Laporan PK
-
Upload
aghny-ratnasari -
Category
Documents
-
view
39 -
download
4
description
Transcript of Laporan PK
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya penyakit degeneratif, gangguan fungsi
organ secara sistemik lebih sering dikeluhkan oleh pasien yang salah satunya
pada sistem nefrourinaria. Sistem yang berfungsi untuk mengeliminasi sisa
metabolisme sekaligus mengatur volume cairan tubuh serta pH ini memiliki
peran penting pada homeostatis tubuh.
Dengan meningkatnya gangguan nefrourinari maka diperlukan
kemampuan dalam menegakan diagnosis penyakit yang berkaitan dengan sistem
nefrourinari, yang salah satunya dengan pemeriksaan urin. Pemeriksaan urin ini
tidak hanya dapat memberikan fakta tentang ginjal dan saluran urin, tetepi juga
mengenai faal berbagai organ dalam tubuh seperti hepar, saluran empedu,
pankreas, dan korteks adrenal. Pemeriksaan urin rutin dilakukan untuk
mengetahui kondisi urin secara makroskopis, mikroskopis, dan kimia. Sedangkan
pemeriksaan urin khusus digunakan untuk memeriksa kadar suatu zat yang
semula ada di dalam urin dalam jumlah kecil ataupun tidak ditemukan.
Maka dari itu, kita perlu mengetahui cara pemeriksaan urin rutin dan
khusus serta mengintepretasikan hasil yang berkaitan dengan penegakan
diagnosis penyakit yang berhubungan dengan gangguan sistem nefrourinaria.
B. Judul Praktikum
Pemeriksaan Urin Rutin dan Khusus
C. Tanggal Praktikum
9 September 2013
D. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui cara pemeriksaan urin rutin dan khusus
1
2. Dapat mengintepretasi hasil yang berkaitan dengan berkaitan dengan
penegakan diagnosis penyakit yang berhubungan dengan gangguan sistem
nefrourinaria
E. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan mahasiswa tentang pemeriksaan urin rutin dan
khusus
2. Meningkatkan keterampilan klinik mahasiswa mengenai pemeriksaan urin
rutin dan khusus
3. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai pemeriksaan urin rutin dan
khusus sehingga dapat mengaplikasikan dalam penegakan diagnosis
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemeriksaan Maksrokopis
1. Pemeriksaan Warna
Urin normal yang baru dikeluarkan tampak jernih sampai sedikit
berkabut dan berwarna kuning oleh pigmen urokrom dan urobilin. Intensitas
warna sesuai dengan derajat konsentrasi. Urin yang sangat encer hampir
tidak berwarna. Urin yang sangat pekat tampak kuning tua atau seperti sawo.
Berikut temuan patologik dan non patologik dari urin sesuai dengan
penampakan warna (Sacher, 2004).
Tabel 1. Berbagai Sebab Warna Urin (Sacher, 2004)
Warna yang tampak
Penyebab patologikPenyebab
nonpatologik
Merah
HemoglobinMioglobinPorfobilinogenPorfirin
Banyak obat dan zat warna
Oranye Tidak ada Obat ISK, Fenotiazin
KuningUrin yang sangat pekatBilirubinUrobilin
WortelFenasetin, cascara
HijauBiliverdinPseudomonas
Preparat vitaminObat psikoaktifDiuretik
Biru Tidak adaDiuretikNitrofuran
CoklatAsam hematinMioglobinPigmen empedu
LevodopaNitrofuranObat sulfa
Hitam atau hitam kecoklatan
MelaninAsam homogentisatIndikansUrobilinogenMethemoglobin
LevodopaCascaraKompleks besiFenol
3
2. Pemeriksaan Kekeruhan
Kekeruhan pada urin biasanya terjadi akibat kristalisasi atau
pengendapan urat (dalam urin asam) atau fosfat (dalam urin basa). Urat dan
fosfat kadang-kadang mengendap sewaktu urin berkumpul di kandung
kemih, tetapi pengendapan biasanya terjadi sewaktu urin mendingin pada
suhu kamar atau lemari pendingin (Sacher, 2004).
3. Pemeriksaan Bau
Bau pada urin erat hubungannya denga kerusakan urin itu sendiri. Urin
normal dan baru berbau tidak keras, urin yang sudah lama berbau amoniak
karena pemecahan ureum. Bila urin berbau amoniak atau berbau busuk,
kemungkinan ini disebabkan oleh cystitis atau retensi urin. Bau yang manis
disebabkan oleh aseton dari penderita diabetes mellitus (Sacher, 2004).
4. Pemeriksaan Buih
Buih pada urin normal berwarna putih. Jika urin mudah berbuih,
menunjukkan bahwa urin tersebut mengandung protein. Sedangkan jika urin
memiliki buih yang berwarna kuning, hal tersebut disebabkan oleh adanya
pigmen empedu (bilirubin) dalam urin (Sacher, 2004).
B. Pemeriksaan Kimiawi
1. Pemeriksaan pH
pH tidak banyak berarti dalam pemeriksaan penyaring. Akan tetapi
pada gangguan keseimbangan asam-basa penetapan itu memberi kesan
tentang keadaan dalam tubuh, apalagi jika disertai penetapan jumlah asam
yang diekskresikan dalam waktu tertentu dalam bentuk jumlah ion NH4.
Selain pada keadaan tadi pemeriksaan pH urin segar dapat memberi petunjuk
kearah infeksi saluran kemih. Infeksi oleh E. coli biasanya menghasilkan
urin asam, sedangkan infeksi oleh Proteus yang merombak ureum menjadi
amoniak menyebabkan urin menjadi basa (Sacher, 2004).
4
Tabel 2. Penyebab Perubahan pH Urin (Sacher, 2004)
Temuan dan Keadaan Penyebab dan KomentarBasa“Alkaline Tide” setelah makan Temuan normal pada spesimen yang
dikeluarkan segera setelah makanVegetarianisme Vegetarian tidak menghasilkan residu
asam tetapAlkalosis sitemik Cari adanya muntah berat,
hiperventilasi, kelebihan ingesti alkaliInfeksi saluran kemih Proteus atau Pseudomonas
menguraikan urea menjadi CO2 dan amonia
Terapi alkalinisasi Digunakan untuk mencegah kristalisasi asam urat
Spesimen basi pH sangat tinggi dan bau seperti amoniak menandakan pertumbuhan bakteri yang tinggi
Asidosis tubulus ginjal Gangguan pengasaman pada tubulusAsamKetosis Diabetes, kelaparan, penyakit demam
pada anakAsidosis sistemik Asidosis respiratorik atau metabolik
memicu pengasaman urin dan peningkatan ekskresi NH4
+
Terapi pengasaman Digunakan untuk mengobati ISK
2. Pemeriksaan Reduksi
Pemeriksaan glukosa dalam urin berdasarkan pada glukosa oksidase
yang akan menguraikan glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen
peroksida. Kemudian hidrogen peroksida ini, dengan adanya peroksidase,
akan mengkatalisa reaksi antara potassium iodide dengan hidrogen peroksida
menghasilkan H2O dan On (O nascens). O nascens akan mengoksidasi zat
warna potassium iodide dalam waktu 10 detik membentuk warna biru muda,
hijau sampai coklat. Sensitivitas pemeriksaan ini adalah 100 mg/dl, dan
pemeriksaan ini spesifik untuk glukosa. Hasil negatif palsu pada
pemeriksaan ini dapat disebabkan oleh bahan reduktor dalam urin seperti
vitamin C (lebih dari 40 mg/dl), asam homogentisat, aspirin serta bahan yang
5
mengganggu reaksi enzimatik seperti levodova, gluthation, dan obat-obatan
seperti diphyrone. Selain menggunakan carik celup, pemeriksaan glukosa
urin dapat menggunakan (Sacher, 2004) :
a. Metode Fehling
Prinsip : Dengan pemanasan urin dalam suasana alkali, glukosa akan
mereduksi cupri sulfat menjadi cupro oksida. Pengendapan cupri
hidroksida dicegah dengan penambahan kalium natrium tartrate.
b. Metode Benedict
Prinsip : Glukosa dalam urin akan mereduksi garam-garam kompleks
yang terdapat pada pereaksi benedict (ion cupri direduksi menjadi
cupro) danmengendap dalam bentuk CuO dan Cu2O.
Tabel 3. Makna Gula dalam Urin (Sacher, 2004)
Makna Gula dalam UrinGlikosuria dengan Gula Darah TinggiDiabetes MellitusGangguan endokrin lain (Akromegali, sindrom cushing, hipertiroidisme, feokromositoma)Penyakit pankreas : fibrosis kistik stadium lanjut, hemokromatosis, pankreatitis yang berat, karsinomaDisfungsi susunan saraf pusat : asfiksia, tumor atau perdarahan, terutama yang mengenai hipotalamusGangguan metabolik yang masif : luka bakar berat, uremia, penyakit hati tahap lanjut, sepsis, syok kardiogenikAkibat obat : Kortikosteroid dan ACTH, tiazid, kontrasepsi oralGlikosuria tanpa peningkatan gula darahDisfungsi tubulus ginjalKehamilanGula bukan Glukosa di UrinGalaktosa : galaktosa berada di urin hanya jika sedang minum susuFruktosa : fruktosuria esensial adalah penyakit yang jarang dan jinakPentosa : pada orang normal karena asupan buah yang banyak
3. Pemeriksaan Protein
Proteinuria biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal akibat kerusakan
glomerulus dan atau gangguan reabsorpsi tubulus ginjal. Pemeriksaan
6
protein dalam urin berdasarkan pada prinsip kesalahan penetapan pH oleh
adanya protein. Sebagai indikator digunakan tertrabromphenol blue yang
dalam suatu sistem buffer akan menyebabkan pH tetap konstan. Akibat
kesalahan penetapan pH oleh adanya protein, urin yang mengandung
albumin akan bereaksi dengan indikator menyebabkan perubahan warna
hijau muda sampai hijau. Indikator tersebut sangat spesifik dan sensitif
terhadap albumin. Perubahan warna terjadi dalam waktu 60 detik. Selain
mengunakan carik celup, pemeriksaan protein urin dapat juga menggunakan
(Sacher, 2004):
a. Metode Rebus
Prinsip : Untuk menyatakan adanya urin yang ditunjukkan dengan
adanya kekeruhan dengan cara penambahan asam akan lebih
mendekatkan ke titik isoelektris dari protein. Pemanasan selanjutnya
menyebabkan denaturasi sehingga terjadi presipitasi yang dinilai secara
semi kuantitatif.
b. Metode Sulfosalisilat
Prinsip dari metode sulfosalisilat sama dengan metode Rebus.
c. Metode Heller
Prinsip : Adanya protein dalam urin akan bereaksi dengan HNO3 pekat
membentuk cincin putih.
Tabel 4. Makna Protein dalam Urin (Sacher, 2004)
Makna Protein dalam UrinProteinuria minimal (<0,5 g/hari)Setelah olahraga atau pada urin yang sangat pekat pada orang sehatDemam, stres termal, atau emosional yang berat, pada orang sehatProteinuria postural : orang dewasa muda mengeluarkan protein saat berdiriHipertensiDisfungsi tubulus ginjalGinjal polikistikInfeksi saluran kemih bagian bawahHemoglobinuria dengan reaksi transfusi hemolitik yang beratProteinuria sedang (0,5-3 g/hari)
7
Glomerulonefritis kronis, sedangGagal jantung kongestifNefropati diabetes, ringanPielonefritisMieloma multipelPra-eklamsiaProteinuria berat (>3 g/hari)Glumerulonefritis akutGlumerulonefritis kronisNefropati diabetesPenyakit amiloidNefritis Jupus
C. Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik diperlukan untuk mengamati sel dan benda
berbentuk partikel lainnya. Banyak macam unsur mikroskopik dapat ditemukan
baik yang ada kaitannya dengan infeksi (bakteri, virus) maupun yang bukan
karena infeksi misalnya perdarahan, disfungsi endotel dan gagal ginjal. Unsur-
unsur yang ada dalam sedimen urin terdiri dari (Bawa, 2011):
1. Unsur Organik
a. Epitel
Sel epitel adalah sel berinti satu dengan ukuran lebih besar
dari leukosit. Bentuknya berbeda menurut tempat asalnya sehingga
dapat menggambarkan lokasi kelainan. Urin normal berisi tiga varietas
utama sel epitel: tubular ginjal, transisi (urothelial), dan skuamosa. Sel-sel
ini melapisi saluran kemih, tubulus dan nefron. Sel epitel gepeng berasal
dari vulva dan uretra bagian distal, sel epitel transisional berasal dari
kandung kemih, dan selepitel bulat dari pelvis/tubuli ginjal (French,
2012).
8
.
Gambar 1. Epitel Transisional (French, 2012)
b. Leukosit
Leukosit sering ditemukan pada sedimen urin normal, tetapi sedikit
dan tidak boleh melebihi lima per LP. Walaupun semua jenis sel darah
putih yang muncul dalam darah perifer juga dapat ditemukan dalam urin
(yaitu, limfosit, monosit, eosinofil), saat ini sel yang paling umum adalah
polimorfonuklear (PMN). PMN memiliki fungsi fagositosis, motil secara
aktif, dan bergerak secara ameboid dengan pseudopodia. Leukosit ukuran
diameter 10 sampai 20 pM. PMN dalam urin dapat segera diketahui
karena inti multisegmented dan sitoplasma granular.
Pewarnaan sedimen memungkinkan pengamat untuk
mengidentifikasi PMN lebih mudah karena inti multilobe tampak jelas
dan dapat mengurangi kebingungan dengan sel nonleukocytic, seperti sel-
sel RTE (French, 2012).
Gambar 2. Leukosit (French, 2012)
9
c. Eritrosit
Pada sedimen urin normal sejumlah 0 - 5 sel eritrosit per LP dapat
ditemukan. Jumlah lebih besar dari lima per LP harus diselidiki secara
menyeluruh dan penyebab hematuria harus dicari. Mikroskopik sel
darah merah terlihat mirip dengan yang ditemukan dalam darah perifer,
yaitu doubel disk cekung yang memiliki warna oranye samar pucat yang
menyatakan kadar hemoglobin mereka. Dalam urin hipertonik, sel darah
merah mungkin krenasi dan dalam urin hipotonik mereka mungkin
membengkak, menjadi bola, dan, pada waktunya, pecah, hanya
menyisakan membran atau sel "hantu" yang terlihat seperti tetesan kecil
minyak. Tetesan minyak dapat dibedakan dari sel darah merah
berdasarkan ukurannya yang bervariasi, tidak adanya hemoglobin, dan
berbentuk bulat (French, 2012).
Gambar 3. Eritrosit (French, 2012)
d. Torax (Silinder)
Silinder terbentuk pada tubulus ginjal dengan matriks glikoprotein
yang berasal dari sel epitel ginjal. Silinder pada urin menunjukkan
keadaan abnormal pada parenkim ginjal yang biasanya berhubungan
dengan proteinuria, anuria, oligouria, aliran urin yang lambat, dan pH
asam. Macam-macam silinder yang dapat ditemukan adalah : silinder
10
hialin, silinder sel (eritrosit, leukosit, epitel), silinder granular (berbutir),
silinder lemak, dan silinder lilin (French, 2012).
2. Unsur Anorganik (macam-macam kristal)
Kristal yang sering dijumpai adalah kristal kalsium oksalat, tripel
fosfat, asam urat. Penemuan kristal-kristal tersebut tidak mempunyai arti
klinik yang penting. Namun, dalam jumlah berlebih dan adanya predisposisi
antara lain infeksi, memungkinkan timbulnya batu ginjal dan saluran kemih
(lithiasis). Hal ini menimbulkan jejas dan dapat menyebabkan fragmen sel
epitel terkelupas. Pembentukan batu dapat disertai kristaluria, dan penemuan
kristaluria tidak harus disertai pembentukan (French, 2012).
Gambar 4. Kalsium Oksalat Monohidrat (French, 2012)
D. Pemeriksaan Khusus
1. Pemeriksaan Bilirubin
Bilirubin yang diperiksa dalam urin adalah bilirubin terkonjugasi/
bilirubin direk. Bilirubin mudah difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan
ke dalam urin bila kadar bilirubin dalam darah meningkat. Bilirubinuria
dijumpai pada ikterus parenkimatosa (hepatitis infeksiosa, toksik hepar),
ikterus obstruktif, kanker hati (sekunder), gagal jantung kronik disertai
ikterik. Urin yang mengadung bilirubin yang tinggi tampak berwarna kuning
pekat, dan jika digoncang-goncangkan akan timbul busa (Dugdale, 2013).
11
Secara normal, bilirubin tidak dijumpai di urin. Bilirubin terbentuk dari
penguraian hemoglobin dan kemudian ditranspor ke hati. Hati bertindak
sebagai tempat berkonjugasi dan kemudian diekskresikan dalam bentuk
empedu. Bilirubin tak terkonjugasi (bilirubin indirek) bersifat larut dalam
lemak, sehingga tidak dapat diekskresikan ke dalam urin (Dugdale, 2013).
2. Pemeriksaan Urobilinogen
Pemeriksaan urobilinogen adalah salah satu dari pemeriksaan-
pemeriksaan yang paling sensitif untuk menentukan kerusakan hepar,
penyakit hemolitik, dan infeksi berat. Pada hepatitis tahap awal, kerusakan
sel-sel hepar sedang atau toksisitas sedang, kadar urin urobilinogen akan
meningkat walaupun tidak ada perubahan dalam nilai bilirubin. Nilai
urobilinogen pada kerusakan hepar berat akan turun karena cairan empedu
yang diproduksi sedikit (Kee, 1997).
Ekskresi urobilinogen ke dalam urin kira-kira 1-4 mg/24jam. Ekskresi
mencapai kadar puncak antara jam 14.00 – 16.00, oleh karena itu dianjurkan
pengambilan sampel dilakukan pada jam-jam tersebut (Llyod, 2013).
Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urin terjadi bila fungsi sel hepar
menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran gastrointestinal
yang melebihi batas kemampuan hepar untuk melakukan rekskresi.
Urobilinogen urin menurun dijumpai pada ikterik obstruktif, kanker
pankreas, penyakit hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan hanya
sedikit), penyakit inflamasi parah, kolelitiasis, dan diare berat (Llyod, 2013).
3. Pemeriksaan Kalsium
Pemeriksaan kalsium adalah pemeriksaan urin yang digunakan untuk
mengukur jumlah kalsium (Ca) yang diekskresikan oleh ginjal. Kalsium
merupakan suatu mineral yang paling umun dan penting bagi tubuh. Fungsi
dari kalsium yaitu membentuk dan memperbaiki tulang dan gigi, membantu
kerja saraf dan pembekuan darah, serta kerja jantung. Hampir seluruh Ca di
12
dalam tubuh tersimpan di dalam tulang, dan hanya sebagian yang ditemukan
di dalam darah. Bila ada kelebihan Ca di dalam tubuh, maka akan
dikeluarkan melalui urin dan feses (Dugdale, 2011).
Kelebihan kadar kalsium dalam darah/hiperkalsiuria dapat terjadi karena
hiperparatiroidisme, fraktur dan imobilisasi tulang, intoksikasi vitamin D,
atau mungkin idiopatik (lebih sering). Hiperkalsiuria idiopatik dapat bersifat
absorbtif, disertai peningkatan ambilan kalsium gastrointestinal, atau dapat
diakibatkan dari kebocoran kalsium tubular (hiperkalsiuria renal) (Schwartz,
2004).
13
BAB IIIMETODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Beakerglass 1000 cc
b. Gelas ukur
c. Kuvet
d. Tabung reaksi
e. Penjepit tabung
f. Lampu spiritus
g. Pipet tetes
h. Sentrifugator
i. Object glass
j. Kaca penutup
k. Mikroskop
l. Corong
m. Rak tabung reaksi
2. Bahan
a. Urin
b. Kertas lakmus
c. Kertas hisap
d. Benedict
e. Asam asetat 6%
f. Sulfosalisilat
g. Reagen Sternheimer-Malbin
h. Kertas saring
i. Fouchet
j. Barium klorida 10%
k. Reagen ehrlich
l. Reagen sulkowicth
14
B. Langkah Kerja
1. Pemeriksaan Urin Rutin
a. Makroskopis
1) Melakukan pengamatan pada urin yang ditampung di beakerglass
terhadap warna, kekeruhan, dan bau
2) Melakukan pengamatan buih
a) Memasukan 5 cc urin dalam tabung reaksi
b) Mengocok beberapa saat sampai keluar buih
c) Mengamati warna dan waktu hilangnya buih tersebut
b. Mikroskopis
1) Metode Natif
a) Memusingkan 10 – 15 ml urin dengan kecepatan 1500 – 2000
rpm selama 5 – 10 menit.
b) Membuang filtratnya dan menyisakan 0,5 ml
c) Mengocok dengan hati – hati supaya sedimen larut dan
tercampur rata
d) Meneteskan pada kaca obyek lalu menutup dengan kaca penutup
secara hati – hati dan jangan ada gelembung udara
e) Memeriksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x untuk
melihat unsur sedimen dan pembesaran 400 x untuk identifikasi
unsur – unsur yang ada
2) Metode Steinheimer-Malbin
a) Memusingkan 10 – 15 ml urin dengan kecepatan 1500 – 2000
rpm selama 5 – 10 menit.
b) Membuang filtratnya dan menyisakan 0,5 ml
c) Meneteskan reagen Steinheimer-Malbin
d) Mengocok dengan hati – hati supaya sedimen larut dan
tercampur rata
e) Meneteskan pada kaca obyek lalu menutup dengan kaca penutup
secara hati – hati dan jangan ada gelembung udara
15
f) Memeriksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 100 x untuk
melihat unsur sedimen dan pembesaran 400 x untuk identifikasi
unsur – unsur yang ada
c. Kimiawi
1) Derajat keasaman
a) Kertas Lakmus
i) Meneteskan urin pada kertas lakmus merah maupun biru
ii) Mengamati perubahan warna yang terjadi
b) Indikator Universal
i) Meletakkan sepotong kertas indikator pada kaca obyek
ii) Meneteskan urin diatasnya
iii) Membandingkan dengan standar warna yang tersedia
2) Reduksi dengan metode Benedict
a) Memasukan 5 ml reagen Benedict kedalam tabung reaksi
b) Meteskan sebanyak 5 – 8 tetes urin kedalam tabung itu
c) Memanaskan diatas api selama 5 menit
d) Mengangkat tabung dan mengocok isinya
e) Mengamati perubahan yang terjadi
3) Protein
a) Metode Rebus
i) Memasukan urin kedalam tabung reaksi 2/3 penuh
ii) Memiringkan dan panaskan bagian permukaan urin di atas
api spirtus sampai mendidih selama 30 detik.
iii) Mengamati hasilnya dan membandingkan dengan bagian
bawah yang tidak dipanasi sebagai kontrol negatif
iv) Apabila terjadi kekeruhan teteskan 3 – 5 tetes asam asetat
6 %
v) Jika kekeruhan hilang urin mengandung protein, bila
kekeruhan menetap kemungkinan protein positif
vi) Memanaskan lagi sampai mendidih
16
vii)Memberilah penilaian pada kekeruhan yang menetap tadi
b) Metode Sulfosalisilat
i) Menyediakan 2 tabung reaksi masing-masing diisi dengan
2 ml urin jernih.
ii) Menambahkan pada tabung pertama 8 tetes larutan asam
Sulfosalisilat 20 %
iii) Membandingkan isi tabung pertama dengan yang kedua,
jika tetap sama jernihnya hasil test berarti negatif.
iv) Jika tabung pertama lebih keruh daripada tabung kedua,
memanaskan tabung pertama diatas api sampai mendidih
dan kemudian didinginkan
v) Jika kekeruhan tetap ada pada waktu proses pemanasan
dan tetap ada setelah didinginkan kembali, berarti test
positif
vi) Jika kekeruhan itu hilang pada saat pemanasan, tetapi
muncul setalah dingin, mungkin sebabnya protein Bence
Jones
2. Pemeriksaan Urin Khusus
a. Bilirubin dengan metode Fouchet
1) Mencampurkan 5 ml urin segar dengan 5 ml larutan bariumchlorida
10% kemudian disaring
2) Mengangkat kertas saring dari corong dan membiarkan agak kering
3) Meneteskan 2 – 3 tetes reagen Fouchet ke atas presipitat pada kertas
saring
4) Mengamati hasil
b. Urobilinogen dengan metode Ehrlich
1) Mencampurkan 10 – 20 tetes reagen Ehrlich dengan 5 ml urin
2) Membiarkan tegak pada rak tabung 3 – 5 menit
3) Mengamati hasil
c. Kalsium dengan metode Sulkowitch
17
1) Memasukkan dalam 2 tabung reaksi masing-masing 3 ml urin untuk
tes dan control
2) Memasukkan dalam tabung tes 3 ml reagen Sulkowitch
3) Mencampur dan membiarkan selama 2 – 3 menit
4) Mengamati hasilnya
18
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Probandus
Nama : Lutfi Maulana
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
1. Pemeriksaan Makroskopis
a. Warna : kuning (normal)
b. Kekeruhan : jernih (normal)
c. Bau : bau khas asam-asam organik yang menguap (normal)
d. Buih : putih, buih yang muncul lama hilangnya yaitu dalam waktu 1
menit hanya hilang setengahnya (protein)
2. Pemeriksaan Kimiawi
a. pH menggunakan indikator universal: pH 6 (normal)
b. Reduksi/glukosa menggunakan Metode Benedict: biru kehijauan (-)
c. Protein
1) Rebus : Gumpalan nyata (+++)
2) Sulfosalisilat : + setelah didingankan.
3. Pemeriksaan Mikroskopis
a. Metode Natif
Tabel 5. Unsur Organis yang Ditemukan pada Metode Natif
Sel Hasil
Eritrosit (+)
Epitel Normal
Leukosit (+)
19
b. Metode pengecatan Sternheimer – Malbin
Tabel 6. Unsur Organis yang Ditemukan pada Metode Sternheimer –
Malbin
4. Pemeriksaan Khusus
a. Bilirubin
1) Tes Busa = Putih (normal)
2) Tes Fauchet = Tidak terjadi perubahan warna (normal)
b. Pemeriksaan Urobilinogen (Tes Ehlrich)
Terlihat warna merah samar-samar (+)
c. Pemeriksaan Kalsium
Tampak kekeruhan ringan (normal)
B. Pembahasan
1. Pemeriksaan Makroskopis
Dari hasil praktikum didapat kondisi abnormal karena kemungkinan
dalam urin mengandung protein. Hal ini disebabkan karena protein tersaturasi
pada urin. Apabila kadar protein melebihi Tm (Tm merupakan batas
maximum zat bisa di absorpsi) maka akan tersaturasi. Pada dasarnya,
protein/asam amino di absorpsi seluruhnya di tubulus proximal tetapi karena
intakenya lebih besar dan melebihi Tm akhirnya tersaturasi pada urin dan
mengakibatkn buih yang tidak cepat hilang.
20
Sel Hasil
Eritrosit (+)
Epitel Normal
Leukosit (+)
2. Pemeriksaan Kimia
a. pH
Pada pemeriksaan pH urin menggunakan kertas hisap dan didapatkan
hasil probandus pH 6,0. Dari hasil yang didapat, bahwa probandus
memiliki pH yang normal. Karena pH normal tubuh manusia sekitar 4,6 –
8,5. Ekskresi urin yang pada pH berbeda dari cairan tubuh, mempunyai
dampak yang penting bagi elektrolit tubuh dan penghematan asam-basa.
b. Reduksi
Pada uji Benedict didapat hasil negatif yaitu urin berwarna biru
kehijauan setelah dipanaskan. Dilihat dari segi probandus nampak sehat
dan tidak ada riwayat penyakit gula dari pihak probandus baik dirinya
ataupun keluarganya.
Gambar 5. Hasil Pemeriksaan Reduksi Metode Benedict
c. Protein
1) Metode Sulfosalisilat
Metode pemeriksaan urin ini menggunakan prinsip yaitu dengan
penambahan sulfosalisilat pada urin (tanpa pemanasan) akan
menimbulkan kekeruhan yang sifatnya menetap. Bahan yang
21
digunakan adalah urin jernih, dan reagen yang digunakan adalah
sulfosalisilat 20%. (PK, 2013)
Positif palsu terjadi bila kekeruhan yang timbul hilang dengan
pemanasan, urin mungkin mengandung urat atau karbonat. Negatif
palsu terjadi bila urin terlalu encer. (PK, 2013)
Penentuan protein urin metode sulfosalisilat ini memiliki
berbagai kelebihan diantaranya adalah harga lebih murah, pembuatan
reagen dapat disesuaikan dengan jumlah pasien sehingga lebih
ekonomis, serta reagen yang mudah diperbarui. Sedangkan
kekurangannya adalah membutuhkan waktu yang lebih lama.
2) Metode Rebus atau Asam Asetat
Metode ini menggunakan reagen asam asetat 6%. Terjadi positif
palsu jika kekeruhan timbul oleh obat yang dikeluarkan lewat urin
dan negatif palsu jika urin terlalu encer. Urin yang terlalu encer
memiliki berat jenis rendah sehingga tidak baik digunakan dalam tes
ini. Prinsip metode ini adalah dengan pemanasan akan menyebabkan
denaturasi protein dan terjadi presipitasi. Proses presipitasi dibantu
oleh garam-garam yang ada dalam urin atau sengaja ditambahkan.
(PK, 2013)
Dari hasil praktikum didapatkan urin probandus tidak mengandung
protein, baik pada metode rebus maupun metode sulfosalisilat. Hal ini
menandakan bahwa probandus tidak dalam keadaan patolgis atau sakit.
Jika ditemukan protein dalam urin seseorang disebut proteinuria. Karena
urin normalnya mengandung protein dengan susunan:
1) Albumin 40 – 80 mg/hari
2) Immunoglobulin G (IgG) 5 – 10 mg/hari
3) Protein Tamm-Horstfall 30 – 60 mg/hari. Protein ini disekresikan dari
tubulus ginjal (ansa henle ascendens dan tubulus contortus distal).
(Sukandar, 2006)
22
Gambar 6. Hasil Pemeriksaan Kimiawi Protein Metode Rebus
Gambar 7. Hasil Pemeriksaan Kimiawi Protein Metode Sulfosalisilat
3. Pemeriksaan Mikroskopis
Urin normal pada pemeriksaan mikroskopis umumnya hanya
mengandung eritrosit 0-3/lp, leukosit 0-5/lp dan epitel >13/lp diatas itu maka
urin dinyatakan abnormal. Pada pemeriksaan ini probandus memiliki kelainan
berupa peningkatan jumlah eritrosit dan leukosit. Eritrosit dalam air seni dapat
berasal dari bagian manapun dari saluran kemih. Secara teoritis, harusnya
tidak dapat ditemukan adanya eritrosit, namun dalam urin normal dapat
ditemukan 0 – 3 sel/LPK. Hematuria adalah adanya peningkatan jumlah
eritrosit dalam urin karena: kerusakan glomerular, tumor yang mengikis
23
saluran kemih, trauma ginjal, batu saluran kemih, infeksi, inflamasi, infark
ginjal, nekrosis tubular akut, infeksi saluran kemih atas dan bawah,
nefrotoksin, dll. Hematuria dibedakan menjadi hematuria makroskopik (gross
hematuria) dan hematuria mikroskopik. Darah yang dapat terlihat jelas secara
visual menunjukkan perdarahan berasal dari saluran kemih bagian bawah,
sedangkan hematuria mikroskopik lebih bermakna untuk kerusakan
glomerulus. Dinyatakan hematuria mikroskopik jika dalam urin ditemukan
lebih dari 5 eritrosit/LPK. Hematuria mikroskopik sering dijumpai pada
nefropati diabetik, hipertensi, dan ginjal polikistik. Hematuria mikroskopik
dapat terjadi persisten, berulang atau sementara dan berasal dari sepanjang
ginjal-saluran kemih. Hematuria persisten banyak dijumpai pada perdarahan
glomerulus ginjal. Eritrosit dapat terlihat berbentuk normal, membengkak,
krenasi, mengecil, shadow atau ghost cells dengan mikroskop cahaya (Sacher,
2004).
Leukosit berbentuk bulat, berinti, granuler, berukuran kira-kira 1,5 – 2
kali eritrosit. Lekosit dalam urin umumnya adalah neutrofil
(polymorphonuclear, PMN). Lekosit dapat berasal dari bagian manapun dari
saluran kemih. Lekosit hingga 4 atau 5 per LPK umumnya masih dianggap
normal. Peningkatan jumlah lekosit dalam urin (leukosituria atau piuria)
umumnya menunjukkan adanya infeksi saluran kemih baik bagian atas atau
bawah, sistitis, pielonefritis, atau glomerulonefritis akut. Leukosituria juga
dapat dijumpai pada febris, dehidrasi, stress, leukemia tanpa adanya infeksi
atau inflamasi, karena kecepatan ekskresi leukosit meningkat yang mungkin
disebabkan karena adanya perubahan permeabilitas membran glomerulus atau
perubahan motilitas leukosit. Pada kondisi berat jenis urin rendah, leukosit
dapat ditemukan dalam bentuk sel Glitter merupakan lekosit PMN yang
menunjukkan gerakan Brown butiran dalam sitoplasma. Pada suasana pH
alkali leukosit cenderung berkelompok. Lekosit dalam urin juga dapat
merupakan suatu kontaminan dari saluran urogenital, misalnya dari vagina
dan infeksi serviks, atau meatus uretra eksterna pada laki-laki (Sacher, 2004).
24
Gambar 8. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Metode Natif Terdapat
Eritrosit
Gambar 9. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Metode Sternheimer-
malbin Terdapat Eritrosit
4. Pemeriksaan Khusus
a. Pemeriksaan bilirubin
Pada urin normal tidak terdapat bilirubin. Bilirubin yang dapat
dijumpai dalam urin adalah bilirubin direk (terkonjugasi), karena tidak
terkait dengan albumin, sehingga mudah difiltrasi oleh glomerulus dan
diekskresikan ke dalam urin bila kadar dalam darah meningkat.
Bilirubinuria dijumpai pada ikterus parenkimatosa (hepatitis infeksiosa,
25
toksik hepar), ikterus obstruktif, kanker hati (sekunder), CHF disertai
ikterik (Kee, 2003).
Gambar 10. Hasil Pemeriksaan Bilirubin Metode Fouchet
b. Pemeriksaan Urobilinogen
Urobilinogen normal dijumpai pada orang normal namun
meningkat pada keadaan patologis. Empedu yang sebagian besar dibentuk
dari bilirubin terkonjugasi mencapai area duodenum, tempat bakteri dalam
usus mengubah bilirubin menjadi urobilinogen. Sebagian besar
urobilinogen berkurang di faeses; sejumlah besar kembali ke hati melalui
aliran darah, di sini urobilinogen diproses ulang menjadi empedu; dan
kira-kira sejumlah 1% diekskresikan ke dalam urin oleh ginjal.
Peningkatan ekskresi urobilinogen dalam urin terjadi bila fungsi sel hepar
menurun atau terdapat kelebihan urobilinogen dalam saluran
gastrointestinal yang melebehi batas kemampuan hepar untuk melakukan
rekskresi. Urobilinogen meninggi dijumpai pada : destruksi hemoglobin
berlebihan (ikterik hemolitika atau anemia hemolitik oleh sebab apapun),
kerusakan parenkim hepar (toksik hepar, hepatitis infeksiosa, sirosis
hepar, keganasan hepar), penyakit jantung dengan bendungan kronik,
obstruksi usus, mononukleosis infeksiosa, anemia sel sabit. Urobilinogen
urin menurun dijumpai pada ikterik obstruktif, kanker pankreas, penyakit
hati yang parah (jumlah empedu yang dihasilkan hanya sedikit), penyakit
26
inflamasi yang parah, kolelitiasis, diare yang berat. Hasil positif juga dapat
diperoleh setelah olahraga atau minum atau dapat disebabkan oleh
kelelahan atau sembelit. Orang yang sehat dapat mengeluarkan sejumlah
kecil urobilinogen (Kee, 2003).
Gambar 11. Hasil Pemeriksaan Urobilinogen
c. Pemeriksaan Kalsium
Kalsium dalam urin normal ditemukan pada orang sehat, namun
bisa terjadi peningkatan dalam keadaan patologis tertentu. Hiperkalsiuria
atau peningkatan kalsium dalam urin biasanya menyertai kadar
pemeriksaan kalsium dalam serum. Pada pria dewasa kebutuhan kalsium
sangat rendah, sekitar 300 – 400mg setiap hari. Sebaliknya pada wanita
pascamenopause kalsium yang dibutuhkan tinggi, berkisara antara 1200 –
1500 mg setiap hari. Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya absorpsi
kalsium secara bertahap akibat usia lanjut. Menurunnya absorpsi kalsium
mengakibatkan kalsium dari aliran darah larut dalam urin dan dapat
mempengaruhi berat jenis urin (Kee, 2003).
27
Gambar 12. Hasil Pemeriksaan Urobilinogen
C. Aplikasi Klinis
1. Sistitis
Sistitis merupakan infeksi yang terjadi pada vesica urinaria. Penyakit
ini paling sering terjadi pada wanita dimana proses infeksi tersering dengan
proses askending dari periuretra/ vagina dan fecal flora. Penyebab paling
sering terjadinya sistitis yaitu E. Coli. Penyebab lain berupa gram negattif
(Klebsiella dan Proteus Sp.) dan gram positif S. Saprophuticus dan
enterococci) (Tanagho & McAninch, 2008).
Pasien dengan sistitis akan mengalami simtomatik seperti disuria,
sering, dan urgensi. Simptom yang lain yaitu nyeri punggung bawah, nyeri
tekan suprapubik, dan hematuria. Demam dan gejala sistemik jarang
ditemukan (Tanagho & McAninch, 2008).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
sistits dapat dilakukan urinanalisis. Pada pemeriksaan ini akan ditemukan
eritrosit, leukosit, bakteri, dan pada pemeriksaan kimia dapat ditemukan
nutrisi dalam urin (Vyas, 2010).
28
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus dapat dikategorikan menjadi hepatitis virus A, B, C, D,
dan E. Tempat terjadinya infeksi di hepar. Hepatitis A dan E penularan
melalui rute fekal oral. Prevalensi dari kedua agen tersebut di daerah yang
sanitasinya rendah. Pada penularan fecal oral tidak hanya secara kontaminasi
langsung melalui air dan makanan, tetapi juga melalui ikan yang dimakan
mentah yang hidup di air yang terkontaminasi. Hepatitis B, C, and D
ditularkan melalui kontak perkutaneus oleh darah dan cairan tubuh yang
terinfeksi. Faktor risiko termasuk aktivitas seksual tanpa pengaman,
penggunaan suntik, transfusi darah, hemodialisa, dan transmisi ibu dan anak
(Kunt & Kunt, 2006).
Pada pemeriksaan urin akan ditemukan kandungan bilirubin yang
meningkat. Peningkatan ini diakibatkan kandungan bilirubin yang tinggi di
dalam darah yang akan mudah melewati filtrasi ginjal. Peningkatan
kandungan bilirubin ditandai pada pemeriksaan busa menunjukan positif
yaitu timbul buih warna kuning. Selain itu pada pemerikasaan bilirubin urin
pada tes fouchet akan menunjukan positif yang ditandai dengan timbul
warna hijau sampai menjadi biru hijau (Kunt & Kunt, 2006).
3. Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh kerusakan nefron yang progesif
dan ireversibel dimana penyebabnya tidak diperhatikan. Diagnosis ini
dinyatakan dengan penurunan laju filtrasi glomerolus turun milimal selama 3
sampai 6 bulan. Bukti dari proses kronik ditandai dengan mengecilnya
ukuran ginjal secara bilateral. Beberapa indikator laboratorium yang
abnormal sering diterima sebagai indikator kronisitas penyakit ginjal. Pada
sedimen urin ditemukan yang besar adalah khas untuk gagal ginjal kronik.
Ukuran diameter dari lebar silinder tersebut menyatakan dilatasi dan
hipertrofi nefron yang masih berfungsi. Kejadian proteinuria dan hematuria
sering ditemukan, tetapi bukan merupakan hal yang spesifik (Coe, 2000).
29
BAB VKESIMPULAN
1. Pada pemeriksaan makroskopik, didapatkan bahwa warna, kekeruhan, dan bau
urin probandus normal, namun terdapat buih yang tidak hilang dalam waktu 1
menit dan diinterpretasikan bahwa pada urin terdapat protein.
2. Pada pemeriksaan kimiawi pH dan reduksi dengan metode benedict (glukosa
dalam urin) normal. Namun, pada pemeriksaan protein metode rebus dan
sulfosalisilat didapatkan hasil positif.
3. Pasa pemeriksaan mikroskopis, urin dinyatakan abnormal karena mengandung
eritrosit dan leukosit diatas normal. Urin normal hanya mengandung eritrosit
0-3/lp, leukosit 0-5/lp dan epitel >13/lp.
4. Pada pemeriksaan khusus yaitu pemeriksaan bilirubin, urobilinogen, dan
kalsium didapatkan hasil normal.
5. Aplikasi klinis kelainan pada sistem urinarius meliputu sistitis, hepatitis virus,
dan gagal ginjal kronik.
30
DAFTAR PUSTAKA
Bawa, R., 2011. NVCC. [Online] Available at: http://www.nvcc.edu/home/rbawa/articles/Urinalysis%20%E2%80%93%20Chemical,%20Physical%20and%20Microscopic%20Examination%20of%20Urin.pdf [Diakses 10 September 2013].
Coe, F.L. & B.M. Brenner. 2000. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.
Dugdale, David C. 2011. “Calcium - Urin”. Available at : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003603.htm (diakses pada 10 September 2013)
Dugdale, David C. 2013. “Billirubin - Urin”. Available at : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003595.htm (diakses pada 10 September 2013)
French, T., 2012. Cornell University. [Online] Available at: https://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/ua-rout/epithsed.htm[Diakses 10 September 2013].
French, T., 2012. Cornell University. [Online] Available at: https://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/ua-sed/cells.htm [Diakses 10 September 2013].
French, T., 2012. Cornell University. [Online] Available at: https://ahdc.vet.cornell.edu/clinpath/modules/UA-ROUT/crystsed.htm [Diakses 10 September 2013].
Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Fiagnostik dengan Implikasi Keperawatan. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce LeFever. 2003. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan implikasi keperawatan. Jakarta: EGC
Kunt, H.D. & H.D. Kunt. 2006. Hepatology Principles and Practice 2nd Edition. Jerman: Springer.
Llyod, Iva. 2013. “Urobilinogen Urin Test”. Available at : http://www.ndhealthfacts.org/wiki/Urobilinogen_Urin_Test (diakses pada 10 September 2013).
31
Mc Pherson, A. R., & Sacher, A. R. (2004). Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta: Panerbit Buku Kedokteran EGC.
PK, Tim. (2013). Buku Petunjuk Praktikum Patologi Klinik Blok Nefro-Urinarius. Purwokerto: FKIK UNSOED.
Sacher, Ronald A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : EGC.
Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC.
Sukandar, Enday. 2006. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Bidang Nefrologi. Dalam: Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: FK UNPAD.
Tanagho, E.A. & J.W McAninch. 2008. Smith’s General Urology. USA: Mc Graw Hill.
Vyas, J.M. 2010. Acut Cystitis. USA: National Institutes of Health.
32