Lbm 2 Tropis Nurul

39
LBM 2 TROPIS NURUL 1. Mengapa di dapatkan timbul bercak yang mati rasa di tangan kiri disertai dengan atrofi ? Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. 2. Mengapa pada pasien di dapatkan atrofi otot hipotenar dan claw hand ? Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri.Kerusakan saraf tepi

description

t

Transcript of Lbm 2 Tropis Nurul

Page 1: Lbm 2 Tropis Nurul

LBM 2 TROPIS NURUL

1. Mengapa di dapatkan timbul bercak yang mati rasa di tangan kiri disertai dengan atrofi ?

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang

akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan

MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1

dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya

fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan

merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak

lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan

saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.

Sel schwann merupakan APC non professional.

2. Mengapa pada pasien di dapatkan atrofi otot hipotenar dan claw hand ?

Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan

hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf

tepi.Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis.Kemampuan untuk merasakan

sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan

saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya

sendiri.Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan jari-

jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai.Karena itu penderita lepra

menjadi tampak mengerikan.

Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial,

mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.Kusta yang merupakan

penyakit menahun ini dalam jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak

dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Page 2: Lbm 2 Tropis Nurul

CARI GAMBAR SEL SCHWAN !

3. Mengapa dokter mempertimbangkan terjadi nya reaksi hipersensitivitas pasca pemberian terapi ?

Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:

1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)

Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction). Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf pada pasien kusta. Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae yang mati akibat pengobatan yang diberikan.

Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF- , IL-1b, IL-6, IFN- dan IL-12 dan sitokinα γ immunoregulatory seperti TGF- dan IL-10 selama terjadi aktivasi dari makrofag.β Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan produksi IL-2 dan IFN- meningkatγ sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration pada kulit dan syaraf. IFN γ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang cepat.

Gambaran reaksi kusta tipe 1 Organ yang

diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematosa

Lesi yang telah ada menjadi eritematosa

Timbul lesi baru yang kadang-kadang disertai

panas dan malaise

Syaraf tepi Membesar, tidak ada nyeri tekan syaraf dan gangguan fungsi

Berlangsung kurang dari 6 minggu

Membesar, nyeri tekan dan gangguan fungsi.

Berlangsung lebih dari 6 minggu

Kulit dan syaraf Lesi yang telah ada akan menjadi lebih eritematosa, nyeri pada syaraf

Berlangsung kurang dari 6 minggu

Lesi kulit yang eritematosa disertai ulserasi atau edema pada tangan/kaki

Syaraf membesar, nyeri dan fungsinya terganggu

Berlangsung lebih dari 6 minggu

Page 3: Lbm 2 Tropis Nurul

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)

Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL, LL). Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL mengalami episode ENL.

Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT). ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut Coomb & Gel.

Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi komplemen. Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN- danTNF- . IL-4, IL-5, IFN- ,TNF- bertanggung jawabγ α γ α terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama terjadi reaksi ENL. 25,27 Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren. Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada pemberian steroid jangka panjang.

Gambaran reaksi kusta tipe 2 Organ yang diserang

Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Nodus sedikit, dapat ulserasi

Demam ringan dan malaise

Nodus banyak, nyeri, berulserasi

Demam tinggi dan malaise

Syaraf tepi Membesar

Tidak ada nyeri tekan syaraf

Fungsi tidak ada gangguan

Sangat membesar

Nyeri tekan

Gangguan fungsi

Organ tubuh Tidak ada gangguan organ-organ dari tubuh

Terjadi peradangan pada:

mata: nyeri, penurunan visus, merah sekitar limbus

Testis: lunak, nyeri dan membesar

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf

4. Mengapa dokter melalukan tes sensibilitas ?

a. tes sensoris .

Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

Rasa raba

Page 4: Lbm 2 Tropis Nurul

Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa

perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit.Pasien yang diperiksa

harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas menerangkan

bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas.ia harus

rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan

mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup rnatanya, kalau

perlu matanya ditiutup dengan sepotong kain/karton. Lesi di kulit dan bagian kulit lain

yang dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang

sehat dan kulit yang tersangka diserang kusta.Bercak-bercak di kulit harus diperiksa

pada bagian tengahnya, jangan di pinggimya.

Rasa nyeri

Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum

yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan

tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

Rasa suhu

- diiakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang 1 berisi air panas

(sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20°C).

- mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung

tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai.

- sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal, untuk

memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat membedakan panas dan dingin.

bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disirnpulkan bahwa sensasi suhu di daerah terssbut terganggu.

5. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk mengetahui diagnosis dr skenario ?

1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan

pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang

diwarnai dengan pewarnaan terhadap bakteri tahan asam, antara lain dengan Ziehl

Neelsen. Pemeriksaan bakteri negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang

tersebut tidak mengandung M. leprae.

Pertama-tama kita harus memilih tempat-tempat di kulit yang diharapkan paling padat

oleh bakteri, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.

Untuk pemeriksaan rutin biasanya diambil dari minimal 4-6 tempat, yaitu kedua

Page 5: Lbm 2 Tropis Nurul

cuping telinga bagian bawah dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, berarti yang paling

merah di kulit dan infiltratif.

Kepadatan M. leprae tanpa membedakan solid atau nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan Indek Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

Seperti tertera di bawah ini:

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP

6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

2. Pemeriksaan Histopatologi

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang

lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa

terdapat kelim sunyi subepidermal, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis

yang jaringannya tidak patologik. Didapati pula adanya sel Vinrchow dengan banyak

kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.

3. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh

seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat

spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycoplipid-1 (PGL-1) dan

antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta

yang dapat dilakukan adalah: tes FLA-ABS, tes ELISA, dan tes MLPA (Mycobacterium

Leprae Particle Aglutination).

4. Pemeriksaan Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak

untuk diagnosis, berguna untuk menunjukan sistem imun penderita terhadap

M.leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil oganisme untuk kemudian

Page 6: Lbm 2 Tropis Nurul

disuntikan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam atau 2 hari (reaksi

fernandez), dapat juga ditunggu hingga 3-4 minggu (rekasi Mitsuda). Reaksi Fernandez

positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukan kalau penderita bereaksi

terhadap M.leprae, yaitu memberikan respon imun tipe lambat. Sementara itu, Reaksi

Mitsuda bernilai seperti dibawah ini:

0 : Papul berdiameter 3mm atau kurang

+1 : Papul berdiameter 4-6mm

+2 : Papul berdiameter 7-10mm

+3 : Papul berdiameter lebih dari 10mm

Kosasih A, I Made Wisnu, Sjamsoe-Daili E, Menaldi SL. Ilmu penyakit kulit dan

kelamin. Ed. VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010

6. Apa yang di maskud dengan Makula hipopigmentasi ? etiologi ? 7. Apa diagnosis dan DD pada skenario ?

Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal, yaitu:

A. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.

Kelainan kulit/lesi yang dapat berbentuk bercak keputihan (hypopigmentasi) atau

kemerahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesia).

B. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf tepi ini biasanya akibat dari peradangan kronis pada saraf

tepi (neuritis perifer). Adapun gangguan-gangguan fungsi saraf tepi berupa: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa. b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise). c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering.

C. Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf

8. Etiologi dan faktor resiko dari skenario ?

ETIOLOGI

M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan

oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan

asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang

Page 7: Lbm 2 Tropis Nurul

berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu

dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi

sistemik pada binatang Armadillo.Masa belah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat

lama dibandingkan dengan kuman lain,yaitu 2-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi

lama, yaitu rata-rata 2 – 5 tahun.

Dengan mikroskop elektron, tampak M. Leprae mempunyai dinding yang terdiri dari

2 lapisan, yakni lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan

lipopolisakarida pada bagian luarnya.Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan

yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 20 nm. . Dinding sel basil mengandung

rangka peptidoglikan yang berhubungan dengan arabinogalactan dan asam mycolic.Protein

imunogenik terdapat baik di dinding sel maupun sitoplasmanya.

Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. Leprae, yakni:

a) M. Leprae merupakan parasit intraselular obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media

buatan.

b) Sifat tahan asam M. Leprae dapat diekstraksi oleh piridin.

c) M. Leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-

Dihydroxyphenylalanin).

d) M. Leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan bertumbuh

dalam saraf perifer.

e) Ekstrak terlarut dan preparat M. Leprae mengandung komponen antigenik yang stabil

dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberkuloid

dan negatif pada penderita lepromatous.

FAKTOR RESIKO

1. Imunitas tubuh yang rendah. Telah disebutkan bahwa penyakit kusta dapat dikatakan juga

penyakit imunologik. Artinya daya tahan sangat berpengaruh dalam manifestasi penyakit

ini. Saat daya tahan tubuh penderita turun dan saat itu juga terpajan bakteri M. leprae maka

orang tersebut akan mudah terserang penyakit ini. Penggunaan obat – obat

immunosuoresor juga dapat menjadi salah satu penyebab dari penyakit ini

2. Usia. Dapat menyerang semua umur tapi sangat rentan terjadi pada anak – anak.

3. Kebersihan. Berganti – ganti handuk dan pakaian dengan penderita dapat pula

menyebabkan seseorang tertular penyakit ini. Seseorang yang kurang menjaga kebersihan

kulitnya misalnya jarang mandi juga dapat tertular penyakit ini.

Page 8: Lbm 2 Tropis Nurul

4. Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak

memadai, air yang tidak bersih,

5. Asupan gizi yang buruk, dan

6. Adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.

7. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita

9. Klasifikasi MH dari WhO ?

Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):

a. Indeterminate (I)Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. bataslokasi dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin.b. Tuberkuloid (T)Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 ataubeberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaankering, kasar sering dengan penyembuhan di tengah.c. Borderline (B)Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi samadengan Tuberkuloid.d. Lepromatosa (L)Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas.Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata diseluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik.Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)

Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkanpenyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,histopatologi, dan imunologis.a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semuatempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp),perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya.Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalamipenyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun.b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertaiadamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.c. Tipe Mid Borderline (BB)Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes leprominmemberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yangmengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapatdibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanyaadenopathi regional.d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris.Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yangterjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasimaupun facies leonine.e. Tipe Lepromatosa (LL)

Page 9: Lbm 2 Tropis Nurul

lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan padaproduksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadimadarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine)

10. Gejala dan tanda MH ?

GEJALA KLINIS

Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul

minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7).Gejala dan tanda yang

muncul tergantung pada respon imun penderita.Jenis lepra menentukan prognosis jangka

panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan antibiotic yang diberikan.

Page 10: Lbm 2 Tropis Nurul

1. Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih yang

datar. Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-

sarafnya.

2. Lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar dengan

berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, seperti alis dan bulu mata.

3. Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran

kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid;

jika keadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa

Sedangkan klasifikasi menurut Ridley-Jopling berikut ini didasarkan atas gambaran

klinis, bakteriologis, imunologis dan histologis

1) Lepra tipe Indeterminate (I)

Lepra tipe Indeterminate ditemukan pada anak yang kontak dan kemudian

menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20

sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia

dan gangguan berkeringat.Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif.Sebagian besar

penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi

salah satutipe determinate.

2) Lepra tipe Determinate

a) Lepra tipe Tuberkuloid(TT)

Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit.Kelainan kulit

tersebutdapatberupa bercak-bercakhipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering,

serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut.Kadang kala ditemukan penebalan

saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi seperti n.

auricularis magnus.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif,

sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat.Hal ini menunjuk-kan adanya

imunitas seluler terhadap Mycobacterium leprae yangbaik.

Mengenai kulit dan saraf.

Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi,

atau, kontrol healing ( + ).

Page 11: Lbm 2 Tropis Nurul

Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan

psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,

kelemahan otot, sedikit rasa gatal.

Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon

imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.

b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)

Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya

lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas.Dapat dijumpai lesi-

lesi satelit.Dapat mengenai satu saraf tepi atau lebih, sehingga menyebabkan kecacatan

yang luas.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita

lepra BT (very few sampai 1+).Tes lepromin positif.

Hampir sama dengan tipe tuberkoloid

Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.

Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.

Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.

c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)

Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan poli-morf. Kelainan kulit ini

dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan

hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam (punched out).

Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks

bakteriologis 2+ dan 3+.Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat

tidal( stabil).

Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.

Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.

Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,

cenderung simetris.

Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.

Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian

tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.

d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)

Page 12: Lbm 2 Tropis Nurul

Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa Dimulai makula,

bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran

yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakaL

awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan

lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag

tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil

daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat

prediteksi.Kelainan saraf ringan.Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam

positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+.Tes lepromin negatif.

e) Lepra tipe Lepromatosa (LL)

Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah

banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus

serta batasnya tidak jelas, dan papula.Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru

terserang pada stadium lanjut.Dapat terjadi neuropati perifer.Mukosa hidung menebal

pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung

yang bercampur darah.Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi,

menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa,

plakat, dan nodul.Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan

sklera.Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jarijari Langan dan kaki

membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis.Kartilago dan tulang hidung perlahan-

lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh

sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang

kala mengakibatkan ginekomastia.Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan

asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+ sampai 6+. Tes lepromin selalu negative

Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas

atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.

Distribusi lesi khas :

Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.

Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.

Stadium lanjutan : Penebalan kulit progresif, Cuping telinga menebal, Garis muka kasar

dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.

Page 13: Lbm 2 Tropis Nurul

Lebih lanjut : Deformitas hidung, Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis,

Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi. Penyakit progresif, makula

dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.

Stadium lanjut : serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis

menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.

Tipe Indeterminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)

Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.

Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat

ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.

Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.

Sebagian sembuh spontan.

Gambaran klinis organ lain

Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan

Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana

Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis

Lidah : ulkus, nodus

Larings : suara parau

Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi

Kelenjar limfe : limfadenitis

Rambut : alopesia, madarosis

Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

Tanda-tanda umum dari neuropathy lepra:

1. Neuropathy sensoris jauh lebih umum dibandingkan neuropathy motorik, tapi

neuropathy motorik murni dapat juga muncul.

2. Mononeuropathy dan multiplex mononeuritis dapat timbul, dengan saraf ulna dan

peroneal yang lebih sering terlibat

3. NNeuropathy perifer simetris dapat juga timbul

Gejala dari neuropathy lepra biasanya termasuk berikut:

Page 14: Lbm 2 Tropis Nurul

1. Anesthesia, tidak nyeri, patch kulit yang tidak gatal,: pasien dengan lesi kulit yang

menutupi cabang saraf perifer mempunyai resiko tinggi untuk berkembangnya

kerusakan motoris dan sensoris

2. Deformitas yang disebabkan kelemahan dan mensia-siakan dari otot-otot yang

diinervasi oleh saraf perifer yang terpengaruh (ct. claw hand atau drop foot menyusul

kelemahan otot)

3. Gejala sensoris yang berkurang untuk melengkapi hilangnya sensasi, paresthesia dalam

distribusi saraf-saraf yang terpengaruh, nyeri neuralgia saat saraf memendek atau

diregangkan

4. lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris

Gejala yang terlihat pada suatu reaksi:

1. Reaksi reversal – onset yang mendadak dari kulit yang kemerahan dan munculnya lesi-

lesi kulit yang baru

2. reaksi ENL – nodul pada kulit yang multiple, demam, nyeri sendi, nyeri otot, dan mata

merah

3. nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer yang

menghasilkan claw hand atau drop foot.

Gejala-gejala kerusakan saraf :

N. fasialis :

- Cabang temporal dan zigomatik meyebabkan lagoftalmus

- Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan

kegagalan mengatupkan bibir

N. ulnaris :

- Anesthesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis

- Clawing kelingking dan jari manis

- Atrofi hipothenar dan otot interosseus serta kedua otot lumbrikalis medialis

N. medianus :

- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah

- Tidak mampu aduksi ibu jari

- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

- Ibu jari kontraktur

Page 15: Lbm 2 Tropis Nurul

- Atropi otot thenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

N. radialis :

- Aestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

- Tangan gantung (wrist drop)

- Tak mampu extensi jari-jari atau pergelangan tangan

N. poplitea lateralis :

- Kaki gantung (foot drop)

- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

- Kelemahan otot peroneus

N. tibialis posterior :

- Anestesia telapak kaki

- Claw toes

- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

N. trigeminus :

- Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata

ttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31135/4/Chapter%20II.pdf

11. Faktor yang mempengaruhi pemilihan terapi ? 12. Manifestasi klinis dari diagnosis ? 13. Bagaimana cara penularan dari penyakit tersebut ?

Epidemiologi

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan , cara penularan belum diketahui pasti

hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan

erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.leprae masih dapat hidup beberapa hari

dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3-5

tahun.

14. Patogenesis dan patofosiologi dari skenario ?

Menurut Srinivasan, syaraf perifer yang terkena akan mengalami beberapa tingkat kerusakan yaitu:

1. Stage of involvement

Page 16: Lbm 2 Tropis Nurul

Pada tingkat ini syaraf menjadi lebih tebal dari normal (penebalan syaraf) dan mungkin disertai nyeri tekan dan nyeri spontan pada syaraf perifer tersebut, tetapi belum disertai gangguan fungsi syaraf, misalnya anestesi atau kelemahan otot.

2. Stage of damage

Pada stadium ini syaraf telah rusak dan fungsi syaraf tersebut telah terganggu. Kerusakan fungsi syaraf, misalnya kehilangan fungsi syaraf otonom, sensoris dan kelemahan otot menunjukkan bahwa syaraf telah mengalami kerusakan (damage) atau telah mengalami paralisis. Diagnosis stage of damage ditegakkan, bila syaraf telah mengalami paralisis yang tidak lengkap atau syaraf batang tubuh telah mengalami paralisis lengkap tidak lebih dari 6-9 bulan. Penting sekali untuk mengenali tingkat damage ini karena dengan pengobatan pada tingkat ini kerusakan syaraf yang permanen dapat dihindari.

3. Stage of destruction

Pada tingkat ini syaraf telah rusak secara lengkap. Diagnosis stage of destruction ditegakkan, bila kerusakan atau paralisis syaraf secara lengkap lebih dari satu tahun. Pada tingkat ini walaupun dengan pengobatan, fungsi syaraf ini tidak dapat diperbaiki

Imunologi

Respon imun terhadap kuman M.leprae terjadi pada dua kutub, dimana pada satu sisi akan terlihat aktifitas Th-1 yang menghasilkan imunitas seluler dan sisi yang lain terlihat aktifitas Th-2 yang menghasilkan imunitas humoral.

Pada kusta tipe tuberkuloid, ditandai dengan cell-mediated immunity yang tinggi dengan tipe respon imunitas seluler yaitu Th-1. Kusta tipe tuberkuloid menghasilkan IFN- , IL-2, γ lymphotoxin- α pada lesi dan selanjutnya akan menimbulkan aktivitas fagositik. Makrofag yang mempengaruhi sitokin terutama TNF bersama dengan limfosit akan membentuk granuloma. Sel CD4+ ( T helper cell) dominan ditemukan terutama di dalam granuloma dan sel CD8+ (cytotoxic T cell) dijumpai di daerah sekitarnya. Sel T pada granuloma tuberkuloid menghasilkan protein antimikroba yaitu granulysin.21

Pada kusta tipe lepromatous, ditandai dengan cell-mediated immunity yang rendah dengan tipe respon imunitas humoral yaitu Th-2. Kusta tipe lepromatous mempunyai karakteristik pembentukan granuloma yang sedikit. mRNA memproduksi terutama sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 menyebabkan penurunan peranan TLR2 pada monosit sedangkan IL-10 akan menekan produksi dari IL-12. Dijumpai sel CD4+ berkurang, sel CD8+ yang banyak dan dijumpai foamy makrofag.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33611/4/Chapter%20II.pdf

Patofisiologi

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.Selain manusia, hewan

yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.Terdapat

bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan

diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada

kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu.Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe

Page 17: Lbm 2 Tropis Nurul

kusta yang berbeda pada setiap individu.Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan

faktor penyebab.

Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang

yang terinfeksi dan orang yang sehat.[12] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi

untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina hingga

55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan

mukosa hidung.Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah

organisme di dermis kulit.Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme

tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit.Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya

bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak

menemukan bakteri tahan asam di epidermis.Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan

adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta

lepromatosa.Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar

melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.Jumlah dari

bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga

10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa

memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.Davey dan Rees mengindikasi bahwa

sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini

diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya

bakteri.Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit

yang ditekan sistem imunnya.Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada

mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.Banyak ilmuwan yang mempercayai

bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya

bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.

Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha

mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,

berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama

30 tahun.Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah

terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik.Secara umum,

telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

Page 18: Lbm 2 Tropis Nurul

Patogenesis

Lepra merupakan penyakit infeksius kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae. M. leprae memiliki tiga target utama dalam tubuh manusia: jaringan saraf perifer (sel

Schwann), pembuluh darah kecil (sel endotel dan perisit), serta system monosit-makrofag. Basil

tersebut dapat tetap bertahan hidup dan melakukan replikasi di dalam sel Schwann dan

selanjutnya dapat pula melakukan penetrasi ke jaringan perineural serta dapat pula

berkembang dalam sel endotel dan perisit untuk kemudian dapat menyebabkan bakteremi.

Banyak percobaan dan penelitian telah dilakukan untuk menerangkan spektrum kliniko-

patologi dari lepra. Faktor resistensi alami dan kelemahan istem imunitas selular merupakan

salah satu teori yang dipostulasikan secara umum.

Penyakit ini dapat menimbulkan bipolaritas penyakit berdasarkan reaksi mitsuda yang

terjadi pada manusia yang terinfeksi. Pada reaksi mitsuda positif, kemungkinan terjadi

resistensi dengan sedikit atau bahkan tanpa proliferasi basiler dan dapat menimbulkan

granuloma epiteloid yang dimediasi oleh mekanisme imunitas seluler. Pada manusia dengan

reaksi mitsuda negative terjadi proliferasi basiler dan terbentuk granuloma lepromatosa atau

virchowsitik. Bipolaritas tersebut terjadi karena adanya dua respon monosit dan makrofag

terhadap M. leprae.

Page 19: Lbm 2 Tropis Nurul

Pada kasus yang terletak pada hemispher tuberkuloid dengan hasil mitsuda positif,

fagositosis terhadap M. leprae mampu menimbulkan lisis bakteri secara utuh, makrofag dapat

bertransformasi menjadi Antigen Presenting Cells (APC) dengan presentasi lengkap antigen basil

di permukaan sel bersama MHC II sehingga dapat menginduksi sintesis IL-12 yang kemudian

dapat merangsang Limfosit T CD4+ (Th-1) untuk memproduksi IL-2 dan IFN-gamma. Berbagai

sitokin tersebut juga dapat mengaktivasi makrofag lain dan membantu proses lisis bakteri

hingga terbentuk sel epiteloid dan sel langhans. Secara structural, sitoplasma dari sel epiteloid

menunjukkan lisosom dan apparatus golgi yang normal, degenerasi mitokondria, dengan tanpa

struktur gabus (Virchowsit). Perbesaran mitokondria menunjukkan aktivitas metabolic yang

tinggi dari makrofag tersebut.Limfosit T CD4+ dapat berperan melalui produksi IL-2 dan IFN-

gamma. Bersama dengan MHC I, APC yang sama dapat merangsang limfosit T CD8+ walaupun

tidak sebesar efek pada lepromatos lepra.

Pada tipe lain dari lepra, hemisphere lepromatosa dengan hasil mitsuda negative terjadi

overproduksi radikal bebas sehingga menyebabkan efek inhibisi terhadap fosfolipase lisosom

dan menimbulkan bentukan sel lepra (Virchowsit) karena fosfolipid basil yang persisten. Hal

tersebut menyebabkan hilangnya stimulasi imunologis (APC) sehingga imunitas seluler tubuh

tak terstimulasi. Pada tahapan lanjut dari lepromatos lepra, makrofag lain akan memfagosit sel

lepra (virchowsit) dan menimbulkan ekspresi dari MHC II, pelepasan IL-4 akan merangsang

imunitas humoral (CD4+ Th-2 dan Limfosit T CD8+, limfosit B, IL-1, sintesis TNF – alfa) dengan

produksi antibody anti-lepra dan memfasilitasi reaksi lepra tipe 2 (ENL) dan tipe 3 (fenomena

Lucio).

Page 20: Lbm 2 Tropis Nurul

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting

Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua.Signal pertama adalah

tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul

MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya

pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui

CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi

menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1.α

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolatγ

glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatandengan C3 melalui reseptor

CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2

juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi

bakteri dari penghancuran oksidatif olehanion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat

menghancurkan secara kimiawi.

Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan

dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan

sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag sudah disebut

dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4

dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan

IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast.Signal I tanpa adanya signal II

akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan

menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1

akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan

lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.

Page 21: Lbm 2 Tropis Nurul

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid.Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba.Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy

15. Penatalaksanaan pada diagnosis ?

Pengobatan Penderita

Obat antikusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)

kemudian klofazimin, dan rimpafisin.DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan

pada tahun 1952.

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditunjukkan unuk

mencegah kemungkinan resistensi obat, sedangkan multi drug treatment (MDT) untuk kusta

baru dimulai pada tahun 1971. Pada saat ini MDT yang digunakan di Indonesia sesuai dengan

rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang

paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling

banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di Negara

berkembang dengan social ekonomi yang rendah.

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk :

- Mencegah dan menggobati resistensi

- Memperpendek masa pengobatan

- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain :

Efek terapeutik obat

Efek samping obat

Harga obat

Page 22: Lbm 2 Tropis Nurul

Kemungkinan penerapannya

A. Tujuan Pengobatan

1. Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada penderita tipe Pb yg

berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat.Akan tetapi bagi

penderita yg sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah

cacat yg lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur,maka kuman

kusta dapat menjadi aktif kembali,sehingga timbul gejala-gejalla baru pada kulit dan

syaraf yg dapat memburuk keadaan. Disinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan

teratur.

2. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular

kepada orang lain. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikankuman kusta

sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh,dan tanda-tanda penyakit menjadi

kurang aktif danakhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman mama sumber penularan dari

penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus. Selama dalampengobatan penderita-

penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa.

B.Obat-obat yang dipergunakan

DDS ( DAPSON ), 1-2 mg/kgBB/hari

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi sekunder terjadi oleh

karena :

Monoterapi DDS

Dosis terlalu rendah

Minum obat tidak teratur

Pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun

Resistensi hanya terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar, oleh

karena SIS, penderita PB tinggi dan penggobatannya relative singkat.

Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten, dan

manifestasinya dapat dalam berbagai tipe ( TT, BT, BB, BL,LL) bergantung pada SIS

penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat di obati dengan dosis DDS yang

lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.

Page 23: Lbm 2 Tropis Nurul

Efek samping yang mungkin timbul : nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,

leucopenia,insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik,

hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

Rifampisin, 10 mg/kgBB/hari

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS. Rifampisin

tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, karena akan memperbesar kemungkinan

terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh

diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu, mengingat efek sampingnya.

Efek sampingnya : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome,

dan erupsi kulit.

Klofazimin (Lamprene), :

50 / 100 mg selang sehari atau

3 x 100 mg setiap minggu

Dapat juga digunakan sebagai antiinflamasi, sehingga dapat digunakan sebagai

penanggulangan E.N.L, 200-300 mg/hari.

Efek sampingnya : warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sclera,

sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat

warna dan dideposit terutama pada sel RES, mukosa dan kulit. Efek samping hanya terjadi

dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal ( nyeri abdomen, nausea, diare,

anoreksia, dan vormitus), selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Perubahan

warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat dihentikan.

Protionamid, 5-10 mg/kgBB/hari

Di Indonesia obat ini tidak digunakan atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam

jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.

Ofloksasin, dosis optimal 400 mg

Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap microbacterium leprae in

vitro. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman

microbacterium leparae sebesar 99,99%.

Page 24: Lbm 2 Tropis Nurul

Efek sampingnya : mual, diare dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan

susunan saraf pusat termaksuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan

halusinasi.

Hati-hati pada penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui.

Minosiklin, dosis harian 100 mg

Termaksud golongan tetrasiklin, efek bakterisidnya lebih tinggi dari pada klaritomisin,

tetapi lebih rendah dari pada ripamfisin.

Efek sampingnya : pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan

hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan SSP,

termaksud dizziness dan unsteadiness. Kontraindikasi untuk anak-anak dan kehamilan.

Klaritomisin, dosis harian 500 mg

Merupakan kelompok makrolid dan menpunyai aktivitas bakterisidal terhadap M. leprae.

Efek sampingnya : nausea, vormitus, diare. Yang terbukti jika diberikan pada dosis 2000

mg.

Kombinasi obat ini diberikan 2-3 tahun dengan syarat bakterioskopis harus negative.

Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai

bakterioskopis negative. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap

bulan dan bakterioskopis minimal 3 bulan.

Jadi, pengonatan kusta multibasilar hanya selama 2-3 tahun. Penghentian penggobatan

RFT ( release from treatment) dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara

klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Bila

bakterioskopis negative dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari

pengamatan RFC (release from control)

Prednison.

Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi.

Sulfat Ferrosus.

Obat tambahan untuk pederita kusta yang Anemia Berat.

Vitamin A.

Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis).

Page 25: Lbm 2 Tropis Nurul

C. Regimen Pengobatan MDT

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh

WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tipe PB 1 : Lesi 1

- Diberikan dosis tunggal ROM :

- Obat ditelan di depan petugas

- Anak < 5 tahun } tidak diberikan ROM

- Ibu hamil

Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung RFT.

Bila obat-obat ini belum datang dari WHO untuk sementara semua kasus PB 1 diobati

selama 6 bulan dengan Regimen PB (2-5). Lesi1 dengan pembesaran saraf,diberikan

Regimen PB 2-5

2. Tipe PB 2-5 : Lesi 2-5

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

- Rifampicin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

- DDS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.

- Pengobatan 6 disis diselesaikan dalam waktu maksimal 9 Bulan.

Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (“ Release From Treatment” = berhenti

minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.

3. Tipe MB : Lesi lebih dari 5

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa.

Page 26: Lbm 2 Tropis Nurul

- Rifampicin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.

- Lampiran 300 mg/bulan diminum didepan petugas.

- Lamprene 50 mg/hari diminum dirumah.

DDS 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 12 dosis diselesaikan dallam waktu maksimal 18 bulan. Sesudah selesai

minum 12 dosis dinyatakan RFT (“Release Ffrom Treatment” = berhenti minum obat

kusta), meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.

Dosis Lamprene untuk anak :

Umur dibawah 10 tahun :

bulan 100 mg/bulan

Harian 50 mg/2 kali/minggu.

Umur 11-14 tahun :

bulan 200 mg/bulan,

Harian 50 mg/3 kali/minggu.

Dosis DDs untuk anak-anak 1-2 mg/kg berat badan.

Dosis Rifampicin untuk anak-anak 10-15 mg/kg berat badan.

16. Komplikasi dari diagnosis ?

KOMPLIKASI

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan bersifat intraseluler obligat. Saraf

perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit, dan traktus respiratorius bagian atas, kemudian

dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan

dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas.

Defomitas pada kusta ini sesuai dengan patofisiologinya, dan dibagi dalam deformitas

primer dan deformitas sekunder.Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma

yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendasak dan merusak jaringan

sekitarnya, yaitu kulit, traktus mukosa respiratorius atas, tulang jari-jari, dan wajah.Deformitas

sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya,

tetapi terutama karena kerusakan saraf.

Page 27: Lbm 2 Tropis Nurul

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia

pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder

disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum

sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya mengakibatkan

kerusakan bagian-bagian mata lainnya.Secara bergabung dapat menyebabkan kebutaan.

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambut yang dapat menyebabkan kulit kering dan alopesia.Pada tipe

lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi

granuloma pada tubulus semineferus testis. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa

nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ

lainnya dapat menimbulkan gejala seperti :

1. Iridosiklitis

2. Neuritis Akut

3. Limfadenitis

4. Arthritis

5. Orkitis, dan

6. Nefritis yang akut dengan adanya proteinuria.

M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat syaraf

tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : Sensorik, motorik, dan otonom.

Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena kuman

kusta maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi Lepra.

A. Kerusakan Fungsi Sensorik.

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa

(anestesi).Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka.

Sedangkan pada kornea mata akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip

sehingga mata mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat menimbulkan

infeksi mata dan akhirnya kebutaan.

B. Kerusakan Fungsi Motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya

mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan.Jari-jari tangan dan kaki menjadi

Page 28: Lbm 2 Tropis Nurul

bengkok (“claw hand/claw toes”) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya

(kontraktur).Bila terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka kelopak

mata tidak dapat dirapatkan(“lagophtalmos”).

C. Kerusakan Fungsi Otonom.

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi

darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.

Pada

umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani secara cepat dan

tepat maka akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat.

Fenomena Lucio

Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non

nodular difus.Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah.

Klinis berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan nyeri.Lesi lebih

berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri.Lesi

lambat menyembuh dan terbentuk jaringan parut.

Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik, edema, proliferasi endotelial

pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di endotel kapiler.