laporan tugas hepatitis
-
Upload
erse-kusuma-endraswari -
Category
Documents
-
view
50 -
download
3
description
Transcript of laporan tugas hepatitis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepatitis B adalah suatu infeksi pada hati yang disebabkan oleh virus hepatitis B
(HBV) dan merupakan satu diantara penyakit infeksi yang paling sering ditemukan di
masyarakat. Sebanyak 2 milyar orang di seluruh dunia telah terinfeksi oleh virus ini, 350
juta diantaranya adalah penderita hepatitis B kronik yang beresiko mengalami kematian
akibat sirosis dan kanker hati. Selain itu, hepatitis B juga merupakan penyebab kematian
peringkat ke sepuluh di dunia, yang membunuh hingga 1,2 juta orang per tahun.
Prevalensi yang tinggi ini tentu saja menjadikan hepatitis B sebagai perhatian khusus
badan kesehatan dunia.
Sebuah vaksin yang mampu mencegah infeksi hepatitis B telah diberikan sejak tahun
1982. Vaksin ini dapat bekerja efektif dalam pencegahan infeksi hepatitis B dan
konsekuensi kroniknya, ini merupakan vaksin pertama yang melawan terjadinya kanker
pada manusia.
Imunisasi Hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir. Pemberian imunisasi
Hepatitis B pada bayi baru lahir harus diperhatikan dalam tempat penyuntikan agar bayi
terasa nyaman dan menekan efek samping dari penyuntikan vaksin hepatitis B serta
efektivitas dari vaksin hepatitis B.
Oleh karena itu seorang perawat harus mengetahui dan memahami tempat injeksi
vaksin hepatitis B yang efektif pada bayi, sehingga perawat dapat menerapkannya secara
langsung dalam tindakan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa pemberian vaksin hepatitis B pada bayi itu penting?
2. Dimana lokasi injeksi vaksin hepatitis B yang tepat untuk bayi?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pentingnya pemberian vaksin hepatitis B pada bayi.
3. Mengetahui lokasi injeksi vaksin hepatitis B yang tepat untuk bayi yang sesuai
dengan evidence based practice.
1.4 Manfaat Penulisan
1
1. Perawat mengetahui dan mampu mempraktekan intervensi injeksi yang tepat terkait
dengan pemberian vaksin hepatitis B yang berdasarkan evidence based practice.
2. Mahasiswa mengetahui proses terjadinya infeksi hepatitis B dan cara pencegahannya.
3. Masyarakat memahami pentingnya pemberian vaksin hepatitis B sejak dini.
1.5 Metode
Laporan ini dibuat dan disusun dengan metode pencarian literatur jurnal dari
www. sciencedirect.com , www.search.ebsco.com, www.pubmed.com, buku, maupun data-
data yang terkait dengan topik yang ada dalam pembahasan jurnal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etiologi dan Epidemiologi Hepatitis B
Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus DNA bercangkang ganda yang memiliki
ukuran 42 nm, virus ini memiliki lapisan permukaan dan bagian inti (Gambar 2-1).
Petanda serologic pertama yang dipakai untuk identifikasi HBV adalah antigen
permukaan (HBsAg, dahulu diesbut “antigen Australia” [HAA]), yang positif kira-kira 2
minggu sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa konvalesen
dini tetapi dapat pula bertahan selama 4 sampai 6 bulan.pada sekitar 1% sampai 2%
penderita hepatits kronik, HBsAg menetap selama lebih dari 6 bulan. Penderita-penderita
seperti ini disebut sebagai “pembawa” HBV (Dienstag, 1990). Adanya HBsAg
menandakan penderita dapat menularkan HBV ke orang lain dan menginfeksi mereka.
Gambar 2-1. Komponen-komponen virus hepatitis B. Diagram menunjukkan bahwa HBV memiliki
cincin DNA sirkular yang tak lengkap dalam partikel pusat (HBcAg) yang dikelilingi oleh suatu lapisan
protein permukaan (HBsAg). Virus ini juga mengandung antigen “e” (HBeAg).
Petanda yang muncul berikutnya biasanya merupakan antibody terhadap antigen
“inti”, anti-HBc. Antigen “inti” sendiri, HBcAg, tidak terdeteksi secara rutin di dalam
serum penderita infeksi HBV, karena terletak di dalam kulit luar HBsAg. Antibodi anti-
HBc dapat terdeteksi segera setelah gambaran klinis hepatitis muncul dan menetap untuk
seterusnya; antibodi ini merupakan petanda kekebalan yang paling jelas didapat dari
3
infeksi HBV (bukan dari vaksinasi). Antibodi anti-HBc selanjutnya dapat dipilah lagi
menjadi fragmen IgM dan IgG. Antibodi IgM anti-HBc terlihat selama terjadi infeksi dan
bertahan lebih lama dari 6 bulan. Antibodi ini merupakan petanda yang dapat dipercaya
untuk mendeteksi infeksi baru atau infeksi yang telah lewat. Adanya perdominasi
antibodi IgG anti-HBc menunjukkan kesembuhan dari HBv di masa lampau (6 bulan)
atau infeksi HBV kronik.
Antibodi yang muncul berikutnya adalah antibodi terhadap antigen permukaan, anti
HBs. Antibodi anti-HBs timbul setelah infeksi membaik dan berguna untuk memberikan
kekebalan jangka panjang. Setelah vaksinasi (yang hanya memberikan kekebalan
terhadap antigen permukaan), kekebalan dinilai dengan mengukurkadar antibodi anti-
HBs. Cara terbaik untuk menentukan kekebalan yang dihasilkan oleh infeksi spontan
adalah dengan mengukur kadar antibodi inti HBc.
Antigen “e”, HBeAg, merupakan bagian HBV yang larut. Antigen ini timbul
bersamaan atau segera setelah HBsAg dan menghilang beberapa minggu sebelum HBsAg
menghilang. HBeAg selalu ditemukan pada semua infeksi akut,menunjukkan adanya
replikasi virus dan bahwa penderita dalam keadaan sangat menular. Jika menetap
mungkin menunjukkan infeksi replikatif yang kronik. Antibodi terhadap HBeAg (anti-
HBe) muncul pada hampir semua infeksi HBV dan berkaitan dengan hilangnya virus-
virus yang bereplikasi dan berkurangnya daya tular.
Akhirnya, pembawa HBV merupakan individu yang pemeriksaan HbsAgnya positif
pada sekurang-kurangnya 2 kali pemeriksaan yang berjarak 6 bulan, atau individu dengan
hasil tes terhadap HbsAgnya positif tetapi IgM anti-Hbcnya negatif dari satu spesimen
tunggal. (Centers For Disease Control, 1990). Derajat kemampuan menular berhubungan
paling erat dengan HbeAg positif.
Infeksi HBV merupakan penyebab utama dari hepatitis akut dan kronik, sirosis, dan
kanker hati di seluruh dunia. Infeksi ini endemis di daerah Timur Jauh, banyak pulau di
Lautan Pasifik, banyak negara di Afrika, sebagian dari Timur Tengah, dan di Lembah
Amazon. Tidak terlalu endemis di Amerika Serikat, di mana infeksi terutama timbul di
usia dewasa. Centers for Disease Control memperkirakan bahwa 300.000 orang, terutama
dewasa muda, terinfeksi oleh HBV setiap tahunnya (Centers for Disease Control, 1990).
Hanya sekitar 25% dari mereka mengalami ikterus, 10.000 kasus memerlukan perawatan
di rumah sakit, dan sekitar 250 orang meninggal karena penyakit yang fulminan.
Perkiraan angka pembawa di Amerika Serikat adalah sekitar 1 juta orang. Sekitar 25%
dari pembawa ini berkembang menjadi hepatitis kronik aktif, yang sering kali berlanjut
4
menjadi sirosis. Selain itu, risiko untuk berkembangnya kanker primer di hati juga
meningkat secara bermakna pada pembawa. Setiap tahunnya, diperkirakan ada sekitar
4.000 orang meninggal karena sirosis akibat HBV, dan lebih dari 800 orang meninggal
karena kanker hati yang berkaitan dengan HBV.
Cara utama penularan HBV adalah melalui parenteral dan menembus membran
mukosa, terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata adalah sekitar 120
hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh dari orang yang terinfeksi
—darah, semen, saliva, air mata, asites, susu ibu, kemih dan bahkan feses. Setidaknya
sebagian cairan tubuh ini (terutama darah, semen, dan saliva) telah terbukti dapat
menular.
Walaupun infeksi HBV tidak umum didapatkan pada populasi orang dewasa,
kelompok tertentu dan orang dengan cara hidup tertentu memiliki risiko tinggi, kelompok
ini termasuk :
1. Imigran dari daerah di mana HBV merupakan suatu keadaan endemik.
2. Orang-orang yang memakai obat melalui intravena yang sering bertukar jarum
dan alat suntik.
3. Melakukan hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang yang
terinfeksi.
4. Pria homoseksual yang aktif secara seksual.
5. Pasien di institusi mental.
6. Narapidana pria.
7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofilia yang menerima bahan-bahan dari
plasma.
8. Kontak serumah dengan pembawa HBV.
9. Pekerja sosial dalam bidang kesehatan, terutama jika pekerjaannya banyak
berkontak dengan darah.
10. Bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi dapat terinfeksi selama atau segera setelah
lahir.
Penderita HBV akibat transfusi darah tidak merupakan problem utama lagi, sejak
dilakukannya pemeriksaan pada semua darah sebelum ditransfusikan.
3.2 Pencegahan Hepatitis B
Karena terbatasnya pengobatan terhadap hepatitis, maka penekanan lebih diarahkan
pada pencegahan melalui imunisasi. Kini tersedia iminisasi pasif untuk HAV, dan
5
imunisasi aktif dan pasif untuk HBV. Anjuran untuk praktik imunisasi sebelum dan
sesudah paparan telah diterbitkan oleh Centers for Disease Control (1990). Kini tersedia
globulin imun HBV titer tinggi (HBIG) dan vaksin untuk pencegahan dan pengobatan
HBV. Profilaksis sebelum paparan dianjurkan untuk individu-individu yang berisiko
menderita HBV berikut ini :
1. Pekerja sosial kesehatan.
2. Klien dan staf institusi perawatan penderita terbelakang mental.
3. Pasien hemodialisis.
4. Pria homoseksual yang aktif secara seksual.
5. Pemakai obat-obat intravena.
6. Penerima produk-produk darah secara kronik.
7. Kontak serumah atau kontak seksual dari pembawa HbsAg.
8. Heteroseksual dengan banyak pasangan yang aktif secara seksual.
9. Pelancong mancanegara ke daerah endemik HBV.
10. Pengungsi dari daerah endemik HBV.
Vaksin HBV orisinil di tahun 1982 yang berasal dari pembawa HBV, kini telah
digantikan dengan vaksin mutakhir hasil rekayasa genetika dari ragi rekombinan. Vaksin
mengandung partikel-partikelHBsAg yang tidak menular. Tiga injeksi serial akan
menghasilkan antibodi terhadap HBsAg pada 95% kasus yang divaksinasi, namun tidak
memiliki efek terhadap individu pembawa.
HBIG merupakan obat terpilih untuk profilaksis pasca paparan jangka pendek.
Pemberian vaksin HBV secara bersamaan dapat dilakukan untuk memperoleh imunisasi
jangka panjang, bergantung pada situasi paparan. Centers for Disease Control (CDC)
menganjurakan pemberian HIBG dan vaksin hepatitis B dalam 12 bulan setelah lahir pada
bayi-bayi dari ibu yang positif HBsAg. Lebih jauh, mereka menganjurkan uji rutin
HBsAg prenatal pada semua wanita hamil di masa yang akan datang, oleh karena
kehamilan akan menyebarkan penyakit yang berat pada ibu, dan infeksi kronik pada
neonatus. Bayi yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif memiliki resiko 70%
hingga 90% terinveksi HBV; 80% hingga 90% bayi yang terinfeksi akan menjadi
pembawa HBV kronik, dan lebih dari 25% pembawa ini akan meninggal akibat
karsinoma hepatoselular primer ataupun sirosis hati. Sekitar 18.000 kelahiran
diperkirakan berasal dari ibu-ibu HBsAg positif pada tahun 1987 (Centers for Disease
Control, 1990).
6
HBIG (0,06 ml/kg)adalah pengobatan terpilih untuk mencegah infeksi HBV setelah
paparan parkitan (jarum suntik) ataupun paparan mukosa dengan darah HBsAg positif.
Vaksin HBV harus segera diberikan dalam waktu 7 hari bilamana individu yang terpapar
belum divaksinasi. Individu yang sudah divaksinasi harus menjalani pemeriksaan
mengukur kadar antibodi anti-HBs. Bila kadar antibodi anti-HBs cukup, maka tidak perlu
diberikan pengobatan; namun bila tidak memadai, perlu diberikan booster vaksin.
Petugas yang terlibat dalam kontak risiko tinggi, misalnya pada hemodialisis, trafusi
tukar, dan terapi parenteral perlu sangat berhati-hati dalam menangani perlatan dan
menghindari tusukan jarum.
Langkah-langkah dalam masyarakat adalah penting dalam pencegahan hepatitis,
termasuk penyediaan makanan dan air bersih dan aman, serta sistem pembuangan sampah
yang efektif. Hygiene umum, mencuci tangan dan pembuangan kemih dan feses dari
pasien yang terinfeksi secara aman, penting untuk diperhatikan. Pemakaian kateter, jarum
dan spuit sekali pakai, akan menghilangkan sumber infeski yang penting. Semua donor
darah perlu disaring terhadap HAV, HBV, dan HCV sebelum diterima menjadi panel
donor.
Lokasi injeksi vaksin hepatitis B
Pemberian obat dengan memasukkan obat ke dalam jaringan otot. Lokasi penyuntikan pad
7
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kasus
Pada penugasan EBN ini, kasus yang terjadi adalah sebagai berikut : “Seorang
bayibaru lahir 7 jam yang lalu dengan berat 2700 g akan divaksinasi oleh Ners X.
Sebelum melakukan tindakan, Ners X melakukan research terkait lokasi atau tempat yang
tepat untuk pemberian vaksin hepatitis B yang sesuai dengan evidence based practice.”
Pertanyaan klinis dari kasus ini adalah: Dimana lokasi injeksi vaksin hepatitis B
yang tepat untuk bayi?
Analisis kasus menurut PICO:
Population: Bayi berumur di bawah 8 bulan
Intervention: Pemberian injeksi vaksin hepatitis B
Comparison: Lokasi pemberian injeksi antaral ventrogluteal dan anterolateral.
Outcome: Lokasi yang tepat dalam pemberian injeksi vaksin hepatitis B
3.2.1 Safety and immunogenicity of hepatitis B vaccine administered into
ventrogluteal vs. anterolateral thigh sites in infants: A randomised controlled
trial
a. Judul Penelitian
Penelitian ini berjudul “Safety and immunogenicity of hepatitis B vaccine
administered into ventrogluteal vs. anterolateral thigh sites in infants: A
randomised controlled trial”
b. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan imunogenisitas dan
reaktogenisitas dari vaksin hepatitis B yang divaksinasikan pada bayi ke situs
ventrogluteal atau paha anterolateral.
c. Penulis Jurnal
Jurnal ini ditulis oleh Ana Luiza Neto Junqueira a, Viviane Rodrigues Tavares
a, Regina Maria Bringel Martins b, Kamilla Veˆncio Frauzino a, Agabo
Macedo da Costa e Silva b, Ruth Minamisava a, Sheila Araujo Teles.
d. Tempat Penelitian
8
Penelitian dilakukan di kota Goiania, Brazil.
e. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode Randomised controlled trial (acak).
f. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah bayi baru lahir diatas 12 jam dengan berat badan
diatas 2,5 kg. Total dari bayi dipilih secara acak yang akan menerima vaksin
hepatitis B sebanyak 580 bayi, yaitu disuntikan vaksin ke dalam ventrogluteal
(n=286) atau di paha anterolateral (n=294). Dari semuanya yang memenuhi
kriteria studi hanya 81.7% (n=474) dikelompokkan secara random (acak) yang
terdiri dari :
- ventroglutealgroup(interventiongroup) 224 bayi baru lahir
- anterolateral thigh group (control group) 250 bayi baru lahir
g. Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan injeksi 25 G degan panjang 16 mm untuk
memasukkan 0,5 ml vaksin Hepatitis B dan menggunakan Mikropartikel
Immunoenzymatic Test (AxSYM1 Ausab1, abbott,jerman) untuk mengukur
anti – HBs antibodi Titer.
h. Langkah Penelitian
1. Mengumpulkan bayi lahir yang mau berpartisipasi, hasil kelayakan
(n=708), terdaftar (n=580).
2. 580 responden menerima secara acak 3 dosis 0,5 mL vaksin hepatitis B
pada bulan ke 0, 1, dan 6 baik ke Ventrogluteal (kelompok intervensi atau
di paha anterolateral (kelompok kontrol).
3. Acak nomor di blok dari 50 software yang dihasilkan untuk
mengalokasikan 1:1 bayi baru lahir direkrut untuk kelompok
intervensi(VG) dan kelopok pembanding (VLC).
4. Memberikan dosis vaksin pertama kepada 286 dan 294 bayi baru lahir
dalam masing-masing kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
5. Dosis ke-2 dan ke-3 vaksin, diberikan di tempat tinggal bayi oleh perawat
yang sama dan menggunakan protokol yang sama.
6. Dalam rangka membandingkan frekuensi yang merugikan umum seperti
demam, kemerahan lokal, dan bengkak, semua bayi dievaluasi 48 jam
setelah vaksin hepatitis B setiap dosis. Untuk memperkecil potensi bias
pengamatan perawat meminta orang tua atau pengasuh untuk
9
memperhatikan tentang demam. Setelah itu tempat pemberian vaksin
diperiksa untuk memeriksa laporan reaksi terhadap vaksin.
7. Sekitar 45-60 hari setelah dosis ketiga vaksin, darah sampel (3 mL)
dikumpulkan dan anti-HBs antibodi Titer ditentukan oleh analisis otomatis
menggunakan mikropartikel Immunoenzymatic Test (AxSYM1 Ausab1,
abbott,jerman). Sampel dengan Titer anti-HBs lebih besar dari 1000
mlU/mL diencerkan dan di uji kembali.
i. Hasil
Tidak ada perbedaan signifikan yangg ditemukan antara kelompok intervensi
(VG) dan kelompok kontrol (ALT) tentang seks, ras, berat badan kelahiran,
atau waktu interval antara dosis vaksin, antara dosis terakhir dan antara
pegumpulan sempel darah. (tabel.1)
Perbandingan perkembangan perlindungan bayi anti HB titer setelah vaksinasi
lengkap pada ventrogluteal adalah 97,8% (95% interval kepercayaan [CI]:
94,8-99,3; rata-rata geometris titer: 427.5mIU/mL; 95% CI: 344,9-530,0),
serupa dengan yang bayi divaksinasi ke situs paha anterolateral (97,6%;
95%CI:94,8-99,1; rata-rata geometristiter: 572,0 mIU/mL; 95% CI: 471, 1-
694,6).
Tidak ada komplikasi ditemukan setelah 1503 dosis vaksin, tapi perbandingan
yang lebih rendah demam dan efek samping lokal ditemukan di antara
kelompok intervensi (17,9%) vs kelompok kontrol (23,7%) (p <0,01).
Sehingga dapat disimpukan hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah
ventrogluteal adalah situs yang cocok untuk injeksi intramuscular pada bayi,
terutama untuk vaksin hepatitis B.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pemberian vaksin hepatitis B pada bayi baru lahir sangat penting karena dapat
mencegah penyakit hepatitis B di kemudian hari.
10
Lokasi atau tempat yang tepat untuk injeksi vaksin hepatitis B pada bayi baru lahir
yaitu di ventrogluteal, karena menurunkan efek samping injeksi vaksin hepatitis B
berupa demam dan pembengkakan. Injeksi pada ventrogluteal juga mengurangi resiko
injury karena di lokasi tersebut bebas dari saraf besar dan pembuluh darah. Lokasi
injeksi di ventrogluteal maupun di anterolateral menunjukan immunology yang tidak
jauh berbeda.
3.2 Saran
1. Saran untuk perawat
Dalam memberikan injeksi vaksin hepatitis B, sebaiknya memperhatikan lokasi
yang tepat agar meminimalkan efek samping.
2. Saran untuk pemerintah
Pemerintah seharusnya memberikan penyuluhan kepada masyarakat terpencil
tentang pentingnya vaksin hepatitis B. Dan meningkatkan sumber daya manusia
guna menciptakan vaksin hepatitis B sendiri.
3. Saran untuk orang tua
Orang tua seharusnya memberika
11