LITERATUR TAFSIR INDONESIA (Analisis Metodologi dan...

94
LITERATUR TAFSIR INDONESIA (Analisis Metodologi dan Corak Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l Wahhāj Karya M. Yunan Yusuf) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Wilda Kamalia NIM: 1111034000058 PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Transcript of LITERATUR TAFSIR INDONESIA (Analisis Metodologi dan...

LITERATUR TAFSIR INDONESIA

(Analisis Metodologi dan Corak Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l

Wahhāj Karya M. Yunan Yusuf)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Wilda Kamalia

NIM: 1111034000058

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

iv

ABSTRAK

Wilda Kamalia

“Analisis Metodologi dan Corak Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘I Wahhāj Karya M.

Yunan Yusuf”.

Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Qur‟an terus berkembang hingga saat ini.

Tentu ini fenomena yang sangat membanggakan mengingat Indonesia adalah negara

dengan penduduk muslim terbanyak di dunia. Tidak hanya banyak dari sisi kuantitas,

karya tafsir al-Qur‟an di Indonesia telah memperlihatkan keragaman dari sisi teknis

penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan.

Studi ini membahas tentang karya tafsir M. Yunan Yusuf yaitu Tafsir Juz ‘Amma

As-Sirāju ‘l Wahhāj, dalam hal ini penulis mengkaji dari sudut metode dan corak pada

tafsir Yunan Yusuf yang dimulai dengan juz XXX, juz terakhir dari al-Qur‟an. Teknik

penggalian data pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan teknik library research (kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-

data melalui bacaan dan beberapa literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan.

Adapun metode penulisan yang digunakan dalan penelitian ini adalah analisis-deskriptif,

yaitu sebuah metode pembahasan untuk menerapkan data-data yang telah tersusun

dengan melakukan kajian terhadap data-data tersebut.

Sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l

Wahhāj dan literatur lainnya yang relevan dengan pembahasan skripsi, khususnya tentang

metode dan corak dalam penafsiran.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa metode yang digunakan tafsir Yunan ini

adalah metode tahlili yaitu penafsiran yang berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-

Qur‟ān dari berbagai seginya berdasarkan aturan-aturan ayat atau surah (tartīb mushafī)

dengan menonjolkan kandungan lafaznya, kolerasi ayatnya, hadis serta pendapat-

pendapat para mufassir. Ditinjau dari corak penafsirannya, bahwasannya Yunan Yusuf

dalam tafsirnya Tafsir Juz ‘Amma As Sirāju ‘l Wahhāj cenderung kepada tafsir al-adabi

al-ijtima’i yakni salah satu corak penafsiran al-Qur‟ān yang cenderung kepada persoalan

sosial kemasyarakatan. Pada skripsi ini juga akan diberikan contoh tentang aplikasi

sistematika penulisan pada Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l Wahhāj.

v

KATA PENGANTAR

الرحيمالرحمناللوبسم

السبيلىدي ناهإنا .شكور اادأرأويذكرأنأرادلمنخلفة والن هارالليلجعلالذيوىو …كفور اوإماشاكر اإما

Puji Syukur kehadirat Allah Swt., Dzat yang memberikan hembusan nafas

kepada para hamba-Nya. Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya, Wahai

Kekasihku, betapa ngeri akan kehilangan-Mu… Shalawat serta salam semoga selalu

tercurahkan kepada sosok Rahmatan li al-‘Ālamîn, cahaya di atas cahaya, manusia

paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup para Nabi, serta doa untuk

keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga zaman menutup mata.

Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan karunia-

Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Berbagai

kesulitan dan hambatan yang penulis rasakan dalam penyusunan skripsi ini,

alhamdulillah dapat teratasi berkat tuntunan serta bimbingan-Nya dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag,. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.

2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu al-

Qur‟an & Tafsir dan kepada Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd,. selaku Sekretaris

Program Studi Ilmu al-Qur‟an & Tafsir.

3. Bapak Dr. Mafri Amir M.Ag., selaku pembimbing penulis yang selalu bersabar

memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah

bimbingannya.

4. Bapak Hanafi, S.Ag., MA., selaku penasihat akademik yang telah membantu

penulis.

vi

5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah,

pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

6. Kepala dan staff karyawan Perpustakaan Umum dan Fakultas UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, dan Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ).

7. Prof. Dr. M.Yunan Yusuf, selaku pengarang Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l Wahhāj

yang telah memberikan izin kepada penulis untuk meneliti karya Beliau, semoga

Allah selalu memberikan perlindungan kepada Beliau.

8. Hadlratu Syaikh Abdul Malik al-Dien, guru sekaligus guru spiritual penulis, yang

senantiasa membimbing penulis dalam proses penulisan skripsi dan menuntun serta

menjembatani penulis zahir dan batin menuju cinta Ilahi. Terima kasih banyak Ya

Hadlrata Syaikh, bimbing kami selalu Ya Syaikh…

9. Umi Fazat Zakiyah Malik, Adik Bunga, Tera, Ismi dan Safira, istri dan anak-anak

dari Hadlratu Syaikh Abdul Malik, yang senantiasa memberikan dukungan moril

kepada penulis dala penyusunan skripsi ini.

10. Ka Imam ZaFu dan Ka Zahrul Athriah yang senantiasa meluangkan waktunya

dengan sabar untuk memberikan ilmu membuka fikiran penulis, tanpa keduanya

penulis hanya terperangkap dalam ruang hampa dan skripsi ini tidak terealisasi.

11. Teruntuk Algifri, Anis Akhu, dan Ali Akbar, Adam Haekal yang senantiasa

membantu menyempurnakan skripsi penulis, menemani, memberikan dukungan

moril serta bersama-sama kita menyusun penulisan skripsi sehingga sampailah

kepada titik penghabisan pada skripsi ini.

vii

12. Teruntuk juga sahabat serta kawanku Intan Tri Aisyah, St. Anisa Amalia, Eka

Syarifah, Friella Dasanty, Seman Ansyarie dan lainnya yang senantiasa menemani

penulis, berbagi cerita serta canda tawa sejak awal perkuliahan sampai saat ini juga

memberikan dukungan, support untuk penulis.

13. Haziq Karamillah yang senantiasa menemani serta memberikan semangat yang

membara untuk penulis pada akhir penulisan skripsi ini.

14. Kakak dan adik-adik tersayang kak Auza‟i. kak Sofi, Zahra, Zena orang-orang yang

menjadi tumpuan harapan penulis.

15. Akhirnya, rasa syukur dan bukti yang tak pernah penulis haturkan kepada kedua

orang tua tercinta: ayahanda H. Adnan Idris Kaisan yang sosoknya selalu menjadi

inspirasi bagi penulis dan mamanda Hj. Mahfuza Adnan yang tak pernah letih dan

absen mulut han hatinya mendoakan penulis dan semua anak kecintaannya. Kasih

sayang, nasehat, dukungan, serta ridha keduanya merupakan akar fondasi bagi

segala tekad penulis dalam menjalani bahtera kehidupan dan menuntut ilmu

sedalam-dalamnya. Ayah, Mama, tidak ada kalian di sisi penulis, penulis akan

runtuh. Semoga Allah mengampuni segala dosa keduanya.

Semoga Allah membalas dengan sebaik-baik balasan. Harapan penullis,

mudahmudahan karya ini bermanfaat dan mempunyai kontribusi yang signifikan bagi

penelitian selanjutnya.

Jakarta, 24 Mei 2017

Penulis

Wilda Kamalia

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K

Nomor: 158 tahun 1987 – Nomor: 0543 b/u/1987

1. Konsonan

1 ا tidak dilambangkan 16 ط ṭ

2 ب b 17 ظ ẓ

3 ت t 18 ع ʻ

4 ث ṡ 19 غ g

5 ج j 20 ف f

6 ح ḥ 21 ق q

7 خ kh 22 ك k

8 د d 23 ل l

9 ذ ż 24 م m

10 ر r 25 ن n

11 ز z 26 و w

12 س s 27 ه h

13 ش sy 28 ء ‟

14 ص ṣ 29 ي y

15 ض ḍ

LatinNo. Arab Latin No. Arab

2. Vokal Pendek

-- - = a ت ب ك kataba

-- - = i سئ ل su‟ila

ix

-- - = u يرهب yażhabu

3. Vokal Panjang

a. Fatḥah + alif, ditulis ā (a garis di atas)

ditulis jāhiliyyah جاهلية

b. Fatḥah + alif layyinah, ditulis ā (a garis di atas)

ditulis yasʻā يسعى

c. Kasrah + yā‟ mati, ditulis ī (i dengan garis di atas)

ditulis majīd مجيد

d. Ḍammah + wāu mati, ditulis ū (u dengan garis di atas)

ditulis furūd فروض

4. Diftong

kaifa = كيف ai = اي

ḥaula = حول au = او

5. Kata Sandang (ال)

Kata sandang dilambangkan dengan „al-‟, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun

huruf qamariyyah.

6. Tasydid ( -- - )

Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi

syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syiddah

tersebut terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf al-syamsiyyah.

Misalnya, kata tidak ditulis ة رور .aḍ-ḍarūrah melainkan al-ḍarūrah الض

7. Tā‟ Marbūṭah

x

a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kalimat lain yang menjadi naʻt atau

sifat, ditulis

Contoh:

ditulis jizyah جسية

ditulis al-jāmiʻah al-islāmiyyah الجامعةاإلسالمية

(ketentuan ini tidak berlaku terhadap kata-kata serapan bahasa Indonesia dari

bahasa Arab seperti zakat, salat, dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafal

aslinya)

b. Bila diharakati karena berangkaian dengan kata lain, ditulis

Contoh:

ditulis niʻmat Allāh نعمةهللا

ditulis zakāt al-fiṭr زكاةالفطر

8. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat dapat ditulis menurut penulisannya,

contoh:

ditulis żawī al-furūḍ ذويالفروض

ditulis ahl al-sunnah اهلالسنة

9. Singkatan

swt. = subḥānah wa taʻālā

saw. = ṣallā Allāh ‘alaih wa salam

as. =‘alaih al-salām

ra. = raḍiya Allāh ‘anh

QS. = Quran Surat

M = Masehi

xi

H = Hijriah

w. = Wafat

h. = Halaman

xii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING…..………………………………………………….……i

PENGESAHAN PENGUJI...…………………………………….…….………….….…ii

PERNYATAAN KEASLIAN…..……………………………………….………..…….iii

ABSTRAK …………………………………………………………………….…..…….iv

KATA PENGANTAR……….……………………………………….………….….……v

PEDOMAN TRANSLITASI…...……….……………………………………..…...…viii

DAFTAR ISI……………………...…………………………………………….…....…xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………..1

B. Batasan dan Rumusan Masalah………….……………………………10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………..11

D. Tinjauan pustaka……………………………………….……………….11

E. Metode Penelitian……………………………………………………….15

F. Sistematika Penulisan…………………………………………………..17

BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR NUSANTARA

A. Karya-karya Tafsir Nusantara….……………………………………..21

B. Karakteristik Tafsir Nusantara….…………………………………….31

BAB III MENGENAL LEBIH DEKAT M. YUNAN YUSUF

A. Biografi Singkat……………………….………………………………...41

1. Latar Belakang Keluarga………………………………….…...41

xiii

2. Latar Belakang Pendidikan……………………………………42

B. Karya-karya M. Yunan Yusuf…………………………………………44

BAB IV KAJIAN KHUSUS TAFSIR JUZ ‘AMMA AS SIRĀJU ‘L WAHHĀJ

KARYA M. YUNAN YUSUF

A. Deskripsi Filologi Kitab Tafsir As-Sirāju ‘l Wahhāj…………….……46

B. Latar Belakang Penulisan Tafsir…………………………….………...48

C. Sistematika Penulisan………………………………………………….51

D. Metode Penafsiran…………………………………………………...…59

E. Sumber Penafsiran……………………………………………………...61

F. Corak Penafsiran……………………………………………………….63

G. Kelebihan dan Kekurangan……………………………………………67

H. Komentar para Tokoh tentang M. Yunan Yusuf…………………….68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………..70

B. Saran-saran……………………………………………………………..71

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai hudan li al-nās sekaligus Rahmatan li al-„ālamīn, al-Qur‟an

diturunkan ke dunia ini agar manusia keluar dari kegelapan menuju terangnya rahmat

Allah.1 Agar al-Qur‟an proaktif memberi petunjuk pada manusia ke arah jalan yang

benar, Tuhan mengutus Nabi Muhammad yang diberi tugas menjadi penyampai dan

penjelas bagi al-Qur‟an agar ia mudah dipahami oleh manusia.2 Fungsi ini terus

demikian dari sejak zaman Nabi Muhammad hingga masa dimana umat Islam hidup

hari ini. Satu adigium yang selalu lekat dengan al-Qur‟an adalah sifatnya yang ṣāliḥ li

kulli zaman wa makān, senantiasa kontekstual dalam setiap zaman dan tempat.3

Ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah memiliki kandungan

yang sangat dalam dan luas. Maka, seiring berjalannya waktu, ulama memiliki

spesialisasi keahlian yang berbeda-beda. Ulama ahli hukum biasa disebut fuqahā,4

sedang ulama yang ahli mendalami dan mengajarkan kandungan al-Qur‟an kita sebut

1 Ziyad at-Tubany, Membaca Dan Memahami Konstruksi al-Qur‟ān (Jakarta Selatan:

Indomedia Group, 2006), h. 1. 2 Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur‟ān Memburu Pesan Tuhan Di Balik

Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 1. 3 Farid Esack, Samudera Al-Qur‟ān. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press,

2007), h.35. 4 Fuqahā adalah kata majemuk bagi fiqih, yaitu ahli fiqih. Fiqih adalah bidang jurisprudence

atau hukum-hukum yang menyangkut peribadatan ritual baik perseorangan, atau di dalam konteks

sosial umat.

2

mufassir.5 Tugas mufassir diantaranya adalah berusaha menemukan hubungan-

hubungan ayat atau munāsabah-munāsabah yang mengaitkan antara ayat dengan ayat

pada satu pihak, dan antara surah dengan surah pada pihak lain.6 Bermula dari para

sahabat, tabi‟in, tabit-tabi‟in, mereka semua memeras otaknya untuk mempelajari dan

mendalami al-Qur‟an. Tak hanya mereka, ulama-ulama saat inipun tak kalah

gencarnya mempelajari pesan-pesan al-Qur‟an. Sampai kemudian muncullah apa

yang disebut dengan takwil atau tafsir.7

Istilah tafsir diambil dari kata tafsiriah, yaitu suatu alat yang digunakan oleh

dokter untuk menyelidiki penyakit orang sakit. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan

“taf‟il”, berasal dari kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan

menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti

wazan “daraba – yadribu” dan “nasara – yansuru”. Dikatakan: “fasara (asy-syayi‟a)

yafsiru” dan “yafsuru, fasran” dan “fassarahu”, artinya “abānahu” (menjelaskannya).

Kata at-tafsīr dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang

tertutup. Dalam lisānul „ārab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu

yang tertutup, sedang kata “at-tafsīr” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz

yang musykil, pelik. Kemudian diantara kedua kata itu, al-fasr dan at-tafsīr, kata at-

tafsīr (tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.

5 Secara bahasa mufassir adalah bentuk isim fa‟il dari kata fasara yang artinya menafsirkan

atau menjelaskan. Kemudian diikutkan wazan isim fa‟il mufa‟ilun menjadi mufassir yang artinya orang

yang menafsirkan, mengomentari, interpretasi. 6 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an. Penerjemah Khoirun Nahdliyyin

(Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 199. 7 H. Ziyad at-Tubany, SQ, Membaca Dan Memahami Konstruksi Al-Qur‟ān, h. 1.

3

Menurut Hasby Ash Shiddieqy, tujuan mempelajari tafsir ialah memahamkan

makna-makna al-Qur‟an, hukum-hukumnya, hikmat-hikmatnya, akhlak-akhlaknya

dan petunjuk-petunjuknya yang lain untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan

akhirat.8

Menurut az-Zarkasyi tafsir ialah suatu pengetahuan untuk memahami

kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW, menjelaskan maksud-

maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.9 Dalam ilmu

al-Qur‟an banyak sekali istilah-istilah yang depakai untuk dapat menafsirkan ayat al-

Qur‟an diantaranya adalah thariqah, lawn, manhāj, ittijah dan lain sebagainya.

Manhaj (metode) Muhammad Bakr Isma‟il memaknai manhāj sebagai “suatu

cara yang ditempuh mufassir dalam menjelaskan mekna-makna dan menyimpulkan

makna-makna itu dari lafaz-lafaz, mengaitkan bagian yang satu dengan yang lain,

menyebutkan atsar, dan menunjukkan dalālah, hukum, ketentuan agama dan

sebagainya, menurut ittijāh pemikiran dan mazhab mufassir, dan sesuai kebudayaan

dan kepribadiannya.”

Thariqah (sistematika) adalah bentuk formal dari cara yang ditempuh

mufassir atau segi bentuk yang dipilih oleh mufassir dalam menyusun

pembahasannya, thariqah berkait dengan alur penulisan dan sistematika penyusunan

kitab tafsir. Thariqah juga tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan pada

hasil penafsiran karena hanya menjadi bentuk dari penulisan tafsir.

8 Mashuri Sirojuddin Iqbal, dkk, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 1994), h. 89.

9 Manna‟ Khalīl al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa),

h.475.

4

Ittijah (corak) adalah posisi, pandangan, aliran, dan sudut pandang akidah

mufassir yang diwakili, seperti suni, mu‟tazilah, asy‟ariyyah baik penafsiran itu

sifatnya mengikuti atau memperbaharui, juga segi pegangan mufassir, apakah manqul

atau ma‟qul atau kombinasi dari keduanya.

Lawn (karakteristik) maksud dari lawn adalah “warna” yang dilukiskan

mufassir pada nas melalui aktivitas penafsiran dan pemahamannya, sesuai tingkat

pemahaman akalnya, sehingga ia memaknai nas sedemikian rupa dan membatasi

penjelasannya. Lawn merupakan hasil (natijah) dari posisi dari sudut pandang

mufassir.10

Seorang mufassir, pada saat menafsirkan ayat al-Qur‟an tidak akan terlepas

dengan adanya corak tafsir. Karena, corak tafsir itu menjadi ciri khas seorang

mufassir dalam menjelaskan al-Qur‟an sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang

dimilikinya. Selain itu juga, corak tafsir dapat mengungkapkan latar belakang aliran,

keahlian dan bahkan motif dari ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an.11

Sehingga,

adanya corak tafsir dapat menimbulkan berbagai macam warna yang berkembang

menjadi bermacamnya aliran dengan metode12

yang berbeda-beda.13

10 Izza Rohman, “Istilah-istilah Dalam Madzahib al-Tafsir” artikel diakses pada 29 Agustus

2017 dari https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/28/istilah-istilah-dalam-madzahib-al-tafsir/

11Abdul Syakur, Mengenal Corak Tafsir Al-Qur‟ān Dosen STIU (Sekolah Tingggi Ilmu

Ushuluddin) Al-Mujtama‟ (Pamekasan: El-Furqonia,2015) vol. 01, no. 1, h. 83. 12

Kata “metode” berasal dari kata Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan. Dalam

bahasa Inggris kata itu ditulis “method”, dan bahasa arab menerjemahkannya dengan thariqat dan

manhaj. Sedangkan dalam bahasa Indonesia katatersebut mengandng arti: “cara yang teratur dan

berpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya). Ada dua istilah

yang sering digunakan yaitu: metodologi tafsir dan metode tafsir. Dapat dibedakan antara dua istilah

tersebut , yakni: “metode tafsir, yaitu cara-cara yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur‟ān,

sedangkan metodologi tafsir yaitu ilmu tentang cara tersebut”.

5

Definisi lain menyebutkan bahwa, tafsir berarti penjelasan tentang maksud-

maksud Allah dalam firman-Nya sesuai dengan kemampuan manusia. Makna tersirat

dari kata penjelasan adalah adanya sesuatu yang dihidangkan serta cara

menghidangkan yang berfungsi sebagai penjelas. Sedangkan makna tersirat dari

kalimat sesuai kemampuan manusia adalah keanekaragaman dalam cara menjelaskan,

juga mengandung isyarat tentang kedalaman atau kedangkalan dan keterbatasannya.14

Agar mufassir dapat menafsirkan al-Qur‟an dengan lurus, juga dapat

memperoleh keridhoan Allah atas pemikiran dan ucapannya, jujur dan mendapat

hidayah untuk mengetahui rahasia al-Qur‟an, maka mufassir harus mengisi hidupnya

dengan akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, menafsirkan al-Qur‟an dengan al-

Qur‟an, dan harus mencari penafsiran dari sunnah.15

Semua itu termasuk syarat yang

telah ditetapkan oleh para ulama bagi seseorang yang ingin menjadi ahli tafsir al-

Qur‟an.16

Di Indonesia, ragam aktifitas dalam menafsirkan al-Qur‟an sangat menarik

untuk dicermati.17

Howard Faderspiel melalui bukunya, Kajian Al-Qur‟an di

Indonesia: memotret upaya memahami al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia, yang

kemudian diteruskan oleh Islah Gusmian dengan melakukan kajian ini berdasarkan

sistematisasi dan periodesasi yang lebih detail dalam bukunya, Khazanah Tafsir

13

Hujair S. H. Sanaky, Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau

Corak Mufassirin] (Jurnal Al-Mawarid, 2008) edisi XXVIII , h. 265. 14

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟ān (Tangerang: Lentera Hati 2013), cet.I, h. 377 15

Manna‟ Khalil al-Qattān, Studi Ilmu-ilmu Qurān, h.462-463. 16

Ahmad asy-Syirbasi, Sejarah Tafsir Qur‟an, (T.tp: Pustaka Firdaus, 1994), cet.III, h. 30. 17

Faisal Hilmi, “Metode dan Corak Tafsir Al-Iklīl Fi Ma‟ani al-Tanzīl Karya Kh. Misbah bin

Zainul Musthofa,”(Skripsi S1 Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h.4.

6

Indonesia telah mendiskusikan geliat penulisan tafsir al-Qur‟an di Indonesia.18

Dalam

karyanya tersebut, ia juga membahas tentang keakuratan terjemah al-Qur‟an ke dalam

bahasa Indonesia yang terkadang menjadi agak bermasalah. Sementara, karya-karya

terjemah al-Qur‟an tersebut merupakan kunci bagi para pembaca tafsir di Indonesia

agar mampu memahami isi al-Qur‟an. Oleh karena itu, keakuratan karya-karya

tersebut sangatlah penting bagi masyarakat.19

Memahami teks bukanlah sesuatu yang mudah, terlebih saat memahami teks

yang kehadirannya jauh sebelum kehadiran orang yang ingin memahaminya. Di

Indonesia, Penulisan Tafsir dapat dikategorisasi berdasarkan tinjauan yang

digunakan. penafsiran al-Qur‟an di Indonesia, dibuat dalam rangka upaya untuk

menjelaskan kandungan kitab suci al-Qur‟an kepada bangsa Indonesia melalui

bahasa yang beraneka ragam, baik dalam bahasa Nasional (Bahasa Indonesia)

maupun dalam bahasa daerah, seperti Melayu, Jawa dan Sunda.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Qur‟an Indonesia yang

dimaksudkan ialah suatu upaya menjelaskan makna yang terkandung dalam al-

Qur‟an melalui bahasa-bahasa tersebut, baik secara lisan yang disampaikan maupun

tulisan seperti termaktub dalam kitab-kitab tafsir, makalah-makalah, atau artikel-

artikel dalam bentuk manuskrip atau hasil cetakan.20

18

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi, (Jakarta

Selatan: Teraju, 2003), h. 61. 19

Howard M. Faderspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga

Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), Cet.I, h. 99. 20

Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai

Pustaka, 2003) h. 32.

7

Terdapat banyak metode yang digunakan oleh ulama tafsir dalam memahami

ayat-ayat al-Qur‟an. Sehingga, keragaman tersebut menimbulkan keragaman corak

penafsiran. Akan tetapi, para ahli dalam bidang ini sepakat bahwa cara yang terbaik

dan terjamin kebenarannya dalam memahami al-Qur‟an adalah kembali kepada al-

Qur‟an itu sendiri serta kepada penjelasan-penjelasan Nabi Muhammad saw. sebagai

mufassir pertama dan utama.21

Setiap metode memiliki target atau hasil yang harus dituju.22

Respon terhadap

realitas merupakan keniscayaan yang harus ditemukan dalam produk tafsir. Adanya

diktonomi proses penafsiran dari teks ke realitas dan dari realitas ke teks adalah

sangat berpengaruh pada produk tafsir yang dihasilkan.23

Sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang tafsir atau terjemah al-Qur‟an

yang diproduksi masyarakat, beberapa cendikia telah melakukan penelitian tentang

perkembangan kitab tafsir di Indonesia. Kegairahan ini justru tidak dirintis oleh pakar

asal Indonesia, melainkan intelektual dari Negara lain, yaitu Howard Federspiel.24

Barulah kemudian Nashruddin Baidan dan Islah Gusmian25

yang meneliti secara

mendalam tentang perkembangan kitab-kitab tafsir di Indonesia.26

Juga memahami

asal-usul tulisan yang beraksara namun berbahasa lokal yang digunakan secara

21

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992) cetakan I, h. 7. 22

Adanya hasil yang harus dituju dari setiap metode penelitian menunjukkan adanya

keterbatasan-keterbatasan dalam matode tersebut. Hasil setiap metode sangat tergantung pada obyek

atau problem yang diselidiki. Oleh karna itu tidak akan ditemukan satu metode dapat digunakan untuk

semua obyek penelitian. 23

Lilik Ummi Kaltsum, ISLAMICA“ Studi Kritis atas Metode Tafsir Tematis al-Qur‟ān,” V,

No. 2 (Maret 2011): h. 361. 24

Howard M Federspiel, Kajian al-Qur‟ān di Indonesia, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan,

1996). 25

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, Dari hermeneutika hingga Ideologi

(Yogyakarta: Lkis, 2013). 26

Al-Tahrir “Alternatif Tren Studi Qur‟ān,” II, No. 1 (Mei 2011: 1-27) h. 7.

8

meluas di Nusantara, khususnya di Jawa dan Sunda yang sering disebut dengan huruf

Jawi atau Pegon. Mereka juga meneliti tentang bagaimana model aksara ini terus

dapat menjadi dominan dalam tradisi penulisan naskah-naskah keislaman, khususnya

naskah tafsir yang berkambang di masyarakat Jawa.27

Usaha untuk menafsirkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia tampaknya

tidak hanya dilakukan oleh Mahmud Yunus seorang diri, akan tetapi juga diramaikan

oleh ulama-ulama lain seperti HAMKA dengan Tafsir Al-Azhār, A. Hasan dengan

Tafsir al-Furqān, Hasbi As-Siddiqi dengan Tafsir An-Nūr, juga penafsiran al-Qur‟an

ke dalam bahasa daerah seperti kitab Tafsir Al-Ibrīz li-Ma‟rifati Tafsīr al-Qur‟an al-

„Azīz yang ditulis oleh KH. Bisri Musthofa,28

Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish

Shihab, tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l-Wahhāj yang ditulis oleh M. Yunan Yusuf.

M. Yunan Yusuf adalah salah seorang yang telah memberikan perhatian yang

besar dalam upaya memahami al-Qur‟an dengan spesfikasi keilmuan kalam/teolog.29

Sekarang ini, ia disibukkan sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Universitas

Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Islam Asy-Syafiiyah.

27

Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Quran Nusantara Tempo Doeloe (Jakarta: Ushul Press, 2009)

cetakan I, h. 147. 28

Nur Hayati, Tafsir Al-Ibriz (Study Atas Penafsiran Bisri Musthofa), Skripsi Fakultas

Ushuluddin Iain Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002. 29

M. Yunan Yusuf, Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l-Wahhaj (Terangnya Cahaya) (Jakarta:

PENAMADANI, 2010). Cet I. lihat juga ke M. Yunan Yusuf Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-

Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam. (Jakarta: Penamadani, 2004) cet

I.

9

Tafsir karya M. Yunan Yusuf bernama Tafsir Juz „Amma as-Sirāju „l Wahhāj.

Kitab ini memiliki keunikan tersendiri dan karya tafsir yang beliau tulis kini sudah

mencapai 5 kitab yang kemungkinan beliau sedang menulis lagi kitab tafsir juz

selanjutnya. Keinginan untuk membuat tafsir sudah sejak tahun 70-an, ungkap M.

Yunan. Bahkan ia sempat berpikir kalau tafsir ini tidak dapat ia selesaikan olehnya, ia

akan menyuruh cucunya yang saat ini masih balita untuk melanjutkannya kelak.

Beliau memulai untuk menafsirkan pada Juz „Amma, karena menurut

pengakuannya surah-surah yang ada pada Juz „Amma pendek-pendek.30

Keadaan

tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj ini merupakan langkah maju bagi bangsa

Indonesia. Itu berarti telah lahir satu mufassir lagi dari bumi Indonesia untuk

mendampingi M. Quraish Shihab.

Selanjutnya penulis akan meneliti Tafsir Juz „Amma As Sirāju „l Wahhāj

karya M. Yunan Yusuf. Pembahasan mengenai tafsir ini perlu kita fahami dan

penting untuk dikaji mengingat belum ada buku-buku atau literatur berbahasa

Indonesia yang mengupas tentang Tafsir Juz „Amma As Sirāju „l Wahhāj. Dalam

literatur tafsir Indonesia belum ada yang membahas dan mencantumkan ini sebagai

salah satu literatur tafsir Indonesia. Sementara tafsir ini sudah tersebar di beberapa

daerah di Indonesia.

30

M. Yunan Yusuf, Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l-Wahhāj (Terangnya Cahaya) (Jakarta:

Penamadani, 2010). Cet I, h. xxiv.

10

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dari permasalahan di atas maka penulis membatasi permasalahan seputar

Tafsir As-Sirāju „l Wahhāj karya M. Yunan Yusuf yang berkaitan dengan:

a) Analisis metode penafsiran Tafsir As-Sirāju „l Wahhāj karya M. Yunan

Yusuf.

b) Corak penafsiran Tafsir As-Sirāju „l Wahhāj karya M. Yunan Yusuf.

Ada beberapa kitab tafsir yang dikarang oleh Yunan Yusuf diantaranya adalah

TafsirJuz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj: Terang Cahaya Juz „Amma, Tafsir Juz

Tabarak Khulqun „Azhim: Budi Pekerti Agung, Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad

Sami‟ Allah Bun-Yānun Marshūh: Bangunan Kokoh Rapih, Tafsir Al-Qur‟an Juz

XXVII Juz Qāla Famā Khatbukum Hikmatun Bālighah: Hikmah Yang Menghujam

dan Tafsir Juz XXVI Tafsir Juz Hā Mīm: Kitabun Hafizh. Diantara semuanya penulis

lebih memilih TafsirJuz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj: Terang Cahaya Juz „Amma

karena tafsir ini yang lebih pertama dikarang olehnya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembahasan tersebut maka rumusan masalah dalam skripsi ini

adalah: Bagaimana metodologi TafsirJuz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj karya M.

Yunan Yusuf?

11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Dari penelitian yang penulis lakukan ini, diharapkan dapat mencapai beberapa

tujuan penelitian yaitu:

a) Mengetahui metode dan corak penafsiran yang digunakan M. Yunan

Yusuf.

b) Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana dari UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Agar penulis dapat lebih memahami hal tentang literatur tafsir.

b) Agar metode-metode yang telah ditunjukkan oleh Yunan Yusuf dapat

dipelajari bagi para pengkaji al-Qur‟an.

c) Menambahkan dan menyempurnakan salah satu studi tafsir ke dalam

literatur tafsir Indonesia sehingga menambah wawasan atau rujukan bagi

pengkaji tafsir Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Mengenai kajian-kajian yang telah dilakukan sebelumnya, penulis

mengadakan penelusuran terhadap karya-karya yang telah membahas tentang

terjemah & tafsir dan tafsir di Indonesia sebagai berikut:

1. Buku karya Mafri Amir berjudul Literatur Tafsir Indonesia. Pembahasan

dalam buku ini memuat 14 tafsir Indonesia yang terbit tahun 2012. Buku itu

meliputi tentang proses penulisan kitab tafsir Indonesia, motivasi penulisan,

12

dan karakteristik dari tafsir-tafsir Indonesia ini (metode tafsir, sistematika

penulisan tafsir, jenis tafsir, dan rujukan penulisan tafsir).

2. Buku karya Ervan Nurtawab yang berjudul Tafsir al-Quran Nusantara Tempo

Doeloe,31

yang mana diantara pembahasan dalam buku ini memuat tentang

hermeneutika Tafsir dan Terjemah dalam perspektif Gadamer, karakteristik

Tafsir al-Quran di Nusantara.

3. Buku karya Howard M. Faderspiel yang berjudul Kajian Al-Quran di

Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab.32

Salah satu

pembahasannya dalam buku ini adalah penggunaan al-Qur‟an oleh

masyarakat muslim Indonesia. Akan tetapi dalam buku ini sama sekali tidak

membahas tentang tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l-Wahhāj.

4. Skripsi karya Nur Hayati berjudul Tafsir Al-Ibriz (Study Atas Metodologi

Penafsiran Bisri Musthofa), jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002. Skripsi ini adalah salah satu

yang membahas tentang tafsir Indonesia yang secara garis besarnya skripsi ini

meliputi tentang metode penulisan, corak tafsir serta motivasi penulisan

karakteristik.

5. Skripsi karya Henrizal Saidi Harahap berjudul Studi Keritis Terhadap

Metodologi Tafsir Rahmat jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan

31

Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Quran Nusantara Tempo Doeloe (Jakarta: Ushul Press, 2009)

cetakan I. 32

Howard M. Faderspiel, Kajian al-Qur‟an di indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga

Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), Cet.I.

13

Filsafat Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2004.

Skripsi ini juga salahsatu yang membahas tentang tafsir Indonesia.

6. Skripsi karya Irwan Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010 yang berjudul

Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi

Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian. Buku ini membahas tentang karya

tafsir yang ditulis sarjana muslim Indonesia dan berisikan tentang telaah

dalam tafsir Al-Fatihah yang ditulis Achmad Chidjim.

7. Skripsi karya Saifuddin Bin Asyari program studi Tafsir-Hadis Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun

2010. Skripsi ini berjudul Metode Dan Corak Penafsiran Al-Qur‟an

Muhammad Said Bin Umar Dalam Tafsir Nūr Al-Iḥsān Serta

Imperlementasinya Dalam Penafsiran, skripsi ini membahas tentang

bagaimana Muhammad said bin umar menuliskan tafsirnya, dengan corak dan

metode apa yang beliau gunakan serta tema-tema apa yang ada dalam tafsir

Muhammad said bin umar tersebut.

8. Skripsi karya Derpi Rosyadi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010, yang berjudul

Kajian Tafsir Bahasa Sunda; Analisis Terhadap Tafsir Ayat Suci

Lenyepaneun Karya Moh. E. Hasim. Skripsi ini membahas tentang analisis

terhadap tafsir ayat suci lenyepaneun.

9. Skripsi karya Dian Mawardiaini program Studi Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun

14

2009, yang berjudul Juz „Amma Dalam Sorotan Aam Amiruddin (Telaah

Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an). Skripsi ini berisikan tentang tinjauan

terhadap metode tafsir al-Qur‟an kontemporer serta pandangan Aam

Amiruddin terhadap al-Qur‟an.

10. Skripsi karya Muhammad Indra Nazarudin Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin Dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tahun 2007 yang berjudul Kajian Tafsir Indonesia: Analisis Terhadap

Tafsir Tamsiyyat Al-Muslimīn Fī Tafsīr Kalām Rabb al-„Ālamīn karya k.h.

Ahmad Sanusi. Skripsi ini membahas tentang aspek-aspek teknis dan

metodologis tafsir Tamsiyyat al-Muslimīn.

11. Skripsi karya Abd Gofur Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Uin Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tahun 2006 yang berjudul Metode Tafsir Al-Hijri

(Kajian Analisis Tafsir Karya Didin Hafidhuddin). Skripsi ini membahas

tentang analisisnya mengenai karya tafsirnya Didin Hafidhuddin dalam tafsir

al-Hijri.

12. Skripsi karya Faisal Hilmi Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2015 yang

berjudul Metode dan Corak Tafsir Al-Aklīl Fi Ma‟ani Al-Tanzīl Karya KH.

Misbah bin Zainul Musthofa. Skripsi ini membahas tentang metode, corak

serta mazhab apa yang digunakan oleh KH. Mishbah bin Zainul dalam

kitabnya yakni Tafsir al-Aklīl fi Ma‟ani al-Tanzīl.

15

13. Jurnal Al-Ulum IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh karya Fauzi Saleh volume 12,

nomor 2 pada tahun 2012 yang berjudul Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh

berisikan tentang metode dan jenis tafsir karya-karya ulama Aceh.

14. Disertasi karya Syafruddin Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tahun 2008 yang berjudul Penafsiran Ayat

Aḥkām Al-Zuhailiy Dalam Al-Tafsīr Al-Munīr. Disertasi ini membahas

tentang penafsiran al-Zuhailiy terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan

hukum atau yang biasa disebut engan ayat aḥkām.

15. Tesis karya Fathulah Munadi Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2009 yang berjudul Syekh Muhammad

Arsyad Al-Banjari Dalam Konteks Kajian Al-Qur‟an Di Nusantara. tesis ini

berisikan analisisnya mengenai Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam

kajian al-Qur‟an di Nusantara.

16. Tesis karya Chairil Anwar Yang Program Pascasarjana Universitas Islam

Negeri Alauddin Makassar pada tahun 2008 yang berjudul Pemikiran M.

Quraish Shihab Dalam Penafsiran Al-Qur‟an (Telaah atas Metodologi Tafsir

Al-Qur‟an Al-Karim. Tesis ini membahas analisisnya tentang penafsiran

Quraish Shihab dalam karyanya yaitu Tafsir Al-Qur‟an Al-Karim.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan (library research) yaitu mengumpulkan informasi dari buku-buku

16

rujukan serta mengkaji bahan-bahan tersebut, wawancara dengan sumber langsung

yakni M. Yunan Yusuf dan terutama mengandalkan tafsir M. Yunan Yusuf sebagai

sumber primernya, yakni kitab Tafsir Juz „Amma As Sirāju „l Wahhāj.

Penulis akan meneliti data-data yang bersumber dari literatur yang berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti yaitu Tafsir dan terjemah, literatur tafsir Indonesia,

lebih dikerucutkan lagi yakni metodologi dan corak tafsir pada kitab Tafsir Juz

„Amma As Sirāju „l Wahhāj karya M. Yunan Yusuf.

2. Sumber data

Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber

yang berupa buku-buku seputar tafsir, sejarah perkembangan tafsir di Indonesia, dan

juga penulis akan merujuk pada kitab-kitab tafsir yang lain, terutama buku yang

membahas tentang metodologi tafsir, tafsir di Indonesia dan tafsir tematik sebagai

pelengkap atas kajian studi kasus pada kitab Tafsir Juz „Amma As Sirāju „l Wahhāj

karya M. Yunan Yusuf.

Sumber tersebut dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Sumber data primer dengan menggunakan tafsir M. Yunan Yusuf.

b) Sumber data sekunder, literatur yang berkaitan dengan metodologi

tafsir, literatur tafsir tematik secara khusus dan literatur tafsir Indonesia lainnya,

jurnal serta artikel yang berkaitan dengan penelitian dan dapat

dipertanggungjawabkan kebenaran datanya.

3. Metode pembahasan

Adapun metode yang digunakan dalam skripsi kali ini bersifat deskriptif

analisis, yaitu suatu pendekatan melalui pengumpulan data dan pendapat para ahli

17

ilmuan yang disajikan bersesuaian dengan datanya, kemudian ditelaah dan dianalisa

sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan.

4. Metode penulisan

Dalam menulis penelitian ini, penulis mengacu kepada pedoman penulisan

skripsi.33

F. Sistematika penulisan

Rancangan sistematika panulisan dari kajian ini akan diuraikan dalam 5 bab,

sebagaimana tertera dibawah ini:

Bab I, pendahuluan berisi tentang alasan mengapa penelitian ini penting untuk

dilakukan dari penelitian terdahulu mengenai kajian tafsir Indonesia; permasalahan

yang menjadi konsen untuk dijawab dikesimpulan; tujuan dan manfa‟at penelitian,

metode penelitian dan rancangan sistematika penulisan skripsi.

Bab II, tentang tinjauan tafsir Indonesia. Yang mana penulis akan

menghadirkan beberapa karya dalam tafsir Nusantara serta karakteristik tafsir

Nusantara.

Bab III. Mengenal lebih dekat M. Yunan Yusuf. Bab ini berisi tentang

pengenalan terhadap M. Yunan Yusuf biografi singkat yang mana didalamnya

berisikan latar belakang keluarga dan latar belakang pendidikan.

Bab IV, bab ini akan menjelaskan kajian khusus Tafsir As Sirāju „l Wahhāj

karya M. Yunan Yusuf yang mana berisi tentang deskripsi filologi kitab Tafsir Juz

„Amma As-Sirāju „l Wahhāj, latar belakang penulisan tafsir, sistematika penulisan,

33 Hamid Nasuhi, dkk. “Pedoman Penulisan Skripsi” dalam Pedoman Akademik 2010/2011,

(Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 350-404.

18

metode penafsiran, sumber penafsiran, corak penafsiran dan kelebihan kekurangan

dalam tafsir tersebut kemudian disertakan juga komentar para tokoh tentang M.

Yunan Yusuf.

Bab V penutup. Bab ini berisi kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka dan

lampiran-lampiran. Bab ini ingin memberikan jawaban atas permasalahan yang

diajukan pada bab I.

.

19

BAB II

TINJAUAN UMUM TAFSIR NUSANTARA

Dalam penulisan tafsir al-Qur‟an, bukti paling awal di Nusantara baru tampak

setelah lebih dari 300 tahun sejak komunitas muslim Nusantara itu mulai

mewujudkan dirinya dalam kekuasaan politik,1 Bersamaan dengan proses awal

masuknya Islam di Nusantara tersebut, kitab suci al-Qur‟an diperkenalkan para

penjuru dakwah kepada penduduk pribumi di Nusantara. Pengenalan awal terhadap

al-Qur‟an itu, bagi penyebar Islam tentu suatu hal yang penting karena al-Qur‟an

adalah kitab suci agama Islam yang diimani sebagai pedoman hidup bagi orang yang

telah memeluk agama Islam.

Sekedar untuk menunjukkan, bahwa sejak semula umat Islam di Indonesia

mempunyai perhatian besar terhadap al-Qur‟an yang baik, sesuai ilmu tajwid, hingga

kajian-kajian mendalam mengenai kandungan al-Qur‟an.2

Dalam khazanah tafsir di Asia Tenggara, terjemahan tokoh-tokoh muslim

Indonesia menempati kedudukan penting. Hamzah Fansuri lahir pada periode al-

Qur‟an dalam bahasa melayu abad XIV, Syamsuddin Sumatrani, Nur Al-Din Al-

Raniri (w. 1658), Abd Al-Rauf Al-Sinkili (1615-1693), Muhammad Yusuf Al-

Maqqassari (1627-1699),3 Syekh Abd Rauf Singkel dikenal sebagai ulama pelopor

4

1 Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Quran Nusantara Tempo Doeloe. (Jakarta: Ushul Press, 2009).

cetakan I, h 57. 2 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutika Hingga Ideologi

(Yogyakarta: LKiS, 2013), h. 32. 3 Nurdinah Muhammad, “Karakteristik Jaringan Ulama Nusantara Menurut Pemikiran

Azyumardi Azra,” Fakultas Ushuluddin IAIN ar-Raniry, Jurnal Subastantia, 2012, vol.14 no.1 h.74.

20

dengan kitabnya Tarjuman al-Mustafid merupakan tafsir al-Qur‟an yang pertama

ditulis dengan berbahasa melayu pada abad ke-17.5 Kemudian Syaikh Nawawy Al-

Bantany menulis tafsir Marah Labid di Makkah pada akhir abad ke-19,6 adalah di

antara tokoh penting yang berperan dalam tradisi penulisan karya-karya keislaman di

Nusantara dalam bidang-bidang keilmuan yang cukup beragam7 begitulah sampai

pada masa modern. Awal abad ke-20 Mahmud Yunus menulis tafsir berbahasa

Melayu-Indonesia yang pertama, selanjutnya banyak banyak juga para ulama lain

yang menafsirkan al-Qur‟an seperti diantaranya Buya Hamka dengan karyanya yang

terkenal yakni tafsir al-Azhar dan tafsir karya M. Quraish Shihab dengan kitabnya

tafsir al-Mishbah.

Kelahiran dan perkembangan ilmu tafsir di Nusantara dapat dilihat dari dua

aspek, yaitu aktivitas pengajian dan penulisannya. sejarah perkembangan ilmu tafsir

di Nusantara telah dirintis oleh seorang ulama bernama Abdul Rauf al-Fansuri

melalui karya beliau yang terkenal berjudul Tarjuman al-Mustafid.8

4 Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia (Tangerang Selatan: Mazhab Ciputat, 2013) cet II,

h.iii. 5 Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian Atas Tafsir Karya Nusantara.

(Tangerang: Sintesis, 2012) cetakan II, h. 5. 6 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. vii.

7 Islah Gusmian, “Bahasa Dan Aksara Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia Dari Tradisi, Hierarki

Hingga Kepentingan Pembaca,” Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Surakarta,

2010, vol. 6, no.1 h. 4. 8 Mustaffa bin Abdullah dan Abdul Mamam Syafi‟i, Khazanah Tafsir Di Nusantara

Penelitian Terhadap Tokoh dan Karyanya di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura dan Thailand,

jurn Kontekstualita, 2009 vol. 25, no. 1, h. 31.

21

A. Karya-karya Tafsir Nusantara

Upaya kajian terhadap al-Qur‟an dalam bentuk penafsiran sebenarnya sudah

terjadi sejak lama, karena bagaimanapun memahami pesan-pesan al-Qur‟an menjadi

hal yang niscaya. Penulisan tafsir al-Qur‟an di Nusantara sudah terjadi sejak abad ke-

16. Buktinya telah ditemukan kitab Tafsir surat al-Kahfi [18]: 9 yang ditulis pada

masa-masa itu, meskipun belum diketahui siapa penulis dari kitab tersebut.9 Karya-

karya tafsir di Nusantara pada periode abad ke-17 M ditulis dalam bahasa Melayu

berhuruf Arab (Jawi). Hal ini dimungkinkan terjadi, karena berdasarkan lacakan

Anthony H. Johns, seperti telah dikutip di depan, pada akhir abad ke-16 M telah

terjadi pembahasalokalan Islam di berbagai wilayah Nusantara, seperti tampak pada

penggunaan aksara (script) Arab yang kemudian disebut dengan aksara Jawi dan

pegon.10

Hampir semua pengkaji sejarah al-Qur‟an dan tafsir di Indonesia sepakat

menjadikan „Abd Al-Ra‟uf Singkili sebagai perintis pertama tafsir di Indonesia,

bahkan di dunia Melayu.11

Penafsiran lengkap pertama di Indonesia ditulis oleh

Abdur Ra‟uf al-Singkili berjudul Tarjuman Al-Mustafid. Abdur Ra‟uf lahir sekitar

1615 M dan namanya mengindikasikan keluarganya hidup di Sinkil kepulauan

Sumatera yang saat ini dikenal sebagai bagian dari wilayah Aceh. Beliau

menghabiskan sekitar 19 tahun belajar tafsir, fiqh, dan ilmu-ilmu keIslaman di Arabia

9 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga

Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014) cet I, h. 61. 10

Anthony Johns, “The Qur‟an In The Malay World: Reflection On `Abd Al-Rauf Of Sinkel

(1615-1693)”, Al-Jami‟ah Journal of Islamic Studies 9:2 (1998), h. 121. 11

Faried F. Senong, “Al-Qur‟an, Modernism Dan Tradisionalisme: Ideologisasi Sejarah

Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia”, Jurnal Studi Al-Qur‟an, Ciputat, 2006 vol. I, no. 3, h. 511.

22

antara tahun 1640-an dan kembali ke Aceh sekitar tahun 1661 M. Kemudian 32 tahun

sisa hidupnya dihabiskan untuk menulis berbagai karya ke Islaman seperti fiqh, tafsir

dan tasawuf. Diantara karya kesusastraannya selama periode ini adalah Tarjuman al-

Mustafid.12

Karakteristik yang dimiliki tafsir Tarjuman al-Mustafid ini dilihat dari segi

metode dan tehnik penafsiran, Abdur Ra‟uf tampaknya hanya menerjemahkan secara

harfiah ayat-ayat al-Qur‟an. Kenyataannya tetap bahwa terjemahannya dari bahasa

Arab, sebagaimana tampak dalam kitab Tarjuman, sangatlah literal. Dia sering kali

menggunakan sebuah teknik-apa yang Riddell sebut kesesuaian kata per kata antara

bahasa Arab dan Melayu (word for word correspondence between the Arabic and

malay) dan kurang memperhatikan bentuk-bentuk sintaks kesusastraan Melayu.13

Akibatnya, kata Riddell, hasil produksinya secara virtual adalah teks bahasa Arab,

namun dengan kata-kata Melayu.14

Mengamati berbagai katalog manuskrip berbahasa Arab terungkap bahwa al-

Jalalayn menjadi sumber utama kajian tafsir yang popular di berbagai pusat kajian

Islam di Arabia dan kemudian di kawasan Nusantara. Popularitasnya terletak pada

12

Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qur‟ān Nusantara Tempo Doeloe, h. 27-28. 13

Ervan Nurtawab, Tafsir Al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe, h. 99.

Untuk karya yang disebut terakhir ini, dia pada dasarnya mengulas sejarah intelektuak

keIslaman di Asia Tenggara dalam bentangan waktu yang panjang, yaitu dari awal abad ke-16 M

hingga akhir abad ke-20 M. beberapa pembahasan mengenai tradisi terjemah dan tafsir al-Qur‟an

dimasukkan. 14

Riddell sering kali menyatakan bahwa penggunaan bahasa Melayu dalam kitab Tarjumān

ini utamanya dipengaruhi oleh tata bahas Arab. Namun, ini adalah salah satu karakteristik umum

bahasa melayu pada fase awal perkembangannya. Meski bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa

pemerintah pada abad ke-17 M, ia berada dalam evolusi awalnya yang diadopsi dari otografi bahasa

Arab. Lebih lanjut lihat W.G. Shellabear, “the evolution of Malay Spelling”, Journal of the Straits

Branch of the Royal Asiatic Society 36 (juli 1901), h.78.

23

susunanya yang relative teratur dengan metode yang ringkas dalam penafsirannya.

Tafsirnya disusun dalam level yang dapat dicapai oleh sebagian masyarakat.15

Tidak

ada usahanya untuk menjelaskan kandungan ayat yang sedang diterjemahkan dengan

memakai ayat-ayat seide tidak juga dengan hadis nabi, riwayat sahabat, apalagi

dengan kisah israiliyat.16

Pada abad 19 M ini ada pula literatur tafsir utuh yang ditulis oleh ulama Islam

Indonesia, Imam Nawawi Al-Bantani (1813-1879) yaitu Tafsir Munīr li Ma‟ālim al-

Tanzīl yang lebih dikenal dengan tafsir Marah Labid. Namun tafsir yang

menggunakan bahasa arab sebagai bahasa pengantar ini, ditulis diluar Nusantara,

yaitu Makkah. Pada permulaan tahun 1880. Penulisannya selesai pada hari rabu, 5

Rabiul Akhir 1305 H atau 21 desember 1887.17

sebelumnya naskahnya disodorkan

kepada para ulama Makkah dan Madinah untuk teliti, lalu naskahnya di cetak di negri

itu.18

Atas kecemerlangannya dalam manulis tafsir itu, oleh ulama Mesir, Imam

Nawawi diberi gelar ”sayyid ulama al-hijaz” (pemimpin ulama Hijaz).19

Mengenai penulisan tafsirnya ini Syaikh Nawawi, dengan kerendahan hati

(tawadhu), menyebut dirinya sebagai “ahqarul wara” dan menyatakan bahwa

sebagian sahabatnya meminta pendapatnya agar menulis sebuah tafsir al-Qur‟an.

15

Ervan Nur Tawab, Tafsir Al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe, h.64. 16

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h.21. 17

Islah Gusmian,“Bahasa Dan Aksara Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia Dari Tradisi, Herarki

Hingga Kepentingan Pembaca” Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Surakarta, 2010. Vol. 6,

no. 1, h. 12-13.

18

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideology.

(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2013). Cet I, h.45 19

Moc. Nur Ichwan, “Literatur Tafsir Qur‟an Melayu-Jawi Di Indonesia: Relasi Kuasa,

Pergeseran, dan Kematian dalam visi Islam,” jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, volume 1, no. 1 (Januari

2002): h. 15.

24

Permintaan tersebut menjadi bahan pemikirannya dalam tempo waktu yang cukup

lama, karena ia merasa khawatir jangan sampai termasuk orang yang menafsirkan al-

Qur‟an menurut pendapat dan pemikirannya sendiri.20

Metode dan sistematika pada penulisan ini selain diadakan penelitian dari

beberapa metode tafsir yang ada dengan mengacu pada pendapat al-Farmawi yang

membagi metode penafsiran al-Qur‟an pada empat macam: tahlili, ijmali, muqarran

dan maudhu‟i, Marah Labid merupakan model tafsir al-tahlīli. Seperti kitab tafsir

standar lainnya, ia ditulis untuk menjelaskan makna al-Qur‟an menurut susunan buku

ayat dan surat, dari al-Fatihah sampai al-Nas. Penjelasan ayat disusun dengan

analisis gramatika, hadis nabi, asbab al-nuzul, dan pendapat sahabat serta para

penafsir terdahulu, juga ulama mujtahidin. Dalam menafsirkan ayat, Nawawi

biasanya menggunakan teknik eksegetik berikut: penjelasan kata atau frase (glos),

identifikasi dan perifrase. Ia menggunakan pendekatan ini bukan saja untuk

menjelaskan makna ayat yang menekankan pelajaran yang didukungnya, tetapi untuk

mengungkap koherensi esensial ayat al-Qur‟an (nazm al-ayat) dan memastikan setiap

kekosongan potensial diisi dengan makna implicit.21

Dalam rentang waktu abad-20, tafsir Qur‟an pertama yang terbit adalah tafsir

Qur‟an karim bahasa Indonesia, ditulis oleh Muhammad Yunus.22

Tafsir kontemporer

mulai muncul berkenaan dengan istilah pembaharuan yang sangat gencar

20

Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama Nusantara, h.

50. 21

Endad Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama Nusantara,

h.52. 22

Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ān Di Indonesia Abad Keduapuluh. Jurnal

Ulumul Qur‟an, no.4 Vol. III, LSAF. 1992.

25

dipopulerkan oleh beberapa ulama yang menginginkan Islam sebagai agama yang

sudah sejak 14 abad silam. Pemahaman al-Qur‟an yang terkesan “jalan ditempat”23

ini sungguh menghilangkan ciri khas al-Qur‟an sebagai kitab yang sangat sempurna

dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern.24

Pada tahun 1938, Mahmud Yunus menerbitkan tarjamah al-Qur‟an al-karim,

yang telah dimulai pada tahun 1924. Ini merupakan karya pertama yang dapat diakses

dalam bahasa Melayu untuk keseluruhan ayat al-Qur‟an sejak karya „Abd Ra‟uf

Tarjuman al-mustafid yang muncul sekitar tiga abad sebelumnya.25

Latar belakang

penulisan tafsir ini berawal pada tahun 1922 di Indonesia ia mulai menerjemahkan al-

Qur‟an dan diterbitkan tiga juz dengan huruf Arab-Melayu untuk memberi

pemahaman bagi masyarakat yang belum begitu faham bahasa Arab. Akan tetapi

pada waktu tersebut umumnya ulama Islam mengatakan haram menterjemahkan al-

Qur‟an dan ia tidak mendengarkan bantahan itu. Kemudian usahanya itu berhenti,

karena ia ingin meneruskan studinya ke Mesir. Sepulang menuntut ilmu, tepatnya

pada bulan Ramadhan tahun 1354 H (Desember 1935), ia mulai kembali

menterjemahkan serta tafsir ayat-ayat penting yang diberi nama “Tafsir al-Quran al-

Karīm”. Berkat pertolongan Allah akhirnya pada bulan April 1938 tamatlah ia

menterjemahkan dan mentafsirkan al-Qur‟an sampai tiga puluh juz.

23

Muhammad Amin, Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat.

Jurnal Substantia V. 15, No. 1, pril 2013, h.3. Lihat juga Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, edisi

kedua (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006). h 6. 24

Muhammad Sayyid Thanthawi, Mabahits Fi „Ulum Al-Qur‟ān (Kairo: Azhar Press, 2003),

h 12. 25

Anthony H. Jons, “Tafsir Al-Qur‟an Di Dunia Indonesia-Melayu,”, Jurnal Studi Al-Qur‟an,

(Ciputat, 2006): vol. I, no. 3, h.481.

26

Metode yang digunakan pada tafsir al-Qur‟an al-karīm Mahmud Yunus ini

menunjuk pada metode tahlili,26

suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan

kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh aspeknya yang runtut dari awal sampai

akhir mushaf.

Dalam menafsirkan al-Qur‟an para ulama tafsir mempergunakan berbagai

metode tahlili, ijmali, muqarān, dan maudhu‟i. untuk menafsirkan al-Qur‟an, Yunus

menempuh metode ijmali, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an secara singkat mulai

dari surat pertma (al-Fatihah) sampai surat terakhir (al-Nās), berdasarkan susunan

mushaf utsmani. Dalam tafsirnya tersebut Yunus hanya menjelaskan pokok-pokok

kandungan ayat. Dari ayat sekian sampai ayat selanjutnya, kurang lebih 1 sampai 3

ayat dalam satu penjelasan (tafsirnya).27

Sesudah tafsir Qur‟an karim bahasa Indonesia oleh Mahmud Yunus,

dijumpai pula tafsir al-Qur‟an yang ditulis oleh salah satu dari beberapa karya tafsir

berbahasa Jawa dan cukup fenomenal yakni al-Ibriz Li Ma‟rifah Tafsīr al-Qur‟ān al-

„Aziz karya Bisri Musthofa. Seorang ulama karismatis asal Rembang Jawa Tengah.

Bisri Musthofa, nama kecilnya mashadi, dilahirkan di Kampung Sawahan Gang

Pelen, pada tahun 1915 M di Rembang Jawa Tengan dan wafat pada 16 Safar

1397/24 Februari 1977.

26

Metode tafsir tahlili lebih popular tafsir tahlili sahaja adalah tafsir sejenis tafsir yang

berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Qur‟ān dari bebagai seginya secara meluas, berdasarkan urutan

ayat-ayat atau surat sebagaimana tersusun pada mushaf. Metode penafsirannya menonjolkan analitis

terhadap lafaz-lafaz, sebab-sebab turun, hadis yang berhubungan dan pendapat-pendapat para mufassir

terdahulu. 27

Endad Musaddad, STUDI TAFSIR DI INDONESIA Kajian atas Tafsir Karya Ulama

Nusantara, h. 92.

27

Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur,

karya tafsir Bisri Musthofa ini sama sekali tidak asing. Karya ini lumrah dikaji oleh

para santri sejak kemunculannya hingga kini. Karya ini memang ditunjukkan oleh

para santri pesantren. Sehingga, tidak aneh jika karya ini dikenal sangat luas

dikalangan pesantren dan tidak diluar pesantren. Kemudian dengan penggunaan

bahasa Jawa yang sangat kental, karya ini menjadi kian akrab dengan suasana

pesantren di Jawa. Tafsir al-Ibriz menurut kitab kamus bahasa Arab terkemuka,

berasal dari kata Yunani yang berarti emas murni. Dari segi judul, bisa jadi ia

terilhami kitab manaqib klasik al-Ibriz, yang ditulis sufi besar asal Maroko yang

hidup di abad ke-18, Syaikh Abdul Aziz al-Dabbagh.28

Metode dalam tafsir al-Ibriz ini adalah metode tahlili, hal ini dapat kita lihat

ketika Bisri Musthafa mengungkapkan keseluruhan ayat al-Qur‟an sesuai dengan

mushaf „Utsmani. Penafsiran ini menggunakan kalimat yang praktis dan mudah

dipahami tanpa berbelit-belit. Kemudian sistematika yang ia pake dalam memetakan

sistematika penulisan tafsir al-Ibriz yakni: Ayat al-Qur‟an ditulis ditengah dengan

diberi makna gundul.29

Terjemahan tafsir ditulis di bagian pinggir dengan memakai

nomor, nomor ayat berada di akhir disebuah kalimat sedangkan nomor tarjamah

berada di awal.30

Kemudian keterangan-keterangan lain yang terkait dengan

28 Mafri Amir, Literatur TAFSIR INDONESIA (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013) cet II, h.

147-149.

29 Makna gundul adalah metode pemberian makna dengan memakai huruf pegon dan ditulis

secara miring dibawah sebuah lafal atau kata yang diberi makna, yang dalam hal ini adalah ayat al-

Qur‟an.

30

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 147-149.

28

penafsiran ayat dimasukkan dalam sub kategori tanbih, faidah, muhimmah, dan lain-

lain.31

Kemudian muncul lagi ulama pejuang yang berhasil menjadi peletak dasar

kebangkitan komunitas Islam modern atau kaum gedongan yaitu H. Abdul Karim

Malik Amarullah (Hamka) nama ini adalah nama sesudah ia menunaikan ibadah haji

pada 1927 dan mendapatkan tambahan haji,32

lahir di Sungai Batang, Maninjau

(Sumatera Barat) pada hari Ahad, tanggal 16 Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H

dari kalangan keluarga yang taat beragama, gelar buya diberikan kepadanya, sebuah

panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi atau abuya yang dalam

bahasa Arab berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.33

Buya Hamka banyak menulis tulisan baik dalam bentuk sastra, maupun

tulisan-tulisan tentang ke Islaman.34

Salah satunya Tafsir al-Azhar karya Hamka ini

merupakan karya monumentalnya sendiri. Lewat tafsir ini Hamka

mendemonstrasikan keluasan pengetahuannya35

hampir disemua disiplin yang

tercakup oleh bidang agama Islam.36

Hamka berusaha menampilkan tafsirnya dengan

bahasa yang mudah dan lugas. Ia mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dari

31

Bisri Musthafa, Al-Ibriz Li Ma‟rifati Tafsiril Qur‟an (Rembang: Menara kudus, 1959) h.2. 32

Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h.170. 33

M. Hafidz Siddiq, Skripsi Tafsir Al-Qur‟ān Ke Indonesiaan (Studi Komparasi Pemikiran

Tafsir Perspektif Buya Hamka dan M. Quraish Shihab). S1 Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah,

Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2013. 34

Faisal Hilmi, “Metode Dan Corak Tafsir al-Iklīl fi Ma‟ani al-Tanzīl Karya KH. Misbah bin

Zainul Musthofa”, (Skripsi S1 Program Studi Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h.51.

35

Endan Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama Nusantara.

(Tangerang: Sintesis, 2012) cet II, h.121. 36

Yunan Yusuf, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ān Di Indonesia Abad XX, dalam Jurnal Ulumul

Qur‟an (Jakarta: LSAF, 1992), h.56.

29

beberapa aspek dengan menggunakan pembahasan yang relatif tidak terlalu panjang

lebar, tetapi juga tidak terlalu pendek. Dengan kata lain ia berusaha menghidangkan

sebuah hidangan karya tafsir yang cukup dan sesuai dengan selera pembacannya.

Sumber penafsiran yang digunakan oleh buya Hamka dalam menafsirkan al-

Qur‟an adalah penafsiran ayat dengan ayat yang lain, juga ayat dengan hadis (tafsir bi

al-ma‟tsur). Disamping itu buya Hamka juga menggunakan sejarah, antropologi, dan

sosiologi sebagai sumber penafsiran untuk memperkaya tafsirnya.37

Gaya dan

kecendrungan tafsir seperti itu oleh para ahli tafsir, disebut dengan tafsir al-adāb al-

ijtima‟i.38

Adapun sistematika yang ditempuh Hamka dalam tafsirnya antara lain:

pertama, menyebut nama surat berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia, nomor

urut surat dalam susunan mushaf, jumlah ayat dan tempat diturunkannya surat.

Kedua, mengelompokkan ayat-ayat dalam satu surat menjadi beberapa kelompok

sesuai tuntunan sub tema dari keseluruhan tema surat. Sistematika penyusunan

semacam ini bisa kita bandingkan dengan tafsir departemen agama, al-Maraghi atau

tafsir al-Nur dan al-Misbah. Ketiga, memberi pendahuluan atau pengantar sebelum

masuk pada ayat-ayat yang sudah dipenggal dalam satu kelompok ayat. Pengantar ini

37

Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz ke-1, cet ke-1 (Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), h.42. 38

Adabi al-ijtima‟l terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima‟i adalah secara harfiah

al-adabi bermaknaa sastra dan kesopanan sedangkan al-ijtima‟i bermakna sosoial. Dengan corak ini

mufassir mengungkap keindahan dan keagungan al-Qur‟an yang meliputi aspek balaghoh, mukjizat,

makna dan tujuannya. Muffasir berusaha menjelaskan Sunnah yang terdapat pada alam dan sistem

social yang terdapat dalam al-Qur‟an. Dia berusaha memberikan dan memecahkan persoalan

kemanusiaan pada umumnya dan umat Islam khususnya, sesuai dengan petunjuk al-Qur‟an yang

dipahaminya.

30

adakalanya didahului dengan mengutip suatu riwayat tentang surat yang akan

ditafsirkan yaitu berupa asbāb al-Nuzūl turunnya suatu surat atau ayat.39

Selanjutnya pada titik ini, yakni Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab pun

mengalami hal yang sama. Bahwasannya tafsir itu sangat dipengaruhi oleh kondisi di

mana mufassir itu hidup. Baik kondisi masyarakatnya, relasi dan jaringan ulama.

Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 februari 1944/21

safar 1363 H. Quraish Shihab adalah seorang cendikiawan muslim dalam ilmu-ilmu

al-Qur‟an. Ayahnya Prof. Dr. Abdurrahman Shihab, seorang penggagas sekaligus

pendiri Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.40

Muhammad Quraish

Shihab ini sudah banyak mengarang buku, satu diantara karyanya yang monumental

adalah tafsir al-Misbah, tafsir ini diberi nama al-Misbah oleh dia sendiri. Dari segi

penamaannya, al-Mishbah berarti “lampu, pelita, atau lentera” yang mengindikasikan

makna kehidupan dan berbagai persoalan umat diterangi oleh cahaya al-Qur‟an.41

Penulisnya menceritakan al-Qur‟an agar semakin „membumi‟ dan mudah dipahami

oleh pembacanya.

Tafsir yang terdiri dari 15 volume besar ini menafsirkan al-Qur‟an secara

tahlili, yaitu menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam setiap

surat. Penekanan dalam uraian-uraian tafsir itu adalah pada pengertian kosakata dan

ungkapan-ungkapan al-Qur‟an dengan merujuk kepada pandangan pakar bahasa dan

39

Endan Musaddad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian atas Tafsir Karya Ulama Nusantara,

h.124. 40

Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, h.169. 41

Mafri Amir, Literature Tafsir Indonesia, h.273.

31

ulama tafsir, kemudian memperhatikan bagaimana kosa kata atau ungkapan itu

digunakan oleh al-Qur‟an.

Kitab tafsir yang berjumlah lima belas jilid ini mempunyai corak penafsiran

al-Adabi al-Ijtima‟i. bisa juga dikatakan bahwasannya tafsir ini memiliki

kecendrungan lughawi. Hal ini didasarkan kepada banyaknya pembahasan tentang

kata. Apalagi terhadap kata atau ungkapan yang selama ini disalahpahami oleh

sebagian pembaca. Karena tujuan penafsiran adalah untuk meluruskan kekeliriuan

masyarakat terhadap al-Qur‟an.42

Selain itu, penafsiran yang dilakukan oleh Quraish

Shihab ini juga berdasar pada pemikirannya. Maka menurut penulis bahwa tafsir al-

Mishbah ini merupakan karya tafsir bil ra‟yi.43

B. Karakteristik Tafsir Nusantara

Dalam perspektif metodologis, tafsir Nusantara dilacak mengukur metode dan

corek penafsirannya. Adapun yang dimaksud ialah metode tafsir tahlīli (analisa),

ijmāli (global), muqāran (komparasi) dan maudhū‟i (tematik).44

Sementara untuk

melacak perkembangan tafsir dalam dinamika perubahan waktu dapat dilihat dengan

pendekatan sejarah.

42

Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah (Hunafa:

Jurnal Studia Islamika), vol.11, No. 1, Juni 2014: 109-126. 43

Tafsir bil ra‟yi adalah metodologi bayan al-Qur‟ān berdasarkan rasionalitas pikiran (al-

ra‟yu), dan pengetahuan empiric (ad-dirayah). Tafsir jenis ini mengandalkan kemampuan “ijtihad”

seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat (ar-riwayat). Disamping

aspek itu, kemampuan tete bahasa, retorika, etimologi, konsep yurispru densi, dan pengetahuan tentang

hal-hal yang berkaitan dengan wahyu dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir

juga sangat memperngaruhi penafsirannya. 44

Fauzi Saleh, “Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Al-Ulum, 2012).

Vol 12, No.2, h. 381.

32

Jika diamati dengan seksama tafsir al-Qur‟an yang diterapkan oleh para

ulama, belum mengacu pada bentuk yang baku secara ketat, dari sudut dan coraknya

dapat dikatakan bersifat umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak didominasi

oleh satu warna atau pemikiran tertentu, tetapi menjelaskan ayat-ayat yang

dibutuhkan secara umum dam proporsional, misalnya ayat-ayat tentang hukum-

hukum fiqih dijelaskan jika terjadi kasus-kasus fiqhiyah seperti salat, zakat dan puasa.

Begitu pula ayat mu‟amalah, misalnya jual beli, ditafsirkan pada saat berlangsung

transaksi jual beli sesuai dengan aturan-aturan muamalah. Ayat tentang perkawinan

ditafsirkan ketika terjadi akad nikah.

Dengan demikian, corak penafsiran yang diberikan menjadi umum dan

proporsional. hal ini sangat logis karena para ulama waktu itu tidak bertujuan

menyampaikan tafsir al-Qur‟an secara khusus dan simultan, tetapi yang menjadi

tujuan utama mereka ialah menyampaikan ajaran Islam secara utuh dalam satu paket,

baik tafsir, teologi, fiqih, maupun tasawuf. jadi pada hakikatnya tafsir al-Qur‟an

klasik ini menganut corak umum tidak mengacu pada satu corak tertentu.

Mengenai bahasa yang digunakan pada tafsir Nusantara dapat dilihat melalui

gambaran sebuah penafsiran al-Qur‟an dalam masyarakat Jawa, Sunda dan Melayu

saat itu sudah melewati proses transmisi yang amat panjang. Dominasi ideologis yang

muncul akan berbeda antara satu teks dengan teks yang lain. Perbedaan ini karna

adanya dominasi salah satu dari empat factor yang tidak sama, anara lain: pertama,

kualitas dan kuantitas ilmu keIslaman yang diserap; kedua, arabisasi; ketiga, kualitas

struktur teks dan masyarakat yang telah menafsirkan al-Qur‟an terlebih dahulu; dan

keempat, kemapanan struktur teks dan masyarakat yang bersangkutan.

33

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa proses penafsiran al-Qur‟an yang terjadi

pada suatu kultur akan menghasilkan setidaknya tiga corak penafsiran yang berbeda

seiring dengan perbedaan kultur historis dan sosiologisnya ketika mencoba

memahami al-Qur‟an. Ketiga corak tersebut antara lain: pertama, penafsiran dan jenis

teks tafsir yang dihasilkan sesuai dengan tafsiran dalam struktur budaya dan bahasa

pada kultur asal. Misalnya: Marāh Labid karya imam Nawawi al-Bantanī. Kedua,

penafsiran dan jenis tafsir yang dihasilkan mengalami penyesuaian dengan struktur

teks dan budaya masyarakat lokal. Hal ini terlihat dari usaha pengarang dalam

menggunakan bahasa lokal dalam memberi tafsiran dan tetap mencantumkan teks al-

Qur‟an yang asli. Ketiga, penafsiran dan jenis tafsir yang dihasilkan mengalami

proses lokalisasi secara signifikan.45

Seperti tafsir al-Qur‟an di Jawa dan Sunda yang

sering disebut dengan huruf jawi dan pegon kemudian model aksara ini terus

berusaha menjadi dominan dalam tradisi penulisan naskah-naskah keislaman,

khususnya naskah tafsir, yang berkembang di masyarakat Jawa dan Sunda, begitu

juga Melayu.46

Pada sebagian besar tafsir Jawa dan Sunda yang menggunakan pegon aksara

bahasa Jawa, dominasi struktur budaya dan bahasa Jawa jauh lebih mapan ketimbang

bahasa yang lain, terutama terhadap bahasa Sunda. Dari segi isi, kenyataan

menunjukkan bahwa dominsi ideologi bahasa akan tampak ketika penafsiran

dilakukan menggunakan bahasa tertentu. Hal ini menyebabkan terjadinya pergumulan

45

Ervan Nutawab, Tafsir Al-Qur‟ān NusantaraTempo Doeloe, h. 203-204 46

Ervan Nurtawab, “Melacak Tradisi Awal Penafsiran Al-Qur‟ān di Nusantara”, Jurnal

Lektur Kegamaan 4:2 (2006)

34

dua atau lebih ideologi ketika proses penafsiran itu dilakukan.47

Naskah-naskah

keislaman di jawa banyak ditulis berbahasa dan beraksara Jawa. Jarang sekali terlihat

penggunaan bahasa Arab dalam penulisan naskah keagamaan selain penulisan al-

Qur‟an, hal ini juga ditandai dengan berbagai kesalahan pengejaan istilah-istilah Arab

lantaran perbedaan dialek antar kedua bahasa tersebut.

Faktor-faktor di atas menguatkan bukti sangat kuatnya struktur bahasa dan

sastra Jawa jika dikaitkan dengan konversi Islam dan arabisasi terhadap budaya

sinkretis masyarakat Jawa itu. Penjelasan di atas membuktikan bahwasannya kultur

asal sangat mempengaruhi penafsiran al-Qur‟an di Nusantara. Mayoritas kalangan

modernis berargumen bahwa (sebagian besar) umat Islam tidak memahami pesan al-

Qur‟an yang sesungguhnya karenanya kehilangan sentuhan dengan inti pengetahuan,

semangat rasional dari teks.48

Adapun karakteristik yang menonjol yang membedakannya dari pemahaman

metodologi tafsir yang terdahulu adalah: pertama, metodologi tafsir pada saat ini

menjadikan al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk, atau meminjam istilah amīn khūllī (w.

1966 M), al-ihtidā‟ bi al-Qur‟ān.49

Hal ini tidak terlepas dari pengaruh Syaikh

Muḥammad „Abduh yang ingin mengembalikan fungsi al-Qur‟an sebagai kitab

petunjuk.50

Dan kedua adanya kecenderungan penafsir yang melihat kepada pesan

yang ada dibalik teks al-Qur‟an. Dengan kata lain metodologi tafsir pada saat ini

47

Ervan Nurtawab, “Tafsir Al-Qur‟ān NusantaraTempo Doeloe”. h. 179. 48

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur

Rahman (Ciputat: Sulthan Thaha Press, 2007), cetakan I, h.81. 49

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur

Rahman, h.81. 50

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur

Rahman, h.81.

35

tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh al-Qur‟an secara literal, tetapi

mencoba melihat lebih jauh sasaran yang ingin dicapai oleh ungkapan literal-literal

tersebut, dengan demikian apa yang ingin dicari adalah “ruh” atau pesan moral al-

Qur‟an.51

Dalam upaya mengembalikan al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk (hudan li al-

nās), para mufassir berpandangan bahwa al-Qur‟an adalah kitab suci yang tidak lagi

dipahami sebagai sesuatu yang mati, namun al-Qur‟an adalah kitab suci yang hidup.

Menurut para muslim sekarang ini, bahwa al-Qur‟an adalah kitab suci yang

kemunculannya tidak terlepas dari konteks kesejahteraan umat manusia. Al-Qur‟an

diturunkan bukan dalam hampa budaya, namun datang dan diturunkan dalam zaman

dan ruang yang sarat budaya.

Pada awal abad ke-20 M, kemudian bermunculan beragam literatur tafsir yang

mulai ditulis oleh kalangan Muslim Indonesia. Kita mengenal sederet nama, misalnya

Mahmud Yunus, A. Hassan, T.M. Hasbi Ashiddieqy, Hamka, Bisri Mustofa, sebagai

generasi selanjutnya yang masing-masing menulis tafsir genap 30 juz dengan model

penyajian runtut (tahlīlī) sesuai dengan urutan surah dalam mushaf utsmani.

Disamping itu banyak nama-nama lain yang menulis tafsir bukan dengan model

runtut, tetapi dengan model tematik. Yang terkini, kita mengenal sederet nama yang

menyusun tafsir, seperti Jalaluddin Rahmat, Syu‟bah Asa, Didin Hafiduddin, M.

Quraish Shihab dan yang lain.52

51

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur

Rahman, h.81. 52

Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir al-Qur‟an di Indonesia. Epirisma Vol. 24

No.1 Januari 2015, h.10.

36

Adapun metode penafsiran Al-Qur‟an pada masa sekarang ini menjadikan

problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang

muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai

dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar

belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti;

masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidakadilan, Hukum, Ekonomi,

Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan

yang lain.53

Sehingga dengan demikian metodologi tafsir saat ini adalah kajian

disekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.54

Dengan adanya kodifikasi al-Qur‟an maka teks kitab suci ini menjadi korpus

tertutup dan terbatas. Padahal, problem umat manusia begitu kompeks dan tidak

terbatas. Ini meniscayakan para mufassir untuk berusaha mengaktualkan dan

mengkontekstualisasikan pesan-pesan universal al-Qur‟an kedalam konteks particular

era kontemporer. Hal ini hanya dapat dilakukan jika al-Qur‟an ditafsirkan sesuai

53

Saifullah Munawir.BA, “Metodologi Tafsir Kontemporer (Tafsir sebagai solusi atas

problem social),” artikel diakses pada 25 Agustus 2016 dari http://miftahul-falah-miftahul-

falah.blogspot.com/2010/07/metodologi-tafsir-kontemporer-tafsir_12.html.

54

Istilah kontemporer berasal dari kata bahasa inggris contemporary yang berarti “sekarang;

modern” (Islah Gusmian, Paradigma Penelitian Tafsir al-Qur‟ān di Indonesia. Epirisma Vol. 24 No. 1

Januari 2015, h 10) sementara itu tidak ada kesepakatan yang jelas tentang cakupan istilah

kontemporer. Misalnya apakah istilah ini meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20

atau ke-21?. Namun demikian sebagian pakar berpendapat bahwa kontemporer identik dengan modern

dan keduanya digunakan secara bergantian (interchangeably). Dalam konteks peradaban Islam, kedua

istilah itu dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia muslim dengan barat, sebagaimana

tampak pada pemikiran al-thantawi (1817-1898) di India. (lihat Ahmad Syukri Saleh, Metodologi

Tafsir Al-Qur‟ān Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jakarta: Gaung Persada Press,

2007. cet I, h. 42.

37

dengan semangat zamannya, berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar

universal al-Qur‟an.55

Perkembangan tafsir pada masa kini tidak dapat begitu saja dilepaskan dengan

perkembangannya di masa modern. Paradigma tafsir kontemporer dapat diartikan

sebagai sebuah model atau cara pandang, totalitas premis-premis dan metodologis

yang dipergunakan dalam penafsiran al-Qur‟an di era kekinian. Meskipun masing-

masing paradigma tafsir memiliki keunikan dan karakteristiknya sendiri, namun ada

beberapa karakteristik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer, antara

lain ialah corak. Secara umum, dapat dikatakan tafsir di Indonesia banyak

terpengaruh oleh corak tafsir di Mesir. Yakni banyak yang memakai konsep tafsir

adabiy-ijtimāi (sastra kemasyarakatan). Pertama kali corak ini dipandang sebagai

corak tafsir kontemporer. Awal dari corak ini bisa dilihat dalam Tafsir al-Manār

karya Rasyid Ridha dan M. Abduh. Tafsir dengan metode ini digunakan agar al-

Qur‟an lebih dekat dengan masyarakat dan juga untuk menjawab problematika yang

mereka rasakan waktu itu. Pertama kali corak tafsir ini berkembang di Mesir. Paham

progresif dan modernis inilah yang kemudian muncul di Indonesia. Apalagi waktu itu

Indonesia pun sedang mengalami penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dan

Jepang dalam waktu hampir bersamaan. Maka paham progresif dan modernis ini

55

Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS Printing Cemerlang,

2011). h 55.

38

cepat menyebar di Indonesia. Adapun corak tafsir yang berkembang hingga saat ini

diantara corak sufi, falsafi, „llmī, al-adāb al-ijtima‟ī56

Adapun tafsir yang merujuk ulama salaf pertama tafsir berdasarkan riwayah,

yang biasa disebut tafsir bi al-ma`tsur, kedua, tafsir yang berdasarkan dirayah, yang

dikenal dengan tafsir bi al ra`y atau bi al ajtihadi, dan ketiga, tafsir yang berdasarkan

isyarat yang popular dengan nama tafsir al Isyri.57

Pada perkembangan dewasa ini, yang merujuk pada temuan ulama

kontemporer, yang dianut sebagian pakar al-Qur`ān misalnya al-Farmawi (di

Indonesia) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya –

adalah pemilahan metode tafsir al-Qur`an kepada empat metode Ijmali (Global),

Tahlili (Analis), Muqarin (Perbandingan), Maudlu`i (Tematik). Metode tafsir

bedasarkan riwayah, dirayah, dan Isyra`I, dikategorikan dalam metode klasik,

sedangkan empat metode yang berupa Ijmali, Tahlili, Muqarin, dan Maudlu`i,

ditambah satu metode lagi, yaitu metode kontekstual (menafsirkan al-Qur`an

berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat,

dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum

dan sesudah turunnya al-Qur`an) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.

Adanya pengklasifikasian metode tafsir ini tentunya tidak dimaksudkan untuk

mendekonstuksi atas yang favorit dan yang tidak favorit, tapi lebih titunjukan untuk

56

Fauzi Saleh, Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh. (Banda Aceh: Jurnal Al-Ulum, 2012). Vol

12, No.2, h. 381. Lihat juga Muhammad Husayn al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirūn, (Kairo:

Maktabah Wahbah, 2003), h. 10. 57

Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur

Rahman, h. 44-45.

39

mempermudah penelusuran sejarah tersebut, dan untuk melengkapi satu sama

lainnya.58

Dari empat macam tafsir yang telah disebutkan tadi bahwasannya karya-karya

tersebut lebih bersifat terjemahan daripada tafsir yang luas dan rinci, metode yang

digunakan dalam karya itu ialah metode global (ijmali). Namun pada ayat tertentu

yang dianggap penting, ada yang memberikan penafsiran agak rinci, seperti

penafsiran Mahmud Yunus beliau menerapkan pada sebagian besar ayat al-Qur‟an,

dan itu tentu saja akan masuk katagori tahlili dengan uraian yang cukup memadai dan

rinci. Yang dibahas tidak hanya masalah-masalah tarbiyah, akidah, akhlak dan

kandungan ayat lainnya, tetapi lebih dari itu ia menggunakan sejumlah perbedaan

pendapat, baik menyangkut redaksi (qira‟āt) ayat maupun kandungan maknanya.

Semua itu dijelaskan dengan argumen yang kuat, baik dari al-Qur‟an sendiri, hadis-

hadis nabi, maupun pendapat ulama.59

Kemudian tafsir al-Azhar karya Hamka,

Hamka memakai metode analitis sehingga peluang untuk mengemukakan tafsir yang

rinci dan memadai menjadi lebih besar.

Kiranya perlu dikemukakan bahwa urutan nominansi metode global, analitis,

perbandingan, tematik dan kontekstual, disini tidak berarti bahwa metode global lebih

awal munculnya atau unggul dibanding metode analisis atau perbandingan, tetapi

58

Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al Qur`an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur

Rahman, h. 46. 59

Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟ān di Indonesia (Solo: Tiga Serangkai

Pustaka Mandiri), h. 92.

40

lebih didasarkan pada realitas perkembangan terakhir penerapan metode-metode

tersebut.60

60

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur‟ān Kontemporer dalam Pandangan Fazlur

Rahman. (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007) cet I, h. 47.

41

BAB III

MENGENAL LEBIH DEKAT M. YUNAN YUSUF

A. Biografi Singkat

Muhammad Yunan Yusuf, lahir di pasar Sorkam Sibolga, Tapanuli Tengah,

Sumatera Utara, pada tanggal 19 Januari 1949, putra kedua dari empat bersaudara.

Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah (sore) pada

tahun 1963 di Sibolaga, ia meneruskan pendidikannya ke PGAP Muhammadiyah

Sibolaga, sampai tamat pada tahun 1967. Kemudian ia hijrah ke Padangpanjang,

Sumatera Barat, untuk meneruskan pelajaran pada Kullīyatul Muballighīn

Muhammadiyah, yang ia selesaikan pada tahun 1969 sekaligus mengikuti ujian

extraneri PGA Negeri Bukit Tinggi (ijazah, 1970).

1. Latar Belakang Keluarga

Ayahnya adalah M. Yusuf Tanjung dan ibunya Hj. Siti Hamiah, Kehidupan

berumah tangga dijalaninya bersama istri, Iriyanis Tanjung, BA, sejak tahun 1979.

Kini mereka telah dianugerahi empat orang putra-putri. Zuhairan Yunmi Yunan, SE,

M.Si, Zahraini Yumna Yunan, S. Psi., M. Psi., Zulfahmi Yasir Yunan, S. Sos.I, dan

Zuhdayanti Yufna Yunan, S. Ak., Andri Hutari dan Rahmi Kamelia Syahril, anak dan

menantu terkasih dan Faris Fatihin dan Mumtaz Muflihim, cucunya yang disayangi.

Mereka telah mengorbankan waktu untuk beroleh kesempatan berbagi rasa dan ceria

dengan Yunan, disebabkan tersita oleh penulisan tafsir ini.1

1 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran

Hamka Dalam Teolog Islam (Jakarta, Penamadani, 2004) cet. Ke-3, h. 238-240.

42

2. Latar Belakang Pendidikan

Pendidikan tinggi ia kecap pertama sekali sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu

Agama Jurusan Dakwah (FIAD) Universitas Muhammadiyah Padangpanjang dan

memperoleh gelar Bacholeh of Art (BA) dengan judul Al-Qur‟an al-Karīm A‟zhamu

Mu‟jizat li al-Nabī Muhammad Salla Allāh „alaihi wa Sallām pada tahun 1973.

Kemudian ia hijrah ke Jakarta, melanjutkan studi pada Fakultas Ushuluddin IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang berhasil diselesaikan pada tahun 1978 dengan

skripsi berjudul Aliran Kepercayaan Dan Islam: Sebuah Studi Perbandingan Tentang

Ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sejak tahun 1982, ia diangkat sebagai tenaga edukatif pada Fakultas

Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tahun 1984, ia mendapat

kesempatan tugas belajar program S2 yang diselsaikannya pada tahun 1986,

kemudian diteruskan ke program S3, Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta (selesai 1989).

Kegiatan penellitian dan ilmiah yang pernah diikuti antara lain adalah,

penelitian tentang agama dan perubahan social Badan Litbang Departemen Agama,

yang kemudian menghasilkan monografi, Sebuah Sketsa Tentang Efek Siaran TVRI

terhadap kesadaran beragama dikalangan pelajar PGA muhammadiyah Ciputat tahun

1979, penelitian kepustakaan dengan judul Hamka dan Ajaran Tasaufnya. Mengikuti

diskussi dan seminar ilmiah dan menyampaikan makalah dalam berbagai forum. Ia

juga aktif menulis di berbagai media, antara lain, Studia Islamika, Mimbar Agama

dan Budaya, Didaktika Islamika, Refleksi Dan Panji Masyarakat. Karya tulisnya

yang dipublikasikan adalah Cita dan Citra Muhammadiyah, Pustaka Panjimas,

43

Jakarta, 1985 (sebagai penghimpun bersama Syaiful Ridjal dan Anwar Abbas),

Kemuhammadiyahan Kajian Pengantar, Yayasan Pembaru, Jakarta, 1988 dan al-

Islami, Yayasan Perkasa, Jakarta 1988.2

Disamping sebagai dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, ia juga aktif memberikan kuliah pada Fakultas Pendidikan dan Ilmu

Pengetahuan Sosial, IKIP Muhammadiyah Jakarta; juga Fakultas Ushuluddin dan

Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Jakarta. Kini menjabat sebagai guru

besar sekaligus Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta.; Ketua

Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah; Ketua Umum Badan Musyawarah

Perguruan Tinggi Swasta (BMPS) Pusat; dan Anggota Badan Akreditasi Sekolah

Nasional (BASNAS) Departemen Pendidikan Nasional.

Prof. Dr.M. Yunan Yusuf adalah Guru Besar Pemikir Islam pada Universitas

Islam Negeri (UIN Jakarta, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka

(UHAMKA), Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas Islam Asy-

Syafi‟iyah Jakarta. Disamping itu, beliau juga tergabung dalam Dewan Pakar Pusat

Studi al-Qur‟an (PSQ). Salah satu karyanya dibidang tafsir yang sudah diterbitkan

adalah Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma.

2 M. Yunan Yusuf, Disertasi CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR AL-AZHAR Sebuah

Telaah Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam. Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1989, h.262.

44

B. Karya-karya M. Yunan Yusuf

Karya tulis Yunan Yusuf seluruhnya kurang lebih sekitar 25 judul buku.

Karyanya banyak dalam hal yang menunjuk pada kelompok sasaran yakni tepatnya

tulisan tulisan Yunan ini sebagian besar ditunjukan untuk masyarakat Islam. Salah

satu yang menarik dari karya Yunan ini adalah penafsiran kontemporernya dalam

Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma.

Kegiatan penelitian dan ilmiah yang pernah diikuti antara lain adalah,

penelitian tentang agama dan perubahan social Badan Litbag Departemen Agama,

yang kemudian menghasilkan sebuah monografi, Sebuah Sketsa Tentang Efek Siaran

TVRI Terhadap Kesadaran Beragama Dikalangan Pelajar PGA Muhammadiyah

Ciputat, tahun 1979;

Penelitian kepustakaan dengan judul Hamka dan Ajaran Tasawufnya;

mengikuti diskusi dan seminar ilmiah dan menyampaikan makalah dalam berbagai

forum. Ia juga aktif menulis di berbagai media, antara lain; Studia Islamika, Mimbar

Agama dan Budaya, Mingguan Pesan, Didaktika Islamiyah, Refleksi dan Panji

Masyarakat.

Karya tulisannya yang telah dipublikasikan adalah:

a. Cinta dan Citra Muhammadiyah, (Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985-

sebagai penghimpun bersama Syaiful Ridjal dan Anwar Abbas);

b. Kemuhammadiyahan: Kajian Pengantar, (Yayasan Pembaru, Jakarta,

1988);

c. Al-Islam I, (Yayasan Perkasa, Jakarta, 1988);

d. Alam Pikiran Islam. Pemikiran Kalam, (Yayasan Perkasa, Jakarta, 2000);

45

e. Filsafat Pendidikan Muhammadiyah (Majlis Dikdasmen Pp

Muhammadiyah, 2000);

f. Ensiklopedi Muhammadiyah (Raja Grafindo Persada Jakarta, 2005);

g. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma

(Azzahrah Pustaka Prima Bekerjasama Dengan Penamadani, Jakarta,

2010);

h. Tafsir Juz Tabarak Khulqun „Azhim: Budi Pekerti Agung (Lentera Hati,

Tangerang, 2013);

i. Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟ Allah Bun-Yānun Marshūh:

Bangunan Kokoh Rapih (Lentera Hati, Tangerang, 2014);

j. Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVII Juz Qāla Famā Khatbukum Hikmatun

Bālighah: Hikmah Yang Menghujam (Lentera Hati, Ciputat, 2015);

k. Tafsir al-Qur‟an Juz XXVI Juz Hā Mīm: Kitābun Hafiz (lentera hati,

ciputat, 2017);

l. “Al-Qur‟an di Bumi” dalam buku Agama Ditengah Kemelut (Mediacita,

Jakarta, 2001);

m. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (penamadani, Jakarta 2003).

Disamping sebagai penulis buku, ia juga menulis berbagai kata pengantar

dan memberikan berbagai kontribusi tulisan dari beberapa buku penulis

lain.

46

BAB IV

KAJIAN KHUSUS TAFSIR JUZ ‘AMMA AS-SIRĀJU ‘l WAHHĀJ KARYA M.

YUNAN YUSUF

A. Deskripsi Filologi Kitab Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l Wahhāj

Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj karya M. Yunan Yusuf. Buku ini

dicetak oleh salah satu penerbit yaitu: Penamadani dan Az-Zahra Pustaka Prima

Jakarta pada tahun 2010 H. Pada perkembangan selanjutnya kitab tafsir Yunan Yusuf

ini dicetak oleh penerbit yang lain yaitu Lentera Hati.

Dalam mengkaji kitab ini, penulis mengambilnya dari terbitan Indonesia yang

dicetak oleh Penamadani. Cetakan edisi pertama ini dapat diidentifikasi kondisi

fisiknya sebagaimana berikut:

Desain sampul: Sampul berwarna oranye bertuliskan nama kitab, nama

pengarang, dan nama penerbit.

Sampul dalam: Terdapat satu lembar yang bertuliskan judul buku, sumber

penafsiran penulis, dan nama penerbit.

Lembar romawi pertama: Sebelum satu lembar sampul dalam, terdapat surat

persembahan yang ditulis langsung M. Yunan Yusuf

teruntuk keluarganya.

Lembar ketujuh sampai Sembilan romawi: Terdapat pengantar dari penerbit

Penamadani dan Az-Zahra Pustaka Prima untuk M. Yunan

Yusuf.

47

Lembar kesepuluh sampai keduapuluh romawi: terdapat pedoman translitasi

dan daftar isi, yang mana daftar ini mencantumkan seluruh

isi dalam kitab ini serta berisikan tema tema apa saja yang

akan ditampilkan.

Lembar keduapuluh satu sampai keduapuluh enam romawi: ini berisikan

sekapur sirih yang mana isinya adalah sedikit cerita

perjalanan M. Yunan Yusuf membuat buku tafsir.

Lembar keduapuluh tujuh sampai ketigapuluh romawi: Kitab ini menyertakan

pula sambutan. Dalam lembaran-lembaran ini terdapat

pengantar dari Guru Besar Prof. M. Quraish Shihab Direktur

Pusat Studi Al-Qur‟an.

Halaman kesatu sampai ke delapan romawi: Setelah menyertakan beberapa

sambutan, kemudian terdapat tema besar barulah

muqaddimah atau sambutan yang disampaikan oleh M.

Yunan Yusuf yang ditulis pada 2010 H.

Sampul belakang : Dituliskan pendapat-pendapat para ulama tentang Tafsir

Jus „Amma As-Sirāju „l Wahhāj.

Layout konten : Pada juz 30, diawali dengan surah ke 78, an-Naba dan

diteruskan dengan surat-surat selanjutnya sesuai dengan

susunan mushaf.

Pada awal penulisan tafsirnya Yunan Yusuf menuliskan nama surat di awal

dengan menghadirkan bahasa Arab, Inggris kemudian bahasa Indonesia, tujuan

Yunan menghadirkan tiga bahasa supaya tafsir ini juga bisa ditangkap orang-orang

48

yang punya latar belakang bahasa Inggris “apalagi dalam konteks sekarang ini dengan

univerisme al-Qur‟an itu karena dia sudah masuk ke dalam multi peradaban sehingga

seharusnya masuk kedalam penafsiran kedua bahasa itu, tetapi tentu dengan

memperkenalkan awal judul itu dengan mudah-mudahan orang menangkap serta

memahami apa yang dimaksud dalam buku ini” tuturnya. Buku ini ditulis dengan

kertas berukuran 24 cm dan dengan ketebalan 885 hlm. Font Indonesia ditulis dengan

times new roman. Setelah penjelasan Yunan Yusuf pada akhir penafsirannya dalam

juz ini ia menambahkan khatimah yang mana isi di dalamnya adalah penjelasannya

mengenai Tafsir Juz „Amma ini, kemudian pada akhir jilidnya Yunan Yusuf

mencantumkan daftar pustaka serta biografi ia sendiri.

B. Latar Belakang Penulisan Tafsir

Melihat perhatian dan minat masyarakat dewasa ini terhadap tafsir al-Qur‟an

yang meningkat pesat, terwujudnya beberapa halaqah studi tafsir dimana-mana,

adanya buku-buku tafsir yang ditulis oleh para penulis baru dan juga penulis lama

yang laris terjual, bahkan yang sangat menarik adalah ketika banyak orang, terutama

beberapa generasi muda Islam yang merasa berhak menafsirkan al-Qur‟an hanya

bermodal al-Qur‟an dan terjemahnya, seseorang sudah merasa menafsirkan al-

Qur‟an dengan kategori tafsir bil ma‟tsur, yakni menafsirkan al-Qur‟an dengan al-

Qur‟an setelah terlebih dahulu dia memilih sendiri ayat-ayat al-Qur‟an yang

menurutnya cocok untuk dijadikan sebagai bahan untuk menjelaskan ayat yang satu

49

dengan yang lain, meskipun kondisi ini sangat menggembirakan, tetapi diwaktu yang

bersamaan juga sangat mencemaskan.1

Situasi itulah yang mendorong Yunan Yusuf menghentikan suasana hati yang

maju mundur tersebut, sehingga ia berubah menjadi hasrat yang kuat untuk menulis

tafsir al-Qur‟an. Maka langkahpun diayun dan mulai walau dengan keterbatasan ilmu

dan syarat-syarat sebagai pentafsir menfsirkan Juz „Amma. Yunan Yusuf memulai

menafsirkan al-Qur‟an pada Juz „Amma, karena surah-surah yang ada pada juz

„Amma pendek-pendek.

Kemudian yang menjadi latar belakang penulisan Tafsir Juz „Amma As-Sirāju

„l Wahhāj ini juga adalah untuk menjawab kritik para orientalis tentang al-Qur‟an

yang mengatakan bahwa al-Qur‟an itu buku yang paling tidak teratur, isinya

meloncat-loncat, keterangannya berencar-pencar. Umpamanya seperti pada kisah

fir‟aun, yang muncul dimana-mana sehingga ini (al-Qur‟an) dianggap buku yang

membingungkan. Padahal sebenarnya itu dilakukan karena ada informasi yang

berulang-ulang diberikan.2 Dalam teori komunikasi itu dikatakan, bahwa suatu

informasi apalagi itupun berkaitan dengan ajaran itu perlu diulang-ulang. Diibaratkan

seperti iklan tidak bisa sekali aja setiap kali disampaikan itu. Maka itulah kemudian

Yunan Yusuf menulis tafsir ini dengan pendekatan yang disebut dengan ilmu al-

munāsabah.3 Ilmu munasabah adalah bahwa al-Qur‟an itu secara keseluruhannya

1 M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

(Jakarta, Penamadani, 2010), Cet.1, h.xxiii.

2 Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf, Tangerang Selatan, 20 September 2016.

3 Dengan kata lain Ilmu munasabah adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan suatu ayat

dengan ayat yang lainnya, atau suatu surat dengan surat yang lainnya. Hubungan itu dapat berupa

hubungan umum dengaan khusus, hubungan logis („aqli) atau hubungan konsekuensi logis seperti

50

saling kait mengait, saling berjalin kelindang merupakan satu kesatuan yang terpatri

secara utuh. Jadi tidak tercerai berai, tidak melompat-lompat, tidak berurutan. Al-

Qur‟an itu merupakan satu kesatuan pokok informasinya walaupun terdapat

perulangan disana itu adalah metodologi menyampaikan karna dia adalah hidayah.4

Yang memotivasi Yunan Yusuf dalam menuliskan tafsir ini dikarnakan pada

awalnya sejak masih mahasiswa sarjana muda beliau itu menulis tentang al-Qur‟anul

Karim A‟zāmu Mu‟jizat li an-Nabi jadi risalah sarjana muda Yunan Yusuf adalah

tentang tafsir al-Qur‟an yakni melihat mu‟jizat ke al-Qur‟an kemudian dia telusuri itu

kedalam bahasa Arab, darisitulah kemudian tersimpan semangat Yunan Yusuf untuk

nanti pada waktunya harus menulis tafsir, baru kemudian dipenghujung baru muncul

lagi minatnya lagi lebih kuat.5

Alasan Yunan Yusuf menuliskan tafsir dari jus 30 bahwasannya Pada awal

Yunan Yusuf memulai tafsirnya dari awal surat al-Fatihah al-Baqarah, tetapi karena

surat al-Baqarah panjang maka Yunan merasa keletihan sendiri. Kemudian Yunan

pun berfikir dan disarankan juga oleh M. Quraish Shihab “kalau sulit dari awal,

kenapa tidak mulai dari ujung” katanya. Dikarenakan surat-surat pendek maka Yunan

Yusuf dapat menyelesaikan satu surat dalam 2 minggu dan itu membuatnya lebih

terdorong lagi.6 Maka dari itulah yang membuat Yunan Yusuf memulai dari juz 30

dan kemudian diberi nama Tafsir Juz „Amma As-Siraju‟l Wahhaj yang artinya cahaya

yang terang menderang (terang cahaya juz „amma), kemudian berurutan 29 Tafsir

hubungan sebab dengan akibat, hubungan dua hal yang sebanding atau berlawanan. Lihat didin

saefuddin buchori. pedoman memahami kandungan al-Qur‟ān. (bogor: Granada sarana pustaka, 2005)

cet. I, h.83. 4 Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf, Tangerang Selatan, 20 September 2016.

5 Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf.

6 Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf.

51

Khulūqun „Azhim Juz Tabarak, Tafsir al-Qur‟an Juz XXVIII Juz Qad Sami‟ Allah

Bun-Yānun Marshsūsh (Bangunan Kokoh Rapi), Tafsir Al-Qur‟an Juz XXVII Qāla

Famā Kharthbukum Hikmatun Balighah (hikmah yang menghujam) dan Tafsir Juz

XXVI Tafsir Juz Hā Mīm: Kitabun Hafizh.

Usaha menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia

dan bahasa Daerah, telah dirintis oleh para ulama dan mufassir sejak tahun 1928, hal

ini berdasarkan penelitian Departemen Agama pada tahun 1990.7 Kemudian alasan

mengapa Yunan Yusuf menuliskan tafsir ini dengan berbahasa Indonesia dikarenakan

mereka yang memahami bahasa Indonesia dalam persepsinya tafsir yang ditulis itu

lebih banyak berbahasa arab. Menurutnya, “tradisi menulis tafsir kita di Indonesia ini

masih sangat rendah, kalau dihitung-hitung tafsir-tafsir yang selesai ditulis sampai juz

30 dengan 114 surat yang sempurna, itu yang utuh menurut saya baru ada tafsir

Zainudin Hamidi kemudian tafsir Hamka dan tafsir Quraish Shihab”8 makadari itu

Yunan Yusuf menuliskan tafsirnya dengan berbahasa Indonesia.

C. Sistematika Penulisan

Dikalangan mufassir setidaknya dikenal empat sistematika penyusunan

tafsir,9 yaitu:

7Henrizal Saidi Harahap, Skripsi Studi Kritis Terhadap Metodologi Tafsir Rahmat. Jurusan

Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

2004, hal.50. 8 Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf.

9Henrizal Saidi Harahap, Skripsi Studi Kritis Terhadap Metodologi Tafsir Rahmat. Jurusan

Tafsir Haditsx Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta

2004. lihat lebih jelas Nur Faizin Maswan, kajian diskriptif Tafsīr Ibnu Katsir (Yogyakarta: Menara

Kudus, 2002), Cet. Ke-1, h. 31-33.

52

1. Tartib Mushafi: sistematika tafsir yang sesuai dengan tartib susunan ayat-

ayat dalam mushaf, ayat demi ayat dan surat demi surat. Contoh: Tafsir

ath-Thabary.

2. Tartib Nuzuli: sistematka tafsir yang didasarkan atas urutan kronologis

turunnya kelompok ayat atau surat-surat al-Qur‟an . Contoh: Tafsir al-

hadits karya Muhammad „lsā Darwazah.

3. Tartib Mushaf Hukmi: Sistematika tafsir dengan mengambil ayat-ayat

hukum saja dalam tartib mushafy. Contoh: ahkam al-Qur‟an karya al-

Jashshāsh.

4. Tartib Maudhu‟i: Sistematika penafsiran al-Qur‟an berdasarkan

topiktopik permasalahan yang hendak dibahas. Contoh: al-Insān fī al-

Qur‟an karya „Abbās Mahmūd al-„Āqqād.

Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj dimulai dengan pendahuluan sebanyak

8 halaman yang mengomentari pada metode penulisan tafsir dari sisi runtun

penafsiran, kemudian menjelaskan latar belakang penamaan kitab tafsir ini dan

menjelaskan, menyebutkan surat, serta jumlah keseluruhan ayat al-Qur‟an yang

terdapat pada juz 30. Yunan Yusuf menjelaskan mengapa tafsirnya ini dibuat per satu

juz atau membukukannya dalam satu kitab terpisah dari juz lain. KemudianYunan

Yusuf menjelaskan susunan surah yang terbalik atau mundur, yakni dimulai dari juz

30 juz yang memuat kelompok terakhir dari surah-surah al-Qur‟an kemudian juz 29

28 27 dan seterusnya. Adapun surah-surah yang disajikan dalam kitab Tafsir Juz

„Amma As-Sirāju „l Wahhāj ini dimulai dari surah an-Naba dan diakhiri dengan surah

an-Nas, juz ini dikenal dengan nama Juz „Amma, karena juz ini memang diawali oleh

53

surah an-Naba, yang ayat pertamanya berbunyi Amma Yatasa-alun,10

karena

kandungan dari juz „amma itu lebih kepada pemberitaan al-Qur‟an tentang kaidah-

kaidah keimanan yang membawa kepada pemahaman untuk mengesakan Allah oleh

sebab itu karena dia turun ditengah masyarakat jahiliyyah gelap gulita, dzulumāt

maka al-Qur‟an datang dengan sirāj itu cahaya yang terang benderang, oleh sebab itu

semua surat surat yang ada di juz „amma ini makiyyah yang pada priode itu Nabi

sedang berjuang menegakkan aqidah,11

tuturnya. Maka dari itu Yunan beri nama ini

as-sirāju „l wahhāj untuk menggambarkan bahwa kandungan juz „amma itu tema

sentralnya itu adalah tentang aqidah. Dengan penggalan awal ayat pertama surah an-

Naba itulah juz‟ XXX ini diberinama.

Sistematika penulisan tafsirnya dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Tafsirnya diawali dengan menampilkan iftitah (pembukaan) disetiap surat

yang akan beliau tafsirkan. Didalamnya terdapat penjelasan tentang

a. Urutan surat menurut tartib mushafi dan nuzuly, lalu menjelaskan juga

kapan ayat tersebut diturunkan, tergolong surat makiyah ataukah

madaniyah,12

serta mencantumkan nama lain dari nama surat, kemudian

menjelaskan kandungan surat yang akan ditafsirkan, seperti iftitah yang

terdapat pada awal surat an-naba,

10

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.3

11

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf, Tangerang Selatan, 09 Maret 2017. 12

Dari segi waktu turunnya Makiyah adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan

di Mekkah, Madaniyah adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Dari segi

tempat turunnya ada yang berpendapat Makiyah ialah yang turun di mekah dan sekitarnya seperti

Mina, Arafah dan Hudaibiyah, dan Madaniyah ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti

Uhud, Quba‟ dan Sil‟. Dari segi sasarannya Makiyah adalah yang seruannya ditunjukan kepada

penduduk Makah dan Madaniyah adalah yang seruannya ditunjukan kepada penduduk Madinah.

54

Surah an-Naba adalah surah yang ke 78 dalam tartib Musahaf

Utsmani. Namun dalam urutan nuzul al-Qur‟an surat ini berada pada surat

ke 80. Ia turun sesudah surat Al-Ma‟arij dan sebelum surah an-Nazi‟at,

dan disepakati sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Oleh

sebab itu ia dikelompokkan ke dalam surat-surat Makiyyah.

b. Menyebutkan ruang lingkup isi surah tersebut secara global serta nama

lain dari masing-masing surah. seperti contoh pada surat an-Naba:

Dalam hitungan Ibn Abbas, jumlah ayat surah an-Naba adalah 40

ayat, 130 kata dan 690 huruf. Disamping nama an-Naba al-azhim, „Amma

Yatasa-alūn, at-Tasa-ul dan al-Mu‟shirat.

Kandungan surah an-Naba adalah tentang berita besar, yakni

peristiwa hari kiamat. Bahwa hari kiamat itu adalah keniscayaan yang

tidak dapat diragukan lagi. Ia bahagia rukun iman. Mengingkari datangnya

hari kiamat berarti mengingkari kebenaran Islam itu sendiri.

Contoh lain pada surat an-Nās:

Disamping memakai nama an-Nās, surah ini diberi nama juga

dengan Al-Mu‟awwizah Al-Tsaniyah (Tempat perlindungan yang kedua).

Menurut Ibnu Abbas jumlah ayatnya adalah 6 ayat. Jumlah kata yang

terdapat di dalamnya 20 kata, sementara jumlah hurufnya ada 79 huruf.

c. Menjelaskan Asbab al-Nuzūl, 13

13

Manna‟ al-Qattan merumuskan definisi asbāb al-nuzūl sebagai berikut:

سؤال كحادثة ا ع ق قث ماوضل قشآن بشأو Asbāb al-nuzūl adalah sesuatu yang dengan keadaan sesuatu itu al-Qur‟ān diturunkan pada

waktu sesuatu itu terjadi seperti suatu peristiwa atau pertanyaan.

55

Dalam menafsirkan sebuah surat, Yunan Yusuf terlebih dahulu

memaparkan Asbāb al-Nuzūl dalam sebuh surat, ini bisa dilihat ketika ia

menafsirkan surat an-Nabā. Contoh pada surat an-Naba:

Adapun Asbab al-Nuzūl surah ini adalah, ketika telah tersebar berita

tentang diangkatnya Nabi Muhammad sebagai Rasul, timbul kehebohan

diantara orang-orang musyrikin Quraisy. Mereka saling tanya bertanya

tentang hal itu, sebagaimana yang termaktub dalam hadis berikut:

جشيش ابه أبي حاجم عه انحسه قال : نما بعث انىبي أخشج ابه

صه هللا عهي سهم جعها يحساءنن بيىم فىضنث عم يحساءنن عه انىبأ

انعظيم

“Bahwa Imam Ibn Jarir dan Imam Ibn Abi Hatim telah

mengetengahkan sebuah hadis melalui Al-Hasan yang telah menceritakan

bahwa setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, maka

orang-orang Quraisy sebagian diantara mereka saling bertanya kepada

sebagian yang lain. Kemudian turunlah ayat ini, melalui firman-Nya:

„tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita besar‟”.

d. Menampilkan Munāsabah surat.

Dalam tafsirnya juga tidak lupa pula Yunan Yusuf meletakkan

Munāsabah. Contoh daripada Munāsabah dalam tafsirannya pada surat

an-Naba:

Bila ditarik munāsabah (hubungan) dengan surat sebelumnya,

yakni surat Mursalat, maka diakhir surat tersebut Allah mempertanyakan

tentang sikap kaum Musyrikin yang tidak menerima informasi al-Qurān.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Subhi as-Shalih:

مبي مجيبة عى أ ىة ن ا محضم اليات بسبب ماوضنةاألية ا ع ك صمه ىةنحكم Asbāb al-Nuzūl adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat. Al-Qur‟ān (ayat-

ayat) terkadang menyiratkan peristiwa itu, sebagai respons atasnya. Atau sebagai penjelas terhadap

hukum-hukum disaat peristiwa itu terjadi.

Mengacu kepada definisi di atas, di samping memperhatikan pengertian harfiah dari kata-kata

asbab an-nuzul itu sendiri, dapatlah diformulasikan bahwa yang dimaksud asbab an-nuzul adalah

sesuatu yang karena sesuatu itu menyebabkan sebagian atau beberapa ayat al-Qur‟an diturunkan. Yang

dimaksud dengan sesuatu itu sendiri adakalnya berbentuk pertanyaan atau kejadian, tetapi bias juga

berwujud alasan logis (illat) dan hal-hal lain yang relevan serta mendorong turunya satu atau beberapa

ayat al-Qur‟an.

56

Yakni informasi tentang akibat yang diterima oleh orang-orang yang

mendustakan kebenaran berita yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul.

Bila informasi al-Qurān tidak mereka terima juga, lalu informasi apa lagi

yang hendak mereka tunggu?.

Kata berjawab gayung bersambut dengan pertanyaan di atas, maka

surah ini memberikan informasi tersebut dengan berbagai argumentasi

yang kokoh dan kuat. Dia ajak akal manusia untuk observasi pada

penciptaan alam semesta. Bagaimanan bumi dihamparkan, gunung

dipancangkan, bagaimana segala sesuatu diciptakan berpasangan, malam

menjadi pakaian, siang menjadi tempat kehidupan. Sehingga akan

ditemukan kebenaran tentang informasi itu yang ditopang oleh argument

yang tidak terbantahkan lagi.

2. Penafsiran Yunan Yusuf dengan menyebutkan tema-tema yang terdapat

dalam surat yang akan ditafsirkan.

Yunan Yusuf menjelaskan mengapa dalam satu surat terdapat

tema-tema karena ini adalah Pesan dari munasabah, jadi dari masing-

masing ayat itu bisa dikelompok-kelompokan menjadi satu tema tertentu,

diikat, sehingga jadi satu kesatuan dan tidak tercerai berai seperti yang

dikatakan oleh orientalis.14

Seperti pada contoh surat Al-Layl:15

1. Allah bersumpah dengan malam, siang, laki-laki dan

perempuan16

انهيم إرا يغش ) 1 )

اس إرا ججه ) انى 2 )

األوث ) كش ما خهق انز 3)

1. Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)

2. Dan siang apabila terang benderang,

3. Dan penciptaan laki-laki dan perempuan

2. Amal usaha manusia berbeda-beda17

14

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf. 15

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma h.481 16

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma h.484

57

( 4إن سعيكم نشح ) 4. Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda,

3. Orang-orang yang berusaha dengan dasar taqwa18

اجق ) ا مه أعط ( 5فأم

صذق بانحسى ) 6 )

شي نهيسش ) (7فسىيس 5. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah)

dan bertakwa,

6. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)

7. Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang

mudah

4. Orang orang yang berusaha dengan kebakhilan19

اسحغى ) ا مه بخم أم 8 )

كزب بانحسى ) 9 )

شي نهعسش ) ( 11فسىيس

ما يغىي عى مان إرا جشد ) 11) 8. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya

cukup,

9. Serta mendustakan pahala yang terbaik

10. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang

sukar,

11. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah

binasa

5. Allah pemilik petunjuk, dan kehidupan dunia akhirat20

(21)للهدىعليناإن ن (21)وإلولىللخرةلناوإ

12. Sesungguhnya kewajiban kami-lah memberi petunjuk

17

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.487 18

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.489 19

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.493 20

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.496

58

13. Dan sesungguhnyalah kepunyaan kami-lah akhirat dan

dunia.

Contoh lain pada surat an-Nās:21

1. Tauhid Rububiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah22

( 1قم أعر بشب انىاط )

( 2مهك انىاط )

انىاط ) (3إن 1. Katakanlah: “Aku berrlindung kepada Tuhan (yang

memelihara dan menguasai)

2. Raja manusia.

3. Sembahan manusia.

2. Kejahatan syaitan dan manusia23

(4)إلخن اسإلوسوإسشر من (5)إلن اسصدورفييوسوسإل ذي (6)وإلن اسإلجن ةمن

4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang bisa bersembunyi,

5. Yang membinasakan (kejahatan) ke dalam dada manusia,

6. Dari (golongan jin dan manusia)

3. Terakhir Yunan Yusuf membubuhkan sebuah natījah (kesimpulan).

Yang mana Yunan Yusuf meletakkan kesimpulan penafsirannya pada

akhir surah tersebut. Seperti contoh pada natijah dalan surah an-Nās:24

1. Tauhid sebagai akar tunggang ajaran Islam, meliputi makna

Rububiyah (kepemeliharaan), Mulkiyah (kepemilikan), dan Uluhiyah

(ketuhanan). Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta

merupakan Eksistensi yang maha kuasa dan maha mengetahui.

21

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.861 22

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.865 23

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.868 24

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.861

59

Dengan iradah, ilmu dan QudrahNya alam dengan segala perangkat

kebutuhan makhluk yang mengisinya sudah tersedia.

2. Allah sebagai pemilik alam semesta merupakan eksistensi yang

menjadi sumber segala aturan dan tuntutan hidup dan kehidupan.

Hanya dengan menjalankan aturan dan tutunan Allah itulah,

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dapat diwujudkan.

Sebaliknya bila mengingkari aturan dan tutunan itu, manusia akan

mendapatkan kesengsaraan dalam hidup, baik dalah kehidupan dunia

yang fana ini, maupun dalam kehidupan akhirat yang kekal. Dan

seterusnya.25

D. Metode Penafsiran

Kemudian yang perlu dibahas juga dalam metode penulisan yakni metode

penafsiran. Ada empat metode yang popular dalam ilmu tafsir diantaranya ialah:

Tafsir Ijmaly (Global) yakni yang dimaksud dengan metode tafsir ijmaly ialah suatu

metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qurān dengan cara mengemukakan

makna global.26

Pengertian tersebut menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an secara ringkas

namun mencakup dengan bahasa yang popular, mudah dimengerti dan enak dibaca.

Sistematika penulisannya menurut ayat-ayat di dalam mushaf. disamping itu

penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur‟an sehingga pendengar dan

pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur‟an padahal yang didengar itu

tafsir.27

Kemudian Tafsir Tahlili (Analisis), yang dimaksud metode tahlili (analisis)

ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan memaparkan segala aspek yang

terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna

yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang

25

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.871 26

M. Ja‟far Nashir, “Macam-Macam Metode Penulisan Al-Qur‟an”, artikel diakses pada

Kamis 15 September 2016 dari https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-metode-

penafsiran-al-quran/ lihat lebih jelas Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-

Mawdhu‟l, Dirasat Manhajiyyah Mawdhu‟lyyah, (1977). hlm. 43 – 44. 27

Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu‟i, h.67.

60

menafsirkan ayat-ayat tersebut.28

Kemudian Tafsir Muqarrin (Komperatif). Yang

dapat dirangkum menjadi 3 bagian yakni: membandingkan teks ayat-ayat al-Qur‟an

yang memiliki redaksi dalam dua kasus atau lebih, memiliki redaksi yang berbeda

bagi satu kasus yang sama. Membandingkan ayat al-Qur‟an dengan hadis Nabi saw,

yang pada lahirnya terlihat bertentangan. Membandingkan pendapat ulama tafsir

dalam menafsirkan al-Qur‟an. Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat

dikelompokkan menjadi tiga objek kajian tafsir.29

Kemudian Tafsir Maudhu’i

(Tematik) yang dimaksud dengan metode maudhu‟i membahas ayat-ayat al-Qur‟an

sesuai dengan tema atau dengan judul yang telah ditetapkan.30

Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj ini menggunakan metode tahlili yang

mana penafsiran dengan metode tahlili juga tidak mengabaikan aspek asbab al-nuzūl

suatu ayat, munāsabah (hubungan) ayat-ayat al-Qur‟an antara satu sama lain. Dalam

pembahasan para mufassir biasanya merujuk riwayat-riwayat terdahulu baik yang

diterima oleh Nabi, sahabat maupun ungkapan-ungkapan Arab pra Islam dari kisah

israi‟lliyat. Kemudian isi pada Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj ini juga

terdapat tema-tema dalam surat, akan tetapi bukan berarti tafsir ini menggunakan

metode maudhu‟i hanya saja Yunan meletakkan satu atau lebih dari dua tema tertentu

dalam setiap suratnya, yang mana tema tersebut adalah memudahkan para pembaca

untuk mengerti apa maksud pada ayat al-Qur‟an dan lebih jelasnya untuk menjawab

para orientalis yang bahwasannya mereka berkata al-Qur‟an itu tercerai berai. Yunan

28

Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu‟l, h.49. 29

M. Quraish Shihab. dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur‟an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.

hlm. 186–192. 30

M. Ja‟far Nashir, M.Ag, “Macam-Macam Metode Penulisan Al-Qur‟an”, artikel diakses

pada kamis 15 september 2016 dari https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-macam-

metode-penafsiran-al-quran/.

61

lebih cenderung memilih tafsir dengan menghadirkan tema dikarnakan munasabah

tema, tema dalam arti sesuai dengan munasabahnya. Maka dari itu Yunan Yusuf

mengelompokkan ayat-ayat ke dalam satu tema sehingga menjadi satu kesatuan dan

tidak tercerai berai. Yunan juga menjelaskan bahwasannya “Semangat dari

munasabah al-Qur‟an itu jadi kenapa kemudian mushaf utsmani membagi juz itu

membagi juz jadi 30 gitu ini ada sebuah rahasia, setelah ia baca ternyata benar bahwa

ada pesan yang paling utama disampaikan dalam juz ini yakni berita tentang kiamat,

artinya itu berita tentang keimanan. Oleh sebab itu ia katakan ini adalah terang cuaca

pertama kali yang diturunkan seperti itu, bukan diturunkan sebenarnya, pesan yang

disampaikan oleh juz 30 ini seperti itu. Karena dia surat-surat pendek ditulis di masa

Makkah. Turun di makkiyah”.31

E. Sumber Penafsiran

Dalam menafsirkan Juz „Amma ini Yunan Yusuf menggunakan lima sumber

utama atau sumber yang dijadikan pedoman. Kitab yang pertama yakni kitab tafsir

al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab, kedua karya Buya Hamka yakni tafsir al-

Azhar, ketiga yakni Tafsir Fi Dzilāl al-Qur‟ān, keempat Tafsir Ibnu Katsīr dan yang

kelima Tafsir Jalalayn. Baginya dari kelima tafsir ini bisa dikombinasi untuk

memberikan penafsiran al-Qur‟an di zaman modern. Disamping itu Yunan juga

melihat tafsir-tafsir klasik.32

Dua dari kelima mufassir sumber utama di atas pernah menjadi guru Yunan

Yusuf, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama adalah Buya

31

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf. 32

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf.

62

Hamka, yang secara lengkap nama beliau adalah Prof. Dr. Abdul Malik bin Abdul

Karim Amrullah. Ketika itu beliau adalah sebagai dosen tamu. Pada waktu itu beliau

sedang menuntut ilmu pada Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah33

dan Fakultas

Ilmu Agama Jurusan Dakwah (FIAD) Universitas Muhammadiyah, di Kauman

Padangpanjang. Yang kedua M. Quraish Shihab, Dosen penulis pada Program

Magister dan Program Doctor, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Negeri (yang

sekarang sudah berubah menjadi Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dari kedua mufassir ini Yunan Yusuf mendapat bekal untuk memasuki

samudera yang dalamnya tidak berdasar dan luasnya tanpa tepi.

Dalam hal ini Yunan Yusuf juga mencantumkan penjelasan dari apa yang ia

jadikan sumber utama, bahwasannya ia menulis dan menjelaskan pendekatan yang

dipakai oleh Buyah Hamka serta mencantumkan pula Muhamad Abduh dan Quraish

Shihab. seperti pada contoh yang terdapat dalam surat Al-„Alaq ayat 11:34

(11أسأيث إن كان عه انذ )

“Bagaimana pendapatmu jika orang itu berada diatas kebenaran,”

Pada ayat sebelumnya yakni ayat 9 dan 10 menggambarkan perilaku atau

tindakan orang yang melampaui batas yang diperlihatkan Abu Jahal, yakni melarang

dan mencegah Nabi dalam melakukan salam, maka pada ayat 11 dan ayat 12 berikut

menggambarkan lawan dari sikap atau tundakan tersebut. Yakni perilaku atau

tindakan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.

Yang pertama adalah menerapkan penafsiran bahwa yang disebut oleh untaian

ayat 11 dan 12 itu adalah Nabi Muhammad sendiri. Bahwa Nabi berjalan diatas

petunjuk dan hidayah Allah Swt. Beliau membawa risalah dalam rangka memberikan

petunjuk dan jalan lurus bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia

dan di akhirat. Pendekatan ini dilakukan oleh Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar.

33

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf. 34

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma,

h.582.

63

Konsekuensi logis dari pendekatan penafsiran seperti ini membawa kepada

perbandinganantara kebenaran dan kebathilan, antara mengikuti ketentuan yang telah

digariskan oleh Allah dan orang yang melampaui batas-batas dari garis yang telah

ditegaskan oleh Allah. Hal ini sejalan dengan cara al-Qur‟an dalam menghadapi

manusia yang berakal, dengan cara menyodorkan dua pilihan , yang haq dengan yang

batil. Dengan potensi akal manusia yang mampu membedakan mana yang haq dan

mana yang batil manusia digiring untuk menentukan pilihannya. Pilih tanpa paksaan

dengan kebebasan dalam berbuat baik dan berkehendak.

Yang kedua adalah pendekatan bahwa yang disebut oleh untaian ayat 11 dan

12 itu adalah Abu Jahal juga. Pendekatan ini ditempuh oleh Muhammad Abduh dan

Quraish Shihab. Abduh mengatakan :”Katakanlah kepadaku tentang keadaan si

durhaka yang melanggar batas itu, apakah orang seperti itu berjalan diatas petunjuk

atau jalan kebenaran? Bukankan sebaiknya ia menyuruh oran bertakwa sebagai

ganti larangannya terhadap orang yang sedang salat? Buankah yang demikian tiu

yang lebih baik dan lebih utama baginya?” sedangkan Quraish Shihab mengatakan:

“Beritahu pula-lah Aku seandainya ia yang menghalangi orang shalat itu berada

dalam petunjuk atau mengajak orang lain kepada ketakwaan, apakah – menurutmu –

ia tetap akan menghalanginya?”

Baik pendekatan Buya Hamka, maupun pendekatan Abduh dan Shahih yang

tersaji diatas mempunyai tempat yang sah dalam penafsiran. Kedua pendekatan

tersebut menggiring pemahaman untuk mencapai kesadaran bahwa dalam

menegakkan kebenaran selalu ada saja halangan dan rintangan. Tidak ada perjuangan

menegakkan kebenaran itu berjalan di jalan yang lurus dan tanpa rintangan. Hal ini

perlu menjadi perhatian dalam konteks dakwah yang diupayakan tidak dalam

masyarakat yang steril, tetapi masyarakat yang sarat beban yang menjadi tantangan

dan rintangan perjalanan dakwah tersebutu.

F. Corak Penafsiran

Al-Qur‟an merupakan kitab petunjuk total bagi kehidupan manusia di Dunia,

maka segi-segi kehidupan manusia di Dunia berada di bawah naungan al-Qur‟an .

Dari hal itulah penekanan pada kecendrungan makna oleh mufassir dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an sangat bervariasi. Istilah corak penafsiran35

biasanya

35

Penjelasan corak tafsir corak tafsir secara umum adalah kekhususan suatu tafsir yang

merupakan dampak dari kecenderungan seorang mufassir dalam menjelaskan maksud-maksud ayat-

ayat al-Qur‟an. Akan tetapi, pengkhususan suatu tafsir pada corak tertentu tidak lantas menutup

kemungkinan adanya corak lain dalam tafsir tersebut, hanya saja yang menjadi acuan adalah corak

dominan yang ada dalam tafsir tersebut, karena kita tidak bisa memungkiri dalam satu tafsir memiliki

beberapa kecenderungan seperti pada tafsir-tafsir yang ada pada saat ini.

64

dinisbatkan pada suatu segi tertentu seperti: corak tafsir aṣ-ṣhūfī,36

tafsir al-falāsafi,37

tafsir al-‟llmi,38

tafsir al-fiqhi,39

tafsir al-adabi al-ijtima‟l.40

Ditinjau dari kecenderungan penafsirannya, bahwasannya Yunan Yusuf dalam

tafsirnya Tafsir Juz „Amma As Sirāju „l Wahhāj cenderung tafsir al-adabi al ijtima‟l

yakni salah satu corak penafsiran al-Qur‟an yang cenderung kepada persoalan sosial

kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Adapun contoh corak

yang digunakan dalam tafsirnya surat an-Naba ayat 141

yakni :

(1عم يحساءنن ) “ tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?”

Masyarakat Mekkah menjadi heboh ketika mendengar Nabi Muhammad

menyatakan diri sebagai Rasul. Masing-masing mereka saling bertanya-tanya tentang

36 Tafsir aṣ-Ṣhūfī, Tafsir sufi dibagi menjadi dua, tafsir sufi nazarī dan tafsir sufi ishārī. Tafsir

Sufi Nazarī adalah tafsir sufi yang berlandaskan pada teori-teori dan ilmu-ilmu filsafat. Sedangkan

Tafsir Sufi Ishārī adalah menafsirkan ayatayat al-Qur‟an tidak sama dengan makna lahir dari ayat-ayat

tersebut, karena disesuaikan dengan isyarat-isyarat tersembunyi yang nampak pada para pelaku ritual

sufistik, dan bisa jadi penafsiran mereka sesuai dengan makna lahir sebagaimana yang dimaksud

dalam tiap-tiap ayat tersebut. 37

Tafsir al-Falāsafi, adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang

menerima pemikiran-pemikiran filsafat Yunani seperti Ibnu Sina dan al-Farabi maupun yang menolak

pemikiran filsafat itu. 38

Tafsir al-‟llmi, adalah penafsiran al-Qur‟an dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan.

Ayat-ayat al-Qur‟an yang ditafsirkan dengan corak ini terutama adalah ayat-ayat kawniyyah (ayat yang

berkenaan dengan alam), dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, mufassir melengkapi dirinya dengan

teori-teori sains, karena tafsir ini dapat didefinisikan debagai ijtihad mufassir untuk mengungkap

hubungan ayat-ayat kawniyyah dengan penemuan-penemuan ilmiah yang bertujuan untuk

memperlihatkan kemukjizatan al-Qur‟an. 39

Tafsir al-Fiqhi, sesuai dengan karakter fiqih yang di dalamya mengandung perbedaan

pendapat, maka tafsir fiqh pun di dalamnya memuat pendapat-pendapat ulama ahli fiqh yang berupaya

memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum

Islam. 40

Tafsir al-Adabi al-Ijtima‟l, merupakan suatu cabang tafsir yang baru muncul pada masa

modern. Tafsir al-Adabi al-Ijtima‟l adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an

berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan

menekankan tujuan-tujuan pokok diturunkannya al-Qur‟an, kemudian mengaplikasikannya dalam

tatanan social, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya yang

sejalan dengan perkembangan masyarakat. 41

M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h.13-

14.

65

peristiwa itu. Apa gerangan yang akan disampaikan oleh Muhammad. Dia yang

mereka kenal liku-liku hidupnya itu, teman sepermainan di waktu kecil, sama-sama

berangkat masa kanak-kanak dan remaja, dan bermain sebagai kebiasaan para remaja

dikala itu. Kemudian juga tumbuh menjadi dewasa dan kemudian menikahi seorang

janda bernama Siti Khadijah. Apakah benar bahwa dia itu memang sudan menjadi

Rasul?

Dalam situasi deperti itulah Allah memberikan teguran “tentang apakah

mereka saling bertanya-tanya?” Layaknya sebuah berita yang menggemparkan,

orang pasti akan saling bertanya apa sebenarnya peristiwa itu. Biasanya ada saja

orang yang sok tahu lalu memberikan jawaban tentang apa sebenarnya peristiwa itu,

dan ada pula orang yang benar-benar tidak tahu sama sekali lalu bertanya untuk tahu

duduk perkara yang sebenarnya.

Teringatlah penulis (Yunan Yusuf) pada peristiwa yang terjadi pada tahun

1965. Ketika itu penulis masih duduk di kelas 3 Pendidikan Guru Agama Pertama

(PGAP) Muhammadiyah di Sibolaga. Sebagai aktifis Pelajar Islam Indonesia dan

Ikatan Pelajar Muhammadiyah. Mendengar berita tentang terjadi kudeta oleh Untung

di Jakarta yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia, yang telah membunuh 7

orang Jendral, memang berita itu menyita perhatian. Berita tersebut menimbulkan

beberapa ragam tanda tanya dikalangan masyarakat. Ada yang bertanya karena

kebingungan, ada yang memang sudah tahu apa yang terjadi, tetapi masih juga ikut

mempertanyakannya, dan ada memang orang yang tidak tahu sama sekali.

Namun di kalangan anggota/aktifitas PII/IPM, peristiwa itu sudah jelas adalah

penghianatan yang dilakukan oleh PKI. Karena sebelumnya sudah terjadi peristiwa-

peristiwa kecil yang mengawalinya, seperti peristiwa Bandar Betsi dan peristiwa

Kanigoro. Memang tidak sepandanlah peristiwa itu dibandingkan. Namun untuk

mendekatkan pemahaman tentang betapa suasana yang digambarkan al-Qurān yang

dialami oleh Musyrikin Mekkah ketika mendengar berita tersebut, hampirlah seperti

apa yang dialami oleh oleh bangsa Indonesia ketika meletusnya Kudeta G.30./PKI.

Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya

dengan perkebangan kebudayaan yang sedang berlangsung. Kemudian beliau juga

menjelaskan alasan mengapa memakai corak al-adabi al-ijtima‟i bahwasannya

“karena problem kita problem masyarakat Indonesia ini sangat kompleks apalagi

kalau kita kaitkan dengan pertumbuhan generasi muda kita sekarang ini”.42

Contoh lain dalam surat Al-Balad Ayat 6:

هكث مال نبذا ) (6يقل أ

42 Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf .

66

“Dia mengatakan: „aku telah menghabiskan harta yang banyak‟.”pada iftitah

tafsir surah ini telah dinukilkan asbab nuzulnya, yang kelihatannya berkaitan dengan

ayat ke 6 ini. Sikap angkuh dan ingkar salah seorang tokoh Mekkah dan orang-orang

kaya Mekkah yang membangga-banggakan diri, sudah berapa harta mereka yang

mereka keluarkan untuk melawan dan menentang ke Rasulan Muhammad SAW.

“Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Inilah sifat yang sangat buruk. Sifat

berbangga diri telah mengeluarkan harta yang banyak untuk berbuat kejahatan

Betapa banyak orang yang berbangga diri telah berfoya-foya mengeluarkan

puluhan, bahkan ratusan juta rupiah, namun yang dilakukan dosa semata. Dia

menghamburkan uang di meja judi, menebar uang dalam meraup suara pada waktu

pemilu dan pilkada, menyogok para penjabat yang rakus uang, membeli perkara dari

para hakim dan jaksa yang tidak punya kepribadian. Ini adalah tindakan kejahatan

yang menjadi bagian dari kebanggaan diri. Sifat membanggakan diri dalam berbuat

baik saja sudah dipandang jelek. Apalagi membanggakan diri dalam berbuat jahat.

Sisi lain dari sifat ini adalalh bila diajak untuk berkontribusi bagi upaya

dakwah untuk menegakkan kalimat Allah mereka menjawab bahwa mereka telah

menyumbang dan berpartisipasi dalam perjuangan tersebut. Mereka merasa bahwa

sumbangan dan bantuannya untuk menegakkan agama Allah, mendirikan sarana

social dan keaagamaan sudah sangat berlimpah. Benar, mereka sudah mengeluarkan

kekayaan untuk dakwah itu tetapi motivasi mereka bukanlah mardhatillah, tetapi

hanyalah semata-mata hendak mengejar pujian dan sanjungan orang agar dia

dikatakan sebagai orang yang dermawan.43

G. Kelebihan dan Kekurangan

Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj menggunakan bahasa Indonesia

sehingga memudahkan para pembaca untuk memahami isi al-Qur‟an. Dalam

menafsirkan sertia ayat al-Qur‟an Yunan Yusuf menjelaskan dengan panjang lebar

mengaitkan dengan fenomena yang terjadi di dalam masyarakat dan menjelaskan

teori ilmiah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Dalam hal ini Yunan Yusuf

mencoba memakai metode tahlili dengan membuat topik (maudu‟i) yang mana

tafsirnya disesuaikan dengan tema-tema.

43 M. Yunan Yusuf. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l Wahhaj: Terang Cahaya Juz „Amma, h

.435-436.

67

Kelebihan Tafsir Juz „Amma as-Sirāju „l Wahhāj ini mempunyai perbedaan

dengan literatur tafsir Indonesia yang lain yakni setiap suratnya terdapat satu atau

lebih dari dua tema tertentu. Yunan Yusuf mencoba melakukan yang menurutnya

belum dikerjakan oleh orang lain, sehingga nantinya Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l

Wahhāj ini bisa menutupi kekurangan-kekurangan Tafsir Indonesia. Karena

menurutnya yang belum terlihat dari tafsir-tafsir yang lain itu adalah hubungan antar

ayat dan antar surat dalam satu kesatuan, penekanan pada munasabah, inter koneksi

diantara ayat-ayat itu.44

Kemudian dalam menafsirkan setiap ayat al-Qur‟an Yunan

Yusuf mengungkapkan secara panjang dan lebar dalam mengkaitkan fenomena yang

terjadi didalam masyarakat yaitu berkembangnya meluruskan pemahaman akidah

yang baik sesuai dengan penamaan juz XXX ini serta menjelaskan teori ilmiah dalam

menafsirkan ayat al-Qur‟an.

Adapun kekurangan dari tafsir juz „amma as-sirāju „l wahhāj adalah:

Terdapat kesalahan pengetikan dalam kitab tafsir juz „amma as-sirāju „l

wahhāj seperti:

أخشج ابه جشيش ابه أبي حاجم عه انحسه قال : نما بعث انىبي صه هللا عهي

نىبأ انعظيسهم جعها يحساءنن بيىم فىضنث عم يحساءنن عه ا

Sebelum kalimat ابه جشيش ada sanad yang tidak disebutkan dan sebelum

kalimat أبي حاجم ada sanad yang tidak disebutkan kembali. Dan kalimat انعظي

seharusnya ditulis menjadi انعظيم. Sesuai dalam kitab al-Dār Al-Mansyur Fī Al-

44

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf.

68

Tawīl Bi Al-Matsūr yang dikarang oleh Abdurahman bin Abi Bakar Jalal Al-Dīn Al-

Suyuṯy.

أخشج عبذ به حميذ ابه جشيش ابه انمىزس ابه أبي حاجم ابه مشدي عه انحسه

قال : نما بعث انىبي صه هللا عهي سهم جعها يحساءنن بيىم فىضنث } عم

يحساءنن عه انىبئ انعظيم {45

Pada tafsir ini Yunan Yusuf juga menggunakan bahasa Indonesia dalam

menafsirkan al-Qur‟an yang mana menunjukkan bahwa buku tafsir tersebut

bersifat lokal yang hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal saja, sedangkan bagi

non Indonesia tetap mengalami kesulitan karena bahasa Indonesia bukan bahasa

Internasional.

H. Komentar para Tokoh tentang M. Yunan Yusuf

Ar-Rujū‟ Ila al-Kitābi wa as-Sunnah (kembali kepada al-Qur‟an dan

hadis) adalah semangat yang diusung oleh gerakan pembaharuan semenjak Ibnu

Taymiyah sampai KH. A. Dahlan. Menafsirkan al-Qur‟an kembali ditengah

semangat zaman kini, guna melanjutkan langkah pembaharuan tersebut, menjadi

keniscayaan. Tafsīr Juz „Amma As-Sirāju „l Wahhāj Terang Cahaya Juz „Amma

ini membersitkan semangat tersenut dalam menghadapi era globalisasi. (Prof. Dr.

Fathurrahman Jamil, MA- Wakil Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat

Muhammadiyah dan Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

45

Abdurahman bin Abi Bakar Jalal Al-Dīn Al-Suyuṯy, Al-Dār Al-Mansyur Fī Al-Tawīl Bi Al-

Matsūr Abdurahman Bin Abi Bakar Jalal Al-Dīn Al-Suyuṯy (Mauqu‟ Al-Tafasīr: T.tp.n.), bab I, juz 10,

h.179.

69

“…. Tindakan yang paling tepat dan paling dibutuhkan sekarang ini

adalah menafsirkan al-Qur‟an untuk memenuhi kebutuhan zaman yang selalu

berubah. Untuk itulah saya menyambut baik dan menyampaikan penghargaan

kepada saudara Prof. Dr. M. Yunan Yusuf yang telah memasuki samudera yang

sangan dalam tanpa dasar dan sangat luas tanpa tepi.” (Prof. Dr. M. Quraish

Shihab, Direktur Pusat Studi Al-Qur‟an dan Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Guru Besar Pemikiran Islam (Ilmu Kalam,

Filsafat, dan Tasawwuf) pada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

menorehkan kemampuannya melalui karya ini. Tafsir Juz „Amma As-Siraju „l

Wahhaj Terang Cahaya Juz „Amma menyajikan penjelajahan yang komperhensif

penafisran terhadap juz „amma dari berbagai disiplin ilmu, terutama disiplin Ilmu

Agama Islam. (Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA–Direktur Jendral Bimbingan

Masyarakat Islam Kementrian Agama RI dan Guru Besar Fakultas Ushuluddin

Dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).

70

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari sudut analisa yang penulis lakukan dalam kitab Tafsir Juz „Amma As-

Sirāju „l Wahhāj nampaknya sangat tepat kalau tafsir ini diperuntukkan untuk orang

Indonesia yang memang mengerti betul bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan di

dalam kitab ini bahasa yang simple dan mudah difahami. Kemudian beliau membuat

tafsir ini atas dasar untuk menjawab kritik para orientalis tentang al-Qur‟an yang

mengatakan bahwa al-Qur‟an itu buku yang paling tidak teratur, isinya meloncat-

loncat, keterangannya berencar-pencar. Maka dari itu tafsir ini ditulis dengan

pendekatan yang disebut dengan ilmu munasabah. Ilmu munasabah itu adalah bahwa

al-Qur‟an itu secara keseluruhannya saling kait mengait, saling berjalin kelindang

merupakan satu kesatuan yang terpatri secara utuh. Jadi tidak tercerai berai, tidak

melompat-lompat, tidak berurut sesuai dengan latar belakangnya.

Dari segi metodologi Tafsir Juz „Amma As Sirāju „l Wahhāj menggunakan

metode tahlili yang bertema, itu dilihat dari penyusunan surat dalam kitabnya dan

juga tafsirnya disesuaikan dengan tema-tema dalam setiap suratnya.

Dari segi corak atau kecenderungan penafsiran, Tafsir Juz „Amma As-Sirāju „l

Wahhāj dapat dikatagorikan dengan corak adab al-ijtima‟i, hal itu dapat dilihat dari

penjelasan-penjelasan Yunan yang lugas dalam masalah-masalah yang terjadi,

disertai pula solusi yang sesuai dengan konteks sosial di sekitarnya.

71

B. Saran

Penelitian terhadap karya tafsir di Indonesia sampai sejauh ini dirasakan

masih sangat minim dan bisa dikatakan kurang lengkap. Disamping itu para peneliti

tradisi penafsiran di Indonesia banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti dari “Barat”

dibanding orang asli Indonesia sendiri sebagai pewaris tradisi. Padahal khazanah

tafsir yang telah dirintis sejak beberapa abad lalu tersebut, sangat kaya dan terlalu

berharga untuk dilupakan begitu saja. Karena bagaimanapun tradisi penulisan tafsir

merupakan salah satu bagian penting dari sebuah peradaban penting di Indonesia.

Oleh karena itu, penelitian selanjutnya yang lebih komperhensif terhadap karya tafsir

Indonesia, penulis sarankan agar lebih memperhatikan lagi, karena masih banyaknya

wilayah kajian tafsir di Indonesia yang belum tersentuh oleh para peneliti.

Dari pembahasan dan kesimpulan yang penulis paparkan diatas, penulis akan

memberikan saran, kepada umat Islam secara umum, khususnya kepada peneliti yang

konsentrasi dibidang tafsir diharapkan lebih kritis dalam menyikapi perkembangan

ilmu tafsir, khususnya terhadap perkembangan metode dan corak penafsiran.

Mengingat metode dan corak penafsiran dalam karya-karya tafsir umat beragam. Bagi

yang ingin melanjutkan bahwa terdapat pembahasan dari tafsir M. Yunan Yusuf yang

belum dilakukan penelitian terhadapnya yakni tentang juz 28, 27, 26. Kepada peneliti

kajian ulum al-Qur‟ān dan tafsir, agar melanjutkan penelitian tentang M. Yunan

Yusuf ini sehingga dapat memperkaya kajian tafsir khususnya di literatur tafsir

Indonesia. Penulis menyadari bahwa uraian-uraian di atas masih jauh dari kata

sempurna dan masih banyak hal yang perlu dikaji lebih dalam. Untuk itu penulis

72

berharap semoga tulisan ini menjadi kontribusi awal untuk kajian-kajian selanjutnya

dan menjadi pelengkap bagi kajian yang sudah ada.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Muhammad, Kontribusi Tafsir Kontemporer Dalam Menjawab Persoalan Ummat.

Jurnal Substantia V. 15, No. 1, April 2013.

Amir, Mafri, Literatur Tafsir Indonesia (Tangerang: Mazhab Ciputat, 2013) cet II.

Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia (Solo: Tiga

Serangkai Pustaka, 2003).

Esack, Farid, Samudera Al-Qur‟ān. Penerjemah Nuril Hidayah (Yogyakarta: Diva Press,

2007).

Faderspiel, Howard M, Kajian al-Qur‟an di Indonesia: Dari Mahmud Yunus Hingga

Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), Cet.I.

Al-Farmawi, Abd al-Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Mawdhu‟i, (Mathba‟at al-Hidharat

al-„Arabiyah,1977), Cet. II.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi, (Jakarta

Selatan: Teraju, 2003).

--------------------, “Bahasa Dan Aksara Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia Dari Tradisi,

Hierarki Hingga Kepentingan Pembaca,” Jurnal Sekolah Tinggi Adama Islam

Negri (STAIN) Surakarta, 2010, vol. 6, no.1.

--------------------, paradigm penelitian tafsir al-Qur‟ān di Indonesia. Epirisma Vol. 24 No.

1 Januari 2015.

Harahap, Henrizal Saidi, Skripsi Studi Kritis Terhadap Metodologi Tafsir Rahmat.

Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negri

Syarif Hidayatullah, (Jakarta 2004).

Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1982), juz ke-1, cet ke-1

Hayati, Nur, Tafsir Al-Ibriz (Study Atas Penafsiran Bisri Musthofa), Skripsi Fakultas

Ushuluddin Iain Syarif Hidayatullah, (Jakarta 2002).

Hilmi, Faisal, “Metode dan Corak Tafsir Al-Iklīl Fi Ma‟ani al-Tanzīl Karya Kh. Misbah

bin Zainul Musthofa,” Skripsi S1 Program Studi Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, ( Jakarta 2015).

Ichwan, Moc Nur, “Literatur Tafsir Qur‟an Melayu-Jawi Di Indonesia: Relasi Kuasa,

Pergeseran, dan Kematian dalam visi Islam,” Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman,

volume 1, no. 1 (Januari 2002).

Iqbal, Mashuri Sirojuddin, dkk, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Angkasa, 1994).

ISLAMICA“ Studi Kritis atas Metode Tafsir Tematis al-Qur‟ān,” V, No. 2 (Maret:

2011).

Johns, Anthony H, “Tafsir Al-Qur‟an Di Dunia Indonesia-Melayu,”, Jurnal Studi Al-

Qur‟an, (Ciputat, 2006): vol. I, no. 3.

-------------------------, “The Qur‟an In The Malay World: Reflection On `Abd Al-Rauf Of

Sinkel (1615-1693)”, Al-Jami‟ah Journal of Islamic Studies 9:2 (1998).

Muhammad, Nurdinah, “Karakteristik Jaringan Ulaa Nusantara Menurut Pemikiran

Azyumardi Azra,” Fakultas Ushuluddin IAIN ar-Raniry, Jurnal Subastantia, 2012,

vol.14 no.1.

Musaddad, Endad, Studi Tafsir Di Indonesia Kajian Atas Tafsir Karya Nusantara.

(Tangerang: Sintesis, 2012) cetakan II.

Mustaqim, Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS Printing

Cemerlang, 2011).

Musthafa, Bisri, Al-Ibriz Li Ma‟rifati Tafsiril Qur‟an (Rembang: Menara kudus, 1959).

Nasuhi, Hamid, dkk. “Pedoman Penulisan Skripsi” dalam Pedoman Akademik

2010/2011,(Jakarta: Biro Akademik dan Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2010).

Nurdin, Zuhdi M, Pasaraya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga

Kontekstualisasi (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014) cetakan I.

Nurtawab, Ervan, “Melacak Tradisi Awal Penafsiran Al-Qur‟ān di Nusantara”, Jurnal

Lektur Kegamaan 4:2 (2006).

-----------------------, Tafsir Al-Quran Nusantara Tempo Doeloe (Jakarta: Ushul Press,

2009) cetakan I.

Al-Qathan, Manna‟ Khalīl, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa).

Ready, Musholli, Tesis Geneologi Penafsiran Kontemporer. Konsentrasi Tafsir Hadits

Sekolah Pasca Sarjana Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qurān Kontemporer Dalam Pandangan

Fazlur Rahman (Ciputat: Sulthan Thaha Press, 2007), cetakan I.

Saleh, Fauzi, “Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Al-Ulum,

2012). Vol 12, No.2.

Sanaky, Hujair, Metode Tafsir [Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna Atau

Corak Mufassirin] (Jurnal Al-Mawarid, 2008) edisi XXVIII.

Saputro, M. Endy, “Alternatif Tren Studi Qur‟ān,” Al-Tahrir II, No. 1 (Mei 2011: 1-27).

Senong, Faried F, “Al-Qur‟an, Modernism Dan Tradisionalisme: Ideologisasi Sejarah

Tafsir Al-Qur‟an Di Indonesia”, Jurnal Studi Al-Qur‟an, Ciputat, 2006 vol. I, no.

3.

Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992) cetakan I.

------------------------, dkk., Sejarah dan Ulum al-Qur‟an, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1999.

-------------------------, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Qur‟ān (Tangerang: Lentera Hati 2013),

cet.I.

Siddiq, M. Hafidz, Skripsi Tafsir Al-Qur‟ān Keindonesiaan (Studi Komparasi

Pemikiran Tafsir Perspektif Buya Hamka dan M. Quraish Shihab). S1 Jurusan Al-

Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negri Maulana

Malik Ibrahim, (Malang 2013).

Al-Suyuṯy, Abdurahman bin Abi Bakar Jalal Al-Dīn, Al-Dār Al-Mansyur Fī Al-Tawīl Bi

Al-Matsūr Abdurahman Bin Abi Bakar Jalal Al-Dīn Al-Suyuṯy (Mauqu‟ Al-

Tafasīr: T.tp.n.), bab I, juz 10, h.179.

Syafi‟I, Mustaffa bin Abdullah dan Abdul Manan, Khazanah Tafsir Di Nusantara

penelitian terhadap tokoh dan karyanya di Malaysia, Brunei Darussalam,

Singapura dan Thailand, jurn Kontekstualita, 2009 vol. 25, no. 1.

Syakur, Abdul, Mengenal Corak Tafsir Al-Qur‟ān Dosen STIU (Sekolah Tingggi Ilmu

Ushuluddin) Al-Mujtama‟ (Pamekasan: El-Furqonia,2015) vol. 01, no. 1.

Al-Syirbasi, Ahmad, Sejarah Tafsir Qur‟an, (T.tp: Pustaka Firdaus, 1994), cet.III.

Thanthawi, Muhammad Sayyid, Mabahits Fi „Ulum Al-Qur‟ān (Kairo: Azhar Press,

2003), h 12.

Al-Tubany, Ziyad, Membaca Dan Memahami Konstruksi al-Qur‟ān (Jakarta Selatan:

Indomedia Group, 2006).

Wartini, Atik, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah (hunafa:

Jurnal Studia Islamika), vol.11, No. 1, Juni 2014: 109-126. Lihat juga M. Quraish

shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, Vol. I,

(Jakarta: Lentera Hati, 2007).

Wijaya, Aksin, Arah Baru Studi Ulum Al-Qur‟ān Memburu Pesan Tuhan Di Balik

Fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009).

Yusuf, M. Yunan, Disertasi Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuah Telaah

Tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam. Fakultas Pasca Sarjana Iain

Syarif Hidayatullah, (Jakarta 1989).

----------------------, Karakteristik Tafsir Al-Qur‟ān Di Indonesia Abad Keduapuluh.

Jurnal ulumul Qur‟an, no.4 Vol. III, LSAF. 1992.

----------------------, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas

Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam. (Jakarta: Penamadani, 2004) cet. I.

-----------------------, Tafsir Juz „Amma As-Siraju „I-Wahhaj (Terangnya Cahaya)

(Jakarta: Penamadani, 2010). Cet I.

Zaid, Nasr Hamid Abu, Tekstualitas al-Qur‟an. Penerjemah Khoirun Nahdliyyin

(Yogyakarta: LKiS, 2002).

Wawancara pribadi dengan M. Yunan Yusuf, Tangerang Selatan, 20 September 2016.

Website:

Izza Rohman, “Istilah-istilah Dalam Madzahib al-Tafsir” artikel diakses pada 29 Agustus

2017 dari https://quranicsciences.wordpress.com/2008/11/28/istilah-istilah-dalam-

madzahib-al-tafsir/

M. Ja‟far Nashir, M.Ag, “Macam-Macam Metode Penulisan Al-Qur‟an”, artikel diakses

pada Kamis 15 September 2016 dari https://bambies.wordpress.com/2013/04/23/macam-

macam-metode-penafsiran-al-quran/.

Saifullah Munawir.BA, “Metodologi Tafsir Kontemporer (Tafsir sebagai solusi atas

problem social),” artikel diakses pada 25 Agustus 2016 dari http://miftahul-falah-

miftahul-falah.blogspot.com/2010/07/metodologi-tafsir-kontemporer-tafsir_12.html.

Hasil Transkip Wawancara Pribadi Dengan M. Yunan Yusuf

Ciputat, Selasa 20 September 2016

Apa yang melatarbelakangi penulisan Tafsir Juz ‘Amma as-Sirāju ‘l Wahhāj?

Untuk Menjawab kritik para orientalis tentang al-Qur‟an yang mengatakan bahwa al-

Qur‟an itu buku yang paling tudak teratur, isinya meloncat-loncat, keterangannya

berpencar-pencar, umpamanya carilah kisah Fir‟aun itu muncul dimana-mana sehingga

ini dianggap buku yang membingungkan gitu, nah padahal sebenarnya itu dilakukan pada

karna ada informasi yang berulang-ulang diberikan. Dalam teori komunikasi itu

dikatakan bahwa suatu informasi apalagi itupun berkaitan dengan ajaran itu perlu

diulang-ulang. Jadi ibarat iklan gabisa sekali aja setiap kali itu disampaikan itu. Maka

itulah kemudian saya menulis tafsir ini dengan pendekatan yang disebut dengan ilmu al-

munasabah. Ilmu munasabah itu adalah bahwa al-Qur‟an itu secara keseluruhannya

saling kait mengait, saling berjalin kelindang merupakan satu kesatuan yang terpatri

secara utuh. Jadi tidak tercerai berai, tidak melompat-lompat, tidak berurutan. Al-Qur‟an

itu merupakan satu kesatuan pokok informasinya walaupun terdapat perulangan disana

itu adalah metodologi menyampaikan karna dia adalah hidayah. Nah itu adalah latar

belakang.

Mengapa lebih cenderung memilih tafsir tematis?

Iya karna di munasabah tema, tematis dalam arti sesuai dengan munasabatnya maka saya

berilah nama tafsir juz 30 ini as-siraju ‘l wahhaj artinya itu cahaya yang terang

benderang (terang cahaya juz „amma), nanti juz ke 29 itu Khuluqun ‘Azhim, 28 Bunyanun

Marshuh, 27 itu Hikmatun Mubalighah.

Mengapa lebih memilih tafsir berbahasa Indonesia? Apakah dikhususkan oleh

orang Indonesia?

Iya tentu mereka yang memahami bahasa Indonesia karena dalam persepsi saya tafsir

yang ditulis itu lebih banyak berbahasa Arab, jadi tradisi menulis tafsir kita di Melayu ini

masih sangat rendah, kalau kita hitung tafsir-tafsir yang selesai ditulis sampai juz 30 itu

114 surat itu yang sempurna itu yang utuh itu menurut saya baru ada tafsir Zainudin

Hamidi kemudian tafsir hamka dan tafsir Quraish Shihab.

Corak atau pendekatan seperti apa sebenarnya yang ada dalam Tafsir Juz ‘Amma

as-Sirāju ‘l Wahhāj tersebut?

Adabil ijtima’i alasannya karena problem kita adalah problem masyarakat Indonesia ini

sangat kompleks apalagi kalau kita kaitkan dengan pertumbuhan generasi muda kita

sekarang ini (gejolak sosial saat ini).

Siapa saja target konsumen yang membaca tafsir ini?

Target yang Yunan Yusuf dalam menafsirkan tafsir ini utamanya sebenarnya masyarakat

luas menengah keatas yang punya tradisi membaca tidak tradisi lisan.

Mengapa tafsir ini dimulai dengan juz 30 diawali dari surat an-naba dan diakhiri

dengan surat an-nas?

Tadinya mulain dari awal dari al-Fatihah al-Baqarah, tapi karena panjang surat ini saya

merasa keletihan sendiri gitu ya.. nah lalu saya mulai berfikir dan disarankan pak Quraish

juga itu “kaluar sulit dari awal kenapa tidak mulai dari ujung” katanya. Karena surat2

pendek itu selesai 2 minggu selesai satu surat itu membuat saya lebih terdorong lagi,

karena selesai beban nah itu membuat saya memulai dari juz 30 kemudian lalu berurutan

30 29 28 27 26.

Mengapa perjilid per juz? Semangat dari munasabah al-Qur‟an itu jadi kenapa kemudian mushaf utsmani membagi

juz itu membagi juz jadi 30 gitu ini ada rahasia apa gitu, nah setelah saya baca ternyata

dia itu adalah pesan yang paling utama disampaikan dalam juz ini adalah berita tentang

kiamat, artinya itu berita tentang keimanan ya. Oleh sebab itu saya katakan ini adalah

terang cuaca pertama kali yang diturunkan seperti itu, bukan diturunkan sebenarnya,

pesan yang disampaikan oleh juz 30 ini seperti itu. Karena dia surat-surat pendek ditulis

di masa Makkah. Turun di makkiyah.

Per surat selalu ada tema? Pesan dari munasabah, jadi dari masing-masing ayat itu bisa kita kelompok-kelompokkan

menjadi satu tema tertentu sehingga jadi diikat tema itu sehingga jad satu kesatuan jadi

tidak tercerai berai yang seperti dikatakan oleh orientalis itu. Dan ternyata memang

benar, jadi ada ayat ada 3 sampai 4 ayat itu berbicara satu problem satu tema gitu. Nah

tinggal lagi kita sebagai mufassir mencari tema yang mengikatnya itu.

Apa motivasi anda? Sebenarnya saya sejak masih mahasiswa itu sarjana muda saya itu menulis tentang al-

Quranul Karim A’zamu Mu’jizat Li An-Nabi jadi risalah sarjana muda saya itu tentang

tafsir qur‟an yakni melihat mu‟jizat ke qur‟an itu saya telusuri itu dalam bahasa arab, nah

dari situ kemudian tersimpan semangat itu untuk nanti pada waktunya saya akan harus

menulis tafsir itu baru kemudian di penghujung baru muncul lagi minatnya lagi lebih

kuat.

Terbentuknya buku tafsir ini atau cetakan dan terbitan mana saja yang digunakan?

1 pena madani, mereka yang menyambut gagasan ini kemudian karena pena madani ini

sedikit mengalami persoalan saya pindah ke lentera hati pak Quraish Shihab. Nah

sekarang kemudian semua tafsir saya itu diterbitkan di lentera hati.

Langkah2 perjalanan menuliskan tafsir bangun jam 3 kemudian nulis solat subuh

kemudian menulis lagi sampai jam 6 pagi baru selesai kemudian malam sesudah solat

isya sampai jam 11 nah itu yang saya lakukan. Tapi disamping itu saya narasumber pada

halaqah tafsir yang ada di PSQ ini. Jadi saya kumpul-kumpulkan dah itu jadi ketika saya

ceramah disana kemudian tulis lalu simpan nanti pada waktunya akan keluarkan ketika

mau nullis yang berikutnya.

Siapa yang menjadi pedoman?

Ada 3 tafsir yang saya jadikan pedoman

Al-Mishbah, Al-Azhar, Dzilalil Qur’an

Bagi saya ketiga tiganya ini bisa di kombinasi untuk berikan penafsiran al-Qur‟an di

zaman modern. Disamping juga melihat tafsir-tafsir klasik. Bisa dikatakan tafsir modern

karena Melihat penafsiran di era modern.

Kelebihan tafsir ini menurut Yunan sendiri? Mungkin tidak kelebihan lah ya, saya mencoba melakukan yang menurut saya belum

dikerjakan oleh yang lain gitu.. sehingga nanti tafsir itu bisa menutupi kekurangan-

kurangan. Bagi saya yang belum terlihat dari tafsir-tafsir yang lain itu adalah hubungan

antar ayat antar surat dalam satu kesatuan itu, penekanan pada munasabah itu,

interkoneksi diantara ayat-ayat itu.

Berapa lama waktu yang anda habiskan untuk menulis Tafsir Juz ‘Amma as-Sirāju

‘l Wahhāj ini? Kurng lebih 6 bulan, umumnya 6 bulan

Lalu modal apa yang anda miliki untuk menafsirkan al-Qur’ān, selain buku yang 3

ini? Al-Mishbah sebagai tafsir terbaru di Indonesia

Al-Azhar, tafsir tahlili pertama yang sempurna ditulis dari al-fatihah sampai an-nas,

selebihnya tafsir-tafsir yang muncul di Indonesia dalam bentuk terjemah seperti Mahmud

Yunus, departemen agama

Dzilalil Qur’an itu lebih bersifat taat asas dalam memahami aqidah Islam dalam

perkembangan peradaban modern yang dia sering istilahkan dengan jahiliyah modern itu

jadi dipergunakan pandangan pandangan itu agar penafsiran yan kita lahirkan ini tidak

bergeser kepada bentuk penafsiran liberalisme

Ibnu Katsir, tafsir yang lebih lengkap bil ma‟tsurnya, lebih lengkap riwayat-riwayat

hadisnya dan memang Ibnu Katsir itu sangat sedikit memasukkan pemikirannya kedalam

tafsir, dia lebih bayak memahami ayat-ayat itu berdasarkan hadis-hadis Nabi dengan

ma‟tsur

Tafsir Jalalayn, tafsir ini yang sangat popular yang banyak dibaca karna dia singkat

ringkas dan kalau kita letakkan pada jenis sebenarnya dia terjemahan, tafsir terjemahan

itu lebih menduduki kepada makna kosakata terjemahan kata di dalam al-Qur‟an dan dia

banyak dipelajari di pesantren-pesantren kita dan disamping itu juga al-Qurtubi, at-

Thabary berbagai tafsir yang dipergunakan.

Adakah ilmu lain yang anda masukkan dalam tafsir anda tersebut?

ilmu yang dipergunakan tentu ada dakwah disana,kemudian ada ilmu kalam karna

disiplin saya itu ilmu kalam nama sebenarnya itu adalah pemikiran islam pemikiran islam

itu ada ilmu kalam ada falsafat ada tasawuf gitu, bagi pembaca tafsir ini akan melihat

nuansa kalamnya kental tentu sejauh mana sangat tergantung pada peneliti tafsir ini.

Penamaan kitab Tafsir Juz ‘Amma As-Sirāju ‘l Wahhāj, apa alasan serta tujuannya?

Ini salah satu ayat dari surat „amma yatasā alūn, karena kandungan dari juz ‘amma itu

lebih kepada pemberitaan al-Qur‟an tentang kaidah-kaidah keimanan yang membawa

kepada pemahaman untuk mengesakan Allah oleh sebab itu karena dia turun ditengah

masyarakat jahiliyyah gelap gulita, dzulumāt maka al-Qur‟an datang dengan sirāj itu

cahaya yang terang benderang, oleh sebab itu semua surat-surat yang ada di juz ‘amma

ini makiyyah yang pada priode itu nabi sedang berjuang menegakkan aqidah, maka saya

berilah nama ini as-sirāju ‘l wahhāj untuk menggambarkan bahwa kandungan juz ‘amma

itu tema sentralnya itu adalah tentang aqidah. Saya ingin menghindari karna banyak

sekali sekarang ini orang tidak bisa membedakan lagi mana alif lam syamsyiah mana alif

lam qomariah bahkan mahasiswa uin pun tidak bisa membedakan itu sekarang, maka

untuk mengurangi supaya orang tidak membaca as-sirāju al-wahhāj nanti maka saya

ambil penyederhanaan itu sehingga orang harus baca as-sirāju ‘l wahhāj jangan as-sirāju

al-wahhāj. Nah aturan kan ini al-sirāj al-wahhāj. Supaya menghindari dan bisa

membedakan alif lam syamsyiah dan alif lam qomāriah.

Penulisan nama surat di awal dengan menghadirkan Bahasa Arab, Bahasa Inggris

dan Bahasa Indonesia, apa alasan dan tujuannya?

Untuk supaya tafsir ini juga bisa ditangkap orang-orang yang punya latar belakang

bahasa Inggris itu, apalagi dalam konteks sekarang ini dengan jeniverisme al-Qur‟an itu

karna dia sudah masuk kedalam multi peradaban sehingga seharusnya masuk ke dalam

penafsiran kedua bahasa itu tetapi tentu dengan memperkenalkan awal judul itu mudah

Smudahan orang menangkap serta memahami apa yang ada di dalam tafsir ini.