Lapsus Rhinitis Alergi

29
Laporan Kasus RINITIS ALERGI Oleh Warda EL Maida R 06.06.0002 DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN RSU PROVINSI NTB

Transcript of Lapsus Rhinitis Alergi

Page 1: Lapsus Rhinitis Alergi

Laporan Kasus

RINITIS ALERGI

Oleh

Warda EL Maida R

06.06.0002

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN

TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

RSU PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR (UNIZAR)

2011

Page 2: Lapsus Rhinitis Alergi

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on

Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa

gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

(Soetirto, 2008)

Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang

secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki

peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi.

Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50

%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh

lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki

kecenderungan alergi. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang

masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang,

jamur, serbuk sari, dan lain-lain. (Soetirto, 2008)

Dengan demikian penyakit rinitis alergi harus mendapatkan perhatian yang cukup

serius karena dapat mempengaruhi kualitas hidup dan juga dapat menyebabkan berbagai

komplikasi. Penderita dapat mengalami keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari, penurunan

prestasi pendidikan dan prokdutifitas kerja. (Soetirto, 2008)

Page 3: Lapsus Rhinitis Alergi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian rinitis alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi

yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,

1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis

alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. (Soetirto,

2008)

2.2. Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,

Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan

rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun

2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4

minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Page 4: Lapsus Rhinitis Alergi

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et

al, 2001).

2.3. Etiologi rinitis alergi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi

rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen

inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala

alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda

tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang

menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi

perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu

Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan

seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya

karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban

yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang

bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok,

polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,

tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,

coklat, ikan dan udang.

Page 5: Lapsus Rhinitis Alergi

• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau

sengatan lebah.

• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Soetirto, 2008).

2.4. Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan

diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic

reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah

pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Gambar 2.1 Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan

alergen pertama dan selanjutnya.

Page 6: Lapsus Rhinitis Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide

MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel

T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang

akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan

berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil

(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang

menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar

alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator

kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4

(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai

sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating

Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa

dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi

rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin

merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung

sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). RAFC, sel

mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel

eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi

gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini

ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,

netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4,

IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada

sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein

Page 7: Lapsus Rhinitis Alergi

(ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic

Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non

spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan

cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel

goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan

submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus

(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel,

yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa

hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara

garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut

menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem

imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada

tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem

imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis

(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun

dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan

jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Soetirto,

2008)

Page 8: Lapsus Rhinitis Alergi

2.5. Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin

merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan

sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan

sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali

setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis

(Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,

hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau

laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah

punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat

(allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang

hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema

kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda

pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari

hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia

submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara

(Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang

tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada

sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu,

mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur. (Soetirto, 2008)

2.6. Diagnosis rinitis alergi

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas

ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang

encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai

dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat

merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,

Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta

Page 9: Lapsus Rhinitis Alergi

onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter

sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan

dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau

lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus

encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan

positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan

gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati,

2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada

dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-

gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan

mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer

dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat

memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral

atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. (Soetirto, 2008)

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan

IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali

bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi

juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio

Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna

sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan

kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,

sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau

intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk

alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

Page 10: Lapsus Rhinitis Alergi

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis

inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit

seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet

eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh

dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan

pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika

gejala menghilang dengan

meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

2.7. Penatalaksanaan rinitis alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara

inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik

yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat

dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin

dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non

sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah

otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat

simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan

atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal

hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat

berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal

(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat

antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore,

karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka

inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

Page 11: Lapsus Rhinitis Alergi

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan

hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya

berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

2.8. Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-

sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia

epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi

akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan sumbatan

ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut

akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan

rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa

yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham,

2006).

Page 12: Lapsus Rhinitis Alergi

BAB III

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Ny. EF

Umur : 26 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sumba Timur

Pekerjaan : Karyawati

II. Anamnesis

Keluhan utama : Pilek kambuh-kambuhan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik THT RSUP NTB pada tanggal 22 Agustus 2011 dengan

keluhan pilek kambuh-kambuhan kurang lebih 9 Bulan yang lalu, memberat 1 bulan

ini. Pasien sering bersin-bersin apabila udara dingin dan berdebu, tetapi dirasakan 1

bulan ini lebih sering dari sebelum-sebelumnya dan membuat pasien menjadi susah

untuk fokus pada saat bekerja atau melakukan aktivitas. Hidung dirasakan tersumbat,

dan keluar ingus cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal.. Pasien tidak

demam saat datang ke poliklinik, tetapi dalam 1 bulan ini kadang-kadang muncul

demam. Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas, tetapi tidak mereda.

Riwayat penyakit dahulu :

Keluhan ini muncul kambuh-kambuhan sejak pasien bekerja di Sumba Timur kurang

lebih 9 Bulan, pasien hanya berobat di puskesmas atau dokter umum bila berat. Pasien

belum pernah melakukan tes alergi. Riwayat penyakit asma disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial :

Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit serupa dengan pasien.

Riwayat Pengobatan :

Sebelum ke poli THT RSUP NTB, Pasien bolak-balik berobat ke puskesmas, tetapi

tidak mereda. Pasien belum pernah melakukan tes alergi.

Page 13: Lapsus Rhinitis Alergi

III. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis

Tanda vital :

TD : 120/70 mmHg

Nadi : 84x/menit

RR : 18x/menit

T : tidak diukur

Status Lokalis

a. Telinga

Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri

Aurikula Edema (-), hiperemi (-), massa (-) Edema (-), hiperemi (-), massa (-)

Preaurikula Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula

(-), abses (-)

Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula

(-), abses (-)

Retroaurikula Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula

(-)

Edema (-), hiperemi (-), massa (-), fistula (-)

Palpasi Nyeri tekan tragus (-), nyeri pergerakan

aurikula (-), nyeri tekan preaurikula &

retroaurikula (-)

Nyeri tekan tragus (-), nyeri pergerakan

aurikula (-), nyeri tekan preaurikula &

retroaurikula (-)

MAE Serumen (-), hiperemi (-), sekret

berwarna hijau keruh (-)

Serumen (-), hiperemi (-), sekret berwarna

hijau keruh (-)

AD AS

Page 14: Lapsus Rhinitis Alergi

Membran Timpani Perforasi subtotal, Cone of light jam 5 Perforasi total, Cone of light jam 7

b. Hidung dan Sinus Paranasal

Sekret Serous Mukosa hiperemi

Hidung kanan Hidung kiri

Hidung luar Tanda inflamasi (-), deformitas (-), nyeri

tekan (-)

Tanda inflamasi (-), deformitas (-), nyeri tekan (-)

Rinoskopi anterior Kavum nasi kanan Kavum nasi kiri

Kavum nasi Benda asing (-) Benda asing (-)

Mukosa hidung Hiperemi (+), sekret (+), massa (-) Hiperemi (+), sekret (+), massa (-)

Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-) Deviasi (-), perdarahan (-)

Konka media &

inferior

Eutrofi (-), hiperemi (+) Eutrofi (-), hiperemi (+)

Meatus media &

inferior

Sekret (+), polip (-) Sekret (+), polip (-)

c. Tenggorokan

Page 15: Lapsus Rhinitis Alergi

T1 T1

Mukosa bukal Hiperemi (-)

Mukosa ginggiva Hiperemi (-)

Uvula Bentuk normal, di tengah, hiperemi (-)

Tonsil palatina T1-T1, merah muda, hiperemi (+), detritus (-), kripte melebar (-)

Faring Hiperemi (+), granul (-), membran (-), refleks muntah (+)

KGB Pembesaran (-)

IV. Diagnosa Kerja

Suspek Rinitis Alergi

V. Diagnosa Banding

- Rinitis Vasomotor

- Rhinitis Medikamentosa

VI. Pemeriksaan Penunjang

- Hitung Eusinofil darah tepi

- IgE Spesifik

- Skin Prick Test

- Ro Waters

VII. Penatalaksanaan

1. Control lingkungan dengan mengusahakan penghindaran terhadap allergen

penyebab

2. .Medikamentosa

Antihistamin : Cerini (cetirizine 10mg) 1x1

Dekongestan : Pseudoefedrin 3x60 mg

Page 16: Lapsus Rhinitis Alergi

Kortikosteroid : dexamethasone 2x0,5 mg

- KIE :

- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang

menetap (kronis), sehingga untuk mencegah kekambuhan dapat menghindari

kontak dengan alergen yaitu debu, dan untuk menghindarinya pasien dapat

menggunakan masker saat bekerja, dan menggunakan jaket bila udara dingin.

- Meningkatkan daya tahan tubuh penderita, disarankan untuk berolahraga

teratur, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.

- Kotrol kedokter bila keluhan tidak berkurang atau membaik.

VIII.Prognosis

Dubia ad bonam

BAB IV

PEMBAHASAN

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya

suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.

Page 17: Lapsus Rhinitis Alergi

Menurut WHO ARIA tahun 2001 rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung degan gejala

bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang

diperantarai oleh IgE.

Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi

Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam

setelahnya dan Laten Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang

berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8 jam (fase hipereaktivitas) setelah pemaparan dan

dapat berlangsung sampai 24 – 48 jam.

Pada reaksi ini dilepaskan berbagai mediator seperti histamine (H), leukotrien (LT),

prostaglandin D-2 (PGD-2), bradikinin (BK), platelet activating factor (PAF) dan lain-lain

yang akan menimbulkan gejala klinis. Pada rhinitis alergi, H, BK, LT dan PAF mengaktifkan

sel-sel endotel pembuluh darah mukosa hidung sehingga terjadi vasodilatasi dan

pengumpulan darah, serta peningkatan permeabilitas vaskuler dan sekresi kelenjar akibat

stimulai reflex saraf kolinergik.

Stimulasi pada reseptor H1 di ujung saraf sensoris menyebabkan gejala bersin-bersin dan

gatal pada hidung. Gejala-gejala tersebut timbul beberapa saat setelah terpapar allergen. Fase

ini disebut respon fase cepat dengan histamine sebagai mediator utama sehingga preparat anti

histamine efektif untuk mengatasi gejala. Gejala dapat berlanjut sampai 6 – 8 jam kemudian

yang timbul akibat aktivitas berbagai mediator, tetapi histamine bukan pemegang peran

utama. Fase ini disebut respon fase lambat dengan gejala yang menonjol terutama adalah

obstruksi hidung. Pada fase ini selain factor spesifik (allergen), iritasi oleh factor non spesifik

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan

kelembapan yang tinggi.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, pasien

didiagnosis menderita rhinitis alergi. Berdasarkan anamnesa, pasien mengeluhkan keluhan

pilek berulang kurang lebih 10 tahun dan memberat sudah 1 bulan ini. Pasien sering bersin-

bersin apabila menghirup serbuk bunga salak, hidung dirasakan tersumbat, dan keluar ingus

cair. Pasien juga mengeluh di tenggorokan terasa gatal. Mata kadang sampai nrocos. Bila

pagi hari dan udara dingin pilek dirasakan semakin parah, bersin-bersin juga lebih banyak

dari biasa. Pasien tidak demam saat datang ke poliklinik, tetapi dalam 1 bulan ini kadang-

kadang muncul demam.

Pemeriksaan didapat pembengkakan & hiperemis pada konka hidung inferior, mukosa

hidung hiperemis dan terdapat secret serous (encer) berwarna jernih. Pada pasien ini

ditemukan gejala allergic shiner yaitu adanya bayangan gelap di daerah bawah mata yang

Page 18: Lapsus Rhinitis Alergi

terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini biasa muncul pada

anak. Gejala lain yang sering muncul pada anak seperti Allergic salute, Allergic crease,

Facies adenoid dan Geographic tongue tidak ditemukan pada pasien ini. Cobblestone

appearance ditemukan pada pasien ini dimana dinding posterior pasien tampak granuler dan

oedem.

Gejala-gejala pasien muncul apabila terpapar dengan allergen. Untuk memastikan adanya

alergi terhadap factor pencetus ini pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan tes

alergi/ tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End

point Titration/ SET) yang sering dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan

allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. Terapi medikamentosa pada pasien ini diberikan anti

histamine non sedative cetirizine, preparat dekongestan oral pseudoefedrin dan preparat

kortikosteroid. Pengobatan baru untuk rhinitis alergi adalah dengan pemberian anti leukotrien

(zafirlukast/ montelukast), anti IgE dan DNA rekombinan. Tindakan operatif konkotomi

parsial, konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan apabila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25% atau triklor asetat. Pengobatan imunoterapi diberikan pada alergi inhalan

dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta pengobatan lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG

blocking antibody dan penurunan IgE.

DAFTAR PUSTAKA

Durham, S.R; Bauchau, V; 2004. Prevalence and Rate of Diagnosis of Allergic Rhinitis in

Europe. Europe Respiratory Journal 2004; 24: 758-764. Available. From :

http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/rinitis-alergi.pdf

Page 19: Lapsus Rhinitis Alergi

Irawati Nina, Kasakeyan E, Rusmono N. 2007. Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher edisi keenam. Fakultas kedokteran

Universitas Indonesia. Jakarta.

Paparella, Michael M., dkk. 1997. Rhinitis Alergi dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi

6. Penerbit Buku Kedokteran : EGC. Jakarta

Soetirto, Indro, dkk. 2008. Rhinitis Alergi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher edisi keenam. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.