Limbah Tempe Otw
-
Upload
imelda-gisela-prima-paskhalien -
Category
Documents
-
view
711 -
download
6
description
Transcript of Limbah Tempe Otw
PENGOLAHAN AIR LIMBAH TEMPE DENGAN PROSES BIOFILTER AEROB
DAN ANAEROB
TUGAS PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PANGAN
Disusun Oleh :
Gisella Prima P 10.70.0095
Lidya Mandari 10.70.0110
Wenny Setyawati 10.70.0120
Yemima Rosa P B 10.70.0139
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2012
1. PENDAHULUANLimbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan biasanya terdiri dari air yang
telah digunakan. Sebanyak 0,1% limbah dapat pula berupa benda-benda padat yang terdiri dari
zat organik dan anorganik. Limbah yang dihasilkan suatu usaha dapat digolongkan menurut
sifatnya fisiknya yang meliputi: limbah cair, limbah padat dan limbah gas (Otto, 1986). Zat
organik dalam sampah terdiri dari bahan-bahan nitrogen, karbohidrat, lemak, dan sabun. Mereka
bersifat tidak tetap dan menjadi busuk, mengeluarkan bau-bauan yang tidak sedap. Benda-benda
anorganik pada umumnya tidak merugikan (Mahida, 1992).
Limbah industri pangan umumnya tidak membahayakan kesehatan masyarakat karena tidak
terlibat langsung dalam perpindahan penyakit, tetapi kandungan bahan organiknya yang tinggi
dapat bertidak sebagai sumber makanan bagi pertumbuhan mikroba. Pasokan makanan yang
berlimpah akan menyebabkan mikroorganisme berkembang biak dengan cepat dan mereduksi
oksigen terlarut yang ada di dalam air (Jenie & Rahayu, 1993). Menurut artikel Guideline for
Agricultural Waste Management, penanganan limbah sebelum dilepaskan ke alam harus
diperhatikan sebab dalam limbah dimungkinkan masih banyak senyawa–senyawa racun, selain
itu mengandung pula zat–zat hidup khususnya bakteri, virus dan protozoa dan dengan demikian
merupakan wadah yang baik untuk pembiakan jasad-jasad renik. Setiap industri juga harus
bertanggungjawab untuk mengembangkan program yang dapat mengolah limbah dari industri
tersebut agar tidak menimbulkan bahaya untuk lingkungan sekitarnya.
Limbah pengolahan pangan yang seluruhnya dapat dikomposkan antara lain limbah buah dan
sayur, limbah pengolahan ikan, limbah pengolahan daging, serta limbah pengolahan biji-bijian.
Praktek landfilling menjadi kurang baik karena bisa menimbulkan bau dan mengkontaminasi
tanaman pangan. Pengolahan komponen yang tidak diinginkan seperti garam serta organik
terlarut ke dalam tanah dan air tanah juga menjadi perhatian penting karena air tanah digunakan
oleh komunitas. Selain itu, air tanah ini juga bisa bermigrasi ke aliran yang terdekat (Parker,
2003).
Landfilling atau pengomposan merupakan salah satu proses minimalis untuk mengurangi limbah
padat. Proses ini dapat dilakukan melalui dewatering screens, centrifugal screens, atau strainers
untuk memisahkan cairan dari padatan. Contohnya, padatan dari ekstraktor jus dan pensortiran
untuk menghilangkan buah dan sayur yang rusak dan limbah padat yang tidak diolah sebelum
dibuang. Beberapa limbah padat yang dibuang dan digunakan sebagai bahan pakan hewan tidak
diolah lebih lanjut. Namun, dialokasikan ke peternakan lokal khususnya untuk industri susu dan
daging sapi, misalnya limbah padat dari produksi jus jeruk dikeringkan dan dijual sebagai pakan
ternak (Parker, 2003).
Tempe merupakan salah satu hasil fermentasi kedelai. Negara Indonesia sendiri dipandang
sebagai salah satu negara yang kaya akan teknologi fermentasi secara tradisional, dan tempe
merupakan salah satu produk yang paling menonjol. Dengan teknologi yang masih sederhana
dan nilai gizi yang tinggi serta harga yang relatif murah, maka tempe cukup terjangkau oleh
berbagai lapisan masyarakat. Berkat pengaruh publikasi tentang manfaat tempe dan nilai gizinya
untuk kesehatan manusia, maka tampak adanya usaha pembuatan tempe kedelai yang meningkat
di Amerika dan terutama di Jepang (Karyadi, 1985).
Air banyak digunakan sebagai bahan pencucian dan merebus kedelai untuk proses produksinya.
Akibat dari besarnya pemakaian air pada proses pembuatan tempe,limbah yang dihasilkan juga
cukup besar. Sebagai contoh limbah industri tempe di Semanan, Jakarta Barat kandungan BOD5
mencapai 1324 mg/l, COD 6698 mg/l, NH4 84,4 mg/l, nitrat 1,76 mg/l dan nitrit 0,17 mg/l. Jika
ditinjau dari Kep-03/MENKLH/11/1991 tentang baku mutu limbah cair,maka industri tempe
memerlukan pengolahan limbah. Unit pengolahan limbah yang ada umumnya menggunakan
sistem anaerobik dengan efisiensi pengolahan 60-90%. Dengan sistem pengolahan limbah yang
ada,maka limbah yang dibuang keperairan kadar zat organiknya (BOD) masih terlampau tinggi
yakni sekitar 400-1400 mg/l. Untuk itu perlu dilakukan proses pengolahan lanjut agar kandungan
zat organik didalam air limbah tempe memenuhi standar air buangan yang boleh dibuang
kesaluran umum,(Wiryani,___).
2. DESKRIPSI BAHAN BAKU
Komposisi kedelai dan tempe yang sebagian besar terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak,
maka dalam limbahnyapun dapat diduga akan terkandung unsur unsur tersebut. Salah satu bahan
makanan yang sehat dan bergizi tinggi adalah tempe. Tempe merupakan sumber protein nabati
yang harganya relatif murah dibanding daging sapi, terjangkau oleh masyarakat, serta mudah
diperoleh.Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat baik. Bahkan tempe merupakan
satu-satunya sumber vitamin B12 dari bahan pangan nabati (umumnya vitamin B12 hanya
terkandung pada bahan pangan hewani). Karena hal itulah kaum vegetarian menjadikan tempe
sebagai pengganti daging. Vitamin lain yang terkandung dalam tempe adalah vitamin B2
(riboflavin), B6 (piridoksin), B1 (thiamin), niasin, asam folat, dan asam pantotenat. Untuk
kandungan mineral makro dan mikro terbesar dalam tempe berturut-turut adalah mangaan,
tembaga, fosfor, magnesium, besi, potassium, kalsium dan zinc (Rosalina, 2008).
3. DIAGRAM ALIR PROSES PRODUKSI TEMPE
Tempe merupakan hasil fermentasi kedelai. Proses produksi tempe, memerlukan banyak air yang
digunakan untuk perendaman, perebusan, pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah
yang diperoleh dari proses tersebut dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Sebagian
besar limbah padat yang berasal dari kulit kedelai, kedelai yang rusak dan mengambang pada
proses pencucian serta lembaga yang lepas pada waktu pelepasan kulit, sudah banyak yang
dimanfaatkan untuk makanan ternak. Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air
bekas rebusan kedelai masih dibuang langsung diperairan disekitarnya (Anonim, 1989). Jika
limbah tersebut langsung dibuang keperairan maka dalam waktu yang relatif singkat akan
menimbulkan bau busuk dari gas H2S, amoniak ataupun fosfin sebagai akibat dari terjadinya
fermentasi limbah organik tersebut (Wardojo,1975). Adanya proses pembusukan, akan
menimbulkan bau yang tidak sedap, terutama pada musim kemarau dengan debit air yang
berkurang. Ketidak seimbangan lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis dari perairan yang
setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi tempe ini, akan dapat mempengaruhi
kualitas air dan kehidupan organisme di perairan tersebut .
Secara garis besar proses pembuatan tempe adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Bagan Proses Pembuatan Tempe
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan:
> Kedelai dimasak, setelah masak kedelai direndam 1 malam hingga lunak dan terasa berlendir,
kemudian kedelai dicuci hingga bersih.
> Kedelai dipecah dengan mesin pemecah, hingga kedelai terbelah dua dan kulit kedelai terpisah.
> Kulit kedelai dipisahkan dengan cara hasil pemecahan kedelai dimasukkan ke dalam air,
sehingga kulit kedelai mengambang dan dapat dipisahkan.
> Kedelai kupas dicuci kembali hingga bersih, kemudian peragian dengan cara kedelai
dicampurkan ragi yang telah dilarutkan dan didiamkan selama lebih kurang 10 menit.
> Kedelai yang telah mengandung ragi ditiriskan hingga hampir kering, kemudian dibungkus
dengan daun pisang. Setelah fermentasi selama 2 hari diperoleh tempe.
(Said &Wahjono,1999).
Berdasarkan gambar 1 tersebut juga nampak bahwa hampir disetiap tahap pembuatan tempe
menghasilkan limbah. Apabila limbah ini dibuang keperairan maka akan tercemar oleh bahan
organik dalam jumlah yang besar, sehingga kebutuhan oksigen untuk proses penguraiannya lebih
banyak dari pada pemasukan oksigen keperairan, dan kandungan oksigen terlarut sangat rendah.
Hal ini sangat membahayakan kehidupan organisme perairan tersebut. Sisa bahan organik yang
tidak terurai secara aerob akan diuraikan oleh bakteri anaerob, sehingga akan tercium bau busuk.
4. KARAKTERISTIK LIMBAH
Untuk karakteristik limbah industri tempe ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni
karakteristik fisika dan kimiawi. Karakteristik fisika meliputi padatan total,suhu,warna dan bau.
Karakteristik kimiawi meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas. Bahan-bahan organik
yang terkandung di dalam buangan industri tempe pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-
senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan
minyak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, protein dan lemaklah yang jumlahnya paling besar
yang mencapai 40% - 60% protein, 25 - 50% karbohidrat, dan 10% lemak. Semakin lama jumlah
dan jenis bahan organik ini semakin banyak, dalam hal ini akan menyulitkan pengelolaan
limbah, karena beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme di dalam air limbah tempe
tersebut. Untuk menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan beberapa teknik
pengujian seperti BOD, COD dan TOM. Uji BOD merupakan parameter yang sering digunakan
untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik, baik dari industri ataupun dari rumah
tangga, (Said &Wahjono,1999).
Limbah cair yang dihasilkan berasal dari lokasi pemasakan kedelai, pencucian kedelai, peralatan
proses dan lantai. Karakter limbah cair yang dihasilkan berupa bahan organik padatan
tersuspensi (kulit, selaput lendir dan bahan organik lain). Warna putih keruh pada air limbah
berasal dari pembuangan air rendaman dan pengelupasan kulit kedelai yang masih banyak
mengandung pati,juga berasal dari air bekas pencucian peralatan proses produksi,peralatan dapur
dan peralatan lainnya. Bau yang timbul karena adanya aktivitas mikroorganisme yang
menguraikan zat organik atau dari reaksi kimia yang terjadi dan menghsilkan gas tertentu,
(Wignyanto,et all, 2009).
Air buangan industri tempe kualitasnya bergantung dari proses yang digunakan. Apabila air
prosesnya baik, maka kandungan bahan organik pada air buangannya biasanya rendah. Pada
umumnya konsentrasi ion hidrogen buangan industri tempe cenderung bersifat asam. Sehingga
air limbah dan bahan buangan yang dibuang ke perairan akan mengubah pH air, dan dapat
mengganggu kehidupan organisme air, ph air normal yang memenuhi syarat untuk kehidupan
mempunyai pH berkisar antara 6,5 - 7,5 (Wardhana, 2004). Gas-gas yang biasa ditemukan dalam
limbah tempe adalah gas nitrogen (N2 ), oksigen (O2 ), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3 ),
karbondioksida (CO2 ) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-
bahan organik yang terdapat di dalam air buangan tempe. Beberapa contoh hasil pengukuran
kadar BOD Dan COD di dalam air limbah tempe di daerah DKI Jakarta ditunjukkan pada Tabel
1.
Tabel 1. Hasil Analisa Limbah Cair Industri Tempe
PARAMETER LOKASI COD (mg/l) BOD (mg/l)Setia Budi 7.852 5.400Setia Budi 20.467 11.000Setia Budi 8.659 4.750Tebet 28.320 9.475Tebet 5.285 2.950Kebayoran Baru 5.597 3.675Kebayoran Lama 6.423 3.525Cilandak 6.073 3.600Pasar Minggu 12.300 7.500Pasar Minggu 7.912 3.650Tegal Parang 15.685 8.250Tegal Parang 23.340 14.000Cipinang 61.425 13.600Kebon Pala 2136 2100Setia Budi 7852 5400Tebet 28320 9475Kebayoran Baru 5597 3675Kebayoran Lama 6423 3525Cilandak 6073 3600
(Said & wahjono,1999).
Limbah dari proses pembuatan tempe ini termasuk dalam limbah yang biodegradable yaitu
merupakan limbah atau bahan buangan yang dapat dihancurkan oleh mikroorganisme. Senyawa
organik yang terkandung didalamnya akan dihancurkan oleh bakteri meskipun prosesnya lambat
dan sering disertakan dengan keluarnya bau busuk. Konsentrasi amoniak sebesar 0,037 mg / l
sudah dapat menimbulkan bau amoniak yang menyengat. Dalam limbah domestik, sebagian
besar nitrogen organik akan diubah menjadi amoniak pada pembusukan anaerobik dan menjadi
nitrat atau nitrit pada pembusukan aerob, (Said & wahjono,1999).
Selain itu Menurut penelitian yang dilakukan Wiryani(____), karakteristik kandungan limbah
tempe juga dapat diperjelas dengan tabel berikut dimana yang telah dilakukan analis untuk
mengetahui kandungan limbah tempe.
Tabel 2 : Hasil Analisa Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe
Berdasarkan Tabel 2. tersebut diatas dapat dinyatakan bahwa baik limbah cair yang berasal dari
air rebusan maupun air rendaman kedelai berpotensi untuk mencemari lingkungan perairan
disekitarnya. Suhu limbah cair yang berasal dari rebusan kedelai mencapai 75oC. Apabila setiap
hari perairan memperoleh pasokan limbah cair dengan suhu yang tinggi maka akan
membahayakan kehidupan organisme air. Suhu yang optimum untuk kehidupan dalam air adalah
25 – 30o C. Air sungai yang suhunya naik akan mengganggu kehidupan hewan maupun tanaman
air karena kadar oksigen terlarut akan turun bersamaan dengan kenaikan suhu (Wardhana,
2004).Tumbuhan air akan terhenti pertumbuhannya pada suhu air dibawah 10oC atau diatas
40oC. Terdapat hubungan timbal balik antara oksigen terlarut dengan laju pernapasan mahkluk
hidup. Meningkatnya suhu akan menyebabkan peningkatan laju pernapasan makhluk hidup dan
penurunan oksigen terlarut dalam air. Laju penurunan oksigen terlarut (DO) yang disebabkan
oleh limbah organik akan lebih cepat karena laju peningkatan pernapasan makhluk hidup yang
lebih tinggi (Connel dan Miller, 1995). Limbah cair dari proses perebusan dan perendaman
kedelai, mempunyai nilai TDS dan TSS yang jauh melewati standart baku mutu limbah cair.
Pengaruh Padatan tersuspensi (TSS) maupun padatan terlarut (TDS) sangat beragam, tergantung
dari sifat kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut. Pengaruh yang berbahaya pada ikan,
zooplankton maupun makhluk hidup yang lain pada prinsipnya adalah terjadinya penyumbatan
insang oleh partikel partikel yang menyebabkan afiksiasi. Disamping itu juga adanya pengaruh
pada perilaku ikan dan yang paling sering terjadi adalah penolakan terhadap air yang keruh,
adanya hambatan makan serta peningkatan pencarian tempat berlindung . Pola yang ditemukan
pada sungai yang menerima sebagian besar padatan tersuspensi, secara umum adalah
berkurangnya jumlah spesies dan jumlah individu makhluk hidup (Connel dan Miller, 1995).
Derajat keasaman limbah cair dari air rebusan kedelai telah melampaui standart baku mutu. Air
limbah dan bahan buangan dari kegiatan industri yang dibuang ke perairan akan mengubah pH
air, dan dapat mengganggu kehidupan organisme air. Air normal yang memenuhi syarat untuk
kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5 - 7,5 (Wardhana, 2004).
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa limbah tempe ini termasuk dalam limbah yang
biodegradable. Bahan buangan biodegradable merupakan nutrien bagi tumbuhan air (Prawiro,
1988). Kandungan bahan buangan biodegradable yang tinggi pada perairan dapat menimbulkan
eutrofikasi sehingga menyebabkan terjadinya blooming population beberapa tumbuhan air
seperti Alga, Phytoplankton maupun Eceng Gondok (Eichhornia crassipes Solm) (Wardhana,
2004). Terjadinya peningkatan eutrofikasi mengakibatkan daerah bentik yang kekurangan
oksigen terlarut akan semakin meluas. Hal ini dapat menurunkan jumlah habitat yang sesuai
untuk ikan dan dapat menyebabkan penurunan jumlah ikan secara keseluruhan (Connel dan
Miller, 1995).
Jika kita lihat pada tabel 2 diatas nilai Biological Oxygen Demand (BOD atau kebutuhan oksigen
biologis) dari limbah cair ini sangat tinggi sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme didalam perairan untuk mendegradasi limbah tersebut, sangat besar. Bahan
organik akan diuraikan oleh mikroorganisme menjadi gas CO2, H2O dan gas NH3. Gas NH3
inilah yang menimbulkan bau busuk. Demikian juga dengan angka Chemical Oxigen Demand
(COD atau kebutuhan oksigen kimiawi) sangat tinggi sehingga akan membutuhkan oksigen yang
sangat besar agar limbah cair tersebut dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Dalam hal ini
limbah organik akan dioksidasi oleh Kalium bikromat (K2Cr2O7) menjadi gas CO2 dan H2O serta
ion Chrom (Wardhana, 2004).
5. INSTALASI PENGOLAHAN F K B dan 3R
5.1. Pengolahan F K B
Jumlah pabrik tempe yang banyak dan sebagian besar mengambil lokasi di sekitar sungai
ataupun selokan - selokan guna memudahkan proses pembuangan limbahnya, tetapi ini justru
berdampak mencemari lingkungan perairan disekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena belum
adanya upaya penanggulangan limbah. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa proses
produksi tempe memang memerlukan banyak air yang digunakan untuk perendaman, perebusan,
pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah yang diperoleh dari proses - proses tersebut
diatas dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Sebagian besar limbah padat yang berasal
dari kulit kedelai, kedelai yang rusak dan mengambang pada proses pencucian serta lembaga
yang lepas pada waktu pelepasan kulit, sudah banyak yang dimanfaatkan untuk makanan ternak.
Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan kedelai masih dibuang
langsung diperairan disekitarnya (Anonim, 1989). TOLONG DILENGKAPI
5.2. Aplikasi 3r
Reduce
Reduce adalah upaya untuk mengurangi pemakaian/penggunaan bahan baku seefisien mungkin
di dalam suatu proses produksi. Juga meperhatikan agar limbah yang terbuang menjadi sedikit.
Reduce juga dapat diartikan sebagai tindakan dimana sebisa mungkin melakukan minimalisasi
barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material,
semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Aplikasi : TOLONG DILENGKAPI.
Reuse
Reuse merupakan upaya penggunaan limbah untuk digunakan kembali tanpa mengalami proses
pengolahan atau perubahan bentuk. Reuse dapat dilakukan di dalam atau di luar daerah proses
produksi yang bersangkutan. Sebisa mungkin memilih barang-barang yang bisa dipakai kembali
dan menghindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat
memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum menjadi sampah.
Aplikasi :
Limbah pengolahan tempe yang berasal dari bahan baku kacang kedelai, baik berupa kupasan
kulit ari kacang kedelai juga limbah cair berupa air rebusan dapat dimanfaatkan untuk bahan
makanan ikan dan juga untuk pupuk pada tanaman tomat.
Dalam hal ini yang akan dibahas yaitu penggunaan limbah tempe untuk pupuk tanaman tomat.
Selain tanaman tomat dijelaskan bahwa pada penelitian sebelumnya, menunjukkan bahwa
penyiraman air limbah tempe dengan konsentrasi 25% mengahasilkan nilai terbaik pada semua
parameter pertumbuhan sawi dari umur 15 hari sampai umur 40 hari, dan penyiraman air limbah
tempe dengan konsentrasi 100% bersifat menghambat pertumbuhan tanaman sawi.
Diperoleh hasil dengan penggunaan limbah cair sebagai pupuk untuk tanaman tomat yaitu untuk
hasil interaksi konsentrasi dan frekuensi berpengaruh terhadap kadar N tanah dan berat buah
tomat, yaitu pada konsentrasi 100% dengan frekuensi penyiraman 2 hari dan 2 minggu sekali.
Nitrogen merupakan hara makro utama yang berfungsi sebagai penyusun asam amino, protein
dan asam nuklet untuk pertumbuhan pada fase vegetatif tanaman seperti akar, batang, daun, dan
apabila ketersediaan hara makro dan mikro tidak lengkap dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.. Dengan pemupukan N dengan dosis tinggi sering berakibat
memanjangnya fase vegetatif pada akar dan daun. Unsur C juga sangat berperan penting dalam
pembentukan karbohidrat terhadap pertumbuhan tanaman tomat yang befungsi sebagai
pengambilan unsurkarbon berupa CO2 dari udara bebas (atmosfie). Klorofil mampu menyerap
energi kimia. Energi tersebut digunakan untuk mengubah CO2 menjadi senyawa organik
termasuk karbohidrat, dan sumber utama CO2 di alam berasal dari dekomposisi bahan-bahan
organik berupa sisa-sisa, seperti halnya pada limbah tempe,(Rosalina,2008).
Recycle
Dalam proses penggunaan kembali air limbah yang diperoleh dalam produksi tempe yaitu
dengan mengumpulkan air limbah yang dihasilkan melalui saluran air limbah, kemudian
dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan kotoran padat. Selanjutnya, sambil di bubuhi dengan
larutan kapur atau larutan NaOH air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Di dalam bak
pengurai anaerob tersebut polutan organik yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh
mikroorganisme secara anaerob, menghasilkan gas methan yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar ((Said &Wahjono,1999).
6. TEKNOLOGI PRODUKSI BERSIH YANG DAPAT DITERAPKAN
6.1. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tempe Dengan Sistem Kombinasi Biofilter
Anaerob-Aerob
Salah satu cara untuk mengatasi masalah air limbah industri tempe tersebut adalah dengan
kombinasi proses pengolahan biologis anaerob dan aerob. Secara umum proses pengolahannya
dibagi menjadi dua tahap yakni pertama proses penguraian anaerob (Anaerobic digesting), dan
yang ke dua proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Secara garis besar
proses pengolahan air limbah industri tempe ditunjukkan seperti pada gambar 2 di bawah ini
menurut (Said & wahjono,1999).
Gambar 2 : Diagram proses pengolahan air limbah industri tempe dengan sistem biofilter
anaerob-aerob
Yang pertama dilakukan yaitu proses pengolahan secara anaerob dimana :
Air limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan/pengrajin tempe kumpulkan melalui saluran
air limbah, kemudian dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan kotoran padat. Selanjutnya,
sambil di bubuhi dengan larutan kapur atau larutan NaOH air limbah dialirkan ke bak pengurai
anaerob. Di dalam bak pengurai anaerob tersebut polutan organik yang ada di dalam air limbah
akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, menghasilkan gas methan yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Dengan proses tahap pertama konsentrasi COD dalam air
limbah dapat diturukkan sampai kira-kira 600 ppm (efisiensi pengolahan 90 %). Air olahan tahap
awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter aerob.
Proses Penguarian Senyawa Organik Secara Anaerob
Secara garis besar penguraian senyawa organik secara anaerob dapat di bagi menjadi dua yakni
penguraian satu tahap dan penguraian dua tahap.
1. Penguraian satu tahap
Penguraian anaerobik membutuhkan tangki fermentasi yang besar, memiliki pencampur
mekanik yang besar, pemanasan, pengumpul gas, penambahan lumpur, dan keluaran supernatan.
Penguraian lumpur dan pengendapan terjadi secara simultan dalam tangki. Stratifikasi lumpur
dan membentuk lapisan berikut dari bawah ke atas : lumpur hasil penguraian, lumpur pengurai
aktif, lapisan supernatan (jernih), lapisan buih (skum), dan ruang gas. Hal ini secara umum
ditunjukkan seperti pada gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3 : Penguraian anerob satu tahap
(Said & wahjono,1999).
2. Penguraian dua tahap
Secara sederhana proses penguraian anaerob dua tahap dapat ditunjukkan seperti gambar 4
di bawah ini.
Gambar 4 : Penguraian anerob dua tahap
(Said & wahjono,1999).
Dari gambar 4 diatas dimana dalam proses ini membutuhkan dua tangki pengurai (reaktor) yakni
pada tangki tahap I berfungsi mencampur secara terus-menerus dan pemanasan untuk stabilisasi
lumpur, sedangkan tangki tahap II lagi untuk pemekatan dan penyimpanan sebelum dibuang ke
pembuangan. Proses ini dapat menguraikan senyawa organik dalam jumlah yang lebih besar dan
lebih cepat.
Proses Mikrobiologi di Dalam Penguraian Anaerob
Kumpulan mikroorganisme, umumnya bakteri, terlibat dalam transformasi senyawa komplek
organik menjadi metan. Lebih jauh lagi, terdapat interaksi sinergis antara bermacam-macam
kelompok bakteri yang berperan dalam penguraian limbah. Keseluruhan reaksi dapat
digambarkan sebagai berikut (Polprasert, 1989):
Senyawa Organik ---> CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S
Meskipun beberapa jamur (fungi) dan protozoa dapat ditemukan dalam penguraian anaerobik,
bakteri tetap merupakan mikroorganisme yang paling dominan bekerja didalam proses
penguraian anaerobik. Sejumlah besar bakteri anaerobik dan fakultatif (seperti : Bacteroides,
Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus) terlibat dalam proses hidrolisis dan
fermentasi senyawa organik. Proses penguraian senyawa organik secara anaerobik secara garis
besar ditunjukkan seperti pada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5 : Kelompok bakteri metabolik yang terlibat dalam penguraian limbah dalam sintetik
anaerobik
(Said & wahjono,1999).
Dapat dijelaskan bahwa limbah tempe mengandung molekul zat organik komplek seperti
polisakarida,lemak dll maka selama proses pengolahan limbah akan teruraikan oleh bakteri
hydrolitik. Kandungan monomer seperti glukosa,asam amino dan asam lemak akan diuraikan
oleh bakteri Acidogenik fermentatif. Asam organik,alkohol dan keton akan diuraikan oleh
Acetogenik serta kandungan asetat,CO2 dan H2 akan diuraikan oleh bajteri methanogenik dan
proses penguraian ini akan menghasilkan methane.
Dari gambar 5 diatas kita ketahui bahwa ada empat grup bakteri yang terlibat dalam
transformasi material komplek menjadi molekul yang sederhana seperti metan dan karbon
dioksida. Kelompok bakteri ini bekerja secara sinergis, (Said &Wahjono,1999).
Kelompok 1: Bakteri Hidrolitik
Kelompok bakteri anaerobik memecah molekul organik komplek (protein, cellulose, lignin,
lipids) menjadi molekul monomer yang terlarut seperti asam amino, glukosa, asam lemak, dan
gliserol. Molekul monomer ini dapat langsung dimanfaatkan oleh kelompok bakteri berikutnya.
Hidrolisis molekul komplek dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan
lipase. Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas
dalam penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin (Said &Wahjono,1999).
Kelompok 2 : Bakteri Asidogenik Fermentatif
Bakteri asidogenik (pembentuk asam) seperti Clostridium merubah gula, asam amino, dan asam
lemak menjadi asam organik (seperti asam asetat, propionik, formik, lactik, butirik, atau
suksinik), alkohol dan keton (seperti etanil, metanol, gliserol, aseton), asetat, CO2 dan H2. Asetat
adalah produk utama dalam fermentasi karbohidrat. Hasil dari fermentasi ini bervariasi
tergantung jenis bakteri dan kondisi kultur seperti temperatur, pH, potensial redok, (Said &
wahjono,1999).
Kelompok 3 : Bakteri Asetogenik
Bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan H2) seperti Syntrobacter wolinii dan
Syntrophomonas wolfei merubah asam lemak (seperti asam propionat, asam butirat) dan alkohol
menjadi asetat, hidrogen, dan karbon dioksida, yang digunakan oleh bakteri pembentuk metan
(metanogen). Kelompok ini membutuhkan ikatan hidrogen rendah untuk merubah asam lemak;
dan oleh karenanya diperlukan monitoring hidrogen yang ketat, (Said &Wahjono,1999).
Dibawah kondisi tekanan H2 parsial yang relatif tinggi, pembentukan asetat berkurang dan
subtrat dirubah menjadi asam propionat, asam butirat, dan etanol dari pada metan. Ada hubungan
simbiotik antara bakteri asetonik dan metanogen. Metanogen membantu menghasilkan ikatan
hidrogen rendah yang dibutuhkan oleh bakteri asetogenik. Etanol, asam propionat, dan asam
butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenikdengan reaksi seperti berikut:
CH3CH2OH + CO2 ---> CH3COOH + 2H2
Etanol Asam Asetat
CH3CH2COOH + 2H2O ---> CH3COOH + CO2 + 3H2
Asam Propionat Asam asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O ---> 2CH3COOH + 2H2
Asam Butirat Asam Asetat
Bakteri asetogenik tumbuh jauh lebih cepat dari pada bakteri metanogenik. Kecepatan
pertumbuhan bakteri asetogenik (m mak) mendekati 1 per jam sedangkan bakteri metanogenik
0,04 per jam (Said &Wahjono,1999).
Kelompok 4 : Bakteri Metanogen
Penguraian senyawa organik oleh bakteri anaerobik dilingkungan alam melepas 500 - 800 juta
ton metan ke atmosfir tiap tahun dan ini mewakili 0,5% bahan organik yang dihasilkan oleh
proses fotosintesis. Bakteri metanogen terjadi secara alami didalam sedimen yang dalam atau
dalam pencernaan herbivora. Kelompok ini dapat berupa kelompok bakteri gram positif dan
gram negatif dengan variasi yang banyak dalam bentuk. Mikroorganime metanogen tumbuh
secara lambat dalam air limbah dan waktu tumbuh berkisar 3 hari pada suhu 35oC sampai dengan
50 hari pada suhu 10oC, (Said &Wahjono,1999).
Bakteri metanogen dibagi menjadi dua katagori, yaitu :
1. Bakteri metanogen hidrogenotropik (seperti : chemolitotrof yang menggunakan
hidrogen) merubah hidrogen dan karbon dioksida menjadi metan.
CO2 + 4H2 ---> CH4 + 2H2O
Metan
Bakteri metanogen yang menggunakan hidrogen membantu memelihara tekanan parsial yang
sangat rendah yang dibutuhkan untuk proses konversi asam volatil dan alkohol menjadi asetat.
2. Bakteri metanogen Asetotropik, atau biasa disebut sebagai bakteri asetoklastik atau
bakteri penghilang asetat, merubah asam asetat menjadi metan dan CO2.
CH3COOH ---> CH4 + CO2
Bakteri asetoklastik tumbuh jauh lebih lambat (waktu generasi = beberapa hari) dari pada bakteri
pembentuk asam (waktu generasi = beberapa jam). Kelompok ini terdiri dari dua kelompok,
yaitu : Metanosarkina dan Metanotrik. Selama penguraian termofilik (58oC) dari limbah
lignosellulosik, Metanosarkina adalah bakteri asetotropik yang ditemukan dalam bioreaktor.
Sesudah 4 minggu, Metanosarkina (m mak = 0,3 tiap hari; Ks = 200 mg/l) digantikan oleh
Metanotrik (m mak = 0,1 tiap hari; Ks = 30 mg/l). Kurang lebih sekitar 2/3 metan dihasilkan dari
konversi asetat oleh metanogen asetotropik. Sepertiga sisanya adalah hasil reduksi karbon
dioksida oleh hidrogen, (Said &Wahjono,1999).
Diagram neraca masa pada penguraian zat organik komplek menjadi gas methan secara
anaerobik ditujukkan seperti pada gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6 : Neraca masa pada proses penguraian anaerobik (fermentasi methan)
(Said & wahjono,1999).
Dari gambar 6 diatas dijelaskan bahwa air limbah tempe dengan kandungan zat organik komplek
memiliki kandungan COD 100% dimana sebanyak 65% adalah senyawa lainnya, 15% adalah
asam propionat, dan sebanyak 20% ini adalah asam asetat. terjadi pembentukan asam asetat
dengan kandungan sebanyak 72% yang berasal dari 17% asam propionat, 20% COD dan 30%
senyawa antara lainnya. Kemudian terjadi proses fermentasi methan yang berasal dari total asam
asetat sebanyak 72%, asam propionat 13% dan senyawa antara lainnya sebanyak 15%.
Metanogen dikelompokkan menjadi tiga order: Metanobakteriales (contoh : Metanobakterium,
Metanobreviater, Metanotermus), Metanomikrobiales (contoh : Metanomikrobium,
Metanogenium, Metanospirilium, Metanosarkina, dan Metanokokoid), dan Metanokokales
(contoh : Metanokokkus).
Untuk proses penguraian senyawa hidrokarbon menjadi methan di kondisi proses anaaerobik
secara umum ditunjukkan pada gambar 7 berikut.
Gambar 7 : Proses penguraian senyawa hidrokarbon secara anaerobik menjadi methan.
(Said & wahjono,1999).
Dari gambar 7 diatas dapat dijelaskan bahwa senyawa hidrokarbon pada limbah tempe dilakukan
penguraian secara primer dengan bantuan bakteri pengurai. Sehingga dihasilkan gas (seperti Co2
dan H2), alkohol(etilalkohol,propilalkohol,butilalkohol,dll), asam lemak (asam
formiat,asetat,propionat,butirat,dll) dan asam-asam lain(asam laktat,asam succinat,dll).
Kemudian hasil dari penguraian primer ini dilakukan proses penguraian sekunder dengan
bantuan bakteri metha,bakteri reduksi dan sulfat sehingga akan menghasilkan methan (CH4)
karbondioksida.
Untuk proses penguraian senyawa lemak secara biologis menjadi methan di kondisi proses
anaaerobik secara umum ditunjukkan pada gambar 8 berikut.
Gambar 8 : Proses penguraian senyawa lemak secara anaerobik menjadi methan.
(Said & wahjono,1999).
pada gambar 8 dapat dijelaksan penguraian senyawa lemak pada limbah tempe dimana terlebih
dulu terjadi penguraian primer oleh bakteri pengurai lemak sehingga menghasilkan asam lemak
dan gliserin. Gliserin akan diuraikan lagi oleh bakteri pengurainya sehingga gliserin dan asam
lemak yang telah diurai ini akan menghasilkan gas (seperti CO2 dan H2),
alkohol(etilalkohol,propilalkohol,butilalkohol,dll), asam lemak (asam
formiat,asetat,propionat,butirat,dll). Kemudian asam lemak yang diperoleh dari penguraian
primer dan asam lemak yang diperoleh dari penguraian gliserin serta alkohol ini akan mengalami
proses penguraian sekunder oleh bakteri metha,bakteri reduksi dan sulfat dan akan menghasilkan
methan(CH4) dan karbondioksida.
Untuk proses penguraian senyawa protein secara biologis menjadi methan di kondisi proses
anaaerobik secara umum ditunjukkan pada gambar 9 berikut.
Gambar 9 : Proses penguraian senyawa protein secara anaerobik.
(Said & wahjono,1999).
Pada gambar 9 dapat dijelaskan dimana protein yang tedapat pada limbah tempe dalam
prosesnya akan terjadi penguraian primer oleh bakteri penghidrolisa protein sehingga akan
menghasilkan peptide dan tripeptide yang menghasilkan NH3,CO2,H2S_Fe serta asam lemak.
Asam lemak ini akan melakukan proses penguraian sekunder oleh bakteri methan sehingga
dihasilkan methan(CH4),karbondioksida(CO2) dan amoniak(NH3).
Dari penjelasan diatas maka dapat kita ketahui keunggulan dan kekurangan proses anaerobik
dibandingkan proses aerobik yaitu :
Keunggulan :
Proses anaerobik dapat segera menggunakan CO2 yang ada sebagai penerima elektron.
Proses tersebut tidak membutuhkan oksigen dan pemakaian oksigen dalam proses
penguraian limbah akan menambah biaya pengoperasian.
Penguraian anaerobik menghasilkan lebih sedikit lumpur (3-20 kali lebih sedikit dari
pada proses aerobik), energi yang dihasilkan bakteri anaerobik relatif rendah. Sebagian
besar energi didapat dari pemecahan substrat yang ditemukan dalam hasil akhir, yaitu
CH4. Dibawah kondisi aerobik 50% dari karbon organik dirubah menjadi biomassa,
sedangkan dalam proses anaerobik hanya 5% dari karbon organik yang dirubah menjadi
biomassa. Dengan proses anaerobik satu metrik ton COD tinggal 20 - 150 kg biomassa,
sedangkan proses aerobik masih tersisa 400 - 600 kg biomassa.
Proses anaerobik menghasilkan gas yang bermanfaat, metan. Gas metan mengandung
sekitar 90% energi dengan nilai kalori 9.000 kkal/m3, dan dapat dibakar ditempat proses
penguraian atau untuk menghasilkan listrik. Sedikit energi terbuang menjadi panas (3-
5%). Pruduksi metan menurunkan BOD dalam Penguraian lumpur limbah.
Energi untuk penguraian limbah kecil.
Penguraian anaerobik cocok untuk limbah industri dengan konsentrasi polutan organik
yang tinggi.
Memungkinkan untuk diterapkan pada proses Penguraian limbah dalam jumlah besar.
Sistem anaerobik dapat membiodegradasi senyawa xenobiotik (seperti chlorinated
aliphatic hydrocarbons seperti trichlorethylene, trihalo-methanes) dan senyawa alami
recalcitrant seperti liGnin.
Beberapa kelemahan Penguraian anaerobik:
Lebih Lambat dari proses aerobik
Sensitif oleh senyawa toksik
Start up membutuhkan waktu lama
Konsentrasi substrat primer tinggi
(Said &Wahjono,1999).
6.2. Proses Pengolahan Lanjut
Pada gambar 2 diatas dapat dilihat untuk bagian pengolahan lanjutan dimana dapat dijelaskan
bahwa proses pengolahan lanjut ini dilakukan dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Pengolahan
air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari beberapa bagian yakni bak
pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak pengendap akhir, dan jika perlu
dilengkapi dengan bak kontaktor khlor. Air limbah yang berasal dari proses penguraian anaerob
(pengolahan tahap perama) dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel
lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungasi sebagai bak
pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, sludge digestion
(pengurai lumpur) dan penampung lumpur, (Said & wahjono,1999).
Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak kontaktor anaerob dengan
arah aliran dari atas ke dan bawah ke atas. Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan
media dari bahan plastik atau kerikil/batu split. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat
lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat
organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik
Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-
organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat
terurai pada bak pengendap, (Said & wahjono,1999).
Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Di dalam bak
kontaktor aerob ini diisi dengan media dari bahan kerikil, plastik (polyethylene), batu apung atau
bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikro organisme yang ada
akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada
permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikro-orgainisme yang
tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut
dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses
nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering di
namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap
akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan
dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air
limpasan (over flow) dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah
dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan,
yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran
umum. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat
organik (BOD, COD), ammonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya.
Dengan adanya proses pengolahan lanjut tersebut konsentrasi COD dalam air olahan yang
dihasilkan relatif rendah yakni sekitar 60 ppm, (Said & wahjono,1999).
Proses pengolahan lanjut dengan sistem Biofilter Anaerob-Aerob ini mempunyai beberapa
keuntungan yakni :
Adanya air buangan yang melalui media kerikil yang terdapat pada biofilter
mengakibatkan timbulnya lapisan lendir yang menyelimuti kerikil atau yang disebut juga
biological film. Air limbah yang masih mengandung zat organik yang belum teruraikan pada bak
pengendap bila melalui lapisan lendir ini akan mengalami proses penguraian secara biologis.
Efisiensi biofilter tergantung dari luas kontak antara air limbah dengan mikro-organisme yang
menempel pada permukaan media filter tersebut. Makin luas bidang kontaknya maka efisiensi
penurunan konsentrasi zat organiknya (BOD) makin besar. Selain menghilangkan atau
mengurangi konsentrasi BOD dan COD, cara ini dapat juga mengurangi konsentrasi padatan
tersuspensi atau suspended solids (SS) , deterjen (MBAS), ammonium dan posphor.
Biofilter juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah yang melalui media ini.
Sebagai akibatnya, air limbah yang mengandung suspended solids dan bakteri E.coli setelah
melalui filter ini akan berkurang konsentrasinya. Efesiensi penyaringan akan sangat besar karena
dengan adanya biofilter up flow yakni penyaringan dengan sistem aliran dari bawah ke atas akan
mengurangi kecepatan partikel yang terdapat pada air buangan dan partikel yang tidak terbawa
aliran ke atas akan mengendapkan di dasar bak filter. Sistem biofilter anaerob-aerb ini sangat
sederhana, operasinya mudah dan tanpa memakai bahan kimia serta tanpa membutuhkan energi.
Poses ini cocok digunakan untuk mengolah air limbah dengan kapasitas yang tidak terlalu besar.
Dengan kombinasi proses "Anaerob-Aerob", efisiensi penghilangan senyawa phospor
menjadi lebih besar bila dibandingankan dengan proses anaerob atau proses aerob saja.
Phenomena proses penghilangan phosphor oleh mikroorganisne pada proses pengolahan
anaerob-aerab dapat diterangkan seperti pada gambar 5. Selama berada pada kondisi anaerob,
senyawa phospor anorganik yang ada dalam sel-sel mikrooragnisme akan keluar sebagi akibat
hidrolosa senyawa phospor. Sedangkan energi yang dihasilkan digunakan untuk menyerap BOD
(senyawa organik) yang ada di dalam air limbah. Efisiensi penghilangan BOD akan berjalan baik
apabila perbandingan antara BOD dan phospor (P) lebih besar 10. Selama berada pada kondisi
aerob, senyawa phospor terlarut akan diserap oleh bakteria/ mikroorganisme dan akan sintesa
menjadi polyphospat dengan menggunakan energi yang dihasik oleh proses oksidasi senywa
organik (BOD). Dengan demikian dengan kombinasi proses anaerob-aerob dapat menghilangkan
BOD maupun phospor dengan baik. Proses ini dapat digunakan untuk pengolahan air limbah
dengan beban organik yang cukup besar,
(Said & wahjono,1999).
6.3. Keunggulan Proses Biofilter Anaerob-Aerob
Beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan biofilter anaerb-aerob antara lain
yakni : pengelolaannya sangat mudah, biaya operasinya rendah, dibandingkan dengan proses
lumpur aktif, Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit, dapat menghilangkan nitrogen dan phospor
yang dapat menyebabkan euthropikasi, suplai udara untuk aerasi relatif kecil, dapat digunakan
untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar, dan dapat menghilangan padatan
tersuspensi (SS) dengan baik, (Said & wahjono,1999).
7. DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1989. Tahu Tempe, Pembuatan, Pengawetan dan Pemanfaatan Limbah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pangan IPB. Bogor.
Connell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi lingkungan. UI Press. Jakarta.
Guideline for Agricultural Waste Management
Jenie, B. S. L. & W. P. Rahayu. (1993). Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta
Karyadi, D. 1985. Prospek Pengembangan Tempe Dalam Upaya Peningkatan Status Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Mahida , U N. 1992. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV Rajawali. Jakarta.
Otto. (1986). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV.Rajawali. Jakarta.
Parker, Rick. (2003). Introduction to Food Science. Delmar, a Division of Thomson Learning, Inc. United States of America.
Prawiro, R. 1988. Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana. Semarang .
Rosalina R .2008. Pengaruh Konsentrasi Dan Frekuensi Penyiraman Air Limbah Tempe Sebagai Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tomat (Lycopersicum Esculentum Mill.). Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Said, N I & Wahjono H.D.1999. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu Tempe Dengan Proses Biofilter Anaerob dan Aerob. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. IPB. Bogor.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Wiryani E.____.Analisa Kandungan Limbah Cair Pabrik Tempe. Universitas Dipenogoro. Semarang.
Wignyanto, Hidayat N, & Ariningrum A. 2009. Bioremediasi Limbah Cair Sentra Industri Tempe Sanan Serta Perencenaan unit Pengolahan (Kajian Pengaturan Kecepatan Aerasi Dan Waktu Inkubasi). Universitas Brawijaya. Malang.