Latar Belakang Pengumpulan Al

12
BAB II PEMBAHASAN A. PENGUMPULAN AL-QUR’AN 1. Pengertian Pengumpulan (Ijma’) Al-qur’an Pengertian pengumpulan Al-Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu: 1.1 Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati) Jumma’ul Qur’an artinya huffazuhu (penghafal- penghfalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al- Qiyamah sebagai berikut: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.” Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi

description

hadist

Transcript of Latar Belakang Pengumpulan Al

BAB IIPEMBAHASAN

A. PENGUMPULAN AL-QURAN1. Pengertian Pengumpulan (Ijma) Al-quranPengertian pengumpulan Al-Quran dibagi menjadi dua, yaitu:1.1 Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati)Jummaul Quran artinya huffazuhu (penghafal-penghfalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Qiyamah sebagai berikut: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad s.a.w. dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.1.2 Pengumpulan alam arti kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Quran semuanya)Pengumpulan Al-Quran dalam arti penulisan Al-Quran secara keseluruhan. Setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, dengan menertibkan ayat dan surahnya dalam lembaran yang terkumpul yang kemudian menghimpun semua surah.

2. Latar Belakang Pengumpulan Al-Quran Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar diangkat menjadi kholifah. Pada masa pemerintahannya banyak terjadi kekacauan yang ditimbulkan oleh orang-orang murtad, diantaranya kekacauan yang dipimpin oleh Musailamah Al Kadzdzab bersama para pengikutnya. Hal ini menyebabkan terjadinya perang Yamamah yang terjadi pada 12 H. Pada perang tersebut lebih dari 70 orang penghafal Al-Quran yang gugur. Riwayat lain menyebutkan jumlah yang lebih banyak: 500 orang yang menjadi syuhada.[footnoteRef:2] [2: Drs. H. Ahmad Izzan, M. Ag,Ulumul Quran (Bandung; tafakur (kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat, 2009) hlm. 71.]

Menurut Muhammad Ali (1998:100-102), Al Bukhari telah meriwayatkan dalam Sahihnya tentang kisah pengumpulan Al-Quran ini:Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata,Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban petempuran Yamammah, yang diantaranya adalah 70 orang penghafal Al-Quran. Pada saat itu Umar berada disamping Abu Bakar. Kemudian abu bakar mengatakan, Umar telah dtang kepadaku dan mengatakan, Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamammah banyak merenggut nyawa para penghafal Al-Quran. Aku khawatir gugurnya para penghafal Al-Quran akan menghilangkan Al-Quran yang telah terkumpul di dada mereka. Aku berpendapat agar engkau memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Quran. Aku (Abu Bakar) menjawab, Bagaimana aku harus melakukan sesuatu perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasul saw.?. Umar r.a. menjawab, Demi Allah, perbuatan tersebut adalah baik. Ia berulang kali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan Umar. Kemudian, Abu Bakar berkata kepada Zaid, Engkau adalah seorang pemuda yang tangkas aku tidak meragukan pengakuanmu. Engkau adalah penulis wahyu dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, telitilah Al-Quran dan kumpulkanlah...! Zaid menjawab, Demi Allah andaikata aku ditugaskan memindahkan gunung, tidaklah aku berat bagiku jika dibandingkan tugas yang dibebankan kepadaku ini... Aku mengatakan, Bagaimana Anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.? Abu Bakar menjawab, Demi Allah, hal ini adalah baik. Dan ia mengulanginya berulang kali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT. sebagaimana Ia telah melapangkan dada Abu Bakardan Umar. Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan AL-Quran dari keping batu, pelepah kurma dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Quran sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah (ayat 128-129) dari Abu Khuzaimah Al-Anshari yang tidak terdapat pada yang lainnya (yaitu):

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul, dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu rasakan. Ia sangat menginginkan (kaimanan dan keselamatan). Bagimu, umat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah, cukuplah Allah bagiki, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan dia adalah Tuhan yang memiliki Arsy yang agung. (Q.S. At-Taubah: 128-12).

Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat. Kemudian diserahkan kepada Umar sampai Ia wafat dan kemudian disimpan dirumah Hafsah binti Umar.[footnoteRef:3] [3: Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy,Studi Ilmu Al-Quran (Bandung; Pustaka Setia, 1998) hlm. 100-102.]

A. PENULISAN AL-QURAN1. Pengertian Penulisan (Rasm) Al-QuranIstilah rasm Al-Quran terdiri dari dua kata, yaitu Rasm berasal dari kata rasama-yarsamu yang artinya menggambar atau melukis. Sedangkan Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw. dengan perantara Malaikat Jibril yang ditulis dalam mushaf-mushaf dan disampaikan kepada kita semua secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah.Jadi, rasm Al-Quran dalam Ulumul Quran dapat diartikan sebagai pola penulisan Al-Quran yang digunakan oleh Utsman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Quran. Lalu pola penulisan itu menjadi pola penulisan standar dalam penggandaan mushaf Al-Quran. Pola ini kemudian lebih terkenal dengan nama Rasm Utsmani.2. Latar Belakang Penulisan Al-QuranPada masa Utsman, daerah kekuasaan Islam telah meluas dan orang-orang Islam telah terpisah di berbagai daerah dan kota. Di daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka. Penduduk Syam membaca Al-Quran mengikuti gaya Ubay Ibnu Kaab, penduduk Kuffah bacaan Al-Quran mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Masud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asyari.Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan antarsesama. Hampir satu sama lainnya saling mengkufurkan karena perbedaan pendapat dalam bacaan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Maka Utsman berpidato seraya mengatakan, Kalian yang ada dihadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih jauh lagi perbedaannya.[footnoteRef:4] [4: Ibid 108]

Setelah kejadian tersebut, Utsman mengumpulkan sahabat-sahabat yang cerdik cendikiawan untuk bermusyawarah guna mengatasi perpecahan dan perselisihan. Mereka sepakat menyalin dan memperbanyak mushhaf dan mengirimkannya ke segenap daerah dan kota. Mushhaf yang ada dimusnahkan dan dibakar. Dalam melaksanakan kepusan tersebut Khalifah menugaskan empat sahabat pilihan yang hafalannya dapat diandalkan, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrohman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari Suku Quraisy golongan Muhajirin, kecuali Zaid bin Tsabit yang berasal dari Kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini dilakukan pada tahun 24 H. Utsman mengatakan kepada mereka, Bila anda sekalian menemui perselihan pendapat tentang bacaan maka tulisan berdasarkan bahasa quraisy, karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy. Utsman meminjamkan mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar dan memerintahkan keempat orang sahabattersebut untuk menyalinnya dan memperbanyaknya. Setelah selesai, ia mengembalikan mushaf Abu Bakar kepada Hafsah. 3. Perkembangan Penulisan Al-QuranPada awalnya, mushaf para sahabat berbeda-beda. Mereka mencatat Al-Quran tanpa pola penulisan standar karena pada dasarnya dimaksudkan hanya untuk kepentingan pribadi, tidak ada rencana untuk mewariskan atau memberikannya kepada orang lain. Ada yang menyelipkan catatan-catatan dari penjelasan Rasul saw. ada juga yang menambahkan simbol-simbol tertentu yang hanya diketahui oleh penulisnya.Pada masa permulaan Islam, Al-Quran belum mempunyai tanda baca dan baris seprti yang kita kenal sekarang. Bahkan belum ada tanda-tanda berupa titik sehingga sulit membedakan antara huruf yang satu dengan yang lainnya. Para sahabat yang rata-rata memang masih mengandalkan hafalan, tidak menemui kesulitan dalam membacanya.Kesulitan tersebut mucul ketika dunia Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non-Arab, seperti Persia di sebelah Timur, Afrika di sebelah selatan, dan beberapa daerah non-Arab lainnya di sebelah barat. Hal ini mulai disadari oleh para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat sebagai Gubernur Bashrah, Irak, pada masa Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680 M), riwayat lain menyebutkan ada masa pemerintahan Ali bin Abi Tholib, ia memerintahkan Abu al-Aswad al-Duwali untuk segera membuat tanda baca.[footnoteRef:5] Tujuannya untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al-Quran bagi orang-orang yang tidak hafal Al-Quran. [5: Drs. H. Ahmad Izzan, M. Ag,Ulumul Quran (Bandung; tafakur (kelompok HUMANIORA)-Anggota Ikapi berkhidmat untuk umat, 2009) hlm. 115]

Al-Duwali kemudian memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan kasus salah baca yang sangat fatal, yakni surat At-Taubah. Kemudian Al-Dawali memberi tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik diatas huruf, memberi tanda baca baris bawah (kasrah), tanda dhammah berupa wau kecil diantara dua huruf, dan tanpa tanda apa-apa bagi huruf konsonan mati.Rasm Quran mengalami perkembangan yang sangat pesat pda beberapa periode berikutnya. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan (685-705). Memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Quran (nuqth Al-Quran). Ia mendelegasikan tugas itu kepada Nashid ibn Ashim dan Yahya ibn Mamur, dua murid Al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi di sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara yang satu dengan yang lainnya. Misal, penambahan titik pada huruf dal () yang kemudian menjadi huruf dzal () , huruf ra () menjadi za () , sin ( ) menjadi syin () dan msih banyak lagi. Dari pola penulisan tersebut berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, dan naqsh. 4. Dasar-dasar Pengumpulan dan Penulisan Al-Quran 5. Respon Ulama Mengenai Penggunaan Rasm al UsmaniPendapat ulama tentang rasm Al-Quran berkisar pada masalah apakah rasm al-Quran merupakan tauqif (ketetapan) Nabi Muhammad Saw dalam penyusunannya ataukah bukan.[footnoteRef:6] [6: Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., Ulumul Quran (Bandung,CV PUSTAKA SETIA, 2006) hlm.52]

Diantara beberapa pendapat para ulama tentang rasm Al-Quran adalah sebagai berikut:1.1 Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi, yakni bukan merupakan produk budaya manusia yang wajib diikuti oleh siapa saja ketika menulis al-Quran. Mereka bahkan sampai pada tingkatan menyakralkannya untuk menegaskan pendapatnya, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa nabi pernah berpesan kepada Muawiyah.1.2 Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm Usmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan(ishtilahi) yang disetujui Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun ketika menulis al-Quran.banyak ulamaterkemuka menyatakan perlunya konsistensi menggunakan Rasm Utsmani. 1.3 Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm utsmani bukanlah Tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tetentu untuk menulis al-Quran yang berlainan dengan Rasm utsmani. Dalam hal ini, al-Qadhi Abu Bakaral-baqilaniberkata,adapun mengetahui tulisan, sedikitpun Allah tidak mewajibkan kepada umatnya. Allah tidak mewajibkan jurutulis-jurutulisal-quran dan kaligrafer mushaf-mushaf unruk menggunakan suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka meninggalkan jenis tulisan lain berdasarkan al-Quran atau hadits. Padahal, tidak ada dalam nash-nash Al-quran, tidak juga tersirat dari suatu (mafhum)-nya yang menyatakan bahwa rasm dan dhabith al-quran hanya dibenarkan dengan cara tertentu dan ketetapan tertentu. Tidak juga disebutkan dalam sunah yang mewaibkan dan menunjukkan hal itu, dan juga tidak ditunjukkan qiyas syari. Bahkan, sunnah menunjukkan bolehnya menuliskannya(Mushaf) dengan cara yang termudah sebab Rasulullah dulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu. Oleh karena itu, telah terjadi perbedaan khsth mushaf-mushaf yang ada.Berkaitan dengan ketiga pendapat diatas, Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Quran dari perubahan dan penggantian hurufnya.6. Urgensi dan Kegunaan ilmu Rasm Al-Quran dalam penggalian hukum islam. Pengetahuan umat tentang Al-Quran hanya didasarkan pada hafalan daripada tulisan. Karena Naskah awal Al-Quran pertama kali disalin dari apa yang dirujuk sebagai naskah tak sempurna. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui utsman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan ditaati siapapun ketika menulis Al-Quran.c. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran yang berlainan dengan Rasm UtsmaniKaitan Rasm Al-Quran dengat qiraat sebagaimana telah dijelaskan bahwa keberadaan Mushaf Utsmani yang tidak berharakatdan bertitik itu ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qiraat (cara membaca Al-Quran). Hal itu terbukti dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Quran walaupun setelah muncul Mushaf Utsmani, seperti qiraah tujuh, qiraah sepuluh, qiraah empat belas. Kenyataan itulah yang mengilhami IbnMujahid (859-935) untuk melakukan penyeragaman cara membaca Al-Quran menjaditujuh cara saja (qiraah ssabah). Tentu bukan ia saja yang berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks ini. Malik bin Anas (w. 795), ulama besar madinah dan pendiri madzhab Maliki, dengan tegas menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan menurut bacaan Ibn Masud adalah tidak sah.