Manajemen Kedaruratan Neurologi
-
Upload
dhinie-noviani -
Category
Documents
-
view
115 -
download
8
description
Transcript of Manajemen Kedaruratan Neurologi
KEDARURATAN NEUROLOGI (NEUROLOGIC EMERGENCIES)
oleh : dr. Budi Wahjono, Sp.SSMF Ilmu Penyakit Saraf RSAL Dr. Mintohardjo Jakarta
I. Pendahuluan.
Pada Ilmu Penyakit Saraf cabang ilmu ini dianggap ilmu yang paling
tenang, adem dan ayem. Anggapan saat itu adalah keadaan kelumpuhan yang
telah terjadi tidak akan cepat berobah. Jadi tidak perlu tergesa-gesa menyusun
diagnosa dan terapi. Kebanggaan para neurolog ialah bisa menyusun diagnosa
berdasar gejala yang ada, suatu diagnosa topikal yang logis, sesuai dengan
fungsi anatomis susunan saraf. Kemajuan tentang sifat sel saraf yang bersumber
pada pengetahuan yang mendasar dari neuron, neurotransmitter, suplai darah
ke otak, peran elektrolit seperti natrium, kalium dan kalsium, peran glukosa dan
lain sebagainya mengobah secara radikal anggapan alon asal kelakon diatas.
Kita sekarang tahu, misalnya bahwa pada stroke enam jam pertama
adalah maha penting. Bila pasien datang dalam kurun waktu yang dikenal
sebagai "therapeutic window" itu dan pengobatan yang sesuai segera dimulai,
maka hasil terapi akan jauh lebih baik daripada bila sesudah lewat waktu ini.
Bilamana waktu yang lewat dapat lebih dipersingkat lagi, misalnya kurang dari 2
jam maka bisa dipertimbangkan terapi yang lebih radikal dengan r-tPA yang
akan memberi hasil yang lebih baik lagi! Keharusan untuk bertindak cepat
dibidang neurologi bukan hanya monopoli pada pengobatan stroke akut.
Beberapa penyakit lain seperti trauma kepala, trauma pada myelum,
kelumpuhan pada sindroma Guillain-Barré, meningitis akut, tumor otak yang
akan menimbulkan herniasi, kejang status pada pasien epilepsi dan sebagainya
juga merupakan kedaruratan di bidang neurologi yang memerlukan pemantauan
dan tindakan segera. Pada dasarnya patofisiologi kerusakan sel neuron seperti
yang secara mendalam diketahui pada kasus stroke tidak jauh berbeda dengan
patofisiologi kerusakan sel neuron yang terjadi pada penyakit otak akut yang lain.
Yang akan dibicarakan secara lebih rinci adalah dasar patofisiologi
daripada kedaruratan tersebut : apa sebenarnya yang terjadi sehingga
perobahan bisa sedemikian dramatisnya. Semoga pemahaman dasar
patofisiologi ini akan membantu anda sekalian untuk mengerti apa yang terjadi
pada kedaruratan neurologik pada umumnya.
Apa saja yang digolongkan Kedaruratan Neurologi ?
Menurut Critchley termasuk bidang ini adalah segala penyakit yang
memerlukan putusan dan tindakan segera. Menurut dia stroke, koma, kenaikan
tekanan intrakranial, kejang status, trauma kepala, gangguan pernafasan pada
penyakit otot, meningitis akut serta intoksikasi merupakan kedaruratan dibidang
neurologi.
II. Patofisiologi dasar pada kedaruratan neurologi.
A. Metabolisme otak dalam keadaan normal dan sakit:
Uraian dibawah ini umumnya memang diambil dari patofisiologi stroke
akut. Akan tetapi perobahan dasar yang terjadi pada kerusakan jaringan saraf
tidak akan berbeda jauh apapun latar belakang penyebabnya.
1. Otak harus menerima suplai darah yang beroksigen serta mengandung
cukup glukosa secara kontinu dan dalam jumlah yang cukup.Organ yang sangat
aktif ini tidak mempunyai cukup persediaan enersi. Otak memerlukan 60
ml/100g/menit oksigen untuk daerah kelabu dan 20 ml/100g/menit untuk daerah
substansia alba. Kebutuhan untuk glukosa bervariasi antara 4.5 sampai 7
mg/100 g/menit. Dari metabolisme ini dalam keadaan normal akan terbentuk
fosfat berenersi tinggi (ATP dan ADP) lewat "citric acid cycle" dan rantai
transport elektron mitokhondria. Dalam keadaan normal hampir tidak terjadi
penguraian glukosa secara anaerobik untuk menyuplai kebutuhan enersi otak.
Otak menuntut sekitar 20 % dari seluruh output jantung : sekitar 800
ml/menit atau min 50 ml/100gr/mnt. Dalam keadaan sehat otak mampu untuk
menyesuaikan suplai dengan kebutuhan: otoregulasià suplai disesuaikan dengan
kebutuhan.
2. Susunan saraf dengan "unit kerja" utama neuron yang ditunjang oleh
jaringan glia merupakan organ yang relatif rapuh karena :
susunan saraf sepenuhnya tergantung pada suplai nutrisi dari luar.
susunan saraf tidak mempunyai kemampuan untuk regenerasi yang
berarti.
dalam beberapa menit sesudah terjadi sesuatu gangguan kerusakan jaringan
sudah dimulai. umumnya dianggap bahwa batas waktu dimana intervensi
terhadap proses kerusakan jaringan masih bermanfaat berkisar antara 4 jam (de
Graba) hingga 6 jam (terbanyak). Baron bahkan mengatakan proses bisa
berlangsung lebih lama dari 6-12 jam.
Dalam keadaan normal homeostasis-ionik dipertahankan dengan ketat:
intrasel kadar ion K relatif tinggi sedangkan kadar ion Na dan Ca ekstrasel yang
tinggi. Untuk mempertahankan gradien yang konstan diperlukan berbagai sistim
pompa ion yang semuanya memerlukan sumber enersi cukup banyak dari ATP.
Pada saat terjadi iskemi/hambatan pada sistem suplai enersi, mekanisme
pompa ini hampir seketika mengalami kegagalan hingga dengan cepat terjadi
akumulasi ion Na dan Cl intrasel disertai dengan ikut masuknya air. Ini terjadi
sejak awal sekali < 1 jam. Masuknya air menyebabkan edema sel yang
dinamakan edema sitotoksik. Ion Calcium juga ikut masuk lewat saluran ion
Calcium:"voltage-mediated" + "receptor mediated"channels. Ion Ca yang
dilepaskan dari mitokhondria dan retikulum endoplasmik pada iskemia ini
menyebabkan kenaikan jumlah ion calcium bebas. Keadaan ini mendorong
terjadinya kerusakan sel yang ireversibel.
Pada iskemia peristiwa penting yang lain adalah terbentuknya banyak
asam laktat lewat metabolisme glukosa secara anaerobik. Asam laktat ini bersifat
merusak. Karena itu makin tinggi kadar glukosa pada tempat gangguan makin
banyak pula pembentukan asam laktat dengan akibat makin besar juga
kerusakan yang terjadi ditempat itu. Akibat iskemi yang lain adalah pelepasan
"neurotransmitter" seperti glutamat dan aspartat ke ruang ekstrasel. Karena
kemampuan tempat itu untuk membersihkan "excitatory neurotransmitters" ini
juga rusak maka zat-zat ini bebas untuk mengikat diri dengan reseptor yang ada,
terutama dengan reseptor NMDA. Aktivasi daripada reseptor NMDA
mengakibatkan terjadinya akumulasi lebih banyak lagi dari ion Na, Ca dan air ke
intrasel, jauh melampaui dari keadaan semula yang sudah terjadi pada awal
kerusakan (akibat kegagalan pompa ion). Kejadian yang dicetuskan oleh aktivasi
NMDA oleh glutamat dan aspartat ini yang pada akhirnya akan menyebabkan
kematian sel.
Kematian sel mungkin juga terjadi karena aktivasi ensim perusak didalam
sel oleh ion Ca. Yang dirusak pada proses ini adalah nucleic acid, protein serta
lipid. Fosfolipid pada membran sel amat peka terhadap proses pengrusakan.
Pengrusakan fosfolipid pada membran sel akan membebaskan asam
arakhidonat. Asam ini akan mengakibatkan pembentukan radikal bebas yang
toksik dan eicosanoids serta leukotrien yang memelopori agregasi platelet,
mendatangkan lekosit serta mengakibatkan vasokonstriksi.
Dengan demikian pelepasan glutamat dan aspartat ditempat asal dimana
kerusakan otak dimulai bisa mengakibatkan terjadinya suatu rangkaian proses
biokimiawi yang memperluas kerusakan neuron dibanding yang disebabkan
karena iskemi asalnya. Rangkaian proses demikian ini yang disebut "glutamic
cascade"
B. Pengertian Penumbra :
Istilah ini khusus dipakai pada stroke akut.
Dari berbagai eksperimen diketahui bahwa pada awalnya terjadi
kerusakan otak dengan berbagai gradasi. Pada inti lokasi dimana segala suplai
yang diperlukan untuk kelangsungan hidup neuron terputus terjadi kerusakan
yang ireversibel dalam kurun waktu sangat singkat : beberapa menit saja.
Jaringan disekelilingnya mempunyai tingkat kerusakan yang berbeda, sebagian
diantaranya masih memungkinkan terjadinya perbaikan bila cepat dimulai
tindakan pertolongan yang tepat. Tindakan pertolongan ini misalnya bisa berupa
dipulihkannya aliran darah ketempat itu sebelum terjadi kerusakan sel,
dipakainya zat/obat untuk memberi proteksi kepada jaringan otak
(neuroprotective agents). Area peri-infark ini yang disebut penumbra. Daerah ini
aliran darah belum sama sekali terhenti. Dengan demikian pompa ion yang
penting itu belum sama sekali rusak hingga masih memungkinkan tertolong.
Biasanya dianggap aliran bertahan sekitar 10-20 ml/100 g/menit. Data terakhir,
antaranya dari Baron et al menganggap walaupun daerah ini sudah mulai
tergenang air intrasel dan gangguan ion sudah mulai timbul namun selama
beberapa jam masih mungkin tertolong.
C. Edema Otak.
Dengan istilah edema otak ini diartikan bahwa telah terjadi akumulasi
cairan didalam parenkim otak hingga volumenya bertambah. Edema yang
berkaitan dengan peristiwa iskemia bisa dibedakan menjadi dua jenis : sitotoksik
dan vasogenik.
1. Edema sitotoksik.
Diatas telah disinggung bahwa edema sitotoksik terjadi secara cepat
setelah iskemia dan disebabkan karena gagalnya metabolisme yang
memerlukan enersi. Edema jenis ini telah bisa terdeteksi 5 menit setelah iskemi
mulai dan didahului oleh peralihan air dari ruang ekstrasel ke ruang intrasel
bersama dengan perpindahan ion Na dan Ca. Edema ini tidak terjadi pada
jaringan otak yang telah mengalami iskemi total dan biasanya lebih menonjol
pada substansia kelabu dibanding pada substansia putih. Dengan terapi yang
cepat dan tepat, misalnya dengan memulihkan perfusi secara dini dan dengan
pemberian obat sitoprotektif jaringan ini masih dapat diselamatkan.
2. Edema vasogenik.
Edema ini timbul beberapa jam setelah iskemi dan disebabkan
bertambahnya permeabilitas vaskuler hingga serum protein dan cairan bisa
masuk. Peningkatan tekanan darah secara langsung menambah pembentukan
edema vasogenik karena memperbesar permeabilitas vaskuler dan dengan
demikian juga menambah akumulasi cairan. Terusiknya blood brain barrier yang
biasanya sangat rapat merupakan suatu faktor yang ikut mendorong terjadinya
edema vasogenik. Timbunan cairan didaerah peri-infark makin mengurangi aliran
darah regional dan makin menambah perluasan area yang rusak. Edema jenis
ini biasanya dijumpai pada tumor otak terlebih yang metastatik dan responsif
terhadap pemberian kortikosteroid parenteral.
III. Kedaruratan Neurologi.
Apa saja yang termasuk kedaruratan neurologi ?
Biasanya yang termasuk kedaruratan neurologi adalah :
1. Koma.
2. Stroke dalam berbagai bentuknya .
3. Kejang status pada epilepsi.
4. Sindroma Guillain-Barré (bila terjadi gagal nafas).
5. Meningitis akut.
6. Trauma myelum.
7. Trauma kepala.
8. Tumor otak pada saat terjadi herniasi otak.
9. Kelumpuhan otot pada hipokalemi.
10.Krisis myastenik.
11.Edema otak / ensefalopati karena berbagai sebab.
12.AIDS .
Makalah ini tidak untuk membicarakan semua keadaan darurat neurologi diatas.
Akan secara sekilas dibicarakan latar belakang patofisiologi pada masing masing
kejadian. Cara penanganan rasional dari beberapa kedaruratan neurologik akan
secara logis tersimpul dari patofisiologi ini.
IV. Monitoring umum pada kedaruratan neurologi.
Tujuan monitoring pada perawatan intensif dibidang neurologi adalah
untuk mendeteksi perobahan yang terjadi dan memulai langkah penyelamatan
sebelum terjadi kerusakan ireversibel. Pada masa lalu observasi pasien
dikerjakan murni secara klinis. Cara neurochek seperti ini pelaksanaannya
kerapkali diserahkan kepada perawat dengan tujuan mendeteksi perobahan
yang telah nampak/manifest secara klinis. Namun pada saat itu perobahan yang
mendasari seringkali telah sulit dipulihkan. Para pakar dalam bidang
"neuroscience intensive care unit (NICU)” kini memperluas jangkauan untuk
mengobservasi pasien dengan maksud untuk menemukan perobahan fisiologis
pada fase dimana perobahan ini masih reversibel.
Cara cara yang lazim dipakai di ruang perawatan neuro intensif yang
modern terdiri dari :
1. Monitor tekanan intrakranial (ICPM).
2. Bedside EEG secara kontinu.
3. Evoked Potential (dimana perlu).
4. Transcranial doppler sonography (TCD).
5. Pengukuran aliran darah otak.
6. Penentuan saturasi Oksigen pada darah vena jugular.
Dengan berbagai alat ini keadaan pasien bisa dimonitor setiap saat dan
tindakan yang sesuai dimulai sebelum terlambat. Diperlukan keahlian khusus
bagi mereka bekerja diruangan perawatan saraf intensif ini. Ahli saraf yang
mengkhususkan diri untuk bekerja ditempat ini disebut juga "neurointensivist".
Para dokter kini telah mampu untuk "memonitor" pasien dengan kedaruratan
neurologik secara lebih baik. Kata monitor berasal dari kata Latin "monere" yang
berarti mengingatkan (to warn). Ibaratnya tujuan monitoring adalah seperti pelaut
pengawas yang bertugas diatas tiang observasi dikapal yang harus
mengingatkan kapten kapal secara dini bila ada sesuatu yang mengancam.
Dengan demikian dapat secara dini memulai langkah penyelamatan ataupun
perlawanan yang sesuai! Dokter ahli saraf masa kini berdasar pada pengetahuan
yang dimiliki harusnya dapat mencegah atau setidaknya membatasi kerusakan
jaringan saraf pada pasien hingga efek buruk yang menimpa pasien tersebut
bisa dikurangi.
1. Monitor tekanan intrakranial.
Tujuan memonitor tekanan intrakranial adalah untuk melindungi jaringan
otak terhadap pengaruh merusak dari kenaikan tekanan. Dengan demikian
kenaikan yang terjadi bisa diketahui sejak dini dan dilakukan langkah untuk
menurunkan tekanan hingga aman setidaknya untuk sementara. Koreksi
kenaikan tekanan belum berarti menghilangkan penyebab penyakit dasarnya.
Hasil terapi belum pasti akan baik bilamana penyebab dasar penyakit tidak
dilenyapkan.
Sebagai contoh: Penanggulangan kenaikan tekanan intrakranial yang
terjadi pada hipotensi + vasospasme tidak akan berhasil sempurna bila kedua
faktor dasar ini tidak dihilangkan.
Sebaliknya bisa terjadi bahwa (karena letaknya), suatu proses belum
meningkatkan tekanan intrakranial secara bermakna walaupun disekitarnya telah
terjadi edema yang mendorong timbulnya herniasi otak. Ini misalnya terjadi pada
tumor/lesi di fossa cerebri media dimana kenaikan tekanan lokal lambat
menimbulkan kenaikan tekanan global.
Indikasi pemakaian monitor tekanan intrakranial: semua proses dimana
tekanan intrakranial mungkin meningkat hingga perlu pengawasan. Penurunan
GCS hingga 7 atau kurang biasanya perlu ICP. Pemantauan ICP juga berguna
bila penilaian klinis sulit misalnya karena diperlukan sedasi yang kuat, blokade
neuromuskuler dan pasien dengan PEEP (positive end expiratory pressure
ventilation).
2. Monitor EEG secara kontinu.
Ada beberapa alasan yang membuktikan monitoring EEG secara kontinu
adalah penting.
a). EEG berkorelasi secara erat dengan metabolisme otak. Dapat
dikatakan bahwa EEG merupakan rangkuman dari semua aktivitas sesaat
di otak, baik yang bersifat eksitatorik maupun yang bersifat inhibitorik
setelah mengalami modifikasi dari subkorteks.
b). EEG peka terhadap hipoksi maupun iskemi yang terjadi dan
mampu mendeteksi perobahan yang timbul pada taraf yang masih
reversibel. Lapisan korteks 3 dan 5 (darimana aktivitas EEG itu berasal),
merupakan bagian yang peka terhadap iskemi maupun hipoksi. Kelainan
EEG akan mulai nampak bila aliran darah keotak menurun hingga < 20-25
ml/100g/menit. Dari percobaan dengan binatang diketahui bahwa aktivitas
sinaps masih berlangsung hingga aliran darah mencapai 17
ml/100g/menit sedangkan kegagalan sistim enersi jaringan otak baru
timbul bila aliran darah menurun lagi hingga 10-13 ml/100g/menit. Dengan
demikian secara teoretis terdapat "therapeutic window" antara aliran
darah 13-16 ml/100g/menit dimana intervensi yang tepat masih akan
berhasil walaupun saat itu sudah nampak kelainan pada rekaman EEG.
c). EEG merupakan alat terbaik untuk mendeteksi adanya aktivitas
epileptik atau "seizure activity". Karena pada banyak penyakit neurologis
(trauma capitis, stroke hemoragik maupun iskemik) kemungkinan
timbulnya kejang cukup besar. Pemantauan dengan EEG merupakan
suatu upaya yang bermanfaat.Dengan demikian juga apa yang dikenal
sebagai nonconvulsive seizures (NCS) dan nonconvulsive status
epilepticus (NCSE) akan dapat terpantau.
Bila dilakukan secara cermat EEG bisa membantu menentukan lokasi lesi.
Walaupun telah ada CT dan alat canggih lainnya namun seringkali untuk pasien
dengan keadaan umum buruk mengangkut pasien ketempat CT kadang2 sulit.
Sebaliknya EEG dengan mudah setiap saat bila perlu bisa dipasang disamping
pasien.
3. Penggunaan Evoked Potential.
Pada kita penggunaan Evoked Potential secara rutin belum umum. Di unit
perawatan neurologik intensif harusnya penggunaan Sensoric Evoked Potential
dan Brain Stem Evoked Potential merupakan sesuatu yang lazim karena relatif
mudah dan tidak mahal. SEP pada n. medianus secara bilateral berguna
meramalkan prognosa pasien koma. Bila pada SEP komponen kortikal N19/P22
tidak ada maka pasien menjurus ke keadaan vegetatif atau bahkan mati.
Menurut Ganes dan Lundar hilangnya SEP secara bilateral mendahului
hilangnya aktivitas EEG dengan 48 jam. Cara ini jauh lebih peka daripada EEG
dalam meramalkan akan datangnya kematian ataupun keadaan vegetatif: pada
koma karena trauma hilangnya SEP secara umum dapat diartikan bahwa pasien
akan mati.
Sebaliknya tetap adanya SEP tidak selalu menjamin pasien akan hidup.
Rothstein mendapatkan dari kelompok ini 27% akhirnya mati walaupun respons
kortikalnya tetap positif.
Sebaliknya masih bisa juga terjadi orang yang SEP-nya negatif namun
tetap hidup atau bahkan sembuh. Ini harus diinterpretasikan bahwa SEP hanya
menilai suatu jaras anatomis yang terbatas saja yang tidak selalu mampu untuk
menilai fungsi seluruh batang otak dan otak. Sebaiknya hasil SEP dikorelasikan
dengan gambaran klinis atau dengan cara pemantauan atau imaging yang lain
juga.
4. Doppler Transkranial.
Vasospasme yang bisa membawa kematian atau cacad merupakan
penyebab memburuknya banyak(40%) pasien dengan perdarahan
subarakhnoidal. Pada vasospasme kecepatan aliran darah meningkat tapi
perfusi regional berkurang karena menurunnya volume aliran darah keotak.
Karena terapi efektif untuk vasospasme ini sekarang tersedia maka
pendeteksian gangguan ini secara dini menjadi lebih penting.
5. Pengukuran aliran darah otak.
Kemampuan untuk mengukur aliran darah otak secara periodik dan di
"bedside" pasien merupakan idaman yang lama dari para
neurointensivist.Dengan cara ini bisa ditentukan adanya iskemia atau hiperemia
otak. Bukan hanya iskemia saja yang bisa berbahaya untuk otak, adanya aliran
darah keotak yang berlebihan juga bisa berbahaya. Misalnya pada keadaan
dimana ICP pasien sudah meningkat kenaikan aliran darah bisa mempercepat
menjadi lebih buruknya pasien. Sayangnya hingga kini belum ada alat yang
canggih yang dapat dipakai disamping tempat tidur pasien.
Manajemen Kedaruratan Neurologi.
I. Manajemen pasien koma.
1. Definisi.
Dengan koma diartikan hilangnya kemampuan pasien untuk memberi
respon yang dapat dimengerti terhadap rangsangan dari luar ataupun terhadap
kebutuhan dari dalam. Dalam prakteknya ini berarti bahwa pasien tidak dapat
dibangunkan, matanya tertutup dan tidak menjawab terhadap rangsangan suara
maupun nyeri.
Koma harus dibedakan dengan keadaan vegetatif tetap : (persisitent
vegetative state/PVS). Pada PVS ini pasien buka mata tapi tidak peduli pada
sekelilingnya. Oleh Critchley dipakai istilah "awake but not aware". Pada PVS ini
korteks tidak berfungsi sedangkan batang otak baik.
Koma juga harus dibedakan dari locked-in syndrome (ventral pontine
syndrome). Pada keadaan ini jaras motorik dari tengah pons dibawah nukleus
N.III terputus oleh infark ataupun sebab lain (trauma,demyelinisasi) sedangkan
formatio retikularis tetap berfungsi. Pasien seperti ini sadar, baik tentang dirinya
sendiri maupun terhadap sekitarnya. Akan tetapi ia seolah-olah terpenjara dalam
dirinya sendiri, tetraplegik dan bisu. Mereka ini bisa berkomunikasi dengan orang
lain lewat kode yang telah disepakati misalnya dengan kedipan mata,
memejamkan kelopak mata dan sebagainya.
Untuk menilai secara lebih mudah dianjurkan untuk memakai apa yang
disebut Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale/GCS) seperti yang terpapar
dibawah ini:
Adult scale Pediatric scale (Teasdale and Jennet,1974) (Simpson and
Reilly,1982)
Eye opening
spontaneously 4
to speech as in adult scale 3
to pain 2
none 1
Best Verbal response
oriented 5 oriented
confused 4 words
inappropiate 3 vocal sounds
incomprehensible 2 cries
none 1 none
Best Motor response
obeys commands 6
localizes pain 5
withdrawal to pain 4
flexes to pain as in adult scale 3
extension to pain 2
none 1
Cara penilaian ini mempunyai keuntungan bahwa skor bisa dikerjakan oleh
semua tenaga medik/dokter yang merawat dengan hasil yang sama atau
"reproducible" hingga memudahkan penilaian.
2. Manajemen koma pada fase akut.
Sebaiknya rumah sakit mempunyai suatu protokol penanganan pasien
koma yang akan memudahkan tenaga medis yang pertama menerima pasien
dan mengecilkan kemungkinan kekeliruan.
Dokter hendaknya melihat sendiri pasien barunya itu hingga bisa melihat
bagaimana keadaannya: pakaiannya, adanya luka, perdarahan, bekas trauma
dan sebagainya. Bila ada persangkaan cedera leher maka perlakuan waktu
memindahkan pasien harus sangat diperhatikan agar tidak membesar dislokasi
yang mungkin terjadi. Pasien yang mengalami kesulitan bernafas mungkin perlu
intubasi untuk mempermudah pernafasannya.
Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale untuk menjamin
diperolehnya hasil yang dapat dibandingkan dan untuk membandingkan hasil
terapi.
Bila diduga terdapat hipoglikemi pengobatannya dimulai segera setelah
pengambilan darah dengan memberi glukosa 40-50% intravena sebanyak yang
perlu untuk mengatasi hipoglikeminya.
Setelah keadaan pasien distabilkan dimulai pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan penyebab koma. Adanya kaku kuduk, lebar pupil yang tidak
sama,pola pernafasan, bau pasien, warna kulit, tanda bekas trauma dan
sebagainya perlu dicatat. Juga perlu memeriksa fundus oculi untuk mengetahui
adanya kemungkinan kenaikan tekanan intrakranial, adanya perdarahan,
kecurigaan adanya tumor dan sebagainya.
Setelah pemeriksaan pendahuluan ini mestinya telah ada persangkaan
diagnosa ataupun diagnosa diferensial.
3. Triage untuk menyelamatkan nyawa :
a) Pastikan tidak terdapat hipoglikemi, kekurangan vitamin B1, kejang
status, keracunan ataupun hipotermi.
Bila ada salah satu keadaan ini obati secara semestinya.
b) Pastikan apakah keadaan yang dihadapi merupakan kasus
neurologi, cardiopulmonary atau metabolik.
c) Bila yang dihadapi adalah neurologik perlu dibedakan :
c.1. disertai kenaikan tekanan intrakranial:
perlu CT secepat mungkin, konsultasi bedah saraf.
c.2. tidak disertai tekanan intrakranial:
mungkin perlu punksi lumbal, EEG, CT bila perlu.
4. Koma Kardiopulmonal dan metabolik:
Tidak dibicarakan karena termasuk bidang lain, segera diserahkan
kepada yang berwenang untuk menangani.
II. Manajemen pasien dengan stroke akut.
Definisi
Menurut kriteria WHO (1995), stroke secara klinis didefinisikan sebagai
gangguan fungsional otak yang terjadi mendadak dengan tanda dan gejala klinis
baik fokal maupun global, berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
menimbulkan kematian, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak.
Termasuk disini adalah perdarahan sub araknoid (PSA), perdarahan intra
serebral (PIS) dan infark serebral. Yang tidak termasuk dalam definisi stroke
menurut WHO adalah gangguan peredaran darah otak sepintas (TIA), tumor
atau stroke sekunder yang disebabkan oleh trauma.
Klasifikasi
Banyak klasifikasi yang telah dibuat untuk memudahkan penggolongan penyakit
pembuluh darah otak. Menurut modifikasi Marshall, stroke dapat diklasifikasikan
menjadi:
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
1. Stroke Iskemik: (a) Transient Ischemic Attack (TIA). (b) Trombosis serebri.
(c) Emboli serebri.
2. Stroke Hemoragik: (a) Perdarahan intra serebral. (b) Perdarahan
subarahnoid.
Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu:
1. Trancient Ischemic Attack (TIA).
2. Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND).
3. Stroke in evolution atau progressing stroke.
4. Completed stroke.
Berdasarkan sistem pembuluh darah:
1. Sistem karotis.
2. Sistem vertebro-basilar.
Faktor Resiko
Yang dimaksud dengan faktor risiko disini adalah faktor-faktor atau keadaan
yang memungkinkan terjadinya stroke. Faktor-faktor tersebut dikelompokkan
menjadi :
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
• Usia
• Jenis kelamin
• Heriditer
• Ras/etnik
B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
• Riwayat stroke
• Hipertensi
• Penyakit jantung
• Diabetes melitus
• Transient ischemic attack
• Hiperkolesterol
• Penggunaan kontrasepsi oral
• Obesitas
• Merokok
• Peningkatan kadar fibrinogen
Patofisiologi
Infark ischemic cerebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
dan arteriosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam
manifestasi klinis dengan cara :
• Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
• Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus dan perdarahan
aterom
• Dapat terbentuk trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
• Menyebabkan aneurisma yaitu lemahnya dinding pembuluh darah atau menjadi
lebih tipis sehingga dapat dengan mudah robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak :
• Keadaan pembuluh darah
• Keadaan darah : viskositas darah meningkat, hematokrit meningkat aliran
darah ke otak jadi lebih lambat, anemia berat oksigenasi otak menurun.
• Tekanan darah sistemik memegang peranan perfusi otak. Otoregulasi otak
yaitu kemampuan intrinsik pembuluh darah otak untuk mengatur agar pembuluh
darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan tekanan perfusi otak.
• Kelainan jantung menyebabkan menurunnya curah jantung dan karena
lepasnya embolus sehingga menimbulkan ischemia otak.
Penatalaksanaan
1. Terapi Umum Fase Akut.
Sasaran pengobatan adalah untuk menyelamatkan neuron yang
menderita jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang menyertai
tidak mengganggu/mengancam fungsi otak. Terapi umum ini terfokus pada
kecukupan perfusi darah ke otak, dengan mengoptimalkan ABC (Airway,
Breathing, Circulation), apabila stabil kemudian nilai GCS/kesadaran pasien, lalu
nilai defisit neurologis. Yang harus dilakukan antara lain :
• Monitoring tekanan Darah
Tekanan darah harus tetap diperhatikan, apabila didapatkan hipertensi berat dan
menetap dengan sistole > 220 mmHg dan diastole > 130 mmHg maka pasien
harus diberikan obat anti hipertensi. Obat anti hipertensi diberikan dengan target
penurunan 15-20% dari tekanan darah awal, hal ini dimaksudkan agar tekanan
perfusi otak tetap adekuat. Obat yang dipakai adalah agen adrenergik seprti
Nifedipin 10 mg sublingual, Clonidine 0,075-0,15 mg IV atau subcutan, Urapidil
12,5 mg IV dan short acting beta blocker (Labetolol 2 mg IV/oral secara berkala.
Apabila pasien hipertensi dengan penyakit jantung ischemik yang mempengaruhi
fungsi ginjal, hipertensi ensefalopati penurunan tekanan darah secara segera
dapat dilakukan perlahan, mungkin diperlukan obat Nitrogliserin 5 mg atau 10 mg
oral dan Sodium Nitroprusside, Hidralazine, Calsium channel blocker.
• Monitoring Fungsi Jantung
Pemeriksaan terhadap fungsi jantung dipantau 24-48 jam pertama dan di
evaluasi dengan gambaran EKG dan dipantau juga enzim jantungnya.
• Monitoring Gula Darah
Kadar gula yang tinggi dalam darah harus segera diturunkan, karena
hiperglkemia dapat memperluas area otak yang rusak. Target penurunan gula
darah sekitar 140 mg%. Apabila kadar gula > 250mg% dikendalikan dengan
pemberian insulin setiap 4 jam (5 unit untuk setiap 50mg% gula darah). Pada
kondisi pasien hipoglikemia maka dapat diberikan 25 g dextrose 50% IV dan
dipantau secara ketat.
• Pertahankan saturasi O2
Diberikan O2 adekuat sebanyak 2-4 liter/menit
2. Terapi Khusus Fase Akut.
Prinsip dasarnya adalah usahakan untuk memulai terapi secepat mungkin
setelah terjadi stroke untuk mengejar batas waktu 4-6 jam yang disebut time-
window tadi. Untuk penggunaan tPA yang mampu menghancurkan sumbatan
(thrombolytic) batas waktu bahkan hanya 1-2 jam saja.
• Anti edema otak
Diberikan Gliserol 10% perinfus, 1 g/kgBB/hari dalam 6 jam
Kortikosteroid : Dexamethason bolus 10-20 mg IV, kemudian diikuti 4-5 mg/6 jam
selama beberapa hari lalu tappering off dan dihetikan saat fase akut berlalu.
• Anti Agregasi Trombosit
Yang umum dipakai adalah Asam asetil salisilat : Aspirin, Aspilet dengan dosis
rendah 80-300 mg/hari
• Anti Koagulansia : Heparin
• Neuroprotektor
4. Terapi Fase Pasca Akut 2,4
Sasaran pengobatan dititikberatkan pada tindakan Rehabilitasi Medis dan
pencegahan terulangnya stroke.
• Rehabilitasi Dini
Rehabilitasi baru mungkin dilakukan bila kondisi pasien sudah stabil. Rehabilitasi
ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
Posisi berbaring
Posisi duduk
• Terapi Preventif
Mencegah terulangnya atau timbulnya serangan mengobati dan menghindari
faktor risiko seperti pengobatan hipertensi, hiperglikemia, tidak merokok,
menghindari stress, obesitas dan harus banyak olah raga.
Perlu diingat bahwa stroke yang disertai nyeri kepala dan muntah sejak
awal hampir selalu berarti stroke jenis perdarahan. Stroke embolik biasanya
disertai sumber emboli dari luar otak, tersering : jantung dan arteria karotis.
III. Manajemen pada kejang status.
1. Definisi:
Status epilepticus adalah terjadinya kejang beruntun / serial dimana
diantara kejang pasien tetap tidak pulih kesadarannya.Keadaan ini, terlebih
kejang status dengan konvulsi tonik-klonik merupakan suatu kedaruratan
neurologik yang memerlukan penanganan segera dan tepat. Mengenai mengapa
seorang pasien menderita kejang status lebih sesuai bila dibicarakan pada kuliah
tentang epilepsi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa sebagian dari mereka mengalami
kejang beruntun ini karena menghentikan obatnya secara mendadak (withdrawal
seizure). Kejang status bisa juga terjadi untuk pertama kali pada tumor
otak,epilepsi, trauma kranial,atau operasi otak.
2. Patofisiologi.
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk
mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang
(Neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi
kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik
tidak efektif.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
Hipertensi, hiperpireksia
Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini
terjadi:
Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
Depresi pernafasan
Disritmia jantung, hipotensi
Hipoglikemia, hiponatremia
Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
3. Tindakan :
Pada mereka dengan riwayat epilepsi : ambil darah untuk penentuan
kadar antikonvulsant yang biasa dipakai.
Beri segera setelah memasang infus diazepam, 2mg/menit hingga total 20
mg. Karena diazepam hanya bekerja singkat sebaiknya bolus ini disusul dengan
phenitoin, intravena 10-15 mg/kg.BB,dengan kecepatan pemberian tidak
melebihi 50 mg/menit.
Bila kejang berlanjut dapat ditambahkan diazepam perinfus dengan dosis
50-100mg, dilarutkan dalam cairan dextrose in saline 500 ml dan diberikan
selama 12 jam.
Sebaiknya dalam hal ini pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif karena
kemungkinan terjadinya gagal nafas.
Bila semua tindakan ini gagal pasien mungkin memerlukan bantuan
perawatan ahli anestesi yang mungkin akan memberikan pentotal atau
midazolam setelah terjamin terbukanya jalan nafas. Mungkin saat itu pasien
sudah memerlukan bantuan ventilasi.
IV. Manajemen pasien dengan sindroma Guillain-Barré.
Penyakit ini merupakan penyakit yang menakutkan karena disertai
kelumpuhan ekstremitas yang bisa meluas hingga melumpuhkan otot
pernafasan. Karena itu bila menghadapi GBS perlu tersedia respirator dan orang
yang bisa mejalankannya.
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS sebagai suatu penyakit
otoimun yang dicetuskan oleh dibuatnya antibodi antimyelin pada seorang yang
sebelumnya mengalami infeksi lain, misalnya radang tenggorokan atau radang
lainnya. Mereka yang pernah mengalami infeksi dengan campylobacter jejuni
biasanya menderita kelumpuhan yang lebih berat. Konon ini disebabkan karena
struktur biokimia dinding bakteri ini mempunyai persamaan dengan struktur
biokimia myelin pada radix sehingga antibodi yang terbentuk terhadap kuman ini
bisa keliru melanda juga myelin.
Pada dasarnya Guillain-Barré adalah "self limited" dan bisa sembuh.
Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas
hingga otot pernafasan. Bila pasien dirawat di rumah sakit yang mempunyai
respirator maka keadaan darurat ini dapat diatasi dan pasien mungkin sekali
akan tetap sembuh.
Patofisiologis GBS, adalah sbb :
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi
pada sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibody
dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin.
Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari
system imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh
manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid
GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi
pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-
reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang
sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral
maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.
Pengobatan yang kini dianggap terbaik adalah pemberian gamma-globulin
atau hyperimmune globulin secara parenteral dalam dosis 0.2-0.4 g/kg/hari untuk
5-7 hari.
Sayangnya obat ini sangat mahal hingga jarang terjangkau untuk
kebanyakan pasien.
Cara pengobatan lain adalah lewat plasmapheresis atau plasma
exchange yang sementara ini belum dapat dikerjakan di Surabaya. Cara ini
sama mahalnya dengan pemberian gama globulin dan lebih rumit.
Kecenderungan para pakar kini lebih kearah penggunaan gamma globulin.
Kortikosteroid pada GBS tidak lagi dianjurkan karena akan makin
memperlambat kesembuhannya.
V. Manajemen pada meningitis akut.
Meningitis merupakan penyakit yang sering dijumpai dan akan
dibicarakan secara rinci pada kesempatan dan pembicara lain.
1. Patogenesis
Meningeal Invasion
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid dimulai dengan
bakkteri meningitis akan melakukan kolonisasi pada epitel nasofaring. Bakteri
akan melakukan invasi ke dalam pembuluh darah dan mampu menghindari
fagositosis oleh neutrofil karena bakteri memiliki kapsul lipopolisakarida
merupakan salah satu faktor yang menentukan patogenitas. Setelah terjadi
invasi kedalam pembuluh darah maka bakteri akan melakukan invasi pada sawar
otak hingga ke ruang subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai
akibat dari proses supurative lokal dalam CNS.
S.Pneumoniae dapat menempel pada arteri serebral menyebabkan terjadi
perubahan pada A.subaraknoid dimana sel endotel edema, jumlahnya
bertambah dan mendesak lumen. Reaksi ini terjadi antara 48-72jam. Jaringan
adventitia pada pembuluh darah dibentuk salah satunya oleh membrane
araknoid yang sedang mengalami proses infeksi sehingga akan terjadi vaskulitis
pembuluh darah dan menyebabkan thrombosis.
Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid.
Jika bakteri meningeal patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid,
maka berarti mekanisme pertahanan tubuh tidak adequat. Pada umumnya
didalam CSS yang normal kadar leukosit dan protein serta imunoglobulin dari
beberapa komplemen adalah negatif atau minimal. Inflamasi meningeal
mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi komplemen. Konsentrasi
komplemen ini memegang peranan penting dalam opsonization dari
encapsulated meningael patogen, suatu proses yang penting untuk terjadinya
phagositosis. Aktifitas opsonik dan bakterisidal tidak didapatkan atau hampir
tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis, sehingga mengakibatkan bakteri
berkembang biak dalam CSS.
Reaksi pertama dari bakteri atau toksinnya adalah hyperemia serta
peningkatan permeabilitas vena dan kapiler meningeal dan diikuti dengan
eksudasi protein dan migrasi neutrofil ke pia dan ruang subarachnoid. Cairan
eksudat subarachnoid meningkat pesat, terutama pada dasar otak; meluas ke
saraf kranial dan tulang belakang serta ruang perivaskular dari korteks. Selama
beberapa hari pertama, neutrofil yang mengandung bakteri fagosit menjadi sel
dominan. Pada akhir dari minggu kedua, tampak sel plasma yang jumlahnya
meningkat. Pada saat yang sama eksudat seluler menjadi terbagi dalam dua
lapisan - di luar, tepat di bawah membran arakhnoid yang terdiri dari fibrin dan
neutrophil, dan yang di dalam, sebagian besar terdiri dari limfosit, makrofag, sel
plasma dan mononuklear.
Induksi inflamasi ruang subarakhnoid.
Walaupun telah terbukti bahwa bakterial kapsul sangat penting bagi bagi
organisme meningael patogen untuk dapat survive didalam ruang subarakhnoid
dan intravaskuler, kapsel lipopolisakarida diketahui bersifat noninflamatory.
Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya dalam pelepasan
inflamatory mediator seperti interleukin-1 dan tumor necrosis faktor kedalam
CSS.
Perubahan dari sawar darah otak.
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari
vasogenic cerebral edema, peningkatan volume CSS, peningkatan tekanan
intracranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSS.
Peningkatan tekanan intracranial dan perubahan dari cerebral blood flow
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi
keadaan edema cerebri, peningkatan volume CSS dan peningkatan dari volume
darah cerebral. Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh
peninggian tekanan intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis
dari arteri, vena dan sinus cerebri.
Pada proses resolusi, sel inflamasi menghilang apabila infeksi cepat
diatasi dan tidak ditemukan gejala sisa pada araknoid, tetapi apabila infeksi
berlangsung selama bebebrapa minggu dapat menyebabkan penebalan jaringan
ikat, kekeruhan dan gambaran opak pada araknoid dan juga
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaaan
penunjang.
1. Manifestasi klinik.
Gejala awal infeksi mengingitis bacterial akut adalah demam, sakit kepala
berat dan kaku kuduk, dapat juga ditemukan kejang dan penurunan
kesadaran (stupor hingga koma).
Gejala serebral fokal merupakan gejala awal, gejala fokal tersebut berupa
paralisis Todd, materi purulen pada fisura silvian. Kejang terutama ditemukan
pada meningitis H. influenzae. Lesi fokal serebral yang persisten dan kejang
biasa ditemukan padda minggu kedua dari infeksi meninges dan dapat juga
disebabkan vaskulitis. Kelainan saraf cranial banyak ditemukan pada infeksi
pneumokokus meningitis sebagai akibat dari invasi eksudat purulen ke saraf
dan kerusakan iskemi pasa saraf yang melewati subaraknoid.
Secara klinis meningitis bakteri pada dewasa ada 3 kelompok :
- Kelompok I : dengan panas, nyeri kepala dan kaku tengkuk mendadak
diikuti kesadaran yang menurun.
- Kelompok II : dengan panas, nyeri kepala dan kaku tengkuk yang
berjalan antara 1 - 7 hari, dengan tanda-tanda infeksi saluran napas
bagian atas; penderita hanya mengantuk tanpa penurunan kesadaran
yang jelas.
- Kelompok III : panas dan nyeri kepala mendadak diikuti keadaan syok
dengan hipotensi dan takikardia oleh karena sepsis.
2. Pemeriksaan klinik.
Pemeriksaan neurologis seringkali dijumpai tanda rangsangan selaput
otak (seperti kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Laseque dan Brudzinki 1,
Brudzinki 2), kelumpuhan saraf kranial (strabismus, gerakan bola mata
terganggu) dan tanda fokal lain. Pada bayi dan anak sering dijumpai kejang
dan kesadaran yang menurun sampai koma.
3. Pemeriksaan penunjang.
Untuk menentukan diagnosis meningitis dilakukan Pungsi lumbal yang
merupakan gold standard dalam menentukan diagnosis meningitis. Namun
setelah pungsi lumbal beberapa orang mengalami sakit kepala, yang dapat
berlangsung beberapa hari. Pada pemeriksaan CSS menunjukkan tekanan
meningkat dengan warna keruh sampai purulen, dan peningkatan jumlah
lekosit (500 - 35000/cmm) yang terutama terdiri sel PMN (stadium awal).
Ditemukan pleocytosis pada cairan spinal. Jumlah leukosit bervariasi dari
250-100,000/mm3 ( jumlah normal 1000-10.000). Pada infeksi pneumokokus
dan meningitis influenza ditemukan banyak bakteri, tetapi sedikit apabila
ditemukan neutrofil pada jam pertama. Apabila jumlah sel melebihi
50,000/mm3 meningkatkan kemungkinan rupture abses otak ke dalam
ventrikel.
Kadar protein meningkat lebih dari 45 mg/dL dan kadar glukosa menurun 40
mg/dL. Pada urine dapat ditemukan albuminuria,casts dan sel darah merah.
Kita agar waspada terhadap kemungkinan adanya penyakit ini pada
setiap pasien yang menderita panas + , nyeri kepala + dan muntah.
Trias ini harus mengingatkan dokter pada kemungkinan terjadinya radang
selaput otak. Sayangnya banyak dokter baru ingat tentang kemungkinan ini bila
pasien sudah jelek keadaannya.
Pada anak kecil rangkaian gejala yang nampak tidak selalu sama dengan
pada orang dewasa. Perubahan perangai, letargi, anorexia, muntah atau bahkan
mencret bisa merupakan gejala yang menyertai meningitis pada bayi.
Sebaliknya pada orang tua, terlebih yang mengidap diabetes, bila
terserang meningitis akan lain lagi simtomatologinya.
Mereka ini seringkali mulai sakit secara lebih lambat,yang menonjol hanya
letargi/ngantuknya pasien, panas badan seringkali tidak tinggi.
Sebelum punksi lumbal perlu dipastikan bahwa tidak terdapat tanda tanda
kenaikan tekanan intrakranial.
VI. Manajemen pada trauma myelum.
Karena keterbatasan waktu trauma myelum tidak dibicarakan secara rinci
pada kuliah ini. Namun perlu diingat bahwa dengan makin banyak dan padatnya
lalulintas jumlah kecelakaan yang bisa mengakibatkan trauma pada myelum jadi
lebih banyak dan beragam. Cedera leher bisa terjadi pada kecelakaan sepeda
motor dimana pasien terlempar dan jatuh dengan kepala tertekuk hingga terjadi
dislokasi atau fraktur pada vertebrae cervikalis.
Dalam garis besarnya yang terjadi adalah sebagai berikut
Pada saat terjadi cedera leher tulang vertebrae cervikalis mengalami
trauma yang mungkin menyebabkan kompresi ataupun fraktur tulang tersebut.
Pada saat itu juga mungkin telah terjadi kerusakan pada beberapa bagian dari
sel saraf disekitar tempat itu. Sel sekitar tempat yang mengalami trauma
sebagian akan rusak karena tertekan oleb edema yang timbul. Bila terjadi
perdarahan maka penekanan kestruktur disekitarnya akan makin bertambah.
Sel yang mati membocorkan kalsium. Karena mekanisme pengaturan
keseimbangan kalsium kacau akan terjadi penyrobotan masuk ion kalsium lewat
dinding sel. Akibatnya terjadi kerusakan sel yang makin banyak. Sel yang rusak
mengeluarkan radikal bebas. Zat ini ikut memperberat kerusakan karena
merebut oksigen dari sel yang sehat dan merusak sel itu. Kedatangan sel
phagosit yang berfungsi untuk membersihkan daerah bencana dari debris
mungkin juga berakibat sebaliknya bila sel phagosit ini memangsai juga sel yang
masih belum sepenuhnya mati. Dalam beberapa hari atau minggu akan
terbentuk daerah yang rusak disekitar tempat bencana. Penerusan impuls dari
otak/susunan saraf pusat ke daerah inervasi dengan demikian jadi terputus
dengan akibat lumpuhnya pasien.
Dengan demikian secara garis besarnya urutan kejadian mirip dengan apa yang
terjadi pada otak yang mengalami stroke.
Pertolongan yang dapat diberikan adalah dengan :
1. Mengusahakan agar tidak terjadi dislokasi lebih besar dari vertebrae yang
cedera.
2. Mengusahakan pengangkutan pasien secepatnya kepusat yang
mempunyai kemampuan untuk menangani kasus ini dengan lebih dahulu
memfiksir vertebrae yang diduga mengalami cedera.
3. Methylprednisolon dalam dosis tinggi dianggap berguna untuk melindungi
sel saraf dari kerusakan yang berlebihan bila diberi dalam kurun waktu
sebelum 6 jam.. Dosis yang diberi 500-1000 mg/hari, intravena.
Biasanya pasien ini akan dirawat oleh dokter ahli Bedah Saraf atau Bedah
Ortopedi bila ditempat itu ada ahlinya. Peran dokter umum adalah
mengusahakan pertolongan pertama yang optimal, sesuai teori kedokteran masa
kini dengan tujuan agar pasien mencapai kesembuhan maksimal.
VII. Manajemen pasien tumor otak dengan herniasi.
Herniasi otak adalah berpindahnya jaringan otak dari satu kompartimen
otak kelainnya. Tumor otak yang tumbuh makin lama makin besar pada suatu
saat akan mengadakan herniasi. Untuk tumor infratentorial proses terjadinya
herniasi bahkan lebih cepat. Tentang herniasi ini secara rinci akan dibicarakan
pada waktu kuliah tentang tumor intrakranial.
Secara singkat : tergantung letaknya bisa terjadi hernia lewat hiatus
tentorii yang dikenal juga sebagai uncal herniation atau hernia lewat foramen
magnum untuk tumor di fossa posterior.
a) Uncal atau tentorial herniation.
Yang mengadakan herniasi adalah sebagian dari lobus temporalis ( uncus
) yang terdorong lewat lobang atau hiatus pada tentorium. Dengan demikian
terjadi pendesakan pada struktur otak yang telah lebih dulu ada disitu yaitu
mesensefalon dengan jaras piramidal serta nervus III.
Gejala yang nampak pada pasien adalah gejala terganggunya nervus III +
gejala piramidal. Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran dan tanda
kenaikan tekanan intrakranial yang lain.
Tindakan :
1. Berikan larutan hiperosmolar seperti mannitol, 20%,dosis untuk dewasa
biasanya 200 ml, diberi secara cepat dalam tempo 20-30 menit.
2. Berikan dexamethason, 5 mg intravena, 4x sehari.
3. Konsulkan ke ahli Bedah Saraf bila mungkin.
b) Herniasi lewat foramen magnum.
Biasanya terjadi karena tumor di fossa posterior. Tonsilla cerebelli
merosot kebawah lewat foramen magnum hingga terjadi penekanan pada
medulla oblongata.
Gejala yang timbul adalah terjadinya decerebrate rigidity ditambah dengan
gangguan pernafasan. Prognosa biasanya buruk walaupun diberi terapi untuk
mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat. Secara teoretis masih ada
beberapa jenis herniasi otak yang lain namun relatif lebih jarang dan kiranya
tidak penting untuk seorang dokter umum.
VIII. Manajemen pasien dengan kelumpuhan periodik.
Definisi: kelumpuhan otot dengan arefleksia yang biasanya disertai
dengan perobahan kadar ion Kalium:biasanya hipokalemik tapi bisa juga
hiperkalemik. Keadaan ini biasanya reversibel akan tetapi bila tidak cepat
diketahui bisa juga menyebabkan gangguan pada otot jantung.
1. Kelumpuhan hipokalemik.
Jenis ini biasanya terjadi pada usia sekitar 20 tahun,sering terdapat
riwayat makanan karbohidrat dalam jumlah yang banyak dan aktivitas yang
kurang. Kepastian diagnosa dengan ditemukannya kadar K-ion dalam darah < 3
meq/l. Diagnosa juga dapat dibuat dengan test provokasi pemberian glukosa 2
gram/kgbb + 10-20 IU insulin (saat tes kadar K-ion normal)
Diagnosa diferensial pasien hipokalemi
1. Potassium-losing nephritis.
2. Diabetic ketosis.
3. Potassium depletion as from :
chronic diarrhoea
excessive sweating
ammonium therapy
liquorice toxicity
amphotericin B
barium salt ingestion
haemodialysis
renal tubular acidosis
ureterosigmoidostomy
primary aldosteronism
Bartter’s syndrome = secondary aldosteronism.
2. Kelumpuhan hiperkalemik.
Disebut juga adynamia episodica hereditaria atau myotonicperiodic
paralysis. Usia biasanya lebih muda. Otot yang terkena tidak selalu sama.
Myotonia bisa mengenai misalnya otot peri-okuler atau otot bulbair hingga
menyulitkan proses menelan. Kadar kalium darah biasanya > 4-8 meq/l.
Pemberian calcium glukonas 10% sebanyak 10 ml biasanya menolong. Cara lain
yang dapat dipakai: makan banyak karbohidrat, pemberian diuretik yang juga
membuang ion K atau inhalasi salbutamol.
Dasar timbulnya kelumpuhan adalah sama : terganggunya permeabilitas
ion K dan Na dengan akibat peningkatan kesulitan untuk mempertahankan
keseimbangan osmotic dan elektrik pada membransel. Akibatnya terjadi keadaan
dimana "resting potential" sangat rendah sehingga pompa sodium terganggu
hingga otot menjadi lumpuh.
IX. Krisis myastenik.
Uraian rinci tentang penyakit otot ini tidak dibicarakan.
Letak gangguan adalah postsinaptik : terjadi kekurangan pada jumlah
end-plate receptor acetylcholin yang mampu berfungsi.
Pada pasien dengan myastenia gravis yang sedang dalam pengobatan
bisa terjadi keadaan dimana kelumpuhan mendadak memburuk. Keadaan ini
biasanya disebut krisis myastenik. Penyebabnya bisa karena dosis obat yang
kurang atau juga dosis obat yang terlampau tinggi.
Bila kesimpulan dokter salah : dosis sudah tinggi tapi disangka kurang
dan diberi tambahan obat antikholinesterase seperti Mestinon maka kelemahan
akan bertambah hingga bisa membahayakan nyawa pasien. Dulu dianjurkan
pemberian edrophonium hydrochloride secara intravena (tensilon test).
Obat ini hanya bekerja 1 menit dan karena itu dianggap tidak berbahaya.
Obat ini di Surabaya tidak ada.
Pendapat sekarang : sebaiknya pasien dengan krisis miastenik dirawat di
ICU, semua obat distop, kalau perlu selama krisis pernafasan dibantu dengan
ventilator. Biasanya bila kelebihan obat dalam beberapa jam gejala kelemahan
otot akan berkurang. Bila belum berkurang setelah beberapa jam berarti dosis
obat terlampau rendah : perlu diberi Prostigmin atau Mestinon.
Bacaan :
1. Critchley E.M.R.:Neurological emergencies.Saunders, 1988.
2. Hopkins A.: Clinical Neurology, Oxford Univ. press, 1993.
3. Tunkel AR, Scheld WM: Acute bacterial meningitis.Lancet 1995, 346,
1675-80.
4. Chiles III.BW., Cooper PR. Current Concepts: Acute Spinal Injury. New
Engl.J.of Med. 1996, 334, 514-520.
5. Shorvon S. Status Epilepticus. Its clinical features abd treatment in
children and adults. Cambridge University Press, 1994.