Latihan Proposal

9
Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin ISONIAZID (INH) Gambar 2. Struktur isoniazid Isoniazid merupakan suatu turunan hidrazid dari asam nikotinat. Isoniazid merupakan obat pilihan untuk pengobatan TB. Overdosis isoniazid akut dapat menyebabkan asidosis metabolic dan seizure (Erdman A, 2004). Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB terkuat (Istiantoro dan Setibudy, 2007). Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosida dengan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) sekitar 0,025 – 0,05 mikrogram/ml. efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.

description

lp

Transcript of Latihan Proposal

Page 1: Latihan Proposal

Z = Pirazinamid

E = Etambutol

S = Streptomisin

ISONIAZID (INH)

Gambar 2. Struktur isoniazid

Isoniazid merupakan suatu turunan hidrazid dari asam nikotinat. Isoniazid

merupakan obat pilihan untuk pengobatan TB. Overdosis isoniazid akut dapat

menyebabkan asidosis metabolic dan seizure (Erdman A, 2004). Isoniazid (INH)

mempunyai kemampuan bakterisidal TB terkuat (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosida dengan

KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) sekitar 0,025 – 0,05 mikrogram/ml. efek

bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat

menembus dalam sel dengan mudah (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Mekanisme kerja isoniazid adalah menghambat cell-wall biosynthesis

pathway (Amin dan Bahar, 2006). Efek utama isoniazid ialah menghaambat

biosintesis asam mikolat yang merupakan unsure penting dinding sel mikobakterium.

Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat

penjang yang merupakan bentuk awal molekul asam mikolat. Isoniazid

Page 2: Latihan Proposal

menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi

oleh methanol dari mikobakterium (Istiantoro dan Setiabudy, 2007).

Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar

puncak dicapai dalam waktu 1 – 2 jam setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid

mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolism ini dipengaruhi oleh

factor genetic yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dan masa paruhnya

(Istiantoro dan Setibudy, 2007). Di dalam hati, INH diasetilasi oleh enzim

asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. Plasma t1/2 nya antara 1 – 4 jam

tergantung pada kecepatan asetilasi (Tjay dan Rahardja, 2002). Perbedaam kecepatan

asetilasi tidak berpengaruh pada efektivitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini

diberikan setiap hari. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh.

Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasmadan otot daripada dalam

jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan dalam

jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik. Antara 75 – 95% isoniazzid

diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit.

Ekskresi terutama melalui ginjal (75 – 95% dalam 24 jam) dalam bentuk

asetilisoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi dan asam nikotinat yang

merupakan metabolit proses hidrolisis (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Dosis

Isoniazid setiap hari 5 mg/kg, maksimal 300 mg. dosis dua kali/minggu sebanyak

15mg/kg, maksimal 900 mg. dosis tiga kali/minggu sebanyak 15 mg/kg, maksimal

900 mg (Mansjoer et al, 1999).

Efek sampingnya (pada dosis 200 – 300 mg sehari) jarang dan ringan (gatal –

gatal, ikterus). Tetapi, lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg. yang terpenting

adalah polyneuritis, yakni radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan

penglihatan. Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin, yang rumus

kimiawinya mirip dengan INH. Kadang-kadang terjadi kerusakan hari dan ikterus

yang fatal khususnya pada orang asetilator lambat, terutama bila dikombinasi dengan

rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang mempengaruhi kadar obat dalam plasma

Page 3: Latihan Proposal

dan masa paruhnya, tergantung dari banyaknya asetil transferase yang pada masing-

masing orang berbeda secara genetis (Tjay dan Rahardja, 2002). Fenotip dengan

asetilasi lambat disebabkan penurunan atau tidak adanya N-acetyltransferase

(Sherlock dan Dooley, 1993). INH bila digunakan pada pasien gangguan fungsi ginjal

atau hati dan mereka yang berusia diatas 45 tahun beresiko timbulnya efek samping

yang meningkat (Tjay dan Rahardja, 2002).

Isoniazid dapat menyebabkan efek toksik akut melalui penurunan piridoxal 5-

phospate di otak, dimana fungsinya untuk mengaktifkan vitamin B6 dan penting

sebagai kofaktor enzim glutamic acid decarboxylase. Hal ini dapat mengakibatkan

penurunan GABA dalam CNS, yaitu suatu penghambat. Penurunan GABA

menyebabkan aktivitas elektrik tidak dapat dihambat, manifestasi klinisnya berupa

seizure. INH juga dapat menghambat konversi laktat di hati menjadi piruvat (Erdman,

2004).

Isoniazid dapat menyebabkan hepatitis, cutaneus hipersensitivitas, perifer

neuropati, konvulsi, optic neuritis, gejala gangguan mental, anemia hemolitik, anemia

aplastik, agranulositosis, athralgia (Aditama, 1997). Setelah mengalami asetilasi,

isoniazid diubah menjadi hidrazin melalui enzim dalam hati menjadi acylating agent

yang dapat menyebabkan nekrosis hati (Sherlock dan Dooley, 1993). Isoniazid dapat

menyebabkan kerusakan jaringan hati yang massif dan terjadinya nekrosis

multilobuler (Robbins dan Kumar, 1995). Mekanisme toksisitas isoniazid tidak

diketahui, walaupun diketahui bahwa asetilhidrazin dapat menyebabkan kerusakan

hati (Istiantoro dan Setibudy, 2007).

Page 4: Latihan Proposal

RIFAMPISIN

Gambar 3. Struktur Rifampisin

Rifampisin adalah derivate semisintetik rifampisin B. obat ini merupakan ion

zwitter, larut dalam pelarut organic dan air yang pH nya asam (Istiantoro dan

Setiabudy, 2007).

Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram

negative. In vitro, rifampisin dalam kadar 0,005 – 0,2 mikrogram/ml dapat

menghambat pertumbuhan M. tuberculosis. In vivo, rifampisin meningkatkan

aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M. tuberculosis, tetapi tidak bersifat

aditf terhadap etambutol.

Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Kerjanya

menghambat DNA-dependent RNA polymerase dari mikrobakteria dan

mikroorganisme lain dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan)

rantai dalam sintesis RNA. Rifampisin dapat menghambat sintesis RNA mitokondria

mamalia, tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi daripada kadar untuk

penghambatan pada kuman (Istiantoro dan Setiabudy, 2007). Rifampisin berkhasiat

bakterisida luas terhadap fase pertumbuhan M. tuberculosis dan M. lepra, baik yang

berada di dalam maupun di luar sel. Obat ini mematikan kuman yang dormant selama

fase pembelahannya yang singkat. Maka, obat ini sangat penting untuk membasmi

semua basil guna mencegah kambuhnya TB (Tjay dan Rahardja, 2002).

Page 5: Latihan Proposal

Pemberian rifampisin peroral menghasilkan kadar puncak dalam plasma

setelah 2-4 jam, dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7

mikrogram/ml. Asam paraaminosalisilat dapat memperlambat absorbsi rifampisin,

sehingga kadar terapi rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Setelah diserap dari

saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami

sirkulasi enterohepatik. Rifampisin menyebabkan induksi metabolism, sehingga

walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasi meningkat pada pemberian berulang

(Istiantoro dan Setibudy, 2007). Rifampisin mempercepat perombakan obat-obat lain

bila diberikan bersamaan waktu dengan jalan induksi enzim (system mikrosomal

P450) dalam hati (Tjay dan Rahardja, 2002). Masa paruh eliminasi rifampisin

bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar

75% rifampisin terikat pada protein plasma. Obat berdifusi baik ke berbagai jaringan

termasuk cairan otak. Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh (Istiantoro dan

Setiabudy, 2007). Dosis rifampisin setiap hari sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg.

dosis dua kali/minggu sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg. Dosis tiga kali/minggu

sebanyak 10 mg/kg, maksimal 600 mg (Mansjoer et al, 1999).

Pada system cardiovascular dapat terjadi edema dan flushing. Pada CNS dapat

terjadi ataksia, perubahan perilaku, gangguan konsentrasi, kejang, demam, kelelahan,

sakit kepala, psikosis. Reaksi dermatologik berupa pemphigus, pruritus, dan urticaria.

Sistem endokrin & metabolic berupa insufisiensi adrenal, gangguan menstruasi.

Reaksi hematologic berupa agranulocytosis (jarang), Dessminated Intravaskular

Coagulation, eosinofilia, penurunan hemoglobin, hemolisis, anemia hemolitik,

leucopenia, trombositopenia (terutama pada dosis tinggi). Efek samping lain dapat

terjadi hepatitis (14%) dan jaundice, mialgia, osteomalasia, konjugtivitis eksudatif,

flu like sindrom. Pada ginjal berupa gagal ginjal akut, peningkatan BUN,

hemoglobinuria, hematuria, nefritis interstitial, peningkatan asam urat. Pada

gastrointestinal (1% to 2%) berupa anoreksia, cramps, diarea, flatulensi, heartburn,

mual, dan muntah (Kim, 2007).

Page 6: Latihan Proposal

Rifampisin merupakan antibiotic yang menyebabkan hepatotoksik setelah

pemberian 3-4 bulan, ditemukan pada 10-30% pasien. Kelainan hati karena dua obat

itu berupa hepatitis ringan, jika pemberian obat segera dihentikan akan mengalami

perbaikan. Pada pasien gagal hepar sebelum pemberian tuberkulostatik, gejala akan

lebih berat karena nekrosis hati massif berakibat fatal. Jadi, tidak dianjurkan member

obat itu secara bersamaan (Hadi, 2000).

Kebanyakan pasien dilaporkan mengalami reaksi hepatotoksisitas karena

rifampisin. Rifampisin dapat menyebabkan hepatitis, biasanya ini terjadi karena

reaksi hipersensitivitas (Sherlock dan Dooley, 1993).