Laporan praktikum Laboratorium
-
Upload
farahrisqqa -
Category
Documents
-
view
299 -
download
13
description
Transcript of Laporan praktikum Laboratorium
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan baku hasil perikanan merupakan bahan atau hasil-hasil perikanan
baik perikanan darat maupun perikanan laut yang dapat dijadikan sumber bahan
baku untuk dimanfaatkan sebagai bahan industri perikanan. Perairan umum
Indonesia yang meliputi dua pertiga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki potensi sumber daya hayati perikanan yang besar dan belum seluruhnya
dieksplorasi, dikelola serta dimanfaatkan.
Mengingat sangat mendesaknya kebutuhan akan protein hewani yang
berasal dari sumber daya ikan, maka sudah saatnya memanfaatkan sumber-sumber
hayati perairan yang ada dan dimanfaatkan seoptimal mungkin karena akan
menunjang perluasan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan dan perbaikan
gizi masyarakat. Keadaan ini sejalan dengan pertambahan penduduk serta kondisi
geografis Indonesia yang memerlukan peningkatan dalam bidang perikanan.
Sumber daya ikan sebagai bahan baku pada umumnya memiliki nilai gizi yang
tinggi terutama kandungan protein. Dalam mengembangkan hasil perikanan di
Indonesia selain unsur-unsur penangkapan, penanganan, pengangkutan,
pemasaran, pengolahan dan pengemasan, maka unsur bahan baku mempunayai
peranan yang sangat penting untuk mempertahankan mutu hasil perikanan dari
kemungkinan-kemungkinan kerusakan. Bahan baku menyangkut berbagai aspek
yang harus dipahami untuk mempertahankan mutu guna peningkatan nilai jual
produk hasil perikanan.
Salah satu faktor penting dalam menentukan potensi bahan baku adalah
dengan mengetahui rendemen. Rendemen adalah perbandingan antara daging
dengan berat ikan utuh. Dengan mengetahui rendemen maka dapat
memperkirakan jumlah bagian dari ikan yang dapat digunakan untuk pemanfaatan
daging yang dihasilkan dalam membuat produk turunannya. Selain itu besarnya
potensi perikanan Indonesia dan banyaknya permintaan ekspor produk hasil
perikanan ke negara lain menyebabkan perlunya penanganan hasil perikanan yang
2
baik karena tuntutan konsumen terhadap hasil perikanan yang masih segar dan
berkualitas baik dapat terpenuhi.
Penanganan hasil perikanan harus dilakukan secara baik dan hati-hati karena
ikan mudah sekali mengalami pembusukan. Ikan mengandung sekitar 20-30%
protein mengakibatkan ikan mudah sekali mengalami kemunduran mutu. Selain
itu kandugan asam lemak tak jenuh pada ikan jika teroksidasi dapat
mengakibatkan ketengikan. Bakteri yang terasosiasi dalam daging ikan akan
mendegradasi stuktur daging ikan apabila penangganan yang kurang baik. Faktor
yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan cukup banyak, namun yang paling
krusial adalah suhu. Suhu penyimpanan ikan memegang peranan penting. Untuk
menjaga ikan tetap segar diperlukan suhu penyimpanan di bawah 00C (Suwetja,
1990). Suhu penyimpanan rendah sekitar 00C setelah ikan mata dapat
memperpanjang fase rigormortis ikan, menurunkan kegiatan enzimatik, bakterial,
kimiawi, dan perubahan fisik.
Dalam menentukan kesegaran ikan diperlukan suatu metode analisis yang
mudah, cepat, dan akurat. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam
menganalisa kesegaran ikan seperti analisis secara mikorbiologi, kimiawi,
ultrasonik, sensorik. Analisis secara kimiawi, mikrobiologi, ataupun utrasonik
memerlukan peralatan yang mahal dan waktu yang dibutuhkan cukup lama.
Metode analisa yang dianggap cepat dan mudah adalah metode sensorik. Metode
sensorik menggunakan kemampuan panca indera manusia dengan pengecualian
pendengaran, yang digunakan hanya penglihatan, peraba, penciuman, dan perasa.
Metode sensorik menguji hanya bagian eksternal ikan, sedangkan untuk
mengetahui TVB, TMA, TPC menggunakan metode mikrobiologi. Metode
sensorik memiliki kelemahan terhadap tingginya tingkat subjektivitas panelis.
Panelis yang dibutuhkan dalam pengujian kesegaran ikan harus yang terlatih
dengan tujuan agar hasil assessment bisa akurat (Ariyani, 2010).
1.2 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui nilai rendemen
beberapa jenis bahan baku hasil perikanan yaitu udang dan bekicot serta untuk
mengetahui kemunduran mutu udang yang disimpan pada suhu ruang.
3
1.3 Manfaat Praktikum
Dapat mengetahui nilai rendemen beberapa jenis bahan baku hasil
perikanan yaitu udang dan bekicot serta dapat mengetahui tingkat kesegaran
udang.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Udang
Secara morfologi, udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang
menyatu dengan dada (cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat
ekor dibelakangnya. Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan seluruh bagian
tubuhnya tertutup kulit khitin yang tebal dan keras. Bagian kepala beratnya lebih
kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 24-41% dan kulit 17-
23% (Purwaningsih,1995).
Gambar 1. Morfologi Udang
Ordo Decapoda umumnya hidup di laut, beberapa di air tawar dan sedikit
di darat. udang yang banyak terdapat di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis
tinggi antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus
marguiensis) dan udang dogol (Metapenaeus monoceros). Sedangkan udang air
tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain udang galah
(Macrobranchium rosenbergii), udang kipas (Panulirus sp) dan udang karang
(Lobster) (Permana,2007).
Udang pasifik putih atau dikenal dengan Litopenaeus vannamei atau
udang vannamei merupakan spesies udang komersial yang dibudidayakan. Udang
vannamei ini juga merupakan udang yang sangat rentan terhadap aktivitas black
spot selama proses penanganan dan penyimpanannya (Nirmal dan Benjakul,
2012).
5
2.2 Komposisi Kimia Udang
Tabel 1. Komposisi Kimia Udang
No. Komposisi Kimia Jumlah
1. Kadar air (%) 78
2. Kadar abu (%) 3,1
3. Lemak (%) 1,3
4. Karbohidrat (%) 0,4
5. Protein (%) 16,72
6. Kalsium (Mg) 161
7. Fosfor (Mg) 292
8. Besi (Mg) 2,2
9. Natrium (Mg) 418
Sumber: USDA 2003
2.3 Persyaratan Mutu Udang
Udang sebagai salah satu produk perikanan yang memilliki sifat mudah
busuk (highly perishable), maka penanganan yang baik mutlak diperlukan agar
mutu udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan
oleh keadaan fisik dan organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur) dari
udang tersebut. Kemudian, ukuran dan keseragaman udang juga dapat
menentukan tingkat mutunya. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau
defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang (Hadiwiyoto,1993). Standar
syarat mutu dan keamanan pangan udang beku dapat dilihat pada tabel berikut ini
Tabel 2. Standar Mutu dan Keamanan Pangan Udang
Jenis Uji Satuan Persyaratana. Organoleptik Angka 1-9 Minimal 7b. Cemaran mikroba
ALTKoloni/g Maksimal 5,0 × 105
Escherichia coli APM/g maksimal < 2 Salmonella APM/25g Negative Vibrio cholera APM/25g Negative Vibrio
parahaemolyticus(kanagawa positif)*
APM/g maksimal < 3
c. Cemaran kimia*: Kloramfenikol
Ppb maksimal 0
Nitrofuran Ppb maksimal 0
6
Tetrasiklin Ppb maksimal 100d. Fisika
Suhu pusat, maksºC maksimal -18
e. Filth Jenis/jumlah maksimal 0*: bila diperlukan
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2007)
2.4 Kemunduran Mutu Udang
Kemunduran mutu pada udang biasanya disetandai dengan adanya
melanosis atau biasa dikenal dengan istilah black spot (Aubourg et al., 2007;
Manheem et al., 2013). Melanosis tersebut disebabkan oleh adanya mekanisme
biokimia yang disebabkan oleh enzim polyphenol oksidase atau biasa disingkat
dengan PPO yang dapat mengoksidasi fenol menjadi quinon (Manheem at al.,
2013). Peristiwa tersebut diikuti dengan adanya polimerisasi non enzimatik dari
quinon sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pigmen menjadi sangat gelap
atau berwarna hitam (Montero et al., 2001; Manheem et al., 2013). PPO pada
krustasea biasanya diaktifkan oleh protease (Martinez-Alvarez 2005; Manheem et
al., 2013). Melanosis biasanya terjadi pada karapas dan menyebar kepada seluruh
tubuh (Manheem et al., 2013)
Kalleda et al (2013) menyatakan kesegaran udang dapat diukur dengan
adanya perubahan warna yang terjaadi pada udang melalui reaksi autolitik oleh
enzim pholyphenol oksidase . Selain itu, kualitas udang dapat diukur secara
sensori dengan mengetahui aroma, tekstur, serta pigmen yang terbentuk oleh
adanya oksidasi yang disebabkan oleh PPO (Cobb, 1997; Kalleda et al., 2013).
PPO dikenal sebagai fenolase, tirosinase, katekol oksidase yang
mengandung metalloenzim yang dapat mengkatalisis dua reaksi dasar (Nirmal dan
Benjakul, 2012). PPO dapat mengkatalis oksidasi o-difenol menjadi o-quinon
(Garcia-Mollina at al., 2005; Nirma dan Benjakul., 2012). PPO yang terdapat
dalam karapas udang akan terdistribusi ke eksoskeleton abddomen, sefalotoraks,
pleopods, dan telson (Zamorano et al., 2001; Nirma dan Benjakul., 2012). PPO
pada umumnya ditemukan pada bagian sefalotoraks udang dan dapat
menyebabkan noda hitam yang biasanya disebut dengan blackspot atau melanosis
(Nirmal dan Benjakul, 2012). Banyaknya melanosis atau noda hiitam yang
7
terbentuk pada krustasea tergantung dari spesies, serta perbedaan pada
konsentrasi enzim (Benjakul et al., 2005; Nirmal dan Benjakul, 2012).
Melanosis pada udang dapat dicegah dengan cara meminimalisir aktivitas
enzim PPO yang disertai pengaturan pH atau suhu dengan sebaik mungkin
sehingga dapat dimungkinkan bahwa PPO akan terhambat dan hal tersebut dapat
diterapkan selama penanganan, pengolahan, dan penyimpanan (Nirmal ddan
Benjakul, 2012).
Proses kemunduran mutu udang dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini
terjadi secara autolisis, bakteriologis dan oksidatif. Kemunduran mutu udang
sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai
produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah bususk bila
dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan udang segar memerlukan
perhatian dan perlakuan yang cermat. Susunan tubuh udang mempunyai hubungan
erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat
berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian kepala mengandung enzim
pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih,1995).
Kerusakan biokimia disebabkan oleh kerusakan enzim yang ada dalam
tubuh udang. Enzim tersebut menguraikan atau membongkar senyawa-senyawa
makromolekul dan mudah menguap sehingga timbul bau busuk atau tidak sedap
(Hadiwiyoto,1993).
Kerusakan mikrobiologis dipacu oleh pertumbuhan mikroba yang terdapat
dalam tubuh dan permukaan udang, setelah udang mati pertahanan tubuhnya
berkurang sehingga mikroba dapat menyerang daging udang. Pengaruh
lingkungan seperti sinar matahari dan suhu dapat menjadi penyebab utama
kerusakan fisik. Penigkatan suhu dapat mempercepat proses oksidasi dan tekstur
udang menjadi lunak (Hadiwiyoto,1993).
Sebagai salah satu jenis bahan makanan yang terhitung mudah sekali
mengalami kemunduran mutu, maka penanganan udang memerlukan perhatian
yang menyeluruh dan perlakuan yang cermat. Dari segi kemunduran mutu ada
atau tidaknya kepala mempengaruhi daya simpan udang segar karena bagian
8
kepala terdapat insang dan isi perut yang merupakan salah satu sumber bakteri
pembusuk dan enzim-enzim pencernaan (Moeljanto,1992).
Salah satu cara untuk menghambat proses penurunan mutu udang segar
adalah dengan pembekuan yang merupakan cara yang paling baik untuk
penyimpanan jangka panjang. Apabila cara pengolahan dan pembekuan dilakukan
dengan baik dan bahan mentahnya masih segar, maka dapat dihasilkan udang
beku yang bila dicairkan mendekati sifat-sifat udang segar (Moeljanto,1992).
2.5 Deskripsi dan Klasifikasi Bekicot (Achatina fulica)
Bekicot (Achatina fulica) termasuk golongan hewan lunak (mollusca)
yang termasuk dalam kelas Gastropoda. Badannya lunak dan dilindungi oleh
cangkang yang keras. Jenis hewan ini tersebar di laut, air tawar dan daratan yang
lembab (Integrated Taxonomic Information System, 2004). Menurut Integrated
Taxonomic Information System (2004), taksonomi bekicot adalah sebagai berikut
Phylum : Mollusca
Kelas : Gastropodaa
Ordo : Stylommatophora
Famili : Achatinidae
Sub famili : Achatininae
Genus : Achatina
Sub genus : Lissachatina
Species : Achatina fulica
Achatina fulica memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk kerucut yang
panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri dari 7-9 ulir lingkaran ketika
umurnya sudah dewasa. Cangkang umumnya memiliki warna coklat kemerahan
dengan corak vertikal berwarna kuning tetapi warna dari spesies bervariasi
tergantung dengan kondisi lingkungan dan jenis makanan. Bekicot dewasa
panjang cangkangnya dapat melebihi 20 cm, tetapi rata-rata panjangnya sekitar 5
sampai 10 cm. Sedangkan berat rata-rata siput kurang lebih sekitar 32 gram
(Cooling, 2005).
9
Bekicot memakan tumbuh-tumbuhan yang telah busuk, lumut, jamur dan
alga. Bekicot juga dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada tanaman
pangan dan tanaman hias (Neehall, 2004).
Bekicot berasal dari pesisir timur Afrika (Raunt dan Baker, 2002). Di
beberapa wilayah di Eropa, Asia dan Afrika bekicot dijadikan sebagai makanan
yang dikenal sebagai escargot di Perancis dan coracois di Portugal. Spesies
bekicot yang banyak terdapat di Eropa adalah Helix pomalia yang disebut
Burgundy snail dan Helix aspersa yang disebut European brown snail. Spesies
yang banyak tersebar di Asia dan Afrika khususnya Indonesia adalah Achatina
fulica (Cooper, 1992).
2.6 Habitat dan Daerah Distribusi
Negara-negara dimana terdapat bekicot (Achatina fulica) memiliki iklim
tropis yang hangat, suhu ringan sepanjang tahun dan tingkat kelembaban yang
tinggi. Untuk bertahan hidup bekicot perlu temperatur di atas titik beku sepanjang
tahun dan kelembaban yang tinggi sepanjang tahun. Pada musim kemarau, bekicot
menjadi titik aktif atau dorman untuk menghindari sinar matahari (Venette dan
Larson, 2004). Spesies ini dapat hidup di daerah pertanian, wilayah pesisir dan
lahan basah, hutan alami, semak belukar dan daerah perkotaan. Bekicot dapat
hidup secara liar di hutan maupun di perkebunan atau tempat budidaya (Raunt dan
Barker, 2002). Bekicot (Achatina fulica) tetap aktif pada suhu 9ºC hingga 29ºC,
bertahan pada suhu 2ºC dengan cara hibernasi dan pada suhu 30ºC dengan
keadaan dorman (Smith dan Fowler, 2003).
Bekicot dikatakan mempunyai banyak manfaatnya dari daging sampai
lendirnya. Bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena
mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap di samping mempunyai
kandungan zat besi yang tinggi. Lendir bekicot mengandung glikokonjugat
kompleks yaitu glikosaminoglikan proteoglikan. Molekul-molekul tersebut
terutama disusun dari gula sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam
urat dan oligoelemen (tembaga, seng kalsium dan besi). Glikosaminoglikan yang
terisolasi dari bekicot (Achatina fulica) ini terkait dengan golongan heparin dan
heparin sulfat. Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan pengontrol aktif
fungsi sel, berperan pada interaksi matriks sel proliferasi, fibroblas, spesialisasi
10
dan migrasi serta efektif mengontrol fenotip seluler. Glikokonjugat utama pada
lendir bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula-granula yang
terdapat di dalam tubuh bekicot terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga
mengikat kation divales seperti tembaga (II) yang dapat mempercepat proses
angiogenesis yang secara tidak langsung mempengaruhi kecepatan penyembuhan
luka (Kim et al., 1996).
11
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Jum’at, 13 Maret 2015 dengan
sampel berupa udang dan pada hari Jum’at, 20 Maret 2015 dengan sampel Bekicot
di Laboratorium Kering (Gedung B-205) Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga Surabaya.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan antara lain nampan yang berfungsi untuk meletakkan
sampel, pisau untuk memotong sampel, kertas label untuk memberi label pada
sampel agar tidak tertukar, neraca analitik untuk menimbang sampel, gelas beker
dan pinset yang berfungsi untuk mengambil isi saluran pencernaan. Sementara
bahan yang digunakan yaitu udang dan bekicot yang merupakan sampel yang
akan dihitung nilai rendemen dan dilakukan uji organoleptik.
3.3 Metodologi
3.3.1 Prosedur Kerja Penghitungan Rendemen Udang
Tahap pertama yang dilakukan yaitu menimbang bahan baku udang dan
mencatat hasil penimbangan tersebut sebagai berat awal (head on). Tahap
selanjutnya memotong bagian kepala (bagian jengger tidak ikut terpotong)
lalu menimbang bagian kepala udang tersebut (untuk preparasi tipe head
less). Langkah berikutnya adalah menyisakan 2 ruas dibelakang dan
menghilangkan bagian kulit lalu menimbang bagian kulit udang tersebut
(untuk preparasi tipe PDTO). Tahap selanjutnya Memotong bagian tengah
tubuh udang dan menghilangkan bagian kulit lalu menimbang bagian kulit
udang tersebut (untuk preparasi tipe butterfly). Proses preparasi sampel
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan 3 tipe preparasi sampel yaitu head
less, PDTO dan butterfly. Selanjutnya menghitung rendemen dari masing-
masing bagian dengan rumus sebagai berikut :
12
Rendemen (%) = berat akhirberat awal × 100%
3.3.2 Prosedur Kerja Penghitungan Rendemen Bekicot
Tahap pertama yaitu menimbang bahan baku bekicot dan mencatat sebagai
berat total/berat utuh bekicot. Tahap selanjutnya memisahkan daging bekicot
dari cangkang dan jeroan lalu menimbang masing-masing bagian (daging,
cangkang dan jeroan), sehingga didapatkan berat akhir masing-masing bagian
bekicot. Proses preparasi sampel dilakukan sebanyak 4 kali ulangan. Tahap
terakhir menghitung rendemen dari masing-masing bagian dengan rumus
sebagai berikut :
Rendemen (%) = berat akhirberat awal × 100%
3.3.3 Prosedur Kerja Pengujian Organoleptik
Menyiapkan sampel udang sebanyak 6 ekor dan metakkan udang pada
nampan. Kemudian menyimpan pada suhu ruang. Tahap terakhir adalah
melakukan pengamatan organoleptik yang meliputi kenampakan, bau dan
tekstur secara berkala setiap 5 jam sekali.Tahap pertama yang dilakukan yaitu
menyiapkan udang sebanyak 6 ekor
13
BAB IV
HASIL & PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Berikut ini adalah hasil praktikum rendemen udang yang dilakukan
sebanyak 3 kali ulangan
Grafik 1. Rendemen Udang
Rata rata
0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%
Chart Title
Tail off PDTO Head less Head on
Hasil praktikum rendemen bekicot yang dilakukan sebanyak 4 kali
ulangan digambarkan pada grafik berikut
Grafik 2. Rendemen Bekicot
0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%
Bekicot
Berat jeroan Berat Cangkang Berat daging Berat Total
Rendemen rata rata
Perla
kuan
14
Hasil praktikum pengamatan organoleptik terhadap sampel udang
digambarkan pada grafik berikut
Grafik 3. Rata-rata Pengamatan Organoleptik Udang
4.2 Pembahasan Rendemen
Berdasarkan tabel 1 dan 2 hasil rendemen udang dengan perlakuan Head
On yaitu 100%. Hal ini karena perlakuan Head on tanpa menghilangkan kepala
atau bagian tubuh lainnya (utuh) sehingga diperoleh rendemen 100%. Perlakuan
head less memiliki nilai rendemen 70,1% pada tabel 1 dan 73,65% pada tabel 2.
Nilai rendemen perlakuan ini berkurang karena preparasi tipe head less dengan
menghilangkan atau memisahkan bagian kepala. Sementara perlakuan PDTO
memiliki nilai rendemen ketiga terbesar setelah head on dan head less yaitu
sebesar 64,2% pada tabel 1 dan 66,25% pada tabel 2. Hal ini karena perlakuan
PDTO adalah dengan menyisakan dua ruas di belakang dan menghilangkan
bagian kepala sehingga nilai rendemennya lebih rendah dari head less. Nilai
rendemen perlakuan Tail off yaitu 60,1%. Perlakuan dengan tipe preparasi ini
memiliki nilai rendemen paling rendah karena selain menghilangkan bagian
kepala juga menghilangkan bagian ekornya. Sementara pada perlakuan preparasi
dengan tipe butterfly memiliki nilai rendemen sebesar 64,95%. Nilai rendemen
tipe preparasi butterfly lebih tinggi dari preparasi dengan tipe tail off namun lebih
rendah dari PDTO. Hal ini karena pada preparasi dengan tipe butterfly adalah
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengamatan ketiga
Pengamatan kedua
Pengamatan pertama
Tekstur
15
dengan membelah bagian tengah tubuh dan mengambil isi saluran pencrnaannya.
Pada perlakuan head less berat udang menurun mencapai 70%, jika hal tersebut
dilakukan pada ribuan udang maka udang mengalami kehilangan berat yang
sangat drastis. Namun apabila permintaan ekspor untuk menghilangkan kepalanya
saja, limbah dari kepala tersebut dapat diolah kembali yaitu pengisolasian pada
kepala udang yang akan menghasilkan senyawa kitin yang merupakan polimer
dari glukosamin yaitu polisakarida yang mengandung gugus asetat amida. Sedangkan senyawa kitin dapat diolah kembali menjadi kitosan yang dapat dijadikan edible film, edible coating dan lainnya. Kitosan sendiri merupakan hasil proses hidrolis dengan alkali sehingga terjadi deasetilasi dari gugus asetamida menjadi gugus amina. Pada perusahaan
udang yang mengekspor ke Negara lain harus memenuhi standar yang telah di
tetapkan dari Negara yang bersangkutan. Selain itu pihak perusahan juga harus
mengetahui standar nilai ekonomis dari udang tersebut. Salah satunya adalah
dengan menghitung rendemen. Dari data tabel diatas dapat diketahui bahwa jika
seekor udang tanpa di preparasi nilai rendemennya 100%, namun setelah di
preparasi dengan menghilangkan kepala, kulit, kaki, ekor serta saluan
pencernaan/jeroan akan mengurangi berat dari udang tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa jika bagian-bagian dari organ udang tersebut memiliki nilai
yang sangat berpengaruh pada berat udang terutama bagian kepala. Kebanyakan
perusahaan udang mengekspor udang yang telah di preparasi (head less). Kulit
dari udang yang sudah di preparasi dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku kitin.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agoes M. Jacob, Muchamad
Hamdani dan Nurjanah (2008), menunjukkan bahwa nilai rendemen daging udang
ronggeng segar sebesar 41,13%, sedangkan rendemen daging pada udang
ronggeng rebus sebesar 20,08%. Perebusan mengakibatkan penurunan nilai
rendemen daging pada udang ronggeng sebesar 21,05% karena pengaruh
pemanasan terhadap komponen daging dapat menyebabkan perubahan fisik dan
komposisi kimia daging. Suhu 100ºC dapat menyebabkan protein terkoagulasi dan
air dari dalam daging akan keluar. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikaitkan
dengan hasil praktikum yang dilakukan yaitu daging udang segar yang belum
mengalami pemanasan memiliki nilai rendah dibandingkan dengan cangkang dan
isi saluran pencernaan, maka apabila mengalami perebusan nilai rendemen daging
16
udang tentunya akan semakin menurun. Dari jurnal tersebut juga dibahas setelah
proses pemanasan dengan perebusan terjadi penurunan nilai kadar lemak karena
selama proses pemanasan lemak mencair bahkan menguap (volatil) menjadi
komponen lain seperti aroma sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai rendemen
udang berbanding lurus dengan nilai kadar lemak.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Suharjo dan Noor Hartini tentang
Ekstraksi Chitosan Dari Cangkang Udang Windu (Penaeus monodon) Secara
Fisik-Kimiahitin (Kajian Konsentrasi Berdasarkan Ukuran Partikel Tepung Chitin
dan Konsentrasi NaOH) menjelaskan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH
yang digunakan untuk ekstraksi chitosan serta semakin kecil ukuran partikel chitin
yang akan diekstrak untuk dibuat chitosan maka semakin kecil nilai rendemennya.
Pada perhitungan rendemen bekicot, bekicot yang tubuhnya terdiri dari
daging, cangkang,jerohan memiliki nilai rendemen yang berbeda. Dalam
praktikum ini menggunakan 4 sampel bekicot,hal ini bertujuan untuk mengetahui
berat rata-rata bekicot. Berat rata-rata total bekicot adalah 19,32 gram. Namun
setelah di pisahkan cangkangnya dan di keluarkan cangkangnya, berat dari daging
sendiri rata-rata 3,97 gram, berat rata-rata cangkang 4,38 gram dan berat jerohan
rata-ratanya 6,09 gram. Dari berat rata-rata dapat disimpulkan bahwa berat yang
mendominasi pada bekicot (Achatina fulica) adalah pada bagian saluran
pencernaan/jeroan. Berat terbesar kedua adalah bagian cangkang dan berat paling
sedikit adalah bagian daging. Seperti yang kita ketahui bahwa bagian yang
dimanfaatkan dari bekicot (Achatina fulica) adalah bagian daging, akan tetapi
bagian daging bekicot memiliki berat terendah sehingga nilai rendemnnyapun
juga rendah. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pemanfaatn daging bekicot
(Achatina fulica) rendah.
4.3 Pembahasan Mutu Udang
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan setiap 5 jam sekali hingga
jam ke-10 dapat diketahui bahwa udang yang dapat diterima serta memenuhi
adalah pada pukul 13.00 WIB, sedangkan untuk mutu udang pada pukul 17.00
sudah tidak dapat diterima SNI 01-2729.1.2006.
Kemunduran mutu tersebut dapat diketahui dengan adanya noda hitam
(blackspot) atau melanosis. Selain hal tesebut diatas, kemunduran mutu udang
17
juga dapat diketahui dengan pengukuran pH. Nilai pH yang didapatkan selalu
mengalami kenaikan hingga pengamatan jam ke-10 yaitu mencapai 7,3. Kenaikan
tersebut menunjukkan bahwa udang yang didapatkan untuk pengamatan jam ke-1
dimungkinkan sudah berada dalam fase rigormortis karena nilai pH yang
ditunjukkan adalah 7,0. Nilai pH pada rentang tersebut merupakan nilai pH yang
mudah sekali mengalami penurunan mutu seperti yang telah disebutkan oleh
Karnilla et al (2006) bahwa kesetimbangan asam-basa udang tidak dapat
dipertahankan setelah mengalami kematian yang akibatnya berpengaruh pada
mutu ikan. Selain itu, suhu kamar yang digunakan dalam pengamatan juga dapat
mempengaruhi shelf-life udang. Manheem et al (2013) menyatakan bahwa
pembekuan merupakan salah satu metode pencegaahan palinng penting dan
efektif untuk mempertahankan kualitas udang yang dikarenakan proses ini dapat
menghambat terjadinya melanosis.
Melanosis atau blackspot yang terjadi tersebut disebabkan oleh adanya
aktivitas enzim PPO. PPO yang dikenal sebagai fenoloksidase, fenolase,
monofenol dan difenol oksidase, tirosinase dapat mengakibatkan perubahan warna
terhadap krustasea seperti udang, lobster, kepiting (Flick, 2006). PPO tersebut
dapat meningkat akibat perubahan pH serta suhu. Pada dasarnya, setiap keaktifan
enzim memiliki rentang pH tersendiri. Nilai pH maksimal enzim ini adalah 7,5.
Enzim ini memiliki keaktifan yang berbeda beda tergaantung spesies dan anatomi.
Selain itu, enzim ini tidak dapat aktif dalam suasana asam ataupun basa yang
terlalu ekstrim karena suasana tersebut dapat mengganggu kestabilan ikatan
elektrostatis molekul enzim (Nirmal dan Benjakul, 2012).
Suhu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas enzim PPO,
baik menurunkan, meningkatkan ataupun menginaktifkan enzim. Nirmal dan
Benjakul (2012) melaporkan aktivitas maksimal enzim PPO pada karapas udang
vannamei pada suhu 55 C. Apabila suhu tersebut dinaikkan atau diturunkan maka⁰
akan mengganggu keoptimalan aktivitas enzim tersebut seperti yang telah
dilaporkan oleh Nirmal dan Benjakul (2012) yaitu meningkatkan enzim pada suhu
diatas 55 C akan menurunkan aktivitas PPO atau bahkan dapat menyebabkan⁰
denaturasi terhadap enzim itu sendiri. Flick (2009) juga melaporkan bahwa suhu
20-50⁰C merupakan suhu yang dapat menjaga kestabilan PPO pada udang
18
vannamei, sedangkan pada suhu 70-90⁰C PPO akan mengalami inaktivasi. PPO
juga sama halnya dengan enzim katepsin pada ikan yang akan mengalami
penurunan aktivitas atau bahkan menjadi tidak aktif apabila suhu yang digunakan
dalam penyimpanan udang dibawa 0⁰C seperti yang telah dinyatakan oleh Flick
(2006) bahwa pendinginan krustasea pada suhu -18⁰C akan menghambat aktivitas
enzim PPO sekaligus untuk mempertahankan mutu dari udang tersebut. Okpala et
al (2014) juga manyatakan bahwa pendinginan dengan menggunakan es
merupakan salah satu metode yang benar dalam mempertahankan mutu sekaligus
dapat menghambat aktivitas enzim dan reaksi autolitik.
19
BAB V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa nilai
rendemen dari yang tertinggi pada udang (Penaeus sp.) adalah pada tipe preparasi
head on, dilanjutkan head less, PDTO, butterfly dan nilai rendemen terendah
adalah Tail off. Sementara untuk bekicot (Achatina fulica) nilai rendemen
tertinggi adalah bagian saluran pencernaan/jeroan sedangkan nilai rendemen
terendah adalah bagian daging. Dari kedua spesies tersebut dapat diketahui bahwa
daging yang dapat dimanfaatkan sedikit karena nilai rendemen daging paling
rendah dibandingkan bagian tubuh yang lain. Dengan menghitung nilai rendemen
dapat diketahui berapa jumlah bagian daging yang dapat dimanfaatkan untuk
membuat produk hasil perikanan dan turunannya. Sementara proses kemunduran
mutu pada udang terjadi setelah jam ke-5 pengamatan dengan ditandai adanya
perubahan tekstur, bau, dan kenampakan. Kemunduran mutu pada udang biasanya
disebabkan oleh enzim PPO yang sangat rentan terhadap perubahan pH dan suhu
pada tubuh udang. Enzim PPO tersebut dapat dihambat aktivitasnya dengan
menaikkan ataupun menurunkan suhu yang digunakan dalam tempat
penyimpanan udang.
4.2 Saran
Sebaiknya sarana peralatan untuk praktikum selanjutnya lebih dilengkapi
agar tidak ada praktikum yang tidak dilaksanakan karena ketidaktersediaan
peralatan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agoes M Jacob, Muchamad Hamdani, Nurjanah. 2008. Perubahan Komposisi Kimia dan Vitamin Udang Ronggeng (Harpiosquilla raphidea) Akibat Perebusan. Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Buletin Teknologi Hasil Perikanan, Vol.XI Nomor 2 Tahun 2008
Ariyani, F. Dan Dwiyitno. Kajian Sensori Dengan Metode Demerit Point Score Terhadap Penurunan Kesegaran Ikan Nila Selama Pengesan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 5 No. 2, Desember 2010.
Badan Standarisasi Nasional. 2007. RSNI 01-2705-2005. Udang Beku. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional
Cooling, V. 2005. Risk Assesment of The Giant African Snail (Achatina fulica) Bowdich in New Zealand. LPSC 7700 Integrative Report, Unitec New Zealand (Unpublished Report)
Farkas, SR. and Shorey, HH., 1976. Anemotaxis and odourtrail following by the Terrestrial Snail, Helix aspersa Müller. Anim Behav, vol. 24, no.2, p. 686-689
Flick, G.J.,. 2009. Enzym in Seafood : Product effects, PPO control. Food Safety and Technology. Global Aquaculture Advocate Hal. 21-23
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: CV Liberty
Kalleda, R.K., Han, I.Y., Toler, J.E., Feng, C., Kim, H.J., Dawson, P.L.,. 2013. Shelf-life Extension of Shrimp (White) Using Modified Atmosphere Packaging. Food Nutrision and Science Vol. 63 No. 2 Hal : 87-94
Kim, Y.S., Jo, Y.Y., Chang, I.M., Toida, T., Park, Y.m., Linhardt, R.J. 1996. A New Glycosaminoglycan from the Giant African Snail Achatina fulica. Journal of Biology and Chemistry.271, 11750-11755
Manheem, K., Benjakul, S., Kijrongroojana, K., Visessonguan, W.,. 2013. Impact of Freeze-thawing on Melanosis and Quality Change of Pre-cooked Pacific White Shrimp. Internasional Food Research Journal 20 (3) : 1277-1283
Mead, AR., 1961. The Giant African Snail: A Problem in Economic Malacology. Chicago, USA: The University Chicago Press
Moeljanto.1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Penebar Swadaya
Neehall C. 2004. The Giant African Snail (Achatina fulica). Research Division MALMR Trinidad and Tobago
Nirmal, N.P., Benjakul, S.,. 2012. Biochemical Properties of PPO from The Cephalotorax of Pacific White Shrimp (L.Vannamei). Aquatic Research 4 (6).
21
Okpala, C.O.R., Choo, W.S., Dykes, G.A.,. 2014. Quality and Shelf-life Assessment of Pasific White Shrimp (L.Vannamei) Freshly Harvested and Stored on Ice. Food Science and Technology 55 Hal. 110-116
Permana, RJ. 2007. Penerapan HACCP pada Pembekuan Udang Beku Tanpa Kepala (headless) di PT. Satu Tiga Enam Delapan Banyuwangi Jawa Timur. Jurusan Agroteknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
Purwaningsih S. 1995. Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: PT.Penebar Swadaya
Raunt, SK. and Barker, GM., 2002. Achatina fulica Bowdich and Other Achatinidae as A Pest in Tropicultural Agriculture. Mollusks as Crop Pest. New Zealand: Ed. By Landscare Research Hamilton. 472 p
Smith, JW. and Fowler, G., 2003. Pathway Risk Assessment for Achatinidae with Emphasis on the Giant African Land Snail Achatina fulica (Bowdich) and Limicolaria aurora (Jay) from the Caribbean and Brazil, with Comments on Related Taxa Achatina achatina (Linne), and Archachatina marginata (Swainson) Intercepted by PPQ. Raleigh, NC.: USDA-APHIS, Center for Plant Health Science and Technology (Internal Report)
Suharjo dan Noor Harini. 2005. Ekstraksi Chitosan dari Cangkang Udang Windu (Penaeus monodon) Secara Fisik-Kimia (Kajian Berdasarkan Ukuran Partikel Tepung Chitin dan Konsentrasi NaOH). Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang
Suparmi R.K. Romaida, M.,. 2006. Kajian Sifat Mutu Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Segar Pada Penyimpanan Suhu Kamar. Berkala Perikanan Terubuk Vol. 33 No. 2 Hal : 121-125
Suwetja, I. K. 1990. Penentuan Kesegaran Beberapa Jenis Ikan Dengan HPLC. Jurnal Fakultas Perikanan. Vol I No. 3 Hal. 262-263. Unsrat. Manado.
Suwignyo. 1989. Avertebrata Air. Bogor: Lembaga Sumberdaya dan Informasi. Institut Pertanian Bogor
USDA. 2003. Shrimp Nutrition Information. www.healthzone.com. Diakses pada 10 Mei 2015
Venette, R.C., dan Larson, M. 2004. Mini Risk Assessment Giant African Snail, Achatina fulica Bowdich. Minnesota: Department of Entomology University of Minnesota
22
LAMPIRAN
Lampiran I
Data Perhitungan Rendemen Udang
No Tipe Udang
1
Berat
(g)
Udang 1
Rendemen
(%)
Udang
2
Berat
(g)
Udang 2
Rendemen
(%)
Udang
3
Berat
(g)
Udang 3
Rendemen
(%)
Rata-
Rata
1 Head
on
8,91 100 % 8,93 100 % 10,69 100 % 100 %
2 Head
less
6,27 70,3 % 6,34 70,9 % 7,60 71,1 % 70,7 %
3 PDTO 5,69 63,8 % 5,83 65,2 % 6,80 63,6 % 64,2 %
4 Tail
off
5,27 59,1 % 5,42 60,6 % 6,50 60,80 % 60,1 %
23
Lampiran II
Data Perhitungan Rendemen Bekicot
No Nama Berat Total (g)
Berat Daging (g)
Berat Cangkang (g)
Berat Jeroan(g)
1 Bekicot 1 16,53 3,18 3,93 4,16
2 Bekicot 2 17,88 3,71 4,04 4,92
3 Bekicot 3 22,19 4,10 4,69 8,39
4 Bekicot 4 20,68 4,87 4,87 6,89
Berat rata-rata (g)
19.32±2.57 3.97±0.71 4.38±2.11 6.09±1.91
Rendemen (%) 20,54 % 22,67% 31,52%
24
Lampiran III
Data Pengamatan Organoleptik
a. Pengamatan pertama dilakukan pukul 08.00
Panelis Pengamatan pertama
Kenampakan Bau Tekstur
1 9 8 8
2 8 8 9
3 9 9 9
4 8 8 7
5 8 7 8
6 9 8 9
7 9 8 8
8 8 9 9
9 8 8 7
10 9 8 8
11 7 8 8
12 8 8 7
Rata-rata 8 8 8
b. Pengamatan kedua dilakukan pukul 13.00
Panelis Pengamatan kedua
Kenampakan Bau Tekstur
1 3 5 3
2 7 5 7
25
3 7 5 7
4 5 5 5
5 5 5 5
6 7 5 7
7 8 7 7
8 7 7 7
9 5 5 5
10 7 5 5
11 5 5 7
12 5 5 5
Rata-rata 6 5 6
\
c. Pengamatan ketiga pukul 17.00
Panelis Pengamatan ketiga
Kenampakan Bau Tekstur
1 3 3 3
2 3 1 3
3 1 1 3
4 3 1 3
5 3 1 1
6 5 1 5
7 3 3 1
8 1 3 3
9 3 3 1
26
10 3 3 3
11 3 3 1
12 3 3 5
Rata-rata 3 2 3
Pengukuran pH
a. Pengamatan pertama pukul 08.00 pH ikan mencapai 7
b. Pengamatan kedua pukul 13.00 pH ikan mencapai 7,1
c. Pengamatan ketiga pukul 17.00 pH ikan mencapai 7,3
27
LAMPIRAN IV
Dokumentasi Praktikum