DHF pothan gianyar

46
BAB 1 PENDAHULUAN Infeksi virus dengue telah muncul di Indonesia sejak abad ke 18, dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter kebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue dikenal sebagai penyakit demam lima hari (Vijf Daagse Koorts) kadang disebut juga demam sendi (Knokkel Koorts). Disebut demikian oleh karena demam menghilang dalam lima hari, disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala hebat. Pada saat itu Infeksi virus dengue merupakan penyakit yang ringan dan tidak pernah menyebabkan kematian, tapi sejak tahun 1968 mulai dilaporkan adanya pasien demam berdarah yang meninggal di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi 1 . Faktor – faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi geografis setempat 2 . 1

Transcript of DHF pothan gianyar

BAB 1

PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue telah muncul di Indonesia sejak abad ke 18, dilaporkan oleh

David Bylon seorang dokter kebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue dikenal

sebagai penyakit demam lima hari (Vijf Daagse Koorts) kadang disebut juga demam

sendi (Knokkel Koorts). Disebut demikian oleh karena demam menghilang dalam lima

hari, disertai nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala hebat. Pada saat itu Infeksi

virus dengue merupakan penyakit yang ringan dan tidak pernah menyebabkan kematian,

tapi sejak tahun 1968 mulai dilaporkan adanya pasien demam berdarah yang meninggal

di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi1.

Faktor – faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD ini

sangat kompleks, yaitu pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak

terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan

peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas infeksi dengue dipengaruhi

oleh berbagai faktor antara lain status imunologis pejamu, kepadatan vektor nyamuk,

transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan kondisi geografis setempat2.

Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh keadaan iklim dan

kelembapan udara. Pada suhu yang panas (28 – 32°C) dengan kelembapan yang tinggi,

nyamuk aedes akan tetap bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Di Indonesia oleh

karena suhu udara dan kelembapan tidak selalu sama di setiap tempat, maka pola waktu

terjadinya penyakit agak berbeda. Di Jawa pada umumnya infeksi dengue terjadi pada

awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak pada bulan April – Mei setiap

tahun3.

Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade

terakhir. Sekitar 40 % dari penduduk dunia (2,5 trilyun orang) di daerah tropis dan sub

tropis beresiko terkena DHF. Penyakit ini kini menjadi penyakit yang endemik di

Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap tahun bahkan sampai

terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia4. Sampai saat ini 200 kota telah

melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100 000 penduduk

pada tahun 1968 menjadi berkisar 6 – 27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini3.

1

Jumlah kasus Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei 2004

mencapai 64.000 (IR 29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang

(CFR 1,1 %)5.

DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan

umur di Indonesia menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia

sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun4. DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin

untuk pencegahan dan penatalaksanaannya hanya bersifat suportif. Keberhasilan

penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi secara dini fase kritis dan

penanganan yang cepat dan tepat5.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus

dengue tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala

perdarahan dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan

trombositopenia (trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau

lebih dari harga normal1.

2.2 Epidemiologi

Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global.

Sebanyak 2,5 – 3,0 triliyun penduduk di seluruh dunia memiliki risiko menderita

penyakit ini. Di seluruh dunia 50 – 100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya

sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak

2

– anak usia kurang dari 15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan

sekitar 25.000 kasus kematian dilaporkan setiap harinya6.

Gb 2.1 Distribusi DBD di Dunia Tahun 20056.

2.3 Etiologi dan Transmisi

Demam Berdarah Dengue diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue

merupakan RNA virus dengan nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan

kapsul lipid. Virus ini termasuk kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae,

genus Flavivirus. Flavivirus merupakan virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60

nm, mempunyai RNA positif sense yang terselubung, bersifat termolabil, sensitif

terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70oC4,7. Virus

dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 43.

Penularan infeksi virus dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri,

terdapat 2 faktor lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue

dikatakan menyerang manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika

menyebutkan bahwa monyet dapat terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak

telah dilaporkan kejadiannya di Bangladesh dan Thailand6. Vektor utama dengue di

Indonesia adalah Aedes aegypti betina, disamping pula Aedes albopictus betina7. Ciri-ciri

nyamuk penyebab penyakit demam berdarah (nyamuk Aedes aegypti)8:

3

Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih

Hidup di dalam dan di sekitar rumah

Menggigit/menghisap darah pada siang hari

Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar

Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di

got/comberan

Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, perangkap

semut dan lain-lain.

Gbr 2.2 Aedes aegypti betina 8.

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka

virus dengue akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu

virus dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh

bagian tubuh nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk.

Dalam satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan bahkan sampai ratusan ribu

sehingga siap untuk ditularkan kepada orang lain. Jika nyamuk tersebut menggigit

seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah

orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang diisapnya

tidak membeku2.

Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan kepada orang lain.

Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes aegypti tersebut akan terkena demam

berdarah dengue. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus dengue

tidak akan terserang penyakit ini, meskipun dalam darahnya terdapat virus dengue.

Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus

4

dengue, dia akan sakit demam ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai

perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya3.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh

virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan

perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada

DBD. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang diduga karena proses

imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis demam dengue

timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam

peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2 hari

sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan

segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi

APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan

mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak

virus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang

sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3

jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,

antibodi fiksasi komplemen.6

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang

terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.

Dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan

trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.6

Imunopatogenesis DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial.

Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan DSS

yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection

theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus

binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus

mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi

fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan

5

replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk

menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat

serotipe virus yang paling virulen.2,4

Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika

terdapat antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat

mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan

antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang

berat.6 Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan

menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan

dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga

juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan

meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai

respon terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian

menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan

keadaan hipovolemia dan syok.6

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary

heterologous infection) dapat dilihat pada gambar 2.3 Sebagai akibat infeksi sekunder

oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik

yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi

limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu,

replikasi virus dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat

terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya

kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan

mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3

dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien

dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan

berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya dengan

kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya peningkatan

kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam rongga

serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan

6

menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu

pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.4

Gambar 2.3 Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD.4

Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain

mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan

mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua

faktor tersebut akan mengakibatkan perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi

sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit

mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat ), sehingga trombosit

dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia.

Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan

terjadinya koagulapati konsumtif ( KID; koagulasi intravaskular deseminata ), ditandai

dengan peningkatan FDP ( fibrinogen degradation product ) sehingga terjadi penurunan

faktor pembekuan. Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi

trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi

dengan baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen

sehingga terjadi aktivasi sistem kinin kalikrein sehingga memacu peningkatan

7

permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif

pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID),

kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan

akan memperberat syok yang terjadi.4

Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD.4

2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara

kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak

menunjukan gejala (Asimtomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam

tanpa penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat demam

berdarah dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue ( SSD ).1

2.5.1 Demam Dengue ( DD )

Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2 – 7 hari dengan dua atau lebih

manifestasi sebagai berikut : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, manifestasi

perdarahan dan leukopenia1.

2.5.2 Demam Berdarah Dengue ( DBD )

8

Pada awal perjalanan penyakit, DBD dapat menyerupai kasus DD dengan kecenderungan

perdarahan dengan satu manifestasi klinis atau lebih yaitu :

a. Uji torniquet positif

b. Petekie, ekimosis atau purpura

c. Perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi )

d. Hematemesis dan Melena

e. Trombositopenia (< 100000/mm3)

f. Hemokonsentrasi sebagai akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dengan

manifestasi satu atau lebih yaitu : (a). Peningkatan hematokrit lebih dari 20%

dibandingkan standar umur dan jenis kelamin, (b). Penurunan hematokrit lebih

atau sama dengan 20% setelah mendapat pengobatan cairan, (c). Tanda

perembesan plasma, yaitu efusi pleura, asites atau proteinemia 1

2.5.3 Sindrom Syok Dengue

Kriteria yang telah disebutkan diatas, ditambah dengan manifestasi kegagalan sirkulasi

yaitu nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (< 20mmHg), hipotensi (sesuai umur),

kulit dingin dan lembab dan pasien tampak gelisah1.

Gambar 2.5 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue6.

2.5.4 Derajat Penyakit DD / DBD

9

Ada 4 derajat penyakit DD/DBD sesuai kriteria WHO (1997) :

Derajat I : Deman tinggi disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan ialah uji tourniquet (uji rumple leed positif).

Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan

nyata lain (petekie, perdarahan gusi, perdarahan hidung, hematemesis,

melena).

Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,

kulit dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.

Derajat IV : Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah

tidak terukur1.

2.6 Diagnosis

Diagnosis DBD ditegakanh berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun

1986 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan

untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan ( Overdiagnosis )1.

Kriteria Klinis :

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas berlangsung terus menerus selama

2 – 7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji torniquet positif, petekie,

ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis / melena.

c. Pembesaran hati

d. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,

kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratoris :

a. Trombositopenia ( 100.000 / mm3 atau kurang )

b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20 % atau lebih,

menurut standar umur dan jenis kelamin.

10

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau

peningkatan hematokrit cukup untuk menegakan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan

atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemi dan atau

terjadi perdarahan. Pada kasus syok, adanya peningkatan hematokrit dan trombositopenia

mendukung diagnosis DBD1.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah

pemeriksaan darah lengkap, urine, sumsum tulang, serologi dan isolasi virus. Yang

signifikan dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis

DBD secara definitif dengan isolasi virus,identifikasi virus dan serologis.

Darah Lengkap :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit,

jumlah trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD

merupakan indikator terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga

didapatkan trombositopenia, dan leukopenia3.

Isolasi Virus :

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :

a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari.

b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.

c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva. 3

Identifikasi Virus :

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence

antibody technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan

cunjugate. Untuk identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara

indirek dengan menggunakan antibodi monoklonal. 4

11

Uji Serologi :

1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)

Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai

dan digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat

beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji HI ini :

a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak

dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi

b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun),

maka uji ini baik digunakan pada studi seroepidemiologi.

c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari

titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif,

atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (Recent

dengue infection )

2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )

Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh

karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan

tenaga periksa yang sudah berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI,

antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3

tahun )

3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )

Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue.

Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction

Neutralization Test ( PRNT ) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang

terjadi. Saat antibodi neutralisasi dideteksi dalam serum hampir bersamaan

dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih cepat dari antibodi fiksasi dan

bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan waktu

yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa )

Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali

dipakai. Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum

pasien. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :

12

a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang

diikuti oleh IgG.

b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat

ditentukan diagnosis yang tepat.

c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu

diulang.

d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.

e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setselah adanya

infeksi. Untuk memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji

terhadap IgG. Untuk itu uji IgM tidak boleh dipakai sebagai satu –

satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.

f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan

kelebihan uji mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan

spesifitas yang sama dengan uji HI.

5. IgG Elisa

Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI ,

hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi

dengue IgM / IgG dengue blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang

telah beredar di pasaran.

Pada dasarnya, hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase

konvalesen terhadap titer antibodi fase akut ( naik empat kali kelipatan atau lebih )3.

Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi virus

dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase Polymerase

Chai Reaction (RTPCR). Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan

spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah.

Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan

tubuh manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR

tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam

penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak

mempengaruhi hasil dari PCR3.

13

2.7.2 Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:

1. Dilatasi pembuluh darah paru

2. Efusi pleura

3. Kardiomegali atau efusi perikard

4. Hepatomegali

5. Cairan dalam rongga peritoneum

6. Penebalan dinding vesika felea

2.8 Diagnosis Banding

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus,

atau penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis

chikungunya, malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi

dapat membedakan antara DBD dengan penyakit lain.

b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh

anggota keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila

dibandingkan dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa

demam lebih pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,

injeksi kojungtiva dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet

positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan

perdarahan gastrointestinal dan syok.

c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,

misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan

sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas

terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada

hitung jenis). Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk

membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas

terdapat rangsangan meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.

d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II,

oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari

14

pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP

demam cepat menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase

penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.

e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia

demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis.

Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia.

Pada anemia aplastik anak sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder3.

2.9 Penatalaksanaan

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan

plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.

Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dapat dirawat di ruang perawatan

biasa, tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. 1

Pada kasus DB|D derajat I dan II

1. Tirah baring3.

2. Asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi

Asupan makanan berupa diet makanan lunak. Pasien dianjurkan untuk banyak

minum, 2-2,5 liter dalam 24 jam. Pemberian cairan oral bertujuan untuk

mencegah dehidrasi. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis,

sirup, susu, serta larutan oralit. Apabila cairan oralit tidak dapat diberikan karena

penderita muntah , tidak mau minum, atau nyeri perut yang berlebihan sebaiknya

diberikan secara intravena3.

3. Medikamentosa yang bersifat simtomatis

Antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminofen, eukinin dan dipiron.

Paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu dibawah 39o C

dengan dosis 10-15 mg / kgbb / kali. Hindari pemberian salisilat (aspirin, asetosal)

karena dapat menimbulkan pendarahan saluran cerna dan asidosis. Selain

pemberian obat-obatan juga dilakukan pemberian kompres dingin.3

4. Monitor tanda- tanda vital (suhu, nadi. Tekanan darah, pernafasan). Jika kondisi

pasien memburuk observasi ketat tiap jam. Periksa hemoglobin, hematokrit dan

trombosit setiap hari, terutama saat dimana periode febris berubah menjadi

15

afebris. Monitor tanda-tanda renjatan dini meliputi keadaan umum, perubahan

tanda-tanda vital, hasil-hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk. Bila

penderita terus muntah atau keadaan semakin memburuk perlu diberkan cairan

per intravena dengan Ringer laktat atau Dekstrosa 40 % dalam NaCL 0,9 %.3

Pada kasus DHF derajat III dan IV 9,10

1. Prinsipnya mengatasi syok yang terjadi dengan memberikan cairan pengganti

yang adekuat dalam waktu yang cepat. Pada syok yang berat, sering tetesan yang

terjadi dengan klem dibuka masih kurang cepat karena kolapnya pembuluh darah

perifer. Untuk itu perlu diberikan cairan secara intravena dengan tekanan yaitu

menyuntikkan sejumlah 200 cc cairan dari semprit dan setelah agak lancar baru

dilanjutkan dengan tetesan infus. Tetesan dapat diberikan dengan dosis 20

ml/kgbb/jam, sampai 30-40 ml/kgbb/jam. Secara praktis diberikan 1-2 liter

secepat mungkin dalam waktu 1-2 jam.

2. Bila dengan cairan ringer laktat tak memberikan respon yang baik ,maka cairan

diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgbb/jam. Dosis dapat dinaikkan

sampai 30-40 ml/kgbb/jam. Pada beberapa kasus mungkin perlu dilakukan

pemeriksaan tekanan vena sentral.

3. Monitor tekanan darah , nadi, dan respirasi tiap 1-2 jam, Hb dan HCT tiap 4 jam.

Observasi hepatomegali, pendarahan , efusi pleura, gejala edema paru, produksi

urin dan suhu badan.

4. Koreksi keseimbangan asam dan basa

5. Transfusi darah, sebaiknya darah segar. Indikasinya pendarahan nyata seperti

hematemesis, melena, epistaksis terus menerus

6. Pemberian antibiotik bila diperkirakan adanya infeksi sekunder.

7. Oksigen pada setiap pasien syok

8. Trombosit konsentrat. Pemberian ini masih kontroversial

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan apabila :

- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

16

- Nafsu makan membaik

- Secara klinis tampak perbaikan

- Hematokrit stabil

- Tiga hari setelah syok teratasi

- Jumlah trombosit > 50.000/µl

- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.

2.10 Penyulit

Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan

dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.

Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi

penyebab ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan

dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari

koagulasi intravaskuler yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat

menembus sawar darah otak. Dikatakan juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan

dengan kegagalan hati akut3.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau

somnolen, dapat disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila

pada pasien syok dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya

ensefalopati, syok harus diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu

dinilai kembali kesadarannya. Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi

dan kesadaran tetap menurun (Hati – hati bila jumlah trombosit < 50.000 / μl). Pada

ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT / SGPT), PT dan

PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah, dan

hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah)3.

Kelainan Ginjal

Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang

tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang.

17

Untuk mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume

intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis

merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah

syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok

belum teratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok

berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai

penurunan jumlah urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin3.

Oedema Paru

Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang

berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan

yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan

plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang

ekstravaskuler, apabila cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya

melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien

akan mengalami distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang

dengan gambaran oedema paru pada foto rontgen3.

2.11 Pencegahan

Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam

Berdarah (Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk)

Upaya ini merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh

masyarakat, dengan cara sebagai berikut8:

1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-

lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat

minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali

2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain

agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu

18

3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban

bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak

menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan

lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya

4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen

5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap

disitu

6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk

ABATE ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk.

Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali

Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup

dengan 1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu

sendok makan peres berisi 10 gram ABATE.

Setelah dibubuhkan ABATE maka8:

1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik

Aedes aegypti

2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti

airnya, hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan

air tersebut

3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak

membahayakan dan tetap aman bila air tersebut diminum

2.12 Prognosis

Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan,

umur, dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat

III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian

pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan

yang baik bisa menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan

Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang

dewasa umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai

komplikasi sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk3.

19

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Putu Indah Budiari

Umur : 10 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Ubud

MRS : 23 Agustus 2013 (pkl)

II. HETEROANAMNESIS

20

KU : Panas Badan

Riwayat Penyakit Sekarang

- Os dikeluhkan panas badan sejak hari minggu (18 Agustus 2013, pk 17.00 WITA),

panasnya mendadak tinggi, panas sempat turun dengan obat penurun panas tapi

kemudian naik lagi, panas tidak disertai kejang, tidak disertai mengigil ataupun

berkeringat.

- Sakit kepala (+) hilang timbul sejak 3 hari SMRS terasa nyut-nyut, pegal-pegal dan

nyeri sendi terutama pada kaki sejak hari minggu, nyeri perut (-), nyeri bagian

belakang bola mata (-).

- Batuk (+) sejak 2 hari SMRS, jarang, dahak (-).

- Mimisan (-), bintik-bintik merah kecil pada kedua tangan dan kaki (-), berak darah

(-) dan Perdarahan gusi (-).

- Mual (-), muntah (-)

- Pilek (-)

- Buang air besar normal, konsistensi padat, kuning, mencret (-)

Buang air kecil terakhir ± pkl 15.00 (1 jam SMRS), warna kuning jernih, tidak

pekat.

- Nafsu makan dan minum menurun sejak sakit, merasa mual dan ingin muntah setiap

makan dan minum.

- Aktivitas sehari-hari menurun sejak sakit.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Riwayat Pengobatan

Os belum pernah menderita keluhan penyakit yang sama sebelumnya.

Riwayat Keluarga

Keluarga Os tidak ada yang memiliki keluhan sama dengan Os.

Riwayat Sosial

Keluarga Os termasuk kelompok ekonomi golongan menengah.

Tidak ada anggota masyarakat disekitar rumah Os yang memiliki keluhan serupa.

Riwayat Persalinan

Lahir spontan di RS, dengan berat badan lahir 2700 gram, panjang badan lahir 50

cm, langsung menangis, anus (+), kelainan (-).

21

Riwayat imunisasi :

Lengkap sesuai umur

Riwayat nutrisi :

ASI : 0 - 6 bulan

Susu formula : 0 - sekarang

Bubur susu : 6 – 9 bulan

Bubur nasi : 9 bulan – 1 tahun

Nasi : 1 tahun - sekarang

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status present

KU : Sedang

Kesadaran : E4V5M6

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 112x/ menit reguler, isi cukup

Respirasi : 24 x/ menit

Suhu aksila : 37,3 °C (dengan pemberian antipiretik : Antiza)

Berat badan : 15 kg

Status Gizi : 95 % (Status gizi Waterlow normal)

Status General

Kepala : Normo Cephali, Ubun-ubun besar menutup

Mata : anemis -/- ikterus -/- reflek pupil +/+ isokor

THT : Telinga : tidak dievaluasi

Hidung : NCH(-), sianosis(-), darah(-)

Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-)

Faring Hiperemis (-)

Thorax : Cor : S1S2 Tunggal Reguler normal, murmur (-)

Po : BronchoVesicular +/+ Ronchi -/- wheezing -/-

Simetris (+), retraksi (-)

22

Abdomen : Distensi (-), Bising Usus (+) Normal

Hepar/Limpa : Tak teraba, Nyeri tekan (-)

Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pada keempat ekstremitas

Petecchie (+), Cappilary Refill < 2 detik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium : Hematologi Rutin

5/4/2008 6/4/2008 7/4/2008 8/4/2008 9/4/2008

HGB (gr/dL) 10.8 10.7 11.4 10.9 10.8

HCT (%) 34.3 33.8 35.0 33.5 33.3

PLT (K/μL) 146 113 95 95 140

WBC (K/μL) 3.05 2.22 4.75 4.30 5.60

RBC (M/μL) 4.18 4.09 4.33 4.20 4.2

V. DIAGNOSIS

DHF Grade I (panas hari ke III mulai pk 17.00 WITA)

VI. TERAPI DAN PLANNING DIAGNOSIS

Terapi

- IVFD RL 16 tetes/ menit

- Cefotaxim 3x500 mg (i.v)

- Antipiretik dan antitusif (Antiza 3 x Cth ½)

Planning Diagnosis

- Uji Darah Lengkap setiap 24 jam atau sesuai gejala klinis

- Ig G atau Ig M anti Dengue pada hari keenam

- Observasi vital sign

- Observasi tanda-tanda perdarahan dan syok

23

- Balance cairan

- Pasang lingkar Abdomen

24

VII. FOLLOW UP SAAT MRS

Tanggal Subyektif, Obyektif, Assesment Terapi dan Planning Diagnosis

6/4/2008 S : batuk (+), Panas (+)

O : St. PresentKU : sedangKes : CMN : 88 x/menitR : 28 x/menittax : 37,8 °C

St General Kepala : Normo Cephali,

UUB menutupMata : an -/- ikt -/- Rp +/+ isokor THT : Telinga : tidak dievaluasi Hidung : NCH(-), sianosis (-), darah(-)Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-) Faring Hip (-) Thorax : Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)Po : BV +/+ Rh -/- wh -/- Simetris (+),retraksi (-)Abdomen : Distensi (-), B.Usus (+) N Hepar/Limpa: Tak teraba, Nyeri tekan(-)Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pd 4 ekst.

Petecchie (+), Cap.Ref<2 dtk

A : DHF grade I (panas hr IV)

Tx : IVFD RL 16 tetes/menit Cefotaxim 3x500 mg (iv) Antiza 3xCth ½

KIE keluarga

PDx : Cek DL @ 24 jam

Monitoring : Vital Sign Balance Cairan Tanda-tanda syok

7/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), perdarahan (-)

Tx : IVFD RL 16 tetes/menit

25

O : St. PresentKU : sedangKes : CMN : 92 x/menitR : 24 x/menittax : 36 °C

St General Kepala : Normo Cephali,

UUB menutupMata : an -/- ikt -/- Rp +/+ isokor THT : Telinga : tidak dievaluasi Hidung : NCH(-), sianosis (-), darah(-)Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-) Faring Hip (-) Thorax : Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)Po : BV +/+ Rh -/- wh -/- Simetris (+),retraksi (-)Abdomen : Distensi (-), B.Usus (+) N Hepar/Limpa: Tak teraba, Nyeri tekan(-)Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pd 4 ekst.

Petecchie (+), Cap.Ref<2 dtk

A : DHF grade I (panas hr V)

Cefotaxim 3x500 mg (iv) Antiza 3xCth ½

KIE keluarga

PDx : Cek DL @ 24 jam

Monitoring : Vital Sign Balance Cairan

Tanda-tanda syok

8/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), Tx :

26

perdarahan (-)

O : St. PresentKU : sedangKes : CMN : 92 x/menitR : 28 x/menittax : 36,5 °C

St General Kepala : Normo Cephali,

UUB menutupMata : an -/- ikt -/- Rp +/+ isokor THT : Telinga : tidak dievaluasi Hidung : NCH(-), sianosis (-), darah(-)Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-) Faring Hip (-) Thorax : Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)Po : BV +/+ Rh -/- wh -/- Simetris (+),retraksi (-)Abdomen : Distensi (-), B.Usus (+) N Hepar/Limpa: Tak teraba, Nyeri tekan(-)Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pd 4 ekst.

Petecchie (+), Cap.Ref<2 dtk

A : DHF grade I (panas hr VI)

IVFD RL 16 tetes/menit Cefotaxim 3x500 mg (iv) Antiza 3xCth ½

KIE keluarga

PDx : Cek DL @ 24 jam

Monitoring : Vital Sign Balance Cairan

Tanda-tanda syok

27

9/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), perdarahan (-)

O : St. PresentKU : sedangKes : CMN : 98 x/menitR : 30 x/menittax : 36 °C

St General Kepala : Normo Cephali,

UUB menutupMata : an -/- ikt -/- Rp +/+ isokor THT : Telinga : tidak dievaluasi Hidung : NCH(-), sianosis (-), darah(-)Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-) Faring Hip (-) Thorax : Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)Po : BV +/+ Rh -/- wh -/- Simetris (+),retraksi (-)Abdomen : Distensi (-), B.Usus (+) N Hepar/Limpa: Tak teraba, Nyeri tekan(-)Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pd 4 ekst.

Petecchie (+), Cap.Ref<2 dtk

A : DHF grade I (panas hr VII)

Tx : IVFD RL 16 tetes/menit Cefotaxim 3x500 mg (iv) Antiza 3xCth ½

KIE keluarga

PDx : Cek DL @ 24 jam

Monitoring : Vital Sign Balance Cairan

Tanda-tanda syok

28

10/4/2008 S : batuk (-), Panas (-), perdarahan (-)

O : St. PresentKU : sedangKes : CMN : 98 x/menitR : 30 x/menittax : 36 °C

St General Kepala : Normo Cephali,

UUB menutupMata : an -/- ikt -/- Rp +/+ isokor THT : Telinga : tidak dievaluasi Hidung : NCH(-), sianosis (-), darah(-)Tenggorok : Tonsil T1/T1 hiperemis (-) Faring Hip (-) Thorax : Cor : S1S2 Tgl Reg m (-)Po : BV +/+ Rh -/- wh -/- Simetris (+),retraksi (-)Abdomen : Distensi (-), B.Usus (+) N Hepar/Limpa: Tak teraba, Nyeri tekan(-)Ekstremitas : Hangat (+) sianosis (-) edema (-) pd 4 ekst.

Petecchie (+), Cap.Ref<2 dtk

A : DHF grade I (panas hr VIII)

Tx : IVFD RL 16 tetes/menit Cefotaxim 3x500 mg (iv) Antiza 3xCth ½

KIE keluarga

PDx : Cek DL @ 24 jam

Monitoring : Vital Sign Balance Cairan

Tanda-tanda syok

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Dengue Hemorrhagic Fever. In:Diagnosis Treatment, Prevention and Control. 2nd

ed. Geneva , WHO;1997.

2. Sutaryo, Pudjo H, Mulatsih S. Tatalaksana Syok dan Perdarahan Pada DBD.

medika fakultas kedokteran UGM. Yogyakarta;2004.

3. Hadinegoro SRH, Safari HI, editor. Demam Berdarah dengue : Naskah lengkap

pelatih dokter spesialis anak dan dokter penyakit dalam, dalam tatalaksana

DBD.Jakarta :Balai Penerbit FK UI;1999.

4. Simon S, Saputra EJ, Nirmalasari O. Dengue Hemorragic Fever : An Indonesia

Perspective. Majalah Kedokteran Atma jaya 2004 Jan : 3 (1) : 37-49.

5. Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Suryadi S. Tatalaksana Demam Dengue/Demam

Berdarah Dengue. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman; 2004.

6. Dublish V, Shah I. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever/Dengue Shock

Syndrome. Last updated on 01-08-2005, Available on

http://www.pediatriconcall.com. Accessed: April 5,2008.

7. Hendrawanto. Dengue. Dalam : Noer HMS, Waspadji S, Rachman AM,

Lesmana LA, Widodo D, Isbagio H, dkk, Ilmu Penyakit Dalam. Ed ketiga.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI;1996.

8. Demam Berdarah Dinas Kesehatan DKI Jakarta.Last update 10-06-

2003.Available on www.dinkes-dki.go.id/db.html .Accessed:April 5,2008.

9. Waspadailah Demam Derdarah Depsos RI web sites. Available at http://www.

depsos. Go. Id/modules. Accesed:April 5,2008.

10. Silalahi L. Demam Berdarah 2004. Available at URL: http://www.

tempointeraktif. Com/hg/narasi/2004. html. Accesed :April 5,2008.

30