LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL - menjadi polisi … · Web viewMengembangkan metodologi dan...
Transcript of LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL - menjadi polisi … · Web viewMengembangkan metodologi dan...
Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Dapat Meningkatkan Kemandirian Bangsa.
Oleh : Zulkarnain.
A. Pendahuluan.
Sebagaimana dikemukakan dalam literatur bahwa Sistem Mananjemen
Nasional (Sismennas) adalah “Sistem Mananjemen” yang diterapkan dalam
organisasi negara. Artinya Sismennas sebagai suatu piranti atau sistem yang
padu dalam pengelolaan dan penyelenggaraan segala kegiatan Nasional
(Negara) baik pada tingkat pusat maupun daerah dan hubungan diantaranya
yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat oleh Negara atau
pemerintah. Sismennas sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu
totalitas (holistik), keterpaduan (integralistik) dari elemen yang mempunyai fungsi
masing-masing untuk mencapai tujuan bersama berupa :
1. Mengembangkan wawasan strategik.
2. Meningkatkan keterpaduan dan kerja sama antar lembaga, antar bidang, antar sektor, antar wilayah, antar pemerintah misalnya pusat dengan daerah dan antar kementerian/ lembaga dan antar pemerintah dan masyarakat.
3. Mendukung proses penyempurnaan kelembagaan guna mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab (good governance dan clean goverment)
4. Mengembangkan metodologi dan tehnik-tehnik manajemen yang tepat guna. 1
Inti dari Sismennas dikatakan adalah pengambilan keputusan dimana dalam
proses Sismennas disebut sebagai Tatanan Pengambilan Keputusan
Berkewenangan (TPKB). Berkaitan dengan hal ini Sismennas tidak bisa
dipisahkan dengan “Kepemimpinan”. Dalam Sismennas ada fungsi pemilihan
kepemimpinan, yang berperan untuk menampilkan seseorang atau sekelompok
orang sebagai suatu kelembagaan yang mendapat kepercayaan serta
pengakuan dari masyarakat untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat. Artinya disini Sismennas akan memberikan kontribusi
besar terhadap “pemilihan kepemimpinan” melalui pengambilan keputusan
kebijakan publik yang baik dan para pemimpin tersebut yang berada pada bidang
1 Lemhannas R.I., Team Pokja B.S. Sismennas, TOR Essay B.S. Sismennas PPRA XLVII, Jakarta, 2012.
2
apapun, aspek apapun akan memberikan kontribusi besar pada proses
Sismennas dengan baik khususnya dalam pengambilan keputusan itu sendiri.
Jadi dalam hal ini Kepemimpinan dan Sismennas akan saling mengisi dan kait
mengkait lebih-lebih dalam hal pengambilan keputusan kebijakan publik sebagai
inti dari Sismennas.
Dalam proses pengambilan keputusan dalam Sismennas itu berupa proses
menetapkan kebijakan-kebijakan nasional baik berupa kebijakan publik untuk
menjalankan roda pemerintahan serta kebijakan pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Dalam buku literatur menurut Sondang P. Siagian dalam bukunya “Teori dan
Praktek Pengambilan Keputusan” menyatakan bahwa seorang pemimpin harus
memiliki keberanian untuk mengambil keputusan. Keberanian itu diperoleh jika
seorang pemimpin mengetahui tujuan dari organisasi, mempunyai kemampuan
analitis, memiliki pengetahuan yang mendalam tentang dirinya sendiri dan
mendalami perilaku bawahannya. Lebih lanjut dikatakan pengambilan keputusan
baik apabila memenuhi syarat-syarat yaitu rasional, logis, realistis dan prakmatis.
Keputusan tersebut juga akan baik apabila dapat menggabungkan tiga jenis
pendekatan, yaitu :
1. Pendekatan yang didasarkan pada teori dan asas-asas alamiah.2. Memamfaatkan kemampuan berpikir intuitif yang kreatif, inisiatif, inovatif
dengan melibatkan emosional.3. Berlandaskan pengalaman pengambilan keputusan dimasa lalu, baik yang
berhasil, kurang berhasil dan gagal. 2
Selanjutnya dalam Sismennas dikatakan kebijakan publik (public policy)
adalah kebijakan nasional berkaitan dengan fungsi penyelenggaraan pemerintah.
Bentuk kebijakan publik ini adalah aturan perundang-undangan secara hirarki
mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah, norma, patokan, mpedoman
maupun kebijakan nasional lainnya yang mengikat seluruh rakyat dan
penyelenggara negara.
Setelah sedikit memahami tentang pengambilan keputusan dan kebijakan
publik dalam Sismennas maka sebagai identifikasi masalah dalam essay ini
adalah, Apakah Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik Dibidang Pangan
yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Akan Dapat Meningkatkan
2 Lemhannas R.I., Pokja B.S. Sismennas, Sismennas dalam Penyelenggaraan Negara, Jakarta, 2012, hal. 17.
3
Kemandirian Bangsa ?. Dari identifikasi masalah ini beberapa rumusan masalah
yang perlu dijawab adalah : 1. Nilai-nilai Sismennas dalam pengambilan
Keputusan Kebijakan Publik, 2. Beberapa permasalahan dibidang pangan dan 3.
Analisis meningkatnya Kemandirian Bangsa.
B. Pembahasan.
Untuk membuktikan apakah pengambilan keputusan kebijakan publik
dibidang pangan yang dilandasi oleh nilai-nilai sismenas akan meningkatkan
kemandirian bangsa tentu perlu mengetahui lebih dahulu beberapa hal seperti
nilai-nilai Sismennas sendiri dalam pengambilan keputusan dan kebijakan publik.
Disamping itu juga perlu diketahui tentang beberapa permasalah ketahanan
pangan sehingga membutuhkan kebijakan publik.
1. Nilai-nilai Sismennas dalam Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik.
Jika kita memperhatikan tentang Sismennas maka ada beberapa
hal yang bersifat esensi atau sebagai nilai-nilai dalam Sismennas itu
sendiri, yaitu :
a. Pendekatan kesisteman. Jika kita melihat dalam pengelolaan
organisasi negara adalah sebagai sebuah sistem, dimana seluruh
unsur dan bagian-bagian dalam sistem akan saling berkorelasi dan
terorganisir untuk bersama-sama mencapai tujuan.
b. Sismennas secara tegas dikatakan dalam tatanan kehidupan nasional
dan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara
berlandaskan pada Pancasila sebagai landasan falsafati. Ini artinya
nilai-nilai yang ada dalam Pancasila haruslah mendasari dari
Sismennas. Dalam literatur setidaknya nilai-ilai utama Pancasila antara
lain :
Pertama, tauhid, toleransi, pluralistik, moderat dan seimbang. Dengan Tauhid sebagai nilai pertama, kita menghayati ke Esa-an Tuhan dari perspektif agamanya masing-masing dan tidak diperkenankan untuk melakukan perbandingan apalagi menilai agama lain. Ketauhidan ini tepatnya untuk membangun kehidupan yang relijius berdasarkan nilai-nilai agama masing-masing dan bukan berarti harus menyamakan semua agama. Kedua, toleransi (Tasamuh) terutama dalam kehidupan beragama dan bersuku bangsa, akan meminimalisir terjadinya politisasi agama, radikalisme agama dan primordialisme kedaerahan. Jika sikap
4
keberagaman tidak memiliki nilai-nilai tasamuh, tentu akan membentuk fanatisme yang berlebihan. Ketiga, Pluralistik (Ta’addudiyah) bahwa suatu pengakuan atas berbagai perbedaan agama, berbagai bangsa, suku, ras dan lain sebagainya agar selalu berhubungan dan menjalin ta’aruf (komunikasi dan solidaritas), merupakan prasarana utama bagi tegaknya toleransi. Keempat, moderat (Tawasuth), bahwa sikap moderat ini terkait dengan sikap keterbukaan bangsa Indonesia terhadap berbagai perkembangan dunia. Namun demikian, sikap modernisasi ini tidak berjalan sendiri. Selain berdasarkan prinsip-prinsip relijius dan pluralis, juga dibarengi dengan keseimbangan (tawazun) dan keadilan. Kelima, Tawazun, memberikan suatu batas bagi kebebasan (liberalisme) agar tidak kebablasan dan sangat dibutuhkan agar tidak memunculkan sifat fanatisme, ekstrimisme dan radikalisme. Dalam kaitan ini reorientasi dan reaktualisasi falsafah Negara Pancasila lewat pendekatan tauhid, tasamuh, ta’addudiyah, tawasuth dan tawazun menjadi cukup kontekstual dan perlu dicoba untuk diimplementasikan dalam menghadapi dinamika ideologi dunia.3
c. Sismennas berlandaskan pada UUD 1945. Ini berarti bahwa
Sismennas haruslah menjadikan UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional sebagai sumber hukum dalam pengambilan keputusan
kebijakan publik haruslah berlandaskan pada konstitusi negara
tersebut.
d. Sismennas dikatakan juga berlandaskan pada Wawasan Nusantara. Ini
artinya nilai-nilai dasar yang ada pada Wawasan Nusantara sebagai
landasan visional mengandung nilai-nilai persatuan dan kesatuan
wilayah, bangsa dan negara juga sebagai nilai-nilai Sismennas.
e. Sismennas berlandaskan pada Ketahanan Nasional sebagai landasan
konsepsional dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan keamanan.
Tata Nilai Dalam Sismennas.
Dikatakan bahwa tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
yang harmonis menuntut suatu persyaratan yaitu terpeliharanya suasana
ketertiban, keteraturan dan ketentraman disetiap aspek dan sendi
kehidupan. Sebagai persyaratan harus ada ketertiban administrasi pada
Tata Administrasi Negara (TAN) dan Tata Laksana Pemerintah (TLP).
Selanjutnya perlu adanya ketertiban politik pada Tata Politik Nasional
(TPN) maupun perlu adanya ketertiban sosial pada Tata Kehidupan
Masyarakat (TKM). Ini semua dapat terujud melalui keberadaan peraturan
3 Lemhannas R.I., Pokja B.S. Idiologi, Idiologi Pancasila, Jakarta, 2012, hal. 93.
5
perundang-undangan tertentu sebagai bagian dari kebijakan publik dan
keluaran dari Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB).
Tata Nilai Sismennas adalah suatu usaha menyeluruh dengan
memadukan faktor karsa, sarana dan upaya untuk memberdayakan,
mengubah, meningkatkan potensi menjadi kemampuan nasional yang
mampu mengatasi berbagai tantangan dan kendala yang dihadapi. Faktor
Karsa, faktor Karsa atau keinginan/ kehendak yang ingin dicapai yang
berperan sebagai pemberi arah untuk mencapai tujuan, dalam realisasinya
sebagai visi ataupun misi. Faktor Sarana, faktor sarana merupakan
perwadahan dan pemberdayaan dari kekuatan nyata atau segenap
potensi sumber daya yang diperlukan dalam proses mencapai tujuan.
Faktor Upaya, faktor upaya atau cara merupakan proses pengambilan
keputusan dari berbagai dimensi (multi dimentional decision making
process) melalui tranformasi dari faktor sarana atau potensi menjadi faktor
karsa atau kemampuan sesuai yang telah ditentukan.
Struktur Sismennas.Secara struktural unsur-unsur utama Sismennas tersusun atas empat
tatanan (setting). Urutan susunan dari dalam ke luar, adalah : (1) Tata Laksana Pemerintahan (TLP); (2) Tata Administrasi Negara (TAN); (3) Tata Politik Nasional (TPN); dan (4) Tata Kehidupan Masyarakat (TKM).
Tata Laksana Pemerintahan (TLP) dan Tata Administrasi Negara (TAN) merupakan tatanan dalam Sismennas (Inner Setting), dimana proses manajemen berpangkal dan merupakan pusat dari rangkaian pengambilan keputusan yang berkewenangan. Kata berkewenanagan dimaksudkan bahwa keputusan yang diambil dilandasi oleh hukum, bersifat mengikat bagi seluruh anggota masyarakat dan dapat dipaksakan dengan sanksi-sanksi. Oleh karena itu, tatanan dalam (TAN dan TLP) merupakan tatanan yang disebut dengan ”Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB)” yang merupakan inti Sismennas.
Tata Kehidupan Masyarakat (TKM) dan Tata Politik Nasional (TPN) merupakan tatanan luar Sismennas (Outer Setting), merupakan faktor lingkungan dari tatanan dalam, sebagai sumber aspirasi kepentingan rakyat dan sumber kepemimpinan nasional.4
4 Lemhannas R.I., Pokja B.S. Sismennas, Sub B.S Sismennas dan Fungsi Pokok Sismennas, Jakarta, 2012, hal. 8.
6
Visualisasi Tata Nilai Sismennas.5
Persandingan Struktur Sismennas dengan Ketatanegaraan Indonesia.
a. Negara disamakan dengan “organisasi kekuasaan” yang mempunyai hak
memaksa dan mengatur.
b. Pemerintah disamakan dengan “Manajer atau Penguasa” yang berperan
mengelola negara dan menjalankan pemerintahan.
c. Bangsa Indonesia disamakan dengan “pemilik negara” yang menentukan
sistem nilai atau menetapkan arah.
d. Masyarakat disamakan dengan “penunjang dan pemakai” yaitu sebagai
penerima dan penilai hasil penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
Fungsi Sismennas.
Fungsi pokok Sismennas adalah pemasyarakatan politik, yaitu suatu pengenalan (adaptasi) dan penyesuaian (adjustment) untuk menumbuhkan pemahaman hak dan kewajiban masyarakat terhadap negara sebagai organisasi. Pemasyarakatan politik perlu ditumbuh-kembangkan dalam masyarakat sebagai upaya menemukan keseimbangan karena adanya interaksi yang datang dari bawah, yaitu dari lingkungan masyarakat atau tatanan luar (Outer Setting), yang memperjuangkan kepentingan dan aspirasi sebagai haknya dengan tatanan dalam (Inner Setting) sebagai pengolah dan pemutus kebijakan-kebijakan yang harus dipatuhi dan menjadi kewajiban masyarakat untuk melaksanakannya.
5 Ibid, hal. 8.
7
Proses Sismennas.
Proses Sismennas adalah siklus pengambilan keputusan yang
diawali dari arus masuk (input) kemudian berproses dalam Tata
Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB) kemudian dihasilkan
kebijakan pemerintah atau arus keluar (output) dan menjadi kemamfaatan
(outcome).
Sesuatu yang disoroti dalam essay ini adalah arus keluar atau
output dari proses atau Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan
dengan hasil yang diharapkan adalah :
a. Aturan, norma, patokan, pedoman dan lain sebagainya atau disebut “kebijakan umum (public policies)”;
b. Penyelenggaraan, penerapan, penegakan, ataupun pelaksanaan berbagai kebijakan nasional yang lazimnya dijabarkan dalam sejumlah program dan berbagai kegiatan;
c. Penyelesaian segala macam perselisihan, pelanggaran, dan penyelewengan yang timbul sehubungan dengan penentuan, penerapan, penegakan, dan penyelenggaraan kebijakan umum serta program dan kegiatan, dalam upaya mewujudkan tertib hukum.6
Dari pemahaman di atas, pada Arus Keluar terdapat tiga fungsi utama,
yaitu : Pembuatan Aturan (rule making), Penerapan Aturan (rule aplication),
Penghakiman Aturan (rule adjudication), yang mengandung arti penyelesaian
perselisihan berdasarkan penentuan kebenaran peraturan yang berlaku.
Kebijakan Publik.
Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004, 1-7).
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan
6 Ibid, hal. 12.
8
Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati. 7
2. Masalah dan Tantangan Ketahanan Pangan.
Berdasarkan beberapa literatur seperti misalnya bahan ajaran yang
disampaikan Dr. Ir. Hermanto, MS (Sekretaris Badan Ketahanan Pangan)
kepada para peserta PPRA 48 tanggal 28 Maret 2012 di Lemhannas R.I
dan beberapa literatur lain yang dapat kita kumpulkan secara umum
permasalahan dan tantangan Ketahan Pangan di Indonesia antara lain
menyangkut beberapa aspek, yaitu :
a. Aspek Kertersediaan Pangan. Masalah pokok dari aspek ini
disebabkan semakin terbatas dan menurunnya produksi dan daya
saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor tehnis dan
sosio-ekonomi, antara lain.
1) Semakin berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih
fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti untuk kawasan
industri dan perumahan.
2) Produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
3) Penggunaan tehnologi produksi yang belum efektif dan efisien.
4) Infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis
dan kemampuannya semakin menurun.
5) Masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca
panen (10-15%).
6) Kegagalan produksi karena faktor iklim seperti El-Nino yang
berdampak pada musim kering yang panjang di wilayah Indonesia
dikala musim kemarau dan banjir dikala musim hujan.
7) Penyediaan sarana produksi yang belum sepenuhnya terjamin oleh
pemerintah.
8) Sulitnya mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dalam produksi
pangan karena besarnya jumlah petani kecil (21 juta rumah tangga
7 http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakan-publik, diunduh 1 Mei 2012.
9
petani) dengan lahan produksi luas areal atau lahan yang semakin
sempit dan terfragmentasi (laju 0,5%/ tahun).
9) Tidak adanya jaminan dan pengaturan harga produk pangan yang
wajar dari pemerintah kecuali beras.
10)Tata niaga produk pangan yang belum pro petani termasuk
kebijakan tarif impor yang melindungi kepentingan petani.
11)Terbatasnya devisa untuk impor pangan sebagai alternatif terakhir
bagi penyediaan pangan.
b. Aspek Distribusi Pangan.
1) Belum memadainya infrastruktur, prasarana distribusi darat dan
antar pulau yang dapat menjangkau seluruh wilayah konsumen.
2) Belum merata dan memadainya infrastruktur pengumpulan,
penyimpanan dan distribusi pangan, kecuali beras.
3) Sistem distribusi pangan yang belum efisien.
4) Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan
antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem
distribusi pangan agar pangan tersedia sepanjang waktu diseluruh
wilayah konsumen.
5) Belum berperannya kelembagaan pemasaran hasil pangan secara
baik dalam menyangga kestabilan distribusi dan harga pangan.
6) Masalah keamanan jalur distribusi dan pungutan resmi pemerintah
pusat dan daerah serta berbagai pungutan lainnya sepanjang jalur
distribusi dan pemasaran telah menghasilkan biaya distribusi yang
mahal dan meningkatkan harga produk pangan.
c. Aspek konsumsi Pangan.
1) Belum berkembangnya teknologi dan industri pangan berbasis
sumber daya pangan lokal.
2) Belum berkembangnya produk pangan alternatif berbasis sumber
daya pangan lokal.
3) Tingginya konsumsi beras per kapita per tahun (tertinggi di dunia
diatas 100 kg, Thailand 60 kg, Jepang 50 kg).
10
4) Kendala budaya dan kebiasaan makan pada sebagian daerah dan
etnis sehingga tidak mendukung terciptanya pola konsumsi
pangan dan gizi seimbang serta pemerataan konsumsi pangan
yang bergizi bagi anggota rumah tangga.
5) Rendahnya kesadaran masyarakat, konsumen maupun produsen
atas perlunya pangan yang sehat dan aman.
6) Ketidakmampuan bagi penduduk miskin untuk mencukupi pangan
dalam jumlah yang memadai sehingga aspek gizi dan keamanan
pangan belum menjadi perhatian utama.
d. Aspek Pemberdayaan Masyarakat.
1) Keterbatasan prasarana dan belum adanya mekanisme kerja yang
efektif di masyarakat dalam merespon adanya kerawanan pangan,
terutama dalam penyaluran pangan kepada masyarakat yang
membutuhkan.
2) Keterbatasan keterampilan dan akses masyarakat miskin terhadap
sumber daya usaha seperti permodalan, teknologi, informasi pasar
dan sarana pemasaran meyebabkan mereka kesulitan untuk
memasuki lapangan kerja dan menumbuhkan usaha.
3) Kurang efektifnya program pemberdayaan masyarkat yang selama
ini bersifat top-down karena tidak memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan kemampuan masyarakat yang bersangkutan.
4) Belum berkembangnya sistem pemantauan kewaspadaan pangan
dan gizi secara dini dan akurat dalam mendeteksi kerawanan
pangan dan gizi pada tingkat masyarakat.
e. Aspek Manajemen.
Keberhasilan pembangunan ketahanan dan kemandirian
pangan dipengaruhi oleh efektifitas penyelenggaraan fungsi-fungsi
manajemen pembangunan yang meliputi aspek perencanan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian serta koordinasi
berbagai kebijakan dan program. Masalah yang dihadapi dalam aspek
manajemen adalah :
a. Terbatasnya ketersediaan data yang akurat, konsisten , dipercaya
dan mudah diakses yang diperlukan untuk perencanaan
11
pengembangan kemandirian dan ketahanan pangan. Dalam
bahasa Sismennas disebut Sistem Informasi Nasional (Simnas)
yang belum terintegrasi dengan baik dan datanyapun belum
akurat.
b. Belum adanya jaminan perlindungan bagi pelaku usaha dan
konsumen kecil di bidang pangan.
c. Lemahnya koordinasi dan masih adanya iklim egosentris dalam
lingkup instansi dan antar instansi, subsektor, sektor, lembaga
pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah dan antar
daerah.
3. Beberapa Kebijakan Publik yang Sudah Ada Dibidang Pangan berupa
Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan beberapa literatur seperti dari website Kementerian Hukum
dan HAM http://www.djpp.depkumham.go.id/kerja/lncari.php?c=pangan ada
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah Pangan,
yaitu :
a. Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. UU ini mengatur
tentang pangan yang pembuatannya didasarkan pada beberapa pasal
dalam UUD 1945 (amandemen), yaitu : pasala 5 (1) tentang hak
Presiden mengajukan rancangan UU, pasal 20 (1) tentang kekuasaan
DPR membentuk UU, pasal 27 (2) tentang hak tiap-tiap warga negara
atas pekerjaannya dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
pasal 33 tentang perekonomian negara disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.
UU ini bertujuan mengatur, membina dan mengawasi masalah pangan
agar :
1) Tersediannya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia.
2) Terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan
3) Terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.8
b. Kepres nomor 41 tahun 2001 tentang Dewan Bimbingan Massal
Ketahanan Pangan.
8 ______ UU R.I. Nomor 7 tahun 1996 Tentang Pangan, Pasal 3.
12
c. Kepres nomor 132/ 2001 tentang Dewan Ketahanan Pangan. Dewan
Ketahanan Pangan ini dimasa Presidennya Megawati, yang pada
dasarnya keanggotaan tidak berbeda dengan Dewan Ketahanan
Pangan di era Presiden SBY.
d. Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan. PP ini dibuat atas dasar UUD 1945 (amandemen) pasal 5 (2)
dan sebagai penjabaran dari UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan.
e. PP nomor 28/ 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. PP ini
juga bagian dari penjabaran UU No. 7/ 1996 tentang Pangan.
f. UU nomor 4 tahun 2006 tentang Perjanjian Mengenai Sumber Daya
Genetik Tanaman Pangan dan Pertanian. Undang-undang ini
merupakan pengesahan terhadap “International Treaty on Plant Genetic
Resources for Food and Agriculture”.
g. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83/ 2006 tentang Dewan
Ketahanan Pangan. Perpres ini dibuat untuk mewujudkan Ketahanan
Pangan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 7/ 1996 tentang
Pangan dan sebagai kelanjutan dari Kepres No. 132/ 2001 tentang hal
yang sama yaitu Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Perpres ini dibuat
atas dasar pasal 4 (1) UUD 1945 tentang Presiden sebagai pemegang
kekuasaan Pemerintah. Yang diatur dalam Perpres ini adalah
pembentukan, tugas dan susunan organisasi DKP. Salah satu tujuan
dibentuknya DKP ini adalah untuk membantu Presiden merumuskan
kebijakan dalam rangka mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional
dengan cakupan tugas meliputi masalah kegiatan dibidang penyediaan
pangan, distribusi pangan, cadangan pangan, penganekaragaman
pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan dan gizi.
Ketua DKP adalah Presiden R.I dan Ketua Harian adalah Menteri
Pertanian, sedangkan Sekretaris merangkap anggota adalah Kepala
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian. Anggotanya ada 18
Kementerian dan Lembaga dan dalam Perpres ini juga diatur masalah
Dewan Ketahanan Pangan Provinsi, Kabupaten/ Kota dan Tata Kerja
dari pada DKP.
h. Perpres nomor 22/ 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganeka-
ragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal.
13
i. UU nomor 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. UU ini dibuat atas dasar pertimbangan yang penting
yaitu
Bahwa lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional;
Bahwa negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. 9
Inti dari UU Nomor 41/ 2009 ini adalah melakukan perlindungan lahan
pertanian oleh pemerintah secara berkelanjutan dengan tujuan :
1) Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 2) Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; 3) Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; 4) Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; 5) Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan
masyarakat; 6) Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; 7) Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; 8) Mempertahankan keseimbangan ekologis; dan 9) Mewujudkan revitalisasi pertanian. 10
j. PP nomor 12/ 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
k. PP nomor 25/ 2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. PP ini sebagai penjabaran dari pasal 60 UU Nomor 41/
2009 Tentang PLPB dengan tujuan :
Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan bertujuan untuk:
a. Mewujudkan penyelenggaraan perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan secara terpadu dan berkelanjutan; dan
b. Menghasilkan data dan Informasi yang akurat, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan yang digunakan sebagai dasar perencanaan, penetapan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan
9 ______ UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan (PLPB), Jakarta, 2012, Pertimbangan.10 ______ UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, Pasal 3.
14
serta lahan dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dapat diakses oleh Masyarakat dan Pemangku Kepentingan. 11
l. PP nomor 30/ 2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan.
4. Analisis Pengambilan Keputusan Kebijakan Publik di Bidang Pangan
yang Dilandasi Oleh Nilai-nilai Sismennas Akan Meningkatkan
Kemandirian Bangsa.
Jika kita melihat nilai Sismennas yang mengutamakan sistem yang
artinya seluruh unsur dan bagian-bagian dalam sistem saling berkorelasi
dan terorganisir untuk mencapai tujuan, maka sesungguhnya ketika akan
mengambil keputusan kebijakan publik melalui arus masuk (input) dan
dalam proses Tatanan Pengambilan Keputusan Berkewenangan (TPKB)
tidak akan ada masalah. Dapat dipastikan bahwa pengambilan keputusan
yang menyangkut kebijakan publik baik itu berupa peraturan perundang-
undangan ataupun kesepakatan lainnya akan sesuai dengan aspirasi
masyarakat, karena sudah melalui proses arus masuk yang seharusnya
melalui Tata Kehidupan Masyarakat (TKM) maupun Tata Politik Nasional
(TPN). Permasalahannya sering kebijakan publik yang diambil belum
melalui proses arus masuk yang benar atau kebijakan publik itu
merupakan “rekayasa” kelompok tertentu yang cenderung mencederai
aspirasi masyarakat kebanyakan karena untuk kepentingan dan atau
keuntungan kelompok-kelompok tertentu tersebut dengan seolah-olah
mengatasnamakan Tata Kehidupan Masyarakat dan Tata Politik Negara.
Sismennas berdasarkan pada Pancasila sebagai landasan falsafati,
ini menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila juga melandasi Sismennas.
Misalnya nilai Tauhid (Ketuhanan) dan nilai toleransi akan memberikan
inspirasi bahwa kebijakan publik dibidang pangan misalnya masalah
konsumsi daging, tentu akan memperhatikan keyakinan umat beragama
seperti Islam yang hanya dapat mengkonsumsi bahan pangan yang halal,
demikian juga umat yang beragama Hindu tidak akan mengkonsumsi
pangan daging sapi misalnya. Kebijakan publik yang memperhatikan nilai-
nilai Ketuhanan dan toleransi ini tentu akan sangat aspiratif pada Tata
11 ______ Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2012 Tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Pasal 2.
15
Kehidupan Masyarakat dan dengan demikian akan dapat dilaksanakan
dengan baik untuk kemudian memberikan kontribusi Ketahanan Pangan
dan kemudian kedaulatan pangan dan kemandirian bangsa itu sendiri.
Nilai pluralistik atau pengakuan atas berbagai perbedaan baik
agama, suku bangsa, ras dan sebagainya. Nilai ini juga tentu menerima
perbedaan kebiasaan masyarakat lokal dalam mengkonsumsi pangan
dikaitkan dengan kondisi geografi masing-masing. Misalnya orang Jawa
dan Sumatera bahan pangan pokoknya adalah beras karena memang
kondisi geografinya cocok untuk bercocok tanam padi. Masyarakat
Maluku sudah sejak lama dikenal pangan pokoknya adalah sagu, karena
memang secara geografis tanah Maluku banyak ditumbuhi tanaman sagu.
Masyarakat Nusa Tenggara pangan pokoknya sejak lama dikenal adalah
jagung karena memang kondisi tanahnya subur untuk ditanami jagung
pada waktu-waktu tertentu. Akan tetapi kondisi saat ini ada pergeseran
yang sangat drastis sekali, dimana masyarakat Indonesia sudah
mayoritas mengkonsumsi beras bahkan bagi masyarakat desa
mengkonsumsi beras sebagai sebuah “prestice”, sehingga banyak
masyarakat meninggalkan makan sagu atau jagung ataupun jenis-jenis
pangan lainnya seperti ubi-ubian. Kebijakan publik tentang konsumsi
pangan ini ditinjau dari nilai pluralistik perlu diperhatikan kembali,
sehingga disamping betul-betul memberdayakan lahan yang luas untuk
memproduksi pangan sebanyak-banyaknya secara proposional dan
secara swadaya juga perlu pengaturan diversifikasi pangan. Dengan
demikian nilai-nilai pluralistik akan memberikan pengambilan keputusan
kebijakan publik dibidang pangan tidak hanya memperhatikan
ketersediaan pangan, tetapi juga memperhatikan kemampuan
memproduksi secara swadaya secara proporsional dan dengan demikian
kedaulatan pangan akan terujud serta kemandirian bangsa akan semakin
kokoh.
Demikian juga nilai-nilai moderat dan nilai-nilai kebebasan terbatas
yang terkandung dalam Pancasila, akan mempengaruhi pengambilan
kebijakan publik dibidang pangan dengan sangat baik, yang
memperhatikan akan kehendak atau keinginan masyarakat dengan tetap
16
juga memperhatikan nilai-nilai yang lain seperti persatuan dan kesatuan.
Jika kita kaitkan dengan nialai-nilai yang mendasari Wawasan Nusantara
yaitu persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa dan negara. Bahwa
kebijakan publik yang mengatur tentang penyebaran atau sentra-sentra
produksi pangan tertentu diwilayah tertentu sesuai dengan kondisi
geografi pada dasarnya adalah untuk seluruh Indonesia dan dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Betapa indah dan spektakulernya
setiap penduduk dimuka bumi Indonesia yang memang secara geografis
berbeda-beda dan secara khas makanan pokok mereka berbeda, tetapi
mereka dapat saling menikmati produksi sesama warga masyarakat
Indonesia dengan kondisi yang terjangkau tanpa menghilangkan
kekhasan dari pada bahan panganan pokok mereka masing-masing.
Demikian juga apabila kita melihat baik Tata Nilai Sismennas yang
menekankan pada suatu usaha yang menyeluruh untuk memadukan
faktor karsa (sebagai pemberi arah pembangunan), faktor sarana
(sebagai sumber daya) dan faktor upaya (sebagai upaya pengambilan
keputusan kebijaka publik). Melihat dari Tata Nilai ini maka sesungguhnya
pengambilan keputusan yang merupakan inti dari Sismennas itu sendiri
sudah melalui proses penyesuaian atau mendasari pada faktor karsa atau
katakanlah visi dari pada bangsa Indonesia yang terkandung pada alinea
ke 4 Pembukaan UUD 1945 maupun visi-visi operasional lainnya baik
Grand Strategi Pembangunan, RPJPM maupun Renstra dan Renja yang
dibuat setiap tahun oleh setiap Kementerian dan Lembaga. Dengan
demikian sesungguhnyalah kebijakan publik dibidang pangan dapat
dipastikan akan memperkokoh kedaulatan pangan dan kemandirian
bangsa.
Jika kita mengamati kebijakan publik dibidang pangan yang ada
saat ini secara umum juga sesungguhnya sudah mengacu pada nilai-nilai
Sismennas seperti misalnya secara tertulis dicantumkan mendasari pada
Pancasila dan UUD 1945. Seperti contoh misalnya UU No. 7/ 1996
tentang Pangan sendiri, jika kita lihat substansinya sudah mengacu pada
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hanya persoalannya dimasa
reformasi ini ada kecurigaan bahwa UU Pangan ini hanya menekankan
17
pada ketersediaan pangan pada tingkat rumah tangga saja sebagai
sebuah pengaruh politik kebijakan yang dibuat oleh Food and Agricultur
Organization (FAO). Sehingga ada kecurigaan bahwa UU Pangan No. 7/
1996 ini adalah rezim Ketahanan Pangan semata tetapi mengabaikan
Kedaulatan Pangan atau kemampuan secara mandiri untuk secara
swadaya memproduksi bahan pangan. Lebih-lebih jika kita melihat kondisi
geografis Indonesia sebagai wilayah agraris, alangkah naifnya jika suatu
ketika nanti negara yang agraris nan subur tetapi masalah ketersediaan
pangan tergantung pada negara-negara “besar” yang memang
memproduksi bahan pangan lebih baik atau karena menguasai
perekonomian/ perdagangan pangan seperti Singapore yang dengan
demikian kita akan “dipermainkan” oleh para pemiliki modal atau negara-
negara “adidaya”. Apabila itu terjadi maka kedaulatan bangsa sebagai
tarohannya, kemandirian bangsa akan tergadaikan. Padahal apabila kita
mempelajari bahwa jika Ketahanan Pangan itu sebagai bagian dari
Ketahanan Nasional, maka ada sesuatu yang sangat esensi dalam
doktrin ketahanan itu sendiri, yaitu nilai “kemandirian”. Jadi sesungguhnya
menurut penulis tidak akan ada masalah dengan UU Pangan yang ada
apabila doktrin kemandirian betul-betul diimplementasikan oleh para
penyelenggara negara khususnya yang berkaitan dengan Pangan dan
para pengusaha besar dibidang pangan yang berkebangsaan Indonesia.
Dengan kata lain penulis mencurigai justru sesungguhnya permasalahan
yang ada pada tataran implementasi kebijakan publik itu sendiri, bukan
pada substansinya. Hal ini sejalan dengan teori Friedman tentang
aktualisasi hukum (baca juga kebijakan publik) yang menyatakan ada tiga
faktor yang mendukung teraktualisasi atau tegaknya hukum, yaitu
substance, structure dan culture. Pembahasan pada structure adalah
menyangkut aparat yang menegakkan hukum itu sendiri. Bahkan
dikatakan kalaupun suatu hukum (kebijakan publik) tidak begitu baik
substansinya, tetapi jika ditangani oleh orang-orang (structure) penegak
hukum yang baik maka akan baiklah kondisi yang terjadi. Tetapi
sebaliknya sungguhpun substansi suatu kebijakan publik atau hukum itu
sangat baik tetapi ditangani oleh orang-orang yang tidak baik, maka
keluarannya akan tidak baik.
18
Demikian juga dengan peraturan perundang-undangan dibidang
pangan (kebijakan publik) yang lain seperti Peraturan Pemerintah No. 68/
2002 tentang Ketahan Pangan itu sendiri, Peraturan Presiden No. 83/
2006 tentang Dewan Ketahan Pangan dan lebih khusus lagi dengan UU
No. 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Apabila semua ditegakkan dengan baik maka tentunya
tantangan dan permasalahan-permasalahan pangan seperti masalah
ketersediaan pangan (produksi pangan), distribusi pangan, konsumsi
pangan, pemberdayaan masyarakat dan manajemen akan teratasi
dengan baik. Dengan demikian ketahanan pangan akan terujud dan
kemandirian bangsa akan terjamin dengan sendirinya. Tentu saja disana
sini perlu adanya pengambilan keputusan akan kebijakan publik yang
baru dibidang pangan, seperti misalnya masalah isu amandement UU No.
7/ 1996 tentang Pangan agar ada semacam kepastian akan kedaulatan
pangan agar lebih terjamin.
C. Penutup.
Jika kita melihat nilai-nilai yang terkandung pada Sismennas seperti misalnya
nilai kesisteman, nilai-nilai Ketuhanan, toleransi, pluralistik, kebersamaan, sosial,
kebebasan yang terbatas dan nilai-nilai yang lainya maupun kita melihat dari
sistem Tata Nilai Sismennas sendiri yang memadukan antara faktor karsa, faktor
sarana dan faktor upaya maka sesungguhnya dengan sendirinya akan menjamin
arus keluar (output) dari pada Sismennas dalam bentuk keputusan kebijakan
publik yang baik. Demikian halnya jika proses Sismennas yang berintikan pada
pengambilan keputusan yang berkewenangan diterapkan dalam menghadapi
tantangan dan permasalahan pangan, akan menghasilkan produk kebijakan
publik atau peraturan perundang-undangan yang berpihak kepada masyarakat
dalam arti mewujudkan kesejahteraaan masyarakat untuk mewujudkan tidak
hanya sekedar ketahanan pangan, tetapi juga kedaulatan pangan dan dengan
demikian kemandirian bangsa akan semakin meningkat.
Peraturan perundang-undangan dibidang pangan yang sudah ada saat ini
seperti misalnya UU No. 7/ 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah No. 68/
2002 tentang Ketahanan Pangan, Peraturan Presiden No. 83/ 2006 tentang
Dewan Ketahanan Pangan, UU No. 41/ 2009 tentang Perlindungan Lahan
19
Pertanian Pangan Berkelanjutan dan lain-lain, dilihat dari proses Sismennas
sudah baik dalam artian sudah berlandaskan pada nilai-nilai Sismennas maupun
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana dicantumkan dalam
pertimbangan dan dasar pembuatan peraturan dan perundang-undangan
tersebut. Permasalahannya berdasarkan teori aktualisasi hukum dari Friedman
ada pada stuktur hukum atau aparat yang menjalankan baik Kementerian terkait
dibidang pangan seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Kelautan dan lain-lain dan aparat
penegak hukumnya sendiri sesuai yang ditunjuk dalam kebijakan publik tersebut
seperti Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian terkait.
Walaupun demikian amandemen atau perubahan ataupun revisi dan bahkan
mungkin membuat kebijakan publik yang baru dibidang pangan perlu sekali
dilakukan. Seperti misalnya amandemen UU No. 7/ 1996 tentang Pangan perlu
dilakukan untuk lebih menjamin adanya kepastian Kedaulatan Pangan untuk
selanjutnya memberikan kontribusi pada kemandirian bangsa.
Jakarta, Mei 2012
Drs. Zulkarnain
Nomor Urut Absen : 82Kelompok : A/ PPRA-48/ 2012