Lla

29
BAB I PENDAHULUAN Leukemia merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak – anak, yaitu sekitar 40% dari seluruh penyakit keganasan pada anak – anak yang berusia dibawah 15 tahun. Secara genetik terjadi abnormalitas pada sel – sel hematopoietik yang menyebabkan peningkatan proliferasi yang tidak terkontrol dan penurunan apoptosis sel darah sehingga pertumbuhan sel yang melebihi biasanya namun bentuk dan fungsinya menjadi tidak normal dan menimbulkan gejala – gejala leukemia. Akibatnya pada sumsum tulang dapat terjadi gangguan bahkan kegagalan fungsi. Leukemia dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut dan Kronis, Leukemia Mieloblastik Akut dan Kronis. 1,2 Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif dengan transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsum tulang dini (sel blas). Kegagalan sumsum tulang seperti anemia, neutropenia dan trombositopenia adalah akibat dari akumulasi leukosit ganas dalam sumsum tulang walaupun dapat juga terjadi infiltrasi melalui darah menuju ke jaringan pada organ seperti hepar, lien, kelenjar getah bening, meninges, otak, kulit atau testis. Apabila tidak diobati penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, namun lebih mudah diobati dibandingkan dengan leukemia kronik yang progresinya lebih lambat namun lebih sulit diobati. 3 1

description

LLA

Transcript of Lla

Page 1: Lla

BAB I

PENDAHULUAN

Leukemia merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak – anak, yaitu

sekitar 40% dari seluruh penyakit keganasan pada anak – anak yang berusia dibawah 15

tahun. Secara genetik terjadi abnormalitas pada sel – sel hematopoietik yang menyebabkan

peningkatan proliferasi yang tidak terkontrol dan penurunan apoptosis sel darah sehingga

pertumbuhan sel yang melebihi biasanya namun bentuk dan fungsinya menjadi tidak normal

dan menimbulkan gejala – gejala leukemia. Akibatnya pada sumsum tulang dapat terjadi

gangguan bahkan kegagalan fungsi. Leukemia dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut

dan Kronis, Leukemia Mieloblastik Akut dan Kronis.1,2

Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif dengan

transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsum

tulang dini (sel blas). Kegagalan sumsum tulang seperti anemia, neutropenia dan

trombositopenia adalah akibat dari akumulasi leukosit ganas dalam sumsum tulang walaupun

dapat juga terjadi infiltrasi melalui darah menuju ke jaringan pada organ seperti hepar, lien,

kelenjar getah bening, meninges, otak, kulit atau testis. Apabila tidak diobati penyakit ini

biasanya cepat bersifat fatal, namun lebih mudah diobati dibandingkan dengan leukemia

kronik yang progresinya lebih lambat namun lebih sulit diobati.3

Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan perawatan

suportif yang lebih baik, prognosis dari anak – anak dengan leukemia telah meningkat secara

bermakna. Kini lebih dari dua per tiga pasien dengan Leukemia Limfoblasik Akut yang diberi

pengobatan akan bebas gejala selama 5 tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus,

pasien – pasien tersebut akan sembuh.2

Karena kemudahan dalam memperoleh sampel limfoblas melalui sumsum tulang dan

darah, pengetahuan mengenai prinsip biologi sel tumor banyak berasal dari penelitian

terhadap leukemia pada manusia. Selain itu, informasi uji klinis dari pengobatan leukemia

telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan dasar pengobatan dari segala jenis kanker.

Penemuan terbaru sitogenetik dan biologi molekuler pada leukemia telah memicu penelitian

yang serupa pada jenis keganasan lainnya.2

1

Page 2: Lla

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari sel-sel

prekursor limfoid, akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang belakang. LLA

adalah kanker tersebar yang pertama kali terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan

radiasi. LLA terjadi sedikit lebih sering pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan.

Laporan mengenai kluster geografik leukemia anak memberi kesan peran faktor lingkungan.

Namun, telaah balik secara hati-hati tidak mendukung kebanyakan dari hubungan yang

diajukan. Leukemia limfoid terjadi lebih sering dengan yang diharapkan pada penderita

dengan immunodefisiensi (hipogammaglobulinemia kongenital, ataksia-telangiektasi) atau

dengan dengan defek kromosom konstitusional (trisomi 21).4

B. KLASIFIKASI

Kelompok “French American British” (FAB), mengklasifikasikan LLA dalam 3

golongan yaitu : L1, L2, dan L3. Klasifikasi FAB ini dapat dipergunakan untuk meramalkan

prognosa: L1 lebih baik dari L2, L2 lebih baik dari L3 sedangkan L3 prognosanya jelek.5

Tabel 1. Klasifikasi LLA dan ciri-cirinya

Ciri-ciri fisiologis L1 L2 L3

Ukuran sel Predominan, sel

kecil

Besar, ukuran

heterogen

Besar dan

homogeny

Kromatin

nucleus

Homogen pada

setiap kasus

Variasi heterogen

pada setiap kasus

Berbintik-bintik

halus dan

homogeny

Bentuk nukleus Reguler, kadang

terbelah atau

berlekuk

Irreguler, terbelah

dan sering berlekuk

Reguler, oval

sampai bulat

Nukleolus Tidak terlihat, kecil,

tidak jelas

Tampak satu atau

lebih, sering besar

Prominen, satu atau

lebih

Sitoplasma Sedikit Variasi, sering kali Sering kali

2

Page 3: Lla

berlebihan berlebihan

Sitoplasma

basophil

Ringan atau sedang,

jarang nyata

Variasi, beberapa

tampak gelap

Sangat gelap

Vakuola

sitoplasma

Variasi Variasi Sering prominen

C. EPIDEMIOLOGI

Delapan puluh lima pesen leukemia pada anak adalah leukemia limfoblastik akut

(LLA). Insiden puncak timbulnya penyakit ini adalah 3 – 5 tahun dan lebih banyak ditemui

pada anak laki – laki dibandingkan perempuan. Ratio anak kulit putih dengan berwarna

adalah 1,8 : 1.2,6

Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia tiap tahun

ada seratus penderita kanker baru dari 100.000 penduduk dan 2% di antaranya atau 4.100

kasus merupakan kanker anak. Angka ini terus meningkat lantaran kurangnya pemahaman

orang tua mengenai penyakit kanker dan bahayanya. Menurut Dr. Djajadiman Gatot,

Sp.A(K), dari Sub Bagian Hematologi-Onkologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM),

leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak terjadi pada anak (30-40 persen)

disusul tumor otak (10- 15 persen) dan kanker mata/retinoblastoma (10 – 12 persen). Sisanya

kanker jenis lain seperti kanker kelenjar getah bening, kanker saraf, dan kanker ginjal. Data

lain menyatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 80 juta anak dengan usia dibawah 15

tahun. Sebagian dari anak tersebut merupakan populasi berisiko terkena leukemia. Dari

penelitian yang dilakukan di RS Dr.Sardjito Universitas Gajah Mada Yogyakarta, didapatkan

insiden leukemia jenis LLA sebesar 2,5 – 4,0 per 100.000 anak. Dengan kata lain dapat

diestimasi bahwa terdapat 2000 – 3200 kasus baru jenis LLA tiap tahunnya. Selain itu juga

didapatkan sebanyak 30 – 40 leukemia anak jenis LLA ditangani setiap tahun di institusi

tersebut di atas.7

D. ETIOLOGI5,6

Penyebab leukemia tidak diketahui, tetapi dapat diakibatkan interaksi sejumlah faktor yaitu :

1. Neoplasia

3

Page 4: Lla

Ada persamaan jelas antara leukemia dan penyakit neoplastik lain, misalnya proliferasi sel

yang tidak terkendali, abnormalitas morfologi sel, dan infiltrasi organ. Lebih dari itu,

kelainan sumsum kronis lain dapat berubah bentuk akhirnya menjadi leukemia akut,

misalnya polisitemia vera, mieosklerosis atau anemia aplastik. Leukemia nyata

menunjukkan perluasan klonal yang timbul dengan mutasi somatik sumsum tunggal, sel

limfoid tepi atau timus seperti dilihatkan dengan teknik kromosomal, isoenzim,

imunologis, dan kultur in-vitro. Leukemia selanjutnya dapat mengembangkan “subclone”

dengan perkembangan abnormalitas baru dan satu atau lebih “subclone” dapat menjadi

lebih besar dan menggantikan “clone” permulaan, seperti diperlihatkan oleh perubahan

leukemia granulositik kronis (CGL = chronic granulocytic leukemia) dari fase kronis ke

fase akut. Biasanya “subclone” lebih ganas dan sering terdapat abnormalitas kromosom

(cytogenetic).

2. Infeksi

Pada manusia, terdapat bukti kuat untuk etiologi virus baik pada satu jenis

leukemia/limfoma sel T dan pada limfoma Burkitt. HTLV (virus leukemia T manusia =

the human T leukemia virus) dan retrovirus jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop

elektron dan oleh kultur pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfoma sel T yang

umum pada provinsi tertentu di Jepang dan yang terjadi sporadis di tempat lain, khususnya

di antara Negro Karibia dan Amerika Serikat. Virus Epstein-Barr, suatu virus DNA, telah

dibiak dari jaringan limfoma Burkitt dan, pada kasus ini, penyakit ini diduga timbul karena

infeksi EB pada orang dengan pengaturan sel T yang terganggu, mungkin yang disebabkan

malaria kronis. Bukti tidak langsung untuk etiologi virus beberapa leukemia adalah

kambuhnya leukemia pada sel yang berasal donor pada kira-kira enam kasus setelah

transplantasi sumsum tulang untuk leukemia akut.

3. Radiasi

Radiasi, khususnya sumsum tulang, bersifat leukemogenik. Terdapat insiden leukemia

tinggi pada orang yang tetap hidup setelah bom atom di Jepang, pada pasien “ankylosing

spondylitis” yang telah menerima penyinaran spinal dan pada anak-anak yang ibunya

menerima sinar X abdomen selama hamil.

4. Genetik dan Perubahan kromosom

Ada laporan beberapa kasus yang terjadi pada satu keluarga dan pada kembar identik.

Lebih dari itu, ada insiden yang meningkat pada beberapa penyakit herediter, khususnya

sindroma Down (dimana leukemia terjadi dengan peningkatan fekuensi 20-30 kali lipat),

anemia Fanconi, sindroma Bloom dan ataksia-talangiektasia.

4

Page 5: Lla

5. Zat kimia

Terkena benzene kronis, yang dapat menyebabkan displasia sumsum tulang dan perubahan

kromosom, merupakan penyebab leukemia yang tidak biasa. Zat pelarut dan kimia industri

lainnya dapat menyebabkan leukemia lebih jarang tetapi sukar membuktikan ini pada

kasus individual. Zat khemoterapi merupakan penyebab yang ditetapkan mantap,

khususnya obat yang mengalkilasi seperti khlorambusil, mustin dan melfalan, dan

prokarbazin. Leukemia, khususnya AML mielomonositik (M4) dan eritroleukemik (M6),

bisa pada pasien limfoma yang diobat dengan radiasi dan dengan obat-obatan ini.

E. PATOLOGI8

Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi dan imunologi, serta

genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan pada pemeriksaan aspirasi

sum-sum tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat bervariasi walaupun dalam satu cuplikan

tunggal, sehingga tidak ada satu klasifikasi yang memuaskan. Sistem Prancis-Amerika-

Inggris membedakan tiga subtipe morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya

kecil dengan sedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma

lebih banyak, bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3 meampunyai kromatin inti

homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi

nyata. Karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda

imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.

Klasifikasi Leukemia Limfoblastik Akut Menurut French-American-British (FAB) :

L-1 : Pada masa anak-anak populasi sel homogen

L-2 : Leukemia limfoblastik akut tampak pada orang dewasa populasi sel

heterogen

L-3 : Limfoma burkitt tipe sel-sel besar populasi homogen

Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik dan

kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait

dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka imunotipe dapat ditentukan pada kebanyakan

kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor, lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor T,

dan 1% berasal dari sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik

maupun terapeutik. Subtipe dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya

ditunjukkan pada :

5

Page 6: Lla

Tabel 1. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukan ekspresi antigen

yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur campuran atau

bifenotipik).

Subtipe Jumlah

Penderit

a

% Umur

(Median

)

Hitung

Leukosit (x

103)(Median)

%

pri

a

% dengan

Massa

Mediastinu

m

Abnormalita

s Kromosom

Terkait

T(T+) 44 14 7,4 th 61,2 67,2 38,2 t(11;14)

B(slg +) 2 0,6 t(8;14)

PreB(clg+

)

56 18 4,7 th 12,2 54,8 1,2 t(1;19)

PreB awal

(T-,slg-,cl

g-)

209 67 4,4 th 12,4 56,5 1.0 t(9;22)

PreB awal

bayi

33 N

A

1 th 50 55 Tidak ada t(4;11)

Kelainan kromosom dapat diidentifikasikan setidaknya 80-90% LLA anak. Kariotip

dari sel leukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan terapeutik. Mereka menunjukan

tepat sisi bagi penelitian molekuler untuk mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada

transformasi leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom

tiap sel leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali (rearrangement) kromosom

struktural misalnya translokasi.

Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal

deoksinukleotidil tranferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA sel

progenitor-B dan sel T. Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, ia dapat

berguna untuk mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik yang sulit. Misalnya,

aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin menolong untuk membedakan

relaps susunan saraf sentral awal dengan meningitis aseptik.

Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu

diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia di

6

Page 7: Lla

sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat. Karena itu, tidak ada sistem

pembagian stadium (staging) untuk LLA.

F. MANIFESTASI KLINIS6

Anak – anak dengan LLA umumnya memperlihatkan gambaran yang agak konsisten.

Sekitar 2/3 telah memperlihatkan gejala dan tanda selama kurang dari 6 minggu pada saat

diagnosis ditegakkan. Gejala pertama biasanya tidak khas; dapat mempunyai riwayat infeksi

saluran nafas akibat virus atau eksantema yang belum sembuh sempurna. Manifestasi awal

yang lazim adalah anoreksia, iritabilitas, dan letargi. Kegagalan fungsi sum – sum tulang

yang progresif menimbulkan keadaan pucat, perdarahan, dan demam, yaitu gambaran –

gambaran yang mendesak dilakukannya pemeriksaan diagnostik.

Pada pemeriksaan awal, sebagian besar pasien tampak pucat dan sekitar 50 % dengan

petekie atau perdarahan mukosa. Demam ditemukan pada sekitar 25% penderita, yang

terkadang dianggap timbul oleh sebab spesifik seperti infeksi saluran nafas. Limfadenopati

kadang – kadang nyata, dan splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm di bawah tepi kosta)

dapat ditemukan 2/3 pasien. Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali.

Hepatomegali minimal dan tidak lazim. Sepertiga pasien mengalami nyei tulang akibat invasi

periosteum dan perdarahan subperiosteal. Nyeri tulang dan artralgia tidak jarang merupakan

keluhan utama yang mengarah pada diagnosis LLA.

Kadang – kadang tanda - tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala

dan muntah, menunjukkan terlibatnya selaput otak. Anak – anak dengan leukemia sel T

cenderung dengan limfadenopati dan hepatosplenomegali yang nyata serta infiltrasi leukemik

dini pada SSP.

Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan lelaki lebih

banyak, 66% menunjukkan massa mediastionum anterior, suatu gambaran yang sangat

berkaitan dengan subtipe leukemia.

G. DIAGNOSIS

Pada anamnesis didapatkan gejala-gejala yang sudah dikemukakan diatas. Sedangkan

pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perdarahan berupa ekimosis, petekie, epistaksis,

perdarahan gusi, splenomegali (pada stadium awal biasanya tidak dijumpai), kadang

hepatomegali, serta limfadenopati.

Pemeriksaan Laboratorium

7

Page 8: Lla

1. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan apusan darah tepi

Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum

tulang yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang – kadang menyebabkan gambaran

darah tepi monoton dan terdapatnya sel blas. Terdapatnya sel blas dalam darah tepi

merupakan gejala patognomonik untuk leukemia.1,3,4,6

Anemia : kadar Hb, nilai Ht, jumlah eritrosit menurun

Trombositopenia

Hitung leukosit : meningkat / menurun / normal

Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat

melebihi 200.000/mm3

Sediaan hapus darah tepi :

a. Eritrosit normositik normokrom, eritrosit berinti

b. Sel blas bervariasi, +/-

c. Pada ANLL, pada sel blas mungkin terdapat Auer rod3

Gambar 1. Morfologi Limfosit pada LLA9

Berdasarkan hitung leukosit dan adanya sel blas, leukemia akut dibagi menjadi :3,6

a. Leukemia leukemik : hitung leukosit meningkat dengan sel blas (++)

b. Leukemia subleukemik : hitung leukosit normal dengan sel blas (+)

c. Leukemia aleukemik : hitung leukosit menurun dan sel blas (-)

8

Page 9: Lla

2. Sumsum Tulang

Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu

hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia

sekunder).4,6,8

Hiperseluler, gambaran monoton, sel blas >30%

Eritropoesis, trombopoesis tertekan

Pada LLA : aspirasi sum-sum tulang mungkin dry tap (karena serabut retikulin

bertambah)3

Gambar 2. Aspirasi Sumsum Tulang9

Pemeriksaan Lain

1. Biopsi limpa

Pemeriksaan ini akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari

jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell.7,8

2. Kimia darah

9

Page 10: Lla

Kolesterol mungkin menurun, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobulinemia.1,7,8

3. Cairan serebrospinal

Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein, maka hal ini berarti

suatu leukemia meningeal. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap saat dari perjalanan penyakit

baik pada keadaan remisi maupun pada keadaan kambuh. 1,7,8

Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan pemberian metotreksat (MTX)

intratrakeal secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka yang menunjukkan

gejala tekanan intracranial yang meninggi. 1,7,8

4. Sitogenetik

70 – 90% dari kasus LMK menunjukkan kelainan kromosom, yaitu pada kromosom

21 (kromosom Philadelphia atau Ph1). 50 – 70% dari penderita LLA dan LMA mempunyai

kelainan berupa :

a. Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperloid (2n+a)

b. Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid

c. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)

d. Terdapatnya marker chromosome yaitu elemen yang secara morfologis bukan

merupakan kromosom normal; dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat

kecil.1,7,8

5. Radiografi Dada

Diperlukan untuk menentukan apakah ada massa mediastinum. Radiografi tulang

mungkin menunjukkan perubahan trabekula medulla, defek korteks, atau resorpsi tulang

subepifiseal. Penemuan ini tidak mempunyai arti klinis ataupun prognostik, sehingga survai

skeletal biasanya tidak diperlukan.

Tabel 2. Jenis Pemeriksaan Pada Leukemia Limfoblastik Akut Beserta Hasilnya1,7,8

Jenis Pemeriksaan Hasil yang ditemui

Complete blood count leukositosis, anemia, trombositopenia

10

Page 11: Lla

Bone Marrow Puncture hiperselular dengan infiltrasi limfoblas, sel berinti

Sitokimia Sudan black negatif, mieloperoksidase negative

Fosfatase asam positif (T-LLA), PAS positif (B-LLA)

Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur kembali gen

reseptor sel T dan Ig

Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-heavy chain, TdT

T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT

B: kappa atau lambda, CD19, 20, 22

Sitogenetika analisa gen dan kromosom dengan immunotyping untuk

menguraikan klon maligna

Pungsi lumbal keterlibatan SSP bila ditemukan > 5 leukosit/mL CSF

H. DIAGNOSIS BANDING4

1. Anemia Aplastik

2. Leukemia Mielositik Akut

3. Leukemia Limfositik Kronik

4. Idiopatik Trombositopenia Purpura

I. PENATALAKSANAAN10

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel

leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang.Penderita yang

menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa

minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.  Terapi LLA masa

kini didasarkan atas bukti resiko klinis, tidak ada bukti kelompok resiko universal. Pada

umumnya, penderita dengan resiko baku atau rata-rata untuk relaps adalah antara umur 1

11

Page 12: Lla

tahun dan 10 tahun, mempunyai jumlah leukosit 100.000/mm3, tidak ada bukti adanya massa

mediastinum atau leukemia SSS, dan mempunyai immunofenotipe sel progenitor B. Adanya

translokasi kromosom spesifik tertentu harus disingkirkan. Rencana terapi untuk kelompok

resiko baku meliputi pemberian kemoterapi induksi sampai sumsum tulang tidak lagi

memperlihatkan sel-sel leukemia yang dapat dikenali secara morfologis, kemudian terapi

”profilaksis” pada SSS, dan terapi lanjutan. Contoh rencana terapi diringkas pada Tabel 3.

Suatu kombinasi prednison, vinkristin (Oncovin), dan asparaginase akan menghasilkan remisi

pada kira-kira 98% dari anak dengan LLA resiko-standar, khas dalam 4 minggu. Kurang dari

5% penderita memerlukan 2 minggu terapi induksi lagi. Terapi lanjutan sistemik, biasanya

terdiri dari antimetabolit metotreksat (MTX) dan 6-merkaptopurin (Purinetol), harus

diberikan selama 2,5-3 tahun.

Tanpa terapi profilaksis, SSS merupakan tempat awal relaps pada lebih dari 50%

penderita. Sel leukemia biasanya ditemukan di selaput otak pada saat diagnosis, walaupun

sel-sel iti tidak dapat dilihat pada cairan serebrospinal. Sel-sel ini bertahan hidup dari

kemoterapi sistemik karena penetrasi sawar darah otak obat jelek. Iradiasi kranium mencegah

leukemia SSS tersembunyi pada kebanyakan penderita tetapi menyebabkan efek lambat

neuropsikologik, terutama pada anak kecil. Karena itu, penderita resiko standar khas hanya

diberi terapi intratekal saja untuk mencegah keterlibatan SSS klinis.

Kebanyakan penderita dengan LLA sel T mengalami relaps dalam 3-4 tahun jika

diterapi dengan regimen resiko standar. Dengan regimen obat ganda yang lebih intensif , 50%

atau lebih penderita mengalami remisi jangka panjang. Dikembangkan suatu terapi sasaran

yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi sifat unik dari sel T leukemia. Suatu contoh dari

pendekatan ini adalah antibodi  monoklonal terhadap antigen permukaan sel T yang

dikonjugasikan pada imunotoksin. Kompleks antibodi-imunotoksin akan menempel pada

limfoblas T, mengalami endositosis, dan membunuh sel.

Tabel 3. Regimen terapi yang efektif bagi leukemia limfoblastik akut resiko-rendah

Induksi Remisi (4-6 minggu)

Vinkristin 1,5 mg/m2 (maks 2 mg) IV/minggu

Prednison 40 mg/m2 (maks. 60 mg) PO/hari

Asparaginase (E.coli) 10.000U/m2/hari 2 mingguan IM

12

Page 13: Lla

Terapi Intratekal

Terapi tripel : MTX*, HC*, Ara-C*

Mingguan 6 x selama induksi dan kemudian tiap 8 minggu untuk 2 tahun

Terapi Lanjutan Sistemik

6-MP 50 mg/m2/hari PO

MTX 20 mg/m2/minggu PO,IV,IM

Atur MTX ±6-MP diberikan dengan dosis tinggi

Penambahan

Vinkristin 1,5 mg/m2/ (maks. 2 mg) IV tiap 4 minggu

Prednison 40 mg/m2/hari PO 7x hari tiap 4 minggu

MTX= metotreksat; HC=Hidrokortison; Ara-C=sitarabin; IV=intravena;

PO=peroral; IM=intramuscular; 6-MP=6-merkaptopurin.

Dosis pengobatan intratekal disesuaikan dengan umur

Umur MTX HC Ara-C

≤ 1 tahun

2-8 tahun

≥ 9 tahun

10 mg

12,5mg

15 mg

10 mg

12,5 mg

16 mg

20 mg

25 mg

30 mg

Kasus sel B dengan morfologi L3 dan imunoglobulin permukaan dulu mempunyai prognosis

buruk. Pendekatan demikian paling baik diterapi dengan regimen pendek (3-6 bulan) tetapi

intensif yang dikembangkan untuk limfoma sel B. Dengan pendekatan ini, angka

kesembuhan membaik secara dramatis, dari 20% satu dekade yang lalu menjadi 70% atau

lebih.

Pencegahan6

13

Page 14: Lla

Pencegahan kuratif atau spesifik adalah penangan yang bertujuan menyembuhkan

seorang penderita. Strategi umum kemoterapi leukemia akut meliputi induksi remisi,

intensifikasi (profilaksi susunan saraf pusat) dan lanjutan.

Pencegahan suportif adalah penanganan pada penyakit lain yang menyertai leukemia,

komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk perawatan psikologi.

Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi darah (trombosit), pemberian antibiotik pada

infeksi (sepsis), obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek

psikososial.

Banyak penelitian membuktikan bahwa angka kesakitan dan kematian bayi yang

mendapat ASI eksklusif (hanya ASI saja) selama enam bulan, jauh lebih rendah daripada bayi

yang tidak mendapat ASI. Penelitian lain dilakukan oleh tim dari University of Minnesota

Cancer Center yang dimuat Journal of the National Cancer Institute. Mereka menyatakan

bahwa risiko bayi yang mendapat ASI terkena leukemia turun sampai 30% bila dibandingkan

dengan bayi yang tidak mendapat ASI. Penyebab terjadinya kanker pada anak bisa jadi dipicu

oleh kekurangan imunitas. Di sinilah pentingnya peran pemberian ASI yang terbukti

mengandung IgA (Immunoglobulin A). Zat ini perlu untuk membantu kekebalan tubuh bayi.

Penyakit leukemia tidak dapat menular. Namun disarankan untuk menghindari

masuknya zat-zat kimia ke dalam tubuh, seperti debu, kapur, dan lainnya. Pencegahan

leukemia adalah dengan mengkonsumsi vitamin A, C, buah-buahan segar serta sayuran yang

kaya akan serat.

Relaps11

Sumsum tulang adalah tempat relaps paling umum, meskipun hampir semua bagian

tubuh dapat dipengaruhi. Di banyak pusat, sumsum tulang diperiksa secara berkala untuk

memastikan remisi yang berkelanjutan. Apabila terdeteksi relaps sumsum tulang, terapi ulang

intensif yang meliputi obat-obat yang tidak digunakan sebelumnya dapat mencapai

kesembuhan 15-20% dari penderita, terutama yang pernah mengalami remisi lama (18

bulan). Untuk penderita yang mengalami relaps sumsum tulang, kemoterapi intensif diikuti

Conventional Stem Cell Transplantation (CST) dari donor sekandung yang cocok memberi

kesempatan sembuh yang lebih besar. Transplan dari bukan keluarga yang cocok atau

keluarga yang tidak cocok atau autolog merupakan pilihan bagi penderita yang tidak

memiliki donor sekandung atau histokompatibel.

Sisi relaps ekstrameduler yang paling penting adalah SSS dan testis. Manifestasi awal

yang umum dari leukemia SSS disebabkan oleh kenaikan tekanan intrakranial dan meliputi

14

Page 15: Lla

muntah-muntah, nyeri kepala, edema papil, dan letargi. Meningitis kimiawi sekunder akibat

terapi intratekal dapat menimbulkan gejala yang sama dan harus dipertimbangkan. Kejang

dan kelumpuhan saraf kranial sendiri dapat terjadi pada leukemia SSS ataiu efek samping

vinkristin. Keterlibatan hipotalamus jarang tetapi harus dicurigai bila ada perubahanh

kenaikan berat badan atau perubahan perilaku. Pada kebanyak kasus, tekanan cairan

serebrospinal meningkat, dan cairan menunjukkan pleiositosis karena sel leukemia. Jika

jumlah sel normal, sel leukemia mungkin dapat dijumpai pada preparat apus cairan

serebrospinal setelah sentrifugasi.

Penderita dengan relaps SSS harus diberi kemoterapi intratekal tiap 4-6 minggu

sampai limfoblas menghilang dari cairan serebrospinal. Dosis harus disesuaikan dengan umur

karena volume cairan serebrospinal tidak sebanding dengan luas permukaan badan. Iradiasi

kranium mereupakan satu-satunya cara yang dapat melenyapkan leukemia SSS jelas dan

harus diberikan setelah terapi intratekal. Terapi harus lebih intensif karena penderita ini

mempunyai resiko tinggi untuk kemudian relaps sumsum tulang. Akhirnya, terapi SSS

profilaksis harus diulangi pada setiap penderita yang mengalami relaps di sumsum tulang

atau lokasi ekstramedular manapun.

Relaps testikuler biasanya menyebabkan pembengkakan tidak nyeri pada satu atau

kedua testis. Penderita sering tidak menyadari kelainan tersebut, karena itu perlu sekali

perhatian pada ukuran testis pada waktu diagnosis dan pemantauan. Diagnosis dipastikan

dengan biopsi. Terapi harus meliputri iradiasi gonad. Karena relaps testis biasanya

mengisyaratkan adanya relaps sumsum tulang mengancam, maka terapi sistemik harus lebih

diperkuat bagi penderita yang masih didalam terapi. Seperti yang dikemukakan diatas, terapi

yang terarah ke SSS harus juga diulang.

J. KOMPLIKASI2

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah timbulnya pendarahan, kerusakan organ lain

akibat kemoterapi, disseminated intravascular coagulation (DIC), relaps LLA, infeksi berat,

dan penyebaran keganasan di organ-organ tubuh lain. Kematian mungkin terjadi karena

infeksi (sepsis) atau pendarahan yang tidak terkontrol. Komplikasi yang paling sering terjadi

adalah kegagalan leukemia untuk memberi respon terhadap kemoterapi.

Komplikasi dari leukemia dan terapinya dapat berupa sindrom tumor lisis

(hiperfosfatemia berat, hiperkalemia, hiperurikemia, dan hipokalsemia setelah kemoterapi

intensif), gagal ginjal, sepsis, pendarahan, thrombosis, tiflitis (inflamasi di daerah sekum),

15

Page 16: Lla

neuropati, ensefalopati, kejang, keganasan sekunder, pertumbuhan terbantut (akibat radiasi

kraniospinal), defisiensi hormon pertumbuhan, serta defek kognitif.

LLA dikatakan dapat mengakibatkan 1400 kematian pada setiap tahun, dan dapat

meningkat lebih cepat jika tidak diobati. Akan tetapi, LLA merupakan salah satu kanker yang

paling mungkin terobati dan kadar survival hidup penderitanya juga tinggi. Kadar survival

bagi pasien dengan usia lanjut dan usia sangat muda dapat lebih rendah karena leukemia pada

golongan tersebut lebih cenderung disebabkan adanya faktor genetik sehingga kondisi

leukemianya lebih parah.

Penelitian menunjukkan survivor LLA anak cenderung mengalami masalah psikologi,

termasuk stress, depresi, mudah marah, serta rasa bingung bila dibandingkan dengan

saudaranya yang sehat. Risiko terhadap gangguan psikologi dapat bervariasi tergantung terapi

yang diberikan. Penelitian pada tahun 2003 menunjukkan pasien yang menerima radiasi SSP

dosis tinggi dan terapi metrotreksat mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan emosi jika

dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi dengan radiasi. Menyadari risiko tersebut,

dukungan secara psikologis dapat menjadi suatu hal yang penting dan sangat membantu

dalam pengobatan LLA.

K. PROGNOSIS9,12

Sebelum adanya pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu

4 bulan setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa

dikendalikan setelah menjalani kemoterapi awal.

Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi kehilangan

arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam mengarahkan terapi ke

arah resiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkatregimen terapi kontemporer. Karena

itu, terapi merupakan faktor prognositik penting. Hitung leukosit awal mempunyai hubungan

liner terbalik dengan kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan

peramal yang dapat dipercaya (reliable). Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang

kurang dari 12 bulan yang mempunyai penyususnan kembali (rearrangement) kromosom

yang menyangkut regio 11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok umur

pertengahan (intermediete). Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi.

Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respon

terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom t(9;22), atau kromosom

16

Page 17: Lla

Philadelpia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa peneliti menganjurkan CST

selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi tersebut. LLA progenitor sel B

dengan t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik dibandingkan kasus lain dengan

imunofenotip ini, hanya 60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat

terapi sangat intensif.

BAB III

KESIMPULAN

Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal,

dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi

ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang.

LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak.

Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di

bawah umur 15 tahun. Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, tetapi kadang

terjadi pada usia remaja dan dewasa.

Sebagian besar kasus tampaknya tidak memiliki penyebab yang pasti.

Radiasi, bahan racun (misalnya benzena) dan beberapa obat kemoterapi diduga berperan

dalam terjadinya leukemia. Kelainan kromosom juga memegang peranan dalam terjadinya

leukemia akut. Faktor resiko untuk leukemia akut adalah: Sindrom Down, memiliki

kakak/adik yang menderita leukemia, pemaparan oleh radiasi (penyinaran), bahan kimia dan

obat.

Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah

merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel

darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena, berkurangnya jumlah sel darah putih,

perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel

leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang.

17

Page 18: Lla

Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau

beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.

Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan:

transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi

perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi.

Sebelum adanya pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu

4 bulan setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa

dikendalikan setelah menjalani kemoterapi awal.

Pasien yang terdiagnosa leukemia disarankan untuk melakukan pengobatan

secepatnya karena ini menentukan prognosis dari pasien dan juga dianjurkan untuk

melakukan terapi sesuai jadwal karena membutuhkan waktu yang lama. Perlu disampaikan

bahwa pengobatan dalam jangka waktu lama membutuhkan dukungan dari keluarga dan

kesabaran dari pasien karena dapat mempengaruhi kondisi akademis, perkembangan dan

psikososial dari pasien.

18

Page 19: Lla

DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson Textbook of

Pediatrics 18th Edition : 2116 – 2122

2. Rudolph MA, JIE Hoffman, CD Rudolph, Leukemia in Rudolph’s Pediatrics 20 th

Edition : 1269 – 1278

3. Parmono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Leukemia Akut;

Kedaruratan Onkologi Anak dalam Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak 2010 :

236 – 325

4. Hoffbrand VA, Pettit JE, Moss PAH, Leukemia Akut; Leukemia Mieloid Kronik dan

Mielodisplasia dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4 2005 : 150 – 176

5. Waldo, E. Nelson. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.

Edisi 15. Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2000.

6. Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1.

Cetakan ke-11. Percetakan Infomedika, Jakarta: 2007. h.469-79.

7. Behrman, E. Richard. Leukemia Limfositik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.

Bagian 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 1992

8. Fianza, PI. Leukemia limfoblastik akut. Sudoyo, AR, editors. In: Ilmu Penyakit

Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.728-34.

9. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed. Philadelphia :

WB Saunders, 2000 : 979.

10. Ganiswarna S. Setiabudy R. Suyatna F. Purwatyastuti. Nafrialdi. Farmakologi dan

Terapi. 2005; edisi ke-4 : (13) 702 – 713

11. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, FG, Head D, Boyett J rubritz JE, et

LLA. Persistence of Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15 and Days 22 to 25 of

Remiss. N Eng J Med 2000 : 332 : 1618-27.

19

Page 20: Lla

12. Miller DR. Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and

Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 2007 : 619.

20