BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I.pdf · al-Kuttâb, Madrasah, al- Zawiyah, ar-Ribâth,...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I.pdf · al-Kuttâb, Madrasah, al- Zawiyah, ar-Ribâth,...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam memandang bahwa pendidikan sangat penting bagi
manusia, karena dengan pendidikan manusia akan menjadi
orang yang berilmu. Dengan ilmu manusia akan dapat menjadi
hamba Allah yang tunduk dan patuh memenuhi perintah Allah.
Oleh karena itu ayat pertama yang diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad adalah perintah membaca, sebagaimana
terdapat dalam Q. S. Al’Alaq/96: 1 – 5.
Ayat di atas bagaikan menyatakan: bacalah wahyu-
wahyu Ilahi yang sebentar lagi akan banyak engkau terima dan
baca juga alam dan masyarakatmu. Bacalah agar engkau
membekali dirimu dengan kekuatan pengetahuan.1 Dengan
membaca, manusia akan mendapatkan ilmu dan dengan berilmu
manusia menjadi makhluk yang mulia, bahkan lebih mulia dari
malaikat.2 Ayat al Qur’an lainnya yang juga menegaskan
pentingnya ilmu bagi ummat Islam terdapat dalam Q.S al-
Mujadalah/ 058: 11.
1M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur’an, Cet. IV, (Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 454. 2Al-Imam al-Jalil al-Hafiz ‘Imaduddin Abu al-Fida’i Isma’il Ibn al-
Katsir al-Qaisyi ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Mesir: Dar at-
Tiba’ah, 1988), h. 528.
2
Salah satu kandungan ayat di atas adalah Allah
menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan, karena Allah akan
mengangkat derajat orang yang berilmu pengetahuan. Adapun
institusi yang berfungsi menjadi wadah transfer ilmu
pengetahun adalah institusi/lembaga pendidikan. Karena itulah
sejak awal Rasulullah menyebarkan Islam, beliau sudah
menggunakan institusi pendidikan untuk menyebarkan Islam.
Tercatat dalam sejarah, rumah yang dijadikan Rasulullah
sebagai tempat pendidikan para sahabat yaitu rumah al Arqam.
Oleh karena itu rumah merupakan lembaga pendidikan pertama
dalam Islam.3
Setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, beliau
menjadikan mesjid sebagai pusat dakwah sekaligus menjadi
tempat proses pendidikan bagi para sahabat. Mesjid dimaksud
adalah Masjid Nabawi di kota Madinah. Dengan bertambah
luasnya daerah Islam dan bertambah banyaknya pemeluk Islam
maka kegiatan pendidikan di mesjid semakin ramai dan
kegiatan tersebut dapat mengganggu fungsi utama mesjid
sebagai tempat ibadah. Untuk tidak mengganggu ketenteraman
dalam beribadah di mesjid, dibuatlah tempat khusus untuk
menyelenggarakan proses pendidikan.4 Pada perkembangan
berikutnya muncullah bermacam-macam lembaga pendidikan
Islam sesuai dengan kebutuhan zamannya, diantaranya bernama
al-Kuttâb, Madrasah, al- Zawiyah, ar-Ribâth, al-Maristân, al-
Qushûr, Hawânit al-Waraqîn, al-Bâdiyah, al- Maktabah.5
Di Indonesia lembaga pendidikan Islam yang sangat
berperan dalam mendidik ummat Islam diantaranya adalah
pondok pesantren. Bentuk lembaga ini mirip dengan al-Kuttab,
yaitu suatu lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya
terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik
santri dengan sarana mesjid yang digunakan untuk
3Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Renika
Cipta, 1994), h. 22. 4M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.
83. 5Abudin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h.
196-212.
3
menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya
pondok sebagai tempat tinggal para santri.6
Peranan pondok pesantren di Indonesia sebagai lembaga
pendidikan Islam tidak dapat dipungkiri. Ia tersebar di sebagian
besar wilayah Indonesia, bahkan keberadaannya sudah ada jauh
sebelum Negara Indonesia lahir. Menurut Alwi Shihab, orang
pertama yang membangun pesantren sebagai tempat mendidik
dan menggembeling santri adalah Syaikh Maulana Malik
Ibrahim atau Sunan Gresik (w.1419 H).7 Sepanjang abad 18
sampai abad 20, nama pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara
luas, sehingga kemunculan pesantren di tengah-tengah
masyarakat selalu direspon positif.8 Demikian pula pesantren
turut memiliki andil besar dalam mendidik ummat pada masa-
masa penjajahan, pada masa awal kemerdekaan bahkan sampai
pada masa dewasa ini.
Akan tetapi di antara pakar pendidikan, ada yang menilai
bahwa pendidikan di pondok pesantren memiliki banyak
kelemahan. Diantaranya M. Dawam Raharjo menyatakan
bahwa pesantren merupakan lembaga yang kuat dalam
mempertahankan keterbelakangan dan ketertutupan. Dunia
pesantren memperlihatkan dirinya bagaikan bangunan luas,
yang tak pernah kunjung berubah. Ia menginginkan masyarakat
luar berubah, tetapi dirinya tak mau berubah. Oleh karena itu
ketika isu-isu modernisasi dan pembangunan yang dilancarkan
oleh rezim negara orientasinya adalah pesantren.9
Hal senada diungkapkan oleh Azyumardi Azra,
sebagaimana dikutip Hanun Asrohah, yang menyatakan bahwa
6Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian
Filosofik dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda Karya,
1993), h. 299. 7Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 2002), h. 23. 8Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren; Telaah
Terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), h.157. 9M. Dawam Rahardjo, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan,
dikutif dalam Ninik Masrorah & Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala
Azyumardi Azra, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 210.
4
pesantren menunjukkan sikap kolot dalam merespon upaya
modernisasi. Kekolotan pesantren dalam mentransfer hal-hal
berbau modern itu merupakan sisa-sisa dari respon pesantren
terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren merasa
bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang datang dari Barat,
berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama.10 Pernyataan
di atas tidak seluruhnya benar, karena banyak juga pesantren
yang sudah melakukan modernisasi dalam berbagai aspek
pendidikan di pondok pesantren.
Kuatnya pesantren memegang tradisi dalam arti
mempertahankan sistem tradisional terletak pada figur sentral
yang ada di pondok pesantren yaitu kiai pengasuh pondok.
Mukti Ali, sebagaimana dikutif oleh M. Haedari dkk.,
mengatakan kiai pondok adalah pemimpin tunggal,11 yang
mandiri dan tidak tergantung dengan pihak-pihak lain, sehingga
semua aturan adalah apa yang ditentukan oleh kiai pondok.
Kondisi ini sangat ditunjang oleh tradisi pesantren di mana para
santri tunduk dan patuh terhadap kiai. Oleh karena itu apa
tujuan pesantren, bagaimana proses pendidikan di pesantren,
dan apa yang diajarkan sangat tergantung dari apa yang
ditentukan oleh kiai pesantren. Tradisi kiai sebagai pemimpin
tunggal yang sentralistik yang biasanya memiliki kekuasaan
yang absolut karena kiai adalah pendiri sekaligus sebagai
pemilik pondok pesantren yang bersangkutan.
Seiring dengan masuknya arus pembaharuan pendidikan
yang dimulai dari para pelajar Indonesia yang pulang dari
Timur Tengah (Makkah, Madinah dan Kairo) ditambah dengan
derasnya arus modernisasi, maka terjadi pembaharuan di
Pondok Pesantren. Banyak pondok pesantren di Indonesia
melakukan pembaharuan/ modernisasi sistem pendidikan.
Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang
diselenggarakan pesantren sudah sangat bervariasi. Ada
pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan
10Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 186. 11M. Amin Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Prees, 2004),
h. 15.
5
menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki
sekolah keagamaan (MI, MTs, MA dan PT Agama Islam)
maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMU
dan PT Umum), seperti Pesantren Tebuireng Jombang dan
Pesantren Syafi’iyah Jakarta. Ada pula pondok pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk
madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak
menerapkan kurikulum nasional seperti Pesantren Gontor
Ponorogo dan Darul Rahman Jakarta. Dalam aspek kurikulum
pesantren tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran ilmu-
ilmu ke Islaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang diakomodasi
dari kurikulum pemerintah seperti Matematika, Fisika, Biologi,
Bahasa Inggris dan Sejarah.12
Di Kalimantan Selatan walaupun ide pembaharuan
pendidikan Islam itu sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu,
namun masih terdapat beberapa pondok pesantren yang
mempertahankan pola pondok pesantren yang tradisional,
khususnya pada aspek isi kurikulum yang diajarkan, yaitu
pondok pesantren hanya mengajarkan pelajaran agama Islam
dan tidak mengajarkan pengetahuan umum. Berdasarkan
pendataan Kantor Wilayah Kementerian Agama Propinsi
Kalimantan Selatan pada tahun 2015, jumlah Pondok Pesantren
di Kalimantan Selatan adalah 242 buah yang tersebar di 13
Kabupaten/Kota. Dari 242 buah pondok pesantren tersebut
terdapat 167 Pondok Pesantren Salafiah (Tradisional), 66 buah
Pondok Pesantren Khalafiah (Modern) dan 9 buah Pondok
Pesantren Kombinasi.13
Berdasarkan penjajakan pendahuluan yang dilakukan
penulis diketahui pondok pesantren yang masih
mempertahankan pola pondok tradisonalnya/salafiyah di
antaranya adalah Pondok Pesantren Ibnul Amin di Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, Pondok Pesantren Al Mursyidul Amin di
Kabupaten Banjar dan Pondok Pesantren Yasin di Banjar Baru.
12M. Syulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok
Pesantren, (Yogjakarta: Diva Pustaka, 2005), h. 5. 13Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Selatan,
Rekapitulasi Data Pondok Pesantren Provinisi Kalimantan Selatan Tahun
2015.
6
Pondok Pesantren Ibnul Amin yang merupakan Pondok
Pesantren yang relatif tua yaitu pada waktu sekarang telah
berusia 57 tahun. Setiap tahun animo masyarakat untuk
menyekolahkan anak ke Pondok Pesantren Ibnul Amin selalu
meningkat. Mulai berdiri tahun 1958 jumlah santrinya hanya 9
orang. Pada tahun 1972 jumlah santri sudah bertambah menjadi
251 orang. Pada tahun 1982 jumlah santri menjadi 350 orang.
Kemudian sepuluh tahun berikutnya yaitu pada tahun 1992
jumlah santri bertambah lagi yaitu menjadi 1.582 orang.
Mereka bukan saja berasal dari Kalimantan, tetapi ada yang
berasal dari Sulawesi, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jambi
dan lain-lain.
Pondok Pesantren Al Mursyidul Amin tergolong berusia
lebih muda dari Pondok Pesantren Ibnul Amin yang pada saat
ini berusia 27 tahun, tetapi perkembangannya cukup pesat.
Jumlah santri pertama berjumlah 70 orang pada tahun 1989,
tahun 1990 sudah berjumlah 135. Pada tahun 1999-2000 jumlah
santri sudah berjumlah 1400 orang. Pada tahun 2013-2014
jumlah santri Pesantren Al Mursyidul Amin berjumlah 1762.
Sedangkan Pondok Pesantren Yasin yang berdiri tahun
2004, pada tahun ajaran 2014-2015 santrinya berjumlah 106
orang. Walaupun jumlah santri relatif sedikit tapi fasilitas
pondok relatif lebih baik, karena semua bangunan dibuat dalam
bentuk bangunan permanen, yang terdiri lokal belajar, asrama
santri, rumah Kiai dan dewan guru, mesjid dan ruang kantin.
Pondok Pesantren Yasin memiliki penomena khusus dibanding
dengan kedua pondok pesantren di atas, karena terletak di
daerah perkotaan yaitu di Kota Banjarbaru. Fakta lain dari
pondok ini adalah pendirinya adalah seorang ulama yang
memiliki latar belakang pendidikan perguruan tinggi yaitu
Universitas Islam Nadwatul Ulama, Lucknow, Utar Pradesh,
India dengan mengambil Program BA Syari’ah dan Magester
Dakwah.
Fakta di atas menarik untuk diteliti, bagaimana
pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah tentang
modernisasi pondok pesantren.
7
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus
utama dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pandangan
pimpinan pondok pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan
terhadap modernisasi pesantren. Dari fokus utama tersebut akan
dirinci sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah
di Kalimantan Selatan tentang modernisasi kurikulum
pondok pesantren?
2. Bagaimana pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah
di Kalimantan Selatan tentang modernisasi pembelajaran
pondok pesantren?
3. Bagaimana pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah
di Kalimantan Selatan tentang modernisasi evaluasi
pendidikan di pondok pesantren?
4. Bagaimana pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah
di Kalimantan Selatan tentang modernisasi manajemen
pondok pesantren?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pandangan
pimpinan pondok pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan
tentang modernisasi pondok pesantren. Tujuan utama tersebut
akan dirinci menjadi beberapa sub tujuan penelitian yaitu:
1. Mendeskripsikan pandangan pimpinan pondok pesantren
salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi
kurikulum pondok pesantren
2. Mendeskripsikan pandangan pimpinan pondok pesantren
salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi
pembelajaran di pondok pesantren
3. Mendeskripsikan pandangan pimpinan pondok pesantren
salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi evaluasi
pendidikan di pondok pesantren
4. Mendeskripsikan pandangan pimpinan pondok pesantren
salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi
manajemen pondok pesantren
8
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini ditinjau dalam sudut teoritis dan
sudut praktis. Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna
untuk menambah khazanah pengetahuan tentang bagaimana
pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah di Kalimantan
Selatan tentang modernisasi pondok pesantren.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi masukan bagi Kementerian Agama untuk melakukan
pembinaan terhadap pondok pesantren salafiyah sehingga
mampu menghasilkan alumni yang memiliki pengetahuan yang
holistik, sehingga dapat memerankan diri sebagai hamba Allah
dan sebagai khalifatullah. Bagi pimpinan pondok dan guru-guru
pondok pesantren maka penelitian ini diharapkan menjadi
masukan yang berharga untuk menjadi dasar dalam mengelola
pondok pesantren, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan zaman.
E. Definisi Operasional
Berdasarkan judul penelitian yang diajukan, maka
beberapa definisi operasional yang perlu dikemukakan adalah:
1. Pandangan
Pandangan berarti sesuatu yang dipandang, hasil
perbuatan memandang, pendapat atau pertimbangan.14 Adapun
arti pandangan dalam penelitian ini adalah pendapat pimpinan
pondok pesantren tradisional tentang modernisasi pondok
pesantren.
2. Pimpinan pondok pesantren salafiyah
Pimpinan berarti perbuatan memimpin.15 Kegiatan
memimpin disebut dengan kepemimpinan. Adapun
kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain
14W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1984), h. 704. 15Ibid, h. 755.
9
agar orang tersebut mau bekerja sama untuk mencapai tujuan.
Pemimpin mempunyai wewenang untuk mengerahkan anggota
dan juga dapat memberikan pengaruh.16 Di pondok pesantren
biasanya pemimpin adalah seorang kiai. Kiai adalah gelar
yang diberikan kepada para pemimpin agama Islam atau
pondok pesantren dan mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab
klasik (kuning) kepada para santrinya.
Pondok pesantren salafiyah adalah pesantren yang
memelihara bentuk pengajaran teks klasik dan pendidikan
moral sebagai inti pendidikannya.17 Istilah tradisional
disamakan dengan istilah salafiyah.18 Jadi yang dimaksud
pimpinan pondok pesantren tradisional/salafiyah adalah
pengasuh pondok pesantren yang memiliki ilmu yang luas
bidang keagamaan, di mana pesantren yang diasuhnya
merupakan pesantren yang mengajarkan materi pengajaran
agama Islam dan pendidikan moral yang bersumber dari teks-
teks klasik.
3. Modernisasi Pondok Pesantren
Modernisasi berasal dari kata modern yang berarti yang
baru, cara baru, mutakhir.19 Kata modernisasi diartikan
kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan
hidupnya di dunia ini dengan menggunakan metode ilmiah yang
berwatak empiris dan rasional menghasilkan wawasan
kehidupan baru dan melahirkan pola kehidupan baru.20
16Abdul Wahab H.S dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan dan
Kecerdasan Spiritual, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 89-92. 17Lukens-Bull, “Jihat Ala Pesantren”, dikutif dalam Abdullah Aly,
Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren, Talaah terhadap Kurikulum
Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), h. 177. 18Departemen Agama RI, Profil Pondok Pesantren Mu’adalah,
(Jakarta: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama
Islam, Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Proyek
Peningkatan Pondok Pesantren, 2004 ), h. 15. 19W.J.S. Poerwadarminta, , Kamus.... h. 653. 20Ninik Masruroh dan Umiarso, Modernisasi Pendidikan Islam Ala
Azyumardi Azra, (Jakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 83-94.
10
Jadi modernisasi pondok pesantren berarti kreatifitas
manusia dengan didasarkan metode ilmiah yang berwatak
empiris dan rasional sehingga menghasilkan sistem baru dalam
pelaksanaan pendidikan di pondok pesantren.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pandangan
pimpinan pondok pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan
tentang modernisasi pondok pesantren salafiyah adalah
pendapat kiai pondok pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan
tentang penerapan sistem pendidikan baru atau mutakhir yang
dihasilkan dari kegiatan ilmiah yang berwatak empiris dan
rasional bagi penyelenggaraan pendidikan di pondok pesanten
salafiyah.
F. Penelitian Terdahulu
Beberapa karya ilmiah terkait pondok pesantren cukup
banyak dihasilkan baik yang bersifat nasional maupun lokal
Kalimantan Selatan. Adapun karya ilmiah yang terkait pondok
pesantren yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian yang
akan dilakukan di antaranya:
1. Hasbi Indra dalam buku yang merupakan hasil penelitian
Disertasi (2003) dengan judul Pesantren dan Transformasi
Sosial, Studi Atas Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’i dalam
Bidang Pendidikan Islam mengemukakan hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan pesantren diantaranya tentang
tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode pendidikan
dan lembaga pendidikan.
Tujuan pendidikan pondok pesantren salafiyah menurut
KH. Abdullah Syafi’i adalah ingin menciptakan anak didik
yang menguasai kitab kuning, yang di dalamnya terkumpul
pemikiran-pemikiran ulama klasik. Dengan penguasaan itu
mereka diharapkan menjadi ulama yang tangguh dikemudian
hari. Adapun materi pelajaran di pondok pesantren di
samping santri belajar ilmu umum pada pagi hari, santri juga
diajarkan ilmu agama di sore hari. Santri juga mendapat
pendidikan tentang keterampilan seperti perbengkelan, jahit
menjahit dan lain-lain. Sedangkan metode mengajar di
pondok pesantren adalah metode talqin, tanya jawab, diskusi,
11
penugasan, halaqah, dan badongan. Adapun tentang lembaga
jenis pendidikan pesantren, menurut KH. Abdullah Syafi’i
terdiri dari Pesantren Khalaf dan Pesantren Salaf.21
2. Husnul Yaqin dalam buku yang merupakan hasil penelitian
Disertasi (2008) dengan judul: Sistem Pendidikan Pesantren
di Kalimantan Selatan mengemukakan bahwa, sistem
pendidikan pesantren di Kalimantan Selatan terbuka terhadap
perkembangan sistem pendidikan di luar dirinya dan terhadap
berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan keadaan tanpa
kehilangan identitas esensialnya sebagai lembaga tafaqquh fî
al-dîn. Sistem semacam ini telah mampu mempertahankan
keberlangsungan pesantren dalam menghadapi tantangan
zaman. Simpulan tersebut diambil dengan memperhatikan
model kurikulum yang dikembangkan di pondok pesantren di
Kalimantan Selatan, proses pembelajaran di pesantren dan
manajemen pendidikan pada pondok pesantren.22
3. Hasil penelitian Mudhi’ah dalam rangka penulisan Tesis
(2005) menyatakan terjadi dinamika kurikulum pada
pesantren Manbaul Ulum dari kurikulum pesantren
tradisional berubah mengarah pada kurikulum bernuansa
modern, tetapi belum seutuhnya menjadi pondok pesantren
modern. Adanya dinamika kurikulum tersebut dimaksudkan
menyahuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta tuntutan masyarakat.23
4. Berbagai karya hasil penelitian para dosen IAIN Antasari
yang tidak diterbitkan dalam buku tentang pesantren di
Kalimantan Selatan cukup banyak, diantaranya:
a. Karya Abdurrahman Japeri dengan judul Kiai Haji Mahfuz
Pengasuh Pesantren Ibnul Amin Pamangkih Kabupaten
Hulu Sungai Tengah (1985). Berdasarkan laporan hasil
21Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial, Studi Atas
Pemikiran K.H. Abdullah Syafi’i dalam Bidang Pendidikan Islam, (Jakarta:
Penamadani, 2005), h. 237-240. 22Husnul Yaqin, Sistem Pendidikan Pesantren di Kalimantan Selatan,
(Banjarmasin: Antasari Prees, 2009), h. 253-255. 23Mudhiah, “Dinamika Kurikulum Pesantren Manbaul ‘Ulum Kertak
Hanyar Kabupaten Banjar” (Tesis tidak diterbitkan, Program Pascasarjana,
IAIN Antasari, Banjarmasin, 2005), h.154.
12
penelitian diketahui bahwa Kiai Haji Mahfuz dilahirkan di
Desa Pamangkih Kecamatan Labuan Amas Utara pada
tanggal 23 Rajab tahun 1332 H (1912 M). Selagi kecil
beliau dididik dilingkungan keluarga yang ayahnya
bernama H. Ramli seorang ulama yang berpengaruh di
Hulu Sungai Tengah. Adapun pendidikan formal yang
pernah ditempuh beliau adalah Volk School selama 3 tahun
kemudian melanjutkan ke Ver Volk School selama 2 tahun
dan pernah pula menempuh pendidikan di Madrasah
Ibtidaiyah di Banjarmasin. Sedangkan pendidikan lainnya
banyak dilakukan secara non formal dengan berguru pada
orang tuanya dan ulama di Mekkah dalam mempelajari
kitab-kitab agama Islam. Sedangkan perjuangan/jasa-jasa
beliau ada di bidang dakwah dan pendidikan. Di bidang
dakwah beliau memberi ceramah di tempat pengajian
khusus di rumah Kiai Haji Mahfuz sendiri dengan
mengkaji kitab tertentu. Sedangkan di bidang pendidikan
beliau membangun pondok pesantren yang bernama Ibnul
Amin pada tahun 1958 sekaligus beliau sebagai Kiai
pengasuh pondok tersebut.24
b. Profil Pondok Pesantren Kabupaten Hulu Sungai Tengah
yang merupakan hasil penelitian Imran Sarman dan
kawan-kawan (1985) mengemukakan bahwa pondok
pesantren yang ada sekarang adalah transformasi dari
aktifitas pengajian agama yang diadakan oleh tuan guru
baik yang dilakukan di tempat ibadah (langgar) maupun di
rumah tuan guru yang bersangkutan. Sistem pengajaran
adalah pengajaran kitab dan hafalan yang merupakan
refleksi dari sistem Salafi, yang menggunakan kitab
kuning klasik. Sebagian lainnya sudah menggunakan
24Abdurrahman Japeri, ”Kiai Haji Mahfuz Pengasuh Pesantren Ibnul
Amin Pamangkih Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan”
(Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian IAIN Antasari 1985, Banjarmasin,
1985), h. 3-28.
13
sistem khalafi dengan menggabungkan sistem madrasah
dan pondok pesantren.25
c. Penelitian yang dilakukan Wahyudin dkk. (2004) yang
berjudul: Profil Pondok Pesantren di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan. Penelitian ini mendeskrip-sikan bahwa di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan terdapat dua kategori jenis
pondok pesantren yaitu pesantren yang diselenggarakan
mengacu pada kurikulum pendidikan nasional yang
dipadukan dengan kurikulum lokal dan pondok pesantren
yang sistem pendidikannya murni pesantren biasa yang
mengacu pada salah satu pondok pesantren yang terdahulu
para kiainya pernah menuntut ilmu26.
d. Penelitian yang dilakukan Mubin, dkk.(2004) yang
berjudul: Profil Pondok Pesantren di Banjarbaru,
mengemukakan bahwa pondok pesantren yang ada di Kota
Banjabaru menggunakan sistem klasikal dan tingkat.
Sebagian menggunakan kurikulum lokal, sedangkan
sebagian yang lainnya memakai kurikulum sekolah negeri
walaupun pelaksanaannya dipisahkan dengan kurikulum
lokal.27
e. Syahriansyah dkk., dalam hasil penelitiannya tahun 2004
menyatakan bahwa Pondok Pesantren di Kabupaten Banjar
terdiri dari dua bentuk yaitu modern dan salafi. Faham
keagamaan yang berkembang di pondok pesantren di
bidang tauhid yaitu teologi Imam Abu Hasan al Asy’ari
(Asy’ariyah), dalam bidang Fiqh bermazhab Syafi’i dan
bidang tasawuf adalah tasawuf al Ghazali.28
25Imran Sarman, dkk., “Profil Pondok Pesantren Kabupaten Hulu
Sungai Tengah” (Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian IAIN Antasari,
Banjarmasin, 2004), h. 103-104. 26Wahyudin, dkk. “Profil Pondok Pesantren di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan” (Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian IAIN Antasari, Banjarmasin, 2004), h. 93-94.
27Mubin, dkk., “Profil Pondok Pesantren di Banjarbaru” (Laporan
Hasil Penelitian, Pusat Penelitian IAIN Antasari, Banjarmasin, 2004), h. 96-
97. 28Syahriansyah dkk., “Profil Pondok Pesantren di Kabupaten Banjar”
(Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian IAIN Antasari, Banjarmasin,
2004), h. 116-117.
14
f. M. Noor Maksum, dalam hasil penelitiannya tahun 2004
menyatakan bahwa sebagai besar pondok pesantren di
Kabupaten Hulu Sungai Utara kebanyakannya menerapkan
sistem pesantren khalafi atau modern dengan metode
klasikal. Di samping itu ada pula yang mengkombinasikan
dengan sistem salafiyah. Hanya ada satu pondok yang
mempertahankan sistem salafiyah dengan metode wetonan
atau khalaqah dengan sistem naik kitab yaitu pesantren
Raudatul Muta’alimin. Faham keagamaan bermazhab
Syafi’i dan di bidang teologi menganut paham
Asy’ariyah.29
g. Ahdi Makmur (2005) dalam laporan hasil penelitiannya
mengemukakan bahwa terbentuknya jaringan ulama
pendiri atau pimpinan pondok pesantren di Kalimantan
Selatan oleh karena mereka pernah menimba ilmu, dan
organisasi sebagai wadah mereka berkiprah dalam bidang
sosial, agama maupun pendidikan. Sedangkan hubungan
kekerabatan dalam konteks yang agak terbatas bukanlah
menjadi penyebab terjadinya jaringan ulama pendiri dan
pimpinan pondok pesantren di Kalimantan Selatan.30
Dari tulisan karya ilmiah di atas, bila dilihat dari
substansi permasalahan yang dibahas maka belum ada satupun
tulisan yang mengungkap masalah pandangan Kiai Pondok
Pesantren Tradisional terhadap modernisasi pondok pesantren.
Walaupun demikian karya ilmiah yang dihasilkan terkait
dengan pondok pesantren memberikan manfaat yang banyak
untuk mengungkap data yang diperlukan dalam penelitian ini.
29H.M.Noor Maksum, dkk., “Profil Pondok Pesantren di Kabupaten
Hulu Sungai Utara” (Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian IAIN Antasari,
Banjarmasin, 2004), h. 116-117. 30Ahdi Makmur dkk., “Jaringan Ulama Pendiri dan Pimpinan Pondok
Pesantren di Kalimantan Selatan” (Laporan Hasil Penelitian Pusat Penelitian
IAIN Antasari, Banjarmasin, 2005), h. 62-63.
15
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini berusaha mengungkap pandangan Pimpinan
Pondok Pesantren Salafiyah di Kalimantan Selatan tentang
modernisasi pondok pesantren. Untuk itu data yang dicari
adalah data yang berbentuk deskripsi tertulis atau lisan dari para
pimpinan yang mengasuh pondok pesantren tradisional.
Masing-masing pimpinan pondok pesantren tentu memiliki
latar karakteristik subjek maupun kondisi lingkungan sosial
yang ada di sekitar pimpinan pondok yang membangun
pandangan mereka terhadap data yang ingin digali. Data tentang
latar alami sang pimpinan menjadi dasar untuk menggali makna
yang mendalam tentang pandangan pimpinan pondok terhadap
modernisasi pondok pesantren. Dengan karakteristik penelitian
seperti tersebut di atas maka metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bogdan dan Biklen yang menyatakan bahwa
penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri: a. penelitian
mempunyai setting alami sebagai sumber langsung dari data
dan peneliti adalah instrumen kunci, b. penelitian bersifat
deskriftif, c. konsen dengan proses bukan hanya dengan hasil
atau produk, d. cenderung menganalisis data secara induktif,
dan e. makna merupakan hal yang esensi.31
2. Subjek dan Objek Penelitian.
Penelitian ini dibatasi pada 3 pimpinan pondok pesantren
salafiyah, yaitu pimpinan Pondok Pesantren Ibnul Amin,
Pimpinan Pondok Pesantren Al Mursyidul Amin dan pimpinan
Pondok Pesantren Yasin. Adapun pertimbangan dalam
menentapkan ketiga pimpinan pondok pesantren di atas adalah:
a. Ketiga pimpinan pondok di atas adalah pemimpin pondok
yang menyelenggagarakan pendidikan dengan sistem
salafiyah, khususnya dalam hal materi/mata pelajaran yang
31Bogdan R.C, & Biklen, S.K, Qualitatif Research for Education: an
Introduction to Theory and Methods, (Boston: Allyn and Bacond Inc, 1982),
h. 27-29.
16
diajarkan murni mengajarkan mata pelajaran keagamaan
yang kebanyakan bersumber dari kitab kuning dan tidak
bercampur dengan mata pelajaran umum seperti yang
diajarkan di sekolah modern.
b. Pondok Pesantren Ibnul Amin dan Al Mursyidul Amin
memiliki jumlah santri yang relatif banyak yaitu 1.325 santri
pada Pondok Pesantren Ibnul Amin dan 1.762 santri untuk
Pondok Pesantren Al Mursyidul Amin. Sedangkan Pondok
Pesantren Yasin merupakan potrit dari sebuah pondok
pesantren yang memiliki santri sedikit yaitu hanya 106 orang
santri. Dengan demikian Pondok pesantren Ibnul Amin dan
Al Mursyidul Amin dipandang sebagai potrit dari pondok
pesantren besar dan pondok pesantren Yasin dipandang
sebagai pondok pesantren kecil bila ditinjau dari sudut
jumlah santri.
c. Pondok Pesantren Ibnul Amin dan Al Mursyidul Amin
adalah pondok pesantren yang bertempat di daerah
pedesaan, sedangkan Pondok Pesantren Yasin adalah pondok
pesantren yang beralamat di daerah perkotaan. Pertimbangan
ini didasari atas pendapat yang mengatakan bahwa
masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan memiliki
perbedaan yang cukup mendasar. Menurut Elly M. Setiadi,
orang desa mempunyai hubungan yang lebih erat antar
warganya. Sistem kehidupan berkelompok atas dasar
kekeluargaan. Penduduk masyarakat desa pada umumnya
hidup dari pertanian atau nelayan, meski pekerjaan lain pun
ada. Usia dan ketokohan sangat berperan dalam kehidupan
orang desa. Golongan orang-orang tua pada masyarakat
pedesaan pada umumnya memegang peranan penting. Orang-
orang akan selalu meminta nasehat-nasehat kepada mereka
apabila ada kesulitan yang dihadapi. Orang tua mempunyai
pandangan-pandangan yang didasarkan pada tradisi yang
kuat, sehingga perubahan akan sangat sulit terjadi.
Sedangkan masyarakat kota ditandai dengan kehidupan yang
ramai, wilayahnya yang luas, hubungan yang tidak erat satu
17
sama lain, dan mata pencaharian penduduknya yang
bermacam-macam.32
d. Pondok Pesantren Ibnul Amin adalah pondok pesantren yang
cukup tua yaitu sudah berusia 57 tahun, sedangkan pondok
pesantren Al Mursyidul Amin adalah pondok pesantren yang
usianya cukup tua tetapi masih jauh lebih muda dari pondok
pesantren Yasin, yaitu berusia 28 tahun. Adapun pondok
pesantren Yasin merupakan pondok pesantren yang relatif
masih muda yaitu berusia 12 tahun.
e. Latar belakang pendidikan pimpinan pondok pesantren yang
diteliti ini cukup beragam. Pimpinan pondok pesantren Ibnul
Amin memiliki latar belakang pendidikan pondok pesantren
salafiyah di Kalimantan Selatan. Sedangkan pimpinan
pondok pesantren Al Mursyidul Amin di samping
berpendidikan pondok pesantren salafiyah di Kalimantan
Selatan juga mengikuti pendidikan di pondok pesantren
salafiyah di Pulau Jawa. Sementara pimpinan pondok
pesantren Yasin, di samping berpendidikan pondok pesantren
salafiyah di Kalimantan Selatan juga berpendidikan di
perguruan tinggi di luar negeri bahkan sampai pada jenjang
S.2.
3. Data dan Sumber Data.
Data dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Data
kualitatif adalah: “data yang diungkapkan dalam bentuk kalimat
serta uraian-uraian, bahkan dapat berupa cerita pendek”.33
Sedangkan sumber data adalah subjek dari mana data dapat
diperoleh. Apabila peneliti menggunakan wawancara maka
sumber datanya adalah orang atau responden, bila
menggunakan observasi maka sumber datanya berupa benda,
32Elly M. Setiadi, dkk., Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 86-87. 33Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Prenada Media Group,
2007), h.101.
18
gerak atau proses dan bila dokumenter maka sumber datanya
adalah dokumen atau catatan.34
Berdasarkan fokus penelitian, maka data yang akan digali
adalah pandangan pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah di
Kalimantan Selatan tentang modernisasi pondok pesantren.
Data tersebut bersifat kualitatif dalam wujud kata-kata baik
dalam bentuk catatan lapangan, dokumen, atau transkrip
wawancara. Sesuai dengan karakteristik penelitian yang
digunakan peneliti harus menggali setting alami sebagai sumber
langsung dari data. Oleh karena itu data yang dianggap terkait
yang menjadi setting alami yang melahirkan pandangan
pimpinan pondok pesantren Ibnul Amin, Al Mursyidul Amin
dan Yasin di Kalimantan Selatan terhadap modernisasi pondok
pesantren akan digali. Adapun data-data dimaksud adalah:
a. Pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah di
Kalimantan Selatan tentang modernisasi kurikulum pondok
pesantren.
b. Pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah di
Kalimantan Selatan tentang modernisasi pembelajaran
pondok pesantren.
c. Pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah di
Kalimantan Selatan tentang modernisasi evaluasi pendidikan
di pondok pesantren.
d. Pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah di
Kalimantan Selatan tentang modernisasi manajemen pondok
pesantren.
Sumber data dalam penelitian ini adalah pimpinan
pondok pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan, keluarga
pimpinan pondok, ustadz-ustadz pondok, santri dan alumni
pondok yang pernah belajar dengan pimpinan/kiai pengasuh
pondok. Sumber data lainnya adalah dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan fokus penelitian misalnya buku-buku tentang
riwayat hidup pimpinan pondok pesantren, dokumen tentang
sejarah pendirian pondok pesantren, dan lain-lain.
34Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 107.
19
Sedangkan orang tua santri yang walaupun pada waktu-
waktu tertentu berinteraksi dengan pimpinan pondok pesantren,
akan tetapi interaksi yang terjadi biasanya sebatas pada hal-hal
yang terkait dengan masalah pendidikan anaknya di pondok
pesantren dan intensitasnya sangat rendah, oleh karena itu
orang tua tidak dijadikan dari sumber data.
4. Teknik/metode Pengumpulan Data
Menurut Burhan Bungin, “teknik pengumpulan data
kualitatif yang paling independen terhadap semua metode
pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode
wawancara mendalam, observasi partisipasi, bahan dokumenter,
serta metode-metode baru seperti bahan visual dan metode
penelusuran bahan internet”.35 Adapun teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara mendalam
Dalam penelitian ini wawancara mendalam akan
dilakukan kepada pemimpin pondok pesantren tradisional di
Kalimantan Selatan, atau kepada orang lain yang banyak
memiliki informasi tentang data yang diperlukan. Agar data
yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam
wawancara digunakan pedoman wawancara, walaupun untuk
situasi tertentu pedoman itu tidak diperlihatkan ketika
melakukan wawancara mendalam.
Ada dua pola pelaksanaan wawancara, yaitu wawancara
dengan melakukan penyamaran dan wawancara dilakukan
secara terbuka.36 Dalam penelitian ini wawancara akan
dilakukan bisa secara penyamaran atau secara terbuka,
tergantung situasi di lapangan.
b. Observasi Partisipasi
Dalam penelitian observasi partisipasi akan dilakukan
peneliti dengan mengikuti kegiatan ceramah umum atau
35Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif … h. 107. 36Ibid, h. 109.
20
khutbah Jum’at yang disampaikan oleh pimpinan pondok
pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan, atau forum-forum
lain yang melibatkan pimpinan pondok dengan para santri atau
masyarakat. Dari ceramah-ceramah yang diberikan digali
bagaimana pandangan pemimpin pondok pesantren tradisional
dalam hubungannya dengan modernisasi pondok pesantren.
c. Metode Dokumenter
Dalam penelitian kualitatif, penggunaan metode
dokumenter sangat penting, karena banyak data yang
diperlukan adakalanya sudah terdokumentasikan oleh subjek
penelitian, atau oleh lembaga terkait. Oleh karena itu dokumen
bisa berbentuk dokumen pribadi maupun dokumen resmi.
Dokumen pribadi adalah catatan atau karangan seseorang secara
tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya.
Sedangkan dokumen resmi adalah dokumen yang dibuat oleh
instansi resmi berupa memo, pengumuman, instruksi, laporan
rapat, keputusan pimpinan kantor, majalah yang diterbitkan
lembaga, dan berita-berita.37
Dalam penelitian ini maka dokumen yang dijadikan
sumber data bisa berbentuk surat pribadi, catatan harian, buku-
buku, riwayat hidup, rekaman kaset, flash disk, CD dan lain-lain
terkait pimpinan yang mengasuh pondok pesantren yang diteliti.
5. Analisis Data
Menurut Bogdan, analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga
mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisir data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesis,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat
diceritakan kepada orang lain.38
37Ibid, h. 122-123. 38Bogdan R.C, & Biklen, S.K, Qualitatif, … h. 145.
21
Dalam penelitian ini analisis data terdiri:
a. Reduksi Data
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Reduksi data ini
sangat diperlukan karena data yang diperoleh di lapangan
sangat banyak dan komplek dan rumit. Dengan mereduksi data
maka akan didapat gambaran yang lebih jelas dan memudahkan
untuk mencari data selanjutnya.
b. Penyajian Data
Setelah melakukan reduksi data, maka langkah
selanjutnya adalah penyajian data. Dalam penelitian ini
penyajian data dalam bentuk teks yang bersifat naratif. Akan
tetapi pada jenis-jenis data tertentu data disajikan dalam bentuk
grafik, matriks, jejaring kerja.
Oleh karena fenomena sosial itu bersifat komplek dan
dinamis, maka sangat dimungkinkan data yang diperoleh
mengalami perkembangan setelah peneliti memasuki lapangan
lebih mendalam dan lebih lama. Untuk itu maka dalam
penelitian ini peneliti selalu akan menguji apa yang telah
ditemukan pada saat memasuki lapangan yang masih bersifat
hipotetik itu berkembang atau tidak. Bila setelah lama
memasuki lapangan ternyata hipotesis yang dirumuskan selalu
didukung oleh data pada saat dikumpulkan di lapangan, maka
hipotesis tersebut terbukti, dan akan berkembang menjadi teori.
c. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
Setelah penyajian data maka langkah selanjutnya adalah
penarikan kesimpulan. Kesimpulan awal masih bersifat
sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti
yang kuat yang mendukung pada tahap berikutnya. Tetapi
apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal
didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
22
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan
yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
6. Pengecekan Keabsahan Data
Hasil penelitian sangat tergantung pada keabsahan data
yang diperoleh. Agar penelitian ini memenuhi kriteria ilmiah
maka penelitian harus memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Karena
dalam penelitian ini peneliti sendiri yang menjadi instrumen
penelitian, maka sangat dimungkinkan terjadi bias pada data
yang didapatkan. Untuk menghindari terjadinya hal tersebut
diperlukan pengujian kesahihan data. Dalam penelitian ini
pengujian keabsahan data dilakukan dengan menggunakan tiga
teknik yaitu: observasi yang dilakukan secara terus menerus,
triangulasi sumber data, dan metode, serta diskusi teman
sejawat.
a. Observasi Secara Terus Menerus
Penggunaan teknik ini untuk memahami gejala secara
lebih mendalam. Dengan teknik ini akan dipilih aspek-aspek
penting dan tidak penting agar dapat dilakukan pemusatan
perhatian pada aspek-aspek yang relevan dengan fokus
penelitian.
b. Triangulasi Sumber Data dan Metode
Triangulasi sumber data dan metode dalam penelitian ini
bertujuan untuk mengecek keabsahan data dengan
memanfaatkan berbagai sumber sebagai bahan perbandingan.
Triangulasi sumber data dilakukan dengan 4 cara yaitu:
1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat orang lain.
23
Sedangkan triangulasi metode yang digunakan dalam
penelitian ini terbagi ke dalam dua cara yaitu:
1) Mengecek derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
dari berbagai teknik pengumpulan data.
2) Mengecek derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
menggunakan metode yang sama.
c. Diskusi dengan teman sejawat
Data yang telah terkumpul didiskusikan dengan teman
sejawat yang memiliki keahlian dengan fokus penelitian yaitu
tentang pandangan pimpinan pondok pesantren salafiyah di
Kalimantan Selatan tentang modernisasi pondok pesantren.
H. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari 8 bab dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, berisi latar belakang
masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian, definisi operasional, penelitian terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah kajian pustaka yang memuat
pengertian pondok pesantren, tipe pondok pesantren, sistem
pendidikan pada pondok pesantren tradisional/salafiyah,
modernisasi pondok pesantren dan kerangka pemikiran.
Bab ketiga berisi uraian tentang profil pondok pesantren
salafiyah dan biografi pimpinan pondok pesantren salafiyah di
Kalimantan Selatan. Untuk memberi gambaran tentang geografi
tempat lokasi penelitian, maka disajikan gambaran umum
tentang pondok pesantren di Kalimantan Selatan. Profil pondok
pesantren disajikan dalam sub judul Profil Pondok Pesantren
dan Biografi Pimpinan Pondok Pesantren Ibnul Amin, Profil
Pondok Pesantren dan Biografi Pimpinan Pondok Pesantren Al
Mursyidul Amin, dan Profil Pondok Pesantren dan Biografi
Pimpinan Pondok Pesantren Yasin.
Bab keempat berisi paparan pandangan pimpinan pondok
pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi
kurikulum pondok pesantren. Dalam bab ini akan diuraikan sub
24
bab perubahan bentuk kurikulum dari kurikulum salafiyah ke
kurikulum modern, integrasi pengetahuan umum ke dalam
kurikulum pondok pesantren, integrasi pendidikan vokasional/
keahlian dalam kurikulum pondok pesantren dan integrasi
kegiatan ekstra kurikuler dalam kurikulum pondok pesantren.
Bab kelima berisi uraian tentang pandangan pimpinan
pondok pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan tentang
modernisasi pembelajaran pondok pesantren. Uraian bab ini
dibagi menjadi sub bab modernisasi dalam perencanaan
pembelajaran, modernisasi pelaksanaan pembelajaran pondok
pesantren, modernisasi metode pembelajaran di pondok
pesantren dan modernisasi media pembelajaran pondok
pesantren.
Bab keenam berisi pandangan pimpinan pondok
pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi
evaluasi di pondok pesantren.
Bab ketujuh berisi pandangan pimpinan pondok
pesantren salafiyah di Kalimantan Selatan tentang modernisasi
manajemen pondok pesantren. Pandangan tentang modernisasi
manajemen pondok pesantren akan di bagi menjadi sub bab
modernisasi manajemen kurikulum, modernisasi manajemen
kesantrian, modernisasi manajemen personalia, modernisasi
manajemen kelas, modernisasi manajemen hubungan sekolah
dan masyarakat, dan modernisasi manajemen keuangan.
Bab kedelapan adalah penutup yang berisi kesimpulan
dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan ringkasan terhadap
uraian dari jawaban rumusan masalah. Sedangkan rekomendasi
memuat beberapa hal temuan penelitian yang disarankan untuk
diteliti lebih mendalam.