lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS...

192
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI SELF-CARE OREM PADA PASIEN MULTIPLE FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA DAN RUMAH SAKIT ORTHOPEDI PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR LIYA ARISTA 1206303304 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PEMINATAN MUSKULOSKELETAL DEPOK JULI 2015 Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Transcript of lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS...

Page 1: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN PENDEKATAN TEORI SELF-CARE OREM PADA PASIEN

MULTIPLE FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA DAN

RUMAH SAKIT ORTHOPEDI PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

LIYA ARISTA

1206303304

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PEMINATAN MUSKULOSKELETAL

DEPOK

JULI 2015

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 2: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN PENDEKATAN TEORI SELF-CARE OREM PADA PASIEN

MULTIPLE FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH

DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA DAN

RUMAH SAKIT ORTHOPEDI PROF. DR. SOEHARSO SURAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Liya Arista

1206303304

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PEMINATAN MUSKULOSKELETAL

DEPOK

JULI 2015

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 3: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 4: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 5: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

iv

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-

Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini yang berjudul “Analisis

Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah Penerapan Teori Self-Care Orem

pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal di Rumah Sakit Umum

Pusat Fatmawati”. Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak

sangatlah sulit untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Oleh karena itu saya

mengucapkan terimakasih kepada:

(1) Ibu Dra.Junaiti Sahar, SKp., M. App.Sc, PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia

(2) Ibu Dr. Debie Dahlia, SKp., MHSM selaku dosen Pembimbing I yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

penyusunan karya ilmiah akhir ini.

(3) BapakMasfuri, SKp., MN, selaku dosen Pembimbing II yang telah

menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam

penyusunan karya ilmiah akhir ini.

(4) Ibu Umi Aisyiyah, M.Kep, Sp.Kep.MB, selaku dosen Penguji I yang telah

bersedia memberikan masukan terhadap karya ilmiah akhir ini.

(5) Ibu Uun Nurul Huda, MKep., Sp.Kep.MB selaku dosen penguji II yang telah

bersedia member masukan terhadap KIA ini

(6) Seluruh perawat di RSUP Fatmawati khususnya di Gedung Prof Soelarto

lantai 1 yang telah memberikan bantuan selama proses praktik ini.

(7) Seluruh dosen dan staf kependidikan Fakultas Ilmu Keperawatan UI

(8) Kedua orang tua yang selalu memdo’akan dan memberikan dukungan dalam

melewati tahap-tahap praktik hingga penyusunan karya ilmiah akhir ini

(9) Rekan mahasiswa seperjuangan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal

Bedah peminatan Muskuloskeletal

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan semua yang telah terlibat.

Depok, Juli 2015

Penulis

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 6: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 7: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

vi Universitas Indonesia

Abstrak

Nama : Liya Arista

Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Judul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah

dengan Pendekatan Teori Self-Care Orem pada Pasien

Multiple Fraktur Ekstremitas Bawah di Rumah Sakit Umum

Pusat Fatmawati Jakarta dan Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr.

Soeharso Surakarta.

Praktik Spesialis Keperawatan Medikal Bedah dengan Kekhususan pada Sistem

Muskuloskeletal ini bertujuan untuk mengaplikasikan peran perawat sebagai

pemberi asuhan, pengelola, pendidik dan peneliti. Peran sebagai pemberi asuhan

dilakukan dengan mengelola sebanyak 30 pasien yang mengalami masalah pada

sistem muskuloskeletal dan satu pasien kelolaan utama dengan kasus Fraktur

Terbuka Ekstremitas Bawah dengan pendekatan teori self-care Orem. Peran

perawat sebagai peneliti dilakukan dengan penerapan tindakan keperawatan yang

berbasis bukti ilmiah (Evidence-Based Nursing Practice) yaitu dengan

menerapkan wound drain management untuk mencegah kehilangan darah berlebih

post operasi Total Joint Arthroplasty. Sedangkan peran sebagai pengelola

dilakukan deengan menyusun suatu panduan komunikasi efektif yang terstruktur

dengan metode SBAR untuk mengkomunikasikan kondisi pasien dengan masalah

sistem muskuloskeletal. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut bertujuan untuk

mewujudkan asuhan keperawatan holistik dalam meningkatan kualitas pelayanan

keperawatan.

Kata kunci: Fraktur, SBAR, Teori Self-Care Orem, Wound drain management.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 8: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

vii Universitas Indonesia

Abstract

Name : Liya Arista

Study Program : Medical Surgical Nursing Specialist Program

Title : Analysis of Medical Surgical Nursing Advance Clinical

Practice with Orem’s Self-Care Theory Approach in Patients

with Lower Limb Multiple Fractures in Fatmawati Central

General Hospital Jakarta and Prof.Dr.R. Soeharso

Orthopaedic Hospital of Surakarta

Clinical Practice of Medical-Surgical Nursing Specialist in the specialty of

Orthopaedic Nursing aims to apply the role of nurses as a direct patient care

providers, managers, educators and researchers in the clinical setting. Role as a

care provider has done by managed 30 patients with musculoskeletal problems

and one patient (major managed cases) with Open Fracture of Lower Extremities

using Orem’s Self-Care Nursing Theory Approach. The role of nurses as a

researcher has conducted by applying the nursing action based on scientific

evidence (Evidence-Based Nursing Practice), the evidence is wound drain

management to prevent excessive blood loss post Total Joint Arthroplasty. The

role as a nursing manager has been done by applying SBAR method as a strategy

to achieve effective communication at orthopaedic ward. All activities aim to

realizing the holistic nursing care in order to improve the quality of nursing

services.

Keywords: Fracture, SBAR, Theory of Self-Care Orem, Wound drain

management.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 9: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

viii Universitas Indonesia

Daftar Isi

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH ............................................ iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................................... v

Abstrak ................................................................................................................... vi

Abstract ................................................................................................................. vii

Daftar Isi............................................................................................................... viii

BAB 1 ..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1

1.2 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 7

1.3 Manfaat Penulisan ............................................................................................ 7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 9

2.1 Sistem Muskuloskeletal ................................................................................... 9

2.1.1 Tulang ..................................................................................................... 9

2.1.2 Sendi ..................................................................................................... 10

2.1.3 Otot Skeletal ......................................................................................... 11

2.2 Konsep Fraktur ............................................................................................... 11

2.2.1 Definisi ................................................................................................. 11

2.2.2 Klasifikasi Fraktur ................................................................................ 12

2.2.3 Etiologi ................................................................................................. 13

2.2.4 Patofisiologi .......................................................................................... 13

2.2.5 Manifestasi klinis .................................................................................. 14

2.2.6 Proses penyembuhan fraktur ................................................................ 15

2.2.7 Komplikasi Fraktur ............................................................................... 18

2.3 Fraktur Pada Ekstremitas Bawah ................................................................... 24

2.3.1 Fraktur Shaft Tibia dan Fibula .............................................................. 24

2.3.2 Fraktur Calcaneus ................................................................................. 25

2.3.3 Fraktur Talus ........................................................................................ 25

2.4 Penatalaksanaan Fraktur Ekstremitas Bawah ................................................ 26

2.4.1 Penatalaksanaan Non-Bedah ................................................................ 26

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 10: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

ix Universitas Indonesia

2.4.2 Penatalaksanaan Bedah......................................................................... 27

2.4.3 Rehabilitasi Fraktur Ekstremitas Bawah .............................................. 29

2.5 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Fraktur ..................................................... 30

2.5.1 Pengkajian Keperawatan ...................................................................... 30

2.5.2 Diagnosa Keperawatan ......................................................................... 32

2.5.3 Intervensi Keperawatan ........................................................................ 34

2.6 Teori Model Self-Care Orem ......................................................................... 37

2.6.1 Teori Self Care...................................................................................... 38

2.6.2 Teori Self Care Deficit ......................................................................... 39

2.6.3 Teory Nursing System .......................................................................... 42

2.7 Total Joint Arthroplasty ................................................................................. 44

2.7.1 Pemasangan Drain Post Operasi Total Knee Arthroplasty ................... 44

2.7.2 Pemasangan Drain Post Operasi Total Hip Arthroplasty ..................... 45

2.8 Metode Komunikasi SBAR ........................................................................... 46

2.8.1 Situation ................................................................................................ 46

2.8.2 Background ........................................................................................... 46

2.8.3 Assessment ........................................................................................... 46

2.8.4 Recommendation .................................................................................. 47

BAB 3

PROSES RESIDENSI ........................................................................................... 49

3.1 Gambaran kasus kelolaan utama .................................................................... 49

3.1.1 Pengkajian / Riwayat Keperawatan ...................................................... 51

3.1.2 Rencana Asuhan Keperawatan ............................................................. 68

3.2 Praktek Keperawatan Berbasis Bukti (Evidence Based Nursing): Wound

Drain Management Untuk Mengurangi Kehilangan Darah Pada Pasien Post

Operasi Total Joint Arthroplasty ......................................................................... 108

3.2.1 Hasil Telaah Jurnal ............................................................................. 109

3.3 Proyek INOVASI: Penyusunan Panduan Komunikasi dengan Metode SBAR

Untuk Kasus Orthopedi ....................................................................................... 118

3.3.1 Analisis Situasi ................................................................................... 119

3.3.2 Penerapan Proyek Inovasi .................................................................. 120

BAB 4

PEMBAHASAN ................................................................................................. 124

4.1 Analisa Kasus Kelolaan Utama ..................................................................... 124

4.1.1 Aktivitas dan Istirahat ......................................................................... 125

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 11: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

x Universitas Indonesia

4.1.2 Cairan ................................................................................................. 133

4.1.3 Udara .................................................................................................. 135

4.1.4 Pencegahan Bahaya ............................................................................ 136

4.1.5 Kemampuan pasien dalam pemenuhan proses eliminasi dan eksresi. 140

4.2 Analisa Penerapan Teori Self Care Orem terhadap 30 kasus Resume ........ 141

4.2.1 Diagnostic Operations ........................................................................ 141

4.2.2 Prescriptive Operations....................................................................... 143

4.2.3 Regulatory Operations ........................................................................ 143

4.2.4 Control Operations ............................................................................. 144

4.3 Analisa Penerapan Evidence Based Practice : Wound drain management pada

pasien Total Joint Arthroplasty ........................................................................... 144

4.4 Analisa Pelaksanaan Proyek Inovasi : Panduan Komunikasi dengan Metode

SBAR untuk kasus Orthopedi ............................................................................. 146

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 148

5.1 Simpulan ...................................................................................................... 148

5.2 Saran ............................................................................................................ 149

5.2.1 Pelayanan Keperawatan ...................................................................... 149

5.2.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan ..................................................... 149

5.2.3 Pendidikan Keperawatan .................................................................... 150

DAFTAR PUSTAKA

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 12: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang, tujuan, serta manfaat penulisan

analisis praktik residensi keperawatan pada pasien muskuloskeletal dengan

pendekatan Teori Self Care Orem.

1.1 Latar Belakang

Kemampuan individu dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti bergerak atau

menggunakan objek fisik tergantung pada integritas sistem muskuloskeletal.

Sistem muskuloskeletal memiliki dua komponen yaitu kerangka/ skeletal yang

terdiri dari tulang serta sendi dan otot skeletal. Masing-masing komponen tersebut

berkontribusi terhadap mobilitas. Kerangka berfungsi dalam mendukung tubuh

dan berpengaruh terhadap otot agar gerakan dari seluruh bagian tubuh dapat

dilakukan. Gerakan tersebut diperoleh melalui kontraksi otot skeletal dan fleksi

maupun rotasi sendi (McCance & Huether, 2014).

Masalah pada sistem muskuloskeletal merupakan salah satu masalah yang

sebagian besar pernah dialami oleh masyarakat. Gangguan pada tulang, sendi dan

otot dapat disebabkan oleh trauma, gangguan metabolisme, infeksi, penyakit

inflamasi atau non-inflamasi dan tumor. Gangguan tersebut merupakan penyebab

paling umum dari nyeri jangka panjang hingga kecacatan fisik (Woolf & Pfleger,

2010).

Trauma muskuloskeletal merupakan kondisi cedera pada sistem muskuloskeletal.

Salah satu penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas. Cedera akibat

kecelakaan lalu lintas menempati peringkat kedelapan penyebab kematian terbesar

di dunia dan merupakan penyebab kematian utama pada individu usia 15 – 19

tahun. Lebih dari satu juta orang meninggal tiap tahunnya akibat kecelakaan lalu

lintas dan biaya yang dihabiskan oleh negara sebagai konsekuensi dari masalah ini

cukup besar. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa

India merupakan negara dengan urutan pertama yang memiliki jumlah kematian

terbanyak akibat kecelakaan lalu lintas. Sementara Indonesia menempati urutan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 13: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

2

Universitas Indonesia

kelima. Namun berdasarkan data dari Global Status Report on Road Safety tahun

2013, Indonesia mengalami kenaikan jumlah kecelakaan lalu lintas hingga lebih

dari 80 persen. Angka kematian terbesar akibat kecelakaan lalu lintas terjadi pada

pengendara sepeda motor sebanyak 36% disusul oleh supir atau penumpang

transportasi umum yaitu sekitar 35% (World Health Organization, 2013).

Cedera muskuloskeletal dapat meliputi fraktur, dislokasi, sprain, dan strain.

Cedera Muskuloskeletal seperti fraktur dan dislokasi merupakan manifestasi

utama dari trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Penelitian retrospektif terhadap

korban kecelakaan di Afrika menunjukkan bahwa cedera yang paling sering

terjadi akibat kecelakaan lalu lintas adalah Fraktur yaitu sebanyak 69% (Gichuhi,

2007). Penelitian lain dilakukan oleh Pretorius (2010) menunjukkan bahwa dari

307 pasien korban kecelakaan lalu lintas di Johannesburg, sebanyak 130 pasien

(35,4%) mengalami fraktur femur dan 123 pasien (33,5%) mengalami fraktur

tibia/fibula sisanya meliputi fraktur humerus, pelvis, lengan dan area tubuh lain

dengan presentasi yang relatif kecil. Data serupa ditemukan di Cina yaitu dari

2213 pasien yang dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan, sebanyak 53,3%

mengalami fraktur pada ekstremitas bawah (Qi, Yang, Zhang & Wang, 2006).

Fraktur dapat terjadi pada setiap bagian tulang manusia, tergantung pada bagian

mana yang mengalami cedera. Fraktur merupakan suatu kondisi rusak atau

terputusnya kontinuitas tulang dan mengakibatkan terganggunya kebutuhan

manusia untuk mobilisasi dan sensasi (Ignatavicius & Workman, 2010). Prinsip

penanganan untuk fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi

semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan

(imobilisasi). Cara imobilisasi dengan pin, plat, screw, atau alat lain

(osteosintesis) merupakan langkah yang ditempuh bila cara non-operatif seperti

reposisi, gips, traksi dan manipulasi lainnya mencapai hasil yang kurang optimal

(McCance & Huether, 2014).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 14: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

3

Universitas Indonesia

Proses penyembuhan fraktur membutuhkan waktu yang cukup lama. Maher

(2002) dan Linton (2012) menjelaskan lima tahapan penyembuhan tulang meliputi

fase hematoma, pembentukan prokallus/fibrokartilago, pembentukan kalus,

osifikasi dan remodeling. Untuk mencapai tahap akhir atau remodeling

dibutuhkan waktu sekitar 6 minggu sampai 1 tahun. Waktu tersebut akan

bertambah lama jika terdapat penyulit yang menghambat proses penyembuhan

tulang.

Pemulihan terhadap alignment tulang dan imobilisasi sampai tulang sembuh

merupakan suatu kondisi penting dalam proses penyembuhan dan rehabilitasi

pasien fraktur untuk memperoleh kembali fungsi normal. Selain itu, pasien juga

membutuhkan bantuan dalam menentukan koping terkait keterbatasan yang

dialami. Studi observasional yang dilakukan oleh Ergardt dan Stenstrom-Kyobe

(2012) menemukan bahwa Pasien Fraktur pada umumnya mengalami keterbatasan

dalam pemenuhan kebutuhan dasar harian antara lain untuk kebersihan diri,

berpakaian, dan toileting. Pasien fraktur juga mengalami keterbatasan dalam

mobilisasi mulai dari fase akut hingga fase rehabilitasi. Saat menjalani proses

perawatan di rumah sakit, klien akan membutuhkan bantuan dan bergantung pada

perawat maupun caregiver. Sedangkan, ketika akan pulang ke rumah pasien

dipersiapkan agar mampu memaksimalkan kemampuan dirinya dalam memenuhi

kebutuhan dasar harian. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kondisinya agar

tetap optimal meskipun dalam berbagai keterbatasan, pasien dituntut untuk dapat

secara mandiri melakukan perawatan diri. Hal ini dapat diwujudkan dengan teori

keperawatan dari Dorothea E. Orem tentang self-care deficit.

Pengamatan penulis selama menjalani praktek di RS terutama ketika merawat

pasien fraktur adalah dalam proses bantuan terhadap pemenuhan ADL. Sebagian

besar pasien fraktur mengalami keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan dasar.

Keluarga atau caregiver yang mendampingi juga masih membutuhkan arahan dan

panduan dalam membantu klien karena sebagian besar kasus fraktur adalah kasus

akut dimana klien maupun keluarga tidak ada persiapan maupun pengalaman

sebelumnya dalam menghadapi kondisi tersebut.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 15: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

4

Universitas Indonesia

Teori Model Self Care Orem adalah suatu teori keperawatan yang menekankan

pada kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan self-care secara mandiri,

selama kondisi individu masih memungkinkan untuk menjadi agen self-care bagi

dirinya sendiri (Orem, 2001). Teori ini juga menekankan bahwa setiap individu

memiliki kemampuan untuk merawat dirinya sendiri dan anggota keluarganya.

Peran perawat adalah membantu pasien sebagai self-care agency sehingga pasien

mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri (Tommey & Aligood, 2008).

Perawat yang bertanggung jawab merawat pasien dengan masalah

muskuloskeletal khususnya fraktur sangat dibutuhkan perannya dalam penerapan

teori self-care Orem. Hal tersebut bertujuan agar asuhan keperawatan yang

diberikan tidak hanya berfokus kepada masalah penyakit saja namun lebih

komprehensif meliputi aspek bio-psiko-sosio-kultural dan spiritual.

Asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah sistem muskuloskeletal tidak

hanya sebatas pada pencapaian keberhasilan dalam fase pemulihan maupun

rehabilitasi, namun juga pada penatalaksanaan di fase akut. Nielsen (2010)

menjelaskan bahwa perawat orthopedi berfokus pada pencegahan komplikasi,

mempertahankan dan melatih fungsi tubuh dalam memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Maher (2002) menjelaskan bahwa komplikasi dari cedera musculoskeletal

dapat terjadi dalam tempo yang cepat (immediately complication) atau dalam

jangka waktu yang cukup lama (delayed complication). Kedua kondisi tersebut

perlu menjadi perhatian dan antisipasi dari perawat.

Sebagian besar pasien yang dirawat di ruang rawat orthopedi merupakan pasien

yang menjalani prosedur pembedahan. Salah satu komplikasi yang terjadi dalam

waktu singkat (immediately complication) pasca operasi pada sistem

muskuloskeletal adalah perdarahan. Hal ini dapat terjadi karena adanya release

jaringan lunak serta jaringan tulang, selain itu beberapa prosedur operasi

khususnya pada ekstremitas bawah menggunakan tourniquet. Hal terbut dapat

meningkatkan risiko perdarahan pasca operasi. Kehilangan darah berlebihan dapat

dicegah melalui beberapa metode salah satunya adalah dengan Manajemen

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 16: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

5

Universitas Indonesia

Drainase Luka (wound drain management). Manajemen drainase luka tersebut

bertujuan untuk mengurangi kehilangan darah terutama dari drainase luka post

operasi sehingga mencegah pemberian transfusi darah yang dapat meningkatkan

risiko untuk transmisi infeksi dan reaksi imunologi (Li et al, 2014).

Literatur terkait penerapan praktik keperawatan berbasis bukti (evidence based

nursing) dalam mengatasi masalah perdarahan pasca operasi pada sistem

muskuloskeletal telah banyak dipublikasikan. Salah satu metode yang dibahas

dalam analisa praktik residensi ini adalah metode non-continous drain clamping

dengan periode waktu tertentu dalam rangka mengurangi jumlah kehilangan darah

pasca operasi Total Joint Arthroplasty.

Artikel meta-analysis yang ditulis oleh Li, Zhuang, Weng, Zhou dan Bian (2014)

menjelaskan bahwa metode non-continous drain clamping khususnya untuk

periode klem selama 4 jam terbukti dapat mengurangi jumlah kehilangan darah

pasca operasi tanpa meningkatkan angka kejadian komplikasi dibandingkan

dengan continuous drainage. Pasien post operasi Total Joint Arthroplasty di ruang

rawat GPS lantai 1 hampir seluruhnya terpasang drain. Namun, belum ada

manajemen drainase luka yang baku terkait metode clamping, monitoring

produksi drain dan waktu pelepasan drain. Oleh karena itu, penulis merasa

perlunya dilakukan suatu telaah EBN yang mendalam untuk mengatasi hal

tersebut.

Penatalaksanaan terhadap komplikasi perdarahan post operasi memerlukan kerja

sama tim berupa kolaborasi perawat dan dokter. Dalam kolaborasi dibutuhkan

suatu pola komunikasi yang efektif untuk mencapai hasil komunikasi yang tepat

sasaran dalam rangka mendukung budaya keselamatan pasien (patient safety) dan

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (Randmaa, Martensson, Swenne, &

Engstrom, 2015). Teknik Komunikasi dengan Metode SBAR (Situation,

Background, Assesment dan Recommendation) merupakan suatu metode standar

untuk meningkatkan komunikasi antar tenaga kesehatan professional

(Chaharsoughi, Ahrari, & Alikhah, 2014). Fenomena yang terjadi adalah masih

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 17: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

6

Universitas Indonesia

belum optimalnya penerapan teknik komunikasi SBAR meskipun sebagian besar

tenaga kesehatan telah terpapar dengan konsep SBAR tersebut. Oleh karena itu,

penulis dan tim mahasiswa praktik residensi menyusun suatu pedoman

komunikasi SBAR sebagai proyek Inovasi di ruang rawat. Metode Komunikasi

SBAR ini digunakan dalam melaporkan kondisi pasien dengan masalah pada

sistem muskuloskeletal baik intra maupun inter health professional.

Kondisi pasien cedera muskuloskeletal dengan berbagai kemungkinan komplikasi

dan kebutuhan akan perawatan jangka panjang dalam fase rehabilitasi

menunjukkan bahwa Perawat spesialis muskuloskeletal sangat dibutuhkan

perannya dalam mewujudkan asuhan keperawatan holistik. Perawat spesialis

berperan memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas serta memiliki

keahlian khusus dalam penerapan evidence-based nursing untuk mengatasi

masalah di ruang rawat dengan suatu telaah literatur ilmiah yang berbasis bukti.

Selain terlibat langsung dalam perawatan pasien, perawat spesialis juga terlibat

dalam pendidikan/pengajaran, mentoring, konsultasi, penelitian, manajemen dan

pengembangan sistem (AACN, 2006). Pelaksanaan Presheptorship dan Proyek

Inovasi di ruang rawat dilaksanakan dalam rangka mewujudkan peran perawat

spesialis dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang komprehensif.

Oleh sebab itu, karya ilmiah akhir ini disusun sebagai laporan praktik residensi

spesialis keperawatan medikal bedah dengan kekhususan sistem muskuloskeletal.

Praktik residensi ini dijalankan selama kurang lebih satu tahun yang berlangsung

di RSUP Fatmawati Jakarta dan RS Orthopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta mulai

bulan September 2013 – Mei 2014. Dalam rentang waktu tersebut, penulis

menjalankan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dengan mengelola 30

pasien dengan masalah muskuloskeletal berdasarkan pada teori Model Self Care

Orem, melakukan telaah evidence based nursing untuk kemudian menerapkannya

pada pasien dengan kasus yang sesuai, dan melakukan suatu proyek inovasi dalam

rangka meningkatkan kualitas asuhan pelayanan keperawatan di rumah sakit.

Semua itu dilakukan untuk melaksanakan peran perawat spesialis khususnya

sebagai pemberi asuhan, pendidik maupun peneliti.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 18: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

7

Universitas Indonesia

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan analisis praktik residensi ini meliputi tujuan umum dan tujuan

khusus.

1.2.1 Tujuan Umum

Melakukan analisis kegiatan praktik residensi Keperawatan Medikal Bedah

dengan kekhususan sistem muskuloskeletal yang telah dilaksanakan di RSUP

Fatmawati Jakarta.

1.2.2 Tujuan Khusus

Melakukan analisis kegiatan praktik residensi keperawatan medikal bedah dalam

menerapkan dan menjalani peran dalam berbagai kegiatan meliputi:

a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan tingkat lanjut dan melakukan

analisis terhadap pemberian asuhan keperawatan pasien dengan masalah sistem

muskuloskeletal khususnya fraktur menggunakan pendekatan teori model self-

care Orem.

b. Peran dalam menerapkan intervensi keperawatan mandiri berbasis bukti ilmiah

(evidence based practice) yang diperoleh dari hasil telaah kritis jurnal-jurnal

dan laporan penelitian. Pada laporan ini akan dipaparkan hasil penerapan

wound drain management dengan metode clamping / non-continuous dan

kemudian dilakukan analisis terkait efektifitasnya dalam mengurangi kejadian

kehilangan darah berlebihan post operasi Total Knee Arthroplasty.

c. Peran sebagai inovator dengan menyusun suatu panduan komunikasi pada

ruang rawat Bedah Orthopedi dengan Metode SBAR dalam rangka

meningkatkan komunikasi intra – inter health professional untuk mendukung

budaya patient safety di rumah sakit.

1.3 Manfaat Penulisan

Karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada tiga area,

antara lain:

1.3.1 Pelayanan keperawatan

a. Menjadi acuan dalam memberikana asuhan keperawatan pasien fraktur dengan

menggunakan pendekatan teori keperawatan model self care Orem sehingga

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 19: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

8

Universitas Indonesia

diperoleh hasil yang diharapkan berupa kemampuan individu dalam

memaksimalkan perilaku self-care berdasarkan kemampuannya dalam rangka

pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

b. Menjadi masukan bagi perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan untuk

memberikan intervensi berdasarkan bukti nyata (evidence based practice)

sehingga dapat meningkatkan profesionalisme dalam pemberian pelayanan

dan kualitas asuhan keperawatan mandiri maupun kolaborasi terkait perawatan

post operasi pasien Total Knee Arthroplasty yang terpasang drainase luka.

c. Menjadi masukan bagi pemegang kebijakan untuk menerapkan inovasi yang

dapat membawa perubahan dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya

dalam menerapkan pola komunikasi efektif melalui metode SBAR.

1.3.2 Pengembangan ilmu keperawatan

Dapat dijadikan masukan dalam mengembang asuhan keperawatan khususnya

dalam melakuan intervensi keperawatan kedepannya haruslah mengacu pada

evidence based practice. Selain itu, karya ilmiah akhir ini diharapkan dapat

menambah kekayaan keilmuan keperawatan dalam merawat pasien fraktur

melalui peran keperawatan sebagai pemberi asuhan, peneliti, pendidik, dan peran

sebagai inovator.

1.3.3 Pendidikan keperawatan

Laporan analisis ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan informasi bagi

pendidikan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien dengan

masalah muskuloskeletal khususnya fraktur beserta komplikasinya dengan

menggunakan pendekatan teori keperawatan model self care OREM, diagnosis

keperawatan yang diperoleh dari pengkajian, intervensi keperawatan berdasarkan

evidence-based nursing, dan melakukan inovasi untuk meningkatkan kualitas

pelayanan keperawatan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 20: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

9 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan tentang konsep dan teori yang berkaitan dengan

Fraktur, ORIF dan Teori Model Self-Care Orem. Teori tersebut menjadi kerangka

acuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien Fraktur beserta

penyakit penyerta dan komplikasinya.

2.1 Sistem Muskuloskeletal

2.1.1 Tulang

Tulang terdiri dari tiga jenis sel antara lain adalah osteoblas, osteosit dan

osteoclast. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang fungsi utamanya adalah

membentuk tulang baru. Osteoblas merupakan suatu sel yang terbentuk dari

mesenchymal stem cells. Osteoblas memproduksi beberapa substansi meliputi

osteocalcin, TGF-, macrophage colony-stimulating factor, dan beberapa zat lain.

Osteoblas aktif pada permukaan luar tulang yang mempentuk suatu sel dengan

lapisan tunggal. Saat fungsi osteoblast telah sempurna, maka komponen tulang ini

akan berubah menjadi osteosit yang tertanam pada tulang. Osteosit akan

berkoordinasi dengan sel tulang yang lain dan mengatur osteoblas serta osteoclast

terkait waktu dan tempat untuk membentuk dan menyerap tulang. Osteoclast

merupakan sel tulang utama yang berperan dalam penyerapan tulang dalam

rangka remodeling (McCance & Huether, 2014).

Tulang terdiri dari dua jenis jaringan tulang yaitu tulang kompak (cortical bone)

dan Tulang spons (cancellous bone). Tulang kompak membentuk sekitar 85% dari

rangka dan sisanya adalah tulang spons yaitu 15%. Kedua jenis tulang ini terdiri

dari elemen yang sama. Perbedaan utama dari kedua jenis jaringan tulang ini

adalah pada susunan masing-masing elemen. Tulang kompak memiliki matriks

yang padat dan rapat, sedangkan tulang spons memiliki matriks yang berongga-

rongga. Seluruh tulang ditutupi oleh jaringan ikat double-layered yang disebut

periosteum. Lapisan terluar dari periosteum terdiri dari pembuluh darah dan saraf.

Lapisan dalam periosteum mengikat tulang dengan serat-serat kolagen (Sharpey

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 21: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

10

Universitas Indonesia

Fiber). Sharpey fiber juga berperan dalam mempertahankan tendon dan ligament

pada tulang periosteum (McCance & Huether, 2014).

Rangka manusia terdiri dari 206 tulang yang menyusun rangka aksial dan

apendikular. Rangka aksial terdiri dari 80 tulang yang menyusun tengkorak,

tulang vertebra dan thorax. Sedangkan rangka apendikular terdiri dari 126 tulang

yang menyusun ekstremitas atas, ekstremitas bawah, bahu dan pelvis. Rangka

berkontribusi terhadap 14% berat badan orang dewasa. Tulang dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan karakteristiknya yaitu tulang

panjang, pipih, pendek (cuboid), atau ireguler. Tulang panjang terdiri dari narrow

tubular midportion (diafisis) yang menyatu dengan broader neck (metafisis) dan

bagian ujung (epifisis) (McCance & Huether, 2014).

2.1.2 Sendi

Sendi adalah celah antara dua tulang atau lebih yang berdampingan. Istilah lain

yang sering digunakan untuk sendi adalah articulation. Fungsi utama sendi antara

lain adalah untuk memberikan pergerakan dan fleksibilitas tubuh (Ignatavicious &

Workman, 2013).

Sendi dikelompokkan menjadi tiga jenis yang meliputi Synarthrodial,

Amphiarthrodial, Diarthrodial (Synovial). Synarthrodial adalah sendi yang tidak

bisa bergerak sama sekali contohnya persendian pada tulang tengkorak. Sendi

Amphiarthrodial adalah sendi yang dapat bergerak namun hanya sedikit

contohnya pada persendian pelvis. Sedangkan sendi Diarthrodial adalah sendi

yang pergerakannya bebas contoh pada persendian siku dan lutut. Sendi

Diarthrodial atau synovial adalah satu-satunya sendi yang memiliki synovium

yaitu suatu membrane yang mengeksresikan cairan synovial yang berfungsi

sebagai pelumas dan shock absorbant. Sendi Synovial inilah yang paling sering

mengalami masalah akibat cedera maupun penyakit (Ignatavicious & Workman,

2013).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 22: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

11

Universitas Indonesia

2.1.3 Otot Skeletal

Otot skeletal atau otot rangka merupakan otot volunteer yang pergerakannya

dikontrol oleh sistem saraf pusat dan perifer. Hubungan antara saraf motorik

perifer dan sel otot disebut motor end plate. Serat otot menempel pada jaringan

ikat dalam bentuk fasciculi. Seluruh otot dikelilingi oleh fascia yang terdiri dari

pembuluh darah, limfe, dan saraf (Ignatavicious & Workman, 2013).

Fungsi utama otot rangka untuk pergerakan tubuh dan bagian-bagiannya. Ketika

tulang, sendi dan struktur penunjang lain mengalami masalah karena penyakit atau

cedera, jaringan otot disekitarnya juga terkena dampak sehingga mengakibatkan

imobilitas. Saat proses penuaan, serat otot mengecil dan berkurang jumlahnya.

Artropi dapat terjadi jika otot tidak dilatih secara teratur dan akan memburuk jika

tidak digunakan. (Ignatavicious & Workman, 2013).

Jaringan penunjang sistem muscular sangat rentan terhadap cedera. Jaringa

tersebut antara lain adalah tendon dan ligament. Tendon adalah jaringan fibrosa

yang menghubungkan tulang dan otot. Sedangkan ligament berfungsi

menghubungkan tulang dengan tulang yang lainnya atau dengan persendian

(Ignatavicious & Workman, 2013).

2.2 Konsep Fraktur

2.2.1 Definisi

Fraktur merupakan rusak atau terputusnya kontinuitas tulang dan mengakibatkan

terganggunya kebutuhan manusia untuk mobilisasi dan sensasi (Ignatavicius &

Workman, 2010). Maher, Salmond & Pellino (2002) menyebutkan bahwa fraktur

adalah keadaan dimana terputusnya, kontinuitas tulang baik komplit maupun

inkomplit. Pada kasus fraktur, jaringan lunak disekitar tulang juga mengalami

cedera (Linton, 2012). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fraktur

merupakan terputusnya kontinuitas tulang secara komplit ataupun inkomplit yang

disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau tindakan kekerasan

sehingga mengakibatkan terganggunya pemenuhan kebutuhan untuk mobilitas dan

sensasi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 23: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

12

Universitas Indonesia

2.2.2 Klasifikasi Fraktur

Fraktur terbagi menjadi dua klasifikasi yaitu fraktur tertutup (close fracture) dan

fraktur terbuka (open fracture) tergantung pada jenis dan luasnya kerusakan

jaringan lunak. Fraktur tertutup atau simple fracture merupakan suatu kondisi

patah tulang yang tidak sampai merusak/ menembus lapisan kulit. Sedangkan,

pada fraktur terbuka atau compound fracture, fragmen tulang yang patah

menembus lapisan kulit (Linton, 2012).

Fraktur terbuka sering terjadi pada tibia karena permukaan tulang tibia hanya

ditutupi oleh lapisan kulit tanpa ada jaringan lunak lain yang menutupinya. Cedera

yang signifikan pada tibia akan mengakibatkan tulang terpapar dan

mengakibatkan penyembuhan yang buruk pada tulang tersebut. Fraktur terbuka

dibagi menjadi tiga tingkat keparahan menggunakan Gustillo-Anderson

Classification yaitu (Elstrom, Virkus, & Pankovich, 2006):

2.2.2.1 Grade I

Low-energy fracture dengan luka yang panjangnya kuran dari 1 cm. Luka pada

ekstremitas biasanya terjadi karena tulang merobek jaringan lunak dari dalam.

2.2.2.2 Grade II

Slightly higher energy fracture dengan luka yang panjangnya kurang dari 10cm

dan dapat ditutup secara primer.

2.2.2.3 Grade III

Terjadi karena high-energy trauma yang berdampak pada cedera berat (luka lebih

besar dari 10 cm). Fraktur terbuka Grade III terbagi lagi menjadi tiga klasifikasi

antara lain Grade IIIA yang meliputi fraktur segmental, fraktur dengan

kontaminasi; Grade IIIB yang membutuhkan flap coverage untuk menutup luka

dan Grade IIIC yang kerusakannya melibatkan cedera pada pembuluh darah.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 24: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

13

Universitas Indonesia

2.2.3 Etiologi

Fraktur disebabkan oleh adanya tekanan yang didapat oleh tulang yang

disebabkan oleh faktor biologis, faktor eksternal dan internal (Maher et al, 2002).

2.2.3.1 Faktor biologis

Faktor biologis merupakan kondisi yang dapat merubah komposisi dan kekuatan

tulang. Yang termasuk faktor biologis adalah usia. Meningkatnya usia

menyebabkan kerapuhan tulang sehingga lansia lebih rentan untuk terjadi fraktur

dan proses penyembuhan fraktur pada lansia relatif lebih lama. Kejadian fraktur

yang paling sering terjadi pada lansia adalah fraktur hip yang berhubungan dengan

riwayat jatuh atau penyakit degenerative seperti osteoporosis (Linton, 2012).

2.2.3.2 Faktor eksternal

Yang termasuk faktor eksternal adalah besarnya tekanan, durasi dan arah dari

tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan pada tulang maka toleransi tulang

terhadap tekanan akan semakin menurun. Fraktur pada umumnya terjadi akibat

trauma pada tulang seperti pada kecelakaan dan jatuh. Fraktur juga dapat terjadi

akibat penekanan / stress yang berkepanjangan atau berulang seperti pada cedera

akibat olahraga (Linton, 2012).

2.2.3.3 Faktor internal

Faktor internal yaitu karakteistik tulang seperti kemampuan absorpsi energi,

elastisitas, kekuatan tulang, ukuran dan densitas tulang. Selain ketiga faktor

tersebut faktor lingkungan juga merupakan faktor predisposisi terjadinya fraktur

yaitu aktifitas yang berisiko tinggi (penerjun payung, skateboard).

2.2.4 Patofisiologi

Fraktur terjadi jika tulang mendapat tekanan yang melebihi dari batas toleransi

yang dapat di terimanya. Fraktur disebabkan oleh tenaga langsung maupun tidak

langsung, atau adanya stres atau kelemahan dari tulang. Fraktur dapat terjadi baik

patalogis (terjadi akibat penyakit lain seperti kanker) maupun fisiologis (Maher,

Salmond & Pellino, 2002).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 25: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

14

Universitas Indonesia

Mekanisme terjadi fraktur dapat terjadi melalui dua cara yaitu langsung dan tidak

langsung. Secara langsung energi kinetik terjadi pada atau dekat dengan posisi

tulang, sehingga tulang tidak dapat menahan tenaga yang diberikan padanya.

Sedangkan secara tidak langsung energi kinetik ditransmisikan dari sisi yang

terkena ke area tulang yang lemah, sehingga fraktur terjadi pada area yang lemah

(Lemone & Burke, 2004).

Ketika terjadi fraktur maka akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,

sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi

perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan

hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan

jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat

sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan

leukosit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses

penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal

penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan

tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak

dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai

organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga

meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang

iskemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini

menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung

syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan sindrom komportemen.

2.2.5 Manifestasi klinis

Fraktur sering terjadi bersama dengan cedera jaringan, termasuk otot, arteri, vena,

syaraf atau kulit. Tanda dan gejala fraktur tergantung pada jenis fraktur dan area

tulang yang mengalami masalah. Beberapa jenis fraktur memiliki manifestasi

klinis yang hampir tidak tampak dan baru akan terdeteksi fraktur melalui

pemeriksaan radiologi. Manifestasi klinis yang sering muncul ketika fraktur

adalah Nyeri, Deformitas (kelainan bentuk), krepitasi (suara berderik), tenderness,

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 26: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

15

Universitas Indonesia

bengkak, pergerakan abnormal, echymoisi (perdarahan subkutan yang lebar),

kehilangan sensasi/ mati rasa, paralisis, dan syok hipovolemik (Lemone & Burke,

2004; Smelter & Bare, 2002; Linton, 2012)

2.2.6 Proses penyembuhan fraktur

Penyembuhan terjadi melalui regenerasi jaringan bukan dengan jaringan parut.

Proses penyembuhan tulang pada penyembuhan fraktur sama dengan mekanisme

pembentukan tulang selama pertumbuhan dan pemeliharaan normal. Urutan

pembentukan tulang melibatkan mineralisasi terorganisir matriks tulang yang

disintesis oleh osteoblast, diikuti dengan remodeling untuk membentuk tulang

dewasa (Maher et al, 2002).

Faktor yang paling penting dalam proses penyembuhan tulang adalah sirkulasi

yang adekuat pada area fraktur dan imobilisasi yang adekuat. Tingkat dan

efektivitas proses penyembuhan tulang dapat berubah karena adanya penyakit

sistemik atau penyakit tulang dan juga dipengaruhi oleh usia dan kesehatan umum

dari individu, karakteristik fraktur dan metode pengobatan. Fraktur pada bayi

dapat sembuh dalam waktu 4 sampai 6 minggu, sedangkan fraktur yang sama

pada orang dewasa membutuhkan waktu 6 sampai 10 minggu untuk sembuh. Usia

tidak akan mengubah penyembuhan fraktur secara signifikan setelah usia 20 tahun

kecuali individu memiliki gangguan metabolisme seperti osteoporosis. Dibawah

ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang antara lain

menurut Maher, et al (2002):

Tabel 2.1

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang

Baik (Favorable) Tidak Baik (Unfavorable)

Lokasi

Suplai darah yang baik pada

ujung tulang

Kerusakan jaringan lunak yang

minimal

Reduksi anatomi

Imobilisasi

Topangan berat pada tulang

panjang

Pemisahan yang luas dari ujung

fragmen

Distraksi fragmen dengan traksi

Tumbukan yang parah

Kerusakan jaringan lunak yang parah

Kehilangan bagian tulang akibat dari

cedera atau eksisi bedah

Gerakan dan rotasi di area fraktur

akibat fiksasi yang tidak adekuat

Infeksi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 27: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

16

Universitas Indonesia

Baik (Favorable) Tidak Baik (Unfavorable)

Gangguan aliran darah ke salah satu

atau lebih fragmen tulang

Lokasi (midshaft-penurunan aliran

darah)

Ehara (1997) dalam Maher, et al (2007) menjelaskan bahwa 70 – 80 % kegagalan

dalam penyembuhan fraktur merupakan kegagalan secara teknis yang meliputi

infeksi, reduksi yang tidak adekuat, distraksi, gerakan kontinu pada area fraktur

dan gangguan suplai darah akibat cedera maupun pengobatan. Sisanya sebesar

20% adalah kegagalan karena masalah biologis seperti gagalnya pembentukan

kallus, hambatan dalam proses mineralisasi kalus (osteomalacia), tahap

remodeling yang abnormal (tertundanya pergantian kallus dengan tulang

lamellar), dan penyakit sistemik seperti DM dan neuropati perifer.

Salah satu faktor favorable yang mempengaruhi penyembuhan tulang adalah

imobilisasi. Imobilisasi yang adekuat pada fragmen fraktur merupakan hal yang

sangat penting dalam proses penyembuhan. Manipulasi yang berulang atau

gerakan pada fragmen fraktur dapat mengakibatkan terbentuknya pseudoartritis.

Hal tersebut berkaitan dengan disrupsi fibrin yang mengakibatkan kegagalan

dalam pembentukan kallus eksternal. Fiksasi fraktur dapat memfasilitasi

penyembuhan tulang tetapi tidak mempercepat perbaikan tulang. Imobilisasi yang

memungkinkan sanggahan berat dapat menstimulasi proses penyembuhan (Maher,

et al, 2002).

Proses penyembuhan tulang terjadi dalam lima tahapan (Maher, 2002; Linton,

2012). Tahapan tidak terjadi secara terpisah untuk masing-masing tahapan namun

terjadi tumpang tindih selama proses tersebut berlangsung. Dua atau lebih tahapan

penyembuhan dapat terjadi pada waktu yang bersamaan di bagian tulang yang

berbeda (Hamblen & Simpson, 2007).

2.2.6.1 Tahap I

Tahap 1 adalah proses pembentukan hematoma. Tahapan ini terjadi segera setelah

fraktur dan dapat berlangsung selama 48 sampai 72 jam (3 hari pertama pasca

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 28: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

17

Universitas Indonesia

cedera) dimulai dengan terbentuknya hematoma atau bekuan darah diantara ujung

dua tulang yang mengalami fraktur. Ukuran hematoma tergantung pada besarnya

kerusakan pada tulang, jaringan lunak, dan pembuluh darah di sekitar fraktur.

Bekuan darah terbentuk diantara dua ujung, mengelilingi fragmen fraktur dan

memberikan sedikit stabilisasi pada fraktur. Nekrosis dan kematian tulang yang

dekat dengan area fraktur terjadi sebanding dengan hilangnya aliran darah ke

fraktur dan meluas ke titik di mana suplai darah kolateral dimulai.

Inflamasi aseptik dimulai dengan munculnya sel mati dan debris pada area fraktur.

Dilatasi vaskular dan eksudat fibrin kaya plasma memulai migrasi sel inflamasi

akut ke daerah fraktur. Sel fagosit memulai pelepasan jaringan debris. Tahap I

pada penyembuhan fraktur paling dipengaruhi oleh kehilangan suplai vascular ke

area fraktur.

2.2.6.2 Tahap II

Tahap 2 adalah proses pembentukan Fibrokartilagi. Pada tahap ini terjadi

pembentukan jaringan granular (fibrokartilago) yang terdiri dari pembuluh darah,

fibroblast, dan osteoblast dan terjadi 3 hari sampai 2 minggu setelah fraktur.

Fibroblast, osteoblast dan chondroblast berpindah ke area fraktur sebagai bagian

dari proses inflamasi. Pembentukan hematoma menjadi dasar untuk jaringan

reparatif dan penyembuhan tulang. Tahapan awal dari pembentukan hematoma

dan pembentukan jaringan fibrosa disebut dengan primary callus dan

menghasilkan peningkatan bertahap dalam stabilitas fragmen fraktur. Area bekuan

darah kemudian digantikan oleh jaringan granulasi yang membentuk collar

disepanjang ujung tulang yang rusak. Formasi tersebut perlahan-lahan menjadi

utuh dan membentuk jembatan yang menghubungkan antara dua ujung tulang

yang patah. Tahap 2 dipengaruhi oleh vaskuler dan faktor mekanis seperti gerakan

dan distraksi fragmen.

2.2.6.3 Tahap III

Pembentukan callus, terjadi dari 2 sampai 6 minggu setelah fraktur ketika jaringan

granulasi matur. Linton (2012) menyebutkan fase ini terjadi dalam waktu 1 – 4

minggu setelah cedera. Tulang fibrosa dibentuk ketika kalsium disimpan dalam

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 29: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

18

Universitas Indonesia

jaringan kolagen dari jaringan granulasi. Ukuran dan bentuk kallus sebanding

dengan perpindahan fragmen fraktur dan besarnya kerusakan tulang. Tahap III

merupakan tahapan yang penting dalam menentukan hasil akhir dari fraktur. Jika

tahapan ini lambat atau terganggu, paling sedikit dua tahapan tidak dapat terjadi

dan mengakibatkan terjadinya malunion atau nonunion.

2.2.6.4 Tahap IV

Osifikasi, terjadi dari 3 minggu hingga 6 bulan setelah fraktur (Maher, 2002;

Linton, 2012), celah pada tulang mulai menyatu dan terjadi union. Kallus, yang

sering disebut bridging callus, disekeliling ujung fragmen fraktur dan pada

fragmen yang lain. Pembentukan kallus medullary menghubungkan celah antara

fragmen fraktur bagian dalam dan membentuk kontinuitas diantara rongga

sumsum tulang dan cortices pada fragmen fraktur. Kallus secara berangsur-angsur

digantikan oleh tulang trabekular sepanjang garis stress, dan kallus yang tidak

dibutuhkan kemudian diserap kembali. Kalus permanen sering disebut juga

sebagai woven bone.

2.2.6.5 Tahap V

Konsolidasi dan remodeling dengan pembentukan kembali kanal medullary.

Wolff’s Law menyatakan bahwa perubahan dalam bentuk atau fungsi tulang

diikuti oleh perubahan bentuk eksternal (remodeling). Tahapan remodeling akan

dimulai 6 minggu setelah fraktur dan akan terus berlanjut hingga kurang lebih 1

tahun. Konsolidasi terjadi ketika jarak antara fragmen tulang mulai berkurang dan

makin lama makin dekat. Selama proses remodeling tulang , sel tulang immature

digantikan oleh sel tulang yang matur. Tulang pada akhirnya akan kembali ke

bentuk dan ukuran semula (Linton, 2012).

2.2.7 Komplikasi Fraktur

Maher, et al (2002) menggelompokkan jenis komplikasi akibat fraktur dan

imobilitas menjadi komplikasi yang segera terjadi (immediate complication) dan

komplikasi yang tertunda (delayed complication). Immediate complication terdiri

dari syok, emboli lemak, sindrom kompartmen, thrombosis vena dalam (DVT),

emboli paru dan infeksi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 30: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

19

Universitas Indonesia

Delayed complication yang terjadi setelah fraktur dapat meliputi kekakuan sendi,

arthritis post trauma, complex regional pain syndrome (CRPS: distropi reflex

simpatik), myositis ossificans, malunion, delayed union, nonunion, kehilangan

reduksi fragmen fraktur, refraktur, dan osteomielitis. Komplikasi ini dapat

dicegah, atau efeknya dapat diminimalisir dengan perawatan yang tepat dan cepat.

Hamblen & Simpson (2007) menjelaskan beberapa komplikasi yang sering terjadi

pada kasus fraktur femur antara lain meliputi kerusakan arteri mayor, kerusakan

saraf, infeksi, delayed union, non-union, mal-union dan kekakuan pada sendi

lutut.

2.2.7.1 Immediate Complication

a. Syok Hipovolemik

Komplikasi awal setelah fraktur adalah kemungkinan syok yang berakibat

fatal pada beberapa kondisi (Black & Hawks, 2009). Syok yang mungkin

terjadi adalah syok hipovolemik atau traumatic akibat perdarahan (baik

kehilangan darah eksternal maupun internal). Tulang merupakan organ yang

sangat vaskuler sehingga jika tulang mengalami kerusakan akibat fraktur

sangat berisiko mengalami kehilangan darah dalam jumlah yang besar

khususnya pada fraktur femur. Penanganan pertama untuk mencegah

terjadinya syok adalah dengan mempertahankan volume darah, mengurangi

nyeri, melakukan pembebatan dan melindungi pasien dari cedera yang

berkelanjutan.

b. Emboli Lemak

Emboli lemak dapat terjadi pada fraktur panjang, fraktur multiple atau pada

cedera remuk terutama pada usia dewasa muda (20-30 tahun). Glukosa dan

lemak masuk ke dalam darah saat terjadi fraktur karena tekanan sum-sum

tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang

dihasilkan akibat reaksi stress akan memobilisasi asam lemak dan

memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah. Globula lemak

bersama trombosit membentuk emboli yang akan menyumbat pembuluh darah

kecil yang mengalir ke otak, paru, ginjal dan organ lainnya. Awitan gejalanya

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 31: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

20

Universitas Indonesia

dalam beberapa jam sampai satu minggu setelah cedera, paling sering terjadi

dalam 24 sampai 72 jam.

c. Cedera pada saraf

Pada fraktur, ketika arteri utama rusak, batang saraf dapat di rusak oleh

fragmen tulang pada saat awal cidera. Kerusakan saraf diklasifikasikan

menjadi tiga tipe yaitu: neupraxia, axonotmesis, dan neurotmesis. Neupraxia

adalah kerusakan ringan yang mengakibatkan blok fisiologis yang hanya

sementara dan akan pulih dalam hitungan minggu. Pada axonotmesis, bagian

internal saraf tidak mengalami masalah, namun terdapat kerusakan axon yang

cukup berat sehingga terjadi degenerasi saraf perifer. Pemulihannya dapat

terjadi dengan segera tergantung pada regenerasi axon yang membutuhkan

waktu berbulan-bulan (Kecepatan regenerasi normal adalah 2-3 cm perbulan).

Sedangkan pada neutromesi, struktur saraf mengalami kerusakan akibat actual

division atau severe scarring. Pemulihan hanya dapat terjadi setelah bagian

yang mengalami kerusakan dieksisi dan dilakukan penyambungan ujung-

ujung saraf yang ada dengan nerve graft (Hamblen & Simpson, 2007).

d. Sindrom Kompartmen

Kompartmen adalah ruang yang tertutup oleh membrane fibrosa atau fascia.

Kompartmen di dalam tungkai dan lengan akan tertutup dan menyokong

tulang, saraf, dan pembuluh darah. Sindrom kompartemen merupakan masalah

yang terjadi pada saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan

untuk kehidupan jaringan. Sindrom kompartemen terjadi ketika tekanan yang

berlebihan pada area yang terbatas menekan stgruktur di dalam kompartemen

dan menurunkan sirkulasi ke otot dan saraf. Sindrom kompartemen akut dapat

terjadi dari perdarahan dan edema di dalam kompartemen yang menyertai

fraktur akibat kecelakaan atau dari kompresi eksternal pada anggota gerak

yang terpasang gips yang terlalu kencang. Peningkatan tekanan di dalam ruang

kompartemen yang terjepit akan mengakibatkan terjeratnya saraf, pembuluh

darah dan otot (Lemone & Burke, 2004).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 32: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

21

Universitas Indonesia

Area yang paling sering mengalami sindrom kompartemen adalah bagian

lengan bawah dan tungkai. Karakteristik sindrom kompartemen adalah 5

(lima) Ps yang meliputi pain, parasthesia, pulselesness, dan pallor (Whiteing,

2008). Sindrom kompartemen biasanya terjadi 48 jam setelah cedera, ketika

edema mencapai puncak maksimal. Manifestasi sindrom kompartemen

menurut Lemon dan Burke (2004) adalah sebagai berikut:

a) Early manifestation : nyeri, pulse perifer normal atau menurun

b) Later manifestation: sianosis, kehilangan sensai (paresthesia), kelemahan

(paresis), nyeri hebat terutama ketika ekstrimitas fleksi secara pasif, gagal

ginjal pada akhirnya (akibat pelepasan myoglobulin ke dalam aliran darah,

molekul myoglobulin terlalu besar untuk filtrasi yang efektif dan eksresi

oleh ginjal sehingga mengakibatkan gagal ginjal)

Sindrom kompartemen dapat dicegah dengan melakukan kontrol edema.

Kontrol edema dapat dilakukan dengan meninggikan ekstremitas yang cedera

setinggi jantung dan memberikan es setelah cedera terjadi serta melonggarkan

balutan yang terlalu ketat. Jika sindrom kompartemen terjadi, intervensi

dilakukan untuk mengurangi tekanan yakni dengan melepaskan balutan yang

terlalu kencang. Jika tekanan terjadi internal dilakukan fasciotomi. Fasciotomi

adalah intervensi bedah dimana fascia otot dipotong untuk menghilangkan

tekanan di dalam kompartemen. Setelah fasciotomi, insisi di biarkan terbuka

dan dilakukan ROM pasif pada ekstrimitas.

e. Trombosis Vena Dalam

Thrombosis vena dalam (DVT) adalah bekuan darah yang terjadi di sepanjang

intimal lining vena besar. Precursor yang berhubungan dengan pembentukan

DVT adalah (1) statis vena, atau penurunan aliran darah, (2) cedera pada

dinding pembuluh darah dan (3) gangguan koagulasi darah. 5 persen dari DVT

akan masuk ke sirkulasi paru dan mengakibatkan emboli paru.

f. Infeksi

Keterlambatan dalam penanganan trauma skeletal selama penanganan

terhadap cedera yang lain atau saat pemindahan ke fasilitas pengobatan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 33: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

22

Universitas Indonesia

meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi luka. Pada fraktur femur

terutama pada fraktur terbuka (compound), kontaminasi karena infeksi pada

tulang merupakan komplikasi potensial yang penting. Pada fraktur ‘compound

from within’ dimana kulit ditusuk dari dalam oleh fragmen tulang yang tajam,

kontaminasi tidak dapat diabaikan dan risiko osteomielitis sangat sedikit. Jika

fraktur terjadi akibat luka tembakan atau luka ledakan dimana terdapat

kontaminasi berat dan kerusakan jaringan yang luas, risiko infeksi juga akan

meningkat.

Pengobatan terhadap infeksi pada tulang dapat menjadi lebih kompleks jika

ditemukan kondisi Multi-Drug Resistant Organism (MDRO). MDRO adalah

bakteri yang resisten terhadap lebih dari satu golongan agen antimikroba, pada

umumnya resisten dengan seluruh jenis antimikroba kecuali terhadap satu atau

dua jenis antimikroba komersil, kondisi ini dapat menambah kompleksitas

pengobatan penyakit. Jenis-jenis organisme bakteri ini antara lain

Methicillin/oxacillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-

resistant enterococci (VRE), Extended-spectrum beta-lactamases (ESBL),

Penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae (PRSP), dan Multridrug

Resistant TB (TB MDR). Dua pertiga kasus infeksi di pelayanan kesehatan /

Health-Care Association Infections (HAIs) disebabkan oleh MDRO (Broaders

& Srikanth, 2014; Ignatavicius & Workman, 2015).

2.2.7.2 Delayed Complication

a. Kekakuan sendi (Joint Stiffness)

Kekakuan sendi dapat terjadi karena edema, kontraktur sendi yang disebabkan

oleh bursa atau adhesi capsular atau dari imobilisasi lama yang diharuskan

untuk pengobatan fraktur. Kekakuan sendi yang menyertai fraktur biasanya

terjadi pada ekstremitas atas seperti di bahu, siku, dan jari-jari. Pada

ekstremitas bawah, bagian lutut adalah yang paling sering terkena dampak.

Penyebab paling umum kekakuan sendi adalah aktivitas otot dan alat gerak

yang tidak adekuat, edema berkepanjangan, infeksi, dan imobilisasi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 34: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

23

Universitas Indonesia

berkepanjangan pada fraktur intra-artikular. Pada fraktur femur, sendi yang

paling sering mengalami kekakuan adalah sendi lutut.

b. Post-Traumatic Arthritis

Permukaan artikular yang menopang berat badan membutuhkan reduksi

anatomis pada permukaan artikular dan fraktur tulang panjang untuk

mencegah atau menunda terjadinya arthritis pasca trauma. Untuk mencegah

peningkatan kejadian arthritis pasca trauma, hal penting yang harus dilakukan

adalah mengeliminasi stress dan strain pada sendi atau area fraktur, mengatur

tingkat maksimal efisiensi otot pengontrol tulang dan sendi, dan menghindari

kelebihan kapasitas fungsional sendi atau tulang.

c. CRPS (reflex sympathetic dystrophy)

Disfungsi yang mennimbulkan nyeri dan sindrom disuse ditandai dengan nyeri

abnormal dan pembengkakan ekstremitas dan biasanya dipicu oleh trauma

minor.

d. Myositis ossificans

Pada kondisi ini terjadi pembentukan tulang heterotropic (abnormal dan tidak

pada tempatnya) pada tulang terdekat biasanya merupakan respon trauma.

Penyebab osifikasi heterotropik masih belum diketahui tetapi biasanya terjadi

karena factor sistemik local yang belum teridentifikasi.

e. Delayed Union

Empat bulan merupakan waktu rata-rata untuk fraktur shaft femur menyatu.

Tidak ada batasan waktu yang pasti untuk menyatakan suatu penyatuan

tertunda (delayed union), tetapi jika union tidak cukup untuk memungkinkan

menyanggah berat badan tanpa perlindungan bantalan setelah 5 bulan

dukungan dalam splint, metode pengobatan tambahan mungkin dibutuhkan.

Saat kalus terbentuk dengan baik tetapi terjadinya sangat lambat lebih

disarankan untuk menggunakan cast-brace dan memperbolehkan pasien untuk

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 35: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

24

Universitas Indonesia

mulai berjalan. Metode ini mengurangi kemungkinan untuk dilakukan operasi,

namun metode ini lebih efektif pada pasien yang muda dan aktif dibandingkan

dengan pasien lansia. Pada kasus tertentu, operasi bone grafting mungkin

menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah. Jika locking screw digunakan

pada kedua ujung IM nail, melepaskan screw pada satu ujung akan

memungkinkan terjadinya proses penyatuan.

f. Non-Union

Jika union gagal terjadi dan permukaan fraktur menjadi rounded dan sclerotic,

operasi harus dilakukan. Ujung tulang diperbaharui dan dilakukan bone graft.

g. Malunion

Suatu keadaan dimana tulang yang telah patah telah sembuh dalam posisi yang

tidak seharusnya, membentuk sudut atau miring, tidak sesuai dengan posisi

awal yang normal. Contohnya adalah pada kasus fraktur femur yang dilakukan

traksi, kemudian dilakukan gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerak

rotasi pada fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan sehingga setelah

terapi selesai anggota tubuh bagian distal akan memuntir ke dalam dan

penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya dalam posisi netral.

Komplikasi dapat dicegah dengan melakukan pengamatan yang cermat saat

mempertahankan reduksi sebaik mungkin terutam pada periode awal

penyembuhan.

2.3 Fraktur Pada Ekstremitas Bawah

2.3.1 Fraktur Shaft Tibia dan Fibula

Fraktur pada shaft tibia dan fibula dapat terjadi dari angulatory force atau dari

rotational force. Fraktur akibat angulatory force cenderung berupa fraktur jenis

transversal atau oblique dan fraktur tibia serta fibula berada pada level yang sama.

Sedangkan fraktur akibat rotational force berupa fraktur dengan bentuk spiral, dan

pada level yang sangat berbeda antara dua tulang. Pada umumnya fraktur tibia

terjadi pada bagian tengah dan 1/3 bawah sedangkan fraktur fibula pada bagian

tengah dan 1/3 atas. Selain itu, terdapat displacement dari fragmen fraktur. Tulang

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 36: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

25

Universitas Indonesia

tibia terletak dekat dengan kulit dan lapisan otot yang menutupi sangat sedikit

oleh karena itu tibia merupakan tulang yang paling sering mengalami fraktur

terbuka dibandingkan dengan tulang-tulang yang lain (Hamblen & Simpson,

2007).

Pada kasus fraktur tibia-fibula, yang harus memperoleh perhatian utama adalah

fraktur tibia. Fraktur fibula dapat diabaikan karena fibula dapat menyatu dengan

mudah. Selain itu, posisi fragmen fibula juga tidak terlalu penting perannya dalam

menopang tubuh. Sebaliknya, tibia memerlukan perhatian serius untuk

memastikan ekstremitas bawah tetap dalam ukuran dan alignment yang normal.

Penyambungan tulang tibia yang tidak sempurna dapat mengakibatkan deformitas

(Hamblen & Simpson, 2007).

2.3.2 Fraktur Calcaneus

Fraktur calcaneus biasanya terjadi akibat jatuh dari ketinggian dan sering diikuti

oleh cedera lain seperti cedera pada fraktur lumbal. Cedera ini terjadi intra

artikular dan dapat mengakibatkan kerusakan pada weight-bearing posterior facet.

Pemeriksaan melalui CT-Scan perlu dilakukan untuk memvisualisasikan pola

fraktur. Sebagian besar fraktur calcaneus dapat sembuh tanpa operasi yaitu dengan

menggunakan splint dan pasien dipertahankan untuk non-weight bearing selama

kurang lebih 12 minggu. Displacement pada fraktur intra-artikular dapat

dilakukan prosedur pembedahan ketika pembengkakan sudah mereda dengan

menggunakan lag screw atau dengan thin plate yang difiksasi menggunakan

screw (Brunicardi, 2015).

2.3.3 Fraktur Talus

Fraktur talus pada umumnya terjadi akibat tekanan dorsofleksi ankle yang

menyebabkan talar neck membentur bagian anterior distal tibia. Suplai darah ke

bagian talus dapat terganggu pasca fraktur dan bisa mengakibatkan osteonekrosis

yang merupakan komplikasi tersering dari fraktur talus. Fraktur tanpa dislokasi

dapat ditangani dengan pemasangan cast dan risiko untuk terjadinya osteonekrosis

sebesar 15%. Sedangkan fraktur yang mengalami dislokasi ditangani dengan

prosedur operasi berupa pemasangan fiksasi screw dengan risiko osteonekrosis

sebesar 30-100% (Brunicardi, 2015).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 37: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

26

Universitas Indonesia

Gambar 2.1

Anatomi Tulang Kaki dan Ankle

Sumber: Rickolderman. (2012). Ankle range of motion after surgery.

Diambil dari http://www.rickolderman.com/2012/07/ankle-range-of-

motion-after-surgery/

2.4 Penatalaksanaan Fraktur Ekstremitas Bawah

Fraktur ekstremitas bawah dapat terjadi di beberapa bagian tulang meliputi tibia,

fibula, calcaneus, talus dan beberapa tulang metatarsal. Penjelasan di bawah ini

akan berfokus pada penatalaksanaan fraktur ekstremitas bawah khususnya fraktur

tibia dan fibula. Terdapat dua jenis penatalaksanaan yaitu metode konservatif non

operasi dan metode operasi.

2.4.1 Penatalaksanaan Non-Bedah

Dasar dari pengobatan fraktur adalah reduksi dan imobilisasi (Maher, et al, 2002).

Sebagian besar kasus fraktur dapat sembuh dengan imobilisasi yaitu dengan

melakukan stabilisasi pada tulang yang mengalami fraktur ketika jaringan tulang

baru terbentuk pada area fraktur tersebut. Metode imobilisasi bervariasi

tergantung pada jenis fraktur yang terjadi. Teknik yang paling sering digunakan

adalah imobilisasi dengan menggunakan splint atau cast. Pada beberapa jenis

fraktur, imobilisasi dengan splint atau cast saja tidak cukup sehingga dibutuhkan

prosedur fiksasi melalui operasi (Brunicardi et al., 2015).

Salah satu metode yang digunakan dalam imobilisasi adalah dengan menggunakan

backslab. Backslab digunakan pada fase akut setelah cedera maupun untuk fiksasi

setelah operasi. Backslab dipasang di bagian ekstremitas yang mengalami cedera,

prinsip penggunaannya seperti bidai. Berbeda dengan gips, backslab btidak

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 38: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

27

Universitas Indonesia

menutupi seluruh sisi ekstremitas dan masih menyisakan ruang/sisi yang tidak

ditutup dengan lapisan-lapisan. Penggunaan backslab terutama pada fraktur dan

trauma jaringan lunak memiliki efek positif salah satunya adalah dapat mengatasi

masalah edema. Keuntungan lain adalah backslab mudah untuk dibuka sehingga

dapat menurunkan resiko konstriksi yang meningkatkan tekanan

intrakompartemen. Terdapat beberapa jenis backslab yang penggunaannya

tergantung pada lokasi dan jenis fraktur. Berdasarkan pemasangannya, backslab

pada ekstremitas bawah dibedakan menjadi above knee backslab untuk kasus

fraktur pada tibia plateu, shaft tibia, multiple fraktur tibia fibula dan dislokasi

lutut, serta below knee backslab untuk kasus fraktur pada ankle dan foot injur.

(Rehman, et al. 2015; White, Mackenzie & Gray, 2015).

Metode penanganan konservatif pada fraktur tibia-fibula dapat dilakukan

tergantung pada jenis fraktur yang terjadi. Prinsip penatalaksanaannya sama

seperti penatalaksanaan fraktur pada umumnya yaitu dengan reduksi (jika

diperlukan) dengan metode tertutup dan imobilisasi menggunakan full-length

plaster/gips. Lutut dibiarkan sedikit flexi rotasi kaki di dalam gips dan

memudahkan saat berjalan maupun duduk. Ankle diposisikan dengan benar dan

jari-jari kaki dibiarkan terbuka. Gips perlu diganti setelah 1 atau 2 minggu karena

dalam jangka waktu tersebut diperkirakan pembengkakan telah reda. Jika gips

telah longgar atau terasa tidak nyaman maka gips perlu diganti. Apabila kondisi

fraktur tidak memungkinkan untuk penyembuhan secara non bedah, maka akan

dilakukan pembedahan. Pada umumnya pasien fraktur tibia-fibula akan dipasang

above-knee backslab sambil menunggu jadwal operasi (Somani & Jain, 2014).

2.4.2 Penatalaksanaan Bedah

Prosedur pembedahan dilakukan jika fraktur tidak bisa direduksi secara optimal

melalui manipulasi tertutup atau jika metode konservatif tidak berhasil

mempertahankan kestabilan posisi fragmen tulang (Hamblen & Simpson, 2007).

Prinsip utama dari prosedur bedah dan pemasangan implant pada kasus

musculoskeletal adalah implant tersebut dapat membentuk suatu konstruksi yang

stabil sehingga memungkinkan tulang sembuh dalam alignment yang tepat

(Brunicardi et al., 2015). Sesuai dengan prinsip penanganan fraktur melalui

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 39: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

28

Universitas Indonesia

reduksi dan imobilisasi, terdapat beberapa metode reduksi dan imobilisasi fraktur

yang dilakukan melalui prosedur pembedahan salah satunya adalah dengan

metode Open Reduction Internal Fixation (ORIF).

ORIF adalah metode pembedahan untuk memperbaiki tulang yang patah.

Umumnya, tindakan ini melibatkan penggunaan plates dan screw atau batang

intramedulla (IM) untuk menstabilkan tulang pada seseorang yang mengalami

patah tulang (Cluett, 2008). Open Reduction (Reduksi terbuka) berarti dokter

bedah membuat sayatan untuk mencapai tulang dan memindahkan tulang kembali

ke posisi normal. Internal Fixation berarti metal screws, plates, jahitan, atau

batang (rod) yang ditempatkan pada tulang untuk tetap di tempat selama proses

penyembuhan. Reduksi terbuka fraktur biasanya diikuti dengan fiksasi internal

untuk menstabilisasikan fraktur dan memungkinkan penyembuhan fraktur terjadi.

Peralatan yang digunakan dalam fiksasi internal tergantung pada jenis fraktur dan

area yang terlibat dalam fraktur (Maher, et al, 2002). Keuntungan utama dari

pemasangan ORIF adalah fiksasi yang stabil, dan pasien dapat melakukan

mobilisasi dini pasca operasi.

Screws ditempatkan di tulang yang mengalami fraktur untuk menimbulkan

kompresi pada area fraktur sehingga memicu penyembuhan. Plates dipasang pada

bagian korteks tulang dan ditahan dengan screws dengan tujuan untuk memfiksasi

area fraktur yang cukup panjang agar tetap stabil. Intramedullary rods biasanya

digunakan pada fraktur di tulang panjang seperti tibia dan femur (Brunicardi et al.,

2015). Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai prosedur pemasangan

fiksasi internal berupa intramedullary rods.

Intramedullary (IM) Rod atau biasa disebut juga dengan Intramedullary Nailing

(IM Nail) merupakan suatu prosedur dimana IM Nail dimasukkan ke dalam

sumsum tulang kanal di tengah tulang panjang ekstremitas (misalnya femur atau

tibia). IM Nail digunakan pada kasus fraktur pada bagian diafisis tulang.

Keuntungan metode ini dibandingkan dengan metode lain antara lain adalah

kerusakan jaringan lunak yang minimal, dan pemasangan yang lebih mudah.

Selain itu, IM Nail dapat berbagi beban dengan tulang, bukan yang sepenuhnya

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 40: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

29

Universitas Indonesia

mendukung tulang. Karena itu, pasien dapat menggunakan ekstremitas lebih cepat

(Hamblen & Simpson, 2007).

Penggunaan IM Nails dapat didukung dengan pemasanagn cortical screws dan

circumferential wiring untuk mengontol rotasi dan pergerakan fragmen fraktur.

IM Nails dapat berbentuk lurus, bengkok, kaku atau lentur. Variabel IM Nails

meliputi kekakuan nails (rigid vs flexible), metode pemasangan (reamed vs

unreamed), arah pemasangan (antegrade vs retrograde) dan metode locking (static

vs dynamic) (Elstrom, Virkus, Pankovich, 2006).

Sebelum pemasangan implant IM Nail, sumsum tulang pada kanal dibuang

terlebih dahulu menggunakan reamer. Rod/batang implant kemudian dimasukkan

ke dalam kanal. Selanjutnya Screw dipasang pada bagian kortikal tulang pada

lubang di rod bagian proksimal dan distal fraktur agar posisi rod stabil

(Brunicardi, 2015).

Nails yang kaku dapat dimasukkan dengan metode terbuka atau tertutup. Nails

yang fleksibel berbentuk lengkung, dan seperti silinder serta tidak memberikasn

fiksasi yang kau. IM Nails digunakan untuk fraktur femur dan pada tulang

panjang lainnya. Kontraindikasi penggunaan IM Nails adalah jika terdapat infeksi

karena infeksi dapat menyebar melalui kanal medullary (Maher, 2002).

2.4.3 Rehabilitasi Fraktur Ekstremitas Bawah

Pada fraktur tibia-fibula dengan tipe transversal, latihan berjalan bisa dimulai pada

minggu kedua atau ketiga ketika reaksi inflamasi lokal telah teratasi dan fraktur

cenderung stabil. Pada konsisi ini tumit membutuhkan suatu alas yang terbuat dari

plaster, kayu atau karet. Namun, jika pola fraktur adalah jenis oblique atau spiral,

non-weight bearing harus dipertahankan hingga kurang lebih 6 minggu. Selama

periode itu, klien diperbolehkan berjalan dengan bantuan kruk. Plaster

dipertahankan hingga fraktur tibia menyatu yang ditunjukkan melalui gambaran

radiologi dan pemeriksaan klinis, biasanya dalam waktu 3 – 4 bulan setelah

cedera. Setelah itu, pasien mulai menjalani latihan dibawah pengawasan untuk

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 41: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

30

Universitas Indonesia

memulihkan kembali rentang gerak serta otot pada lutut, ankle dan telapak kaki

(Hamblen & Simpson, 2007).

Pada pasien post operasi, latihan awal dilakukan ketika pasien berbaring ditempat

tidur. Latihan dilakukan untuk pinggul dan sendi lutut serta otot yang terkait.

Latihan berjalan dimulai dengan bantuan kruk pada 2 atau 3 minggu setelah

operasi atau terkadang dapat lebih cepat. Pasca tindakan operasi ortopedi

termasuk ke dalam fase rehabilitasi yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi

tubuh dan kemampuannya dalam melakukan aktivitas fisik. Rehabilitasi

merupakan suatu proses dinamis, yang berorientasi membantu individu mencapai

tingkat fungsi fisik, mental, spiritual, sosial dan ekonomi. Rehabilitasi merupakan

suatu upaya mencapai keseimbangan dalam meningkatkan kemandirian dan

mengurangi ketidak mampuan. Rehabilitasi dimulai setelah stabilisasi tulang

tercapai yang dimulai dengan melakukan mobilisasi baik berupa latihan maupun

aktivitas. Pasien secara rutin mengawali latihan dengan latihan isometric, ROM,

mobilisasi, dan melakukan ambulasi dengan menggunakan alat bantu (Smeltzer

dan Brenda, 2006).

2.5 Asuhan Keperawatan Pada Kasus Fraktur

Asuhan keperawatan pada kasus fraktur terbuka memiliki perbedaan dengan kasus

fraktur tertutup. Hal tersebut sesuai dengan penatalaksanaan medis kedua jenis

fraktur tersebut yang juga memiliki perbedaan. Pada kasus fraktur tertutup,

perawat mendorong klien untuk mampu melakukan aktivitas rutinnya sedini

mungkin. Perawat mengajarkan klien cara mengatasi bengkak dan nyeri yang

berhubungan dengan fraktur dan trauma jaringan lunak dan mendorong klien

untuk mampu aktif dalam kondisi keterbatasan akibat fraktur dan imobilisasi.

2.5.1 Pengkajian Keperawatan

Pengkajian untuk kasus fraktur pada umumnya terjadi dalam setting emergency,

namun tidak menutup kemungkinan kasus fraktur terjadi pada kondisi non-

emergency. Perawat perlu mengkaji riwayat lengkap terjadinya fraktur yang

meliputi deskripsi kejadian, lamanya waktu sejak kecelakaan, nyeri dan

ketidakmampuan menggunakan bagian tubuh semenjak terjadinya fraktur.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 42: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

31

Universitas Indonesia

Pengkajian holistik perlu dilakukan terutama terkait tanda dan gejala fraktur yang

meliputi pembengkakan, deformitas, kehilangan sensasi atau paraesthesia, tanda-

tanda kerusakan pembuluh darah, dan luka di sekitar area fraktur maupun pada

bagian tubuh lain. Selama proses pengkajian riwayat lengkap terjadinya fraktur,

perawat juga melakukan pemeriksaan terkait keluhan fisik. Pasien yang

mengalami fraktur pada umumnya akan melaporkan keluhan nyeri, tenderness,

kekakuan dan sensasi abnormal lain. Nyeri pada tulang karakteristiknya khas yaitu

nyeri yang dalam dan jangka waktu lebih lama. Nyeri yang diakibatkan oleh

adanya fraktur bersifat tajam, menusuk dan berkurang dengan imobilisasi.

Istirahat dapat meredakan sebagian besar kasus nyeri pada masalah sistem

muskuloskeletal (Hinkle & Cheeer, 2013).

Pemeriksaan fisik pada kasus fraktur meliputi teknik inspeksi dan palpasi yang

bertujuan untuk mengevaluasi postur pasien, gaya berjalan, integritas tulang,

fungsi sendi, kekuatan dan ukuran otot. Palpasi juga dilakukan pada bagian

ekstremitas dan persendian untuk mengkaji adanya tanda fraktur serta kerusakan

jaringan lunak atau gangguan neurovaskuler. Pemeriksaan neurovaskular perlu

dilakukan untuk melihat kondisi perfusi ekstremitas dan fungsi sensoris motorik.

Seluruh pasien yang dicurigai mengalami fraktur dilakukan pemeriksaan

radiologi. X-ray dilakukan dari dua sisi atau lebih untuk menentukan jenis fraktur

dan penanganan selanjutnya (Clarke & Santy-Tomlinson, 2014).

Pasien fraktur mengalami kerusakan integritas tulang. Hal yang perlu diperhatikan

oleh perawat dalam melihat integritas tulang adalah pengkajian terhadap

deformitas dan alignment tulang. Kesimetrisan antara sisi tubuh yang satu perlu

dibandingkan dengan yang lain. Kondisi abnormal yang ditemukan pada kasus

fraktur dapat berupa angulasi pada tulang panjang, gerakan abnormal,

Khusus pada kasus fraktur tibia dan fibula, perlu dilakukan pengkajian saraf

peroneal. Kerusakan pada saraf ini ditandai dengan ketidakmampuan klien untuk

melakukan dorsofleksi dan kehilangan sensasi pada jempol kaki. Fraktur tibia dan

fibula juga dapat berdampak terhadap kerusakan arteri tibia. Pengkajian pada

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 43: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

32

Universitas Indonesia

pembuluh darah ini dapat dilakukan dengan mengkaji denyut, suhu kulit, dan

warna serta mengkaji respon pengisian kapiler. Perawat juga perlu memonitor

tanda dan gejala terjadinya sindrom kompartemen akut bagian anterior berupa

nyeri hebat yang tidak hilang dengan terapi analgesik, nyeri meningkat saat

plantar flexi, keluhan kebas dan kehilangan sensasi serta penurunan denyut nadi

bagian distal area fraktur (Smeltzer, et al. 2010).

Kondisi lain yang sering ditemukan pada pasien fraktur adalah keterbatasan dalam

pemenuhan kebutuhan dasar dan perawatan diri. Perawat perlu melakukan

pengkajian terkait aspek tersebut. Pada fase awal pasien akan ketergantungan

penuh terhadap perawat maupun caregiver. Hal-hal utama yang menjadi perhatian

adalah kemampuan untuk makan, minum, kebersihan diri, eliminasi dan

berpakaian. Perawat berperan untuk mengidetifikasi kemampuan self-care pasien,

sumber bantuan yang diperlukan serta mengajarkan pasien untuk secara bertahap

beradaptasi dengan kondisi keterbatasannya agar dapat melakukan pemenuhan

perawatan diri sesuai dengan kemampuan (Smeltzer, et al. 2010).

2.5.2 Masalah Keperawatan

Doenges, Moorhouse dan Murr (2008) serta Vera (2013) menjelaskan bahwa

masalah keperawatan yang sering ditemukan pada pasien dengan masalah sistem

muskuloskeletal khususnya fraktur antara lain adalah:

2.5.2.1 Kerusakan mobilitas fisik (000085)

Kerusakan mobilitas fisik merupakan suatu kondisi keterbatasan kemandirian,

gerakan fisik tubuh atau salah satu bagian dari ekstremitas. Pada kasus fraktur,

diagnosa keperawatan yang muncul berupa keterbatasan mobilitas fisik

berhubungan dengan kerusakan struktur integritas tulang, kekakuan sendi setra

kerusakan muskuloskeletal yang ditandai oleh adanya perubahan postur,

penurunan kemampuan motorik, penurunan rentang gerak, dan kesulitan dalam

melakukan gerakan (NANDA, 2015).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 44: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

33

Universitas Indonesia

2.5.2.2 Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan suatu perasaan tidak nyaman dan pengalaman emosional

yang berhubungan deengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Onset

nya tiba-tiba atau lambat dengan intensitas nyeri sedang sampai berat dan dampak

akhir nyeri dapat diprediksi atau diantisipasi. Pada kasus fraktur, nyeri akut

berhubungan dengan adanya agen cedera fisik seperti trauma, prosedur operatif

dan kerusakan pada tulang itu sendiri. Kondisi nyeri akut ditandai dengan

perubahan pada parameter fisiologis seperti tekanan darah, denyut jantung,

frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan end-tidal CO2. Selain itu, nyeri akut

juga ditandai oleh ekspresi wajah, fokus yang menyempit, posisi untuk

mengurangi nyeri, dan pernyataan nyeri yang diungkapkan oleh pasien baik secara

subjektif maupun menggunakan instrumen pengkajian nyeri (NANDA, 2015).

2.5.2.3 Kerusakan integritas kulit

Kerusakan integritas kulit, berdasarkan NANDA 2015-2017 adalah suatu kondisi

rusaknya lapisan kulit bagian epidermis dan / atau dermis. Kondisi ini dapat

menjadi aktual atau risiko. Kondisi aktual ditandai dengan adanya kerusakan pada

lapisan kulit serta adanya benda asing yang merusak lapisan kulit misalnya berupa

agen kimia, benda tajam, luka, maupun kondisi penekanan area penonjolan tulang

yang lama akibat imobilisasi (NANDA, 2015).

2.5.2.4 Risiko Trauma

Risiko trauma merupakan suatu kondisi klien yang rentan terhadap cedera

jaringan yang tidak terduga. Faktor risiko terdiri dari faktor eksternal dan internal.

Faktor risiko yang berkaitan dengan kondisi fraktur antara lain adalah penurunan

koordinasi otot, riwayat trauma, serta gangguan keseimbangan (NANDA, 2015).

2.5.2.5 Risiko disfungsi neurovaskuler perifer

Pasien dengan Risiko disfungsi neurovaskuler perifer merupakan pasien yang

rentan mengalami masalah pada sirkulasi, sensasi dan pergerakan pada

ekstremitas dan kondisi tersebut dapat menganggu status kesehatan (NANDA,

2015).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 45: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

34

Universitas Indonesia

2.5.2.6 Kerusakan pertukaran gas

Kerusakan perukaran gas merupakan suatu diagnosa yang menggambarkan

kondisi pasien deengan kelebihan atau defisit oksigen dan atau karbondioksida

(NANDA, 2015). Pada kasus fraktur terutama pada multiple trauma, masalah

pertukaran gas ini dapat terjadi akibat terjadinya kontusio paru atau sindrom

emboli lemak yang menjadi salah satu komplikasi fraktur (Smith & Stahel, 2014).

2.5.2.7 Risiko infeksi (00004)

Pasien dengan Risiko infeksi merupakan pasien yang rentan terpapar organisme

patogen yang dapat mengganggu kondisi kesehatan (NANDA, 2015). Faktor

risiko infeksi salah satunya adalah karena adanya trauma dan luka terbuka

terutama pada fraktur terbuka. Kondisi fraktur terbuka memiliki risiko tinggi

terjadinya infeksi pada luka maupun pada tulang (AAOS, 2011).

2.5.3 Intervensi Keperawatan

2.5.3.1 Gangguan mobilitas fisik (000085)

Intervensi awal yang dilakukan pada pasien dengan masalah Gangguan mobilitas

fisik adalah dengan melakukan pengkajian kemampuan mobilisasi yang meliputi

kemampuan mobilisasi di tempat tidur, duduk dengan atau tanpa bantuan, bangun

dari duduk, selain itu perlu dikaji kekuatann otot, rentang gerak sendi, serta

penyebab keterbatasan gerak yang dialami.

2.5.3.2 Nyeri Akut

Intervensi keperawatan dalam menangani masalah nyeri akut antara lain dengan

mempertahankan imobilisasi pada area tubuh yang mengalami fraktur dengan cara

bed rest, pemasangan cast splint atau traksi, meninggikan dan memberi penyangga

pada ekstremitas yang cedera, menghindari penggunaan alas plastik atau bantal

dibagian bawah ekstremitas yang terpasang cast, mengevaluasi dan

dokumentasikan laporan nyeri atau ketidaknyamanan, catat lokasi, karakteristik,

meliputi intensitas nyeri (0-10), faktor pemicu dan pereda, serta mencatat tanda-

tanda nonverbal seperti perubahan tanda-tanda vital serta perilaku.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 46: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

35

Universitas Indonesia

2.5.3.3 Kerusakan integritas kulit (00046)

Tujuan utama dari perawatan pasien dengan kerusakan integritas kulit adalah

dapat dipertahankannya kondisi kulit yang utuh, sedangkan untuk kulit yang

mengalami kerusakan dapat menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik.

Intervensi keperawatan yang dilakukan antara lain meliputi, pengkajian dan

pendokumentasian kondisi kulit secara rutin dalam waktu yang telah ditetapkan.

Perawatan luka dan peggantian dilakukan dengan teknik steril dan disesuaikan

dengan kondisi luka. Berikan penopang yang lembut pada area yang sering terjadi

penekanan atau pada area penonjolan tulang, selain itu pertahankan kelembaban

kulit pada area tersebut dengan memberikan lotion yang lembut. Hal lain yang

bisa dilakukan adalah dengan melakukan perubahan posisi rutin maksimal tiap 2

jam karena gangguann integritas kulit pada pasien fraktur selain terjadi akibat luka

/ trauma juga dapat terjadi karena imobilisasi jangka panjang. Status hidrasi dan

nutrisi juga perlu diperhatikan dalam menunjang perbaikan kondisi integritas kulit

(RNCentral, 2009).

2.5.3.4 Risiko Trauma (00038)

Intervensi Keperawatan untuk mencegah terjadinya trauma pada pasien fraktur

antara lain dengan mempertahankan bed rest atau limb rest sesuai dengan

indikasi, metakkan penyangga sendi di atas dan di bawah area fraktur, terutama

ketika digerakkan, menempatkan pasien di tempat tidur khusus untuk pasien

orthopedi, mengganjal area yang mengalami fraktur dengan bantal atau lipatan

selimut, mempertahankan posisi netral pada area fraktur dengan menggunakan

bantalan pasir, splint, trochanter roll, footboard, mengobservasi edema pada

bagian distal ekstremitas yang terpasang gips atau backslab, mengkaji integritas

kulit pada area yang terpasang fiksasi eksternal, serta melakukan pemeriksaan x-

ray follow up untuk mengkaji kemajuan terapi

2.5.3.5 Risiko disfungsi neurovaskuler perifer (00086)

Tujuan utama dari perawatan pasien yang berisiko mengalami disfungsi

neurovaskuler perifer akibat riwayat trauma adalah untuk mempertahankan fungsi

normal neurovaskuler yang ditandai dengan terabanya nadi perifer, waktu

pengisian kembali kapiler kurang dari 3 detik, ekstremitas menunjukkan warna

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 47: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

36

Universitas Indonesia

dan suhu yang normal, tidak ditemukan nya kehilangan sensasi di bagian distal

ekstremitas serta nyeri yang tidak makin memberat. Intervensi keperawatan yang

dilakukan dalam rangka mencapai hal tersebut antara lain dengan mengkaji tanda

dan gejala disfungsi neurovaskuler perifer, mempertahankan kepatenan drainase

luka post operasi untuk mengurangi akumulasi cairan di area pembedahan,

pertahankan alignment ekstremimtas, tingggikan area ekstremitas yang sakit

menggunakan bantal, perhatikan balutan jangan sampai terlalu kencang. Apabila

tanda-tanda disfungsi neurovaskuler perifer mulai tampak segera kaji penyebab

derta kekencangan balutan kemudian lakukan kolaborasi dengan tim dokter

(Elsevier Health, 2012).

2.5.3.6 Risiko kerusakan pertukaran gas (00030)

Masalah pertukaran gas yang terjadi pada pasien fraktur salah satunya disebabkan

oleh terjadinya emboli lemak. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, perlu

dilakukan beberapa intervensi antara lain melakukan pengawasan terhadap

frekuensi pernapasan, serta upaya napas. Catat adanya bunyi napas abnormal,

penggunaan otot bantu pernapasan serta sianosis sentral. Ajarkan dan motivasi

pasien untuk melakukan teknik batuk efektif. Pasien perlu melakukan reposisi

secara rutin dengan bantuan dan pengawasan perawat. Awasi terjadinya

perubahan status mental dan kesadaran. Observasi tanda-tanda adanya darah

dalam sputum. Tanda perdarahan juga bisa diamati melalui inspeksi kulit terhadap

munculnya petekie di atas garis puting, aksila, yang meluas ke abdomen, mukosa

mulut dan palatum serta area mata.

2.5.3.7 Risiko infeksi (00004)

Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada

pasien fraktur antara lain mengkaji secara berkala kondisi kulit, pin site, catat

adanya peningkatan nyeri, sensasi seperti terbakar, edema, eritema, bau dan

produksi / drainage. Apabila terdapat luka, dilakukan perawatan luka dan pin site

(Jika ada) sesuai dengan protokol perawatan luka steril disertai dengan teknik

mencuci tangan yang benar. Instruksikan pasien untuk tidak menyentuh area pin.

Observasi luka dan area sekitarnya terhadap adanya bullae, krepitasi, perbedaan

warna (Cenderung kecoklatan), dan bau yang khas. Kaji tanda-tanda vital dan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 48: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

37

Universitas Indonesia

catat adanya demam, kelemahan dan perubahan status mental. Perawat perlu

melakukan monitoring terhadap nilai pemeriksaan darah dan prosedur diagnostik

lain seperti pemeriksaan darah lengkap. Kolaborasi dilakukan dengan dokter

terkait pemberian antibiotik dan anti tetanus jika diperlukan sesuai dengan kondisi

pasien.

2.6 Teori Model Self-Care Orem

Selama tahun 1958-1959 Dorothea Orem sebagai seorang konsultan pada bagian

pendidikan Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan dan

berpartisipasi dalam suatu proyek pelatihan peningkatan praktek perawat

(vokasional). Pekerjaan ini menstimulasi Orem untuk membuat suatu pertanyaan :

“Kondisi apa dan kapan seseorang membutuhkan pelayanan keperawatan?” Orem

kemudian menekankan ide bahwa seorang perawat itu adalah “Diri sendiri”. Ide

inilah yang kemudian dikembangkan dalam konsep keperawatannya “Self Care”.

Pada tahun 1959 konsep keperawatn Orem ini pertama sekali dipublikasikan.

Tahun 1965 Orem bekerjasama dengan beberapa anggota fakultas dari Universitas

di Amerika untuk membentuk suatu Comite Model Keperawatan (Nursing Model

Commitee).

Tahun 1968 bagian dari Nursing Model Commitee termasuk Orem melanjutkan

pekerjaan mereka melalui Nursing Development Conference Group

(NDCG).Kelompok ini kemudian dibentuk untuk menghasilkan suatu kerangka

kerja konseptual dari keperawatan dan menetapkan disiplin keperawatan.

Orem Kemudian mengembangkan konsep keperawatanya “self care” dan pada

tahun 1971 dipublikasikan Nursing; Concepts of Practice.Pada edisi pertama

fokusnya terhadap individu, sedangkan edisi kedua (1980), menjadi lebih luas lagi

meliputi multi person unit (keluarga, kelompok dan masyarakat).Edisi ketiga

(1985) Orem menghadirkan General Theory Keperawatan dan pada edisi keempat

(1991) Orem memberikan penekanan yang lebih besar terhadap anak-anak,

kelompok dan masyarakat.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 49: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

38

Universitas Indonesia

Orem mengembangkan teori Self Care Deficit meliputi 3 teori yang berkaitan

yaitu: 1). Self Care, 2). Self care defisit dan 3) nursing system. Ketiga teori

tersebut dihubungkan oleh enam konsep sentral yaitu; self care, self care agency,

kebutuhan self care therapeutik, self care defisit, nursing agency, dan nursing

system, serta satu konsep perifer yaitu basic conditioning factor (faktor kondisi

dasar). Postulat self care teori mengatakan bahwa self care tergantung dari prilaku

yang telah dipelajari, individu berinisiatif dan membentuk sendiri untuk

memelihara kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya.

2.6.1 Teori Self Care

Untuk memahami teori self care sangat penting terlebih dahulu memahami konsep

self care, self care agency, basic conditioning factor dan kebutuhan self care

therapeutik. Self care adalah performance atau praktek kegiatan individu untuk

berinisiatif dan membentuk prilaku mereka dalam memelihara kehidupan,

kesehatan dan kesejahteraan. Jika self care dibentuk dengan efektif maka hal

tersebut akan membantu membentuk integritas struktur dan fungsi manusia dan

erat kaitannya dengan perkembangan manusia.

Self care agency adalah kemampuan manusia atau kekuatan untuk melakukan self

care. Kemampuan individu untuk melakukan self care dipengaruhi oleh basic

conditioning factors seperti; umur, jenis kelamin, status perkembangan, status

kesehatan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan (diagnostik,

penatalaksanaan modalitas), sistem keluarga, pola kehidupan, lingkungan serta

ketersediaan sumber.

Kebutuhan self care therapeutik (Therapeutic self acre demand) adalah

merupakan totalitas dari tindakan self care yang diinisiatif dan dibentuk untuk

memenuhi kebutuhan self care dengan menggunakan metode yang valid yang

berhubungan dengan tindakan yang akan dilakukan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 50: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

39

Universitas Indonesia

Konsep lain yang berhubungan dengan teori self care adalah self care requisite.

Orem dalam Alligood (2010) mengidentifikasikan tiga kateori self care requisite

yang meliputi:

a. Universal meliputi kemampuan individu dalam memunuhi kecukupan udara,

air, makanan dan eliminasi, aktifitas dan istirahat, interaksi sosial, pencegahan

kerusakan hidup, kesejahteraan dan peningkatan fungsi manusia.

b. Developmental, lebih khusus dari kebutuhan universal dihubungkan dengan

kondisi yang meningkatkan proses pengembangan siklus kehidupan seperti;

pekerjaan baru, perubahan struktur tubuh, kehamilan, kehilangan rambut.

Pengkajian juga dilakukan terhadap upaya yang dilakukan seseorang dalam

menghadapi kondisi yang akan menghambat perkembangan normal.

c. Perubahan kesehatan (Health Deviation) berhubungan dengan terjadinya

perubahan struktur normal dan perubahan kemampuan individu untuk

melakukan self care akibat suatu penyakit atau cedera. Pengkajian yang

dilakukan terkait kebutuhan ini meliputi kemampuan individu dalam mencari

bantuan pengobatan saat kesehatannya terganggu, kepatuhan dalam

pengobatan, pemahaman terhadap proses penyakit, pemahaman terhadap efek

samping pengobatan, modifikasi yang dilakukan dalam menghadapi

perubahan status kesehatan dan perubahan pola hidup berhubungan dengan

perubahan status kesehatan dan program pengobatan.

2.6.2 Teori Self Care Deficit

Konsep therapeutic sel-care demand dan self-care agency saling mempengaruhi

satu sama lain. Self-care deficit terjadi ketika kemampuan self-care agency

seseorang tidak adekuat untuk melakukan perilaku atau tidakan sesuai dengan

therapeutic sel-care demand. Dalam teori ini keperawatan diberikan jika seorang

dewasa (atau pada kasus ketergantungan) tidak mampu atau terbatas dalam

melakukan self care secara efektif. Self-care deficit merupakan suatu indikator

bahwa seseorang membutuhkan bantuan dalam memenuhi kebutuhan self-care

nya. Dependent care dan nursing care merupakan jenis bantuan yang bisa

diberikan dalam rangka perawatan dan pengaturan diri (Orem, 2001).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 51: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

40

Universitas Indonesia

Orem (2001) mengidentifikasi lima metode bantuan yang dapat diberikan terkait

self-care klien meliputi:

a. Acting for atau doing for another

Acting for merupakan suatu metode bantuan yang membutuhkan helper untuk

menggunakan kemampuannya dalam mencapai suatu tujuan spesifik terhadap

seseorang yang membutuhkan bantuan. Sebagai contoh, perawat membantu

positioning pasien yang tidak mampu bergerak atau seorang Ibu menyuapi bayi

nya.

b. Guiding another

Guiding another person merupakan suatu metode pendampingan pada situasi-

situasi dimana seseorang harus membuat pilihan atau mengikuti suatu tindakan

namun tanpa mengarahkan, mengendalikan atau mensupervisi. Seseorang yang di

guide harus termotivasi dan mampu untuk melakukan aktivitas yang diinginkan.

Contohnya, perawat menyarankan pasien yang mampu melakukan ambulasi untuk

membatasi aktivitasnya, perawat juga mendiskusikan alasan pasien harus

membatasi aktivitas.

c. Supporting another

Memberi dukungan kepada seseorang dapat diartikan “sustain in an effort”

dengan demikian mencegah seseorang untuk gagal atau menghindari situasi

maupun keputusan yang tidak menyenangkan. Hal ini juga dapat diartikan

member kesempatan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu tanpa stress

karea adanya pengaruh dukungan dari helper. Aktivitas supporting merupakan

cara yang tepat dalam mendampingi seseorang yang akan menghadapi situasi

yang tidak menyenangkan atau menyakitkan. Contoh, perawat berada disisi pasien

dan memberikan dukungan pada pasien yang mengalami penyakit serius dan

berkeinginan untuk bangun dan berjalan dalam waktu yang singkat. Kehadiran

perawat atau kata-kata dukungan serta jaminan dari perawat dibutuhkan oleh

pasien sama pentingnya seperti bantuan fisik ketika pasien bangun dari tempat

tidur maupun berjalan.

d. Providing a developmental environment

Metode bantuan ini menuntut helper untuk menyediakan atau membantu

menciptakan kondisi lingkungan yang memotivasi seseorang untuk mencapai

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 52: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

41

Universitas Indonesia

tujuan dan menyesuaikan perilakunya dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Kondis lingkungan yang dibutuhkan dapat berupa lingkungan fisik serta

psikologis.

e. Teaching another

Teaching another merupakan metode bantuan untuk seseorang yang

membutuhkan panduan dalam meningkatkan pengetahuan atau keterampilan

tertentu. Proses belajar tidak akan terjadi jika seseorang yang diajarkan tidak

dalam kondisi siap untuk menerima pengajaran, tidak sadar kalau dirinya tidak

paham, atau tidak tertarik dengan belajar. Contoh, perawat tidak bisa membantu

pasien untuk memilih makanan sesuai dengan diit yang dianjurkan sampai

perawat mengetahui apakah pasien paham tentang kandungan nutrisi dan nilai

kalori dari berbagai jenis makanan. Perawat juga harus memahami latar belakang

pasien, pengalaman terdahulu, gaya hidup, dan kebiasaan sehari-hari pasien.

Perawat dapat membantu individu dengan menggunakan beberapa atau semua

metode tersebut dalam memenuhi self care. Penerapan model self-care Orem

seperti yang digambarkan pada bagan dibawah ini:

Gambar 2.2

Kerangka Konsep Keperawatan Orem’s Self-Care Deficit Theory

Sumber: Orem, Taylor, Renpenning (2001). Nursing:concepts of Practice, 6th

edition. Toronto: Mosby.

Self-care

Nursing

Capabilities

(Nursing Agency)

Self-care

Agency

Therapeutic

Self-care

demand

Deficit

Condit

ionin

g f

acto

rs

Co

nd

itio

nin

g f

acto

rs

Conditio

nin

g facto

rs

R R

R R

R

<

NU

RS

E Ket:

R = relationship

< = deficit

relationship, current

or projected

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 53: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

42

Universitas Indonesia

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa jika kebutuhan lebih banyak dari

kemampuan, maka keperawatan akan dibutuhkan. Tindakan-tindakan yang dapat

dilakukan oleh perawat pada saat memberikan pelayanan keperawatan dapat

digambarkan sebagi domain keperawatan. Orem (2001) mengidentifikasikan lima

area aktifitas keperawatan yaitu:

a) Masuk kedalam dan memelihara hubungan perawat klien dengan individu,

keluarga, kelompok sampai pasien dapat melegitimasi perencanaan

keperawatan.

b) Menentukan jika dan bagaimana pasien dapat dibantu melalui keperawatan.

c) Bertanggungjawab terhadap permintaan pasien, keinginan dan kebutuhan

untuk kontak dan dibantu perawat.

d) Menjelaskan, memberikan dan melindungi klien secara langsung dalam

bentuk keperawatan.

e) Mengkoordinasikan dan mengintegrasi keperawatan dengan kehidupan sehari-

hari klien, atau perawatan kesehatan lain jika dibutuhkan serta pelayanan

sosial dan edukasional yang dibutuhkan atau yang akan diterima.

2.6.3 Teori Nursing System

Nursing system didesain oleh perawat didasarkan pada kebutuhan self care dan

kemampuan pasien melakukan self care. Jika ada self care defisit, self care

agency dan kebutuhan self care therapeutik maka keperawatan akan diberikan.

Nursing agency adalah suatu properti atau atribut yang lengkap diberikan untuk

orang-orang yang telah didik dan dilatih sebagai perawat yang dapat melakukan,

mengetahui dan membantu orang lain untuk menemukan kebutuhan self care

terapeutik mereka, melalui pelatihan dan pengembangan self care agency.

Orem mengidentifikasi tiga klasifikasi nursing system yaitu:

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 54: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

43

Universitas Indonesia

2.6.3.1 Wholly Compensatory System

Gambar 2.3

Wholly Compensatory Nursing System

Sumber: University of Tenesse. (2014). Theory based nursing practice: a working

document. Diambil dari http://www.utc.edu/nursing/pdfs/classes/orem-

handbook.pdf

Suatu situasi dimana individu tidak dapat melakukan tindakan self care, dan

menerima self care secara langsung serta ambulasi harus dikontrol dan pergerakan

dimanipulatif atau adanya alasan-alasan medis tertentu. Ada tiga kondisi yang

termasuk dalam kategori ini yaitu: tidak dapat melakukan tindakan self care, dapat

membuat keputusan, observasi atau pilihan tentang self care tetapi tidak dapat

melakukan ambulasi dan pergerakan manipulatif, tidak mampu membuat

keputusan yang tepat tentang self-care nya.

2.6.3.2 Partly Compensatory System

Gambar 2.4

Partly Compensatory Nursing System

Sumber: University of Tenesse. (2014). Theory based nursing practice: a working

document. Diambil dari http://www.utc.edu/nursing/pdfs/classes/orem-

handbook.pdf

Menyelesaikan therapeutik self care klien

Kompensasi ketidakmampuan untuk self care

Pendukung dan melindungi klien

Tindakan

perawat

Menjalankan beberapa kegiatan self care

Kompensasi keterbatasan klien untuk selfcare

Membantu klien sesuai kebutuhan

Menjalankan self care measure

Mengatur kemampuan self care

Menerima asuhan dan bantuan

nurse

Tindakan

pasien

Tindakan

perawat

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 55: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

44

Universitas Indonesia

Gambar 2.4 menunjukkan Suatu situasi dimana antara perawat dan klien

melakukan perawatan atau tindakan lain dan perawat atau pasien mempunyai

peran yang besar untuk mengukur kemampuan melakukan self care.

2.6.3.3 Supportive - Educative System

Gambar 2.5

Supportive-Educative Nursing System

Sumber: University of Tenesse. (2014). Theory based nursing practice: a working

document. Diambil dari http://www.utc.edu/nursing/pdfs/classes/orem-

handbook.pdf

Pada sistem ini orang dapat membentuk atau dapat belajar membentuk internal

atau external self care tetapi tidak dapat melakukannya tanpa bantuan.Hal ini juga

dikenal dengan supportive-developmental system.

2.7 Total Joint Arthroplasty

2.7.1 Pemasangan Drain Post Operasi Total Knee Arthroplasty

Total Knee Arthroplasty atau yang biasa di sebut Total Knee Replacement

merupakan suatu prosedur joint replacement pada area lutut yang mengalami

masalah dan tidak mengalami perbaikan dengan prosedur non bedah maupun

obat-obatan. Masalah pada lutut yang paling sering terjadi sebagai indikasi dari

Total Knee Arthroplasty adalah osteoarthritis, rheumathoid arthritis dan post-

traumatic arthritis (AAOS, 2011).

Prosedur operasi Total Knee Arthroplasty berhubungan dengan kehilangan darah

post operative yang signifikan sehingga pasien membutuhkan transfusi produk

darah. Penggunaan drain post operasi dapat mengurangi formasi hematoma

Melakukan/menyelesaikan self

care

Tindakan

perawat

Mengatur latihan dan

perkembangan kemampuan self

care

Tindakan

pasien

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 56: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

45

Universitas Indonesia

(Martin et al. 2004) yang pada akhirnya dapat mengurangi nyeri post operatif,

pembengkakan dan kejadian infeksi (Tai, Yang & Chang, 2012).

Penggunaan drain post operasi dapat memudahkan dalam manajemen luka post

operasi. Frekuensi pergantian balutan lebih sedikit pada pasien yang terpasang

drain. Selain itu area echymosis juga berkurang secara signifikan pada pasien

yang terpasang drain. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemasangan drain post

operasi dapat mengurangi rembesan darah dari sendi dan luka (Omonbude et al.

2010).

2.7.2 Pemasangan Drain Post Operasi Total Hip Arthroplasty

Total Hip Replacement (THR) atau yang sering disebut juga dengan Total Hip

Arthroplasty merupakan suatu pilihan tindakan untuk penyakit degeneratif tingkat

lanjut pada hip. Sendi Hip terdiri dari ball dan socket dengan masing-masing

permukaan tertutup oleh kartilago. Sejumlah penyakit dapat menyebabkan

degenerasi permukaan kartilago. Masalah ini dapat mengakibatkan nyeri,

kekakuan, penurunan rentang gerak dan disabilitas. Dokter bedah melakukan

pergantian terhadap sendi hip yang meliputi ball (femoral head) dan socket

(acetabulum) dengan artificial parts yang disebut prostheses melalui operasi THR

tersebut (Shiel, 2014).

Indikasi dari THR adalah Pasien dengan masalah nyeri hip yang signifikan,

disfungsi ambulasi, gambaran radiologi berupa arthrosis sendi dan kegagalan

dalam terapi konservatif merupakan kandidat utama untuk menjalani operasi

THR. Garino dan Beredjiklian (2007) menjelaskan bahwa masalah spesifik yang

membutuhkan tindakan operasi THR antara lain adalah Avascular Necrosis

(AVN), Developmental Dysplasia of the Hip (DDH), Chronic Hip Dislocation dan

Acetabular Fracture. Kontraindikasi THR pada umumnya sangat sedikit, namun

tetap harus menjadi perhatian penting. Pasien dengan usia lanjut yang memiliki

faktor komorbiditas medis bisa menjadi kontraindikasi dari prosedur THR.

Kontraindikasi lain adalah pasien dengan infeksi bakteri aktif pada area hip dan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 57: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

46

Universitas Indonesia

sekitarnya. Pasien dengan masalah psikiatrik, kognitif, atau disfungsi perilaku

merupakan kelompok dengan risiko tinggi mengalami komplikasi pasca THR.

Salah satu bagian dari prosedur operasi THR adalah pemasangan drain. Terdapat

beberapa pendapat terkait hal tersebut. Beberapa menyebutkan bahwa drain dapat

memberikan dampak positif terhadap berkurangnya area hematoma namun ada

pendapat lain yang menyebutkan bahwa pemasangan drain akan memberikan efek

samping berupa risiko infeksi dan peningkatan jumlah kehilangan darah

(Strahovnik & Fokter, 2012).

2.8 Metode Komunikasi SBAR

Metode SBAR ( Situation – Background – Assessment – Recommendation )

dikembangkan dalam versi pelayanan kesehatan untuk menyusun suatu informasi

menjadi logis, mudah dipahami sehingga dapat mempercepat proses timbang

terima dan mengurangi kesalahan atau eror (Eberhardt, 2014). Metode komunikasi

SBAR terdiri dari sekumpulan informasi yang diberikan antara tenaga kesehatan

meliputi (Arizona Hospital and Healthcare, 2009):

2.8.1 Situation

Pada bagian ”situasi” berisi tentang kondisi saat ini atau apa yang terjadi

sekarang. Perawat menjelaskan secara singkat dan jelas situasi pasien saat ini.

Bagian ini juga dapat menjelaskan masalah utama yang menjadi fokus perhatian

dari tenaga kesehatan terhadap kondisi terkini pasien.

2.8.2 Background

Background atau latar belakang berisi tentang gambaran penyebab dari kondisi

klinis yang terjadi saat ini. Perawat menjelaskan secara singkat dan jelas, riwayat

terkait kondisi pasien yang mungkin menjadi penyebab dari kondisi / masalah saat

ini.

2.8.3 Assessment

Assessment merupakan suatu analisis terhadap jenis masalah yang terjadi

berdasarkan pada data-data yang diperoleh sebelumnya. Bagian ini berisi

kesimpulan terhadap fakta yang ada. Perawat perlu menggunakan analisis yang

tepat.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 58: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

47

Universitas Indonesia

2.8.4 Recommendation

Recommendation berisi hal-hal yang akan dilakukan untuk mengatasi keadaan

atau masalah yang terjadi. Tindakan yang dilakukan pula dapat berupa

rekomendasi, masukan atau permintaan kepada dokter untuk mengatasi masalah

yang terjadi.

Walaupun metode SBAR diciptakan untuk komunikasi dalam situasi kritis antara

perawat dan dokter, metode ini juga dapat diadaptasi untuk digunakan tipe

timbang terima lainnya. Sebagai contoh, metode SBAR dapat digunakan untuk

komunikasi antar sesama perawat dan perawat kepada tenaga professional lain di

rumah sakit. Hal tersebut memungkinkan kedua belah pihak untuk berinteraksi

serta bertanya.

Sebelum mengadopsi metode SBAR, suatu organisasi harus meminta masukan

dari anggota medis dan memberikan mereka kesempatan untuk membantu

merancang program. Walaupun pelatihan dan dukungan merupakan hal yang

penting dalam keberhasilan implementasi, hal yang lebih penting adalah untuk

menunjukkan kepada dokter bagaimana mereka mendapatkan manfaat

menggunakan SBAR. Beberapa keuntungan diantaranya mempersingkat waktu

telepon pada malam hari sesuai dengan sifat dari pelaporan SBAR serta

menurunkan klaim malpraktik karena menurunkan tingkat kesalahan akibat dari

buruknya komunikasi timbang terima pasien.

Implementasi dan dukungan yang berkelanjutan dari metode SBAR membutuhkan

kerjasama dari kepemimpinan senior sebaik kepemimpinan klinis yang kuat. Jika

suatu organisasi berkomitmen untuk menggunakan metode SBAR, sesi edukasi

harus disediakan kepada tim multidisiplin untuk membantu anggota tim belajar

menggunakan sarana serta memodifikasi kebiasaan sebelumnya.

Beberapa perawat akan merasakan kesulitan untuk membuat rekomendasi kondisi

pasien kepada dokter karena perawat telah diajarkan secara konsisten untuk tidak

membuat diagnosa medis, keputusan terhadap tindakan apa yang harus dilakukan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 59: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

48

Universitas Indonesia

sepenuhnya tergantung kepada dokter. Perawat harus diberikan dorongan untuk

membuat rekomendasi karena mereka adalah satu-satunya yang berada pada

posisi yang mengetahui hal yang terjadi pada pasien saat itu. Pada beberapa rumah

sakit di Chicago dimana metode SBAR diimplementasikan, diketahui bahwa

dokter tidak beraksi negative terhadap rekomendasi dari perawat. Kenyataannya

beberapa pernyataan kecewa diutarakan ketika perawat tidak menjelaskan secara

lugas tentang hal yang terjadi pada pasien mereka.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 60: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

49 Universitas Indonesia

BAB 3

PROSES RESIDENSI

Pada bab ini akan menguraikan proses residensi yang terdiri dari laporan asuhan

keperawatan dan analisisnya pada pasien multiple fraktur sebagai kasus kelolaan,

beserta 30 kasus yang praktikan kelola selama praktik residensi dengan

pendekatan model Self-Care Orem, laporan penerapan evidence-based nursing

dan laporan pelaksanaan proyek inovasi.

3.1 Gambaran kasus kelolaan utama

Tn. JT ( 34 tahun) di rawat di ruang GPS lantai 1 RSUP Fatmawati dengan

diagnosa medis open fracture of right tibia GA 2 post debridement, close fracture

of right fibula, open fracture of calcaneus, cuboid, navicular, talus post

debridement, giant bullae paru kanan dan multiple bullae paru kiri, masuk ke

RSUP Fatmawati melalui IGD pada tanggal 21 April 2015. Keluhan utama saat

masuk ke IGD adalah nyeri di kaki kanan post KLL 30 menit sebelum masuk RS

(menabrak trotoar akibat tersenggol mobil) saat dini hari. Klien diantar ke IGD

oleh keluarga sekitar pukul 06.00 WIB. Klien mengatakan kaki tertimpa bootstep

dan motor. Klien mengatakan lupa mekanisme jatuh karena saat kejadian klien

mengantuk dan pasca kecelakaan klien pingsan. Klien baru bangun saat sudah

berada di IGD RS. Pada saat kecelakaan terdapat luka terbuka di area tibia dan

calcaneus. Klien kemudian dilakukan operasi debridement dan diimobilisasi

menggunakan backslab pada pukul 23.30. Setelah opereasi debridement, klien

dipindah ke ruang rawat GPS lantai 1.

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 23 April 2015, kondisi kesadaran klien

compos mentis. Klien tampak terorientasi dengan lingkungan, namun masih lemas

sehingga komunikasi terbatas. Kaki kanan klien terpasang verban elastic dan

tampak rembesan darah disekitar luka. Rembesan darah cukup banyak hingga

membasahi tempat tidur klien. Ketika dilakukan pergantian balutan luka, tampak

luka jahit tertutup post debridement. Luka di area tibia berukuran 8 cm, sedangkan

di area tumit luka berukuran 22 cm mengelilingi tumit. Klien tampak pucat dan

merasakan nyeri hebat dengan VAS 8 saat dilakukan pergantian balutan luka.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 61: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

50

Universitas Indonesia

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 23 April 2015 menunjukkan

penurunan nilai Hb dibandingkan dengan saat klien baru masuk ke IGD. Pada

tanggal 22 April 2015, nilai Hb 8,6g/dL, Ht 26%, Leukosit 12ribu/ul, Trombosit

372ribu/ul, Eritrosit 2,87juta/ul. Pemeriksaan elektrolit pada tanggal 21 April

2015 menunjukkan kondisi hiponatremia dengan nilai Natrium darah 131mmol/L.

Tanda-tanda vital dalam batas normal, namun tekanan darah cenderung rendah

yaitu 100/70mmHg, nadi 88 kali/menit, RR 22 kali/menit, suhu 36,4°C.

Klien mengatakan tidak pernah dirawat sebelumnya. Keluhan sakit yang biasa

dialami klien adalah batuk. Batuk dirasakan sering terjadi namun hilang timbul.

Klien mengatakan terkadang kalau batuk pernah sampai sesak tapi hal ini jarang

dirasakan. Klien hanya minum obat batuk yang dijual bebas dipasaran. Hasil

pemeriksaan radiologi dan CT-Scan Thorax menunjukkan bahwa terdapat giant

bullae di apeks paru kanan dan multiple bullae di paru kiri. Hal ini menyebabkan

operasi ORIF klien sempat tertunda. Setelah mendapatkan pengobatan berupa

terapi inhalasi dan 4FDC, klien menjalani operasi ORIF IM-Nailing untuk tibia

dan reduksi pada fibula pada tanggal 12 April 2015. Satu minggu pasca Operasi

ORIF klien kemudian menjalani operasi Torakotomi, bullektomi dan

segmentektomi dan terpasang WSD setinggi ICS 6-7 paravertebrae dextra dengan

continuous suction. Hasil Rontgen thorax terakhir menunjukkan bahwa daerah

avaskuler di lapangan atas hemithorax dextra berkurang, pneumothorax di

lapangan atas dextra berkurang, efusi pleura dextra minimal.

Kondisi Fraktur di calcaneus belum dilakukan prosedur bedah menunggu kondisi

paru pulih dan bengkak berkurang. Masalah lain yang dialami klien berdasarkan

hasil rontgen thorax adalah ditemukan adanya skoliosis vertebra thorakalis ke

dextra. Namun klien tidak ada keluhan akan kondisi tersebut. Hal itu sudah

dialami sejak klien kecil.

3.1 Penerapan Model Self-Care Orem pada Kasus Kelolaan Utama

Pada kasus kelolaan utama ini praktikan menggunakan teori model self-care Orem

dalam penerapan asuhan keperawatan. Proses keperawatan menurut Orem

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 62: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

51

Universitas Indonesia

meliputi pengkajian basic conditioning factors, pengkajian universal self-care

requisites, pengkajian developmental self-care requisites, pengkajian health

deviation self-care requisites, pengkajian theurapetic self-care demand,

menetapkan diagnosa keperawatan, menentukan tujuan, implementasi dan

evaluasi. Demikian juga dengan 30 kasus kelolaan lainnya.

Untuk kasus kelolaan utama yang menjadi fokus penulis adalah pengoptimalan

kemampuan self-care klien untuk mempersiapkan klien dalam proses rehabilitasi

serta pencegahan komplikasi. Klien tinggal sendiri di rumah kontrakan setelah

pisah rumah dengan istrinya kurang lebih 4 bulan yang lalu. Sumber dukungan

utama yang ada saat ini adalah saudara klien yang tinggal tidak jauh dari rumah

kontrakan. Namun karena kesibukan saudara klien, klien tetap harus mampu

memenuhi sebagian besar kebutuhan dasarnya sendirian ketika pulang nanti.

Rincian hasil pengkaian berdasarkan teori model self-care Orem dijelaskan

sebagai berikut.

3.1.1 Pengkajian / Riwayat Keperawatan

3.1.1.1 Basic Conditioning Factors (Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi

pasien)

3.1.1.1.1 Personal

Tn. JT (34 tahun) alamat di Pejaten Jakarta Selatan, agama Islam, klien tamatan

SLTA, status menikah dan memiliki dua orang anak, tanggal masuk RS 21 April

2015, tanggal masuk ruangan 23 April 2015, tanggal pengkajian 26 April 2015,

diagnosa medis open fracture of right tibia GA 2 post debridement, close fracture

of right fibula, open fracture of calcaneus, cuboid, navicular, talus post

debridement, giant bullae paru kanan dan multiple bullae paru kiri.

Tahap perkembangan saat ini adalah dewasa (adulthood). Klien tinggal di rumah

kontrakan sejak 4 bulan terakhir dan pisah rumah dengan istri dan kedua anak.

Klien tinggal sendiri di rumah kontrakan yang dekat dengan rumah adik kandung

klien. Kondisi lingkungan padat penduduk. Tidak ada tangga di sekitar tempat

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 63: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

52

Universitas Indonesia

tinggal Klien mengatakan aktivitas lebih sering dilakukan di luar rumah karena

klien berprofesi sebagai sopir suatu perusahaan reklame.

Klien saat ini mengalami fase akut dari kasus fraktur. Sumber bantuan utama

adalah keluarga klien yang menemani bergantian di rumah sakit mulai dari Ibu

hingga kakak dan ipar klien. Klien mengatakan nanti ketika sudah diperbolehkan

pulang ke rumah, klien tidak tahu siapa yang bisa membantu. Kemungkinan besar

adik yang tinggal di dekat rumah yang bisa diharapkan.

3.1.1.1.2 Pola Kehidupan sebelum sakit

3.1.1.1.2.1 Pola Aktivitas dan Istirahat

Klien mengatakan aktivitasnya lebih banyak dihabiskan di luar rumah. Klien

berprofesi sebagai supir dengan jam kerja dari jam 08 – 17. Namun, jika ada

pekerjaan di luar kota, jam kerja klien bertambah lagi. Sepulang kerja klien biasa

menghabiskan aktivitas dengan berkumpul bersama teman-teman untuk ngopi dan

mengobrol. Klien mengatakan terkadang sampai minum alcohol. Klien pulang ke

rumah kontrakan sekitar jam 12 malam. Klien tidak pernah tidur siang. Durasi

tidur malam 4 – 7 jam/hari.

3.1.1.1.2.2 Olahraga

Klien jarang berolahraga. Dulu sebelum bekerja sebagai supir, klien hobi bermain

sepak bola. Hobi klien adalah berkumpul bersama teman.

3.1.1.1.2.3 Makan dan Minum

Klien minum kurang lebih 2000cc/hari, jenis minuman air putih, kopi dan

minuman kemasan. Klien juga mengkonsumsi alcohol namun jarang hanya saat

berkumpul bersama teman-teman saja.

Klien makan teratur 2 – 3 kali sehari. Komposisi makanan berupa karbohidrat,

protein, lemak, buah-buahan, sayur dan susu jarang. Makanan kesukaan klien

adalah masakan padang dan bubur ayam. Klien tidak pernah memantang

makanan. Karena tinggal sendiri, klien lebih sering makan-makanan diluar yang

tidak terjamin kebersihan maupun kandungan gizinya.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 64: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

53

Universitas Indonesia

3.1.1.1.2.4 Pola Eliminasi

Buang air besar frekuensi 1 – 2 hari sekali. Warna kuning, konsistensi lembek,

diare tidak ada. Buang air kecil frekuensi 5 – 8 kali sehari. Warna kuning jernih,

klien tidak memperhatikan jumlah urine tiap berkemih namun diperkirakan

jumlah kurang lebih 200ml tiap kali klien berkemih. Klien tidak mengalami

kesulitan untuk berkemih maupun buang air besar.

3.1.1.1.2.5 Pola Kebersihan Diri

Klien mandi 2 kali sehari, keramas 1- 2 kali/minggu, gosok gigi 2 kali sehari,

bercukur 2-3 hari sekali. Klien mengatakan karena aktivitasnya sering di luar

rumah, dalam sehari terkadang hanya 1 kali ganti baju.

3.1.1.1.2.6 Merokok

Klien mengatakan sudah merokok sejak 5 tahun yang lalu. Dalam sehari klien bisa

menghabiskan 2 – 3 bungkus rokok. Ketika diharuskan untuk tidak merokok saat

di RS, klien mengatakan tidak masalah karena sebenarnya ia juga merokok karena

pergaulan dan lingkungan di tempat kerja yang karyawannya sebagian besar

merokok.

3.1.1.1.3 Faktor yang berkaitan dengan status kesehatan dan sistem pelayanan

kesehatan

3.1.1.1.3.1 Keluhan Utama

Klien mengalami nyeri di kaki kanan pasca kecelakaan pada hari selasa dini hari

sekitar jam 02.00. Klien juga mengeluh nyeri di dada kanan bagian atas, terutama

saat klien batuk.

3.1.1.1.3.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Klien mengalami kecelakaan lalu lintas membentur trotoar, kaki kanan tertimpa

bootstep dan motor. Klien mengatakan saat itu sedang mengantu sehingga tidak

menyadari kalau motornya kehilangan kendali. Klien juga mengatakan saat

kecelakaan seperti ada yang menyerempet namun klien tidak jelas karena pada

saat kejadian kondisi klien sangat mengantuk dan tidak konsentrasi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 65: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

54

Universitas Indonesia

3.1.1.1.3.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Klien tidak pernah dirawat di RS, dua tahun yang lalu klien pernah mengalami

kecelakaan dan kepala membentur stir mobil. Namun ketika ke RS kepala klien

hanya di jahit dan tidak sampai dirawat inap.

Klien mengatakan tidak pernah sakit yang serius, namun klien sering batuk

meskipun terkadang sembuh namun beberapa waktu kemudian batuk kambuh

lagi. Ketika batuk klien tidak berobat ke RS. Batuk hilang dengan meminum obat-

obatan yang dijual bebas di pasaran.

3.1.1.1.3.4 Riwayat kesehatan keluarga

Klien mengatakan tidak ada riwayat penyakit keturunan dalam keluarga. Ayah

klien meninggal karena penyakit jantung. Kakak tertua klien meninggal karena

kecelakaan. Dalam keluarga dilaporkan tidak ada riwayat sakit hipertensi dan

DM.

3.1.1.1.3.5 Diagnosa medis

Diagnosa medis tanggal 26 April 2015:

Open fracture of right tibia GA 2 post debridement, close fracture of right fibula,

open fracture of calcaneus, cuboid, navicular, talus post debridement, giant bullae

paru kanan dan multiple bullae paru kiri.

3.1.1.1.3.6 Gambaran kondisi klien menurut perawat

Klien tampak lemah, dan sering meringis kesakitan terutama ketika kaki kanan

digerakkan serta dilakukan pergantian balutan. Klien mudah bersosialisasi dengan

sesama pasien di ruang rawat maupun dengan tenaga kesehatan lain. Namun klien

tampak tertutup akan kondisi rumah tangganya. Klien selalu kooperatif setiap

dilakukan tindakan.

3.1.1.1.3.7 Tanggapan klien dan anggota keluarga tentang kondisi kesehatan klien

Klien menyadari jika saat ini sedang sakit dan harus menjalani operasi untuk

memulihkan kembali fungsi geraknya. Namun klien selalu menanyakan apakah

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 66: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

55

Universitas Indonesia

ketika nanti selesai operasi klien bisa berjalan dan kembali bekerja seperti semula.

Anggota keluarga yang terdekat adalah Ibu klien. Ibu klien sengaja datang dari

jawa tengah untuk menemani klien saat di rumah sakit. Ibu klien sangat peduli

dengan kondisi kesehatan klien, namun karena terlalu memaksakan diri dan

usianya telah lanjut Ibu klien kemudian ikut sakit. Selama Ibu sakit klien sesekali

ditemani oleh kakak atau kakak ipar.

3.1.1.1.3.8 Gambaran kerja sama tim kesehatan

Keluarga merasa antara tenaga kesehatan, perawat dan dokter sangat membantu

dalam menangani masalah klien. Saat ini klien dipegang oleh dua orang DPJP

yaitu DPJP Bedah Orthopedi dan DPJP Bedah Thorax.

Tabel 3.1

Terapi Medis

Tanggal Mulai Terapi Rasional Kolaborasi

22 April 2015 Ceftriaxone 2 x 1 gram Ceftriaxone merupakan antibiotik

golongan cephalosporins gerenasi

ketiga. Setengah dari obat dapat

dikeluarkan melalui urine, sisanya

disekresikan melalui hati (Hilal-

Dandan & Brunton, 2014)

Ketorolac 3 x 30 mg Ketorolac merupakan NSAIDS:

Acetic Acid Derivates. Ketorolac

adalah analgesic paten namun

merupakan antiinflamasi dengan

efek yang moderat. Waktu puncak

20-60 menit dan waktu paruh adalah

5 jam. Penggunaan ketorolac dibatasi

≤ 5 hari untuk nyeri akut yang

membutuhkan analgesic level opioid

(Hilal-Dandan & Brunton, 2014).

Gentamicin 2 x 80 mg Gentamicin digunakan untuk

mengobati infeksi bakteri basil gram

negative. Obat ini merupakan

aminoglycoside pilihan pertama

karena mampu melawan hampir

sebagian besar bakteri aerob yang

resisten (Hilal-Dandan & Brunton,

2014).

Ranitidin 2 x 1 amp Ranitidin merupakan golongan H2

receptor antagonists yang

menghambat produksi asam melalui

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 67: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

56

Universitas Indonesia

Tanggal Mulai Terapi Rasional Kolaborasi

bersaing dengan histamine untuk

berikatan dengan H2 receptor pada

membrane basolateral sel parietal.

Obat ini diserap cepat setelah

pemberian melalui oral dengan

konsentrasi puncak di darah dalam

waktu 1-3 jam. Absorbs dapat

meningkat dengan makanan atau

menurun dengan antacids. Ranitidine

yang diberikan melalui IV efeknya

dapat bertahan selama 6-8 jam di

dalam darah. Obat ini dieksresikan

melalui ginjal sehingga dosisnya

dapat dikurangi pada pasien dengan

penuruan creatinine clearance

(Hilal-Dandan & Brunton, 2014).

Tetagam 10 mg Tetagam merupakan Human Tetanus

Immunoglobulin yang digunakan

sebagai Profilaksis pada individu

dengan cedera yang baru saja terjadi

(MIMS; Hilal-Dandan & Brunton,

2014).

RL 500 cc/ 8jam RL merupakan cairan isotonis yang

mengandung elektrolit Calsium,

Kalium, Natrium dan Laktat. Laktat

yang terdapat pada larutan ini akan

dimetabilisme oleh hati menjadi

bikarbonat. RL banyak digunakan

sebagai replacement therapy, antara

lain untuk syok hipovolemik, diare,

trauma dan luka bakar.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 68: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

57

Universitas Indonesia

Tabel 3.2

Hasil Pemeriksaan Penunjang

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

(23 April 2015)

Hb 8,6 g/dl 11,7 – 15,5 g/dl

Ht 26% 33 – 45 %

Leukosit 12000/ul 5000 – 10000/ul

Trombosit 188.000/ul 150.000 – 440.000/ul

Eritrosit 2,87 juta/ul 4,40 – 5,90 juta/ul

(21 April 2015)

Natrium 131mmol/l 135 – 147 mmol/l

Kalium 3,37mmol/l 3,10 – 5,10 mmol/l

Klorida 104mmol/l 95 – 100 mmol/l

SGOT 88 U/L 0 – 34 U/L

SGPT 33 U/L 0 – 40 U/L

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 69: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

58 Universitas Indonesia

Tabel 3.3 Pemeriksaan Radiologi

Gambar Kesan

Ankle AP-LAT (28 April 2015)

Terpasang fiksasi eksterna berupa back slap dari region cruris

yang tervisualisasi hingga pedis

Tampak fraktur distal os tibia-fibula dengan angulasi fragmen

distal ke lateral

Tampak fraktur os calcaneus kanan.

Kedudukan tulang ankle baik.

Densitas tulang menurun dengan trabekulasi kasar.

Struktur tulang tulang lainnya yang tervisualisasi kesan intak

Celah sendi tidak menyempit.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 70: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

59 Universitas Indonesia

Cruris AP-LAT (21 April 2015)

Tampak fraktur kominutif di mid-diafisis os tibia kanan dengan

fragmen fraktur sedikit bergeser ke anterior.

Tampak pula fraktur komplit mid diafisis os fibula kanan

dengan pergeseran fragmen distal fraktur ke anterior

Celah sendi talocrural tidak menyempit.

Pedis AP-LAT (22 April 2015)

Tampak fraktur os kalkaneus kanan dengan fragmen fraktur

bergeser kea rah lateral.

Penebalan jaringan lunak disertai defek jaringan lunak di

region ankle kanan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 71: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

60 Universitas Indonesia

CT- Scan Pedis (30 April 2015)

Tampak fraktur komplit multiple maleolus lateral dengan

kedudukan fragmen fraktur relative masih segaris.

Tampak fraktur kominutif dengan garis fraktur dan fragmen fraktur

multiple pada os calcaneus, pada sisi lateral garis fraktur mencapai

subtalar, garis fraktur pada aspek plantar sisi medial tidak

mencapai subtalar joint.

Tampak garis fraktur os talus sisi medial dengan avulse fragmen

fraktur ke sisi medial.

Pada sinus tarsi tampak fragtmentasi fraktur halus multipel.

Fraktur kominutif dengan fragmentasi multiple pada os cuneiforme

I.

Garis fraktur os cuneiforme II sisi lateroposterior

Garis fraktur pada os cuneiforme III sisi lateroinferior.

Fraktur kominutif dengan fragmentasi fraktur multiple pada os

cuboid.

Tampak fraktur komplit basis metatarsal digiti II s.d V pada garis

fraktur. Pada basis metatarsal II mencapai intraartikular.

Tampak soft tissue swelling dengan emfisema subkutis di region

ankle kanan.

Kesan:

Fraktur multiple tulang-tulang pedis kanan seperti tersebut di atas.

Fraktur distal fibula kanan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 72: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

61 Universitas Indonesia

CT-Scan Thorax (07 Mei 2015)

- Window Mediastinum:

Tampak pendorongan ringan mediastinum superior dan trakea

ke kiri.

Truncus dan vena brachiochephalicus, aorta dan truncus

pulmonal baik.

Tak tampak perbesaran KGB mediastinum anterior dan sekitar

hilus.

Main bronchus kanan-kiri terbuka.

Tak tampak nodul/massa padat di kedua lapangan paru.

Tak tampak efusi pleura

Cor tidak membesar. Perikard tidak menebal, tidak tampak

efusi.

Hepar, lien, KE, pancreas, kedua ginjal dan kelenjar adrenal

yang tervisualisasi tak tampak kelainan.

- Window Paru:

Tampak multiple bullae di segmen 1,2,3 paru kanan dengan

ukuran terbesar 9,5 x 9,5 x 13,5cm.

Tampak pula multiple bullae kecil di segmen 1-2 paru kiri

dengan diameter terbesar 2,7cm.

Corakan bronkovaskular parenkim paru lainnya tak tampak

nodul maupun massa padat.

Tampak infiltrate di segmen 6 paru kiri.

Tidak tampak penyangatan patologis pasca pemberian kontras.

- Kesan:

Multiple bullae di segmen 1, 2, 3 paru kanan dan multiple bullae

kecil di segmen 1, 2 paru kiri.

Infiltrate di segmen 6 paru kiri.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 73: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

62 Universitas Indonesia

Rontgen Thorax (07 Mei 2015)

Trakea relatif di tengah

Mediastinum superior tidak melebar

Jantung kesan membesar

Aorta baik

Paru:

Kedua Hilus suram

Infiltrate paru kanan dan perihiler kiri

Giant bullae di apeks kanan

Diafragma dan sinus kostofrenikus baik

Tulang-tulang costae intak

Lateralisasi minimal vertebra torakalis dengan konveksitas ke

kanan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 74: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

63

Universitas Indonesia

3.1.1.2 Therapeutic Self-Care Demand (Kebutuhan Perawatan Diri Sesuai

dengan Kemampuan)

3.1.1.2.1 Universal Self-Care Requisites (Tindakan yang berhubungan dengan

pemenuhan perawatan diri secara umum)

3.1.1.2.1.1 Mempertahankan kecukupan asupan udara

Klien terkadang mengeluh sesak napas dan disertai batuk. Keluhan ini dirasakan

sejak klien belum dirawat di RS. Klien mengatakan sering batuk berdahak tapi

sembuh dengan sendirinya atau hanya dengan minum obat batuk yang dibeli di

warung. Jika kecapekan klien mengeluh sesak, namun sesak hilang dengan

sendirinya jika istirahat dan tanpa obat-obatan.

Ekspansi dada maksimal saat inspirasi dan ekspirasi mampu dilakukan, perkusi:

hiperresonan di paru kanan, auskultasi: terdapat penurunan bunyi napas pada

lapang paru kanan.

Klien tidak menggunakan otot bantu pernafasan, RR=22 kali/menit.

Hasil pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya giant bullae di apeks paru

kanan dan multiple bullae di paru kiri yang ditunjukkan dengan adanya area

lucent yang luasnya 1/3 lapang paru kanan.

3.1.1.2.1.2 Mempertahankan kecukupan asupan cairan

Klien minum jika merasa haus. Namun, klien jarang minum jika tidak diingatkan.

Selama dirawat klien hanya minum air putih dan the. Terkadang klien juga makan

buah-buahan seperti jeruk. Klien mengatakan sudah cukup minum apalagi ketika

dijelaskan terkait jumlah asupan cairan yang harus dipenuhi sesuai dengan berat

badannya. Pada awal dirawat, klien sering mengeluh demam dan meriang

sehingga klien memahami pentingnya asupan cairan untuk mengatasi dan

mencegah demam yang berulang.

TD: 110/70 mmHg, Nadi: 87 kali/menit, suhu: 36,8°C. klien tampak lemas dan

pucat. membran mukosa bibir lembab, turgor kulit baik. Hb: 8,6 g/dl; Ht: 26%;

Na: 131mmol/l.

Saat ini luka fraktur klien mengeluarkan rembesan yang cukup banyak. Dalam

sehari alas luka diganti 2-3 kali karena rembesan darah.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 75: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

64

Universitas Indonesia

3.1.1.2.1.3 Mempertahankan kecukupan asupan makanan / nutrisi.

Klien makan nasi 3 kali sehari. Makanan yang diberikan dari RS lebih sering

dihabiskan lauk dan buah-buahannya saja. Nasi dan sayur kadang tidak

dihabiskan klien. Klien mengatakan nafsu makannya tidak sama seperti ketika

sehat. Terkadang jika lauk atau sayuran yang disajikan tidak sesuai dengan selera,

klien hanya menghabiskan setengah porsi makanan. Klien mengatakan ingin

makan makanan di luar makanan RS.

BB: 60kg, TB: 172cm, IMT: 20,28 (Gizi Baik/Normal). Bising Usus (+).

3.1.1.2.1.4 Kemampuan pasien dalam pemenuhan proses eliminasi dan eksresi

Klien BAK menggunakan pispot. Klien mengatakan tidak ada kesulitan dalam

BAK meskipun pada awalnya harus menyesuaikan diri dengan kondisi BAK

ditempat tidur. Buang Air Besar klien merasa akhir-akhir ini mengalami

perubahan pola dibandingkan dengan saat sehat. Selama 5 hari pertama ketika

dirawat klien baru bisa BAB. Klien mengatakan sulit BAB di pispot. Klien lebih

memilih BAB menggunakan pampers. Saat BAB feses yang keluar sedikit dan

cenderung keras.

3.1.1.2.1.5 Mempertahankan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat

Aktivitas klien di tempat tidur. Klien berbaring dengan posisi semifowler dan kaki

kanan elevasi menggunakan satu bantal. Kaki kanan klien terpasang long leg

backslab dan terbungkus dengan kasa gulung dilapisi verban elastis. Backslab

terpasang dari medial paha sampai ke telapak kaki. Ankle dalam posisi 90° dan

lutut fleksi 5°. Backslab pada bagian betis tampak bengkok mengikuti beban kaki.

Klien mengatakan tidak nyaman dengan posisi kakinya karena ankle tidak bisa

lurus/cenderung jatuh ke sisi kanan sehingga posisi kaki miring. Klien

mengatakan tidak bisa menggerakkan kaki untuk mengubah posisi ketika terasa

pegal. Kaki kanan bagian distal tampak bengkak. Jari-jari kaki klien mengalami

penurunan sensasi terhadap sentuhan. Kulit pada sisi kaki yang mengalami fraktur

tampak berwarna merah kebiruan dengan suhu yang lebih hangat dibandingkan

dengan sisi kaki yang sehat. Tampak deformitas di bagian tibia. Terdapat

tenderness dan nyeri. Klien merasakan nyeri terutama ketika bagian kaki yang

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 76: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

65

Universitas Indonesia

patah digerakkan dan saat perawatan luka. CRT < 3 detik. Pulsasi arteri dorsalis

pedis kanan = kiri.

Kekuatan otot: 5555 5555

------ 5555

Pengkajian Risiko Jatuh dengan Morse Fall Scale (MFS):

- Riwayat Jatuh dalam 3 bulan terakhir : tidak ada (Skor = 0)

- Diagnosis sekunder : ada (skor 15)

- Alat bantu berjalan : kruk (skor 15)

- Terapi intravena : ada (skor 20)

- Gaya berjalan: terganggu (skor 20)

- Status mental : terorientasi (skor 0)

Total Skor Morse Fall Scale = 70 (Risiko Jatuh Tinggi).

Klien mengatakan semenjak dirawat, pola tidurnya menjadi teratur karena klien

bisa tidur siang. Namun, untuk tidur malam klien sering terbangun karena

merasakan nyeri. Selain itu klien juga merasa sangat tidak nyaman dan pegal

karena kaki kanannya selalu lurus. Saat di RS klien baru bisa tidur ketika

menjelang subuh.

3.1.1.2.1.6 Mempertahankan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial

Klien hampir tidak pernah mengikkuti kegiatan sosial di lingkungan rumah karena

lingkungan rumah saat ini baru ditempati dan klien lebih banyak menghabiskan

waktu di kantor atau berkumpul dengan teman-teman kantor sepulang kerja. Klien

juga sering mengunjungi saudara nya yang tinggal tidak jauh dari rumah

kontrakannya saat ini, terutama di akhir pekan.

3.1.1.2.1.7 Mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mencegah masalah

dalam hidupnya (fisik dan psikososial)

Klien jarang berobat ke pelayanan kesehatan. Jika ada keluhan sakit klien lebih

memilih minum obat warung. Untuk masalah pribadi, klien lebih sering bercerita

dengan kakaknya atau ke teman-teman. Namun itu hanya sedikit saja. Klien lebih

memilih memendam masalahnya sendiri. Komunikasi klien dengan istri juga tidak

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 77: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

66

Universitas Indonesia

terlalu baik, oleh karena itu 4 bulan terakhir ini klien memilih tinggal pisah rumah

dengan istri dan kedua orang anaknya.

3.1.1.2.1.8 Kemampuan pasien menggunakan potensi dan kekurangan dirinya

untuk mencapai perkembangan yang optimal.

Klien jarang marah, kondisi saat ini klien pasrah dan menyerahkan kepada

keluarganya untuk mengurusnya meskipun klien tetap sebagai pengambil

keputusan utama untuk tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

3.1.1.2.2 Developmental Self-Care (Kebutuhan Perawatan Diri Sesuai dengan

Perkembangan)

Dalam mempertahankan keadekuatan material seperti cairan, makanan dan

kondisi yang penting untuk perkembangan tubuh, pasien sebagai seorang yang

telah dewasa mampu memenuhinya sendiri. Selama dirawat, klien mampu makan,

dan minum sendiri, bantuan yang dibutuhkan hanya minimal. Namun, klien

membutuhkan bantuan yang cukup besar dari keluarga dalam hal toileting dan

dressing karena klien masih tidak berani menggerakkan ekstremitas bawah.

Saat klien belum belum pensiun, sampai saat sebelum sakit klien masih mampu

untuk mencukupi kebutuhannya dan keluarga. Pasien mempunyai landasan

kognitif yang bagus, karena pasien mampu mencerna penjelasan dari perawat

meskipun dalam pengambilan keputusan tetap perlu waktu.

Anggota keluarga yang datang dan menemani secara bergantian. Namun yang

paling sering menemani adalah Ibu klien sampai Ibu sakit karena kelelahan. Saat

tidak ada Ibu yang menemani klien lebih sering sendiri terutama pagi sampai sore

hari. Beberapa kali klien menerima kunjungan dari rekan kerja. Klien mengatakan

kunjungan dari rekan kerja selama klien dirawat dirasakan sangat membahagiakan

dan membuat klien merasa dihargai.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 78: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

67

Universitas Indonesia

3.1.1.2.3 Health Deviation (Kebutuhan yang berhubungan dengan

Penyimpangan Status Kesehatan).

Klien memahami kondisinya saat ini. Beberapa kali klien menanyakan tentang

program pengobatan yang ia jalani. Klien juga menanyakan apa yang tidak boleh

dan apa yang boleh dilakukan terkait dengan kondisi kesehatannya saat ini. Klien

mengatakan sebelumnya sudah pernah mengalami kecelakaan lalu lintas tetapi

tidak sampai patah tulang dan tidak sampai dirawat di rumah sakit, sehingga

untuk kondisinya saat ini klien belum punya pengalaman sama sekali. Klien tidak

mengetahui efek samping pengobatan. Klien kooperatif saat dilakukan tindakan

dan mau menjalani seluruh program pengobatan. Klien akan bertanya jika ada

yang tidak dipahami terkait program pengobatan misalnya klien bertanya jika luka

/ balutannya tidak diganti setiap hari. Klien merasakan kondisi sakitnya saat ini

merupakan cobaan dari Allah dan kesempatan untuknya beristirahat. Klien

semangat untuk pulihh agar bisa mencari uang lagi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 79: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

68 Universitas Indonesia

3.1.2 Rencana Asuhan Keperawatan

3.1.2.1 Analisa data dan Diagnosa

Tabel 3.4

Tahap 1 Analisa Data dan Diagnosa

Therapeutic Self

Care Demand Self-Care (Dependent Care) Agency Self-Care Deficits

(Pernyataan

Diagnosis)

Prescriptive

Operation Methods

of Helping Particularized Self-

Care Requisite Abilities Limitation

Adequacy

Yes No

Mempertahankan

kecukupan asupan

udara/ respirasi

RR=22 kali/menit.

Ekspansi dada maksimal saat

inspirasi dan ekspirasi mampu

dilakukan. Klien tidak menggunakan

otot bantu pernafasan.

Klien mengatakan semenjak di RS

berhenti merokok dan klien tidak

merasa tersiksa akan kondisi

tersebut.

Klien terkadang mengeluh

sesak napas dan disertai

batuk. Jika batuk, dada

kanan atas terasa sangat

nyeri.

Hasil pemeriksaan

radiologi menunjukkan

adanya giant bullae di

apeks paru kanan.

- √ Kerusakan

pertukaran gas

berhubungan

dengan perubahan

membrane alveoral-

kapiler akibat giant

bullae

Desain Sistem

Keperawatan:

Supportive

educative system

Action for, Guiding,

supporting,

teaching

Mempertahankan

keseimbangan

antara aktivitas dan

istirahat

Kaki telah terpasang backslap dan

verban elastis untuk imobilisasi

tulang yang patah.

Klien mengeluh nyeri

dengan skala nyeri 6-8

terutama ketika dilakukan

pergantian balutan.

Ketika nyeri klien hanya

bisa diam sambil meringis

menahan sakit.

- √ Nyeri akut

berhubungan

dengan adanya

agen injury fisik

terputusnya

kontinuitas jaringan

akibat trauma

Desain Sistem

Keperawatan:

Wholly

Compensatory

system

Acting for atau

doing for, Guiding,

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 80: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

69 Universitas Indonesia

Therapeutic Self

Care Demand Self-Care (Dependent Care) Agency Self-Care Deficits

(Pernyataan

Diagnosis)

Prescriptive

Operation Methods

of Helping Particularized Self-

Care Requisite Abilities Limitation

Adequacy

Yes No

Setiap terasa nyeri klien

selalu meminta untuk

diberikan analgesik. Klien

belum memahami efek

samping pemberian

analgesik yang berlebihan.

Supporting,

Providing a

developmental

environment,

Teaching

Klien sering meminta tolong kepada

perawat untuk membenarkan

letak/posisi kakinya yang mengalami

fraktur

Klien mengalami multiple

fraktur di fibula, tibia dan

calcaneus saat ini

imobilisasi dengan

backslab dan elevasi

bantal.

Klien tidak berani

menggerakkan tubuh

karena takut kakinya makin

nyeri sehingga terkadang

klien dalam posisi duduk

yang lama.

Kekuatan otot pada

ekstremitas atas normal,

ekstremitas bawah bagian

kiri tidak dpt dikaji karena

nyeri dan imobilisasi.

- √ Kerusakan

mobilitas fisik

berhubungan

dengan kerusakan

pada struktur tulang

dan jaringan lunak

disekitarnya.

Desain Sistem

Keperawatan:

Partly

Compensatory

system

Acting for atau

doing for, Guiding,

Supporting,

Providing a

developmental

environment,

Teaching

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 81: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

70 Universitas Indonesia

Therapeutic Self

Care Demand Self-Care (Dependent Care) Agency Self-Care Deficits

(Pernyataan

Diagnosis)

Prescriptive

Operation Methods

of Helping Particularized Self-

Care Requisite Abilities Limitation

Adequacy

Yes No

Klien mulai untuk latihan mobilisasi

untuk bangun dari tempat tidur

dengan usaha sendiri dan memulai

latihan penggunaan alat bantu

berjalan dengan bantuan dan

pengawasan perawat.

Saat mobilisasi pindah dari

tempat tidur pasien masih

ragu-ragu dan takut.

- Risiko Jatuh

dengan faktor risiko

penggunaan alat

bantu berjalan dan

riwayat fraktur

dengan pemasangan

ORIF.

Desain Sistem

Keperawatan:

Partly

Compensatory

system

Acting for atau

doing for,

Supporting,

Teaching

Mempertahankan

kecukupan asupan

cairan

Klien kooperatif jika diminta

minum. Namun, karena sering

sendirian dan tidak ada yang

menemani klien kesulitan untuk

mengambil minum yang ada di

meja.

Klien mengalami fraktur

terbuka dengan panjang

luka pada area tumit 13 cm

dan pada area cruris 7 cm.

Pada balutan terdapat

rembesan darah hingga

membasahi backslab dan

perlak dibawahnya.

Klien minum harus sering-

sering diingatkan dan

dibantu mendekatkan

minuman karena tidak

berani bergerak untuk

menggapai minum di meja.

- √ Defisit volume

cairan berhubungan

dengan kehilangan

darah berlebihan

pada area fraktur

terbuka akibat

trauma dan intake

cairan yang tidak

adekuat.

Desain Sistem

Keperawatan:

Partly

Compensatory

system

Acting for atau

doing for,

Supporting,

Teaching

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 82: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

71 Universitas Indonesia

Therapeutic Self

Care Demand Self-Care (Dependent Care) Agency Self-Care Deficits

(Pernyataan

Diagnosis)

Prescriptive

Operation Methods

of Helping Particularized Self-

Care Requisite Abilities Limitation

Adequacy

Yes No

Hasil pemeriksaan

laboratorium menunjukkan

nilai Hb: 8,6 g/dl; Ht: 26%,

Eritrosit:2,87juta/ul,

Na:131mmol/l.

Klien tampak pucat, lemas,

konjungtiva anemis.

Mencegah bahaya

akibat kondisi

Klien menglami luka

terbuka di kaki kanan.

Klien belum mengetahui

dampak kebersihan diri

terhadap pencegahan

infeksi.

Hasil pemeriksaan

leukosit: 12000/ul

(meningkat).

- √ Risiko infeksi

dengan faktor risiko

adanya luka

terbuka.

Desain Sistem

Keperawatan:

Partly

Compensatory

system

Acting for atau

doing for, Guiding,

Supporting,

Providing a

developmental

environment,

Teaching

Klien mengalami luka

terbuka, terjadi kerusakan

jaringan lunak di sekitar

area luka, kulit klien di

sekitar luka fraktur terbuka

- √ Kerusakan

integritas kulit

berhubungan

dengan faktor

mekanik berupa

Desain Sistem

Keperawatan:

Partly

Compensatory

system

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 83: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

72 Universitas Indonesia

Therapeutic Self

Care Demand Self-Care (Dependent Care) Agency Self-Care Deficits

(Pernyataan

Diagnosis)

Prescriptive

Operation Methods

of Helping Particularized Self-

Care Requisite Abilities Limitation

Adequacy

Yes No

mengelupas dan cenderung

lembab akibat rembesan

luka yang mengenai kasa

balutan.

gesekan pada kulit

akibat trauma.

Acting for atau

doing for, Guiding,

Supporting,

Providing a

developmental

environment,

Teaching

Klien mau menggerakkan jari-jari

kaki, klien melaporkan jika ujung

kaki makin bengkak

Klien terpasang backslab

dan elastic verban, ujung

kaki yang tidak tertutup

verban tampak bengkak,

Klien tidak bisa merasakan

sensasi di 3 jari kakinya.

- √ Risiko disfungsi

neurovaskuler

perifer dengan

faktor risiko

imobilisasi, fraktur,

kompresi mekanik

akibat pemasangan

backslab dan

verban elastis.

Partly

Compensatory

system

Acting for atau

doing for, Guiding,

Supporting,

Providing a

developmental

environment,

Teaching

Kemampuan

pasien dalam

pemenuhan proses

Klien sering makan buah-buahan.

Buah-buahan yang diberikan oleh

bagian gizi RS hampir selalu

Klien mengalami

keterbatasan dalam

mobilisasi. Aktivitas klien

- √ Risiko Konstipasi

berhubungan

dengan faktor risiko

Desain Sistem

Keperawatan:

Partly

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 84: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

73 Universitas Indonesia

Therapeutic Self

Care Demand Self-Care (Dependent Care) Agency Self-Care Deficits

(Pernyataan

Diagnosis)

Prescriptive

Operation Methods

of Helping Particularized Self-

Care Requisite Abilities Limitation

Adequacy

Yes No

eliminasi dan

eksresi

dihabiskan oleh klien hanya di tempat tidur

dengan posisi terlentang.

Pola BAB klien tidak

teratur, bahkan sempat 5

hari tidak BAB.

penurunan aktivitas

fisik harian akibat

imobilisasi

Compensatory

system

Acting for atau

doing for, Guiding,

Supporting,

Providing a

developmental

environment,

Teaching

3.1.2.2 Diagnosa dan Rencana Intervensi Keperawatan

Tabel 3.5

Diagnosa Keperawatan, Rencana Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

Nyeri akut berhubungan

dengan adanya agen

injury fisik berupa

terputusnya kontinuitas

jaringan akibat trauma

NOC:

Client satisfaction: pain

management, Discomfort

level, Pain control, Pain

level.

NIC: Pain Management (1400)

Action for

- Mempertahankan imobilisasi pada area yang fraktur menggunakan

bidai/backslab dan mengevaluasi kepatenan backslab dalam mempertahankan

area fraktur tetap pada alignment normal.

- Meninggikan dan mensuport ekstremitas yang mengalami cedera

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 85: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

74 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

Kriteria Hasil:

Klien mampu:

- Melaporkan intensitas

/ level nyeri

- Melaporkan bahwa

manajemen nyeri yang

dilakukan berhasil

meningkatkan

kenyamanan tanpa

efek samping

- Menjelaskan metode

penanganan nyeri

secara

nonfarmakologis

- Melakukan aktivitas /

ADL tanpa kesulitan

sesuai dengan

toleransi/kemampuan

- Menyatakan bahwa

dapat beristirahat/tidur

yang cukup

- Melakukan latihan ROM aktif-pasif pada area yang sehat untuk mencegah

ketegangan otot yang akan memperparah nyeri.

- Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan seperti massage dan

perubahan posisi sesuai toleransi klien

- Lakukan pengkajian lengkap nyeri meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,

frekuensi, kualitas, intensitas atau tingkat keparahan nyeri serta faktor yang

memicu nyeri

- Observasi tanda nonverbal ketidaknyamanan

- Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengkaji pengalaman nyeri

klien serta respon klien terhadap nyeri yang dialami

- Kaji pengetahuan klien tentang nyeri serta kepercayaan tentang nyeri yang

dirasakan

- Kaji dampak nyeri terhadap kualitas hidup klien

- Kaji faktor pemicu dari pasien yang dapat memperparah nyeri

- Evaluasi pengalaman nyeri terdahulu

- Kaji kesiapan klien dalam menerima strategi mengatasi nyeri serta

kontraindikasi dari strategi yang nantinya akan dilaksanakan.

- Kaji penanganan nyeri secara farmakologis yang telah diperoleh klien

- Evaluasi efektivitas penggunaan analgesic maupun metode penanganan nyeri

secara nonfarmakologis.

Guidance

- Berikan informasi terkait nyeri seperti penyebab, lama nyeri akan dirasakan,

maupun ketidaknyamanan yang bisa diantisipasi dari suatu prosedur

- Ajarkan teknik mengatasi nyeri secara nonfarmakologis seperti: relaksasi,

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 86: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

75 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

guided imagery, terapi music, distraksi, terapi aktivitas, aplikasi panas/dingin,

dan massage sebelum, setelah dan jika memungkinkan saat melakukan tindakan

yang memicu nyeri

Support

- Damping klien dan keluarga dalam mengatasi masalah nyeri

- Kolaborasi dengan orang terdekat klien untuk membantu penerapan metode

penanganan nyeri secara nonfarmakologis

- Kolaborasi pemberian analgesic, terutama sebelum melakukan

tindakan/aktivitas yang merangsang nyeri

- Hindari penggunaan alas plastic dibawah ekstremitas yang cedera untuk

mencegah ketidaknyamanan akibat panas.

Providing the Developmental Environment

- Kontrol kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi respon klien terhadap

ketidaknyamanan

- Kurangi atau hilangkan faktor pemicu atau yang dapat meningkatkan nyeri

Teaching

- Ajarkan metode farmakologis dalam mengatasi nyeri

- Dorong klien untuk menggunakan medikasi nyeri yang adekuat

NIC: Analgesic Administration (2210)

Action for

- Cek order terkait medikasi nyeri seperti jenis, dosis, frekuensi serta waktu

pemberian:

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 87: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

76 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

Klien mendapatkan terapi ketorolac 3 x 30 mg.

- Kaji riwayat alergi obat terutama analgesic

- Evaluasi efektivitas pemberian analgesic

- Gunakan jalur IV untuk medikasi yang akan diberikan terus menerus

- Berikan medikasi sebelum melakukan tindakan yang merangsang nyeri seperti

perawatan luka.

Teaching

- Jelaskan pada klien untuk meminta obat anti nyeri sebelum nyeri terasa makin

berat.

- Berikan informasi kepada klien terkait obat yang diberikan serta efek samping

yang mungkin terjadi.

Defisit volume cairan

berhubungan dengan

kehilangan darah

berlebihan pada area

fraktur terbuka akibat

trauma dan intake cairan

yang tidak adekuat.

NOC:

Fluid balance, Hydration

Kriteria Hasil:

Klien akan:

- Terjadi keseimbangan

cairan masuk dan

keluar dalam 24 jam

- Menjelaskan tindakan

yang harus dilakukan

jika terjadi perdarahan

- HR 60-100kali/menit,

Tekanan Darah

NIC: Fluid Management (4120)

Acting for atau doing for:

- Berikan terapi cairan dalam suhu ruangan sesuai dengan terapi medis

- Monitor status hidrasi (kelembaban membrane mukosa, keadekuatan nadi,

tekanan darah).

Supporting:

- Pertahankan pencatatan intake dan output yang akurat

Guidance:

- Anjurkan klien untuk makan dan minum yang cukup bila berlu libatkan

keluarga atau caregiver

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 88: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

77 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

Sistolik 90 – 120

mmHg, diastolik 70 –

80 mmHg, Urine

Output >

0,5ml/kgBB/jam

- Intake Cairan 30 – 50

ml/KgBB/24 jam.

NIC: Bleeding Precaution (4010)

Acting for atau doing for:

- Berikan produk darah

- Awasi secara ketat terhadap adanya perdarahan

- Catat nilai Hb dan Ht sebelum dan sesudah kehilangan darah

- Amati tanda dan gejala adanya perdarahan persisten

- Monitor status koagulasi pasien (PT, PTT, fibrinogen, trombosit)

- Amati tanda-tanda vital

Guiding:

- Jelaskan kepada klien dan keluarga jika terjadi tanda dan gejala perdarahan

Supporting:

- Lindungi klien dari trauma yang dapat memicu perdarahan lebih lanjut

Providing a developmental environment:

- Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif

Teaching:

- Ajarkan kepada klien untuk meningkatkan asupan makanan yang kaya akan

vitamin K

- Ajari pasien dan keluarga tanda dan gejala perdarahan dan tindakan yang segera

harus dilakukan ketika hal tersebut terjadi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 89: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

78 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

NIC: Bleeding Reduction (4020)

Acting for atau doing for:

- Gunakan pressure dressing, jika dibutuhkan

- Pertahankan akses IV yang paten

- Identifikasi penyebab perdarahan

- Monitor jumlah dan sumber kehilangan darah

- Monitor status cairan (intake dan output)

- Inspeksi perdarahan dari memar akibat trauma, rembesan dari area luka.

- Evaluasi respon psikologis klien terhadap perdarahan

Supporting:

- Lakukan tindakan pencegahan yang tepat saat menangani produk darah atau

sekresi tubuh yang mengandung darah

NIC: Blood Product Administration (4030)

Acting for atau doing for:

- Awali pemberian produk darah dengan cairan saline isotonik

- Siapkan IV pump (jika ada) yang digunakan untuk transfuse darah

- Lakukan pemasangan infuse untuk transfuse

- Hindari transfuse lebih dari 1 unit darah dalam satu waktu, kecuali jika sangat

diperlukan dan klien dalam kondisi yang memungkinkan

- Ganti bloodset tiap 4 jam

- Berikan Normal saline ketika transfuse telah selesai

- Cek kembali order dokter

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 90: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

79 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

- Catat riwayat transfusi klien

- Cek kembali informed consent

- Cek kembali ketepatan nama klien, golongan darah, rhesus, nomor seri kantong

darah, tanggal kadaluarsa kemudian catat/dokumentasikan pada form yang

tersedia

- Awasi area penusukan / IV site terhadap tanda dan gejala rembesan, flebitis

atau infeksi lokal.

- Monitor TTV sebelum dan sesudah transfusi

- Awasi terjadinya reaksi transfuse

- Awasi terjadinya overload cairan

- Awasi dan atur tetesan cairan selama transfusi

- Hindari pemberian medikasi IV atau cairan selain NaCl ke dalam darah atau

jalur pemberian darah/blood set.

- Hindari pemberian produk darah yang telah berada di luar pendingin selama

lebih dari 4 jam.

Supporting:

- Pastikan produk darah telah tersedia dan dilakukan crossmatch dengan pasien

- Dokumentasikan waktu dan jumlah darah yang ditransfusi

- Hentikan transfuse jika terjadi reaksi transfuse

Teaching:

- Ajarkan klien tentang tanda dan gejala reaksi transfuse (kemerahan, pusing,

sesak napas, dan nyeri dada).

NIC: Shock Prevention (4260)

Acting for atau doing for:

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 91: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

80 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

- Pasang IV line ukuran besar

- Berikan terapi oksigen

- Monitor kompensasi awal respon syok (TD normal, hipotensi moderate 15-

25mmHg, slight delay capillary refill, kulit pucat/dingin, slight tachypnea, mual

dan muntah, peningkatan rasa haus dan kelemahan)

- Monitor gejala awal respon inflamasi (peningkatan suhu, takikardia, takipnea,

peningkatan leukosit).

Supporting:

- Posisikan pasien dalam posisi supine, kaki elevasi

Teaching:

- Ajarkan kepada klien dan keluarga terkait faktor presipitasi dari syok, tanda dan

gejala terjadinya syok serta tindakan yang harus dilakukan jika menemukan

tanda dan gejala tersebut.

Kerusakan mobilitas fisik

berhubungan dengan

kerusakan pada struktur

tulang dan jaringan lunak

disekitarnya.

NOC:

Ambulation, body

mechanics performance,

client satisfaction:

functional assistance,

coordinated movement,

transfer performance.

Kriteria hasil:

Klien mampu

NIC: Ambulation (0221)

Acting for atau doing for:

- Kolaborasi dengan fisioterapi terkait program/rencana ambulasi klien

Guiding:

- Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian yang tidak ketat agar nyaman

dalam bergerak

- Anjurkan klien untuk mulai melatih untuk duduk ditempat tidur, di pinggir

tempat tidur, di kursi secara bertahap sesuai toleransi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 92: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

81 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

- Mendefinisikan tujuan

dalam peningkatan

ambulasi dan latihan

- Menyatakan

peningkatan kekuatan

dan kemampuan untuk

bergerak

- Menyatakan

berkurangnya

ketakutan untuk jatuh

dan nyeri yang

berhubungan dengan

aktivitas fisik

- Mendemonstrasikan

kemampuan dalam

penggunaan alat bantu.

Supporting:

- Damping klien ketika melakukan perpindahan dari tempat tidur ke kursi

Providing a developmental environment:

- Rendahkan posisi tempat tidur

Teaching:

- Ajarkan pasien bagaimana cara memposisikan tubuh selama proses transfer

- Ajarkan kepada pasien dan keluarga/caregiver terkait cara berpindah yang aman

NIC: Bed Rest Care (0740)

Teaching

- Mengajarkan latihan di tempat tidur untuk area tubuh yang tidak mengalami

fraktur (latihan ROM aktif-pasif)

- Motivasi keluarga untuk memperhatikan kebersihan tubuh klien

Support

- Posisikan sesuai dengan kesejajaran dan postur anatomis tubuh

- Hindari penggunaan linen yang kasar

- Pertahankan linen tetap kering, bersih dan tidak kusut

- Pasang pelindung tempat tidur

- Letakkan tombol bel di tempat yang mudah terjangkau oleh klien

- Letakkan meja di dekat tempat tidur di area yang mudah terjangkau oleh klien

- Lakukan Rom aktif – pasif

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 93: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

82 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

Action for

- Monitor kondisi kulit pada ekstremitas yang diimobilisasi

Kerusakan pertukaran gas

berhubungan dengan

perubahan membran

alveoral-kapiler akibat

giant bullae

NOC:

Respiratory status, gas-

exchange, ventilation

Kriteria Hasil:

Klien akan:

- Mendemonstrasikan

peningkatan ventilasi

dan oksigenasi yang

adekuat ditandai

dengan nilai AGD

dalam batas normal

- Tidak Menunjukkan

tanda distress

pernapasan

- Menyatakan

pemahaman terkait

suplementasi oksigen

dan intervensi

terapeutik lain.

NIC: Oxygen Therapy (3320)

Acting for atau doing for:

- Bersihkan mulut, hidung dari sekresi yang akan menghambat aliran oksigen

- Pertahankan kepatenan jalan napas

- Persiapkan set pemberian oksigen dan berikan oksigen melalui humidifier.

- Berikan terapi oksigen sesuai dengan order dokter: Oksigen 3 – 4 liter/menit

melalui nasal kanul

- Monitor oxygen liter flow

- Monitor posisi oxygen delivery device

- Periksa secara periodik untuk memastikan bahwa konsentrasi oksigen yang

diberikan tetap sesuai dengan order awal

- Cek keefektivan terapi oksigen (menggunakan oksimetri atau pemeriksaan

AGD)

Supporting:

- Awasi tanda dan gejala keracunan oksigen

- Monitor alat pemberian oksigen dan pastikan tidak mengganggu kemampuan

klien untuk bernapas

- Awasi kondisi kecemasan klien berkaitan dengan pemberian terapi oksigen

NIC: Medication Management (2380)

Acting for atau doing for:

- Cek instruksi dokter terkait pemberian terapi inhalasi:

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 94: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

83 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

Berotec 1 cc + bisolvon 1cc 3 kali/hari.

- Persiapkan alat yang dibutuhkan untuk pemberian inhalasi.

- Kolaborasi dengan DPJP Bedah Paru terkait hal yang boleh dan tidak boleh

dilakukan klien agar tidak memperparah kondisi kerusakan paru akibat bullae:

Saat ini klien tidak boleh batuk keras/harus menahan batuk.

- Kaji waktu makan terakhir sebelum klien mulai diberikan terapi inhalasi

Guiding:

- Ajarkan klien cara bernapas selama terpasang masker inhalasi:

Klien diminta bernapas dengan pelan, dalam dan teratur saat menghirup inhalasi

Supporting:

- Evaluasi respon klien sebelum, saat dan setelah pemberian inhalasi:

Tanda yang perlu diawasi: mual/muntah, batuk, takikardi, dan pusing.

Risiko infeksi dengan

faktor risiko adanya luka

terbuka.

NOC:

Risk control: infectious

process, Immune status

Kriteria hasil:

Klien akan:

- Terbebas dari tanda

dan gejala infeksi

- Menyebutkan tanda

dan gejala infeksi

- Mendemonstrasikan

NIC: Infection Control (6540)

Acting for atau doing for:

- Bersihkan lingkungan sekitar pasien secara rutin terutama setelah digunakan

untuk prosedur terhadap pasien (koordinasi dengan cleaning service untuk

membersihkan)

- Ganti peralatan setiap masing-masing prosedur

- Gunakan sarung tangan sesuai dengan ketentuan universal precaution

- Gunakan scrub clothes atau gown ketika menangani bahan infeksius

- Gunakan sarung tangan steril ketika melakukan prosedur steril seperti

perawatan luka

- Bersihkan area permukaan kulit dengan agen anti bakterial jika diperlukan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 95: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

84 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

perawatan yang sesuai

untuk area yang rawan

infeksi

- Mempertahankan nilai

leukosit dalam batas

normal

- Mendemonstrasikan

tindakan higienis yang

tepat seperti mencuci

tangan, gosok gigi,

dan perawatan perineal

- Ganti infuse dan dressing nya secara rutin maksimal 3 hari sekali atau sesuai

dengan CDC guideline terbaru

- Berikan terapi antibiotic

Guiding:

- Saat dilakukan tindakan perawatan luka, anjurkan keluarga atau penunggu klien

untuk meninggalkan area klien

- Motivasi klien dan keluarga untuk sering membersihkan tangan menggunakan

sabun antimikroba atau handrub sebelum dan sesudah beraktivitas atau

memegang suatu benda.

- Anjurkan pengunjung untuk selalu mencuci tangan ketika masuk dan

meninggalkan ruang perawatan pasien.

- Anjurkan klien untuk memenuhi asupan cairan yang adekuat

- Anjurkan klien untuk istirahat yang cukup

Supporting:

- Pastikan teknik perawatan luka yang tepat

Providing a developmental environment:

- Batasi jumlah pengunjung

Teaching:

- Ajarkan klien teknik mencuci tangan yang benar

- Ajarkan kepada klien dan keluarga terkait tanda dan gejala infeksi dan kapan

harus melapor ke tenaga kesehatan

- Ajarkan kepada klien dan keluarga cara mencegah infeksi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 96: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

85 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

NIC: Infection Protection (6550)

Acting for atau doing for:

- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal maupun sistemik

- Monitor jumlah hitung granulosit, WBC, dan hasil yang lain.

- Lakukan perawatan kulit yang sesuai pada area yang mengalami edema

- Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap adanya kemerahan, hangat atau

rembesan

- Inspeksi kondisi luka atau luka operasi

- Lakukan pemeriksaan kultur, jika diperlukan

Guiding:

- Anjurkan klien untuk meningkatkan latihan

Kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan

faktor mekanik berupa

gesekan pada kulit akibat

trauma.

NOC:

Tissue integrity: skin and

mucous membrane, wound

healing: primary

intention, secondary

intention

Kriteria Hasil:

Klien akan:

- Memperoleh kembali

integritas permukaan

NIC: Skin Care: Topical Treatment (3584)

Acting for atau doing for:

- Berikan pelembab untuk bibir dan area membrane mukosa jika diperlukan

- Letakkan alas tahan air dibawah area luka yang mengalami rembesan/ diarea

kaki yang mengalami fraktur

- Inspeksi kulit setiap hari terutama pada area yang berisiko terjadinya

breakdown

Guiding:

- Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang longgar. Area kaki yang

mengalami fraktur hanya ditutupi oleh selimut yang lembut

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 97: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

86 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

kulit

- Melaporkan sensasi

yang mengganggu atau

nyeri pada area kulit

yang mengalami

kerusakan

- Mendemonstrasikan

pemahaman akan

rencana penyembuhan

kulit dan pencegahan

agar tidak terjadi

kerusakan berulang

- Menjelaskan tindakan

untuk melindungi dan

menyembuhkan kulit

serta merawat lesi

dikulit.

Supporting:

- Hindari penggunaan linen atau alas tempat tidur yang kasar

- Pertahankan area tempat tidur dalam kondisi kering dan bersih

NIC: Skin Surveillance (3590)

Acting for atau doing for:

- Dokumentasikan perubahan kondisi kulit

- Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap adanya kemerahan, suhu yang

ekstrim, edema atau rembesan

- Observasi warna, suhu, pembengkakan, denyut nadi, tekstur, edema dan luka

pada ekstremitas

- Inspeksi kondisi luka bekas operasi

- Monitor kondisi kulit pada area luka yang mengeluarkan rembesan

NIC: Wound Care (3660)

Acting for atau doing for:

- Lepaskan balutan dan plester

- Cukur rambut/bulu di sekitar area luka

- Bersihkan benda asing disekitar luka (jika ada)

- Bersihkan luka dengan normal saline atau pembersih nontoksik

- Gunakan ointment atau modern dressing sesuai dengan kondisi luka.

- Tutup area luka dengan kasa steril, lalu kasa gulung atau plester kemudian

diakhiri dengan perban elastic untuk memfiksasi backslab

- Pertahankan dan gunakan teknik steril saat perawatan luka

- Ganti dressing sesuai dengan banyaknya rembesan atau eksudat yang tembus

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 98: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

87 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

pada balutan luka

- Inspeksi luka setiap pergantian balutan

- Dokumentasikan perubahan kondisi luka

- Monitor karakteristik luka (drainage, warna, ukuran, dan bau)

Providing a developmental environment:

- Hindari posisi yang mengakibatkan penekanan pada area yang mengalami luka.

Teaching:

- Ajarkan kepada klien dan keluarga prosedur perawatan luka.

Risiko disfungsi

neurovaskuler perifer

dengan faktor risiko

imobilisasi, fraktur,

kompresi mekanik akibat

pemasangan backslab dan

verban elastis.

NOC:

Circulatory status,

neurological status, tissue

perfusion: peripheral.

Kriteria Hasil:

Klien dan perawat mampu

mempertahankan perfusi

jaringan yang ditandai

dengan nadi dorsalis pedis

yang teraba, kekuatannya

sama antara kanan dan

kiri, kulit hangat dan

kering, sensasi dapat

dirasakan, TTV stabil.

NIC: Peripheral Sensation Management

Action for atau doing for:

- Evaluasi denyut nadi perifer pada bagian distal ekstremitas yang mengalami

cedera menggunakan palpasi, ukur kualitasnya dan bandingkan dengan area

yang sehat

- Kaji capillary return, warna kulit, dan suhu bagian distal area yang mengalami

fraktur

- Kaji adanya edema sepanjang ekstremitas yang mengalami cedera dengan

mengukur besarnya area cedera dan bandingkan dengan sisi kaki yang sehat.

Catat adanya penyebaran hematoma

- Perhatikan adanya nyeri yang ekstrim atau peningkatan rasa nyeri pada

pergerakan pasif, kehilangan sensasi, ketegangan otot, tenderness dengan

eritema, dan perubahan kekuatan nadi area distal ekstremitas yang mengalami

cedera

- Awasi tanda iskemia yang tiba-tiba pada area kaki yang cedera (tanda-tandanya

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 99: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

88 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

meliputi: penurunan suhu, pucat dan peningkatan rasa nyeri)

- Awasi adanya tenderness, pembengkakan, nyeri saat dorsofleksi kaki (tanda

humans positif)

- Monitor TTV

- Lakukan pengkajian neurovaskuler, catat adanya perubahan dalam fungsi

sensori dan motorik. Minta klien untuk melokalisasi area nyeri dan

ketidaknyamanan

- Kaji sensasi saraf peroneal dengan pinch atau pinprick pada dorsal web diantara

jari kaki pertama dan kedua serta kaji kemampuan klien untuk melakukan

dorsofleksi

- Kaji kondisi jaringan atau kulit disekitar tepi cast. Periksa apakah ada laporan

terkait persaan terbakar dibawah cast

- Lakukan kompres es disekitar area fraktur dalam periode yang singkat namun

terus menerus selama 24 – 72 jam.

Guiding

- Motivasi klien untuk melakukan latihan gerak secara rutin pada jari-jari kaki

dan sendi distal area cedera. Lakukan ambulasi dini.

Supporting

- Pertahankan elevasi pada area cedera

Risiko Jatuh dengan

faktor risiko penggunaan

alat bantu berjalan dan

riwayat fraktur dengan

NOC:

Safety behavior: fall

prevention

NIC: Fall Prevention

Action for:

- Identifikasi masalah kognitif atau fisik pasien yang dapat meningkatkan

potensi jatuh di lingkungan tertentu

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 100: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

89 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

ORIF. Kriteria Hasil:

Klien mampu:

- Melakukan

pencegahan terhadap

kejadian jatuh

- Mengdentifikasi hal-

hal yang

meningkatkan risiko

jatuh

- Melaporkan kondisi

bebas dari jatuh

- Kaji riwayat jatuh pasien dan keluarga

- Kaji gaya berjalan, keseimbangan dan tingkat kelelahan pasien saat melakukan

ambulasi.

- Tanyakan persepsi pasien terkait keseimbangan (jika diperlukan)

- Kaji kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur ke kursi dan

sebaliknya

Guiding:

- Ajarkan pasien untuk beradaptasi terhadap perubahan / modifikasi dalam gaya

berjalan

- Orientasikan pasien dengan lingkungan di sekitar tempat tidur dan ruang

perawatan

Providing a developmental environment:

- Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan potensi jatuh

pasien

- Berikan alat bantu berjalan untuk mempertahankan keseimbangan.

- Letakkan barang-barang di tempat yang udah di jangkau oleh pasien

- Letakkan kursi dengan tinggi yang sama dengan tempat tidur agar pasien

mudah saat berpindah

- Pasang side rail saat pasien di tempat tidur

- Posisikan tempat tidur pada posisi yang rendah

- Pertahankan lantai di sekitar tempat tidur pasien tetap kering

- Berikan penerangan yang adekuat pada lingkungan pasien

- Anjurkan pasien untuk menggunakan alas kaki yang tepat saat akan melakukan

latihan berjalan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 101: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

90 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan

(Berdasarkan Prioritas)

Rencana Intervensi Keperawatan

NOC dan Kriteria Hasil Rencana Intervensi

- Berikan pasien tanda gelang kuning dan segitiga kuning di tempat tidur.

- Letakkan penanda risiko jatuh di pintu ruang rawat pasien.

Supporting:

- Dampingi pasien yang mengalami masalah keseimbangan saat melakukan

ambulasi

- Libatkan keluarga dalam mengidentifikasi risiko jatuh dan tindakan

pencegahannya.

Risiko Konstipasi

berhubungan dengan

faktor risiko penurunan

aktivitas fisik harian

akibat imobilisasi

NOC:

Bowel elimination,

Hydration

Kriteria Hasil:

Klien mampu

- mempertahankan

frekuensi defekasi tiap

1 – 3 hari sekali

dengan konsistensi

feses yang lunak

- mengidentifikasi

tindakan untuk

mencegah konstipasi

NIC: Constipation Management

Action for:

- Monitor tanda dan gejala konstipasi

- Monitor bising usus

- Monitor karakteristik feses: frekuensi, konsistensi dan volume

- Identifikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi

Guiding:

- Motivasi klien untuk makan makanan tinggi serat

Supporting:

- Konsultasi dengan dokter tentang penurunan dan peningkatan bising usus

- Dukung intake cairan sesuai dengan BB pasien

- Kolaborasikan pemberian laksatif (jika diperlukan)

- Kaji kondisi yang diinginkan klien untuk memudahkan BAB

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 102: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

91 Universitas Indonesia

3.1.2.3 Implementasi dan Evaluasi Intervensi Keperawatan

Tabel 3.6

Implementasi dan Evaluasi Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

Nyeri akut berhubungan

dengan adanya agen injury

fisik berupa terputusnya

kontinuitas jaringan akibat

trauma

- Melakukan pengkajian lengkap nyeri meliputi

lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas atau tingkat keparahan nyeri

serta faktor yang memicu nyeri baik verbal maupun

nonverbal

- Menggunakan strategi komunikasi terapeutik untuk

mengkaji pengalaman nyeri klien serta respon klien

terhadap nyeri yang dialami

- Mengkaji pengetahuan klien tentang nyeri serta

kepercayaan tentang nyeri yang dirasakan

- Mengkaji dampak nyeri terhadap kualitas hidup

- Mempertahankan imobilisasi pada area yang fraktur

menggunakan bidai/backslab dan mengevaluasi

kepatenan backslab dalam mempertahankan area

fraktur tetap pada alignment normal.

- Meninggikan dan mensuport ekstremitas yang

mengalami cedera

- Melakukan latihan ROM aktif-pasif pada area yang

sehat untuk mencegah ketegangan otot yang akan

memperparah nyeri.

- Melakukan tindakan untuk meningkatkan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan pasien mengalami peningkatan

kenyamanan dan kemampuan self-care dalam

mengatasi nyeri:

S:

Klien mengatakan nyeri dibagian kaki yang patah

sudah berkurang dan tidak sampai mengganggu

waktu tidur di malam hari lagi. Nyeri hanya

dirasakan ketika ganti balutan luka. Teknik napas

dalam dan mendengarkan musik terutama saat ganti

balutan luka dirasakan sangat membantu untuk

menenangkan dan mengalihkan pikiran dari luka.

Nyeri dada masih dirasakan ketika batuk. Upaya

yang dilakukan adalah dengan menahan batuk.

O:

Klien mampu mempraktekkan teknik relaksasi dan

distraksi.

Keluarga tidak ada yang mendampingi/

menenangkan klien saat ganti balutan.

Tanda-tanda vital dalam batas normal setelah

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 103: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

92 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

kenyamanan berupa terapi musik dan perubahan

posisi sesuai toleransi klien

- Mengkaji kesiapan klien dalam menerima strategi

mengatasi nyeri serta kontraindikasi dari strategi

yang nantinya akan dilaksanakan.

- mengkaji penanganan nyeri secara farmakologis

yang telah diperoleh klien

- melakukan evaluasi efektivitas penggunaan

analgesic maupun metode penanganan nyeri secara

nonfarmakologis.

- Memberikan informasi terkait nyeri seperti

penyebab, lama nyeri akan dirasakan, maupun

ketidaknyamanan yang bisa diantisipasi dari suatu

prosedur

- Melakukan Kolaborasi dengan Ibu dan kakak klien

untuk membantu penerapan metode penanganan

nyeri secara nonfarmakologis

- Mengkaji riwayat alergi obat terutama analgesic

- Melakukan kolaborasi pemberian analgesic berupa

ketotolac 3 x 30mg sebelum melakukan

tindakan/aktivitas yang merangsang nyeri melalui

jalur IV

- mengevaluasi efektivitas pemberian analgesic

- Menjelaskan pada klien untuk meminta obat anti

nyeri sebelum nyeri terasa makin berat.

- Memberikan informasi kepada klien terkait obat

dilakukan prosedur yang memicu nyeri.

A: intensitas nyeri berkurang,

Partly compensatory nursing system masih perlu

digunakan terutama saat nyeri ketika perawatan luka

P:

Evaluasi pemberian analgesik (apakah sudah terlalu

lama atau tidak)

Latih klien agar tidak tergantung pada terapi

farmakologi.

Jelaskan efek samping pemberian analgesic jangka

panjang terhadap organ tubuh.

Lanjutkan manajemen nyeri terutama non-

farmakologik.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 104: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

93 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

yang diberikan serta efek samping yang mungkin

terjadi.

Defisit volume cairan

berhubungan dengan

kehilangan darah

berlebihan pada area

fraktur terbuka akibat

trauma

- mencatat nilai Hb dan Ht sebelum dan sesudah

kehilangan darah dan transfusi darah

- Mengamati tanda dan gejala adanya perdarahan

persisten

- Melakukan monitoring status koagulasi pasien

(trombosit)

- mengamati tanda-tanda vital

- Melindungi klien dari trauma yang dapat memicu

perdarahan lebih lanjut yaitu dengan melakukan

imobilisasi sehingga tidak terjadi pergeseran

fragmen fraktur.

- Mempertahankan klien dalam kondisi bed rest

ketika klien mengeluh lemas akibat kehilangan

darah

- Mengajarkan kepada klien untuk meningkatkan

asupan makanan berupa sayuran hijau dan buah-

buahan

- Menggunakan pressure dressing pada area luka

terbuka yang mengeluarkan rembesan darah

- mempertahankan akses IV yang paten dan

mempersiapkan

- Identifikasi penyebab perdarahan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan balance cairan seimbang antara

intake dan output, jumlah kehilangan darah makin

berkurang dan klien terhindar dari syok akibat

kehilangan darah berlebihan.

S:

Klien mengatakan tidak lagi lemas, tidak pusing dan

sudah mulai bertenaga.

Klien sudah banyak minum, sehari menghabiskan

sekitar 1800-2000ml yang diukur menggunakan

botol aqua.

O:

Balance cairan : + 170 cc / 24 jam. Luka tampak

masih rembes namun rembesan bukan berupa darah

segar lagi. Jumlah cairan/rembesan luka minimal

hanya sebatas perban di area luka.

Klien telah mendapatkan transfusi PRC sebanyak

500cc. Hasil pemeriksaan laboratorium setelah

transfusi

Hb: 10,6g/dl (rendah)

Ht: 32% (rendah)

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 105: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

94 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

- Monitor jumlah dan sumber kehilangan darah

- Monitor status cairan (intake dan output)

- Menginspeksi perdarahan dari area luka fraktur

- Mengevaluasi respon psikologis klien terhadap

perdarahan

- Menggunakan APD saat menangani produk darah

dan area di sekitar klien yang terkena rembesan

darah

- mengkaji riwayat transfusi klien

- mengecek kembali informed consent untuk

prosedur transfusi

- memastikan bahwa produk darah telah tersedia dan

telah dilakukan crossmatch dengan pasien

- mengecek kembali ketepatan nama klien, golongan

darah, rhesus, nomor seri kantong darah, tanggal

kadaluarsa kemudian catat/dokumentasikan pada

form yang tersedia

- Memberikan produk darah: PRC 500cc, terlebih

dahulu cek instruksi dokter.

- Mengawali pemberian produk darah dengan cairan

saline isotonik

- Melakukan pemasangan infus dengan vasofix no 18

untuk transfusi darah

- Mengganti bloodset tiap 4 jam

- memberikan normal saline ketika transfusi telah

Eritrosit: 3,74juta/ul (rendah)

Trombosit: 367.000/ul (normal).

RDW: 14,9% (meingkat).

Hasil pemeriksaan masih cenderung rendah namun

telah terjadi peningkatan dibandingkan dengan

sebelum transfusi.

A:

Masalah defisit volume cairan teratasi. Supportive

educative nursing system masih dibutuhkan untuk

mengontrol faktor risiko perdarahan dan

mempertahankan asupan cairan pasien.

P:

Lanjutkan intervensi terutama untuk pencegahan

perdarahan dan monitoring terhadap tanda dan

gejala perdarahan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 106: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

95 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

selesai

- mengawasi area penusukan / IV site terhadap tanda

dan gejala rembesan, flebitis atau infeksi lokal.

- Memonitor TTV sebelum dan sesudah transfusi

- mengawasi terjadinya reaksi transfuse

- mengawasi terjadinya overload cairan

- Menghindari pemberian medikasi IV atau cairan

selain NaCl ke dalam darah atau jalur pemberian

darah/blood set.

- menghindari pemberian produk darah yang telah

berada di luar pendingin selama lebih dari 4 jam.

- mendokumentasikan waktu dan jumlah darah yang

ditransfusi

- Mengajarkan klien tentang tanda dan gejala reaksi

transfuse (kemerahan, pusing, sesak napas, dan

nyeri dada).

- Memberikan terapi cairan: Ringer laktat, dalam

suhu ruangan sesuai dengan terapi medis

- memonitor status hidrasi (kelembaban membrane

mukosa, keadekuatan nadi, tekanan darah).

- Menganjurkan klien untuk makan dan minum yang

cukup bila berlu libatkan keluarga atau caregiver

- Memonitor kompensasi awal respon syok (TD

normal, hipotensi moderate 15-25mmHg, slight

delay capillary refill, kulit pucat/dingin, slight

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 107: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

96 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

tachypnea, mual dan muntah, peningkatan rasa haus

dan kelemahan)

- Memposisikan pasien dalam posisi supine, kaki

elevasi

- Mengajarkan kepada klien dan keluarga terkait

faktor presipitasi dari syok, tanda dan gejala

terjadinya syok serta tindakan yang harus dilakukan

jika menemukan tanda dan gejala tersebut.

Kerusakan mobilitas fisik

berhubungan dengan

kerusakan pada struktur

tulang dan jaringan lunak

disekitarnya.

- Menganjurkan klien untuk menggunakan pakaian

yang tidak ketat agar nyaman dalam bergerak,

menyarankan klien untuk mengenakan sarung untuk

mempermudah bergerak

- Menganjurkan klien untuk mulai melatih untuk

duduk ditempat tidur, di pinggir tempat tidur, di

kursi secara bertahap sesuai toleransi.

- Mendampingi klien ketika melakukan perpindahan

dari tempat tidur ke kursi

- Merendahkan posisi tempat tidur

- mengajarkan pasien cara memposisikan tubuh

selama proses transfer

- mengajarkan kepada pasien dan keluarga/caregiver

terkait cara berpindah yang aman

- Mengajarkan latihan di tempat tidur untuk area

tubuh yang tidak mengalami fraktur (latihan ROM

aktif-pasif)

- Memotivasi keluarga untuk memperhatikan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan klien mampu untuk melakukan self-

care ambulasi hingga berpindah dari tempat tidur ke

kursi dengan tetap mempertahankan kaki yang

mengalami fraktur dalam posisi imobilisasi

S:

Klien mengatakan sudah tidak takut jatuh jika

berpindah dari tempat tidur ke kursi.

Klien mengatakan sering melatih jari-jari kaki

kanannya namun masih belum mampu

menggerakkan banyak jika tidak dibantu oleh orang

lain karena jari klien terutama jari kelingking dan

jari tengah masih belum terlalu terasa.

O:

Klien tampak mampu berpindah dari tempat tidur ke

kursi saat perawat sedang melakukan bed making.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 108: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

97 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

kebersihan tubuh klien

Support

- Memposisikan kaki yang sakit sesuai dengan

kesejajaran dan postur anatomis tubuh

- mempertahankan linen tetap kering, bersih dan

tidak kusut

- memasang pelindung tempat tidur

- meletakkan tombol bel di tempat yang mudah

terjangkau oleh klien

- meletakkan meja di dekat tempat tidur di area yang

mudah terjangkau oleh klien

- melakukan Rom aktif – pasif terutama pada area

yang mengalami masalah

- memonitor kondisi kulit pada ekstremitas yang

diimobilisasi

- Melakukan Kolaborasi dengan fisioterapi terkait

program/rencana ambulasi klien

Klien mampu memposisikan kaki yang sakit dalam

posisi yang aman.

A:

klien sudah mampu melakukan latihan sesuai

dengan toleransi. Supportive-educative nursing

system dibutuhkan untuk latihan tahap lanjut

menggunakan alat bantu jalan.

P:

Kolaborasi dengan fisioterapi untuk penentuan

program latihan gerak post operasi terutama untuk

persiapan penggunaan alat bantu jalan

Kerusakan pertukaran gas

berhubungan dengan

perubahan membran

alveoral-kapiler akibat

giant bullae

- Mengajarkan klien untun membersihkan mulut,

hidung dari sekresi yang akan menghambat aliran

oksigen

- mempersiapkan set pemberian oksigen dan

memberikan oksigen melalui humidifier.

- memberikan terapi oksigen sesuai dengan order

dokter yaitu Oksigen 3 – 4 liter/menit melalui nasal

kanul

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan klien mampu untuk

mempertahankan kecukupan asupan udara dan tidak

ditemukan tanda-tanda hipoksia namun sumber dari

masalah paru belum teratasi

S:

Klien mengatakan sesak masih sering terasa namun

merasa lebih nyaman setelah memakai selang

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 109: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

98 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

- memeriksa secara periodik untuk memastikan

bahwa konsentrasi oksigen yang diberikan tetap

sesuai dengan order awal

- mengevaluasi keefektivan terapi oksigen

(menggunakan oksimetri atau pemeriksaan AGD)

- Mengawasi kondisi kecemasan klien berkaitan

dengan pemberian terapi oksigen

- Mengecek instruksi dokter terkait pemberian terapi

inhalasi:

Berotec 1 cc + bisolvon 1cc 3 kali/hari.

- Mempersiapkan alat yang dibutuhkan untuk

pemberian inhalasi.

- Kolaborasi dengan DPJP Bedah Paru terkait hal

yang boleh dan tidak boleh dilakukan klien agar

tidak memperparah kondisi kerusakan paru akibat

bullae:

Saat ini klien tidak boleh batuk keras/harus

menahan batuk.

- mengkaji waktu makan terakhir sebelum klien

mulai diberikan terapi inhalasi

- mengajarkan klien cara bernapas selama terpasang

masker inhalasi:

Klien diminta bernapas dengan pelan, dalam dan

teratur saat menghirup inhalasi

- mengevaluasi respon klien sebelum, saat dan

setelah pemberian inhalasi:

oksigen. Inhalasi tidak mengurangi sesak bahkan

kadang merangsang batuk. Klien mengatakan masih

bisa menahan batuk.

O:

Klien terpasang O2 nasal kanul 3 lpm. Nilai AGD

pH: 7,433 (normal)

PCO2: 44 mmHg (normal)

PO2: 85,6 mmHg (normal)

HCO3: 28,7 mmol/L (tinggi)

Saturasi O2: 96,7 % (normal)

BE: 3,9 mmol/L (tinggi)

Total CO2: 30,1 mmol/L (tinggi)

Hasil pemeriksaan BTA 1,2 dan 3: Negatif

Klien tidak menunjukkan tanda & gejala keracunan

oksigen.

A:

Masalah kerusakan pertukaran gas belum teratasi,

klien menunggu jadwal operasi bedah thorax

P:

Persiapkan klien untuk menjalani prosedur

pembedahan untuk mengangkat bullae.

Kolaborasi dengan DPJP Bedah Paru terkait

persiapan operasi dan kondisi klien pre operasi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 110: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

99 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

Tanda yang perlu diawasi: mual/muntah, batuk,

takikardi, dan pusing.

Risiko infeksi dengan

faktor risiko adanya luka

terbuka.

- Membersihkan lingkungan sekitar pasien secara

rutin terutama setelah digunakan untuk prosedur

terhadap pasien (koordinasi dengan cleaning

service untuk membersihkan)

- mengganti peralatan setiap masing-masing prosedur

- menggunakan sarung tangan sesuai dengan

ketentuan universal precaution

- menggunakan scrub clothes atau gown ketika

menangani bahan infeksius

- menggunakan sarung tangan steril ketika

melakukan prosedur steril seperti perawatan luka

- mengganti infuse dan dressing nya secara rutin

maksimal 3 hari sekali atau sesuai dengan CDC

guideline terbaru

- memberikan terapi antibiotic:

Ceftriaxon 2 x 1 gram dan Gentamicin 2 x 80mg

- Saat dilakukan tindakan perawatan luka,

menganjurkan keluarga atau penunggu klien untuk

meninggalkan area klien

- memotivasi klien dan keluarga untuk sering

membersihkan tangan menggunakan sabun

antimikroba atau handrub sebelum dan sesudah

beraktivitas atau memegang suatu benda.

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan adanya tanda dan gejala infeksi,

klien dan keluarga mampu menunjukkan

kemampuan self-care dalam pencegahan dan

perlindungan diri terhadap infeksi namun secara

klinis luka terutama di area distal menunjukkan

perkembangan/ penyembuhan yang tidak signifikan.

S:

Klien mengatakan saat ini sudah tidak demam lagi.

Area luka pada kaki kanan masih terasa nyeri

apalagi saat dilakukan ganti balutan. Luka dibagian

tumit dan telapak kaki masih rembes.

O:

Luka tertutup backslab dan perban elastic. Tampak

rembesan luka menembus perban dengan warna

kuning kemerahan.

Luka jahitan dan luka bekas gesekan di tibia tampak

kering. Tepi luka jahitan berwarna pink, dan

permukaan luka luka gesekan berwarna putih.

Luka di area tumit dan telapak kaki masih basah dan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 111: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

100 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

- menganjurkan pengunjung untuk selalu mencuci

tangan ketika masuk dan meninggalkan ruang

perawatan pasien.

- menganjurkan klien untuk memenuhi asupan cairan

yang adekuat: TKTP

- menganjurkan klien untuk istirahat yang cukup

dengan tidur tidak kurang dari 7 jam sehari.

- mengajarkan klien teknik mencuci tangan yang

benar

- mengajarkan kepada klien dan keluarga terkait

tanda dan gejala infeksi dan kapan harus melapor

ke tenaga kesehatan

- mengajarkan kepada klien dan keluarga cara

mencegah infeksi

- Memonitor tanda dan gejala infeksi lokal maupun

sistemik

- Memonitor jumlah leukosit, LED, Biakan MO dan

Resistensi Antibiotik, dan pemeriksaan BTA

- melakukan perawatan kulit yang area kaki yang

mengalami edema

- menginspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap

adanya kemerahan, hangat atau rembesan

- menginspeksi kondisi luka atau luka operasi

tampak maserasi di tepi luka jahitan. Ketika

dilakukan perawatan luka dan penekanan pada area

dorsal pedis, keluar cairan dari tepi luka di area

tumit.

Area dorsal masih mengalami edema.

Hasil pemeriksaan laboratorium:

Leukosit: 11.700/ul (tinggi)

LED: 77mm (tinggi)

Hasil biakan MO dan Resistensi: Suspek

Ext.MDRO.

Klien resisten terhadap antibiotic golongan

penicillin (Amoxyclav & Ampicilin Sulbactam),

Seluruh Golongan Cephalosporin, Golongan

Aminoglicosida (Gentamicin & Kanamycin),

seluruh Golongan Quinolone, Cotrimoxazole,

Tetracycline & Chlorampenicol.

Klien hanya sensitive terhadap antibiotic golongan

Carbapenem (Imipenem & Meropenem)

A:

Faktor risiko infeksi makin bertambah.

P:

Lanjutkan intervensi pengontrolan infeksi.

Kolaborasi dengan medis untuk pergantian

antibiotic.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 112: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

101 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

Evaluasi efektivitas terapi terhadap pencegahan

kejadian infeksi.

Evaluasi sumber penyebab infeksi.

Awasi dan lakukan pencegahan dini penyebaran

infeksi.

Kerusakan integritas kulit

berhubungan dengan

faktor mekanik berupa

gesekan pada kulit akibat

trauma.

- memberikan pelembab untuk bibir dan area

membrane mukosa lain

- meletakkan alas tahan air / underpad dibawah area

luka yang mengalami rembesan/ diarea kaki yang

mengalami fraktur

- menginspeksi kulit setiap hari terutama pada area

yang berisiko terjadinya breakdown

- menganjurkan klien untuk memakai pakaian yang

longgar. Area kaki yang mengalami fraktur hanya

ditutupi oleh selimut yang lembut

- Hindari penggunaan linen atau alas tempat tidur

yang kasar

- mempertahankan area tempat tidur dalam kondisi

kering dan bersih

- menginspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap

adanya kemerahan, suhu yang ekstrim, edema atau

rembesan

- mengobservasi warna, suhu, pembengkakan, denyut

nadi, tekstur, edema dan luka pada ekstremitas

- menginspeksi kondisi luka bekas operasi

- memonitor kondisi kulit pada area luka yang

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan klien dan keluarga mampu

menunjukkan kemampuan self-care dalam

pencegahan terhadap kerusakan integritas kulit

berlanjut, namun secara klinis luka terutama di area

distal menunjukkan perkembangan/ penyembuhan

yang tidak signifikan karena luka bekas jahitan

masih terus mengeluarkan rembesan.

S:

Klien mengatakan tidak ada luka lain yang

dirasakan selain pada area patahan tulang. Area luka

pada kaki kanan masih terasa nyeri apalagi saat

dilakukan ganti balutan. Luka dibagian tumit dan

telapak kaki masih rembes.

O:

Luka tertutup backslab dan perban elastic. Tampak

rembesan luka menembus perban dengan warna

kuning kemerahan.

Luka jahitan dan luka bekas gesekan di tibia tampak

kering. Tepi luka jahitan berwarna pink, dan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 113: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

102 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

mengeluarkan rembesan:

- Melakukan perawatan luka dengan prinsip steril

tahapannya adalah sebagai berikut:

a) melepaskan balutan dan plester

b) mencukur rambut/bulu di sekitar area luka

c) membersihkan benda asing disekitar luka: sisa-

sisa supratule

d) membersihkan luka dengan normal saline atau

pembersih nontoksik

e) menggunakan supratule untuk melapisi

permukaan luka

f) mrenutup area luka dengan kasa steril, lalu kasa

gulung atau plester kemudian diakhiri dengan

perban elastic untuk memfiksasi backslab

g) menggaanti dressing sesuai dengan banyaknya

rembesan atau eksudat yang tembus pada

balutan luka

h) menginspeksi luka setiap pergantian balutan

i) memonitor karakteristik luka (drainage, warna,

ukuran, dan bau)

- Menghindari posisi yang mengakibatkan penekanan

pada area yang mengalami luka.

permukaan luka luka gesekan berwarna putih.

Luka di area tumit dan telapak kaki masih basah dan

tampak maserasi di tepi luka jahitan. Ketika

dilakukan perawatan luka dan penekanan pada area

dorsal pedis, keluar cairan dari tepi luka di area

tumit.

Area dorsal masih mengalami edema.

A:

Luka pada area tibia menunjukkan tanda-tanda awal

penyembuhan sedangkan luka pada area tumit

masih rembes dan tampak maserasi di sekitar bekas

luka jahitan.

P:

Lanjutkan intervensi perawatan luka dengan teknik

steril.

Kolaborasi untuk penggunaan modern dressing

yang sesuai untuk luka pada area tumit.

Anjurkan kepada klien untuk meningkatkan asupan

nutrisi TKTP.

Ajarkan kepada keluarga untuk mempertahankan

integritas area kulit pada daerah yang diimobilisasi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 114: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

103 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

Risiko disfungsi

neurovaskuler perifer

dengan faktor risiko

imobilisasi, fraktur,

kompresi mekanik akibat

pemasangan backslab dan

verban elastis.

- mengevaluasi denyut nadi perifer pada bagian distal

ekstremitas yang mengalami cedera menggunakan

palpasi, ukur kualitasnya dan bandingkan dengan

area yang sehat

- mengkaji capillary return, warna kulit, dan suhu

bagian distal area yang mengalami fraktur

- mengkaji adanya edema sepanjang ekstremitas yang

mengalami cedera dengan mengukur besarnya area

cedera dan bandingkan dengan sisi kaki yang sehat

- melakukan pengkajian adanya nyeri yang ekstrim

atau peningkatan rasa nyeri pada pergerakan pasif,

kehilangan sensasi, ketegangan otot, tenderness

dengan eritema, dan perubahan kekuatan nadi area

distal ekstremitas yang mengalami cedera

- mengawasi tanda iskemia yang tiba-tiba pada area

kaki yang cedera (tanda-tandanya meliputi:

penurunan suhu, pucat dan peningkatan rasa nyeri)

- mengawasi adanya tenderness, pembengkakan,

nyeri saat dorsofleksi kaki (tanda humans positif)

- melakukan monitoring TTV

- melakukan pengkajian neurovaskuler dan mencatat

jika terdapat perubahan dalam fungsi sensori dan

motorik serta meminta klien untuk melokalisasi

area nyeri dan ketidaknyamanan

- mengkaji sensasi saraf peroneal dengan pinch atau

pinprick pada dorsal web diantara jari kaki pertama

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan klien mampu menunjukkan

kemampuan self-care dalam pencegahan terhadap

kerusakan fungsi neurovaskuler lebih lanjut.

S:

Klien mengatakan tidak bisa merasakan jari-jari

kakinya ketika disentuh. Klien bisa menggerak-

gerakkan jari kaki dan tidak merasakan nyeri saat

jari-jari kaki digerakkan

O:

Palpasi arteri dorsalis pedis teraba dengan kualitas

kanan = kiri. Tampak edema pada bagian punggung

kaki hingga ke jari-jari berkurang dibandingkan

dengan pada awal pengkajian. Kondisi kulit di

sekitar edema tampak kering dan berwarna gelap.

Suhu area distal fraktur = kaki yang sehat. Tidak

terdapat tanda-tanda iskemia pada bagian distal.

Tanda humans negatif.

A:

tidak terjadi penurunan fungsi motorik dan vaskuler

pada distal fraktur, namun terjadi penurunan

sensorik di area digiti 2 s.d 5

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 115: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

104 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

dan kedua serta kaji kemampuan klien untuk

melakukan dorsofleksi

- mengkaji kondisi jaringan atau kulit disekitar tepi

cast. Periksa apakah ada laporan terkait persaan

terbakar dibawah cast

- melakukan kompres es disekitar area fraktur dalam

periode yang singkat namun terus menerus selama

24 – 72 jam.

- memotivasi klien untuk melakukan latihan gerak

secara rutin pada jari-jari kaki dan sendi distal area

cedera. Lakukan ambulasi dini.

- mempertahankan elevasi pada area cedera

P:

Lanjutkan intervensi, kaji lebih lanjut kepatenan

fungsi neurovascular dengan menggunakan alat

penunjang seperti Doppler, kaitkan perbaikan fungsi

neurologis dengan fase dari masing-masing jenis

kerusakan neurologis. Amati jika terjadi

penyimpangan atau adanya kerusakan neurologis

berat yang irreversible atau membutuhkan tindakan

rekonstruksi lebih lanjut. Kolaborasi dengan dokter

terkait temuan yang diperoleh.

Risiko jatuh dengan faktor

risiko penggunaan alat

bantu jalan dan riwayat

fraktur dengan ORIF.

- Mengidentifikasi masalah kognitif atau fisik

pasien, riwayat jatuh sebelumnnya dan hal-hal lain

yang dapat meningkatkan potensi jatuh di

lingkungan tertentu

- Mengkaji gaya berjalan, keseimbangan dan tingkat

kelelahan pasien saat melakukan ambulasi.

- Mengkaji kemampuan pasien untuk berpindah dari

tempat tidur ke kursi dan sebaliknya

- Memberikan alat bantu berjalan untuk

mempertahankan keseimbangan berupa kruk

- Melakukan pengukuran kruk sesuai dengan

kondisi dan ukuran tubuh pasien.

- Mengajarkan pasien untuk beradaptasi terhadap

perubahan / modifikasi dalam gaya berjalan

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan klien tidak mengalami jatuh saat

memulai ambulasi hingga belajar berjalan dengan

menggunakan kruk, namun keluarga masih belum

mampu mendampingi pasien secara optimal.

Kemampuan untuk melakukan modifikasi

lingkungan rumah saat pasien pulang juga hanya

melibatkan pasien sendiri karena pasien hanya

tinggal sendiri di rumah. Perawat sedang

mengidentifikasi keluarga atau kerabat yang tinggal

paling dekat dengan rumah pasien.

S:

Klien mengatakan saat ini sudah mulai terbiasa

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 116: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

105 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

menggunakan alat bantu

- Mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang

dapat meningkatkan potensi jatuh pasien

- Mengorientasikan pasien dengan lingkungan di

sekitar tempat tidur dan ruang perawatan dan hal-

hal yang perlu dihindari pasien untuk mengurangi

risiko jatuh

- Meletakkan barang-barang di tempat yang mudah

di jangkau oleh pasien

- Meletakkan kursi dengan tinggi yang sama dengan

tempat tidur agar pasien mudah saat berpindah

- Memasang side rail saat pasien di tempat tidur

- Memposisikan tempat tidur pada posisi yang

rendah

- Mempertahankan lantai di sekitar tempat tidur

pasien tetap kering

- Memberikan penerangan yang adekuat pada

lingkungan pasien

- Menganjurkan pasien untuk menggunakan alas

kaki yang tepat saat akan melakukan latihan

berjalan.

- Memasang gelang kuning pada tangan pasien dan

segitiga kuning di tempat tidur.

- Mendampingi pasien yang saat latihan awal

mobilisasi dengan alat bantu serta mengajarkan

kepada keluarga untuk selalu mengawasi pasien

menggunakan kruk, hanya belum mencoba untuk

berjalan lebih jauh dari ruang perawatan.

O:

Klien tampak mampu berpindah dari temat tidur ke

kursi dengan mengandalkan kekuatan lengan dan

kaki yang sehat dan tanpa menapakkan kaki yang

sakit. Saat berjalan menggunakan kruk, klien

mampu menggunakan alat bantu dengan sesuai

meskipun postur tubuh terkadang masih cenderung

bungkuk.

Klien terpasang tanda label kuning di gelang

identitas.

A:

Masalah risiko tidak menjadi aktual.

P:

Lanjutkan intervensi pengontrolan risiko jatuh.

Latih pasien untuk memperkuat kemampuan

ekstremitas atas.

Ajarkan kepada pasien dan keluarga untuk

memodifikasi lingkungan rumah untuk mengurangi

risiko jatuh saat pasien sudah pulang ke rumah.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 117: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

106 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

saat melakukan ambulasi.

- Melibatkan keluarga dalam mengidentifikasi risiko

jatuh dan tindakan pencegahannya.

Risiko Konstipasi

berhubungan dengan

faktor risiko penurunan

aktivitas fisik harian

akibat imobilisasi

- Monitor tanda dan gejala konstipasi

- Monitor bising usus

- Monitor karakteristik feses: frekuensi, konsistensi

dan volume

- mengidentifikasi faktor penyebab dan kontribusi

konstipasi

- memotivasi klien untuk makan makanan tinggi

serat seperti buah pepaya dan sayur-sayuran hijau.

- mendukung intake cairan sesuai dengan BB pasien :

60 kg x 50 cc/24 jam = 3000cc/24 jam

- mengkaji kondisi yang diinginkan klien untuk

memudahkan BAB

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 10

hari didapatkan klien dan keluarga mampu

menunjukkan kemampuan self-care dalam

pencegahan terhadap konstipasi dengan

meningkatkan asupan serat, mempertahankan status

hidrasi dan meningkatkan mobilisasi sesuai

toleransi.

S:

Klien mengatakan siklus BAB sudah mulai teratur 2

– 3 hari sekali namun jumlahnya masih sedikit dan

cenderung keras. Klien sudah makan buah-buahan

yang diberikan dari bagian gizi RS. klien

mengatakan minumnya hanya habis paling banyak

2500cc. sudah mulai beradaptasi untuk BAB di

tempat tidur dengan pispot

O:

Bising usus 12 kali/menit, klien mampu

meningkatkan mobilisasi dengan berpindah dari

tempat tidur ke kursi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 118: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

107 Universitas Indonesia

Diagnosa Keperawatan Regulatory Operations

(Implementasi)

Control Operations

(Evaluasi)

A:

Masalah konstipasi tidak terjadi namun masih

terdapat faktor risiko

P:

Lanjutkan intervensi, motivasi klien untuk terus

meningkatkan asupan serat dan cairan yang adekuat.

Buat jadwal BAB klien agar teratur.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 119: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

108

Universitas Indonesia

3.2 Praktek Keperawatan Berbasis Bukti (Evidence Based Nursing): Wound

Drain Management Untuk Mengurangi Kehilangan Darah Pada Pasien

Post Operasi Total Joint Arthroplasty

Total Joint Arthroplasty berupa Total Knee Arthroplasty (TKA) dan Total Hip

Arthroplasty merupakan prosedur bedah orthopedi yang digunakan secara luas

untuk pengobatan pasien-pasien dengan masalah osteoarthritis dan rheumathoid

arthritis sedang hingga berat. Salah satu masalah yang sering muncul pasca

prosedur ini adalah kehilangan darah yang cukup signifikan sehingga pasien

membutuhkan transfusi darah terutama pada prosedur TKA. Pada TKA/ TKR

terjadi release jaringan lunak serta jaringan tulang, selain itu prosedur ini juga

menggunakan tourniquet. Hal terbut dapat meningkatkan risiko perdarahan pasca

operasi (Li et al., 2014).

Kehilangan darah berlebihan dapat dicegah melalui beberapa metode salah

satunya adalah drain clamping. Tindakan tersebut bertujuan untuk mengurangi

kehilangan darah sehingga mencegah pemberian transfusi darah yang dapat

meningkatkan risiko untuk transmisi infeksi dan reaksi imunologi (Li et al, 2014).

Orthopaedic drain sering digunakan setelah operasi-operasi besar seperti

laminectomy, total joint arthroplasty, dan rekonstruksi Anterior Cruciate

Ligament (ACL). Tujuan dari penggunaan drain adalah sebagai penampung

cairan/ darah, mencegah akumulasi cairan / darah pada area operasi, mempercepat

proses penyembuhan, mengurangi risiko infeksi dan nyeri pasca operasi (Schein,

2008). Sebagai alat diagnostik, drain dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

kebocoran dari anastomose (Diener et al., 2011). Tujuan lain dari pemasangan

drain adalah untuk membuang darah,dan jaringan-jaringan mati/ hematoma (Fan,

et al., 2010, Kanaya et al., 2010). Hal tersebut menjadi penting, karena hematoma

pasca operasi dan infeksi luka dapat berdampak terhadap masalah neurologis pada

prosesur operasi tulang belakng (Morse et al, 2007), dan dapat mengakibatkan

sindrom kompartemen pada tindakan yang terkait arthroplasty (Nisnaken et al,

2000). Namun, pemasangan drain dalam jangka panjang akan mengakibatkan

komplikasi pada kondisi luka (Tsang, 2015).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 120: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

109

Universitas Indonesia

Pasien pasca-operasi Total Joint Arthroplasty yang di rawat di GPS lantai 1 RSUP

Fatmawati sebagian besar terpasang drain luka. Namun masih belum ada SPO

untuk monitoring serta manajemen drain tersebut, terutama untuk metode drain

clamping. Berdasarkan hasil diskusi dengan DPJP, non-continous wound drainage

dengan metode drain clamping memungkinkan untuk diterapkan pada pasien

post-op JTA. Peran perawat sangat besar terkait hal ini terutama untuk monitoring

drainage sesuai dengan waktu yang telah diprogramkan. Oleh karena itu, melalui

proposal EBN ini penulis ingin mengetahui efektivitas protocol wound drain

management pada pasien post operasi Total Joint Arthroplasty (THR dan TKR).

3.2.1 Hasil Telaah Jurnal

Prosedur penelusuran pustaka untuk menjawab masalah klinis terkait wound drain

Management pada pasien post operasi Total Joint Arthroplasty (Total Knee

Replacement dan Total Hip Replacement) adalah dengan penelusuran pustaka

secara online dengan menggunakan mesin pencari PubMed dan akses jurnal

online (online database list) melalui website Perpustakaan Universitas Indonesia.

Website Jurnal yang diakses melalui Perpustakaan UI adalah EBSCO CINAHL,

Proquest Nursing & Allied Health Source, ScienceDirect, Springerlink, SAGE

Journals serta SCOPUS. Kata kunci yang digunakan sesuai dengan analisis PICO

yaitu meliputi (wound drain management) AND (non continuous drain) AND

(continuous drain) AND (drain clamping) AND (total join arthroplasty) AND

(total knee arthroplasty) AND (total knee replacement) AND (total hip

arthroplasty) AND (total hip replacement). Penelusuran dilakukan dengan

restriksi bahasa Inggris dan penelitian yang dilakukan pada subyek manusia

dengan rentang tahun publikasi selama 10 tahun terakhir. Dari artikel yang

didapatkan, dilakukan penelusuran daftar pustaka kembali secara manual. Pada

penelusuran dengan kata kunci tersebut melalui online database perpustakaan UI

di dapat sekitar 2133 jurnal terkait namun hanya beberapa artikel yang relevan

dengan permasalahan dan memungkinkan untuk diambil sebagai dasar dari

evidence based nursing. Berdasarkan analisis terhadap kriteria inklusi maupun

jenis intervensi kemudian dipilih sebanyak 11 artikel yang relevan. Kesesuaian

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 121: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

110

Universitas Indonesia

dengan keadaan yang sebenarnya di rumah sakit membuat peneliti memilih 2

artikel pilihan sebagai rujukan dan sisanya sebagai artikel pendukung.

3.2.1.1 Jurnal 1: Non continuous versus continuous wound drainage after total

knee arthroplasty : a meta analysis

Artikel ini menjelaskan alasan dilakukannya meta-analysis terhadap wound

drainage management pada pasien post operasi TKA khususnya dalam

membandingkan antara metode non continuous drainage dengan continuous

drainage. Perdebatan terkait penggunaan drain pada pasien post-op TKA melatar-

belakangi artikel tersebut. Penulis menyebutkan kelebihan dan kekurangan dari

masing-masing metode disertai dengan sumber rujukan. Penulis juga menjelaskan

artikel terdahulu yang membahas topik serupa dengan topik yang akan dilakukan

meta-analysis serta pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab melalui

artikel sebelumnya.

Kriteria inklusi dan ekslusi terkait artikel yang akan dilakukan meta-analysis

dijelaskan oleh penulis. Artikel yang memenuhi syarat untuk meta-analysis adalah

seluruh penelitian RCT yang membandingkan antara NON dengan CON drainage

post operasi TKA. Artikel yang dipilih adalah artikel terbaru mulai tahun 2001

hingga 2012. Jenis prostese yang digunakan saat operasi tidak menjadi

pertimbangan untuk pemilihan artikel. Penelitian yang melibatkan metode

hemostasis melalui injeksi cairan adrenalin atau asam traneksamat intra artikular

tidak dimasukkan ke dalam meta-analysis. Selain itu, penelitian dalam bentuk

non-RCT maupun quasi eksperimen termasuk dalam kriteria ekslusi dari meta-

analysis ini.

Cara penelusuran pustaka terhadap artikel penelitian yang relevan telah dijelaskan

di bagian Material and Methods. Namun penulis tidak menjelaksan kualifikasi

dari penelusur. Penulis menjelaskan secara lengkap jumlah artikel yang diperoleh

dari masing-masing database beserta teknik penyeleksian artikel yang relevan

mulai dari identification, screening, eligibility hingga included.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 122: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

111

Universitas Indonesia

Penulis hanya melakukan meta-analysis terhadap laporan penelitian yang telah

dipublikasi. Hal tersebut memungkinkan terjadinya publication bias karena pada

umumnya peneliti cenderung mengirimkan hasil penelitian yang bermakna, selain

itu editor juga cenderung menolak laporan hasil penelitian yang tidak bermakna

(Sastroasmoro, 2011). Namun untuk mencegah hal tersebut, penulis telah

melampirkan Funnel Plot berdasarkan pada nilai kehilangan haemoglobin.

Gambaran Funnel Plot tersebut mengindikasikan publication bias yang minimal.

Hasil yang diamati pada meta-analysis inimeliputi 5 (lima) hal antara lain adalah

penurunan Hb, kemampuan rentang gerak (Range of Motion), kehilangan darah

post operasi, kejadian transfusi darah, dan komplikasi. Dari kelima outcome yang

diamati tersebut, dua diantaranya menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

kedua grup yaitu penurunan Hb dan kehilangan darah post operasi dengan nilai P

< 0,05. Sedangkan tiga outcome lain berupa rentang gerak, kejadian transfusi

darah dan komplikasi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara

kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Seluruh analisa data dari kelima

outcome menunjukkan heterogenitas yang rendah bahkan tida heterogen sama

sekali.

Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan signifikan antara metode drain

continuous dan non-continuous dapat dilihat pada outcome penurunan Hb dan

kehilangan darah post-operasi. Untuk outcome penurunan Hb dilakukan analisis

terhadap enam artikel penelitian. Untuk meminimalisisr heterogenitas maka dua

artikel di keluarkan dari analisis sehingga total artikel yang dianalisis untuk

outcome ini sebanyak empat artikel. Hasil menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan penurunan Hb antara kelompok kontrol dan intervensi

(WMD, -0,44; 95%CI -0,65 sampai -0,24; P<0,0001).

Analisis terhadap kehilangan darah post operasi dilakukan terhadap tujuh artikel

penelitian. Untuk mengurangi heterogenitas, dua artikel dikeluarkan dari analisis

sehingga total artikel yang diikutsertakan dalam analisis hasil ini sebanyak lima

artikel. Hasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kehilangan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 123: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

112

Universitas Indonesia

darah antara kelompok kontrol dan intervensi (WMD, -281,73; 95%CI -338,62

sampai -224,83; P<0,00001).

Menilai kemaknaan hasil suatu penelitian secara klinis bisa menggunakan

perhitungan ARR (Absolute Risk Reduction) dan NNT (Number Needed to Treat)

dengan memperhatikan nilai proporsi insiden pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol (Sastroasmoro & Ismael, 2011). Hasil penelitian menunjukkan

perbedaan yang signifikan penurunan Hb dan kehilangan darah post operasi antara

kedua kelompok yaitu pada kelompok intervensi mengalami penurunan yang

lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol. Data yang dihasilkan dalam

bentuk numerik, sedangkan rumus ARR maupun NNT yang ada diperuntukkan

untuk data yang sudah dalam bentuk proporsi. Oleh karena itu, akan digunakan

metode lain seperti yang dijelaskan oleh Faraone (2008) bahwa untuk menghitung

kemaknaan klinis suatu treatment dengan hasil berupa data kontinu dapat

menggunakan Perhitungan Effetct Size berupa Standard Mean Difference, dengan

rumus :

SMD = 𝑀𝑒𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖−𝑀𝑒𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙

𝑝𝑜𝑜𝑙𝑒𝑑 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖

Berdasarkan rumus tersebut, SMD dari jurnal yang dianalisis dan diambil

protokolnya adalah 1,4.

Faraone (2008) menjelaskan bahwa ketika SMD = 1, maka NNT=2, Nilai NNT

berbanding tebalik dengan SMD. Makin besar nilai SMD, maka makin kecil NNT

nya. Perhitungan tersebut dapat diperoleh melalui Stata’s Software. Oleh karena

itu, jika SMD = 1,4 maka NNT untuk penerapan EBN ini adalah < 2.

Pasien di ruang rawat Gedung Prof. Dr. Soelarto RSUP Fatmawati memiliki

karakteristik yang mirip dengan pasien pada studi yang dilakukan meta-analysis

yaitu pasien dewasa yang menjalani operasi TKR dengan diagnosa masuk berupa

osteoarthritis atau rheumatoid arthritis. Prosedur operasi pada penelitian yang di

meta-analysis juga sama dengan prosedur operasi TKR di RSUP Fatmawati yaitu

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 124: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

113

Universitas Indonesia

pasien terpasang tourniquet selama operasi, terpasang vacuum drain post operasi

dan dilakukan pemeriksaan Hb post operasi.

Intervensi yang akan dilakukan tersedia, terjangkau serta dapat diterima oleh

pasien. Intervensi cenderung sederhana dan tidak membutuhkan alat tambahan

diluar dari terapi atau program pengobatan pasien. Beberapa istilah, intervensi,

dan SOP yang digunakan dalam artikel ini cukup jelas dan tidak menimbulkan

makna ambigu sehingga mudah dipahami dan diterapkan dalam penerapan EBN

di Gedung Prof. Soelarto lantai 1 RSUP Fatmawati.

Meta-analysis dari Sembilan RCT pada artikel ini menampilkan beberapa

protokol yang berbeda terutama terkait lama drain di klem serta waktu untuk

pencabutan drain dari luka. Untuk lama waktu klem, pada bagian kesimpulan

dijelaskan bahwa waktu paling efektif untuk klem drain adalah 4 sampai 6 jam.

Hal tersebut sejalan dengan hasil meta-analysis lain dari Tai, Yang, Jou, Lai, Chen

(2010) bahwa durasi klem paling efektif untuk mengurangi jumlah kehilangan

darah melalui drainase luka post operasi TKR adalah tidak kurang dari 4 jam.

Namun meta-analysis ini tidak menyimpulkan di akhir terkait lama pemasangan

drain paling efektif. Oleh karena itu, untuk replikasi protocol, penulis mengadopsi

dari salah satu RCT yang dilakukan meta-analysis dimana RCT tersebut

memenuhi kriteria berupa klem drain selama 4 jam pertama post operasi. Sumber

daya yang dibutuhkan dalam program EBN ini tidak terlalu susah, karena

monitoring produksi drain luka post op adalah suatu prosedur yang senantiasa

dijalankan oleh perawat. Namun, peneliti menemukan sedikit kendala dalam

koordinasi antara perawat di OK dengan ruangan terkait waktu dran mulai di klem

sampai nanti drain di buka kembali karena selama ini hal tersebut tidak menjadi

perhatian. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penulis akan mengikuti pasien

yang yang menjalani operasi TKR mulai dari operasi dimulai hingga pasien

kembali ke ruang rawat. Peneliti juga akan menambahkan form monitoring yang

berisi jam-jam dimana perawat harus melakukan observasi produksi drain dan

mendokumentasikannya.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 125: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

114

Universitas Indonesia

3.2.1.2 Jurnal 2: Developing an evidence-based nursing protocol on wound drain

management for total joint arthroplasty

Artikel ini ditulis oleh Lap Fung Tsang MSc, MSMR, MN, APN pada jurnal

International Journal of Orthopaedic and Trauma Nursing tahun 2015. Artikel ini

merupakan suatu telaah literatur terkini yang bertujuan untuk mengembangkan

suatu protokol intervensi keperawatan dalam manajemen drainase luka pasien

post operasi total joint arthroplasty. Fenomena yang melatarbelakangi penulisan

artikel ini adalah masih adanya perdebatan terkait manfaat penggunaan drain pada

operasi total joint arthroplasty, metode drain yang digunakan (dengan atau tanpa

klem), waktu yang optimal untuk klem drain, lama pemasangan drain yang tepat

dan peran perawat dalam menangani drain pada luka.

Metode pemilihan literatur yang digunakan dalam artikel ini dijelaskan secara

rinci. Mulai dari penetapan kriteria inklusi dan ekslusi sampai dengan proses

penyeleksian dan telaah masing-masing artikel yang ditemukan. Berbeda dengan

artikel yang dijelaskan sebelumnya, artikel ini tidak membatasi pemilihan artikel

berdasarkan desain RCT, desain non-RCT juga diikutsertakan dalam analisis.

Kelebihan dari artikel ini, penyusunan protocol yang menjadi evidence based

melibatkan pertimbangan dari ahli. Ahli yang terlibat dalam penyusunan protocol

adalah dua orang dokter konsultan, dua orang dokter asisten konsultan, satu orang

deputy department of operation manager, dan empat orang perawat di ruang rawat

khusus bedah orthopedic.

Analisis yang dilakukan terhadap 13 artikel pada telaah literature ini meliputi

beberapa aspek antara lain alasan penggunaan drain luka, penggunaan drain luka

dengan dan tanpa active suction, serta waktu yang optimal untuk pelepasan drain.

Hasil analisis terhadap beberapa artikel dan pertimbangan dari beberapa orang

ahli terkait penanganan pasien total joint arthroplasty menjadi dasar disusunnya

suatu protokol evidence-based nursing. Protokol penelitian ini hampir sama

dengan artikel meta-analisis tentang TKA sebelumnya yang menjelaskan tentang

metode penanganan drain post-operasi. Perbedaan yang ditemukan hanya pada

lama klem drain yang hanya 1 jam. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 126: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

115

Universitas Indonesia

waktu klem drain ini dapat diterapkan untuk pasien total hip arthroplasty karena

pada artikel sebelumnya tidak dijelaskan mengenai lama klem drain untuk pasien

dengan operasi pergantian sendi total pada hip.

Berdasarkan hasil telaah terhadap kedua jurnal diatas maka disusun suatu protocol

terkait wound drain management pada pasien Total Joint Arthroplasty berupa

Total Knee Arthroplasty dan Total Hip Arthroplasty. Protokol tersebut meliputi:

1) Mengidentifikasi klien yang memenuhi kriteria inklusi dengan mengobservasi

langsung keadaan umum klien dan melihat dokumentasi.

2) Mengikuti tindakan operasi Total Joint Arthroplasty yang telah dijadwalkan

kepada klien.

3) Kolaborasi dengan dokter/operator operasi pada saat pemasangan drain untuk

melakukan klem drain sesaat setelah tourniquet dilepaskan.

4) Melakukan dokumentasi waktu ketika drain mulai diklem

5) Melepas klem dan mengalirkan drain setelah 4 jam pertama post operasi pada

Total Knee Arthroplaty dan 1 jam pertama post operasi pada Total Hip

Arthroplasty.

6) Melakukan pemeriksaan Hb post operasi.

7) Melakukan dokumentasi produksi drain pada 12 jam pertama, 24 jam pertama

dan 48 jam post operasi

8) Melepas drain pada hari ke-2 (48 jam post operasi) atau jika produksi drain <

50 ml.

9) Mendokumentasikan total produksi drainase.

10) Observasi luka post-operasi.

11) Kolaborasi dengan medis jika Hb post op ≤ 8,5 g/dl, Ht ≤ 25% atau jika

ditemukan gejala penurunan kesadaran, sesak napas, takikardi, hipotensi,

angina pectoris, dan kondisi kritis lain.

3.2.2 Hasil Penerapan Evidence-Based Nursing (EBN)

Proses penerapan EBN di ruang GPS lantai 1 berlangsung dari tanggal 13 Mei –

19 Juni 2015. Dalam waktu kurang lebih 1 (satu) bulan, penulis memperoleh 4

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 127: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

116

Universitas Indonesia

orang pasien yang menjalani tindakan operasi Total Joint Arthroplasty. Rincian

nya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.7

Karakteristik Pasien Total Joint Arthroplasty

Di Ruang GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati

13 Mei – 19 Juni 2015

No Nama Jenis

Kelamin

Usia

(tahun) Diagnosa Medis

1 TY Laki-laki 51 OA genu bilateral post TKA sinistra

2 PL Laki-laki 44 AVN hip dextra post THA

3 AP Laki-laki 29 AVN Coxae bilateral post THA dextra

4 MM Perempuan 58 OA Hip bilateral post THA dextra

Tabel menunjukkan bahwa sebagian besar (75%) klien yang dilakukan penerapan

EBN adalah klien yang menjalani prosedur operasi total hip arthroplasty dan

sebagian besar berjenis kelamin laki-laki dengan usia di atas 40 tahun. Riwayat

medis masing-masing pasien berbeda yaitu akibat penyakit maupun trauma. Hasil

observasi terhadap produksi drain keempat klien menunjukkan data sebagai

berikut:

Tabel 3.8

Hasil Pengamatan terhadap Produksi Drain Pasien Total Joint Arthroplasty

Di Ruang GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati

13 Mei – 19 Juni 2015

Nama Jenis

Operasi

Lama klem

drain

(jam)

Produksi Drain

24 post operasi

(ml)

Produksi Drain

48 jam post

operasi (ml)

Total

Produksi

Drain (ml)

TY TKA 4 350 30 390

PL THA 1 160 60 220

AP THA 1 400 30 430

MM THA 1 200 70 270

Rerata 282,5 42,5 335

Tabel menunjukkan bahwa rerata total kehilangan darah pasien post operasi total

joint arthroplasty adalah 335 ml dengan lama pemasangan drain 48 jam.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 128: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

117

Universitas Indonesia

Tabel 3.9

Hasil Pengamatan terhadap Nilai Hb dan Kejadian Transfusi

Pasien Total Joint Arthroplasty

Di Ruang GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati

13 Mei – 19 Juni 2015

Nama Hb Pre-Op

(gr/dl)

Hb Post-Op

(gr/dl)

Transfusi

(ml)

Hb Post-Transfusi

(gr/dl)

TY 10,6 8,9 500 9,9

PL 14,5 10,3 - -

AP 14,6 9,2 500 9,7

MM 11,8 8,6 - -

Tabel menunjukkan bahwa 50% pasien yang menjalani operasi Total Joint

Arthroplasty membutuhkan transfusi darah. Seluruh pasien post-op mengalami

penurunan kadar Hb.

Hal lain yang ditemukan pada saat penerapan EBN ini adalah frekuensi pergantian

balutan sebelum drain di lepas. Kondisi ini berkaitan dengan jumlah rembesan

darah pada balutan luka. Pada pasien TKR, klien diganti balutan sebanyak 1 kali

sebelum drain dilepas karena jumlah darah yang keluar melalui rembesan luka

cukup banyak hingga menembus lapisan perban luar dan mengenai alas tempat

tidur. Berbeda dengan operasi TKR, pasien post operasi THR tidak membutuhkan

pergantian balutan sama sekali hingga hari ke-2 pasca operasi sampai drain

dilepaskan karena luka tidak mengalami rembesan.

Kesulitan yang dialami penulis saat menerapkan EBN ini adalah ketika

memastikan waktu klem drain yang tepat karena penulis harus berkoordinasi

dengan DPJP dan perawat OK saat operasi dilakukan. Kesulitan lain yang

dirasakan adalah ketika mengosongkan isi drain. Bentuk drain yang memiliki

lekukan bertingkat membutuhkan upaya lebih untuk memastikan ketika darah di

buang tidak bersisa lagi. Karena jika saat membuang darah hanya dituangkan saja

maka masih ada produksi darah yang tertahan di lekukan-lekukan penampung

drain tersebut.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 129: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

118

Universitas Indonesia

Disamping kesulitan yang ada, penulis mengamati beberapa dampak positif dari

penerapan EBN ini. Pertama adalah monitoring terhadap drain menjadi lebih

optimal. Monitoring yang dilakukan serta merta dapat mendeteksi secara dini

tanda dan gejala perdarahan atau dampak dari kehilangan darah berlebih yaitu

syok. Kedua, melalui penerapan EBN ini dapat diamati bahwa drain sudah dapat

di lepaskan 48 jam pasca operasi karena produksi drain sudah minimal sehingga

dapat mengurangi risiko infeksi akibat pemasangan drain dalam waktu yang lama.

Prosedur ini sangat mudah diterapkan namun membutuhkan kolaborasi yang

kompak antara dokter dengan perawat baik saat di ruang bedah maupun setelah di

ruangan.

3.3 Proyek INOVASI: Penyusunan Panduan Komunikasi dengan Metode

SBAR Untuk Kasus Orthopedi

Jalur komunikasi di rumah sakit terjadi antar sesama perawat; perawat dengan

dokter maupun perawat dengan pasien dan keluarganya. Kemampuan komunikasi

yang baik merupakan hal yang penting bagi perawat dalam menyampaikan

informasi terkait pasien kepada tenaga kesehatan profesional lainnya (Eberhardt,

2014). Terkait perannya dalam komunikasi, perawat senantiasa

mengkomunikasikan asuhan keperawatan yang dilaksanakan kepada sesama

perawat, dokter, pasien dan keluarga pasien. Contoh komunikasi yang dilakukan

antar perawat adalah komunikasi tulis dan lisan saat melakukan timbang terima

pasien (Joint Commission Resources, 2007).

Tertundanya penanganan medis dapat disebabkanoleh kurang optimalnya

komunikasi dan kolaborasi antara perawat dengan dokter. Untuk mengoptimalkan

komunikasi perawat – dokter diperlukan suatu metode komunikasi yang efektif

terkait perubahan kondisi pasien. Komunikasi Efektif termasuk kedalam Joint

Commision International Patient Safety Goal (Standar IPSG 2) dimana

dinyatakan bahwa komunikasi efektif antar tenaga kesehatan harus ditingkatkan.

Dr. Michael Leonard (2004), pimpinan dokter pada Kaizer Permanente di Denver

memperkenalkan komunikasi terstandar menggunakan struktur SBAR (situation,

background, assessment, and recommendation) untuk mengoptimalkan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 130: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

119

Universitas Indonesia

komunikasi efektif. Dengan menggunakan SBAR, perawat dapat merumuskan

rekomendasi kepada dokter. Hal tersebut dapat dilakukan setelah pengkajian

formal dari pasien dan mengetahui situasi dan latar belakang pasien (Meester,

Verspuy, Monsieurs, and Bogaert, 2013).

RSUP Fatmawati merupakan Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional yang telah

melalui proses akreditasi JCI. Salah satu komponen dari akreditasi tersebut adalah

aspek patient safety yang didalamnya mencakup peningkatan pola komunikasi

efektif. Perawatan pasien di rumah sakit melibatkan peran dari berbagai disiplin

ilmu dan profesi sehingga sangat dibutuhkan suatu pola komunikasi yang tepat,

akurat, lengkap, tidak ambigu, dapat dipahami oleh semua pihak sehingga pada

akhirnya dapat mengrangi kesalahan persepsi dan dapat meningkatkan

keselamatan pasien.

Contoh penerapan komunikasi dalam proses perawatan pasien adalah pada saat

timbang terima pasien antarperawat pada saat pergantian shift. Perawat

mendampingi pasien selama 24 jam yang terbagi menjadi 3 (tiga) shift dimana

setiap pergantian shift akan dilakukan timbang terima tentang kondisi pasien,

program pengobatan dan berbagai informasi lain. Proses penyampaian informasi

tersebut perlu difasilitasi oleh suatu metode komunikasi yang efektif. Sesuai

dengan penjelasan yang telah disajikan sebelumnya, metode SBAR merupakan

salah satu metode komunikasi yang efektif dalam proses timbang terima di ruang

rawat.

3.3.1 Analisis Situasi

Berdasarkan hasil pengamatan di ruang rawat GPS lantai 1 dan 4 RSUP

Fatmawati, sebagian besar perawat telah terpapar informasi tentang metode SBAR

karena rumah sakit telah memiliki SPO baku terkait penerapan SBAR dalam

kegiatan perawatan pasien. Namun, dalam pelaksanaannya, metode komunikasi

SBAR belum sepenuhnya diterapkan dalam kegiatan timbang terima saat

pergantian shift antar perawat di ruangan. Hasil analisa penulis dan rekan

mahasiswa praktik residensi meliputi:

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 131: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

120

Universitas Indonesia

3.3.1.1 Strength

RSUP Fatmawati telah memiliki SPO baku tentang metode SBAR untuk

komunikasi dalam timbang terima antar perawat maupun untuk komunikasi antara

perawat dan dokter melalui telepon. Perawat juga telah mendapat informasi

tentang SBAR tersebut. Hal tersebut akan mendukung keberhasilan rencana

penerapan metode SBAR untuk proyek inovasi ini.

3.3.1.2 Weakness

Perawat masih kurang termotivasi dalam menerapkan metode SBAR dan masih

belum memahami pentingnya SBAR dalam proses komunikasi timbang terima

maupun dalam proses perawatan pasien. Informasi yang diperoleh perawat

tentang SBAR hanya bersifat umum, belum spesifik ke masalah / kasus-kasus

ortopedi sehingga diperlukan suatu bentuk penyegaran tentang penerapan metode

SBAR yang spesifik kepada masalah keperawatan orthopedi.

3.3.1.3 Opportunity

RSUP Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan yang menjadi lahan praktik

rutin mahasiswa keperawatan terutama mahasiswa manajemen keperawatan yang

memahami konsep komunikasi efektif melalui metode SBAR. Selain itu, telah

banyak jurnal-jurnal pendukung yang menjelaskan tentang keberhasilan

penerapan metode SBAR dan dampak positifnya terhadap kepuasan pasien.

Jurnal-jurnal tersebut dapat dijadikan acuan dalam pengembangan metode SBAR

ini.

3.3.1.4 Threat

Pengadaan suatu media atau alat pendukung lain untuk menunjang

kesinambungan penerapan SBAR masih kurang.

3.3.2 Penerapan Proyek Inovasi

3.3.2.1 Persiapan

Pelaksanaan proyek Inovasi tentang penerapan metode SBAR dalam timbang

terima pasien di ruang rawat diawali dengan penyusunan proposal terkait rencana

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 132: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

121

Universitas Indonesia

tersebut. Setelah penyusunan proposal, dilakukan konsultasi dengan pembimbing

akademik maupun pembimbing klinik untuk mendapat masukan dalam rangka

perbaikan proposal. Presentasi dalam rangka sosialisasi proyek inovasi kepada

perawat di rumah sakit dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 2015. Setelah presentasi

dilakukan, mahasiswa melakukan perbaikan proposal sesuai masukan dari

pembimbing. Selain itu, mahasiswa juga mempersiapkan materi untuk

penyusunan pedoman SBAR di ruang rawat Orthopedi.

3.3.2.2 Pelaksanaan

Tahapan yang dilewati setelah seluruh proses persiapan selesai adalah

Penyusunan Pedoman Komunikasi dengan Metode SBAR untuk kasus-kasus

Orthopedi. Berdasarkan hasil analisa terhadap kasus-kasus yang sering terjadi di

ruang rawat GPS lantai 1, maka disusun beberapa materi untuk panduan yang

meliputi:

a. Fraktur

Kasus fraktur berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup pada ekstremitas atas

dan bawah baik itu yang menjalani operasi ORIF maupun OREF. Masalah

yang menjadi perhatian utama adalah mobilisasi dan perdarahan post operasi.

Kasus Fraktur yang dibahas karena berpotensi terjadinya perdarahan adalah

fraktur pada ekstremitas bawah yaitu femur dan cruris

b. Total Knee Replacement

Pasien yang menjalani Total Knee Replacement sebagian besar disebabkan

oleh osteoarthritis. Sama halnya dengan pada kasus fraktur, masalah utama

yang ditemukan pada pasien post operasi TKR salah satunya adalah

kehilangan darah yang berlebihan.

c. Total Hip Replacement.

Pasien yang menjalani Total Knee Replacement sebagian besar disebabkan

oleh trauma dan diperparah oleh kondisi osteoarthritis. Sama halnya dengan

pada kasus fraktur, masalah utama yang ditemukan pada pasien post operasi

TKR salah satunya adalah kehilangan darah yang berlebihan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 133: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

122

Universitas Indonesia

d. Osteomielitis

Pasien dengan osteomielitis membutuhkan penanganan yang komprehensif

dalam pemulihan tulang serta penanganan terhadap infeksi yang terjadi.

Infeksi yang tidak mendapatkan penanganan secara tepat dapat berpotensi

membahayakan organ tubuh yang lain.

e. Spinal Cord Injury

Fase akut yang membutuhkan perhatian adalah spinal shock dimana pada fase

itu klien dapat mengalami kehilangan respon motorik, sensorik, refleks dan

fungsi otonom.

f. Sindrom Kompartemen

Sindrom kompartemen merupakan salah satu kegawatan pada sistem

musculoskeletal. Kolaborasi antara perawat dan dokter sangat menentukan

ketepatan dan kecepatan penanganan sehingga dapat meminimalisir bahaya.

Dari beberapa kasus diatas, mahasiswa residensi menyusun suatu panduan

komunikasi dengan metode SBAR yang berisi tinjauan teori terkait kasus,

gambaran kasus secara singkat beserta data-data penunjang, contoh scenario

komunikasi dengan metode SBAR berdasarkan pada diagnosa keperawatan yang

muncul pada masing-masing kasus. Untuk prioritas masalah, mahasiswa lebih

berfokus pada potensi kegawatan dari masing-masing kasus.

Sebelum diserahkan ke ruangan, Mahasiswa melakukan proses konsultasi dengan

supervisor akademik dan rumah sakit terkait kesesuaian isi dan ketepatan contoh

skenario komunikasi dengan metode SBAR pada panduan yang telah disusun.

3.3.2.3 Evaluasi

Proses evaluasi meliputi penyusunan laporan hasil penyusunan Panduan

Komunikasi dengan Metode SBAR dan penyerahan dokumen ke ruang rawat.

Pada saat evaluasi juga akan disampaikan kesan dan pesan dari perawat di

ruangan terkait keberadaan panduan tersebut. Untuk pengukuran kemanfaatan

panduan secara objektif belum dapat diukur karena panduan ini baru akan

digunakan setelah mahasiswa menyelesaikan praktik residensi di rumah sakit.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 134: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

123

Universitas Indonesia

Untuk mengatasi hal tersebut, evaluasi bisa dilakukan oleh mahasiswa residensi

musculoskeletal angkatan berikutnya dalam melihat kebermanfaatan panduan

tersbut secara objektif di ruang rawat terutama bagi perawat.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 135: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

124 Universitas Indonesia

BAB 4

PEMBAHASAN

Berisi penjelasan tentang berbagai kesenjangan yang ditemukan mahasiswa

selama praktik residensi. Pembahasan ditulis dengan menggunakan teori dan

konsep serta bukti-bukti ilmiah terkini. Bagian ini juga menjelaskan aplikasi teori

dan konsep keperawatan yang digunakan sebagai pendekatan pada pemberian

asuhan keperawatan kasus kelolaan serta analisis kritis dalam penerapannya. Bab

ini mencakup penjelasan terkait berbagai keterbatasan dan hambatan yang dialami

mahasiswa selama praktik residensi serta kemudahan yang memfasilitasi praktik

residensi.

4.1 Analisa Kasus Kelolaan Utama

Pada bagian ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan pada Tn. JT

berdasarkan hasil pengkajian Basic conditioning factors dan therapeutic self-care

demand dengan menggunakan pendekatan Model Self-care Orem sehingga dapat

diperoleh diagnosa, tujuan, intervensi, dan evaluasi keperawatan. Pembahasan

meliputi masalah Ketidakadekuatan dari self-care agency dalam memenuhi self-

care requisites. Pembahasan berkaitan dengan manifestasi klinis yang muncul

dengan tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Analisis dan sintesis

pembahasan dilakukan dengan berbagai sumber serta penelitian yang lain yang

mendukung sebagai bukti ilmiah. Pada akhir tiap bahasan disertakan rekomendasi

dan saran untuk mengatasi masalah dan kesenjangan yang ditemukan.

Keluhan utama yang dirasakan oleh klien saat pertama kali dirawat adalah nyeri

yang tidak tertahankan hingga mengganggu aktivitas sehari-hari serta perasaan

lemas dan tidak bertenaga. Nyeri paling dirasakan terutama di area kaki yang

mengalami patah tulang dan area dada bagian kanan atas. Patahan tulang yang

menyebabkan luka terbuka mengakibatkan banyaknya rembesan darah yang

keluar melalui luka.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 136: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

125

Universitas Indonesia

Pengkajian pada sistem muskuloskeletal dengan metode look, feel, and move

menunjukkan bahwa klien mengalami manifestasi klinis berupa nyeri, bengkak,

deformitas, kehilangan sensasi pada 3 jari kaki (jari tengah sampai kelingking).

Temuan tersebut sesuai dengan teori bahwa manifestasi klinis fraktur adalah

Nyeri, Deformitas (kelainan bentuk), krepitasi (suara berderik), tenderness,

bengkak, pergerakan abnormal, echymosis (perdarahan subkutan yang lebar),

kehilangan sensasi/ mati rasa, dan paralisis (Lemone & Burke, 2004; Smelter &

Bare, 2002; Linton, 2012).

Jenis fraktur terbuka yang dialami klien berdasarkan Klasifikasi Gustillo

Anderson untuk Fraktur terbuka termasuk dalam kategori Fraktur Terbuka Grade

II . Aiyer dan Taylor (2015) mendeskripsikan karakteristik fraktur terbuka Grade

II dengan ukuran luka < 10 cm, kontaminasi minimal, pola fraktur moderate

comminution. Sedangkan untuk jenis fraktur berdasarkan pola fraktur, pada tibia

terjadi fraktur dengan pola spiral, fibula mengalami fraktur transverse dengan

displacement, sedangkan untuk fraktur calcaneus terjadi fraktur comminuted.

Hasil analisis terhadap data-data yang ditemukan berdasarkan pengkajian dengan

metode self-care Orem menemukan enam diagnosa keperawatan yang selanjutnya

akan dibahas secara rinci meliputi:

4.1.1 Aktivitas dan Istirahat

4.1.1.1 Nyeri akut berhubungan dengan adanya agen cedera fisik berupa

terputusnya kontinuitas jaringan akibat trauma.

Definisi nyeri yang digunakan secara umum adalah menurut International

Association for the Study of Pain (IASP) dan diterima oleh American Pain Society

dan WHO dalam McCance dan Huether (2014) yakni, nyeri merupakan perasaan

ketidaknyamanan dan pengalaman emosional yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan akut atau potensial, atau suatu istilah yang menjelaskan

kerusakan tersebut. Waddel (2004) menjelaskan nyeri merupakan gejala, bukan

suatu tanda klinis, diagnosis, maupun penyakit.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 137: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

126

Universitas Indonesia

Nyeri akut adalah suatu sensasi nyeri yang onsetnya terjadi dalam waktu singkat

atau cepat dengan intensitas nyeri sedang sampai berat dan akhir dari nyeri ini

dapat diantisipasi atau diprediksi (NANDA, 2015). Nyeri akut merupakan suatu

mekanisme perlindungan yang mewaspadakan individu terhadap kondisi

berbahaya terhadap tubuh dan memicu individu untuk segera melakukan tindakan

untuk menghindarinya. Nyeri akut bersifat sementara, pada umumnya

berlangsung dalam hitungan detik hingga hari dan terkadang ada yang mencapai

waktu hingga tiga bulan (McCance & Huether, 2014). Berdasarkan beberapa

definisi tersebut, nyeri yang dirasakan pada kasus Tn.JT dapat digolongkan

sebagai nyeri akut karena terjadi dalam waktu singkat dan bersifat sementara.

Nyeri akut pada umumnya terjadi akibat cedera jaringan lunak dan akan

berkurang intensitasnya seiring dengan proses penyembuhan (Medical Board of

California, 2014).

Nyeri pada fraktur terbagi menjadi tiga fase antara lain adalah nyeri akut, nyeri

sub-akut dan nyeri kronik. Nyeri akut terjadi sesaat setelah fraktur ketika tulang

mengalami kerusakan. Nyeri sub-akut terjadi satu minggu setelah fraktur ketika

tulang dan jaringan lunak sekitarnya dalam proses penyembuhan. Sedangkan

nyeri kronik adalah nyeri yang terus terjadi setelah fraktur dan jaringan lunak

selesai melalui proses penyembuhan (Osteoporosi Canada, 2015). Pasien fraktur

bisa mengalami keseluruhan atau sebagian dari fase nyeri. Nyeri akut yang

dialami pasca fraktur akan diikuti oleh nyeri sub-akut pada masa pemulihan dan

pada umumnya jika proses penyembuhan tulang telah sempurna, klien sudah tidak

mengalami nyeri lagi. Namun ada pula pasien yang hanya mengalami nyeri akut

saja bahkan tidak mengalami nyeri sama sekali.

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Linton (2012), nyeri merupakan salah

satu manifestasi klinis yang muncul pada kasus fraktur. Nyeri adalah respon

alamiah tubuh ketika tulang mengalami kerusakan. Fraktur dan cedera pada

jaringan lunak disekitar fraktur dapat menyebabkan nyeri. Jaringan lunak disekitar

fraktur meliputi otot, ligamen, saraf, pembuluh darah dan sendi. Ketika jaringan

lunak tersebut mengalami kerusakan, maka manifestasi klinis yang muncul tidak

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 138: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

127

Universitas Indonesia

hanya berupa nyeri namun juga dapat berupa bengkak serta kemerahan. Hal

tersebut sesuai dengan kondisi yang dialami oleh Tn.JT yang mengalami nyeri

disertai dengan pembengkakan dan kemerahan pada area yang mengalami fraktur

dan sekitarnya.

Pada kasus fraktur tibia-fibula terjadi kerusakan pembuluh darah akibat trauma

langsung dan penekanan pada kompartemen fascial (anterior, lateral atau

posterior) akibat adanya edema pada ruang tertutup. Masalah tersebut tidak hanya

dapat mengakibatkan gangguan pada suplai darah namun juga mengakibatkan

nyeri hebat (Hamblen & Simpson, 2007). Tulang tibia merupakan tulang yang

paling sering mengalami fraktur terbuka karena tipisnya jaringan lunak di sekitar

tibia. Kondisi fraktur terbuka pada tibia dapat memperparah kondisi nyeri yang

muncul karena pada kasus fraktur tidak hanya terjadi kerusakan pada tulang

namun juga pada jaringan lunak sekitar.

Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu secara

farmakologi dan non-farmakologi. Terapi farmakologi menggunakan obat-obatan

sedangkan terapi non-faramakologi dapat dilakukan dengan menrnkan kecemasan,

teknik relaksasi, distraksi maupun teknik lainnya tanpa obat-obatan.

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis didasarkan pada skala nyeri.

Pengkategorian nyeri dikelompokkan menjadi tiga yaitu nyeri ringan (VAS 0-3),

nyeri sedang (VAS 4-6) dan nyeri berat (VAS 7-10) (World Health Organization,

2009). Jenis obat-obatan yang digunakan antara lain analgesik non-opioid untuk

nyeri akut dengan skala ringan-sedang, analgesik opioid untuk nyeri akut degan

skala sedang sampai berat dan terapi adjuvant (Hamilton, 2005).

Penanganan nyeri secara farmakologi pada kasus Tn.JT adalah dengan

memberikan terapi medis berupa ketorolac 3 x 30 mg. Ketorolac merupakan obat

golongan NSAID. Obat ini dikategorikan sebagai anti nyeri non-opioid. Sesuai

dengan guideline dari WHO terkait manajemen nyeri, nyeri ringan hingga sedang

dapat diberikan analgesik berupa NSAID. Berdasarkan hasil pengkajian

menggunakan VAS dan numerating scale, pada awal-awal dirawat klien

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 139: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

128

Universitas Indonesia

mengalami nyeri sedang hingga berat (VAS dari 3 hingga 9). Klien cukup mampu

bertoleransi dengan kondisi nyeri tersebut dengan bantuan obat dan terapi non-

farmakologis yang diajarkan oleh perawat. Beberapa hari klien mengalami nyeri

hebat hingga tidak bisa tidur di malam hari dan nyeri tidak berkurang dengan

pemberian ketorolac. Perawat telah melakukan kolaborasi dengan tim medis. Tim

tidak serta merta mengganti analgesik menjadi opioid, namun mengevaluasi

kondisi ekstremitas yang patah terlebih dahulu. Setelah backslab perbaiki,

kejadian nyeri yang dialami klien saat malam hari menjadi berkurang.

Nyeri hebat yang dialami oleh Tn.JT beberapa hari setelah debridement

diakibatkan oleh prosedur imobilisasi yang kurang tepat. Ignatavisius & Workman

(2013) menjelaskan bahwa salah satu intervensi untuk mengatasi nyeri akut pasca

fraktur adalah dengan reduksi dan imobilisasi baik non-operatif maupun operatif.

Pada kasus Tn.JT dilakukan reduksi secara terbuka dan pemasangan fiksasi

internal berupa IM Nail melalui prosedur pembedahan yang disebut ORIF (Open

Reduction and Internal Fixation). Namun, dalam proses menunggu jadwal

pembedahan, klien terpasang long leg back slab splint untuk stabilisasi tulang

yang fraktur. Mansbridge (2014) menjelaskan bahwa backclab jenis long leg

(above knee) digunakan untuk fraktur pada ekstremitas bawah khususnya fraktur

pada tibia dan fibula. Backslab ini memanjang dari bagian tengah paha hingga

dasar jari-jari kaki/telapak kaki, lutut dalam posisi fleksi 5 – 20°, ankle netral

(90°). Sedangkan untuk fraktur pada bagian calcaneus/talus digunakan backslab

dengan jenis short leg. Kriteria pemasangan backslab jenis short leg hampir sama

dengan jenis log leg, perbedaannya hanya pada panjang backslab. Fraktur yang

dialami oleh Tn.JT terjadi pada bagian tibia, fibula dan calcaneus. Oleh karena itu

pemasangan back slab yang tepat adalah jenis long leg. Namun, dalam

pemasangan back slab mahasiswa mengamati suatu kesenjangan antara teori dan

kejadian di ruang rawat. Back slab yang terpasang pada Tn.JT tampak tidak solid

dan kokoh sehingga mudah bengkok akibat beban dari kaki. Pemasangan

backslab yang tepat membutuhkan plaster slab dengan lebar 15cm sebanyak 4

lapis dibagian posterior kemudian dilapisi lagi dengan plaster slab yang

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 140: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

129

Universitas Indonesia

panjangnya 10cm lebih pendek dibandingkan slab utama dengan lebar 10cm

sebanyak 4 lapis dari sisi medial ke lateral (Mansbridge, 2014). Hal tersebut yang

kemudian memicu nyeri klien karena konsistensi backslab yang tidak solid

sehingga fragmen tulang akan mudah bergeser.

Masalah nyeri pada Tn.JT dapat teratasi dengan intervensi yang sesuai, namun

pencegahan dini terhadap kejadian nyeri berat sebaiknya dapat dilakukan. Pada

saat pemasangan backslab, selain mengikuti standar yang telah ditetapkan perlu

diidentifikasi pula kondisi pasien seperti berat badan dan kondisi luka yang pada

akhirnya dapat mempengaruhi konsistensi backslab. Pasien dengan bobot badan

yang lebih berat cenderung membutuhkan backslab yang lebih tebal karena

penekanan pada bobot ekstremitas juga lebih besar. Selain itu, kondisi luka

dengan eksudat berlebihan juga akan mempengaruhi konsistensi backslab oleh

karena itu pada saat pemasangan backslab barus dipastikan backslab benar-benar

pada posisi anatomis tubuh saat backslab mengering.

4.1.1.2 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan pada struktur

tulang dan jaringan lunak disekitarnya.

Trauma pada ekstremitas bawah pada umumnya berupa fraktur tibia dan fibula.

Penatalaksanaan utama pada kasus fraktur tibia-fibula adalah dengan reduksi dan

imobilisasi menggunakan bidai, internal fiksasi atau eksternal fiksasi (pada kasus

fraktur terbuka). Reduksi adalah mengembalikan posisi tulang agar masing-

masing ujung tulang yang patah sesuai dengan alignment nya ketika dalam proses

penyembuhan. Reduksi dapat dilakukan secara tertutup maupun terbuka/ melalui

pembedahan. Setelah reduksi dilakukan prosedur imobilisasi. Imobilisasi dapat

dilakukan dengan berbagai metode antara lain dengan bandage, splint, cast dan

traksi (Ignatavicius & Workman, 2013). Proses imobilisasi inilah yang pada

akhirnya akan membatasi pergerakan pasien khususnya pada area ekstremitas

yang mengalami cedera.

Prosedur fiksasi atau imobilisasi pada kasus fraktur terbuka memiliki

perberbedaan dibandingkan dengan fraktur tertutup. Pada fraktur terbuka terdapat

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 141: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

130

Universitas Indonesia

luka akibat kerusakan jaringan lunak di sekitar area frakur, sehingga

penatalaksanaan awal yang dilakukan adalah pemberiaan profilaksis dan

pembersihan luka dengan debridement. Untuk fraktur terbuka grade II,

pemasangan fiksasi internal atau intramedullary nail dapat dilakukan setelah

debridement jika kerusakan jaringan lunak minimal dan dapat dilakukan

penutupan luka sempurna. Sedangkan untuk kasus fraktur terbuka grade III

khususnya grade IIIA, fiksasi akhir dapat langsung setelah debridement dengan

fiksasi internal, intramedullary nail atau fiksasi eksternal. Pada kasus fraktur

terbuka grade IIIB dan IIIC, fiksasi yang dilakukan setelah debridement adalah

teknik eksternal fiksasi, karena pada kasus ini luka tidak langsung dapat dilakukan

penutupan akibat kerusakan jaringan lunak yang berat (Lasaniaos, Kanakaris &

Giannoudis, 2015).

Keterbatasan dalam mobilisasi pada Tn.JT juga terjadi akibat adanya fraktur

multiple yaitu fraktur yang terjadi pada dua tulang atau lebih. Tulang yang

mengalami fraktur adalah tibia, fibula dan tulang-tulang pedis. Tibia mengalami

fraktur terbuka GA II dengan pola fraktur spiral. Fibula bagian distal mengalami

fraktur komplit tertutup dengan pola fraktur transverse dan terjadi pergeseran

fragmen fraktur distal ke anterior. Calcaneus mengalami fraktur kominutif dengan

pergeseran fragmen ke lateral, Maleolus dan metatarsal digiti II sampai dengan V

mengalami fraktur komplit. Cuneiforme dan cuboid, mengalami fraktur

kominutif.

Pada penjelasan sebelumnya terkait diagnosa nyeri akut, klien telah mendapatkan

penanganan berupa prosedur imobilisasi dengan menggunakan long leg backslab

sambil menunggu jadwal untuk operasi ORIF. Implant yang digunakan pada

kasus Tn.JT adalah intramedullary rod/nail untuk shaft tibia. Hal tersebut sesuai

dengan beberapa teori bahwa intramedullary nail digunakan pada kasus fraktur

pada diafisis dan tulang panjang. Sebagian besar kasus fraktur tibia terutama tipe

comminuted dan terjadi angulasi. Plate dan screw juga bisa digunakan, namun

dengan posisi tulang tibia pada subkutaneus, pemasangan benda asing sepanjang

shaft dapat meningkatkan risiko kerusakan pada area luka (Brunicardi, 2015).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 142: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

131

Universitas Indonesia

Fraktur pada shaft fibula pada umumnya terjadi seiring dengan adanya fraktur

pada tibia. Penanganan pada fraktur tibia membutuhkan perhatian utama lalu

fraktur tibia di prioritas kedua karena tulang fibula hanya berfungsi menopang

berat badan sebesar 6 – 17% (Hamblen & Simpson, 2007). Fraktur pada fibula ini

dapat sembuh dengan sendirinya tanpa melalui operasi (Brunicardi, 2015). Hal ini

pula yang ditemukan pada kasus Tn.JT yang mengalami fraktur pada tibia dan

fibula. Pada kasus Tn.JT, fraktur fibula mengalami angulasi sehingga saat operasi

ORIF dilakukan reduksi namun tidak dilakukan pemasangan implant atau fiksasi

internal pada fibula tersebut. Untuk imobilisasi fibula, Tn.JT tetap terpasang long

leg back slab post ORIF. Gambaran tulang tibia-fibula dan implant post ORIF

Intramedullary nail pada Tn.JT dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 4.1

Rontgen Tibia-Fibula Post Operasi pemasangan Intramedullary Nail

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa klien terpasang intramedullary nail dengan

locking screw di bagian distal dan proksimal tibia. Fibula tidak terpasang implant

dan masih terdapat angulasi. Post operasi klien tetap terpasang long leg backslab

dengan dibalut oleh verban elastis.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 143: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

132

Universitas Indonesia

Selain fraktur tibia dan fibula, Tn. JT juga mengalami fraktur pada tulang-tulang

pedis yang meliputi calcaneus, maleolus, talus, cuneiforme, cuboid dan

metatarsal. Fraktur calcaneus terjadi intra-artikular dan dapat mengakibatkan

kerusakan pada weight-bearing posterior facet. Pemeriksaan melalui CT-Scan

perlu dilakukan untuk memvisualisasikan pola fraktur. Sebagian besar fraktur

calcaneus dapat sembuh tanpa operasi yaitu dengan menggunakan splint dan

pasien dipertahankan untuk non-weight bearing selama kurang lebih 12 minggu

(Brunicardi, 2015). Sesuai dengan teori, pada Tn.JT telah dilakukan CT-Scan

ankle untuk mengetahui pola fraktur. Berdasarkan hasil CT Scan diperoleh bahwa

terjadi fraktur pada area calcaneus dan tarsal. Tulang tarsal meliputi tulang

navicular, cuboid dan tiga buah tulang cuneiform, yang menghubungkan tarsal

dengan metatarsal dan memberikan keseimbangan pada sumbu kaki. Fraktur pada

area ini mengakibatkan klien belum mampu untuk menggunakan kakinya sebagai

tumpuan untuk berjalan dan menopang tubuh, disamping belum pulihnya fraktur

pada tibia dan fibula. Oleh karena itu, klien membutuhkan waktu yang cukup

lama untuk pemulihan kondisi tersebut.

Pasca operasi ORIF IM Nailing klien mulai mempersiapkan diri untuk mobilisasi.

Henderson (1966) menjelaskan bahwa kebutuhan untuk bergerak dan

mempertahankan postur tubuh yang sesuai merupakan suatu fundamental bagi

setiap orang. Ketidak mampuan seseorang dalam melakukan mobilisasi dapat

terjadi akibat masalah pada ekstremitas bawah dan beberapa alasan lain yang

meliputi nyeri, kekakuan, spasme, deformitas, protokol post operasi dan

imobilisasi karena pemasangan cast atau splint. Untuk kondisi imobilisasi akibat

operasi, maka latihan mobilisasi dini hal yang penting untuk dilakukan (Davis,

2000).

Pola Mobilisasi yang diterapkan kepada klien adalah Non-weight bearing (NWB).

NWB adalah suatu kondisi dimana pasien tidak boleh menapakkan kaki yang

cedera ketika berjalan dengan tujuan untuk membebaskan kaki yang cedera dari

beban berat badan (Coles, 2012). Pada kasus Tn.JT, penerapan NWB belum

ditentukan batas waktunya karena selama masalah fraktur multiple pada tulang-

tulang pedis klien belum dilakukan operasi, maka klien akan tetap dalam kondisi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 144: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

133

Universitas Indonesia

NWB. Pada kondisi ini perawat berperan dalam memotivasi klien untuk memulai

mobilisasi, mengajarkan klien cara mobilisasi dan ambulasi yang tepat dan aman,

serta mendampingi klien saat latihan.

Selama periode NWB ini klien akan menggunakan alat bantu berupa kruk dengan

jenis axillary cruthes. Pada kruk jenis ini berat badan ditopang oleh tangan

dengan sudut siku yang lebar. Panjang handle diukur dengan cara yang sama

seperti mengukur tongkat, namun panjang total dari kruk diukur dari bagian

anterior aksila hingga titik dengan jarak 6 inchi dari kaki atau dasar tumit (Delisa

et al., 2005). Posisi berdiri awal adalah posisi tripod yaitu dengan meletakkan

kruk 15 cm di depan dan 15 cm di samping kaki pasien. Posisi ini memberikan

keseimbangan dengan topangan lebih luas. Metode berjalan dengan kruk yang

diterapkan pada pasien dengan NWB adalah three-point gait dimana kedua kruk

dan kaki yang cedera bergerak secara simultan (NAON, 2010). Selanjutnya pasien

perlu di latih untuk melangkah, menaiki tangga dan duduk serta bangun dari

duduk saat menggunakan kruk.

Pada saat memulai latihan berjalan dengan menggunakan kruk, Tn.JT telah

melalui seluruh tahapan mulai dari persiapan hingga latihan berjalan. Hanya saja

terkadang pasien masih belum tepat dalam membebankan berat badan tubuh.

Pasien masih sesekali tampak menopangkan tubuh degan kruk menempel di

aksila. Berdasarkan kondisi tersebut dirasa perlu untuk melatih kekuatan otot

ekstremitas atas sebelum memulai mobilisasi dengan menggunakan alat bantu

berjalan seperti kruk.

4.1.2 Cairan

4.1.2.1 Defisit volume cairan berhubungan dengan kehilangan darah berlebihan

pada area fraktur terbuka akibat trauma dan intake cairan yang tidak

adekuat.

Tulang banyak mengandung pembuluh darah. Trauma dapat mengakibatkan

terputus dan rusaknya pembuluh darah arteri di sekitar tulang. Ketika tulang

mengalami kerusakan, periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sum-sum,

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 145: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

134

Universitas Indonesia

dan jaringan lunak di sekitar tulang juga mengalami kerusakan. Oleh karena itu,

cedera pada tulang sangat berisiko untuk terjadinya perdarahan yang jika tidak

ditangani dengan baik akan berpotensi mengakibatkan syok hipovolemik

(Ignatavicius & Workman, 2013; McCance & Huether, 2014). Penyebab lain dari

kehilangan darah antara lain adalah slipped ligature selama atau setelah

pembedahan, infeksi, kerusakan jaringan lunak, luka, dan medikasi (misalnya

NSAIDs, antikoagulan) (Maher, 2002).

Pada kasus Tn.JT terjadi kehilangan darah yang cukup banyak. Hal tersebut dapat

dilihat dari penurunan nilai Hb yang dialami klien semenjak masuk ke rumah sakit

dan pasca operasi debridement. Hb klien ketika pertama kali masuk ke IGD

adalah 12,7 gr/dl, keesokan harinya turun menjadi 10,6gr/dl, pada hari berikutnya

setelah dilakukan debridement, nilai Hb klien turun lagi menjadi 8,6gr/dl. Selain

mengalami penurunan Hb, luka post debridement klien juga mengeluarkan

rembesan yang cukup banyak hingga membasahi alas tempat tidur.

Fraktur akibat trauma yang dialami oleh Tn.JT dapat mengakibatkan kerusakan

pembuluh darah sehingga menjadi salah satu pemicu terjadinya kehilangan darah

yang cukup banyak. Hal tersebut sesuai dengan hasil teori yang dikemukakan oleh

Court Brown et al (2005) bahwa salah satu komplikasi dari trauma adalah cedera

vaskuler. Trauma terutama trauma tumpul dapat mengakibatkan kerusakan

jaringan lunak yang luas dan pola fraktur yang kompleks. Trauma mengakibatkan

kerusakan pada beberapa arteri, namun pada praktik nya cedera vaskular yang

membutuhkan perbaikan atau rekonstruksi adalah cedera berhubungan dengan

fraktur pada diafisis femur dan tibia.

Penatalaksanaan terhadap kehilangan darah akibat fraktur adalah dengan

pemberian transfusi. Hamblen dan Simpson (2007) menjelaskan bahwa trasfusi

cairan koloid atau produk darah dilakukan jika kehilangan darah pasien lebih dari

1 liter. Tn. JT memperoleh transfusi PRC sebanyak 500 cc yang diberikan secara

bertahap. Pasca transfusie pasien mengalami peningkatan Hb yang cukup

signifikan dari 8,6 gr/dl menjadi 10,5gr/dl. Meskipun telah mengalami

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 146: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

135

Universitas Indonesia

peningkatan Hb, namun nilai Hb tersebut masih tergolong rendah jika

dibandingkan dari kadar Hb normal pria yaitu 13,2 – 17,3 g/dl. Agar nilai Hb

terus meningkat, pasien dimotivasi untuk meningkatkan asupan nutrisi yang kaya

zat besi dan vitamin K seperti buah-buahan dan sayuran. Selain itu, perawat juga

perlu mempertahankan status hidrasi klien dengan melakukan monitoring

terhadap sumber perdarahan untuk mencegah kehilangan darah berulang.

4.1.3 Udara

4.1.3.1 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran

alveoral-kapiler akibat giant bullae

Hasil pemeriksaan radiologi terhadap Tn.JT menemukan bahwa terdapat giant

bullae di apeks paru kanan dengan luas sekitar 1/3 lapang paru. Temuan ini cukup

mengejutkan klien karena klien mengatakan tidak ada gejala yang dirasakan.

Klien hanya mengeluh sering batuk namun bisa sembuh dengan sendirinya tanpa

obat-obatan. Bullae dapat asimptomatik (Chen & Chang, 2014). Berdasarkan teori

yang dikemukakan oleh Huang, Han, dan He (2014), kriteria giant bullae

berdasarkan hasil gambaran radiologi antara lain adalah adanya giant bullae di

salah satu atau kedua lobus atas paru yang besarnya lebih dari 1/3 hemithorax dan

menekan parenkim normal. Hal tersebut sesuai dengan gambaran rontgen thorax

Tn.JT dan diperkuat oleh hasil CT-Scan Thorax. Bahkan melalui pemeriksaan

CT-Scan Thorax ditemukan adanya multiple bullae di lapang paru kiri.

Bullae didefinisikan sebagai ruang udara pada paru yang ukuran diameternya

sekitar 1cm. Udara yang tertahan akan mengakibatkan peregangan pada dinding

alveoli karena terisi udara sehingga menurunkan elatisitas recoil pada alveoli.

Giant bullae terjadi jika besarnya bullae lebih dari 30% hemithorax. Salah satu

penyebab tersering terjadinya giant bullae adalah merokok dan riwayat COPD

(Johnson, et al., 2000; Chen & Chang, 2014). Bullae juga berhubungan dengan

infeksi HIV dan penggunaan narkotika intravena. Tn.JT adalah perokok berat

meskipun dari pengakuan klien, ia baru merokok selama 5 tahun. Sedangkan

untuk riwayat pemakaian obat-obatan klien menyangkal. Bullae yang terdapat di

paru Tn.JT dapat mengganggu fungsi pertukaran gas karena bullae dapat

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 147: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

136

Universitas Indonesia

meningkatkan jumlah dead space fisiologis dan menekan jaringan paru normal di

sekitarnya sehingga mengurangi area untuk pertukaran gas yang efektif. Giant

bullae akan mendesak diafragma dan berdampak terhadap kontraktilitas (Lee, et

al., 2013).

Masalah pertukaran gas ditandai oleh adanya dispnea, kecenderungan untuk

berada dalam three-point position, pursed lip breathing terutama saat ekspirasi,

kelelahan, penurunan saturasi oksigen dan tekanan parsial oksigen arteri,

peningkatan tekanan parsial karbondioksida arteri dan sianosis (RN Central,

2009). Manifestasi dari masalah pertukaran gas yang terjadi pada Tn.JT tampak

dari keluhan utama berupa sesak napas, batuk dan hasil pemeriksaan AGD yaitu

penurunan tekanan parsial osigen. Namun secara keseluruhan pasien belum

berada pada kondisi kegawat daruratan karena mekanisme kompensasi tubuh

melalui pengoptimalan penggunaan paru-paru yang masih sehat. Hal yang perlu

dilakukan oleh perawat adalah memonitor secara rutin status fungsi pernapasan

klien dan mengawasi lebih lanjut jika ditemukan tanda dan gejala yang mengarah

ke perburukan.

4.1.4 Pencegahan Bahaya

4.1.4.1 Risiko infeksi dengan faktor risiko adanya luka terbuka.

Infeksi adalah salah satu komplikasi dari fraktur. Infeksi luka merupakan infeksi

yang paling sering terjadi pada kasus trauma muskuloskeletal (Ignatavicius &

Workman, 2013; Archdeacon, Anglen, Ostrum & Robert, 2012). Luka yang ada

pada fraktur terbuka berpotensi untuk terkontaminasi oleh organisme dari luar

tubuh. Kasus infeksi yang mungkin terjadi akibat infeksi luka adalah surgical site

infection atau yang biasa disebut dengan infeksi luka operasi. Tidak hanya itu,

infeksi yang tidak ditangani secara optimal akan berpotensi menyebar ke tulang

sehingga dapat menyebabkan terjadinya osteomielitis (Archdeacon, Anglen,

Ostrum & Robert, 2012). Kejadian infeksi perlu mendapatkan perhatian karena

infeksi dapat menghambat proses penyembuhan tulang (Hamblen & Simpson,

2007; Ignatavicius & Workman, 2013). Dampak lebih lanjut dari kejadian infeksi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 148: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

137

Universitas Indonesia

adalah memanjangnya hari perawatan yang akan berdampak terhadap peningkatan

biaya pengobatan (Lissovoy et al. 2009).

Tubuh memiliki sistem pertahanan untuk mencegah masuknya organisme yang

dapat memicu terjadinya infeksi. Salah satu pertahanan tubuh terhadap organisme

asing adalah kulit. Kulit termasuk barrier eksternal yang menjadi lini pertama

pertahanan tubuh terhadap lingkungan luar. Sangat sedikit bakteri yang dapat

masuk melalui lapisan permukaan kulit yang utuh (Widmaier, Raff & Strang,

2013). Kasus fraktur terbuka pada Tn.JT terjadi kerusakan pada lapisan kulit dan

jaringan lunak di sekitar nya akibat luka sehingga meningkatkan risiko masuknya

organisme asing yang dapat menyebabkan infeksi. Kasus fraktur tertutup yang

dialami oleh Tn.JT juga berpotensial untuk terjadi infeksi ketika fraktur tersebut

berubah menjadi fraktur terbuka karena prosedur operasi, penggunaan implant

seperti pin, plate, atau rod.

Pencegahan infeksi akibat fraktur terbuka dapat dilakukan dengan penanganan

yang cepat dan tepat terhadap luka. Fraktur terbuka membutuhkan suatu

penanganan khusus dan berbeda dengan kasus fraktur tertutup. Luka terbuka

akibat fraktur membutuhkan penanganan segera di ruang operasi. Semakin cepat

penanganan terhadap luka fraktur, semakin kecil risiko infeksi yang muncul

akibat kontaminasi mikroorganisme asing. Hamblen dan Simpson (2007)

menjelaskan bahwa penanganan pertama pada pasien fraktur terbuka dikamar

operasi adalah dengan melakukan pembersihan luka dengan tujuan untuk

menghilangkan jaringan-jaringan mati dan material asing, mempertahankan

jaringan yang tervaskularisasi dengan baik yang dapat menangkal infeksi dari

mikroorganisme yang tetap ada meskipun telah dilakukan pembersihan secara

teliti. Penatalaksanaan fraktur terbuka tersebut telah dilakukan terhadap Tn.JT.

Prosedur pembersihan luka melalui operasi telah dilakukan di awal ketika pasien

masuk ke ruang IGD RSUP Fatmawati. Sebelum menjalani rawat inap, klien telah

dilakukan operasi debridement luka yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk

mencegah terjadinya infeksi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 149: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

138

Universitas Indonesia

Penanganan lain yang tidak kalah penting disamping debridement adalah

Pemberian profilaksis berupa antibiotik dan immunoglobulin tetanus. Antibiotik

profilaksis harus diberikan dalam waktu 3 jam pasca cedera (Arafiles, 2014) dan

diberikan selama 48 sampai 72 jam pada kasus fraktur terbuka (Brinker, 2013).

Jenis antibiotik profilaksis yang diberikan pada fraktur terbuka ditentukan

berdasarkan Grade fraktur terbuka (Gustilo Type). Pada kasus fraktur terbuka

Sedangkan Hamblen dan Simpson (2007) menjelaskan bahwa antibiotik golongan

cephalosporin generasi ketiga harus diberikan segera setelah terjadi cedera untuk

mencegah infeksi. Teori yang sama dikemukakan Pemberian imunisasi tetanus

perlu dilakukan pada individu yang belum pernah memperoleh imunisasi tetanus

sebelumnya. Pemberian pertama dengan dosis standar kemudian 6 bulan

berikutnya diberikan dosis kedua. Tn.JT telah mendapatkan penanganan sesuai

dengan penjelasan sebelumnya. Sejak awal masuk ke RS klien telah memperoleh

antibiotik ceftriaxon yang merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi

ketiga. Klien juga telah memperoleh imunisasi tetanus berupa tetagam 10mg saat

berada di IGD.

Upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi pada fraktur tertutup dapat

dilakukan melalui beberapa hal antara lain berupa pelaksanaan operasi pada waktu

operasi yang tepat, penggunaan profilaksis antibiotik dan pengaturan lingkungan

di ruang Operasi. Prosedur pembedahan harus mengalami penundaan pada kondisi

fraktur tertutup yang mengalami pembengkakan, contusion, echymosis dan

blistering pada jaringan lunak. Penundaan dilakukan sampai jaringan lunak

sembuh dan memiliki kemampuannya kembali dalam menangkal infeksi akibat

organism asing (Archdeacon et al. 2014). Hal tersebut yang menjadi alasan belum

dilakukannya operasi pada bagian calcaneus dan tulang-tulang pedis Tn.JT.

Setelah dilakukan ORIF dan penatalaksanaan terhadap giant bullae, Tn.JT

menjalani proses rawat jalan sambil menunggu penjadwalan kembali untuk

operasi selanjutnya.

4.1.4.2 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor risiko mekanik

berupa gesekan pada kulit akibat trauma.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 150: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

139

Universitas Indonesia

Selama kurang lebih dua minggu setelah kejadian fraktur, klien menjalani

prosedur operasi yaitu ORIF dengan intramedullary nail pada tibia. Sedangkan

untuk calcaneus belum dilakukan operasi karena jaringan lunak di sekitar

calcaneus masih mengalami pembengkakan dan luka jahitan bekas operasi

debridement masih tampak basah karena adanya rembesan. Operasi calcaneus

ditunda sampai jaringan lunak disekitar fraktur mengalami perbaikan dan luka

bekas operasi sudah menunjukkan tanda-tanda penyembuhan. Hal tersebut sesuai

dengan penjelasan Brunicardi et al (2015) bahwa pada kasus fraktur terbuka

terjadi kerusakan pada pembuluh darah dan saraf di sekitar tulang. Prosedur

definitif ditunda sampai luka bersih dan jaringan lunak dapat digunakan untuk

menutupi area fraktur.

4.1.4.3 Risiko disfungsi neurovaskuler perifer dengan faktor risiko imobilisasi,

fraktur, kompresi mekanik akibat pemasangan backslab dan verban elastis.

Dislokasi fraktur tibia atau fibula dapat merusak saraf. Saraf yang sering

mengalami kerusakan akibat fraktur tibia – fibula adalah common peroneal nerve

dan tibial nerve di bawah lutut serta tibial nerve pada fraktur di ¼ bagian bawah

tibia. Pada kasus cedera tertutup, saraf mengalami kerusakan akibat ujung dari

patahan tulang yang tajam. Lesi yang terjadi dapat berupa neupraxia atau

axonotmesis yang dapat pulih secara spontan. Sedangkan kerusakan saraf berat

(Neurotmesis) dapat terjadi pada fraktur terbuka akibat cedera penetrasi. Kondisi

ini memerlukan prosedur pembedahan untuk pemulihan saraf (Hamblen &

Simpson, 2007).

Tn.JT mengalami defisit neurologis terutama di area distal. Klien kehilangan

sensasi pada jari-jari kaki. Berdasarkan hasil pengamatan selama menangani kasus

Tn.JT, setelah kurang lebih 2 minggu perawatan klien mulai mampu merasakan

sensasi sentuhan namun hanya pada dua jari (jempol dan telunjuk) sisa 3 jari yang

lain masih belum bisa merasakan sensasi ketika disentuh.

Selain kerusakan pada saraf, salah satu komplikasi dari fraktur tibia-fibula adalah

kerusakan pada pembuluh darah. Dislokasi pada fraktur tibia dapat merusak

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 151: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

140

Universitas Indonesia

cabang utama arteri popliteal yang mengakibatkan obstruksi pada aliran darah

arteri dan risiko iskemia pada area ekstremitas bawah.

4.1.4.4 Risiko Jatuh dengan faktor risiko penggunaan alat bantu berjalan dan

riwayat fraktur dengan pemasangan ORIF.

Risiko jatuh akan meningkat pada pasien yang mulai latihan mobilisasi post

operasi dan penggunaan alat bantu berjalan (cari penelitian yang menyebutkan hal

ini). Pada kasus Tn.JT, setelah prosedur debridement dan imobilisasi dengan

backslab, pasien belum berani melakukan mobilisasi karena nyeri. Saat nyeri

berkurang dan begkak berkurang, pasien mulai berani menggerakkan tubuhnya

meskipun untuk menggerakkan kaki masih butuh bantuan penuh dari perawat dan

tenaga kesehatan lain.

4.1.5 Kemampuan pasien dalam pemenuhan proses eliminasi dan eksresi

4.1.5.1 Risiko Konstipasi dengan Faktor risiko penurunan aktivitas fisik akibat

imobilisasi

Pasien fraktur yang mengalami imobilisasi beriko untuk konstipasi. Penyebab lain

dari konstipasi pada pasien fraktur adalah penurunan tonus otot, ketidakmampuan

untuk melakukan posisi normal eliminasi, menurunnya asupan makanan dan

cairan serta diet lunak. Eliminasi bowel meliputi aktivitas otot rangka dan pola

refleks visceral yang kompleks. Pasien membutuhkan diet seimbang dengan

kandungan serat yang tinggi, karbohidrat kompleks dan cairan. Cairan berperan

penting untuk menjaga konsistensi feses tetap lunak untuk lancarnya proses

eliminasi (Schoen, 2000).

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi adalah dengan

menjaga asupan cairan dan membatasi konsumsi minuman yang mengandung

kafein. Latihan yang dapat meningkatkan mobilitas pasien juga dapat membantu

dalam pencegahan terjadinya komplikasi akibat imobilisasi pada pasien fraktur

(Schoen, 2000).

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 152: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

141

Universitas Indonesia

4.2 Analisa Penerapan Teori Self Care Orem terhadap 30 kasus Resume

4.2.1 Diagnostic Operations

4.2.1.1 Universal Self-Care Requisites

Penerapan Teori Self-Care Orem pada 30 kasus kelolaan (resume terlampir)

menghasilkan beberapa temuan antara lain seluruh pasien kelolaan mengalami

masalah dalam kebutuhan perawatan terapeutik khususnya pada aspek pemenuhan

perawatan diri secara umum terkait kemampuan dalam mempertahankan

keseimbangan antara aktivitas dan istirahat. Masalah keperawatan yang muncul

terkait kondisi ini adalah kerusakan mobilitas fisik atau keterbatasan mobilitas di

tempat tidur. Data hasil pengkajian yang diperoleh menunjukkan beberapa pasien

mengalami kekuatan otot dan rentang gerak sendi. Indikator lain yang digunakan

dalam mengkaji masalah ini adalah Skala Barthel Index. Skala ini digunakan

karena dapat mengelompokkan kondisi ketergantungan pasien menjadi

ketergantungan total, berat, sedang dan ringan yang berdasarkan kepada penilaian

kemampuan untuk makan, kebersihan diri, toileting, berpakaian, kontrol

eliminasi, berpindah dari tempat tidur dan berjalan.

Masalah besar lain yang sering muncul pada pasien dengan gangguan pada sistem

musculoskeletal dan masih berkaitan dengan kemampuan dalam mempertahankan

keseimbangan antara aktivitas dan istirahat adalah nyeri akut. Nyeri yang dialami

klien tidak hanya mengakibatkan klien menjadi tidak mau beraktivitas, namun

nyeri tersebut juga mengganggu pola istirahat klien. Tidak semua pasien

mengalami nyeri, beberapa pasien dengan spinal cord injury justru tidak

mengalami keluhan nyeri sama sekali karena penurunan fungsi sensoris akibat

kerusakan saraf di tulang belakang.

Masalah pada kemampuan untuk mempertahankan asupan cairan, nutrisi, dan

eliminasi beberapa kali ditemukan pada pasien dengan gangguan muskuloskeletal.

Aspek pemenuhan cairan berkaitan dengan kondisi trauma dimana sering terjadi

kehilangan darah dalam jumlah yang cukup besar. Masalah Nutrisi beberapa kali

ditemukan pada pasien dengan Spinal Cord Injury terutama pada kasus spondilitis

TB. Pasien TB dengan pengobatan OAT rata-rata mengeluhkan penurunan nafsu

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 153: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

142

Universitas Indonesia

makan disertai mual muantah. Masalah nutrisi juga ditemukan pada kasus

penyerta seperti DM yang beberapa menyertai kasus osteoarthritis pada individu

usia lanjut.

Pola Eliminasi yang menjadi bagian dari Aspek pemenuhan perawatan diri

individu secara umum banyak terganggu pada kasus musculoskeletal. Konstipasi

dapat menjadi komplikasi dari menurunnya aktivitas akibat imobilisasi. Masalah

eliminasi lain yang sering terjadi adalah neurogenic bowel dan bladder pada

pasien dengan spinal cord injury pada area vertebra Lumbal dan Sakrum.

Masalah pada kemampuan interaksi sosial jarang ditemukan kecuali pada pasien

dengan gangguan psikologis. Pasien yang mengalami masalah pada aspek ini rata-

rata juga mempunyai masalah dalam mekanisme koping untuk mencegah masalah

dalam hidup baik itu masalah fisik maupun psikososial. Berdasarkan hasil

pengamatan penulis selama menjalani praktik, terdapat beberapa pasien yang

mengalami kondisi seperti ini namun penulis tidak menjadikannya sebagai pasien

kelolaan karena mengingat penerapan teori Self-Care Orem membutuhkan

kerjasama yang baik antara pasien dan perawat dalam menggali data-data

penunjang untuk mengidentifikasi kemampuan self-care. Selain itu, pasien-pasien

dengan masalah psikologis juga tidak dapat dimandirikan secara penuh untuk

memenuhi kebutuhan nya sehari-hari.

4.2.1.2 Developmental Self-Care Requisites

Pemenuhan kebutuhan perawatan diri sesuai dengan perkembangan mengalami

masalah karena pasien kelolaan masih tidak mampu untuk melakukan beberapa

kegiatan dalam mendukung perkembangan diri terutama dalam aktivitas sehari-

hari. Pemenuhan perawatan diri untuk manajemen pencegahan bahaya juga

mengalami masalah karena sebagian besar pasien tidak mengetahui secara

lengkap terkait penyakitnya, proses operasi, proses pemulihan, dan efek samping

obat. Beberapa pasien yang merupakan pasien lama dan telah beberapa kali

dirawat mengetahui secara singkat penyakit mereka. Namun untuk informasi lain

yang lebih menyeluruh, pasien masih tidak mengetahuinya.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 154: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

143

Universitas Indonesia

4.2.1.3 Health Deviation Self-Care Requisites

Kepatuhan pasien dalam menjalani program pengobatan dan perawatan di rumah

sakit cukup baik. Hal tersebut dapat diamati melalui interaksi dimana pasien

terlihat sangat kooperatif dalam mematuhi anjuran dari tenaga kesehatan baik itu

dokter, perawat, fisioterapi maupun ahli gizi. Kebutuhan pemenuhan perawatan

diri pada aspek perawatan diri aspek gambaran diri, beberapa klien mengalami

masalah karena adanya gangguan pada alat gerak.

4.2.2 Prescriptive Operations

Prescriptif operation merupakan tahap penentuan sistem keperawatan dan metode

bantuan yang akan dilakukan pada klien. Metode bantuan yang paling banyak

dilakukan adalah action for, guiding dan supporting. Hal ini paling sering

ditemukan pada fase-fase akut dari kasus kegawatan sistem musculoskeletal

dimana pasien membutuhkan bantuan penuh dari perawat sebelum memulai untuk

melatih kemampuan peraawatan diri secara mandiri. Sistem keperawatan yang

digunakan lebih banyak partly compensatory karena klien yang dirawat di ruang

bedah orthopedi memiliki status kesadaran compos mentis dan memungkinkan

untuk kerja sama dengan perawat dalam memenuhi kebutuhannya sesuai dengan

toleransi klien.

4.2.3 Regulatory Operations

Regulatory operations adalah suatu tahap pelaksanaan intervensi keperawatan

berdasarkan pada sistem keperawatan dan jenis metode bantuan yang telah

ditentukan pada tahap prescriptive operations. Implementasi dari rencana

intervensi keperawatan yang telah ditetapkan sebelumnya merupakan bentuk dari

regulatory operations. Implementasi yang dilakukan sebagian besar sesuai dengan

rencana intervensi yang telah ditetapkan, meskipun tidak semua intervensi

dilakukan karena alasan keterbatasan sarana, prasarana dan sumber daya manusia,

maupun dilakukan modifikasi intervensi karena menyesuaikan dengan kondisi

pasien dan lingkungan pada saat itu.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 155: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

144

Universitas Indonesia

4.2.4 Control Operations

Control operations merupakan tahap evaluasi dalam rangkaian penerapan asuhan

keperawatan. Pada fase ini dilakukan penilaian terkait efektifitas regulatory

operation dalam pencapaian outcome pasien. Berdasarkan outcome dan respon

pasien diperoleh hasil bahwa sebagian besar kasus pasien dengan masalah pada

sistem muskuloskeletal yang dikelola dengan pendekatan teori self-care orem

mennjukkan perubahan nursing sistem kearah lebih mandiri. Hal ini dapat terjadi

karena masa rawat yang memang telah cukup lama dan menuntut pasien untuk

dapat mandiri, serta pengoptimalan sumber-sumber yang ada dalam mewujudkan

outcome positif.

4.3 Analisa Penerapan Evidence Based Practice: Wound drain management

pada pasien Total Joint Arthroplasty

Penggunaan drain pasca operasi Total Joint Arthroplasty masih menjadi

perdebatan sampai saat ini. Namun, penggunaan drain dengan sistem vacuum

tertutup merupakan metode yang paling sering diterapkan. Untuk menghindari

kehilangan darah post-operative dan transfuse pada pasien yang dilakukan

pemasangan drain diterapkan suatu metode berupa clamping drain dalam periode

waktu tertentu. klem yang dilakukan pada drain bertujuan untuk mengaktifkan

efek tamponade alami dengan pembentukan hematoma yang akan mengontrol

kehilangan darah post operasi (Li et al. 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Pornrattanamaneewong et al. (2012) menunjukkan

bahwa klem drain dapat menurunkan jumlah kehilangan darah post-op dan

kehilangan Hb tanpa meningkatkan komplikasi luka dan kejadian tromboemboli.

Namun, terdapat penelitian lain yang menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan

kehilangan darah maupun penurunan Hb antara metode drain continuous tanpa

klem dengan no-continuous dengan klem (Jung et al. 2012). Sejauh ini belum ada

konsensus terkait metode penggunaan drain continuous atau non-continuous.

Review yang dilakukan oleh Tai et al. (2010) terhadap penelitian-penelitian pada

pasien Total Knee Arthroplasty (TKA) yang terbagi menjadi dua grup (continuous

dan non-continuous drain) menunjukkan hasil bahwa klem drain dapat

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 156: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

145

Universitas Indonesia

menurunkan volume drainase tetapi untuk clamping yang tidak kurang dari 4 jam

saja yang dapat menurunkan jumlah kehilangan darah sebenarnya (Kehilangan

Hb). Tidak ada perbedaan yang signifikan terkait kejadian transfuse, kemampuan

rentang gerak post operatif, insiden tromboemboli dan komplikasi luka antara

kedua grup. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Li et al (2014) dalam meta

analisisnya yang menemukan bahwa non-continuous drainage pada pasien TKA

dapat menyebabkan kehilangan Hb dan kehilangan darah post-op yang lebih

sedikit terutama pada klem drain dengan periode 4 – 6 jam.

Penerapan EBN ini menemukan hasil yang hampir sama dengan artikel-artikel

yang dijelaskan sebelumnya meskipun penulis tidak membandingkan antara dua

kelompok pasien dengan metode drain yang berbeda. Pada pasien post TKA yang

telah dilakukan klem drain selama 4 jam hanya mengalami kehilangan darah yang

banyak pada 24 jam pertama post op namun tidak lebih dari 500cc dalam waktu 6

jam. Pada hari ke 2 produksi drain sudah minimal dan kurang dari 70cc sehingga

bisa dilakukan pelepasan drain. Namun, pasien ini tetap membutuhkan transfusi

PRC karena kondisi Hb post-op yang memang sudah rendah yaitu 10 g/dl.

Pada kasus Total Hip Arthroplasty (THA) temuan evidence sedikit berbeda

dengan kasus TKA. Meta analysis yang dilakukan oleh Chan et al (2014)

menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terkait pembentukan

hematoma luka, dehisens dan insiden DVT pada klien dengan atau tanpa drain.

Penggunaan drain hanya akan meningkatkan jumlah kehilangan darah dan

kejadian transfusi post-op. Oleh karena itu beberapa dokter bedah

mempertimbangkan kembali penggunaan drain post-op karena manfaatnya yang

tidak signifikan (Kumar et al. 2007; Stravhonvik & Fokter, 2012).

Lama Klem drain yang telah banyak pembuktian evidence-based nya adalah pada

pasien TKA yaitu selama 4 jam. Sedangkan untuk THA evidence based yang ada

terkait lama klemnya hanya sedikit namun dari evidence yang ada disebutkan

waktu klem yang disarankan adalah selama 1 jam. Berdasarkan hasil penelusuran

terhadap artikel-artikel penelitian tentang drain pada THA banyak yang

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 157: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

146

Universitas Indonesia

menjelaskan bahwa dengan atau tanpa drain post op tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan dalam hal pemulihan. Namun EBN ini tetap perlu

untuk diterapkan terutama terkait monitoring secara terstruktur dan perhatian

terhadap cara pengosongan drain agar diperoleh nilai yang akurat. Selain itu

melalui penerapan EBN ini dapat ditemukan fakta bahwa durasi pemasangan

drain tidak perlu lebih dari 48 jam pada pasien tanpa masalah pembekuan darah.

Karena lebih dari 48 jam pasca operasi, produksi drain sangat minimal.

pemasangan drain dalam durasi yang lama hanya akan meningkatkan risiko

masuknya organisme asing yang menyebabkan infeksi (Strahovnik & Fokter,

2012).

4.4 Analisa Pelaksanaan Proyek Inovasi: Panduan Komunikasi dengan

Metode SBAR untuk kasus Orthopedi

Teknik SBAR merupakan suatu alat yang digunakan oleh tim kesehatan yang

memungkinkan setiap anggota tim dapat berkomunikasi dengan standar yang

tepat. SBAR adalah suatu metode terstruktur yang bertujuan untuk mentransfer

informasi-informasi penting dan vital yang membutuhkan perhatian dan

penanganan segera (Thomas, Bertram & Johnson, 2009).

Penerapan SBAR menuntut perawat untuk melakukan analisis dan berpikir kritis

terutama dalam melakukan pengkajian yang terfokus terkait kondisi pasien

sebelum mengkomunikasikannya baik ke sesame perawat saat timbang terima

maupun kepada dokter melalui telepon. Joffe et al (2013) menjelaskan meskipun

metode SBAR merupakan komunikasi yang terstruktur, metode ini tidak

mendefinisikan data yang diperlukan untuk dikomunikasikan dalam mengatasi

masalah klinis tertentu. SBAR menjelaskan bagaimana cara berkomunikasi

namun tidak menjelaskan apa saja yang harus dikomunikasikan. Penerapan SBAR

tergantung pada kemampuan dari tenaga professional kesehatan. Hal inilah yang

menjadi dasar kelompok dalam menyusun suatu panduan komunikasi dengan

metode SBAR terkait masalah-masalah yang sering terjadi di ruang rawat bedah

orthopedi untuk memudahkan perawat dalam melakukan pengkajian dan

pelaporan terfokus pada kondisi atau masalah aktual yang terjadi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 158: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

147

Universitas Indonesia

Panduan komunikasi dengan metode SBAR yang disusun oleh kelompok ini

bertujuan untuk memudahkan komunikasi antar perawat saat timbang terima pada

pergantian shift maupun saat berkomunikasi dengan dokter dalam rangka

melaporkan kondisi pasien. Panduan ini penting sebagai suatu metode standar

komunikasi yang dapat mengembangkan pola komunikasi efektif. Ketidak

efektifan komunikasi dalam pergantian shift dan transfer pasien dapat

meningkatkan medical eror yang berdampak pada hilangnya informasi-informasi

medis yang penting (Chaharsoughi, Ahrari & Alikhah, 2014). Efektifitas

penerapan metode SBAR dalam mewujudkan komunikasi efektif antar profesional

kesehatan pada akhirnya dapat berdampak terhadap peningkatan Patient Safety

(Velji et al. 2008).

Panduan komunikasi dengan Metode SBAR ini tidak hanya akan bermanfaat

untuk timbang terima di ruang rawat, namun dapat pula digunakan sebagai

panduan bagi perawat dalam melaporkan kondisi pasien kepada DPJP khususnya

terkait kondisi-kondisi emergency. SBAR mudah diterapkan dan merupakan suatu

cara objektif untuk mengingat dan menyusun suatu komunikasi terutama pada

situasi kritis (Thomas, Bertram & Johnson, 2009). Kelompok menyusun panduan

ini berfokus pada kasus-kasus yang membutuhkan perhatian dan penanganan

segera terutama yang terkait kegawatan pada kasus orthopedic seperti perdarahan,

shock hipovolemi, nyeri berat, sindrom kompartemen, dan beberapa kasus lain

yang penting. Pola SBAR yang terstruktur membuat komunikasi menjadi lebih

mudah dipahami sehingga informasi penting yang terkait kasus dapat disampaikan

dengan baik dan memudahkan tim yang terlibat dalam mengingat informasi

penting yang dibutuhkan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 159: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

148 Universitas Indonesia Universitas Indonesia

BAB 5

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menjelaskan simpulan dan saran terkait uraian pada bab-bab

sebelumnya yang mengenani analisis praktik residensi keperawatan medikal

bedah dengan kekhususan pada sistem musculoskeletal dan menggunakan

pendekatan teori self-care Orem.

5.1 Simpulan

Simpulan yang diperoleh dari penyusunan karya ilmiah akhir ini antara lain

adalah:

a. Gangguan pada sistem musculoskeletal khususnya fraktur dapat mengganggu

fungsi fisik pasien dan menimbulkan kebutuhan pasien akan pertolongan dari

perawat dan tim kesehatan lain dalam memenuhi kebutuhan dasarnya pada

fase akut trauma.

b. Pasien fraktur perlu dilatih dan dipersiapkan untuk meningkatkan

kemampuannya dalam pemenuhan self-care karena proses pemulihan fraktur

membutuhkan waktu yang cukup lama.

c. Penerapan model self-care Orem dapat digunakan dalam asuhan keperawatan

pada pasien fraktur terutama dalam mengoptimalkan kemandirian pasien

dalam pemenuhan self-care dengan memperhatikan berbagai aspek yang

meliputi aspek fisiologis, psikologis, social dan budaya secara menyeluruh.

d. Wound drain management merupakan suatu tindakan yang membutuhkan

peran kolaborasi dan komunikasi perawat dan dokter. Hal ini penting dalam

mengontrol kehilangan darah post operasi Total Joint Arthroplasty.

e. Metode SBAR merupakan suatu teknik komunikasi yang penting dalam

menerapkan komunikasi efektif antar tenaga professional kesehatan di rumah

sakit. Panduan komunikasi SBAR diperlukan sebagai bantuan bagi perawat

untuk melakukan pengkajian dan analisis secara kritis terkait kondisi pasien.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 160: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

149

Universitas Indonesia

5.2 Saran

Saran yang dapat dikemukakan dari karya ilmiah akhir ini meliputi:

5.2.1 Pelayanan Keperawatan

a. Model self-care Orem dapat digunakan dalam penerapan asuhan

keperawatan di rumah sakit dengan terlebih dahulu menyempurnakan

formatnya agar lebih mudah dipahami dan singkat serta dimodifikasi

sesuai dengan kebutuhan atau kondisi di ruang rawat.

b. Perlu tindak lanjut terkait kebermanfaatan penerapan EBN berupa wound

drain management dan analisis lebih lanjut terhadap fenomena-fenomena

terkait penanganan terhadap perdarahan post operasi total joint

arthroplasty (JTA). Perawat perlu meningkatkan kerja sama interdisiplin

dalam mengembangkan EBN tersebut dengan cara berkolaborasi secara

berkelanjutan dalam menerapkan EBN tersebut pada pasien post JTA.

Langkah awal yang perlu dilakukan adalah penyusunan Standar Prosedur

Operasional (SPO) untuk pasien post JTA yang terpasang drain.

Penyusunan ini melibatkan tim dari kedokteran maupun keperawatan agar

keduanya saling berkomitmen untuk berkolaborasi dalam penerapan SPO

tersebut.

c. Perawat sebaiknya menggunakan panduan SBAR yang sudah disusun

dalam melakukan timbang terima dan komunikasi antar tim kesehatan,

pelatihan dan pemantapan tentang penerapan SBAR di ruang rawat harus

terus dilaksanakan.

5.2.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan

Pengembangan teori model self-care Orem yang diperoleh di institusi pendidikan

dan kemudian coba diterapkan pada setting RS diharapkan dapat menjadi dasar

dan bukti ilmiah kebermanfaatan teori bagi pengembangan ilmu keperawatan.

Selain teridentifikasinya mamfaat penerapan teori, melalui karya ilmiah ini dapat

diidentifikasi pula hambatan serta masalah untuk kemudian dicari solusi untuk

pengembangan dan pengoptimalan penerapan teori keperawatan tersebut dalam

pemberian asuhan keperawatan sehari-hari.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 161: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

150

Universitas Indonesia

5.2.3 Pendidikan Keperawatan

Program Ners spesialis perlu didukung oleh bimbingan dari klinik yang sesuai

dengan kepakaran dan kompetensi berdasarkan peminatannya sehingga target

kompetensi Ners Spesialis dapat tercapai.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 162: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

DAFTAR PUSTAKA

Aiyer, A., & Taylor, B. (2015). Gustilo Classification. Diambil dari

http://www.orthobullets.com/trauma/1003/gustilo-classification

Alligood, M. R. (2010). Nursing theory: utilization and application, 4th edition.

Missouri: Mosby Elsevier.

American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS). (2011). Total knee

replacement. Diambil dari http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00389

American Association of Colleges of Nursing (AACN). (2006). AACN Statement

of Support for Clinical Nurse Specialists. Washington DC. Diambil dari

www.aacn.nche.edu/publications/position/CNS.pdf

Archdeacon, Anglen, M., Ostrum, J., & Robert. (2012). Prevention and

mangament of common fracture complication. Thorofare: SLACK Incorporated.

Bucholz, R. W., Heckman, J. D., & Court-Brown, C. M. (2010). Rockwood and

Green’s Fracture in Adults, 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins.

Broaders, S.A., & Srikanth, M. (2014). Prevention of Multidrug-Resistant

Organism (MDRO) Emergence and Transmission. APUA Newsletter, 29(3).

Diambil dari http://emerald.tufts.edu/med/apua/news/news-newsletter-vol-29-no-

3-1.shtml

Brunicardi, F.C., Andersen, D.K., Billiar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G.,

Matthews, J.B., et al. (2015). Schwartz’s: principles of surgery, 10th edition. USA:

McGraw Hill Education

Chen, C. T. & Chang, S.Y. (2014). Giant pulmonary bullae mimicking

spontaneous pneumothorax, Q J Med, 108 (8): 681-682. Diambil dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24440928

Cluett, J. (2008). ORIF. Diambil dari

http://orthopedics.about.com/cs/brokenbones/g/orif.htm

Coles, K. (2012). Non-weight bearing. The Royal Bournemouth and Chriscrutch

Hospital: NHS Foundation. Diambil dari

http://www.rbch.nhs.uk/assets/templates/rbch/documents/our_services/clinical/ort

hopaedics/patient_information/non_weight_bearing.pdf

Court-Brown, McQueen, C., Tornetta, M. M., & Paul. (2005). Orthopaedic

surgery essential series: trauma. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins.

Current Nursing (2012). Dorothea Orem's Self-Care Theory. Diambil dari

http://currentnursing.com/nursing_theory/self_care_deficit_theory.html

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 163: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

Eberhardt, S. (2014). Improve handoff communication with SBAR, Nursing 2014.

Diambil dari

http://journals.lww.com/nursing/Citation/2014/11000/Improve_handoff_communi

cation_with_SBAR.6.aspx

Elsevier Health. (2012). Nursing diagnosis: risk for peripheral neurovascular

dysfunction: operative extremity. Diambil dari

http://www1.us.elsevierhealth.com/SIMON/Ulrich/Constructor/diagnoses.cfm?did

=425

Elstrom, J.A., Virkus, W. W., & Pankovich, A. M. (2006). Handbook of fractures,

3rd edition. USA: The McGraw-Hill Companies.

Ergardt, N. & Stenstrom-Kyobe, C. (2014). Nursing panorama of patients with

musculoskeletal injuries in Uganda using NANDA and NIC: an observational

study. The Red Cross University Collage.

Gichuhi, K. (2007). Injury pattern among non-fatal road traffic crash victims. East

African Orthopaedic Journal, 1:23-25. Diambil dari

http://www.ajol.info/index.php/eaoj/article/view/49454

Hamblen, D.L., Simpson, A.H.R.W. (2007). Adams’s outline of fractures

including joint injuries, 12th ed. Chruchill Livingstone Elsevier.

Hamilton. (2005). Pain management guidelines. Healthcare Association of New

Jersey.

Hidayati, W. (2013). Metode perawatan pasien gangguan sistem perkemihan:

aplikasi konsep orem “self-care deficit” dan studi kasus. Jakarta: Penerbit

Kencana.

Hilal-Dandan, R., & Brunton, L. L. (2014). Goodman & Gilman’s Manual of

Pharmacology and therapeutics, 2nd edition. McGraw Hill Education.

Ignatavicius, D.D., & Workman, M. L. (2013). Medical Surgical nursing: patient

centered collaborative care, 7th edition. USA: Saunders Elsivier.

Johnson, M. K., Smith, R. P., Morrison, D., & Laszlo, G., White, R. J. (2000).

Large lung bullae in marijuana smokers. Thorax, 55:340–2

Lasanianos, N.G., Kanakaris, N.K., & Giannoudis, P.V. (2015). Trauma and

orthopaedic classifications: a comprehensive review. London: Springer-Verlag.

Lee, S., Park, S. Y., Bae, M. K., Lee, J. G., Kim, D. J., Chung, K. Y., & Lee, C.

Y. (2013). Efficacy of polyglycolic acid sheet after thoracoscopic bullectomy for

spontaneous pneumothorax. Ann Thorac Surg, 95 (6): 1919-1923. doi:

10.1016/j.athoracsur.2013.03.011

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 164: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

Li, T., Zhuang, Q., Weng, X., Zhou, L., & Bian, Y. (2014). Non-continuous

versus continuous wound drainage after total knee arthroplasty: a meta-analysis.

International Orthopaedics, 38(2), 361-371. doi:10.1007/s00264-013-2105-0

Linton, A. D. (2012). Introduction to medical-surgical nursing, 5th edition. St.

Louis: Elsevier Saunders.

Lissovoy, G., Fraeman, K., Hutchins, V., Murphy, D., Song, D., & Vaughn, B. B.

(2009). Surgical site infection: Incidence and impact on hospital utilization and

treatment costs, American Journal of Infection Control, 37 (5): 387 – 397.

Diambil dari

http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S019665530900073X

Maher, A. B., Salmond, S. W., & Pellino, T. A. (2002). Orthopaedic nursing

(6ed). USA: W. B Saunders Company.

Mansbridge, C. (2014). Application of a backslab or cast to a limb. Diambil dari

http://www.oscestop.com/Plastering.pdf

Mc.Cance, K.L., & Huether, S.E. (2014). Pathophysiology: the biologic basic for

disease in adults and children, 7th ed. St.Louis: Elsevier.

Martin, A., Prenn, M., Spiegel, T., Sukopp, C., & von Strempel, A. (2004).

Relevance of wound drainage in total knee arthroplasty: a prospective

comparative study, Z Orthop Ihre Grenzgeb,142:46-50. Diambil dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14968384

Medical Board of California. (2014). Pain management guidelines 2014. Diambil

dari

http://www.mbc.ca.gov/About_Us/Meetings/2014/Materials/materials_20140619

_rx-1.pdf

National Assocation of Orthopaedic Nurses (NAON). (2010). Introduction to

orthopaedic nursing, 4th edition. Chicago: NAON.

Omonbude, D., El Masry, M. A., O'Connor, P. J., Grainger, A. J., Allgar, V. L., &

Calder, S. J. (2010). Measurement of joint effusion and haematoma formation by

ultrasound in assessing the effectiveness of drains after total knee replacement: A

prospective randomized study. J Bone Joint Surg Br, 92:51-5. Diambil dari

http://www.bjj.boneandjoint.org.uk/content/92-B/1/51.long

Orem, D. E. (2001). Nursing Concept of Practice. St.Louis: Mosby Company.

Osteoporosis Canada. (2015). After the Fracture: information about pain and

practical tips for movement. Diambil dari http://www.osteoporosis.ca/wp-

content/uploads/OC-After-The-

Fracture.pdf?utm_source=Left+Side+Bar&utm_medium=Download+The+PDF&

utm_campaign=After+The+Fracture

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 165: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

Pretorius, C. J. (2010). Road traffic accidents and orthopaedic injury in children,

SA Orthopaedic Journal: 65 – 68. Diambil dari

http://www.scielo.org.za/pdf/saoj/v9n3/v9n3a13.pdf

Schoen, D. C. H. (2000). Adult orthopaedic nursing. Lippincott

Qi, X., Yang, D. L., Qi, F., Zhang, Q. H., & Wang, J. P. (2006). Statistical

analysis on 2213 inpatients with traffic injuries from January 2003 to September

2005 in Ningbo city, Chinese Journal of Traumatology, 9 (4): 228 – 233. Diambil

dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16848995

Rehman, H., McMillan, T., Smith, M., Clement, A., Adams, A., & Frost, A.

(2015). A novel and effortless technique for application of lower limb backslabs.

Injury,46(10): 2052-2054. Diambil dari http://remote-

lib.ui.ac.id:2086/S0020138315004246/1-s2.0-S0020138315004246-

main.pdf?_tid=664d14b2-100b-11e6-9228-

00000aab0f01&acdnat=1462155362_a85d41cd31d586005a601e1145e2ae56

RNCentral. (2009). Impaired skin integrity. Diambil dari

http://www.rncentral.com/nursing-library/careplans/si/

Somani, K., & Jain, N. (2014). MCEM Part C: 110 OSCE stations. London: JP

Medical Publisher.

Smith, W. R., & Stahel, P. F. (2014). Management of musculoskeletal injuries in

the trauma patient. New York: Springer.

Tai, T.W., Yang, C. Y., & Chang, C. W. (2012). The Role of Drainage After Total

Knee Arthroplasty, Recent Advances in Hip and Knee Arthroplasty: 267 – 274.

Diambil dari www.intechopen.com/download/pdf/26900

Tomey, A. M., & Alligood, M. R. (2008). Nursing theorists and their work. St.

Louis: Mosby-Year Book, Inc.

Waddell, G. (2004). The back pain revolution, 2nd edition. London: Churchill

Livingstone.

White, T.O., Mackenzie, S.P., & Gay, A.J. (2016). McRae’s Orthopaedic trauma

and emergency fracture management, 3rd edition. Poland: Elsevier.

Widmaier, E., Raff, H., & Strang, K. (2013). Vander's Human Physiology: The

Mechanisms of Body Function, 13th edition. McGraw-Hill International Edition

Woolf, A.D., & Pfleger, B. (2010). Burden of major musculoskeletal conditions,

Bulletin of World Health Organization, 81 (9): 646-656. Diambil dari

http://www.scielosp.org/pdf/bwho/v81n9/a07v81n9.pdf

World Health Organization (WHO). (2013). Global status report on road safety

2013: supporting a decade of action. Luxembourg: WHO Library Cataloguing.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 166: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

World Health Organization. (2009). WHO’s pain relief ladder. Diambil dari

www.who.int/cancer/palliative/painladder/en

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 167: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

112 Universitas Indonesia

Lampiran:

Resume Pasien Kelolaan

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Tn. TP (30 tahun)

diagnosa medis:

Fraktur tertutup

clavicula sinistra,

multiple fraktur costae

dextra dan sinistra,

ulkus ekskoriasi regio

hemithorax sinistra

Klien masuk IGD dengan Keluhan utama

Sesak napas dan Nyeri dada serta pundak di

sebelah kiri. Kulit dada kiri serta punggung kiri

mengalami luka post kecelakaan lalu lintas 1

hari SMRS. Klien mengendarai mobil yang

menabrak trotoar dan pot bunga dipinggir

jalan. Klien terlempar keluar dari mobil

melalui pintu samping. Dada sebelah kiri

terbentur dan tertimpa pecahan kaca mobil.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Klien

dan menjadi sumber pendapatan keluarga utama. Sumber

dukungan utama klien adalah istri. Klien memiliki riwayat

stroke ringan 2 tahun yang lalu, klien adalah perokok dan

memiliki riwayat penggunaan Narkotika.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah dalam pemenuhan kecukupan

udara akibat adanya fraktur iga dan hemothorax. Klien

mengeluh sesak dan nyeri dada terutama ketika batuk atau

menggerakkan badan. Multiple fraktur pada klavikula dan

iga mengakibatkan aktivitas klien terbatas dank lien tidak

bisa beristirahat. Klien lelah karena selalu terlentang.

Kekuatan otot: 5555 ------ (nyeri dan imobilisasi)

5555 5555

Hemoglobin 11,7gr/dL

Hematokrit 34%

Leukosit 11.700/ul

SGOT/SGPT 85 / 54 U/l

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Klien

ketergantungan total terhadap keluarga dan perawat dalam

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 168: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

pemenuhan ADL.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien memahami hal yang harus dilakukan untuk mencegah

perburukan kondisi ketika dirumah karena klien ingin pulang

terlebih dulu sebelum operasi untuk mengurus BPJS

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

keterbatasan mobilitas di tempat tidur, pola napas tidak efektif,

risiko kerusakan integritas kulit.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan

antara lain dengan pain management, bed rest care, airway

management, respiratory monitoring,analgesic administration,

positioning:pressure management,pressure ulcer prevention

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

menunjukkan peningkatan terhadap toleransi nyeri, mulai

kooperatif saat dilakukan tindakan perawatan luka dengan

mempraktikkan teknik relaksasi dan distraksi, memahami

tindakan pencegahan luka tekan akibat imobilisasi. Klien akan

pulang terlebih dahulu sambil menunggu BPJS bisa digunakan

untuk operasi. Klien dan keluarga memahami hal yang boleh

dan tidak boleh dilakukan selama di rumah.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 169: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Ny. KR (40 tahun)

diagnosa medis:

Spondilitis TB Th9,

Intake Sulit,

Hipoalbuminemia,

Cardiomegali

Klien mengeluh lemas pada tubuh bagian

bawah, nyeri pada area tulang belakang dan

mual serta terkadang muntah. Klien pertama

kali merasakan nyeri punggung bulan

September 2014 saat sedang mengangkat panic

berisi air panas. Punggung tiba-tiba berbunyi

dan nyeri hebat. Makin lama klien makin

mengalami kesulitan dalam berjalan sampai

saat ini sudah tidak bisa menggerakkan kaki

sama sekali.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien sudah menikah dan masih memiliki satu anak usia

sekolah yang ditinggalkan di rumah. Sumber dukungan

utama adalah suami dan keponakan klien yang selalu

menemani di RS.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas. Klien juga mengalami penurunan BB drastic.

Saat ini klien tidak selera makan karena setiap makan

merasa mual. Klien juga sering merasa lemas. TD 140/90,

Nadi 85 kali/menit. BAK tidak terasa.

Kekuatan otot: 5555 5555

0000 0000

DPL: 10,2/31/14200/145000/363x106

Elektrolit: 134/2,2/99

Albumin 2,1 mg/dl

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Semua ADL

dibantu oleh suami dan keponakan. Klien belum mehami

hal-hal yang menjadi dampak imobilisasi klien saat ini

seperti luka dekubitus.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien sering menanyakan penyebab mengapa bisa mual ketika

makan, makanan apa yang baik dan tidak baik untuk dimakan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 170: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Masalah keperawatan yang muncul adalah keterbatasan

mobilitas di tempat tidur, retensi urin, ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, risiko kerusakan integritas

kulit dan risiko penurunan perfusi jaringan jantung.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Ny.KR antara lain dengan bed rest care, nutrition management,

urinary catheterization, urinary retention care, pressure ulcer

prevention dan electrolyte management: hypokalemia,

hyponatremia.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 7 hari, klien

menunjukkan berkurangnya perasaan mual, klien sudah mau

makan sedikit tapi sering. ROM aktif-pasif dilakukan, klien

terpasang DC dan akan direncanakan untuk ICP (kolaborasi

dengan rehab medik), tidak terdapat tanda-tanda luka

dekubitus. Keluarga mampu bekerja sama dengan perawat

dalam menjaga integritas kulit.

Tn. SH (54 tahun)

Diagnosa medis: Close

Fraktur (CF) Fibula

Sinistra, CF Clavicula

Klien mengalami kecelakaan sekitar 2 minggu

yang lalu. Klien ditabrak sepeda motor saat

akan menyebrang jalan. Klien dirawat di RS

Mayapada dan telah menjalani operasi

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien membutuhkan pemenuhan perawatan diri terapeutik.

Klien sudah menikah dan menjadi sumber pendapatan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 171: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Sinistra, CF Costae 3,

4,5, Subdural

Hemorrhage (SDH)

post dekompresi dan

craniotomy

dekompresi dan craniotomy. Untuk fraktur

belum dilakukan operasi. Klien pindah ke RSF

karena masalah biaya. Saat ini klien mengeluh

nyeri dibagian kepala dan mual tetapi tidak

muntah. Klien terpasang gips di kaki kiri. KU:

lemah, kesadaran: composmentis,

E4M6Vdisfagia. Klien memiliki riwayat DM

sejak 2 tahun yang lalu dan mengkonsumsi

obat DM oral.

keluarga utama.

b. Universal Self Care Requisites

Klien terpasang NGT untuk intake nutrisi dan cairan. Klien

mengeluh mual. GDS 286 mg/dl. Klien riwayat DM sejak 2

tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi metformin. Klien

tidak rutin memeriksakan kadar gula darah. Namun klien

paham tanda dan gejala ketika gula darah meningkat. Saat

dirasa gula darah meningkat, klien menambahkan obat dan

makanan tradisional untuk mengatasinya. Klien mengalami

masalah keterbatasan dalam bergerak dan beraktivitas.

Klien tidak bisa menggerakkan sebagian sisi tubuh. Kaki

kiri tidak bisa digerakkan karena terpasang gips.

Kekuatan otot: 5555 3333

5555 ------

Hemoglobin 9,7 gr/dL

Hematokrit 29 %

Leukosit 11300/ul

GDS 289 mg/dl

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Klien

ketergantungan total terhadap keluarga dan perawat dalam

pemenuhan ADL. Karena keterbatasan komunikasi, klien

tidak bisa dikaji terkait pola pencegahan terhadap kondisi

yang dapat menghambat perkembangan normal.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Pengkajian terhadap klien terkait komponen ini tidak

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 172: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

optimal karena klien mengalami keterbatasan komunikasi.

Berdasarkan pengamatan terhadap perilaku, klien telah

mampu beradaptasi dengan keterbatasannya dalam

bergerak. Namun belum bisa beradaptasi terhadap nyeri.

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

keterbatasan mobilitas di tempat tidur, ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dan risiko ketidakstabilan

level gula darah.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.SH antara lain dengan pain management, bed rest care,

nutrition management, dan hyperglycemia management.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

menunjukkan peningkatan terhadap toleransi nyeri, klien mulai

bisa mengekspresikan perasaannya meskipun dengan kata-kata

yang tidak jelas dan ekspresi wajah, untuk mobilisasi keluarga

telah memahami jadwal-jadwal untuk positioning dan

pelaksanaan ROM, kadar gula darah masih tidak stabil namun

dikontrol dengan obat-obatan. Keluarga patuh untuk

memberikan nutrisi sesuai dengan program gizi.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 173: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Tn. KM (53 tahun)

diagnosa medis:

Anterior dislocation of

right shoulder Pro

ORIF Plate and Screw,

lesi nervus radius,

mediana, ulnaris,

fraktur avulse GT

dextra

Klien mengalami kecelakaan jatuh dari sepeda

motor 1 hari SMRS. Klien mengalami

kecelakaan pada sore hari. Setelah kecelakaan

klien langsung pijat di tukang pijat. Keesokan

harinya pada pagi hari, klien merasakan jari-

jari lengannya kebas dan kehilangan sensasi

terutama jari tenga, jari manis dan kelingking.

Klien kemudian dibawa ke IGD RSUP

Fatmawati lalu dilakukan tindakan close

reduction of shoulder di OK Cito. Klien

memiliki riwayat Hipertensi, tapi tidak

diketahui sejak kapan.

a. Basic Conditioning Factors

Klien sudah menikah, tinggal dengan istri dan dua orang

anak. Klien menjadi sumber pendapatan utama keluarga.

b. Universal Self Care Requisites

Kemampuan dalam memenuhi asupan udara, nutrisi,

cairan, eliminasi dan interaksi social normal. Klien

mengalami keterbatasan dalam aktivitas terutama yang

menggunakan tangan dominan.

Kekuatan otot: 3--- 5555

5555 5555

DPL: 13,5/40/12400/315000/4,18x106

c. Developmental Self Care Requisites

Semenjak sakit tidak bisa bekerja karena sebagai PNS

sering bekerja menggunakan tangan kanan untuk

menulis/mengetik

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien mampu melakukan ADL secara mandiri

menggunakan tangan kiri namun terbatas. Untuk

mengenakan pakaian klien harus dibantu.

Masalah keperawatan yang muncul adalah kerusakan mobilitas

fisik, risiko trauma dan risiko disfungsi neurovaskuler perifer

Desain Sistem Keperawatan adalah: supportive-educative

system dengan metode bantuan berupa: guidance, support,

provide environment dan teaching

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 174: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.KM antara lain dengan exercise therapy, environment

management: safety, skin surveillance, dan peripheral

sensation management.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari, klien

menunjukkan peningkatan kemampuan dalam pencegahan

trauma, klien mampu memaksimalkan fungsi tangan kiri dalam

melakukan ADL, bagian jari-jari klien masih kehilangan

sensasi dan memerlukan tindakan operasi untuk memperbaiki

fungsi neurologis. Fungsi vascular tidak terganggu dan tidak

ada tanda-tanda iskemi perifer.

Tn. WT (30 tahun)

diagnosa medis:

Fraktur Collumn

Femur dextra, fraktur

tibia sinistra, dislokasi

bahu anterior dextra.

Klien masuk RS dengan keluhan jatuh dari

motor sekitar pukul 19.00 (6 jam SMRS).

Klien menabrak mobil dari arah berlawanan

saat mengendarai motor pulang dari tempat

kerja, saat kecelakaan klien tidak

menggunakan helm. Setelah kecelakaan klien

mengeluh tangan kanan dan kaki kiri sulit

untuk digerakkan dan mengeluh nyeri pada

pinggul kanan. Klien jatuh dengan posisi

tangan kanan menjadi tumpuan pertama saat

jatuh dari motor. Klien telah menjalani

reposisi dislokasi bahu kanan dengan kocher

(Narkose), saat pengkajian klien terpasang

skin traksi femur dengan berat beban traksi 4

a. Basic Conditioning Factors

Klien jarang menggunakan pelayanan kesehatan, dulu sewaktu

klien pernah mengalami cedera di telapak tangan, klien

mengaku jahitannya dibuka sendiri oleh klien karena klien

malas bolak-balik ke RS. Saat ini klien dirawat menggunakan

jaminan KJS. Klien menikah dan berperan sebagai sumber

pencarian utama keluarga.

b. Universal Self Care Requisites

Klien hanya mampu berbaring terlentang di tempat tidur,

tangan kanan terpasang narkose, kaki kanan terpasang skin

traction dan kaki kiri tertutup perban elastic. Kaki kanan tidak

bisa digerakkan sama sekali, begitu pula dengan lengan kanan.

Klien mengatakan tidurnya tidak nyenyak karena sering

terbangun karena rasa nyeri dan kaki terasa kaku/pegal. Klien

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 175: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

kg. terdapat luka pada ekstrimitas atas dextra

dan ekstrimitas bawah tertutup verban elastis.

Klien mengeluh nyeri dengan skala 7 pada

area yang tertutup verban, nyeri dirasakan

ketika ektrimitas digerakkan. Nyeri berkurang

dengan istirahat. Klien sebelumnya tidak

pernah dirawat di RS dan tidak pernah

mengalami kecelakaan yang mengakibatkan

patah tulang.

mengeluhkan lelah tidur terlentang terus namun klien juga tidak

dapat miring karena kedua kaki yang sakit. Selain itu, klien

juga tidak dapat menggeser tubuh tanpa bantuan orang lain.

DPL: 13,4/40/10370/271000

AGD: 7,443/34,9/96,2/23,5/-0,1

SGOT/SGPT: 124/76

c. Developmental Self Care Requisites

Klien membutuhkan bantuan penuh dalam pelaksanaan ADL.

Klien mengatakan akan istirahat total untuk proses

penyembuhannya.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien mampu menyampaikan kepada tenaga medis terkait

keluhan yang dirasakan terkait program pengobatan. Klien

belum memahami secara jelas tentang proses penyakit, klien

menanyakan berapa lama proses penyembuhan kakinya hingga

benar-benar berfungsi normal. Klien juga tidak mengetahui

efek samping obat. Namun, klien memiliki pemahaman yang

baik terkait nutrisi untuk menunjang proses penyembuhan.

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

keterbatasan mobilitas di tempat tidur, dan risiko disfungsi

neurovaskuler perifer.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 176: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.WT antara lain dengan pain management, bed rest care,

peripheral sensation management.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8 hari, klien

menunjukkan peningkatan terhadap toleransi nyeri, namun

klien masih belum berani untuk menggerakkan badannya.

Tidak terjadi masalah neurologis maupun sirkulasi perifer.

Ny. RM (46 tahun)

diagnosa medis:

Infected Union

Supracondyler Femur

Sinistra post Remove

Internal Fiksasi k/p

konversi illizarov /

LRS.

Klien sebelumnya telah pernah di rawat di RSF

dan menjalani operasi sebanyak 4 kali sejak

tahun 2012. Keluhan utama klien adalah nyeri

di area paha. Riwayat KLL 3 tahun yang lalu.

saat ini klien telah dilakukan operasi remove

implant dan pemasangan LRS H + 1. Kondisi

luka terdapat banyak rembesan darah.

a. Basic Conditioning Factors

Klien adalah seorang janda dengan satu anak. Sehari-hari

klien berjualan kue. Klien sudah mampu beradaptasi utk

beraktifitas dengan walker. Namun aktivitas terbatas di

rumah.

b. Universal Self Care Requisites

Klien tidak mengalami masalah terkait kemampuan dalam

memenuhi kecukupan udara, nutrisi, cairan dan eliminasi.

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam aktivitas.

Klien hanya mampu beraktivitas dirumah dengan walker.

Kekuatan otot: 5555 5555

5555 ------ (nyeri dan imobilisasi)

DPL: 10,9/33/15300/248000/3,73x106

c. Developmental Self Care Requisites

Klien mampu melakukan ADL dengan bantuan minimal

dari anak ketika dirumah. Namun post operasi saat ini klien

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 177: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

merasa masih belum mampu dan sangat bergantung pd

anak.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Nyeri hebat yang dirasakan klien membuat klien tidak

berani bergerak. Karena nyeri klien juga sempat menolak

untuk dilakukan pergantian balutan karena saat pergantian

balutan nyeri makin memberat.

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

kerusakan mobilitas fisik, risiko infeksi dan risiko perdarahan

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Ny.RM antara lain dengan pain management, bed rest care,

infection control & protection, bleeding precaution, blood

product administration dan vital sign monitoring

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari, klien

menunjukkan peningkatan terhadap toleransi nyeri, klien mulai

berani untuk melakukan latihan berdiri dan berjalan di samping

tempat tidur, rembesan darah dari luka sudah mulai berkurang

dank lien terhindar dari syok hipovelimik.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 178: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Ny. WA (32 tahun)

diagnosa medis: SCI

AIS A NL th.11 ec. Fr

L1 ec. Trauma dengan

retensio urine post op

reduksi, dekompresi

dan stabilisasi

posterior

Klien masuk RS dengan keluhan kelemahan di

kedua kaki sejak jatuh dari atap setinggi

2,5meter. Kedua kaki tidak bisa digerakkan

sejak 9,5jam SMRS. Setelah jatuh klien

mengeluh nyeri di pinggang bawah, leher serta

kepala. Tidak terdapat mual muntah saat

kejadian klien pingsan sekitar 10 menit. Klien

telah menjalani operasi, saat ini kondisi post

operasi klien kedua kaki masih tidak dapat

digerakkan, klien tidak mempu merasakan

sensasi area pinggang hingga kaki. Klien

dalam fase rehabilitasi untuk meningkatkan

kekuatan UMN dan kemampuan ambulasi.

Target pencapaian klien adalah pulang dengan

kursi roda.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien sudah menikah dan menjadi sumber pendapatan

keluarga karena suami telah meninggalkan klien.

Lingkungan sekitar rumah aman, namun jalanan disekitar

rumah klien sempit sehingga menyulitkan klien jika ingin

berjalan menggunakan kursi roda. Sumber dukungan utama

adalah Ibu dan kedua orang anak.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas. Klien juga mengalami masalah untuk BAB

dan BAK yang tidak spontan nanmun harus dengan

bantuan dengan digital stimulation, manual evacuation

untuk BAB dan intermittent catheter utk BAK

Kekuatan otot: 5555 5555

1111 1111

c. Developmental Self Care Requisites

Klien hanya mampu menggerakkan ekstremitas atas serta

tubuh bagian atas untuk ADL klien ketergantungan

sebagian. Klien mampu makan dan minum, memakai baju,

serta toileting sebagian badan sendiri namun untuk area

tubuh bagian bawah klien membutuhkan bantuan.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien belum mampu beradaptasi secara penuh dengan

keterbatasan yang ia alami. klien masih berharap bisa jalan

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 179: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

kembali dan merasa tidak bisa apa-apa jika harus selalu

berbaring atau beraktivitas dengan kursi roda.

Ia menyadari bahwa untuk proses rehabilitasi klien harus

memandirikan diri untuk melakukan ICP serta latihan

dengan kursi roda. klien belum bisa bertoleransi terhadap

nyeri dan kebas dipinggang yang ia rasakan ketika terlalu

lama duduk.

Masalah keperawatan yang muncul adalah kerusakan pola

eliminasi urin, kerusakan mobilitas fisik, dan risiko infeksi

Desain Sistem Keperawatan adalah: partly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Ny.WA antara lain dengan ambulation, joint exercise,

intermitten catheterization, dan infection control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

menunjukkan peningkatan terhadap kemampuan ambulasi,

klien sudah bisa bergeser dari tempat tidur ke kursi roda dengan

kekuatan tangan. Klien juga sudah mempu melakukan ICP

mandiri dengan bantuan cermin. Hanya saja klien masih harus

diawasi selama tahapan ICP agar strerilitas tetap terjaga.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 180: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Tn. AH (44 tahun)

diagnosa medis:

Tetraparese ec. HNP

cervical susp. Myelitis

cervical, cervical

myelopathy, SCI AIS

C NL C4 ec. Myelitis

post op cervical disc

replacement, HNP C3-

4.

Klien masuk RS dengan keluhan lemah dan

sulit digerakkan pada anggota gerak kanan 5

minggu SMRS. Keluhan disertai rasa sakit

seperti tertusuk di bagian pantat. Pasien juga

merasa kesemutan di seluruh tubuh. Klien

telah menjalani operasi cervical disc

replacement.

a. Basic Conditioning Factors

Klien sudah menikah dan menjadi sumber pendapatan

keluarga utama. Namun semenjak sakit klien bergenti

bekerja. Sumber dukungan utama adalah istri klien dan

anak-anak yang rutin bergantian menemani di RS

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas.

Kekuatan otot: 3333 4444

3333 5555

c. Developmental Self Care Requisites

Klien hanya mampu menggerakkan satu sisi tangannya

untuk ADL klien ketergantungan sebagian. Klien mampu

makan dan minum, namun tidak mampu memakai baju

serta toileting.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien belum mampu beradaptasi secara penuh dengan

keterbatasan yang ia alami. klien masih berharap bisa

kembali menggunakan alat geraknya dan klien semangat

untuk latihan

Masalah keperawatan yang muncul adalah keterbatasan

mobilitas fisik, risiko konstipasi, dan risiko kerusakan integritas

kulit.

Desain Sistem Keperawatan adalah: partly compensatory

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 181: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.AH antara lain dengan joint exercise, constipation

management dan pressure ulcer prevention.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

menunjukkan peningkatan kemampuan dalam melakukan

latihan. Klien sangat semangat untuk memperoleh kembali

kemampuan geraknya. Klien sudah mampu mengangkat botol

berisi air menggunakan tangan kanan dan tidak terjadi

kontraktur. Pola BAB 2-3hari sekali dengan konsistensi yang

masih cenderung padat. Klien sudah mampu untuk

memiringkan tubuh sendiri utk mencegah luka dekubitus

latihan yang akan dilakukan selanjutnya adalah latihan untuk

transfer dengan bergeser/mengangkat bokong.

Tn. PY (16 tahun)

diagnosa medis: close

fraktur shaft tibia-

fibula dekstra pro IM

Nailing dan skin graft.

Klien masuk ke IGD setelah kejadian ditabrak

mobil saat menyebrang jalan. Klien jalan kaki

kemudian ditabrak oleh motor. Mekanisme

jatuh kepala membentur aspal dankaki

tertabrak ban motor. Klien mengeluh nyeri di

kaki kanan serta persendian yang lain. Klien

juga mengeluh pusing serta lupa kejadian

persis saat kecelakaan.

a. Basic Conditioning Factors

Klien adalah pelajar SMA, sumber dukungan utama adalah

ayah dan Ibu klien yang selalu menemani.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas.

Kekuatan otot: 5555 5555

------ 5555

Hemoglobin 16gr/dL

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 182: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Hematokrit 48%

Leukosit 18200/ul

Trombosit 348000/ul

GDS 139mg/dl

Elektrolit : 137/2,96/108

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

kerusakan mobilitas fisik, risiko ketidakefektifan perfusi

jaringan serebral, ketidakseimbangan elektrolit: hipokalemia

dan risiko infeksi.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.SH antara lain dengan pain management, bed rest care,

exercise therapy & positioning, electrolyte management:

hypokalemia.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

mengatakan pusing berkurang namun perasaan ngilu ditulang-

tulang masih terasa, nyeri di kaki kanan berkurang jika tidak

digerakkan.......................

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 183: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Ny. SS (66 tahun)

diagnosa medis Close

Fracture intratrokanter

femur sinistra pro

Proximal Femoral

Nailing Anti Rotation

(PFNA)

Klien masuk ke Poli Ortopedi dengan keluhan

nyeri pada paha kiri sejak 2 minggu SMRS.

Saat kejadian, klien sedang berjalan tiba-tiba

klien menginjak lubang lalu terjatuh dengan

paha kiri membentur aspal.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien sudah menikah namun suami telah meninggal dunia.

Saat ini klien tinggal dengan anak tertuanya. Klien

memiliki riwayat DM dan stroke.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas karena terpasang skin traksi. TD:

130/90mmHg, Nadi 98 kali/menit, RR24 kali/menit, suhu

36,5°C. Skala Morse:70

Kekuatan otot: 5555 5555

5555 ------

Hemoglobin 9,2gr/dL

Hematokrit 29%

Leukosit 8300/ul

Trombosit 299000/ul

GDS 240mg/dl

c. Developmental Self Care Requisites

Klien mampu melakukan ADL mandiri namun terbatas

untuk makan, minum dan mengganti pakaian. Untuk

eliminasi klien membutuhkan bantuan dalam

membersihkan diri karena tidak bisa menggerakkan bokong

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

kerusakan mobilitas fisik, risiko disfungsi neurovaskuler perifer

dan risiko jatuh

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 184: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Desain Sistem Keperawatan adalah: Partly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.SH antara lain dengan pain management, bed rest care, dan

exercise promotion

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

sudah menjalani prosedur operasi dan masuk ke fase

rehabilitasi. klien menunjukkan peningkatan terhadap toleransi

nyeri, namun klien masih takut untuk mulai latihan berdiri

apalagi berjalan. Keluarga klien sudah memperoleh edukasi

terkait pentingnya pendampingan saat klien mobilisasi.

Tn. HDS (26 tahun)

diagnosa medis: post

anterior debridement

(ACCF), spondillitis

TB C7-T1, SIDA on

ARV, Bladder

neurogenic, SCI AIS

D (motor incomplete)

Klien mulai merasa nyeri punggung sejak

bulan oktober 2013 kemudian berobat ke

akupuntur sekitar 3bulan namun tidak ada

perubahan. Setelah itu klien berobat ke RS ada

perubahan namun kemudian gejala timbul

lagi.klien merasa kaki makin lemah dan jalan

harus merambat. Hingga pada akhirnya klien

tidak bisa berjalan lagi. Klien HIV positif dan

TB paru BTA +, sudah mendapat ARV selama

2 minggu. Riwayat sex bebas.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien sudah bercerai, anak ikut mantan istri saat ini klien

tinggal dengan orang tua. Klien bekerja di hotel sebagai

room service.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas.BAB dan BAK terasa namun tidak bisa

menahan

Kekuatan otot: 5555 5555

----- ------

DPL : dbn

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 185: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

AGD: 7,506/27.7/186,5/21,4/99,4/-0,2

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Klien makan,

minum, personal hygiene, toileting dan berpakaian selalu

membutuhkan bantuan

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien pasrah menerima kondisinya. Terkadang klien tidak

semangat karena telah lama dirawat, namun karena kaki

mulai bisa digerakkan, klien semangat lagi.

Masalah keperawatan yang muncul adalah kerusakan mobilitas

fisik, gangguan pola eliminasi urin, risiko kerusakan integritas

kulit dan risiko cedera

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.HDS antara lain dengan bed rest care, nutrition

management, dan urinary elimination management.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

mengatakan kaki dapat digerakkan sedikit namun masih belum

bisa merasakan sensasi sentuhan. BAK makin terasa dan bisa

menahan samapai dilakukan PVR namun tidak bisa lama. Klien

dapat menekuk kaki. Kemampuan self-care masih belum

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 186: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

meningkat, klien sudah termotivasi untuk melakukan

pencegahan terjadinya luka dekubitus namun membutuhkan

bantuan ayah dalam tindakan pencegahan tersebut

Tn. MM (63 tahun)

diagnosa medis: close

fracture column femur

sinistra post THR, DM

tipe 2 dengan ulkus

DM cruris GD

terkontrol diet, TB

paru dengan infeksi

sekunder,

hipoalbumin, BPH

Tn. MM (63 tahun) masuk ke IGD RSUP

Fatmawati dengan keluhan Nyeri dibagian

paha kanan. Keluhan lain yang dirasakan klien

adalah nyeri di bagian perut, BAB dan BAK

sedikit dan perut membesar sejak 2 hari yang

lalu. Klien mengatakan pernah jatuh 1 bulan

yang lalu di kamar mandi. Posisi jatuh klien

terduduk dengan paha membentur kloset.

Pasca jatuh klien tidak bisa berjalan lagi,

aktivitas hanya di tempat tidur. Aktivitas

sehari-hari yang hanya di tempat tidur

mengakibatkan klien mengalami luka di area

sakrum dan kaki.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien sudah menikah dan sudah tidak bekerja. Klien tidak

pernah ke RS karena tidak pernah mau mengunjungi

pelayanan kesehatan saat sakit. Klien memiliki riwayat

DM, gula darah tidak terkontrol dan retensi urin e.c BPH.

b. Universal Self Care Requisites

Klien sering batuk tidak ada dahak dan sesak, status hidrasi

baik, mengeluh tidak selera makan karena merasa perut

tidak nyaman, terpasang DC, mengalami masalah

keterbatasan dalam bergerak karena nyeri luka operasi.

VAS 7. Nyeri dirasakan hilang timbul, paling sering terasa

di malam hari sampai klien tidak bisa tidur.

Kekuatan otot: 5555 3333

(nyeri)------ 5555

Hemoglobin 7,8gr/dL

Hematokrit 25%

Leukosit 10700/ul

Trombosit 351.000/ul

Eritrosit 2,72x106/ul

Albumin 2,00g/dl

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Namun ketika

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 187: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

dibantu istri klien sering marah-marah

d. Health Deviation Self Care Requisites

Posisi kaki abduksi dengan satu bantal di antara kedua tungkai.

Namun klien mengeluh pegal jika terus-terusan dengan posisi

tersebut sehingga klien sering menekuk kaki kanan nya

meskipun telah dilarang.

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

kerusakan mobilitas fisik, ketidakseimbangan nutrisi kurang

dari kebutuhan tubuh, gangguan pola eliminasi urin dan risiko

ketidakstabilan level gula darah.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.MM antara lain dengan pain management, bed rest care,

nutrition management, dan hyperglycemia management,

catheterization, pressure ulcere prevention dan exercise

therapy: joint mobility

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

menunjukkan peningkatan terhadap toleransi nyeri dan istirahat

tidak lagi terganggu akibat nyeri, untuk mobilisasi klien sudah

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 188: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

mulai latihan duduk disamping tempat tidur namun klien belum

berani jalan karena trauma jatuh, kadar gula darah stabil

dikontrol dengan obat-obatan.

Ny. SM (58 tahun)

diagnosa medis:

Fraktur intertrochanter

femur dextra, TB Paru

on OAT

Klien riwayat jatuh dikamar mandi 1 minggu

SMRS. Setelah jatuh kaki kiri tidak bisa

digerakkan. Klien direncanakan untuk

dilakukan PFNA.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien tinggal sendiri dengan pembantu. Klien tidak

menikah. Klien memiliki riwayat DM dengan GD

terkontrol.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas. Klien sering mengeluh nyeri sambil berteriak.

Kekuatan otot: 5555 5555

5555 ------

GDS 243 mg/dl

Kalium 2,25 mg/dl

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Klien sangat

bergantung kepada pembantu, terkadang klien marah jika

kemauannya tidak cepat dituruti oleh pembantunya.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien tidak kooperatif saat dilakukan intervensi

keperawatan, lebih banyak marah dan menjawab dengan

jawaban yang tidak sesuai.

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

keterbatasan mobilitas di tempat tidur, risiko penurunan perfusi

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 189: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

jaringan jantung, dan risiko ketidakstabilan level gula darah.

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Ny.SM antara lain dengan pain management, bed rest care,

nutrition management, hypocalemia management dan

hyperglycemia management.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

belum menunjukkan peningkatan terhadap toleransi nyeri, klien

masih sering marah-marah. Namun klien saat ini lebih terbuka

kepada perawat tentang perasaannya. Klien menjalani operasi

PFNA dan perawatan post-op berlanjut.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 190: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Tn. JH (49 tahun)

diagnosa medis

Lumbal Canal Stenosis

Klien mengeluh nyeri punggung kurang lebih 1

tahun yang lalu. kemudian klien mulai

merasakan sakit pada kaki kanan jika terlalu

lama beraktivitas. Nyeri dirasakan hingga

telapak kaki. Klien dirawat untuk direncanakan

operasi stabilisasi.

a. Basic Conditioning Factors

Klien sudah menikah dan menjadi sumber pendapatan

keluarga utama. Pekerjaan klien adalah driver dan sering

duduk dalam waktu lama.

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak dan

beraktivitas karena gampang lelah jika berdiri terlalu lama.

Kemampuan klien dalam memenuhi asupan udara, cairan,

nutrisi dan eliminasi normal.

Hemoglobin 12,9gr/dL

c. Developmental Self Care Requisites

Klien mampu melakukan ADL sendiri namun terbatas

untuk hal-hal yang ringan saja.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien kooperatif dalam menjalani program pengobatan, dan

mampu memilih aktivitas yang tidak baik untuk kondisi

tulang belakang klien.

Masalah keperawatan yang muncul adalah Nyeri akut,

intoleransi aktifitas dan risiko trauma

Desain Sistem Keperawatan adalah: supportive educative

dengan metode bantuan berupa: guidance, support, dan

teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 191: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

Tn.JH antara lain dengan pain management, exercise therapy,

environmental management: safety.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5 hari hingga

klien menjalani operasi, klien belum menunjukkan peningkatan

terhadap toleransi nyeri karena post operasi klien mengalami

nyeri yang lebih berat.

Tn. RZ (27 tahun)

diagnosa medis:

Tumor Tulang Primer

Thorakal IV dd/infeksi

pro stabilisasi

posterior dan biopsi

Klien mengeluh tidak bisa berjalan dan nyeri

pinggang sejak 3 bulan yang lalu. klien tidak

mengetahui penyebabnya hanya tiba-tiba kaki

sering terasa kesemutan sejak 1 tahun yang

lalu. Klien juga mengeluh nyeri terutama

ketika kaki terlalu lama ditekuk.

a. Basic Conditioning Factors

Klien mengalami keterbatasan karena kondisi penyakit.

Klien memiliki riwayat TB paru saat ini sedang

mengkonsumsi OAT selama 3 minggu

b. Universal Self Care Requisites

Klien mengalami masalah keterbatasan dalam bergerak.

Hasil pemeriksaan BTA 3 kali negative, klien mengatakan

sudah jarang batuk dan tidak sesak. Klien tidak mengalami

masalah dalam pemenuhan, cairan, nutrisi dan eliminasi.

LDH 357 u/l

CRP kuantitatif 3,1 mg/dl

LED 98 mm

Ht 46%

Leukosit 4600/ul

c. Developmental Self Care Requisites

Klien tidak mampu melakukan ADL sendiri. Karena hanya

bisa berbaring saja.

d. Health Deviation Self Care Requisites

Klien mampu menyampaikan kepada tenaga medis terkait

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016

Page 192: lib.ui.ac.idlib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-2/20435174-SP-Liya Arista.pdf · UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN PENDEKATAN TEORI

No Identitas Pasien Deskripisi kondisi pasien Hal-hal spesifik yang ditemukan berdasaran

teori Self-Care Orem

keluhan yang dirasakan terkait program pengobatan. Klien

belum memahami secara jelas tentang proses penyakit,

terutama penyebab kenapa sekarang klien tidak bisa berjalan

lagi. klien menanyakan apakah kakinya bisa kembali

berfungsi normal.

Masalah keperawatan yang muncul adalah keterbatasan

mobilitas di tempat tidur, kerusakan pertukaran gas, risiko

infeksi

Desain Sistem Keperawatan adalah: Wholly compensatory

dengan metode bantuan berupa: action for, guidance, support,

provide environment dan teaching

Intervensi dan Implementasi keperawatan yang dilakukan pada

Tn.RZ antara lain dengan, bed rest care, medication

management, oxygen therapy dan Infection control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 10 hari, klien

menunjukkan peningkatan motivasi untuk sembuh. Pasca

operasi klien mengeluh nyeri dengan skala sedang di bagian

luka operasi. Infeksi pasru akibat TB telah terkontrol, hasil

rontgen menunjukkan bahwa kondisi paru klien mengalami

perbaikan.

Analisis praktik ..., Liya Arista, FIK UI, 2016