Lapsus Rhinitis Alergi
-
Upload
warda-el-maida-rusdi -
Category
Documents
-
view
65 -
download
0
Transcript of Lapsus Rhinitis Alergi
Laporan Kasus
RINITIS ALERGI
Oleh
Warda EL Maida R
06.06.0002
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
RSU PROVINSI NTB
FAKULTAS KEDOTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR (UNIZAR)
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
(Soetirto, 2008)
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki
peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi.
Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50
%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang
masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang,
jamur, serbuk sari, dan lain-lain. (Soetirto, 2008)
Dengan demikian penyakit rinitis alergi harus mendapatkan perhatian yang cukup
serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup dan juga dapat menyebabkan berbagai
komplikasi. Penderita dapat mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, penurunan
prestasi pendidikan dan prokdutifitas kerja. (Soetirto, 2008)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. (Soetirto,
2008)
2.2. Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et
al, 2001).
2.3. Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen
inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala
alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda
tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang
menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi
perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan
seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya
karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban
yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang
bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,
polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan dan udang.
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Soetirto, 2008).
2.4. Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan
alergen pertama dan selanjutnya.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel
T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai
sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa
dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). RAFC, sel
mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi
gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,
netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4,
IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic
Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non
spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan
cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel
goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan
submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus
(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,
yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa
hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara
garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun
dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Soetirto,
2008)
2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali
setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis
(Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,
hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau
laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah
punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat
(allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang
hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema
kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda
pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari
hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia
submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara
(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang
tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada
sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,
mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. (Soetirto, 2008)
2.6. Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter
sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus
encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan
positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,
2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-
gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan
mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral
atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. (Soetirto, 2008)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan
IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi
juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit
seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet
eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan
pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan
meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
2.7. Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan
atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat
antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,
karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).
2.8. Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-
sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan
ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut
akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan
rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa
yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham,
2006).
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. EF
Umur : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sumba Timur
Pekerjaan : Karyawati
II. Anamnesis
Keluhan utama : Pilek kambuh-kambuhan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik THT RSUP NTB pada tanggal 22 Agustus 2011 dengan
keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang lebih 9 Bulan yang lalu, memberat 1 bulan
ini. Pasien sering bersin-bersin apabila udara dingin dan berdebu, tetapi dirasakan 1
bulan ini lebih sering dari sebelum-sebelumnya dan membuat pasien menjadi susah
untuk fokus pada saat bekerja atau melakukan aktivitas. Hidung dirasakan tersumbat,
dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal.. Pasien tidak
demam saat datang ke poliklinik, tetapi dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul
demam. Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas, tetapi tidak mereda.
Riwayat penyakit dahulu :
Keluhan ini muncul kambuh-kambuhan sejak pasien bekerja di Sumba Timur kurang
lebih 9 Bulan, pasien hanya berobat di puskesmas atau dokter umum bila berat. Pasien
belum pernah melakukan tes alergi. Riwayat penyakit asma disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial :
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit serupa dengan pasien.
Riwayat Pengobatan :
Sebelum ke poli THT RSUP NTB, Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas, tetapi
tidak mereda. Pasien belum pernah melakukan tes alergi.
III. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 18x/menit
T : tidak diukur
Status Lokalis
a. Telinga
Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri
Aurikula Edema (-), hiperemi (-), massa (-) Edema (-), hiperemi (-), massa (-)
Preaurikula Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula
(-), abses (-)
Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula
(-), abses (-)
Retroaurikula Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula
(-)
Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula (-)
Palpasi Nyeri tekan tragus (-), nyeri pergerakan
aurikula (-), nyeri tekan preaurikula &
retroaurikula (-)
Nyeri tekan tragus (-), nyeri pergerakan
aurikula (-), nyeri tekan preaurikula &
retroaurikula (-)
MAE Serumen (-), hiperemi (-), sekret
berwarna hijau keruh (-)
Serumen (-), hiperemi (-), sekret berwarna
hijau keruh (-)
AD AS
Membran Timpani Perforasi subtotal, Cone of light jam 5 Perforasi total, Cone of light jam 7
b. Hidung dan Sinus Paranasal
Sekret Serous Mukosa hiperemi
Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Tanda inflamasi (-), deformitas (-), nyeri
tekan (-)
Tanda inflamasi (-), deformitas (-), nyeri tekan (-)
Rinoskopi anterior Kavum nasi kanan Kavum nasi kiri
Kavum nasi Benda asing (-) Benda asing (-)
Mukosa hidung Hiperemi (+), sekret (+), massa (-) Hiperemi (+), sekret (+), massa (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-) Deviasi (-), perdarahan (-)
Konka media &
inferior
Eutrofi (-), hiperemi (+) Eutrofi (-), hiperemi (+)
Meatus media &
inferior
Sekret (+), polip (-) Sekret (+), polip (-)
c. Tenggorokan
T1 T1
Mukosa bukal Hiperemi (-)
Mukosa ginggiva Hiperemi (-)
Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemi (-)
Tonsil palatina T1-T1, merah muda, hiperemi (+), detritus (-), kripte melebar (-)
Faring Hiperemi (+), granul (-), membran (-), refleks muntah (+)
KGB Pembesaran (-)
IV. Diagnosa Kerja
Suspek Rinitis Alergi
V. Diagnosa Banding
- Rinitis Vasomotor
- Rhinitis Medikamentosa
VI. Pemeriksaan Penunjang
- Hitung Eusinofil darah tepi
- IgE Spesifik
- Skin Prick Test
- Ro Waters
VII. Penatalaksanaan
1. Control lingkungan dengan mengusahakan penghindaran terhadap allergen
penyebab
2. .Medikamentosa
Antihistamin : Cerini (cetirizine 10mg) 1x1
Dekongestan : Pseudoefedrin 3x60 mg
Kortikosteroid : dexamethasone 2x0,5 mg
- KIE :
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang
menetap (kronis), sehingga untuk mencegah kekambuhan dapat menghindari
kontak dengan alergen yaitu debu, dan untuk menghindarinya pasien dapat
menggunakan masker saat bekerja, dan menggunakan jaket bila udara dingin.
- Meningkatkan daya tahan tubuh penderita, disarankan untuk berolahraga
teratur, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
- Kotrol kedokter bila keluhan tidak berkurang atau membaik.
VIII.Prognosis
Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA tahun 2001 rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung degan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang
diperantarai oleh IgE.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan Laten Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang
berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8 jam (fase hipereaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung sampai 24 – 48 jam.
Pada reaksi ini dilepaskan berbagai mediator seperti histamine (H), leukotrien (LT),
prostaglandin D-2 (PGD-2), bradikinin (BK), platelet activating factor (PAF) dan lain-lain
yang akan menimbulkan gejala klinis. Pada rhinitis alergi, H, BK, LT dan PAF mengaktifkan
sel-sel endotel pembuluh darah mukosa hidung sehingga terjadi vasodilatasi dan
pengumpulan darah, serta peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar akibat
stimulai reflex saraf kolinergik.
Stimulasi pada reseptor H1 di ujung saraf sensoris menyebabkan gejala bersin-bersin dan
gatal pada hidung. Gejala-gejala tersebut timbul beberapa saat setelah terpapar allergen. Fase
ini disebut respon fase cepat dengan histamine sebagai mediator utama sehingga preparat anti
histamine efektif untuk mengatasi gejala. Gejala dapat berlanjut sampai 6 – 8 jam kemudian
yang timbul akibat aktivitas berbagai mediator, tetapi histamine bukan pemegang peran
utama. Fase ini disebut respon fase lambat dengan gejala yang menonjol terutama adalah
obstruksi hidung. Pada fase ini selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembapan yang tinggi.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien
didiagnosis menderita rhinitis alergi. Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan keluhan
pilek berulang kurang lebih 10 tahun dan memberat sudah 1 bulan ini. Pasien sering bersin-
bersin apabila menghirup serbuk bunga salak, hidung dirasakan tersumbat, dan keluar ingus
cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal. Mata kadang sampai nrocos. Bila
pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan semakin parah, bersin-bersin juga lebih banyak
dari biasa. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi dalam 1 bulan ini kadang-
kadang muncul demam.
Pemeriksaan didapat pembengkakan & hiperemis pada konka hidung inferior, mukosa
hidung hiperemis dan terdapat secret serous (encer) berwarna jernih. Pada pasien ini
ditemukan gejala allergic shiner yaitu adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini biasa muncul pada
anak. Gejala lain yang sering muncul pada anak seperti Allergic salute, Allergic crease,
Facies adenoid dan Geographic tongue tidak ditemukan pada pasien ini. Cobblestone
appearance ditemukan pada pasien ini dimana dinding posterior pasien tampak granuler dan
oedem.
Gejala-gejala pasien muncul apabila terpapar dengan allergen. Untuk memastikan adanya
alergi terhadap factor pencetus ini pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan tes
alergi/ tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End
point Titration/ SET) yang sering dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi medikamentosa pada pasien ini diberikan anti
histamine non sedative cetirizine, preparat dekongestan oral pseudoefedrin dan preparat
kortikosteroid. Pengobatan baru untuk rhinitis alergi adalah dengan pemberian anti leukotrien
(zafirlukast/ montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan. Tindakan operatif konkotomi
parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan apabila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25% atau triklor asetat. Pengobatan imunoterapi diberikan pada alergi inhalan
dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta pengobatan lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG
blocking antibody dan penurunan IgE.
DAFTAR PUSTAKA
Durham, S.R; Bauchau, V; 2004. Prevalence and Rate of Diagnosis of Allergic Rhinitis in
Europe. Europe Respiratory Journal 2004; 24: 758-764. Available. From :
http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/rinitis-alergi.pdf
Irawati Nina, Kasakeyan E, Rusmono N. 2007. Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi keenam. Fakultas kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Paparella, Michael M., dkk. 1997. Rhinitis Alergi dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi
6. Penerbit Buku Kedokteran : EGC. Jakarta
Soetirto, Indro, dkk. 2008. Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher edisi keenam. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.