Lla
-
Upload
angelinasiauta -
Category
Documents
-
view
119 -
download
0
description
Transcript of Lla
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada anak – anak, yaitu
sekitar 40% dari seluruh penyakit keganasan pada anak – anak yang berusia dibawah 15
tahun. Secara genetik terjadi abnormalitas pada sel – sel hematopoietik yang menyebabkan
peningkatan proliferasi yang tidak terkontrol dan penurunan apoptosis sel darah sehingga
pertumbuhan sel yang melebihi biasanya namun bentuk dan fungsinya menjadi tidak normal
dan menimbulkan gejala – gejala leukemia. Akibatnya pada sumsum tulang dapat terjadi
gangguan bahkan kegagalan fungsi. Leukemia dibagi menjadi Leukemia Limfoblastik Akut
dan Kronis, Leukemia Mieloblastik Akut dan Kronis.1,2
Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif dengan
transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsum
tulang dini (sel blas). Kegagalan sumsum tulang seperti anemia, neutropenia dan
trombositopenia adalah akibat dari akumulasi leukosit ganas dalam sumsum tulang walaupun
dapat juga terjadi infiltrasi melalui darah menuju ke jaringan pada organ seperti hepar, lien,
kelenjar getah bening, meninges, otak, kulit atau testis. Apabila tidak diobati penyakit ini
biasanya cepat bersifat fatal, namun lebih mudah diobati dibandingkan dengan leukemia
kronik yang progresinya lebih lambat namun lebih sulit diobati.3
Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan perawatan
suportif yang lebih baik, prognosis dari anak – anak dengan leukemia telah meningkat secara
bermakna. Kini lebih dari dua per tiga pasien dengan Leukemia Limfoblasik Akut yang diberi
pengobatan akan bebas gejala selama 5 tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus,
pasien – pasien tersebut akan sembuh.2
Karena kemudahan dalam memperoleh sampel limfoblas melalui sumsum tulang dan
darah, pengetahuan mengenai prinsip biologi sel tumor banyak berasal dari penelitian
terhadap leukemia pada manusia. Selain itu, informasi uji klinis dari pengobatan leukemia
telah memberikan kontribusi terhadap kemajuan dasar pengobatan dari segala jenis kanker.
Penemuan terbaru sitogenetik dan biologi molekuler pada leukemia telah memicu penelitian
yang serupa pada jenis keganasan lainnya.2
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari sel-sel
prekursor limfoid, akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang belakang. LLA
adalah kanker tersebar yang pertama kali terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan
radiasi. LLA terjadi sedikit lebih sering pada anak lelaki dibandingkan anak perempuan.
Laporan mengenai kluster geografik leukemia anak memberi kesan peran faktor lingkungan.
Namun, telaah balik secara hati-hati tidak mendukung kebanyakan dari hubungan yang
diajukan. Leukemia limfoid terjadi lebih sering dengan yang diharapkan pada penderita
dengan immunodefisiensi (hipogammaglobulinemia kongenital, ataksia-telangiektasi) atau
dengan dengan defek kromosom konstitusional (trisomi 21).4
B. KLASIFIKASI
Kelompok “French American British” (FAB), mengklasifikasikan LLA dalam 3
golongan yaitu : L1, L2, dan L3. Klasifikasi FAB ini dapat dipergunakan untuk meramalkan
prognosa: L1 lebih baik dari L2, L2 lebih baik dari L3 sedangkan L3 prognosanya jelek.5
Tabel 1. Klasifikasi LLA dan ciri-cirinya
Ciri-ciri fisiologis L1 L2 L3
Ukuran sel Predominan, sel
kecil
Besar, ukuran
heterogen
Besar dan
homogeny
Kromatin
nucleus
Homogen pada
setiap kasus
Variasi heterogen
pada setiap kasus
Berbintik-bintik
halus dan
homogeny
Bentuk nukleus Reguler, kadang
terbelah atau
berlekuk
Irreguler, terbelah
dan sering berlekuk
Reguler, oval
sampai bulat
Nukleolus Tidak terlihat, kecil,
tidak jelas
Tampak satu atau
lebih, sering besar
Prominen, satu atau
lebih
Sitoplasma Sedikit Variasi, sering kali Sering kali
2
berlebihan berlebihan
Sitoplasma
basophil
Ringan atau sedang,
jarang nyata
Variasi, beberapa
tampak gelap
Sangat gelap
Vakuola
sitoplasma
Variasi Variasi Sering prominen
C. EPIDEMIOLOGI
Delapan puluh lima pesen leukemia pada anak adalah leukemia limfoblastik akut
(LLA). Insiden puncak timbulnya penyakit ini adalah 3 – 5 tahun dan lebih banyak ditemui
pada anak laki – laki dibandingkan perempuan. Ratio anak kulit putih dengan berwarna
adalah 1,8 : 1.2,6
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa di Indonesia tiap tahun
ada seratus penderita kanker baru dari 100.000 penduduk dan 2% di antaranya atau 4.100
kasus merupakan kanker anak. Angka ini terus meningkat lantaran kurangnya pemahaman
orang tua mengenai penyakit kanker dan bahayanya. Menurut Dr. Djajadiman Gatot,
Sp.A(K), dari Sub Bagian Hematologi-Onkologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM),
leukemia merupakan jenis kanker yang paling banyak terjadi pada anak (30-40 persen)
disusul tumor otak (10- 15 persen) dan kanker mata/retinoblastoma (10 – 12 persen). Sisanya
kanker jenis lain seperti kanker kelenjar getah bening, kanker saraf, dan kanker ginjal. Data
lain menyatakan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 80 juta anak dengan usia dibawah 15
tahun. Sebagian dari anak tersebut merupakan populasi berisiko terkena leukemia. Dari
penelitian yang dilakukan di RS Dr.Sardjito Universitas Gajah Mada Yogyakarta, didapatkan
insiden leukemia jenis LLA sebesar 2,5 – 4,0 per 100.000 anak. Dengan kata lain dapat
diestimasi bahwa terdapat 2000 – 3200 kasus baru jenis LLA tiap tahunnya. Selain itu juga
didapatkan sebanyak 30 – 40 leukemia anak jenis LLA ditangani setiap tahun di institusi
tersebut di atas.7
D. ETIOLOGI5,6
Penyebab leukemia tidak diketahui, tetapi dapat diakibatkan interaksi sejumlah faktor yaitu :
1. Neoplasia
3
Ada persamaan jelas antara leukemia dan penyakit neoplastik lain, misalnya proliferasi sel
yang tidak terkendali, abnormalitas morfologi sel, dan infiltrasi organ. Lebih dari itu,
kelainan sumsum kronis lain dapat berubah bentuk akhirnya menjadi leukemia akut,
misalnya polisitemia vera, mieosklerosis atau anemia aplastik. Leukemia nyata
menunjukkan perluasan klonal yang timbul dengan mutasi somatik sumsum tunggal, sel
limfoid tepi atau timus seperti dilihatkan dengan teknik kromosomal, isoenzim,
imunologis, dan kultur in-vitro. Leukemia selanjutnya dapat mengembangkan “subclone”
dengan perkembangan abnormalitas baru dan satu atau lebih “subclone” dapat menjadi
lebih besar dan menggantikan “clone” permulaan, seperti diperlihatkan oleh perubahan
leukemia granulositik kronis (CGL = chronic granulocytic leukemia) dari fase kronis ke
fase akut. Biasanya “subclone” lebih ganas dan sering terdapat abnormalitas kromosom
(cytogenetic).
2. Infeksi
Pada manusia, terdapat bukti kuat untuk etiologi virus baik pada satu jenis
leukemia/limfoma sel T dan pada limfoma Burkitt. HTLV (virus leukemia T manusia =
the human T leukemia virus) dan retrovirus jenis cRNA, telah ditunjukkan oleh mikroskop
elektron dan oleh kultur pada sel pasien dengan jenis khusus leukemia/limfoma sel T yang
umum pada provinsi tertentu di Jepang dan yang terjadi sporadis di tempat lain, khususnya
di antara Negro Karibia dan Amerika Serikat. Virus Epstein-Barr, suatu virus DNA, telah
dibiak dari jaringan limfoma Burkitt dan, pada kasus ini, penyakit ini diduga timbul karena
infeksi EB pada orang dengan pengaturan sel T yang terganggu, mungkin yang disebabkan
malaria kronis. Bukti tidak langsung untuk etiologi virus beberapa leukemia adalah
kambuhnya leukemia pada sel yang berasal donor pada kira-kira enam kasus setelah
transplantasi sumsum tulang untuk leukemia akut.
3. Radiasi
Radiasi, khususnya sumsum tulang, bersifat leukemogenik. Terdapat insiden leukemia
tinggi pada orang yang tetap hidup setelah bom atom di Jepang, pada pasien “ankylosing
spondylitis” yang telah menerima penyinaran spinal dan pada anak-anak yang ibunya
menerima sinar X abdomen selama hamil.
4. Genetik dan Perubahan kromosom
Ada laporan beberapa kasus yang terjadi pada satu keluarga dan pada kembar identik.
Lebih dari itu, ada insiden yang meningkat pada beberapa penyakit herediter, khususnya
sindroma Down (dimana leukemia terjadi dengan peningkatan fekuensi 20-30 kali lipat),
anemia Fanconi, sindroma Bloom dan ataksia-talangiektasia.
4
5. Zat kimia
Terkena benzene kronis, yang dapat menyebabkan displasia sumsum tulang dan perubahan
kromosom, merupakan penyebab leukemia yang tidak biasa. Zat pelarut dan kimia industri
lainnya dapat menyebabkan leukemia lebih jarang tetapi sukar membuktikan ini pada
kasus individual. Zat khemoterapi merupakan penyebab yang ditetapkan mantap,
khususnya obat yang mengalkilasi seperti khlorambusil, mustin dan melfalan, dan
prokarbazin. Leukemia, khususnya AML mielomonositik (M4) dan eritroleukemik (M6),
bisa pada pasien limfoma yang diobat dengan radiasi dan dengan obat-obatan ini.
E. PATOLOGI8
Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi dan imunologi, serta
genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan pada pemeriksaan aspirasi
sum-sum tulang. Gambaran sitologi sel induk sangat bervariasi walaupun dalam satu cuplikan
tunggal, sehingga tidak ada satu klasifikasi yang memuaskan. Sistem Prancis-Amerika-
Inggris membedakan tiga subtipe morfologi L1, L2 dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya
kecil dengan sedikit sitoplasma, pada sel L2 lebih besar dan pleomorfik dengan sitoplasma
lebih banyak, bentuk inti ireguler, dan nukleoli nyata, dan sel L3 meampunyai kromatin inti
homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas, dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi
nyata. Karena perbedaan yang subyektif antara blas L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda
imunologik dan genetik yang sedikit, hanya subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.
Klasifikasi Leukemia Limfoblastik Akut Menurut French-American-British (FAB) :
L-1 : Pada masa anak-anak populasi sel homogen
L-2 : Leukemia limfoblastik akut tampak pada orang dewasa populasi sel
heterogen
L-3 : Limfoma burkitt tipe sel-sel besar populasi homogen
Klasifikasi LLA bergantung pada kombinasi gambaran sitologik, imunologik dan
kariotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel yang terkait
dengan galur sel dan antigen sitoplasma. Maka imunotipe dapat ditentukan pada kebanyakan
kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor, lebih kurang 15% berasal dari sel progenitor T,
dan 1% berasal dari sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai implikasi prognostik
maupun terapeutik. Subtipe dari LLA, sifat klinis tertentu, dan angka insidensi relatifnya
ditunjukkan pada :
5
Tabel 1. Beberapa kasus belum dapat diklasifikasikan karena menunjukan ekspresi antigen
yang berkaitan dengan beberapa galur sel yang berbeda (LLA galur campuran atau
bifenotipik).
Subtipe Jumlah
Penderit
a
% Umur
(Median
)
Hitung
Leukosit (x
103)(Median)
%
pri
a
% dengan
Massa
Mediastinu
m
Abnormalita
s Kromosom
Terkait
T(T+) 44 14 7,4 th 61,2 67,2 38,2 t(11;14)
B(slg +) 2 0,6 t(8;14)
PreB(clg+
)
56 18 4,7 th 12,2 54,8 1,2 t(1;19)
PreB awal
(T-,slg-,cl
g-)
209 67 4,4 th 12,4 56,5 1.0 t(9;22)
PreB awal
bayi
33 N
A
1 th 50 55 Tidak ada t(4;11)
Kelainan kromosom dapat diidentifikasikan setidaknya 80-90% LLA anak. Kariotip
dari sel leukemia mempunyai arti penting, prognostik, dan terapeutik. Mereka menunjukan
tepat sisi bagi penelitian molekuler untuk mendeteksi gen yang mungkin terlibat pada
transformasi leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan atas dasar jumlah kromosom
tiap sel leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali (rearrangement) kromosom
struktural misalnya translokasi.
Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal
deoksinukleotidil tranferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA sel
progenitor-B dan sel T. Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, ia dapat
berguna untuk mengidentifikasikan sel leukemia pada situasi diagnostik yang sulit. Misalnya,
aktivitas TdT dalam sel dari cairan serebrospinal mungkin menolong untuk membedakan
relaps susunan saraf sentral awal dengan meningitis aseptik.
Kebanyakan penderita dengan leukemia mempunyai penyebaran pada waktu
diagnosis, dengan keterlibatan sumsum tulang yang luas dan adanya sel blas leukemia di
6
sirkulasi darah. Limpa, hati, kelenjar limfe biasanya ikut terlibat. Karena itu, tidak ada sistem
pembagian stadium (staging) untuk LLA.
F. MANIFESTASI KLINIS6
Anak – anak dengan LLA umumnya memperlihatkan gambaran yang agak konsisten.
Sekitar 2/3 telah memperlihatkan gejala dan tanda selama kurang dari 6 minggu pada saat
diagnosis ditegakkan. Gejala pertama biasanya tidak khas; dapat mempunyai riwayat infeksi
saluran nafas akibat virus atau eksantema yang belum sembuh sempurna. Manifestasi awal
yang lazim adalah anoreksia, iritabilitas, dan letargi. Kegagalan fungsi sum – sum tulang
yang progresif menimbulkan keadaan pucat, perdarahan, dan demam, yaitu gambaran –
gambaran yang mendesak dilakukannya pemeriksaan diagnostik.
Pada pemeriksaan awal, sebagian besar pasien tampak pucat dan sekitar 50 % dengan
petekie atau perdarahan mukosa. Demam ditemukan pada sekitar 25% penderita, yang
terkadang dianggap timbul oleh sebab spesifik seperti infeksi saluran nafas. Limfadenopati
kadang – kadang nyata, dan splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm di bawah tepi kosta)
dapat ditemukan 2/3 pasien. Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali.
Hepatomegali minimal dan tidak lazim. Sepertiga pasien mengalami nyei tulang akibat invasi
periosteum dan perdarahan subperiosteal. Nyeri tulang dan artralgia tidak jarang merupakan
keluhan utama yang mengarah pada diagnosis LLA.
Kadang – kadang tanda - tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti nyeri kepala
dan muntah, menunjukkan terlibatnya selaput otak. Anak – anak dengan leukemia sel T
cenderung dengan limfadenopati dan hepatosplenomegali yang nyata serta infiltrasi leukemik
dini pada SSP.
Anak dengan LLA sel T umumnya dari kelompok umur lebih tua dan lelaki lebih
banyak, 66% menunjukkan massa mediastionum anterior, suatu gambaran yang sangat
berkaitan dengan subtipe leukemia.
G. DIAGNOSIS
Pada anamnesis didapatkan gejala-gejala yang sudah dikemukakan diatas. Sedangkan
pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan perdarahan berupa ekimosis, petekie, epistaksis,
perdarahan gusi, splenomegali (pada stadium awal biasanya tidak dijumpai), kadang
hepatomegali, serta limfadenopati.
Pemeriksaan Laboratorium
7
1. Hitung darah lengkap (Complete Blood Count) dan apusan darah tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan sumsum
tulang yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang – kadang menyebabkan gambaran
darah tepi monoton dan terdapatnya sel blas. Terdapatnya sel blas dalam darah tepi
merupakan gejala patognomonik untuk leukemia.1,3,4,6
Anemia : kadar Hb, nilai Ht, jumlah eritrosit menurun
Trombositopenia
Hitung leukosit : meningkat / menurun / normal
Hiperleukositosis (>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat
melebihi 200.000/mm3
Sediaan hapus darah tepi :
a. Eritrosit normositik normokrom, eritrosit berinti
b. Sel blas bervariasi, +/-
c. Pada ANLL, pada sel blas mungkin terdapat Auer rod3
Gambar 1. Morfologi Limfosit pada LLA9
Berdasarkan hitung leukosit dan adanya sel blas, leukemia akut dibagi menjadi :3,6
a. Leukemia leukemik : hitung leukosit meningkat dengan sel blas (++)
b. Leukemia subleukemik : hitung leukosit normal dengan sel blas (+)
c. Leukemia aleukemik : hitung leukosit menurun dan sel blas (-)
8
2. Sumsum Tulang
Dari pemeriksaan sumsum tulang akan ditemukan gambaran yang monoton yaitu
hanya terdiri dari sel limfopoetik patologis sedangkan sistem lain terdesak (aplasia
sekunder).4,6,8
Hiperseluler, gambaran monoton, sel blas >30%
Eritropoesis, trombopoesis tertekan
Pada LLA : aspirasi sum-sum tulang mungkin dry tap (karena serabut retikulin
bertambah)3
Gambar 2. Aspirasi Sumsum Tulang9
Pemeriksaan Lain
1. Biopsi limpa
Pemeriksaan ini akan memperlihatkan proliferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari
jaringan limpa akan terdesak seperti limfosit normal, RES, granulosit, pulp cell.7,8
2. Kimia darah
9
Kolesterol mungkin menurun, asam urat dapat meningkat, hipogamaglobulinemia.1,7,8
3. Cairan serebrospinal
Bila terjadi peninggian jumlah sel (sel patologis) dan protein, maka hal ini berarti
suatu leukemia meningeal. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap saat dari perjalanan penyakit
baik pada keadaan remisi maupun pada keadaan kambuh. 1,7,8
Untuk mencegahnya dilakukan pungsi lumbal dan pemberian metotreksat (MTX)
intratrakeal secara rutin pada setiap penderita baru atau pada mereka yang menunjukkan
gejala tekanan intracranial yang meninggi. 1,7,8
4. Sitogenetik
70 – 90% dari kasus LMK menunjukkan kelainan kromosom, yaitu pada kromosom
21 (kromosom Philadelphia atau Ph1). 50 – 70% dari penderita LLA dan LMA mempunyai
kelainan berupa :
a. Kelainan jumlah kromosom seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperloid (2n+a)
b. Kariotip yang pseudodiploid pada kasus dengan jumlah kromosom yang diploid
c. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial depletion)
d. Terdapatnya marker chromosome yaitu elemen yang secara morfologis bukan
merupakan kromosom normal; dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat
kecil.1,7,8
5. Radiografi Dada
Diperlukan untuk menentukan apakah ada massa mediastinum. Radiografi tulang
mungkin menunjukkan perubahan trabekula medulla, defek korteks, atau resorpsi tulang
subepifiseal. Penemuan ini tidak mempunyai arti klinis ataupun prognostik, sehingga survai
skeletal biasanya tidak diperlukan.
Tabel 2. Jenis Pemeriksaan Pada Leukemia Limfoblastik Akut Beserta Hasilnya1,7,8
Jenis Pemeriksaan Hasil yang ditemui
Complete blood count leukositosis, anemia, trombositopenia
10
Bone Marrow Puncture hiperselular dengan infiltrasi limfoblas, sel berinti
Sitokimia Sudan black negatif, mieloperoksidase negative
Fosfatase asam positif (T-LLA), PAS positif (B-LLA)
Imunoperoksidase peningkatan TdT (enzim nuklear yang mengatur kembali gen
reseptor sel T dan Ig
Flowcytometry precursor B: CD 10, 19, 79A, 22, cytoplasmic m-heavy chain, TdT
T: CD1a, 2, 3, 4, 5, 7, 8, TdT
B: kappa atau lambda, CD19, 20, 22
Sitogenetika analisa gen dan kromosom dengan immunotyping untuk
menguraikan klon maligna
Pungsi lumbal keterlibatan SSP bila ditemukan > 5 leukosit/mL CSF
H. DIAGNOSIS BANDING4
1. Anemia Aplastik
2. Leukemia Mielositik Akut
3. Leukemia Limfositik Kronik
4. Idiopatik Trombositopenia Purpura
I. PENATALAKSANAAN10
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel
leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang.Penderita yang
menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa
minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang. Terapi LLA masa
kini didasarkan atas bukti resiko klinis, tidak ada bukti kelompok resiko universal. Pada
umumnya, penderita dengan resiko baku atau rata-rata untuk relaps adalah antara umur 1
11
tahun dan 10 tahun, mempunyai jumlah leukosit 100.000/mm3, tidak ada bukti adanya massa
mediastinum atau leukemia SSS, dan mempunyai immunofenotipe sel progenitor B. Adanya
translokasi kromosom spesifik tertentu harus disingkirkan. Rencana terapi untuk kelompok
resiko baku meliputi pemberian kemoterapi induksi sampai sumsum tulang tidak lagi
memperlihatkan sel-sel leukemia yang dapat dikenali secara morfologis, kemudian terapi
”profilaksis” pada SSS, dan terapi lanjutan. Contoh rencana terapi diringkas pada Tabel 3.
Suatu kombinasi prednison, vinkristin (Oncovin), dan asparaginase akan menghasilkan remisi
pada kira-kira 98% dari anak dengan LLA resiko-standar, khas dalam 4 minggu. Kurang dari
5% penderita memerlukan 2 minggu terapi induksi lagi. Terapi lanjutan sistemik, biasanya
terdiri dari antimetabolit metotreksat (MTX) dan 6-merkaptopurin (Purinetol), harus
diberikan selama 2,5-3 tahun.
Tanpa terapi profilaksis, SSS merupakan tempat awal relaps pada lebih dari 50%
penderita. Sel leukemia biasanya ditemukan di selaput otak pada saat diagnosis, walaupun
sel-sel iti tidak dapat dilihat pada cairan serebrospinal. Sel-sel ini bertahan hidup dari
kemoterapi sistemik karena penetrasi sawar darah otak obat jelek. Iradiasi kranium mencegah
leukemia SSS tersembunyi pada kebanyakan penderita tetapi menyebabkan efek lambat
neuropsikologik, terutama pada anak kecil. Karena itu, penderita resiko standar khas hanya
diberi terapi intratekal saja untuk mencegah keterlibatan SSS klinis.
Kebanyakan penderita dengan LLA sel T mengalami relaps dalam 3-4 tahun jika
diterapi dengan regimen resiko standar. Dengan regimen obat ganda yang lebih intensif , 50%
atau lebih penderita mengalami remisi jangka panjang. Dikembangkan suatu terapi sasaran
yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi sifat unik dari sel T leukemia. Suatu contoh dari
pendekatan ini adalah antibodi monoklonal terhadap antigen permukaan sel T yang
dikonjugasikan pada imunotoksin. Kompleks antibodi-imunotoksin akan menempel pada
limfoblas T, mengalami endositosis, dan membunuh sel.
Tabel 3. Regimen terapi yang efektif bagi leukemia limfoblastik akut resiko-rendah
Induksi Remisi (4-6 minggu)
Vinkristin 1,5 mg/m2 (maks 2 mg) IV/minggu
Prednison 40 mg/m2 (maks. 60 mg) PO/hari
Asparaginase (E.coli) 10.000U/m2/hari 2 mingguan IM
12
Terapi Intratekal
Terapi tripel : MTX*, HC*, Ara-C*
Mingguan 6 x selama induksi dan kemudian tiap 8 minggu untuk 2 tahun
Terapi Lanjutan Sistemik
6-MP 50 mg/m2/hari PO
MTX 20 mg/m2/minggu PO,IV,IM
Atur MTX ±6-MP diberikan dengan dosis tinggi
Penambahan
Vinkristin 1,5 mg/m2/ (maks. 2 mg) IV tiap 4 minggu
Prednison 40 mg/m2/hari PO 7x hari tiap 4 minggu
MTX= metotreksat; HC=Hidrokortison; Ara-C=sitarabin; IV=intravena;
PO=peroral; IM=intramuscular; 6-MP=6-merkaptopurin.
Dosis pengobatan intratekal disesuaikan dengan umur
Umur MTX HC Ara-C
≤ 1 tahun
2-8 tahun
≥ 9 tahun
10 mg
12,5mg
15 mg
10 mg
12,5 mg
16 mg
20 mg
25 mg
30 mg
Kasus sel B dengan morfologi L3 dan imunoglobulin permukaan dulu mempunyai prognosis
buruk. Pendekatan demikian paling baik diterapi dengan regimen pendek (3-6 bulan) tetapi
intensif yang dikembangkan untuk limfoma sel B. Dengan pendekatan ini, angka
kesembuhan membaik secara dramatis, dari 20% satu dekade yang lalu menjadi 70% atau
lebih.
Pencegahan6
13
Pencegahan kuratif atau spesifik adalah penangan yang bertujuan menyembuhkan
seorang penderita. Strategi umum kemoterapi leukemia akut meliputi induksi remisi,
intensifikasi (profilaksi susunan saraf pusat) dan lanjutan.
Pencegahan suportif adalah penanganan pada penyakit lain yang menyertai leukemia,
komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk perawatan psikologi.
Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi darah (trombosit), pemberian antibiotik pada
infeksi (sepsis), obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek
psikososial.
Banyak penelitian membuktikan bahwa angka kesakitan dan kematian bayi yang
mendapat ASI eksklusif (hanya ASI saja) selama enam bulan, jauh lebih rendah daripada bayi
yang tidak mendapat ASI. Penelitian lain dilakukan oleh tim dari University of Minnesota
Cancer Center yang dimuat Journal of the National Cancer Institute. Mereka menyatakan
bahwa risiko bayi yang mendapat ASI terkena leukemia turun sampai 30% bila dibandingkan
dengan bayi yang tidak mendapat ASI. Penyebab terjadinya kanker pada anak bisa jadi dipicu
oleh kekurangan imunitas. Di sinilah pentingnya peran pemberian ASI yang terbukti
mengandung IgA (Immunoglobulin A). Zat ini perlu untuk membantu kekebalan tubuh bayi.
Penyakit leukemia tidak dapat menular. Namun disarankan untuk menghindari
masuknya zat-zat kimia ke dalam tubuh, seperti debu, kapur, dan lainnya. Pencegahan
leukemia adalah dengan mengkonsumsi vitamin A, C, buah-buahan segar serta sayuran yang
kaya akan serat.
Relaps11
Sumsum tulang adalah tempat relaps paling umum, meskipun hampir semua bagian
tubuh dapat dipengaruhi. Di banyak pusat, sumsum tulang diperiksa secara berkala untuk
memastikan remisi yang berkelanjutan. Apabila terdeteksi relaps sumsum tulang, terapi ulang
intensif yang meliputi obat-obat yang tidak digunakan sebelumnya dapat mencapai
kesembuhan 15-20% dari penderita, terutama yang pernah mengalami remisi lama (18
bulan). Untuk penderita yang mengalami relaps sumsum tulang, kemoterapi intensif diikuti
Conventional Stem Cell Transplantation (CST) dari donor sekandung yang cocok memberi
kesempatan sembuh yang lebih besar. Transplan dari bukan keluarga yang cocok atau
keluarga yang tidak cocok atau autolog merupakan pilihan bagi penderita yang tidak
memiliki donor sekandung atau histokompatibel.
Sisi relaps ekstrameduler yang paling penting adalah SSS dan testis. Manifestasi awal
yang umum dari leukemia SSS disebabkan oleh kenaikan tekanan intrakranial dan meliputi
14
muntah-muntah, nyeri kepala, edema papil, dan letargi. Meningitis kimiawi sekunder akibat
terapi intratekal dapat menimbulkan gejala yang sama dan harus dipertimbangkan. Kejang
dan kelumpuhan saraf kranial sendiri dapat terjadi pada leukemia SSS ataiu efek samping
vinkristin. Keterlibatan hipotalamus jarang tetapi harus dicurigai bila ada perubahanh
kenaikan berat badan atau perubahan perilaku. Pada kebanyak kasus, tekanan cairan
serebrospinal meningkat, dan cairan menunjukkan pleiositosis karena sel leukemia. Jika
jumlah sel normal, sel leukemia mungkin dapat dijumpai pada preparat apus cairan
serebrospinal setelah sentrifugasi.
Penderita dengan relaps SSS harus diberi kemoterapi intratekal tiap 4-6 minggu
sampai limfoblas menghilang dari cairan serebrospinal. Dosis harus disesuaikan dengan umur
karena volume cairan serebrospinal tidak sebanding dengan luas permukaan badan. Iradiasi
kranium mereupakan satu-satunya cara yang dapat melenyapkan leukemia SSS jelas dan
harus diberikan setelah terapi intratekal. Terapi harus lebih intensif karena penderita ini
mempunyai resiko tinggi untuk kemudian relaps sumsum tulang. Akhirnya, terapi SSS
profilaksis harus diulangi pada setiap penderita yang mengalami relaps di sumsum tulang
atau lokasi ekstramedular manapun.
Relaps testikuler biasanya menyebabkan pembengkakan tidak nyeri pada satu atau
kedua testis. Penderita sering tidak menyadari kelainan tersebut, karena itu perlu sekali
perhatian pada ukuran testis pada waktu diagnosis dan pemantauan. Diagnosis dipastikan
dengan biopsi. Terapi harus meliputri iradiasi gonad. Karena relaps testis biasanya
mengisyaratkan adanya relaps sumsum tulang mengancam, maka terapi sistemik harus lebih
diperkuat bagi penderita yang masih didalam terapi. Seperti yang dikemukakan diatas, terapi
yang terarah ke SSS harus juga diulang.
J. KOMPLIKASI2
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah timbulnya pendarahan, kerusakan organ lain
akibat kemoterapi, disseminated intravascular coagulation (DIC), relaps LLA, infeksi berat,
dan penyebaran keganasan di organ-organ tubuh lain. Kematian mungkin terjadi karena
infeksi (sepsis) atau pendarahan yang tidak terkontrol. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah kegagalan leukemia untuk memberi respon terhadap kemoterapi.
Komplikasi dari leukemia dan terapinya dapat berupa sindrom tumor lisis
(hiperfosfatemia berat, hiperkalemia, hiperurikemia, dan hipokalsemia setelah kemoterapi
intensif), gagal ginjal, sepsis, pendarahan, thrombosis, tiflitis (inflamasi di daerah sekum),
15
neuropati, ensefalopati, kejang, keganasan sekunder, pertumbuhan terbantut (akibat radiasi
kraniospinal), defisiensi hormon pertumbuhan, serta defek kognitif.
LLA dikatakan dapat mengakibatkan 1400 kematian pada setiap tahun, dan dapat
meningkat lebih cepat jika tidak diobati. Akan tetapi, LLA merupakan salah satu kanker yang
paling mungkin terobati dan kadar survival hidup penderitanya juga tinggi. Kadar survival
bagi pasien dengan usia lanjut dan usia sangat muda dapat lebih rendah karena leukemia pada
golongan tersebut lebih cenderung disebabkan adanya faktor genetik sehingga kondisi
leukemianya lebih parah.
Penelitian menunjukkan survivor LLA anak cenderung mengalami masalah psikologi,
termasuk stress, depresi, mudah marah, serta rasa bingung bila dibandingkan dengan
saudaranya yang sehat. Risiko terhadap gangguan psikologi dapat bervariasi tergantung terapi
yang diberikan. Penelitian pada tahun 2003 menunjukkan pasien yang menerima radiasi SSP
dosis tinggi dan terapi metrotreksat mempunyai risiko tinggi terhadap gangguan emosi jika
dibandingkan dengan pasien yang tidak diterapi dengan radiasi. Menyadari risiko tersebut,
dukungan secara psikologis dapat menjadi suatu hal yang penting dan sangat membantu
dalam pengobatan LLA.
K. PROGNOSIS9,12
Sebelum adanya pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu
4 bulan setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa
dikendalikan setelah menjalani kemoterapi awal.
Banyak gambaran klinis telah dipakai sebagai indikator prognosis, tetapi kehilangan
arti karena keberhasilan terapi. Misalnya, imunofenotip penting dalam mengarahkan terapi ke
arah resiko, tetapi arti prognostiknya telah lenyap berkatregimen terapi kontemporer. Karena
itu, terapi merupakan faktor prognositik penting. Hitung leukosit awal mempunyai hubungan
liner terbalik dengan kemungkinan sembuh. Umur pada waktu diagnosis juga merupakan
peramal yang dapat dipercaya (reliable). Penderita berumur lebih dari 10 tahun dan yang
kurang dari 12 bulan yang mempunyai penyususnan kembali (rearrangement) kromosom
yang menyangkut regio 11q23, jauh lebih buruk dibanding anak dari kelompok umur
pertengahan (intermediete). Beberapa kelainan kromosom mempengaruhi hasil terapi.
Hiperploidi lebih dari 50 kromosom berkaitan dengan hasil terapi baik dan memberi respon
terhadap terapi berbasis antimetabolit. Dua translokasi kromosom t(9;22), atau kromosom
16
Philadelpia, dan t(4;11) mempunyai prognosis buruk. Beberapa peneliti menganjurkan CST
selama remisi inisial pada penderita dengan translokasi tersebut. LLA progenitor sel B
dengan t(1;19) mempunyai prognosis kurang baik dibandingkan kasus lain dengan
imunofenotip ini, hanya 60% dari penderita akan remisi setelah 5 tahun jika tidak mendapat
terapi sangat intensif.
BAB III
KESIMPULAN
Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu penyakit yang berakibat fatal,
dimana sel-sel yang dalam keadaan normal berkembang menjadi limfosit berubah menjadi
ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di dalam sumsum tulang.
LLA merupakan leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak.
Leukemia jenis ini merupakan 25% dari semua jenis kanker yang mengenai anak-anak di
bawah umur 15 tahun. Paling sering terjadi pada anak usia antara 3-5 tahun, tetapi kadang
terjadi pada usia remaja dan dewasa.
Sebagian besar kasus tampaknya tidak memiliki penyebab yang pasti.
Radiasi, bahan racun (misalnya benzena) dan beberapa obat kemoterapi diduga berperan
dalam terjadinya leukemia. Kelainan kromosom juga memegang peranan dalam terjadinya
leukemia akut. Faktor resiko untuk leukemia akut adalah: Sindrom Down, memiliki
kakak/adik yang menderita leukemia, pemaparan oleh radiasi (penyinaran), bahan kimia dan
obat.
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah
merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa: lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel
darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena, berkurangnya jumlah sel darah putih,
perdarahan, karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel
leukemik sehingga sel noramal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang.
17
Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau
beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan:
transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi
perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Sebelum adanya pengobatan untuk leukemia, penderita akan meninggal dalam waktu
4 bulan setelah penyakitnya terdiagnosis. Lebih dari 90% penderita penyakitnya bisa
dikendalikan setelah menjalani kemoterapi awal.
Pasien yang terdiagnosa leukemia disarankan untuk melakukan pengobatan
secepatnya karena ini menentukan prognosis dari pasien dan juga dianjurkan untuk
melakukan terapi sesuai jadwal karena membutuhkan waktu yang lama. Perlu disampaikan
bahwa pengobatan dalam jangka waktu lama membutuhkan dukungan dari keluarga dan
kesabaran dari pasien karena dapat mempengaruhi kondisi akademis, perkembangan dan
psikososial dari pasien.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman MR, RE Bhermann, HB Jenson, The Leukemias in Nelson Textbook of
Pediatrics 18th Edition : 2116 – 2122
2. Rudolph MA, JIE Hoffman, CD Rudolph, Leukemia in Rudolph’s Pediatrics 20 th
Edition : 1269 – 1278
3. Parmono B, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, Leukemia Akut;
Kedaruratan Onkologi Anak dalam Buku Ajar Hematologi – Onkologi Anak 2010 :
236 – 325
4. Hoffbrand VA, Pettit JE, Moss PAH, Leukemia Akut; Leukemia Mieloid Kronik dan
Mielodisplasia dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4 2005 : 150 – 176
5. Waldo, E. Nelson. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
Edisi 15. Vol 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2000.
6. Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1.
Cetakan ke-11. Percetakan Infomedika, Jakarta: 2007. h.469-79.
7. Behrman, E. Richard. Leukemia Limfositik Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak.
Bagian 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta: 1992
8. Fianza, PI. Leukemia limfoblastik akut. Sudoyo, AR, editors. In: Ilmu Penyakit
Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.728-34.
9. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed. Philadelphia :
WB Saunders, 2000 : 979.
10. Ganiswarna S. Setiabudy R. Suyatna F. Purwatyastuti. Nafrialdi. Farmakologi dan
Terapi. 2005; edisi ke-4 : (13) 702 – 713
11. Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, FG, Head D, Boyett J rubritz JE, et
LLA. Persistence of Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15 and Days 22 to 25 of
Remiss. N Eng J Med 2000 : 332 : 1618-27.
19
12. Miller DR. Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and
Childhood. 5th ed. St. Louis : Mosby Co., 2007 : 619.
20