Lapsus Bedah Gianyar
-
Upload
somakliwon -
Category
Documents
-
view
59 -
download
0
Transcript of Lapsus Bedah Gianyar
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di
dunia. Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal,
sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.1
Menurut data WHO, diperkirakan 700.000 orang meninggal karena kanker kolorektal setiap
tahun. Ini berarti sekira 2.000 orang meninggal setiap hari. Kanker kolorektal merupakan
satu-satunya kanker yang dapat menyerang pria maupun wanita dengan perkiraan frekuensi
yang hampir sama (dari jumlah total penderita kanker pada pria, 9,5 persen terkena kanker
kolorektal sedangkan pada wanita mencapai 9,3 persen dari jumlah total penderita kanker),
dan perkiraan kasus baru di dunia sebanyak 401.000 pada pria per tahun dan 381.000 pada
wanita. Jumlah kasus baru di dunia cenderung meningkat secara cepat sejak tahun 1975.2
Di Eropa dan Amerika tahun 2004, kanker kolorektal menempati urutan kedua
sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita, dan juga merupakan
penyebab kematian nomor dua. Pada tahun 2002, terdapat lebih dari satu juta kasus kanker
kolorektal baru yang menempatkan kanker ini pada urutan ketiga jenis kanker yang paling
sering terjadi di dunia.2
Kanker kolorektal secara predominan terjadi pada kelompok usia di atas 50 tahun,
meski demikian juga dapat menyerang kelompok usia di bawah 40 tahun dengan insiden
yang bervariasi. Di Amerika dan Eropa 2-8 persen kanker kolorektal terjadi pada usia di
bawah 40 tahun. Di Indonesia, sesuai data dari bagian Patologi Anatomi FKUI tahun 2003-
2007, jumlah pasien kanker kolorektal di bawah usia 40 tahun mencapai 28,17 persen.2
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang.3 Demikian pula antara Negara Barat dan
Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan. Di
Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding antara pria dan wanita,
banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda, dan sekitar 75% dari kanker ditemukan
pada kolon rektosigmoid. Sedangkan di Negara Barat frekuensi kanker kolorektal yang
ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita, banyak terdapat pada seseorang yang
berusia lanjut, dan dari kanker yang ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon
rektosigmoid.4
2
Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada kolon rektosigmoid.4 Keluhan
pasien karena kanker kolorektal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari
lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, anemia dan
perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa perubahan
pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.5
Gambaran histologi merupakan faktor penting dalam hal penanganan dan prognosis
dari kanker. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe
adenokarcinoma (90-95%), adenokarcinoma mucinous (17%), signet ring cell carcinoma (2-
4%), dan sarkoma (0,1-3%).6
Perubahan gaya hidup yang diasosiasikan dengan masalah kesehatan adalah diet,
merokok, gaya hidup yang sedentari serta obesitas. Peningkatan usia harapan hidup yang ada
beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia.7
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN HISTOLOGI
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum, rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel
selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan
submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah
luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa
membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices
epiploicae. Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat
lipatan-lipatan yaitu plica semilunaris. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang
disebut haustra coli, yang mungkin disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi
otot sirkuler.8
Vaskularisasi kolon dipelihara oleh cabang-cabang arteri mesenterika superior dan
arteri mesenterika inferior, membentuk marginal arteri seperti periarcaden, yang memberi
cabang-cabang vasa recta pada dinding usus. Yang membentuk marginal arteri adalah
arteri ileocolica, arteri colica dextra, arteri colica media, arteri colica sinistra dan arteri
sigmoidae. Hanya arteri colica sinistra dan arteri sigmoideum yang merupakan cabang
dari arteri mesenterica inferior, sedangkan yang lain dari arteri mesenterica superior.
Pada umumnya pembuluh darah berjalan retroperitoneal kecuali arteri colica media dan
arteri sigmoidae yang terdapat didalam mesocolon transversum dan mesosigmoid.
Seringkali arteri colica dextra membentuk pangkal yang sama dengan arteri colica media
atau dengan arteri ileocolica. Pembuluh darah vena mengikuti pembuluh darah arteri
untuk menuju ke vena mesenterica superior dan arteri mesenterica inferior yang
bermuara ke dalam vena porta. Aliran limfe mengalir menuju ke Lnn. ileocolica, Lnn.
colica dextra, Lnn. colica media, Lnn. colica sinistra dan Lnn. mesenterica inferior.
Kemudian mengikuti pembuluh darah menuju truncus intestinalis.9
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca
dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di
sebelah ventral renal dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak
4
colon ascendens ini retroperitoneal. Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri
ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.9
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas
di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih
tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam
sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis
hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi colon
transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica superior
pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat arterialisasi
dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.9
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai
fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena
hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus
lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-
cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri
mesenterica inferior.9
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperitoneal,
dan terletak didalam fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang
tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam
cavum pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan
akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding
mediodorsal pada aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari
cabang- cabang arteri sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri
mesenterica inferior. Aliran vena yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena
haemorrhoidalis superior dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga
vena ini yang bermuara kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena
haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat
hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang
penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar
sehingga mengganggu aliran darah portal.9
Rektum adalah bagian dari traktus digestifus yang merupakan kelanjutan dari kolon
sigmoid di bagian proksimal dan saluran anus di daerah distalnya. Rectosigmoid junction
5
terletak pada level setinggi sacrum tiga. Kelengkungan rectum mengikuti kelengkungan
sacrum dan coccyx, membentuk kelengkungan sacral rectum. Rectum berakhir kea rah
anteroinferior menuju ujung dari coccyx, selanjutnya rectum akan berjalan kea rah
posteroinferior dan menjadi kanal anus. Bagian terminal rectum yang berdilatasi disebut
ampula rectum, berfungsi untuk penyimpanan feses sementara sebelum dikeluarkan.
Rectum membentuk huruf S dan mempunyai tiga fleksura. Bagian terminal melengkung
kea rah posterior membentuk anorectal flexure. Sudut kelengkungan anorektal (anorectal
flexure) adalah 80 derajat. Kelengkungan ini penting untuk menjaga fecal continence.
Peritoneum melingkupi permukaan anterior dan lateral dari 1/3 rektum superior, dan
bagian anterior rectum 1/3 tengah. Bagian proksimal rectum mendapat arterialisasi dari
auperior rectal artery. Bagian tengah dan inferior rectum mendapat arterialisasi dari
middle rectal artery kanan dan kiri. Anorectal junction dan anal canal mendapat
arterialisasi dari inferior rectal artery. Aliran darah balik dari rectum menuju vena
rektalis superior, middle, dan inferior.9
Gambar 1. Anatomi Colon
2.2 FISIOLOGI
Fungsi utama usus besar adalah menyerap air dari feses. Banyaknya bakteri yang terdapat
di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-
zat gizi. Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti
vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta
antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar.
6
Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare. Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena
penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan
keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan
dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika
defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan
terjadi.10
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan
anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting
untuk menunda BAB. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses
dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan
fungsi utama anus.10
Fisiologi Gangguan pada Usus Besar11
Konstipasi
Konstipasi berarti pelannya pergerakan tinja melalui usus besar dan sering disebabkan
oleh sejumlah besar tinja yang kering dan keras, pada kolon descendens yang menumpuk
karena absorpsi cairan yang berlebihan. Kelainan patologis apapun pada usus yang
menghambat pergerakan isi usus, seperti tumor, perlekatan yang menyempitkan usus,
atau ulkus.
Muntah
Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya sendiri dari
isinya ketika hampir semua bagian atas traktus gastrointestinal teriritasi secara luas,
sangat mengembang, atau bahkan terlalu terangsang. Distensi atau iritasi yang berlebihan
dari duodenum menyebabkan suatu rangsangan yang khusus untuk muntah. Sinyal
sensoris untuk mencetuskan muntah terutama berasal dari faring, esophagus, lambung,
dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian ditransmisikan, baik oleh serabut saraf
aferen vagal maupun oleh serabut saraf simpatis ke berbagai nucleus yang tersebar di
batang otak yang semuanya merupakan “pusat muntah”. Dari sini, impuls saraf yang
menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf
kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas, melalui saraf
7
vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah, dan melalui saraf spinalis ke diafragma
dan otot abdomen.
Mual
Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medulla
yang secara erat berhubungan atau merupakan bagian dari pusat muntah, dan mual dapat
disebabkan oleh (1) impuls iritatif yang dating dari traktus gastrointestinal, (2) impuls
yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sickness, atau (3) impuls
dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah.
Obstruksi Gastrointestinal
Traktus gastrointestinal dapat mengalami obstruksi pada hampir semua bagian sepanjang
perjalanannya. Beberapa penyebab umum obstruksi antara lain kanker, konstriksi fibrotik
yang merupakan akibat dari ulserasi atau dari perlekatan peritoneum, spasme dari suatu
segmen usus, dan paralisis suatu segmen usus. Jika obstruksi terletak dekat ujung distal
usus besar, feses dapat menumpuk di dalam kolon dalam waktu seminggu atau lebih.
Pasien mengalami perasaan konstipasi yang hebat, tetapi muntah pertama tidak parah.
Setelah usus besar menjadi terisi penuh dan akhirnya kimus tambahan tidak mungkin
bergerak dari usus halus ke usus besar, muntah yang berat kemudian timbul. Obstruksi
yang berkepanjangan dari usus besar akhirnya dapat menyebabkan rupture usus itu
sendiri atau terjadi dehidrasi dan syok sirkulasi akibat muntah hebat.
2.3 PATOFISIOLOGI
Kanker kolon dan rektum terutama (95 %) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta
merusak jaringan normal serta meluas ke dalam sturktur sekitarnya. Sel kanker dapat
terlepas dari tumor primer dan menyebar ke bagian tubuh yang lain (paling sering ke
hati).
Kanker kolorektal dapat menyebar melalui beberapa cara yaitu : (1) Secara infiltratif
langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih,
(2) Melalui pembuluh limfe ke kelenjar limfe perikolon dan mesokolon, (3) Melalui
aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirakan darah ke sistem portal, (4)
Penyebaran secara transperitoneal, (5) Penyebaran ke luka jahitan, insisi abdomen atau
lokasi drain.
8
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen usus
dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi kanker dapat
menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada jaringan lain.
Prognosis relatif baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada saat reseksi
dilakukan, dan jauh lebih jelek bila telah terjadi metastase ke kelenjar limfe.
2.4 FAKTOR RESIKO
Penyebab nyata dari kanker kolorektal belum diketahui secara pasti, namun faktor resiko
dan faktor predisposisi telah diidentifikasi. Faktor resiko yang mungkin adalah adanya
riwayat kanker kolon atau polip dalam keluarga, dan riwayat penyakit usus inflamasi
kronis.
Faktor predisposisi yang penting adalah adanya hubungan dengan kebiasaan makan,
karena kanker kolorektal terjadi 10 kali lebih banyak pada penduduk di dunia barat, yang
mengkonsumsi lebih banyak makanan yang mengandung karbohidrat refined dan rendah
serat kasar, dibandingkan penduduk primitif (Afrika) dengan diet kaya serat kasar. Burkitt
(1971) mengemukakan bahwa diet rendah serat, tinggi karbohidarat refined
mengakibatkan perubahan pada flora feses dan perubahan degradasi garam-garam
empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat
karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi
karsinogenik ini dalam feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, massa transisi feses
meningkat, akibatnya kontak zat yang berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus
bertambah lama.
2.5 MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama
pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Tumor
yang berada pada kolon kanan, dimana isi kolon berupa cairan, cenderung tetap tersamar
hingga lanjut sekali. Sedikit kecenderungan menyebabkan obstruksi karena lumen usus
lebih besar dan feses masih encer. Gejala klinis sering berupa rasa penuh, nyeri abdomen,
perdarahan dan symptomatic anemia (menyebabkan kelemahan, pusing dan penurunan
berat badan). Tumor yang berada pada kolon kiri cenderung mengakibatkan perubahan
pola defekasi sebagai akibat iritasi dan respon refleks, perdarahan, mengecilnya ukuran
9
feses, dan konstipasi karena lesi kolon kiri yang cenderung melingkar mengakibatkan
obstruksi.5,12
Gejala Subakut
Tumor yang berada di kolon kanan seringkali tidak menyebabkan perubahan pada
pola buang air besar (meskipun besar). Tumor yang memproduksi mukus dapat
menyebabkan diare. Pasien mungkin memperhatikan perubahan warna feses menjadi
gelap, tetapi tumor seringkali menyebabkan perdarahan samar yang tidak disadari oleh
pasien. Kehilangan darah dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan anemia
defisiensi besi. Ketika seorang wanita post menopouse atau seorang pria dewasa
mengalami anemia defisiensi besi, maka kemungkinan kanker kolon harus dipikirkan dan
pemeriksaan yang tepat harus dilakukan. Karena perdarahan yang disebabkan oleh tumor
biasanya bersifat intermitten, hasil negatif dari tes occult blood tidak dapat
menyingkirkan kemungkinan adanya kanker kolon. Sakit perut bagian bawah biasanya
berhubungan dengan tumor yang berada pada kolon kiri, yang mereda setelah buang air
besar. Pasien ini biasanya menyadari adanya perubahan pada pola buang air besar serta
adanya darah yang berwarna merah keluar bersamaan dengan buang air besar. Gejala lain
yang jarang adalah penurunan berat badan dan demam. Meskipun kemungkinannya kecil
tetapi kanker kolon dapat menjadi tempat utama intususepsi, sehingga jika ditemukan
orang dewasa yang mempunyai gejala obstruksi total atau parsial dengan intususepsi,
kolonoskopi dan double kontras barium enema harus dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan kanker kolon.13
Gejala akut
Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika
ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar
penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker
kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan
diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin
mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang.
Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis
kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga
dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut
divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
10
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.12
Pada pemeriksaan Digital Rectal Examination dapat dipalpasi dinding lateral, posterior,
dan anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan
posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm
merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui
bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination
merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu saja
diabaikan.13
Metastase
Metastase ke kelenjar limfa regional ditemukan pada 40-70% kasus pada saat
direseksi. Invasi ke pembuluh darah vena ditemukan pada lebih 60% kasus. Metastase
sering ke hepar, cavum peritoneum, paru-paru, diikuti kelenjar adrenal, ovarium dan
tulang. Metastase ke otak sangat jarang, dikarenakan jalur limfatik dan vena dari rektum
menuju vena cava inferior, maka metastase kanker rektum lebih sering muncul pertama
kali di paru-paru. Berbeda dengan kolon dimana jalur limfatik dan vena menuju vena
porta, maka metastase kanker kolon pertama kali paling sering di hepar.5
Stadium Tumor
Stadium 0 (carcinoma in situ).
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum.
Stadium I
Kanker telah menembus membran basal hingga lapisan kedua atau ketiga (submukosa/
muskularis propria) dari lapisan dinding kolon/ rektum tetapi belum menyebar keluar dari
dinding kolon/rektum (Duke A).
Stadium II
Kanker telah menembus jaringan serosa dan menyebar keluar dari dinding usus
kolon/rektum dan ke jaringan sekitar tetapi belum menyebar pada kelenjar getah bening
(Duke B).
Stadium III
Kanker telah menyebar pada kelenjar getah bening terdekat tetapi belum pada organ
tubuh lainnya (Duke C).
Stadium IV
11
Kanker telah menyebar pada organ tubuh lainnya (Duke D).
Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1
T2
N0
N0
M0
M0
A
II A
II B
T3
T4
N0
N0
M0
M0
B
III A
III B
III C
T1-T2
T3-T4
Any T
N1
N1
N2
M0
M0
M0
C
IV Any T Any N M1 D
Keterangan
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau invasi pada lamina propria
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau ke
dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi
peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
12
Mx: Metastasis tidak dapat di nilai
M0: Tidak terdapat metastasis
M1: Terdapat metastasis
Karnofsky Performance Status (%)
Mampu melakukan aktivitas normal dan bekerja, tidak ada perawatan khusus yang dibutuhkan.
100Normal tidak ada keluhan, tidak ada tanda-tanda sakit.
90Mampu melakukan aktivitas normal; sedikit tanda-tanda atau gejala penyakit.
80Aktivitas dengan bantuan; sudah ada tanda-tanda atau gejala penyakit.
Tidak dapat bekerja; bisa tinggal di rumah dan membutuhkan perawatan untuk kebutuhan pribadi
70Tidak dapat melakukan aktivitas normal atau untuk melakukan pekerjaan aktif; aktivitas terbatas hanya untuk merawat diri sendiri.
60Membutuhkan bantuan sesekali, tetapi mampu merawat sebagian besar kebutuhan pribadinya.
50Membutuhkan banyak bantuan dan perawatan medis yang sering.
Tidak dapat merawat diri sendiri; memerlukan perawatan institusional setara rumah sakit; penyakit mungkin berkembang dengan cepat.
40Cacat; membutuhkan perawatan khusus dan pertolongan.
30Cacat parah; diindikasikan masuk rumah sakit meskipun kematian tidak mengancam.
20Sangat sakit; harus masuk rumah sakit, diperlukan pengobatan suportif yang aktif.
10Hampir mati; proses fatal berkembang dengan cepat.
0 Mati
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka
sikat sitologi akan sangat berguna.5
2. Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
13
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke
dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor
status kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar.
CEA terlalu insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker
kolorektal. Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium
lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase ke organ dalam. Nilai CEA serum baru
dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.5
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering
diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat
berguna sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan
meningkatnya nilai CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk
identifikasi awal dari metatase karena sel tumor yang bermetastase sering
mengakibatkan naiknya nilai CEA.2
3 Tes Darah Tersamar
Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari occult blood
mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg hb/gr
feses. Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang
perlu dicermati dalam menggunakan tes darah tersamar untuk screening, karena
semua sumber perdarahan akan menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya
akan berdarah secara intermitten atau tidak berdarah sama sekali, dan akan
menghasilkan tes yang false negatif. Proses pengolahan, manipulasi diet, aspirin,
jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan mempengaruhi keakuratan dari tes
ini.13
4. Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema,
yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm.
Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara
yang hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak
dapat mentoleransi kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang
pada pasien yang mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko
perforasi dengan menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %.
Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan
daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius
14
yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya
sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting untuk
menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.13
5. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip
premaligna.5
6. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon
dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip
dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi
sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar
67%.5 Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi,
mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur
yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan
perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara
yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel
disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, perdarahan gastrointestinal,
megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi
pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik.19
7. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif.
CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa
dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada
pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon.
Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi
metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.5,13
2.7 PENATALAKSANAAN
Pembedahan
15
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan
kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang
luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari
kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm
bebas tumor. Pendekatan laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan
dengan tehnik bedah terbuka pada beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan
ileoproktostomi dapat digunakan pada pasien kolon kanker yang potensial kurabel dan
dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau pada pasien dengan riwayat keluarga
menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada pada kolon kanan harus
mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga seluruh arteri
ileokolika dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau splenic flexure
harus mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen kolostomi pada penderita
kanker yang berada pada rektal bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya
tehnik pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada
kolon kanan biasanya ditangani dengan reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang
menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang
menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi,
diikuti dengan reanastomosis dan closure dari kolostomi.5
Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi
tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu
dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung
pada tipe dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi
tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk
membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang
diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan
radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant
langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi
16
dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan
beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.14
Adjuvant Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.
Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis
seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif
digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada
pada fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau
dengan kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin.
Pemakaian secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan
peningkatan survival ketika diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit
penyerta. Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%,
menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.13
Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II
Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal stadium II masih
kontroversial. Peneliti dari National Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP)
menyarankan penggunaan adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang
meskipun kecil pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa penelitiannya.
Sebaliknya sebuah meta-analysis yang mengikutkan sekitar 1000 pasien menunjukkan
perbedaan yang tidak bermakna pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi
perlakuan dan yang tidak untuk semua pasien stage II.5
Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III
Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah menurunkan insiden
rekurensi sebesar 41% pada sejumlah prospektif randomized trial. Terapi selama satu
tahun dengan menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari
50% menjadi 62% dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan penelitian
telah menunjukkan bahwa 6 bulan terapi dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah
terbukti efektif dan sebagai konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker
kolorektal adalah 5-FU + leucovorin.5
Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut
Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker kolorektal dapat
dilakukan pembedahan. Pasien dengan kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan
kuratif, dapat dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi,
17
perforasi, dan perdarahan. Bagaimanapun juga pembedahan dapat tidak dilakukan jika
tidak menunjukkan gejala adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari
tumor intraluminal cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada kasus
asymptomatik.5
Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai modalitas
penanganan untuk tumor yang kecil dan bersifat mobile atau dengan kombinasi bersama
sama kemoterapi setelah reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan
nyeri, obstruksi, perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus. Penggunaan hepatic arterial
infusion dengan 5-FU terlihat meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat
mengakibatkan berbagai masalah termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan
gastrik ulserasi. Regimen standar yang sering digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan
leucovorin, capecitabine (oral 5-FU prodrug), floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11)
dan oxaliplatin.5
Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi
tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan
telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi
adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka
waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari
kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi
dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa.
Evaluasi follow up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi
hati, CEA, foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.19 Tingginya
nilai CEA preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah
pembedahan.5
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk
mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau
beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor
primer telah diangkat.5
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam
mendeteksi rekurensi.5
18
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3
sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang
tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya
metachronous tumor, suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi
tidak ada maka kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah
pembedahan, jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.5
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk
mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam
mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka
MRI lebih membantu diagnosa daripada CT scan.5
BAB III
LAPORAN KASUS
19
3.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : NMC
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 70 tahun
Tempat Kelahiran : Gianyar
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Petani
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Alamat : Gianyar
3.2 ANAMNESA
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : tidak bisa BAB
Pasien mengeluhkan tidak bisa BAB. Keluhan ini dirasakan ± 1 minggu SMRS. Pada
awalnya pasien susah BAB dan bentuknya seperti pensil, semakin lama BAB semakin
susah dan akhirnya pasien tidak bisa BAB. Keluhan ini menyebabkan pasien tidak
nyaman saat beraktivitas. pasien mengatakan sering timbul rasa ingin BAB namun setiap
mencoba untuk BAB tetap tidak bisa dan hanya keluar darah segar. Pasien sudah
mengkonsumsi makanan berserat tetapi keluhan susah BAB tidak membaik. Walaupun
susah BAB pasien mengatakan bisa kentut, frekuensi 2-3 kali per hari.
Pasien juga mengeluhkan sakit perut terutama pada bagian kiri bawah. Sakit
perut tersebut dikatakan sudah sejak lama sebelum adanya keluhan tidak bisa BAB.
Semakin lama sakit perut dirasakan semakin memberat dan dirasakan seperti melilit.
Keluhan dirasakan setiap hari, membuat pasien merasa tidak nyaman dan tidak dapat
melakukan aktivitas secara normal serta tidur pasien terganggu. Keluhan tidak berkurang
dengan merubah posisi tidur miring atau duduk.
20
Pasien mengalami mual-mual dan muntah. Mual dirasakan sudah sejak lama dan
tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang dikonsumsi maupun bau-bauan. Keluhan muntah
baru dirasakan sejak seminggu yang lalu. Muntah dikatakan 2 sampai 3 kali per hari
dengan isi muntahan berupa cairan bening atau makanan yang dikonsumsi dengan
volume setiap muntah sebanyak 4 sendok makan, adanya darah dalam muntahan
disangkal. BAK pasien dikatakan baik. Nafsu makan pasien dikatakan menurun sejak 2
minggu belakangan ini. Dalam enam bulan terakhir pasien dikatakan terlihat lebih kurus.
Adanya demam disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu
Dua tahun yang lalu pasien juga pernah dirawat di rumah sakit karena keluhan yang sama
yaitu susah BAB dan BAB berdarah, namun setelah dirawat beberapa hari dikatakan
keluhan tersebut hilang dan pasien pulang. Riwayat operasi tidak ada. Riwayat stroke,
penyakit jantung, tensi tinggi, kencing manis dikatakan tidak ada. Riwayat trauma
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa. Riwayat kanker
dalam keluarga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien termasuk golongan ekonomi menengah ke bawah dengan pemenuhan kebutuhan
gizi harian tidak mencukupi. Riwayat merokok, minum alkohol disangkal.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : N : 96 x/menit
RR : 25 x/menit
Tax : 36,7 ºC
TD : 150/100 mmHg
21
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva : Tidak pucat
Sklera : Tidak ikterik
THT : Tonsil T1/T1, hiperemi faring (-), lidah kotor (-), nyeri menelan (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorak :
Cor : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Redup, batas jantung normal
Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur(-), Gallop(-)
Pulmo : Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Vokal fremitus normal, teraba simetris
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Vesikuler +/+ N, ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi : distensi (+), spider nevi (-), benjolan (-)
Auskultasi : BU (+) meningkat, metalik sound (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-),
Hepar dan lien tidak teraba, ballotement (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen, Nyeri Ketok
CVA (-)
Ekstremitas : Atas : Edema -/-, hangat +/+
Bawah : Edema -/-, hangat +/+
Pemeriksaan Fisik Tambahan
Rectal Toucher
Inspeksi : massa (-), hiperemis (-)
Tonus sfingter ani : Baik, teraba masa 10 cm dari sfingter ani, rapuh.
Ampula recti : Tidak kolaps
Mukosa rektum : Teraba licin
HS : darah (+), Feses (-)
22
3.4 Resume Klinis
Pasien seorang perempuan, berumur 70 tahun datang dengan keluhan Pasien
mengeluhkan tidak bisa BAB dirasakan ± 1 minggu SMRS. Walaupun susah BAB pasien
mengatakan bisa kentut. Sakit perut (+) terutama pada bagian kiri bawah dirasakan seperti
melilit. Mual dan muntah (+). BAK pasien dikatakan baik. Nafsu makan pasien
dikatakan menurun, dalam enam bulan terakhir pasien dikatakan terlihat lebih kurus.
Adanya demam disangkal. Dua tahun yang lalu pasien juga pernah dirawat di rumah sakit
karena keluhan yang sama yaitu susah BAB dan BAB berdarah, keluhan membaik saat
pasien keluar dari RS. Riwayat operasi tidak ada. Adanya stroke, penyakit jantung, tensi
tinggi, kencing manis, dan trauma disangkal. Pasien termasuk golongan ekonomi
menengah ke bawah dengan pemenuhan kebutuhan gizi harian tidak mencukupi. Riwayat
merokok, minum alkohol disangkal. Kondisi umum tampak sakit sedang, hemodinamik
stabil. Pemeriksaan status general ditemukan kelainan pada regio abdominal berupa
distensi (+),BU (+) meningkat. Pada pemeriksaan rectal toucher teraba masa 10 cm dari
sfingterani dan rapuh.
3.5 Pemeriksaaan Penunjang Diagnosis
Parameter
Result Unit Remarks
Reference range
WBC 9,5 103/μL 4,1 – 10,9
RBC 4,56 106/μL 4,00 – 5,20
HGB 11,6 g/dL LOW 12,00 – 16,00
HCT 34,8 % LOW 36,0 – 46,0
MCV 76,3 fL LOW 80,0 – 100,0
MCH 25,4 pg LOW 26,0 – 34,0
MCHC 33,3 g/dL 31,0 – 36,0
PLT 202 103/μL 150 – 440
23
Parameter Result Reference Range
Blooding Time 2” 1,9 – 3,0”
Clotting Time 5,48” 5,0 – 15,0”
PARAMETER RESULT
Glukosa Sewaktu 130 mmol/L
Creatinin 0,46 mmol/L
Urea 31 mmol/L
3.6 Diagnosis
o Tumor rectum susp. Malignancy
o Partial ileus obstruktif
3.7 Penatalaksanaan
P/ Diagnostik
Colonoscopy + Biopsi
P/ Terapi
Dekompresi
Parenteral nutrisi
Antibiotika
Analgetika
Antasida
3.8 Prognosis
Ad Vitam : dubius
Ad Fungsionam : dubius
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes. Gaya hidup penyebab kolorektol.2006;[1 screen]. Available at:,
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=2, accessed February 9, 2011
2. Okezone. Kanker Kolorektal Incar Manusia Modern di Usia Muda. 2010;[1 screen].
Available at: http://lifestyle.okezone.com/read/2010/03/17/27/313427/27/kanker-
kolorektal-incar-manusia-modern-di-usia-muda, accesssed February 10, 2011
3. Hansen J. Common Cancers In The Elderly. Drugs Aging, (online), 1998 Dec; 13(6):467-
78, available at http://www.pubmed.com, accessed February 2011
4. Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2nd ed. EGC: jakarta.
5. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA.p 201
6. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of
colorectal cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online) 2006; 107(5
suppl): American Cancer Society, available at: http://www.pubmed.com, accessed
February 10, 2011
7. Suyono S. In : Boedi Darmojo R, Pranarka K. (eds.). 2001. buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam II 3th Ed. balai penerbit FKUI: jakarta. p 24
8. Tim pengajar anatomi. 2001. Situs Abdominis. laboratorium anatomi histologi fakultas
kedokteran universitas airlangga: surabaya.
9. Moore K, et all. 2002. Essential Clinical Anatomy. 2nd edition. Lippincott Willi ams &
Wilkins: USA
10. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan Manusia. 2010;[1 screen]. Available at:
http://blogs.unpad.ac.id/haqsbageur/2010/03/26/anatomi-dan-fisiologi-sistem-
pencernaan-manusia/, accessed February 10, 2011
11. Guyton A, Hall J. 2006. Fisiologi Kedokteran. 11th edition. Jakarta: EGC
12. Price SA, Wilson LM, 1994. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta:EGC. p.420
13. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America:
The McGraw-Hill Companies.
25