Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

53
LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 2 KEDARURATAN DIABETIK DAN KRISIS HIPERTENSI PADA PASIEN YANG DISERTAI KOMPLIKASI KELOMPOK II AKHMAD M F G0010011 ANINDITA RATNA G G0010021 ANNISA WARDHANI G0010025 DENDY RAHARJO G0010053 HAJAR KUSUMASTUTI G0010089 IFANEMAGASARO M G0010097 NARULITA ANGGASARI G0010135 RIFNI ARNESWARI G0010161 RIZKY SARASWATI G0010167 TARA KEN WITA G0010187 TUTOR: dr. Bulan Kakanita

description

laporan

Transcript of Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Page 1: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDARURATAN MEDIK SKENARIO 2

KEDARURATAN DIABETIK DAN KRISIS HIPERTENSI PADA PASIEN

YANG DISERTAI KOMPLIKASI

KELOMPOK II

AKHMAD M F G0010011

ANINDITA RATNA G G0010021

ANNISA WARDHANI G0010025

DENDY RAHARJO G0010053

HAJAR KUSUMASTUTI G0010089

IFANEMAGASARO M G0010097

NARULITA ANGGASARI G0010135

RIFNI ARNESWARI G0010161

RIZKY SARASWATI G0010167

TARA KEN WITA G0010187

TUTOR: dr. Bulan Kakanita

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

TAHUN 2013

Page 2: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bapak Kabul 49 tahun diantar keluarga ke IGD RSDM. Anamnesis

didapat kurang lebih 4 jam sebelumnya pasien tiba-tiba tidak sadar, saat

dipanggil dan digoyang badannya, pak Kabul tidak membuka mata. Pak

Kabul penderita DM dan hipertensi tidak pernah kontrol tapi rutin minum

Gibenclamid. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg

suhu 39,9, laju pernapasan 40 kali/menit Kussmaull. Nadi 130 kali/menit

lemah. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb

10,99 gr%, leukosit 20.100/µL, trombosit 173.000/µL, GDS 432 mg/dL,

ureum 40 mg/dl, creatinin 1,5 mg/dl, kalium 3,3 mmol/L. Pada saat di UGD

diberikan infus RL tetesan cepat, pasien selanjutnya di rawat di HCU melati 1

dan diberi insulin.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario?

2. Apa yang menyebabkan pasien tiba-tiba tidak sadar?

3. Adakah hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan tiba-

tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya?

4. Adakah hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid dengan

manifestasi klinis yang terjadi pada pasien?

5. Bagaimanakah epidemiologi penyakit pada kasus?

6. Apakah efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa pernah

kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi, farmakokinetik,

dan farmakodinamik dari glibenclamid?

Page 3: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

7. Apakah interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada

kasus skenario?

8. Apakah indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer

laktat pada kasus?

9. Apakah indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di HCU?

10. Apakah indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari pemberian

insulin?

11. Apakah diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk

pasien tersebut?

C. Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis dalam skenario.

2. Menjelaskan penyebab keadaan pasien yang tiba-tiba tidak sadar.

3. Menjelaskan hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan keadaan

tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya pada pasien.

4. Menjelaskan hubungan antara tidak kontrol dan rutin glibenclamid

dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien.

5. Menjelaskan epidemiologi penyakit pada kasus.

6. Menjelaskan efek samping dari konsumsi obat glibenclamid tanpa

pernah kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi,

farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid.

7. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium

pada kasus skenario.

8. Menjelaskan indikasi serta kontra indikasi dari pemberian infus ringer

laktat pada kasus.

9. Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dilakukannya perawatan di

HCU.

10. Menjelaskan indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari

pemberian insulin.

Page 4: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

11. Menjelaskan diagnosis banding dan penatalaksanaan yang tepat untuk

pasien tersebut.

D. Manfaat Pembelajaran

1. Mampu menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis dalam

skenario.

2. Mampu menjelaskan penyebab keadaan pasien yang tiba-tiba tidak

sadar.

3. Mampu menjelaskan hubungan penyakit DM dan hipertensi dengan

keadaan tiba-tiba tidak sadar selama 4 jam sebelumnya pada pasien.

4. Mampu menjelaskan hubungan antara tidak kontrol dan rutin

glibenclamid dengan manifestasi klinis yang terjadi pada pasien.

5. Mampu menjelaskan epidemiologi penyakit pada kasus.

6. Mampu menjelaskan efek samping dari konsumsi obat glibenclamid

tanpa pernah kontrol pada skenario serta, indikasi, kontraindikasi,

farmakokinetik, dan farmakodinamik dari glibenclamid.

7. Mampu menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan

laboratorium pada kasus skenario.

8. Mampu menjelaskan indikasi serta kontra indikasi dari pemberian

infus ringer laktat pada kasus.

9. Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dilakukannya

perawatan di HCU.

10. Mampu menjelaskan indikasi, kontraindikasi, serta efek samping dari

pemberian insulin.

11. Mampu menjelaskan diagnosis banding dan penatalaksanaan yang

tepat untuk pasien tersebut.

Page 5: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi Penyakit Pada KasusInsidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah

antara 4.6 sampai 8 kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian

SHH <1%. Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan

ditemukan bahwa dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD, 45%

SHH dan 33% merupakan campuran dari kedua keadaan tersebut. Pada penelitian

tersebut ternyata sepertiga dari mereka yang presentasi kliniknya campuran KAD

dan SHH, adalah mereka yang berusia lebih dari 60 tahun (Gaglia et al., 2004).

Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada

sentrum yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan

hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya

lebih buruk pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi. Bila mortalitas

akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas pada kelompok usia

60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan 33% pada

kelompok usia > 79 tahun .Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada

mereka yang berusia < 75 tahun, 19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun,

dan 35% pada mereka yang berusia >84 tahun (Gaglia et al., 2004).

B. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 240/140 mmHg, penderita

mengalami krisis hipertensi, dimana tekanan diastoliknya sudah diatas 120-130

mmHg. Suhu 39,9° C, penderita mengalami demam, hal ini mungkin disebabkan

proses inflamasi di dalam tubuh penderita. Laju pernapasan 40 kali/menit

Kusmaull, hal ini menandakan adanya kompensasi tubuh penderita untuk menarik

napas akibat tertimbunnya asam metabolik berlebihan dalam tubuh, normalnya

laju pernapasan pada orang dewasa adalah 15-20 kali/menit.

Page 6: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Pada pemeriksaan laboratorium, didapatakan penurunan kadar hemoglobin,

yaitu pada pasien sekitar 10 g/dl, kadar hemoglobin normal pria dewasa adalah 13

g/dl. Leukosit pada skenario juga mengalami kenaikan yaitu 20.100 / µL, dimana

kadar normal leukosit adalah 3500-10000 / µL, hal ini mungkin disebabkan

pasien mengalami infeksi. Kadar trombosit pada skenario dalam batas normal,

dimana nilai normal kadar trombosit adalah 150000-390000 / µL.

Kadar gula darah sewaktu pasien termasuk sangat tinggi, karena kadar GDS

normal adalah <200 mg/dl, dalam hal ini pasien mengalami hiperglikemia. Kadar

ureum pasien dalam batas normal, hal ini dikarenakan batas normal ureum

adalah 10-50 mg/dl. Kadar kreatinin pasien termasuk normal cenderung tinggi,

karena kadar kreatinin pasien adalah 1,5 mg/dl, dan kadar normal kreatinin

adalah 0,7-1,5 mg/dl. Pasien mengalami hipokalemia, karena kadar kalium

pasien adalah 3,3 mmol/L, sedangkan kadar kalium normal adalah 3,5-5,0

mmol/L.

C. Indikasi dan Kontraindikasi Perawatan di HCU

High Care Unit adalah unit pelayanan di rumah sakit bagi pasien dengan

kondisi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran kurang stabil yang masih

memerlukan pengobatan, perawatan, dan observasi secara ketat.

Ruang lingkup pemantauan yang harus dilakukan antara lain :

a. Tingkat kesadaran

b. Fungsi pernapasan dan sirkulasi dengan interval waktu minimal 4 jam

atau disesuaikan dengan keadaan pasien

c. Oksigenasi dengan menggunakan oksimeter secara terus-menerus

d. Keseimbangan cairan dengan interval waktu minimal 8 jam atau

disesuaikan dengan keadaan pasien

Page 7: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Tindakan medik dan asuhan keperawatan yang dilakukan :

a. Bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut meliputi Airway

(membebaskan jalan nafas samapi dengan melakukan intubasi

endotrakeal), Breathing (mampu melakukan bantuan nafas), dan

Circulation (mampu melakukan resusitasi cairan, defibrilasi, dan kompresi

jantung luar).

b. Terapi Oksigen

c. Penggunaan obat-obatan untuk pemeliharaan/stabilitas obat inotropik, obat

anti nyeri, obat aritmia jantung, obat-obat yang bersifat vasoaktif, dan lain-

lain

d. Nutrisi enteral atau parenteral

e. Fisioterapi sesuai dengan keadaan pasien

f. Evaluasi seluruh tindakan dan pengobatan yang telah diberikan

Kriteria indikasi masuk dan indikasi keluar :

a. Indikasi Masuk

1) Pasien dengan gagal organ tunggal yang mempunyai risiko tinggi

untuk terjadi komplikasi

2) Pasien yang memerlukan perawatan perioperatif

b. Indikasi Keluar

1) Pasien sudah stabil yang tidak lagi memerlukan pemantauan yang

ketat

2) Pasien yang memburuk sehingga perlu pindah ke ICU

c. Yang tidak perlu masuk HCU

1) Pasien dengan fase terminal suatu penyakit (seperti : kanker stadium

akhir)

2) Pasien/keluarga yang menolak untuk dirawat di HCU (atas dasar

informed consent) (Depkes RI, 2010).

Page 8: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

D. Glibenclamide

Gambar 1 : struktur glibenclamide

Dosis

Terapi glibenclamide selalu dimulai dari dosis rendah 1 kali pemberian per

hari, setelah itu dosis dapat dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat. Dosis

awal 2,5 mg bersama sarapan, maksimal 15 mg per hari.

Bentuk sediaan

Kaptab 5 mg, Tablet 2,5 dan 5 mg

Indikasi

Diabetes Melitus Tipe II ringan-sedang

Kontraindikasi

Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO golongan sulfonilurea lainnya. Porfiria. Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma. Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid dalam  batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien dengan kelainan fungsi hati dan ginjal ringan. Diperkirakan mempunyai efek terhadap agregasi trombosit. Komplikasi diabetes karena kehamilan.

Efek samping

Efek samping glibenclamide umumnya ringan dan frekuensinya rendah,

antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan

saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan hipersekresi asam lambung.

Page 9: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain

sebagainya. Gejala hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia,

agranulositosis dan anemia aplastik dapat terjadi walau jarang sekali. Hipoglikemia

dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan

fungsi hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-

obat antidiabetik oral dengan masa kerja panjang. Golongan sulfonilurea cenderung

meningkatkan berat badan.

Farmakodinamik

Kerja utama sulfonylurea adalah meningkatkan rilis insulin dari pankreas.

Diduga terdapat dua mekanisme kerja tambahan-suatu penurunan kadar glucagon

serum dan suatu efek ekstrapankreatik dengan mengadakan efek potensiasi terhadap

kerja insulin pada jaringan sasaran-tetapi kemaknaan klinisnya masih dipertanyakan.

Gambar2 :mekanismekerja sulfonylurea padapankreas

Page 10: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

1. Rilis Insulin dari Sel-sel B pankreas:

Sulfonylurea berikatan dengan suatu reseptor sulfonylurea yang

berdaya afinitas tinggi 140 kDa yang dihubungkan dengan suatu kanal kalium

yang sensitif ATP yang menyebabkan aliran ke dalam sel B. Dengan

mengikat satu silfonylurea berarti menghambat aliran ion kalium ke luar

melalui kanal dan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Sebaliknya,

depolarisasi membuka kanal kalsium yang dibuka oleh voltase dan

menyebabkan aliran kalsium ke dalam dan terjadi rilis insulin. Penyakat kanal

kalsium dapat mencegah kerja sulfonylurea in vitro, tetapi diperlukan 100-

1000 kali konsentrasi penyakat kalsium dari kadar terapeutik biasa untuk

mencapaiefek penyakat seperti yang simaksud tersebut, diduga karana kanal

kalsium sel-sel B tidak serupa dengan kanal kalsium tipe L dari sistem

kardiovaskular. Lebih jauh, diazoxide, suatu pembuka kanal kalsium yang

menyerupai thiazide, menetralisasi efek insulinotropik sulfonylurea (seperti

pula glukosa). Pengamatan tersebut juga memberikan suatu penjelasan

mengenai efek hiperglikemia dari diuretika thiazide.

Selain menyebabkan depolarisasi sel B melalui hambatan kalan

kalium,sulfonylurea mungkin memiliki fungsi selular tambahan, karena

hingga 90% protein yang mengikat sulfonylurea terletak pada membran

intraseluler, termasuk granul sekretori. Telah dibuktikan bahwa sulfonylurea

mengadakan potensiasi eksositosis pada granul yang mengandung insulin

dengan langsung bekerja pada protein pengikat tersebut.

2. Penurunan Konsentrasi Glucagon Serum:

Sekarang telah diterapkan bahwa pemberian sulfonylurea pada

diabetes tipe 2 secara kronis dapat menurunkan kadar glucagon serum.

Keadaan tersebut dapat berperan terhadap efek hipoglikemik dari obat.

Mekanisme efek supresi sulfonylurea pada kadar glucagon tersebut tidak jelas

tetapi diduga melibatkan hambatan tidak langsung yang disebabkan oleh

peningkatan rilis baik pada insulin maupun somatostatin, yang menghambat

Page 11: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

sekresi sel A. Dengan tidak adanya sel B, seperti pada pasien dengan diabetes

tipe 1 atau pada tikus dengan diabetes yang diinduksi oleh streptozosin, maka

sulfonylurea sesungguhnya menghasilkan sedikit peningkatan glucagon. Telha

dibuktikan bahwa reseptor sulfonylurea berhubungan dengan suatu kanal ion

kalium dalam membran selA. Diduga ketika sulfonylurea berikatan dengan

reseptor tersebut, kanal ion menutup untuk mendepolarisasi sel, sehingga

menyebabkan aliran masuk kalsium dengan rilis glucagon. Keberadaan sel-sel

B yang bersebelahan dalam pulau-pulau yang utuh mencegah respons

tersebut, karena sulfonylurea merilis sejumlah besar insulin yang hasil

akhirnya merupakan penghambat sel-sel A.

3. Potensiasi Kerja Insulin pada Jaringan Sasaran:

Terdapat bukti bahwa terjadi peningkatan ikatan insulin pada reseptor

jaringan selama pemberian sulfonylurea pada pasien dengan diabetes tipe 2.

Suatu peningkatan jumlah reseptor akan meningkatkan efek yang dicapai pada

suatu konsentrasi agonis yang diberikan; kerja sulfonylurea yang demikian

diharapkan memberikan efek potensiasi pada kadar insulin pasien yang rendah

seperti pula pada pemberian insulin eksogen. Namun, efek in vivo tersebut

tidak terbukti apabila insulin ditambahkan secara in vitropada jaringan sasaran

insulin. Tambahan lagi, pada diabetes tipe 1 tanpa sekresi insulin endogen,

terapi dengan sulfonylurea perlu dibuktikan meningkatkan kontrol glucosa

darah, meningkatkan sensitivitas pemberian insulin ataupun meningkatkan

ikatan reseptor dengan insulin.

Pengamatan tersebut dengan tegas menolak suatu efek potensiasi

langsung sulfonylurea terhadap kerja insulin. Lebih tepatnya, pengamatan

tersebut menimbulkan dugaan terjadinya suatu manfaat sekunder efek

metabolik yang dihasilkan dari penurunan glikemia atau kadar asam lemak

seperti sulfonylurea meningkatkan rilis insulin pada pasien diabetes tipe 2.

E. Ringer Laktat

Page 12: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Komposisi (mmol/100ml) : Na = 130-140, K = 4-5, Ca = 2-3, Cl = 109-110,

Basa = 28-30 mEq/l. Kemasan : 500, 1000 ml. Cara Kerja Obat : keunggulan

terpenting dari larutan Ringer Laktat adalah komposisi elektrolit dan

konsentrasinya yang sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraseluler.

Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan

osmotik. Klorida merupakan anion utama di plasma darah. Kalium merupakan

kation terpenting di intraseluler dan berfungsi untuk konduksi saraf dan otot.

Elektrolit-elektrolit ini dibutuhkan untuk menggantikan kehilangan cairan pada

dehidrasi dan syok hipovolemik termasuk syok perdarahan.

Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada keadaan dehidrasi

dan syok hipovolemik. Ringer laktat menjadi kurang disukai karena

menyebabkan hiperkloremia dan asidosis metabolik, karena akan menyebabkan

penumpukan asam laktat yang tinggi akibat metabolisme anaerob.

Kontraindikasi : hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis

laktat.

F. INSULIN

Indikasi dari pemberian insulin yaitu:

DM (Diabetes Melitus) Tipe 1 memerlukan insulin eksogen karena produksi

insulin endogen oleh sel-sel beta kelenjar pankreas tidak ada atau hampir tidak

ada 

DM Tipe 2 kemungkinan juga membutuhkan terapi insulin apabila terapi diet

dan OHO yang diberikan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah

DM Gestasional dan DM pada ibu hamil membutuhkan terapi insulin, apabila

diet saja tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah

DM pada penderita yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan

suplemen tinggi kalori untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,

secara bertahap memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar

Page 13: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika

terjadi peningkatan kebutuhan insulin

DM disertai gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontra indikasi atau alergi terhadap OHO

Ketoasidosis diabetik

Keadaan stres berat, seperti pada infeksi berat, tindakan pembedahan, infark

miokard akut atau stroke

Insulin seringkali diperlukan pada pengobatan sindroma hiperglikemia

hiperosmolar non-ketotik

Efek samping penggunaan insulin :

Hipoglikemia

Lipoatrofi

Lipohipertrofi

Alergi sistemik atau lokal

Resistensi insulin

Edema insulin

Sepsis

G. Diferensial Diagnosis dan Penatalaksanaan yang Tepat untuk Pasien1. Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan

metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis,

terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan

Hiperosmolar Hyperglycemia State (HHS) adalah 2 komplikasi akut

metabolik diabetes mellitus yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua

keadaan tersebut dapat terjadi pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2,

meskipun KAD lebih sering dijumpai pada DM tipe 1. KAD mungkin

merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1 atau mungkin merupakan akibat

Page 14: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe 1 pada keadaan infeksi,

trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya (Masharani, 2010).

a. Patofisiologi

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan

peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis

merupakan akibat dari kekurangan atau inefektiÞ tas insulin yang terjadi

bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon,

katekolamin, kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut

mengakibatkan perubahan produksi dan pengeluaran glukosa dan

meningkatkan lipolisis dan produksi benda keton. Hiperglikemia terjadi

akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal (glukoneogenesis

dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada jaringan perifer.

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat

nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada

ginjal) dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol

piruvat karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat

karboksilase). Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkan

patogenesis utama yang bertanggung jawab terhadap keadaan

hiperglikemia pada pasien dengan KAD. Selanjutnya, keadaan

hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi menyebabkan diuresis osmotik

yang akan mengakibatkan hipovolemia dan penurunan glomerular

filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk hiperglikemia.

Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton telah

dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulindan peningkatan

konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase

yang sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan

memecah trigliserid menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty

acid/FFA). Diketahui bahwa gliserol merupakan substrat penting untuk

Page 15: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

glukoneogenesis pada hepar, sedangkan pengeluaran asam lemak bebas

yang berlebihan diasumsikan sebagai prekursor utama dari ketoasid.

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang

prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi

glukagon menurunkan kadar malonyl coenzyme A (CoA) dengan cara

menghambat konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl

Co A carboxylase, enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam

lemak bebas. Malonyl Co A menghambat camitine palmitoyl-transferase I

(CPT I), enzim untuk transesterifi kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty

acyl camitine, yang mengakibatkan oksidasi asam lemak menjadi benda

keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan asam lemak bebas ke

mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi. Peningkatan aktivitas

fatty acyl CoA dan CPT I pada KAD mengakibatkan peningkatan

ketogenesis (Umpierrez et al., 2002).

b. Etiologi

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM

untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya,

80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini

penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor

pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut,

penggunaan obat golongan steroid serta menghentikan atau mengurangi

dosis insulin. tidak adanya insulin atau tidak cukupnya insulin yang nyata,

dapat disebabkan oleh :

- Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi

- Keadaan sakit atau infeksi

- Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis

dan tidak diobati (Carpenito dan Juall, 2007).

Manifestasi klinis

Page 16: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Beberapa manifestasi klinis dari KAD adalah : hiperglikemi,

poliuri damn polidipsia, penglihatan terasa kabur, kelemahan, sakit

kepala, pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata

mungkin akan menderirta hipotensi ortostatik, penurunan volume

dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi yang

lemah dan cepat, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, pernapasan

Kusmaull (hal ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi

asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton),

mengantuk, koma, glukosuria berat, asidosis metabolik, diuresis

osmotik dengan akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit, hipotensi,

syok (Price dan Sylvia, 2008).

Penatalaksanaan

terapi KAD adalah dengan mengatasi dehidrasi, hiperglikemia,

dan ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta

yang ada. Pengawasan ketat, KU jelek masuk HCU/ICU.

Fase I/Gawat :

a. Rehidrasi

1) Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau RL 2L loading dalam 2

jam pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama

18 jam (4-6L/24jam)

2) Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam)

3) Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi

4) Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi

batang otak (24 – 48 jam).

5) Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5%

6) Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam)

7) Monitor keseimbangan cairan

b. Insulin

Page 17: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

1) Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc)

2) Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam cairan isotonic

3) Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya

tiap 4 jam sekali

4) Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15

mEq/L ³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3

5) Infus K (tidak boleh bolus)

a) Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L

b) Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L

c) Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L

d) Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam

c. Infus Bicarbonat : bila pH 7,1, tidak diberikan

d. Antibiotik dosis tinggi

Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl atau reduksi.

Fase II/Maintenance:

a. Cairan maintenance

1) Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian

2) Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU

b. Kalium : Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak

enak.

c. Saat sakit, makan sesuai pengaturan makan sebelumnya.

d. Minum yang cukup untuk mencegah dehidrasi.

Komplikasi

A. Nefropati Diabetik

Bila penderita mengalami nefropati diabetik, di dalam urinnya

sudah terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan

disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama,

Page 18: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal

(Carpenito dan Juall, 2007).

B. Retinopati Diabetik

Gejalanya adalah penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir

dengan kebutaan (Carpenito dan Juall, 2007)

C. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. penderita

terkadang tidak bisa merasa anggota tubuhnya dengan baik.

Dengan demikian luka kecil bisa cepat menjadi besar dan tidak

jarang harus berakhir dengan amputasi (Carpenito dan Juall,

2007)

D. Kelainan Jantung

Terganggunya kadar lemak darah adalah salah satu faktor

timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Selain

itu, terganggunya sistem saraf otonom yang tidak berfungsi,

sewaktu istirahat dapat menyebabkan jantung berdebar cepat.

Selain itu dapat dirasakan pula sesak dan cepat lelah (Carpenito

dan Juall, 2007).

2. Krisis Hipertensi

Krisis hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah diastolik sangat

meningkat sampai 120-130 mmHg, kedaan ini merupakan suatu kedaruratan

medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan

jiwa penderita (Gifford, 1991). \

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan

perioritas pengobatan, sebagai berikut :

1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,

disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau

Page 19: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

lebih penyakit/kondisi akut (tabel I). Keterlambatan pengobatan

akanmenyebebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan

sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu

dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).

2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa

kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan

dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel

II).

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >

200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple

drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai

dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke

fase maligna.

3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik >

120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,

peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal

ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.

Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi

essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang

sebelumnya mempunyai TD normal.

4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan

keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini

dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi

ensefalopati yaitu :

1. Teori “Over Autoregulation”

Page 20: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Dengan kenaikan TD menyebabkan spasme yang berat pada arteriole

mengurangi aliran darah ke otak (CDF) dan iskemi. Meningginya

permeabilitas kapiler akan menyebabkan pecahnya dinding kapiler,

udema di otak, petekhie, pendarahan dan mikro infark.

2. Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila TD mencapai

threshold tertentu dapat mengakibtakan transudasi, mikroinfark dan

oedema otak, petekhie, hemorhages, fibrinoid dari arteriole.

Tujuan pengobatan pada keadaan darurat hipertensi ialah menurunkan

tekanan darah secepat dan seaman mungkin yang disesuaikan dengan keadaan

klinis penderita. Pengobatan biasanya diberikan secara parenteral dan

memerlukan pemantauan yang ketat terhadap penurunan tekanan darah untuk

menghindari keadaan yang merugikan atau munculnya masalah baru. Obat

yang ideal untuk keadaan ini adalah obat yang mempunyai sifat bekerja cepat,

mempunyai jangka waktu kerja yang pendek, menurunkan tekanan darah

dengan cara yang dapat diperhitungkan sebelumnya, mempunyai efek yang

tidak tergantung kepada sikap tubuh dan efek samping minimal.

1. Diazoxide

Adalah derivat benzotiadiazin, obat ini menurunkan tekanan darah

secara kuat dan cepat dengan mempengaruhi secara langsung pada otot

polos arterial, sehingga terjadi penurunan tekanan perifer tanpa

mengurangi curah jantung atau aliran darah ke ginjal. Tetapi menurut

beberapa penulis, diazoxide juga menaikkan isi sekuncup, isi semenit dan

denyut jantung permenit, sehingga tidak dianjurkan pada krisis hipertensi

yang disertai aorta diseksi atau kelainan coroner. Efek samping dari

diazoxide adalah : hipoglikemi, hiperurikemi dan dapat menembus

plasenta sehingga mempengaruhi metabolisme janin sehingga tidak

direkomendasikan untuk krisis hipertensi pada kasus eklamsia.

Diazoxide diberikan dengan intravena 75-300 mg selama 10-30 detik,

penurunan tekanan darah akan tampak dalam waktu 1-2 menit, pengaruh

Page 21: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

puncak dicapai antara 2-3 menit, dan bertahan 4-12 jam. Untuk penderita

dengan perdaraham otak, dianjurkan pemberian intra vena sebesar 500-

1.000 mg. Pemberian dapat diulang setiap 10-15 menit sampai didapat

tekanan diastolik 100-105 mmHg.

2. Sodium Nitropusid

Sodium nitropusid merupakan vasodilator pada arteri dan vena. Obat

ini dapat menurunkan isi sekuncup dan isi semenit jantung. Untuk

menghindari hipotensi, pengawasan ketat harus dilakukan pada

pemberian obat ini. Dosis : 0,3-0,6 ug/kgBB/menit, dinaikkan pelan-

pelan sampai tercapai penurunan tekanan darah yang cukup. Penurunan

tekanan darah terjadi dalam beberapa detik dan puncak tercapai dalam 1-

2 menit, hanya berlangsung 3-5 menit. Efek samping : takikardi dan sakit

kepala.

3. Trimetapan (Artonad)

Merupakan penghambat ganglion, bekerja dengan cara menurunkan isi

sekuncup jantung dan isi semenit jantung. Obat ini baik digunakan pada

kasus krisis hipertensi dengan payah jantung atau diseksi aorta anerisma.

Dosis : 500 mg/500 cc Dextrosa 5% dengan kecepatan 0,25 mg%/menit,

kemudian dinaikkan perlahan sampai dicapai penurunan tekanan yang

dikehendaki, yaitu tekanan diastolik 110 mmHg dalam waktu 1 jam.

Jangka waktu kerja 5-15 menit. Infus diberikan dengan posisi duduk,

untuk menghindari efek hipotensi yang berlebihan.

4. Hidralazin (Apresolin)

Obat ini bekerja langsung pada otot polos arterial dan menimbulkan

vasodilatasi perifer, tanpa menurunkan aliran darah ke ginjal. Tetapi

hidralazin menaikkan denyut jantung permenit, isi sekuncup dan isi

semenit jantung. Hidralazin direkomendasikan untuk diberikan pada

toksemia gravidarum dan krisis hipertensi dengan ensefalopati Dosis : 5-

20 mg diberikan intramuskular setiap 2-4 jam, atau ecara intra vena (1

Page 22: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

ampul dari 20 mg/ml dilarutkan dalam 300 cc NaCl 0,9%) dengan

kecepatan 10-60 tetes/menit. Penurunan tekanan darah terjadi dalam 10-

20 menit, berlangsung sampai 1 jam. Apabila selama 30 menit tidak

berhasil, dapat diulang tiap 3-6 jam.

5. Klonidin (Catapres)

Merupakan derivat imidazolin, yang merangsang reseptor alfa

adrenergik pada batang otak, mengakibatkan penurunan discharge

symphatis, sehingga menurunkan tekanan vaskular sistemik, juga

menekan pengeluaran renin oleh ginjal. Klonidin diberikan intravena 1

ampul (150 ug) diencerkan dalam 10 ml NaCl 0,9% dalam waktu 10

menit. Efek penurunan tekanan terjadi dalam waktu 5-10 menit.

Pemberian intramuskular, 1-2 ampul dan dulang dalam 3-4 jam, terjadi

penurunan tekanan dalam waktu 10-15 menit. Pemberian IM dinilai lebih

aman dan terkontrol, tetapi kurang dalam kekuatan dan kecepatan

dibanding dengan Diazoxide, Sodium Nitroprusid dan Trimetapan. Efek

samping yang muncul biasanya adalah mulut kering dan kantuk yang

hebat. Obat ini direkomendasikan dipakai untuk krisis hipertensi dengan

eklamsia dan aorta anerisma.

6. Kaptopril (Kapoten)

Obat ini cukup memberikan harapan karena menaikkan kecepatan

filtrasi glomeruli dengan menhambat pembentukan vaso konstriktor yang

sangat kuat (angiotensin II) dan juga menghambat perusakan vasodilator

yang kuat (bradikinin). Dosis awal 12,5 mg, dinaikkan pelan-pelan

sampai dosis optimal. Diuretik dapat memberikan efek potensiasi.

7. Pentolamin dan Penoxi Benzamin

Kedua obat merupakan penghambat alfa adrenergik, diberikan

terutama untuk feokromositoma atau karena hambatan MAO (mono

amino oksidase). Dosis : 5-15 mg IV, akan menurunkan tekanan darah

dalam 10-15 menit.

Page 23: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

8. Antagonis Kalsium (Nifedipin)

Antagonis kalsium (Nifedipin, Diltiazem dan Verapamil) bekerja

dengan menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel dan

merupakan vaso dilatator kuat yang mempunyai daya aksi jangka

panjang. Nifedipin mempunyai harapan dalam pengobatan darurat

dengan cara menurunkan tahanan perifer dengan melemaskan otot polos

pembuluh darah, tidak menimbulkan depresi pada miokard dan tidak

mempunyai sifat antiaritmia. Dosis : 1-2 tablet (10-20mg) dosis tunggal.

Pemberian sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat, yaitu

beraksi dalam 3 menit setelah pemberian. Apabila penderita tidak sadar

dapat diberikan lewat pipa lambung (Sya’bani dan Sucitro, 1982)

3. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi

akut dari diabetes melitus di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat,

yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan

yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita diabetes tipe II. Hyperglikemia

Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan kekurangan

insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara

klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan

hiperosmolar dan dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan

neurologis Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketosis adalah keadaan koma

akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi gangguan metabolisme

yang menyebabkan: kadar gula darahsangat tinggi, meningkatkan dehidrasi

hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II. Koma

Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai

dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis,

disertai penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).Menurut Hudak dan Gallo (edisi

Page 24: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

VI) koma hiperosmolar adalah komplikasi daridiabetes yang ditandai dengan :1.

Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat, 2. Asidosis ringan, 3.

Sering terjadi koma dan kejang lokal.4. Kejadian terutama pada lansia.5. Angka

kematian yang tinggi (Isselbacher, 1995)

Beberapa etiologi hiperglikemia hiperosmolar non ketotik adalah

insufisiensi insulin (DM, pankreatitis, pankreatomi), tindakan terapeutik

(dialisis peritonial), obat-obatan (diuretik, steroid, imunosupresan) (Isselbacher,

1995).

Pasien datang dengan hiperglikemi berat, hiperosmolalitas dan

pengurangan volum disertai tanda SSP mulai dari kesadaran berkabut hingga

koma. Aktivitas kejang kadang tipe Jackson dan dapat terlihat hemiplegi sesaat.

Infeksi terutama pneumonia dan sepsis gram negatif umumnya dan

menunjukkan prognosis jelek. Pneumonia sering disebabkan kuman gram

negatif. Pada anamnesa biasanya pada keluarga tentang riwayat diabetesnya,

serta kontrol dan penggunaan insulin yang telah dilakukannya. Apakah ada

riwayat gagal ginjal yang telah dihemodialisa. Sering masuk rumah sakit dan

mendapat perawatan invasif. Riwayat penggunaan obat seperti diuretik,

phenitoin, thiazid, manitol, urea, steroid, obat imunosupresif. Pemeriksaan

dengan melihat keadaan umum pasien, memeriksa kesadarannya, dan

melakukan pemeriksaan darah lengkap serta analisis gas darah (Isselbacher,

1995).

Tindakan paling penting adalah pemberian cairan intravena dalam

jumlah besar untuk memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Defisit cairan rata-rata

adalah 10-11 L. Terapi awal harus berupa alarutan garam isotonik, 2-3 L harus

diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh kekuatan

dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal, dapat diberikan

dekstrose 5%. Jika koma hiperosmoler dapat dipulihkan dengan cairan saja,

insulin harus diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Garam

kalium biasanya diperlukan lebih awaldalam terapi HHNK dibandingkan KAD

Page 25: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

karena pergeseran K+ plasma intraseluler selama peningkatan terapi tanpa

asidosis. Jika terdapat asidosis laktat, natrium bikarbonat harus diberikan

sampai perfusi jaringan dapat dipulihkan. Antibiotik diperlukan jika infeksi

merupakan penyulit. (Isselbacher, 1995).

Page 26: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

BAB III

PEMBAHASAN

Seorang Bapak, berusia 49 tahun dibawa ke Instalasi Gawat Darurat dengan

keluhan tidak sadar. Diketahui Bapak ini memiliki riwayat diabetes melitus dan

hipertensi, selama ini hanya konsumsi obat glibenclamid. Glibenclamid merupakan

obat antidiabetik kuat yang dapat menurunkan glukosa dalam darah melalui efek

utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel β pankreas. Akan tetapi apabila dosis

obat ini tidak terkontrol dengan baik bisa menyebabkan hipoglikemik. Ada beberapa

kegawatdaruratan medik yang mungkin dialami oleh pasien yang berhubungan

dengan penyakit yang dialaminya yaitu DM dan hipertensi. Komplikasi dari penyakit

– penyakit tersebut apabila tidak ditangani dengan cepat dan baik bisa menimbulkan

kematian (Casqueiro et al, 2012).

Salah satu kegawatan yang mungkin dialami Bapak ini adalah Koma

Hiperglikemik, ditandai dengan penurunan kesadaran yang berhubungan dengan

peningkatan konsentrasi gula dalam darah. Koma Hiperglikemik pada penderita DM

ada dua manifestasi klinis yaitu DKA (Diabetic Ketoasidosis) dan HONK

(Hiperosmolar Non-Ketotik Koma ). Pada pasien ini, kemungkinan yang terjadi

adalah DKA yang ditandai dengan kadar gula (GDS) 432 mg/dl dengan nafas 40

kali/menit tipe kusmaull yang khas pada asidosis metabolik. Terjadinya DKA dapat

dicetuskan oleh berbagai faktor seperti infeksi, stres, trauma, dan pembedahan.

Adanya infeksi pada pasien ini ditandai dengan suhu tubuh yang tinggi yaitu 39,90C

dan jumlah hitung leukosit yang tinggi mencapai 20.100/ul. Infeksi pada pasien DM

lebih mudah terjadi dibandingkan dengan orang normal. Hal tersebut dikarenakan

kecenderungan penurunan imunitas pada pasien DM. Pada pasien DM terjadi

penurunan respon sel limfosit T, penurunan fungsi netrofil, gangguan imunitas

humoral, depresi sistem antioksidan, penurunan sekresi sitokin inflamasi, apoptosis

PMN, dan gangguan motilitas GIT (Casqueiro et al, 2012).

Page 27: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Infeksi yang terjadi biasanya akan disertai dengan demam. Pada saat demam

terjadi peningkatan metabolisme tubuh yang akan membutuhkan banyak energi untuk

mengeluarkan panas. Namun yang terjadi pada pasien DM karena insulin dalam

darah rendah ataupun karena terjadi resistensi insulin, sehingga pada berbagai

jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan hati tidak dapat memanfaatkan glukosa untuk

sintesis ATP. Akhirnya untuk menghasilkan energi maka terjadi pemecahan lemak

dan asam amino. Saat terjadi infeksi, bakteri maupun kuman akan memproduksi zat

hasil metabolisme yang juga akan menurunkan pH darah (Soewondo, 2009).

Pada kasus ini, pasien sering minum glibenclamid tanpa resep dokter.

Glibenclamid adalah obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea yang mekanisme

kerjanya dengan merangsang sekresi granula sel β pankreas. Waktu paruhnya 10-24

jam sehingga dosis yang diberikan hanya sekali sehari (Katzung, 2010). Sel β tidak

selamanya mensekresi insulin pada pasien DM oleh karena amilin yang disekresi

akan mengendap dalam jaringan dan merusak sel-sel sehingga sel β pankreas tidak

mampu lagi mensekresi hormon insulin. Oleh karena itu, mungkin pada pasien ini

didapatkan hiperglikemi walaupun sudah minum glibenclamid secara teratur

(Soewondo, 2009).

Pada DKA patofisiologi yang mendasari adalah akibat penurunan insulin baik

secara relatif maupun absolut. Penurunan insulin secara absolut mengakibatkan

terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Asam acetoacetat yang merupakan hasil

pemecahan lemak akan menumpuk menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.

Untuk mengatasi asidosis ini, tubuh pasien akan merespon mengeluarkan CO2 dengan

hiperventilasi (pernafasan yang cepat dan dalam) tipe kusmaull. Sedangkan

penimbunan badan keton menyebabkan keseimbangan elektrolit terganggu

(Soewondo, 2009).

Penurunan insulin secara relatif menyebabkan meningkatnya hormon

kontraregulator seperti glukagon, epinefrin dan katekolamin. Peningkatan hormon

kontraregulator menyebabkan peningkatkan pemecahan glukosa dihati sehingga

terjadi hiperglikemi. Peningkatan gula darah juga bisa terjadi akibat glukoneogenesis

Page 28: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

yang meningkat, glikogenolisis dipercepat, gangguan penggunaan glukosa oleh

jaringan perifer dan pengaruh hormon anti insulin yang meningkat. Secara klinis

hiperglikemik menyebabkan diuresis osmotik karena ginjal mempunyai ambang

terhadap kadar gula darah (<180 mg/dL). Diuresis akan menyebabkan terjadinya

poliuri kemudian dehidrasi yang berat. Hiperglikemik akan menyebabkan

hiperosmolaritas yang akan menyebabkan penurunan kesadaran jika osmolaritas

plasma < 320 mosm/L (Soewondo, 2009). Diagnosis DKA pada pasien ini perlu

dibedakan dengan HHS. Karena pada HHS, kriteria gula darah plasma > 600mg/dl

dan tidak disertai adanya nafas kusmaull. Sehingga diagnosis pada pasien ini lebih

mengarah ke DKA (Roesma, 2009).

Tekanan darah pasien juga sangat tinggi, yaitu 240/ 140 mmHg. Tekanan

darah yang dimana tekanan diastolik > 120 bisa digolongkan sebagai Krisis

Hipertensi. Pada pasien ini krisis hipertensi digolongkan menjadi krisis hipertensi

emergensi karena adanya resiko terhadap organ-organ vital seperti otak, jantung, dan

ginjal. Krisis hipertensi pada pasien ini bisa berkomplikasi ke organ penting apabila

tidak segera ditangani dengan baik. Peningkatan tekanan darah ke otak dapat

menyebabkan meningginya permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan pecahnya

dinding kapiler, oedem di otak, peningkatan tekanan intrakranial sehingga bisa

pasien tidak sadar. Apabila tidak ditangani < 24 jam akan menyebabkan kelainan

yang irreversibel. Pada jantung, dapat menyebabkan pecahnya arteri coronaria hingga

terjadi iskemik dan infark myokard. Sedangkan pada ginjal bisa menyebabkan gagal

ginjal. Pada pasien ini resiko terjadinya komplikasi meningkat karena pasien juga

menderita DM dan hipertensi yang tidak terkontrol (Roesma, 2009).

Pada pemeriksaan Laboratorium selain leukosit dan GDS yang mengalami

peningkatan, trombosit masih dalam batas normal. Sedangkan ureum dan kreatinin

dalam batas normal meskipun pada batas tertinggi dari ambang normal. Apabila ada

peningkatan, maka bisa dikatakan adanya gangguan pada ginjal. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan adanya penurunan kalium. Hal ini disebabkan adanya

diuresis osmotik sehingga menimbulkan kehilangan air dan elektrolit.

Page 29: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Penanganan DKA menurut Soewondo (2009) dalam buku ajar Ilmu Penyakit

Dalam FKUI, memerlukan pemberian tiga agen berikut:

Cairan: pasien penderita DKA biasanya mengalami deplesi cairan yang hebat

dan adalah penting untuk mengekspansi nilai ECF nya dengan saline untuk

memulihkan sirkulasinya. Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan

garam fisiologis dengan perkiraan hilangnya cairan pada DKA mencapai 100

ml per kg BB, maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua

diberikan 1 liter. Keuntungan rehidrasi pada DKA yaitu untuk memperbaiki

perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila

konsentrasi glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan

mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%). Pada pasien ini cairan

rehidrasi yang diberikan adalah ringer laktat. Cairan ini diindikasikan untuk

mengganti elektrolit yang hilang akibat diuresis osmotik yang dialami pasien.

Insulin: terapi insulin harus segera diberikan sesaat setelah diagnosis DKA

dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi

hormon glukagon sehingga dapat menekan produksi benda keton di

hati,pelepasan asalm lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino

dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan

pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai konsentrasi glukosa normal,

tetapi untuk mengatasi ketonemia. Oleh karena itu jika kadar insulin <200mg

%, insulin tetap diteruskan dan unutk mencegah hipoglikemia diberi cairan

mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih. Insulin intravena paling

umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif hila pompa infusi

tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak

anak kecil.

Potassium. Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua

pasien penderita DKA mengalami deplesi kalium tubuh yang mungkin terjadi

secara hebat.

Page 30: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Dalam kebanyakan kasus, terapi rehidrasi dan insulin akan mengatasi asidosis

metabolik, Namun demikian, dalam kasus kasus yang paling parah, bila konsentrasi

ion hidrogren lebih tinggi dari 100 nmol/l, atau pH <7,00 maka kalium bikarbonat

dapat diindikasikan (Katzung, 2010).

Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita DKA adalah

melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat. Maka dari itu, pasien perlu

dirawat di HCU (High Care Unit) yang merupakan ruangan yang ditujukan untuk

pemantauan lebih intesif pada pasien yang kondisi respirasi, hemodinamik dan

kesadaran kurang stabil. Tindakan medik pada HCU berupa bentuan hidup dasar,

oksigenasi, penggunaan obat – obat pemeliharaan, nutrisi enteral dan parenteral, dan

evaluasi dari seluruh tindakan medik yang dilakukan.

Pada hari ketiga saat pasien belum sadar penuh, diberi minum oleh

keluarganya yang mengakibatkan pasien tersedak, batuk-batuk, tampak sianosis, akral

dingin dan sesak nafas. Pada pasien yang baru saja sadar dari koma, biasanya otot

otot laring dan pharingnya belum bekerja maksimal, sehingga pemberian makan dan

minum harus bertahap. Pada saat minuman berada dalam mulut, pasien belum siap

untuk menerima,maka pada saat inspirasi, laring terbuka dan minuman masuk

kedalam laring sehingga pasien bisa tersedak dan refleks batuk. Minuman tersebut

dapat menjadi sumbatan jalan nafas pasien dan bisa menimbulkan aspirasi. Karena

ada sumbatan jalan nafas, maka oksigenasi pada jaringan akan berkurang yang

bermanifestasi sebagai sianosis dan akral dingin. Keadaan ini juga termasuk dalam

kondisi kegawatdaruratan sehingga perlu penanganan segera. Penanganan yang harus

segera dilakukan memeriksa airway, breathing, dan circultion. Jalan nafas harus

segera dibebaskan, bisa dengan menggunakan suction untuk mengeluarkan cairan

minuman yang menyumbat jalan nafas. Setelah itu bisa dipasang terapi oksigenasi

dan terapi cairan untuk mengembalikan hemodinamik tubuh yang normal (Katzung,

2010).

Page 31: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pasien dalam skenario mengalami kedaruratan di bidang endokrin.

2. Diagnosis banding kasus pada skenario adalah Ketoasidosis

Diabetikum (KAD), Hiperosmolar Hiperglikemi Non Ketotik

(HHNK), dan krisis hipertensi.

3. Diperlukan pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan analisa

gas darah, pemeriksaan keton urine atau keton darah, dan CT-Scan

untuk mendiagnosa lebih lanjut pasien dalam skenario.

4. Penatalaksanaan pasien dalam skenario disesuaikan dengan diagnosa

pasien.

5. Komplikasi dan prognosis pasien tergantung dengan kesesuaian

penatalaksaanaan pasien dan cepat tidaknya penaganan, semakin cepat

penanganan yang diberikan maka prognosisnya akan semakin baik.

B. Saran

1. Mahasiswa hendaknya sudah memahami dan menguasai ilmu

kegawatdaruratan medik khususnya yang berkaitan kegawatan

endokrin.

2. Mahasiswa hendaknya tidak terpaku pada satu permasalahan saja.

3. Mahasiswa hendaknya diberi satu buku acuan wajib baca, tapi tetap

disarankan memperoleh informasi dari sumber lain untuk

meninimalisir perbedaan ilmu yang didapat tiap anggota kelompok.

4. Mahasiswa hendaknya lebih membudayakan sikap bertanya untuk

mendapatkan ilmu yang lebih banyak terutama pada bidang

kegawatdaruratan medik.

Page 32: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

5. Mahasiswa hendaknya lebih memperdalam dan memahami seven

jump dalam tutorial.

Page 33: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito M, Lynda J. 2007. Buku saku diagnosis keperawatan edisi 10. EGC :

Jakarta

Casqueiro J, Casqueiro Ja, Alves C. 2012. Infections in patients with diabetes

mellitus: A review of pathogenesis. Indian Journal of Endocrinology and

Metabolism; 16,7, Pg. 27-26.

Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med

Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.

Gifford R.W, 1991 : Mamagement of Hypertensivi Crisis, JAMA SEA,266; 39-45

Isselbacher, Braunwald. 1995. Harison edisi ke 13 vol 5. EGC: Jakarta

Katzung BG. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.

Masharani U. Diabetic ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange

current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;

2010.p.1111-5.

Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

 Price, Sylvia A. dan Lorraine M.Wilson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Roema, Jose. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Krisis Hipertensi. Jakarta:

Interna Publishing.

Soewondo, Pradana. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Ketoasidosis Diabetik.

Jakarta: Interna Publishing.

Sya’bani, Sucitro. 1982. Tatalakasana Penanganan Krisis Hipertensi, Naskah

Simposium Hipertensi.

Page 34: Laporan Tutorial Sken 2 Kedaruratan Medik

Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic

hyperosmolar syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-35.

Depkes RI. 2010. Petunjuk Teknis High Care Unit (HCU) di Rumah Sakit.