Lele

27
HASIL DAN PEMBAHASAN Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4 bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah, sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan. Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121ºC selama 2

Transcript of Lele

Page 1: Lele

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tepung Ikan 1. Pembuatan Tepung Ikan

Persiapan utama dalam pembuatan biskuit pada penelitian ini adalah

pembuatan tepung ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo yang digunakan berasal

dari DeJee Fish yang merupakan salah satu tempat budidaya ikan lele dumbo di

daerah Cibaraja, Kabupaten Sukabumi. Ikan lele yang digunakan berumur 3-4

bulan dan mempunyai panjang 40-60 cm. Pembuatan tepung ikan lele dumbo

diawali dengan sortasi ikan. Ikan yang telah dimatikan dikuliti dan dibuang isi

perutnya. Lalu dipisahkan antara bagian badan ikan dan kepala ikan. Menurut

LIPI (1999), pada pembuatan tepung ikan sebagai pakan ternak seluruh bagian

ikan digunakan terutama limbah ikan. Tapi pada pembuatan tepung ikan yang

digunakan pada penelitian ini kulit dan isi perut ikan dibuang. Pembuangan kulit

bertujuan agar tepung ikan yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah,

sedangkan pembuangan isi perut bertujuan untuk menghambat kerusakan ikan

sebelum ditangani. Hal ini sesuai dengan Wibowo (2006) yang menyatakan

bahwa dalam pembuatan filet ikan isi perut yang menjadi sumber enzim dan

bakteri harus disiangi agar tidak mencemari daging ikan.

Gambar 4 Ikan lele dumbo yang telah dikuliti dan dibuang isi perutnya

Proses selanjutnya dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo adalah

pemasakan. Ikan dikukus dengan tekanan tinggi (presto) dengan menggunakan

autoklaf. Menurut Moeljanto (1982b), tujuan utama proses pemanasan adalah

untuk menghentikan proses pembusukan, baik oleh bakteri, jamur, maupun

enzim. Proses pemanasan menurut Mendez dan Abuin (2006), dapat

menghindarkan terbentuknya off-flavor pada produk ikan. Selain itu, proses

pembusukan dapat dihentikan sama sekali bila waktu dan suhu yang digunakan

cukup sehingga pada pembuatan tepung ini digunakan suhu 121ºC selama 2

Page 2: Lele

jam. Proses pemanasan dengan tekanan tinggi juga bertujuan untuk melunakkan

tulang ikan sehingga dapat meningkatkan rendemen tepung. Selain itu

diharapkan pula tulang ikan dapat memberikan sumbangan mineral pada tepung.

Proses pemasakan badan dan kepala ikan dilakukan secara terpisah agar

keempukan bahan yang dihasilkan seragam. Proses pemanasan menurut

Fennema (1996) juga memiliki efek yang menguntungkan, yaitu dalam hal

inaktifasi toksin dalam bentuk protein seperti toksin botulinum yang dihasilkan

oleh Clostridium botulinum dan enterotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus. Fennema menambahkan bahwa proses pemanasan

dapat menyebabkan denaturasi protein yang akan meningkatkan daya cerna

pangan. Pemanasan juga dapat menginaktifkan beberapa enzim yang terkait

dengan kerusakan pangan seperti protease, lipase serta enzim yang bersifat

oksidatif dan hidrolisis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada

ikan. Menurut Moeljanto (1982b), kadar air pada daging ikan hal yang

menentukan pada proses pembusukan. Bila kadar airnya dikurangi maka proses

pembusukan dapat terhambat. Oleh karena itu, setelah dimasak daging dan

kepala ikan yang telah matang dipres untuk mengeluarkan sebagian besar air

dan sebagian minyak. Selain itu Moeljanto juga menyatakan bahwa bila proses

pengeringannya berjalan terus menerus, maka proses pembusukannya akan

berhenti, sehingga setelah pengepresan dilakukan pengeringan lebih lanjut

dengan menggunakan drum dryer.

Menurut Juming et al (2003) di dalam Fernando (2008), penggunaan

drum dryer memiliki beberapa keuntungan, antara lain produk yang dihasilkan

memiliki porositas dan rehidrasi yang baik, alat yang digunakan bersih dan

higienis karena suhu alat yang tinggi dapat menginaktifkan mikroorganisme, dan

mudah dioperasikan. Menurut Brennan (1974), alat pengering drum memiliki

kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis.

Selain itu Bluestein dan Labuza (1988) mengatakan bahwa drum dryer

merupakan salah satu metode pengeringan yang relatif murah. Penggunaan

pengering drum pada penelitian ini juga didasarkan pada bentuk bahan. Ikan

setelah dipres akan berbentuk pure agak kering yang dapat ditaburkan dari atas

drum.

Pada pembuatan tepung ikan, drum dryer yang digunakan bersuhu 80oC

dengan tekanan 3 bar. Pengeringan dengan pemanas drum menghasilkan

Page 3: Lele

serpihan ikan kering yang sangat tipis yang kemudian dihaluskan menggunakan

willey mill. Tepung yang dihasilkan setelah penggilingan berukuran sekitar 60

mesh. Tepung daging atau tubuh ikan berwarna cokelat muda, sedangkan

tepung kepala berwarna agak gelap (Gambar 5) karena pada proses pembuatan

tepung kepala, lapisan kulit yang berwarna hitam pada kepala ikan lele tidak

dibuang. Selain itu, warna tepung kepala yang lebih gelap daripada tepung

badan ikan diduga karena reaksi pencoklatan yang terjadi pada tepung kepala

ikan lebih tinggi. Pada proses pengeringan, suhu dan waktu yang digunakan

pada tepung badan dan kepala sama, sedangkan pada kepala ikan kandungan

airnya lebih sedikit daripada badan ikan sehingga kecepatan mengeringnya

berbeda.

A B

Gambar 5 Tepung badan (A) dan kepala (B) ikan lele dumbo

2. Sifat Fisik Tepung Ikan Selain analisis sifat kimia, dilakukan pula analisis sifat fisik tepung.

Analisis sifat fisik tepung yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kadar aw,

densitas kamba tepung dan derajat putih tepung. Data analisis sifat fisik tepung

ikan dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 8.

a. aw Menurut Bluestein dan Labuza (1988), air terdistribusi dalam bahan

pangan walaupun pangan telah dikeringkan. Kandungan air dalam bahan

pangan mempengaruhi daya tahan makanan terhadap serangan mikroorganisme

yang dinyatakan dengan aw. Menurut Winarno (1997), aw adalah jumlah air bebas

yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai

mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh. Hasil pengukuran

aw tepung badan dan kepala ikan lele dumbo disajikan pada Gambar 6.

Page 4: Lele

Gambar 6 aw tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat aw tepung badan (0.71) ikan lebih besar daripada tepung kepala ikan (0.66). Menurut Bluestein dan Labuza (1988), mikroorganisme yang mungkin tumbuh kisaran aw tersebut adalah kapang.

b. Densitas Kamba Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan

volume bahan itu sendiri dengan satuan g/ml. Semakin tinggi densitas kamba

menunjukkan produk semakin ringkas atau padat. Nilai densitas juga

menunjukkan porositas bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang

lebih sedikit karena lebih sedikit rongga antar partikel. Banyaknya rongga antar

partikel dan besarnya ukuran partikel akan menyebabkan banyak ruang kosong

tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel tersebut. Hal ini menyebabkan jumlah

partikel yang menempati suatu volume ruang lebih sedikit (Khalil 1999).

Gambar 7 Densitas kamba tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 7), diketahui bahwa densitas

kamba tepung badan ikan (0.3710) lebih kecil daripada tepung kepala ikan

Page 5: Lele

(0.4537). Densitas kamba menunjukan kepadatan partikel yang menempati

ruang pada volume tertentu. Nilai densitas kamba yang lebih rendah

menunjukkan pada volume yang sama jumlah partikel yang menempati ruang

pada volum tersebut adalah lebih ringan daripada tepung dengan densitas yang

lebih tinggi. Berarti dalam berat yang sama, volume tepung badan ikan dengan

densitas kamba lebih rendah adalah lebih besar daripada volume tepung kepala

ikan dengan densitas kamba yang lebih tinggi.

Wirakartakusumah et al (1999) menyatakan bahwa densitas kamba

makanan pada umumnya adalah antara 0.3-0.8 g/ml. Berdasarkan rentang

tersebut, densitas kamba tepung ikan, baik tepung kepala maupun tepung badan

berada dalam kisaran densitas kamba pangan secara umum.

c. Derajat Putih Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat

kaitanya dengan mutu penerimaan konsumen. Bahan pangan yang memiliki

warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Tepung ikan lele dumbo

diukur derajat putihnya untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh

penambahan tepung ikan terhadap warna biskuit yang dihasilkan. Menurut

Faridah et al. (2008), prinsip pengukuan Whiteness Meter adalah melalui

pengukuran indeks refleksi dari permukaan contoh dengan sensor foto dioda.

Semakin putih contoh, maka cahaya yang dipantulkan semakin banyak dan

semakin tinggi derajat putih contoh. Berdasarkan pengukuran dengan Whiteness

Meter, derajat putih tepung dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil pengukuran derajat putih tepung ikan lele dumbo

Jenis Tepung Derajat Putih (%)

Tepung badan ikan lele 30.9575

Tepung kepala ikan lele 28.9975

Tepung Terigu* 74.7*

Keterangan: *Antarlina (1998)

Hasil diatas menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan memiliki

derajat putih jauh dibawah tepung terigu. Derajat putih tepung kepala ikan lele

memiliki nilai yang lebih rendah daripada tepung badan ikan lele. Hal ini

menunjukkan tepung kepala ikan lele memiliki warna yang lebih gelap

Page 6: Lele

dibandingkan tepung badan ikan lele. Penambahan tepung badan dan tepung

kepala ikan lele pada produk biskuit akan menyebabkan warna biskuit menjadi

lebih gelap.

3. Sifat kimia tepung ikan Tepung ikan yang digunakan pada pembuatan biskuit dibedakan menjadi

2 bagian yaitu tepung badan ikan lele dumbo dan tepung kepala ikan lele dumbo.

Sifat kimia yang dianalisis dari tepung ikan yaitu kadar air, kadar abu, kadar

protein, kadar karbohidrat, dan kadar lemak tepung. Data analisis sifat kimia

tepung ikan dapat dilihat pada Lampiran 9 sampai 13.

a. Kadar Air Gambar 8 menunjukkan hasil analisis kadar air tepung. Kadar air tepung

badan ikan sebesar 7.99% bb dan kadar air tepung kepala ikan sebesar 8.72%

bb. Kadar air ini menunjukkan bahwa tepung ikan yang dihasilkan adalah tepung

ikan berkualitas tinggi. Hal ini sesuai dengan LIPI (1999) yang menyatakan

bahwa tepung ikan yang berkualitas tinggi memiliki kandungan air antara 6%

sampai dengan 10%. Kadar air tepung yang dihasilkan juga sesuai dengan

Moeljanto (1982a) yang menyatakan jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar

air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis.

Apabila kadar air tepung terlalu rendah, maka akan terjadi keseimbangan

dengan kelembaban tempat penyimpanan.

Gambar 8 Kadar air tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Page 7: Lele

4.83

14.1

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Kadar Abu

%

Tepung badan ikan

Tepung kepala ikan

b. Kadar Abu Menurut Winarno (1997), abu merupakan unsur mineral atau zat

anorganik yang terkandung dalam bahan pangan. Abu juga merupakan zat

dalam bahan pangan selain air dan bahan organik. Gambar 9 merupakan grafik

hasil analisis kadar abu tepung ikan.

Gambar 9 Kadar abu tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Berdasarkan hasil uji kadar abu berbasis kering didapat kadar abu tepung

badan ikan adalah sebesar 4.83% bk sedangkan kadar abu tepung kepala ikan

adalah 14.1% bk. Kadar abu tepung kepala ikan lebih tinggi daripada kadar abu

tepung badan ikan. Hal ini dikarenakan kepala ikan lebih banyak mengandung

tulang sehingga sesuai dengan Moeljono (1982) yang menyatakan bahwa

sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang

ikan. Pada tepung badan ikan, tulang hanya berasal dari tulang tengah ikan saja

sehingga kandungan abu pada tepung badan adalah lebih rendah.

c. Kadar Protein

Hasil analisis kadar protein tepung menunjukkan bahwa kadar protein

tepung badan ikan sebesar 63.83% bk lebih besar daripada kadar protein tepung

kepala ikan sebesar 56.04% bk (Gambar 10). Perbedaan ini dikarenakan badan

ikan mengandung lebih banyak daging ikan. Daging ikan sebagian besar

tersusun atas protein miofibrilar yang digunakan untuk pergerakan ikan. Menurut

Mendez dan Albuin (2006), protein miofibrilar menyusun 60-75% total protein

dalam otot yang merupakan kombinasi dari protein kontraktil (aktin dan myosin),

protein pengatur (troponin dan tropomiosin), serta beberapa protein dalam

Page 8: Lele

jumlah minor. Daging ikan juga mengandung sekitar 3% protein jaringan ikat

yang membentuk tekstur daging.

Gambar 10 Kadar protein tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Pada bagian kepala ikan yang digunakan dalam pembuatan tepung,

daging dalam jumlah kecil yang menempel pada kepala tidak dipisahkan. Hal ini

menyebabkan kandungan protein pada tepung kepala ikan masih cukup tinggi.

Pembersihan daging dari kepala ikan tidak dilakukan karena membutuhkan

waktu yang cukup lama sehingga dikhawatirkan akan menurunkan mutu ikan.

d. Kadar Lemak Pada pembuatan tepung ikan, kandungan lemak direduksi pada saat

pengepresan menggunakan hidrolik press. Berdasarkan hasil analisis lemak

pada tepung badan ikan lele adalah sebesar 10.83% bk dan pada tepung kepala

ikan lele adalah sebesar 9.93% bk (Gambar 11). Hasil ini sesuai dengan LIPI

(1999) yang menyatakan bahwa tepung ikan bermutu baik memiliki kadar lemak

antara 5-12%.

Gambar 11 Kadar lemak tepung badan ikan dan tepung kepala ikan

Hasil analisis kadar lemak menunjukkan tepung badan ikan memiliki

kandungan lemak yang lebih tinggi daripada tepung kepala ikan. Hal ini

Page 9: Lele

disebabkan badan ikan mengandung lebih banyak daging dibandingkan bagian

kepala ikan, dimana Mendez dan Albuin (2006), menjelaskan bahwa kandungan

asam lemak tak jenuh pada daging ikan cukup tinggi sehingga tepung ikan yang

dihasilkan dari daging ikan akan menunjukkan kadar lemak yang lebih tinggi dari

tepung yang dibuat dari kepala dan tulang ikan.

e. Kadar Karbohidrat Menurut Adawyah (2007), kandungan karbohidrat dalam daging ikan

berupa polisakarida, yaitu yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-

miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan

segar. Hal ini dikarenakan terjadi pengurangan sejumlah besar air dan lemak

pada proses pengepresan ikan sehingga kadar karbohidrat meningkat.

Gambar 12 Hasil analisis kadar karbohidrat tepung badan ikan

dan tepung kepala ikan

Kadar karbohidrat tepung ikan pada penelitian ini ditentukan dengan

metode by difference yang merupakan penghitungan kadar karbohidrat secara

kasar. Menurut LIPI (1999), tepung ikan (campuran antara kepala dan badan)

kualitas baik memiliki kandungan air minimal 6%, lemak minimal 5%, protein

minimal 60%, dan abu minimal 10%. Bila dihitung menggunakan metode by

difference nilai karbohidrat tepung ikan berkualitas baik menurut LIPI maksimal

sebesar 19%. Dari Gambar 12, diketahui kadar karbohidrat pada tepung badan

ikan sebesar 20.51% bk dan pada tepung kepala ikan sebesar 16.47% bk atau

setelah dirata-ratakan antara tepung badan ikan dan kepala ikan adalah sebesar

18.49%. Karena nilai kadar karbohidrat masih berada dibawah 19%, maka

tepung ikan yang dihasilkan memenuhi syarat LIPI (1999).

Page 10: Lele

Biskuit Balita dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai

Biskuit dalam penelitian ini ditujukan untuk anak balita dengan usia antara

1 sampai 5 tahun. Menurut Khomsan (2004), bayi sampai anak usia 5 tahun

yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan

terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Selain itu menurut Winarno (1997),

usia dua tahun merupakan usia yang sangat rawan karena masa ini merupakan

masa peralihan dari ASI (air susu ibu) ke PASI (pengganti air susu ibu) atau ke

makanan sapihan. Makanan sapihan pada umumnya mengandung karbohidrat

dalam jumlah besar tetapi sangat sedikit kandungan protein atau sangat rendah

mutu proteinnya. Padahal pada usia tersebut protein sangat diperlukan bagi

pertumbuhan anak.

1. Formulasi Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu

protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking

powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati

(2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan

teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada

Tabel 12.

Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan

Komposisi Gram

Konsentrat protein ikan 200

Tepung terigu 350

Gula bubuk 200

Tepung susu 90

Telur 40

Margarin 120

Baking powder 1

Sumber: Wiyati 2004

Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat

protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang

berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan

menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras

dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.

Page 11: Lele

Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan

telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan

biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur

produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega.

Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit

yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit,

sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut.

Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen

dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian,

konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan

lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain

untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga

untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan.

Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung

ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele

dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai

digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga

kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu

merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula.

Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga

didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan

protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004),

umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram

protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi

dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi

1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat

menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit

diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah

ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan

dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan

dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung

sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk

memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram

protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan

Page 12: Lele

kriteria makanan tambahan dimana per 100 gram makanan tambahan harus

mengandung minimal 400 kkal energi dan 15 gram protein.

Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat

formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar

yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada

rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan,

tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat

protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau

maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan

jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang

ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala

ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi

gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung

maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan

semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat

tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini

dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan

tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada

tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu

sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga

biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai

diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak.

Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang

digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10).

Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan,

tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.

Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan

dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah

bahan–bahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap

kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan

lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu,

gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi

biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22.

Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana

menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan

Page 13: Lele

yang tidak elastis. Pembentukan gluten pada pembuatan adonan diminimalkan

sehingga menghasilkan adonan kalis.

Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau

pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap,

yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap

pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk

dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga

membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahan-

bahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung

susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu

diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada

tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat

memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk

menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu

pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga

menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan

krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan

adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan.

Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan

dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah

dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam

waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga

sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam

adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket.

Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan

digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang

seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut

Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat

pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan

berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm.

Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan

menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20

menit dengan suhu awal 1400C dan suhu akhir 1600. Menurut Matz (1992), suhu

dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis

produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan

Page 14: Lele

terhadap tekstur menjadi yang diinginkan, membentukan warna permukaan dan

pengurangan kadar air. Ukuran biskuit setelah pemanggangan berubah dimana

terjadi pengembangan selama pemanggangan. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi pengembangan antara lain ukuran partikel tepung, ukuran

partikel gula, pengadukan adonan, dan penggunaan pelumas pada loyang.

Ketika pemanggangan selesai, biskuit segera didinginkan untuk menurunkan

suhu dan mengeraskan produk akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan

Matz, 1978).

2. Sifat Organoleptik Biskuit

Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik,

melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji

sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.

a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semi-

terlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4

merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman

Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05)

antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa

terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05).

Tabel 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit

Atribut Uji

Formula

F1 F2 F3 F4

Σ Presentase Σ Presentase Σ Presentase Σ Presentase

Warna 23 76.67 18 60.00 26 86.67 30 100.00

Aroma 25 83.33 25 83.33 28 93.33 29 96.67

Tekstur 15 50.00 26 86.67 24 80.00 30 100.00

Rasa 19 63.33 23 76.67 25 83.33 30 100.00

Keseluruhan 24 80.00 25 83.33 27 90.00 30 100.00

Keterangan: F1 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 5 : 5 : 5 F2 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 7.5 : 2.5 : 5 F3 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 2.5 : 2.5 : 10 F4 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 3.5 : 1.5 : 10

Page 15: Lele

Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan

konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen.

Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan

produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk

secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam

pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat

muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh

penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling

rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula

F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang

kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung

ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari

jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan

adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan

mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti

semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang

dihasilkan.

Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan

atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam

hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut

menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahan-

bahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit

untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat

menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada

perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang

kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma

adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit.

Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam

penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling

rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey

diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2,

F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula

yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini

mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung

Page 16: Lele

kepala ikan lele tekstur biskuit menjadi kurang baik. Selain itu, jumlah isolat

protein kedelai yang ditambahkan pada formula F1 lebih sedikit dibandingkan

dengan formula F3 dan F4. Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dalam

bahan pangan dapat berperan sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur

produk. Adapun menurut Manley (1998), kedelai mempunyai lesitin sehingga

penambahan isolat protein kedelai dalam produk bakery berperan sebagai

emulsifier dan dapat memperbaiki tekstur produk.

Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan

panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap

yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis.

Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut

rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar

76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang

dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan

atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis,

terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang

kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda

nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan

selang kepercayaan 95%.

Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula

F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut

yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan

dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.

Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)

Page 17: Lele

b. Uji pada Panelis Anak Balita Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak

balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang

dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk

anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria

penerimaan anak terdiri dari: (1) Jumlah presentase anak yang menolak

makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu

mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian,

penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai hanya

dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2

kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan

biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian

dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak

mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil

diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit

Jenis Biskuit

Biskuit Ikan +

Isolat Protein Kedelai Biskuit komersial

n % n %

Suka 26 86.66 26 86.66

Biasa 2 6.66 1 3.33

Tidak Suka 2 6.66 3 6.66

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai

biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan

jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah

dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak

terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada

taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai

biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai

makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.

Page 18: Lele

c. Uji pada Panelis Ibu Balita

Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula

F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak

kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria

menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu

menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi

jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5).

Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit.

Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit

Warna Aroma Rasa Tekstur

∑ % ∑ % ∑ % ∑ %

% Kesukaan 26 86.67 22 73.33 21 70 23 76.67

Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut

biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan

penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 70-

86.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan

kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan

tambahan anak.

3. Sifat Fisik Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat fisiknya yang meliputi analsis

rendemen, daya serap air, dan tekstur biskuit. Data hasil analisis fisik biskuit

dapat dilihat pada Lampiran 31 sampai 33.

a. Penetapan Rendemen Biskuit Penetapan rendemen dilakukan dengan membandingkan berat produk

yang diperoleh dengan adonan awal. Berdasarkan perhitungan, nilai rendemen

biskuit adalah sebesar 84.29 % dari berat bahan awal. Pengurangan berat ini

disebabkan oleh bahan tepung-tepungan yang terbang ketika diaduk dengan

menggunakan mixer, adonan yang menempel pada alat pengaduk dan

penguapan air yang terjadi pada proses pemanggangan, sehingga berat akhir

yang didapat pada pembuatan biskuit lebih kecil daripada berat bahan yang

digunakan. Berat satu buah biskuit kurang lebih 12.5 gram dengan diameter 5

cm.

Page 19: Lele

b. Daya Serap Air Fennema (1996) menyatakan bahwa daya serap air adalah istilah untuk

mendeskripsikan kemampuan dari molekul matriks untuk secara fisik menjebak

air dalam jumlah besar tetapi tidak sampai menetes. Menurut Zayas (1997), daya

serap air didefinisikan sebagai kemampuan pangan untuk menahan air yang

ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri selama proses yang

dilakukan terhadap pangan tersebut. Zayas menambahkan protein

mempengaruhi daya serap air. Interaksi antara protein dan air terjadi pada gugus

asam amino polar seperti karbonil, hidroksil, amino, karboksil, dan sulfhidril.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap mekanisme interaksi protein air adalah

bentuk protein yang tidak melipat atau berbentuk serabut akan mengikat air lebih

banyak daripada bentuk protein globular. Tetapi Hutton dan Campbel (1981)

menyatakan karbohidrat juga mempengaruhi daya serap air pangan. Molekul

karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih

besar daripada protein.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penyerapan air biskuit akan

menurun dengan semakin meningkatnya kandungan protein biskuit. Dengan kata

lain, semakin banyak tepung ikan dan isolat protein kedelai yang mensubstitusi

tepung terigu dalam pembuatan biskuit, semakin berkurang kadar karbohidrat

biskuit, maka semakin kecil daya serap air biskuit. Inayati (1991), menyatakan

bahwa penyerapan air oleh biskuit mempengaruhi tekstur biskuit di dalam mulut

pada waktu dimakan. Berdasarkan hasil pengujian daya serap air, daya serap air

formula terpilih adalah 1.79 ml/g. Semakin rendah daya serap air, maka

diasumsikan lebih sedikit air liur yang dibutuhkan untuk melunakkan biskuit,

sehingga lebih mudah ketika dimakan. Hasil penelitian Fernando (2008) pada

produk bubur susu kacang tanah instan, daya serap air bubur susu adalah 1.99-

3.47 ml/g. Biskuit formula terpilih memiliki daya serap air yang lebih rendah

daripada bubur susu. Fernando menambahkan semakin rendah daya serap air

pada makanan balita semakin baik, karena menyebabkan bayi tidak mudah

kenyang dan rehidrasinya lebih mudah.

c. Tekstur Biskuit Menurut Peleg dan Bagley (1983), produk pangan yang bersifat padat

bervariasi bentuk, ukuran, dan responsnya terhadap gaya yang mengenainya.

Ditinjau dari sifat reologinya, produk pangan dapat dikelompokkan menjadi

Page 20: Lele

produk yang bersifat padat, semi padat, dan viskoelastis. Biskuit termasuk ke

dalam produk yang bersifat padat. Produk pangan yang padat adalah produk

yang tidak mengalami perubahan bentuk (deformasi) apabila dikenakan gaya

tarik atau gaya tekan.

Gambar 14 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan Texture Analyzer

Prinsip pegukuran tekstur bahan pangan dengan teksturometer adalah

dengan memberikan gaya pada bahan pangan dengan besaran tertentu

sehingga profil tekstur bahan pangan tersebut dapat diukur. Pengukuran

parameter reologi dapat dilakukan dengan instrument Tekstur Analyzer seperti

yang digunakan dalam penelitian ini. Parameter reologi yang diukur pada produk

biskuit adalah kekerasan dan kerapuhan. Kekerasan ditentukan dari gaya

maksimum (nilai puncak), sedangkan kerenyahan ditentukan dari puncak yang

pertama kali terbaca pada tekanan yang pertama (Faridah et al. 2008). Profil

perbedaan kerenyahan dan kekerasan pada sampel secara umum juga dapat

dilihat pada Gambar 15. Hasil uji menunjukan, untuk parameter kerenyahan nilai

rata-rata yang diperoleh adalah 246.6 N/mm, dimana berdasarkan hasil

penelitian Sulaeman (1993) pada makanan balita, nilai kekerasan antara 237-

299 masuk dalam kategori renyah.

4. Sifat Kimia Biskuit Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis

proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data

hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.

Gay

a

Jarak

Page 21: Lele

a. Analisis Proksimat Biskuit Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat

dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air,

kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan

juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis

proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih

Komponen Jumlah

Basis Basah Basis Kering

Air 3.96 4.13

Abu 2.42 2.52

Protein 18.77 19.55

Lemak 21.12 21.99

Karbohidrat 53.72 55.94

Energi 480

Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut

menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada

proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses

pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi

penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit

dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang

disukai.

Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit

berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat

pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di

bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit

dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi

persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI.

Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai

sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar

abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap

tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit

berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5%

(bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb).

Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini

Page 22: Lele

disebabkan oleh tepung ikan yang ditambahkan dalam formula. Kadar abu

tepung kepala ikan adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44%

(bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) sedangkan menurut

SNI kadar abu tepung terigu maksimal 0.6% (bb). Oleh sebab itu substitusi

tepung ikan dan isolat protein kedelai terhadap terigu pada formula biskuit akan

meningkatkan kandungan abu dalam biskuit yang dihasilkan.

Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat

penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi

dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein

sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein

merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan

energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan

sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan

pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein

pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam

masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak

balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas

yang utama.

Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang

mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan

karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal

yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat

dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen

untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein,

maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein

adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka

digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25.

Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung

ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu

biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit

adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah

18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum

biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit

penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan

kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai

Page 23: Lele

yang merupakan bahan makanan tinggi protein. Tujuan utama dari substitusi

adalah untuk meningkatkan kandungan protein biskuit, sehingga dengan kadar

protein biskuit sebesar 18.77%, penggunaan tepung ikan dan isolat protein

kedelai dapat dikatakan berhasil meningkatkan kadar protein biskuit.

Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting

dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung

dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu

margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah

sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk

cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang

ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan.

Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan

menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%.

Jila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar

lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI,

sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang

dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada

persyaratan mutu biskuit pada SNI.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut

Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat

merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat

luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan

karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain

(Winarno 1997).

Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara

lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung

dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by

difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang

dihasilkan adalah 53.72% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum

kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar

karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih

rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian

sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit

dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah

karbohidrat.

Page 24: Lele

Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI,

kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat

protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi

yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein

kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut

Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan

sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang

dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud

adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi

kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami

penurunan adalah karbohidrat.

b. Kandungan Energi Biskuit Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat

protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan

karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar,

dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan

karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996).

Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah

sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat

kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian

pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan

untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. Jika mengacu

pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas

persyaratan minimum nilai energi.

c. Daya Cerna Protein Biskuit Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan

yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya

cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna

protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang

mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor

antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4)

proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit

menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan

Page 25: Lele

meningkatkan daya cerna. Tetapi ditambahkan pula, dengan pemanggangan

daya cerna dapat menurun karena asam amino bebas dapat berikatan dengan

gugus karboksil gula pereduksi seperti fruktosa, laktosa, dan maltosa

membentuk reaksi nonensimatik Maillard. Reaksi Maillard bertanggung jawab

dalam pembentukan aroma dan cita rasa produk yang melalui proses

pemanggangan. Produk dari reaksi Maillard tidak mempunyai nilai gizi pada

mamalia.

Analisis daya cerna protein dapat dilakukan secara biologis,

mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode

enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu

et al. (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro

dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan

larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil

asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit

ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara

biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan

metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu

yang lama.

Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan

tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu

juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit

dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%.

Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna

kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).

5. Analisis Kontribusi Zat Gizi Biskuit Terhadap AKG Balita Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi (AKG) atau biasa juga

dikenal dengan recommended daily allowance (RDA) merupakan taraf konsumsi

zat-zat gizi esensial yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk

memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Kecukupan nilai energi

ditetapkan dengan cara berbeda daripada kecukupan untuk zat gizi lain. AKG

untuk energi mencerminkan rata-rata kebutuhan tiap kelompok penduduk,

sedangkan angka kecukupan protein dan zat gizi lainnya dinyatakan sebagai

taraf asupan yang aman (safe level of intake). Suatu produk dapat memberikan

kontribusi sejumlah zat gizi tertentu dengan menghitung kontribusinya terhadap

Page 26: Lele

AKG. Untuk itu diperlukan penentuan jumlah saji sehingga angka kecukupan gizi

per saji dan kontribusinya terhadap AKG dapat dihitung.

Produk biskuit pada penelitian ini hanya menekankan kontribusi protein

yang diberikan biskuit terhadap pemenuhan AKG balita. Menurut Widya Karya

Pangan dan Gizi (2004), AKG untuk energi dan protein balita umur 1 sampai 3

tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari.

Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein

meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal

energi per hari dan 39 gram protein per hari. Menurut BPOM (2004), pangan

dapat dikatakan “tinggi” protein bila memenuhi sedikitnya 20% dari AKG yang

dianjurkan per saji. Bila AKG untuk balita yang digunakan adalah AKG untuk

anak usia 4-6 tahun maka, 20% dari 39 gram protein adalah 7.8 gram protein

yang harus dipenuhi dari sajian.

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai,

berdasarkan hasil proksimat dan penghitungan energi, per 100 gram sajian

menyumbangkan 480 kkal energi dan 18.8 gram (bb) protein. Berarti untuk

memenuhi target tinggi protein jumlah biskuit yang harus dikonsumsi adalah

41.56 gram biskuit (perhitungan disajikan pada lampiran 41). Dengan kata lain,

untuk memenuhi 20% AKG protein, balita harus mengkonsumsi biskuit sebanyak

41.56 gram biskuit.

Apabila memperhitungkan daya cerna protein produk sebesar 89.34%,

maka biskuit yang harus dikonsumsi untuk memenuhi 20% AKG adalah

sebanyak 46.52 gram (perhitungan disajikan pada Lampiran 40). Bila satu keping

biskuit beratnya sekitar 12.5 gram, untuk memenuhi target, balita harus

mengkonsumsi 4 keping biskuit atau 50 gram biskuit. Dengan asumsi jumlah

biskuit yang dikonsumsi sebanyak 50 gram, maka diperoleh kandungan zat gizi

per takaran penyajian yang disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)

Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian (gram)

Energi (kkal) 240

Protein (gram) 9.8

Karbohidrat (gram) 26.9

Lemak (gram) 10.6

Page 27: Lele

Setelah diketahui kandungan energi dan zat gizi per takaran penyajian,

maka dapat dibuat penentuan AKG per takaran penyajian. Perhitungan AKG

didasarkan pada kecukupan energi dan protein balita menurut WNPG (2004)

yang dibagi menjadi 2 golongan, yaitu usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun.

Perhitungan AKG per sajian disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Angka kecukupan zat gizi per takaran penyajian (50 gram)

Zat Gizi Zat gizi per takaran saji AKG (%)

Usia 1-3 tahun Usia 4-6 tahun

Protein 9.8 gram 39.20 25.12

Energi 240 kkal 24 15.48

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memiliki

kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi.

Dengan memberikan kontribusi protein 25.12% dan 39.20% dari AKG, produk

biskuit dapat dikatakan biskuit tinggi protein. Selain itu biskuit juga memenuhi

kriteria WHO sebagai makanan tambahan karena per 100 gram biskuit

mengandung lebih dari 400 kkal energi dan 15 gram protein. Oleh karena itu,

biskuit balita dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai dapat

dikatakan makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein.