LEMBAR PERSETUJUAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...repository.ub.ac.id/5308/1/Moch Reza Zulfikar.pdfdan...
Transcript of LEMBAR PERSETUJUAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ...repository.ub.ac.id/5308/1/Moch Reza Zulfikar.pdfdan...
i
LEMBAR PERSETUJUAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
OLEH DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU
SATU PINTU KABUPATEN BANYUWANGI
(Studi Kasus Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2016)
S K R I P S I
Disusun Oleh:
Moch Reza Zulfikar
NIM. 115120601111028
Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing:
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Restu Karlina Rahayu, S.IP., M.Si Ratnaningsih Damayanti, S.IP., M.Ec.Dev.
NIK. 198308172015042002 NIK. 2013048708211001
ii
LEMBAR PENGESAHAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
OLEH DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU
SATU PINTU KABUPATEN BANYUWANGI
(Studi Kasus Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi Tahun 2016)
S K R I P S I
Disusun Oleh:
Moch Reza Zulfikar
NIM. 115120601111028
Telah diuji dan dinyatakan lulus dalam ujian Sarjana Ilmu Politik
pada tanggal 03 Agustus 2017
Tim Penguji:
Ketua Majelis Penguji Sekretaris Majelis Penguji
Irma Fitriana Ulfah, S.IP., M.Si Laode Machdani Afala, S.IP., M.A
NIK. 2013048811042001 NIK. 2016078703181001
Anggota Majelis Penguji I Anggota Majelis Penguji II
Restu Karlina Rahayu, S.IP., M.Si Ratnaningsih Damayanti, S.IP., M.Ec.Dev.
NIK. 198308172015042002 NIK. 2013048708211001
Malang, 03 Agustus 2017
Mengetahui
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Prof. Dr. Unti Ludigdo, S.E., M.Si. Ak
NIP. 196908141994021001
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk orangtua saya Ibu Rochayati
Handayani, S.Pd serta saudara saya kakak Lely Anggreani dan Indah Dwi Utami
yang selama ini telah memberikan semangat, dukungan, serta doa khususnya
dalam proses penyelesaian skripsi ini. Mereka semua ibarat nyawa bagi saya yang
selalu memberikan pesan moril dan dukungan agar selalu bersemangat untuk
menjadi seseorang yang lebih baik kedepannya. Saya sangat berterimakasih sekali
kepada mereka karena tanpa mereka, tiada arti proses perjalanan panjang yang
selama ini saya lakukan. Semua ini semata-mata demi melihat senyum
kebahagiaan di wajah mereka. Semoga Allah swt selalu memberikan kesehatan,
keberkahan, dan kelapangan rizki bagi mereka semua, Aamin.
Moch Reza Zulfikar
NIM. 115120601111028
iv
HALAMAN MOTTO
“ ...Karena sesungguhnya jarak antara seluruh permasalahan dalam hidup
kita dengan jalan keluar, hanyalah sejauh jarak antara kening dengan
tempat sujud.”
“….Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar”
– (Q.S Ar-Rum: 60)
v
LEMBAR PERNYATAAN
Moch Reza Zulfikar
NIM. 115120601111028
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
OLEH DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU
SATU PINTU KABUPATEN BANYUWANGI (Studi Kasus Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten
Banyuwangi Tahun 2016) adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam skripsi tersebut, diberi tanda citasi, dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang
saya peroleh dari skripsi tersebut.
Malang, 04 Agustus 2017
Yang membuat pernyataan
Moch Reza Zulfikar
NIM. 115120601111028
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT dan
junjungan Nabi Muhammad SAW, atas rahmat dan hidayahnya sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU OLEH DINAS
PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
KABUPATEN BANYUWANGI” Dimana dalam proses panjang penyusunan
tidak lepas dari bantuan banyak pihak sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan
sebagai persyaratan untuk menyelesaikan Pendidikan Sarjana Ilmu Politik (S1)
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas Brawijaya Malang.
Ucapan terimakasih kepada orang tua, Ibunda Rochayati Handayani S.Pd
tercinta atas segala dukungan, semangat, dorongan, motivasi serta doa yang tidak
pernah terganti selama proses menyelesaikan tulisan ini. Terutama untuk Ibu yang
selalu mendengarkan keluh-kesah penulis ketika proses menyelesaikan tulisan ini,
selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada saya. Kakak saya Lely
Anggreani dan Indah Dwi Utami yang juga memberikan doa serta dukungan
selama proses penyelesaian skripsi ini.
Ucapan terima kasih kepada Restu Karlina Rahayu, S.IP., M.Si selaku
pembimbing utama atas segala perhatian dan bimbingannya. Dorongan dan
semangat selalu diberikan demi terselesaikannya skripsi ini tepat waktu. Tidak
lupa ucapan terima kasih kepada Ratnaningsih Damayanti, S.IP.,M.Ec.Dev.,
vii
selaku pembimbing pendamping atas segala perhatian dan bimbingan yang
diberikan kepada penulis dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Kepada Irma
Fitriana Ulfah, S.IP., M.Si dan Laode Machdani Afala, S.IP., M.A selaku tim
penguji skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis haturkan atas segala masukan
demi perbaikan tulisan ini.
Terimakasih saya ucapkan kepada Bapak Dr. H. Abdul Kadir, M,Si selaku
Kepala DPMPTSP Banyuwangi, Bapak Supriyadi, SH., M,Si selaku Sekretaris
DPMPTSP Banyuwangi, Fatah Hidayat, SP., S.sos selaku Kepala Sub
Penyusunan Program, Trisetya Supriyanto, S.STP, M.Si selaku Kepala Bidang
Perizinan, Medi Sugiarto, S.hut selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan selaku narasumber yang juga telah banyak memberikan informasi
dalam penyelesaian tulisan ini. Kepada Totok Budiantoro selaku Wakil Dekan 1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi,
Sofyan Yazied selaku anggota Lembaga Swadaya Masyarakat KUPUNYA yang
bergerak di bidang penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Banyuwangi dan
masyrakat Sidoarjo, terima kasih telah bersedia menyempatkan waktunya untuk
menjadi narasumber terkait penelitian ini
Terimakasih kepada sahabat saya seluruh Bajigur Crew (Tama, Robby,
Alvi, Noven, Indra, Baim, Rofik, Dhesy, Bunga, Shelly). Terima kasih atas
dorongan dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi.
Perjalanan persahabatan tidak akan pernah terlupakan. Terima kasih telah
ditakdirkan bertemu, kenal dan menjadi bagian dalam kehidupan saya.
viii
Ucapan terimakasih kepada sahabat yang atas segala dorongan, motivasi
dan semangat untuk penulis selama penyelesaian tulisan ini, Fauka Perwira,
Adityas Cahya, Arga Prakoso, Doni, Aryza Firman, Latip, Mayuko, Gaffar, dan
Arta teman yang telah berbagi suka duka selama menyelesaikan studi ini. Terima
kasih atas dorongan dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan
studi. Perjalanan persahabatan tidak akan pernah terlupakan. Terima kasih telah
ditakdirkan bertemu, kenal dan menjadi bagian dalam kehidupan saya.
Akhirnya tulisan ini sebagai tugas akhir ini telah selesai. Besar harapan
akan lahirnya manfaat dari skripsi ini sesuai dengan tujuan yang terkait. Oleh
karena itu saran dan kritik diharapkan untuk perbaikan penulisan ini.
Malang, 03 Agustus 2017
Moch Reza Zulfikar
NIM. 115120601111028
ix
ABSTRAK
Moch Reza Zulfikar, Program Sarjana, Program Studi Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang, 2011.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU OLEH
BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU KABUPATEN BANYUWANGI.
Tim Pembimbing : Restu Karlina Rahayu, S.IP., M.Si dan Ratnaningsih Damayanti,
S.IP., M.Ec.Dev
Permasalahan yang terjadi di lingkup perizinan umumnya merupakan
permasalahan yang klasik, yaitu ditunjukkan dengan rumitnya birokrasi yang ada,
prosedur pelayanan perizinan berbelit – belit yang memakan banyak waktu dan
biaya, serta kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat. Oleh karena itu
pemerintah daerah Kabupaten Banyuwangi telah banyak melakukan terobosan –
terobosan baru salah satunya dengan menerapkan program inovasi yaitu
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang telah ditetapkan dalam PERPRES Nomor 97
Tahun 2014. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dengan
menggunakan teori – teori implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van
Horn dengan 6 indikator yang mempengaruhi implementasi kebijakan, pedoman
penyelenggaraan PTSP yang ditetapkan dalam PERPRES Nomor 97 Tahun 2014
dan Peraturan Bupati Nomor 59 Tahun 2016. Bentuk penelitian yang digunakan
adalah penelitian deskriptif – kualitatif dengan metode pengumpulan data seperti
dokumentasi, wawancara, dan observasi lapangan untuk mengetahui bagaimana
implementasi PTSP di Kabupaten Banyuwangi serta faktor – faktor yang
mempengaruhi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan PTSP
di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi berjalan kurang maksimal dan kurang
sesuai dengan asas maupun prinsip yang ditetapkan dalam PERPRES Nomor 97
Tahun 2014 serta pedoman penyelenggaraan PTSP dalam Peraturan Bupati
Nomor 59 Tahun 2016. Pelimpahan wewenang sudah di berikan terhadap
DPMPTSP dengan adanya SOP yang jelas. Namun masih terkesan paradoks,
dimana DPMPTSP tidak bisa berjalan sendiri tanpa rekomendasi SKPD terkait
lainnya. Kekurangan jumlah pegawai juga merupakan faktor penghambat dalam
pengurusan permohonan izin.
Kata Kunci : Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Implementasi Kebijakan,
Pelayanan Perizinan
x
ABSTRACT
Moch Reza Zulfikar, Study Program of Government Science, Faculty of Social
Science and Political Science, Brawijaya University, Malang, 2011.
IMPLEMENTATION ONE STOP SERVICE AGENCY OF BANYUWANGI
DISTRICT. Supervicing : Restu Karlina Rahayu, S.IP., M.Si dan Ratnaningsih
Damayanti, S.IP., M.Ec.Dev
License always be related to the community both process, the cost, legal
certainty, ease, and period of completion. The problems that occurred in the
sphere of licenses are generally the problems that classic, namely indicated by the
excessive bureaucracy that there is, procedure licensing service kink
circumlocution that consuming much time and cost, and less of socialization on
the community. Therefore the government Banyuwangi districts have been doing
breakthrough one of them by applying innovation the one stop service program by
permit services agency determined in Presidential Regulation no. 97 years 2014.
This research tried to analyze the integrated one stop service in DPMPTSP of
Banyuwangi by using Van Meter and Van Horn theory policy implementation,
there are 6 indicators with which affect the implementation of policy, guidelines
PTSP set in Presidential Regulation no.97 in 2014 and Governor regulation no.
59 years 2016. The study used is research descriptive and qualitatively with the
data collection as documentation, interview, and observation the field to see how
the implementation of PTSP in Banyuwangi district and factors affect. This
research result indicates that the organizing ptsp in DPMPTSP of Banyuwangi
less in accordance with the principle which set in Presidential Regulation No. 97
years 2014 and the guidelines PTSP in the regent no 59 years 2016. Changing
authority is given to DPMPTSP with the soup clear .But it was impressed paradox
, where DPMPTSP could not work alone without recommendations from other
agency related. Shortages employees also a factor in the barrier permit
application.
Key words : One Stop Service (PTSP), Van Meter and Van Horn Policy
Implementation, License
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ........................................................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
ABSTRAK ............................................................................................................. ix
ABSTRACT ............................................................................................................ x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv
DAFTAR BAGAN ................................................................................................. xvi
DAFTAR ISTILAH .............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 11
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 11
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 11
1.4.1 Manfaat Akademis ................................................................................... 12
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................................ 12
BAB II KERANGKA TEORITIK ....................................................................... 13
2.1 Penelitian Terdahulu ......................................................................................... 13
2.2 Definisi Kebijakan Publik ................................................................................. 21
2.2.1 Tahapan Perumusan Kebijakan Publik .................................................... 23
xii
2.2.2 Implementasi Kebijakan .......................................................................... 25
2.3 Faktor Pendukung Pelayanan Publik ................................................................ 30
2.4 Faktor Penghambat Pelayanan Publik ............................................................... 31
2.5 Perizinan ............................................................................................................ 33
2.5.1 Tujuan dan Fungsi Perizinan .................................................................... 34
2.6 Alur Penelitian .................................................................................................. 36
BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 37
3.1 Pemilihan Metode ............................................................................................. 37
3.2 Lokasi Penelitian ............................................................................................... 39
3.3 Sumber Data ...................................................................................................... 39
3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 40
3.4.1 Study Kepustakaan (Library Research) ................................................... 40
3.4.2 Study Lapangan (Field Research) ............................................................ 41
3.5 Teknik Analisa Data .......................................................................................... 43
BAB IV DESKRIPSI DAN GAMBARAN UMUM PROGRAM
PTSP KABUPATEN BANYUWANGI ............................................................... 45
4.1 Latar Belakang Program PTSP ......................................................................... 45
4.2 Perkembangan PTSP di Kabupaten Banyuwangi ............................................. 49
4.3 Peluang Investasi Kabupaten Banyuwangi ...................................................... 52
4.4 Aspek Penunjang Implementasi Kebijakan PTSP ............................................ 54
4.4.1 Aspek Strategis ..................................................................................... 54
4.4.2 Aspek Teknis ......................................................................................... 54
xiii
4.5 Profil Dinas Penanaman Modal dan Pelyananan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi .................................................................................... 55
4.5.1 Struktur Organisasi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi ........................ 56
BAB V IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU
PINTU OLEH DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN
TERPADU SATU PINTU KABUPATEN BANYUWANGI .............................. 57
5.1 Standar/Ukuran dan Tujuan Kebijakan .............................................................. 57
5.2 Sumber – Sumber Kebijakan .............................................................................. 69
5.2.1 Sumber Daya Manusia ............................................................................. 70
5.2.2 Biaya atau Modal ..................................................................................... 72
5.2.3 Waktu ....................................................................................................... 75
5.3 Ciri-Ciri atau Karakteristik Badan/Instansi Pelaksana .................................................... 78
5.4 Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan
Pelaksanaan ....................................................................................................... 81
5.5 Sikap Para Pelaksana .......................................................................................... 84
5.6 Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik .......................................................... 88
5.6.1 Kondisi lingkungan ekonomi dan sosial .................................................. 88
5.6.2 Kondisi lingkungan politik ....................................................................... 90
5.7 Faktor Pendukung implementasi PTSP DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi .................................................................................................... 92
5.8 Faktor Penghambat Implementasi PTSP DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi .................................................................................................... 96
xiv
BAB VI PENUTUP ................................................................................................ 100
6.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 100
6.2 Rekomendasi ...................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 106
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Analisis Prosentase Jumlah Investor dan Rasio Daya Serap Tenaga
Kerja Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 – 2015 .................................. 9
Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu ........................................................ 19
Tabel 3.1 Daftar Narasumber .................................................................................. 42
Tabel 4.1 Tabel Perbedaan Pelayanan Satu Pintu Dengan Pelayanan Satu Atap .... 47
Tabel 5.1 Tabel Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap PTSP ............................. 63
Tabel 5.2 Indentifikasi Jenis Izin Berdasarkan Tinjau Lokasi dan Tanpa Tinjau
Lokasi ....................................................................................................... 68
Tabel 5.3 Anggaran Perjanjian Kinerja Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi 2015 ................. 95
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Tahapan Perumusan Kebijakan Menurut William Dunn ....................... 24
Bagan 2.2 Model Proses Implementasi Kebijakan ................................................. 27
Bagan 2.3 Alur Pikir Penelitian .............................................................................. 36
Bagan 4.1 Struktur Organisasi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi ...................... 56
Bagan 5.1 Mekanisme dan Prosedur Pelayanan Perizinan ..................................... 65
Bagan 5.2 Mekanisme dan Prosedur Pelayanan Perizinan ..................................... 66
xvii
DAFTAR ISTILAH
Back Office
DPMPTSP
:
:
Orang atau sekelompok orang yang bertugas mengurusi
laporan – laporan maupun masalah administrasi dan tidak
secara langsung
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Demand
Digital Society
E – Office
Field Research
Front Office
Good Governance
Hipotesis
:
:
:
:
:
:
:
Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan perizinan
Inovasi program pemerintah dalam memajukan teknologi
dan informasi bagi masyarakat
Salah satu pengembangan tekhnologi informasi yang lebih
memberikan kemudahan khususnya dalam kegiatan
administrasi perkantoran
Penelitian yang dilakukan di lapangan
Orang atau sekelompok orang yang berurusan langsung
dengan pelanggan terkait dengan jasa yang ditawarkan
Suatu konsep pemerintahan yang menjalankan prinsip –
prinsip demokrasi, akuntabilitas, efisien, transparansi,
professional. Gambaran umum sebuah pemerintahan yang
baik dan jauh dari kata buruk.
Kesimpulan sementara, dugaan sementara
xviii
Insentif : Penambahan penghasilan
Intervensi : Campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang,
golongan, negara, dan sebagainya)
KPPTSP : Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
Kualitatif : Penelitian yang menggunakan data berbentuk kata, skema,
dan gambar
Library Research
LPPPKB
:
:
Penelitian dengan mempelajari dari buku – buku, literatur,
ataupun website untuk mendapatkan data
Lembaga Pemantau Penyelenggara Pemerintahan Kabupaten
Banyuwangi
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat
One Stop Service : Sistem penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
PAD : Pendapatan Asli Daerah
Permendagri : Peraturan Menteri Dalam Negeri
Paradoks
PTSP
Public oriented
Relative
:
:
:
:
Keadaan dimana DPMPTSP tidak dapat menerbitkan Surat
Keputusan Izin tanpa rekomendasi dari SKPD terkait
lainnya.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kepentingan Publik
Tidak mutlak
Retribusi : Pungutan wajib yang dilakukan oleh pemerintah
xix
Sinkronisasi
Stakeholders
:
:
Penghubung, terhubung antara satu dengan yang lain
Pemangku kepentingan / Pengambil keputusan
SKPD : Satuan Kerja Perangkat Daerah
SOP
State Oriented
:
:
Standart Operating Procedure / Standar Pelayanan
Kepentingan Negara
Valid
Value
:
:
Pasti, berlaku, cara yang semestinya, kebenaran
Nilai
Verifikasi : Pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, dsb
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perubahan dalam sistem pemerintahan sering disebut sebagai reformasi
birokrasi. Reformasi birokrasi dalam kaitannya merupakan langkah inovatif
pemerintah dalam usaha membenahi sistem birokrasi yang dianggap kurang
efisien dan cenderung kurang berpihak terhadap masyarakat. Menanggapi serius
tentang permasalahan sistem pelayanan publik di Indonesia, pemerintah
Kabupaten Banyuwangi berinisiatif melalui reformasi birokrasi diharapkan akan
memunculkan birokrasi yang berkinerja tinggi, yang diwujudkan melalui
kemampuan dalam memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas kepada
masyarakat.
Pelayanan perizinan selalu menjadi sorotan masyarakat baik terkait proses,
biaya, kepastian hukum, kemudahan, dan waktu penyelesaian. Permasalahan –
permasalahan yang terjadi di lingkup perizinan pada dasarnya merupakan
permasalahan yang klasik, yaitu ditunjukkan dengan rumitnya birokrasi yang ada,
prosedur pelayanan perizinan yang cenderung berbelit – belit sehingga memakan
banyak waktu dan biaya, serta kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat
sehingga kebanyakan pada pengguna jasa perizinan tersebut kurang memahami
bagaimana prosedur pelayanan birokrasi tersebut. Terlebih lagi sering ditemui
adanya kasus korupsi terkait dengan penyelewengan kewenangan yang dimiliki
2
oleh pejabat birokrat. Pelayanan perizinan yang berbelit – belit dan menyita waktu
yang lama memicu ketidak sabaran para pengguna jasa. Dampaknya yaitu terjadi
proses suap agar proses pelayanannya cepat terselesaikan. Dalam kaitannya,
tumpang tindih kewenangan antara Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi dengan beberapa SKPD terkait dalam
bidang perizinan menjadi permasalahan utama dan menjadi faktor penghambat
dalam melakukan proses pelayanan perizinan di Kabupaten Banyuwangi.1
Kondisi seperti itulah yang sangat memungkinkan menimbulkan praktik KKN
diantara pejabat SKPD yang berwenang. Untuk itu perlu diterapkannya program
pelayanan satu pintu agar tidak ada lagi tumpang tindih kewenangan antar SKPD
terkait.
Pada tahun 2005 – 2010 dalam masa kepemimpinan Bupati Ratna Ani
Lestari, Badan Pelayanan Perizinan Kabupaten Banyuwangi menerapkan
kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA). PTSA sendiri diumpamakan
sebagai sistem dimana segala pemangku kebijakan khususnya perizinan
menyelesaikan dan mengeluarkan surat keputusan izin dalam satu gedung. Intinya
kebijakan PTSA merupakan pelayanan perizinan yang dikerjakan oleh beberapa
SKPD atau kantor Dinas terkait secara bersama. Pada dasarnya pengertian
sebenarnya tidak dalam satu atap tetapi dalam naungan satu gedung yang artinya
penandatangan masih diurus di SKPD terkait masing - masing. Pada
kenyataannya kebijakan tersebut dirasa tidak cukup efisien karena keluhan
1 Hasil pra wawancara dengan Medi Sugiarto, S.Hut selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan pada hari jum’at, tanggal 23 september, pukul 09.15 di Kantor DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi
3
masyarakat sendiri lebih banyak ditujukan pada proses pelayanan perizinan
Kabupaten Banyuwangi yang cenderung masih banyak terdapat kerumitan
persyaratan pengurusan izin dan menyita waktu yang sangat lama. Terlalu
banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengurus sebuah izin menjadi
penyebab banyaknya usaha – usaha di bidang perizinan banyak yang berstatus
ilegal. Seperti contoh kecilnya dalam mengurus izin penyiaran dalam hal penyedia
jasa jaringan TV kabel.
Salah satu, harus memiliki badan usaha berbentuk perseroan terbatas alias
PT. Setelah itu, pengurusan izin baru bisa dilaksanakan. Tahapnya
bertingkat dan membutuhkan waktu lama. Tidak cukup sampai
komisi penyiaran daerah tingkat Jawa Timur, melainkan harus
berlanjut hingga ke tingkat nasional. Rumitnya prosedur inilah yang
mungkin membuat beberapa operator enggan mengurus izin.2
Dalam kasus lain pengurusan pelayanan perizinan dalam mengurus izin
praktik bidan (SIPB) juga terbukti sangat rumit. Setidaknya dibutuhkan 15 item
persyaratan untuk mendapatkan yang harus dipenuhi jika ingin mendapatkan
SIPB. Jadi hampir dua kali lebih banyak dibandingkan syarat yang tertera pada
Permenkes 1464/2010. Kondisi inilah yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi.3
Selain itu yang dianggap memberatkan bidan adalah keharusan adanya
IMB dan kalau tidak ada SIPB tidak bisa diproses karena kurang
memenuhi syarat pada administrasinya. Padahal tidak semua bidan
menempati rumahnya sendiri dan juga belum tentu memiliki IMB.4
2 http://www.kabarbanyuwangi.info/tv-berbayar-semakin-menggurita.html, diakses pada tanggal 8
Desember 2012 3 http://majalahbidan.com/rumitnya-mengurus-izin-sipb-di-banyuwangi/, diakses pada tanggal 19
Agustus 2011 4 Ibid
4
Sistem PTSA bukanlah sistem yang buruk, namun karena kebijakan PTSA
tersebut merupakan kebijakan pelayanan bersama maka kewenangan dalam
mengurus perizinan tersebut juga tersebar kemana – mana. PTSA hanyalah wadah
distribusi yang sering kali pemohon izin dihadapkan pada posisi ikut mengurus
permohonan izin secara bolak-balik ke sektoral dinas kantor, dan terkadang juga
harus kembali berada di gedung pelayanan PTSA. Pemerintah sendiri telah
banyak melakukan terobosan – terobosan baru salah satunya dengan membuat
program inovasi yaitu Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada Dinas
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) mulai diterapkan di Kabupaten
Banyuwangi pada tahun 2011. PTSP diharapkan menjadi inovasi pemerintah
dalam usaha mengerucutkan sistem pelayanan publik agar menjadi lebih efisien
dibandingkan dengan sebelumnya yaitu PTSA. Medi Sugiarto menjelaskan
bahwa,
Sebelum PTSP diterapkan, dulu DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
menerapkan yang namanya PTSA, dimana seluruh SKPD terkait bersama
– sama mengerjakan perizinan di satu tempat agar pemohon tidak kemana
– mana. Namun PTSA dirasa kurang efektif karena kewenangan
pemangku kebijakan tersebar ke beberapa SKPD terkait. Tidak
memberikan solusi menyingkat waktu namun malah memperpanjang
waktu penyelesaian permohonan izin. Oleh karena itu sekarang DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi menerapkan PTSP yang intinya penyederhanaan
pelayanan perizinan, dan segala bentuk permohonan izin di proses dan
5
diselesaikan di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi yang artinya
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi memiliki kewenangan tunggal.5
Dengan diterapkannya PTSP diharapkan pelayanan perizinan tidak lagi
diproses oleh beberapa kantor dinas untuk mengurusi perijinan dalam naungan
pemerintah, cukup hanya satu yaitu langsung pada Dinas Penanaman Modal Dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Banyuwangi.
Selain itu ada beberapa isu masalah perizinan yang melatar belakangi
penerapan program PTSP di Kabupaten Banyuwangi, yaitu :6
1. Adanya tuntutan masyarakat yang mengharapkan perbaikan pelayanan
perijinan. Secara spesifik, perbaikan atas pelayanan diharapkan
prosedurnya lebih jelas dan juga integrasi beberapa unit organisasi yang
berkaitan dengan pengurusan perijinan (masyarakat membutuhkan
pelayanan perijinan disemua bidang dilaksanakan dalam satu
atap/pintu).
2. Masih adanya beberapa peraturan perundang-undangan daerah yang
tidak sinkron dan harmonis, terutama terkait dengan beberapa perijinan
dan kegiatan strategis. Kondisi ini seringkali menimbulkan potensi
munculnya KKN.
3. Masih rendahnya integritas dan komitmen pegawai dalam memberikan
pelayanan pada stakeholders, terutama pada sektor-sektor pelayanan
dasar pemerintah.
4. Jaminan atas pelayanan kepada stakeholders masih kurang jelas karena
minimnya Standard Operating Procedure (SOP) yang baik dan jelas.
Pada dasarnya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sangat menyadari
pentingnya standart pelayanan publik yang baik khususnya di bidang perizinan.
Bidang perizinan merupakan salah satu bidang yang menjadi fokus utama untuk
dibenahi dengan harapan dapat mendorong peningkatan investasi guna menopang
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perbaikan / penyederhanaan pelayanan perijinan
5 Hasil wawancara dengan Medi Sugiarto, S.Hut selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan pada tanggal 06 september 2016 pukul 10.07 di Kantor BPPT Kabupaten
Banyuwangi. 6 Dokumen Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi 2014 – 2018
6
diharapkan selain meningkatkan pelayanan masyarakat di bidang perijinan juga
diharapkan dapat menarik para investor untuk berinvestasi ke Banyuwangi.7
Menurut Bupati Banyuwangi Bapak Abdullah Azwar Annas, investasi di
Banyuwangi juga terus mengalami peningkatan dan pemerintah daerah sudah
menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk mempermudah
perizinan investasi. Investasi akan dipermudah dengan terus memperkuat PTSP.8
Sinkronisasi perizinan antara pusat dan daerah harus menjadi fokus utama,
pasalnya, hal itu sering kali menjadi hambatan molornya realisasi investasi yang
masuk. Hal ini dapat menghambat laju perkembangan perekonomian daerah.
Mengingat akan hal tersebut melalui Peraturan Daerah Kabupaten
Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Banyuwangi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi membentuk Dinas
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kemudian Kabupaten
Banyuwangi membuat Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 59 tahun 2016
tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten
Banyuwangi.9 Badan Pelayanan Perizinan Terpadu yang bertugas menyusun,
melaksanakan dan menetapkan kebijakan daerah di bidang pelayanan perizinan
dan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah dalam bentuk rencana
umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah, sesuai dengan
7 Ibid
8 http://www.beritasatu.com/nasional/230903-bupati-optimistis-perekonomian-banyuwangi-
tumbuh-di-atas-pertumbuhan-ekonomi-nasional.html, diakses pada Jumat, 5 Desember 2014 9 Salinan Peraturan Bupati Nomor 59 tahun 2016, tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas
dan Fungsi Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi
7
program pembangunan daerah kabupaten dan berkoordinasi dengan pemerintah
provinsi. Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 59 tahun 2016 tersebut merupakan
petunjuk teknis tentang penyelenggaraan kebijakan pelayanan satu pintu Dinas
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi.
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Top Service) yang di terapkan oleh
Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten
Banyuwangi merupakan upaya pemerintah dalam menangani permasalahan di
salah satu sektor pelayanan publik. Birokrasi yang merupakan ujung tombak dari
pelaksaan program pemerintahan dituntut untuk dapat bekerja secara professional
dalam merespon tuntutan atas tugas dan kewajibannya.
Kabupaten Banyuwangi menerapkan one stop service (pelayanan satu
pintu) dalam sektor pelayanan publik. Penerapan pelayanan ini berbasis
online yang merupakan salah satu implementasi dari Digital Society yang berbasis
pada e-office.10
Pelayanan satu pintu ini memungkinkan warga mengurus sejumlah surat
keterangan tanpa perlu berbelit - belit, tidak membutuhkan biaya yang
besar dan waktu yang pendek.11
Ada delapan rencana aksi dan dua inovasi
Banyuwangi yang dinilai Kemendagri sebagai upaya tindakan pencegahan
& pemberantasan korupsi. Di antaranya, pembentukan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP), serta pelimpahan kewenangan penerbitan perizinan dan
non perizinan di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPMPTSP).12
Sehubungan dengan pernyataan di atas, Pelayanan Terpadu Satu Pintu
merupakan sebuah kebijakan baru yang diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten
10
http://sunriseofjava.com/berita-691-pemkab-banyuwangi-luncurkan-pelayanan-satu-pintu.html
diakses pada tanggal 13 april 2011 11
http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/pemkab-luncurkan-layanan-one-stop-service.html
diakses pada tanggal 17 Juli 2013 12
http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/banyuwangi-raih-jawara-rencana-aksi-daerah-
pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi.html diakses pada 6 januari 2016
8
Banyuwangi dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat untuk terciptanya
sistem pelayanan publik yang sifatnya relative mudah dan tidak memakan biaya
maupun waktu.
Dengan diterapkannya Pelayanan Terpadu Satu Pintu oleh Dinas
Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi,
program tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan publik yang maksimal
kepada masyarakat. PTSP sendiri di Kabupaten Banyuwangi telah terbukti dalam
beberapa tahun (2011 – 2014) terkait peningkatan jumlah investor yang masuk ke
Banyuwangi. berikut akan dijelaskan melalui table bagaimana analisis prosentase
jumlah investor dalam meningkatkan daya serap tenaga kerja Kabupaten
Banyuwangi :
Tabel 1.1
Analisis Prosentase Jumlah Investor dan Rasio Daya Serap Tenaga Kerja
Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 - 2015
Indikator
Sasaran
Satuan
2011 2012 2013 2014 2015
Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi Target Realisasi
1 Jumlah
Investor
Investor 1 5 1 4 1 5 5 4 5 3
2 Jumlah
Investasi
% 50 65,50 50 62,338 50 71,50 50 95.61 50 70,56
3 Rasio
Daya
Serap
Tenaga
Kerja
% 239 235 239 240 239 238 239 248 239 230
4 Rata –
Rata
Capaian
Kinerja
% 101,83 102,11 104.83 115,87 101,18
Sumber : Olahan penulis dari LAKIP Kabupaten Banyuwangi tahun 2011 - 2015
9
Dari tabel tersebut dapat dilihat bagaimana prosentase kenaikan jumlah
investor yang masuk di Kabupaten Banyuwangi terjadi pada tahun 2011
(101,83%), tahun 2012 (102,11%), tahun 2013 (104,83), serta di tahun 2014
mengalami jumlah prosentase kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebanyak
(115,87%), namun di tahun 2015 mengalami penurunan yakni hanya mencapai
(101,18%). Meskipun rata – rata capaian dari tahun 2011 – 2015 melebihi target
yang telah ditetapkan, namun pada tahun 2015 prosentase capaian kerja lebih
kecil daripada tahun – tahun sebelumnya dikarenakan investasi mulai melambat
seiiring dengan pengaruh kondisi ekonomi global dan meningkatnya harga tanah
di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Dari segi rasio daya serap tenaga kerja juga
dapat disumpulkan bahwa semakin banyak jumlah investor yang masuk di
Kabupaten Banyuwangi secara otomatis memicu meningkatnya rasio daya serap
tenaga kerja pun sebaliknya.
Berdasarkan dengan latar belakang yang telah dijelaskan diatas, penelitian
ini ingin dimaksutkan untuk menelaah lebih jauh bahwa program Pelayanan
Terpadu Satu Pintu DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi merupakan sebuah
kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan standar pelayanan publik dan
bagaimana implementasi program tersebut. Setiap badan publik mempunyai
kewajiban dalam menyediakan dan melayani permohonan Informasi Publik secara
cepat, tepat waktu , biaya ringan dan cara sederhana. Dalam melakukan penelitian,
peneliti juga akan mendalami faktor – faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
Program Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang di terapkan oleh Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi tersebut.
10
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang permasalahan diatas, peneliti dapat
merumuskan permasalahan dari fenomena tersebut yaitu:
1. Bagaimana implementasi program Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang
diterapkan oleh Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Kabupaten Banyuwangi?
2. Bagaimanakah faktor pendukung dan penghambat Dinas Penanaman
Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu terhadap terselenggaranya
program Pelayanan Terpadu Satu Pintu?
1.3 Tujuan Penelitian
Peneliti merumuskan dua tujuan penelitian yang dilaksanakan di Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi
yaitu yang pertama, untuk menganalisis bagaimana implementasi Program
Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang diselenggarakan oleh Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi. Kedua,
peneliti juga menganalisis faktor pendukung dan penghambat Program Pelayanan
Terpadu Satu Pintu yang diselenggarakan oleh Dinas Penanaman Modal Dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu diantaranya
penelitian ini memberikan dua manfaat, baik manfaat akademis dan manfaat
praktis. Berikut akan dijelaskan oleh peneliti tentang manfaat akademis dan
manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu :
11
1.4.1 Manfaat Akademis
Manfaat Akademis yang didapat dari penelitian ini mendapatkan tiga
manfaat yaitu yang pertama, penelitian ini mendeskripsikan tentang bagaimana
implementasi serta faktor – faktor pendukung dan penghambat Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (PTSP) Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi. Manfaat yang kedua, dapat digunakan sebagai bahan
dasar dalam melakukan perbandingan untuk penelitian yang sudah dilakukan
maupun untuk penelitian berikutnya. Manfaat yang ketiga yaitu digunakan
sebagai penyempurna kekurangan dari penelitian sebelumnya yang serupa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini oleh peneliti dibagi menjadi dua yaitu
manfaat bagi peneliti dan bagi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi. Manfaat
praktis bagi peneliti yaitu dapat mengetahui mekanisme implementasi program
Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang diterapkan oleh Dinas Penanaman Modal Dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi. Serta mengetahui faktor
apa saja yang menjadi penghambat maupun pendukung program tersebut.
Sedangkan manfaat praktis bagi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi, penelitian
ini dapat dijadikan bahan masukan dalam hal mempertimbangkan hasil penelitian
untuk lebih berinovasi dan mengetahui kelemahan maupun kelebihan DPMPTSP
dalam menyelenggarakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
12
BAB II
KERANGKA TEORITIK
Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan mengenai tiga hal. Pertama,
studi terdahulu, yang digunakan sebagai langkah awal peneliti dalam melakukan
penelitian selanjutnya terkait fokus skripsi. Kedua, Teori Implementasi Kebijakan
Publik Van Meter dan Van Horn untuk menganalisis mekanisme penyelenggaraan
dan faktor – faktor yang mempengaruhi Program Pelayanan Terpadu Satu Pintu di
Kabupaten Banyuwangi. Ketiga, menjelaskan bagaimana alur pikir peneliti
terhadap penelitian ini.
2.1 Penelitian terdahulu
Studi terdahulu membahas penelitian – penelitian sebelumnya yang
memiliki persamaan tema namun terdapat perbedaan fokus kajian. Beberapa
penelitian mengenai Pelayanan Terpadu Satu Pintu antara lain :
Pertama, Skripsi Alfiani Ekasari yang berjudul “Implementasi Kebijakan
Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten
Soppeng”, yang terbit 2014.1 Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
sistem pelayanan Izin Mendirikan Bangunan yang diselenggarakan oleh Kantor
Pelayanan Terpadu Kabupaten Soppeng serta bagaimana interaksi Kantor
Pelayanan Terpadu dengan masyarakat dalam pemberian Izin Mendirikan
Bangunan. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatf. Teknik pengumpulan data
1 Alfiani Ekasari, Implementasi Kebijakan Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan di Kantor
Pelayanan Terpadu Kabupaten Soppeng Tahun 2014, Skripsi Sarjana Ilmu Pemerintahan,
Universitas Hassanudin, Tahun 2014
13
menggunakan observasi, wawancara studi kepustakaan dengan membaca buku,
majalah, surat kabar, dokumen-dokumen, undang-undang dan media informasi
lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, serta ditunjang oleh data
sekunder. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pelayanan Izin
Mendirikan Bangunan di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Soppeng yang
diterapkan telah sesuai dengan kebijakan yang diterapkan pada Kantor Pelayanan
Terpadu Kabupaten Soppeng. Terlihat dengan sistem, syarat dan mekanisme
pelayanan Izin Mendirikan Bangunan berjalan sesuai dengan aturan yang telah
diatur. Dari segi waktu pengurusan Izin Mendirikan Bangunan, sebagian besar
pemohon dilayani melebih waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari kerja, dari
segi biaya, pemohon tidak mengeluarkan biaya administrasi dalam pengurusan
Izin yang ada adalah biaya retribusi.
Namun adanya kebiasaan masyarakat yang acuh dan bermasa bodoh
menimbulkan praktek pencaloan yang semakin tinggi di Kabupaten Soppeng.
Pastisipasi masyarakat yang kurang menjadi kendala tersendiri dalam pengurusan
Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten Soppeng. Interaksi antara Kantor
Pelayanan Terpadu dengan masyarakat berjalan dengan lancar, baik itu interaksi
administrasi maupun interkasi teknis. Masyarakat mendapatkan informasi yang
dibutuhkan dan aparat playanan memberikan pelayanan yang baik.
Kedua, Skipsi SAHRIFIN yang berjudul “Efektivitas Pembentukan Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dalam Memberikan Pelayanan Kepada
Masyarakat (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
14
di Kabupaten Gayo Lues)”, yang terbit tahun 2010.2 Dalam penelitian ini penulis
ingin melihat efektivitas pembentukan pelayanan perizinan terpadu satu pintu
dalam memberikan pelayanan di bidang perizinan kepada masyarakat di
Kabupaten Gayo Lues, yang bertujuan untuk melihat bagaimana efektivitas
pembentukan KPPTSP tersebut dan untuk melihat bagaimana kualitas pelayanan
yang diterima oleh masyarkat di daerah tersebut. Kabupaten Gayo Lues yang
merupakan salah satu kabupaten di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
juga telah menerapkan pola pelayanan perizinan terpadu satu pintu sesuai
instruksi Pemerintah Pusat. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatf. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara studi kepustakaan.
Ketiga, Skripsi I Putu Agus Indra Febriyana yang berjudul
“Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pada Dinas Perijinan Kota
Denpasar”3 tahun 2008. Penyederhanaan prosedur perijinan melalui pembentukan
Dinas Perijinan merupakan salah satu upaya yang diharapkan bisa
mengakomodasi kebutuhan masyarakat sebagai lembaga yang benar-benar One
Stop Service, dimana berbagai jenis perijinan yang saat ini masih ada tersebar di
sekian banyak SKPD, dalam 105 jenis perijinan, semuanya diurus dalam satu
pintu, yaitu di Dinas Perijinan, kebijakan Pemerintah Kota Denpasar dalam
penyederhanaan perijinan dengan Sistem Paralel tersebut menimbulkan
2 SAHRIFIN “Efektivitas Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dalam
Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu di Kabupaten Gayo Lues)” Tahun 2010, Skripsi Sarjana Ilmu Administrasi
Negara, Universitas Sumatra Utara, Tahun 2010 3 I Putu Agus Indra Febryana “Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pada Dinas
Perijinan Kota Denpasar” Tahun 2008, Skripsi Sarja Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Tahun
2008
15
permasalahan yaitu bagaimanakah penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu
dalam upaya peningkatan pelayanan pada masyarakat di Dinas Perijinan Kota
Denpasar, dan Apakah yang menjadi tolok ukur agar tercapainya penyelenggaraan
pelayanan terpadu satu pintu yang baik di Dinas Perijinan Kota Denpasar. Metode
ini merupakan jenis penelitian empiris. Dapat disimpulkan dari faktor-faktor
upaya peningkatan pelayanan dengan melalui dua prosedur Front Office dan Back
Office agar mudah dan cepat mengurus ijin. Dan masyarakat juga dalam
mengajukan permohonan ijin harus sesuai persyaratan permohonan yang dimiliki
Dinas Perijinan Kota Denpasar agar tidak adanya hambatan dan kendala dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan bisa berjalan dengan baik.
Keempat, Tugas Akhir Program Magister Yusroni yang berjudul
“Pengaruh Kualitas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terhadap Kepuasan
Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Bangka”4, tahun 2012. Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pelayanan Terpadu di
Kabupaten Bangka sebagai salah satu satuan kerja yang berfungsi
menyelenggarakan pelayanan publik di bidang perizinan. Metode yang digunakan
adalah deskriptif kuantitatif dengan menggunakan data primer guna menjawab
hipotesis pengaruh kualitas pelayanan satu pintu terhadap kepuasan masyarakat
dalam rangka peningkatan PAD Kabupaten Bangka. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi peningkatan hasil retribusi daerah semenjak berdirinya
Kantor Pelayanan Terpadu dan puasnya masyarakat terkait dengan pelayanan satu
4 Yusroni “Pengaruh Kualitas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terhadap Kepuasan Masyarakat
Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bangka”, Tugas Akhir Program
Magister Manajemen, Universitas Terbuka, Tahun 2012
16
pintu. Secara simultan kualitas pelayanan Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten
Bangka yang terdiri dari dimensi tangible, reliability, assurance, emphaty dan
equity, berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan masyarakat dan
peningkatan juga terjadi pada Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Bangka.
Kelima, Thesis Damayanti yang berjudul “Evaluasi kebijakan
penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PPTSP) : Studi pada Unit
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pasaman”5, yang
terbit tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) di Kabupaten Pasaman
yang dilaksanakan sejak tahun anggaran 2007 - 2009, dengan cara menganalisis
efektifitas kebijakan dalam meningkatkan kualitas layanan publik serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif deskriptif. Data primer dan data sekunder diperoleh dari
sumber data yang dibagi dalam tiga sumber yakni, Persons, Place, dan Paper. Data
tersebut diambil melalui Observasi, wawancara dan dokumentasi di lapangan
terhadap pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan masyarakat sebagai
pengguna jasa pada pelayanan terpadu satu pintu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan penyelenggaraan
pelayanan terpadu satu pintu yang dilaksanakan di Kabupaten Pasaman belum
efektif dalam meningkatkan kualitas layanan publik. Hal ini dilihat dari hasil
analisis terhadap lima indikator pelayanan (kesederhanaan pelayanan, kejelasan
5 Damayanti, Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) : Studi
pada Unit Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pasaman, Thesis Magister
Administrasi Publik, Universitas Gajah Mada, Tahun 2010
17
dan kepastian, keterbukaan, biaya yang ekonomis, serta ketepatan waktu
pelayanan), menunjukkan bahwa tiga diantaranya yaitu indikator kesederhanaan
pelayanan, biaya pelayanan dan ketepatan waktu pelayanan ternyata tidak lebih
baik dibandingkan dengan sebelum diterapkannya kebijakan pelayanan terpadu
satu pintu. Faktor-faktor yang menyebabkan kurang efektifnya kinerja kebijakan
dalam meningkatkan kualitas layanan publik adalah struktur organiasiasi UPPTSP
yang memiliki kewenangan terbatas, SOP yang kurang lengkap, ketersediaan
sumber daya (sumberdaya manusia, dana, serta sarana dan prasarana) belum
memadai, kurangnya koordinasi dan sosialisasi, tidak didukungnya kebijakan oleh
semua pejabat pelaksana serta kurang tegasnya pimpinan dalam penyelenggaraan
kebijakan.
Untuk lebih meningkatkan efektifitas kebijakan Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten Pasaman kedepannya, disarankan
untuk dilakukan pembenahan struktur organisasi dengan meningkatkan status
organisasi menjadi Badan/Kantor agar mempunyai kewenangan yang lebih luas
dalam penyelenggaraan pelayanan, membuat SOP pelayanan yang lebih jelas dan
lengkap, melengkapi kebutuhan sumber daya, mengadakan kegiatan sosialisasi
secara terus menerus serta melaksanakan rapat koordinasi secara rutin dan
kontinu. Disamping itu perlu ada upaya menyamakan presepsi para pelaksana
kebijakan melalui pemberian insentif dan sangsi tegas agar mendukung kebijakan
sesuai yang diharapkan sehingga peningkatan kualitas layanan publik di
Kabupaten Pasaman dapat dicapai.
18
Tabel 2.1
Perbandingan Penelitian Terdahulu
NO JUDUL PENELITIAN PEMBEDA
1 Implementasi Kebijakan Pelayanan
Izin Mendirikan Bangunan di Kantor
Pelayanan Terpadu Kabupaten
Soppeng
Alfiani Ekasari
Jurnal ini menggunakan variable
yang menunjang implementasi
kebijakan pelayanan izin Kantor
Pelayanan Terpadu yaitu :
- Interaksi administrasi
- Interaksi teknis
- Mekanisme pelayanan
- Partisipasi masyarakat
Sedangkan peneliti menggunakan
variable berbeda yaitu:
- Demand (tuntutan)
- Value (manfaat)
- Evaluation (evaluasi)
Persamaan dari kedua penelitian
ini sama – sama menggunakan
metode penelitian kualitatif.
2 Efektivitas Pembentukan Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu
Pintu Dalam Memberikan Pelayanan
Kepada Masyarakat (Studi Kasus Pada
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu di Kabupaten Gayo Lues)
SAHRIFIN
Masalah yang dikaji yaitu
efektivitas pembentukan
pelayanan perizinan terpadu satu
pintu dalam memberikan
pelayanan di bidang perizinan
kepada masyarakat.
Sedangkan penulis mengkaji
bagaimana implementasi serta
mengevaluasi pelayanan terpadu
satu pintu di Kabupaten
Banyuwangi.
Persamaan dari kedua penelitian
ini sama – sama menggunakan
metode penelitian kualitatif.
3 Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Pada Dinas Perijinan Kota
Denpasar
I Putut Agus Indra Febryana
Tujuan penelitian ini adalah
bagaimanakah penyelenggaraan
pelayanan terpadu satu pintu
dalam upaya peningkatan
pelayanan pada masyarakat di
Dinas Perijinan Kota Denpasar,
dan Apakah yang menjadi tolok
ukur agar tercapainya
19
penyelenggaraan pelayanan
terpadu satu pintu yang baik
Sedangkan peneliti juga
membahas bagaimana
implementasi PTSP namun
disertai dengan evaluasi selama
diterapkannya PTSP tersebut
Persamaan dari kedua penelitian
ini dipaparkan secara deskriptif
menggunakan metode kualitatif
empiris
4 Pengaruh Kualitas Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Terhadap Kepuasan
Masyarakat Dalam Rangka
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Bangka
Yusroni
Jurnal ini menggunakan variable
penunjang Pealayan Satu Pintu
untuk mendapatkan kepuasan
masyarakat yaitu:
- tangible
- reliability
- assurance
- emphaty
- equity
Sedangkan peneliti menggunakan
variable berbeda yaitu:
- Demand (tuntutan)
- Value (manfaat)
- Evaluation (evaluasi)
Persamaan dari kedua penelitian
ini sama – sama menggunakan
metode penelitian kualitatif
deskriptif.
5 Evaluasi Kebijakan Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)
: Studi pada Unit Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Pasaman
Damayanti
Jurnal ini fokus pada evaluasi
sitem pelayanan satu pintu dengan
cara menganalisis efektifitas
kebijakan dalam meningkatkan
kualitas layanan publik serta
faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Variabel yang
digunakan yaitu evaluation,
indicator, dan suggest.
Sedangkan penulis fokus pada
bagaimana implementasi
Pelayanan Satu Pintu yang
disertai evaluasi menggunakan
20
variable demand, value, dan
evaluation.
Persamaan dari kedua penelitian
ini sama – sama menggunakan
metode penelitian kualitatif. Sumber: Olahan Penulis, 2017
2.2 Definisi Kebijakan Publik
Menurut Wahab dalam bidang apapun dan untuk merealisasikan tujuan
apapun akan di beri makna “ kebijakan publik” jika sebagian atau seluruhnya
digagas, dikembangkan, dirumuskan, atau dibuat oleh instansi – instansi, serta
melibatkan (langsung atau tak langsung) pejabat – pejabat pemerintah.6 Dalam
arti sempit kebijakan publik merupakan sebuah peraturan yang dibuat oleh
pemerintah yang sifatnya memaksa. Memaksa dalam artian masyarakat harus
mentaati segala macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Setiap kebijakan
publik dapat mempengaruhi baik atau buruknya sistem pemerintahan. Oleh
karenanya, kebijakan publik juga bersifat fleksibel karena keberhasilan kebijakan
itu sendiri baru bisa di lihat jika sudah dijalankan. Maka dari itu Wahab
merumuskan bahwa kebijakan publik perlu untuk digagas, dikembangkan, dan
dirumuskan oleh pejabat – pejabat publik mengingat tuntutan masyarakat akan
kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah berbeda – beda. Definisi kebijakan
publik yang lain dikemukakan oleh Anderson bahwa kebijakan publik adalah
6 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke Penyusunan Model – Model
Implementasi Kebijakan Publik), Bumi Aksara, 2012, Hal 16
21
sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah :7
1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai
tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan.
2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah.
3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk
dilakukan.
4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti
merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah
tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif
didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan
memaksa.
Kebijakan publik yang di rumuskan oleh Anderson menyebutkan bahwa
kebijakan publik selalu memiliki tujuan tertentu yang sudah di rancang oleh
pemerintah untuk mengatur segala macam peraturan yang harus ditaati oleh
masyarakat. Sedangkan menurut Chandler dan Plano kebijkan publik adalah
pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdayasumberdaya yang ada untuk
memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.8 Kebijakan publik
merupakan suatu bentuk kewajiban yang dilakukan secara terus menerus oleh
pemerintah demi sebuah tujuan kelompok atau masyarakat. Dalam hal ini
pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki untuk mengatasi
persoalan publik. Artinya kebijakan publik tidak melulu menjadi urusan pribadi
pemerintah, melainkan melibatkan banyak aktor lain seperti masyarakat, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan aktor – aktor lain yang ikut andil dalam
mempengaruhi keberhasilan sebuah kebijakan publik itu sendiri.
7 Hessel Nogi S. Tangkilisan, MSi, “Teori dan Konsep Kebijakan Publik” dalam Kebijakan Publik
yang Membumi, konsep, strategi dan kasus, Yogyakarta : Lukman Offset dan YPAPI, 2003, hal 2. 8 Ibid, hal 1
22
2.2.1 Tahapan Perumusan Kebijakan Publik
Perumusan kebijakan publik merupakan langkah vital pemerintah dalam
membuat dan mengimplementasikan kebijakan. Perumusan tersebut banyak
melibatkan variabel dan proses yang dapat mempengaruhi keberhasilan sebuah
kebijakan. Dalam kaitannya, sebuah kebijakan terdiri dari beberapa variabel
indikator yang menjadi bumbu untuk merumuskan sebuah kebijakan. Indikator –
indikator tersebut dapat mempengaruhi layak atau tidaknya kebijakan tersebut
untuk diimplementasikan serta dapat menganalisis kekuatan dan kelemahan
kebijakan tersebut.
Dalam mengkaji tahapan perumusan kebijakan publik, William N Dunn
membagi dan mengurutkan tahapan – tahapan dalam perumusan sebuah kebijakan
sebagai berikut :9
1. Tahap penyusunan agenda
2. Merupakan tahap pengumpulan masalah dan tuntutan apa saja yang
muncul dalam lingkup kebijakan yang nantinya menjadi fokus utama
dalam pokok bahasan.
3. Tahap Formulasi kebijakan
4. Formulasi kebijakan merupakan tahapan para perumus kebijakan
dalam mengidentifikasi masalah yang muncul dan untuk kemudian
mencari solusi alternatif terbaik dalam mengatasi masalah tersebut.
5. Tahap adopsi kebijakan
6. Pada dasarnya tahapan ini merupakan penentuan dan pengambilan
keputusan para perumus kebijakan dalam mengadopsi solusi
kebijakan terbaik menurut dukungan mayoritas.
7. Tahap implementasi kebijakan
8. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh para pelaksana
(implementors) yaitu badan – badan administrasi ataupun birokrat
tingkat bawah.
9. Tahap evaluasi kebijakan
10. Dalam tahap evaluasi, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai
dan dievaluasi kembali untuk dapat dilihat sejauh mana kebijakan
yang dibuat meraih dampak yang diinginkan.
9 Budi Winarno, MA, Kebijakan Publik, Teori dan Proses, Jakarta : Media Pressindo, 2007, hal
32-34.
23
Bagan 2.1
Tahapan Perumusan Kebijakan Publik Menurut William Dunn
Sumber : Tahapan Perumusan Kebijakan Publik Menurut William Dunn
(dalam Budi Winarno 2007 : 32-34)
Penyusunan Agenda
formulasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan
24
2.2.2 Implementasi Kebijakan
Menurut Wahab dalam arti yang luas, implementasi sering dianggap
sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah
ditetapkan berdasarkan undang-undang dan menjadi kesepakatan bersama diantara
beragam pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau
privat), prosedur, dan teknik secara sinergistis yang digerakkan untuk bekerja
sama guna menerapkan kebijakan kearah tertentu yang dikehendaki.10
Teori ini
cukup lengkap dalam mendeskripsikan implementasi kebijakan. Teori ini pada
dasarnya mencakup segala inti sari dari implementasi kebijakan. Para pemangku
kepentingan merupakan pihak utama dalam menentukan sebuah implementasi
kebijakan dapat berjalan sesuai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Sebuah
program atau kebijakan tidak akan berjalan dengan baik tanpa aktor
penyelenggara yang baik. Oleh karena itu, teori ini menekankan agar sikap,
perilaku, dan pikiran para pemangku kepentingan lebih terkontrol pada aspek
yang ingin dicapai. Karena pada dasarnya implementasi merupakan proses
terlaksananya suatu kebijakan serta pelaksana kebijakan yang diarahkan tetap
terkontrol pada keputusan yang telah diambil.
Menurut Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi
sebagai tindakan – tindakan yang dilakukan baik oleh individual atau pejabat –
pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan – tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.11
Sedikit mirip
10
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke Penyusunan Model – Model
Implementasi Kebijakan Publik, Bumi Aksara, 2012, Hal 133 11
Ibid, Hal 135
25
dengan teori yang di gagas oleh Wahab, pada dasarnya teori ini lebih menekankan
para pelaku kebijakan dalam menjalankan sebuah kebijakan yang telah ditetapkan
dengan tetap memperhatikan arahan dalam menjalankan kebijakan. Implementasi
kebijakan dilakukan dalam merealisasikan program kebijakan yang sudah
dirumuskan terlebih dahulu yang dalam perumusannya juga telah disusun
bagaimana rencana pelaksanaan demi tercapainya sebuah tujuan yang telah
disepakati. Karena dalam sebuah rencana terdapat fokus – fokus kegiatan yang
akan digunakan dan dilaksanakan dalam merealisasikan kebijakan.
Hal lain yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn ialah jalan yang
menghubungkan antara kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel
bebas (Independent Variabel) yang saling berkaitan. Variabel – variabel yang
bebas yang dimaksut ialah :12
1. Standar/ukuran dan tujuan kebijakan
2. Sumber – sumber kebijakan
3. Ciri – ciri atau karakteristik badan/instansi pelaksana
4. Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan – kegiatan
pelaksanaan
5. Sikap para pelaksana
6. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
Dari kedua pemahaman diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
implementasi merupakan jelas mengarah pada proses pelaksanaan suatu kebijakan
yang telah di buat dan disepakati oleh para perumus kebijakan. Tujuannya adalah
sebagai solusi pemecahan sebuah masalah yang timbul di masyarakat yang
disusun secara sistematis dan terstruktur. Dalam penerapannya, aktor
penyelenggara kebijakan merupakan sebuah komponen utama yang ditunjang
12
Ibid, Hal 165
26
dengan beberapa variabel baik individual maupun organisasi yang saling
berkaitan antar keduanya.
Bagan 2.2
Model Proses Implementasi Kebijakan
Sumber: Model proses implementasi kebijakan menurut Donald Van
Meter dan Carl Van Horn13
Model ini mengumpamakan implementasi kebijakan berjalan secara
terstruktur dari keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan
publik. Pertama, ukuran dan tujuan kebijakan diperlukan untuk mengarahkan
dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan
13
Ibid, Hal 166
Komunikasi antar-
organisasi dan kegiatan
pelaksanaan
Sumber-sumber
kebijakan
Ciri-ciri
badan
pelaksana
Sikap para
pelaksana
Kinerja
Standar dan
tujuan kebijakan
Lingkungan: ekonomi,
sosial, dan politik
27
program yang sudah direncanakan. Ukuran kebijakan program PTSP yang
menjadi sasaran adanya perubahan pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat dan
adanya kemudahan dalam menguruh pembuatan surat – surat izin. Kebijakan
PTSP bertujuan untuk mengatasi permasalahan perizinan yang ada di Kota
Banyuwangi, serta melakukan perubahan dalam hal melayani pengurusan surat –
surat izin dan kebijakan diimplementasikan harus secara jelas sesuai dengan
tujuannya, kebijakan apa yang akan ditetapkan sebagai sistem yang akan
dilaksanakan oleh unit-unit pelayanan masyarakat.
Kedua, menurut Van Meter dan Vanhorn, sumber daya kebijakan
merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan
pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu.14
Sumber-sumber kebijakan
tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah. Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber
penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran
pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Waktu
merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu
sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan
penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan.
Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri
badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja
implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang
14
Van Meter, D.S dan Van Horn, C.E, The Policy Implementation Process: A Conceptual
Framework. Admisitration and Society, 1975, Hal 465
28
tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Komponen dari
model ini terdiri dari stuktur-struktur formal dari organisasi-organisasi dan pihak
stakeholder yang tidak formal dari personil mereka, disamping itu perhatian juga
perlu ditujukan kepada ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pameran-pameran
serta dalam penyampaian kebijakan.
Keempat, dampak kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik pada
kebijakan publik merupakan pusat perhatian yang besar. Variabel ini mencakup
sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan,
yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.
Sedangkan menurut Leo Agustino studi implementasi merupakan suatu
kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan suatu
kebijakan. Dalam pelaksanaan, implementasi kebijakan merupakan proses yang
sangat kompleks yang terkadang menyangkut politisasi dengan adanya intervensi
berbagai kepentingan.15
Dengan demikian implementasi kebijakan tidak hanya
merupakan sebuah proses realisasi sebuah kebijakan, namun melibatkan beberapa
interaksi dari para pelaku atau aktor pelaku kebijakan yang memiliki pengaruh
besar dalam pencapaian sebuah program kebijakan.
15
Leo Agustino, Dasar-dasar Kebijakan Publlik, Bandung : Alfabeta, 2008, Hal 138
29
Hal ini dipertegas oleh pendapat Udoji dalam Abdul Wahab yang
mengatakan pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan mungkin
lebih penting dari pembuatan kebijaksanaan. Kebijakan-kebijakan hanya akan
berupa impian atau rencana yang bagus, yang tersimpan rapi dalam arsip kalau
tidak diimplementasikan.16
Dari pendapat Udoji tersebut dapat dikatakan bahwa
implementasi merupakan unsur yang sangat penting dalam mencapai sebuah
tujuan. Tidak telepas dari itu, menurut Riant Nugroho rencana ada 20%
keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, 20% sisanya adalah bagaimana
kita mengendalikan implementasi.17
Implementasi kebijakan adalah hal yang
paling berat, karena disini masalah – masalah yang kadang tidak kita jumpai
dalam konsep, muncul dilapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi
implementasi.
2.3 Faktor Pendukung Pelayanan Publik
Pada hakikatnya, pelayanan publik dapat diibaratkan fungsi utama sebuah
birokrasi dalam melakukan kewajibannya. Demi terselenggaranya pelayanan yang
baik dibutuhkan beberapa indikator dalam mencapai keberhasilan program.
Faktor-faktor pendukung pelayanan tersebut sangat penting peranannya guna
memenuhi kepentingan publik. Menurut Moenir disebutkan dalam bukunya yang
16
Abdul Wahab, Solichin, Evaluasi kebijakan Publik, Malang : Penerbit FIA UNIBRAW dan
IKIP Malang, 1997, Hal 59 17
Riant Nugroho, Public Policy: Teori Kebijakan – Analisis Kebijakan – Proses, Jakarta: Elex
Media Komputindo, 2008, Hal 501
30
berjudul Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia ada enam faktor yang dapat
mendukung pelayanan umum, yaitu:18
1. Faktor kesadaran, yaitu kesadaran para pejabat serta petugas yang
berkecimpung dalam pelayanan umum
2. Faktor aturan, yaitu aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan
3. Faktor organisasi, yaitu organisasi yang merupakan alat serta sistem
yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan
4. Faktor pendapatan, yaitu pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan
hidup minimum
5. Faktor keterampilan petugas
6. Faktor sarana dalam peaksanaan tugas pelayanan.
Keenam faktor tersebut menjelaskan peranan birokrat yang berdeda –
beda. Tetapi pada dasarnya komponen – komponen tersebut membentuk sebuah
hubungan yang berkaitan antara satu dengan yang lain. Untuk itu dalam
penerapan pelayanan publik dibutuhkan adanya korelasi yang baik antara keenam
faktor tersebut. Mengingat buruknya budaya dalam sebuah birokrasi di Indonesia
memang sedikit sulit merubah apa yang sudah menjadi budaya. Tetapi bukan
tidak mungkin merubah sistem birokrasi yang ada menuju kearah yang lebih baik
dengan didasari kesadaran diri pejabat birokrat sebagai “Abdi Masyarakat”.
2.4 Faktor Penghambat Pelayanan Publik
Buramnya pelayanan publik di Indonesia menjadi sebuah permalahan
Negara yang berkepanjangan. Fokus pelayanan cenderung mementingkan
kepentingan kelompok sepihak namun tidak untuk warga dan masyarakat.
Masyarakat seringkali di permainkan dalam mengurus pelayanan. Kebanyakan
dari mereka bahkan tidak mengetahui bentuk prosedur pelayanan yang baku.
18
Moenir A.S, 1992. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta:Bumi Aksara halaman
85
31
Dalam bukunya, Hesti Puspitosari merumuskan ada tiga faktor
penghambat pelayanan publik yaitu:19
1. Kebijakan atau keputusan politik yang diambil Pemerintah
Kebijakan yang diambil sering kali tidak memihak kepada
kepentingan masyarakat, dan cenderung merugikan rakyat, para
pengambil kebijakan lebih memikirkan kepentingan orang – orang
terdekat serta golongan mereka yang sering kali menimbulkan koalisi
busuk.
2. Manajemen dari pelaksana pelayanan publik
Pelaksanaan pelayanan publik lebih bersifat state oriented tidak public
oriented. Dimana kepentingan Negara lebih menjadi prioritas, segala
yang menyangkut kepentingan Negara mendapatkan porsi yang lebih
dibandingkan dengan kepentingan masyarakat.
3. Latar belakang kultur layanan
Kultur layanan di Indonesia masing bersifat feodal, yaitu dimana
pemberi layanan masih mementingkan kepentingan pribadi dan
Negara. Contohnya ada masa kerajaan rakyatlah yang mengabdi
kepada kerajaan dengan membayar upeti. Sistem yang sudah tidak
relevan tersebut membudaya sampai sekarang.
Ketiga faktor tersebut ditunjang dengan buruknya citra Birokrasi di
Indonesia. Buruknya citra akan budaya birokrasi di Indonesia menjadi sebuah
hambatan besar bagi sistem pelayanan publik. Dikutip dari buku Hesti Puspitosari,
Ratminto dan Atik Septi Winarsih dalam bukunya Manajemen Pelayanan
Membangun Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan standar Pelayanan
Minimal merumuskan Ciri – ciri birokrasi di Indonesia:20
a. Lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan klien
atau pengguna jasa.
b. Lebih merasa sebagai Abdi Negara daripada Abdi Masyarakat.
c. Meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif.
d. Menghindari tanggungjawab.
e. Menolak tantangan.
f. Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugas –
tugasnya.
19
Hesti Puspitosari, Filosofi Pelayanan Publik, Malang: SETARA Press, 2011, hlm 131 20
Ibid, hlm 133
32
Dari ciri – ciri birokrasi tersebut dapat diketahui bahwa mayoritas
pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari apa yang diharapkan. Tetapi dalam
hal perhatian sesama pemilik kepentingan sangatlah tinggi. Ini dibuktikan dengan
loyalnya birokrat terhadap kepentingan pribadi atau perorangan tetapi kurang
tanggap terhadap kepentingan publik.
2.5 Perizinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perizinan merupakan pernyataan
mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya) atau persetujuan mengabulkan.21
Secara teknis dalam salinan peraturan Bupati Banyuwangi Nomer 29 tahun 2012
tentang standar pelayanan publik pelayanan perizinan pada Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi, perizinan dan izin merupakan dua
makna yang berbeda. Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang
memperbolehkan perbuatan hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam
ranah hukum administrasi Negara atas suatu perbuatan yang dilarang berdasarkan
peraturan perundang – undangan.22
Sedangkan izin adalah dokumen yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan
lainnya yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya
seseorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu.23
Menurut Utrecth dalam mendeskripsikan izin adalah Izin adalah bilamana
perbuatan tidak pada umumnya melarang suatu perbuatan tetapi masih juga
memperkenankan asal saja diadakan secara masing-masing hal secara kongkrit
21
http://kbbi.web.id/izin diakses pada tanggal 16 Februari 2016 22
Dokumen Salinan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomer 29 Tahun 2012 23
Ibid
33
maka perbuatan administrasi Negara yang memperkenankan perbuatan tersebut
bersifat suatu izin.24
Sedangkan M. Hadjon merumuskan izin ialah suatu
persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah
untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan
perundangan.25
Kedua pendapat tersebut mendeskripsikan bahwa izin hakikatnya
adalah persetujuan dari para penguasa dalam melegalkan suatu kepentingan
seseorang ataupun kelompok, dengan menimbang beberapa peraturan pemerintah
ataupun peraturan lain yang ada.
2.5.1 Tujuan dan Fungsi Perizinan
Perizinan memiliki tujuan dan fungsi tersendiri layaknya peraturan
pemerintah. Perizinan dapat dijadikan sebuah pengelendalian oleh pemerintah.
Segala sesuatunya diatur oleh peraturan, oleh karenanya perizinan menjadi satu -
satunya jalan dalam melegalkan peraturan tersebut. Pada dasarnya perizinan
merupakan bentuk konkret dari sebuah kepastian hukum yang jelas dari yang
mulanya dilarang menjadi di perbolehkan. Dalam kaitannya, perizinan memiliki
dasar tujuan sebagai pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah dalam
membatasi kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Adapun tujuan
perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Meskipun
demikian, secara umum dapatlah disebutkan sebagai berikut:26
24
E. Utrecht. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia. Cet VI, PT. Penerbit dan Balai
Buku Ichtiar, Jakarta, 1963, hlm. 152. 25
M. Hadjon Philipus, Pengantar Hukum Perizinan, Penerbit Yunidika, Surabaya, 1993, hlm. 2 26
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2003,
hlm. 161 - 162
34
Tujuan Perizinan Menurut Ridwan HR dibagi menjadi 5 variabel yaitu :
1. Keinginan mengarahkan (mengendalikan) aktivitas-aktivitas tertentu.
2. Mencegah bahaya bagi lingkungan.
3. Keinginan melindungi objek-objek tertentu.
4. Hendak membagi benda-benda yang sedikit.
5. Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas, dimana
pengurus harus memenuhi syarat tertentu.
Kelima variabel tersebut merupakan tolak ukur adanya perizinan. Perizinan
pada dasarnya digunakan untuk mengendalikan aktivitas tertentu demi mencegah
potensi bahaya yang atau hal yang tidak diinginkan. Perizinan juga digunakan
dalam menjaga obyek yang dilindungi, maupun sebagai alat legalitas dalam
menyeleksi atau pemberian kewenangan terhadap orang atau organisasi yang
berkepentingan dalam menjalankan aktivitas tertentu.
35
2.6 Alur Pikir Penelitian
Untuk mengetahui mekanisme implementasi kebijakan PTSP Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi
peneliti membuat alur pikir penelitian sebagai berikut :
Bagan 2.3
Alur Pikir Penelitian
Implementasi Kebijakan PTSP Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi
Menurut PERMENDAGRI Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Satu Pintu
Konteks Implementasi menurut Van
Meter dan Van Horn
HASIL PENELITIAN
1. Standar/ukuran dan tujuan kebijakan PTSP di Kabupaten Banyuwangi memiliki SOP
yang sudah jelas, tetapi dalam implementasinya, pelimpahan wewenang cenderung
paradoks, DPMPTSP masih tidak dapat mengurus sendiri dari mulai pengajuan izin
sampai diterbitkannya izin tanpa rekomendasi dari SKPD lain.
2. Dari aspek sumber kebijakan, DPMPTSP memiliki SDM yang kompetitif, Biaya
perizinan yang sudah ditetapkan dalam SOP, Ketepatan waktu pelayanan perizinan
cenderung lambat
3. Karakteristik BPPT Banyuwangi masih kaku, cenderung patuh terhadap peraturan yang
ada dan kurang inisiatif untuk berinovasi.
4. Rendahnya sosialisasi penyuluhan PTSP terhadap masyarakat.
Faktor Pendukung PTSP
1. Adanya dukungan dari Bupati Kabupaten
Banyuwangi
2. Adanya dasar hukum Perpres No 97 Tahun
2014, Perda Nomer 6 Tahun 2011, dan
Perbub Nomer 59 Tahun 2016,
3. Sarana dan Prasarana cukup memadai, sudah
tersedianya Sistem Informasi Online (SIPO)
4. Adanya System Reward and Punishment
Faktor Penghambat PTSP
1. Kurangnya jumlah SDM
yang dimiliki
2. Masih adanya budaya efek
bureaucratism
3. Masih adanya intervensi
politik
Sumber : Olahan Penulis Tahun 2017
36
BAB III
METODE PENELITIAN
1.1 Pemilihan Metode
Menurut Arikunto, metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh
peneliti dalam pengumpulan data penelitiannya.1 Berdasarkan teori tersebut dapat
dikatakan bahwa metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk
mengumpulkan data yang di perlukan dalam penelitian. Penelitian diperlukan
dalam mengkaji sebuah permasalahan dengan menggunakan beberapa variabel
pendukung untuk lebih memudahkan dalam fase pengumpulan data. Adapun
kegunaan penelitian dalam menganalisis masalah, dimaksutkan dapat memicu
munculnya ide – ide baru atau gagasan baru yang dapat digunakan untuk
memperbaiki serta memberikan solusi yang rasional.
Menurut Sugiyono, metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan, dibuktikan dan
dikembangkan suatu pengetahuan sehingga gilirannya dapat digunakan untuk
memahami, memecahkan dan mengantisifikasi masalah.2 Secara sederhana
penelitian merupakan sebuah prosedur penyelidikan yang sistematis dalam
mencari sebuah permasalahan tertentu sebagai upaya untuk mencari sebuah
jawaban. Mengacu pada kedua teori diatas, pada dasarnya penelitian merupakan
sebuah prosedur yang sistematis untuk mendapatakan dan mengumpulkan
sejumlah data serta informasi yang valid yang diolah kembali dan digunakan
1 Arikunto Suharsimi, 2006, Metodelogi penelitian, Yogyakarta, Bina Aksara, hal 136
2 Sugiyono, (2009), (Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D),
Bandung, Alfabeta, hal 2
37
untuk mengidentifikasi masalah. Pengolahan data dan informasi memunculkan
sebuah hipotesis untuk dikaji lebih lanjut dalam menemukan sebuah jawaban
permasalahan.
Fokus penelitian ini menjelasakan implementasi program Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi, serta mengidentifikasi permasalahan apa saja
yang menjadi faktor penunjang maupun penghambat dari program tersebut dalam
meningkatkan pelayanan publik terhadap para pengguna jasa perizinan. Untuk
melakukan penelitian tersebut maka peneliti menggunakan penelitian secara
kualitatif yang dipaparkan secara deskriptif.
Penelitian kualitatif, data kualitatif adalah data yang berbentuk kata,
skema, dan gambar.3 Penelitian diskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk
mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen)
tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan dengan variabel yang lain.4
Penelitian kualitatif deskriptif digunakan sebagai metode penelitian dalam
mengumpulkan data untuk mengkaji sebuah studi kasus mengenai Program
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten Banyuwangi melalui perspektif
informan dan variabel penunjang lainnya dalam mencari, mengolah, dan
mengidentifikasi sebuah masalah yang dapat mempengaruhi baik buruknya
program PTSP tersebut.
3 Ibid, hlm 14
4 Ibid, hlm 11
38
Setelah melakukan penelitian, peneliti menyudahi penelitian apabila
seluruh informasi fakta dan data yang ditemukan pada saat di lapangan sudah bisa
dideskripsikan secara jelas. Kesimpulan yang diambil peneliti merupakan proses
melakukan penarikan kesimpulan dan keseluruhan hasil penelitian, yang
kemudian akan diolah lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang valid.
1.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian
tersebut akan dilakukan. Lokasi penelitian sangat menentukan dimana peneliti
dapat mengumpulkan dan memperoleh data maupun informasi yang valid dan
akurat terkait dengan masalah penelitian yang telah disebutkan. Penentuan lokasi
penelitian ini bertempat di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Kabupaten Banyuwangi selaku penyelenggara dari program Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang nantinya menjadi fokus bahasan peneliti.
3.3 Sumber Data
Sumber data merupakan aspek penting dalam menentukan teknik
penelitian yang digunakan. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
data kualitatif deskriptif yaitu data yang disajikan berbentuk olahan kata, skema,
dan gambar. Data Primer Definisi data primer dan data sekunder menurut
Sugiyono sebagai berikut :5
1. Sumber primer merupakan sumber data yang langsung memberikan
data kepada pengumpul data. Data primer dalam penelitian ini yaitu
berupa kuesioner dan hasil wawancara.
5 Ibid, Hlm 137
39
2. Sumber sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dengan cara
membaca, mempelajari dan memahami melalui media lain yang
bersumber dari literatur, buku-buku, serta dokumen perusahaan.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan faktor yang paling menentukan
dalam sebuah penelitian. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan
dua metode teknik pengumpulan data studi kepustakaan (Library Research), dan
studi lapangan (Field Research). Berikut akan dijelaskan mengenai kedua teknik
pengumpulan data tersebut yaitu :
3.4.1 Studi Kepustakaan (Library Research)
Yaitu mengumpulkan data melalui mempelajari buku – buku, literatur,
ataupun dari website untuk mendapatkan data – data yang terkait. Teori yang
digunakan merupakan teori implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van
Horn yang dikutip dari buku Profesor Solichin Abdul Wahab yang berjudul
Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke Penyusunan Model – Model Implementasi
Kebijakan Publik), serta website resmi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi, dan jurnal umum terkait dengan
PTSP. Pada dasarnya data yang diperoleh merupakan data penunjang dalam
melakukan analisis dengan mempertimbangan teori – teori ataupun pendapat ahli
dalam mengkaji sebuah permasalahan secara teoritik.
40
3.4.2 Studi Lapangan (Field Research)
Ada tiga teknik dalam melakukan penelitian lapangan yaitu :
a. Observasi
Observasi bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.6 Dalam
kasus ini peneliti mengobservasi dan mengamati kegiatan, situasi, dan
kondisi di Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi dalam implementasi program PTSP.
b. Wawancara
Dalam teori komunikasi ada 5 tahapan dalam berkomunikasi. Satu
(dalam diri sendiri), Dua komunikasi interpersonal (orang per orang),
Tiga, komunikasi grup atau kelompok, Keempat, komunikasi
organisasi /birokrasi/institusi, Kelima, komunikasi massa. Wawancara
merupakan sebuah interaksi antara perorangan ataupun kelompok.
Untuk itu peneliti melakukan interview atau wawancara mengenai
mekanisme program Pelayanan Terpadu Satu Pintu di DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi. Lebih jelasnya dalam memperoleh fakta-fakta
tersebut, penulis melakukan proses wawancara terhadap pegawai
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dan segenap responden dari
masyarakat terkait perkembangan sektor perizinan Kabupaten
Banyuwangi.
6 H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 2005. hlm. 118.
41
Tabel 3.1
Daftar Narasumber
No Nama Jabatan
1 Dr. H. Abdul Kadir. M, S.i Kepala DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi
2 Fatah Hidayat, SP., S.sos Kepala Sub Penyusunan Program
3 Trisetia Supriyanto, S.STP, M.Si Kepala Bidang Perizinan
4 Ika Herdiana Frierista, S.STP,
M.Si
Kepala Sub Bidang Penetapan
Pelayanan
5 Meidi Sugiarto, S.Hut. Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan
6 Sofyan Yazied Anggota LSM KUPUNYA yang
menyoroti sistem pemerintahan
Kab. Banyuwangi
7 Totok Budiantoro Dekan Fakultas Fisip Untag
Banyuwangi
(Pemohon izin IMB)
8 Rendi Dwi A.S S.H Pemohon Izin Usaha Perdagangan
9 Alfyan Firdaus Jurnalis Radio Pemerintahan
Banyuwangi
10 Mia Octavia S.H Pemohon Jasa Izin Tempat Usaha
11 Anton Humaidi S.H, Kasi Pengawasan dan Penegakan
Hukum Lingkungan, Badan
Lingkungan Hidup Banyuwangi
Sumber : Olahan Penulis 2017
c. Dokumentasi
Peneliti mengumpulkan data – data dokumen ataupun arsip seperti
LAKIP Kabupaten Banyuwangi, Standar Operasional Prosedur
pelayanan perizinan DPMPTSP Banyuwangi, Peraturan Presiden
Nomor 97 Tahun 2014, Peraturan Bupati Nomor 59 Tahun 2016,
Berita KOMPAS Banyuwangi, serta publikasi foto atau gambar yang
berkaitan dengan implementasi PTSP yang diperoleh dari DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi sebagai informasi data sekunder.
42
3.5 Teknik Analisa Data
Analisis data digunakan dalam mengolah data secara sistematis sehingga
dapat lebih mudah untuk dipahami. Data – data yang dikumpulkan di olah dengan
klasifikasi dan urutan sesuai dengan uraian diatas secara sistematis, sehingga
memunculkan sebuah dugaan sementara atau hipotesis yang dihasilkan dari
olahan data. Tujuan analisis data yaitu untuk mendeskripsikan semua data yang
diperoleh untuk di olah lebih lanjut dan menentukan kesimpulan, dalam prosesnya
peneliti mengidentifikasi, untuk menjelaskan, ataupun untuk memprediksi dalam
pengambilan kesimpulan hasil.
Menurut Sugiyono, analisis telah mulai sejak merumuskan dan
menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai
penulisan hasil penelitian.7 Dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih
difokuskan selama proses di lapangan bersama dengan pengumpulan data.
Diungkapkan menurut Sugiyono, proses analisa data dalam metode kualitatif
dilakukan sejak awal dan sepanjang proses penelitian berlangsung, dengan
prosedur:8
1. Reduksi Data. Data di lapangan dituangkan dalam uraian atau
laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan akan
direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada
hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya dan
membuang yang tidak perlu.
2. Penyajian Data. Dimaksudkan untuk memudahkan bagi peneliti
guna melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian
tertentu dari penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
menyajikan data dalam bentuk uraian yang naratif.
3. Menarik Kesimpulan atau Verifikasi. Peneliti berusaha untuk
menggambarkan dari data yang dikumpulkan dan dituangkan
7 Opcit, Hlm 136
8 Opcit, Hlm 336-337
43
dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif. Akan tetapi dengan
bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus
akan ditarik kesimpulan. Dan dalam analisis data ini menggunakan
model Interactive Model.
44
BAB IV
DESKRIPSI DAN GAMBARAN UMUM PROGRAM PTSP KABUPATEN
BANYUWANGI
Pada laporan penelitian ini, bab IV akan dijelaskan tentang deskripsi
umum tentang program Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Kemudian akan
dijelaskan tentang proses lahirnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten
Banyuwangi dimana penelitian ini dilakukan. Gambaran umum meliputi sekilas
perkembangan sejarah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Kabupaten Banyuwangi yang juga memiliki pengaruh dalam jalannya
pemerintahan Kabupaten Banyuwangi, selain itu juga akan dijelaskan mengenai
faktor – faktor yang melatarbelakangi lahirnya program PTSP yang menjadi titik
fokus dalam penelitian ini.
4.1 Latar Belakang Program PTSP
Istilah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pertama kali muncul tahun
2006 dalam kebijakan/peraturan pemerintah melalui Peraturan Menteri Dalam
Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri itu sendiri merupakan tindak lanjut
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Kebijakan Percepatan Perbaikan
Iklim Usaha yang sekarang sudah direvisi kembali melalui PERPRES NOMOR
97 TAHUN 2014. Pada awalnya di Kabupaten Banyuwangi masih menggunakan
model kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Atap atau (PTSA). Model PTSA
merupakan model yang dijalankan pemerintah sebelum dikeluarkannya
Permendagri No. 24 tahun 2006. Masyarakat hanya perlu mendatangi satu tempat
untuk mengurus berbagai izin yang mereka perlukan. Hanya saja, dalam sistem
45
PTSA pemrosesan dokumen perizinan masih dilakukan di masing-masing instansi
teknis (sesuai dengan wewenangnya), sehingga dampaknya terhadap percepatan
proses pengurusan izin tidak terlalu besar.
Berbeda dengan PTSA, PTSP bersifat “paripurna.” Seluruh proses
pengurusan izin (pendaftaran, pemrosesan dan penerbitan) dilakukan di instansi
penyelenggara PTSP. Oleh karena itu, adanya pelimpahan wewenang pelayanan
perizinan dari instansi teknis kepada instansi penyelenggara PTSP merupakan
salah satu syarat pokok bagi efektivitas PTSP. Sebagai bagian dari proses
reformasi birokrasi, PTSP dikembangkan untuk memperbaiki birokrasi perizinan,
khususnya di daerah, agar menjadi lebih mudah, lebih murah, lebih cepat, lebih
transparan dan lebih akuntabel. Dalam PTSA pemprosesan izin dilakukan di
SKPD masing-masing sesuai kewenangan pengelolaan izin, sedangkan dalam
PTSP pemrosesan izin dilakukan di PTSP. Koordinasi dengan SKPD
Teknis(untuk izin-izin yang memerlukan rekomendasi teknis dilakukan melalui
Tim Teknis. Tim Teknis itu sendiri terdiri dari utusan dari SKPD yang relevan,
tetapi bekerja di bawah koordinasi Kepala PTSP. Oleh karena itu, PTSP yang
efektif memerlukan dua hal kunci, yaitu yang pertama pendelegasian kewenangan
pelayanan perizinan oleh kepala daerah kepada PTSP, dan yang kedua kinerja tim
teknis yang bekerja dan berfungsi sebagaimana mestinya. Berikut dijelaskan tabel
perbedaan antara PTSA dengan PTSP :
46
Tabel 4.1
Tabel Perbedaan Pelayanan Satu Pintu dengan Pelayanan Satu Atap
Aspek Pelayanan Terpadu Satu
Pintu
(PTSP)
Pelayanan Terpadu Satu
Atap
(PTSA)
Wewenang dan
Penandatanganan
Wewenang dan
penandatanganan berada di
satu pihak
Wewenang dan
penandatanganan di banyak
instansi
Koordinasi Koordinasi lebih mudah
dilakukan
Kepala penyelenggara
PTSP berperan sebagai
koordinator semua
instansi terkait
Koordinasi lebih sulit karena
kewenangan masih tersebar di
beberapa instansi
Prosedur Pelayanan Penyederhanaan prosedur
lebih mudah karena
dilimpahkan kepada kepala
PTSP
Prosedur sulit disederhanakan
karena ego sectoral di banyak
SKPD Teknis.
Pengawasan Pengawasan menjadi
tanggung jawab bersama
antara lembaga
penyelenggara PTSP dengan
instansi terkait
Pengawasan menjadi tanggung
jawab SKPD Teknis
Standar Pelayanan Kualitas pelayananan akan
terjaga sedikitnya pada
standar minimal
Kualitas layananan sulit
dipertahankan karena sangat
tergantung kebijakan SKPD
teknis
Kelembagaan Berbentuk Kantor atau
Badan
Biasanya hanya perperan
sebagai loket penerima, yang
berbentuk unit
Sumber : Olahan Penulis 2017
Tujuan reformasi birokrasi perizinan itu sendiri adalah adalah
mewujudkan pengurusan izin yang murah, mudah, cepat dan transparan tanpa
kehilangan fungsi izin sebagai instrumen pengendalian. Oleh karena itu,
keberhasilan PTSP harus dilihat dan diukur dari kemampuannya mewujudkan
tujuan reformasi birokrasi perizinan tersebut.
47
Adanya perbedaan perkembangan antara satu daerah dengan daerah lain
ini menyebabkan manfaat PTSP yang dirasakan masyarakat juga berbeda-beda.
Secara hipotetis, masyarakat di daerah yang PTSP-nya sudah berjalan efektif akan
merasakan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berada di
daerah yang PTSP-nya belum sampai ke tahap itu. Indikasi di lapangan
menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang salah satu aspek paling krusial dalam
pembentukan PTSP dari instansi teknis kepada PTSP merupakan tantangan
terberat yang dihadapi daerah. Di atas kertas, hal itu tidak sulit dilakukan, karena
sesungguhnya yang memiliki wewenang adalah kepala daerah, instansi teknis
sekadar membantu atau bekerja atas nama kepala daerah. Akan tetapi, dalam
praktek, proses itu tidak selalu mudah.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, khususnya hubungan antara
kepala daerah dengan instansi teknis yang merupakan bawahannya. Akibatnya, di
beberapa daerah terjadi dualisme. Masyarakat bisa datang ke PTSP untuk
mengurus izin, tetapi instansi teknis juga masih dapat melayani jika ada
permohonan dari masyarakat. Banyak yang menyebut, situasi itu seperti “satu
pintu, banyak jendela”. Dengan latar belakang situasi mempengaruhi manfaat
keberadaan PTSP pada aspek yang lebih luas, yaitu manfaat pengurusan izin bagi
perkembangan usaha maupun investasi daerah guna mensejahterakan masyarakat.
Manfaat dari pengurusan izin usaha sendiri sampai pada terbukanya
kesempatan yang lebih luas bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya.
Tentunya dalam implementasi kebijakan PTSP, Badan Pelayanan Terpadu
Kabupaten Banyuwangi selaku pelaku kebijakan harus memaksimalkan segala
48
aspek yang mendukung seperti dari aspek strategis dan aspek teknis sebagai usaha
dalam menyederhanakan dan memudahkan pengurusan izin.
4.2 Perkembangan PTSP di Kabupaten Banyuwangi
Salah satu fungsi (birokrasi) perizinan sebenarnya adalah sebagai
instrumen pengendalian. Sayangnya, semangat yang berlebihan untuk melakukan
pengendalian seringkali berujung pada proses pengurusan izin yang menyulitkan
dan memberatkan pengusaha. Sebaliknya, jika terlalu ‘bersemangat’ dalam
mempermudah –antara lain didorong oleh motivasi ekonomi, yaitu memperoleh
pendapatan-- fungsi izin sebagai instrumen pengendalian dapat hilang. Izin
Reklame dapat menjadi ilustrasi menarik bagi kasus tersebut. Semua orang
sepakat, bahwa kegiatan usaha membutuhkan promosi, di antaranya melalui
pemasangan papan reklame. Akan tetapi papan reklame yang berlebihan akan
merusak keindahan kota. Salah satu yang dianggap sebagai berlebihan atau paling
mengganggu keindahan adalah papan reklame berukuran besar atau yang dipasang
melintang di atas jalan atau biasa disebut bando jalan. Trisetia Supriyanto, S.STP,
M.Si selaku Kepala Bidang Perizinan menjelaskan bahwa:
Melalui ketentuan tentang Izin Reklame, pemerintah daerah sebenarnya
mempunyai alat dan kesempatan untuk mengatur itu semua. Di satu sisi
pengusaha tetap dapat mempromosikan produknya melalui papan reklame,
tetapi di sisi lain keindahan dan kerapihan kota tidak terabaikan. 1
Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu contoh bagaimana
instrumen tersebut digunakan dengan baik dan efektif. Untuk itu disusun
Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 6 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan
1 Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Perizinan BPPT Kabupaten Banyuwangi pada tanggal
27 oktober 2016 pukul 10.11 di Kantor BPPT
49
Penyelenggaraan Reklame. Keberadaan Perbup seperti itu sebenarnya tidak
istimewa, karena banyak daerah lain yang juga memilikinya. Yang membuat
Banyuwangi berbeda adalah karena pemerintah daerah setempat melaksanakannya
secara konsisten (sejauh ini). Dalam Perbup tersebut secara eksplisit disebutkan
apa saja yang tidak diperbolehkan dalam pemasangan reklame, yaitu:2
1. Reklame yang menyatu dengan papan nama instansi pemerintah,
sekolah dan tempat ibadah,
2. Penempatan reklame di jarak kurang dari 25 meter dari tempat
pendidikan atau tempat ibadah,
3. Reklame permanen di berbagai fasilitas umum seperti trotoar jalan,
tiang penerangan, tiang telepon, pagar pembatas jalan dan sebagainya,
4. Reklame di Ruang Terbuka Hijau (RTH), kecuali media informasi
milik Pemda,
5. Penempatan penyangga reklame di dua sisi pembatas jembatan,
6. Reklame yang melintang di atas jalan arteri atau kolektor, serta
7. Reklame di beberapa jalan protokol.
Berbagai larangan tersebut ditegakkan secara konsisten. Reklame yang
sebenarnya tidak sejalan dengan Perbup tetapi sudah telanjur diizinkan, sebelum
adanya Perbup tidak diberi izin perpanjangan. Dengan demikian, setelah masa
berlaku reklame tersebut berakhir, Pemda dapat mengambil tindakan tegas dengan
membongkarnya. Selain berbagai larangan tersebut, Pemda Kabupaten
Banyuwangi juga mempunyai kebijakan khusus terkait izin dan pajak reklame.
Pajak reklame berlaku untuk 12 bulan, tetapi izin reklame hanya berlaku untuk 10
bulan. Dengan kata lain, Pemda menerapkan tarif pajak reklame yang secara
efektif lebih mahal dibandingkan daerah lain. Pada masa awal penerapan
kebijakan tersebut ada keberatan dari kalangan pengusaha, tetapi Pemda tetap
memberlakukan peraturan tersebut sambil terus mencoba menjelaskan latar
2 Perubahan Atas Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 10 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Reklame
50
belakang dan tujuan peraturan. Dengan konsistensi pemerintah daerah, mau tidak
mau kalangan pengusaha mengikuti ketentuan tersebut. Hasilnya, tidak ada lagi
bando jalan di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Papan reklame tetap ada, tetapi
tidak ada yang berukuran sangat besar. Kalau pun ada, reklame dalam ukuran
besar tersebut adalah milik Pemda yang sedang mempromosikan berbagai
kegiatan untuk menarik investor atau reklame Pemda yang berisi seruan atau
ajakan tertentu. Suasana kota menjadi lebih tertata dan tidak terlalu ramai oleh
kehadiran papan reklame.
Terkait dengan tingginya tarif pajak reklame, ternyata pendapatan Pemda
dari pajak tersebut tidak berkurang. Apa yang dipaparkan tersebut merupakan
sebuah contoh bagaimana izin dapat secara efektif digunakan sebagai instrumen
pengendalian. Hal seperti itu tidak hanya dapat diterapkan dalam reklame, tetapi
juga untuk bidang-bidang lain seperti pertambangan, perdagangan, tempat wisata
dan sebagainya. Kemudahan izin memang diperlukan, karena dengan cara itu
diharapkan tidak banyak hambatan yang dihadapi oleh para pengusaha, tetapi di
sisi lain pengendalian kegiatan usaha tetap perlu dilakukan untuk tujuan lain yang
tidak kalah pentingnya.
Selain dari terpenuhinya syarat usaha, izin yang mereka punyai, dirasakan
sebagai pemberi kemudahan seandainya mereka memerlukan tambahan modal
berupa pinjaman dari bank. Izin juga bermanfaat bagi pengembangan pasar, baik
untuk jasa maupun barang produksi yang dihasilkan. Selain itu, izin juga
bermanfaat buat menghilangkan rintangan usaha. Keamanan berusaha pun
dirasakan kalau izin dimiliki.
51
4.3 Peluang Investasi Kabupaten Banyuwangi
Di era persaingan global saat ini menjaga dan meningkatkan image
positif dimata calon investor sangat penting. Image yang positif akan
mempengaruhi investor untuk datang dan melakukan investasi. Terjadinya
perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan penanaman modal melalui
kebijakan PTSP bidang penanaman modal akan mampu memberikan image yang
positif dan menghapus imige negatif tentang buruknya pelayanan perizinan daerah
dimata investor. Terbentuknya image positif memberikan nilai (value) bagi daerah
karena kemampuannya memproses izin dengan cepat membuka kesempatan yang
lebih luas bagi daerah menjual peluang investasinya. Nilai investasi di Kabupaten
Banyuwangi terus meningkat, pada tahun 2012 nilai investasi sebesar Rp. 1,19
triliun, meningkat 280 % pada tahun 2013 menjadi sebesar Rp. 3,38 triliun. Di
Tahun 2014 hanya naik sebesar 1,7 % senilai Rp. 3,44 triliun. Dan hingga bulan
Maret Tahun 2015 investasi yang sudah masuk di Kabupaten Banyuwangi baru
sebesar Rp. 586,57 miliar.3
Langkah pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyiapkan regulasi
lewat Perda tentang Pemberian Insentif Penanaman Modal di Banyuwangi mampu
mendongkrak nilai investasi. Peningkatan nilai investasi, mampu mendorong
kesejahteraan masyarakat. Terbukti pendapatan per kapita masyarakat
Banyuwangi naik tajam sebesar 70 %, dari Rp. 14,97 juta pada Tahun 2010
menjadi Rp. 25,5 Juta tahun 2014, sedangkan untuk Pendapatan Domestik
Regional Bruto (PDRB) naik sebesar 71 %, dari Rp. 23,56 pada tahun 2010
3 http://infobanyuwangi.com/kepercayaan-investasi-tinggi-banyuwangi-makin-dihati.html diakses
pada tanggal 21 Oktober 2015
52
menjadi Rp. 40,48 di tahun 2014.4 Hampir sebagian besar potensi asset Kabupaten
Banyuwangi didominasi dari segi potensi bisnis dan pariwisata.
Untuk membentuk image positif penting bagi pemerintah daerah
menerapkan sistem pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) penanaman modal
didaerahnya. Fungsi PTSP bukan hanya menyelenggarakan pelayanan perizinan
dan non perizinan tetapi juga berfungsi menyusun peta investasi. Peta investasi
merupakan sumber informasi untuk untuk mengetahui potensi dan peluang
investasi pada suatu daerah. Data yang dihimpun dalam peta investasi harus
akurat dan benar. Karena akurasi data dalam data base peluang investasi selama
ini memang masih lemah, sehingga para investor yang awalnya merespon data
investasi dengan antusias pada akhirnya dihadapkan kenyataan dilapangan jauh
berbeda. Dalam teori disebutkan bahwa informasi yang disampaikan melalui
kegiatan promosi dan publikasi pada akhirnya akan sampai pada moment of truth
yaitu apakah informasi yang disebarkan sesuai dengan kenyataan, semakin lebar
perbedaaan atau deviasi dilapangan maka semakin menurun kredibilitas suatu
daerah dimata calon investor.
Pada akhirnya kemampuan daerah mengimplemetasikan kebijakan
pelayanan terpadu satu pintu dibidang penanaman modal secara konsisten benar-
benar akan menjawab permasalahan pelayanan perizinan disuatu daerah sehingga
menimbulkan image positif yang mampu membuka lebar pintu peluang investasi
bagi investor yang potensial.
4 Ibid
53
4.4 Aspek Penunjang Implementasi Kebijakan PTSP
Pada dasarnya aspek penunjang implementasi Pelayanan Terpadu Satu
Pintu di Kabupaten Banyuwangi di bagi menjadi dua aspek yaitu dari segi aspek
strategis dan aspek teknis. Kedua aspek tersebut diklasifikasikan praktik
implementasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Berikut klasifikasi aspek strategis dan aspek teknis dalam praktik
kebijakan pelayanan perizinan yang baik:5
4.4.1 Aspek Strategis
1. Pemilihan sosok pemimpin yang ideal
2. Pelimpahan kewenangan pelayanan perizinan
3. Penyederhanaan jenis izin
4. Izin sebagai instrumen pengendalian
5. Menarik investor dari luar daerah
6. Forum seminar PTSP dengan Kabupaten lain sebagai evaluasi berkala
4.1.2 Aspek Teknis
1. Membentuk tim teknis yang efektif
2. Membuat SOP dan standar pelayanan yang baik
3. Pengembangan Sumber Daya Manusia terkait PTSP
4. Menjalin relasi dan membangun dukungan dari luar (stakeholder)
5. Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat dalam memahami PTSP
6. Mencari feedback dari masyarakat
7. Mengoptimalkan sarana dan prasarana yang ada
Kedua aspek tersebut menjadi acuan dalam menyelenggarakan PTSP di
Kabupaten Banyuwangi. Aspek strategis dan teknis dinilai sangat mempengaruhi
setiap lingkup bidang perizinan. Sub – sub aspek tersebut memberikan tolak ukur
5 KINERJA – USAID, 2015, KUMPULAN PRAKTIK YANG BAIK DALAM
PENYELENGGARAAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU (PTSP)
54
keberhasilan kebijakan dalam penerapannya yang tentunya juga di landasi oleh
dasar hukum yang sudah ditetapkan.
4.5 Profil Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu mempunyai
tugas menyusun, melaksanakan dan menetapkan kebijakan daerah di bidang
pelayanan perizinan dan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah
dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis
daerah, sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten dan berkoordinasi
dengan pemerintah provinsi. Adapun Visi dan Misi Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi yaitu :
Visi DPMPT Kabupaten Banyuwangi :
Profesionalisme dan Kualitas Dalam Pelayanan Publik
Profesionalisme dalam hal ini mengandung maksud meningkatkan Sumber
Daya Manusia (SDM) dibidang pelayanan Perizinan dengan berbasis teknologi
informasi yang handal, transparasi, cepat, tepat waktu (punctuality), ramah dan
pasti dalam biaya. Kualitas terselenggaranya pelayanan yang baik dengan
Pembakuan system manajemen mutu untuk mendapatkan system administrasi
yang akurat, akuntable, transparan dan standart, Komputerisasi Perizinan yang
berbasis web, sehingga mudah untuk diakses, Percepatan waktu penyelesaian
Perizinan sesuai standart yang telah ditetapkan.
55
Misi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi :
Meningkatkan Kompentensi dan profesionalisme Sumber Daya Manusia
(SDM) yang berkualitas dibidang pelayanan Perizinan;
Meningkatakan Kwalitas Pelayanan Perizinan Kepada Masyarakat;
Melaksanakan Pengembangan dan Penerapan Teknologi Informasi;
Melaksanakan Penyelesaian Perizinan dengan mudah, cepat, aman,
transparan, nyaman dan ramah.
4.5.1 Struktur Organisasi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
Bagan 4.1
Struktur Organisasi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
Sumber : Website resmi dpmptspbwi.banyuwangikab.go.id
58
BAB V
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
OLEH DINAS PENANAMAN MODAL DAN PELAYANAN TERPADU
SATU PINTU KABUPATEN BANYUWANGI
5.1 Standar/Ukuran dan Tujuan Kebijakan
PTSP merupakan kebijakan yang di implementasikan oleh pemerintah
dengan maksud memberikan pelayanan perizinan yang lebih mudah, cepat,
murah, transparan dan akuntabel bagi masyarakat, khususnya untuk para pelaku
usaha. Bila sebelumnya pemohon cenderung berurusan dengan banyak instansi
sebelum bisa memperoleh izin yang diperlukan, dalam PTSP pemohon cukup
mengurus permohonan kepada satu instansi. Melalui PTSP semuanya akan diurus
sekaligus memberikan persetujuan oleh satu instansi. Adapun instansi teknis
hanya berfungsi memberikan rekomendasi. Persetujuan dari instansi teknis
dipersyaratkan sejauh diperlukan, tetapi itu pun PTSP yang akan menguruskannya
bagi pemohon. Dengan kata lain, PTSP sejak awal didesain untuk menjalankan
kewenangan pemberian izin yang dahulu berada di instansi teknis. PTSP yang
berfungsi baik mensyaratkan adanya pelimpahan kewenangan dari instansi teknis.
Ketika kewenangan ini terbatas, bahkan lemah, maka keberadaan PTSP relatif
tidak akan berdampak terhadap pelayanan perizinan.
Dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan memangkas birokrasi
pelayanan perizinan dan non perizinan dan sebagai upaya mencapai good
governance/kepemerintahan yang baik, PTSP dicanangkan sejak Tahun 2006
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun
59
2006 dan telah direvisi dengan PERPRES NOMOR 97 TAHUN 2014 tentang
pedoman penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun
2011 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi dan Peraturan
Bupati Banyuwangi Nomor 59 Tahun 2016 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan
Tata Kerja Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi, maka tugas dan fungsi Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi adalah sebagai berikut :
a. Perumusan dan penetapan, pembinaan dan pengawasan terhadap
kebijakan teknis bidang perizinan dan perencanaan pengembangan
penanaman modal
b. Pengkoordinasian, perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan
di bidang penanaman modal dan perizinan
c. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya
Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono, standar dan sasaran
kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan
sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah
menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.1 Pemahaman tentang
maksud umum dari suatu standar dan tujuan kebijakan sangat penting.
Implementasi kebijakan yang berhasil, bisa jadi gagal ketika para pelaksana tidak
1 Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm 99
60
sepenuhnya menyadari terhadap standar dan tujuan kebijakan. Standar dan tujuan
kebijakan memiliki hubungan erat dengan disposisi para pelaksana.
Edwards III menyatakan bahwa dua sub variabel yang memberikan
pengaruh besar pada birokrasi adalah Standard Operating Procedures (SOP) dan
fragmentasi.2 menjelaskannya sebagai “The former develop as internal responses
to the limited time and resources of implementors and the desire for uniformity in
the operation of complex and widely dispersed organizations; they often remain in
force due to bureaucratic inertia”.3 SOP atau yang biasa disebut Standart
Operating Procedures yang dibuat oleh pemerintah ataupun birokrasi merupakan
sebuah pedoman bagi intansti terkait dalam mengimplementasikan program
kebijakan dalam mengatasi permasalahan operasi yang kompleks.
Dengan adanya SOP sistem dan mekanisme penyelenggaraan
pemerintahan dapat tercipta untuk lebih terukur dan akuntabel sesuai asas-asas
umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan agar terpenuhi hak-hak
masyarakat dalam memperoleh pelayanan secara maksimal serta mewujudkan
partisipasi dan ketaatan masyarakat.
Dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian penyelenggaraan
program PTSP sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, maka perlu
adanya standar operasional pelayanan publik ( SOP ) yang jelas. Dengan melalui
PERDA Kabupaten Banyuwangi Nomor Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011
2 George C Edward III, 1980, Implementing Public Policy. Washington DC : Congressional
Quarterly Press. Hlm 125 3 Ibid, hlm 225
61
tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Banyuwangi, dan Peraturan
Bupati Banyuwangi Nomor : 59 Tahun 2016 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan
Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi tugas dan
fungsi Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi.
Guna melaksanakan tugas pokok dan fungsi tersebut, perlu diciptakan
sebuah sistem yang memungkinkan dan dapat menjadi jembatan dalam
mensinergikan tugas dan fungsi pokok serta kewenangan yang dijalankan di
lingkungan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi. Selanjutnya untuk menciptakan tertib administrasi dan
meningkatkan kinerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sebagaimana keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:
PER/21/M.PAN/11/2008 tentang pedoman Penyusunan Standar Operasional
Prosedur (SOP), secara eksplisit dinyatakan bahwa SOP adalah pedoman yang
menunjukkan apa yang harus dilakukan, kapan hal tersebut harus dilakukan, dan
siapa yang melakukan, sehingga dalam pelaksanaan tugas tidak ada
keterlambatan, tidak ada saling menunggu, tidak ada tumpang tindih, tidak ada
saling serobot, dan sebagainya.4
Diharapkan dengan adanya SOP ini akan tercipta standarisasi dan
singkronisasi dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari segenap jajaran staf
dan pejabat di lingkungan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Kabupaten Banyuwangi di dalam memberikan pelayanan kepada
4 Dokumen SOP AP BPPT Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012
62
masyarakat. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
terealisasi dengan baik. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan
terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen
implementasi.5
Sedangkan dari segi fragmentasi menurut Edward III dengan bahasa yang
lebih singkat, mendefinisikan fragmentasi sebagai “the dispersion of
responsibility for a policy area among several organizational units”.6 Dengan
kata lain, fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu
kebijakan pada beberapa unit organisasi. Fragmentasi birokrasi merupakan
sebuah fenomena yang terjadi di ranah pemerintahan. Dalam kasus ini
fragmentasi di fokuskan pada bagaimana tanggung jawab Dinas Penanaman
Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi dalam
mengimplementasikan program Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
Fragmentasi menjadi sangat penting karena akses perizinan merupakan
sebuah bidang yang sangat rentan terhadap kasus korupsi terkait dengan
penyelewengan kewenangan. Implikasi dari fragmentasi birokrasi tersebut
mencakup koordinasi, kebijakan, kewenangan, dan implementasi kebijakan. Dr.
H. Abdul Kadir, M,Si selaku Kepala DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
menjelaskan bahwa DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi telah memiliki standard
dan prosedur tersendiri dengan stakeholder yang lain yang bersifat koordinatif dan
5 Goerge. C, Op.Cit. hlm 134
6 Dokumen SOP AP DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012, Loc. Cit
63
rekomendatif.7 Penjelasan tersebut berkaitan dengan peraturan Bupati
Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2006 tentang standar pelayanan perizinan pada
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi (Rekomendatif), dan
Surat Keputusan Bupati Banyuwangi Nomor : 188/609/429.011/2014 tentang tim
pertimbangan teknis perizinan di Kabupaten Banyuwangi (Koordinatif). Tetapi
pendapat lain diungkapkan oleh Meidi Sugiarto bahwa:
Dalam konteks aturan penyelenggaraan program PTSP memang sudah ada
peraturan yang sudah jelas. Tetapi, dalam kenyataan dilapangan
sebenarnya BPPT Banyuwangi belum memiliki kewenangan yang jelas
sebagai implementor PTSP. Ini dibuktikan dengan masih perlunya
rekomendasi – rekomendasi dari SKPD terkait lain dalam pengurusan izin
di BPPT Kabupaten Banyuwangi. Jadi belum punya kewenangan yang
jelas untuk bisa dikatakan pelayanan satu pintu.8
Dengan kata lain, fragmentasi birokrasi di DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi belum bisa dikatakan terstruktur dan terorganisir dengan baik.
Intisari daripada program PTSP merupakan semua atau seluruh pengurusan izin
dapat dilakukan secara satu pintu atau hanya di satu tempat yaitu di DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi. Standar dan ukuran kebijakan diperlukan untuk menjadi
pedoman dalam menjalankan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan
program yang sudah direncanakan.
Ukuran kebijakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah sebagai jawaban
dari tuntutan masyarakat akan rumitnya proses perizinan di Banyuwangi. Oleh
7 Hasil wawancara dengan Kepala DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 23 Oktober
2016 pukul 09.00 di Ruang Kepala DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi 8 Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bidang Evaluasi dan Penyuluhan DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi pada tanggal 28 oktober 2016 pukul 21.16 di rumah narasumber
64
sebab tersebut, kepuasan masyarakat menjadi patokan untuk ukuran kebijakan
PTSP. Berikut dijelaskan tabel analisis survey tingkat kepuasan masyarakat yaitu :
Tabel 5.1
Tabel Indeks Kepuasan Masyarakat Terhadap Pelayanan Perizinan
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
NO ASPEK 2011 2012 2013 2014 2015 2016
1 Prosedur pelayanan 5,63 5,76 5,78 5,82 5,82 6,02
2 Persyaratan Pelayanan 5,60 5,66 5,64 5,80 5,80 5,95
3 Kejelasan Petugas Pelayanan 5,77 5,79 5,83 5,83 5,83 6,03
4 Kedisiplinan Petugas
Pelayanan
4,73 4,75 4,75 4,84 4,84 5,98
5 Tanggung Jawab Petugas
Pelayanan
5,76 5,82 5,83 5,72 5,72 5,93
6 Kemampuan Petugas
Pelayanan
6,91 6,93 6,95 7,18 7,18 6,16
7 Kecepatan Pelayanan 5,80 5,82 5,85 5,92 5,92 6,10
8 Keadilan Mendapat Pelayanan 5,86 5,88 5,96 5,97 5,97 6,19
9 Kesopanan dan Keramahan
Petugas
6,74 6,80 6,82 6,64 6,64 6,41
10 Kewajaran Biaya 6,34 6,34 6,46 6,46 6,46 6,42
11 Kepastian Biaya 5,62 5,62 5,75 5,97 6,30 6,31
12 Kepastian Jadwal 5,78 5,78 5,89 5,89 6,43 6,30
13 Kenyamanan Lingkungan 5,83 5,88 6,01 6,09 6,09 6,23
14 Keamanan Pelayanan 5.89 5.89 5,97 6,04 6,04 6,31
Jumlah 80,28 82,72 83,49 84,17 85, 04 86,36
Sumber : Olahan Penulis Tahun 2017 Berdasarkan LAKIP DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi Tahun 2011, 2012, 2013, 2014, 2015, 2016
Dari tabel tersebut dijelaskan bahwa tingkat kepuasan masyarakat
Banyuwangi dari tahun 2011 sampai 2016 terus meningkat setiap tahunnya. Tabel
tersebut secara tidak langsung juga menjelaskan bahwa DPMPTSP terus berbenah
setiap tahunnya dalam meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan
perizinan terpadu satu pintu yang diselenggarakan oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi.
65
Kepuasan masyarakat muncul ketika adanya proses kemudahan dalam
mengurus perizinan. Alfyan Firdaus selaku jurnalis radio pemerintahan
Kabupaten Banyuwangi berpendapat bahwa:
SOP yang dimiliki DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sudah sangat jelas,
dari prosedur pelayanan, waktu permohonan izin sampai diterbitkannya
izin sudah ditetapkan, dan biaya yang sudah jelas dicantumkan didalam
SOP. Ini merupakan upaya transparansi kepada masyarakat. Kalaupun
seringkali waktu penyelesaiannya melebihi batas, setidaknya SOP-nya
sudah sangat jelas.9
PTSP bersifat mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan perizinan
terhadap masyarakat dengan waktu, biaya, dan proses yang sudah ditetapkan yang
dilaksanakan satu atap atau hanya di kantor Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu saja. Terkait dengan kepuasan masyarakat, Medi
Sugiarto, S.hut selaku kepala sub bidang evaluasi dan penyuluhan menerangkan
bahwa Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten
Banyuwangi selalu melakukan survey kepuasan masyarakat terhadap program
PTSP setiap jangka waktu 6 bulan sekali, angka kepuasan masyarakat selalu naik
setiap tahunnya.10
SOP merupakan sebuah paradigma bagi penyelenggara PTSP. Segala
macam bentuk prosedur pelayanan, waktu yang dibutuhkan dalam menerbitkan
izin, serta biaya yang di tetapkan sudah diatur di dalam SOP. SOP sendiri
merupakan bentuk kewenangan yang diberikan kepada DPMPTSP dalam
menyelenggarakan PTSP. Masyarakat dapat mengakses melaui website ataupun
9 Hasil wawancara dengan jurnalis Radio Pemerintahan Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 04
November 2016 pukul 15.25 di Kantor Radio Blambangan Banyuwangi 10
Hasil wawancara dengan Kepala Sub Bidang Evaluasi dan Penyuluhan BPPT Kabupaten
Banyuwangi pada tanggal 28 oktober 2016 pukul 21.16 di rumah narasumber
66
dating langsung ke kantor DPMPTSP untuk mengetahui bagaimana prosedur
pengurusan izin, berapa lama waktunya dan biaya yang harus dibayarkan. Berikut
mekanisme pelayanan perizinan yang dibedakan menjadi dua yaitu dengan cara
tinjau lokasi dan tanpa tinjau lokasi:11
Bagan 5.1
Mekanisme dan Prosedur Pelayanan Perizinan
Sumber : dpmptspbwi.banyuwangikab.go.id, diakses pada tanggal 18 november
2016
Mekanisme pelayanan perizinan tanpa tinjau lokasi dimaksutkan seluruh
proses pengarsipan dilakukan di kantor DPMPTSP kabupaten Banyuwangi.
Pertama pemohon izin menyerahkan arsip dan persyaratan perizinan kepada
11
http://dpmptspbwi.banyuwangikab.go.id
67
petugas front office untuk di tinjau kelengkapan persyaratannya. Selanjutnya jika
sudah diterima dan diagendakan, berkas perizinan diolah lebih lanjut oleh petugas
back office dalam waktu paling lama 7 hari dimulai dari hari penerimaan berkas
pengajuan izin. Jika berkas pengajuan izin sudah selesai, maka dilanjutkan dengan
pengarsipan atau penerbitan surat keterangan izin oleh petugas back office, dan
pemohon sudah dapat mengambil surat keterangan izin yang sudah diajukan.
Bagan 5.2
Mekanisme dan Prosedur Pelayanan Perizinan
Sumber : dpmptspbwi.banyuwangikab.go.id, diakses pada tanggal 18 november
2016
68
Pada dasarnya mekanisme pelayanan perizinan dengan tinjau lokasi
hampir sama dengan pelayanan perizinan tanpa tinjau lokasi. Seluruh proses
pengarsipan dilakukan di kantor DPMPTSP kabupaten Banyuwangi, langkah
pertama pemohon izin menyerahkan arsip dan persyaratan perizinan kepada
petugas front office untuk di tinjau kelengkapan persyaratannya. Dalam tahap ini,
petugas pejabat fungsional melakukan survey lebih lanjut pada lokasi yang akan
diterbitkan izinnya sebelum berkas pengajuan izin diagendakan lebih lanjut oleh
petugas back office. Selanjutnya jika sudah diterima dan diagendakan, pemohon
izin diharuskan membayar tarif retribusi yang sudah ditetapkan sesuai dengan
SOP dengan cara langsung datang ke kantor DPMPTSP, atau dapat juga
dilakukan dengan cara membayar melalui Bank Jatim. Tahap berikutnya berkas
perizinan diolah lebih lanjut oleh petugas back office dalam waktu paling lama 7
hari dimulai dari hari penerimaan berkas pengajuan izin. Jika berkas pengajuan
izin sudah selesai, maka dilanjutkan dengan pengarsipan atau penerbitan surat
keterangan izin oleh petugas back office, dan pemohon sudah dapat mengambil
surat keterangan izin yang sudah diajukan.
Dengan mengetahui alur prosedur pelayanan yang diberikan oleh
DPMPTSP, masyarakat lebih dimudahkan dalam mengurus permohonan izin.
Pemohon izin tidak perlu bingung harus bagaimana apabila berkas di tolak dan
selain itu pemohon izin juga dapat memantau secara langsung proses pengurusan
izin yang mereka ajukan. Dalam proses mekanisme pelayanan perizinan tersebut
dibagi menjadi 2 yaitu jenis izin yang membutuhkan tinjau lokasi dan tan perlu
69
tinjau lokasi. Berikut akan dilampirkan klasifikasi pembagian jenis – jenis izin
yang menjadi wewenang DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi yaitu :
Tabel 5.2
Indentifikasi Jenis Izin Berdasarkan Tinjau Lokasi dan Tanpa Tinjau Lokasi
Sumber : dpmptspbwi.banyuwangikab.go.id, diakses pada tanggal 18 november
2017
70
Secara konkrit, adanya SOP dan standar pelayanan juga membantu
kelancaran pelaksanaan tupoksi PTSP maupun instansi teknis. Bagi PTSP, SOP
membuat sistem dapat berjalan, pun ketika terjadi pergeseran staf atau pejabat.
Secara umum pergantian staf tidak menjadi masalah karena SOP sudah
memberikan kepastian dan kejelasan prosedur dan mekanisme. Sudah diatur
peraturan yang jelas dan tupoksi badan atau instansi perizinan. Dengan SOP dan
standar pelayanan, siapapun yang melayani atau mengerjakan tugas hasilnya
diharapkan sama.
5.2 Sumber – Sumber Kebijakan
Sejatinya pelaksanaan implementasi kebijakan sangat bergantung oleh
sumber daya kebijakan itu sendiri. Sumber daya kebijakan mempengaruhi proses
keberhasilan dari implementasi kebijakan, dengan kata lain adanya beberapa
faktor dalam sumber kebijakan yang sangat mempengaruhi keberhasilan
kebijakan yang akan diimplementasikan yaitu, pemanfaatan sumber daya
manusia, waktu dan biaya.
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting mengingat
manusia ataupun birokrat berperan sebagai implementor penggerak dan pelaksana
kebijakan. biaya atau modal menjadi faktor pendukung dalam pembiayaan proses
kebijakan, sedangkan waktu merupakan faktor penentu pemerintah dalam
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan.
71
5.2.1 Sumber Daya Manusia
Dalam mengimplementasikan kebijakan, sebenarnya terdapat cukup ruang
yang luas bagi mereka para implementor kebijakan untuk menggunakan beberapa
instrument dalam merumuskan suatu standar hukum dengan baik sesuai dengan
keinginan pemerintah dan mencakup sebagai jawaban atas tuntutan yang muncul
dari masyarakat. Kemampuan dan keahlian sumber daya manusia para pegawai
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sangat diperlukan mengingat jika
implementor dari kebijakan tersebut kekurangan sumber daya maka implementasi
tidak akan berjalan dengan efektif. Menurut Solichin Abdul Wahab, dalam teknik
– teknik implementasi kebijakan terdapat suatu pendekatan tertentu yaitu dengan
cara pendekatan perintah kendali (Command and Control). Pendekatan perintah
kendali dapat disebut sebagai bureaucratic approach lantaran secara kental
bertumpu pada mekanisme birokrasi, melibatkan penerapan yang agak memaksa
misalnya dengan penerapan standar tertentu, inspeksi ketat dan pemberian reward
and punishment.12
Terkait dengan peningkatan SDM untuk memaksimalkan
kinerja staff, Dr. H. Abdul Kadir, M,Si selaku Kepala DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi menjelaskan bahwa :
Dalam meningkatkan kualitas kinerja staff, DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi mengadakan diklat atau pelatihan khusus selama satu minggu
dengan mengundang ahli – ahli kebijakan PTSP serta tenaga ahli dari
Dinas ataupun BPPT Kota lain demi mewujudkan sistem kebijakan PTSP
yang sempurna sesuai dengan Permendagri no 24 tahun 2006. Selain itu
12
Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke Penyusunan Model – Model
Implementasi Kebijakan Publik, Bumi Aksara, 2012, Hal 149
72
kami mengoptimalkan pengawasan internal dan menggunakan pendekatan
reward and punishment.13
Medi sugiarto, S.Hut juga menambahkan bahwa:
Ketersediaan sumber daya manusia pada setiap bagian dalam proses
pelayanan perizinan / non perizinan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
telah memenuhi syarat / klasifikasi / kecakapan baik dari petugas front
office, back office, pengadministrasian, dan bagian lain terkait pelayanan
masyarakat.14
Pada dasarnya SDM pegawai DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sudah
diisi dengan para pegawai dengan SDM yang mumpuni dan berkompeten
meskipun ada beberapa yang berlawanan dengan gelar yang dimiliki. Hal tersebut
dapat diatasi dengan adanya pengadaan pelatihan khusus dari pihak DPMPTSP
ataupun pemerintah sebagai pendukung keberhasilan PTSP.
Praktik di lapangan memperlihatkan cara berelasi dan belajar yang berbeda
- beda. Ada instansi yang mengirimkan stafnya untuk menjalani magang di
kabupaten lain terkait PTSP yang sudah baik, ada pula PTSP yang
mendatangkankan ahli PTSP untuk mendampingi dan memberikan pelatihan
sebagai upaya pengembangan di kabupaten tersebut seperti yang sering dilakukan
oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi setiap tahunnya. Namun selalu terdapat
13
Hasil wawancara dengan Kepala DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 23 Oktober
2016 pukul 09.00 di Ruang Kepala DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi 14
Hasil wawancara dengan Medi Sugiarto, S.Hut selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 28 oktober 2016 pukul 21.16 di
rumah narasumber
73
perbedaan akan keadaan dan tuntutan masyarakat terkait perizinan. Fatah
Hidayat menjelaskan bahwa:15
Kami mengambil paparan praktik baik dari daerah-daerah. Bagus di kami
belum tentu di daerah lain. Begitu juga bagus di daerah lain belum tentu di
kami. Tetapi meskipun begitu pasti selalu ada pembelajaran baru yang
kami dapatkan.
Salah satu masalah yang sangat jelas adalah jumlah pelaksana atau
pegawai di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi masih jauh dari jumlah yang
diharapkan dibandingkan dengan volume pekerjaan yang dilaksanakan. Masalah
tersebut sudah ada semenjak 5 tahun sejak tahun 2011. Ini menyebabkan kurang
cepatnya pengurusan izin karena tidak seimbanganya jumlah pegawai yang ada
dengan volume pekerjaan yang masuk seiring bertambahnya jumlah investor yang
masuk di Kabupaten Banyuwangi. Seharusnya pimpinan maupun staff harus lebih
bisa menyikapi masalah tersebut secepatnya.
5.2.2 Biaya atau Modal
Biaya atau modal bisa dikatakan sebagai faktor pendukung kelancaran
pembiayaan kebijakan yang dimaksutkan agar tidak menjadi penghambat proses
kebijakan. Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Dalam Negeri Nomer 24
Tahun 2006 pada bab V pasal 12 nomer (1) dikatakan bahwa besaran biaya
perizinan dan non perizinan dihitung sesuai dengan tarif yang ditetapkan
berdasarkan peraturan daerah. Terdapat 23 jenis izin yang proses oleh Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Banyuwangi, namun tidak semua jenis
15
Hasil wawancara dengan Fatah Hidayat, SP., S.Sos selaku sekretaris DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi pada tanggal 01 November 2016 pukul 10.50 di Kantor DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi
74
izin dipungut biaya atau retribusi. Dari 23 jenis izin yang ada, hanya ada 3 jenis
izin yang di kenakan retribusi diantaranya Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin
Gangguan (HO), dan Izin Trayek.
Perincian tentang biaya dari ketiga izin tersebut sudah ditetapkan dengan
jelas pada undang – undang peraturan daerah Kabupaten Banyuwangi nomor 14
tahun 2011 tentang retribusi perizinan tertentu. Segala peraturan terkait retribusi
jenis izin sudah dicantumkan secara rinci dalam peraturan daerah Kabupaten
Banyuwangi. Pada kenyataannya hal tersebut tidak dicantumkan pada SOP AP
yang dimiliki oleh BPPT Kabupaten Banyuwangi sehingga terkadang dari pihak
pemohon pengajuan izin tidak mengerti akan berapa besaran tarif retribusi yang
harus mereka bayarkan.
Mia Octavia selaku pemohon izin usaha pada tahun 2011 menjelaskan bahwa:
Dulu waktu baru ada PTSP, pengurusan izin masih dilakukan di instansi
yang berbeda-beda, biaya yang ditetapkan tidak jelas dan lebih mahal.
Hampir di setiap Kantor Dinas ada retribusinya. Waktu itu petugas yang
melayani bertindak sebagai calo, karena saya pikir pengurusan izin sangat
ribet, maka saya pakai saja jasa calo agar lebih cepat.16
Seharusnya segala sesuatu terkait pengajuan perizinan disebutkan dalam
SOP AP DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi, sehingga pemohon ataupun
masyarakat mendapati kejelasan prosedur, persyaratan pengajuan izin, tarif
retribusi yang jelas, dan ketepatan waktu proses pelayanan perizinan.
16
Hasil wawancara dengan Mia Octavia, S.H selaku pemohon izin usaha pada tanggal 15
November 2016 pukul 15.25 di rumah narasumber
75
Terkait dengan belum jelasnya kewenangan yang dimiliki DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi dalam menyelenggarakan program PTSP, ada sedikit
kendala yang seharusnya dapat diatasi oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi.
masalah tersebut berkaitan dengan dalam pengurusan izin, masih butuhnya
rekomendasi dari SKPD lain tentunya lebih membingungkan dan menyulitkan
masyarakat atau pemohon izin. Di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sudah
dijelaskan secara rinci besaran biaya pengurusan izin yang dikenai retribusi.
Faktanya pengurusan surat rekomendasi dari SKPD yang lain seperti contoh
membutuhkan surat keterangan dari Badan Lingkungan Hidup (BLH), Anton
Humaidi S.H selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Penegakan Hukum
Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup bahwa:
Memang dalam mengurus proses perizinan terkait lingkuhan hidup harus
mendapatkan izin rekomendasi dari BLH dahulu. Dalam pengurusan
rekomendasi tersebut memang pemohon dikenakan pajak retribusi sebagai
ganti petugas survey lapangan. Namun tidak semua pengurusan surat
rekomendasi di kenakan retribusi.17
Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa pemohon izin tidak serta merta
menanggung retribusi yang sudah ditetapkan oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi, tetapi masih banyak pengeluaran lain yang tidak masuk dalam
rincian pada undang – undang peraturan daerah Kabupaten Banyuwangi nomor 14
tahun 2011 tentang retribusi perizinan tertentu. Memang DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi sudah transparan dengan berpedoman dari UU PERDA Kabupaten
Banyuwangi no 14 tahun 2011, tetapi tidak dapat dipungkuri juga bila adanya
penyelewengan kewenangan yang dimiliki dalam memperoleh keuntungan pribadi
17
Hasil wawancara dengan Anton Humaidi, S.H., M.T selaku Kepala Seksi Pengawasan dan
Penegakan Hukum Lingkungan, Badan Lingkungan Hidup Banyuwangi pada tanggal 4 November
2016 pukul 17.55 di rumah narasumber
76
karena kurang jelasnya kewenangan DPMPTSP sebagai implementor kebijakan
PTSP.
5.2.3 Waktu
Waktu merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya, sumber daya
waktu adalah penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan
kebijakan. Keberhasilan sebuah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dapat
dilihat dari ketepatan pemerintah dalam menjalankan kebijakannya. Sumber daya
waktu merupakan sebuah faktor yang dapat dikatakan menjadi masalah yang
klasik. Proses pengurusan jasa ataupun pelayanan publik yang cenderung berbelit
– belit menjadi kendala birokrasi tersendiri yang ujung – ujungnya dapat
merugikan masyarakat karena prosesnya yang berbelit – belit dan akhirnya
memakan waktu yang lama. Dalam dokumen Standar Operasional Prosedur
sebenarnya dari 20 jenis perizinan yang di naungi oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi sudah dicantumkan dan diklasifikasikan tersendiri berapa lama
waktu proses pelayanan perizinan dari masing – masing jenis perizinan. Waktu
yang ditetapkan oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sendiri mengacu pada
Keputusan MENPAN Nomor : 81 tahun 1993 ayat 2 yaitu tentang:
(2) Pelayanan Perizinan yang Cepat dan Tepat, yaitu :
a. Cepat dalam waktu penyelesaian izin mulai dari permohonan
masuk sampai terbitnya surat izin terukur dalam Standar Pelayanan
Publik (SPP).
77
b. Cepat dan mudah dalam memperoleh informasi persyaratan,
prosedur dan segala hal yang berhubungan dengan pelayanan
perizinan.
c. Tepat dalam pemrosesan pelayanan perizinan baik yang
dilaksanakan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu maupun
yang melibatkan instansi terkait dengan berperan aktif.
Dasar hukum tersebut telah disempurnakan dengan Peraturan Presiden
Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Satu Pintu.
oleh karena itu DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi menetapkan Standar
Operasional Prosedur (SOP) pelayanan perizinan yang didalamnya telah diatur
segala sesuatunya menyangkut proses pelayanan perizinan. Dalam Peraturan
Presiden Nomor 97 Tahun 2014 BAB IV pasal 15 tentang proses, waktu dan biaya
penyelenggaraan pelayanan, pada pasal 15 dijelaskan bahwa Jangka waktu
penyelesaian pelayanan perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 7
(tujuh) hari kerja terhitung mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta
seluruh kelengkapannya. Dalam SOP DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sendiri
menetapkan rata – rata waktu penyelesaian pelayanan perizinan yaitu dari 5 – 14
hari. Ini menunjukkan bahwa DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi kurang mampu
melaksanakan pelayanan satu pintu dengan proses pelayanan perizinan yang tidak
lebih dari standar ketentuan PERPRES Nomor 97 Tahun 2014.
Pada kenyataannya fakta di lapangan pengurusan izin dari awal proses
pendaftaran sampai diterbitkannya izin lebih sering melebihi waktu yang sudah
ditetapkan dalam SOP DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi. peneliti menemukan
adanya dua faktor yang mempengaruhi lambatnya kinerja DPMPTSP Kabupaten
78
Banyuwangi dalam pengurusan izin. Faktor pertama yaitu kurangnya sumber
daya manusia ataupun pegawai yang dimiliki oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi, hal ini dibuktikan dengan tidak seimbangnya prosentase jumlah
tenaga kerja dengan masuknya berkas perizinan setiap harinya. Menurut Trisetya
Supriyanto, S.STP, M,Si selaku Kepala Bidang Perizinan DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi:
Kurang lebih ada sekitar 20 – 30 berkas permohonan izin yang masuk di
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi, sedangkan jumlah sumber daya
manusia yang dimiliki DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi hanya
sebanyak 33 orang (termasuk tenaga honorer) itupun juga petugas tinjau
lapangan hanya 5 orang, belum lagi kalau posisi tinjau lapangnya saling
berjauhan. Bisa dibayangkan bagaimana kewalahannya kami karena
kurangnya tenaga kerja yang ada.18
Faktor kedua adalah dari kesalahan atau kurangnya kelengkapan
persyaratan izin pemohon. Jika persyaratannya kurang maka otomatis tidak akan
di proses. Hal ini dialami oleh Bapak Totok Budiantoro selaku pemohon izin IMB
(Izin Mendirikan Bangunan) menyampaikan bahwa:
Pengurusan izin IMB saya cenderung lama, hampir sekitar 2 bulan. Tetapi
bukan karena leletnya kinerja DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi namun
murni karena kesalahan gambar denah rumah dari saya. Dan terpaksa
harus dibenahi dahulu sehingga membutuhkan waktu yang lama dari mulai
permohonan izin sampai diterbitkannya izin IMB tersebut.19
Dari kedua faktor tersebut peneliti menyimpulkan bahwa program
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu yang diimplementasikan oleh DPMPTSP
18
Hasil diskusi langsung dengan Trisetya Supriyanto, S.STP, M,Si selaku Kepala Bidang
Perizinan pada saat pra penelitian di kantor DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi, hari jum’at
tanggal 23 september, pukul 09.15 19
Hasil wawancara dengan Bapak Totok Budiantoro selaku pemohon izin IMB dan Wakil Dekan I
FISIP Universitas 17 Agustus Banyuwangi pada tanggal 28 oktober 2016 pukul 11.08 di ruang
prodi FISIP Universitas 17 Agustus Banyuwangi
79
Kabupaten Banyuwangi masih belum maksimal terkait dengan penerbitan izin
yang masih membutuhkan waktu yang lama dan tidak sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan dalam SOP DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi. Waktu
merupakan tolak ukur utama untuk indeks kepuasan masyarakat, seharusnya
dengan program PTSP yang di canangkan oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi semakin cepat pula proses penerbitan izin untuk konsumen. Tetapi
dari ekspektasi PTSP yang diharapkan justru berbanding terbalik dengan fakta
yang terjadi dilapangan.
5.3 Ciri-Ciri atau Karakteristik Badan/Instansi Pelaksana
Menurut Van Meter dan Van Horn salah satu variabel penentu
keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana
(Birokrasi) kebijakan. Dari variabel tersebut dijelaskan bahwa komponen dari
variabel tersebut terdiri dari stuktur-struktur formal dari organisasi-organisasi dan
pihak stakeholder yang tidak formal dari personil mereka, disamping itu perhatian
juga perlu ditujukan kepada ikatan-ikatan badan pelaksana. Seperti yang telah
diketahui, sesungguhnya dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah untuk
memenuhi tuntutan masyarakat ataupun aspirasi masyarakat. Kebijakan –
kebijakan publik akan menjadi sangat bermanfaat bagi masyarakat maupun negara
jika pemerintah memiliki birokrasi yang tanggap, sistematis dan efisien. Ciri – ciri
birokrasi pokok birokrasi menurut Max Webber yaitu :
1. Birokrasi Bersifat Kedinasan
Birokrasi melaksanakan kegiatan – kegiatan regular yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan – tujuan organisasi, didistribusikan melalui
cara tertentu, dan dianggap sebagai tugas – tugas resmi.
80
2. Adanya Hierarki
Yaitu bahwa unit yang lebih rendah dalam sebuah kantor berada di
bawah pengawasan dan pembinaan unit yang lebih tinggi. Adanya
wewenang untuk atasan untuk memberikan perintah terhadap
bawahannya untuk dipatuhi.
3. Adanya Pembagian Kerja
Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan abstrak yang
konsisten dan mencakup juga penerapan aturan – aturan itu dalam
kasus tertentu untuk menjamin keseragaman dalam pelaksanaan dan
pengkoordinasian tugas kedinasan.
4. Adanya Tanggung Jawab
Pejabat yang ideal melaksanakan tugas – tugasnya dengan semangat
formal dan tidak bersifat pribadi. Pelaksanaan tugas tanpa dicampuri
hal – hal yang bersifat kepentingan pribadi, atau dengan kata lain
bekerja secara professional.
5. Adanya Sistem Penghargaan (Reward) dan Sistem Pengendalian
Pekerjaan dalam birokrasi mencakup sebuah jenjang karir atau “sistem
kenaikan pangkat” yang berdasarkan senioritas ataupun prestasi yang
diraih.
6. Memiliki Keahlian Dalam Mengatasi Masalah
Birokrasi mengatasi masalah – masalah yang menonjol dalam
organisasi, yakni bagaimana memaksimalkan efisiensi dalam
organisasi, bukan hanya mengatasi masalah – masalah individu saja.20
Dengan demikian, keenam variabel yang dikemukakan oleh Webber
tersebut diharapkan menjadi sebuah acuan dan tertanam paten menjadi
karakteristik sebuah birokrasi agar dapat dapat menjalankan tugasnya dengan
maksimal dan mampu bekerja secara profesional. Perubahan pola pikir juga pada
akhirnya berkaitan dengan sejauh mana staf bersedia melayani masyarakat tanpa
mengharapkan imbal balik. Tidak dapat dipungkiri di tingkat kabupaten,
merupakan lahan yang basah bagi peluang terjadinya pungutan liar. Sebelumnya,
ada semacam biaya tidak resmi untuk setiap permohonan pengajuan izin ataupun
penerbitan izin tertentu. Bersamaan dengan itu, PTSP berupaya mengatasi dengan
menerbitkan ketentuan mengenai biaya pengurusan izin yang ditampilkan secara
20
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013,
hlm. 75 - 77
81
jelas didalam SOP dan pada tempat-tempat yang mudah dilihat pemohon seperti
blanko pendaftaran ataupun di website DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi.
Menurut Medi Sugiarto, S.Hut mengatakan bahwa:
Kualitas SDM yang dimiliki oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
sudah sangat memadai, pada posisi Kepala Bidang ditempati oleh lulusan
– lulusan sekolah pemerintahan terbaik seperti STPDN yang tentunya
sudah sangat paham betul akan bentuk dan struktur birokrasi yang baik.
Para staff DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi juga merupakan orang –
orang dengan SDM yang baik yang telah diseleksi berdasarkan kualifikasi
teknis yang objektif ”.21
Dengan kata lain rata – rata SDM yang dimiliki DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi merupakan SDM pilihan yang telah memenuhi syarat dan klasifikasi
kecakapan terkait pelayanan masyarakat. Terlepas dari SDM, DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi juga menerapkan adanya sistem reward and punishment
untuk setiap para pegawai dalam menjalankan tugasnya.
5.4 Komunikasi Antar Organisasi Terkait dan Kegiatan-Kegiatan
Pelaksanaan
Sistem dan prosedur adalah tata urutan pelaksanaan pekerjaan dalam suatu
kegiatan, serta hubungannya dengan kegiatan lain dalam suatu proses
berkesinambungan dalam suatu fungsi, untuk menghasilkan sesuatu yang akan
menjadi masukan bagi pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan pada fungsi lain
sebagai suatu kelanjutan dalam proses. Hubungan antar organisasi yang saling
terkait menjadi salah satu terobosan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah
21
Hasil wawancara dengan Medi Sugiarto, S.Hut selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 28 oktober 2016 pukul 21.16 di
rumah narasumber
82
tumpang tindih kewenangan yang biasa terjadi di ranah birokrasi. Dalam
menjalakankan program Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi juga menjalin kerja sama dengan beberapa stakeholder.
Pada hubungan ini DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi menggunakan pendekatan
bahwa pihak perusahaan perlu memiliki hubungan berkelanjutan seperti saling
menghormati, saling percaya dan saling terbuka dengan para stakeholder.
Hubungan yang dimiliki oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dengan
para stakeholders dapat diharapkan bersifat Interaktif. Jadi interaksi tersebut dapat
membantu DPMPTSP Kabupaten Banyuwngi dalam mempelajari ekspektasi
masyarakat banyak, mengembangkan solusi dan mendapatkan dukungan dari para
stakeholders untuk menerapkan solusi yang sudah dimiliki oleh perusahaan.
Sehingga dengan adanya hubungan yang baik dengan para stakeholder diharapkan
prosentase keberhasilan program PTSP lebih terjamin. Sofyan Yazid selaku
pengurus LSM KUPUNYA yang membidangi pengawasan sistem pemerintahan
Banyuwangi mengatakan bahwa:
Dalam melaksanakan program PTSP, DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
dibantu oleh beberapa LSM yang telah menjalin kerjasama. Seperti ketika
ada pameran, ataupun kegiatan lainnya sering kali dilimpahkan kepada
saya atau LSM lain untuk mengurus acaranya. Bentuk kerjasama lain
contohnya membantu DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dalam
pengurusan berkas yang masih membutuhkan rekomendasi dari SKPD
lain.22
22
Hasil wawancara dengan Sofyan Yazid anggota LSM KUPUNYA pada tanggal 02 November
2016 pukul 20.01 di rumah narasumber
83
Faktanya dalam melaksanakan program PTSP tersebut DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi juga menjalin kerjasama yang baik antar SKPD terkait.
Dikarenakan beberapa pengurusan izin masih membutuhkan rekomendasi dari
SKPD lain. Fatah Hidayat, SP., S.Sos menjelaskan bahwa:
Komunikasi DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dengan SKPD lain
terjalin dengan sangat baik terkait dengan dalam mengurus perizinan
tertentu kami masih membutuhkan rekomendasi dari SKPD terkait. Selain
itu kami juga memberikan akses kepada Bank Jatim, fungsinya agar proses
administrasi pengurusan izin dapat di bayarkan secara online.23
Dalam hal ini justru membuktikan bahwa implementasi PTSP yang
dilaksanakan oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi belum maksimal atau
sempurna. Roh dari PTSP tersebut merupakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pengurusan izin dilaksanakan dan diselesaikan di satu tempat yaitu di
kantor DPMPTSP. Dengan demikian sebenarnya DPMPTSP harus memiliki
wewenang sendiri untuk memutuskan dan memberikan akses sesuai peraturan
tanpa harus membutuhkan rekomendasi dari SKPD lain yang nantikan akan
memperlambat proses pengurusan perizinan.
Bentuk komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan – kegiatan
pelaksanaan program yang dimaksut seperti yang dicontohkan dengan kerjasama
bersama LSM atau Bank Jatim dan para stakeholder lainnya yang fungsinya dapat
mempengaruhi keberhasilan kebijakan tanpa merubah literatur kebijakan. pada
hakikatnya dalam mengimplementasikan program PTSP, DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi menjalin kerjasama antar organisasi terkait dengan maksut program
23
Hasil wawancara dengan Fatah Hidayat, SP., S.Sos selaku sekretaris DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi pada tanggal 01 November 2016 pukul 10.50 di Kantor DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi
84
PTSP tersebut berjalan lebih transparan, lebih memudahkan masyarakat, dan tidak
berbelit – belit.
Sebenarnya kerja sama para pihak pemangku kebijakan juga menjadi
tempat yang baik untuk menyampaikan perkembangan perbaikan pelayanan
perizinan kepada masyarakat. Adanya anggota forum dari unsur pers membantu
PTSP untuk mensosialisasikan informasi terbaru. Di sisi lain, dari pers dan LSM,
juga anggota forum lainnya, PTSP dapat mendengarkan isu yang berkembang
untuk lebih cepat dan tanggap akan keluhan dari masyarakat ataupun pemohon
izin. Pers merupakan media yang paling efektif dalam membantu DPMPTSP
mensosialisasikan penyuluhan tentang PTSP terhadap masyarakat. Tapi
sayangnya DPMPTSP kurang maksimal dalam memanfaatkan media massa.
Penyuluhan seringkali dilakukan hanya sepihak oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi. hal ini diperjelas oleh Alfyan Firdaus bahwa:24
Kekurangan dari program PTSP di Banyuwangi adalah dari segi
sosialisasi, masyarakat dan investor sering kali kurang tahu bahwa di
Banyuwangi itu ada PTSP. Seharusnya DPMPTSP lebih bisa merangkul
seperti LSM, Pers, dan pihak terkait seperti yang dikakukan oleh Bupati
Abdullah Azwar Anas yang sering kali mensosialisasikan kemudahan
PTSP di Banyuwangi kepada investor – investor ketika beliau keluar kota.
Dalam hal itu, PTSP akan sangat sulit untuk berhasil jika bekerja
sendirian. PTSP membutuhkan dukungan dari pihak luar. Dukungan pihak luar
tersebut terutama berupa dukungan informasi. Pihak luar membantu memberikan
tekanan kepada pemerintah untuk melaksanakan agenda perubahan. Pihak luar
24
Hasil wawancara dengan Alfyan Firdaus selaku jurnalis Radio Pemerintahan Kabupaten
Banyuwangi pada tanggal 04 November 2016 pukul 15.25 di Kantor Radio Blambangan
Banyuwangi
85
juga menyediakan informasi mengenai berbagai hal yang membantu PTSP
berevaluasi dengan pihak terkait. Temuan di lapangan menjelaskan bahwa adanya
keadaan yang paradoks. DPMPTSP menerima pelimpahan kewenangan dari
instansi teknis, tetapi pada saat yang sama tidak dapat berfungsi tanpa keterlibatan
instansi teknis. Pada sebagian besar jenis izin, dibutuhkan rekomendasi teknis dari
instansi lain. Dalam prosesnya, instansi lain juga perlu memenuhi standar
pelayanan perizinan agar apa yang baik dari konsep PTSP, yaitu pelayanan
perizinan yang mudah, cepat, murah, akuntabel dan transparan dapat tercapai.
Tanpa instansi terkait di luar PTSP, akan sangat sulit menghadirkan pelayanan
yang secara signifikan yang lebih baik bagi pelaku usaha dan masyarakat.
5.5 Sikap Para Pelaksana
Masalah etika dan moral para pelaku kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap jalannya proses administrasi birokrasi. Sikap para pelaksana
kebijakan diharapkan berwatak dan bermoral yang baik guna mendapatkan bentuk
interaksi yang ideal antara pelaksana kebijakan dengan masyarakat. Permasalahan
penyelewengan kewenangan merupakan masalah yang sangat mengakar dalam
birokrasi Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyaknya praktek korupsi
yang dilakukan atas dasar kepentingan pribadi dengan pegangan kewenangan
yang dimiliki. Kebijakan publik yang diselewengkan merupakan masalah –
masalah etika dan moral yang salah dari sikap para pelaksana. Efek bureaucratism
merupakan sisi buruk pelaksana kebijakan yang senantiasa dikeluhkan
masyarakat. Tak dapat dibayangkan betapa kesalnya orang yang menjadi bulan –
bulanan petugas dari meja satu ke meja yang lain untuk urusan administrasi dalam
86
organisasi – organisasi publik.25
Mereka juga haru menunggu berhari – hari untuk
urusan tersebut, belum lagi apabila ada kesalahan berkas seperti kesalahan
penulisan kata ( typo ). Hal inilah yang sering kali terjadi dalam pengurusan izin
di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi.
Tidak maksimalnya PTSP yang diterapkan oleh DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi berdampak pada masih susahnya mengurus perizinan di
Banyuwangi. Dalam wawancara yang peneliti lakukan terhadap beberapa
masyarakat pemohon izin, peneliti masih menemukan banyak keluhan yang
dirasakan oleh pemohon izin. Terutama dalam hal mendapatkan rekomendasi
yang harus diurus di SKPD lain. Pelaksana kebijakan PTSP yaitu para pegawai
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi tidak membantu menguruskan surat
rekomendasi tersebut, melainkan pemohon sendirilah yang harus mengurus surat
rekomendasi tersebut. Akibatnya pemohon izin harus mondar – mandir dari meja
satu ke meja yang lain untuk mendapatkan surat rekomendasi, belum termasuk
jarak antara kedua SKPD tersebut yang saling berjauhan. Menurut Totok
Budiantoro selaku pemohon izin IMB bahwa:
Memang kesalahan berasal dari kami sendiri, tetapi asas dari PTSP
tersebut adalah segala hal yang mencakup tentang perizinan diurus dan
diselesaikan di satu tempat yaitu di kantor DPMPTSP. Tetapi faktanya
kami harus kesana kemari untuk membenahi kesalahan berkas kami.
Seharusnya harus ada tenaga fungsional dan konsultan yang ditempatkan
di DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi agar lebih memudahkan
masyarakat.
25
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013,
hlm. 273 - 274
87
Sangat disayangkan apabila sistem yang diterapkan sudah bagus dan pro
terhadap masyarakat namun pada fakta yang terjadi justru masih menyulitkan
masyarakat. Seharusnya sikap para pelaksana harus lebih inovatif dalam
mengatasi masalah, dan cepat tanggap dengan berbagai keluhan masyarakat yang
muncul. Sofyan Yazid menambahkan bahwa :
SDM yang dimiliki oleh pegawai DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
sangat tinggi. Namun ada sedikit kecenderungan mengitkuti tradisi
terdahulu mereka yang masih sulit dihilangkan. Antara lain bawahan patuh
terhadap senior. Pimpinan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi cenderung
kurang inovatif, akhirnya bawahannyapun menjadi kurang mau
berinovatif.26
Di tengah banyaknya kesulitan dan besarnya tuntutan perubahan itu, PTSP
yang sukses adalah yang memiliki pemimpin yang baik dan mampu. Mereka
(pemimpin PTSP) harus dekat dengan masyarakat, mengetahui apa yang
diharapkan warga. Pemimpin juga perlu punya kemampuan manajemen SDM.
Mereka tidak harus orang teknis, tetapi harus punya komitmen melayani.
Melayani adalah seni. Di sini perlu inovasi karena terbatasnya kewenangan sering
kali terbentur dengan aturan. Dalam memimpin, mengkoordinasi saja tidak cukup,
tetapi harus menjiwai. Dengan kata lain, pemimpin PTSP harus mampu
menggerakkan timnya untuk melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dalam
menggerakkan tim, pemimpin menyiasati kekurangan kualitas maupun kuantitas
SDM yang ada serta berupaya menggalang dukungan pihak luar yang strategis.
Tim diarahkan kepada perbaikan terus-menerus sambil menjadikan suara
masyarakat sebagai indikator pencapaian. Ketika tim mengalami kesulitan atau
26
Hasil wawancara dengan Sofyan Yazid anggota LSM KUPUNYA pada tanggal 02 November
2016 pukul 20.01 di rumah narasumber
88
penurunan semangat, sosok pemimpin diharapkan mampu memberikan motivasi
kepada bawahannya.
Dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa pimpinan
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sendiri masih cenderung patuh terhadap
peraturan yang berlaku dan kurang berani dalam berinovasi. Masalah tersebut
menimbulkan efek kecenderungan para pegawainya kurang memiliki kepercayaan
diri akibat adanya sistem peraturan yang kaku. Mereka takut dicap orang yang
ingin dilihat, ataupun ingin menjadi yang utama karena berinovatif. Hal ini juga
disampaikan oleh Medi Sugiarto bahwa :
Susah untuk menyampaikan aspirasi dalam sebuah oragnisasi yang kaku.
ketika ingin berinovasi, banyak pegawai lain yang membicarakan dari
belakang, dicap ingin dilihat lah, atau ngatok (dalam bahasa daerah berarti
dianak emaskan oleh pimpinan). Daripada dicap seperti itu mending kita
mengikuti alur yang ada saja.27
Sikap kepatuhan pegawai yang sangat tinggi terhadap keadaan tersebut
merupakan bentuk pertahanan diri untuk mengantisipasi hal – hal yang tidak
diinginkan. Keadaan tersebut dimana pegawai dengan tingkat yang lebih bawah
tidak mampu menciptakan sistem yang lebih baik karena aspirasinya yang susah
untuk di sampaikan bisa menjadi sumber penyebab pelayananan perizinan
cenderung berbelit – belit. Lambat laun, keadaan seperti ini akan menimbulkan
disfungsi birokrasi karena tidak jelasnya tujuan yang akan dicapai, penetapan
aturan yang kaku cenderung berorientasi terhadap otoritas kekuasaan, ataupun
terciptanya hierarki yang mengekang maksa bawahan tidak dapat berkembang.
27
Hasil wawancara dengan Medi Sugiarto, S.Hut selaku Kepala Sub Bidang Evaluasi dan
Penyuluhan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi pada tanggal 28 oktober 2016 pukul 21.16 di
rumah narasumber
89
5.6 Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik
Implementasi kebijakan dapat dipengaruhi oleh dampak kondisi ekonomi,
sosial, maupun politik. Beberapa variabel tersebut mencakup tentang bagaimana
ekonomi lingkungan mendukung implementasi kebijakan, bagaimana kondisi
kelompok – kelompok pemangku kebijakan dalam memberikan dukungan, dan
bagaimana sifat publik atau masyarakat yaitu mendukung atau menolak kebijakan
tersebut. Lantas bagaimana lingkungan ekonomi, sosial, dan politk di DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi, berikut akan dijelaskan oleh peneliti.
5.6.1 Kondisi lingkungan ekonomi dan sosial
Secara umum terdapat beberapa tugas pemerintah dalam sisi
perekonomian, dua diantaranya yang paling utama yaitu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja dalam mengurangi
jumlah pengangguran yang nantinya akan berdampak pada kesejahteraan sosial
masyarakat.
Dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sangat bergantung terhadap
jumlah investasi yang masuk baik dari asing maupun domestik. Disini bagaimana
tugas pemerintah dalam memberikan fasilitas terhadap investor sangat
diutamakan. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memberikan wewenang
terhadap DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi menerapkan kebijakan PTSP yaitu
Pelayanan Terpadu Satu Pintu guna memfasilitasi para investor dalam pengurusan
masalah perizinan maupun penanaman modal.
90
Pemerintah sendiri mengeluarkan kebijakan bahwa setiap perusahaan yang
masuk dan menanamkan modal di Banyuwangi diwajibkan untuk merekrut SDM
daerah dan membuka lapangan kerja untuk masyarakat Banyuwangi. Tersedianya
fasilitas untuk para wisatawan lokal maupun domestik otomatis meningkatkan
jumlah wisatawan di Kabupaten Banyuwangi tentunya dengan dukungan
pemasaran pariwisata oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Banyuwangi. Di sisi lain dengan meningkatnya jumlah wisatawan memicu
munculnya ekonomi kreatif yang dapat mensejahterakan masyarakat Kabupaten
Banyuwangi.
Rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi Banyuwangi dalam lima tahun
tahun terakhir tercatat lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan Jawa Timur. Data
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyuwangi menunjukkan, rata-rata
pertumbuhan Banyuwangi 2010-2014 sebesar 6,59 persen, sedangkan Jatim 6,27
persen.28
Dukungan dari Bupati Banyuwangi sendiri merupakan perihal yang
sangat penting dalam memberikan akses mudah terhadap para investor, ini
dibuktikan dengan ungkapan pribadi Bupati Banyuwangi dalam wawancara
terbuka dengan mengatakan bahwa "Kami akan memberi karpet merah kepada
investor yang ingin masuk ke Banyuwangi untuk berkembang dan tumbuh
bersama, sebab kehadiran investor akan membuka lapangan pekerjaan dan
meningkatkan taraf hidup sosial-ekonomi masyarakat Banyuwangi."29
Karpet
merah yang dimaksut tidak lain adalah kebijakan PTSP yang telah diterapkan
28
http://www.banyuwangikab.go.id/berita-daerah/pertumbuhan-ekonomi-banyuwangi-lampaui-
rata-rata-provinsi-jawa-timur.html 29
http://regional.kompas.com/read/2013/04/09/17460283/Banyuwangi.Kian.Dilirik.Investor
91
mulai tahun 2011 lalu. diterapkannya PTSP di Kabupaten Banyuwangi,
diharapkan investor – investor lebih tertarik melakukan investasi di Kabupaten
Banyuwangi terkait kemudahan pengurusan izin.
5.6.2 Kondisi lingkungan politik
Dalam menganalisis bagaimana implementasi sebuah kebijakan
pemerintah, aspek politik perlu dikaji untuk untuk memperkirakan bahwa situasi
politk tidak mempengaruhi faktor keberhasilan saat kebijakan pemerintah
diimplementasikan. Kelemahan lain tatakerja birokrasi di Indonesia adalah kurang
terlibatnya birokrasi dalam pembuatan kebijakan. hal tersebut mengindikasikan
bahwa adanya pemisahan antara linkup administrasi dan lingkup politik. Lingkup
politik memberikan gambaran akan kekuasaan yang lebih tinggi. Jika elit politik
dalam kondisi mendukung, dunia investasi akan sangat menguntungkan bagi
masyarakat, membuka lapangan pekerjaan, dan menimbulkan ekonomi kreatif
yang mengarah pada kesejahteraan hidup masyarakat. Di sisi lain jika tidak
adanya dukungan dari elit politik, hal ini menimbulkan potensi mendatangkan
kerugian bagi dunia investasi.
Dampaknya juga sudah sangat jelas yaitu merugikan dan mengancam
dunia investasi. Prakteknya menyelewengkan dan menyalah gunakan kekuasaan
yang di lakukan oleh oknum pemerintah dalam menjalankan tugas mereka sangat
mengancam keamanan modal dan usaha masyarakat. Kekacauan politik juga
dapat mendorong lahirnya kondisi politik juga dapat mendorong lahirnya kondisi
social yang tidak aman.
92
Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti di DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi, pengaruh kondisi politik dalam perizinan DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi sendiri terhadap kebijakan PTSP yang digadang – gadang dapat
mengatasi permasalahan perizinan terkait waktu, biaya, dan cenderung berbelit –
belit masih bersifat abstrak. Peneliti menyimpulkan bahwa dalam kasus
mengimplementasikan kebijakan PTSP, sikap pemerintah maupun elit politik
terlihat mendukung dengan mengadakan pelatihan khusus terhadap pejabat dan
staff DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dengan mendatangkan ahli PTSP dari
pusat. Pelatihan tersebut terkesan hanya formalitas belaka tanpa adanya perubahan
yang signifikan dalam mengimplementasikan kebijakan PTSP. Tetap saja dalam
mengurus perizinan dirasakan masih sulit oleh masyarakat. temuan lainnya yaitu
adanya beberapa izin yang harus ditanda tangani oleh Bupati langsung tanpa perlu
melewati Kepala Dinas.
Hal tersebut menimbulkan kecurigaan masih adanya praktek
penyelewengan wewenang demi kepentingan pribadi, karena ketika peneliti
mewawancarai beberapa staff ahli DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi tentang
beberapa izin tersebut hampir semuanya menjawab tidak tahu. Tidak dapat
dipungkiri bahwa kondisi politik memang sangat mempengaruhi perizinan di
Kabupaten Banyuwangi khususnya dalam dunia bisnis, karena berdasarkan fakta
tersebut dapat difahami bahwa sedikit banyaknya kondisi lingkungan politik
berperan terhadap kondisi bisnis.
93
5.7 Faktor Pendukung implementasi PTSP DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi
Dalam proses berlangsungnya organisasi birokrasi DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi tentunya terdapat beberapa faktor yang menjadikan sebuah dukungan
atau hal yang dapat melancarkan kinerja dalam menjalankan tugas dan fungsinya
untuk berperan implementasi kebijakan PTSP di Kabupaten Banyuwangi. Berikut
ini merupakan faktor pendunkung yang telah terjadi di lingkungan DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi :
a. Adanya dukungan dari Bupati Kabupaten Banyuwangi terhadap
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi untuk melaksanakan tugas pokok
dan fungsi tiap-tiap bagian dilingkup perizinan. Bentuk dukungannya
berupa diadakannya pelatihan khusus bagi seluruh karyawan BPPT
Kabupaten Banyuwangi dua kali dalam setahun.
b. Adanya dasar hukum PERPRES NOMOR 97 TAHUN 2014 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Serta
lahirnya PERDA Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 2011
Tentang Organisasi Perangkat Daerah dengan penjabaran tupoksi
melalui PERBUB Nomor 59 Tahun 2016 Tentang Rincian Tugas,
Fungsi dan Tata Kerja DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi, yang
memberikan kejelasan sebagai payung hukum dalam menjalankan
tugasnya.
94
c. Adanya System Reward and Punishment (Penghargaan dan hukuman)
di lingkungan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi memberikan efek
untuk para pegawai untuk bekerja secara maksimal demi mencapai
hasil yang diharapkan.
d. Sarana dan Prasarana yang cukup memadai. Setiap meja para pegawai
dilengkapi dengan teknologi komputer guna mendukung
perkembangan IT yang diharapkan mampu meringankan beban kerja
para pegawai dan membantu masyarakat dalam mengurus perizinan.
Terpenuhinya akses kendaraan, dan ruangan sebagai faktor penunjang
dalam mengimplementasikan kebijakan PTSP.
e. Tersedianya aksesibilitas jalur darat, laut dan udara menuju
Kabupaten Banyuwangi yang lebih memudahkan para investor
ataupun wisatawan untuk mempersingkat waktu menuju Kabupaten
Banyuwangi.
f. Tersedianya Sistem Informasi Perizinan Online (SIPO) DPMPTSP
Kabupaten Banyuwangi sebagai informasi, dan pendaftaran pemohon
izin secara online. Bahkan ada tim khusus dari Pemkab Banyuwangi
yang melayani antar jemput calon investor tentang proses pengurusan
perizinannya.
g. Adanya sosialisasi proses dan prosedur pengurusan izin yang
dilakukan oleh DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi. Hal ini bertujuan
agar semua masyarakat tahu bagaimana proses dan prosedur mengurus
perijinan.
95
Dengan adanya dukungan dari Bupati Kabupaten Banyuwangi sendiri
selaku kepala daerah, otomatis DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dapat
menjalankan kebijakan PTSP dengan baik. Karena jika dari pihak Bupati sendiri
tidak mendukung dan mempercayakan kebijakan PTSP tersebut kepada
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi selaku implementor kebijakan tersebut, maka
proses pelaksanaan kebijakan dan lingkup kerja akan lebih sering mengalami
kendala dan permsalahan baik internal maupun eksternal.
Sebagai SKPD dan implementor kebijakan PTSP di lingkup pemerintahan
daerah, DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi butuh adanya dukungan dan
koordinasi antar SKPD dan elemen lain untuk lebih memudahkan implementasi
kebijakan dan tercapainya tujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik
kepada masyarakat khususnya para pemohon izin. Sofyan Yazid anggota LSM yang
memperhatikan jalannya kebijakan PTSP tersebut menuturkan bahwa:
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi memang sudah sering melakukan
sosialisasi terkait pengurusan izin sampai ke desa – desa agar tidak hanya
msyarakat kota saja yang mengerti mekanisme pengurusan izin tersebut.
Hal ini bertujuan untuk pemohon izin yang mungkin dari daerah pelosok
Kabupaten Banyuwangi lebih siap dan mengerti apa saja persyaratan dan
prosedur saat mengurus izin agar tidak terjadi preoses pengurusan yang
lama.30
Dengan adanya komunikasi yang baik antara DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi dengan masyarakat yang memunculkan legitimasi masyarakat
kepada pemerintah tentunya mendukung proses pelaksanaan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Terkait dengan dukungan untuk menjadikan
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sebagai implementor PTSP juga mendapatkan
30
Hasil wawancara dengan Sofyan Yazid anggota LSM KUPUNYA pada tanggal 02
November 2016 pukul 20.01 di rumah narasumber
96
dukungan dari segi pendanaan dari APBD Kabupaten Banyuwangi. Kebijakan
yang telah dibuat dan ditetapkan tidak akan berjalan baik tanpa adanya perbaikan
fasilitas kerja SKPD, dan pembiayaan untuk kegiatan – kegiatan yang
mempengaruhi keberhasilan sebuah program. Berikut dijelaskan tabel Anggaran
Perjanjian Kinerja Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kabupaten Banyuwangi 2015 :
Tabel 5.3
Anggaran Perjanjian Kinerja Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kabupaten Banyuwangi 2015
No Program Anggaran (Rp) Keterangan
1 Peningkatan Promosi dan
Kerjasama Investasi
Rp. 400.000.000,00- APBD
2 Peningkatan Iklim Investasi dan
Realisasi Investasi
Rp. 50.000.000,00- APBD
3 Pelayanan Administrasi
Perkantoran
Rp. 1.398.000.000,00- APBD
4 Peningkatan Sarana dan
Prasarana
Rp. 145.000.000,00- APBD
5 Pelayanan Publik Rp. 50.000.000,00- APBD
Sumber : Anggaran Perjanjian Kinerja DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi 2015
Adapun rinciannya sebagai berikut, pertama peningkatan promosi dan
kerjasama investasi dibagi menjadi 2 yaitu indikator jumlah investor mencapai
target 1.400 dan nilai realisasi investasi dengan target 2,5 Triliyun. Kedua
peningkatan iklim investasi dan realisasi dengan indikator jumlah kenaikan nilai
investasi mencapai target (1,7%). Ketiga pelayanan administrasi perkantoran
dengan indikator jumlah dan jenis komponen administrasi perkantoran yang dapat
dipenuhi mencapai (90%). Keempat peningkatan sarana dan prasarana yang dapat
97
dipenuhi mencapai (85%). Dan yang kelima pelayanan publik terbagi menjadi 3
indikator yaitu, (1) presentase waktu penyelesaian izin sesuai SOP dalam satu
tahun dengan target (80%), (2) presentase jumlah izin yang diterbitkan dalam satu
tahun naik sebanyak (20%), dan (3) meningkatnya kualitas dan kuantitas
pelayanan perizinan ditandai dengan jumlah kegiatan monitoring, evaluasi, dan
pekerjaan yang dilaksanakan mencapai target (12 kegiatan).
5.8 Faktor Penghambat Implementasi PTSP DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi sebagai organisasi perangkat daerah
pada lingkungan pemerintahan pastinya memiliki berbagai kendala dalam
menjalankan tugas dan peranannya yaitu mengimplementasikan kebijakan PTSP.
Peneliti menemukan beberapa faktor penghambat yang menjadi kendala
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi tidak dapat menjalankan tugas dengan lancar.
Berikut ini peneliti akan menjelaskan beberapa faktor yang menjadi penghambat
DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi dalam mengimplementasikan kebijakan
PTSP:
a. Lingkungan Kebijakan
Regulasi yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme PTSP bersifat
abstrak lantaran masih terdapat tumpang tindih kewenangan antara beberapa
SKPD. Dijelaskan dalam kebijakan PTSP bahwa segala macam urusan perizinan
dilaksanakan di satu tempat yaitu di kantor DPMPTSP. Namun faktanya pemohon
harus mondar mandir kesana kemari dalam pengurusan izin dikarenakan masih
98
harus mengurus rekomendasi dari SKPD terkait. DPMPTSP Kabupaten
Banyuwangi masih tidak memiliki wewenang untuk langsung memberikan akses
izin tanpa adanya rekomendasi dari dinas terkait. Hal tersebut yang menjadi
pokok masalah mengapa PTSP di Kabupaten Banyuwangi tidak dapat di
implementasikan secara maksimal. Akibatnya pemohon izin di pusingkan dengan
aturan yang berbelit – belit yang dapat menyita waktu dan tenaga. Mia Octavia
S.H selaku pemohon izin usaha perdagangan (SIUP) menuturkan bahwa:
Saya sendiri kurang faham tentang PTSP, namun yang jelas PTSP adalah
kebijakan yang dibuat pemerintah untuk memudahkan proses pengurusan
izin. Namun ketika saya mengurus izin SIUP, diwajibkan untuk memiliki
izin mendirikan bangunan (IMB) dan tanda daftar perusahaan (TDP)
terlebih dahulu. Belum lagi harus ke BPOM untuk uji layak konsumsi.
Pokoknya ribet dan butuh waktu yang lama untuk mengurus satu perizinan
saja.
Hasil wawancara tersebut menjelaskan bahwa kebijakan PTSP yang
diterapkan DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi tidak berjalan maksimal karena
masih cenderung berbelit – belit dan menyita waktu yang lama. Hal tersebut
dikarenakan terkendalanya oleh regulasi yang kurang memberikan kewenangan
penuh kepada DPMPTSP untuk memproses dan merealisasikan perizinan.
Padahal sudah jelas bahwa dalam PERPRES NOMOR 97 TAHUN 2014 bab I
pasal 1 tentang pengolahan dokumen persyaratan perizinan dan non perizinan
mulai dari tahap permohonan sampai dengan terbitnya dokumen dilakukan secara
terpadu satu pintu yang artinya diproses di satu tempat. Fakta yang terjadi
dilapangan ternyata tidak relevan dengan rumusan kebijakan PTSP yang
dimaksutkan untuk upaya penyederhanaan pelayanan dalam penyingkatan
terhadap waktu, prosedur, dan biaya pemberian perizinan dan non perizinan.
99
b. Masih adanya intervensi politik yang tidak dapat dihindari.
Bupati sebagai kepala daerah yang memiliki jabatan politik tertinggi pastinya
terlibat langsung dalam suatu kegiatan dan didalamnya. Tidak dapat dihindari
masuknya kepentingan politik baik dalam pengambilan keputusan ataupun
pada agenda lainnya mengingat aspek perizinan sangat rentan terhadap
permainan politik dalam memberikan akses izin terhadap investor. Hal
tersebut ditandai dengan adanya beberapa jenis izin yang perlu ditandatangani
langsung oleh Bupati.
c. Masih adanya budaya efek bureaucratism yang mengakar, dan kurangnya
kesadaran diri untuk berinovasi para pegawai dalam menyikapi masalah yang
muncul. Mereka lebih memilih mengikuti arus yang salah daripada harus
terkena sanksi. Hal tersebut dikarenakan kakunya sistem birokrasi yang
membudaya ditambah dengan pimpinan yang kurang inovatif.
d. Masih adanya budaya menunda pekerjaan oleh para pegawai yang
menjadikan suatu tugas ataupun agenda membutuhkan waktu lebih lama
dalam penyelesaiannya.
e. Kurangnya jumlah SDM yang dimiliki DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi
Tidak sebandingnya volume permohonan izin dengan jumlah pegawai yang
dimiliki DPMPTSP kabupaten Banyuwangi menyebabkan seringnya realisasi
perizinan membutuhkan waktu yang melebihi batas penentuan sesuai dengan
SOP dan menjadi masalah internal DPMPTSP Kabupaten Banyuwangi.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab, Solichin, 2012, Analisis Kebijakan (Dari Formulasi ke
Penyusunan Model – Model Implementasi Kebijakan Publik, Bumi Aksara
Abdul Wahab, Solichin, 1997, Evaluasi kebijakan Publik, Malang : Penerbit FIA
UNIBRAW dan IKIP Malang
Agustino Leo, 2008, Dasar-dasar Kebijakan Publik, Bandung : Alfabeta
Alfiani Ekasari, 2014, “Implementasi Kebijakan Pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan di Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Soppeng”
Arikunto, Suharsimi, 2006, Metodelogi penelitian, Yogyakarta, Bina Aksara
Damayanti dkk, 2010, Evaluasi kebijakan penyelenggaraan pelayanan terpadu
satu pintu (PPTSP) : Studi pada Unit Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kabupaten Pasaman
Dokumen Road Map Reformasi Birokrasi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi
2014 – 2018
Dokumen Salinan Peraturan Bupati Banyuwangi Nomer 29 Tahun 2012
Drs. Hessel Nogi S. Tangkilisan, MSi, 2003, “Teori dan Konsep Kebijakan
Publik” dalam Kebijakan Publik yang Membumi, konsep, strategi dan kasus,
Yogyakarta : Lukman Offset dan YPAPI
E. Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Jakarta, Cet
VI, PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar
Hesti Puspitosari, 2011, Filosofi Pelayanan Publik, Malang: SETARA Press
108
http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/banyuwangi-raih-jawara-rencana-aksi-
daerah-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi.html
http://banyuwangikab.go.id/berita-daerah/pemkab-luncurkan-layanan-one-stop-
service.html
http://www.kabarbanyuwangi.info/tv-berbayar-semakin-menggurita.html
http://kbbi.web.id/izin
http://Kompasiana.com/post/read/492171/1/dasar-dasar-wawancara.html
http://majalahbidan.com/rumitnya-mengurus-izin-sipb-di-banyuwangi/
http://sunriseofjava.com/berita-691-pemkab-banyuwangi-luncurkan-pelayanan-
satu-pintu.html
http://www.beritasatu.com/nasional/230903-bupati-optimistis-perekonomian-
banyuwangi-tumbuh-di-atas-pertumbuhan-ekonomi-nasional.html
I Putu Agus Indra Febryana, 2008, “Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Pada Dinas Perijinan Kota Denpasar”
Nawawi, H. Hadari, 2005, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Nugroho, Riant, 2008, Public Policy: Teori Kebijakan – Analisis Kebijakan –
Proses, Jakarta: Elex Media Komputindo
Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua,
Yogyakarta
SAHRIFIN, 2010, “Efektivitas Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan
Terpadu Satu Pintu Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat (Studi
109
Kasus Pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di Kabupaten
Gayo Lues)”
Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D), Bandung, Alfabeta, hal 2
Yusroni, 2012, “Pengaruh Kualitas Pelayanan Terpadu Satu Pintu Terhadap
Kepuasan Masyarakat Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Bangka”
Sri Susanti, 2014, Kualitas Pelayanan Publik Bidang Administrasi Kependudukan
di Kecamatan Gamping
Peraturan Bupati Nomor 59 Tahun 2016
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2011
Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014
Philiphus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Perizinan, Penerbit Yunidika,
Surabaya
Prof. Dr. Budi Winarno, MA, 2007, Kebijakan Publik, teori dan proses, Jakarta :
Media Pressindo
Van Meter, D.S dan Van Horn, C.E, 1975, The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework. Admisitration and Society
Wahyudi Kumorotomo, 2013, Etika Administrasi Negara, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta
wordpress.com/2009/12/28/konsep-pelayanan-umum