LDL Dan HDL Iqbal
-
Upload
iqbal-gattuso -
Category
Documents
-
view
169 -
download
5
Transcript of LDL Dan HDL Iqbal
Diagnosis Diabetes Melitus
Kriteria Diabetes Melitus (DM) berdasarkan the American Diabetes Assocoation
(ADA):
1. Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L) disertai dengan adanya
gejala diabetes (yaitu poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, penglihatan
kabur) .
2. Glukosa plasma puasa (FPG) (tidak ada asupan kalori selama paling sedikit 8
jam) ≥ 200 mg/dL≥ 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
3. Glukosa 2 jam postprandial (2Hpg) ≥ 200 mg/dL (11.1 mmol/L)
Diagnosis ditegakkan apabila salah satu dari ketiga kriteria tersebut dipenuhi dan
dipertegas dengan kriteia lain pada hari berikutnya.
Pemeriksaan Diabetes Melitus
1. Glukosa Plasma Sewaktu
Pengukuran glukosa plasma sewaktu dapat dilakukan menggunakan glukosa
meter menggunakan strip yang mengandung enzim, seperti glukosa oksidase
atau glukosa dehidrogenase. Setetes darah diletakkan pada strip yang
mengandung reagen untuk dilakukan pengujian.
Tes ini cenderung dilakukan bersamaan dengan telah adanya keluhan klinik
yang mengacu pada diabetes melitus, seperti polidipsi, poliuria, berat badan
yang menurun, glukosuria, dan sebagainya. Jika kadar glukosa plasma > 200
mg/dL maka sudah dikatakan positif DM dan penderita tidak perlu lagi
melakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa. Namun, jika kadar glukosa plasma
sewaktu > 200mg/dL tetapi pasien tidak merasakan gejala DM seperti polidipsi,
polifagia, dan poliuria, pasien diharuskan melakukan tes glukosa darah sewaktu
di lain hari untuk memastikan diagnose
Faktor – faktor yang mengganggu pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
antara lain:
a. Perubahan hematokrit
b. Ketinggian
c. Suhu lingkungan atau kelembaban
d. Ketegangan
e. Konsentrasi trigliserida tinggi
f. Berbagai obat – obatan
2. Glukosa Plasma Puasa
Pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa merupakan pemeriksaan untuk DM
yang sangat direkomendasikan bagi pasien dewasa yang tidak hamil.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara darah diambil pada pagi hari setelah
puasa semalam (tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam selain air
minum).
Tabel kategori glukosa plasma puasa
Klasifikasi diagnosis Glukosa plasma puasa
Normal <100 mg/dL (5.6 mmol/L)
Impaired fasting glukose (IFG) 100–125 mg/dL (5.6–6.9 mmol/L)
Diabetes Melitus FPG ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L)
3. Pemeriksaan Glukosa Darah Post Prandial
Pemeriksaan glukosa 2 jam postprandial merupakan pengukuran kadar
glukosa dalam darah setelah 2 jam pembebanan glukosa yang setara dengan 75 g
glukosa. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk evaluasi aktivitas insulin di
dalam tubuh. Spesimen darah 2 jam setelah makan pada individu puasa
menunjukkan peningkatan yang langka pada individu normal tetapi meningkat
secara signifikan pada individu diabetes.
Tabel kriteria diagnosis hasil pemeriksaan glukosa plasma post prandial
Klasifikasi diagnosis
keadaan penderita
Glukosa plasma
2 jam setelah makan
Normal < 140 mg/dL
IGT* 140-199 mg/dL
Diabetes ≥ 200 mg/dL
Keterangan: *) IGT = Impaired Glucose Tolerance (terganggunya toleransi
glukosa)
[Sumber: Departeman Kesehatan RI, 2005, telah diolah kembali]
4. Tes Toleransi Glukosa (TTGO)
Sebelum dilakukan tes, pasien diharuskan berpuasa selama 12 jam, kemudian
dilakukan pengambilan sampel darah untuk selanjutnya dibuat kurva. Secara
umum sama dengan pemeriksaan GDPP, perbedaannya adalah setelah diambil
darah dan urin ke-1 pasien tidak makan tetapi minum glukosa dengan kadar
yang telah ditentukan (75%). Terkadang dokter meminta pengambilan darah 3
kali dengan interval 1 jam, jadi pasien diambil darah dan urin puasa, 1 jam dan 2
jam setelah minum glukosa.
Pemeriksaan ini dilakukan pada:
– Kasus hiperglikemia yang tidak jelas,
– Glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau
– Glukosa puasa antara 110-126 mg/dl, atau
– Bila ada glukosuria yang tidak jelas sebabnya.
– Diabetes gestasional, dan
– Ibu hamil dengan riwayat keluarga DM.
Banyak di antara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan gejala,
tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil. Penting
untuk menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa pada waktu hamil yang
menunjukkan glukosuria dan juga pada wanita hamil dengan riwayat keluarga
diabetes, riwayat meninggalnya janin pada kehamilan, atau riwayat melahirkan
bayi dengan berat lahir > 4 kg. Skrining diabetes hamil sebaiknya dilakukan
pada umur kehamilan antara 26-32 minggu. Pada mereka dengan risiko tinggi
dianjurkan untuk dilakukan skrining lebih awal.
Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil laboratorium
Penggunaan obat-obatan tertentu: insulin, kortikosteroid (kortison), kontrasepsi
oral, estrogen, antikonvulsan, diuretik, tiazid, salisilat, dan asam askorbat, serta
tidak boleh mengkonsumsi alkohol.
Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas dapat
meningkatkan kadar glukosa darah.
Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah. Obat
hipoglikemik dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi
insulin menurun karena proses penuaan.
Asupan nutrisi. Kekurangan karbohidrat, tidak beraktifitas, atau tirah baring
dapat mengganggu toleransi glukosa.
Prosedur
Selama 3 hari sebelum tes dilakukan penderita harus mengkonsumsi sekitar 150
gram karbohidrat setiap hari. Terapi obat yang dapat mempengaruhi hasil
laboratorium harus dihentikan hingga tes dilaksanakan.
Protokol urutan pengambilan darah berbeda-beda; kebanyakan pengambilan
darah setelah puasa, dan setelah 1 dan 2 jam. Ada beberapa yang mengambil darah
jam ke-3, sedangkan yang lainnya lagi mengambil darah pada ½ jam dan 1½ jam
setelah pemberian glukosa. Yang akan diuraikan di sini adalah pengambilan darah
pada waktu ½ jam, 1 jam, 1½ jam, dan 2 jam. Sebelum dilakukan tes, penderita harus
berpuasa selama 12 jam. Pengambilan sampel darah dilakukan sebagai berikut:
Pagi hari setelah puasa, penderita diambil darah vena 3-5 ml untuk uji glukosa
darah puasa. Penderita mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan
sampel urinenya.
Penderita diberikan minum glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam segelas air
(250ml). Lebih baik jika dibumbui dengan perasa, misalnya dengan limun.
Pada waktu ½ jam, 1 jam, 1½ jam, dan 2 jam, penderita diambil darah untuk
pemeriksaan glukosa. Pada waktu 1 jam dan 2 jam penderita mengosongkan
kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya secara terpisah.
Selama TTGO dilakukan, penderita tidak boleh minum kopi, teh, makan permen,
merokok, berjalan-jalan, atau melakukan aktifitas fisik yang berat. Minum air putih
yang tidak mengandung gula masih diperkenankan.
Nilai Rujukan
Puasa : 70 – 110 mg/dl (3.9 – 6.1 mmol/L)
½ jam : 110 – 170 mg/dl (6.1 – 9.4 mmol/L)
1 jam : 120 – 170 mg/dl (6.7 – 9.4 mmol/L)
1½ jam : 100 – 140 mg/dl (5.6 – 7.8 mmol/L)
2 jam : 70 – 120 mg/dl (3.9 – 6.7 mmol/L)
Interpretasi
Toleransi glukosa normal
Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa darah meningkat dan mencapai
puncaknya pada waktu 1 jam, kemudian turun ke kadar 2 jam yang besarnya
di bawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L). Tidak ada glukosuria.
Gambaran yang diberikan di sini adalah untuk darah vena. Jika digunakan
darah kapiler, kadar puasa lebih tinggi 5.4 mg/dl (0.3 mmol/L), kadar puncak
lebih tinggi 19.8 – 30.6 mg/dl (1.1 – 1.7 mmol/L), dan kadar 2 jam lebih
tinggi 10.8 – 19.8 mg/dl (0.6 – 1.1 mmol/L). Untuk plasma vena kadar ini
lebih tinggi sekitar 18 mg/dl (1 mmol/L).
Toleransi glukosa melemah
Pada toleransi glukosa yang melemah, kurva glukosa darah terlihat
meningkat dan memanjang. Pada diabetes mellitus, kadar glukosa darah di
atas 126 mg/dl (7.0 mmol/L); jika tak begitu meningkat, diabetes bisa
didiagnosis bila kadar antara dan kadar 2 jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L).
Toleransi glukosa melemah ringan (tak sebanyak diabetes) jika kadar glukosa
puasa dibawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L), kadar antara di bawah 180 mg/dl (10
mmol/L), dan kadar 2 jam antara 126-180 mg/dl (7.0-10.0 mmol/L). Terdapat
glukosuria, walaupun tak selalu ada dalam sampel puasa.
Pada diabetes gestasional, glukosa puasa normal, glukosa 1 jam 165 mg/dl
(9.2 mmol/L), dan glukosa 2 jam 145 mg/dl (8.0 mmol/L).
Pada banyak kasus diabetes, tidak ada puncak 1 jam karena kadar glukosa
darah meningkat pada keseluruhan waktu tes. Kurva diabetik dari jenis yang
sama dijumpai pada penyakit Cushing yang berat.
Toleransi glukosa yang lemah didapatkan pada obesitas (kegemukan),
kehamilan lanjut (atau karena kontrasepsi hormonal), infeksi yang berat
(terutama staphylococci, sindrom Cushing, sindrom Conn, akromegali,
tirotoksikosis, kerusakan hepar yang luas, keracunan menahun, penyakit
ginjal kronik, pada usia lanjut, dan pada diabetes mellitus yang ringan atau
baru mulai.
Tes toleransi glukosa yang ditambah dengan steroid dapat membantu
mendeteksi diabetes yang baru mulai. Pada pagi dini sebelum TTGO
dilaksanakan, penderita diberikan 100 mg kortison, maka glukosa darah pada
2 jam bisa meningkat di atas 138.8 mg/dl (7.7 mmol/L) pada orang-orang
yang memiliki potensi menderita diabetes.
Penyimpanan glukosa yang lambat
Kadar glukosa darah puasa normal. Terdapat peningkatan glukosa darah yang
curam. Kadar puncak dijumpai pada waktu ½ jam di atas 180 mg/dl (10
mmol/L). Kemudian kadar menurun tajam dan tingkatan hipoglikemia
dicapai sebelum waktu 2 jam. Terdapat kelambatan dalam memulai
homeostasis normal, terutama penyimpanan glukosa sebagai glikogen.
Biasanya ditemukan glukosuria transien.
Kurva seperti ini dijumpai pada penyakit hepar tertentu yang berat dan
kadang-kadang para tirotoksikosis, tetapi lebih lazim terlihat karena absorbsi
yang cepat setelah gastrektomi, gastroenterostomi, atau vagotomi. Kadang-
kadang dapat dijumpai pada orang yang normal.
Toleransi glukosa meningkat
Kadar glukosa puasa normal atau rendah, dan pada keseluruhan waktu tes
kadarnya tidak bervariasi lebih dari ± 180 mg/dl (1.0 mmol/L). Kurva ini bisa
terlihat pada penderita miksedema (yang mengurangi absorbsi karbohidrat)
atau yang menderita antagonis insulin seperti pada penyakit Addison dan
hipopituarisme. Tidak ada glukosuria. Kurva yang rata juga sering dijumpai
pada penyakit seliak. Pada glukosuria renal, kurva toleransi glukosa bisa rata
atau normal tergantung pada kecepatan hilangnya glukosa melalui urin.
5. HbA1c
Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua
tipe diabetes adalah pengukuran glikat hemoglobin(HbA1c). HbA1C adalah
komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan
N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan
ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.
Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA1, HbA2, HbF(fetus). Hemoglobin
A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin total. Hemoglobin
pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali dikeluarkan
dari sumsum tulang.Selama 120 hari masa hidup hemoglobin dalam eritrosit,
normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar gluokosa
meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat.
Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupakan bagian dari
hemoglobin A. Proses pengikatan ini disebut glikosilasi. Hemogloin yang terikat
dengan glukosa disebut hemoglobin terglikosilasi. Dalam proses ini terdapat
ikatan antara glukosa dan hemoglobin. Karena pergantian hemoglobin yang
lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukan bahwa kadar gluosa darah
tinggi selama 4 sampai 8 minggu. Pada penyandang DM, glikolisasi hemoglobin
meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 120
hari terakhir, bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal selama 120
hari terakhir, maka hasil hemoglobin A1c akan menunjukkan nilai normal.
Nilai glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang dipakai,
namun berkisar antara 3,5% hingga 5,5%. Disarankan untuk menentukan
referensi nilai untuk setiap laboratorium. Tes ini merupakan indikator
pengontrolan kadar glukosa darah yang cepat dan dapat dipercaya untuk 4
hingga 8 minggu sebelumnya.
Kadar HbA1c merupakan kontrol glukosa jangka panjang, menggambarkan
kondisi 8-12 minggu sebelumnya, karena paruh waktu eritrosit 120 hari( Kee JL,
2003), karena mencerminkan keadaan glikemik selama 2-3 bulan maka
pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan ( Darwis Y, 2005,
Soegondo S, 2004). Hasil pemeriksaan hemoglobin A1c merupakan
pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka
panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM. Pemeriksaan ini
bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendali glikemik ( Soewondo P,
2004).
Peningkatan kadar HbA1c >8% mengindikasikan DM yang tidak terkendali
dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti
nefropati, retinopati, atau kardiopati, Penurunan 1% dari HbA1c akan
menurunkan komplikasi sebesar 35% (Soewondo P, 2004). Pemeriksaan HbA1c
dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM Pemeriksaan pertama
untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan
selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian (Kee
JL, 2003).
Metoda Pemeriksaan HbA1c
Sampel: darah vena dengan antikoagulan (EDTA, heparin, oksalat) Pengambilan
sampel untuk pemeriksaan HbA1c pada penderita DM biasa dilakukan
bersamaan dengan pengambilan sampel pemeriksaan glukosa. Metoda
pemeriksaan yang dipakai ;
1. Metode Ion-exchange chromatography: harus dikontrol perubahan suhu
reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang
mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil
negatif palsu.
2. Metode HPLC (high performance liquid chromatography): prinsip sama
dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki
akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan
menjadi metode referensi.
3. Metode Electroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi
presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu,
tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh
pada metode ini.
4. Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur
HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang
baik.
5. Metode Affinity chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk
labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak
dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit
mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan
glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih
tinggi dari metode HPLC.
6. Metode Analisis kimiawi dengan Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam),
lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun
glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.
Ada beberapa kondisi dimana pemeriksaan kadar HbA1c akan sangat terganggu
dan tidak akurat, misalnya :
a. Specimen ikterik (kadar bilirubin>5.0mg/dl),
Warna kekuningan pada serum akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh
yang menandakan terjadinya gangguan fungsi dari hepar( Widmann, 2004)
b. Specimen hemolisis
Pada destruksi Eritrosit , membran sel pecah sehingga Hb keluar dari sel,
hemolisis menunjukkan destruksi eritrosit yang terlalu cepat , baik kelainan
intrinsik maupun proses ektrinsik terhadap eritrosit dan serum berwarna
merah atau kemerahan( Widmann, 2004)
c. Penurunan sel darah merah (Anemia, talasemia, kehilangan darah jangka
panjang) akan menurunkan kadar HbA1c palsu Anemia didefenisikan
sebagai berkurangnya kadar Hb darah, penurunan kadar Hb biasanya
disertai penurunan Eritrosit dan Hematokrit ( Kee JL, 2003)
Pengukuran HbA1C dapat digunakan untuk:
1. Mengetahui kepatuhan penggunaan obat dari pasien DM
2. Mengetahui sudah berapa lama keadaan hiperglikemia dari seseorang yang
baru didiagnosa DM
3. Memonitor keberhasilan dari terapi yang sedang berjalan
Tabel Kadar glikat hemoglobin pada diabetes
Normal/ kontrol glukosa Glikat hemoglobin (%)
Nilai normal
Kontrol glukosa baik
Kontrol glukosa sedang
Kontrol glukosa buruk
3,5 – 5,5
3,5 – 6,0
7,0 – 8,0
Lebih dari 8,0
Tabel konversi HbA1c menjadi kadar glukosa dalam darah
HbA1C (%) Rata-rata Gula Darah (mg/dl)
6 135
7 170
8 205
9 240
10 275
11 310
12 345
Alasan mengapa tes HbA1c ini dilakukan adalah karena pengukuran kadar
glukosa darah hanya memberikan informasi mengenai homeostasis glukosa yang
sesaat dan tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi pengendalian glukosa
jangka panjang (mis. beberapa minggu sebelumnya). Untuk keperluan ini
dilakukan pengukuran hemoglobin terglikosilasi dalam eritrosit yang dapat
menggambarkan kadar gluokosa darah 4-8 minggu sebelum pemeriksaan
glukosa darah.
Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium :
• Anemia dapat menyebabkan hasil uji yang rendah
• Hemolisis spesimen dapat menyebabkan hasil uji yang tidak akurat
• Terapi heparin dapat menyebabkan temuan palsu hasil pengujian.
• Setelah transfuse darah hasil pembacaan HbA1C mungkin berubah.
• Kenaikan kadar HbF pada talasemia dapat menyulitkan interpretasi. HbF
dapat menaikkan pembacaan tes HbA1C.
6. Badan Keton
Benda keton terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam
β-hidroksibutirat, yang merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak
yang berlebihan. Benda keton diproduksi ketika karbohidrat tidak dapat
digunakan untuk menghasilkan energi yang disebabkan oleh: gangguan
metabolisme karbohidrat (mis. diabetes mellitus yang tidak terkontrol),
kurangnya asupan karbohidrat (kelaparan, diet tidak seimbang : tinggi lemak –
rendah karbohidrat), gangguan absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal),
atau gangguan mobilisasi glukosa, sehingga tubuh mengambil simpanan asam
lemak untuk dibakar.
Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga
dapat menghabiskan cadangan basa (mis. bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan
menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum meningkat
hingga mencapai lebih dari 50 mg/dl.
Keton memiliki struktur yang kecil sehingga dapat diekskresikan ke dalam
urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama kali tampak pada plasma atau serum,
kemudian baru terlihat pada urin. Ketonuria (keton dalam urin) terjadi akibat
ketosis.Benda keton yang dijumpai di urine terutama adalah aseton dan asam
asetoasetat.
Indikasi untuk pengujian keton
Indikasi umum:
skrining untuk ketonuria sering dilakukan untuk pasien rawat inap, pasien
presurgical, wanita hamil, anak-anak, dan orang dengan diabetesglikosuria.
Indikasi khusus:
a. pengujian untuk keton diindikasikan untuk setiap pasien menunjukkan
peningkatan urin dan darah gula
b. ketika pengobatan sedang beralih dari insulin untuk agen hipoglikemik oral ,
pengembangan ketonuria dalam waktu 24 jam setelah penarikan insulin
menunjukkan resppne miskin untuk agen hipoglikemik oral.
c. urin pasien diabetes yang diobati dengan obat hipoglikemik oral harus diuji
secara teratur untuk glukosa dan keton karena agen hipoglikemik oral seperti
insulin, tidak mengontrol diabetes ketika terjadi komplikasi akut seperti
infeksi berkembang.
d. pengujian keton dilakukan untuk membedakan antara koma diabetik dan syok
insulin
Prosedur pengujian keton
Kumpulkan spesimen urine secara acak (urin random atau urin sewaktu).
Urin harus segar dan ditampung dalam wadah tertutup rapat. Pengujian harus
segera dilakukan karena penundaan pengujian lebih lama dapat menyebabkan
temuan negatif palsu.Hal ini dikarenakan keton mudah menguap. Uji ketonuria
dapat dilakukan dengan menggunakan tablet Acetest, atau strip reagen
(dipstick) Ketostix atau strip reagen multitest (mis. Combur, Multistix, Arkray,
dsb).
Uji ketonuria dengan tablet Acetest digunakan untuk mendeteksi dua keton
utama, yaitu aseton dan asam asetoasetat. Letakkan tablet Acetest di atas kertas
saring atau tissue, lalu teteskan urin segar di atas tablet tersebut. Tunggu selama
30 detik.Amati perubahan warna yang terjadi pada tablet tersebut. Jika berubah
warna menjadi berwarna lembayung terang – gelap, maka uji keton dinyatakan
positif.
Uji ketonuria dengan strip reagen (Ketostix atau strip reagen multitest) lebih
sensitif terhadap asam asetoasetat daripada aseton. Celupkan strip reagen ke
dalam urin. Tunggu selam 15 detik, lalu amati perubahan warna yang terjadi.
Bandingkan dengan bagan warna.Pembacaan dipstick dengan instrument
otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara
visual.
Nilai Rujukan
Dewasa dan anak : uji keton negatif (kurang dari15 mg/dl)
Masalah Klinis
Uji keton positif dapat dijumpai pada : Asidosis diabetic (ketoasidosis), kelaparan
atau malnutrisi, diet rendah karbohidrat, berpuasa, muntah yang berat, pingsan
akibat panas, kematian janin. Pengaruh obat : asam askorbat, senyawa levodopa,
insulin, isopropil alkohol, paraldehida, piridium, zat warna yang digunakan untuk
berbagai uji (bromsulfoftalein dan fenosulfonftalein).
Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium
Diet rendah karbohidrat atau tinggi lemak dapat menyebabkan temuan positif
palsu.
Obat tertentu
Suhu penyimpanan sampel urin dalam suhu ruangan
Adanya bakteri dalam urin dapat menyebabkan kehilangan asam asetoasetat
Anak penderita diabetes cenderung mengalami ketonuria daripada penderita
dewasa.
1. HDL (High Density Lipoprotein)
HDL merupakan lipoprotein protektif yang berperan menurunkan resiko
penyakit jantung koroner. Efek protektifnya diduga karena mekanisme HDL
mengangkut kelebihan kolesterol di jaringan perifer yang dibawa menuju hati
untuk dimetabolisme. Studi epidemiologi membuktikan bahwa peningkatan
HDL berbanding terbalik dengan penurunan resiko timbulnya penyakit jantung
koroner.
Berdasarkan guideline dari NCEP (National Cholesterol Educational
Program), Kadar HDL kolesterol <40 mg/dl merupakan faktor resiko terjadinya
penyakit jantung koroner. Sementara itu, kadar HDL kolesterol ≥60 mg/dl
menunjukkan tidak memiliki faktor resiko, dan kondisi ini merupakan kondisi
ideal. Kadar HDL akan menurun pada penderita kegemukan, perokok, pasien
diabetes yang tidak terkontrol dan pada pemakai kombinasi estrogen-progestin.
Memperbanyak olahraga dan menghentikan kebiasaan merokok adalah dua hal
yang direkomendasikan bagi pasien dengan kadar HDL rendah.
Pengukuran HDL kolesterol dapat dilakukan melalui pemisahan HDL dari
sampel dengan metode sentrifugasi. Untuk pengukuran ini dapat digunakan
sempel serum maupun plasma-EDTA. Jika menggunakan sampel plasma-EDTA
maka jumlah sampel plasma-EDTA perlu dikalikan 1.03 agar nilainya ekuivalen
dengan jumlah serum. Secara singkat, metode sentrifugasi untuk memisahkan
HDL dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:
1. Ultrasentrifugasi 1,006 g/ml untuk menghilangkan lipoprotein kaya
trigliserida (VLDL)
2. Presipitasi lipoprotein yang mengandung apo B (IDL, LDL, dan Lp (a))
dari ultracentrifugal infranatant dengan heparin dan MnCl2.
3. Mengukur jumlah kolesterol dalam supernatan menggunakan metode
Abell-Kendall
Konsentrasi HDL kolesterol dalam darah sangat dipengaruhi oleh faktor gaya
hidup seperti diet, konsumsi alkohol, perubahan berat badan, aktifitas fisik dan
merokok. Hormon dan pemakaian obat-obatan juga mempengaruhi konsentrasi
HDL kolesterol.
2. LDL (Low Density Lipoprotein)
LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar pada manusia
(70% total). Partikel LDL mengandung trigliserida sebanyak 10% dan kolesterol
50%. LDL berperan dalam pengangkutan kolesterol pada jalur endogen, yaitu
jalur pembentukan kolesterol dari dalam tubuh. Trigliserida dan kolesterol yang
disintesis oleh hati diangkut secara endogen dalam bentuk VLDL (very low
density lipoprotein) kaya trigliserida dan mengalami hidrolisis dalam sirkulasi
darah oleh lipoprotein lipase menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil yaitu
IDL (intermediate density lipoprotein) kemudian menjadi LDL (low density
lipoprotein).
Beberapa LDL yang berada di sirkulasi darah akan masuk ke dalam celah
subendotel arteri kemudian teroksidasi dan ditangkap makrofag lalu menjadi sel
busa (foam). Mekanisme pembentukan sel busa inilah yang menyebabkan
terjadinya atherosklerosis. Oleh karena itu, peningkatan LDL dan total kolesterol
berperan dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit arteri koroner. Penderita
hiperlipidemia perlu mengontrol kondisi kolesterol, trigliserida, LDL, dan HDL
untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi berupa penyakit jantung koroner
dan komplikasi lainnya dengan terapi farmakologi maupun non farmakologi.
Berikut ini adalah tabel klasifikasi data laboratorium yang digunakan dalam
pemeriksaan hiperlipidemia:
Kadar (mg/dl) Keterangan
Kolesterol total <200 Kondisi yang diinginkan
200-239 Batas atas
≥240 Tinggi
LDL <100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Batas atas
160-189 Tinggi
≥190 Sangat tinggi
HDL <40 Rendah
≥60 Tinggi
Trigliserida <150 Normal
150-159 Batas atas
200-499 Tinggi
≥500 Sangat tinggi
Pada penderita yang memiliki resiko tinggi terkena penyakit jantung koroner
direkomendasikan untuk melakukan perubahan gaya hidup dan mendapatkan
terapi obat untuk menurunkan kadar LDL hingga <100mg/dl. Kadar LDL dapat
diperkirakan dari pengukuran trigliserida, kolesterol total, dan kolesterol HDL
dengan pendekatan Friedewald sebagai berikut:
LDL = kolesterol total – HDL – (trigliserida:5)
Metode di atas dapat digunakan jika kadar trigliserida <400 mg/dl. Untuk
pasien dengan kadar trigliserida >400 mg/dl, perhitungan kadar LDL dengan
metode di atas tidak menghasilkan nilai yang akurat. Diperlukan metode
ultrasentrifugasi kompleks. Penderita yang mengalami peningkatan trigliserida
secara signifikan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
KOLESTEROL DAN TRIGLISERIDA
Kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid merupakan komponen lipid mayor
dalam tubuh yang ditransportasikan sebagai kompleks lipid dan protein atau
lipoprotein.Permukaan plasma lipoprotein mengandung fosfolipid dalam jumlah
yang besar dan bebas kolesteroldan protein sedangkan intinya terdiri dari trigliserida
dan kolesterol ester. Lipoprotein terdiri dari 3 komponen mayor yaitu Low density
lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), dan very low density lipoprotein
(VLDL).VLDL dibawa dalam sirkulasi berupa trigliserida dan dapat diperkirakan
jumlahnya dengan membagi konsentrasi trigliserida/5.abnormalitas plasma
lipoprotein dapat menyebabkan prediposisi koronari, cerebrovaskuler, dan
peripheralvascular arterial disease yang merupakan salah satu factor resiko CHD
(Dipiro et al., 2008).
1. Total Kolesterol
Kolesterol berperan sebagai precursor asam empedu dan hormone steroid.
Kolesterol disintesis dalam sel melalui sintesis intraselluler atau uptake dari sirkulasi
sitemic. Dalam tiap sel kolesterol disintesis melalaui berbagai proses biokimia
dimana sebagian besar dikatalisis oleh enzim. Tahapan pertama dan yang paling
penting dalam sintesis kolesterol adalah konversi hidroksimetilglutaril-koenzim A
(HMG-CoA) menjadi asam mevalonat yang dikatalisis oleh enzim HMG-CoA
reduktase Kolesterol intraselluler disimpan dalam bentuk tersetrifikasi. Kolesterol
bebas diubah dalam bentuk ester oleh enzim acetil CoA asetil transferase (ACAT).
Sehingga, inhibisi enzim ACAT dapat mereduksi absorpsi kolesterol, sekresi
kolesterol oleh hati, dan uptake kolesterol oleh inflammatory cell pada dinding arteri
(Koda-Kimble et al.,2009 )..
Jumlah total kolesterol dalam darah digunakan sebagai salah satu indicator
dalam identifikasi hiperlipidemia. Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan deposit
plak pada arteri koroner, yang berkontribusi pada terjadinya infark miokard (MI)
(Kee, 2005). Kadar kolesterol yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya factor
genetic (hereditas), obstruksi empedu, dan atau dietary intake atau konsumsi obat-
obatan seperti Aspirin, Kortikosteroid, steroid, kontrasepsi oral, epinephrine, nor
epinephrine, Phenothiazin, trifluoperazin, Vitamin A dan D, sulfonamide dan
Phenitoin (Kee, 2005). Adapun klasifikasi total kolesterol menurut NCEP ATP III
dapat dilihat pada Tabel 1.
Kolesterol diukur secara enzimatis dalam serum atau plasma berdasarkan reaksi
hidrolisis kolesteril ester dan oksidasi gugus 3-OH pada kolesterol. Dari reaksi
tersebut dihasilkan peroksida H2O2, selanjutnya H2O2 diukur secara kuantitatif
melalui reaksi katalisis proksidase yang dapat menghasilkan warna, absorbansi
diukur pada panjang gelombang 500 nm. Intensitas warna yang dihasilkan
berbanding secara proporsional terhadap kolesterol. Adapun reaksinya adalah
sebagai berikut :
Kolesteril ester + H2O KOlesterol + asam lemak
Kolesterol +O2 Kolest-4-en-3-on + H2O2
2H2O2 + 4-Aminophenazon + fenol 4-(p-benzokuinon-
monoimino)-fenazon + 4H2O
Elevasi kadar kolesterol dapat meningkatkan risiko terhadap coronary heart
disease (CHD). Pengukuran kolesterol dilakukan untuk membantu assessment status
risiko pasien dan progress terapi pasien dalam penurunan kadar kolesterol.
Prosedur pengukuran kadar total kolesterol adlah sebagai berikut (Kee,
2005) :
a. Pasien harus NPO (Non per os / nothing by mouth) atau berpuasa terhadap
makanan, cairan kecuali air dan obat-obatan selama 12 jam.
b. Ambil 3-5 ml darah vena dalam red-top tube, hinadri hemolisis.
KOlesteril ester hidrolase
Kolesterol oksidase
Peroksidase
Dewasa
Total Kolesterol (mg/dl)
<200 Normal
200-239 Moderate Risk
≥240 High Risk
Infant 90-130 Normal
Anak-anak
130-170 Normal
171-184 Moderate Risk
>185 High Risk
Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran :
a. Aspirin dan kortison, dapat menyebabkan peningkatan dan penurunan kadar
kolesterol dalam serum.
b. Diet tinggi kolesterol sebelum pengukuran dapat menyebabkan elevasi kadar
kolesterol serum.
c. Hipoksia akut dapat menyebabkan elevasi kadar kolesterol serum.
d. Hemolisis specimen darah dapat menyebabkan elevasi kadar kolesterol
serum.
2. Trigliserida
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa kadar
trigliserida berhubungan dengan terjadinya insiden CHD meskipun identifikasi
dengan kadar trigliserida bukan factor resiko indipenden terhadap CHD.
Metabolisme lipoprotein berhubungan secara integral sehingga elevasi kadar serum
trigliserida dapat dikacaukan dengan adanya korelasi yang signifikan dengan total
LDL dan HDL kolesterol. Factor resiko nonlipid seperti obesitas, hipertensi,
diabetes, dan perokok juga berinterelasi dengan trigliserida sebagai beberapa factor
resiko yang sering muncul (resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan prothombotic
state) (Koda-kimble et al.,2009). Oleh karena itu, pasien yang mengalami elevasi
trigliserida juga meningkatkan factor resikonya terhadap CHD. Adapun klasifikan
kadar trigliserida serum menurut NCEP ATP III dapat dilihat pada Tabel 2.
Penyebab elevasi trigilserida adalah sebagai berikut :
a. Obesitas
b. Inaktivitas fisik
c. Perokok
d. Alkohol berlebihan
e. Diet tinggi karbohidrat (>60% total energy)
f. Penyakit lainnya (DM tipe II, gagal ginjal kronik, sidrom nefrotik)
g. Obat-obatn tertentu (Kosrtikosteroid, inhibitor protease untuk HIV, beta-
adrenergic blocking agent, estrogen)
h. Faktor genetika
UsiaTrigliserida normal
(mg/dl)CD risk
Trigliserida level
(mg/dl)
12-29 th 10-140 Normal risk <150
30-39 th 20-150 Borderline risk 150-199
40-49 th 30-160 High risk 200-499
>50 th 40-190 Very high risk >500
Trigliserida diukur secara enzimatik dalam serum atau plasma melalui
reaksi hidrolisis trigliserida membentuk gliserol. Kemudian gliserol dioksidasi
menggunakan gliserol oksidase, dan H2O2 yang dihasilkan diukur dengan metode
yang sama dengan pengukuran total kolesterol. Absorbansi diukur pada pajang
gelombang 500 nm. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :
Trigliserida + 3H2O Gliserol + asam lemak
Gliserol + ATP Gliserol-3-fosfat +ADP
Gliserol-3-fosfat + O2 dihidroksiaseton fosfat +H2O2
H2O2 + 4-aminofenazon + 4-klorofenol 4-(p-benzoqinon-
monoimino)-fenazon + 2H2O +HCl
Pengukuran trigliserida bertujuan untuk memonitor kadar trigliserida dan
sebagai perbandingan dengan hasil pengukuran VLDL untuk identifikasi
hiperlipidemia. Adapun prosedur pemeriksaan trigliserida adalah sebagai berikut
(Kee, 2005) :
a. Pasien harus NPO terhadap makanan, minuman kecuali air serta obta-
obatan, setelah pukul 6 malam sebelum pemeriksaan.
Lipase
Gliserol kinase
Gliserol fosfat oksidase
Peroksidase
b. Ambil 3-5 ml darah vena.
c. Diet tinggi karbohidrat dan alcohol dapat menyebabkan elevasi kadar
serum trigliserida.
d. Tidak diperbolehkan konsumsi alkohol selama 24 jam sebelum test
e. Catat berat badan pasien jika mengalami peningkatan atau penurunan
Daftar pustaka
American Diabetes Association. 2010. Standards of Medical Care in
Diabetes. Diabetes Care 33:S11-S61.
Ronal A, Sacher, Richard A McPherson. 2004.Tinjauan Klinis Hasil
Pemeriksaan Laboratorium Ed 11. Jakarta : EGC
The National Academy of Clinical Biochemistry.2011. Guidelines and
Recommendations for Laboratory Analysis in the Diagnosis and Management
of Diabetes Mellitus.
http://labkesehatan.blogspot.com/2010/03/badan-keton-urin.html
patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Price &Wilson , volume 2, edisi
6, Penerbit buku kedokteran EGC , Jakarta
Soewondo, 2004. Pemantauan Pengendalian DM. FKUI Jakarta
Kee JL, 2003. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik.Jakarta EGC
Darwis Y,W, dkk, 2005. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium untuk penyakit DM.
Direktorat Laboratorium Kesehatan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI.
Men Kes RI., 2011. Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik. Kementrian Kes RI
Direktorat Jendral Bina Upaya Kes.DirektoratBina Pelayanan Penunjang Medik dan
Sarana kesehatan
Widmann, MD F, 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Buku Kedokteran EGC
Kee, Joyce leFever. 2005. Laboratory and Diagnostic Test with Nursing
Implication 7th Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.
1. Baca tetnang c peptide dapat membedakan dm tipe 1 atau tipe 2
2. Cari tentang apolipoprotein
3. Apo a 1 spesifik hdl
4. Apo b spesifik ldl
5. Sementara apo yg lain tidak spesifik