Linguistik Kebudayaan PDF

23
BAB II LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR A. Landasan Teori 1. Pengertian Sosiolinguistik Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio yang berarti sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi- fungsi kemasyarakatan; dan linguistik, yaitu yang mempelajari/ membicarakan tentang bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah studi/ pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1984: 2). Apel (dalam Suwito, 1985: 4) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi tentang bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan. Mansoer Pateda (1992: 3) memberi definisi sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya. Jadi, orang berbahasa harus memperhatikan konteks budaya tempat ia bertutur. Pendapat lain mendefinisikan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur (Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 5). Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat tutur. Dapat dianggap bahwa kajian sosiolinguistik ialah "penggunaan bahasa" oleh penutur-penutur tertentu dalam keadaan-keadaan yang sewajarnya untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Nababan (1984: 3), masalah- masalah utama yang dibahas oleh, atau dikaji dalam sosiolinguistik adalah: 6

Transcript of Linguistik Kebudayaan PDF

  • BAB II

    LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG

    RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR

    A. Landasan Teori

    1. Pengertian Sosiolinguistik Istilah sosiolinguistik terdiri dari dua unsur: sosio yang berarti sosial, yaitu

    yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-

    fungsi kemasyarakatan; dan linguistik, yaitu yang mempelajari/ membicarakan

    tentang bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah studi/ pembahasan dari bahasa

    sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat (Nababan, 1984:

    2). Apel (dalam Suwito, 1985: 4) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai studi tentang

    bahasa dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan

    kebudayaan.

    Mansoer Pateda (1992: 3) memberi definisi sosiolinguistik sebagai cabang

    linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan

    budaya. Jadi, orang berbahasa harus memperhatikan konteks budaya tempat ia

    bertutur. Pendapat lain mendefinisikan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang

    ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi, dan pemakai bahasa karena ketiga

    unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu

    masyarakat tutur (Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 5).

    Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

    sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari tentang pemakaian bahasa yang

    digunakan di dalam masyarakat tutur. Dapat dianggap bahwa kajian sosiolinguistik

    ialah "penggunaan bahasa" oleh penutur-penutur tertentu dalam keadaan-keadaan

    yang sewajarnya untuk tujuan-tujuan tertentu. Menurut Nababan (1984: 3), masalah-

    masalah utama yang dibahas oleh, atau dikaji dalam sosiolinguistik adalah:

    6

  • 1. Mengkaji bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan;

    2. Menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam

    bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya;

    3. Mengkaji fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam

    masyarakat.

    Suatu interaksi selalu terdapat faktor yang mengambil peranan dalam

    peristiwa itu. Faktor-faktor tersebut antara lain: penutur (sneaker), lawan bicara

    (hearer receiver), pokok pembicaraan (topic), tempat bicara (setting), suasana bicara

    (situation scene), dan sebagaianya. Dalam berbahasa, penutur akan memperhitungkan

    kepada siapa ia berbicara, dimana, mengenai masalah apa dan dalam situasi

    bagaimana. Dengan demikian, tempat bicara akan menentukan cara pemakaian

    bahasa penutur. Pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna

    terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung. Faktor-faktor dalam peristiwa

    pembicaraan tersebut dikenal dengan sebutan peristiwa tutur (speech event) (Suwito,

    1985: 30).

    Suatu ketentuan dasar dari masyarakat tutur ialah bahwa masyarakat tutur itu

    bukanlah suatu masyarakat yang berbicara dengan bahasa yang sama, melainkan

    suatu masyarakat yang timbul karena rapatnya komunikasi (Gamperz dalam Suwito,

    1985: 22). Menurut Gamperz, masyarakat tutur ialah masyarakat yang timbul karena

    rapatnya komunikasi atau karena integrasi simbolis dengan tetap menghormati

    (mengakui) kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa dan

    atau variasi bahasa yang dipergunakannya. Sedangkan menurut Fishman (dalam

    Suwito, 1985: 20) memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu masyarakat

    yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur beserta norma-

    norma yang sesuai dengan pemakaiannya.

    Berdasar dua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur

    adalah suatu masyarakat atau sekelompok orang-orang yang menggunakan bahasa

    yang sama sesuai dengan pemakaiannya.

    Peristiwa tutur dapat terjadi karena adanya faktor-faktor yang menandai. Dell

  • Hymes (dalam Abdul Chaer, 1998: 64) menandai faktor-faktor tersebut dengan

    singkatan SPEAKING, yang masing-masing bunyi merupakan fonem awal dari

    faktor-faktor yang dimaksudkan, ialah:

    S: Setting dan scene, yaitu tempat bicara dan suasana bicara.

    P: Partisipant, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan.

    E: End, yaitu maksud dan hasil percakapan.

    A: Act, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan hasil percakapan.

    K: Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan

    percakapan.

    I: Instrumen, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan, apakah secara lisan atau

    bukan.

    N: Norma, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.

    G: Genre, yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.

    Kedelapan unsur yang oleh Dell Hymes diakronimkan menjadi SPEAKING

    itu, dapat dikatakan dalam berkomunikasi lewat bahasa harus diperhatikan faktor-

    faktor siapa lawan atau mitra bicara kita, tentang atau topiknya apa, situasinya

    bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa (lisan atau tulisan), dan ragam bahasa yang

    digunakan yang mana.

    Pemakaian bahasa ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi, antara

    lain adalah faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial yang mempengaruhi

    pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi,

    jenis kelamin, dan sebagainya. Sedangkan faktor situasionalnya yaitu siapa berbicara,

    dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana dan mengenai masalah apa, seperti

    dirumuskan oleh Fishman (dalam Suwito, 1985: 3) "Who speaks what language to

    whom and when ".

    2. Pengertian Kedwibahasaan Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut

  • juga kedwibahasaan. Kedwibahasaan diartikan sebagai penguasaan yang sama

    baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya penguasaan oleh penutur asli (Bloomfield

    dalam Yus Rusyana, 1988: 1). Menurut Weinreich (dalam Yus Rusyana, 1989: 1)

    menerangkan kedwibahasaan sebagai praktek penggunaan dua bahasa secara

    berganti-ganti, disebutkannya sebagai coordinate bilingual, orang yang mempelajari

    lebih dari satu bahasa, baik selama kanak-kanak memperoleh dua atau lebih bahasa

    asli, maupun pada masa kemudian berupa penguasaan bahasa yang bukan asli dengan

    "sempurna".

    Pendapat Weinreich tidak jauh berbeda dengan pendapat Mackey dan

    Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 84), yakni kedwibahasaan

    adalah penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan

    orang lain secara bergantian. Untuk menggunakan dua bahasa seseorang harus

    menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya

    (B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2).

    Kunjana Rahardi (2001: 15) menegaskan bahwa kedwibahasaan adalah

    penguasaan atas paling tidak dua bahasa, yakni bahasa pertama dan bahasa kedua.

    Ahli lain, Nababan berpendapat kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua

    bahasa dalam interaksi dengan orang lain (1984: 27). Menurut Mackey (dalam

    Kunjana Rahardi, 2001: 14) memberikan gambaran tentang kedwibahasaan sebagai

    gejala pertuturan. Kedwibahasaan dianggapnya sebagai karakteristik pemakaian

    bahasa, yakni praktek pemakaian bahasa secara bergantian yang dilakukan oleh

    penutur. Pergantian dalam pemakaian bahasa tersebut dilatarbelakangi dan ditentukan

    oleh situasi dan kondisi yang dihadapi oleh penutur itu dalam tindakan bertutur.

    Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

    kedwibahasaan adalah dua bahasa yang dilakukan secara bergantian dan berdasarkan

    situasi dan kondisi yang ada. Jadi, seseorang secara bergantian menggunakan dua

    bahasa yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi dimana seseorang tersebut

    berada.

    Apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan secara bergantian oleh penutur

  • yang sama, maka dapat dikatakan bahwa bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan

    saling kontak ( Weinreich dalam Suwito, 1985: 39). Kontak bahasa terjadi dalam

    situasi konteks sosial, yaitu situasi di mana seseorang belajar bahasa kedua di dalam

    masyarakatnya. Terjadinya kontak bahasa mengakibatkan adanya interferensi dan

    integrasi. Kedua peristiwa itu pada hakekatnya adalah peristiwa pemakaian unsur

    bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang terjadi dalam diri penutur (Suwito,

    1985: 53).

    Nababan (1984: 23) berpendapat bahwa interferensi merupakan

    pengacauan. Jadi, pada orang yang berdwibahasa ada kemungkinan terdapat

    pengacauan. Menurut Suwito (1985: 53), interferensi pada umumnya dianggap

    sebagai gejala tutur (speech parole), hanya terjadi dalam setiap anggota masyarakat

    dan peristiwanya tidak lagi sebagai penyimpangan, karena unsur-unsur serapan itu

    telah memasyarakat dan diperlakukan menurut system bahasa penyerapannya.

    Interferensi menurut Abdul Chaer (1998: 66) adalah terbawa masuknya unsur bahasa

    lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan, sehingga tampak adanya penyimpangan

    kaidah dari bahasa yang sedang digunakan itu. Interferensi dapat terjadi pada semua

    tataran bahasa, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, sampai tataran

    leksikon. Tataran fonologi misalnya, kalau penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-

    kata bahasa Indonesia yang mulai dengan /b/, /d/, /j/, /g/, maka konsonan tersebut

    didahului dengan bunyi nasal. Misal kata Bogor diucapkan mBogor, kata Depok

    diucapkan nDepok, dan kata Jambi menjadi nJambi. Interferensi pada tataran

    gramatikal, missal penggunaan prefiks ke- seperti pada kata kepukul, ketabrak, dan

    kebaca yang seharusnya terpukul, tertabrak, dan terbaca. Contoh interferensi pada

    tataran sintaksis adalah susunan kalimat pasif Makanan itu telah dimakan oleh saya

    dari penutur berbahasa Sunda. Dalam bahasa Sunda susunannya adalah Makanan teh

    atos dituang kuabdi; padahal susunan bahasa Indonesianya yang baku adalah

    Makanan itu telah saya makan. Interferensi dalam bidang leksikon berupa

    digunakannya kata-kata dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan.

    Misalnya sewaktu berbahasa Indonesia terbawa masuk kata-kata dari bahasa Jawa,

  • bahasa Sunda, atau bahasa lainnya.

    Interferensi biasa dibedakan dari integrasi. Integrasi menurut Suwito (1985:

    59) terjadi apabila unsur serapan dari suatu bahasa telah dapat menyesuaikan diri

    dengan sistem bahasa penyerapannya, sehingga pamakaiannya telah menjadi umum

    karena tidak lagi terasa keasingannya. Haugen (dalam Suwito, 1985: 59) menafsirkan

    integrasi sebagai kebiasaan memakai materi dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang

    lain. Seperti halnya interferensi, integrasi dapat terjadi dalam segala komponen

    kebahasaan (fonetik, fonemik, morfofonemik, atau semantik). Hadirnya kata-kata

    seperti: pikir, kabar, kursi, bendera menunjukkan adanya integrasi unsur-unsur

    bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Sedangkan kata-kata seperti: dandan,

    cengeng, cewek, umum digunakan dalam bahasa Indonesia, menunjukkan adanya

    integrasi dari bahasa-bahasa daerah/ dialek. Gejala integrasi dalam bidang morfologi

    nampak dengan munculnya kata-kata seperti: nongkrong, mangkal, nonton, ngobrol,

    dan sebagainya. Dalam bidang sintaksis sering terdengar struktur seperti: saya sudah

    katakan, rumahnya Aan, dibawa oleh saya, dan sebagainya. Sedangkan dalam bidang

    semantik dipergunakan kata-kata serapan seperti: wanita, pria, hamil, nara pidana,

    dan lain-lain, sebagai substitusi makna terhadap kata-kata: perempuan, laki-laki,

    mengandung, dan orang hukuman.

    Menurut Abdul Chaer (1998: 64) dalam integrasi unsur-unsur dari bahasa lain

    yang terbawa masuk, sudah dianggap diperlakukan dan dipakai sebagai bagian dari

    bahasa yang menerimanya atau yang dimasukinya. Dalam proses integrasi, unsur

    yang berintegrasi telah disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya.

    Kata dalam bahasa Indonesia yang dieja menjadi montir, riset, sopir, dongkrak

    merupakan contoh yang sudah berintegrasi.

    3. Pengertian Kode Dalam bertindak tutur itulah terjadi pemindahan pesan yang berupa kode. Hal

    ini sesuai dengan pendapat Mansoer pateda (1997: 83) bahwa seseorang yang

  • melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan

    bicaranya. Pengkodean ini melalui proses yang terjadi baik pada pembicara, hampa

    suara, dan pada lawan bicara. Kode-kode itu harus dimengerti oleh kedua belah

    pihak. Apabila yang sepihak memahami apa yang dikodekan oleh lawan bicaranya,

    maka pasti akan mengambil keputusan dan bertindak sesuai apa yang seharusnya

    dilakukan. Tindakan itu misalnya memutuskan pembicaraan atau mengulangi lagi

    pernyataan.

    Menurut Sri Utari Subyakto dan Nababan (1993: 151), kode adalah

    seperangkat tanda-tanda yang diatur sebelumnya tanpa paksaan alamiah dan secara

    "sewenang-wenang" (arbitrary). Jadi, dalam berbahasa, yang dimaksud "kode"

    adalah bahasa apa yang digunakan. Poedjosoedarmo (dalam Kunjana Rahardi, 2001:

    21-22) menjelaskan bahwa kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata

    dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. Suwito memberikan

    definisi tentang kode adalah untuk menyebutkan salah satu varian di dalam hierarki

    kebahasaan. Selanjutnya juga dikatakan bahwa alat komunikasi yang merupakan

    varian dalam bahasa dikenal dengan istilah kode. Dengan demikian, maka dalam

    bahasa terkandung beberapa macam kode (1985: 67).

    Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat dikatakan bahwa kode

    mengacu pada bahasa dan setiap variasi bahasa. Kode merupakan varian yang nyata

    dipakai. Dengan kata lain, kode adalah bagian dari sebuah tuturan bahasa.

    4. Pengertian Alih Kode Keadaan kedwibahasaan akan sering terdapat orang mengganti bahasa atau

    ragam bahasa, hal ini tergantung pada keadaan atau keperluan berbahasa itu.

    Misalnya, ketika kita sedang berbincang-bincang dengan sesorang dengan

    menggunakan bahasa Jawa, kemudian datang orang ketiga yang tidak dapat

    berbahasa Jawa ingin ikut berbincang-bincang dengan kita. Maka, karena kita ingin

    menerima orang ketiga tersebut, kita beralih memakai bahasa Indonesia yang

  • dimengerti oleh orang ketiga tersebut. Jadi, alih kode menurut Nababan adalah

    pergantian bahasa atau ragam bahasa yang dilakukan pada keadaan atau keperluan

    berbahasa (1984: 31).

    Menurut Abdul Chaer (1998: 67) alih kode adalah beralihnya penggunaan

    suatu kode (entah bahasa ataupun ragam bahasa tertentu) ke dalam kode yang lain

    (bahasa atau ragam bahasa lain). Alih kode dibedakan dari campur kode. Jika alih

    kode terjadi karena bersebab, campur kode terjadi tanpa sebab. Dalam campur kode,

    dua kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan dan biasanya terjadi dalam

    situasi santai. Jika dalam situasi formal terjadi campur kode, maka biasanya terjadi

    karena ketiadaan ungkapan yang harus digunakan dalam bahasa yang sedang dipakai.

    Biasanya dalam berbicara menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan unsur-

    unsur bahasa daerah.

    Appel (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 107) mendefinisikan

    alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi.

    Misalnya seseorang yang bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda kemudian

    datang seorang yang ingin ikut bercakap-cakap tidak mengerti bahasa Sunda, maka

    berubah menjadi situasi berbahasa Indonesia yang dimengerti oleh ketiganya.

    Menurut Suwito (1985: 68) alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode

    yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila seorang penutur mula-mula menggunakan

    kode A (misal bahasa Indonesia) dan kemudian beralih menggunakan kode B (misal

    bahasa Jawa), maka peristiwa itu disebut alih kode. Poedjosoedarmo (dalam Kunjana

    Rahardi, 2001: 21) menyebut istilah alih kode sementara (temporary code switching),

    yakni pergantian kode bahasa yang dipakai oleh seorang penutur yang berlangsung

    sebentar atau sementara saja. Menurut Hymes (dalam Suwito, 1985: 69) mengatakan

    bahwa alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan)

    pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan

    beberapa gaya dari satu ragam.

    Alih kode menurut Bambang Kaswanti Purwo adalah pemilihan bahasa atau

    ragam bahasa yang sesuai dengan tuntutan faktor-faktor sosiolinguistik dalam

  • keadaan berbahasa tertentu (1989: 194). Jadi, jika kita mengganti bahasa atau ragam

    bahasa karena berubah pendengar atau topik atau tempat berbicara, dan sebagainya,

    pergantian bahasa atau ragam bahasa itu adalah alih kode.

    Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa alih

    kode adalah proses pergantian atau peralihan pemakaian bahasa yang digunakan dari

    bahasa satu ke bahasa lain, atau dari ragam satu kedalam ragam yang lain, atau dari

    satu kode ke kode yang lain karena berubahnya situasi.

    Suwito (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 114) membedakan

    adanya dua macam alih kode, yaitu:

    1. Alih kode intern, adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti

    dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, atau sebaliknya.

    2. Alih kode ekstern, terjadi antara bahasa sendiri (salah satu bahasa atau ragam

    yang ada dalam verbal reportoire masyarakat tuturnya) dengan bahasa asing.

    Diberbagai kepustakaan linguistik secara umum, Fishman (dalam Abdul

    Chaer dan Leonie Agustuna, 2004: 108) menyebutkan penyebab alih kode antara lain:

    1. Pembicara atau penutur

    Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk

    mendapatkan "keuntungan" atau "manfaat" dari tindakannya itu. Misalnya di

    sebuah kantor banyak tamu kantor pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa

    daerah dengan pejabat yang ditemuinya untuk memperoleh manfaat dari adanya

    rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan berbahasa daerah, rasa keakraban

    lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa Indonesia. Alih kode untuk

    memperoleh keuntungan ini dilakukan oleh penutur yang dalam peristiwa tutur itu

    mengharapkan bantuan lawan tuturnya.

    2. Pendengar atau lawan tutur

    Lawan bicara bisa menyebabkan alih kode, karena penutur ingin

    mengimbangi kemampuan lawan tuturnya sehingga melakukan alih kode. Alih

    kode ini terjadi jika lawan tutur memiliki latar belakang kebahasaan berlainan

    dengan penutur. Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan

  • berbahasa si lawan tutur itu. Dalam hal ini biasanya kemampuan berbahasa si

    lawan tutur kurang karena memang mungkin bukan bahasa pertamanya.

    3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga

    Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatarbelakang bahasa

    yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur

    dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya jika dua orang berasal dari

    daerah yang sama sedang berbincang-bincang menggunakan bahasa daerahnya

    kemudian datang orang lain yang ingin ikut berbincang-bincang dan berasal dari

    daerah yang berbeda. Karena orang ketiga tersebut tidak menguasai bahasa yang

    digunakan oleh orang pertama dan orang kedua, maka orang pertama dan orang

    kedua beralih menggunakan bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.

    4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya

    Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Misalnya

    pada saat rapat, peserta menggunakan bahasa Indonesia, tetapi setelah rapat selesai

    mereka kembali menggunakan bahasa Jawa.

    5. Perubahan topik pembicaraan

    Perubahan topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode.

    Misalnya terjadi antara kepala sekolah dan guru. Pada saat mereka membicarakan

    pekerjaan, mereka menggunakan bahasa yang resmi, tetapi ketika mereka

    membicarakan pribadi masing-masing mereka menggunakan bahasa sehari-hari.

    Menurut Suwito (1985: 69), dalam alih kode penggunaan dua bahasa (atau

    lebih) ditandai dengan adanya: (a) masing-masing bahasa masih mendukung fungsi-

    fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b) fungsi masing-masing bahasa

    disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks. Kachru (dalam

    Suwito, 1985: 69) mengatakan bahwa tanda-tanda tersebut merupakan ciri-ciri unit

    kontekstual (contextual units). Ciri- ciri tersebut menunjukkan bahwa di dalam alih

    kode masing-masing bahasa masih mendukung fungsi tersendiri secara eksklusif, dan

    peralihan kode terjadi apabila penuturnya merasa bahwa situasinya relevan dengan

    peralihan kodenya.

  • 5. Pengertian Campur Kode Suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa

    atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada

    sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam

    keadaan demikian, hanya kesantaian penutur atau kebiasaannya saja yang dituruti.

    Tindak bahasa demikian yang disebut campur kode (Nababan, 1994: 32).

    Pendapat tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat Bambang Kaswanti

    Purwo yang menyebutkan campur kode sebagai pemilihan atau penggunaan bahasa

    dan ragam bahasa yang hanya ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau

    mudahnya pengungkapan seseorang pengguna bahasa itu (1989: 194). Jika seseorang

    memakai kata atau kalimat dari bahasa atau ragam bahasa lain di dalam

    kerangka penggunaan sesuatu bahasa atau ragam bahasa tertentu, itu merupakan

    campur kode. Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina, campur kode adalah

    penggunaan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa

    lain. Misalnya seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dan

    dicampuri serpihan-serpihan bahasa lain, misalnya bahasa Jawa (1995: 154).

    Sumarsono dan Paina Partana (2002: 202) memberi batasan campur kode

    adalah penyisipan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu.

    Dalam hal ini penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai

    bahasa tertentu. Misalnya si A berbahasa Bali, dia memasukkan unsur-unsur dari

    bahasa Indonesia; ketika berbicara dalam bahasa Indonesia, dia dengan sengaja

    memasukkan unsur-unsur bahasa Bali. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain itu

    seringkali berwujud kata-kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kelompok kata.

    Kachru (dalam Suwito, 1985: 76) memberi batasan campur kode sebagai pemakaian

    dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke

    dalam bahasa yang lain secara konsisten.

    Berdasarkan pendapat-pendapat di atas pada dasarnya menyatakan bahwa

    campur kode adalah suatu keadaan menggunakan satu bahasa atau lebih dengan

  • memasukkan serpihan-serpihan atau unsur bahasa lain tanpa ada sesuatu yang

    menuntut pencampuran bahasa itu dan dilakukan dalam keadaan santai.

    Persamaan antara alih kode dan camper kode menurut Abdul Chaer dan

    Leonie Agustina (2004: 114) adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua

    varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode setiap bahasa

    atau ragam bahasa yang digunakan masih memiliki fungsi otonomi masing-masing,

    dilakukan dengan sadar, dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu. Sedangkan dalam

    campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki

    fungsi dan keotonomiannya sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa

    tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi atau

    keotonomian sebagai sebuah kode. Menurut Adhani

    (www.wimamadiun.com/materi/sosiolinguistik), persamaan alih kode dan campur

    kode adalah kedua peristiwa tersebut lazim terjadi dalam masyarakat multilingual

    dalam menggunakan dua bahasa atau lebih.

    Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa persamaan

    alih kode dan campur kode adalah sama-sama digunakannya dua bahasa atau lebih

    dalam masyarakat tutur yang dilakukan dengan sadar dan sengaja karena oleh sebab-

    sebab tertentu.

    Menurut Sumarlam (2003: 159-160), meskipun alih kode dan campur kode

    berkenaan dengan pemakaian dua bahasa atau lebih dalam pembicaraan, terdapat juga

    perbedannya, di antaranya:

    1. Dalam alih kode, dua (atau lebih) bahasa atau variasi bahasa yang dipakai masing-

    masing mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteks, sedangkan

    dalam campur kode unsur bahasa atau variasi bahasa yang menyisip di dalam

    bahasa yang lain tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri tetapi telah menyatu

    dengan bahasa yang menyisipinya.

    2. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa disesuaikan dengan

    situasi yang relevan dengan perubahan konteks, sedangkan dalam campur kode

    dua bahasa atau variasi digunakan tanpa adanya faktor-faktor sosiolinguistik

  • dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu.

    3. Batas terjadinya campur kode terletak pada tataran klausa, sedangkan alih kode

    terjadi mulai pada tataran kalimat.

    Menurut Suwito (1985: 78-79) berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang

    terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, antara

    lain:

    1. Penyisipan unsur yang berwujud kata

    Menurut I. G. N. Oka dan Suparno (1994: 25), kata merupakan satuan bahasa yang

    terbentuk dari satu morfem atau lebih.

    Contoh: Seorang pemimpin harus dapat ngayomi rakyat lahir dan batin.

    "Seorang pemimpin harus dapat melindungi rakyat lahir batin."

    2. Penyisipan unsur yang berwujud frasa

    Abdul Chaer (1998: 301) berpendapat bahwa frasa merupakan gabungan dua buah

    kata atau lebih yang merupakan satu kesatuan, dan menjadi salah satu unsur atau

    fungsi kalimat (subjek, predikat, objek, dan keterangan).

    Contoh: Sebagian telah dikenal masyarakat melalui apa yang disebut sustainable

    development.

    "Sebagian telah dikenal masyarakat melalui apa yang disebut

    pembangunan berkelanjutan."

    3. Penyisipan unsur yang berwujud baster

    Menurut Thelander (dalam Suwito, 1985: 75), baster merupakan klausa-klausa

    yang berisi campuran dari beberapa variasi yang berbeda.

    Contoh: Mahasiswa diberi penataran agar menjadi manusia pancasialis.

    "Mahasiswa diberi penataran agar menjadi manusia yang berjiwa

    pancasila."

    4. Penyisipan unsur yang berwujud perulangan kata

    Contoh: Muda mudi sedang ngomong-ngomong tentang pentas seni.

    Muda mudi sedang berbincang-bincang tentang pentas seni.

    5. Penyisipan unsur yang berwujud ungkapan/ idiom

  • Ungkapan atau Idiom adalah konstruksi yang maknanya tidak sama dengan

    gabungan makna anggota-anggotanya (Harimurti Kridalaksana, 1985: 80).

    Contoh: Bapak Bupati tidak segan-segan ikut cancut tali wanda memperbaiki

    irigasi yang rusak itu.

    "Bapak Bupati tidak segan-segan ikut bekerja keras memperbaiki irigasi

    yang rusak itu."

    6. Penyisipan unsur yang berwujud klausa

    Klausa merupakan satuan gramatikal unsur pembentuk kalimat yang berstruktur

    predikatif (I. G. N. Oka dan Suparno, 1994: 26).

    Contoh: Pemimpin yang bijaksana akan selalu bertindak ing ngarso sung tulodho,

    ing madya mangun karso, tut wuri handayani.

    "Pemimpin bijaksana akan selalu bertindak di depan memberi teladan, di

    tengah mendorong semangat, di belakang mengawasi."

    Suwito (1985: 77) mengidentifikasikan alasan-alasan yang mendorong

    terjadinya campur kode antara lain:

    1) Identifikasi peranan (ukurannya: sosial, registeral, dan edukasional).

    2) Identifikasi ragam (yang ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur

    melakukan campur kode yang akan menempatkan dia dalam hierarki status

    sosialnya).

    3) Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan yang tampak karena campur kode

    juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap serta

    hubungan orang lain terhadapnya.

    Ketiga faktor tersebut saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih.

    Dengan demikian maka campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik

    antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang

    mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode

    tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode

    demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadi di

    dalam masyarakat.

  • Ciri-ciri campur kode menurut Suwito (1985: 75) adalah sebagai berikut:

    1. Adanya saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya hubungan timbal balik

    antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan yang dimaksud adalah siapa yang

    menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak

    dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Sifat-sifat khusus penutur misalnya latar

    belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan, dan sebagainya akan

    mewarnai campur kodenya. Di lain pihak, fungsi kebahasaan menentukan sejauh

    mana bahasa yang dipakai oleh penutur memberi kesempatan untuk bercampur

    kode.

    2. Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain

    tidak lagi mempunyai fungsi tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan

    bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi.

    Unsur-unsur tersebut dibedakan menjadi dua golongan yang bersumber dari

    bahasa asli dengan variasi-variasinya (inner code mixing) dan yang bersumber dari

    bahasa asing (outer code mixing). Seorang penutur yang dalam pemakaian bahasa

    Indonesianya banyak tersisip unsur-unsur bahasa daerah, atau sebaliknya, maka

    penutur tersebut bercampur kode ke dalam. Peristiwa semacam itu disebut "bahasa

    Indonesia kedaerah-daerahan". Di pihak lain akan menimbulkan yang disebut

    "bahasa daerah yang ke Indonesia-indonesiaan" (misalnya bahasa Jawa yang ke

    Indonesia-indonesiaan yang dapat disebut bahasa "Jawanesia").

    6. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Pengertian pembelajaran dapat ditarik dari pengertian belajar dan tidak lain

    sama dengan pengertian pengajaran, yaitu usaha sadar dari guru untuk membuat

    siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar,

    dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam

    waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha (Gino, dkk., 2000: 4). Menurut

    Djago Tarigan, dkk. (2005: 4.19), pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan

  • belajar yang dialami siswa dalam proses menguasai tujuan pembelajaran.

    Pembelajaran bersinonim dengan pengalaman belajar, aktivitas belajar, proses

    belajar, dan kegiatan belajar.

    Pengertian pembelajaran dapat disimpulkan sebagai kegiatan belajar yang

    dilakukan secara sadar oleh siswa untuk mendapatkan kernampuan baru. Sebagian

    besar isi GBPP Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, Kurikulum 1994

    adalah pembelajaran. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menurut Dendy

    Sugiono (1995: 3) merupakan pengajaran keterampilan berbahasa Indonesia, bukan

    pengajaran tentang bahasa atau struktur bahasa. Pengetahuan bahasa dan sastra

    berkedudukan sebagai penunjang atau penjelas dalarn pengajaran keterampilan

    berbahasa dan apresiasi karya sastra. Pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi

    akan menarik minat siswa karena siswa didesak oleh kebutuhannya untuk

    berkomunikasi dengan orang lain.

    Setiap pembelajaran pada tingkat usia SD haruslah berpusat pada kebutuhan

    perkembangan anak sebagai makhluk individu, sebagai makhluk sosial, dan sebagai

    calon manusia Indonesia seutuhnya sesuai amanat UUD 1945 (Djeniah Alim,1996:

    1). Pemberlakuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang

    Pemerintah Daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi

    dalam penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan pendidikan yang semula bersifat

    sentralistik berubah menjadi desentralistik. Desentralistik pengelolaan pendidikan

    ditandai dengan diberikannya wewenang kepada sekolah untuk menyusun kurikulum

    mengacu pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

    Nasional, yaitu pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional dan pasal 35

    tentang standar nasional pendidikan. Selain itu juga adanya tuntutan globalisasi dalam

    bidang pendidikan yang memacu agar hasil pendidikan nasional dapat bersaing

    dengan hasil pendidikan negara-negara maju.

    Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan

    emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari

    semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu peserta didik

  • mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan

    perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan

    menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam

    dirinya.

    Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan

    peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar,

    baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya

    kesastraan manusia Indonesia.

    Standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan kualifikasi

    kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan,

    keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.

    Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan

    merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global.

    Dengan standar kompetensi mata pelajaran bahasa Indonesia, diharapkan:

    1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,

    kebutuhan dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil

    karya kesastraan dan hasil karya sastra dan hasil intelektual bangsa sendiri;

    2. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa

    peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber

    belajar;

    3. Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan

    kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta

    didiknya;

    4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program

    kebahasaan dan kesastraan di sekolah;

    5. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan

    sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;

    6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan

    sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan

  • kepentingan nasional.

    Dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD (2007: 6),

    dijelaskan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik

    memiliki kemampuan sebagai berikut:

    1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik

    secara lisan maupun tulis.

    2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

    dan bahasa Negara.

    3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk

    berbagai tujuan.

    4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta

    kematangan emosional dan sosial.

    5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,

    memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

    berbahasa.

    6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan

    intelektual manusia Indonesia.

    Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup komponen

    kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek sebagai

    berikut:

    1. Mendengarkan

    2. Berbicara

    3. Membaca

    4. Menulis

    Standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi arah dan landasan untuk

    mengembangkan materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian

    kompetensi untuk penilaian. Dalam merancang kegiatan pembelajaran dan penilaian

    perlu memperhatikan standar proses dan standar penilaian.

    Perubahan paradigma penyelenggaraan pendidikan dari sentralisasi ke

  • desentralisasi mendorong terjadinya perubahan dan pembaruan pada beberapa aspek

    pendidikan, termasuk kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan

    pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan

    sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan

    pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan

    nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan

    pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan

    kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Atas dasar pemikiran tersebut, maka perlu

    dikembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran.

    Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran adalah kurikulum operasional yang

    disusun oleh dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan. Sesuai dengan

    amanat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 bahwa

    Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) pada Jenjang Pendidikan Dasar

    Menengah mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan serta

    berpedoman pada panduan dari Badan Standar Nasional Pendidikan.

    Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar (2007: 6),

    pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta

    didik untuk:

    1. Belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

    2. Belajar untuk memahami dan menghayati;

    3. Belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif;

    4. Belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain; dan

    5. Belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar aktif,

    kreatif, efektif, dan menyenangkan.

    Kewenangan menyusun kurikulum memungkinkan sekolah menyesuaikan

    dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi daerah. Dengan

    demikian, daerah dan atau sekolah memiliki cukup kesempatan untuk merancang dan

    menentukan hal-hal yang akan diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara

    mengajar, dan menilai keberhasilan proses belajar mengajar.

  • Sesuai dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan

    bahasa Negara, pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra Indonesia menurut Djeniah

    Alim (1981: 2) berfungsi sebagai sarana untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

    1. Membina persatuan dan kesatuan bangsa.

    2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam

    rangka pelestarian dan pengembangan budaya.

    3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk

    meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

    4. Menyebarluaskan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk

    berbagai keperluan dan berbagai masalah.

    5. Mengembangkan penalaran.

    B. Penelitian yang Relevan Penelitian ini didasari oleh penelitian yang telah ada, antara lain:

    1. Penelitian Listyaningsih Yuliatin Lukitasari yang berjudul "Campur Kode dan Alih

    Kode dalam Pembelajaran di TK Aisyiyah 12 Jaten, Karanganyar (Kajian bentuk

    dan faktor penyebab-penyebabnya)", berkesimpulan

    a. Bentuk campur kode yang terjadi dalam pembelajaran di TK Aisyiyah 12 Jaten,

    Karanganyar berupa: campur kode kata, campur kode frase, campur kode

    perulangan kata, dan campur kode klausa.

    b. Bentuk alih kode yang terjadi dalam pembelajaran di TK Aisyiyah 12 Jaten,

    Karanganyar, berupa: alih kode intern dan alih kode ekstern.

    2. Penelitian Jumadi yang berjudul "Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan

    Belajar Mengajar di SD Negeri 01 Waru, Baki, Sukoharjo TH Ajaran 2004/ 2005

    (dalam Mata Pelajaran Matematika, IPS, PPKn, dan Bahasa Indonesia)",

    berkesimpulan:

    a. Terjadi alih kode alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah atau

    sebaliknya peralihan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, dan terjadi

  • alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa asing atau dari bahasa asing ke

    dalam bahasa Indonesia.

    b. Campur kode yang dimaksud adalah unsur-unsur dari bahasa satu yang masuk

    atau menyisip kedalam bahasa Indonesia. Dalam penelitian tersebut data yang

    dianalisis adalah unsur bahasa lain yang menyisip ke dalam bahasa Indonesia.

    Terjadi campur kode berwujud kata, campur kode berwujud frase, campur kode

    berwujud reduplikasi/ perulangan kata, campur kode berwujud baster, dan

    campur kode berwujud klausa.

    3. Penelitian Suhartini yang berjudul "Alih Kode dan Campur Kode dalam Kegiatan

    Belajar Mengajar di Taman Kanak-kanak", berkesimpulan:

    a. Dalam kegiatan belajar mengajar di TK Widya Putra dan TK Pertiwi banyak

    terdapat wujud alih kode dan campur kode, baik itu disadari maupun tidak

    disadari oleh penutur. Wujud campur kode yang terjadi ada enam macam, yaitu

    campur kode kata, campur kode frasa, campur kode baster, campur kode

    perulangan kata, campur kode idiom, dan campur kode klausa.

    b. 1). Alih kode yang terjadi dalam penggunaan bahasa di TK Widya Putra banyak

    mendapat pengaruh dari bahasa Jawa, selain juga bahasa Inggris.

    2). Peristiwa campur kode di TK Widya Putra muncul sebagian besar dari bahasa

    Jawa, selain terdapat juga pengaruh bahasa dialek dari Jakarta dan bahasa

    Inggris.

    C. Kerangka Berpikir Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berhubungan (berkomunikasi),

    saling belajar dari orang lain, dan saling memahami orang lain. Bahasa sangat

    berperan dalam dunia pendidikan. Tanpa bahasa, seseorang tidak akan dapat saling

    berkomunikasi. Dalam pembelajaran, guru dan siswa tidak akan terlepas dari bahasa.

    Guru dan siswa adalah dwibahasawan yang tidak mungkin hanya

    menggunakan satu bahasa saja dalam proses belajar mengajar. Siswa tidak akan

  • selalu paham dengan bahasa yang digunakan oleh guru. Untuk memperlancar proses

    belajar mengajar, maka guru menggunakan lebih dari satu bahasa.

    Guru sering menggunakan bahasa Jawa dalam menyampaikan materi. Hal

    tersebut dilakukan oleh guru karena tidak semua siswanya mampu menguasai

    kosakata bahasa Indonesia yang digunakan oleh guru. Maka, untuk memperlancar

    proses belajar mengajar, guru menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa untuk

    berkomunikasi.

    Rendahnya taraf penguasaan kosakata bahasa Indonesia oleh siswa itulah

    yang menjadi faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode. Dengan

    dilakukannya alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh guru, maka akibatnya

    siswa akan lebih mudah menerima materi yang disampaikan oleh guru, karena siswa

    mampu memahami bahasa yang digunakan oleh guru tersebut.

    Alih kode dan campur kode yang dilakukan oleh guru dan siswa terjadi oleh

    sebab-sebab tertentu yang sengaja dilakukan oleh keduanya. Hal itu dapat dilihat dari

    pemahaman siswa terhadap kosakata bahasa Indonesia yang masih rendah, misalnya

    banyak kosakata yang digunakan oleh guru dan tidak dimengerti oleh siswa, sehingga

    guru dengan sengaja melakukan alih kode dan campur kode. Selain itu, guru juga

    kurang konsekuen dalam menerapkan bahasa Indonesia pada siswa saat pelaksanaan

    pembelajaran yang terjadi secara formal, misalnya kebiasaan guru menggunakan

    bahasa Indonesia kemudian beralih menggunakan bahasa Jawa, atau dalam

    menggunakan bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa Jawa. Kebiasaan

    guru yang kurang konsekuen dalam menerapkan bahasa Indonesia pada siswa

    tersebut manjadikan pelaksanaan pembelajaran menjadi tidak formal.

    Wujud alih kode yang dilakukan oleh guru berupa alih kode intern. Sedangkan

    wujud campur kode yang dilakukan berupa campur kode kata, frase, perulangan kata,

    dan klausa. Hal inilah yang diamati dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas II

    SD Negeri Selopukang Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri.

    Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

  • Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir