Lapsus ALL Imas

83
PENDAHULUAN Leukemia akut adalah suatu kelainan maligna klonal yang dapat mengenai semua golongan umur dengan rata- rata insidensi 4-7 jiwa dalam 100.000 orang. Leukemia didefinisikan sebagai suatu grup penyakit keganasan yaitu terjadinya abnormalitas genetik pada sel-sel hematopoetik dan menyebabkan proliferasi klonal sel - sel tersebut. Pada leukemia terjadi gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut fungsi - fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu. Gambaran khasnya berupa akumulasi sel blast immatur di sum - sum tulang. Hal ini menyebabkan kegagalan sum - sum tulang yang ditunjukkan dengan terjadinya sitopenia darah tepi dan adanya sel - sel blast di sirkulasi. Infiltrasi pada berbagai organ juga merupakan gambaran pada leukemia. 1,2,3 1

Transcript of Lapsus ALL Imas

Page 1: Lapsus ALL Imas

PENDAHULUAN

Leukemia akut adalah suatu kelainan maligna klonal yang dapat mengenai

semua golongan umur dengan rata-rata insidensi 4-7 jiwa dalam 100.000 orang.

Leukemia didefinisikan sebagai suatu grup penyakit keganasan yaitu terjadinya

abnormalitas genetik pada sel-sel hematopoetik dan menyebabkan proliferasi

klonal sel - sel tersebut. Pada leukemia terjadi gangguan dalam pengaturan sel

leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak

terkendali dan fungsinyapun menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut

fungsi - fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu. Gambaran khasnya

berupa akumulasi sel blast immatur di sum - sum tulang. Hal ini menyebabkan

kegagalan sum - sum tulang yang ditunjukkan dengan terjadinya sitopenia darah

tepi dan adanya sel - sel blast di sirkulasi. Infiltrasi pada berbagai organ juga

merupakan gambaran pada leukemia. 1,2,3

Leukemia merupakan keganasan terbanyak pada anak, diperkirakan 41 %

dari semua keganasan yang terjadi pada anak berusia kurang dari 15 tahun. Pada

tahun 2000, sekitar 3.600 anak didiagnosis leukemia di Amerika Serikat dan

insidensinya 4,1 kasus baru setiap 100.000 anak berusia kurang dari 15 tahun. Di

negara berkembang, 83 % leukemia limfoblastik akut (LLA). 17 % leukemia

mieloblastik akut (LMA) lebih tinggi pada anak kulit putih dibandingkan kulit

hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi dari pada anak kulit

putih. Di Jepang mencapai 4 per 100.000 anak dan diperkirakan tiap tahun terjadi

1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta, pada tahun 1994 insidensinya mencapai

1

Page 2: Lapsus ALL Imas

2,76 per 100.000 anak usia 1 - 4 tahun. Pada tahun 1996 didapatkan 5 - 6 pasien

leukemia baru setiap bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu di

RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 tahun kasus leukemia baru.

Rasio laki - laki dan perempuan adalah 1,15 pada LLA dan mendekati 1 untuk

LMA. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko empat kali lebih besar

untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot mempunyai

resiko 20 % untuk berkembang menjadi LLA. 4

Leukemia akut dibagi menjadi acute lymphoblastic leukaemia (ALL),

dengan terjadinya proliferasi abnormal sel progenitor lymphoid (limfosit

immature) dan acute myeloid leukaemia (AML), meliputi myeloid (neutrofil,

eosinofil, monosit, basofil, megakariosit dan lain - lain). Perbedaan kedua

leukemia akut tersebut didasarkan atas morfologi, sitokimia, imunologi dan

sitogenetik dan yang paling penting adalah perbedaan dalam terapi dan

prognosisnya. 2

Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan penyakit neoplasma yang

dihasilkan mutasi somatik pada sel progenitor limfoid tunggal pada satu dari

beberapa tingkatan perkembangan. Relapsnya LLA merupakan ancaman seumur

hidup bagi penderita LLA. Didapatkan 68 % pada anak penderita LLA usia 0 - 14

tahun memiliki 5 - year survival antara tahun 1978 sampai 1986, sedangkan pada

tahun 1986 sampai 1992 meningkat menjadi 79 % dan kembali meningkat

sebanyak 10 % pada tahun 1983 sampai 1985. Walaupun telah terdapat

peningkatan terhadap terapi LLA pada anak, kejadian relaps LLA merupakan

faktor utama yang berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas pada anak

2

Page 3: Lapsus ALL Imas

yang mengalami kelainan ini. Pada penelitian terhadap 3712 anak penderita LLA

pada tahun 1883 sampai 1989, didapatkan 1144 anak (84 %) mengalami relaps

pada satu tempat atau lebih. Sum-sum tulang, sistem saraf pusat dan testis

merupakan daerah relaps yang paling sering terjadi, sedangkan daerah - daerah

lain yang jarang adalah untuk terjadinya relaps adalah limfonodi, mata dan tulang.

5,6,7

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus leukemia limfoblastik akut

relaps SSP pada anak laki - laki berusia 2 tahun 8 bulan yang datang dan dirawat

di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin.

3

Page 4: Lapsus ALL Imas

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan penyakit neoplasma yang

dihasilkan mutasi somatik pada sel progenitor limfoid tunggal pada satu dari

beberapa tingkatan perkembangan. LLA merupakan penyakit keganasan yang

berasal dari progenitor limfosit B atau limfosit T tunggal yang proliferasi dan

akumulasi sel - sel blastnya di sum-sum tulang menyebabkan supresi

hematopoesis yaitu anemia, trombositopenia dan neutropenia. Lebih dari 80 %

kasus sel - sel ganas berasal dari limfosit B dan sisanya merupakan leukemia sel

T. Akumulasi ekstramedular limfoblast dapat terjadi di berbagai tempat, terutama

meninges, gonad, timus, liver, limpa ataupun limfonodi. 4,5

B. Etiologi

Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun predisposisi genetik

maupun faktor - faktor lingkungan kelihatannya memainkan peranan. Jarang

ditemukan leukimia familial, tetapi kelihatannya terdapat insidensi leukimia lebih

tinggi dari saudara kandung anak - anak yang terserang, dengan insidensi

meningkat sampai 20 % pada anak kembar monozigot (identik). Individu dengan

sindrom down, mempunyai insiden leukimia yang meningkat dua puluh kali lipat.

2,3

Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.

Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan maternal

terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat peningkatan risiko

4

Page 5: Lapsus ALL Imas

leukemia pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal juga menunjukkan

hubungan yang signifikan. Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti

dilaporkan di Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun

demikian, paparan radiasi dosis tinggi in utero tidak mengarah pada peningkatan

insiden leukemia, demikan juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal

ini masih merupakan perdebatan. 4,5,6

Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak -

anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves

(Greaves, Alexander 1993). Ia mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem

imun. Pertama selama kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun

pertama kehidupan sebagai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada

umumnya. 5,6

Beberapa kondisi perinatal merupakan risiko terjadinya leukemia pada

anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingius (1995). Faktor-faktor tersebut

adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia, berat

badan lahir > 4500 gram dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk (1996)

melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko

terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA. 5

C. Patofisiologi dan Klasifikasi Morfologik

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal

mula ”gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan

morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimia terhadap

sel normal. Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal

5

Page 6: Lapsus ALL Imas

yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang

dapat terdeteksi. Walaupun penyebab dari leukemia pada manusia belum

diketahui secara pasti, tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis

pada binatang percobaan ditemukan bahwa penyebabnya (agent) mempunyai

kemampuan melakukan modifikasi nukleus DNA dan kemampuan ini meningkat

bila terdapat suatu kondisi genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi, dan

mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia

dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya gugus

(clone) abnormal. 7,8,9

Penelitian yang dilakukan pada leukimia limfoblastik akut menunjukan

bahwa sebagian besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel

blas dari setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi leukimia itu

berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA

secara morfologik untuk lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai

berikut : 7,8

a. L-1 terdiri dari sel-sel limpoblas kecil serupa dengan kromatin homogen, anak

inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.

Gambar 1. ALL tipe L1

6

Page 7: Lapsus ALL Imas

b. L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi,

kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.

Gambar 2. ALL tipe L2

c. L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,

banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan

bervakuolisasi.

Gambar 3. ALL tipe L3

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin

banyak serta akibat infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh akan

menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi fisiologi

tubuh. Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada

7

Page 8: Lapsus ALL Imas

patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat

sedikit diketahui. Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan

penekanan sum - sum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula

disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien. 5,6

D. Manifestasi Klinis

Gejala yang khas adalah pucat, panas dan perdarahan disertai splenomegali

dan kadang - kadang hepatomegali dan limfodenopatia. Penderita yang

menunjukan gejala klinis lengkap seperti tersebut di atas, secara klinis dapat

didiagnosa leukemia. Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga bila pada seorang

anak terdapat pucat mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan,

waspadalah terhadap leukemia. Perdarahan dapat berupa ekimosis, petikie,

epistaksis, perdarah gusi dan sebagainya. Pada stadium permulaan mungkin tidak

terdapat splenomegali. 2,5

Gejala yang tidak khas adalah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat

disalahtafsirkan sebagai penyakit rematik. Gejala lain dapat timbul sebagai akibat

infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti lesi purpura pada kulit, efusi pleura,

kejang pada leukimia serebral dan sebagainya. 5

E. Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk

menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan

pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan

radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang

8

Page 9: Lapsus ALL Imas

lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90 % kasus, sedangkan sisanya

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika,

dan biologi molekuler. 2,5,6

Pada pemeriksaan darah lengkap terdapat anemia, kelainan jumlah hitung

jenis leukosit dan trombositopenia juga bisa terdapat eosinofilia reaktif. Pada

pemeriksaan apus darah tepi didapatkan sel - sel blas. Berdasarkan protokol WK -

ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta), pasien LLA dimasukkan dalam

kategori resiko tinggi bila jumlah leukosit > 50.000 il, ada massa mediastinum,

ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1

minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000 /mm3. Massa mediastinum

tampak pada radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus

dilakukan aspirasi cairan serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan

pemeriksaan sitologi. 3,4,5

Di negara berkembang, diagnosis harus dipastikan dengan aspirasi

sumsum tulang (BMA) secara morfologis, imunofenotip dan karakter genetik.

Leukemia dapat menjadi kasus gawat darurat dengan komplikasi infeksi,

perdarahan atau disfungsi organ yang terjadi sebagai akibat leukostasis. 5,6

F. Terapi

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif

meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan

komplikasi antara lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian

antibiotik, pemberian obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur,

pemberian nutrisi yang baik dan pendekatan aspek psikososial. Terapi kuratif atau

9

Page 10: Lapsus ALL Imas

spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi yang

meliputi induksi remisi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. 3

Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol

kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim

digunakan untuk pasien ALL yaitu protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK -

ALL 2000. Klasifikasi risiko pada ALL didasarkan pada faktor prognostik. 3,4,9

a. Terapi Induksi Remisi 3,4,9

Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit

hematologik (haematologic complete remission/CR), yaitu eradikasi sel

leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah dan sum - sum

tulang dan kembalinya hematopoesis normal. Keadaan ini didefinisikan

sebagai jumlah sel blas yang < 5 % dalam sumsum tulang dan bentuk eritroid,

mieloid dan elemen megakariotik normal, remisi komplit juga meliputi hitung

darah tepi yang normal, tidak ada blas, jumlah granulosit 1500 /ul, trombosit >

100.000 dan Hb ≥ 10 g/dl. Selain itu, pada cairan serebrospinal harus bebas

dari blas dan organomegali menjadi hilang.

Terapi induksi berlangsung selama 4 - 6 minggu dengan dasar 3 - 4 obat

yang berbeda (dexamethason, vinkristin, L-aspaginase, dan atau antrasiklin).

Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah remisi komplit, remisi partial,

atau gagal.

Terapi utama induksi remisi adalah prednison dan vinkristin, namun

biasanya terdiri dari prednison, vinkristin dan antrasiklin (pada umumnya

daunorubisin) dan L-asparaginase. Tambahan obat seperti siklofosfamid,

10

Page 11: Lapsus ALL Imas

sitarabin dosis konvensional atau tinggi, merkaptopurin dapat diberikan pada

beberapa regimen.

Terapi dengan prednison dan vinkristin menghasilkan CR pada sekitar

50% pasien ALL denovo. Penambahan antrasiklin memperbaiki CR menjadi

70-85 %. Daunorubisin biasanya diberikan seminggu sekali, tetapi beberapa

penelitian memberikan dosis intensifikasi (30 – 60 mg/m2 2 - 3 hari). Dosis

intensifikasi berhubungan dengan mortalitas yang tinggi, sehingga diperlukan

terapi supportif intensif dan pemberian faktor pertumbuhan (granulocyte

colony - stimulating factor/GSCF). GSCF tidak memperbaiki CR tapi

mempersingkat lama neutropenia 5 - 6 hari dan menurunkan insiden infeksi.

b. Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi 3,4,9

Setelah tercapai remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early

intensification) yang bertujuan mengeliminasi sel leukemia residual untuk

mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten obat. Terapi ini juga

dilakukan 6 bulan kemudian (late intensification). Studi Cancer and Leukemia

Group B menunjukkan durasi remisi dan kelangsungan hidup yang lebih baik

pada pasien ALL yang mencapai remisi dan mendapat 2 kali terapi

intensifikasi (early dan late intensification) daripada pasien yang tidak

mendapat terapi intensifikasi. Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang

berbeda diberikan

c. Profilaksis SSP 3,4,9

Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi ALL. Sekitar 50 – 75 %

pasien ALL yang tidak mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps

11

Page 12: Lapsus ALL Imas

pada SSP. Profilaksis SSP dapat terjadi dari kombinasi kemoterapi intratekal,

radiasi kranial dan pemberian sistemik obat yang mempunyai bioavaliabilitas

SSP yang tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis tinggi. Pemberian

ketiga kombinasi terapi ini ternyata tidak memberikan hasil yang superior,

sedangkan kemoterapi intratekal saja atau kemoterapi sistemik dosis tinggi

saja tidak memberikan proteksi SSP yang baik. Kemoterapi intratekal dengan

radiasi kranial (antara 1800 - 2400 gGy) memberikan angka relaps SSP yang

sama dengan kemoterapi intratekal ditambah dengan kemoterapi sistemik

dosis tinggi tanpa radiasi kranial yaitu antara 0 - 11%.

d. Pemeliharaan Jangka Panjang 3,4,9

Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu

sekali selama 2-3 tahun. Pada ALL anak terapi ini memperpanjang disease -

free survivle, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.

Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2 - 2 ½ tahun

dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika

secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor

konsentrasi obat selama terapi rumatan

Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam

kamar yang suci hama). Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang

terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukimia cukup rendah (10 5 –

10 6) immunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dikerjakan

dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Coryne bacterium dan

dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan

12

Page 13: Lapsus ALL Imas

tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukimia yang

telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan terbentuk antibodi yang spesifik

terhadap sel leukimia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan

sehingga diharapkan penderita leukimia dapat sembuh sempurna. 2,5

Time frame Treatment

Induction, 4 wkVincristine 1.5 mg/m2 every week (maximum, 2 mg), days 0, 7, 14, 21

Prednisone 40 mg/m2/d, days 0-28

Doxorubicin 30 mg/m2/dose, days 0 and 1

HR: randomized with/without dexrazoxane 300 mg/m2, days 0 and 1

Methotrexate 4 g/m2 (8-24 h after doxorubicin) with leucovorin rescue

Asparaginase (randomized Erwinia or E coli) 25 000 IU/m2 IM × 1 dose, day 4

IT cytarabine* × 1 dose, day 0

TIT† × 1 dose, day 16

CNS therapy, 3 wk

SR: Randomized: TIT only (see “Randomizations”) or 18-Gy hyperfractionated cranial radiation with IT methotrexate/cytarabine

HR: 18-Gy cranial radiation (randomized hyperfractionated or daily fractions) with IT methotrexate/cytarabine

Intensification, 30 wk

Every 3 wk cycles:

SR: Vincristine 2.0 mg/m2 IV day 1 (maximum, 2 mg)

Prednisone 40 mg/m2/d orally, days 1-5

Methotrexate 30 mg/m2 IV or IM, days 1, 8, 15

6-MP 50 mg/m2/d orally, days 1-15

Asparaginase (randomized): Erwinia 25 000 IU/m2 IM weekly × 20 wk

Or

E coli 25 000 IU/m2 IM weekly × 20 weeks

HR: same as SR patients, except prednisone dose higher (120 mg/m2/d orally days 1-5), no methotrexate, doxorubicin 30 mg/m2 day 1 of each cycle (cumulative dose of 300 mg/m2), randomized to be given alone or with dexrazoxane 300 mg/m2/dose

Continuation, Every 3 week cycles:

13

Page 14: Lapsus ALL Imas

Time frame Treatment

until 24 mo CCR

SR: same as intensification, except no asparaginase

HR: same as SR patients, except dose of prednisone (120 mg/m2/d, days 1–5)

IM indicates intramuscular: IT, intrathecal; TIT, triple intrathecal chemotherapy (methotrexate, cytarabine,

hydrocortisone): IV, intravenous; 6-MP: 6-mercaptopurine.*IT cytarabine dosed according to age.1 Patients with CNS leukemia at diagnosis (CNS-2 and CNS-3) received twice-weekly doses of IT cytarabine until CSF was clear of blast cells on 3 consecutive examinations. †TIT dosage according to age.

Tabel 1. Terapi Dana Farber Cancer Institut ALL Consortium Protocol 95-0110

Keterangan : Panah hitam menunjukkan pemberian triple terapi intratekal yang diberikan kepada semua pasien dan panah putih merupakan dosis tambahan untuk pasien yang memiliki risiko tinggi terjadinya relaps SSP. Iradiasi cranial dan 5 terapi intratekal hanya diberikan untuk pasien dengan T-cell immunophenotype dan leukosit awal 100x109/L.

Gambar 1. Skema Remisi Induksi, Konsolidasi dan Terapi lanjutan untuk Tahun Pertama11

G. Prognosis

Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan kedalam

kelompok risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan

14

Page 15: Lapsus ALL Imas

membuktikan faktor prognostik itu ada hubungannya dengan in vitro drug

resistance. 3

Faktor prognostik LLA : 3

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ALL pertama ditegakkan,

mungkin merupakan faktor prognostik bermakna tinggi. Ditemukan adanya

hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada

anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul mempunyai

prognosis buruk.

2. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai

prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia diantara itu.

Khusus untuk pasien dengan umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan

mempunyai prognosis paling buruk.

3. Leukimia sel B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi ”kappa” dan

”lambda” pada permukaan blas diketahui mempunyai prognosis buruk.

Dengan adanya protokol spesifik untuk sel - B, prognosisnya semakin

membaik. Sel - T leukimia juga mempunayi prognosis yang jelek dan

diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel - T leukemia

murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang

sama dengan leukimia sel pre - B. LLA sel - T diatasi dengan protokol risiko

tinggi.

4. Beberapa penelitian menunjukan bahwa anak perempuan mempunyai

prognostik lebih baik daripada anak laki - laki.

15

Page 16: Lapsus ALL Imas

5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah

1 minggu terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada sum - sum

tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukan prognosis buruk.

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>

50 kromosom) yang biasa ditemukan pada 25 % kasus mempunyai prognosis

yang baik. LLA hipoploid (3 – 5 %) mempunyai prognosis intermediet seperti

t (1;19). Translokasi t (9;22) pada 5 % anak atau t (4;11) pada bayi

berhubungan dengan prognosis buruk.

H. Relaps

Relaps didefinisikan sebagai munculnya kembali sel-sel leukemia pada

setiap bagian tubuh. Sebagian besar relaps terjadi selama pengobatan atau dalam 2

tahun setelah terapi selesai. Sum-sum tulang merupakan tempat yang paling

umum terjadi relaps pada LLA. Lokasi-lokasi lain seperti susunan saraf pusat dan

testis. Frekuensi relaps umumnya kurang dari 2 %. Relaps dapat juga terjadi pada

lokasi ekstramedular lainnya seperti mata, telinga, ovarium, uterus, tulang, otot,

tonsil, ginjal, mediastinum, pleura dan sinus paranasal. Relapsnya LLA

merupakan ancaman seumur hidup bagi penderita LLA. Walaupun telah terdapat

peningkatan terhadap terapi LLA pada anak, kejadian relaps LLA merupakan

faktor utama yang berkontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas pada anak

yang mengalami kelainan ini. Pada penelitian terhadap 3712 anak penderita LLA

pada tahun 1883 sampai 1989, didapatkan 1144 anak (84 %) mengalami relaps

pada satu bagian tubuh atau lebih. 5,6,12

16

Page 17: Lapsus ALL Imas

Relaps sum-sum tulang yang terjadi dalam 18 bulan sesudah diagnosis

memperburuk prognosis (10–20 % long term survival) sementara relaps yang

terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,

khususnya relaps testis dimana long term survival 50–60 %. Terapi relaps harus

lebih agresif untuk mengatasi resistensi obat. 5,12

Pada pasien ALL yang mempunyai resiko tinggi untuk relaps dilakukan

transplantasi sum-sum tulang alogenik pada remisi komplit yang pertama. Resiko

tinggi untuk relaps yaitu : 4,9

Kromosom Philadelphia

Perubahan susunan gen MLL

Hiperleukositosis

Gagal mencapai remisi komplit dalam waktu 4 minggu

Pasien dengan relaps pada SSP biasanya muncul dengan tanda dan gejala

peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala atau muntah (terutama

muntah pada pagi hari), diplopia atau pandangan mata kabur, hemiparesis dan

dapat pula muncul sebagai gangguan saraf kranial. Relaps SSP cenderung muncul

antara 1 sampai 3 tahun setelah diagnosis. Diagnosis didasarkan pada munculnya

sel-sel leukemia di cairan serebrospinal dan gambaran radiologis walaupun jarang.

6,12

Terapi presimptomatik SSP telah mengubah prognosis LLA sejak awal

tahun 1970. Sebelumnya lebih dari setengah pasien yang telah mengalami remisi

komplit berakhir pada relaps SSP. Dengan kombinasi 2400c Gy iradiasi kranial

dan terapi intratekal, kurang dari 10 % kasus mengalami relaps SSP dan hampir

17

Page 18: Lapsus ALL Imas

50 % mengalami long-term survival. Tetapi kemudian regimen intratekal dan

regimen sistemik intensif secara luas telah menggantikan iradiasi kranial pada

pasien LLA. Pada suatu studi didapatkan bahwa terjadinya relaps SSP pada

pemberian metotreksat intratekal pasien LLA berkisar antara 6–8 % sedangkan

pada pasien yang mendapatkan tripel terapi intratekal (metotreksat, sitarabin dan

hidrokortison sodium suksinat) mengalami relaps SSP sebanyak 3 %. Matloud

dkk, menganjurkan jika menggunakan metotreksat intratekal sebagai terapi SSP

presimptomatik harus dikombinasikan dengan terapi sistemik seperti, dosis

metotreksat yang tinggi, prednison dosis tinggi atau deksametason. Tripel terapi

intratekal memberikan keuntungan untuk pasien relaps yang resisten terhadap

metotreksat.13

Terapinya meliputi pengobatan metotreksat intrarekal, tripel terapi

intratekal, iradiasi kranial, radiasi kraniospinal, metotreksat intraventrikular,

metotreksat dosis tinggi atau kombinasi dari terapi-terapi tersebut. Anak yang

mengalami relaps SSP setelah mendapatkan terapi presimptomatik SSP yang

adekuat memiliki resiko relaps hematologi. Anak tersebut harus diterapi dengan

reinduksi sistemik yang intensif, konsolidasi dan kemoterapi rumatan

dikombinasikan dengan metotreksat intratekal dan iradiasi kranial atau radiasi

kraniospinal.12

Terapi induksi kedua umumnya terdiri dari kombinasi beberapa obat,

umumnya merupakan kombinasi dari vinkristin, prednison, asparaginase dan

antraksilin (dengan atau tanpa metotreksat dan sitosin arabinosit) Terapi intratekal

menggunakan satu atau lebih obat (metotreksat, sitosin arabinosit, hidrokortison,

18

Page 19: Lapsus ALL Imas

tiotepa) sangat dianjurkan setiap minggu atau 2 kali seminggu sampai LCS bebas

dari blast. Kemudian ketika pasien telah mengalami remisi komplit dilanjutkan

dengan pemberian terapi profilaksis SSP. Dengan tingginya risiko relaps

hematologi pada pasien-pasien yang mengalami relaps SSP, maka transplantasi

sum-sum tulang direkomendasikan sebagai terapi post remisi. Beberapa studi juga

menyatakan regimen kemoterapi intensif merupakan terapi post remisi yang

adekuat untuk pasien yang mengalami relaps SSP terutama pada kasus relaps

yang munculnya lambat. Dinyatakan bahwa long term survival mencapai 45–70

% pada pasien yang mendapatkan terapi tersebut.6

Barreto dkk menganjurkan suatu protokol terapi untuk LLA relaps SSP.

Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa protokol terapi yang diberikan

memberikan hasil yang baik terhadap pasien LLA yang mengalami relaps SSP

dan mengalami remisi komplit paling tidak dalam 18 bulan. Sedangkan untuk

pasien yang mengalami remisi komplit kurang dari 18 bulan pemberian protokol

terapi tersebut tidak memerikan pengaruh yang berarti. Protokol terapi yang

diberikan adalah14:

Tabel 2. Protokol Terapi LLA relaps SSP yang Digunakan oleh Barreto dkk14

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

1. Identitas penderita :

Nama penderita : An. MAM

19

Page 20: Lapsus ALL Imas

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat dan tanggal lahir : Banjarmasin, 27 Maret 2006

Umur : 2 tahun 8 bulan

2. Identitas orang tua/wali :

Ayah : Nama : Tn. M

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Kuli Bangunan

Alamat : Jl. Pembangunan Ujung No. 61 Rt. 34 Pasir

Mas Banjarmasin

Ibu : Nama : Ny. P

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Buruh Pabrik

Alamat : Jl. Pembangunan Ujung No. 61 Rt. 34 Pasir

Mas Banjarmasin

II. ANAMNESIS

Kiriman dari : -

Dengan diagnosa : -

Aloanamnesa dengan : Orangtua pasien (Ayah dan Ibu pasien)

Tanggal/jam : 05 November 2008/ 11.00 WITA

1. Keluhan utama : Kejang

2. Riwayat penyakit sekarang :

Sekitar 6 jam sebelum masuk RS anak kejang. Kejang berlangsung

selama kurang lebih 1 jam. Kejang bersifat umum dengan mata melihat

20

Page 21: Lapsus ALL Imas

ke atas, tangan mengepal ke atas dan kaki lurus menghentak. Saat anak

kejang tidak ada keluar cairan berbuih dari mulut. Pada saat kejang anak

tidak sadar dan setelah kejang anak sadar kembali sebelum dan selama

kejang anak tidak ada panas. Anak tidak ada batuk dan pilek. Sekitar 1

bulan yang lalu anak juga pernah mengalami kejang yang sama dan

dirawat selama 2 mingu di ruang anak RSUD Ulin Banjarmasin.

Anak memiliki riwayat penyakit leukemia tipe ALL dan telah menjalani

kemoterapi sampai dengan siklus kelima dari bulan Juni 2007 sampai

dengan bulan Agustus 2008. Menurut orang tua anak harus menjalankan

kemoterapi selama 2 tahun.

Sekitar 20 bulan yang lalu muncul sebuah benjolan sebesar kacang hijau

dengan konsistensi keras, tidak nyeri, berwarna kemerahan dan tidak

bisa digerakkan dari dasarnya pada pipi sebelah kanan. Oleh orang tua

anak dibawa ke dokter spesialis kulit kelamin dan diberi obat salep

(orang tua tidak tahu nama obatnya), tetapi tidak ada perubahan dan

benjolan malah bertambah besar. Sekitar 2 bulan kemudian benjolan

malah bertambah sebesar bola tenis, berwarna kemerahan, tidak nyeri

dan tidak mudah digerakkan dengan permukaan tidak rata. Selain itu

juga muncul benjolan di tempat lain yaitu di belakang telinga kanan dan

kiri, berwarna sama dengan kulit dan tidak mudah digerakkan. Anak

dibawa lagi ke dokter spesialis kulit kelamin yang kemudian oleh dokter

spesialis kulit kelamin anak dirujuk ke dokter spesialis anak.

21

Page 22: Lapsus ALL Imas

Selama dirawat oleh dokter spesialis anak, dilakukan berbagai

pemeriksaan seperti pemeriksaan darah dan pengambilan sum - sum

tulang. Dari berbagai pemeriksaan yang dilakukan, anak dikatakan

menderita penyakit leukemia dan harus menjalani kemoterapi.

3. Riwayat penyakit dahulu :

Anak pernah sakit sebelumnya.

4. Riwayat kehamilan dan persalinan :

Riwayat Antenatal :

Ibu jarang memeriksakan diri ke bidan sewaktu hamil.

Riwayat Natal :

Spontan/tidak spontan : SC pada usia 8 bulan karena perdarahan

Nilai APGAR : Ibu tidak tahu

Berat badan lahir : 2100 gram

Panjang badan lahir : 48 cm

Lingkar kepala : Ibu tidak tahu

Penolong : dr. Sp. OG

Tempat : RSUD Ulin Banjarmasin

Riwayat Neonatal :

Anak lahir prematur dan dirawat di inkubator selama 10 hari dengan

menggunakan O2. Anak juga pernah kuning dan menjalani fototerapi

selama dirawat.

22

Page 23: Lapsus ALL Imas

5. Riwayat perkembangan :

Tiarap : 4 bulan

Merangkak : Ibu lupa

Duduk : Ibu lupa

Berdiri : 10 Bulan

Berjalan : 12 Bulan

Saat ini : Anak dapat bermain aktif dengan teman

- teman seusianya.

6. Riwayat imunisasi

Lengkap

7. Makanan :

0 - 6 bulan : Anak tidak pernah minum ASI, hanya minum susu botol

(lactogen) dengan frekuensi sekitar 8 x perhari dengan volume 50 - 100

cc/kali minum.

6 bulan - 1 tahun : Anak minum susu kaleng (Lactogen + Dancow)

dengan frekuensi sekitar 5 x perhari dengan volume sekitar 100 - 200

cc/kali minum. Ditambah bubur sun 4x perhari sebanyak 1 mangkok

kecil.

1 tahun - sekarang : Anak minum susu kaleng (Dancow) 3 x perhari

dengan volume 100 - 200 cc/kali minum ditambah makanan keluarga

(nasi, sayur dan ikan) sebanyak 1 piring kecil.

8. Riwayat keluarga :

Ikhtisar keturunan :

23

Page 24: Lapsus ALL Imas

Keterangan : = Laki-laki

= Perempuan

= Penderita

Orang tua menyangkal ada anggota keluarga yang memiliki riwayat

penyakit keganasan ataupun mengidap penyakit yang sama dengan

anak.

Susunan keluarga :

No. Nama Umur L/P Keterangan1. Tn. M 37 th L Sehat

2. Ny. P 30 th P Sehat

3. An. MAM

2 th 8 bln

L Sakit

9. Riwayat sosial lingkungan :

Anak tinggal bersama kedua orang tuanya di sebuah rumah kontrakan

semi permanen yang terbuat dari kayu dengan ukuran 5 x 8 m3.

Ventilasi dan pencahayaan cukup. Jarak rumah dengan rumah tetangga

sekitar 1 meter. Air untuk keperluan sehari - hari seperti memasak,

minum dan MCK berasal dari PDAM. Anak dititipkan pada tetangga

pada pagi hari ketika kedua orang tua pergi bekerja. Anak dititipkan

sampai pukul 14.00 wita.

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran : kompos mentis

24

Page 25: Lapsus ALL Imas

GCS : 4-5-6

2. Pengukuran :

Tanda vital : Tensi : 100/60 mmHg

Nadi : 92 x/menit, regular, kuat angkat

Suhu : 36,7o C

Respirasi : 28x/menit

Berat badan : 17 kg (123 % standar BB/U)

Tinggi badan : 92 cm (98,9 % standar PB-TB/U)

(124 % standar BB/TB)

3. Kulit : Warna : sawo matang

Sianosis : tidak ada

Hemangiom : tidak ada

Turgor : cepat kembali

Kelembaban : cukup

Pucat : tidak ada

4. Kepala : Bentuk : mesosefali

UUB : sudah menutup

UUK : sudah menutup

Rambut : Warna : hitam

Tebal/tipis : tebal

Jarang/tidak (distribusi) : tidak jarang

Alopesia : -

Lain-lain : -

25

Page 26: Lapsus ALL Imas

Mata : Palpebra : edema tidak ada

Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut

Konjungtiva : anemis (-)

Sklera : ikterik (-)

Produksi air mata : cukup

Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm

Simetris : isokor

Reflek cahaya : (+/+)

Kornea : jernih

Telinga : Bentuk : simetris

Sekret : tidak ada

Serumen : minimal

Nyeri : tidak ada

Hidung : Bentuk : simetris

Pernafasan cuping hidung : tidak ada

Epistaksis : tidak ada

Sekret : tidak ada

Mulut : Bentuk : normal

Bibir : mukosa bibir basah

Gusi : - tidak mudah berdarah

- pembengkakan : tidak ada

Gigi-geligi : lengkap

Lidah : Bentuk : normal

26

Page 27: Lapsus ALL Imas

Pucat/tidak : tidak pucat

Tremor/tidak : tidak tremor

Kotor/tidak : tidak kotor

Warna : merah muda

Faring : Hiperemi : tidak ada

Edema : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

Tonsil : Warna : merah muda

Pembesaran : tidak ada

Abses/tidak : tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

5. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : tidak terlihat

Tekanan : tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : tidak ada

Kaku kuduk : tidak ada

Masa : tidak ada

Tortikolis : tidak ada

6. Thorak :

a. Dinding dada/paru :

Inspeksi : Bentuk : simetris

Retraksi : tidak ada

Dispnea : tidak ada

27

Page 28: Lapsus ALL Imas

Pernafasan : thorakoabdominal

Palpasi : Fremitus fokal : simetris

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler

Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

b. Jantung :

Inspeksi : Iktus : tidak terlihat

Palpasi : Apeks : tidak teraba

Thrill : tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS II LPS Dex - ICS VI LPS Dex

Batas kiri : ICS II LPS Sin - ICS VI LMK Sin

Batas atas : ICS II LPS Dex - LCS II LPS Sin

Auskultasi :

Frekuensi : 92 x/menit, irama : reguler

Suara dasar : S1 dan S2 tunggal

Bising : tidak ada

7. Abdomen

Inspeksi : Bentuk : datar, simetris

Lain-lain : -

Palpasi : Hati : tidak teraba

Lien : tidak teraba

28

Page 29: Lapsus ALL Imas

Ginjal : tidak teraba

Masa : tidak ada

Perkusi : Timpani/pekak : timpani

Asites : tidak ada

Auskultasi : bising usus (+) normal

8. Ekstremitas :

Umum : akral hangat, edem ( - - ), tidak parese ( - -)

Neurologis

TandaLengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan KiriGerakan Bebas Bebas Bebas Bebas

NormalNormalNormal

Tonus

EutrofiE

Trofi

29

Page 30: Lapsus ALL Imas

utrofiEutrofiNormalEutrofi

Klonus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

KPR (+)KPR (+)BPR (+

RefleksFisiologis

30

Page 31: Lapsus ALL Imas

)APR (+)APR (+)TPR (+)Hoffman (-) Tromner (-)Bab

Refleks patologis

31

Page 32: Lapsus ALL Imas

insky (-), Chaddok (-) Babinsky (-), Chaddok (-) B

32

Page 33: Lapsus ALL Imas

PR (+)TPR (+)Hoffman (-) Tromner (-)

Sensibilitas Normal Normal Normal Normal

Tidak adaTid

Tanda meningeal

33

Page 34: Lapsus ALL Imas

ak adaTidak adaTidak ada

9. Susunan saraf : N I – XII dalam batas normal

10. Genetalia : laki - laki, tidak ada kelainan

11. Anus : (+), tidak ada kelainan

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM SEDERHANA

Pemeriksaan Darah tgl 22 Oktober 2008

Jenis Pemeriksaan Nilai

Hemoglobin 12,2 gr/dl

Eritrosit 4,65 juta/ulLeukosit 10,3 rb/ulHematokrit 37 vol %Trombosit 668 rb/ulRDW-CV 15,3 %

MCV 80,3 flMCH 26,2

pgMCHC 32,7 %Neutrofil 82,4 %Limfo

13,3 %

34

Page 35: Lapsus ALL Imas

sitMID 4,3 %Neutrofil 8,50 ribu/ulLimfosit 1,40

ribu/ulMID 0,40 ribu/ulKimia Darah (Elektrolit)

Natrium 136 mmol/lKalium 4,9 mmol/l

Clorida 101 mmol/l

V. RESUME

Nama : An. MAM

Jenis kelamin : Laki - laki

Umur : 2 tahun 8 bulan

Berat badan : 17 kg

Keluhan utama : Kejang

Uraian : Sekitar 6 jam SMRS (22 Oktober 2008 jam 11.00 wita) anak

mengalami kejang selama kurang lebih 1 jam. Kejang bersifat

umum dengan mata melirik ke atas, tangan mengepal dan kaki

lurus. Selama kejang anak tidak sadar dan setelah kejang berhenti

anak sadar kembali. Anak tidak ada demam sebelum dan selama

kejang. 1 bulan yang lalu anak pernah kejang yang sama dan

dirawat di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin selama 2

minggu. Anak memiliki riwayat penyakit leukemia tipe ALL

yang telah terdiagnosa kurang lebih 17 bulan yang lalu dan telah

mendapat kemoterapi sampai siklus yang ke – 5 dari bulan Juni

2007 sampai dengan bulan Agustus 2008.

35

Page 36: Lapsus ALL Imas

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Kompos mentis GCS : 4 - 5 - 6

Tensi : 100/60 mm/Hg

Denyut Nadi : 92 kali/menit

Pernafasan : 28 kali/menit

Suhu : 36,7 oC

Kulit : Tidak ada kelainan

Kepala : Tidak ada kelainan

Mata : Tidak ada kelainan

Telinga : Tidak ada kelainan

Mulut : Tidak ada kelainan

Thorak/paru : Tidak ada kelainan

Jantung : Tidak ada kelainan

Abdomen : Tidak ada kelainan

Ekstremitas : Tidak ada kelainan

Susunan saraf : Tidak ada kelainan

Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan

Anus : Ada, tidak ada kelainan

VI. DIAGNOSA

1. Diagnosa banding : Observasi konvulsi ec susp. relaps ALL

Observasi konvulsi ec susp. cerebral leukemia

2. Diagnosa kerja : Observasi konvulsi ec susp. relaps ALL

36

Page 37: Lapsus ALL Imas

3. Status gizi :

V. PENATALAKSANAAN

IVFD D51/1 NS 1275 cc/hari = 14 tts/menit

Stesolid rektal 10 mg (kalau kejang)

Inj. Metamozole 200 mg (iv) (K/P)

Dilantin bolus 2 x 50 mg

Kemoterapi untuk relaps ALL

VI. USULAN PEMERIKSAAN

1. Pemeriksaan darah dan hapusan darah tepi (hemoglobin, leukosit,

eritrosit, hematokrit, trombosit, hitung jenis leukosit, MCV, MCH,

RDW-CV, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, asam urat, albumin dan

protein total)

2. Pemeriksaan cairan serebro spinal (LCS)

3. Aspirasi sum – sum tulang (BMA)

4. Pemeriksaan radiologis

5. Pemeriksaan sitologi

37

WHO-NCHS : BB/U = 17 – 13,8 = 2,28 (gizi lebih)1,40

TB/U = 92 – 93 = -0,29 (normal) 3,4

BB/TB = 17 – 13,7 = 2,2 (gemuk) 1,5

CDC 2000 = 17 x 100% = 125% (Obesitas) 13,6

Page 38: Lapsus ALL Imas

VII. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Dubia ad malam

Quo ad sanationam : Dubia ad malam

VIII. PENCEGAHAN

Melakukan kemoterapi sesuai jadwal yang telah ditentukan.

38

Page 39: Lapsus ALL Imas

Lembar Follow up tanggal 22 - 31 Oktober 2008Hari Ke 1 2 3 4

SubyektifBatuk << << <

Kejang - - -

Sesak << << -

Panas + - -

Muntah - - -

Ma/Mi </+ </+ </+

BAB/BAK + + +

Obyektif

HR 84 88 80

RR 40 32 26

TD 100/65 110/70 100/70

T 37,8 36,6 36,2

39

Page 40: Lapsus ALL Imas

Pemeriksaan Fisik Dbn Dbn Dbn

Assessment Obs. Konvulsi ec. ALLPlanning

D51/2NS + + +

Stesolid Rectal - - -

Inj. Metamizole + - -

Dilantin 2x50 gr + + +

Lanjut Kemoterapi MTX it

Metoclopramide 3x1/4 amp - - -

Lembar Follow up tanggal 01 - 10 November 2008

Planning

40

Page 41: Lapsus ALL Imas

3. Pemeriksaan Morfologi Darah Tepi tanggal 24 Oktober 2008

41

Page 42: Lapsus ALL Imas

Eritrosit : Normositik normokromik

Lekosit : Diff count : 0/3/0/80/13/3, blas 1% (kesan jumlah normal, dijumpai blas 1%)

Trombosit : Kesan jumlah meningkat, morfologi normal

Kesan : ALL dengan blas 1%

Saran : Monitoring darah rutin dan hapusan darah tepi

4. Pemeriksaan LCS 28 Oktober 2008

Kesan : Dijumpai blas pada cairan otak. Blas tampak penuh

5. Pemeriksaan Darah tanggal 07 November 2008

Jenis Pemeriksaan Nilai

Hemoglobin 12,2 gr/dlEritrosit 4,46 juta/ulLeukosit 2,5 rb/ulHematokrit 36 vol %Trombosit 188 rb/ulRDW-CV 15,3 %MCV 80,4 flMCH 27,4 pgMCHC 34,1 %

42

Page 43: Lapsus ALL Imas

Basofil 0,4 %Eosinofil 0,0 %Neutrofil 53,6 %Limfosit 27,0 %Monosit 19,0 %Basofil 0,01 ribu/ulEosinofil 0,00 ribu/ulNeutrofil 1,35 ribu/ulLimfosit 0,68 ribu/ulMonosit 0,48 ribu/ulAlbumin 4 g/dlTotal Protein 5,7 g/dlUreum 17 mg/dlCreatinin 0,7 mg/dlAsam urat 3,5 mg/dL

6. Pemeriksaan LCS tanggal 08 November 2008

Makroskopis : Diterima cairan sebanyak 1 cc, warna jernih.

Mikroskopis : Menunjukkan hapusan hiperseluler

Kesimpulan : Tidak ditemukan sel blast pada cairan ini

7. Pemeriksaan LCS tanggal 15 November 2008

Makroskopis : Warna : tidak berwarna, Kekeruhan jernih

Mikroskopis : Pewarnaan MB : tidak ditemukan sel leukosit

Pewarnaan Gram : tidak ditemukan gram – dan gram +

43

Page 44: Lapsus ALL Imas

Pewarnaan ZN : BTA negatif

Kimiawi : Nonne : negatif

Pandy : negatif

8. Pemeriksaan Darah tanggal 15 November 2008

Jenis Pemeriksaan Nilai

Hemoglobin 11,9 gr/dlEritrosit 4,37 juta/ulLeukosit 1,4 rb/ulHematokrit 35 vol %Trombosit 84 rb/ulRDW-CV 15,1 %MCV 80,1 flMCH 27,2 pgMCHC 34 %Basofil 0,0 %Eosinofil 2,1 %Neutrofil 72,2 %Limfosit 22,2 %Monosit 3,5 %Basofil 0,00 ribu/ulEosinofil 0,03 ribu/ulNeutrofil 1,04 ribu/ulLimfosit 0,32 ribu/ulMonosit 0,05 ribu/ul

44

Page 45: Lapsus ALL Imas

SGOT 86 mg/dLSGPT 54 mg/dlUreum 11 mg/dlCreatinin 0,7 mg/dlAs. Urat 3,6 mg/dl

Grafik 1. Follow up frekuensi nadi selama perawatan

Grafik 2. Follow up frekuensi pernafasan selama perawatan

45

Page 46: Lapsus ALL Imas

Grafik 3. Follow up pengukuran suhu tubuh selama perawatan

PEMBAHASAN

Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid atau sel progenitor limfoid di sum-sum

tulang disertai dengan anemia, febris, perdarahan dan infiltrasi sel ganas ke organ lain. Lebih dari 80 % kasus, sel-sel ganas berasal

dari limfosit B, sisanya merupakan bentuk leukemia sel T (adult T cell leukemia, ATL). 1,2

Pada kasus ini, belum diketahui secara pasti penyebab pasti anak mengidap ALL, kerena menurut pengakuan dari orang tua

anak tidak ada memiliki cacat genetik ataupun dari silsilah keturunan yang mengidap penyakit keganasan. Anak juga tidak tinggal di

dekat daerah elektromagnet dan tidak memiliki faktor resiko untuk terpapar radiasi ionik. Sedangkan risiko antenatal tidak dapat

dikaji karena selama hamil ibu jarang memeriksakan diri pada petugas kesehatan. Anak juga lahir kurang bulan (usia kehamilan 8

bulan) karena ibu mengalami perdarahan, tetapi ibu tidak mengetahui penyebab dari perdarahan tersebut sehingga kita juga tidak

dapat mengkaji apakan hal ini berhubungan dengan terjadinya penyakit ALL pada anak tersebut. Mengenai risiko perinatal anak

dengan riwayat penanganan bayi yang memerlukan perawatan inkubator dan pemberian oksigen mengarahkan pada adanya

46

Page 47: Lapsus ALL Imas

kemungkinan anak pernah mengalami asfiksia neonatorum yang merupakan salah satu faktor risiko perinatal untuk terjadinya

penyakit LLA walaupun mekanismenya untuk hal ini masih belum jelas.

Pada kasus ini, anak mengalami relaps. Relaps didefinisikan sebagai munculnya kembali sel-sel leukemia pada setiap bagian

tubuh. Sebagian besar relaps terjadi selama pengobatan atau dalam 2 tahun setelah terapi leukemia telah selesai. Sum-sum tulang

merupakan tempat yang paling umum untuk terjadinya relaps pada LLA. Pada kasus ini relaps yang terjadi adalah pada susunan saraf

pusat dan sum–sum tulang.

Pasien dengan relaps pada SSP biasanya muncul dengan tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit

kepala atau muntah (terutama muntah pada pagi hari), diplopia atau pandangan mata kabur, hemiparesis dan dapat pula muncul

sebagai gangguan saraf kranial. Pada kasus ini gejala peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi adalah kejang yang berlangsung

selama kurang lebih 1 jam, selain itu kurang lebih 1 bulan sebelum masuk rumah sakit anak juga pernah mengalami kejang yang

serupa dan dirawat selama 2 minggu dan selama perawatan anak juga pernah mengalami muntah yang merupakan manifestasi dari

peningkatan tekanan intrakranial. Diagnosis relaps SSP pada kasus ini juga didasarkan pada munculnya sel-sel leukemia di cairan

serebrospinal yaitu didapatkannya blas pada cairan otak bahkan pada kasus ini dinyatakan bahwa blas yang terdapat pada cairan otak

penuh.

47

Page 48: Lapsus ALL Imas

Untuk relaps yang terjadi pada sum–sum tulang pada kasus ini didasarkan pada pemeriksaan morfologi darah tepi dimana

ditemukan eritrosist normositik nornokromik, leukosit diff count 0/3/0/80/13/3 blas 1 % (kesan jumlah normal dengan dijumpai blas

1 %), trombosit dengan kesan jumlah meningkat dengan morfologi normal. Dari hasil pemeriksaan morfologi darah tepi memberi

kesan sebagai ALL dengan blas 1 %. Seharusnya untuk kasus relaps pada sum–sum tulang dilakukan pemeriksaan aspirasi sum–sum

tulang (BMA), hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana gambaran morfologi dari sum–sum tulang. Untuk kasus ini pemeriksaan

BMA tidak dilakukan.

Untuk kasus relaps di tempat lain seperti pada testis, mata telinga, ovarium, uterus, tulang, otot, tonsil, ginjal, mediastinum,

pleura dan sinus paranasal belum dapat dibuktikan pada kasus ini, hal ini dikarenakan sampai saat ini tidak ada tanda–tanda klinis

yang mengarah kepada diagnosis relaps pada tempat–tempat tersebut. Selain itu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk

membuktikan adanya suatu relaps di tempat lain adalah pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan sitologi.

Pada pemeriksaan darah rutin yang dilakukan pada tanggal 22 dan 28 Oktober 2008 didapatkan nilai hemoglobin, lekosit,

eritrosit dan hematokrit dalam batasan normal sedangkan nilai untuk trombosit meningkat, hal ini dimungkinkan karena anak selama

ini menjalani kemoterapi dan telah menjalani terapi induksi remisi dimana didapatkan hemopoisis yang normal dan juga

organomegali yang menghilang, walaupun mungkin pada kasus ini complet remisi yang terjadi tidak komplet dimana pada kasus ini

48

Page 49: Lapsus ALL Imas

masih didapatkan jumlah trombosit yang meningkat dan dari hapusan darah tepi yang dilakukan masih terdapat kesan ALL dengan

blas 1 %.

Pada kasus ini, anak telah menjalani proses kemoterapi selama lebih dari 1 tahun dan telah diberikan metotreksat intratekal

yang pada suatu studi dinyatakan bahwa pada pasien LLA yang telah mendapatkan terapi profilaksis SSP berupa metotreksat

intratekal memiliki kemungkinan untuk mendapatkan relaps SSP sebanyak 6 - 8 %. Pada kasus ini tidak diketahui apakah terapi ALL

yang diberikan telah mencapai tahap profilaksis SSP atau tidak karena menurut pengakuan orang tua sampai bulan Agustus 2008

anak baru menjalani siklus kemoterapi yang ke - 5 , pada kasus ini telah terjadi relaps SSP dimana 50 – 70 % pasien yang tidak

mendapatkan terapi profilaksis SSP akan mengalami relaps.

Setelah anak didiagnosis sebagai relaps SSP, anak kemudian menjalani regimen kemoterapi untuk resiko tinggi relaps SSP

selama kurang lebih 25 bulan yang terdiri dari fase induksi (metotreksat intratekal, siklofosfamid per drip, daunorubicin iv dan

vincristin iv) selama 5 bulan, kemudian dilakukan BMP. Terapi dilanjutkan dengan profilaksis SSP dalam 9 bulan. Pemberian

profilaksis ini terdiri dari metotreksat dosis tinggi iv, leucovorin dan metotreksat intratekal. Pada 2 bulan terakhir fase profilaksis SSP

diberikan metotreksat peroral. Pada fase intensif, diberikan siklofosfamid perdrip, daunorubicin iv, vinkristin iv dan deksametason

peroral. Fase intensif barlangsung selama 6 bulan, selanjutnya dilakukan profilaksis SSP kembali selama 5 bulan menggunakan

49

Page 50: Lapsus ALL Imas

metotreksat intratekal, metotreksat peroral dan merkaptopurin peroral. Pada kasus ini anak baru memulai terapi untuk relaps SSP

pada tanggal 28 Oktober 2008 dimana dilakukan pemberian metotreksat intra tekal, dilanjutkan pemberian metotreksat intratekal

pada tanggal 8 November 2008. Pada tanggal 8 November 2008 itu juga dilakukan pemeriksaan sitologi dari cairan LCS di

laboratorium Patologi Anatomi RSUD Ulin Banjarmasin dan didapatkan kesimpulan bahwa tidak ditemukan sel blas pada cairan

tersebut, berarti respon terapi yang diberikan pada pasien ini sangat baik dimana hasil pemeriksaan dari LCS sebelumya

menunjukkan pada LCS pasien tampak penuh dengan blas.

Kemoterapi pada kasus ini selanjutnya dilanjutkan mulai tanggal 13–15 November 2008, dimana diberikan pemberian

siklopospamid drip, daunorubisin iv dan vinkristin iv, kemudian kemoterapi dilanjutkan dengan metotreksat intra tekal yang ke-3.

Pada tanggal 15 November 2008 tersebut diperiksa lagi LCS dan didapatkan bahwa dengan pewarnaan MB tidak ditemukan adanya

sel leukosit lagi pada cairan LCS tersebut. Berarti respon terapi yang diberikan pada kasus ini dengan menggunakan obat metotreksat

intra tekal, siklopospamid drip, daunorubisisn iv, vinkristin iv dan juga dexametason po dengan dosis 24 mg/hari adalah sangat baik.

Kondisi pasien ini setelah dilakukan kemoterapi yang pertama ini sangat baik dan tidak ada keluhan - keluhan seperti mual,

muntah, nyeri kepala dan lain - lain. Pada tanggal 15 November 2008 juga dilakukan pemeriksaan darah ulang kembali dan

didapatkan hasil Hb, eritrosit dan hematokrit dalam batas normal, leukosit dan trombosit mengalami penurunan sedikit, fungsi hati

50

Page 51: Lapsus ALL Imas

meningkat sedikit serta fungsi ginjal yang masih dalam batas normal. Penurunan jumlah lekosit dan trombosit serta peningkatan nilai

dari fungsi hati kemungkinan disebabkan oleh efek dari kemoterapi yang diberikan pada kasus ini.

Efek samping terapi yang tidak dapat dihindari pada pengobatan ALL adalah mielosupresi dan imunosupresi akibat

kemoterapi. Kemoterapi yang ditujukan pada limfoblas leukemik juga mempengaruhi limfosit T dan B normal, menimbulkan

limfositopenia dan imunodefisiensi. Pneumonia Pnemocystis carinii dapat timbul pada keadaan remisi. Infeksi virus seperti virus

herpes simplek dan zoster, campak dan sitomegalovirus sering terjadi. Pertumbuhan pada anak agak terganggu selama kemoterapi.

Sebagian besar obat kemoterapi dan iradiasi menimbulkan kemandulan. Fungsi gonad dapat pulih setelah interval yang panjang.

Gonad pada pasien prapubertas relatif resisten terhadap kemoterapi dan sebagian besar pasien mengalami pubertas normal setelah

terapi dihentikan. Penyulit lambat adalah gangguan SSP dan neuroendokrinologik yang dapat timbul akibat iradiasi setelah kranium,

kanker sekunder dan leukemia mieloid yang dapat timbul setelah iradiasi atau kemoterapi dan gangguan jantung akibat toksik. 1,9

Efek samping lain yang terjadi adalah tumor lysis syndrom, yang merupakan suatu kelainan metabolik yang mengancam jiwa

akibat pelepasan sejumlah zat intraselular ke dalam aliran darah akibat tingkat penghancuran sel tumor yang tinggi karena pemberian

kemoterapi. Zat intraseluler tersebut adalah hasil degradasi asam nukleat akibat destruksi sejumlah besar sel tumor yang

mengakibatkan meningkatnya metabolisme purin, diikuti oleh meningkatnya pembentukan asam urat. Tumor lysis syndrom terdiri

51

Page 52: Lapsus ALL Imas

dari hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Dalam hal ini, pemberian kemoterapi pada sel tumor yang

sensitif akan mengakibatkan terjadinya penghancuran mendadak sejumlah besar sel tumor sehingga terjadi degradasi asam nukleat,

mengakibatkan katalisis hipoksantin dan xantin oleh xantin oksidase yang meningkatkan pembentukan asam urat yang relatif tidak

larut dalam air. Ekskresi asam urat yang meningkat mengakibatkan konsentrasi intratubular yang meningkat pula sampai melebihi

batas kelarutan, sehingga terjadi keadaan supersaturasi dan kristal asam urat pada tubulus renal dan distal collecting system yang

mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya hiperfosfatemia yang makin memperburuk fungsi

ginjal sehingga terjadi penurunan ekskresi kalium sampai terjadi hiperkalemia, disamping hiperfosfatemia sendiri mengakibatkan

terjadinya hipokalsemia. 15,16,17

Pencegahan adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan. Pengenalan jenis tumor dan pasien dengan risiko tinggi harus

dilakukan sebelum kemoterapi dimulai, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk melindungi fungsi ginjal. Untuk pasien

- pasien tersebut dapat diberikan hidrasi cairan 2000 - 3000 ml/m2/24 jam, yang sudah dimulai 24 jam sebelum pemberian

kemoterapi. Selain itu, diberikan alopurinol 2 x 75 mg/hari untuk memecah produksi asam urat dan dilakukan tindakan alkalinisasi

urin dengan pemberian natrium bikarbonat untuk meningkatkan kelarutan asam urat sehingga dapat disekresikan melalui ginjal.15,18

52

Page 53: Lapsus ALL Imas

Pasien yang mengalami relaps pada saat menjalani kemoterapi memiliki prognosis yang buruk. Sedangkan pasien yang

mengalami relaps pada lebih dari 24 bulan setelah diagnosis memiliki prognosis yang lebih baik.10 Pada kasus ini, anak mengalami

relaps saat menjalani pengobatan kemoterapi yaitu setelah kemoterapi kelima sehingga prognosis untuk kasus ini adalah jelek.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus ALL dengan relaps SSP dan sum – sum tulang pada seorang anak laki – laki umur 2 tahun 8

bulan yang dirawat di bagian anak RSUD Ulin Banjarmasin.

Anak memiliki riwayat penyakit leukemia tipe ALL dan sampai bulan Agustus 2008 anak telah menjalani kemoterapi sampai

siklus ke - 5. Diagnosis relaps SSP didapatkan dari anamnesa yakni didapatkan tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial berupa

53

Page 54: Lapsus ALL Imas

kejang dan muntah serta hasil pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan LCS) dimana didapatkan blas pada cairan otak dan blas pada

cairan otak tampak penuh.

Anak akan menjalani regimen kemoterapi untuk resiko tinggi relaps SSP selama kurang lebih 25 bulan yang terdiri dari fase

induksi selama 5 bulan, dilanjutkan dengan profilaksis SSP dalam 9 bulan, dilanjutkan fase intensif selama 6 bulan selanjutnya

dilakukan profilaksis SSP kembali selama 5 bulan.

Respon terapi pada kasus ini sangat baik dimana dengan pemberian terapi kombinasi metotreksad intra tekal, siklopospamid

drip, daunorubisisn iv, vinkristin iv dan juga dexametason po, didapatkan hasil pemeriksaan LCS pada tanggal 8 dan 15 November

2008 tidak ditemukan lagi adanya blas pada LCS pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Provan. Drew (editor). ABC of Clinical Haematology Second Edition. London: BMJ Book, 2003

2. Behrman RE, Vaughn VC, Nelson WE, eds. Ilmu kesehatan anak nelson 1. Alih bahasa : Siregar MR, Maulany RF, EGC. Jakarta : 1992

54

Page 55: Lapsus ALL Imas

3. Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2005

4. Sudoyo, Aru W, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Sinadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Departemen IPD FK UI, 2006

5. Beutler, Ernest, Marshall A. Lichtman, Barry S. Coller, Thomas J. Kipps, Uri Seligsohn (editor). Williams Hematology 6th edition. New York: McGraw-Hill Professional, 2000

6. Hoffman, Ronald, Edward J. Benz Jr, Sanford J Shattil, Bruce Furie Harvey J. Cohen, Leslie E. Silberstein, Philip McGlave. Hematology: Basic Principles and Practice 3rd Ed. New York: Churchill Livingstone, Inc, 2000

7. Bakta, I made. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC, 2006

8. Hoffbrand, A. V, J. E. Pettit, P.A.H Moss. Kapita Selekta Hematologi edisi 4. Jakarta: EGC, 2005

9. Isselbacher, Kurt J, Eugene Braunwald, Jean D. Wilson, Joseph B. Martin, Anthony K.Fauci, Dennis L. Kasper. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4. Jakarta: EGC, 2000

10. Moghrabi A et all. Results of the Dana-Farber Cancer Institute ALL Consortium Protocol 95-01 for children with acute lymphoblastic leukemia. Blood: 109(3):896-904: 2007. (http://bloodjournal.hematologylibrary.org). Diakses tanggal 12 November 2008.

11. Pui CH et al. Improved Outcome for Children with Acute Lymphoblastic Leukemia: Results of Total Therapy Study XIIIB at St. Jude Children’s Research Hospital. Blood: 104(9):2690-2696: 2004. (http://bloodjournal.hematologylibrary.org). Diakses tanggal 17 November 2008.

12. Mcmillan JA, Deangelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, Oski FA dan Warshaw JB. Oski,s Pediatrics : Principles and Practice, 3rd Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 1999

13. Matloub Y et all. Intrathecal triple therapy decreases central nervous system relapse but fails to improve event-free survival when compared with intrathecal methotrexate: results of the Children's Cancer Group (CCG) 1952 study for standard-risk acute lymphoblastic leukemia, reported by the Children's Oncology Group. Blood :108 (4):1165-1173. 2006. (http://bloodjournal.hematologylibrary.org) Diakses tanggal 12 November 2008.

55

Page 56: Lapsus ALL Imas

14. Barreto et al. Isolated CNS Relaps of Acute Lymphoblastic Leukemia Treated With Intensive Systemic Chemotherapy and Delayed CNS Radiation: A Pediatric Oncology Group Study. J Clin Oncol: 24(19):3142-3149 : 2006. (http://jco.ascopubs.org). Diakses tanggal 14 November 2008.

15. Ikeda Alan K. Tumor Lysis Syndrome. Clinical Fellow, Department of Pediatrics, Division of Hematology and Oncology, Mattel Children's Hospital, David Geffen School of Medicine at UCLA. 2006. http//www.eMedicine.com. Diakses 13 September 2008.

16. Krishnan Koyamangalath. Tumor Lysis Syndrome. Dishner Endowed Chair of Excellence in Medicine, Professor of Medicine and Chief of Hematology-Oncology, Program Director, Hematology-Oncology Fellowship, James H Quillen College of Medicine at East Tennessee State University. http//www.eMedicine.com. Diakses 13 September 2008.

17. Anonymous. Tumor Lysis Syndrome. 2007. (http//the Wikimedia Foundation, Inc) Diakses 13 September 2008.

18. Cabanillas Fernando. Tumor Lysis Syndrome. 2005. http//www.Medscape.com. Diakses 13 September 2008.

56

Page 57: Lapsus ALL Imas

Laporan Kasus

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT DENGAN RELAPS SSP DAN SUM – SUM TULANG

Oleh :

Masmuliyati

57

Page 58: Lapsus ALL Imas

I1A001026

Pembimbing :

Dr. Wulandewi Marhaeni Sp.A

SMF / BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK

RSU DAERAH ULIN

Banjarmasin

November, 2008

DAFTAR SINGKATAN

58

Page 59: Lapsus ALL Imas

59