide”, informasi dan

warganegara yang “tercerahkan” ,dan anjing pengawas publik dan pertanggung jawaban

pemerintah – telah memiliki sasaran bersama untuk melindungi objektifitas dan kepentingan

individual ketika dipertemukan dengan kepentingan negara9.

Penjelasan pertama, ketika media mampu menjadi forum dimana suara rakyat, ide-ide

aktor politik dan kebijakan publik dapat dihadirkan dalam bentuk sebuah debat maka secara

tidak langsung media mau tidak mau harus bisa memnjelaskan terlebih dahulu apa yang

dimaksud sebuah keberagaman dari segalah aspek, khususnya pola pikir tiap orang dan

kepentingannya. Forum yang dimaksud adalah:

a ‘marketplace of ideas’ is based on the liberal belief that no single agency be

allowed to have the last say on the course of politics. Rather, it is

8 Dikutip dari Clemens and Cook dalam Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Ibid. hlm.169 Katrin Voltmer (ed.). Mass Media and Political Communication in New Democracies. New York: Routledge’s

collection. 2006: 43

Page 4: Logika Media Koran Tempo

through public exchange of argument and counter-argument that the ‘truth’

eventually emerges.10

Forum tersebut harus menyediakan sasaran yang harus dicapai agar perdebatan tidak menjadi

sekedar wacana pragmatis tentang kebijakan dan keputusan politik serta memberikan muatan

hubungan yang intim antara negara, aktor politik dan warganegara.

Penjelasan kedua, sejak awal kemunculan media massa, akan selalu berhubungan pada

propaganda informasi – dalam pengertian distribusi pesan.

Lemert (1989) argues that media which are committed to a particular

cause offer ‘mobilizing information’ that has the potential to strengthen

political identities and encourages participation.

Media massa harus bisa menjadi referensi yang efektif untuk memberikan pencerahan kepada

warganegara sehingga pergerakan dan keputusan politik yang mereka ambil bisa tepat pada

sasaran yang diharapkan dan sesuai dengan keinginan bersama.

Penjelasan ketiga, peran politis media sebagai pilar keempat demokrasi – lebih dikenal

sebagai watchdog – lebih kepada dampak akan sejauh mana pemerintah melaksanakan

tanggungjawab politik terhadap warganegaranya.

A third argument for the media as a democratic institution is the idea that they act as

a ‘watchdog’ or ‘fourth estate’ that keeps political authorities accountable by

monitoring their activities and investigating possible abuses of political power.11

Peran tersebut bisa berjalan dengan efektif jika fungsi media sebagai forum debat yang

mempunyai fokus terhadap proses politik dan mampu menyediakan informasi yang berkualitas

dalam pemahaman bahwa informasi tersebut mampu dijadikan referensi informasi politik. Akan

tetapi konsep klasik tersebut melupakan satu hal penting yaitu adanya kepentingan publik yang

jauh lebih penting dari pada sekedar kumpulan kepentingan yang bersifat khusus atau kelompok

tertentu. McQuail dalam teori normatifnya tentang “pertunjukan” media memasukkan

kepentingan publik yaitu keteraturan sosial berdampingan bersama kebebasan dan persamaan

hak12. Konsep lama – ketiga penjelasan pendukung peran media massa sebagai institusi yang

mendukung proses demokrasi – mempunyai kekurangan dalam melakukan penyeimbangan

10 Dikutip dari Mill dalam Katrin Voltmer (ed.). Ibid. hlm. 211 Dikutip dari Curran dalam Katrin Voltmer (ed). Ibid. hlm. 412 Dikutip dari McQuail dalam Katrin Voltmer (ed.). Ibid.

4

Page 5: Logika Media Koran Tempo

keteraturan sosial dan kebebasan. Kebebasan dalam berpendapat – kejujuran – tidak selamanya

baik dan sesuai dengan kepentingan publik.

II. Permasalahan

Perkembangan media massa dalam demokrasi perlu dipahami lebih jauh. Hal ini

disebabkan oleh kondisi dimana transisi demokrasi telah berada pada “gelombang ketiga”13 yang

disebut sebagai akhir dari demoratisasi. Hal ini terkait dengan proses demokratisasi pada setiap

negara yang berada dalam gelombang ini tidak menunjukkan kondisi-kondisi yang bisa disebut

demokrasi. Konsep demokrasi adalah sebuah sistem pemerintah yang mempertemukan kondisi-

kondisi berikut14 :

1. Kompetisi antara kelompok, khususnya partai politik, yang luas dan bermakna

2. Partisipasi politik tingkat tinggi

3. Kebebasan sipil dan politik, salah satunya kebebasan pers atau media massa

Dengan kata lain, seharusnya proses demokratisasi bertransisi menuju arah pencapaian untuk

mempertemukan kondisi-kondisi tersebut akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya15.

Jika kondisi tersebut tidak tercapai maka media massa –dalam pencapaian kondisi

kebebasan pers – akan sangat mendapatkan pengaruh yang signifikan terhadap peran dan

posisinya dalam demokrasi. Pada masa otoritarian, media dianggap berperan jika mempunyai

kemampuan untuk dapat melakukan kendali pada masyarakat16. Pada masa tersebut, para elit

kekuasaan sudah menyadari kemampuan tersebut. Hal ini menjadi signifikan karena kemampuan

tersebut masih dibawah pada transisi demokrasi. Pertama, Transisi dari otoritarian ke demokrasi

memang membutuhkan orientasi peran radikal yang baru dan aturan intreaksi dalam system

komunikasi baru, meskipun dalam banyak kasus aktor yang terlibat berasal dari organisasi atau

individu dari rezim sebelumnya17. masa transisi demokrasi dianggap tetap berasal dari para

pergerakan elit politik, “no bourgeoisie, no democrazy”18, sehingga demokratisasi hanya

bergerak menuju semi demokrasi19. Kedua, kondisi semi demokrasi secara langsung membuat

13 Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Op. Cit. hlm. 44114 Ibid. h. 44315 Ibid. h. 44616 Karin Wahl Jorgensen dan Thomas Hanitzcsh (ed.). The Handbook of Journalism Studies. New York:

Routledge’s collection. 2009: 23717 Katrin Voltmer (ed.). Mass Media and Political Communication in New Democracies. New York: Routledge’s

collection. 2006: 618 Kevin T. Leicht dan J. Craig Jenkins (ed.). Op. Cit .h. 44419 Ibid. h. 446

5

Page 6: Logika Media Koran Tempo

media menjadi semi bebas dalam melakukan fungsi informatifnya terhadap masyarakat. Kualitas

dari demokrasi dapat dilihat dari masyarakat yang mendapatkan informasi dengan baik dari

media20. Dengan kata lain, media massa yang setengah bebas akan menghasilkan demokrasi

dengan kualitas yang buruk.

Media massa adalah institusi demokrasi. Melaksanakan fungsi informatif dengan bebas adalah

salah satu “pertanda” bahwa transisi demokrasi berhasil mencapai tujuan. Hubungan media

massa dan demokratisasi terletak pada praktek komunikasi politik – produksi dan resepsi pesan

politik21. Konsep komuniaksi politik adalah sebuah sistem dinamis antara media massa, aktor

politik dan khalayak yang terlibat dalam memproduksi, menerima dan mengartikan pesan

politik22. Kondisi dinamis komunikasi politik adalah wadah peran demokrasi dijalankan. Akan

tetapi jika aktor politik hanya menghasilkan pesan untuk kepentingan diri – dominasi elit – lalu

media massa, yang seharusnya bisa sebagai watch dog – pilar keempat demokrasi – atas

akutabilitas pesan tersebut, mementingkan logika media untuk mempertahankan eksistensinya

ditambah audience dengan pergerakan pemberontakan yang kurang informasi. Maka komunikasi

politik hanya menjadi wadah untuk peran semi demokrasi.

Istilah logika media sering dikaitkan dengan bagaimana rasionalisasi pemberitaan yang

dilakukan oleh media massa, salah satunya komodifikasi.

When political economist think about commodity form ini communication, they

tended to start with media content. Specifically, from this point of view, the proses of

commodification ini communication involves transforming messages, ranging from

bits of data to system of meaningful thought, into marketable products23.

Dengan mengubah messages atau pesan-pesan komunikasi yang berisi informasi menjadi sebuah

produk yang bisa dipasarkan atau diperjualbelikan, media massa telah melakukan rasionalisasi

terhadap berita untuk kepentingan sendiri. Hal bisa dikatakan bagaimana cara media sebagai

institusi untuk bertahan yang bisa disebut sebagai logika media.

Memahami logika media tidak terlepas dari bias media itu sendiri dalam melakukan

pemberitaan. Media massa mempunyai empat fungsi dalam masyarakat24:

20 Katrin Voltmer (ed.). Op. Cit. h. 321 Ibid. hlm. 522 Ibid. 23 Vincent Mosco. The Political Economy of Communication. London: SAGE Publication. 1996: 13324 Dikutip dari Charles Wright dalam Ralph E. Hanson, Mass Cominication: Living In a Media World, McGraw Hill, 2005: 27

6

Page 7: Logika Media Koran Tempo

1. Pengawasan terhadap lingkungan; menggunakan media untuk mengetahui dunia

melampaui apa yang bisa langsung kita rasakan

2. Korelasi akan perbedaan eleman dalam masyarakat; proses seleksi, evaluasi dan

interpretasi dari sebuah kejadian, tempat atau informasi yang beredar dimasyarakat yang

lain.

3. Sosialisasi dan transmisi kebudayaan; sebuah proses integrasi masyarakat untuk

menurunkan nilai, norma sosial dan pengetahuan kepada anggota baru dalam masyarakat.

4. Hiburan; sederhananya media massa mampu digunakan untuk membuat orang terhibur.

Setiap fungsi tersebut harus jalan jika media massa dianggap sebagai salah satu kondisi

terpenuhinya demokrasi sebuah negara. Akan tetapi, karena selama ini kebebasan pers dipahami

sebagai media massa bebas melakukan pemberitaan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun

sehingga pers benar-benar bebas tanpa memperdulikan fungsi tersebut. Noam Chomsky

mengatakan bahwa

“The real mass media are basically trying to divert people. Let them do something

else, but don’t bother us (us being the people who run the show). Let them get

interested in professional sports, for example. Let everybody be crazed about

professional sports or sex scandals or the personalities and their problems or

something like that. Anything, as long as it isn’t serious. Of course, the serious stuff

is for the big guys.”25

Media massa hanya menjalankan fungsinya untuk menghibur dan melupakan fungsinya yang

lain. Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada diruang vakum. Media

sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik,

dan fakta yang kompleks dan beragam26. sudah menjadi sewajarnya jika media massa tidak

pernah bisa netral dalam melakukan pemberitaan. Hal tersebut terkait dengan logika media yang

dimiliki oleh setiap media massa untuk menjalankan fungsi bertahannya sebagai institusi, tidak

hanya dengan ideologi politik untuk bertahan tapi juga dengan idologi ekonomis.

Masuknya faktor ekonomi ke dalam senuah pembuatan berita yang paling jelas adalah

melalui kenyataan bahwa organisasi berita adalah usaha ekonomi yang menghidupi diri sendiri

terutama melalui penjualan prosuk dan periklanan. Sigal menunjukkan bahwa motif laba paling

25 Dikutip dari Noam Chomsky dalam What Makes Mainstream Media Mainstream, Loc. Cit. hlm. 2126 Alex Sobur, Analisi Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Dan Analisis Framing, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009: 29.

7

Page 8: Logika Media Koran Tempo

banyak mempengaruhi pembuatan berita jika laba paling sedikit, untuk merangsang kenaikan

jumlah pembaca dan penilaian khalayak, perlu memeriahkan berita, menyajikan lebih banyak

tajuk artikel dan pengolahan, dan meningkatkan pendapatan iklan. Akan tetapi, apakah laba itu

besar atau kecil, pendapatan iklan sangat besar bantuannya dalam mendukung organisasi berita,

dan dengan demikian mempengaruhi banyaknya ruang dan waktu yang disediakan bagi

pelaporan peristiwa27.

Indonesia telah merdeka selama 66 tahun dan telah menjalani demokrasinya sendiri

selama. Salah satu kondisi negara demokrasi adalah mempunyai tingkat partisipasi politik yang

tinggi dan hal tersebut sering diwakili oleh pemilihan umum (Pemilu). Pemilu terakhir yang

diadakan oleh Indonesia adalah Pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2004. Ada dua

fenomena yang terkat dengan media massa dan demokrasi pada pemilihan umum. Pertama,

pemilu tersebut sering dianggap paling demokratis secara pelaksanaan. Sulastomo28 berpendapat

bahwa

“Pada pemilu 2004, untuk pertama kali kita akan memilih presiden/wakil presiden

secara langsung. Meski UU pemilihan presiden/wakil presiden belum selesai,

Ketetapan MPR untuk mengubah tata-cara pemilihan presiden/wakil presiden

merupakan babak baru pelaksanaan demokrasi kita…. Inilah upaya maksimal yang

dapat dilakukan, agar pemilu 2004 lebih demokratis… dengan kenyataan seperti itu

ada harapan pemilu 2004 akan lebih demokratis, bila ukuran demokrasi didasarkan

pada pemberian jaminan hak demokrasi tiap warga negara untuk dapat memilih wakil-

wakilnya [presiden/wakil presiden]….”

Dan hal tersebut memang terlaksana. Semua masyarakat Indonesia yang mempunyai hak pilih,

dalam artian berhak mendapatkan hak suara, menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali

dengan sistem yang demokratis.

Kedua, setelah reformasi 1998 berjalan media massa kembali mendapatkan

kebebasannya. Belum setahun usia reformasi, jumlah surat izin terbit baru 582, dua kali lebih

dari 289 yang diterbitkan selama 30 tahun29. Semakin banyaknya media massa yang terbit

semakin besar media massa sehingga kita tiba pada era simulakra. Politik di era media massa

27 Dan Nimmo. Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, Dan Media, Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004: 227.28 Sulastomo, Reformasi: Antara Harapan & Realita, Jakarta: Kompas. 2003: 12129 Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus. Jakarta: Kompas. 2001: 43

8

Page 9: Logika Media Koran Tempo

adalah soal membuat citra. Melalui layar kaca, siaran radio, dan halaman Koran, citra bisa

dibentuk dan dijejalkan dalam pikiran kolektif publik. Dan citra itu bisa dibuat lebih dahsyat

ketimbang ciri-ciri actual dan kondisi real. Realitas masa kini adalah realitas media, sering

disebut sebagai simulakra, merujuk pada realitas sosial yang dikemas atau disampaikan oleh

media. Simulakra. Menurut Jean Baudrillard, filsuf posmodern penggagas istilah itu, adalah

kemasan dari seseuatu yagn tak lagi memiliki keaslian. Di dalam media massa beda antara yang

nyata (real) dan yang mepresentasikan (kemasan) telah lebur dan kabur. Yang tersisa hanyalah

simulacra, sesuatu yang “lebih nyata ketimbang kenyataan”30. Politik pencitraan menjadi

menjadi senjata dalam pemilu 2004. Pertarungan politik dalam pemilu, pertama-tama, musti

dimenangkan di media massa31.

Koran Tempo adalah media massa cetak yang terbit harian dan fokus terhadap berita

politik dan ekonomi. Koran ini muncul pertama kali pada tanggal 1 April 2001. Koran tempo

mempunyai ciri khas dalam melakukan pemberitaan adalah info grafis. Menurut Daru

Priyambodo, wakil pimpinan redaksi Koran Tempo saat ini, mengatakan bahwa:

“…Ini info grafis, gambar dari sebuah peritiwa. Misalnya ada bom meledak, bomnya

ada dimana… korbannya ada dimana… nah itu…itu infografis, kalo karikatur kan

ledekan atau apa, ini peristiwanya, peristiwa yang digambar. Itu yang diminta oleh

tempo…”32

Gagasan menerbitkan Koran sebenarnya sudah ada bahkan sebelum Majalah Tempo di bredel

pada 1994, dengan alasan untuk melayani kebutuhan publik lebih sering dan untuk memperkuat

pengawalan pada proses demokratisasi Indonesia33. Makalah ini bertujuan untuk melakukan

analisis terhadap logika media yang digunakan oleh Koran Tempo dalam melakukan

pemberitaan pada kampanye pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004.

III.Analisis

Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama

dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada “how the ideological significance

of news is part and pacel of the methods used to process news” (bagaimana signifikansi atau

30 Lukas Luwarso (ed.). media dan pemilu 2004. Jakarta: SEAPA. 2004: 2.31 Ibid.32 Hasil wawancara dengan Daru Priyambodo, Salah satu wakil pimpinan redaksi Koran Tempo. lihat lampiran 1.33 Lintang Nurjiwa. Makna Masalah Sosial Di Indonesia Dalam Komik Strip Lotif Pada Koran Tempo Edisi Januari-Mei 2010. Jakarta: Institusi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. 2010: 59

9

Page 10: Logika Media Koran Tempo

tingkat kepentingan berita-berita adalah bagian dan menjadi paket dari metode-motode yang

digunakan untuk memproses berita-berita). Lantas, apakah analisis wacana itu? Jika kita coba

rumuskan, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya

lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Kita

menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa

hubungan-hubungan wacana yang bersifat antar-kalimat dan suprakalimat maka kita sukar

berkomunikasi dengan tepat satu sama lain. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa

persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian

kalimat, fungsi ucapan dan inheren yang disebut wacana. Dalam upaya menganalisis unit bahasa

yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah

berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantic, sintaksis, morfologi dan fonologi34. Salah

satu contoh yang dimaksud adalah berita dari media massa itu sendiri, khususnya media cetak.

Kerangka analisis wacana yang akan dipergunakan untuk melakukan analisis terhadap

penelitian ini adalah kerang analisis wacana tematik. Secara harafiah tema berarti “ sesuatu yang

telah diuraikan” atau yang telah ditempatkan. Dilihat dari sudut sebuah tulisan yang telah selesai,

tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya. Kata tema

kerap disandingkan dengan apa yang disebut dengan topik. Kata topik berasal dari kata yunani

yang berarti tempat. Teun A. van Dijk mendefenisikan topik sebagai struktur makro dari suatu

wacana35. Dan dalam penelitian ini tema atau topik yang menjadi superstruktur adalah kampanye

pemilu presiden wakil presiden 2004. Dengan kata lain, dengan kerangka analisis wacana

tematik, kita hanya akan melakukan pengkajian dengan melihat berita atau artikel yang

mempunyai topik yang sama, yaitu kampanye pemilu presiden dan wakil presoden 2004.

Kampanye pemilu presiden dan wakil presiden 2004 dilakasanakan pada tanggal 1 juni-1

juli 2004, kecuali pada tanggal 3 juni 2004 karena bertepatan dengan hari libur memperingati

hari raya waisak 2004. Pada pemilu 2004 ini calon presiden dan wakil presiden terdiri lima

pasangan, yaitu dengan nomor sesuai dengan no. urut yang sebenarnya.

1. Wiranto dan Salahuddin Wahid

2. Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi

3. Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo

34 Ales Sobur. Op. Cit. hlm. 4835 Ibid. hlm. 75

10

Page 11: Logika Media Koran Tempo

4. Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla

5. Hamzah Haz dan Agum Gumelar

Kondisi pemilu 2004 dapat dikatakan sebagai pemilu yang diharapkan karena pemilu merupakan

pemilu pertama yang sukses menjalan demokratis secara prosedural. Hal tersebut diperjelas oleh

Daru Priyambodo, bahwa:

“…Jadi itu (pemilu 2004) adalah pemilu yang secara politik sangat menarik ketika

itu [ya]… Karena adanya calon yang sebelumnya belum pernah tampil… ketika itu

juga di pemilu 2004 itu sempat dikhawatirkan akan terjadi kerusuhan karena

banyaknya calon dari berbagai latar yang berbeda ya… (pemilu) 2004 ditandai

dengan, pemilu presiden itu dengan matinya munir. kekhawatiran bahwa akan terjadi

intrik-intrik politik, misalnya permainan yang curang, kasar dan sebagainya ternyata

tidak seperti yang ditakutkan bahwa ada benturan kecurangan, iya… tapi tidak terjadi

kerusuhan, bentrok horizontal itu gak terjadi ”36

Pada pemilu 2004, Koran Tempo sebenarnya sangat berharap bahwa nantinya ada beberapa

kejadian yang bisa dijadikan berita, mereka sudah bersiap-siap dengan semua resiko yang terjadi.

Akan tetapi, tidak satupun dari harapan itu terwujud karena ternyata pemilu berjalan damai

secara fisik yang dalam artian perang citra juga masih terjadi tapi tempo tidak mengharapkan hal

tersebut untuk dijadika berita.

Pada tahun 2004, pemilu bukanlah satu-satunya wacana yang menjadi incaran berita oleh

redaksi Koran Tempo. Tahun 2004, kasus terorisme dan perkembangan ekonomi negara juga

menjadi perhatian meja redaksi. Pemilu 2004 adalah pemilu yang sangat khusus. Akan tetapi

melihat jumlah artikel selama masa kampanye pemilu presiden dan wakil presiden 2004 tersebut

menunujukka bahwa Koran tempo ternyata tidak menjadikannya sesuatu yang booming atau

mengangkatnya sebagai agenda setting. Persentase artikel yang bertemakan Kampanye pemilu

presiden dan wakil presiden tahun 2004 sangat sedikit dilihat dari jumlah artikel yang

dikelaurkan Koran Tempo pada tanggal 1 juni-1 juli 2004. Selama masa tersebut, Koran Tempo

mengeluarkan atau menerbitkan 2073 artikel namun artikel yang menyentuh tema kampanye

pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 hanya sekitar 166 artikel, atau sekitar 8% dari

total keseluruhan. Data dibawa menunjukkan perbedaan jumlah artikel keseluruhan dan artikel

yang bertemakan kampanye pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004, setiap hari dimulai

36 Hasil wawancara (lihat lampiran)11

Page 12: Logika Media Koran Tempo

dari tanggal 1 Juni 2004 hingga 1 Juli 2004. Data tersebut sangat jelas menunjukkan logika

media Koran Tempo terhadap Kampanye tersebut.

Data Perbandingan Artikel Koran Tempo 1 Juni-1 Juli 2004

* data diambil dari arsip www.korantempo.com, disajikan sendiri oleh penulis.

** tanggal 3 dikosongkan karena mengalami kerusakan data.

Logika media sering dianggap sebagai cara berpikir media untuk menentukan berita yang

akan diterbitkan untuk menjaga keberlangsungan media itu sendiri. Logika media bisa dianggap

sebagai strategi media bertahan. Semua gerak langkah media dapat dianggap sebagai cara

mereka untuk bertahan, dalam hal ini, termasuk bagaimana media memberitakan atau

menyiarkan sebuah berita. Tanggapan sebuah media terhadap sebuah tema bisa menjelaskan

logika media itu sendiri. Logika media biasaya dihadirkan dalam bentuk karakter atau ciri khas

media itu sendiri.

Koran tempo mempunyai beberapa ciri khas yang dapat menjelas tentang logika

medianya. Pertama, Koran Tempo selalu netral dan independen. Pendapat ini diperkuat oleh

Daru Priyambodo37, dia mengatakan bahwa “prinsip pemberitaannya, agenda setting dan

sebagainya tetap netral karena tidak berafiliasi kemanapun tempo ketika itu (pemilu)”. Kedua,

Koran Tempo selalu Lugas, dalam artian, Berani memberitakan sebuah berita tapi tetap pada

koridoe etika jurnalistik. Ketiga, Koran Tempo selalu memberitakan sebuah peristiwa dengan

37 Wakil Pimpinan Redaksi Koran Tempo12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 10

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Total Berita

Berita ten-tang kam-panye

Page 13: Logika Media Koran Tempo

singkat dan padat serta tidak pernah bersambung pada edisi berikutnya. Keempat, Koran tempo

lebih memntingkan info grafis. Info grafis adalah sebuah pola penulisan yang menggambarkan

sebuah berita. Info grafis membuat Koran Tempo mampu membuat berita menjadi gambaran

detil yang simgkat dan padat. Dengan melihat strategi pemberitaan Koran Tempo terhadap

kampanye pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004, kita bisa mengetahui bahwa logika

media Koran Tempo adalah Semua berita bisa ditulis dan diterbitkan selama berita tersebut

merupakan informasi yang kebenarannya dapat diuji dan dipertanggung jawabkan.

IV. Kesimpulan

Hubungan media massa dan sistem politik dapat dilihat bagaimana logika media dari

sebuah media massa menaggapi sebuah wacana atau tema yang berlangsung. Pada masa

demokrasi, kebebasan media massa menjadi salah satu kondisi sebuah negara dikatakan

menjalankan demokrasi. Peran media dalam konsep demokrasi juga sangat diperhitungkan.

Media massa dianggap sebagai pilar kekuasayan yang keempat (fourth estate) yang disejajarkan

dengan pilar kekuasaan yang lain; legislative (DPR dan MPR), eksekutif (Presiden dan Kabinet)

dan yudikatif (Mahkama konstitusi dan Pengadilan). Media massa dianggap dapat mempengaruh

kebijakan yang dibuat untuk publik. Media massa juga dianggap sebagai anjing pengawas (watch

do). Kebebasan media membuat media mampu melakukan pemberitaan dan melaporkannya ke

publik serta menegur semua tindakan pilar kekuasaan yang lain dengan cara yang sangat halus

tapi efektif.

Logika media sering dianggap sebagai cara berpikir media untuk menentukan berita yang

akan diterbitkan untuk menjaga keberlangsungan media itu sendiri. Logika media bisa dianggap

sebagai strategi media bertahan. Semua gerak langkah media dapat dianggap sebagai cara

mereka untuk bertahan, dalam hal ini, termasuk bagaimana media memberitakan atau

menyiarkan sebuah berita.

Indonesia telah merdeka selama 66 tahun dan telah menjalani demokrasinya sendiri

selama. Salah satu kondisi negara demokrasi adalah mempunyai tingkat partisipasi politik yang

tinggi dan hal tersebut sering diwakili oleh pemilihan umum (Pemilu). Pemilu terakhir yang

diadakan oleh Indonesia adalah Pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2004. Ada dua

fenomena yang terkat dengan media massa dan demokrasi pada pemilihan umum. Pertama,

pemilu tersebut sering dianggap paling demokratis secara pelaksanaan. Pemilu presiden dan

wakil presiden tahun 2004 adalah pemilu yang sukses secara prosedural dalam menjalankan

13

Page 14: Logika Media Koran Tempo

demokrasi. Hal tersebut diambil dari ukuran partisipasi masyarakat untuk menggunakan hak

pilihnya dalam memilih presiden dan wakil presiden dengan suara sendiri untuk pertama kali.

Pada pemilu 2004 adalah pemilu yang terjadi di era simulakra. Era dimana media massa menjadi

penguasa karena dianggap efektif dalam melakukan kampanye. Oleh karena itu, pemilu 2004

adalah pemilu awal yang mengandalkan pencitraan. Mereka yang bisa menang dimedia massa

mempunyai kesempatan yang besar untuk memenangkan suara rakyat.

Koran Tempo adalah salah satu media cetak harian yang terbit untuk memenuhi

informasi harian publik akan perkembangan ekonomi dan politik. Koran Tempo adalah media

massa cetak yang terbit harian dan fokus terhadap berita politik dan ekonomi. Koran ini muncul

pertama kali pada tanggal 1 April 2001. Koran tempo mempunyai beberapa ciri khas yang dapat

menjelas tentang logika medianya. Pertama, Koran Tempo selalu netral dan independen.

Pendapat ini diperkuat oleh Daru Priyambodo38, dia mengatakan bahwa “prinsip pemberitaannya,

agenda setting dan sebagainya tetap netral karena tidak berafiliasi kemanapun tempo ketika itu

(pemilu)”. Kedua, Koran Tempo selalu Lugas, dalam artian, Berani memberitakan sebuah berita

tapi tetap pada koridoe etika jurnalistik. Ketiga, Koran Tempo selalu memberitakan sebuah

peristiwa dengan singkat dan padat serta tidak pernah bersambung pada edisi berikutnya.

Keempat, Koran tempo lebih memntingkan info grafis. Info grafis adalah sebuah pola penulisan

yang menggambarkan sebuah berita. Info grafis membuat Koran Tempo mampu membuat berita

menjadi gambaran detil yang simgkat dan padat. Koran tempo mempunyai ciri khas dalam

melakukan pemberitaan adalah info grafis. Sebagai media yang mempunyai cukup pengaruh

dalam melakukan pemberitaan. Koran Tempo mempunyai logika medianya sendiri. Hal tersebut

dapat disimpulkan dari strategi pemberitaan dan agenda setting yang dilakukan untuk

menanggapi tema pemilu tersebut. data menunjukkan bahwa Koran Tempo tidak terlalu

memihak sebuah tema. Media ini tetap pada tujuan awalnya yang selalu berusaha netral terhadap

sebuah tema.

Keberadaan pendapat tentang logika media dapat berasal dari kecenderungan media

melakukan pembiasan pemberitaan dan hal tersebut sering dikaikan dengan media massa sebagai

sebuah insitusi politik dan organisasi ekonomi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa logika media

sebuah media massa akan hany berkutat pada kepentingan politis atau ekonomi. Kepentingan

politik dapat diartikan bagaimana media membela kepentingan politis individu atau kelompok

38 Wakil Pimpinan Redaksi Koran Tempo14

Page 15: Logika Media Koran Tempo

yang mempunyai kendali terhadap media tersebur sehingga untuk bertahan mereka harus

melakukan pemberitaan yang menguntungkan secara politis. Kepentingan ekonomi dapat

dianggap bagaimana media selalu berusaha mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini berasal

dari berita dan iklan yang mana keduanya berjalan searah. Para pengiklan hanya menaruh

iklannya pada media dengan pembaca atau penonotn yang banyak dan untuk mendapatkan

pembaca atau penonton yang banyak media harus mampu menghibur publik. Dengan kata lain

kepentingan ekonomi ternyata jauh lebih berpengaruh terhadap konten sebuah berita yang dapat

berakhir menjadi sebuah pembiasan berita.

Koran Tempo sebagai media massa juga magalami hal yang sama hanya saja logika

media Koran Tempo ternyata tidak mayoritas ke kepentingan ekonomis sebagai sebuah

organisasi ekonomik. Akan tetapi dapat dikatakan lebih bersifat politik. hal terlihat dari

legitimasi Koran Tempo dalam melakukan pemberitaan tentang Kampanye pemilu presiden dan

wakil presiden tahun 2004. Tidak hanya memberitakan dengan netral tanpa agenda setting

apapun tapi juga tidak menjadikan momen tersebut sebagai momen yang mengutungkan media

massa lain baik secara politik maupun ekonomi. Dengan kata lain, Koran Tempo memliki posisi

tawar politik yang cukup signifikan daripada media massa cetak harian lainnya. Kesimpulannya,

Koran Tempo mempunyai logika media dengan dasar kepentingan politik, tidak dalam artian

membela kepentingan politik individu atau kelompok yang lain untuk mempertahankan

keberadaannya tapi lebih mempertahankan kepentingan politik sendiri dalam melakukan

pemberitaan.

ooo000ooo

15

Page 16: Logika Media Koran Tempo

DAFTAR PUSTAKA

1. Chomsky, Noam, Oktober 1997, What Makes Mainstream Media Mainstream, Z

magazine.

2. Hanson, Ralph E, 2005, Mass Cominication: Living In a Media World, McGraw Hill:

3. Jorgensen, Karin Wahl dan Hanitzcsh, Thomas (ed.), 2009, The Handbook of Journalism

Studies, Routledge’s collection: New York

4. Leicht, Kevin T. dan Jenkins, J. Craig (ed.), 2010, Handbook of Politics. Springer

Science+Business: New York

5. Luwarso, Lukas (ed.), 2004, Media dan Pemilu 2004, SEAPA, Jakarta

6. Mosco, Vincent, 1996, The Political Economy of Communication, SAGE Publication:

London,

7. Nimmo, Dan , 2004, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Remaja

Rosdakarya, Bandung

8. Oetama, Jakob, 2001, Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus.

Kompas, Jakarta

9. Sobur, Alex, 2009, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Remaja Rosdakarya, Bandung

10. Sulastomo, 2003, Reformasi: Antara Harapan & Realita, Kompas, Jakarta

11. Voltmer, Katrin (ed.), 2006, Mass Media and Political Communication in New

Democracies. Routledge’s collection: New York

12. Nurjiwa, Lintang, 2010, Makna Masalah Sosial Di Indonesia Dalam Komik Strip Lotif

Pada Koran Tempo Edisi Januari-Mei 2010, Institusi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jakarta: Jakarta

13. www.korantempo.com

16

Page 17: Logika Media Koran Tempo

Lampiran 1

TRANSKIP WAWANCARA

Subjek : Daru Priyambodo, Wakil Pimpinan Redaksi Koran Tempo Lokasi : Gedung Velbak, Koran Tempo, Kebayoran Baru, Jakarta selatan Waktu : Senin, 6 Juni 2011. 10:32 WIB Durasi : 00.05.48.

Peneliti : ehhh… pertama, eh…kalo menurut bapak sendiri pemilu 2004 itu, bagaimana

kondisinya saat itu?

Subjek : pemilu 2004 itu pemilu yang… tunggu, 2004 itu adalah pertama kalinya yudhoyono

mencalonkan diri iya… Jadi itu adalah pemilu yang secara politik sangat menarik

ketika itu ya… Karena adanya calon yang sebelumnya belum pernah tampil…

banyak, eh… ada yudhoyono, ada hasyim muzadi kalo gak salah, sehingga peta

politiknya ketika itu memang sangat beragam, sangat beragam dan media menyikapi

pemberitaan itu dengan sebetulnya cukup fair, cukup fair… tempo berpegang pada

prinsip bahwa siapapun orang yang berhak untuk mencalokan diri sebagai presiden

maka dia yang berhak… maka apa, apapun kegiatan dia wajib atau patut diliput,

layak diliput. Nah, ehhh…ketika itu juga di pemilu 2004 itu sempat dikhawatirkan

akan terjadi kerusuhan karena banyaknya calon dari berbagai latar yang berbeda

ya… ada militer, wiranto… pemilu depan wiranto juga mencalonkan diri kan, dia

calon dari golkar… kemudian…

Peneliti : ada prabowo..

Subjek : kemudian… iya golkar pendukungnya… aq lupa siapa waktu itu wapresnya (wakil

presidennya)… kemudian, ehhh…. Yudhoyono yang itu (militer). 2004 juga ditandai

dengan, pemilu presiden itu dengan matinya munir,

Peneliti : oooo….

Subjek : munir tahun berapa ya… aku lupa tapi sekitar itulah. Sementara ehhh…

kekhawatiran itu muncul, kekhawatiran bahwa akan terjadi intrik-intrik politik,

misalnya permainan yang curang, kasar dan sebagainya ternyata tidak seperti yang

ditakutkan bahwa ada benturan kecurangan, iya… tapi tidak terjadi kerusuhan,

bentrok horizontal itu gak terjadi. Nah, media, dalam hal ini tempo ketika itu, kita

(tempo) mencoba mengantisipasi dengan melihat, ehhh… ini sebagai momen yang

17

Page 18: Logika Media Koran Tempo

penting secara demokrasi, secara kelayakan… kelayakan pemberitaan juga tapi

prinsip pemberitaannya, agenda setting dan sebagainya tetap netral karena tidak

berafiliasi kemanapun tempo ketika itu, itu… sementara ada beberapa media yang

berafiliasi ke pendukung-pendukungnya kan. Media Indonesia misalnya jelas ya.. ke

(partai politik) Golkar, kemudian kelompok yang, aku gak tahu… aku rasa yang aku

ingat itulah… TV juga kan

Peneliti : banyak…

Subjek : ee..emmm… TV banyak juga itu….

Peneliti : terus, eeee… pada tahun 2004 itu selain wacana pemilu yang jadi prioritas berita

tempo saat itu apa pak?

Subjek : eee…. Terorisme, 2004 itu adalah masa-masa ketika si…. Nurdin m top belum

tertangkap.

Peneliti : ya… imam samudra…

Subjek : azhari kalo gak salah belum… azhari belum…

Peneliti : belum… imam samudra masih dibali belum di eksekusi…

Subjek : 2002 bom bali…

Peneliti : ya…

Sebjek : 2004… atau 2005 ya, 2004 akhir sekitar oktober terjadi bom bali 2, kalo gak salah

ya. Lalu setelah itu ada… sebelumnya ada ini bom kedubes australi. Jadi ada 2 hal

yang… yang… yang apa namanya… sebetulnya ada tiga yang menjadi fokus

pemberitaan ya… pemilu itu sendiri, kedua terorisme yang masih sangat kuat ketika

itu, ketiga ekonomi. ekonomi belum pulih seperti sekarang, dolar masih tinggi,

kemudian, eee… demo-demo masih banyak sekali ya… yang mengganggu stabilitas

ekonomi. nah itulah yang kita lihat waktu itu.

Peneliti : eee… satu lagi nih pak, terakhir… ee.. saya itu tertarik sih ee… apa sih ciri khas

tempo ketika melakukan pemberitaan dalam… dalam artian konten-konten isinya itu

seperti apa… yang membedakannya dari Koran-koran politik dan ekonomi yang lain.

Subjek : ada beberapa… ciri yang pertama adalah.. sudah pasti tempo mencoba untuk

netral… independen ya… kedua tempo juga eee… mencoba memberitakan itu secara

lugas, artinya kslo kompas itu kan… kompas itu agak takut-takut beritain soal islam,

soal terorisme itu… dia (kompas) ada takut-takutnya, kita terorisme beritain aja…

18

Page 19: Logika Media Koran Tempo

beritain aja, tetap dengan koridor etika pers ya… yang ketiga, ini Koran tempo kan

yang di omongin..?

Peneliti : iya…

Subjek : Koran tempo itu adalah Koran yang mencoba untuk memberitakan dengan…

pertama beritanya pendek-pendek, gak ada sambung bersambung dua sampai tiga

ketika itu ya Koran tempo tidak pernah sambung bersambung…

Peneliti : iya…

Subjek : kemudian info grafis… kita (Koran tempo) memainkan info grafis yang banyak

karena kita percaya bahwa…

Peneliti : karikatur semacamnya

Subjek : karikatur lain lagi. Ini info grafis, gambar dari sebuah peritiwa. Misalnya ada bom

meledak, bomnya ada dimana… korbannya ada dimana… nah itu…itu infografis,

kalo karikatur kan ledekan atau apa, ini peristiwanya, peristiwa yang digambar. Itu

yang diminta oleh tempo. jadi itulah, jadi yang membedakan tempo dengan Koran

yang lain

Peneliti : ya udah… itu saja pak.

Subjek ; ya udah…

19