Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik
-
Upload
rizky-saraswati-indraputri -
Category
Documents
-
view
477 -
download
19
description
Transcript of Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik
LAPORAN TUTORIAL
BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 2
KEDARURATAN DIABETIK DAN KRISIS HIPERTENSI PADA PASIEN
YANG DISERTAI KOMPLIKASI
KELOMPOK II
AKHMAD M F G0010011
ANINDITA RATNA G G0010021
ANNISA WARDHANI G0010025
DENDY RAHARJO G0010053
HAJAR KUSUMASTUTI G0010089
IFANEMAGASARO M G0010097
NARULITA ANGGASARI G0010135
RIFNI ARNESWARI G0010161
RIZKY SARASWATI G0010167
TARA KEN WITA G0010187
TUTOR: dr. Bulan Kakanita
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bapak Kabul 49 tahun diantar keluarga ke IGD RSDM. Anamnesis
didapat kurang lebih 4 jam sebelumnya pasien tiba-tiba tidak sadar, saat
dipanggil dan digoyang badannya, pak Kabul tidak membuka mata. Pak
Kabul penderita DM dan hipertensi tidak pernah kontrol tapi rutin minum
Gibenclamid. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg
suhu 39,9, laju pernapasan 40 kali/menit Kussmaull. Nadi 130 kali/menit
lemah. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb
10,99 gr%, leukosit 20.100/µL, trombosit 173.000/µL, GDS 432 mg/dL,
ureum 40 mg/dl, creatinin 1,5 mg/dl, kalium 3,3 mmol/L. Pada saat di UGD
diberikan infus RL tetesan cepat, pasien selanjutnya di rawat di HCU melati 1
dan diberi insulin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario?
2. Apa yang menyebabkan pasien tiba-tiba tidak sadar?
3. Adakah hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan tiba-
tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya?
4. Adakah hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid dengan
manifestasi klinis yang terjadi pada pasien?
5. Bagaimanakah epidemiologi penyakit pada kasus?
6. Apakah efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa pernah
kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi, farmakokinetik,
dan farmakodinamik dari glibenclamid?
7. Apakah interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada
kasus skenario?
8. Apakah indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer
laktat pada kasus?
9. Apakah indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di HCU?
10. Apakah indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari pemberian
insulin?
11. Apakah diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk
pasien tersebut?
C. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario.
2. Menjelaskan penyebab keadaan pasien yang tiba-tiba tidak sadar.
3. Menjelaskan hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan
tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya pada pasien.
4. Menjelaskan hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid
dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien.
5. Menjelaskan epidemiologi penyakit pada kasus.
6. Menjelaskan efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa
pernah kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi,
farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid.
7. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium
pada kasus skenario.
8. Menjelaskan indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer
laktat pada kasus.
9. Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di
HCU.
10. Menjelaskan indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari
pemberian insulin.
11. Menjelaskan diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk
pasien tersebut.
D. Manfaat Pembelajaran
1. Mampu menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis dalam
skenario.
2. Mampu menjelaskan penyebab keadaan pasien yang tiba-tiba tidak
sadar.
3. Mampu menjelaskan hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan
keadaan tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya pada pasien.
4. Mampu menjelaskan hubungan antara tidak kontrol dan rutin
glibenclamid dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien.
5. Mampu menjelaskan epidemiologi penyakit pada kasus.
6. Mampu menjelaskan efek samping dari konsumsi obat glibenclamid
tanpa pernah kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi,
farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid.
7. Mampu menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan
laboratorium pada kasus skenario.
8. Mampu menjelaskan indikasi serta kontra indikasi dari pemberian
infus ringer laktat pada kasus.
9. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dilakukannya
perawatan di HCU.
10. Mampu menjelaskan indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari
pemberian insulin.
11. Mampu menjelaskan diagnosis banding dan penatalaksanaan yang
tepat untuk pasien tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi Penyakit Pada KasusInsidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah
antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian
SHH <1%. Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan
ditemukan bahwa dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45%
SHH dan 33% merupakan campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian
tersebut ternyata sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD
dan SHH, adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun (Gaglia et al., 2004).
Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada
sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan
hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya
lebih buruk pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi. Bila mortalitas
akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas pada kelompok usia
60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan 33% pada
kelompok usia > 79 tahun .Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada
mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun,
dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun (Gaglia et al., 2004).
B. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg, penderita
mengalami krisis hipertensi, dimana tekanan diastoliknya sudah diatas 120-130
mmHg. Suhu 39,9° C, penderita mengalami demam, hal ini mungkin disebabkan
proses inflamasi di dalam tubuh penderita. Laju pernapasan 40 kali/menit
Kusmaull, hal ini menandakan adanya kompensasi tubuh penderita untuk menarik
napas akibat tertimbunnya asam metabolik berlebihan dalam tubuh, normalnya
laju pernapasan pada orang dewasa adalah 15-20 kali/menit.
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatakan penurunan kadar hemoglobin,
yaitu pada pasien sekitar 10 g/dl, kadar hemoglobin normal pria dewasa adalah 13
g/dl. Leukosit pada skenario juga mengalami kenaikan yaitu 20.100 / µL, dimana
kadar normal leukosit adalah 3500-10000 / µL, hal ini mungkin disebabkan
pasien mengalami infeksi. Kadar trombosit pada skenario dalam batas normal,
dimana nilai normal kadar trombosit adalah 150000-390000 / µL.
Kadar gula darah sewaktu pasien termasuk sangat tinggi, karena kadar GDS
normal adalah <200 mg/dl, dalam hal ini pasien mengalami hiperglikemia. Kadar
ureum pasien dalam batas normal, hal ini dikarenakan batas normal ureum
adalah 10-50 mg/dl. Kadar kreatinin pasien termasuk normal cenderung tinggi,
karena kadar kreatinin pasien adalah 1,5 mg/dl, dan kadar normal kreatinin
adalah 0,7-1,5 mg/dl. Pasien mengalami hipokalemia, karena kadar kalium
pasien adalah 3,3 mmol/L, sedangkan kadar kalium normal adalah 3,5-5,0
mmol/L.
C. Indikasi dan Kontraindikasi Perawatan di HCU
High Care Unit adalah unit pelayanan di rumah sakit bagi pasien dengan
kondisi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran kurang stabil yang masih
memerlukan pengobatan, perawatan, dan observasi secara ketat.
Ruang lingkup pemantauan yang harus dilakukan antara lain :
a. Tingkat kesadaran
b. Fungsi pernapasan dan sirkulasi dengan interval waktu minimal 4 jam
atau disesuaikan dengan keadaan pasien
c. Oksigenasi dengan menggunakan oksimeter secara terus-menerus
d. Keseimbangan cairan dengan interval waktu minimal 8 jam atau
disesuaikan dengan keadaan pasien
Tindakan medik dan asuhan keperawatan yang dilakukan :
a. Bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut meliputi Airway
(membebaskan jalan nafas samapi dengan melakukan intubasi
endotrakeal), Breathing (mampu melakukan bantuan nafas), dan
Circulation (mampu melakukan resusitasi cairan, defibrilasi, dan kompresi
jantung luar).
b. Terapi Oksigen
c. Penggunaan obat-obatan untuk pemeliharaan/stabilitas obat inotropik, obat
anti nyeri, obat aritmia jantung, obat-obat yang bersifat vasoaktif, dan lain-
lain
d. Nutrisi enteral atau parenteral
e. Fisioterapi sesuai dengan keadaan pasien
f. Evaluasi seluruh tindakan dan pengobatan yang telah diberikan
Kriteria indikasi masuk dan indikasi keluar :
a. Indikasi Masuk
1) Pasien dengan gagal organ tunggal yang mempunyai risiko tinggi
untuk terjadi komplikasi
2) Pasien yang memerlukan perawatan perioperatif
b. Indikasi Keluar
1) Pasien sudah stabil yang tidak lagi memerlukan pemantauan yang
ketat
2) Pasien yang memburuk sehingga perlu pindah ke ICU
c. Yang tidak perlu masuk HCU
1) Pasien dengan fase terminal suatu penyakit (seperti : kanker stadium
akhir)
2) Pasien/keluarga yang menolak untuk dirawat di HCU (atas dasar
informed consent) (Depkes RI, 2010).
D. Glibenclamide
Gambar 1 : struktur glibenclamide
Dosis
Terapi glibenclamide selalu dimulai dari dosis rendah 1 kali pemberian per
hari, setelah itu dosis dapat dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat. Dosis
awal 2,5 mg bersama sarapan, maksimal 15 mg per hari.
Bentuk sediaan
Kaptab 5 mg, Tablet 2,5 dan 5 mg
Indikasi
Diabetes Melitus Tipe II ringan-sedang
Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan sulfonilurea lainnya. Porfiria. Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma. Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan. Diperkirakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Komplikasi diabetes karena kehamilan.
Efek samping
Efek samping glibenclamide umumnya ringan dan frekuensinya rendah,
antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan
saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.
Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain
sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,
agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Hipoglikemia
dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan
fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-
obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung
meningkatkan berat badan.
Farmakodinamik
Kerja utama sulfonylurea adalah meningkatkan rilis insulin dari pankreas.
Diduga terdapat dua mekanisme kerja tambahan-suatu penurunan kadar glucagon
serum dan suatu efek ekstrapankreatik dengan mengadakan efek potensiasi terhadap
kerja insulin pada jaringan sasaran-tetapi kemaknaan klinisnya masih dipertanyakan.
Gambar2 :mekanismekerja sulfonylurea padapankreas
1. Rilis Insulin dari Sel-sel B pankreas:
Sulfonylurea berikatan dengan suatu reseptor sulfonylurea yang
berdaya afinitas tinggi 140 kDa yang dihubungkan dengan suatu kanal kalium
yang sensitif ATP yang menyebabkan aliran ke dalam sel B. Dengan
mengikat satu silfonylurea berarti menghambat aliran ion kalium ke luar
melalui kanal dan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Sebaliknya,
depolarisasi membuka kanal kalsium yang dibuka oleh voltase dan
menyebabkan aliran kalsium ke dalam dan terjadi rilis insulin. Penyakat kanal
kalsium dapat mencegah kerja sulfonylurea in vitro, tetapi diperlukan 100-
1000 kali konsentrasi penyakat kalsium dari kadar terapeutik biasa untuk
mencapaiefek penyakat seperti yang simaksud tersebut, diduga karana kanal
kalsium sel-sel B tidak serupa dengan kanal kalsium tipe L dari sistem
kardiovaskular. Lebih jauh, diazoxide, suatu pembuka kanal kalsium yang
menyerupai thiazide, menetralisasi efek insulinotropik sulfonylurea (seperti
pula glukosa). Pengamatan tersebut juga memberikan suatu penjelasan
mengenai efek hiperglikemia dari diuretika thiazide.
Selain menyebabkan depolarisasi sel B melalui hambatan kalan
kalium,sulfonylurea mungkin memiliki fungsi selular tambahan, karena
hingga 90% protein yang mengikat sulfonylurea terletak pada membran
intraseluler, termasuk granul sekretori. Telah dibuktikan bahwa sulfonylurea
mengadakan potensiasi eksositosis pada granul yang mengandung insulin
dengan langsung bekerja pada protein pengikat tersebut.
2. Penurunan Konsentrasi Glucagon Serum:
Sekarang telah diterapkan bahwa pemberian sulfonylurea pada
diabetes tipe 2 secara kronis dapat menurunkan kadar glucagon serum.
Keadaan tersebut dapat berperan terhadap efek hipoglikemik dari obat.
Mekanisme efek supresi sulfonylurea pada kadar glucagon tersebut tidak jelas
tetapi diduga melibatkan hambatan tidak langsung yang disebabkan oleh
peningkatan rilis baik pada insulin maupun somatostatin, yang menghambat
sekresi sel A. Dengan tidak adanya sel B, seperti pada pasien dengan diabetes
tipe 1 atau pada tikus dengan diabetes yang diinduksi oleh streptozosin, maka
sulfonylurea sesungguhnya menghasilkan sedikit peningkatan glucagon. Telha
dibuktikan bahwa reseptor sulfonylurea berhubungan dengan suatu kanal ion
kalium dalam membran selA. Diduga ketika sulfonylurea berikatan dengan
reseptor tersebut, kanal ion menutup untuk mendepolarisasi sel, sehingga
menyebabkan aliran masuk kalsium dengan rilis glucagon. Keberadaan sel-sel
B yang bersebelahan dalam pulau-pulau yang utuh mencegah respons
tersebut, karena sulfonylurea merilis sejumlah besar insulin yang hasil
akhirnya merupakan penghambat sel-sel A.
3. Potensiasi Kerja Insulin pada Jaringan Sasaran:
Terdapat bukti bahwa terjadi peningkatan ikatan insulin pada reseptor
jaringan selama pemberian sulfonylurea pada pasien dengan diabetes tipe 2.
Suatu peningkatan jumlah reseptor akan meningkatkan efek yang dicapai pada
suatu konsentrasi agonis yang diberikan; kerja sulfonylurea yang demikian
diharapkan memberikan efek potensiasi pada kadar insulin pasien yang rendah
seperti pula pada pemberian insulin eksogen. Namun, efek in vivo tersebut
tidak terbukti apabila insulin ditambahkan secara in vitropada jaringan sasaran
insulin. Tambahan lagi, pada diabetes tipe 1 tanpa sekresi insulin endogen,
terapi dengan sulfonylurea perlu dibuktikan meningkatkan kontrol glucosa
darah, meningkatkan sensitivitas pemberian insulin ataupun meningkatkan
ikatan reseptor dengan insulin.
Pengamatan tersebut dengan tegas menolak suatu efek potensiasi
langsung sulfonylurea terhadap kerja insulin. Lebih tepatnya, pengamatan
tersebut menimbulkan dugaan terjadinya suatu manfaat sekunder efek
metabolik yang dihasilkan dari penurunan glikemia atau kadar asam lemak
seperti sulfonylurea meningkatkan rilis insulin pada pasien diabetes tipe 2.
E. Ringer Laktat
Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110,
Basa = 28-30 mEq/l. Kemasan : 500, 1000 ml. Cara Kerja Obat : keunggulan
terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan
konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler.
Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan
osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan
kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot.
Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada
dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.
Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi
dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena
menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan
penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.
Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis
laktat.
F. INSULIN
Indikasi dari pemberian insulin yaitu:
DM (Diabetes Melitus) Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi
insulin endogen oleh sel-sel beta kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak
ada
DM Tipe 2 kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila terapi diet
dan OHO yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah
DM Gestasional dan DM pada ibu hamil membutuhkan terapi insulin, apabila
diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah
DM pada penderita yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin
DM disertai gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO
Ketoasidosis diabetik
Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark
miokard akut atau stroke
Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia
hiperosmolar non-ketotik
Efek samping penggunaan insulin :
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau lokal
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
G. Diferensial Diagnosis dan Penatalaksanaan yang Tepat untuk Pasien1. Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis,
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan
Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) adalah 2 komplikasi akut
metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua
keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2,
meskipun KAD lebih sering dijumpai pada DM tipe 1. KAD mungkin
merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1 atau mungkin merupakan akibat
dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi,
trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya (Masharani, 2010).
a. Patofisiologi
KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan
peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektiÞ tas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut
mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan
meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi
akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis
dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.
Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat
nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada
ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol
piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat
karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan
patogenesis utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan
hiperglikemia pada pasien dengan KAD. Selanjutnya, keadaan
hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis osmotik
yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular
filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia.
Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton telah
dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulindan peningkatan
konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase
yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan
memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty
acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk
glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas
yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi
glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara
menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl
Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam
lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-transferase I
(CPT I), enzim untuk transesterifi kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty
acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda
keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke
mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas
fatty acyl CoA dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan
ketogenesis (Umpierrez et al., 2002).
b. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM
untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya,
80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini
penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor
pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut,
penggunaan obat golongan steroid serta menghentikan atau mengurangi
dosis insulin. tidak adanya insulin atau tidak cukupnya insulin yang nyata,
dapat disebabkan oleh :
- Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
- Keadaan sakit atau infeksi
- Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis
dan tidak diobati (Carpenito dan Juall, 2007).
Manifestasi klinis
Beberapa manifestasi klinis dari KAD adalah : hiperglikemi,
poliuri damn polidipsia, penglihatan terasa kabur, kelemahan, sakit
kepala, pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata
mungkin akan menderirta hipotensi ortostatik, penurunan volume
dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi yang
lemah dan cepat, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, pernapasan
Kusmaull (hal ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi
asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton),
mengantuk, koma, glukosuria berat, asidosis metabolik, diuresis
osmotik dengan akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit, hipotensi,
syok (Price dan Sylvia, 2008).
Penatalaksanaan
terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia,
dan ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta
yang ada. Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU.
Fase I/Gawat :
a. Rehidrasi
1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2
jam pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama
18 jam (4-6L/24jam)
2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)
3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi
4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi
batang otak (24 – 48 jam).
5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%
6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)
7) Monitor keseimbangan cairan
b. Insulin
1) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)
2) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic
3) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya
tiap 4 jam sekali
4) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15
mEq/L ³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3
5) Infus K (tidak boleh bolus)
a) Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L
b) Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L
c) Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L
d) Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam
c. Infus Bicarbonat : bila pH 7,1, tidak diberikan
d. Antibiotik dosis tinggi
Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi.
Fase II/Maintenance:
a. Cairan maintenance
1) Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian
2) Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU
b. Kalium : Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak
enak.
c. Saat sakit, makan sesuai pengaturan makan sebelumnya.
d. Minum yang cukup untuk mencegah dehidrasi.
Komplikasi
A. Nefropati Diabetik
Bila penderita mengalami nefropati diabetik, di dalam urinnya
sudah terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan
disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama,
penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal
(Carpenito dan Juall, 2007).
B. Retinopati Diabetik
Gejalanya adalah penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir
dengan kebutaan (Carpenito dan Juall, 2007)
C. Neuropati Diabetik
Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. penderita
terkadang tidak bisa merasa anggota tubuhnya dengan baik.
Dengan demikian luka kecil bisa cepat menjadi besar dan tidak
jarang harus berakhir dengan amputasi (Carpenito dan Juall,
2007)
D. Kelainan Jantung
Terganggunya kadar lemak darah adalah salah satu faktor
timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Selain
itu, terganggunya sistem saraf otonom yang tidak berfungsi,
sewaktu istirahat dapat menyebabkan jantung berdebar cepat.
Selain itu dapat dirasakan pula sesak dan cepat lelah (Carpenito
dan Juall, 2007).
2. Krisis Hipertensi
Krisis hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah diastolik sangat
meningkat sampai 120-130 mmHg, kedaan ini merupakan suatu kedaruratan
medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan
jiwa penderita (Gifford, 1991). \
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan
perioritas pengobatan, sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,
disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau
lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan
akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan
sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu
dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan
dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel
II).
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >
200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple
drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.
2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai
dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke
fase maligna.
3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >
120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,
peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal
ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.
Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi
essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang
sebelumnya mempunyai TD normal.
4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan
keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini
dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi
ensefalopati yaitu :
1. Teori “Over Autoregulation”
Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole
mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya
permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler,
udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.
2. Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila TD mencapai
threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikroinfark dan
oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole.
Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan
tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan
klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan
memerlukan pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk
menghindari keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru. Obat
yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat,
mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah
dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang
tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.
1. Diazoxide
Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan darah
secara kuat dan cepat dengan mempengaruhi secara langsung pada otot
polos arterial, sehingga terjadi penurunan tekanan perifer tanpa
mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal. Tetapi menurut
beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup, isi semenit dan
denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan pada krisis hipertensi
yang disertai aorta diseksi atau kelainan coroner. Efek samping dari
diazoxide adalah : hipoglikemi, hiperurikemi dan dapat menembus
plasenta sehingga mempengaruhi metabolisme janin sehingga tidak
direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada kasus eklamsia.
Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-30 detik,
penurunan tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2 menit, pengaruh
puncak dicapai antara 2-3 menit, dan bertahan 4-12 jam. Untuk penderita
dengan perdaraham otak, dianjurkan pemberian intra vena sebesar 500-
1.000 mg. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit sampai didapat
tekanan diastolik 100-105 mmHg.
2. Sodium Nitropusid
Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan vena. Obat
ini dapat menurunkan isi sekuncup dan isi semenit jantung. Untuk
menghindari hipotensi, pengawasan ketat harus dilakukan pada
pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6 ug/kgBB/menit, dinaikkan pelan-
pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah yang cukup. Penurunan
tekanan darah terjadi dalam beberapa detik dan puncak tercapai dalam 1-
2 menit, hanya berlangsung 3-5 menit. Efek samping : takikardi dan sakit
kepala.
3. Trimetapan (Artonad)
Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara menurunkan isi
sekuncup jantung dan isi semenit jantung. Obat ini baik digunakan pada
kasus krisis hipertensi dengan payah jantung atau diseksi aorta anerisma.
Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa 5% dengan kecepatan 0,25 mg%/menit,
kemudian dinaikkan perlahan sampai dicapai penurunan tekanan yang
dikehendaki, yaitu tekanan diastolik 110 mmHg dalam waktu 1 jam.
Jangka waktu kerja 5-15 menit. Infus diberikan dengan posisi duduk,
untuk menghindari efek hipotensi yang berlebihan.
4. Hidralazin (Apresolin)
Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan menimbulkan
vasodilatasi perifer, tanpa menurunkan aliran darah ke ginjal. Tetapi
hidralazin menaikkan denyut jantung permenit, isi sekuncup dan isi
semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan untuk diberikan pada
toksemia gravidarum dan krisis hipertensi dengan ensefalopati Dosis : 5-
20 mg diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, atau ecara intra vena (1
ampul dari 20 mg/ml dilarutkan dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan
kecepatan 10-60 tetes/menit. Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-
20 menit, berlangsung sampai 1 jam. Apabila selama 30 menit tidak
berhasil, dapat diulang tiap 3-6 jam.
5. Klonidin (Catapres)
Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor alfa
adrenergik pada batang otak, mengakibatkan penurunan discharge
symphatis, sehingga menurunkan tekanan vaskular sistemik, juga
menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin diberikan intravena 1
ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% dalam waktu 10
menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam waktu 5-10 menit.
Pemberian intramuskular, 1-2 ampul dan dulang dalam 3-4 jam, terjadi
penurunan tekanan dalam waktu 10-15 menit. Pemberian IM dinilai lebih
aman dan terkontrol, tetapi kurang dalam kekuatan dan kecepatan
dibanding dengan Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan Trimetapan. Efek
samping yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk yang
hebat. Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan
eklamsia dan aorta anerisma.
6. Kaptopril (Kapoten)
Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan kecepatan
filtrasi glomeruli dengan menhambat pembentukan vaso konstriktor yang
sangat kuat (angiotensin II) dan juga menghambat perusakan vasodilator
yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5 mg, dinaikkan pelan-pelan
sampai dosis optimal. Diuretik dapat memberikan efek potensiasi.
7. Pentolamin dan Penoxi Benzamin
Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik, diberikan
terutama untuk feokromositoma atau karena hambatan MAO (mono
amino oksidase). Dosis : 5-15 mg IV, akan menurunkan tekanan darah
dalam 10-15 menit.
8. Antagonis Kalsium (Nifedipin)
Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil) bekerja
dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel dan
merupakan vaso dilatator kuat yang mempunyai daya aksi jangka
panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam pengobatan darurat
dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan melemaskan otot polos
pembuluh darah, tidak menimbulkan depresi pada miokard dan tidak
mempunyai sifat antiaritmia. Dosis : 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal.
Pemberian sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat, yaitu
beraksi dalam 3 menit setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar
dapat diberikan lewat pipa lambung (Sya’bani dan Sucitro, 1982)
3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi
akut dari diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat,
yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan
yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe II. Hyperglikemia
Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan
insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara
klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan
hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan
neurologis Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma
akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme
yang menyebabkan: kadar gula darahsangat tinggi, meningkatkan dehidrasi
hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II. Koma
Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai
dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis,
disertai penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).Menurut Hudak dan Gallo (edisi
VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi daridiabetes yang ditandai dengan :1.
Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat, 2. Asidosis ringan, 3.
Sering terjadi koma dan kejang lokal.4. Kejadian terutama pada lansia.5. Angka
kematian yang tinggi (Isselbacher, 1995)
Beberapa etiologi hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah
insufisiensi insulin (DM, pankreatitis, pankreatomi), tindakan terapeutik
(dialisis peritonial), obat-obatan (diuretik, steroid, imunosupresan) (Isselbacher,
1995).
Pasien datang dengan hiperglikemi berat, hiperosmolalitas dan
pengurangan volum disertai tanda SSP mulai dari kesadaran berkabut hingga
koma. Aktivitas kejang kadang tipe Jackson dan dapat terlihat hemiplegi sesaat.
Infeksi terutama pneumonia dan sepsis gram negatif umumnya dan
menunjukkan prognosis jelek. Pneumonia sering disebabkan kuman gram
negatif. Pada anamnesa biasanya pada keluarga tentang riwayat diabetesnya,
serta kontrol dan penggunaan insulin yang telah dilakukannya. Apakah ada
riwayat gagal ginjal yang telah dihemodialisa. Sering masuk rumah sakit dan
mendapat perawatan invasif. Riwayat penggunaan obat seperti diuretik,
phenitoin, thiazid, manitol, urea, steroid, obat imunosupresif. Pemeriksaan
dengan melihat keadaan umum pasien, memeriksa kesadarannya, dan
melakukan pemeriksaan darah lengkap serta analisis gas darah (Isselbacher,
1995).
Tindakan paling penting adalah pemberian cairan intravena dalam
jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Defisit cairan rata-rata
adalah 10-11 L. Terapi awal harus berupa alarutan garam isotonik, 2-3 L harus
diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh kekuatan
dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat diberikan
dekstrose 5%. Jika koma hiperosmoler dapat dipulihkan dengan cairan saja,
insulin harus diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Garam
kalium biasanya diperlukan lebih awaldalam terapi HHNK dibandingkan KAD
karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa
asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan
sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotik diperlukan jika infeksi
merupakan penyulit. (Isselbacher, 1995).
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang Bapak, berusia 49 tahun dibawa ke Instalasi Gawat Darurat dengan
keluhan tidak sadar. Diketahui Bapak ini memiliki riwayat diabetes melitus dan
hipertensi, selama ini hanya konsumsi obat glibenclamid. Glibenclamid merupakan
obat antidiabetik kuat yang dapat menurunkan glukosa dalam darah melalui efek
utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel β pankreas. Akan tetapi apabila dosis
obat ini tidak terkontrol dengan baik bisa menyebabkan hipoglikemik. Ada beberapa
kegawatdaruratan medik yang mungkin dialami oleh pasien yang berhubungan
dengan penyakit yang dialaminya yaitu DM dan hipertensi. Komplikasi dari penyakit
– penyakit tersebut apabila tidak ditangani dengan cepat dan baik bisa menimbulkan
kematian (Casqueiro et al, 2012).
Salah satu kegawatan yang mungkin dialami Bapak ini adalah Koma
Hiperglikemik, ditandai dengan penurunan kesadaran yang berhubungan dengan
peningkatan konsentrasi gula dalam darah. Koma Hiperglikemik pada penderita DM
ada dua manifestasi klinis yaitu DKA (Diabetic Ketoasidosis) dan HONK
(Hiperosmolar Non-Ketotik Koma ). Pada pasien ini, kemungkinan yang terjadi
adalah DKA yang ditandai dengan kadar gula (GDS) 432 mg/dl dengan nafas 40
kali/menit tipe kusmaull yang khas pada asidosis metabolik. Terjadinya DKA dapat
dicetuskan oleh berbagai faktor seperti infeksi, stres, trauma, dan pembedahan.
Adanya infeksi pada pasien ini ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi yaitu 39,90C
dan jumlah hitung leukosit yang tinggi mencapai 20.100/ul. Infeksi pada pasien DM
lebih mudah terjadi dibandingkan dengan orang normal. Hal tersebut dikarenakan
kecenderungan penurunan imunitas pada pasien DM. Pada pasien DM terjadi
penurunan respon sel limfosit T, penurunan fungsi netrofil, gangguan imunitas
humoral, depresi sistem antioksidan, penurunan sekresi sitokin inflamasi, apoptosis
PMN, dan gangguan motilitas GIT (Casqueiro et al, 2012).
Infeksi yang terjadi biasanya akan disertai dengan demam. Pada saat demam
terjadi peningkatan metabolisme tubuh yang akan membutuhkan banyak energi untuk
mengeluarkan panas. Namun yang terjadi pada pasien DM karena insulin dalam
darah rendah ataupun karena terjadi resistensi insulin, sehingga pada berbagai
jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan hati tidak dapat memanfaatkan glukosa untuk
sintesis ATP. Akhirnya untuk menghasilkan energi maka terjadi pemecahan lemak
dan asam amino. Saat terjadi infeksi, bakteri maupun kuman akan memproduksi zat
hasil metabolisme yang juga akan menurunkan pH darah (Soewondo, 2009).
Pada kasus ini, pasien sering minum glibenclamid tanpa resep dokter.
Glibenclamid adalah obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea yang mekanisme
kerjanya dengan merangsang sekresi granula sel β pankreas. Waktu paruhnya 10-24
jam sehingga dosis yang diberikan hanya sekali sehari (Katzung, 2010). Sel β tidak
selamanya mensekresi insulin pada pasien DM oleh karena amilin yang disekresi
akan mengendap dalam jaringan dan merusak sel-sel sehingga sel β pankreas tidak
mampu lagi mensekresi hormon insulin. Oleh karena itu, mungkin pada pasien ini
didapatkan hiperglikemi walaupun sudah minum glibenclamid secara teratur
(Soewondo, 2009).
Pada DKA patofisiologi yang mendasari adalah akibat penurunan insulin baik
secara relatif maupun absolut. Penurunan insulin secara absolut mengakibatkan
terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Asam acetoacetat yang merupakan hasil
pemecahan lemak akan menumpuk menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.
Untuk mengatasi asidosis ini, tubuh pasien akan merespon mengeluarkan CO2 dengan
hiperventilasi (pernafasan yang cepat dan dalam) tipe kusmaull. Sedangkan
penimbunan badan keton menyebabkan keseimbangan elektrolit terganggu
(Soewondo, 2009).
Penurunan insulin secara relatif menyebabkan meningkatnya hormon
kontraregulator seperti glukagon, epinefrin dan katekolamin. Peningkatan hormon
kontraregulator menyebabkan peningkatkan pemecahan glukosa dihati sehingga
terjadi hiperglikemi. Peningkatan gula darah juga bisa terjadi akibat glukoneogenesis
yang meningkat, glikogenolisis dipercepat, gangguan penggunaan glukosa oleh
jaringan perifer dan pengaruh hormon anti insulin yang meningkat. Secara klinis
hiperglikemik menyebabkan diuresis osmotik karena ginjal mempunyai ambang
terhadap kadar gula darah (<180 mg/dL). Diuresis akan menyebabkan terjadinya
poliuri kemudian dehidrasi yang berat. Hiperglikemik akan menyebabkan
hiperosmolaritas yang akan menyebabkan penurunan kesadaran jika osmolaritas
plasma < 320 mosm/L (Soewondo, 2009). Diagnosis DKA pada pasien ini perlu
dibedakan dengan HHS. Karena pada HHS, kriteria gula darah plasma > 600mg/dl
dan tidak disertai adanya nafas kusmaull. Sehingga diagnosis pada pasien ini lebih
mengarah ke DKA (Roesma, 2009).
Tekanan darah pasien juga sangat tinggi, yaitu 240/ 140 mmHg. Tekanan
darah yang dimana tekanan diastolik > 120 bisa digolongkan sebagai Krisis
Hipertensi. Pada pasien ini krisis hipertensi digolongkan menjadi krisis hipertensi
emergensi karena adanya resiko terhadap organ-organ vital seperti otak, jantung, dan
ginjal. Krisis hipertensi pada pasien ini bisa berkomplikasi ke organ penting apabila
tidak segera ditangani dengan baik. Peningkatan tekanan darah ke otak dapat
menyebabkan meningginya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan pecahnya
dinding kapiler, oedem di otak, peningkatan tekanan intrakranial sehingga bisa
pasien tidak sadar. Apabila tidak ditangani < 24 jam akan menyebabkan kelainan
yang irreversibel. Pada jantung, dapat menyebabkan pecahnya arteri coronaria hingga
terjadi iskemik dan infark myokard. Sedangkan pada ginjal bisa menyebabkan gagal
ginjal. Pada pasien ini resiko terjadinya komplikasi meningkat karena pasien juga
menderita DM dan hipertensi yang tidak terkontrol (Roesma, 2009).
Pada pemeriksaan Laboratorium selain leukosit dan GDS yang mengalami
peningkatan, trombosit masih dalam batas normal. Sedangkan ureum dan kreatinin
dalam batas normal meskipun pada batas tertinggi dari ambang normal. Apabila ada
peningkatan, maka bisa dikatakan adanya gangguan pada ginjal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan adanya penurunan kalium. Hal ini disebabkan adanya
diuresis osmotik sehingga menimbulkan kehilangan air dan elektrolit.
Penanganan DKA menurut Soewondo (2009) dalam buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, memerlukan pemberian tiga agen berikut:
Cairan: pasien penderita DKA biasanya mengalami deplesi cairan yang hebat
dan adalah penting untuk mengekspansi nilai ECF nya dengan saline untuk
memulihkan sirkulasinya. Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan
garam fisiologis dengan perkiraan hilangnya cairan pada DKA mencapai 100
ml per kg BB, maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua
diberikan 1 liter. Keuntungan rehidrasi pada DKA yaitu untuk memperbaiki
perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila
konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan
mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%). Pada pasien ini cairan
rehidrasi yang diberikan adalah ringer laktat. Cairan ini diindikasikan untuk
mengganti elektrolit yang hilang akibat diuresis osmotik yang dialami pasien.
Insulin: terapi insulin harus segera diberikan sesaat setelah diagnosis DKA
dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi
hormon glukagon sehingga dapat menekan produksi benda keton di
hati,pelepasan asalm lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino
dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan
pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai konsentrasi glukosa normal,
tetapi untuk mengatasi ketonemia. Oleh karena itu jika kadar insulin <200mg
%, insulin tetap diteruskan dan unutk mencegah hipoglikemia diberi cairan
mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih. Insulin intravena paling
umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif hila pompa infusi
tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak
anak kecil.
Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua
pasien penderita DKA mengalami deplesi kalium tubuh yang mungkin terjadi
secara hebat.
Dalam kebanyakan kasus, terapi rehidrasi dan insulin akan mengatasi asidosis
metabolik, Namun demikian, dalam kasus kasus yang paling parah, bila konsentrasi
ion hidrogren lebih tinggi dari 100 nmol/l, atau pH <7,00 maka kalium bikarbonat
dapat diindikasikan (Katzung, 2010).
Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita DKA adalah
melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat. Maka dari itu, pasien perlu
dirawat di HCU (High Care Unit) yang merupakan ruangan yang ditujukan untuk
pemantauan lebih intesif pada pasien yang kondisi respirasi, hemodinamik dan
kesadaran kurang stabil. Tindakan medik pada HCU berupa bentuan hidup dasar,
oksigenasi, penggunaan obat – obat pemeliharaan, nutrisi enteral dan parenteral, dan
evaluasi dari seluruh tindakan medik yang dilakukan.
Pada hari ketiga saat pasien belum sadar penuh, diberi minum oleh
keluarganya yang mengakibatkan pasien tersedak, batuk-batuk, tampak sianosis, akral
dingin dan sesak nafas. Pada pasien yang baru saja sadar dari koma, biasanya otot
otot laring dan pharingnya belum bekerja maksimal, sehingga pemberian makan dan
minum harus bertahap. Pada saat minuman berada dalam mulut, pasien belum siap
untuk menerima,maka pada saat inspirasi, laring terbuka dan minuman masuk
kedalam laring sehingga pasien bisa tersedak dan refleks batuk. Minuman tersebut
dapat menjadi sumbatan jalan nafas pasien dan bisa menimbulkan aspirasi. Karena
ada sumbatan jalan nafas, maka oksigenasi pada jaringan akan berkurang yang
bermanifestasi sebagai sianosis dan akral dingin. Keadaan ini juga termasuk dalam
kondisi kegawatdaruratan sehingga perlu penanganan segera. Penanganan yang harus
segera dilakukan memeriksa airway, breathing, dan circultion. Jalan nafas harus
segera dibebaskan, bisa dengan menggunakan suction untuk mengeluarkan cairan
minuman yang menyumbat jalan nafas. Setelah itu bisa dipasang terapi oksigenasi
dan terapi cairan untuk mengembalikan hemodinamik tubuh yang normal (Katzung,
2010).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pasien dalam skenario mengalami kedaruratan di bidang endokrin.
2. Diagnosis banding kasus pada skenario adalah Ketoasidosis
Diabetikum (KAD), Hiperosmolar Hiperglikemi Non Ketotik
(HHNK), dan krisis hipertensi.
3. Diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan analisa
gas darah, pemeriksaan keton urine atau keton darah, dan CT-Scan
untuk mendiagnosa lebih lanjut pasien dalam skenario.
4. Penatalaksanaan pasien dalam skenario disesuaikan dengan diagnosa
pasien.
5. Komplikasi dan prognosis pasien tergantung dengan kesesuaian
penatalaksaanaan pasien dan cepat tidaknya penaganan, semakin cepat
penanganan yang diberikan maka prognosisnya akan semakin baik.
B. Saran
1. Mahasiswa hendaknya sudah memahami dan menguasai ilmu
kegawatdaruratan medik khususnya yang berkaitan kegawatan
endokrin.
2. Mahasiswa hendaknya tidak terpaku pada satu permasalahan saja.
3. Mahasiswa hendaknya diberi satu buku acuan wajib baca, tapi tetap
disarankan memperoleh informasi dari sumber lain untuk
meninimalisir perbedaan ilmu yang didapat tiap anggota kelompok.
4. Mahasiswa hendaknya lebih membudayakan sikap bertanya untuk
mendapatkan ilmu yang lebih banyak terutama pada bidang
kegawatdaruratan medik.
5. Mahasiswa hendaknya lebih memperdalam dan memahami seven
jump dalam tutorial.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito M, Lynda J. 2007. Buku saku diagnosis keperawatan edisi 10. EGC :
Jakarta
Casqueiro J, Casqueiro Ja, Alves C. 2012. Infections in patients with diabetes
mellitus: A review of pathogenesis. Indian Journal of Endocrinology and
Metabolism; 16,7, Pg. 27-26.
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med
Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.
Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45
Isselbacher, Braunwald. 1995. Harison edisi ke 13 vol 5. EGC: Jakarta
Katzung BG. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.
Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange
current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2010.p.1111-5.
Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Price, Sylvia A. dan Lorraine M.Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Roema, Jose. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Krisis Hipertensi. Jakarta:
Interna Publishing.
Soewondo, Pradana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Ketoasidosis Diabetik.
Jakarta: Interna Publishing.
Sya’bani, Sucitro. 1982. Tatalakasana Penanganan Krisis Hipertensi, Naskah
Simposium Hipertensi.
Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.
Depkes RI. 2010. Petunjuk Teknis High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit.