Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat...

25
Pemantauan terhadap Implementasi Perda-perda Bermasalah Oktober 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Transcript of Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat...

Pemantauan terhadap Implementasi Perda-perda Bermasalah

Oktober 2008

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

BAB I

PENDAHULUAN A. Gambaran Umum

Sulit dipungkiri bahwa keberadaan Perda-perda Bermasalah – dalam tulisan ini lebih fokus pada Perda-perda bernuansa keagamaan1 - telah menimbulkan perdebatan yang cukup panjang, sejak mulai diundangkan hingga mulai diberlakukannya di tengah-tengah masyarakat. Beberapa kajian terhadap Perda-perda tersebut, baik dari segi teknik pembuatannya maupun isi dan substansinya juga banyak dilakukan oleh para akademisi maupun beberapa institusi yang bergerak di bidang penguatan kajian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pada tahap implementasinya, beberapa Perda Bermasalah tersebut memiliki derajat yang beragam, khususnya dalam hal intensitas pelaksanaannya.

Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat di beberapa tempat, misalnya Kota Padang, Garut, dan Bulukumba menunjukkan bahwa derajat implementasi Perda-perda Bermasalah tersebut memiliki grafik yang bermacam-macam. Di Kota Padang dan Bulukumba misalnya, terlihat lebih intensif dibanding dengan Garut, meskipun pada akhir-akhir ini, di Bulukumba secara umum, implementasi beberapa Perda Bermasalah cenderung menurun.

Apa yang menarik dari hasil pengamatan tersebut adalah bahwa keberadaan dan implementasi Perda-perda tersebut sangat terkait dengan kemauan politik di daerah masing-masing. Di Kota Padang misalnya, pelaksanaan Perda No 6 tahun 2003 tentang wajib mampu baca Alqur’an bagi peserta didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah sangat didukung oleh kebijakan pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan finansialnya. Taman Pendidikan Alqur’an dan juga kegiatan-kegiatan pesantren ramadhan sangat marak karena mendapat dukungan dari Pemerintah Kota. Hal seperti ini sangat tidak terlihat di Bulukumba dan juga Garut yang beberapa bulan terakhir ini lebih disibukkan oleh memanasnya suhu politik lokal.

Naik-turunnya grafik implementasi Perda-perda Bermasalah tersebut menjadi catatan tersendiri yang tampaknya bisa dilihat sebagai suatu keengganan – atau lebih tepatnya ketidaksiapan – dalam memberlakukan Perda. Banyak faktor yang mendukung, seperti tidak terdapatnya suatu institusi dan sumberdaya yang secara khusus melaksanakan dan memantau pelaksanaannya; tidak terdapatnya kesesuaian pemahaman mengenai isi perda antara pemerintah dan masyarakat; kurangnya sosialisasi, dan sebagainya. Kritik yang kerap muncul adalah bahwa keberadaan Perda-perda Bermasalah lebih cenderung bernuansa politis, dibuat serba cepat, dan kurang memerhatikan kondisi kehidupan masyarakat setempat. Dalam beberapa hal, juga terlihat adanya implementasi yang berlebihan karena menyasar ke wilayah kelompok lain yang sepatutnya berada di luar wewenang Perda tersebut.

Dengan mempertimbangkan berbagai persoalan tersebut, maka pemantauan terhadap implementasi Perda-perda Bermasalah tersebut dilakukan, khususnya untuk melihat dan mengukur sejauhmana intensitas dan kemungkinan terjadinya ketidaktepatan pelaksanaannya. Di samping itu, respon dari sebagian kalangan masyarakat termasuk beberapa anggota masyarakat yang merasa ”dirugikan” atau juga ”diuntungkan” oleh keberadaan Perda tersebut juga menjadi perhatian dalam pemantauan ini.

1 Dalam pemantauan ini, Perda-perda yang dipantau adalah Perda Kota Padang No 06 Tahun 2003 tentang Wajib Pandai Baca Tulis bagi Peserta Didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah dikaitkan dengan Instruksi Walikota Padang No 451.442/Binsos-iii/2005 tentang Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh dan Anti Togel/Narkoba serta Berpakaian Muslim/Muslimah bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTs dan SLTA/SMK/MA di Padang; Perda Kab Bulukumba No 6/2003 tentang Pandai Baca Tulis Alqur’an bagi siswa dan calon pengantin; dan Perda Kab Garut No 2 tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat.

b. Maksud dan Tujuan

Pemantauan ini dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mengetahui secara langsung posisi dan sikap berbagai komponen masyarakat terhadap keberadaan Perda-perda Bermasalah, memantau intensitas pelaksanaannya, dan mendokumentasikan kesaksian para pihak yang merasa dirugikan dan/atau menjadi ‘korban’ dari pelaksanaan perda-perda tersebut.

Pemantauan ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi pelaksanaan Perda khususnya yang berkaitan dengan kompatibilitas dan efektifitasnya sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan dalam upaya membenahi berbagai kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam proses pembuatan dan implementasi berbagai peraturan publik yang dibuat oleh setiap pemerintah lokal di Indonesia.

c. Hasil yang diharapkan

Pemantauan ini menghasilkan beberapa hal penting, yaitu: 1. Gambaran umum mengenai konteks lahirnya Perda-perda Bermasalah 2. Respon (kritik, resepsi, penolakan) beberapa komponen masyarakat dan

pemerintah daerah terhadap keberadaan dan pelaksanaan Perda 3. Dokumentasi kesaksian beberapa anggota masyarakat yang merasa dirugikan atau

menjadi ‘korban’ dari pelaksanaan Perda-perda tersebut.

d. Wilayah dan Fokus Pemantauan Pemantauan ini dilakukan di tiga daerah, meliputi kabupaten Bulukumba (Sulawesi

Selatan), Kota Padang (Sumatera Barat), dan Kabupaten Garut (Jawa Barat). Salah satu pertimbangan dari pemilihan ketiga daerah tersebut adalah bahwa daerah-daerah tersebut, telah diketahui sebagai daerah yang intensif memproduksi Perda yang mengatur moralitas dan perilaku keagamaan masyarakat juga merupakan daerah yang telah menjadi sasaran pengamatan beberapa waktu sebelumnya.

Fokus pemantauan ini ditujukan pada; Pertama, intensitas atau juga gradasi implementasi Perda di masing-masing daerah pemantauan. Kedua, respon beberapa komponen masyarakat dan pemerintah daerah terhadap keberadaan perda-perda bermasalah. Ketiga, suara dan kesaksian para pihak yang menjadi ‘korban’ dari pelaksanaan Perda tersebut.

e. Metode

Pemantauan ini dilakukan dengan cara melihat secara langsung terhadap berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan Perda-perda tersebut. Secara teknis, pemantauan ini juga didukung melalui wawancara mendalam terhadap beberapa pihak yang dinilai memiliki kapasitas untuk menjelaskan situasi lokal sebagai konteks lahir dan pelaksanaan Perda, kunjungan dan observasi tempat-tempat khusus (seerti masjid, sekolah, warung, pantai, dan sebagainya) yang menjadi lokasi sasaran pelaksanaan Perda, serta wawancara khusus dengan pihak korban.

Keseluruhan cara tersebut dilakukan untuk mendapatkan suatu gambaran dan dokumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Meskipun harus dikui pula bahwa cara-cara yang telah dilakukan tersebut belum menyasar seluruh komponen masyarakat, tetapi paling tidak, beberapa pihak yang telah menjadi bagian dari pemantauan – seberapapun kecil dari segi kuantitasnya – tetap penting untuk dipertimbangkan sebagai bagian dari suara masyarakat.

BAB II

KONTEKS KEMUNCULAN PERDA

A. Gambaran Umum Tiga Wilayah

Setelah kelahiran Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi undang-undang No 32 tahun 2004, tentang otonomi daerah, beberapa daerah di Indonesia mulai melakukan inisiatif-inisiatif untuk mengembangkan potensi daerahnya masing-masing, mulai dari gegapnya pemilihan kepala daerah hingga hingar-bingar membentuk identitas daerah masing-masing. Dalam konteks Sumatera Barat misalnya, salah satu kebijakan daerah yang dikembangkan adalah kembali menerapkan bentuk pemerintahan nagari.2 Sebagian besar kalangan menganggap kebijakan tersebut sangat positif dan strategis karena akan terjadi desentralisasi kewenangan dari serba pusat (Jakarta), menuju keterwujudan pemerintah daerah yang lebih memerhatikan kesejahteraan masyarakat lokal.

Selain untuk keperluan desentralisasi kekuasaan atau kewenangan dalam pengertian geografis, dengan kembali pada sistem pemerintahan bernagari, juga diharapkan "the land of Minangkabau", dengan adagium adat ’’adaek basandi Syara’, syara’ Basandi Kitabullah, syara’ magato adaek mamakai’’3 dimana nagari-nagari menjadi lebih berdaya dengan diperankannya kembali ninik mamak alim ulama, cadiak pandai4 selaku kontrol sosial di tengah masyarakat, namun juga identitas ’’keIslaman’’ dapat diwujudnyatakan.

Perdebatan kemudian muncul nagari model apa dan kapan yang kemudian akan dirujuk, karena sistem pemerintahan nagari telah mengalami dinamisasi, misalnya bentuk pemerintahan nagari sebelum datangnya pendatang asing, seperti Islam, Barat, nagari zaman Orde Lama, atau nagari pada masa Orde Baru. Persoalan lainnya yang kemudian muncul, pada satu sisi ada tuntutan menggebu bagaimana Sumatera Barat dalam pengertian Minangkabau tetap menjadi otentik, karena di Sumatera Barat umumnya dan Kota Padang khususnya adalah daerah dimana telah secara turun-temurun telah terjadi, “kedekatan” antara adat dan tradisi lokal dengan agama sangat kuat. Dalam banyak hal sulit dipisahkan walaupun mudah dibedakan. “Kedekatan” ini cukup “mengikat” dan “menyatu”. Agama menjadi tergantung pada adat atau tradisi setempat, sebaliknya –adat atau tradisi mendapatkan “muatan” agama, sehingga dalam beberapa kasus di beberapa daerah tertentu, dimana keduanya “menyatu”, sikap adat atau tradisi menjadi sama dengan sikap agama. Atau sikap agama terhadap persoalan setempat menjadi sama dengan sikap adat atau tradisi setempat.

Sementara pada sisi lainnya, realitas di tengah masyarakat telah terjadi perubahan yang begitu dahasyat, masyarakat Sumatera Barat seperti halnya masyarakat lainnya dihadapkan dengan modernisasi berikut segala konsekuensinya yang menuntut terjadinya perubahan kedepan yang lebih dinamis yang dalam banyak kasus telah menggugat segala bentuk kemapanan. Kegamangan-kegamangan mulai bertambah ketika sistem kekerabatan komunal mulai terkikis dengan habisnya tanah ulayat sebagai alat produksi dalam bernagari. Persoalan-persoalan ini semakin memperumit keinginan untuk meneguhkan identitas kedaerahan Minangkabau.

2 Nagari dalam konsep tradisional Minangkabau dipahami sebagai satu-kesatuan adat, ulayat di Sumatera Barat, atau semacam republik mini yang pernah di kenal dalam sejarah Yunani Kuno. Akan tetapi Nagari dalam pengertian administratif kemudian dipahami sebagai pemerintahan terendah seperti halnya desa di Jawa, Nanggro di Aceh, Marga di Tapanuli, kampong di Palembang dan sebagainya. 3 Adat bersendikan syara’ (agama), syara’ bersendikan kitabullah (Alqur’an), syara’ mengata, adat memakainya. 4 Ninik mamak, Alim ulama, Cadiak Pandai, disebut sebagai tiga tungku sejarangan yang berfungsi melakukan proses pembagunan di Nagari sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial dalam masyarakat nagari tempo dulu.

Tidak jauh berbeda dengan Bulukumba dan Garut. Keduanya juga dikenal banyak kalangan sebagai daerah yang memiliki pengikut Islam mayoritas. Menurut data 2006, dari jumlah penduduk Bulukumba yang tercatat sebanyak 383.870 jiwa; 375.187 jiwa atau 99,75% yang memeluk agama Islam. Meski demikian masyarakat Bulukumba tidak bisa disebut masyarakat homogen, disana juga terdapat agama lain. Sekitar 473 jiwa atau 0,13% memeluk agama Kristen Protestan, 214 jiwa atau 0,06% memeluk agama Kristen Katolik, 212 jiwa atau 0,06% memeluk agama Budha dan 21 jiwa atau 0,05% memeluk agama Hindu.

Sedangkan di Kabupaten Garut sendiri, berdasarkan data statistik kependudukan tahun 2007, jumlah pemeluk agama Islam di Kabupaten Garut sebesar 2.225.241 jiwa dari jumlah penduduk Garut 2.274.973 jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang, mubaligh 3.618 orang dan khotib 5.917 orang. Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kabupaten Garut sebanyak 988 buah dengan jumlah santri mukim 64.586 orang dengan pengasuh 6.244 orang. Adapun jumlah masjid 4.297 buah, langgar 6.677 buah dan mushola 3.571 buah. Wajar jika kemudian Garut dikenal sebagai gudangnya santri dan kyai.

Hanya saja, data-data statistik seperti itu tidak serta-merta menjadi referensi utama dalam menggambarkan kehidupan keagamaan di masing-masing daerah. Keberislaman masyarakat di Bulukumba dan di Garut tetap berjalan dinamis karena selalu berinteraksi dengan konteks lokalitasnya. Sehingga keinginan untuk membuat regulasi berdasarkan aturan agama secara ketat justru berpotensi mubadzir karena setiap warga masyarakat memiliki rujukan dan bayangan sendiri mengenai tata-cara melaksanakan ajaran agama mereka.

Tampaknya, yang lebih patut dibaca adalah bahwa kemunculan berbagai Peraturan Daerah yang mendasarkan diri pada semangat agama tertentu merupakan terjemahan dari hasrat politik ketimbang keinginan dari masyarakat sendiri. Sehingga menjadi menarik untuk dilihat adalah bahwa setelah pemberlakuan Otonomi Daerah, kecenderungan untuk memperkuat basis keagamaan dalam berbagai kebijakan daerah sebagai salah satu bagian dari upaya penguatan identitas masyarakat lokal, yang ternyata sangat memperlihatkan adanya hasrat politik itu.

1. Konteks Lahirnya Perda

Lahirnya Perda-perda Bermasalah di tiga wilayah pemantauan ini mengalami proses

yang berbeda-beda meskipun terdapat beberapa pola yang hampir mirip. Di Kota Padang misalnya, pada 18 Desember 2003 Pejabat Pemerintah Kota Padang dengan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Padang telah menyetujui Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 mengenai pandai baca Alqur’an bagi peserta didik sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah. Kebijakan tersebut didasari oleh pertimbangan dalam rangka mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan visi dan misi Kota Padang perlu diadakan pendidikan baca tulis Alqur’an bagi umat Islam sedini mungkin.5 Namun perda dimaksud kemudian baru efektif tahun 2006/2007 atau kira-kira dua tahun sejak disetujuinya perda ini.

Tampaknya, karena Perda tersebut memerlukan penguat kebijakan agar bisa diimplementasikan lebih efektif, maka pada 07 Maret 2005 Walikota Padang mengeluarkan instruksi dengan nomor 451.422/Binsos-iii/2005 tentang pelaksanaan wirid remaja didikan subuh dan anti togel/narkoba serta berpakaian muslim/muslimah bagi murid/siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA di Padang. Adapun instruksi tersebut yang

5 Lihat bagian “Menimbang” huruf b, c dan d perda no 6/2003.

ditujukan pada Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Kepala Kantor Departemen Agama Kota Padang, Ketua DMI Kota Padang, Camat se Kota Padang serta Lurah sekota Padang dengan 12 instruksi dimana pada poin kesepuluh berbunyi; ’’ Bagi murid/siswa SD/MI,SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MAN se Kota Padang diwajibkan berpakaian Muslim/Muslimah yang beragama Islam dan bagi non Muslim dianjurkan menyesuaikan pekaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang bagi laki-laki)’’6

Menelaah Instruksi Walikota ini menjadi penting karena bersamaan dengan instruksi Walikota Padang inilah kemudian Peraturan Daerah No. 6/2003 menjadi efektif diimplementasikan bagi kelompok sasaran. Pada 30 Maret 2005 Dinas Pendidikan Kota Padang mengirimkan surat pengantar Instruksi Walikota Padang yang ditujukan untuk kepala SMP,SMA, SMK Negeri/ Swasta dan dan Kacabdin Pendidikan beserta SD yang berda dalam jajarannya untuk mensosialisaikan Instruksi Walikota Padang dimaksud dan untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.7

Jika lahirnya Perda No: 6/2003 tidak terlalu mencuatkan perdebatan, sebaliknya implementasi Instruksi Walikota tersebut ternyata memancing kontroversi dalam beberapa hal, misalnya dalam hal memahami apakah implementasi peraturan tersebut hanya untuk siswa/i yang muslim saja atau seluruhnya karena pada faktanya banyak terdapat siswa/i non-muslim yang kedapatan terkena efek dari pemberlakuan instruksi tersebut.

Sedangkan di Bulukumba, konteks lahirnya Perda No 6/2003 tentang baca tulis Alqur’an bagi Peserta Didik Sekolah dan Calon Pengantin tidak terlepas dari usulan beberapa pejabat daerah yang ingin membuat payung hukum bagi efektifitas pelaksanaan program pemerintah daerah yang disebut dengan Crash Program Keagamaan. Proses yang diusulkan oleh Tjamiruddin, selah satu penggagas Perda yang saat itu menjabat Ketua Tanfidziah NU dan Kepala DEPAG Bulukumba kepada Bupati Patabai Pabokori ternyata mendapat dorongan dari kelompok KPPSI dan Jundullah. Kamaluddin Jaya, selaku ketua Muhammadiyah yang juga ketua dewan syuro KPPSI Bulukumba mengatakan bahwa “pembuatan perda-perda ini merupakan kebutuhan masyarakat dan direspon dengan baik karena masyarakat Bulukumba adalah mayoritas muslim.”8

Sementara di Kabupaten Garut, lahirnya Perda No 2/2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat didorong oleh anggapan sebagian pejabat pemerintah daerah mengenai tidak efektifnya Perda No 6/2000 tentang Kesusilaan. Sehingga dengan adanya Perda No 2/2008 diharapkan bisa menjadi payung hukum yang lebih jelas dan tegas bagi keinginan sebagian komponen masyarakat dan pemerintah daerah Garut untuk mewujudkan visi dan misi Kabupaten Garut, yaitu: Garut Pangirutan Tata Tengtrem Kerta Raharja menuju Ridla Allah SWT.

2. Beberapa Kecenderungan

Setelah diberlakukan Perda-perda bermasalah, terdapat beberapa kecenderungan dan

fakta-fakta lapangan yang cukup menarik yang terjadi di masing-masing daerah. Di Padang misalnya, implementasi Perda No 6/2003 di lapangan menjadi sangat efektif bersamaan dengan adanya instruksi Walikota Padang, yang dalam wujud nyatanya menjadi begitu menonjol pada saat masuknya bulan Ramadhan. Berdasarkan keterangan langsung dari

6 Lihat isi poin kesepuluh Instruksi Walikota Padang nomor 451.422/Binsos-iii/2005 tentang pelaksanaan wirid remaja didikan subuh dan anti togel/narkoba serta berpakaian muslim/muslimah bagi murid/siswa SD/MI, SLTP/MTS dan SLTA/SMK/MA di Padang. 7 Lihat alinea 2 surat pengnatar Dinas Pendidikan Kota Padang tanggal 30 Maret 2005 8 Wawancara H. Kamaluddin Jaya, tanggal 7 September 2008

Walikota Padang bahwa untuk menindaklanjuti kebijakan walikota yang telah diinstruksikan sejak tahun 2005 dari tahun ke tahun kegiatan pesantrean ramadan dan kegiatan keagamaan terus ditingkatkan baik dari sisi kuantitas maupun kuantitasya. Demikian halnya sejak dikeluarkannya Instruksi Walikota Padang tahun 2005, maka setiap bulan ramadhan Pemerintah Kota Padang membuat tim ramadhan untuk mensosialisasikan kebijakannya melalui masjid-masjid dan mushalla.

Menghadapi ramadhan tahun 2008 (1429 H) ini, diduga bersamaan dengan gencarnya kampanye memperebutkan kursi walikota Padang, selaku calon incumbent, Fauzi Bahar membuat beberapa kebijakan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan pesantren ramadhan. Adapun beberapa kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Padang adalah sebagai berikut; a. Dalam rangka melatih generasi muda yang disiplin dan mencintai masjid, kepada

seluruh siswa terutama mulai dari SMP sampai SMA diharuskan mengikuti kegiatan Subuh Mubarokah

b. Selama bulan ramadhan, seluruh pelajar SD, SMP maupun SMA di liburkan dari kegiatan sekolah. Kegiatan proses pembelajaran, dialihkan dengan menggelar kegiatan keagamaan berupa pesantren ramadhan di masjid/mushalla sebagaimana telah dilangsungkan dua tahun terakhir. Kegiatan itu dimulai dari 15 September hingga 8 Oktober 2008. Dimana, setiap Senin hingga Kamis dan Sabtu, kecuali Jumat dan Minggu aktivitas pesantren diliburkan. Dari pukul 05.00-09.00 WIB, kegiatan pesantren ramadhan diikuti pelajar SMA, SMK dan MAN. Pukul 09.00-12.00 WIB, diikuti pelajar SD dan MIN, dan pukul 13.00-16.00 WIB diikuti pelajar SMP dan MTS. Sementara pada malam harinya diisi kegiatan tarawihan dan tadarusan".

c. Untuk keperluan pelaksanaan pesantren ramadhan Pemerintah Kota Padang telah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBD 2007 lebih kurang Rp 2,2 milyar atau tepatnya Rp 2.025 milyar yang dialokasikan untuk seluruh siswa kota Padang sejak dari SD minimal kelas 4 sampai dengan SMA. Dana tersebut akan diberikan untuk masjid/Mushala yang melaksanakan kegiatan pesantren ramadhan, dimana masing-masing masjid/mushala mendapat bantuan sebayak Rp. 1 juta bagi yang mempunyai peserta pesantren, jika ternyata terdapat masjid yang memiliki jumlah siswa lebih dari 100 orang siswa maka dari kelebihan tersebut masing-masing peserta akan disubsidi Rp. 15.000,-.

d. Pelaksanaan pesantren ramadhan tahun ini tidak hanya bagi siswa/i, muslim juga berlaku bagi siswa-siswi non muslim, dimana selama ramadhan melaksanakan kegiatan keagamaan di tempat ibadahnya masing-masing, Pemerintah Kota Padang juga membantu pembiayaannya.

e. Menginstruksikan agar semua warung makanan atau rumah makan ditutup pada siang hari selama bulan ramadhan melalui imbauan bersama Walikota, DPRD Padang, MUI Kota Padang, dan Lembaga Karapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Kota Padang kecuali untuk daerah pondok (pondok adalah daerah pe-cinan di Padang), selain itu menghimbau kepada masyarakat non-muslim agar menghormati umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah puasa, dan jika nantinya terdapat pihak pengusaha membandel, dan melakukan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut setelah diperingatkan, dan tidak digubris, maka Pemerintah Kota Padang akan menutup dan mencabut izin usaha tersebut usai bulan Ramadhan. Tim dan komponen masyarakat lainnya dipersilahkan untuk melakukan pengontrolan".

f. Bahwa untuk mendukung kebijakannya, Pemerintah Kota Padang telah membuat surat himbauan bersama yang ditandatangani oleh Walikota Padang, DPRD Padang, MUI Kota Padang dan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) kota Padang.

Sedangkan di Bulukumba, setelah terjadi pemberlakuan Perda No 6/2003 juga terjadi beberapa kecenderungan dan fakta-fakta yang menarik, khususnya yang ditemukan di beberapa Desa Muslim di Bulukumba, di antaranya:

a. Pembentukan TK,TPA setiap masjid/mushalla b. Pembentukan TPA orang tua disetiap RT/RW /Dasawisma c. Mengadakan penataran guru mengaji d. Pengadaan Alqur’an melalui gerakan waqaf Alqur’an e. Mengadakan lomba baca tulis Alqur’an setiap Pelaksanaan hari besar islam

Disamping itu juga diadakan pembinaan guru-guru mengaji dengan cara sebagai berikut :

a. Mengadakan pelatihan guru mengaji metode Iqra dan metode albarqi b. Memberikan tunjangan bulanan melalui sumbangan tetap pelanggan listrik c. Membagikan zakat setiap 6 (enam) bulan d. Menerima sumbangan wajib dari santri setiap selesai panen e. Menerima biaya pembinaan guru TK-TPA setiap tahun dari Pemerintah Desa Meskipun upaya-upaya tersebut dilakukan, tetapi jumlah santri yang belajar di TPA

relatif stabil dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan karena secara empirik, masyarakat di Bulukumba sudah terbiasa dengan belajar mengaji. Artinya, ada atau tidak adanya Perda tersebut tidak berdampak secara signifikan bagi peningkatan kuantitas santri di Bulukumba. Memang pernah terjadi bahwa dorongan secara terus menerus oleg Bupati Kala itu, Patabai Pabokori, sempat membuat proses pembelajaran di TPA semakin gencar.

Di desa Tamaona, kecamatan Kindang, proses pembelajaran TPA pada waktu pemerintahan Patabai juga berlangsung dengan ketat. Seperti dijelaskan oleh Siri Sulistiwati salah satu guru TPA Masjid Al-Jamiah dan TPA SD 302 LATTAE, bahwa di desa itu juga setiap TPA membebankan kepada santrinya pembayaran bulanan. Menurut ketetapan BKPRMI (badan Kordinasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia) biaya yang dibebankan kepada santri adalah Rp.10.000 perbulan. Namun karena orang tua santri merasa berat, maka pembayaran, khususnya di TPA yang dia bina diturunkan menjadi Rp.3.500. Proses pelaksanaan belajar mengaji ini diakui oleh Siri meski berlangsung dengan cukup disiplin, tapi murid-murid senang datang, mereka berlomba-lomba ikut mengaji. Apalagi biasanya yang lulus dengan baik akan mendapat hadiah. Pada saat wisuda, biasanya juga Bupati saat itu Patabai Pabokori, datang menghadiri.9

Di beberapa TPA, proses belajar mengaji bahkan diawali dengan penandatanganan surat perjanjian antara santri dengan pihak TKA/TPA. Misalnya di TPA al-Amanat, santri harus menandatangani kesepakatan yang isinya :

a. Akan tetap rajin mengaji sampai mengkhatamkan 30 juz Alqur’an b. Bila dikemudian hari, berhenti sebelum mengkhatamkan Alqur’an, maka SANGAT

SETUJU bila tidak diberikan sertifikat. Tapi saat itu ada beberapa persoalan yang muncul. Pertama, persoalan yang dialami oleh

guru-guru mengaji yang dikontrak. Menurut pengakuan salah satu guru ngaji kontrak Nurbaya, gaji yang diberikan tidak semuanya, sudah mengalami pemotongan. Sebelumnya diberitahukan bahwa gaji para guru mengaji yang sudah dikontrak oleh Pemda sekitar Rp.300.000, namun biasanya yang sampai ke guru-guru mengaji hanya Rp.150.000.10 Kedua , keinginan beberapa santri untuk mengaji lebih didasarkan pada ketakutan tidak bisa melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. Sehingga banyak terjadi pula pembelian sertifikat dari TPA oleh orangtua santri sebagai bukti kelulusan mengaji. Hal ini

9 Wawancara Siri Sulistiwati (Guru TPA 302 Lattae dan mesjid al-Jamiah), 13 November 2008 10 Wawancara Nurbaya (guru ngaji di desa Tamaona), 10 September 2008

diakui oleh Nurmala R, S.Ag, Kepala Sekolah TPA, al-Amanat. Menurutnya beberapa pejabat mendatangi TPA-nya meminta agar bisa diberikan sertifikat. Bahkan ada yang mau membayar tinggi yang penting sertifikatnya keluar. TPA-nya tidak mau memberkan sertifikat, jika seorang santri belum pernah belajra mengaji ditempatnya. Namun dia mengakui bahwa ada juga TPA di Bulukumba yang mau mengeluarkan sertifikat palsu, bila dibayar. Menurutnya sertifikat mengaji itu akhirnya menjadi alat untuk mencari keuntungan.11 Ketiga, dengan munculnya TKA/TPA ini membuat tradisi pengajian-pengajian kampung hilang. Tradisi pengajian kampung yang telah berjalan sekian lama di tiap-tiap desa mulai meredup. Kebiasaan mengaji di kampung dimana seorang guru mengaji didatangi santrinya di rumah untuk belajar mengaji di sore hari, dan sebagai balas jasanya santri membawakan hasil kebun, atau mengangkatkan air untuk gurunya, lalu berlanjut dengan acara khatam Alqur’an yang disebut dengan mappatamma atau anganre tamma, juga mulai surut.

Sementara di Kabupaten Garut, karena mungkin baru disahkan pada Januari 2008 yang lalu, Perda No 2/2008 tentang Perbuatan Anti Maksiat itu belum sepenuhnya memperlihatkan adanya kecenderungan atau kejadian-kejadian langsung yang berkaitan dengan Perda tersebut. Selain itu, situasi politik garut yang terus memanas akibat protes yang terus dilayangkan oleh sebagian warga masyarakat terhadap kepemimpinan Bupati Agus Supriyadi membuat Perda Anti Maksiat ini cenderung terabaikan.

Dede Suherman, selaku Kepala Satpol PP Kabipaten Garut menjelaskan bahwa implementasi Perda tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan secara optimal karena terkendala dan/atau belum terpenuhinya fasilitas yang berkaitan dengan tujuan tercapainya peraturan tersebut. Seperti anggaran yang minim, tempat pembinaan (rehabiliatasi) secara khusus tidak ada, pelatihan-pelatihan jarang dilakukan, dll. Akhirnya yang terjadi adalah “pembinaan” yang bersifat informatif dan sesaat, tidak substansif, hanya diberitahukan bahwa pelaku melanggar peraturan tersebut.

Adapun tempat-tempat yang sering menjadi titik operasi yaitu: lapangan golf Ngamplang, Alun-alun Garut, Kawasan wisata Cipanas, terminal Guntur, kawasan Kerkhof, dan tempat-tempat lain yang secara geografis berada tidak jauh dari pusat kota Garut. Sedangkan yang jaraknya jauh belum sepenuhnya tersentuh, kalaupun tersentuh kemudian dilakukan operasi, hal itu dilakukan setelah menerima laporan atau pengaduan dari mayarakat setempat.

4. Respon Masyarakat

Respon terhadap implementasi Perda-perda Bermasalah tersebut sangatlah beragam.

Di Kota Padang misalnya, berdasarkan pemantauan di lapangan, hampir seluruh unsur masyarakat yang ditemui menyatakan mendukung kebijakan Pemerintah Kota tersebut. Respon positif atas kebijakan walikota tersebut tidak saja muncul dari kalangan penggagas dalam hal ini Pemerintah Kota mapun DPRD Kota Padang, melainkan juga muncul dari kalangan akademisi, ormas, sebagian besar masyarakat yang dikonfirmasi maupun dari kelangan partai politik. Sekalipun terdapat kelompok kecil dari masyarakat yang keberatan, ternyata umumnya hanya berkaitan dengan persoalan teknis. Sementara respon yang sedikit berbeda muncul dari beberapa kalangan aktivis LSM di Padang. Gambaran tentang respon masyarakat dapat dikelompokkan sebagai berikut.

a. Respon Kalangan akademisi

Kalangan akademisi sikapnya beragam dalam merespon perda-perda wajib baca Qur’an dan instuksi walikota Padang tentang pesantren ramadhan. Sebagian besar

11 Wawancara Nurmala, S.Ag (Kepala TKA/TPA al-Amanat Bulukumba), 14 November 2008

akademisi yang ditemui terutama dari kalangan praktisi hukum mengatakan bahwa munculnya perda-perda semacam itu merupakan bentuk dari keberagaman hukum dan tidak masalah karena hal itu merupakan bahagian dari demokrasi. Seandainya ada kelompok-kelompok yang keberatan silahkan saja mengajukan judicial review, namun pada dasarnya perda-perda semacam itu tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku.

Selain itu bahkan sebagian dari kalangan perguruan tinggi ternama di Sumbar menjadi konsultan atas perda-perda tersebut, ada yang menjadi ketua amil zakat, penasehat agama. Selain itu menurut kelompok akademisi yang mendukung perda dan instruksi walikota Padang juga berpendapat bahwa ditengah-tengah ketidakpastian hukum, selian itu sistem negara yang tidak stabil, maka diperlukan aturan-aturan yang akan dapat memberikan arah moral bagi masyarakat, hal itu dimungkinkan karena negara Indonesia bukanlah negara sekuler. Selain itu dalam rangka otonomi daerah, perda semacam itu sah-sah saja, karena telah nyata bahwa beberapa peraturan hukum berdasarkan hukum adat dan hukum agama telah mewarnai produk peraturan hukum di Indonesia.

Sementara itu beberapa akademisi kritis menganggap pemerintah kurang kerjaan, kenapa harus mengurusi hal-hal yang privat seperti itu, tugas pemerintah bukan itu, namun bagaimana menciptakan kesejahteraan umat, bagaimana mutu pendidikan bisa baik dan murah. Bahkan ada yang beranggapan bahwa kebijakan itu merupakan bentuk lain manipulasi pemerintah untuk menutupi kebobrokan pemerintah dan tidak mampu dalam melaksanakan tugas yang sesungguhnya. Menurut kelompok ini, kebijakan semacam itu akan kontraproduktif berkaitan dengan kebijakan yang lain, misalnya disatu sisi pemerintah mewajibkan siswi memakai jilbab, namun disisi lain pemerintah juga menempuh kebijakan pembangunan mall atau pasar-pasar modern, dimana di dalamnya memamerkan model pakaian yang ketat atau celana bermerek, sehingga bisa jadi mereka berjilbab, namun baju dan celananya ketat dan memperlihatkan lekuk tubuh.

Namun demikian, baik dari kalagan akademisi yang mendukung kebijakan walikota maupun yang bersikap kritis sama-sama tidak setuju jika munculnya perda dan instruksi tersebut dikaitkan dengan isu menguatnya gerakan ideologis yang ingin mengubah sistem negara, bagi mereka peraturan semacam itu tidak lebih sebatas tuntutan politik yang menurut kelompok kritis hanya adanya kecenderungan politisasi agama untuk kebutuhan pemilu, sebab di Padang sebagain besar masyarakat kalau sudah bicara agama umumnya kehilangan daya kritisnya.

b. Respon Ormas Islam dan elit agama Beberapa ormas Islam seperti Muhammadiyah, HTI, KPSI, Forum Tokoh

Penegak Syari’at menjadi pendukung utama atau paling tidak menjadi tempat konsultasi atau yang dimintai sebagai pertimbangan oleh Pemerintah Kota dalam merumuskan perda-perda bernuansa agama, bahkan dari beberapa diskusi terbaca bahwa mereka merupakan salah satu unsur yang mendorong terbentuknya perda-perda dimaksud. Dari beberapa wawancara yang dilakukan, terlihat bahwa semua pimpinan ormas menyambut positif dan mendukung keberadaan peraturan daerah bernuansa agama, bahkan mengatakan itu merupakan perpanjangan tangan dakwah ormasnya yang direspon dan dilakukan pemerintah.

Bagi ormas Islam, kebijakan walikota tersebut merupakan bentuk konkret respon pemerintah terhadap suara masyarakat. Sebagai masyarakat yang memiliki falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah maka kebijakan walikota Padang baik menyangkut pesantren ramadhan, selain itu pesantren ramadhan merupakan bentuk kongkrit dari kembali ke surau, sehingga kebijakan semacam itu patut didukung.

Berkaitan dengan adanya temuan lapangan terdapat oknum non muslim yang menjadi korban, menurut pendapat kalangan ormas hal itu merupakan persoalan yang bisa dikomunikasikan, sebab untuk kasus pelaksanaan pesantren ramadhan semua siswi tanpa membeda-bedakan mendapat bantuan biaya untuk melaksanakan kegaiatan keagamaannya masing-masing, sehingga tidak ada alasan kalau ada anggapan bahwa pemerintah berlaku diskriminatif dalam kebijakan pemajuan kehidupan beragama. Sementara berkaitan dengan kasus non-muslim yang memakai jilbab, dalam instruksi walikota tidak mewajibkan bagi non muslim, selain itu masalah pakaian menurut kalangan ormas itu masalah budaya. Saat ini sebagian besar masyarakat Padang sudah memakai pakaian yang menutup aurat, maka seharusnya non muslim dapat memaknai itu sebagai budaya, pakaian itu sebagai fashion bukan bernilai ibadah. Hanya saja, menurut pendapat ormas semua ajaran agama menyukai pakaian yang sopan.

Sehubungan dengan masih maraknya kalangan masyarakat yang masih berjualan makanan pada siang hari pada bulan ramadhan, atau masyarakat yang belum memakai jilbab, pemuka agama dengan cepat akan mengatakan bahwa masyarakat tidak paham agama. Namun ketika kepada mereka dikonfirmasi berkaitan dengan isu-isu HAM dan demokrasi, maka mereka akan dengan mudah mengatakan bahwa HAM itu produk Barat atau produk Amerika yang bertentangan dengan nilai Islam.

Seperti halnya kalangan akademisi, kalangan ormas juga tidak melihat bahwa perda-perda yang bernuansa agama atau khususnya di Padang ada gerakan bawah tanah dari kelompok ideologis yang ingin merobah idelogi negara dengan Islam, terutama di Sumatera Barat dan kota Padang khususnya. Bagi kalangan ormas Islam itu negara kesatuan republik Indonesia sudah final. Dan keberadaan kelompok Islam garis keras di Padang tidak akan mendapat tempat.

c. Respon Pengambil Kebijakan, DPRD/Unsur Pemerintah Kota/Pol. PP Berkaitan dengan adanya perda No 6 tahun 2003 tentang wajib pandai baca tulis

Alqur’an terjadi kesimpangsiuran informasi, dimana beberapa anggota DPRD Kota Padang dikonfirmasi, sebagian mereka tidak mengetahui kalau ada perda Nomor 6 tahun 2003, yang mereka ketahui hanyalah Instruksi Walikota Padang tentang pesantren ramadhan yang di dalamnya memuat dua belas poin instruksi. Barulah kemudian ketika naskah perda diperlihatkan, beberapa anggota DPRD yang ditemui mengatakan bahwa perda itu muncul sebelum periode 2004 – 2009, dan saat itupun yang ada adalah pejabat sementara karena belum ada walikota definitif.

Namun pada intinya semua anggota DPRD Padang yang sempat dikonfirmasi dan dimintai responnya terhadap keberadaan perda mereka mendukung sepenuhnya, kecuali satu orang anggota DPRD kota Padang yang berasal dari PDIP yang kebetulan dari kalangan non muslim, menyatakan bahwa perda semacam itu memperlihatkan bahwa para pengambil kebijakan tidak aspiratif tehadap realitas kemajemukan. Sebagian besar anggota DPRD Padang yang ditemui mendukung perda-perda semacam itu dan mengatakan bahwa perda itu muncul karena adanya aspirasi masyarakat kota Padang yang melihat realitas mulai banyak anak muda yang tidak lagi mampu baca tulis Alqur’an, oleh karena itu dalam rangka kembali ke Surau maka perda-perda seperti itu diperlukan.

Selain itu, saat ini sudah ada ranperda zakat yang sedang dibahas, perda zakat ini diharapkan akan selesai pertengahan tahun 2009, adapun tujuan adanya perda zakat adalah untuk mengelola dana umat yang sesungguhnya potensial, dengan demikia diharapkan dana umat yang banyak itu akan bisa dikumpulkan dan akan didistribusikan kepada yang berhak secara transparan.

Bagi beberapa orang anggota DPRD Padang yang ditemuai bahwa perda-perda semacam itu tidak bertentangan dengan undang-undang, sebab di Indonesia sudah ada

undang-undang zakat, undang-undang haji dan sebagainya, jadi tidak benar kalau perda semacam itu tidak memiliki payung hukum. Dari salah seorang anggota DPRD Padang yang ditemui, sempat menjawab sinis, kenapa kalau dari kalangan Islam membuat perda yang sedikit bernuansa Islam, kemudian banyak kalangan yang ribut dan membawa-bawa isu HAM. Kenapa kasus di Bali dengan isu ajeg Balinya tidak mendapat sorotan, demikian juga ketika perayaan Nyepi umat Islam juga harus ikut merayakan, sementara Padang yang penduduknya mayoritas Islam, membuat perda yang menjadi dikhususkan bagi umat Islam lalu dipersoalkan.

Sementara menurut mantan kepala biro Hukum Pemerintah Kota Padang yang saat ini menjabat sebagai kepala Binsos, Zabendri, SH, mengatakan kebijakan walikota merupakan prestasi yang telah berhasil mengembalikan Padang kepada adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah. Kebijakan itu menurutnya harus didukung terutama bagi mereka yang mengaku sebagai orang Islam. Namun ketika dikonfirmasi kenapa dirinya justru menyekolahkan kedua anaknya ke SMA Don Bosco Padang yang notabenenya adalah sekolah Katolik dan tidak menerapkan pemakaian jilbab, yang bersangkutan berkilah, di SMA DB lebih bermutu dan mengajarkan sikap nasionalisme, pakaian hanya fashion yang tidak diharuskan. Senada dengan yang disampaikan oleh Binsos Kota Padang, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Pemerintah Kota Padang menyatakan bahwa perda Nomor 6 tahun 2003 telah disosialisasikan sejak 2006, ditambah dengan adanya instruksi walikota Padang merupakan bahagian upaya Pemerintah Kota Padang dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan masyarakat Padang. Bahkan pada 12 – 14 Mei 2006 pernah dilakukan ujian membaca Alqur’an secara serentak bagi siswa-siswi se kota Padang, dan karena saat itu masih banyak yang tidak lulus, maka diadakan ujian susulan, sapaya semua siswa mendapatkan sertifikat pandai baca tulis Alqur’an sebagai syarat siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dukungan terhadap perda dan instruksi walikota Padang diperkuat oleh kepala Dinas Pendidikan Kota Padang H. Nur Amin yang meyatakan bahwa perda wajib pandai baca tulis Alqur’an akan terus disosialisasikan dan diterapkan. Bagi siswa-siswi di SMP Kota Padang, termasuk pada SMP Non Muslim sepanjang di dalamnya ada siswa muslim wajib mempunyai sertifikat dari sekolah SD asal. Dan bagi siswa-siswi yang masih belum bisa membaca Alqur’an, kepada yang bersangkutan diberi waktu satu tahun untuk belajar baca tulis Alqur’an. Nur Amin menegaskan bahwa kebijakan tersebut sudah disosialisasikan dan disampaikan pada Komisi D DPRD Padang.

Pada kesempatan berbeda ketua Kepala Satpol PP. Dedi Herdinal, mengatakan bahwa Pol PP akan bekerja ekstra keras dalam rangka menciptakan ramadhan bebas maksiat pada khususnya dan Padang Bebas maksiat pada umumnya. Untuk tujuan tersebut, Pol PP akan melakukan razia sepanjang bulan Ramadhan, selain itu juga akan melakukan razia pada tempat-tempat hiburan. Tempat hiburan selama bulan ramadhan hanya boleh dibuka di atas pukul 24.00 wib.

Menurutnya, tempat-tempat hiburan hanya diperbolehkan bagi hotel berbintang, jika di tempat lain maka akan dirazia, dan bagi PSK yang tertangkap akan langsng dibawa ke Suka Ramai (Panti Rehabilitasi PSK di Solok). Berkaitan dengan kasus-kasus penangkapan yang diduga melanggar ketentuan, berkali-kali jawabanya hanya melaksanakan tugas atau perintah pimpinan. Beberapa kasus penangkapan yang dilakukan oleh stafnya yang diduga melanggar ketentuan dianggap sebagai masalah teknis dan kesalahpahaman. Ia mengatakan bahwa stafnya yang melanggar ketentuan tersebut sudah diberi pengertian agar lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya.

d. Respon guru agama/ustradz

Berdasarkan pemantauan selama kegiatan bulan ramadhan, para guru agama atau ustadz-ustadz sangat banyak yang dilibatkan dalam berbagai kegiatan keagamaan di masjid-masjid. Sebagai tenaga pendidik yang melaksanakan kegiatan keagamaan, mereka memperoleh penghasilan tambahan dari rata-rata Rp 50.000 dengan menjadi penceramah setiap malam selama bulan puasa menjelang shalat tarawih, dan mereka juga memperoleh tambahan honor Rp 50.000 sampai Rp 75.000 dengan menjadi narasumber atau guru selama kegiatan pesantren Ramadhan.

Menurut beberapa guru agama yang ditemui, mengatakan bahwa perda dan isntruksi semacam itu merupakan kepedualin pemerintah terhadap masa depan genarasi muda Islam dan itu merupakan prestasi, sehingga perda dan isntruksi tersebut perlu dipromosikan melalui mimbar-mimbar jum’at wirid dan pengajian lainnya. Dalam beberapa kali pemantauan, beberapa ustadz dan guru agama selalu diundang oleh walikota ke rumah dinasnya menjelang ramadhan dan undangan halal bihalal untuk setiap masjid di kota Padang.

Para ustadz atau guru-guru agama yang juga sebagian berfungsi sebagai garin masjid menjadi guru-guru Madrasah Diniah Awaliyah (MDA), yang setiap tahunya mengeluarkan sertifikat pandai baca tulis Alqur’an setelah siswa-siswi SD kelas 6 pandai baca tulis Alqur’an. Berdasarkan keterangan salah seorang dari guru MDA yang dikonfirmasi, bahwa program ini merupakan bentuk dari implementasi instruksi walikota Padang.

e. Respon guru Berdasarkan pemantauan di kalangan guru dan kepala sekolah baik sekolah negeri

maupun swasta seperti SMA 1, SMA 7, Don Bosco, MAN yang dikonfirmasi seputar perda nomor 6 tahun 2003 tentang wajib baca Alqur’an dan instruksi walikota Padang tahun 2005, diperoleh beberapa informasi sebagai berikut; 1) Hampir semua guru dan kepala sekolah di sekolah-sekolah tersebut yang

dikonfirmasi tentang perda, umumnya mereka tidak mengetahui adanya perda No 6 tahun 2003 tentang ketentuan wajib baca Alqur’an, yang mereka ketahui adalah instruksi walikota Padang yang diterima melalui Dinas Pendidikan Kota Padang.

2) Berdasarkan penjelasan Dinas Pendidikan Kota Padang yang diketahui oleh guru-guru maupun kepala sekolah, bahwa instruksi walikota Padang tersebut merupakan keharusan untuk dilaksanakan, sehingga kalau siswa ataupun siswi tidak memiliki sertifikat pesantren ramadhan maka mereka akan kesulitan mendapatkan nilai agama, selain itu akan menjadi penghambat bagi mereka untuk mengikuti ujian.

3) Berdasarkan instruksi walikota yang sering disusul dengan surat-surat dari Kantor Dinas Pendidikan kota Padang, yang intinya agar sekolah-sekolah harus memperhatikan siswa baru yang masuk di sekolahnya, jika terdapat siswa atau siswi yang tidak mapu membaca Alqur’an maka pada siswa tersebut diharuskan memiliki kemampuan membaca Alqur’an yang dibuktikan dengan sertifikat pandai tulis baca Alqur’an.

4) Sebahagian besar mereka mendukung program walikota yang merupakan bentuk nyata dari istilah kembali ke surau atau masjid, dimana dengan kegiatan tersebut, siswa-siswi menjadi lebih mencintai masjid, walaupun juga harus diakui masih banyak siswa yang belum memperlihatkan adanya perubahan sikap setelah selama satu bulan mengikuti kegiatan pesantren ramadhan.

5) Kepada setiap guru diharuskan menjadi pembimbing bagi siswa-siswinya yang mengikuti kegiatan pesantren ramadhan, dan bagi guru akan diberikan bantuan transportasi sebanyak Rp 25.000 untuk satu kali pendampingan atau sesuai dengan kesepakatan dengan panitia penyelenggara pesantren ramadhan.

6) Jika siswa-siswi yang berasal dari luar kota Padang, yang tidak mengikuti kegiatan pesantren Ramadhan atau yang tidak lulus dalam kegiatan tersebut, maka kepada siswa/i tersebut diharuskan mengikuti kegiatan pesantren ramadhan yang diselenggarakan oleh pihak lain di luar bulan puasa, namun dengan biaya yang lebih mahal.

7) Keluhan dari kalangan guru pendamping adalah berkaitan dengan materi pesantren ramdhan yang monoton dari tahun ketahun, dan ini barangkali yang menyebabkan siswa/i bosan, sehingga hanya sebagaian kecil siswa/i yang memperlihatkan adanya perubahan setelah mengikuti kegiatan pesantren ramadhan. Oleh karena itu pelaksanaan pesantren ramadhan yang sudah terlaksana lebih kurang tiga tahun harus dilakukan evaluasi menyeluruh agar lebih terasa manfaatnya.

8) Beberapa cacatan yang muncul dari beberapa guru adalah di antaranya selain masalah metode yang monoton, terkesan menjadi kegiatan rutinitas yang dipaksakan, kegiatan pesantren ramadhan lebih bayak menyuruh peserta untuk menghafal misalnya ayat-ayat pendek, untuk siswa SD menghafal 10 surat pendek, kemudian tingkat SMP menghafal 15 surat pendek dan artinya, sementara untuk tingkat SMA menghafal 20 surat pendek, kemudian arti dan pemahamannya. Selain itu kepada peserta pesantren Ramadhan juga diwajibkan menghafal asmaul husna (99 nama yang menunjukkan nama Allah swt), dan setiap menjelang belajar atau materi dimulai, mereka harus menghafal minimal 5 nama, sehingga setelah selesai pesantren umumnya atau mungkin semua siswa hafal asmaul husna.

9) Semua siswa sejak dari SD kelas 4 sampai dengan siswa SMA diwajibkan mengikuti kegiatan pesantren ramadhan dan harus lulus, jika tidak lulus, mereka akan mendapat kendala mengikuti ujian, yang tentunya akan mengganggu proses kenaikan kelas.

10) Bagi yang non Muslim mereka juga mengikuti kegiatan keagamaan di tempat ibadahnya masing-masing, nanti nilainya dikumpulkan kepada guru agamanya masing-masing lalu disetorkan kepada wali kelas.

11) Sebagian besar kalangan guru tingkat SLTP sangat mendukung kebijakan walikota Padang, bahkan beberapa dari mereka menginginkan agar kebijakan tersebut juga mengatur orang tua siswa. Menurut mereka saat ini kewajiban melaksanakan shalat subuh berjamaah melalui program subuh mubarakah hanya untuk siswa, sementara orang tuanya enak-enakan tidur di rumah.

12) Berkaitan dengan kenyataan saat ini siswi non muslim juga megikuti memakai jilbab, kalangan majlis guru dan kepala sekolah mengatakan pihak sekolah tidak pernah memaksa. Siswi non muslim memakai jilbab itu karena kemauannya sendiri, sebagian guru berpendapat mungkin siswi non muslim yang memakai jilbab itu risih karena hanya beberapa orang yang tidak memakainya, tapi umumnya majlis guru berpendapat masalah pakaian sebaiknya menutup aurat sehingga terhindar dari perbuatan yang tidak diinginkan.

13) Papanisasi dengan asmaul husna, ayat kursi dan hadits nabi, yang terlihat di setiap sekolah, ruangan kelas, pintu masuk ke kelas dan di halaman sekolah, merupakan salah satu bentuk respon dari setiap sekolah atas instruksi walikota Padang. Adapun pembiayaan untuk papanisasi tersebut dipungut dari siswa-siswi melalui iuran kebersihan, yang salah satu alokasi dananya untuk menghias pekarangan sekolah dengan kaligrafi.

f. Respon siswa

Respon siswa-siswi terhadap Instruksi Walikota Padang tentang wirid remaja, pesantren ramadhan, kewajiban berbusana muslim-muslimah serta subuh mubarakah

dan perda wajib baca Alqur’an dapat dikelompokan dalam dua kategori sebagai berikut : 1) Mendukung sepenuhnya

a) Kelompok pendukung menganggap bahwa kebijakan tersebut merupakan kepedulian pemerintah terhadap kehidupan beragama dan moral generasi muda khususnya di Padang. Kelompok ini umumnya terdiri dari kelompok bimbingan rohani Islam atau yang lebih dikenal sebagai Rohis. Rohis merupakan sub organisasi siswa intra sekolah (OSIS).

b) Bagi kelompok pendukung mengatakan kegiatan pesantren ramadhan sangat bermanfaat, dimana dengan adanya kegiatan ini puasa semakin khusu’, selain itu shalatnya juga semakin penuh.

c) Kelompok ini juga berpendapat dengan adanya kegiatan keagamaan yang diprogramkan pemerintah kota Padang, akan membuat para siswa memahami ajaran agamanya, dan perilakunya menjadi semakin Islami.

d) Berkaitan dengan materi yang monoton dalam pelaksanaan pesantren ramadhan bagi mereka itu hanyalah masalah teknis yang bisa diperbaiki untuk masa mendatang, mengingat kegiatan ini baru berlangsung tiga bulan.

e) Salah seorang dari kelompok ini mengatakan bahwa peraturan pemerintah harus diikuti sebagai bagaian dari kepatuhan pada ulil amri (pejabat pemerintah).

2) Menolak dengan tidak tegas

a) Pada dasarnya kegiatan seperti pesantren Ramadhan bagus dan banyak manfaatnya, namun sayangnya materi dan metodenya membosankan dan terlalu banyak indoktrinasi, kegiatannya lebih banyak menghafal dari pada pemahaman materi. Misalnya peserta pesantren disuruh menghafal ayat pendek sebanyak 20 surat dengan artinya, kemudian menghafal asmaul husna.

b) Kelompok ini umumnya menganggap bosan mengikuti kegiatan pesantren ramadhan, mengingat diantara mereka ada yang sudah pernah ikut sejak kelas 4 sampai SMA dan materinya itu-itu juga, selain itu guru-guru pesantren ramadhan banyak yang jaim (jaga image).

c) Selain itu para siswa dari kelompok ini menganggap bahwa para guru pesantren ramadhan sering membenani mereka dengan tugas, misalnya kalau mereka tidak hadir atau kehadirannya kurang 50 % maka siswa dihukum untuk menulis ayat-ayat satu buku penuh bintang obor isi 40.

d) Kelompok ini juga mengatakan umumnya siswa-siswi yang memakai jilbab hanya simbol pada saat sekolah, selepas sekolah mereka main ke mall sudah buka jilbabnya, selain itu mereka memakai jilbab tidak dari hati dan rambut depannya diperlihatkan dengan alasan modis.

e) Menurut kelompok ini para siswi yang memakai jilbab banyak yang munafik, mereka juga pacaran seperti waktu mereka tidak pakai jilbab, jadi menurut mereka tidak ada gunanya berpakaian muslim kalau prilakunya tidak Islami.

f) Kelompok ini juga mengharapkan agar pemerintah mengembalikan kebijakannya seperti dahulu.

g. Respon siswa, guru dan orang tua siswa non Muslim12

12 Responden dari kalangan non Muslim yang dimintai tanggapannya terhadap instruksi walikota Padang, tidak bersedia disebutkan namanya, seorang guru di salah satu SMK di Padang yang juga beragama Protestan justru khawatir kalau identitasnya disebutkan, nanti siswa-siswinya akan mengalami tekanan psikologis.

Dalam kegiatan pemantau di kalangan siswa-siswi non muslim, guru non muslim dan orang tua non muslim diperoleh informasi sebagai berikut ; 1) Mulai tahun 2008 ini, siswa-siswi non Muslim juga mengikuti kegiatan pesantren

ramadhan di rumah ibadahnya masing-masing, dengan biaya berasal dari batuan Pemerintah Kota Padang untuk masing-masing siswa dibantu Rp 15.000, dan untuk guru pendamping juga diberi honor Rp. 25.000 setiap kali pendampingan. Kepanitiaan dan materinya diserahkan kepada masing-masing tempat ibadah, Pemerintah Kota hanya membantu keperluan pembuatan sertifikat.

2) Pengakuan dari beberapa siswa-siswi non muslim sendiri mengharapkan agar kebijakan mewajibkan sekolah negeri memakai jilbab sebaiknya dihapuskan, agar seragam secara nasional.

3) Siswa-siswi non muslim yang ditemui mengakui saat ini tidak ada lagi pemaksaan untuk memakai jilbab. Ini berbeda ketika pada awalnya peraturan itu keluar dimana seluruh siswi harus mengenakan jilbab dengan alasan bahwa kewajiban itu merupakan peraturan pemerintah. Dan kini, setelah tidak ada lagi paksaan, beberapa siswi non-muslim masih ada yang memakai jilbab karena sudah menjadi kebiasaan.

4) Siswa-siswi non muslim mengakui sebenarnya keberatan dengan adanya kebijakan mewajibkan busana muslim, namun menurut mereka apalah jumlah mereka sedikit, ya akhirnya ikut kehendak yang ramai.

5) Beberapa orang siswi non muslim mengeluh dan merasa kerepotan untuk memakai jilbab, namun karena merasa tidak nyaman berbeda sendiri ya terpaksa ikut juga, walaupun orang tuanya sebenarnya juga keberatan.

6) Beberapa orang siswi non-muslim yang ditemui juga mengatakan, selalu memakai salib sekalipun dirinya memakai jilbab, demikian saat berdoa beberapa orang siswa Kristen yang ditemui mengakui menggambar salib besar di bukunya sebagai media untuk lebih fokus dalam berdoa.

7) Sorang siswi Katolik yang mengaku termasuk yang nilainya 10 besar setiap kali ujian mengatakan, kenapa di Padang terjadi diskriminasi seperti ini, padahal di sekolahnya terdapat 30 orang siswi non muslim, tetapi sekolah tidak menyediakan guru agama, padahal menurutnya dia pernah mendengar kalau undang-undang pendidikan mengatur masalah itu.

8) Beberapa siswi yang sekolah di sekolah Menengah atas negeri mengharapkan agar pemerintah menghapus kebijakan memakai jilbab, sebab bagaimanapun jilbab itu simbol bagi salah satu agama, sebaiknya pemerintah bersikap nasionalis, karena ini bukan Negara Islam. masih menurut mereka, negara Islampun tidak boleh membuat kebijakan yang menyangkut simbol agama yang bersentuhan dengan kelompok agama berbeda, sebaiknya pemerintah lebih mendorong dan memfasilitasi agar bagaimana para pelajar lebih berprestasi dengan biaya sekolah yang murah, bukan mengatur hal-hal yang terlalu individu.

h. Respon umum dari masyarakat

Berkaitan dengan adanya kebijakan Pemerintah Kota Padang tentang perda wajib pandai baca tulis Alqur’an dan instruksi walikota tentang busana muslim/muslimah serta pelaksanaan ramadhan, tanggapan masyarakat beragam. Namun pada prinsipnya masyarakat mendukung kebijakan tersebut. Gambaran respon masyarakat terhadap kebijakan Pemerintah Kota Padang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Berkaitan dengan instruksi walikota Padang tentang pesantren ramadhan dan

kegiatan keagamaan lainnya seperti wirid remaja, subuh mubarakah pada umunya masyarakat menganggap kebijakan semacam itu sebagai sesuatu yang positif, paling tidak sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap moral generasi muda dan

bahkan menganggap bahwa peraturan semacam itu merupakan bentuk kongkrit dari keinginan kembali ke Surau yang selama ini di dengungkan. Namun demikian sebagian masyarakat tidak terlalu menghiraukan perda atau instruksi walikota sebab tidak berkaitan langsung dengan keperluan ekonomi atau periuk nasinya.

Perbedaan pendapat atau respon berkaitan dengan larangan berjualan makanan pada siang hari di bulan ramadhan, sebagian besar masyarakat setuju dengan alasan agar puasa umat Islam lebih khusu’ dan tidak ada godaan. Tetapi ketika dipertanyakan tentang bagaimana dengan sekelompok masyarakat yang pencaharian kesehariannya hanya mengandalkan dari jualan makanan, terutama pedagang kecil yang hanya untuk memenuhi kebutuhan harian? Respon kelompok ini umumnya mengatakan untuk mereka bisa berjualan pada sore harinya, pemerintahkan sudah memfasilitasi pasar perbukaan jadi tidak ada alasan untuk itu. Sementara sebahagian lainnya berpendapat dan mengatakan ‘masa 12 bulan tidak bisa menyisakan hanya untuk satu bulan puasa, seharusnya pedagang kecil menabung sedikit-sedikit, sehingga selama puasa bisA menjalankannya dengan khusu’.’’ Argumen kelompok pendukung kebijakan ini umumnya mengatakan agar orang yang tidak berpuasa termasuk non muslim untuk menghormati dan menjaga kesucian orang yang berpuasa.

2) Beberapa orang yang ditemui ada yang mengeluh atas kebijakan tersebut. Misalnya Jilbab karena pada tahun baru ajaran mereka harus menyediakan minimal 4 stel baju seragam dari 3 stel sebelumnya. Sebagian juga mengeluh dengan kebijakan wajib baca Alqur’an karena mereka harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membuat sertifikat pandai baca Qur’an dengan harga yang beragam sampai Rp 300.000. dan juga prosedur pernikahan menjadi bertambah dengan adanya syarat wajib pandai baca qur’an bagi mempelai.

i. Respon Media

Di Sumatera Barat hanya terdapat tiga Koran harian yakni Padang Ekspres Jawa Pos Groups, Harian Singgalang dan Harian Haluan. Pada ummnya media merespon positif terhadap kebijakan Walikota Padang, sehingga sulit menemukan media kritis yang dapat menjadi pengimbang informasi. sementara beberapa orang responden atau wartawan media nasional, seperti Kompas, Media Indonesia Republika, kurang mengekspos kebijakan tersebut bahkan seorang responden mingguan Gatra sangat medukung kebijakan walikota. Responden atau wartawan yang sering mengangkat isu dan kasus-kasus yang berkaitan dengan kebijakan walikota Padang adalah The Jakarta Post, Harian Tempo.

Selain itu di Sumatera Barat terdapat TV lokal yang dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota, untuk di Padang terdapat tiga buah stasiun TV lokal yakni Padang TV, namun ketiganya cenderung mendukung kebijakan walikota Padang, dan setiap terjadi kasus mereka hanya menginformasikan atau meminta respon dari pihak yang pro, termasuk ketika terjadi tindakan anarkis oleh sekelompok ormas garis keras. Secara umum respon media dapat digambarkan sebagai berikut : 1) Padang Ekspres. Koran ini merupakan harian dengan oplah terbesar yang terbit di

Padang. Padang Ekspres merupakan media yang menjadi pendukung kebijakan kepala daerah, bahkan semua media saat ini menyediakan halaman untuk memuat respon dukungan atas kebijakan kepala daerah. Halaman-halaman media masa tidak memberikan ruang untuk berfikir berbeda dengan mainstrem, seperti halnya kelompok Ormas media (demi kepentingan bisnis) mereka memuat tanggapan positif atas perda dan memojokkan para pengkritik media bahkan tidak ada ruang bagi para pengkritis atas perda.

2) Harian Singgalang. Media cetak ini merupakan koran lokal yang tidak berafiliasi kemanapun. Media ini bisa memuat tulisan-tulisan yang mencoba memberikan informasi yang lebih kritis terhadap kebijakan walikota Padang. Namun karena umumnya masyarakat mendukung, akibatnya koran ini juga mengikuti selera pasar.

3) Harian Haluan. Media cetak yang satu ini biasanya menjadi corong pemerintah, dan hidupnyapun berasal dari pemerintah, sehingga hampir semua isinya memuat isu-isu yang sesuai dengan selera pemerintah lokal. Tetapi, kabar yang beredar mengatakan bahwa media ini sedang terancam bangkrut.

4) Persoalan yang paling serius bagi media massa lokal di Padang adalah tidak menerapkan prinsip-prinsip cover both side. Setiap ada kasus atau setiap kali pemda dengan para pendukungnya hendak membuat gagasan atau hendak melakukan tindakan sweeping, media tidak meminta tanggapan dari kalangan kritis lainnya.

Sedangkan di Bulukumba, respon terhadap Perda No 6/2003 juga beragam. Salah satu

respon yang cukup menarik pernah ditelusuri oleh dosen-dosen Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar dengan Pemda Bulukumba melalui sebuah penelitian. Hasil penelitian yang kemudian dipublikasikan dengan judul Membumikan Alqur’an di Bulukumba: Analisis Respon Masyarakat terhadap Perda No 06 tahun 2003 tentang pandai Baca Alqur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin di Bulukumba itu menyebutkan bahwa 261 atau 52% responden menyatakan sangat setuju dengan keberadaan Perda tersebut, sebanyak 225 atau 45% responden yang menjawab setuju, sebanyak 10 atau 2% responden menjawab tidak setuju, dan hanya 2 atau 1% responden yang menyatakan sangat tidak setuju. Termasuk dipaparkan bagaimana pengetahuan masyarakat tentang Perda-perda ini, disebutkan 80% responden mengatakan telah mengetahui keberadaan Perda Pandai Baca Alqur’an dan sebanyak 20% yang belum mengetahui keberadaan Perda ini. Sayangnya, penelitian ini tidak melibatkan anak sekolah sebagai responden yang nyata-nyata menjadi sasaran Perda tersebut. Demikian pula halnya dengan masyarakat adat juga tidak menjadi sasaran penelitian.

kebanyakan yang menjadi responden penelitian itu adalah beberapa kelompok atau organisasi Islam, seperti yang berasal dari KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam), Wahdah Islamiyah, elit-elit NU dan Muhammadiyah. Namun untuk NU, saat itu yang getol mendukungnya hanyalah H. Tjamiruddin selaku ketua tanfidziah yang juga kebetulan adalah Kepala Depag di Bulukumba. Dari Muhammadiyah sendiri ada beberapa orang yang tidak setuju, salah satunya adalah ketua Perhimpunan Dai Bulukumba, yaitu Drs Mardianto.

Sedangkan di masyarakat adat seperti Tanah Toa Kajang, pendapat mereka justru tidak sama dengan yang digambarkan riset tadi. Simaklah apa yang diutarakan Amma Toa selaku pemimpin adat dari komunitas Tanah Toa Kajang tentang PERDA tersebut, ia mengatakan bahwa di dalam kawasan adat, apalagi mereka yang memahami betul Pasanga, maka Pasangalah yang berlaku. “Ia pentingnga aturan-aturan ia anjo anre na gangguki (Peraturan-peraturan dari luar jangan sampai mengganggu kedaulatan kami)”.

Amma kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa dalam kawasan adat tingkatan-tingkatan mengenai pegangan hidup kita. Yang pertama disini adalah Pasanga ri kajang, Baru kemudian kitta (Quran) dan terakhir Lontara. “Anre na kulle ni passa taua ampilarii nikuaia pasang ka iaminjo pammaganganta gitte” (Kita tidak boleh dipaksakan untuk meninggalkan pasanga sebagai pedoman hidup kita, karena itulah pegangan kita).

Organisasi keagamaan juga tidak semuanya menerima. ICMI merupakan salah satu organisasi yang menolak Perda-perda ini. Ketuanya, Drs Alam, menyatakan bahwa Perda Baca tulis Alqur’an dan Perda-perda lainnya tidak mesti ada. Menurutnya, jika pemerintah

berkomitmen terhadap bidang keagamaan, seharusnya menfasilitasi saja dan memaksimalkan crash program keagamaan yang sudah dibuat.13

Dari kalangan anak sekolah juga memiliki respon yang berbeda. Yuliana, siswi SMA 2 Bulukumba mengayatakan:” Ya....kita ikut belajar mengaji karena takut tidak bisa lanjut sekolah. Seharusnya tidak perlu dibuatkan Peraturan, tokh sekolah kita juga dari dulu sudah ada pelajaran agama, kita juga sudah belajar mengaji.14

Sementara di Kabupaten Garut, respon yang muncul dengan adanya Perda No 2 Tahun 2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat secara sederhana bisa dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, dari kalangan elit politik seperti dari kantor Depag, beberapa anggota DPRD, Dinas Sosial dan Rehabilitasi maupun agama seperti MUI, Muhammadiyah, NU menunjukkan adanya respon positif terhadap keberadaan perda tersebut, meskipun beberapa tokoh di antaranya belum mengetahui apalagi membaca Perda tersebut. Yang diharapkan dari para tokoh dan elit tersebut adalah bagaimana agar keberadaan perda tersebut bisa disosialisasi secara luas, dimaksimalisasi dan dipenuhi segala fasilitas yang diperlukan.

Kedua, sebagian kecil aktifis lokal yang kritis terhadap keberadaan perda tersebut. Kritik biasanya ditujukan pada proses pembentukan yang tidak transparan dan beberapa ketentuan di dalamnya yang masih rancu. Sayangnya, suara-suara dari sebagian kecil aktifis lokal ini kerap dianggap sebagai angin lalu.

Ketiga, hampir sebagian masyarakat yang ditemui selama pemantauan ini tidak mengetahui adanya perda tersebut. Bahkan beberapa waria yang kerap ‘diciduk’ oleh aparat juga tidak tahu jika di Kabupaten Garut terdapat Perda anti Maksiat. Kalaupun ada beberapa orang yang menjadi sasaran sweeping penertiban peredaran minuman keras atau razia waria misalnya, para kelompok sasaran ini tidak tahu jika semua itu karena terkait dengan Perda Anti Perbuatan Maksiat. Selama ini pun, para kelompok sasaran ini lebih bersikap seperti layaknya main petak-umpet, kalaupun tokh tertangkap biasnaya hanya diperingati di tempat, bagi para waria juga hanya diinapkan selama 1-2 hari, setelah itu dilepas kembali.

13 Wawancara Alam. F (Ketua ICMI Bulukumba), tanggal 17 November 2008 14 Wawancara Yuliana, tanggal 20 November 2008

BAB III

KENYATAAN-KENYATAAN dan KASUS

A. Hasil Pengamatan Selama pemantauan dilakukan, terdapat beberapa kasus atau pengakuan beberapa

informan terkait dengan Perda-perda Bermasalah tersebut. Cerita dari informan ini biasanya tentang kejadian yang telah berlangsung dan bukan pada saat pemantauan ini dilakukan. Meskipun demikian, pengakuan informan itu tetap penting sebagai kesaksian langsung dari beberapa orang yang menjadi sasaran dari Peraturan Daerah tertentu.

Di Kota Padang, pengamatan terhadap implementasi Perda Nomor 6 tahun 2003 dan instruksi walikota Padang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Terjadi papanisasi. Misalnya pada jalan-jalan utama terdapat asmaul huna sebanyak 99

yang di pajang dengan jarak lebih kurang 10 meter atara satu nama dengan nama lainnya. Termasuk saat ini banyaknya baliho-baliho besar yang memuat kaligrafi dan bahasa-bahasa agama, seperti seruan zikir, shalat, subuh mubarokah, anjuran menghindari perbuatan maksiat dan sebagainya.

b. Terdapat banyak masjid dan mushalla, terutama selama ramadhan diramaikan dan dipadati oleh siswa sejak dari SD kelas IV sampai siswa SMA kelas III. Para siswa tersebut, selain diwajibkan mengikuti tarawih dan mencatat intisari ceramah siswa juga diwajibkan mengisi buku agenda yang dilaporkan setiap akhir ramadhan sekaligus dengan sertifikat pesantren ramadhan. Selain itu siswa SD kelas III sampai kelas enam diwajibkan mengikuti didikan subuh, dan bagi siswa SMP sampai SMA setiap minggu sekali diharuskan mengikuti kegiatan wirid remaja, demikian juga untuk setiap seminggu sekali diwajibkan mengikuti kegiatan subuh mubaokah.

c. Munculnya lembaga-lembaga training keagamaan, misalnya ISQ-ESQ. Selain itu muncul pelatihan shalat khusu’ termasuk menjamurnya lembaga-lembaga pelatihan manasik haji, serta pengobatan alternatif ala ru’yah. Untuk kasus ini bahkan Universitas Andalas mewajibkan mahasiswa baru untuk mengikuti pelatihan ISQ dan ESQ dengan membayar Rp 2,750.000/ mahasiswa, sementara untuk dosen dan pegawainya akan diikutkan kegiatan dimaksud sesuai dengan paket dan menurut prestasi pegawainya masing masing.

d. Terjadi kegiatan sweeping. Untuk bulan ramadhan kegiatan razia warung-warung nasi atau warung makanan yang dibuka pada siang hari, namun untuk tahun ini sweeping hanya terjadi satu kali, itupun dilakukan oleh Pemuda Pancasila di sekitar pecinan pondok, dan segera saja mendapat terguran walikota. Selain itu razia warung penjual makanan tahun ini tidak seintensif tiga tahun yang lalu, terbukti berdasarkan pemantauan lapangan masih banyak warung-warung yang berjualan makanan di dalam Pasar Raya. Beberapa kalangan beranggapan kenapa Walikota mengurang kegiatan raazia? Diasumsikan orang karena Walikota Padang Fauzi Bahar, M.Si mencalonkan kembali pada pilkada dan terbukti dirinya memperoleh suara mayoritas atau menang mutlak dengan mengantongi 51 % dari angka pemilih, namun demikian angka golputpun mencapai 51 %. Adapun obyek-obyek yang menjadi sasaran sweeping saat ini adalah warung-warung yang oleh masyarakat Padang disebut warung remang-remang atau ‘’Pondok Baremoh’’, kemudian wisma-wisma serta tempat-tempat reskreasi yang diduga sebagai tempat tindakan maksiat.

e. Pada bulan ramadhan warung nasi yang berlokasi di kampung Pecinan atau yang lebih dikenal sebagai daerah pondok, setiap bulan puasa pada siang harinya selalu kewalahan menyediakan makanan, bahkan salah seorang pemilik warung nasi mengatakan dengan bahasa humor. ‘’Sebaiknya umat Islam puasa sepanjang tahun, karena setiap kali puasa omset pernjualan makanan atau nasi di siang hari meningkat tiga kali lipat’’. Dan anehnya ternyata

yang makan siang bukan yang non muslim, justru laki-laki muslim dan banyak juga yang berpakaian dinas pemda baik provinsi maupun kota yang memenuhi warung nasi yang terletak di jalan Cokro Aminoto, kampung nias dan daerah pondok pada umumnya.

f. Sekalipun kegiatan sweeping terhadap warung yang bejualan makan atau warung nasi gencar dilakukan, akan tetapi di Pasar Raya yang lokasinya berdekatan dengan Balaikota Padang masih banyak yang dibuka.

g. Untuk menggairahkan kehidupan keagamaan juga dilakukan dengan mengundang ustadz-ustadz yang sering muncul di media massa, seperti UJ, Alwi Hadad, Hidayat Nurwahid, Arifin Ilham untuk memberikan nasehat keagamaan di lapangan terbuka.

h. Bersamaan dengan munculnya fenomena tersebut, saat ini pengemis dan anak jalanan juga lebih ramai dan saat ini mulai masuk dari kantor-ke kantor, serta kerumah-rumah penduduk dengan membawa selebaran, ada yang berupa gambar masjid, selebaran yang berisi menyantuni anak yatim dan pakir miskin.

i. Berkaitan dengan kebijakan Pemerintah Kota Padang pada umumnya kalangan non muslim merasa keberatan, akan tetapi mereka tidak berani bersuara dengan alasan minoritas, akibatnya sebagaian mereka lebih memilih pasrah terutama untuk pegawai negeri, semetara kelompok elitnya cenderung bersikap pragmatis dan pasif.

Sedangkan di Bulukumba, pemberlakuan Perda No3/2006 itu juga memunculkan fenomena lapangan yang cukup menarik seperti munculnya papanisasi nama-nama Allah swt yang dibuat dan ditempatkan di jalan-jalan. Selain itu, mulai muncul pula nama-nama kantor pemerintahan yang ditulis dengan tulisan arab

6. Kajian Kasus

Sepanjang pemantauan yang dilakukan ditemui beberapa kasus yang berkaitan implementasi Perda-Perda Bermasalah. Di Kota Padang, berkaitan dengan implementasi Perda nomor 6 tahun 2003 dan instruksi walikota Padang, terdapat beberapa kasus penting, di antaranya; a. Menjelang dan selama pelaksanaan ramadhan, Pol PP berkeliling kota Padang dengan

menggunakan mobil dinas Pol PP dan menggunakan pengeras suara untuk melakukan pelarangan membuka warung nasi, namun untuk beberapa kasus di daerah Bukit Lampu Padang beberapa oknum Pol PP menjelang Idul Fitri mendatangi pemilik warung untuk meminta bayaran.

b. Berkaitan dengan implementasi Perda wajib pandai baca tulis Alqur’an bagi siswa-siswi dan calon pengantin, ditemui sebuah kasus, sepasang calon pengantin yang sedang melangsungkan akad nikah, kebetulan kedua pasangan tersebut adalah aktivis LSM lokal, kepada kedua mempelai oleh penghulu atau kalau di Padang disebut KUA diminta untuk membaca Alqur’an, mempelai laki-laki dengan terpaksa mengikuti syarat yang diajukan KUA untuk mengaji, sementara mempelai perempuan dengan berbagai alasan menolak untuk mengaji, padahal mempelai perempuan diketahui pandai membaca alur’an, karena mempelai perempuan tidak mau membaca Alqur’an, maka terjadi sedikit perdebatan, akhirnya mempelai pria meminta proses ditunda sesaat untuk melakukan negosiasi dengan KUA, akhirnya setelah dilakukan negosiasi, membaca Alqur’an bisa diganti dengan membayar uang. Pada saat itu kembali terjadi sedikit perdebatan, mempelai perempuan hanya mau membayar Rr 150.000, sementara KUA meminta agar mempelai membayar Rp 300.000,-. Akhirnya mempelai pria dengan banyak pertimbangan dan kemungkinan malu kalau sampai akad batal, akhirnya memenuhi permintaan KUA.

c. Masih berkaitan dengan kewajiban panda baca tulis Alqur’an, ada tujuh orang siswi yang di keluarkan atau di DO karena tidak hafal Alqur’an sebanyak 20 Juz, dan orang tuanya mengadu ke Komnas HAM Indonesia Perwakilan Provinsi Sumatera Barat, dan kepada orang tuanya dikonfirmasi, memang bagi siswi di Diniah Putri ada kesepakatan wajib hafal Alqur’an selama sekolah di Diniah Putri Padang Panjang. Akan tetapi orang tua korban mengatakan jika pihak sekolah bersedia membuat surat pindah buat anaknya maka kasus ini tidak akan diperpanjang, sampai hari ini kasus tersebut tidak ada informasi perkembangan dari orang tua korban.

d. Pada seluruh siswi sekolah negeri di Kota Padang masih memakai jilbab, namun ketika dikonfirmasi pada pihak sekolah, maupun pihak pemda, saat ini tidak ada lagi keharusan bagi siswi non muslim memakai jilbab, namun ketika dikonfirmasi kepada siswi non muslim umumnya menjawab risih kalau tidak memakai sendiri, umumnya mereka juga mengharapkan agar pemerintah mengembalikan kebijakannya seperti dulu.

Sedangkan di Kabupaten Bulukumba, beberapa kasus yang terjadi adalah:

a. Kasus Siswa Tidak bisa melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.

Beberapa siswa (sekitar 10 orang) tidak bisa melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi karena tidak bisa mengaji. Salah satunya adalah siswi salah satu SMP di Bulukumba bernama Rosmi (bukan nama sebenarnya). Ia terpaksa menunda untuk melanjutkan pendidikannya pada jenjang yang lebih tinggi karena belum bisa mengaji. Kejadian ini terjadi pada tahun 2004 yang lalu. Ia jelas sedih, karena tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal menurutnya, ia berjanji untuk belajar mengaji. Rosmi merasa dihalangi peluangnya untuk bisa mengaskes pendidikan yang lebih tinggi

Beberapa siswa yang lain, diantaranya Amran, mengaku karena tidak bisa mengaji terpaksa harus mencari sekolah-sekolah yang bisa saja masuk tanpa harus tes mengaji. Salah satu sekolah itu adalah Madrasah Aliyah Muhammadiyah. Sekolah ini karena kekurangan siswa, maka bisa menerima siswa tanpa harus tes mengaji atau tanpa penggunaan sertifikat. Meski bisa melanjutkan sekolah Amran merasa terhalangi untuk sekolah di sekolah favorit, seperti SMA 1 atau SMA 2 Bulukumba.

b. Kasus yang berkaitan dengan Hak-hak Komunal Masyarakat adat

Perda No 6/2003 ini turut berimplikasi pada kehidupan masyarakat adat, salah satunya Masayarakat adat Tanah Toa Kajang. Akibat pemberlakuan ini, maka implikasinya langsung dirasakan komunitas adat ini. Salah satunya kawasan adat semakin kecil. Hal itu terjadi karena dalam kawasan adat didirikan pula TPA. Menurut Amma Toa, daerah atau tanah kawasan yang sudah ada TPA-nya, maka tidak masuk lagi kawasan adat. Sehingga menurut pengakuan Puto Kalu (Sanro di kajang), Amma Toa terpaksa membikin garis baru batas kawasan adat, dimana rumah yang dijadikan TPA, dianggap berada diluar kawasan adat.15 Bagi komunitas adat Kajang, hal ini telah menghilangkan keyakinan dan kepercayaan mereka tentang Pasanga ri Kajang.

Implikasi lainnya terjadi dalam satu pross perkawinan di Tanah Toa Kajang, yaitu perkawinan kemenakan Puto Hatong pada tanggal 21 Agustus 2004. Perkawinan ini terancam batal, karena kemenakan Puto Hatong tidak bisa mengaji. Imam kampung tidak mau menikahkan karena menganggap peraturannya harus bisa mengaji. Puto Hatong terpaksa mendebat imam desa. Menurutnya kemenakannya itu berasal dari dalam kawasan adat, memang tidak bisa mengaji, tapi paham dengan ajaran pasanga.

15 Wawancara Puto Kalu, di rumahnya, tanggal 11 November 2008

Karena Puto Hatong bersikeras, akhirnya perkawinan bisa dilaksanakan. Berkaitan dengan peristiwa itu Puto Hatong menganggap Perda No.6/2003 diskriminatif, seharusnya hak dia sebagai komunitas adat dulindungi.

c. Kasus Pembatalan Pernikahan Karena Tidak Bisa Mengaji

Akibat diterapkannya Perda No 6/2003 ini ada beberapa calon pengantin yang batal atau tertunda proses perkawinannya. Asdar, warga Anrihua, Kecamatan Kindang memilih menikah di daerah tetangga yaitu Bantaeng.16 Ada beberapa yang tertunda bahkan hampir batal. Salah satunya yang dialami oleh Hasaning dan Rabiah (nama samaran) pada tanggal 21 April 2005, di Desa Kindang, Bulukumba. Imam desa tidak mau menikahkan, karena Hasaning tidak bisa mengaji. Kedua keluarga mempelai mulai tegang, undangan sudah disebar. Akhirnya mereka berdua menghadap ke KUA. Akhirnya setelah dilakukan negosiasi dan dengan pertimbangan kemasalahatan, akhirnya KUA bersedia untuk menikahkan.

Meski sempat menikah tak urung peristiwa ini membuat kecewa Hasaning. Menurutnya keluarganya dan keluarga perempuan sudah konflik, dari pihak perempuan ada yang menyesal menikahkan keluarganya dengan Hasaning.

d. Kasus Pembatalan SK bagi sejumlah Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Pada tanggal 30 Mei 2008, Bupati Bulukumba saat ini, Sukri Sappewali membatalkan

pemberian surat keputusan (SK) bagi 48 CPNS yang tidak bisa mengaji. Alasannya Bupati ingin melihat CPNS semuanya bisa mengaji karena Bulukumba telah memiliki Perda khusus Baca tulis Alqur’an. Bupati sendiri yang mengetes para CPNS tersebut. Selain dites mengaji mereka juga ditanyakan mengenai rukun Islam, rukun Iman dan harus menghafal surat-surat pendek dalam Alqur’an.

Hal ini dilakukan Bupati dengan alasan agar semua CPNS bisa mengaji. Menurutnya dia tidak bermaskud menghalangi seseorang untuk menjadi CPNS. Bupati menginginkanagar semua pegawai di Bulukumba bisa mengaji. Hal ini juga dianggap sebagai bagian dari implementasi Perda No.6/2003 tentang kewajiban baca tulis Alqur’an.

Sedangkan di Garut, sepanjang Agustus-Oktober 2008 dimana bertepatan dengan

bulan Ramadhan, kasus-kasus yang lebih banyak adalah operasi terhadap para waria, perempuan-perempuan pekerja seksual, atau pedagang minuman keras yang ada di pertokoan pinggir jalan. Sayangnya, para kelompok sasaran yang terkena razia oleh Sat Pol PP tersebut tidak mengetahui sama sekali jika operasi yang dilakukan pada bulan Ramadhan itu juga terkait dengan adanya Perda No 2/2008 tentang Anti Perbuatan Maksiat. Beberapa nama seperti “Pak De” menjadi korban operasi minuman keras di terminal Guntur, “CG” dan “D” adalah waria yang kena ciduk di Blok I Pasar Guntur, dan beberapa perempuan pekerja seksual seperti DA, EM, MH, KK, RR, RW, R diciduk pada tanggal 2 Agustus 2008 di Café Fortune.

16 Wawancara Asdar, 14 November 2008

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan Pemantauan terhadap Perda-perda Bermasalah, khususnya dari segi implementasi dan

dampaknya bagi masyarakat di tiga daerah tersebut menunjukkan dua hal; pertama, untuk perda tentang baca tulis Alqur’an, Kota Padang merupakan daerah yang cukup intensif dan agresif dalam memberlakukan Perda tersebut di lapangan. Dengan didukung oleh Instruksi Walikota, maka pelaksanaan perda tersebut semakin kuat. Selain itu, dukungan fasilitas juga diberikan untuk mendukung terlaksananya Perda dan Instruksi walikota. Sedangkan di Bulukumba, meskipun tidak seagresif di Kota Padang, tetapi cukup terlaksana dengan baik.

Kedua, untuk Kabupaten Garut yang masih baru memiliki dan mengimplementasikan Perda tentang Anti Perbuatan Maksiat relatif belum intensif diberlakukan. Selain belum memiliki dukungan fasilitas yang memadai, situasi panas politik Garut selama enam bulan terakhir sangat memengaruhi pelaksanaan Perda. Kalaupun sempat terjadi Operasi Pekat (Penyakit Masyarakat), itu pun dilakukan pada waktu-waktu tertentu, khususnya pada bulan Ramadhan karena ada keinginan untuk menjaga dan melindungi masyarakat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa.

Beberapa respon yang muncul dari beberapa komponen masyarakat di masing-masing daerah terhadap keberadaan dan implementasi Perda-perda yang dimaksud sangatlah beragam. Tetapi secara umum, sebagian masyarakat cenderung menerima secara positif keberadaan perda tersebut, meskipun mereka tidak mengetahui (membaca atau mempelajari) ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Perda-perda tersebut. Masyarakat hanya menerimanya dari opini mereka sendiri bahwa suatu peraturan yang berkaitan dengan pembelajaran ilmu agama atau “pemberantasan kemaksiatan” sudah pasti harus diterima dan didukung.

Meskipun dari segi judul peraturannya bisa diterima, tetapi sebagian masyarakat tetap mempertanyakan proses pembentukan Perda yang dinilai tidak transparan, tidak dilakukan uji publik secara meluas, dan hasilnyapun tidak disosialisasikan secara merata, sehingga tidak jarang jika sebagian besar masyarakat tidak mengetahui adanya Perda-perda tersebut.

Di tingkat pelaksanaannya sendiri, terdapat beberapa persoalan yang kerap menimbulkan kontroversi, di antaranya: 1. Pemahaman yang belum memadai dari aparat pengawal perda, seperti Sat Pol PP

terhadap substansi Perda sehingga tidak jarang melakukan improvisasi dalam melaksanakan tugasnya. Improvisasi atau lebih tepatnya “penyimpangan” prosedur juga kerap terjadi seperti pemanfaatan operasi untuk memeras korban atau negosiasi pembayaran terkait dengan denda yang diberikan. Kurangnya pemahaman ini juga menyebabkan pemberlakuakn Perda atau instruksi walikota menyasar bagi peserta didik non-muslim.

2. Tidak adanya ‘’juklak’’ dan ‘’juknis’’ yang cukup detail ketika melakukan operasi di lapangan atau dalam mengukur tingkat kemampuan baca Alqur’an bagi perda wajib baca Alqur’an. Sehingga tidak jarang negosiasi akad nikah dan perdagangan sertifikat tetap berlangsung.

3. Pesantren ramadhan cenderung menjadi rutinitas dari tahu ke tahun dan kurang memerhatikan dinamisasi materi atau kualifikasi peserta. Misalnya, siswa/i yang sudah pernah mengikuti pesantren dan merasa sangat mampu membaca Alqur’an dengan baik, tetapi ia masih diwajibkan untuk mengikuti pesantren ramadah pada tahun-tahun berikutnya. Materi, metode, dan teknik pembelajaran yang monoton juga menyebabkan peserta merasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya datang sekedar sebagai kewajiban dari sekolah saja.

4. Dari segi intensitasnya, pelaksanaan Perda-perda tersebut juga mengalami pasang surut, terkait dengan waktu-waktu tertentu, seperti bulan ramadhan atau masa kampanye menjelang suksesi kepala daerah.

5. Masyarakat tidak pernah diberi informasi mengenai pemakaian anggaran publik berkaitan dengan pembuatan baliho bertuliskan nama-nama Allah swt atau baliho berisi seruan-seruan keagamaan.

B. Saran-saran

Dari hasil pemantauan yang dilakukan terhadap beberapa Perda Bermasalah, terdapat beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam rangka membuat dan melaksanakan suatu kebijakan publik. Beberapa kemungkina ini mudah-mudahan bisa mengurangi kontroversi mengenai adanya Peraturan Daerah yang ingin mengatur perilaku keagamaan atau moralitas masyarakat, di antaranya: 1. Dalam proses pembentukannya, setiap proses tersebut perlu dilakukan melalui

penelitian persoalan dan kebutuhan mendasar dari masyarakat terhadap peraturan publik yang benar-benar diharapkan oleh masyarakat. Hasil penelitian itu perlu diperbincangkan secara publik untuk menguji ketepatan metodologi dan juga substansinya.

2. Membuka transaparansi dan partisipasi publik yang seluas-luasnya. Partisipasi dan transparansi bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti melakukan penyebarluasan informasi substantif secara aktif oleh para aparatur pemerintah ke tengah-tengah masyarakat di lingkungan yang paling terkecil; melalui media massa; atau membuka ruang diskusi publik secara luas. Cara-cara ini memang membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi masih memungkinkan jika dilakukan secara serius.

3. Secara teknis pembuatan, jika diperlukan membuka ruang konsultasi kepada beberapa ahli di bidangnya. Sedangkan secara substantif juga harus dibuka perdebatan secara publik dengan melibatkan beberapa komponen masyarakat yang memiliki kapasitas (baik yang pro maupun kontra) di isu tersebut. Pada tahap ini, perpspektif tentang hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) perlu dijadikan rujukan agar ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya bisa diterima oleh semua pihak dan tidak menimbulkan diskriminasi atau pelanggaran terhadap hak masyarakat.

4. Pada tingkat sosialisasinya juga harus dilakukan secara luas dan merata, termasuk membuat standar yang cukup jelas dan terukur bagi sejauhmana tingkat penerimaan masyarakat terhadap Perda yang telah disahkan. Pada tahap ini juga diberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mempelajarinya, sehingga implikasi bagi pemberlakuannya tidak menyebabkan kontroversi berkepanjangan.

5. Setiap pembuatan Peraturan Daerah juga harus mempertimbangkan kesiapan pemenuhan semua fasilitas yang mendukung terpenuhinya tujuan Perda tersebut. Misalnya mengenai pendanaan, penegak peraturan dengan pemahaman yang memadai, tempat rehabilitasi yang manusiawi, dan sebagainya.