Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2001

329
2001 LAPORAN TAHUNAN

Transcript of Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2001

2 0 0 1

L A P O R A NT A H U N A N

Sampul Depan :

Gedung Bank Indonesia - Jakarta, Kota

Sampul Belakang :

Gedung Bank Indonesia - Jakarta, Jl. MH.Thamrin

Pembatas Bab :

Komplek Perkantoran Bank Indonesia - Jakarta, Kota & Jl. MH. Thamrin

Alamat Kantor Pusat :

Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10110 - Indonesia

http://www.bi.go.id

i

Laporan ini merupakan penjelasan lengkap dari informasi mengenai

“Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Moneter 2001 dan Arah Kebijakan Moneter 2002”

yang telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan

masyarakat melalui media massa pada tanggal 15 Januari 2002 sebagai

pelaksanaan amanat pasal 58 UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

ii

L A P O R A NT A H U N A N

2 0 0 1BANK INDONESIA

ISSN 0522 - 2575

iii

Visi Bank Indonesia :

“Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional

maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai yang dimiliki serta

pencapaian inflasi yang rendah dan stabil”

Misi Bank Indonesia :

“Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan

kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk

pembangunan jangka panjang negara Indonesia yang berkesinambungan”

Nilai-nilai Strategis Organisasi Bank Indonesia :

“Nilai-nilai yang menjadi dasar organisasi, manajemen dan pegawai untuk

bertindak atau berperilaku yaitu kompetensi, integritas, transparansi,

akuntabilitas dan kebersamaan”

iv

Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data

Angka diperbaiki r

Angka sementara *

Angka sangat sementara **

Angka belum tersedia . . .

Angka tidak ada –

Angka sebelum dan sesudah tanda ini tidak dapat diperbandingkan satu sama lain x

Nol atau lebih kecil daripada digit terakhir – –

Dolar Amerika Serikat $ (dolar)

Periode laporan adalah 1 Januari 2001 sampai dengan 31 Desember 2001.

Sumber data adalah Bank Indonesia, kecuali jika dinyatakan lain.

xix

DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIAPer Tanggal 31 Desember 2001

Berdiri dari kiri ke kanan :

Aulia PohanDeputi Gubernur

Miranda S. GoeltomDeputi Gubernur

Achjar IljasDeputi Gubernur

Duduk dari kiri ke kanan :

Syahril SabirinGubernur

Anwar NasutionDeputi Gubernur Senior

vi

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim perkenankan saya mengantarkan Laporan

Tahunan Bank Indonesia 2001 ke hadapan para pembaca yang terhormat. Laporan ini adalah salah satu

wujud akuntabilitas Bank Indonesia sebagaimana diatur di dalam pasal 58 Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang

Bank Indonesia. Laporan ini menyajikan langkah-langkah kebijakan yang telah diambil dan hasil-hasil yang telah

dicapai oleh Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran selama tahun 2001 serta arah

kebijakan Bank Indonesia tahun 2002. Laporan ini juga menguraikan perkembangan dan permasalahan yang terjadi

pada perekonomian Indonesia dan internasional selama tahun laporan serta prospeknya di tahun 2002.

Tahun 2001 masih merupakan tahun yang sulit bagi perekonomian Indonesia. Beberapa variabel

ekonomi makro penting yang kami gunakan sebagai asumsi dasar dalam menetapkan sasaran inflasi dan arah

kebijakan Bank Indonesia di awal tahun 2001 ternyata berkembang tidak sesuai dengan perkiraan semula.

Pertumbuhan ekonomi yang kami perkirakan dapat mencapai 4,5% - 5,5% ternyata hanya mencapai 3,3%. Angka

pertumbuhan tersebut memang lebih tinggi daripada yang berhasil dicapai oleh negara-negara tetangga kita tetapi

belum cukup untuk menyerap tenaga kerja di dalam negeri yang terus bertambah. Kegiatan investasi dan ekspor yang

pada awalnya diharapkan menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi justru mencatat pertumbuhan yang jauh

lebih rendah daripada tahun 2000. Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup tajam dan

bergerak lebih fluktuatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Depresiasi rupiah ini memberikan kontribusi besar

terhadap kenaikan tekanan inflasi sehingga laju inflasi IHK mencapai 12,55%, melebihi perkiraan kami semula sebesar

6,0% - 8,5%.

Kesulitan yang dialami oleh perekonomian Indonesia dalam tahun 2001 terutama disebabkan

oleh belum terpecahkannya berbagai permasalahan mendasar di dalam negeri yang kemudian

diperberat oleh dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi global terhadap penurunan kinerja ekspor

Indonesia. Masalah-masalah internal tersebut antara lain adalah tingkat risiko berusaha yang masih tinggi, fungsi

vii

intermediasi perbankan yang belum berjalan normal, serta kondisi permintaan dan penawaran di pasar valuta asing

dalam negeri yang belum stabil dan sangat rentan terhadap perubahan sentimen. Upaya penyelesaian berbagai

permasalahan ini sebenarnya telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir tetapi sampai dengan tahun laporan

belum dapat diselesaikan secara tuntas.

Masalah-masalah ini memang sangat rumit karena mengandung banyak dimensi yang saling

terkait. Untuk mengatasinya dibutuhkan keberanian dalam mengambil langkah-langkah terobosan, kesediaan untuk

berkorban, dan koordinasi yang erat di antara berbagai komponen bangsa. Namun, itu semua belum sepenuhnya

dapat diwujudkan. Kehidupan berdemokrasi yang belum matang dan krisis kepemimpinan di berbagai lapisan

masyarakat telah menghambat proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting di berbagai bidang.

Sebagai akibatnya, langkah-langkah kebijakan yang sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah mendasar

di atas, yang sebelumnya telah disepakati bersama untuk dilaksanakan pada tahun laporan —terutama kebijakan

yang berkaitan dengan program restrukturisasi perbankan, privatisasi BUMN, masalah hutang, dan perbaikan sistem

dan perangkat hukum— dalam perkembangannya ternyata berjalan lambat, bahkan sebagian belum terlaksana sama

sekali.

Berbagai permasalahan di atas telah mempersempit ruang gerak Bank Indonesia dalam

mengendalikan laju inflasi. Fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih telah menghambat proses

transmisi moneter sehingga mengurangi efektivitas kebijakan moneter dalam meredam tekanan inflasi dan depresiasi

nilai tukar rupiah. Tingkat risiko berusaha yang masih tinggi telah mengurangi minat investasi sehingga penambahan

sarana produksi dan distribusi —yang seharusnya dapat membantu meredam tekanan inflasi— menjadi sangat

terbatas, serta arus masuk modal asing —yang seharusnya dapat meredam tekanan depresiasi rupiah— menjadi

berkurang. Kecilnya arus masuk modal asing dan rendahnya kepercayaan kepada perbankan nasional telah

membatasi jumlah penawaran devisa. Sementara itu, besarnya kewajiban pembayaran hutang luar negeri, terutama

akibat penyelesaian restrukturisasi hutang sektor swasta yang belum optimal, dan kekhawatiran akan ketidakstabilan

ekonomi, sosial, politik, dan keamanan di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang membuat permintaan devisa

masih tinggi. Di sini terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan devisa berikut

dampaknya terhadap ketidakstabilan nilai tukar rupiah selama tahun 2001 merupakan faktor-faktor yang sebagian

besar berada di luar kendali kebijakan moneter.

Upaya pengendalian inflasi menjadi semakin sulit karena sumber tekanan inflasi selama tahun

laporan lebih banyak berasal dari sisi penawaran dalam bentuk kenaikan biaya produksi (cost-push

inflation). Sebagaimana diketahui, kebijakan moneter memiliki keterbatasan dalam mengendalikan tekanan inflasi

yang bersumber dari sisi penawaran karena kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi dari

sisi permintaan. Penerapan kebijakan moneter ketat untuk mengendalikan laju inflasi yang bersumber dari sisi

viii

penawaran dapat menimbulkan dampak negatif yang besar kepada kegiatan ekonomi sementara hasilnya belum

tentu sesuai dengan harapan karena efektivitas kebijakan moneter selama tahun laporan masih terganggu oleh belum

pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Dapat dikemukakan bahwa kenaikan biaya produksi yang telah memicu

kenaikan laju inflasi selama tahun 2001 terutama bersumber dari dampak depresiasi rupiah terhadap kenaikan

harga bahan baku impor dan dampak kebijakan Pemerintah menaikkan bea masuk, harga BBM, tarif listrik, dan

upah minimum. Dampak kebijakan Pemerintah tersebut terhadap kenaikan laju inflasi ternyata lebih besar daripada

perkiraan kami semula. Tekanan inflasi dari sisi penawaran ini semakin bertambah akibat turunnya produksi bahan

makanan.

Kendati menghadapi situasi yang sangat sulit, Bank Indonesia tetap berusaha keras menahan

kenaikan laju inflasi lebih lanjut melalui penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat. Upaya ini

dilakukan atas dasar keyakinan bahwa laju inflasi yang terkendali adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi

yang berkesinambungan. Untuk itu, tindakan maksimal yang dapat dan telah kami lakukan adalah berupaya

mengurangi kelebihan likuiditas di dalam perekonomian agar tidak menimbulkan tekanan tambahan terhadap nilai

tukar dan laju inflasi. Secara operasional, kebijakan ini dilakukan dengan berupaya mengendalikan jumlah uang

primer sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Dengan mempertimbangkan situasi yang sulit di atas, upaya

pengendalian uang primer tersebut kami lakukan dalam batas-batas yang tidak sampai menimbulkan tekanan

kenaikan suku bunga yang berlebihan.

Di tengah berbagai kesulitan tersebut terdapat beberapa perkembangan positif yang patut dicatat

karena dapat menjadi batu pijakan bagi kita untuk melangkah ke arah pemulihan ekonomi yang lebih

berkesinambungan di tahun-tahun mendatang. Salah satu perkembangan positif adalah terbentuknya

pemerintahan baru melalui proses yang demokratis yang telah memberikan kontribusi terhadap membaiknya kondisi

sosial politik akhir-akhir ini. Di sektor perbankan, sekalipun kondisi perbankan secara keseluruhan masih belum

sepenuhnya pulih, sebagian besar bank telah berhasil memperbaiki kondisi permodalannya sehingga mencapai Capital

Adequacy Ratio (CAR) minimum 8% yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan kualitas aktiva produktif bank-bank

tersebut juga menunjukkan perbaikan sebagaimana tercermin pada rasio Non-Performing Loans (NPL) yang menurun.

Bank Indonesia juga telah meletakkan dasar-dasar bagi peningkatan ketahanan sistem perbankan melalui

pengembangan dan penyempurnaan infrastruktur dan sistem pengawasan bank. Dari sisi eksternal, pemerintahan di

negara-negara industri maju secara cepat telah mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal dan moneter guna

menghindarkan ekonomi mereka dari resesi, suatu langkah yang telah memberikan harapan besar bagi pemulihan

kondisi ekonomi global.

Perekonomian Indonesia di tahun 2002 diperkirakan masih akan menghadapi tantangan yang

cukup berat. Namun, berlandaskan pada beberapa perkembangan positif yang saya sebutkan di atas serta didukung

ix

oleh komitmen Pemerintah untuk melanjutkan langkah-langkah reformasi struktural, Bank Indonesia memperkirakan

perekonomian Indonesia tahun 2002 masih mampu tumbuh positif pada kisaran 3,5% - 4,0%. Nilai tukar rupiah memiliki

potensi untuk menguat sepanjang Pemerintah konsisten dalam melaksanakan program-programnya. Sementara itu,

tekanan inflasi diperkirakan masih akan tinggi sebagai dampak dari rencana Pemerintah menaikkan harga BBM, tarif

listrik, dan tarif cukai, serta tingginya ekspektasi inflasi.

Bank Indonesia, sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, akan membantu

menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemulihan ekonomi yang berkesinambungan dengan berupaya

menjaga kestabilan moneter dan mengendalikan laju inflasi. Untuk itu, berdasarkan gambaran prospek

ekonomi dalam negeri dan luar negeri di atas, Bank Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi IHK tahun 2002 pada

kisaran 9% - 10%. Selanjutnya, dalam lima tahun ke depan Bank Indonesia memiliki komitmen untuk secara bertahap

menurunkan laju inflasi menjadi sekitar 6% - 7%. Perlu saya jelaskan bahwa sejak tahun ini Bank Indonesia

menggunakan laju inflasi IHK sebagai indikator sasaran inflasi. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2000 dan 2001

kami menggunakan angka inflasi IHK di luar dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan sebagai

indikator sasaran inflasi. Perubahan ini kami lakukan atas dasar pertimbangan bahwa inflasi IHK lebih dapat diterima

dan lebih transparan bagi masyarakat dibandingkan indikator sasaran inflasi yang kami gunakan sebelumnya

sehingga dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi

ekspektasi inflasi masyarakat.

Untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi ini, Bank Indonesia akan berupaya secara

konsisten menempuh kebijakan-kebijakan yang diperlukan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun

sistem pembayaran. Di samping itu, dengan menyadari bahwa masih terdapat beberapa kelemahan internal yang

perlu diperbaiki, kami sudah melancarkan suatu program yang kami namakan Program Transformasi Bank

Indonesia. Setelah melalui proses persiapan dan perumusan yang matang, sebagian dari program ini diharapkan sudah

mulai diterapkan dalam tahun 2002. Kami juga mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar pelaksanaan tugas

Bank Indonesia dapat berjalan lebih baik. Untuk ini, berbagai saran dan kritik yang konstruktif akan kami terima

dengan senang hati dan dengan ucapan terima kasih.

Sebelum mengakhiri kata pengantar ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk mengkaji kembali

apa yang telah kita alami dan lakukan sejak terjadinya krisis multidimensi di tanah air yang kiranya dapat

saya sarikan ke dalam beberapa butir, yaitu:

• Krisis ekonomi dan moneter ini pada hakekatnya merupakan krisis kepercayaan, yaitu kepercayaan mengenai

masa depan ekonomi Indonesia, kepercayaan mengenai kestabilan nilai tukar, kepercayaan mengenai kepastian

hukum, dan lain sebagainya;

x

• Langkah-langkah yang diambil untuk penanganan krisis ini sudah merupakan langkah yang tepat dan serupa

dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh negara-negara lain yang telah berhasil keluar dari krisis, seperti

Thailand dan Korea;

• Pada mulanya terdapat konsensus nasional yang menyepakati langkah-langkah tersebut sehingga langkah-

langkah tersebut telah berhasil membawa laju inflasi ke tingkat yang sangat rendah dan nilai tukar rupiah ke

tingkat yang wajar. Namun gonjang-ganjing politik serta kebijakan yang tidak jelas arahnya serta sikap saling

menyalahkan yang terjadi selama beberapa waktu telah menyebabkan langkah-langkah itu menjadi tersendat.

Dalam beberapa hal terdapat keengganan atau ketidakberanian untuk mengambil keputusan-keputusan politik

yang sulit, sehingga ibaratnya perekonomian Indonesia diberi obat setengah dosis yang tentu saja tidak dapat

menyembuhkan penyakit.

• Dengan terbentuknya pemerintahan baru, kembali timbul harapan akan perbaikan dan kelanjutan upaya

penanggulangan krisis. Berbagai langkah awal yang diambil oleh Pemerintahan baru telah meningkatkan

kepercayaan terhadap masa depan ekonomi Indonesia secara berarti. Namun, masih banyak keputusan politik

yang sulit yang harus diambil oleh Pemerintah di minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang. Untuk itu

diperlukan kesamaan pengertian, kebulatan tekad, dan kesepakatan atau konsensus nasional dalam menghadapi

tantangan-tantangan masa depan yang amat berat.

Akhir kata, saya atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia mengucapkan terima kasih kepada seluruh

Pimpinan dan Karyawan Bank Indonesia yang selama tahun 2001 yang lalu telah bekerja keras secara profesional

dalam mengemban amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Ucapan terima kasih juga

saya sampaikan kepada berbagai pihak di luar Bank Indonesia yang selama ini telah memberikan bantuan dan kerja

sama yang tulus kepada Bank Indonesia. Kepada para pembaca saya mengharapkan kiranya laporan ini dapat

menjadi referensi yang berguna.

Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah selalu melimpahkan ridha-Nya dan memberikan kemudahan kepada

kita semua dalam melangkah menuju ke masa depan yang lebih baik.

Jakarta, Februari 2002

BANK INDONESIA

GUBERNUR

Syahril Sabirin

Tinjauan Umum

1

bab 1 TINJAUAN UMUM

Tinjauan Umum

2

b a b 1

TINJAUAN UMUM

Pada awal 2001, Bank Indonesia memperkirakan

bahwa momentum menguatnya proses pemu-

lihan ekonomi yang terjadi di tahun sebelumnya akan

semakin mantap di tahun 2001. Optimisme ini di-

dasarkan pada asumsi bahwa proses restrukturisasi

ekonomi di berbagai bidang akan mencapai kemajuan

yang berarti, khususnya restrukturisasi utang peru-

sahaan dan semakin pulihnya intermediasi per-

bankan. Menguatnya proses pemulihan ekonomi ini

juga didukung oleh harapan bahwa kondisi sosial,

politik, dan keamanan di dalam negeri akan semakin

membaik. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dunia

diperkirakan juga masih tetap tinggi meskipun lebih

lambat dari tahun sebelumnya.

Dengan nuansa optimisme di awal 2001

tersebut, pada waktu itu Bank Indonesia

memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto

(PDB) 2001 akan dapat mencapai 4,5%–5,5%. Selain

konsumsi, pertumbuhan ini akan dapat dicapai dengan

motor penggerak utama bersumber dari investasi dan

ekspor. Selain itu, Bank Indonesia menetapkan sasaran

inflasi di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan sebesar 4,0%–6,0%. Semen-

tara itu, tambahan inflasi yang merupakan dampak

kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

diperkirakan sekitar 2,0%–2,5% Dengan demikian,

inflasi indeks harga konsumen (IHK) diperkirakan akan

mencapai sekitar 6,0%–8,5%. Sejalan dengan sasaran

inflasi tersebut, sasaran pertumbuhan uang primer

untuk akhir 2001 ditetapkan sebesar 11,0%–12,0%.

Dalam perkembangannya, selama tahun

2001 berbagai asumsi dan perkiraan tersebut di atas

ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang diharap-

kan. Berbagai permasalahan mendasar yang di-

hadapi perekonomian nasional masih terus berlang-

sung dan beberapa diantaranya menunjukkan kecen-

derungan yang memburuk (Bagan 1.1). Perekono-

mian dunia menunjukkan pertumbuhan yang terus

melambat dan bahkan telah mengalami resesi sejak

akhir triwulan pertama 2001. Sementara di dalam

negeri, kondisi sosial, politik, dan keamanan masih

belum stabil, yang selama paro pertama 2001 sangat

diwarnai oleh tingginya gejolak politik yang berujung

pada pergantian pemerintahan di pertengahan 2001.

Meskipun terdapat kemajuan, penanganan program-

program restrukturisasi ekonomi masih menghadapi

sejumlah kendala sehingga berbagai permasalahan

struktural di dalam negeri masih terus berlanjut

sementara risiko dan ketidakpastian usaha masih

tetap tinggi.

Berbagai permasalahan tersebut telah ber-

dampak negatif terhadap perkembangan ekonomi

dan moneter selama 2001. Di sektor riil, kegiatan

investasi dan produksi menjadi sangat terbatas ter-

utama karena masih tingginya risiko dan ketidak-

pastian usaha, lambatnya proses restrukturisasi

utang perusahaan, serta masih berlangsungnya

konsolidasi internal perbankan dan perusahaan.

Ekspor juga melambat terutama karena resesi yang

terjadi pada perekonomian dunia. Di sektor per-

Tinjauan Umum

3

bankan, meskipun secara umum kondisi perbankan

telah banyak mengalami kemajuan, fungsi inter-

mediasi perbankan belum sepenuhnya pulih. Penya-

luran kredit perbankan dan penyerapannya oleh

sektor riil belum dapat berlangsung cepat baik karena

berbagai permasalahan yang dihadapi di sektor riil

maupun karena masih berlangsungnya konsolidasi

internal di perbankan. Dengan kondisi di sektor riil

dan perbankan seperti di atas, dana lebih banyak

berputar di sektor keuangan dan belum dapat

dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber

pembiayaan investasi dan produksi untuk mendukung

proses pemulihan ekonomi. Selain itu, belum pulihnya

fungsi intermediasi perbankan juga menjadi salah satu

faktor yang menimbulkan tekanan pada nilai tukar dan

inflasi serta mengurangi efektivitas transmisi kebijakan

Bagan 1.1Permasalahan Ekonomi dan Moneter Pada 2001

Suku Bunga SBInaik

Efektivitaskebijakanmonetermenurun

Tekanan padafiskal

Stimulus monetermenjadi terbatas

Kelebihan likuiditas disektor perbankan

Intermediasi perbankanyang belum pulih

Investasi danproduksi terbatas

Konsolidasi internalperbankan dan

perusahaan

Restrukturisasi kreditdan korporasi lambat

Ketidakpastian sosialpolitik keamanan,

ketidakpastian hukum,kurang konsistennya

kebijakan

Perekonomian duniamelambat

Restrukturisasiutang luar negeri

lambat

Pertumbuhanekonomi terganggu

Tekananinflasi

Kebijakanpemerintah di bidang

harga danpendapatan

Ekspormelambat

Depresiasi danvolatilitas nilai tukar

Arus modalmasuk terbatas

CountryRisk

Kelebihan permintaanvaluta asing

SEKTOR KEUANGAN SEKTOR RIIL

Tinjauan Umum

4

moneter dalam mempengaruhi inflasi dan kegiatan

ekonomi.

Dengan sejumlah permasalahan tersebut,

selama 2001 kondisi ekonomi dan moneter secara

umum menunjukkan kecenderungan yang memburuk.

Memburuknya kondisi ekonomi dan moneter antara

lain ditunjukkan oleh melambatnya pertumbuhan

ekonomi, melemahnya nilai tukar, dan tingginya

tekanan inflasi. Selama 2001, ekonomi Indonesia

hanya tumbuh sebesar 3,3%, nilai tukar mengalami

tekanan depresiasi sebesar 17,7% sehingga mencapai

rata-rata Rp10.255 per dolar, dan inflasi IHK mencapai

12,55%. Sementara itu, dampak kebijakan pemerintah

terhadap inflasi tercatat sebesar 3,83%, lebih besar

dibandingkan dengan yang diperkirakan di awal tahun

sebesar 2,0%–2,5%.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank

Indonesia dalam mencapai sasaran-sasaran yang

telah ditetapkan, baik dengan menggunakan instru-

men-instrumen moneter yang tersedia maupun dengan

penyempurnaan peraturan dan ketentuan perbankan.

Namun demikian, adanya berbagai permasalahan

yang dihadapi di atas menyebabkan upaya pengen-

dalian uang primer dan pencapaian sasaran inflasi oleh

Bank Indonesia menjadi lebih sulit dilakukan. Selain

karena dampak kebijakan pemerintah di bidang harga

dan pendapatan, tingginya inflasi juga didorong oleh

depresiasi nilai tukar rupiah dan meningkatnya

ekspektasi inflasi di masyarakat. Sementara itu,

tingginya uang primer terutama diakibatkan oleh

permintaan uang kartal yang meningkat, baik untuk

kebutuhan transaksi maupun untuk motif berjaga-jaga.

Dalam kondisi demikian, pengetatan moneter yang

berlebihan akan mendorong tingginya kenaikan suku

bunga dan dikhawatirkan dapat memperburuk risiko

bagi langkah-langkah restrukturisasi perbankan dan

upaya pemulihan ekonomi.

Ke depan, apabila dapat dicapai kemajuan

dalam penanganan sejumlah permasalahan struktural

di dalam negeri serta penurunan risiko dan ketidak-

pastian usaha, Bank Indonesia memperkirakan bahwa

pemulihan ekonomi Indonesia pada 2002 masih dapat

dipertahankan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2002

diperkirakan dapat mencapai 3,5%–4,0% dengan

sumber pertumbuhan yang sangat tergantung dari

kinerja perekonomian domestik, khususnya konsumsi

masyarakat, sementara investasi dan ekspor diper-

kirakan akan menunjukkan perkembangan yang

membaik terutama apabila skenario pemulihan eko-

nomi dunia pada paro kedua 2002 dapat menjadi

kenyataan.

Dengan memperhatikan prospek ekonomi

makro dan masih tingginya risiko dan ketidakpastian,

tingginya tekanan inflasi yang bersumber dari dampak

kebijakan pemerintah di bidang harga serta masih

tingginya ekspektasi inflasi, Bank Indonesia me-

netapkan sasaran inflasi IHK yang dipandang cukup

realistis yang sesuai dengan kondisi perekonomian

pada 2002 yaitu sebesar 9,0%–10,0%. Namun

demikian, dalam jangka waktu 5 tahun ke depan Bank

Indonesia memiliki komitmen untuk secara bertahap

menurunkan inflasi sehingga dapat mencapai kisaran

6,0%–7,0%.

Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut,

kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada

upaya pengendalian uang primer dengan fokus pada

penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap sesuai

dengan kebutuhan riil perekonomian. Langkah ini akan

dilakukan secara berhati-hati dan terukur agar kesta-

bilan harga tetap dapat terpelihara sehingga mampu

Tinjauan Umum

5

mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang

berlangsung, dan berkelanjutan dalam jangka

menengah-panjang. Secara operasional,

pengendalian moneter akan dilakukan dengan

mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang

tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka dan

sterilisasi valuta asing untuk mengurangi tekanan

terhadap nilai tukar dan inflasi. Di bidang perbankan,

kebijakan Bank Indonesia akan diarahkan pada upaya

memperkuat ketahanan sistem perbankan serta

langkah mempercepat pemulihan fungsi intermediasi

perbankan. Sementara itu, kebijakan di bidang sistem

pembayaran akan diarahkan pada pengurangan risiko

pembayaran antarbank yang dapat mengganggu

kestabilan keuangan, menunjang pelaksanaan

kebijakan moneter, peningkatan kualitas dan

kapasitas layanan sistem pembayaran, penyem-

purnaan ketentuan-ketentuan, serta pengaturan

terhadap pengawasan sistem pembayaran.

Secara terinci evaluasi perekonomian

Indonesia 2001 dan prospek serta arah kebijakan

Bank Indonesia di tahun 2002 diuraikan sebagai

berikut.

EVALUASI PEREKONOMIAN INDONESIA 2001

Kondisi Ekonomi Makro

Secara umum, selama 2001 kinerja pere-

konomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang

melambat. Di samping akibat memburuknya pere-

konomian dunia, melambatnya pertumbuhan tersebut

tidak terlepas dari masih tingginya risiko dan

ketidakpastian dan berlanjutnya berbagai perma-

salahan dalam negeri yang terkait dengan restruk-

turisasi utang dan sektor korporasi, belum selesainya

konsolidasi internal perbankan, serta relatif

terbatasnya stimulus fiskal bagi pertumbuhan eko-

nomi. Perkembangan ini menyebabkan menurunnya

kepercayaan dunia usaha untuk melakukan kegiatan

produksi dan investasi, yang pada akhirnya meng-

hambat ekspansi ekonomi lebih lanjut. Pada 2001

pertumbuhan PDB mencapai 3,3%, lebih rendah

dibandingkan tahun 2000 sebesar 4,9% (Tabel 1.1).

Meskipun relatif lebih baik dari negara-negara

tetangga, tingkat pertumbuhan tersebut masih belum

cukup untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Kecen-

derungan terus bertambahnya jumlah angkatan kerja

baru yang pada 2001 diperkirakan meningkat 2,5%,

Tabel 1.1

Beberapa Indikator Makroekonomi

Produk Domestik Bruto (a.d. tahun 0,8 4,9* 3,3** dasar 1993, pertumbuhan %)

Menurut PengeluaranKonsumsi 4,3 3,9 6,2Pembentukan modal tetap

domestik bruto –18,2 21,9 4,0Ekspor barang dan jasa –31,8 26,5 1,9Impor barang dan jasa –40,7 21,1 8,1

Menurut Lapangan UsahaPertanian 2,2 1,7 0,6Industri pengolahan 3,9 6,1 4,3Bangunan –1,9 5,5 4,0Perdagangan, hotel, dan restoran –0,1 5,6 5,1Keuangan, persewaan, dan

perusahaan jasa –7,2 4,3 3,0Jasa-jasa 1,9 2,2 2,0

Moneter (pertumbuhan, %)M2 11,9 15,6 13,0M1 23,2 30,1 9,6Uang Kuasi 9,5 12,1 13,9Suku Bunga (%)SBI (1 bulan) 12,15 14,5 17,62PUAB (overnight) 12,1 11,4 15,7Deposito (1 bulan) 12,2 12,0 16,1Kredit modal kerja 20,7 17,7 19,2Kredit investasi 17,8 16,9 17,9

Inflasi (%) 2,01 9,35 12,55

Neraca PembayaranTransaksi berjalan/PDB 4,1 5,3 3,4*DSR 56,8 41,1 39,4Cadangan devisa setara impor

nonmigas dan pembayaran utang luar negeri pemerintah (bulan) 6,7 6,0 6,1

Nilai Tukar (Rp/$) rata-rata 7.850 8.438 10.255

Sumber : – Badan Pusat Statistik– Bank Indonesia

Rincian 1999 2000 2001

Tinjauan Umum

6

belum dapat diimbangi sepenuhnya oleh penyediaan

lapangan kerja secara memadai. Kondisi ini menye-

babkan meningkatnya angka pengangguran 2001

yang diperkirakan mencapai 6,7%–7,0%, lebih tinggi

dari tahun sebelumnya sebesar 6,1%.

Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi

lebih banyak didorong oleh konsumsi rumah tangga.

Pengeluaran konsumsi dalam tahun 2001 tumbuh

sebesar 6,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,9%.

Meningkatnya konsumsi terutama didorong oleh

meningkatnya kepercayaan konsumen (consumer

confidence) yang ditunjang oleh meningkatnya gaji

dan pendapatan serta meningkatnya pembiayaan

untuk konsumsi, baik yang bersumber dari perbankan

maupun dari perusahaan pembiayaan seperti kartu

kredit dan pembiayaan konsumen.

Sementara itu, investasi1 dan ekspor yang

semula diharapkan tetap menjadi motor pertumbuhan

pada 2001 mengalami pertumbuhan yang tidak terlalu

menggembirakan, yaitu hanya tumbuh masing-masing

sebesar 4,0% dan 1,9% atau melambat dibandingkan

dengan pertumbuhannya di tahun 2000 yang masing-

masing tumbuh sebesar 21,9% dan 26,5%.

Melemahnya investasi tercermin dari sangat ren-

dahnya realisasi investasi baru baik yang dilakukan

asing (PMA) maupun domestik (PMDN) dan me-

nurunnya impor bahan baku dan barang modal yang

masing-masing mengalami penurunan sebesar 8,5%

dan 10,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Rendahnya investasi ini tidak terlepas dari tingginya

risiko investasi akibat masih adanya gangguan

keamanan, ketidakpastian penegakan hukum, dan

perselisihan perburuhan. Di samping itu, faktor keter-

batasan pembiayaan investasi akibat belum pulihnya

fungsi intermediasi perbankan dan adanya peraturan-

peraturan baru yang terkait dengan penerapan otonomi

daerah juga turut membatasi kegiatan investasi.

Sementara itu, menurunnya kinerja ekspor disebabkan

oleh melemahnya perekonomian dunia dan

menurunnya harga beberapa komoditas utama ekspor

Indonesia. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah telah

berdampak pada naiknya biaya faktor produksi

sehingga mengurangi daya saing produk ekspor

Indonesia, yang sebagian besar memiliki kandungan

impor yang tinggi. Dengan perkembangan tersebut,

sumbangan konsumsi, investasi, dan ekspor terhadap

laju pertumbuhan PDB dalam tahun laporan masing-

masing mencapai 4,8%, 0,9%, dan 0,6%.

Di sisi penawaran, hampir seluruh sektor

mencatat pertumbuhan yang positif walaupun dengan

laju yang lebih lambat dibandingkan dengan tahun

2000, kecuali sektor pertambangan dan penggalian

yang mencatat kontraksi. Beberapa sektor yang

mencatat pertumbuhan cukup berarti adalah sektor

industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan

restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan

sektor listrik, air, dan gas. Namun demikian, kontri-

busi sektor industri pengolahan dan sektor perda-

gangan yang pada awal tahun diharapkan menjadi

motor pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mampu

mendorong perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi.

Permasalahan utama yang membatasi pertumbuhan

sektor ini adalah terbatasnya pembiayaan kegiatan

usaha dan meningkatnya biaya produksi sehubungan

dengan berbagai kebijakan pemerintah di bidang

harga. Di samping itu, dalam merespon perkemba-

ngan nilai tukar rupiah yang melemah, produsen tidak1 Investasi disini adalah pembentukan modal tetap domestik bruto

Tinjauan Umum

7

hanya menaikkan harga jual namun juga mengurangi

volume produksi sehingga secara keseluruhan

menurunkan produksi industri pengolahan. Semen-

tara itu, kapasitas produksi industri juga menunjukkan

penurunan akibat terus melemahnya investasi, walau-

pun kapasitas produksi tersebut secara agregat

masih lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan

agregat.

Dari sisi eksternal, kinerja neraca pemba-

yaran pada 2001 diperkirakan masih menunjukkan

perkembangan yang kurang menggembirakan.

Sejalan dengan melemahnya kinerja ekspor, perkem-

bangan transaksi berjalan sepanjang tahun laporan

menunjukkan kinerja yang memburuk, tercermin dari

menurunnya surplus dari $8,0 miliar (5,3% dari PDB)

pada tahun 2000 menjadi sebesar $5,0 miliar (3,4%

dari PDB) pada tahun laporan. Di sisi lalu lintas modal,

defisit lalu lintas modal pemerintah dan belum

pulihnya arus modal swasta asing menyebabkan

defisit neraca modal mengalami peningkatan, yaitu

dari defisit sebesar $6,8 miliar pada tahun sebelum-

nya menjadi sebesar $8,9 miliar yang terdiri dari defisit

lalu lintas modal swasta sebesar $8,6 miliar dan defisit

lalu lintas modal pemerintah sebesar $0,3 miliar.

Dengan perkembangan tersebut di atas, secara

keseluruhan neraca pembayaran Indonesia menga-

lami defisit sebesar $1,4 miliar dan cadangan devisa

pada akhir 2001 tercatat sebesar $28,0 miliar, atau

setara dengan 6,1 bulan nilai impor dan pembayaran

cicilan pinjaman pemerintah.

Di sisi fiskal, berbagai kendala yang dihadapi

oleh pemerintah menyebabkan peran stimulus fiskal

masih tetap terbatas. Realisasi defisit keuangan

pemerintah selama 2001 berdasarkan angka

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

Perubahan 2001 diperkirakan mencapai sekitar 3,7%

dari PDB, relatif sama dengan rencana semula.

Realisasi penerimaan dan pengeluaran melampaui

rencana anggaran dengan pelampauan yang hampir

sama yaitu sekitar 4,8% dan 4,2% di atas target ang-

garan. Dari sisi penerimaan, realisasi penerimaan

yang melampaui target adalah penerimaan bukan

pajak, terutama penerimaan migas karena faktor

melemahnya nilai tukar rupiah dan adanya peneri-

maan minyak bumi pada 2000 yang baru disetorkan

pada 2001. Di samping itu, realisasi penerimaan yang

bersumber dari pajak juga telah mencapai target

anggaran, sebagai hasil dari beberapa kebijakan

intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang dilakukan

oleh Pemerintah. Dari sisi pengeluaran, lebih

tingginya realisasi pengeluaran dibanding target

anggaran diakibatkan oleh lebih tingginya penge-

luaran rutin untuk pembayaran subsidi dan beban

bunga obligasi rekapitalisasi perbankan dari yang

telah dianggarkan. Tingginya alokasi dana untuk

pembayaran subsidi ini disebabkan oleh tingginya

volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam

negeri dan depresiasi rupiah, di samping adanya

koreksi kekurangan pembayaran subsidi tahun 2000

yang mencapai Rp5,6 triliun. Sedangkan meningkat-

nya beban pembayaran bunga obligasi berkaitan

dengan peningkatan suku bunga Sertifikat Bank

Indonesia (SBI). Sementara itu, realisasi pengeluaran

pembangunan hanya mencapai 91,4% dari rencana

anggaran yang antara lain sebagai dampak dari

penundaan beberapa pinjaman program dan sempit-

nya kurun waktu yang tersedia untuk implementasi

proyek pasca dilakukannya revisi APBN.

Dalam hal pembiayaan, defisit anggaran

tersebut sebagian besar ditutup dari pembiayaan

Tinjauan Umum

8

dalam negeri khususnya penjualan aset di Badan

Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sedangkan

sumber pembiayaan lainnya seperti privatisasi dan

pembiayaan dari luar negeri relatif terbatas. Dalam

kaitannya dengan permintaan agregat, kontribusi sek-

tor pemerintah terhadap permintaan agregat diper-

kirakan meningkat dibandingkan tahun lalu, yaitu dari

10,8% menjadi 11,9% dari PDB. Faktor utama yang

mempengaruhi peningkatan ini adalah karena adanya

alokasi untuk dana bagi hasil (DBH) mulai tahun

2001.

Nilai Tukar dan Inflasi

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

memburuknya kondisi perekonomian Indonesia di

tahun 2001 tidak terlepas dari masih terdapatnya

berbagai permasalahan struktural dalam pereko-

nomian dan tingginya risiko dan ketidakpastian di

dalam negeri. Di sektor riil, kondisi tersebut telah

sangat membatasi kegiatan produksi dan investasi.

Sementara di sektor keuangan, berbagai perma-

salahan tersebut telah menyebabkan tidak tersalur-

kannya likuiditas dalam bentuk penyaluran kredit

dalam rangka membiayai kegiatan produktif. Selan-

jutnya, lemahnya hubungan kedua sektor ini bukan

hanya menyebabkan keterbatasan sumber pem-

biayaan investasi dan produksi yang kemudian

menghambat proses pemulihan ekonomi, namun juga

telah menyebabkan terjadinya kelebihan likuiditas

perbankan yang dapat memberikan tekanan baru

terhadap nilai tukar dan inflasi.

Perkembangan nilai tukar rupiah selama

2001 masih mengalami tekanan depresiasi yang

tinggi disertai dengan volatilitas yang meningkat

walaupun sempat menguat pada pertengahan tahun.

Secara keseluruhan nilai tukar rupiah mengalami

depresiasi sekitar 17,7% dari tahun 2000, yaitu dari

rata-rata Rp8.438 per dolar menjadi Rp10.255 per

dolar. Angka ini lebih tinggi dari asumsi yang diper-

gunakan dalam menetapkan sasaran inflasi yakni

sebesar Rp8.000 per dolar, atau terdepresiasi sekitar

22%. Dalam tahun laporan, perkembangan nilai tukar

rupiah juga diwarnai dengan volatilitas yang tinggi.

Pada awal 2001 sampai dengan April 2001 nilai tukar

menunjukkan kecenderungan melemah hingga men-

capai nilai terendah Rp12.090. Selanjutnya, nilai tukar

bergerak stabil pada kisaran Rp11.200 hingga Juli

2001. Pasca Sidang Istimewa MPR rupiah menguat

tajam hingga mencapai level tertinggi Rp8.485 per

dolar dan selanjutnya melemah lagi hingga mencapai

Rp10.400 per dolar pada akhir 2001.

Secara umum melemahnya nilai tukar

disebabkan oleh adanya permasalahan yang bersifat

makro-fundamental dan mikro-struktural di pasar

valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan

pasokan dan permintaan valuta asing. Kesenjangan

ini kemudian diperburuk oleh meningkatnya premi

risiko yang terkait dengan meningkatnya country risk.

Dari aspek makro-fundamental, meningkatnya risiko

dan ketidakpastian selama 2001 telah mengurangi

kepercayaan investor asing dalam menanamkan

dananya di dalam negeri sehingga menghambat arus

modal masuk. Di sisi lain, memburuknya kinerja

perekonomian dunia secara umum berdampak negatif

pada kinerja ekspor Indonesia. Kedua faktor di atas

telah menyebabkan terbatasnya pasokan valuta asing

di dalam negeri, sementara pada saat yang sama

terdapat peningkatan permintaan valuta asing

terutama oleh sektor korporasi untuk pembayaran

utang luar negeri dan kebutuhan impor.

Tinjauan Umum

9

Dari aspek mikro-struktural, adanya seg-

mentasi di pasar valuta asing dan terbatasnya penem-

patan valuta asing di dalam negeri dalam bentuk kredit

valuta asing maupun pada instrumen pasar uang,

menyebabkan kelompok bank yang mempunyai

kelebihan likuiditas valuta asing menempatkan

dananya di luar negeri. Perkembangan ini selain

mengurangi likuiditas valuta asing di pasar uang

antarbank (PUAB) valuta asing di dalam negeri juga

semakin membatasi ketersediaan pasokan valuta

asing. Lemahnya struktur mikro di pasar valuta asing

juga terjadi akibat kurang berkembangnya pasar

lindung nilai (hedging), khususnya untuk jangka

menengah-panjang, sehingga korporasi cenderung

untuk memenuhi kebutuhan valuta asing untuk masa

depan dengan membeli lebih dini di pasar spot.

Kesenjangan antara permintaan dan pena-

waran valuta asing baik yang bersumber dari faktor

makro maupun mikro tersebut telah menyebabkan

nilai tukar seringkali bergejolak. Situasi ini diperburuk

oleh sentimen negatif para pelaku pasar terhadap

ketidakpastian situasi politik menjelang pergantian

kepemimpinan nasional dan ketidakjelasan pe-

nyelesaian permasalahan-permasalahan struktural

seperti restrukturisasi, divestasi, dan privatisasi, serta

perkembangan hubungan dengan IMF. Faktor-faktor

ini pada gilirannya meningkatkan country risk yang

berdampak pada meningkatnya premi risiko dan

semakin memperburuk perkembangan nilai tukar

rupiah.

Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut turut

memberikan tekanan terhadap tingginya inflasi di

tahun 2001. Nilai tukar rupiah yang melemah telah

memberikan dampak pass-through pada inflasi baik

secara langsung melalui inflasi barang jadi, barang

setengah jadi, dan bahan baku impor, maupun secara

tidak langsung melalui perubahan permintaan

agregat. Tingginya kandungan impor pada berbagai

barang produksi di dalam negeri mengakibatkan

tingginya dampak depresiasi terhadap biaya produksi.

Kuatnya pengaruh depresiasi nilai tukar rupiah ter-

cermin dari perkembangan inflasi yang bergerak

seiring dengan melemahnya nilai tukar.

Tingginya tekanan inflasi selama 2001 juga

bersumber dari adanya dampak kebijakan pemerintah

di bidang harga dan pendapatan. Berbagai kebijakan

pemerintah tersebut seperti kenaikan harga BBM dan

tarif angkutan, tarif dasar listrik (TDL), harga jual

minimum (HJE) rokok, serta kenaikan upah minimum

provinsi (UMP) dan gaji pegawai negeri telah

memberikan dampak langsung pada kenaikan IHK

sebesar 3,83%. Dampak kebijakan pemerintah ini

lebih besar dibandingkan yang diperkirakan di awal

tahun sebesar 2,0%–2,5%. Hal ini disebabkan oleh

realisasi kenaikan pada beberapa kebijakan lebih

besar dari yang diperkirakan awal tahun maupun

akibat adanya dampak penundaan dalam penerapan

kebijakan. Terlebih lagi, kenaikan harga khususnya

BBM dan TDL yang menjadi faktor produksi telah

meningkatkan biaya di hampir seluruh sektor produksi

berbagai barang sehingga menyebabkan tingginya

inflasi akibat meningkatnya biaya produksi (cost-push

inflation).

Di samping melemahnya nilai tukar dan

dampak kebijakan pemerintah tersebut, tingginya

inflasi pada tahun laporan juga dipengaruhi oleh

tingginya ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Eks-

pektasi inflasi tersebut pada umumnya bersifat adaptif

sehingga pembentukan ekspektasi inflasi lebih

banyak ditentukan oleh perkembangan inflasi pada

Tinjauan Umum

10

periode sebelumnya. Di samping itu, tingginya eks-

pektasi inflasi tersebut juga diakselerasi oleh mele-

mahnya nilai tukar dan implementasi kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Semen-

tara itu tekanan inflasi karena pengaruh kondisi per-

mintaan masih relatif rendah sejalan dengan pertum-

buhan ekonomi yang melambat dan masih relatif

berlebihnya kapasitas produksi di sektor industri

pengolahan. Meskipun demikian, kondisi permintaan

yang masih lemah tersebut kurang diimbangi oleh

kapasitas di sektor pertanian karena terjadinya

penurunan produksi tanaman bahan makanan.

Dengan berbagai perkembangan tersebut di

atas, secara keseluruhan dalam tahun laporan inflasi

IHK mengalami peningkatan hingga mencapai

12,55%, lebih tinggi dibandingkan inflasi 2000 sebesar

9,35%. Selanjutnya, dengan memperhitungkan

realisasi dampak kebijakan pemerintah, inflasi di luar

pengaruh kebijakan harga dan pendapatan pada

2001 mencapai 8,72%. Angka inflasi ini lebih tinggi

dari sasaran inflasi Bank Indonesia 2001 yang

ditetapkan sebesar 4,0%–6,0%. Sebagaimana

dikemukakan di atas, tingginya angka laju inflasi ini

dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah serta

tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat.

Kebijakan dan Perkembangan Moneter

Menghadapi tekanan inflasi dan nilai tukar

yang dirasakan semakin kuat, Bank Indonesia telah

berupaya secara maksimal untuk meredam tekanan

inflasi dan nilai tukar dengan menempuh kebijakan

di bidang moneter dan nilai tukar. Di bidang moneter,

Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter yang

cenderung ketat dengan mengendalikan uang primer

sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Hal ini

dimaksudkan untuk mengurangi kelebihan likuiditas

perbankan yang berpotensi mendorong melemahnya

nilai tukar dan tekanan inflasi.

Dalam rangka mencapai sasaran uang primer

secara konsisten, kebijakan pengendalian uang

primer tersebut terutama dilakukan melalui Operasi

Pasar Terbuka (OPT), khususnya melalui mekanisme

lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan maupun

3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan

kelebihan likuiditas melalui intervensi rupiah yang

dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menjaga agar

uang primer tetap berada dalam sasaran yang telah

ditetapkan dan kestabilan suku bunga pasar uang

tetap terpelihara. Dengan relatif besarnya kelebihan

likuiditas sejalan dengan belum pulihnya fungsi

intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter

melalui instrumen moneter ini membawa implikasi

pada terjadinya kenaikan suku bunga SBI dan suku

bunga perbankan. Oleh sebab itu, untuk menjaga

agar penyerapan likuiditas tersebut tidak memberikan

dampak pada kenaikan suku bunga yang berlebihan,

pengendalian uang primer juga dilengkapi dengan

upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar

melalui kebijakan sterilisasi valuta asing. Hal ini

terutama dilakukan untuk menyerap ekspansi uang

primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah

dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam

valuta asing.

Penambahan pasokan valuta asing melalui

sterilisasi valuta asing, selain digunakan untuk

menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk

mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai

tukar. Namun demikian, dalam pasar valuta asing

yang masih diwarnai oleh kesenjangan antara jumlah

pasokan dan permintaan valuta asing, upaya penam-

Tinjauan Umum

11

bahan pasokan valuta asing melalui kebijakan

sterilisasi ini kurang memadai, jika tidak didukung oleh

kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan

para pelaku pasar untuk melakukan kegiatan

spekulatif. Oleh sebab itu, pada tahun laporan upaya

stabilisasi nilai tukar rupiah juga didukung dengan

kebijakan pembatasan transaksi rupiah oleh bukan

penduduk2 dan pengawasan langsung (on-site super-

vision) terhadap sejumlah bank yang menguasai

pangsa terbesar di pasar valuta asing. Kebijakan

pembatasan transaksi rupiah tersebut dilatar-

belakangi oleh perilaku bukan penduduk yang

cenderung menggunakan rupiah sebagai alat

spekulasi sehingga sering menimbulkan gejolak nilai

tukar rupiah. Upaya ini telah cukup efektif meredam

tekanan depresiasi yang berasal dari aksi spekulatif

pelaku pasar valuta asing bukan penduduk yang

terlihat dari perkembangan mutasi rekening rupiah

bukan penduduk di perbankan dalam negeri (vostro

account) yang menurun drastis.

Dalam perkembangannya, upaya pengen-

dalian uang primer tersebut tidak dapat dilakukan

secara efektif karena adanya berbagai faktor di luar

kendali Bank Indonesia, khususnya yang terkait

dengan perilaku masyarakat dalam memegang uang

kartal dan kurang efektifnya transmisi kebijakan

moneter yang terkait dengan kondisi intermediasi

perbankan yang belum sepenuhnya pulih. Pertum-

buhan uang primer selama 2001 mencapai rata-rata

sekitar 18,2% atau 15,4% pada akhir 2001 sehingga

lebih tinggi dari sasaran sebesar 11,0%–12,0% yang

ditetapkan pada awal tahun. Dilihat dari kompo-

nennya, tingginya kenaikan posisi uang primer

tersebut terutama didorong oleh tingginya pertum-

buhan permintaan uang kartal di masyarakat yang

mencapai rata-rata 20,1% pada 2001.

Peningkatan permintaan akan uang kartal di

masyarakat tersebut antara lain disebabkan oleh

terjadinya pergeseran yang cukup signifikan dari struktur

perekonomian Indonesia, seperti tercermin pada

meningkatnya peranan usaha kecil menengah (UKM)

dan sektor informal dalam perekonomian Indonesia. Hal

tersebut karena sektor ini lebih banyak menggunakan

pembiayaan sendiri dibandingkan dengan pembiayaan

dari sektor perbankan. Di samping itu, masih tingginya

ketidakpastian kondisi sosial politik pada 2001 telah

mendorong permintaan uang kartal oleh masyarakat

untuk berjaga-jaga (precautionary motive).

Tingginya permintaan uang kartal ditambah

dengan beberapa permasalahan yang masih dihadapi

dalam operasional kebijakan moneter, seperti kurang

efektifnya transmisi kebijakan moneter akibat masih

belum pulihnya intermediasi perbankan, menyebab-

kan penyerapan uang primer menjadi sulit dilakukan

secara optimal. Meskipun berbagai langkah penye-

rapan likuiditas telah dilakukan, baik melalui OPT,

sterilisasi valuta asing, maupun kenaikan suku bunga

intervensi rupiah, perkembangan uang primer sering-

kali berada di luar sasaran yang telah ditetapkan. Da-

lam kondisi demikian, upaya kenaikan suku bunga

SBI untuk menyerap uang primer dinilai tidak ter-

lampau efektif. Menyikapi kondisi yang demikian,

dalam perkembangannya terutama sejak akhir tri-

wulan ketiga 2001, Bank Indonesia cenderung ber-

usaha menyerap kelebihan likuiditas perbankan tanpa

menimbulkan peningkatan suku bunga yang

berlebihan.

2 Peraturan Bank Indonesia No.3/3/2001 tanggal 12 Januari 2001

tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta

Asing oleh Bank.

Tinjauan Umum

12

Selama 2001, suku bunga SBI tenor 1 bulan

meningkat secara bertahap sebesar 309 bp (basis

point) menjadi 17,62% dan SBI tenor 3 bulan

meningkat 332 bp menjadi 17,63% pada akhir

Desember 2001. Peningkatan suku bunga SBI

selama 2001 masih belum secara langsung ber-

pengaruh pada peningkatan suku bunga deposito

secara signifikan, terutama akibat masih tingginya

likuiditas perbankan sebagai akibat masih tingginya

ketergantungan perbankan pada SBI sebagai

alternatif penempatan utama, dengan memanfaatkan

selisih antara suku bunga SBI dan deposito di tengah

kondisi fungsi intermediasi perbankan yang belum

sepenuhnya pulih. Dalam pada itu, pergerakan suku

bunga deposito 1 bulan yang meningkat sebesar 411

bp menjadi 16,07% lebih banyak dipengaruhi oleh

perubahan marjin suku bunga maksimum penjaminan

yang selama tahun laporan telah diubah selama dua

kali. Hal ini terlihat dari arah pergerakan suku bunga

deposito sepanjang tahun laporan yang lebih dekat

dengan suku bunga penjaminan. Sejalan dengan

meningkatnya suku bunga deposito nominal itu, suku

bunga riil deposito mengalami peningkatan sebesar

91 bp menjadi sebesar 3,52%. Tingkat suku bunga

riil ini masih jauh di bawah tingkatnya pada masa

sebelum krisis, terlebih jika mempertimbangkan relatif

lebih tingginya premi risiko pada saat ini.

Walaupun tingkat suku bunga riil deposito

tersebut masih relatif rendah, kenaikan suku bunga

riil ini cukup mampu menggeser portofolio dana

masyarakat dari aset-aset untuk tujuan bertransaksi

(transaction purposes) menjadi aset-aset untuk tujuan

menabung (saving purposes). Hal ini tercermin dari

peningkatan deposito yang lebih tinggi dari

peningkatan aset-aset yang lebih likuid seperti tabu-

ngan dan simpanan giro. Kondisi ini sangat berbeda

dengan perkembangannya di tahun 2000, dimana

yang terjadi adalah sebaliknya, yakni terjadinya

pergeseran ke arah aset-aset yang lebih likuid.

Sejalan dengan terjadinya peningkatan deposito

tersebut, pada akhir tahun pertumbuhan uang beredar

dalam arti luas (M2) mengalami kenaikan sebesar

13,0% (y-o-y) yang melebihi pertumbuhan uang ber-

edar dalam arti sempit (M1) sebesar 9,6% (y-o-y),

walaupun secara rata-rata pertumbuhan M2 lebih

rendah dari pertumbuhan M1.

Kebijakan dan Perkembangan Perbankan

Sebagai kelanjutan dari kebijakan perbankan

yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia pada

tahun sebelumnya, strategi restrukturisasi perbankan

pada 2001 mencakup dua bagian besar yaitu : (i)

program penyehatan perbankan yang meliputi

penjaminan pemerintah bagi bank umum dan bank

perkreditan rakyat (BPR), program rekapitalisasi bank

umum, dan restrukturisasi kredit perbankan; (ii)

pemantapan ketahanan sistem perbankan yang meli-

puti pengembangan infrastruktur dan peningkatan

good governance, serta penyempurnaan pengaturan

dan pemantapan sistem pengawasan bank.

Secara khusus, pada 2001 dalam program

penyehatan perbankan, Bank Indonesia lebih

menitikberatkan pada target pencapaian Capital

Adequacy Ratio (CAR) minimum 8% yang harus

dipenuhi oleh bank-bank pada akhir 2001 dan target

indikatif Non Performing Loans (NPLs) maksimal 5%.

Seiring dengan upaya tersebut, Bank Indonesia juga

sedang menyempurnakan pola pengawasan bank

sebagaimana telah ditetapkan dalam master plan

mengenai peningkatan efektivitas pengawasan bank,

Tinjauan Umum

13

diantaranya dengan menerapkan sistem pengawasan

bank yang berbasis pada risiko (risk based super-

vision) dan berorientasi ke depan (forward looking)

sebagai penyempurnaan dari sistem pengawasan

yang didasarkan atas kepatuhan (compliance audit).

Penyempurnaan sistem pengawasan tersebut

mengacu pada 25 Basel Core Principles for Effective

Banking Supervision, yang telah berlaku secara

internasional. Sementara itu, program pemantapan

ketahanan sistem perbankan diarahkan untuk

membangun sistem perbankan yang tangguh dan

tahan terhadap guncangan. Sebagai bagian yang

tidak terpisahkan dalam sistem perbankan nasional,

dalam tahun 2001 juga dilakukan pengembangan

perbankan syariah dan BPR.

Dalam rangka mendorong pengembangan

usaha kecil dan menengah, Bank Indonesia telah

melakukan berbagai upaya untuk pemberdayaan

usaha kecil dan menengah melalui bantuan teknis

Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM).

Bantuan teknis ini dilaksanakan antara lain melalui:

(i) pelatihan kepada kepada BPR dan bank umum

dalam pembiayaan usaha kecil dan mikro, (ii)

melakukan penelitian mengenai usaha skala mikro

yang potensial dibiayai oleh bank, dan (iii) penyediaan

informasi terpadu pengembangan usaha kecil yang

dapat diakses melalui internet yang antara lain

meliputi informasi potensi wilayah, pola pembiayaan,

dan industri kecil yang berbasis ekspor. Informasi ini

diharapkan dapat dimanfaatkan baik bagi pengusaha

kecil maupun oleh perbankan dalam pengembangan

usaha kecil dan mikro.

Sebagai hasil dari berbagai kebijakan yang

ditempuh di atas, kinerja sektor perbankan selama

2001 telah menunjukkan kemajuan. Beberapa

indikator kinerja, khususnya pemenuhan CAR

minimum 8% dan NPLs 5% menunjukkan perbaikan.

Hal ini sesuai dengan sasaran strategis program

restrukturisasi perbankan pada 2001 yang lebih

menitikberatkan pada pencapaian persyaratan CAR

dan NPLs tersebut. Dalam kaitan ini, secara umum

struktur permodalan bank mengalami perbaikan yang

tercermin dari meningkatnya jumlah bank yang

mencapai pemenuhan CAR 8%. Sampai dengan akhir

20013, sebanyak 138 dari 145 bank telah memenuhi

persyaratan CAR minimum 8%. NPLs juga telah

mengalami perbaikan yang cukup signifikan mencapai

12,1% membaik dari 18,8% pada 2000 terutama

karena adanya penghapusbukuan kredit macet,

restrukturisasi dan penyelesaian kredit, pengalihan

kredit ke BPPN, serta penyaluran kredit baru.

Membaiknya kinerja perbankan juga tercermin dari

meningkatnya profitabilitas perbankan. Net Interest

Margin (NIM) perbankan meningkat dari rata-rata

Rp1,9 triliun pada 2000 menjadi Rp3,2 triliun tahun

2001. Namun demikian peningkatan ini terutama

berasal dari spread positif karena naiknya suku bunga

SBI dan besarnya penerimaan obligasi pemerintah

yang mencapai sekitar 45,3% dari total pendapatan

bunga. Sementara itu, pendapatan bunga yang

berasal dari kredit perbankan hanya sebesar 32,2%.

Masih tingginya ketergantungan perbankan terhadap

penerimaan bunga obligasi mengindikasikan proses

restrukturisasi perbankan yang telah dilakukan masih

belum mampu meningkatkan fungsi intermediasi

perbankan secara keseluruhan.

Meskipun indikator kinerja perbankan telah

menunjukkan kemajuan yang berarti, sektor ini masih

3 Posisi November 2001.

Tinjauan Umum

14

menghadapi tantangan terutama fungsi intermediasi

perbankan yang belum sepenuhnya pulih walaupun

telah mencapai kemajuan dibanding tahun sebe-

lumnya. Hal ini tercermin dari belum optimalnya

penyerapan kredit baru oleh sektor riil yang sampai

akhir 2001 baru mencapai Rp56,8 triliun dari

komitmen kredit baru yang telah disediakan oleh

perbankan sebesar Rp127,3 triliun atau realisasinya

hanya sebesar 44,6%. Rendahnya daya serap sektor

riil terhadap kredit perbankan sejalan dengan

menurunnya kepercayaan dunia usaha (business

confidence) untuk melakukan realisasi investasi dan

produksi akibat meningkatnya risiko dan ketidak-

pastian yang terjadi selama tahun laporan. Fungsi

intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih

juga tidak terlepas dari masih berlangsungnya proses

konsolidasi internal perbankan dalam memenuhi

ketentuan prudensial bank.

Sementara itu, perkembangan restrukturisasi

kredit dan korporasi yang masih belum memper-

lihatkan hasil yang menggembirakan juga turut

mempengaruhi lambatnya pemulihan intermediasi

perbankan. Sampai dengan Desember 2001, kredit

yang telah direstrukturisasi (telah dibayar penuh) oleh

BPPN baru mencapai Rp11,6 triliun atau 3,7% dari

total kredit bermasalah sebesar Rp310,7 triliun,

sementara yang masih dalam tahap implementasi

proposal restrukturisasi dan penandatangani MoU

masing-masing mencapai Rp19,7 triliun dan Rp 60,9

triliun. Restrukturisasi kredit yang difasilitasi oleh

Satgas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia secara

akumulatif telah mencapai Rp 91,8 triliun. Dalam pada

itu, penyelesaian restrukturisasi utang luar negeri

swasta yang dilaporkan ke Bank Indonesia baru

sebanyak 68 perusahaan dengan total nilai sekitar

$4,1 miliar atau masih 13,7% dari posisi utang luar

negeri perusahaan yang bermasalah sekitar $30

miliar. Lambatnya restrukturisasi utang luar negeri

swasta ini disebabkan oleh ketidaksesuaian terms

and conditions antara debitur dan kreditur, penurunan

nilai agunan kredit, meningkatnya country risk yang

menyebabkan biaya bunga lebih mahal dan meng-

hambat investor asing untuk mengambil alih utang

luar negeri perusahaan, volatilitas nilai tukar, dan

adanya ketidakpastian hukum.

Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran

Sepanjang 2001 Bank Indonesia terus

melakukan berbagai upaya penyempurnaan untuk

menciptakan sistem pembayaran nasional yang

efisien, cepat, aman, dan handal guna mendukung

efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter serta

mendorong upaya penciptaan sistem perbankan yang

sehat. Secara garis besar, kebijakan sistem pemba-

yaran terdiri dari kebijakan pengedaran uang dan

peningkatan pelayanan jasa Bank Indonesia di bidang

lalu lintas pembayaran.

Di bidang pengedaran uang, dalam lingkup

pembayaran tunai Bank Indonesia berusaha mencu-

kupi kebutuhan masyarakat terhadap uang kertas

dan uang logam untuk keperluan pembayaran serta

menjaga agar uang yang diedarkan berada dalam

kondisi layak edar. Pada 2001, Bank Indonesia

meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi

kenaikan kebutuhan masyarakat akan uang kartal

seiring dengan perkembangan berbagai indikator

ekonomi nasional maupun dalam rangka meng-

hadapi bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari

Natal, dan Tahun Baru 2002 yang waktunya saling

berdekatan.

Tinjauan Umum

15

Posisi UYD (Uang kartal Yang Diedarkan)

sepanjang 2001 cenderung meningkat. Posisi UYD

akhir Desember 2001 mencapai Rp 91,3 triliun atau

meningkat 1,8% dibandingkan dengan posisi UYD

akhir Desember 2000 yang hanya sebesar Rp 89,7

triliun. Kenaikan UYD terutama disebabkan adanya

penarikan yang cukup besar dari masyarakat dalam

rangka merayakan hari-hari besar keagamaan dan

tahun baru.

Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan

antara uang kertas dan uang logam sepanjang 2001

tidak banyak mengalami perubahan, dengan pangsa

masing-masing jenis uang sebesar 98% untuk uang

kertas dan 2% untuk uang logam. Sementara itu, bila

dilihat dari pecahannya, posisi UYD tersebut

didominasi oleh pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000

yang rata-rata pangsanya masing-masing mencapai

41,4% dan 28,9% dari total UYD. Selain menyediakan

uang dalam jumlah yang cukup, Bank Indonesia juga

senantiasa menjaga agar kualitas uang yang

dipegang masyarakat terjaga kualitasnya dengan cara

melakukan “clean money policy” yaitu menarik dan

memusnahkan uang yang tidak layak edar atau

Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) serta

mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.

Sementara itu, meskipun jumlah uang palsu

yang ditemukan pada 2001 menurun dibandingkan

tahun 2000, Bank Indonesia tetap meningkatkan

kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya

memberantas peredaran uang palsu tersebut antara

lain dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang

Palsu (Botasupal), mengedarkan poster dan stiker

mengenai cara mudah mengenali uang rupiah,

mempersiapkan pembuatan iklan layanan masya-

rakat di media televisi, serta melakukan kegiatan

sosialisasi pengenalan keaslian uang rupiah. Selain

upaya yang bersifat preventif tersebut, Bank Indo-

nesia menerapkan upaya represif dengan melakukan

koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait

dalam melakukan penangkapan dan pemrosesan ke

pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

pemalsuan uang rupiah.

Di bidang lalu lintas pembayaran nontunai,

dalam rangka meningkatkan stabilitas sistem ke-

uangan dan memperlancar efektivitas kebijakan mo-

neter, Bank Indonesia telah meningkatkan kinerja lalu

lintas pembayaran nontunai melalui penyempurnaan

implementasi dan ketentuan-ketentuan di bidang

pengawasan sistem pembayaran terutama mengenai

keamanan, prosedur dan produknya, yang antara lain

meliputi : (i) Pengembangan sistem Real Time Gross

Setlement (BI-RTGS) sebagai mekanisme setelmen

pembayaran antarbank untuk transaksi nilai besar

dan/atau penting (urgent) yang dalam tahun 2001

telah diimplementasikan di 12 Kantor Bank Indonesia

(KBI); (ii) Pengembangan Sistem Informasi Kliring

Jarak Jauh (SIKJJ) untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan kliring secara elektronik

dan otomasi; (iii) Pengaturan kembali hubungan

rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak

ekstern yang dilakukan untuk memperluas peman-

faatan giro di Bank Indonesia oleh pihak ekstern guna

mendukung kelancaran pencapaian tujuan meme-

lihara kestabilan nilai rupiah;4 dan (iv) Pengaturan

mengenai penyelenggaraan jasa sistem pembayaran

dengan menggunakan alat pembayaran nontunai dan

jasa pendukungnya, dengan tujuan untuk mene-

4 Penerbitan PBI No.3/11/PBI/2001 sebagai perubahan atas PBI No.2/

24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank

Indonesia Dengan Pihak Ekstern.

Tinjauan Umum

16

gaskan batas-batas kewenangan antar lembaga da-

lam pengaturan jasa-jasa sistem pembayaran.

PROSPEK EKONOMI DAN ARAH KEBIJAKAN 2002

Tantangan Ke Depan

Evaluasi kinerja ekonomi 2001 menunjukkan

bahwa penanganan terhadap berbagai permasalahan

mendasar dan risiko tidak secepat yang diperkirakan

dan bahkan dalam beberapa hal cenderung

memburuk. Kondisi ini telah menyebabkan proses

pemulihan ekonomi Indonesia tidak secepat yang

diharapkan dan semakin besarnya tantangan yang

dihadapi dalam pengendalian moneter. Upaya

mengatasi berbagai risiko dan ketidakpastian tersebut

akan menjadi kunci keberhasilan untuk menjamin

prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik pada

tahun-tahun mendatang. Berbagai faktor risiko dan

ketidakpastian tersebut mencakup :

• Pertama, masih lambannya proses restruk-

turisasi utang perusahaan. Kondisi ini menye-

babkan peningkatan kegiatan ekonomi dan

penyaluran kredit perbankan tidak dapat berjalan

lebih cepat, karena sebagian besar perusahaan

yang masih dalam proses restrukturisasi tersebut

merupakan komponen terbesar dari pereko-

nomian nasional.

• Kedua, masih belum pulihnya intermediasi

perbankan. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya

pembiayaan kegiatan produksi dan investasi,

adanya kelebihan likuiditas di perbankan yang

berpotensi memberi tekanan pada nilai tukar

rupiah dan inflasi, serta menurunnya efektifitas

kebijakan moneter.

• Ketiga, masih beratnya beban keuangan peme-

rintah, terutama akibat masih tingginya penge-

luaran subsidi dan utang pemerintah yang masih

besar. Sementara kemajuan dalam asset reco-

very BPPN maupun privatisasi Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) diperkirakan belum dapat

menutupi beban keuangan pemerintah. Dengan

kondisi demikian, stimulus dari sisi fiskal untuk

percepatan pemulihan ekonomi menjadi sangat

terbatas.

• Keempat, masih tingginya ketidakpastian

hukum dan kendala-kendala dalam pelaksanaan

kebijakan di berbagai bidang ekonomi. Kondisi

ini dapat membawa dampak yang kurang

menguntungkan pada keberhasilan beberapa

program restrukturisasi ekonomi sehingga

menyulitkan upaya perbaikan country risk

Indonesia dan percepatan pemulihan ekonomi

nasional.

• Kelima, munculnya berbagai permasalahan yang

terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah

sehingga menyebabkan kurang kondusifnya iklim

investasi di daerah. Di samping itu, pemanfaatan

Dana Alokasi Umum (DAU) secara tidak efisien

dapat menyebabkan stimulus ekonomi dari sektor

pemerintah menjadi semakin terbatas.

• Keenam, di sisi eksternal, meskipun diperkirakan

akan mulai membaik pada semester kedua,

secara keseluruhan perekonomian dunia masih

akan mengalami resesi pada tahun 2002. Kondisi

ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja

sektor eksternal ekonomi Indonesia. Di samping

itu, pemberlakuan Asean Free Trade Area (AFTA)

sejak awal tahun 2002, di satu sisi dapat mem-

buka peluang ekspor, namun disisi lain akan men-

dorong masuknya pesaing luar negeri yang dapat

mengancam kinerja produsen dalam negeri.

Tinjauan Umum

17

Prospek Ekonomi Makro

Prospek ekonomi makro Indonesia di tahun

2002 tidak terlepas dari pengaruh perkembangan

ekonomi global yang masih ditandai oleh melemahnya

perekonomian di negara-negara industri besar seperti

Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Meskipun

demikian, stimulus kebijakan moneter dan fiskal yang

sangat agresif di negara-negara tersebut diprakirakan

akan mendorong bangkitnya kembali perekonomian

negara-negara itu pada semester kedua 2002. Di

tengah-tengah masih lemahnya perekonomian dunia

tersebut, prospek ekonomi dan moneter Indonesia pada

2002 akan sangat tergantung pada kuatnya peningkatan

kegiatan ekonomi domestik. Apabila kemajuan dalam

penanganan sejumlah permasalahan struktural di dalam

negeri dan penurunan risiko dan ketidakpastian dapat

dicapai, Bank Indonesia memperkirakan bahwa

pemulihan ekonomi Indonesia pada 2002 masih dapat

dipertahankan. Apabila ekspor dan investasi dapat

ditingkatkan serta program restrukturisasi ekonomi dan

perbankan berjalan sesuai dengan harapan, Bank

Indonesia memprakirakan bahwa pertumbuhan

ekonomi 2002 dapat mencapai 3,5%–4,0%.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi

2002 diprakirakan masih akan berasal dari

pertumbuhan konsumsi yang diprakirakan akan dido-

rong oleh meningkatnya gaji dan pendapatan serta

meningkatnya pembiayaan untuk konsumsi, baik

yang bersumber dari perbankan maupun dari perusa-

haan pembiayaan seperti kartu kredit dan pembia-

yaan konsumen. Namun demikian, perlu disadari

bahwa pertumbuhan konsumsi diprakirakan akan

mengarah kepada perkembangan yang melambat.

Sementara itu, investasi dan ekspor diprakirakan akan

mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dari tahun

2001. Walaupun demikian, kedua sektor ini belum

dapat di harapkan menjadi motor penggerak utama

pertumbuhan ekonomi di tahun 2002. Keterbatasan

kinerja investasi sebagai motor penggerak utama

tersebut disebabkan oleh masih berlangsungnya

berbagai permasalahan mendasar di sektor riil, masih

tingginya risiko dan ketidakpastian dalam pereko-

nomian, serta terbatasnya pembiayaan investasi

akibat belum pulihnya intermediasi perbankan.

Sementara terbatasnya kinerja ekspor terutama

disebabkan oleh melemahnya perekonomian dunia.

Walaupun kinerja ekspor masih terbatas,

pertumbuhan impor diperkirakan masih meningkat

sejalan dengan naiknya permintaan konsumsi dan

investasi.

Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi

yang moderat di tahun 2002 diprakirakan disumbang

oleh hampir seluruh sektor. Sejalan dengan masih

dominannya peran konsumsi sebagai mesin utama

pertumbuhan, maka sumbangan terbesar diprakira-

kan akan berasal dari sektor industri pengolahan dan

sektor perdagangan. Sektor industri pengolahan yang

diprakirakan meningkat tajam adalah industri

makanan dan minuman dan kendaraan bermotor,

sedangkan industri unggulan ekspor seperti tekstil,

persepatuan dan kayu diprakirakan mengalami penu-

runan. Sementara itu, meningkatnya sektor perdaga-

ngan, terutama perdagangan ritel, diperkirakan

meningkat cukup tinggi terkait dengan masih tumbuh

positifnya permintaan konsumsi masyarakat yang

diperkirakan menjadi motor penggerak perekonomian

domestik. Sektor pertambangan diperkirakan tumbuh

positif namun masih relatif rendah terutama akibat

masih tingginya ketidakpastian hukum dan faktor

keamanan pada sektor ini selain masih lemahnya

Tinjauan Umum

18

permintaan luar negeri terhadap beberapa komoditas

tambang. Sektor lainnya seperti sektor bangunan

diperkirakan akan bangkit sejalan dengan akan direali-

sasikannya beberapa proyek besar seperti Jakarta

Outer Ring Road dan mulai maraknya penyediaan

perumahan seiring dengan meningkatnya kredit

konsumsi untuk perumahan. Satu-satunya sektor yang

diperkirakan belum membaik adalah sektor pertanian,

sebagai akibat kemungkinan datangnya badai El-Nino

serta masih belum tuntasnya permasalahan produksi

dan distribusi pupuk. Di samping itu, komoditas

perkebunan yang berorientasi ekspor diperkirakan ju-

ga menurun seiring dengan menurunnya permintaan

dunia.

Sementara itu, kinerja neraca pembayaran

Indonesia pada 2002 diprakirakan akan relatif

membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

antara lain tercermin dari meningkatnya cadangan

devisa yang terutama disebabkan oleh membaiknya

lalu lintas modal. Sementara itu, transaksi berjalan

diprakirakan tetap mencatat surplus walaupun lebih

rendah dibandingkan dengan tahun 2001. Prakiraan

menurunnya surplus transaksi berjalan didasarkan

pada relatif tingginya impor dibanding ekspor.

Transaksi berjalan diperkirakan masih dapat mencatat

surplus sebesar $3,1 miliar. Sementara itu, defisit lalu

lintas modal secara keseluruhan diprakirakan akan

cenderung menurun akibat menurunnya defisit lalu

lintas modal swasta dan membaiknya surplus lalu

lintas modal pemerintah. Membaiknya lalu lintas

modal pemerintah tersebut bersumber dari penarikan

pinjaman yang berasal dari negara-negara donor

setelah sempat tertunda di tahun 2001 dan pen-

jadwalan kembali utang pokok luar negeri pemerintah

terkait dengan Paris Club.

Prospek Nilai Tukar dan Inflasi

Prospek nilai tukar rupiah selama 2002 akan

dipengaruhi oleh kondisi fundamental di pasar valuta

asing seperti masih terbatasnya pasokan dan

tingginya permintaan valuta asing, serta faktor sen-

timen pasar. Nilai tukar rupiah pada 2002 dipra-

kirakan memiliki potensi untuk menguat dimana

tekanan depresiasi rupiah cenderung berkurang di-

bandingkan dengan tahun lalu mengingat ketidak-

pastian situasi politik diprakirakan relatif membaik

pada 2002. Penguatan nilai rupiah secara signifikan

diharapkan terjadi mulai pertengahan tahun sejalan

dengan harapan terus membaiknya risiko politik,

keuangan, dan ekonomi. Prakiraan ini akan lebih

optimis apabila dalam waktu dekat terdapat

kemajuan dalam pelaksanaan program-program

ekonomi pemerintah sehingga dapat memperbaiki

persepsi pelaku pasar, termasuk adanya kemajuan

yang signifikan dalam penjualan aset oleh BPPN dan

privatisasi BUMN. Namun demikian, apabila

berbagai risiko tersebut justru menunjukkan

perkembangan yang terus memburuk, maka rupiah

diperkirakan sedikit melemah. Berdasarkan pertim-

bangan tersebut nilai tukar rupiah rata-rata pada

2002 diprakirakan akan mencapai sekitar Rp9.500–

Rp10.500 per dolar.

Sementara itu, prospek inflasi pada 2002

akan dipengaruhi terutama oleh dampak kebijakan

pemerintah di bidang harga serta tingginya ekspektasi

inflasi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dampak

penerapan kebijakan pemerintah terhadap penam-

bahan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi.

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM,

TDL, dan cukai rokok diprakirakan akan tetap

memberikan dampak pada inflasi di tahun 2002.

Tinjauan Umum

19

Tingginya ekspektasi inflasi selain dipengaruhi oleh

inflasi yang tinggi pada 2001 juga sangat dipengaruhi

ekpektasi meningkatnya biaya produksi dan

transportasi sebagai akibat dari rencana kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan.

Di samping itu, tekanan inflasi dari sisi per-

mintaan dan penawaran diprakirakan dapat meningkat

sebagai akibat dari peningkatan konsumsi masyarakat

yang kurang diimbangi sisi penawaran. Tekanan inflasi

diprakirakan semakin tinggi apabila faktor gangguan

pasokan pangan akibat adanya El-Nino yang terjadi

pada 2002 mengganggu produksi sektor pertanian.

Sasaran Inflasi Tahun 2002 dan Jangka Menengah

Dengan memperhatikan berbagai perkem-

bangan dan prospek makroekonomi serta memper-

timbangkan perkembangan tekanan inflasi ke depan,

Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi IHK 2002

pada kisaran 9,0%–10,0%. Namun demikian, dalam

lima tahun ke depan Bank Indonesia memiliki

komitmen untuk secara bertahap menurunkan inflasi

menjadi sekitar 6,0%–7,0%.

Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa berbeda

dengan tahun-tahun sebelumnya, sejak tahun ini Bank

Indonesia mengubah jenis inflasi yang digunakan

sebagai sasaran inflasi, yaitu dari inflasi IHK di luar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan menjadi inflasi IHK. Adapun pertimbangan

perubahan jenis sasaran inflasi ini adalah (i) inflasi IHK

merupakan perubahan harga yang secara langsung

dirasakan oleh masyarakat sehingga penggunaan

sasaran inflasi jenis ini lebih dapat diterima oleh

masyarakat, (ii) penggunaan inflasi IHK lebih trans-

paran bagi masyarakat dibandingkan inflasi IHK di luar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan, yang memerlukan pemahaman yang lebih

mendalam mengenai metode perhitungannya, dan (iii)

dengan menggunakan sasaran inflasi yang lebih

akseptabel dan transparan, ekspektasi masyarakat

terhadap inflasi akan lebih mudah dipengaruhi oleh

sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Di samping perubahan jenis inflasi yang di-

gunakan sebagai sasaran, sejak tahun ini Bank

Indonesia mengumumkan inflasi jangka menengah.

Sasaran inflasi jangka menengah ini diharapkan dapat

dipergunakan oleh masyarakat dan pelaku usaha

sebagai acuan dalam perencanaan jangka menengah

dan panjang. Dengan demikian, ekspektasi inflasi

dalam jangka menengah dapat diarahkan pada

tingkat inflasi yang lebih rendah tanpa mengorbankan

kelangsungan pemulihan ekonomi (Boks : Penetapan

Sasaran Inflasi Bank Indonesia).

Arah Kebijakan

Dengan memperhatikan prospek ekonomi

dan sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai

tantangan yang dihadapi di tahun 2002, Bank Indo-

nesia akan berupaya untuk secara konsisten menem-

puh kebijakan-kebijakan di bidang moneter, perban-

kan dan sistem pembayaran.

Di bidang moneter, dalam rangka mencapai

sasaran inflasi yang telah ditetapkan, kebijakan

moneter akan diarahkan pada upaya pengendalian

uang primer agar tetap sesuai dengan kebutuhan riil

perekonomian. Upaya pengendalian moneter tersebut

akan dilakukan dengan pertimbangan suku bunga riil

yang positif pada kisaran yang memadai sekitar 4,0%-

5,0%. Secara operasional, pengendalian moneter

dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-

instrumen moneter terutama melalui operasi pasar

Tinjauan Umum

20

terbuka dengan lelang SBI. Selain itu, upaya tersebut

juga akan didukung dengan melakukan sterilisasi valas.

Disamping sebagai upaya penyerapan kelebihan

likuiditas, sterilisasi valas juga dimaksudkan untuk

mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Kesemua langkah di bidang moneter tersebut akan

dilakukan secara berhati-hati dan terukur agar

kestabilan harga tetap terpelihara sehingga mampu

mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang

berlangsung dan pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan dalam jangka menengah-panjang.

Di bidang perbankan, prioritas utama ke-

bijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan

sistem perbankan. Untuk mencapai hal tersebut, Bank

Indonesia akan terus menerus memaksimalkan upaya

penerapan 25 Basel Core Principles for Effective

Banking Supervision yang penjabarannya dituangkan

dalam Master Plan Peningkatan Efektivitas Penga-

wasan Bank. Upaya untuk memelihara CAR bank-

bank yang telah mencapai 8% terus dilakukan

khususnya terhadap bank-bank yang struktur per-

modalannya masih rentan terhadap pengaruh kenai-

kan suku bunga dan melemahnya nilai tukar serta

penurunan kualitas kredit. Bagi bank-bank besar yang

memiliki risiko usaha yang cukup tinggi dan bero-

perasi secara internasional akan didorong untuk

meningkatkan rasio kecukupan modalnya di atas 8%.

Di samping itu, dalam rangka meningkatkan stabilitas

sistem keuangan, pada saat ini Bank Indonesia

sedang melakukan pengkajian mengenai landscape

perbankan Indonesia yang terintegrasi dengan

pengembangan lembaga finansial lainnya.

Sementara itu, untuk memulihkan fungsi

intermediasi perbankan, Bank Indonesia akan mendo-

rong perbankan untuk lebih banyak lagi menyalurkan

kredit kepada sektor-sektor yang dianggap telah siap

dan memiliki risiko yang relatif rendah seperti kredit

ekspor dan kredit bagi UKM dengan tetap memper-

hatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat. Bank

Indonesia juga melakukan penyempurnaan terhadap

beberapa ketentuan untuk mempercepat intermediasi

perbankan. Selain itu, usaha untuk meningkatkan

kesehatan bank juga didukung oleh upaya-upaya

yang terus menerus untuk menekan angka NPLs

perbankan nasional dengan mewajibkan bank-bank

untuk mencapai target NPLs sebesar 5% pada akhir

2002. Sementara itu upaya yang perlu dilakukan untuk

memperkuat infrastruktur perbankan nasional dapat

dilakukan dengan terus mendorong pengembangan

bank syariah dan keberadaan BPR serta bersama-

sama dengan Pemerintah mempersiapkan pem-

bentukan Lembaga Penjamin Simpanan dan lembaga

pengawas jasa keuangan.

Untuk mendukung tercapainya kestabilan

sistem keuangan dan efektivitas kebijakan moneter,

kebijakan di bidang sistem pembayaran akan diarah-

kan untuk mempercepat pengembangan dan pelak-

sanaan sistem pembayaran nasional yang efisien,

akurat, aman, dan handal melalui peningkatan mutu

pelayanan sistem pembayaran. Di bidang penge-

daran uang Bank Indonesia akan mengutamakan

penggunaan unsur pengaman yang kasat mata dan

kasat raba terhadap uang baru yang diterbitkan. Di

samping itu, Bank Indonesia akan melakukan

penataan kembali jalur distribusi uang dalam rangka

lebih menjamin ketersediaan uang di seluruh Kantor

Bank Indonesia (KBI) dan peningkatan pelayanan

penarikan uang tunai kepada masyarakat.

Sementara dari sisi pembayaran nontunai,

kebijakan tetap diarahkan pada pengurangan risiko

Tinjauan Umum

21

pembayaran, peningkatan kualitas dan kapasitas

layanan sistem pembayaran serta pengaturan

pengawasan sistem pembayaran yang cepat, aman,

dan efisien. Selain itu, Bank Indonesia juga terus

melakukan upaya pengaturan mengenai penyeleng-

garaan jasa sistem pembayaran dengan menggu-

nakan alat pembayaran nontunai dan jasa pendu-

kungnya serta melakukan pengaturan yang terkait

dengan upaya mengatasi kegagalan peserta kliring

dalam penyelesaian kewajiban setelmennya.

Penutup

Sebagai penutup, rangkaian kebijakan Bank

Indonesia di tahun 2002 yang akan ditempuh Bank

Indonesia pada hakikatnya merupakan bagian dari

kerangka kebijakan ekonomi makro secara kese-

luruhan. Dalam konteks ini, kebijakan Bank Indonesia

berfungsi untuk menunjang terciptanya iklim yang

kondusif bagi upaya pemulihan ekonomi. Di sisi lain,

keberhasilan kebijakan yang akan ditempuh Bank

Indonesia sangat tergantung pada kebijakan-kebija-

kan di bidang lain dan perkembangan berbagai faktor

risiko dan ketidakpastian. Dengan demikian,

koordinasi kebijakan menjadi faktor yang sangat

penting dalam menunjang keberhasilan pemulihan

ekonomi. Koordinasi kebijakan seperti ini diharapkan

dapat menghasilkan paket kebijakan ekonomi yang

kredibel sehingga akan menumbuhkan kembali

kepercayaan para pelaku ekonomi terhadap proses

pemulihan ekonomi.

Dari sisi internal, Bank Indonesia telah

menempuh berbagai langkah pembenahan mana-

jemen intern melalui Program Transformasi Bank

Indonesia. Program yang mulai diterapkan tahun 2002

ini mencakup perubahan secara substansial misi dan

visi Bank Indonesia dalam era yang sedang berubah

yang menuntut kemampuan Bank Indonesia mela-

kukan antisipasi dan menyesuaikan diri dengan

perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam skala

nasional maupun skala global. Perubahan-perubahan

ini mendorong Bank Indonesia untuk lebih secara

sistematis dan terpadu melakukan perubahan dalam

rangka meningkatkan transparansi, akuntabilitas,

integritas, dan kompetensi. Dalam operasionalnya,

program transformasi ini akan membawa konsekuensi

pada perubahan kerangka kebijakan moneter,

perangkat organisasi, manajemen sumberdaya

manusia, sistem teknologi informasi serta hubungan

dengan stakeholders (Boks : Program Transformasi

Bank Indonesia).

Tinjauan Umum

Tinjauan Umum

22

Sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang

No.23/1999 tentang Bank Indonesia disebutkan

bahwa tugas pokok Bank Indonesia adalah mencapai

dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Selanjutnya

dalam pasal 10, untuk menjalankan tugas ini Bank

Indonesia diwajibkan untuk mengumumkan sasaran

inflasi dan sasaran-sasaran moneter untuk mencapai

sasaran inflasi tersebut.

Salah satu upaya Bank Indonesia dalam

rangka menjalankan tugas pokok tersebut adalah

menetapkan sasaran inflasi dengan cara yang tepat

dengan mempertimbangkan kondisi makroekonomi.

Dengan melihat perkembangan kondisi perekono-

mian saat ini dan tahun-tahun mendatang, penetapan

sasaran inflasi saat ini bertujuan untuk mendukung

upaya pencapaian sasaran inflasi melalui pemben-

tukan ekspektasi masyarakat dengan penerapan

kebijakan moneter yang tetap mendukung proses

pemulihan ekonomi. Untuk itu berbagai aspek penting

yang perlu dikaji dalam penetapan sasaran inflasi ini

adalah: penentuan jenis sasaran inflasi, penentuan

jangka waktu pencapaian sasaran inflasi dan level

dari sasaran inflasi yang akan dicapai.

JENIS SASARAN INFLASI

Secara umum inflasi di definisikan sebagai

“...a situation in which there is a persistent upward

movement in the general price level...”.1 Dalam

pengertian ini terdapat dua hal penting yakni menyang-

kut definisi kenaikan harga yang terjadi secara terus-

menerus (a persistent upward movement) dan

b o k s

Penetapan Sasaran Inflasi Bank Indonesia

kenaikan harga terjadi pada seluruh kelompok barang

dan jasa (the general price level movement). Sebagai

indikator yang mencerminkan perubahan harga-harga,

Inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK)

merupakan indikator inflasi yang paling umum

digunakan baik di Indonesia maupun disejumlah ne-

gara lainnya. Hal ini berkaitan dengan kontinuitas

penyediaan data yang dapat disediakan dengan

segera dan perannya yang lebih dapat mencerminkan

kenaikan biaya hidup masyarakat (cost of living).

Namun demikian, dengan tingginya variabilitas

pergerakan harga relatif di antara komponen barang

yang tercakup dalam perhitungan IHK (relative price

movement) serta tingginya pengaruh nonfundamental

seperti pengaruh musiman dan dampak penerapan ke-

bijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

dalam perkembangan inflasi di Indonesia, seringkali per-

gerakan inflasi IHK tidak mencerminkan perkembangan

laju inflasi seperti yang dimaksudkan dalam definisi

inflasi di atas (general movement dan persistent). Hal

ini dapat berimplikasi terhadap kekurangtepatan arah

kebijakan moneter yang akan ditetapkan oleh Bank

Indonesia dalam upaya pengendalian laju inflasi, yang

mengacu pada perkembangan harga-harga.

Menghadapi hal ini, Bank Indonesia telah me-

lakukan berbagai penelitian2 dalam rangka menda-

1 A.J. Hagger (1977), Inflation: Theory and Policy, The Macmillan

Press Ltd.

2 W. Santoso, R. Anglingkusumo, Underlying Inflation Sebagai

Indikator Harga Yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter: Sebuah

Tinjauan Untuk Indonesia, BEMP No.1 Vol.1, Juli 1998 dan A.R.

Hutabarat, F. Majardi, R. Anglingkusumo, E.D.Tjahjono, E. Haryono,

B. Pramono, H. Alamsyah, Perhitungan Inflasi Inti di Indonesia,

BEMP Vol.2 No.4, Maret 2000.

Tinjauan Umum

22

Tinjauan Umum

23

patkan indikator perubahan harga yang lebih dapat

mencerminkan perubahan harga-harga fundamental.3

Indikator tersebut akan digunakan oleh Bank Indo-

nesia sebagai penunjuk arah bagi penetapan kebi-

jakan moneter, dan sekaligus dapat dijadikan alternatif

sasaran inflasi yang akan dicapai. Penelitian ini meng-

hasilkan beberapa jenis inflasi inti (core inflation) yang

diperoleh dari berbagai metode, dimana masing-

masing metode dibedakan oleh cara mengeluarkan

gangguan-gangguan (shocks) yang ada dalam inflasi

IHK.

Metode yang pertama yang digunakan dalam

perhitungan inflasi inti adalah dengan pendekatan

trimmed mean. Secara statistik, pendekatan ini meru-

pakan perhitungan inflasi inti yang paling baik (robust)

karena benar-benar dapat mencerminkan laju peru-

bahan harga yang persisten. Namun, pendekatan ini

relatif sulit untuk dipahami oleh masyarakat berkaitan

dengan faktor teknis dalam perhitungannya. Kedua,

dengan menggunakan metode exclusion, yaitu me-

ngeluarkan beberapa jenis komoditi yang pergerakan

harganya sangat fluktuatif (volatile) dan/atau komoditi-

komoditi yang penetapan harganya diatur oleh

pemerintah, dari perhitungan inflasi. Beberapa komo-

ditas tersebut dikeluarkan secara permanen dari

keranjang IHK sehingga terbentuk keranjang baru

yang berisikan komoditas-komoditas yang lebih dapat

mencerminkan perkembangan harga fundamental.

Ketiga adalah metode specific adjustment, yaitu

dengan menghilangkan pengaruh khusus pada harga

agregat melalui penyesuaian pada waktu-waktu

tertentu di saat terjadinya gangguan (shocks). Dalam

metode specific adjustment ini secara khusus hanya

dikeluarkan dampak kebijakan pemerintah yang pada

akhirnya dikenal dengan nama inflasi di luar dampak

kebijakan pemerintah di bidang harga dan penda-

patan. Jenis inflasi inilah yang dijadikan sasaran inflasi

Bank Indonesia dalam 2 tahun terakhir.

Dengan adanya berbagai indikator inflasi

tersebut maka berbagai kajian secara mendalam

terus dilakukan untuk dapat menentukan jenis sasa-

ran inflasi yang lebih tepat. Dari berbagai kriteria yang

perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis

sasaran inflasi, yaitu tingkat prediktabilitas, kontrola-

bilitas, dan akseptabilitas, pada 2002 Bank Indonesia

lebih mengutamakan kriteria akseptabilitas dalam arti

memilih jenis inflasi yang lebih dapat diterima

masyarakat dibandingkan kriteria lainnya. Dengan

demikian masyarakat diharapkan menggunakan

sasaran inflasi sebagai patokan (anchor) dalam

kegiatan ekonomi mereka sehingga ekspektasi ma-

syarakat terhadap inflasi akan lebih mudah dipe-

ngaruhi oleh sasaran inflasi yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia.

Jenis inflasi yang paling memenuhi kriteria

akseptabilitas tersebut adalah inflasi IHK, karena

inflasi ini lebih umum dikenal oleh masyarakat sebagai

indikator inflasi di Indonesia. Sementara itu, jenis

sasaran inflasi Bank Indonesia di tahun 2000 dan

2001 yaitu inflasi di luar dampak kebijakan peme-

rintah, menjadi sulit untuk dipertahankan sebagai jenis

sasaran inflasi Bank Indonesia karena selain tingkat

akseptabilitasnya yang diperkirakan lebih rendah,

jenis inflasi ini memiliki tingkat kesulitan yang cukup

tinggi dalam teknis perhitungannya sehingga sulit

untuk diverifikasi. Dengan demikian, jenis inflasi yang

dijadikan sasaran inflasi pada 2002 ini adalah inflasi

IHK, walaupun Bank Indonesia harus menanggung3 Perubahan harga-harga yang disebabkan oleh kondisi

perekonomian secara agregat.

Tinjauan Umum

23

Tinjauan Umum

24

konsekuensi rendahnya tingkat prediktabilitas dan

kontrolabilitas jenis inflasi ini mengingat banyaknya

faktor gangguan (shocks) yang terdapat di dalamnya.

Sementara itu, berbagai indikator inflasi inti yang

memiliki tingkat prediktabilitas dan kontrolabilitas yang

lebih tinggi dapat digunakan sebagai penunjuk arah

(guidance) bagi Bank Indonesia dalam perumusan

kebijakan moneternya.

Level Sasaran Inflasi dan Jangka Waktu Penca-

paiannya

Untuk menentukan level inflasi dan jangka

waktu pencapaian yang optimal diperlukan kajian

yang komprehensif. Dalam penentuannya perlu di-

pertimbangkan berbagai hal yang diantaranya adalah

masalah karakteristik inflasi, efektifitas dan variabilitas

kebijakan moneter, dampaknya terhadap proses

pemulihan ekonomi, dan perkiraan mengenai sumber-

sumber tekanan inflasi yang berada diluar pengaruh

kebijakan moneter.

Kajian mengenai karakteristik inflasi IHK

memperlihatkan bahwa pergerakan inflasi di

Indonesia banyak disebabkan oleh gejolak harga be-

berapa barang tertentu dalam keranjang IHK (relative

price changes). Dengan angka rata-rata kurtosis peru-

bahan harga barang-barang dalam keranjang IHK

yang sangat tinggi, inflasi yang terjadi tidak mencer-

minkan perubahan harga barang-barang secara

umum. Selain itu, dengan kemencengan distribusi

yang sangat condong ke kanan (chronic right skew-

nes), inflasi yang terjadi memiliki kecenderungan yang

tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh masalah distri-

busi barang dan faktor musiman yang terjadi di Indo-

nesia. Implikasi dari karakteristik ini adalah sulitnya

menurunkan tingkat inflasi pada level yang rendah.

Kajian mengenai efektifitas kebijakan mo-

neter dalam mempengaruhi inflasi menunjukkan

bahwa kebijakan moneter memiliki efek tunda yang

cukup panjang dalam mempengaruhi laju inflasi

secara optimal. Kajian ini mempertimbangkan adanya

trade off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi

dalam upaya pengendalian inflasi.4 Implikasi dari

panjangnya efek tunda optimal dari kebijakan moneter

ini adalah adanya keterbatasan dalam ruang gerak

kebijakan moneter dalam melakukan proses disinflasi

dalam jangka pendek.

Dalam periode jangka pendek, proses dis-

inflasi membutuhkan penerapan kebijakan moneter

yang ekstra ketat yang akan berakibat buruk pada

upaya pemulihan ekonomi. Untuk itu, sasaran inflasi

jangka pendek (1 tahun) hanya dapat ditetapkan pada

kisaran prakiraan inflasi yang diprakirakan akan terjadi

pada periode tersebut. Namun demikian proses

disinflasi dapat dilakukan dengan menurunkan inflasi

secara bertahap sehingga sasaran inflasi yang cukup

rendah bisa ditetapkan dalam jangka menengah, yaitu

sekitar 5 tahun. Dengan penetapan sasaran inflasi

seperti ini, kebijakan moneter diharapkan mempunyai

ruang gerak yang memadai untuk memberikan iklim

yang kondusif bagi proses pemulihan ekonomi,

namun ekspektasi inflasi masyarakat secara bertahap

akan terbentuk sesuai dengan sasaran inflasi jangka

menengah.

Sementara itu, kajian lainnya yang didasar-

kan pada berbagai model ekonomi yang dimiliki oleh

4 A.R. Hutabarat, R. Anglingkusumo, F. Majardi, R.E. Wimanda,

Penelitian Tentang Optimal Policy Rules Untuk Pengendalian Inflasi

Secara Forward Looking, BEMP Vol.2 No.3, Desember 2000 dan

R. Anglingkusumo, C. Ligaya, Pengukuran Target Inflasi Dalam

Rangka Melaksanakan Kebijakan Moneter Secara Forward Looking,

BEMP Vol.2 No.4, Maret 2000.

Tinjauan Umum

24

Tinjauan Umum

25

Bank Indonesia5 menunjukkan bahwa dengan

menerapkan kebijakan moneter yang berhati-hati,

proses disinflasi menuju tingkat inflasi yang cukup

rendah dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam

jangka menengah tanpa mengakibatkan terham-

batnya proses pemulihan ekonomi. Proses disinflasi

tersebut dilandasi atas beberapa asumsi utama yang

bersifat optimis yaitu:

• Kebijakan pemerintah menaikkan harga barang

administered telah berkurang dalam jangka

menengah, terutama karena telah dihapuskannya

subsidi BBM dan berakhirnya kenaikan tarif dasar

listrik (TDL) sehingga harga BBM dan TDL sesuai

dengan harga dan tarif internasional.

• Pergerakan nilai tukar rupiah yang lebih stabil,

sejalan dengan berkurangnya tekanan per-

mintaan murni valuta asing, membaiknya struktur

pasar keuangan, serta pulihnya kondisi dan fungsi

intermediasi perbankan dan berkurangnya risiko

dari faktor nonekonomi. Kondisi tersebut diharap-

kan akan mengurangi efek pass-through nilai

tukar ke inflasi.

• Fungsi intermediasi perbankan telah kembali

normal sehingga transmisi dan efektivitas kebi-

jakan moneter dapat berlangsung baik.

• Permasalahan-permasalahan di sektor riil telah

dapat diatasi dan realisasi investasi telah mem-

baik sehingga kendala peningkatan penawaran

aggregat dalam mengimbangi pertumbuhan

permintaan agregat tidak menimbulkan tekanan

yang besar terhadap inflasi.

• Kredibilitas Bank Indonesia yang telah terbentuk

melalui pelaksanaan kebijakan moneter secara

konsisten dan penetapan sasaran inflasi yang

realistis, sehingga dapat mengarahkan dan

membentuk ekspektasi inflasi yang rendah.

Berdasarkan pertimbangan- pertimbangan di

atas dan dengan melihat kondisi ekonomi makro dan

faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi, sasaran

inflasi IHK yang optimum untuk dicapai dalam jangka

pendek (tahun 2002) adalah pada kisaran 9%–10%.

Sementara sasaran inflasi IHK jangka menengah yang

dapat diupayakan oleh Bank Indonesia tanpa meng-

hambat proses pemulihan ekonomi adalah 6%–7%.

5 Model Bank Indonesia (MODBI), General Equilibrium Model Bank

Indonesia (GEMBI), dan Small Scale Macroeconomic Model

(SSMM).

Tinjauan Umum

25

Tinjauan Umum

26

Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.

23/1999, Bank Indonesia dituntut melakukan

perubahan mendasar sesuai dengan semangat yang

terkandung dalam UU tersebut, yaitu independensi,

transparansi dan akuntabilitas. Pada saat yang sama,

tuntutan perubahan yang terjadi baik dalam skala

nasional maupun global juga mengharuskan Bank

Indonesia melakukan sejumlah perubahan funda-

mental. Dalam skala nasional, proses reformasi dalam

pelaksanaan kebijakan publik menuntut Bank Indo-

nesia sebagai institusi publik untuk memperbaiki good

governance yang berimplikasi pada perlunya pening-

katan transparansi dan akuntabilitas dalam proses

pengambilan kebijakan. Disamping itu, krisis ke-

uangan dan moneter yang terjadi sejak 1997

mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral

meningkatkan citra dan membangun kembali

kredibilitasnya untuk meraih kepercayaan publik yang

sangat diperlukan dalam menjamin efektifitas

kebijakan moneter. Dalam skala yang lebih luas,

kredibilitas dari bank sentral suatu negara sangat ber-

pengaruh dalam meningkatkan kepercayaan inter-

nasional.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,

telah mendorong Bank Indonesia sejak 2000

melakukan evaluasi menyeluruh terhadap visi dan

misi, organisasi, pola kerja, dan pengembangan

sumberdaya manusia. Secara formal, sejak Februari

2001 berbagai langkah perubahan yang akan

dilakukan oleh Bank Indonesia kemudian secara

sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dicanangkan

dalam program Transformasi Bank Indonesia.

Program perubahan strategis (strategic change) ini

dilakukan untuk mempercepat terbentuknya Bank

b o k s

Program Transformasi Bank Indonesia

1. Sistem Perumusan Kebijakan Moneter2. Sistem Pelaksanaan Kebijakan Moneter3. Sistem Pengawasan Bank4. Sistem Pengedaran Uang5. Sistem Perencanaan, Anggaran dan Penilaian Kinerja BI6. Sistem Manajemen Informasi7. Sistem Teknologi Informasi8. Sistem Manajemen SDM9. Sistem Manajemen Logistik10. Sistem Jaringan Kantor

Citra Membaik

Kinerja Meningkat

Kepuasan KerjaMeningkat

ProsesKerja Baru

KompetensiKerja Baru

Performance-basedculture

SASARAN PERUBAHANPERUBAHAN STRATEGIS

Bagan 1.

Perubahan Strategis dalam Program Transformasi

Tinjauan Umum

26

Tinjauan Umum

27

Indonesia baru yang lebih mampu mengantisipasi dan

menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada serta

memenuhi harapan para stakeholders. Sasaran ini

dicapai melalui perumusan kembali visi dan misi, nilai-

nilai strategis, dan tujuan strategis Bank Indonesia.

Secara operasional, terdapat sepuluh perubahan

strategis yang meliputi bidang kebijakan moneter,

perbankan, sistem pembayaran, dan manajemen

internal yang harus dikelola secara terintegrasi untuk

mencapai sasaran-sasaran perubahan, yaitu proses

kerja baru, kompetensi kerja baru, dan budaya kerja

baru yang berbasis kinerja (performance-based

culture) sehingga kinerja dan citra Bank Indonesia

dapat ditingkatkan (Bagan 1).

Di bidang moneter, transformasi ditujukan

pada peningkatan kualitas perumusan kebijakan

moneter dan riset ekonomi serta kualitas pelak-

sanaan kebijakan moneter dengan fokus pada pen-

capaian tujuan kestabilan moneter. Tujuan ini dicapai

dengan memperjelas tujuan strategis, memperbaiki

proses, dan peningkatan sumberdaya manusia, serta

organisasi sektor moneter. Di bidang perbankan,

sasaran program transformasi adalah mewujudkan

perbankan yang sesuai dengan standar internasional

termasuk semua persiapan yang diperlukan dalam

rangka pengalihan fungsi pengawasan bank ke

lembaga pengawas jasa keuangan. Secara teknis,

hal ini dilakukan melalui perancangan early warning

system yang mendukung pelaksanaan risk-based

supervision dan pelaksanaan fungsi financial stability.

Disamping itu, program transformasi di sektor

perbankan juga melakukan perancangan program

pelatihan dan program sertifikasi pengawas dan

pemeriksa bank dalam rangka pelaksanaan risk-

based supervision. Terkait dengan pemisahan fungsi

pengawasan bank, program transformasi diarahkan

pada perancangan contingency plan pengalihan

fungsi pengawasan ke lembaga baru dan pe-

rancangan konsep organisasi Bank Indonesia dalam

mewujudkan perannya dalam menjaga kestabilan

sistem keuangan di Indonesia. Di bidang manajemen

internal, program transformasi dilakukan dalam

rangka meningkatkan good governance Bank

Indonesia melalui pembenahan di bidang peren-

canaan, anggaran, dan manajemen kinerja, mana-

jemen sumberdaya manusia, manajemen teknologi

informasi, manajemen informasi, serta manajemen

logistik.

Tinjauan Umum

27

Kondisi Ekonomi Makro

28

bab 2 KONDISI EKONOMI MAKRO

Kondisi Ekonomi Makro

29

b a b 2

KONDISI EKONOMI MAKRO

Pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam ta-

hun 2001 mengalami perlambatan meskipun

masih relatif lebih baik dari pertumbuhan yang dialami

oleh negara-negara di kawasan ASEAN. Produk

Domestik Bruto (PDB) 2001 tumbuh sebesar 3,3%,

lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai

4,9% (Tabel 2.1). Angka pertumbuhan ini juga di

bawah proyeksi awal tahun Bank Indonesia sebesar

4,5%–5,5%.

Perlambatan kegiatan perekonomian ter-

sebut tidak terlepas dari perkembangan kondisi di

dalam dan luar negeri yang kurang menguntungkan.

Dari dalam negeri, perlambatan ini terutama disebab-

kan oleh lambatnya restrukturisasi utang dan sektor

korporasi, masih berlangsungnya konsolidasi internal

perbankan, serta beratnya beban keuangan

pemerintah. Sementara itu, masih tingginya risiko dan

ketidakpastian sehubungan dengan meningkatnya

ketegangan sosial dan politik, serta lemahnya

penegakan hukum menyebabkan menurunnya

kepercayaan dunia usaha untuk melakukan kegiatan

produksi dan investasi yang pada akhirnya

menghambat ekspansi ekonomi lebih lanjut. Dari luar

negeri, perkembangan perekonomian dunia yang

cenderung melambat sejak triwulan I-2001 dan

kemudian menjadi lebih buruk pasca tragedi World

Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001 telah

menyebabkan perekonomian negara-negara maju

terganggu, diantaranya adalah negara-negara yang

menjadi investor dan mitra dagang penting bagi In-

donesia.

Hal ini menyebabkan sumber pertumbuhan

ekonomi dari sisi permintaan yang semula diharapkan

akan berasal dari kegiatan investasi dan ekspor,

dalam perkembangannya tidak sesuai dengan yang

diharapkan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun

laporan sangat bertumpu pada pengeluaran kon-

sumsi, baik untuk sektor rumah tangga maupun

pemerintah. Sementara itu, dari sisi penawaran,

hampir seluruh sektor ekonomi mencatat pertum-

buhan yang positif meskipun dengan laju yang

melambat, kecuali sektor pertambangan yang

mencatat kontraksi. Sektor industri pengolahan dan

sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang

diharapkan menjadi pendorong utama pertumbuhan

Tabel 2.1

Produk Domestik Bruto

Produk Domestik Bruto (riil) 0,8 0,8 4,9 4,9 3,3 3,3

Menurut Pengeluaran

Konsumsi 4,3 3,3 3,9 3,1 6,2 4,8 Konsumsi Rumah Tangga 4,6 3,2 3,6 2,6 5,9 4,2 Konsumsi Pemerintah 0,7 0,1 6,5 0,5 8,2 0,6Investasi1) -18,2 -4,5 21,9 4,4 4,0 0,9Ekspor Barang dan Jasa -31,8 -11,4 26,5 6,4 1,9 0,6Impor Barang dan Jasa -40,7 -14,3 21,1 4,4 8,1 1,9

Menurut Lapangan Usaha

Pertanian 2,2 0,4 1,7 0,3 0,6 0,1Pertambangan -1,6 -0,2 5,1 0,5 -0,6 -0,1

Industri Pengolahan 3,9 1,0 6,1 1,6 4,3 1,1Listik, Gas & Air Bersih 8,3 0,1 8,8 0,1 8,4 0,1

Bangunan -1,9 -0,1 5,5 0,3 4,0 0,2Perdagangan, Hotel & Restoran -0,1 0,0 5,6 0,9 5,1 0,8Pengangkutan & Telekomunikasi -0,8 -0,1 9,4 0,7 7,5 0,6Keuangan, Perusahaan Jasa -7,2 -0,5 4,3 0,3 3,0 0,2Jasa-jasa 1,9 0,2 2,2 0,2 2,0 0,2

1 9 9 9 2 0 0 0* 2 0 0 1**

J e n i sPertum-

buhan

Kontri-

busi

Pertum-

buhan

Kontri-

busi

Pertum-

buhan

Kontri-

busi

1) Investasi disini adalah pembentukan modal tetap domestik bruto

Sumber : BPS

Kondisi Ekonomi Makro

30

ekonomi, tidak mampu mendorong perekonomian

untuk tumbuh lebih tinggi terutama berkaitan dengan

berbagai kendala yang membatasi peningkatan

utilisasi di kedua sektor tersebut.

Kegiatan ekonomi yang melambat tersebut

pada gilirannya memberikan dampak yang kurang

menguntungkan bagi kondisi ketenagakerjaan.

Pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi tidak dapat

diimbangi oleh penyediaan lapangan kerja secara

memadai. Memburuknya kondisi ketenagakerjaan

tersebut antara lain tercermin dari meningkatnya

angka pengangguran, maraknya aksi pemogokan dan

perselisihan buruh serta pemutusan hubungan kerja

(PHK).

PERMINTAAN AGREGAT

Pada awal 2001 perekonomian Indonesia

diperkirakan mengalami pertumbuhan yang cukup

tinggi yakni mencapai 4,5%–5,5%. Pertumbuhan

yang tinggi tersebut terutama diperkirakan akan

didukung oleh membaiknya kinerja ekspor, kegiatan

investasi, serta masih kuatnya pengeluaran konsumsi.

Perkiraan yang cukup optimis tersebut didasarkan

pada harapan bahwa beberapa permasalahan

penting di sisi internal, seperti restrukturisasi utang

dan perbankan akan mencatat perkembangan yang

membaik. Sementara itu, perkembangan di sisi

eksternal yang dicerminkan oleh kondisi pereko-

nomian global diperkirakan masih kondusif bagi

kegiatan sektor eksternal Indonesia.

Dalam perkembangannya, perkiraan yang

dilakukan di awal tahun tersebut tidak semuanya

sesuai dengan yang terjadi. Sejumlah persoalan

penting di dalam negeri seperti restrukturisasi kredit

dan sektor korporasi serta fungsi intermediasi

perbankan belum menunjukkan kemajuan yang

berarti. Kondisi ini diperberat oleh perkembangan per-

ekonomian dunia yang justru mengalami

perlambatan terutama sejak akhir triwulan I-2001 dan

diperparah oleh tragedi WTC 11 September 2001

yang memberikan dampak kurang menguntungkan

bagi perkembangan sektor eksternal perekonomian

Indonesia.

Sepanjang tahun laporan, pertumbuhan

ekonomi terutama bersumber dari kegiatan di dalam

negeri (domestic demand) yang dalam hal ini

didorong oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi

yang cukup tinggi sebesar 6,2%, jauh lebih tinggi

dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh

sebesar 3,9%. Sementara itu, kinerja investasi dan

ekspor mencatat perlambatan yakni masing-masing

hanya tumbuh sebesar 4,0% dan 1,9%. Adanya

peningkatan permintaan terutama untuk pengeluaran

konsumsi yang tidak diimbangi oleh penambahan

investasi dan produksi secara memadai mengaki-

batkan memburuknya pembentukan stock perekono-

mian.

Pada 2001 konsumsi memberikan kontri-

busi terhadap laju pertumbuhan PDB sebesar 4,8%

jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya

sebesar 3,1%. Peningkatan kontribusi konsumsi ini

berkaitan dengan pertumbuhannya yang sangat

tinggi dan masih tingginya porsi konsumsi dalam

pembentukan PDB. Berdasarkan komponennya,

tingginya pengeluaran konsumsi terjadi baik di sektor

rumah tangga maupun sektor pemerintah, masing-

masing tumbuh sebesar 5,9% dan 8,2% dengan

kontribusi terhadap laju pertumbuhan PDB masing-

masing sebesar 4,2% dan 0,6% (Grafik 2.1).

Meskipun demikian, pertumbuhan pengeluaran

Kondisi Ekonomi Makro

31

konsumsi yang cukup tinggi tersebut masih berada

di bawah rata-rata pertumbuhan tahunannya yang

pada periode sebelum krisis sempat tumbuh di atas

7%. Peningkatan konsumsi rumah tangga bersumber

dari peningkatan pendapatan masyarakat dan

peningkatan fasilitas pembiayaan konsumen baik

yang bersumber dari perbankan maupun dari

lembaga pembiayaan lainnya. Peningkatan pen-

dapatan masyarakat berasal dari kenaikan upah

minimum dan pembayaran rapel kenaikan gaji PNS,

TNI, dan POLRI. Sementara itu, peningkatan fasilitas

pembiayaan konsumen tercermin dari masih tinggi-

nya pertumbuhan kredit konsumsi yang disalurkan

oleh sektor perbankan dan penggunaan kartu kredit

oleh konsumen.

Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah

tangga tercermin dari berbagai indikator dan hasil

survei baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia mau-

pun lembaga lain. Beberapa hasil survei yang ada

antara lain : Survei Penjualan Eceran, Survei Kon-

sumen, dan indikator penjualan kendaraan bermotor.

Survei Penjualan Eceran yang dilakukan Bank Indo-

nesia menunjukkan bahwa secara total, penjualan

masih meningkat dibandingkan tahun 2000 dengan

pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 25,8%

(Grafik 2.2). Berdasarkan survei ini, kenaikan pen-

jualan eceran terjadi di hampir seluruh kelompok

barang yang disurvei, kecuali untuk penjualan eceran

kelompok bahan bakar yang mencatat penurunan.

Peningkatan penjualan terutama disumbang oleh

peningkatan penjualan kelompok kerajinan seni dan

mainan, kelompok makanan, minuman, dan tem-

bakau, dan kelompok perlengkapan rumah tangga.

Hal ini sesuai dengan kecenderungan pengeluaran

konsumsi rumah tangga yang sebagian besar masih

disumbang oleh pengeluaran konsumsi bukan ma-

kanan. Peningkatan pengeluaran konsumsi bukan

makanan ini antara lain digunakan untuk membeli

barang tahan lama seperti sepeda motor yang dalam

tahun laporan juga menunjukkan penjualan yang

searah dengan peningkatan konsumsi tersebut. Da-

lam periode yang sama, sumbangan pengeluaran

konsumsi yang dialokasikan untuk makanan menca-

tat peningkatan yang cukup tajam dibandingkan

tahun lalu, walaupun sumbangannya masih di bawah

pengeluaran konsumsi bukan makanan (Grafik 2.3).

Grafik 2.2

Survei Penjualan Eceran

Grafik 2.1

Pertumbuhan Konsumsi Tahunan

Sumber : BPS

-16

-12

-8

-4

0

4

8

12

Konsumsi Total

Konsumsi Pemerintah

Konsumsi Rumah Tangga

Persen

1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000* 2001**-100

-50

0

50

100

150

200Bahan konstruksi

Kendaraan & suku cadang

Makanan dan tembakauPakaian dan perlengkapannya

Indeks Total

Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.

2 0 0 0 2 0 0 1

Indeks

Kondisi Ekonomi Makro

32

Dibandingkan perkembangan penjualan

sepeda motor tahun 2000 yang menunjukkan

perlambatan yang cukup tajam, penjualan kendaraan

bermotor khususnya pada sembilan bulan pertama

tahun laporan mulai menunjukkan kecenderungan

yang meningkat. Peningkatan penjualan sepeda

motor ini didorong oleh masuknya sepeda motor

buatan Cina dengan harga yang relatif murah dan

disertai oleh kemudahan dari segi fasilitas pembia-

yaannya (Grafik 2.4). Sementara itu, penjualan sedan

dan van dalam tahun 2001 masih tetap tinggi,

meskipun jumlah unit kendaraan yang terjual secara

total lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya

(Grafik 2.5).

Sejumlah hasil survei yang dilakukan oleh

lembaga lain berkaitan dengan indikator pengeluaran

konsumsi seperti Survei Tendensi Konsumen (STK)

yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan

Survei Consumer Confidence Index (CCI) yang

dilakukan oleh Danareksa Research Institute (DRI)

juga mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi.

Hasil STK mengindikasikan adanya peningkatan

optimisme konsumen terhadap kondisi perekonomian

yang pada gilirannya memberikan dorongan pada

pengeluaran konsumsi masyarakat. Sejalan dengan

hal itu, hasil CCI juga mengindikasikan terjadinya

peningkatan kepercayaan konsumen terutama pada

paro kedua 2001 yang didorong oleh harapan akan

adanya perbaikan kondisi perekonomian pada era

pemerintahan yang baru.

Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah

tangga juga tercermin dari peningkatan pembiayaan

Grafik 2.5

Grafik Penjualan Sedan dan Van

Grafik 2.3

Sumbangan Pengeluaran Konsumsi

Menurut Kelompok

Grafik 2.4

Penjualan Sepeda Motor

Sumber : BPS Sumber : GAIKINDO

Sumber : GAIKINDO

U n i t Persen

-

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

300.000

350.000

400.000

450.000

500.000

2 0 0 0 2 0 0 1

0

20

40

60

80

100

120Penjualan Sepeda Motor

Pertumbuhan Penjualan Sepeda Motor (y-o-y)

I II III IV I II III IV

IV

2 0 0 0 2 0 0 1

0

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

I II III IV I II III-100

0

100

200

300

400

500

600Penjualan Sedan & Van Pertumbuhan Penjualan Sedan & Van (y-o-y)

U n i t Persen

Sumbangan Pertumbuhan Bukan Makanan

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

0

20

40

60

80

100

120

I II III IV I II III IV

Sumbangan Pertumbuhan Makanan

Pertumbuhan Penjualan Motor (aksis kanan)

2 0 0 0* 2 0 0 1**

Persen Persen

Kondisi Ekonomi Makro

33

J e n i s 1998 1999 2000 2001

untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif, baik yang

bersumber dari sektor perbankan seperti penyaluran

kredit konsumsi, maupun dari perusahaan pem-

biayaan seperti kartu kredit dan pembiayaan kon-

sumen. Dalam tahun 2001, pertumbuhan tahunan

kredit konsumsi mencapai 45,7% dan menunjukkan

kecenderungan yang meningkat terutama pada

semester I-2001 (Grafik 2.6). Sementara itu,

pemakaian kartu kredit sebagai sarana transaksi oleh

masyarakat semakin meluas sebagaimana tercermin

dari jumlah pemegang kartu kredit dalam tahun 2001

yang meningkat sebesar 31,8% dan volume transaksi

kartu kredit yang tumbuh sebesar 41,4%. Pemakaian

kartu debit sebagai sarana transaksi juga

menunjukkan kecenderungan yang meningkat

meskipun tidak setinggi pertumbuhan penggunaan

kartu kredit. Jumlah pemegang kartu debit meningkat

sebesar 3,7% dengan volume transaksi yang

meningkat sebesar 42,2% (Tabel 2.2). Indikator

kegiatan konsumsi lainnya seperti pembiayaan

konsumen juga tumbuh sangat tinggi terutama pada

awal tahun dan pada November 2001 mencatat

pertumbuhan tahunan sebesar 58,0%. Meskipun

demikian, sejalan dengan perkembangan suku bunga

yang cenderung meningkat, perkembangan pem-

biayaan untuk kegiatan konsumsi tersebut menun-

jukkan kecenderungan melambat terutama sejak awal

triwulan II–2001 (Grafik 2.7).

Sementara itu, indikator konsumsi lainnya

seperti hasil Survei Konsumen oleh Bank Indonesia

juga menunjukkan adanya indikasi peningkatan

pengeluaran konsumsi rumah tangga seiring dengan

membaiknya keyakinan konsumen. Hal ini terutama

didorong oleh membaiknya ekspektasi konsumen

pada saat pergantian kepemimpinan nasional. Selain

itu, peningkatan keyakinan konsumen tersebut juga

Tabel 2.2

Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu

1. Kartu KreditJumlah Pemegang (ribu orang) 2.028,4 2.043,8 2.622,6 3.457,2Volume Transaksi (triliun Rp) 4,9 10,4 13,6 19,2

2. Kartu DebitJumlah Pemegang (ribu orang) 5.374,4 12.111,0 13.103,7 13.587,5Volume Transaksi (triliun Rp) 2,6 3,2 4,7 6,7

Grafik 2.7

Perkembangan Pembiayaan Konsumen

0

2

4

6

8

10

12

14

2000

-20

0

20

40

60

80

100

Persen

Pembiayaan Konsumen

Pertumbuhan Tahunan

Triliun rupiah

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2001

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

120

Grafik 2.6

Perkembangan Kredit Konsumsi

0

10

20

30

40

50

60

70

Triliun rupiah

-40

-20

0

20

40

60

80Kredit Konsumsi

Pertumbuhan Tahunan

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2 0 0 0 2 0 0 1

Persen

Kondisi Ekonomi Makro

34

didasari oleh membaiknya kondisi keuangan res-

ponden saat itu dibandingkan periode sebelumnya.

Tingginya konsumsi ini juga dipengaruhi oleh tetap

optimisnya para responden Survei Konsumen akan

adanya peningkatan penghasilan, baik penghasilan-

nya saat ini maupun untuk 6-12 bulan yang akan

datang. Secara keseluruhan, optimisme konsumen

tercermin dari perkembangan indeks keyakinan kon-

sumen yang meningkat sejak awal tahun dan men-

capai indeks tertinggi pada Agustus sejalan dengan

optimisme akan membaiknya kondisi perekonomian

pada era pemerintahan yang baru, namun optimisme

konsumen tersebut tidak bertahan lama dan terus

menurun sampai akhir tahun meski sempat sedikit

membaik pada akhir tahun (Grafik 2.8).

Selain itu, masih kuatnya kegiatan konsumsi

tersebut juga tercermin dari perkembangan uang

kartal di masyarakat yang terus mengalami pening-

katan. Masih tingginya permintaan uang kartal oleh

masyarakat antara lain mengindikasikan masih ting-

ginya kebutuhan uang untuk kegiatan transaksi di-

mana sebagian diantaranya adalah untuk membiayai

pengeluaran konsumsi.

Apabila ditinjau dari asal barangnya, pening-

katan konsumsi tersebut tidak saja dipenuhi dari

produksi barang di dalam negeri, namun juga dari

impor. Hal ini dicerminkan oleh perkembangan impor

barang konsumsi dalam tahun laporan yang masih

mencatat peningkatan dibandingkan tahun lalu. Impor

barang konsumsi mengalami peningkatan yang pesat

pada paro pertama 2001 walaupun pada akhir periode

laporan cenderung mengalami perlambatan. Pening-

katan konsumsi barang impor pada awal tahun di-

tengarai antara lain oleh motif berjaga-jaga terhadap

kemungkinan terus terdepresiasinya nilai rupiah

sehubungan dengan meningkatnya ketidakpastian

menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Jika

dilihat dari jenis barang yang diimpor, peningkatan

tertinggi terjadi pada jenis barang konsumsi tidak

tahan lama yang tumbuh sebesar 21,9%. Sementara

itu, impor barang konsumsi bahan makanan dan

minuman, dan barang konsumsi makanan, dan minu-

man (rumah tangga) masing-masing tumbuh sebesar

3,4% dan 0,2% (Grafik 2.9).

Perkembangan berbagai indikator pengeluar-

an konsumsi tersebut di atas mencerminkan bahwa

Grafik 2.8

Survei Konsumen

Grafik 2.9

Perkembangan Impor Barang Konsumsi

40

60

80

100

120

140

Indeks

2 0 0 1

Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini

Indeks Ekspektasi Konsumen

Indeks Keyakinan Konsumen

Apr. Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. DesMei0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

I II III IV I II III IV I II III IV1999 2000* 2001**

0

100

200

300

400

500

600

700

800Barang konsumsiBahan makanan & minumanMakanan & minuman (rumah tangga)Barang konsumsi tidak tahan lama

Juta USD Juta USD

Kondisi Ekonomi Makro

35

kegiatan konsumsi yang meningkat cukup tinggi pada

tahun laporan terutama terjadi pada periode awal

tahun yang kemudian cenderung melambat pada

paro kedua 2001. Perkembangan ini dicerminkan oleh

pola pertumbuhan tahunan kredit konsumsi dan

pembiayaan konsumen yang tinggi pada awal tahun

dan kemudian melambat pada akhir tahun.

Seperti halnya pengeluaran konsumsi rumah

tangga yang meningkat pesat, pengeluaran kon-

sumsi pemerintah dalam PDB pada tahun laporan

juga meningkat, yaitu sebesar 8,2% dibandingkan

tahun sebelumnya sebesar 6,5%. Peningkatan kon-

sumsi pemerintah ini ditengarai terkait dengan pelak-

sanaan otonomi daerah dimana sebagian besar

pengeluaran pemerintah daerah dialokasikan untuk

belanja pegawai dan belanja barang. Peningkatan

pengeluaran konsumsi pemerintah daerah lebih

besar daripada penurunan konsumsi pemerintah pu-

sat sehingga secara keseluruhan konsumsi peme-

rintah pada tahun laporan masih mengalami pe-

ningkatan.

Investasi merupakan penyumbang kedua

terhadap pertumbuhan ekonomi 2001.1 Pertumbuhan

investasi pada tahun laporan mencapai 4,0% dengan

sumbangan terhadap laju pertumbuhan PDB sebesar

0,9%, jauh lebih rendah apabila dibandingkan pertum-

buhannya pada tahun lalu yang mencapai 21,9%.

Rendahnya kegiatan investasi dalam tahun laporan

terutama disebabkan oleh sejumlah faktor seperti

meningkatnya faktor ketidakpastian, gangguan

keamanan, dan ketidakpastian penegakan hukum.

Selain itu, rendahnya kegiatan investasi juga di-

pengaruhi oleh fungsi intermediasi perbankan yang

belum sepenuhnya pulih, adanya peraturan daerah

yang kurang kondusif bagi kegiatan investasi berkaitan

dengan pelaksanaan otonomi daerah, sentimen negatif

berkaitan dengan sempat tertundanya pencairan

pinjaman International Monetary Fund (IMF), relatif

tingginya suku bunga di dalam negeri, dan lambatnya

restrukturisasi utang luar negeri. Sebagai akibatnya,

perusahaan cenderung untuk lebih memfokuskan diri

pada pembenahan internal, sehingga realisasi

investasi baru maupun perluasan kapasitas produksi

pada investasi yang telah ada menjadi sangat rendah.

(Boks : Penghitungan Stok Kapital dengan Metode Per-

petual Inventory).

Secara umum, melambatnya kegiatan inves-

tasi ini tercermin dari rendahnya realisasi investasi

baru —baik yang dilakukan asing maupun domestik—

dan menurunnya impor terutama yang terkait dengan

kebutuhan dunia usaha seperti bahan baku dan

barang modal. Dalam periode Januari-Oktober 2001,

nilai impor bahan baku dan barang modal mengalami

penurunan masing-masing sebesar 8,4% dan 10,3%

dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Sementara itu, selama tahun laporan, realisasi inves-

tasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA)

baru mencapai 0,6% dari total nilai persetujuannya.

Seperti halnya PMA, realisasi investasi Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) juga sangat rendah

yakni hanya mencapai 0,2% dari total persetujuan

investasi (Tabel 2.3) . Apabila dilihat dari persetujuan

investasi, nilai investasi pada subsektor industri kimia

merupakan yang terbesar baik untuk PMA maupun

PMDN. Berdasarkan persetujuan lokasinya, nilai

investasi PMA terbesar berlokasi di Jawa Timur dan

Riau, sedangkan untuk PMDN berlokasi di Riau dan

Sulawesi Selatan.1 Investasi disini adalah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

dalam PDB

Kondisi Ekonomi Makro

36

Grafik 2.11

Penjualan Truk

Tabel 2.3

Rasio Realisasi terhadap

Persetujuan PMA dan PMDN

1999 2000 2001

Penanaman Modal Dalam Negeri

1. Rencana Investasi yang disetujui– Jumlah Proyek 228 355 249– Nilai (dalam miliar Rupiah) 53.168 92.410 58.673

2. Realisasi Investasi– Jumlah Proyek 29 22 5– Nilai (dalam miliar Rupiah) 1.741 1.031 95

3. Rasio Realisasi terhadap Rencana (%)– Jumlah Proyek 12,7 6,2 2,0– Nilai 3,3 1,1 0,2

Penanaman Modal Asing

1. Rencana Investasi yang disetujui– Jumlah Proyek 1.174 1.521 1,317– Nilai (dalam miliar Rupiah) 10.892 15.420 9.028

2. Realisasi Investasi– Jumlah Proyek 214 96 15– Nilai (dalam miliar Rupiah) 1.285 897 53

3. Rasio Realisasi terhadap Rencana (%)– Jumlah Proyek 18,2 6,3 1,1– Nilai 11,8 5,8 0,6

Sumber : BKPM

Sumber : GAIKINDO

Indikator kegiatan investasi lainnya juga

memberikan indikasi pertumbuhan investasi yang

rendah seperti ditunjukkan oleh hasil Survei Kegiatan

Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank In-

donesia maupun Survei Tendensi Bisnis (STB) yang

dilakukan BPS. Hasil SKDU menunjukkan bahwa

jumlah responden yang melakukan investasi cende-

rung mengalami penurunan walaupun sempat sedikit

meningkat pada akhir tahun laporan (Grafik 2.10).

Sejalan dengan hasil SKDU, hasil STB menunjukkan

bahwa optimisme pengusaha terhadap kondisi

perusahaan dan bisnis semakin menurun.

Selain berdasarkan hasil survei, perlambatan

kegiatan investasi juga diindikasikan oleh sejumlah

indikator dini (prompt indicator) investasi seperti

penjualan truk dan produksi semen. Penjualan truk

maupun produksi semen meskipun masih tumbuh

positif, tetapi perkembangannya menunjukkan kecen-

derungan yang melambat menjelang akhir tahun

(Grafik 2.11 dan Grafik 2.12). Pertumbuhan penjualan

truk pada dasarnya telah mengalami perlambatan

pertumbuhan yang cukup tajam sejak pertengahan

2000 dan terus berlanjut di tahun laporan sehingga

pada akhir Triwulan IV-2001 mencatat penurunan

sebesar 8,1%. Sementara itu, pertumbuhan produksi

semen mulai melambat sejak triwulan II-2001 dan

secara kumulatif pada 11 bulan tumbuh sebesar 12%,

Grafik 2.10

Investasi dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha

1999 2000

2001

I II III IV I II III IV I II III IV

10

15

20

25

30

35

Realisasi Investasi Perkiraan Investasi 1 Triwulan ke Depan

% Jumlah Responden

1

2000

2 0 0 0 2 0 0 1

-50

0

50

100

150

200

250

U n i t

I II III IV I II III IV0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

Persen

Penjualan Truk

Pertumbuhan Penjualan Truk (y-o-y)

Kondisi Ekonomi Makro

37

Triliun rupiah Triliun rupiah

Investasi Modal kerja Konsumsi (aksis kanan)

50

100

150

200

250

300

350

10

20

30

40

50

60

70

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1

lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada

periode yang sama tahun lalu sebesar 17%. Perkem-

bangan produksi semen tersebut sejalan dengan

perkembangan investasi bangunan yang dalam tahun

laporan mengalami penurunan yang cukup besar

dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik 2.13).

Rendahnya pertumbuhan investasi tersebut

antara lain disebabkan oleh fungsi intermediasi per-

bankan yang belum pulih sepenuhnya sehingga

alokasi dana untuk kegiatan investasi terutama yang

bersumber dari dalam negeri masih terbatas (Grafik

2.14). Hal ini tercermin dari masih dominannya porto-

folio surat-surat berharga seperti obligasi dan SBI da-

lam aset perbankan. Pembiayaan investasi dalam

tahun laporan terutama masih bersumber dari dana

sendiri yang menunjukkan peningkatan meskipun

dalam jumlah yang terbatas. Berdasarkan survei yang

dilakukan oleh Bank Indonesia ditengarai terjadi

peningkatan penggunaan dana sendiri oleh

perusahaan dari sekitar 40% menjadi 60% dari total

pembiayaan usahanya.2

Kondisi tersebut di atas menyebabkan

potensi sumber pembiayaan dari dalam negeri tidak

dapat disalurkan ke dalam bentuk investasi di sektor

riil. Hal ini tercermin dari masih besarnya surplus

kesenjangan tabungan-investasi walaupun sedikit

menurun dibandingkan tahun lalu. Nisbah surplus

kesenjangan tabungan-investasi terhadap PDB

dalam tahun laporan mencapai 3,4%, lebih rendah

dibandingkan tahun lalu yang mencapai 5,2% (Tabel

2.4). Penurunan surplus ini terutama disebabkan

2 Penelitian Credit Crunch, Bagian Studi Pengembangan Pasar

Keuangan, Bank Indonesia, 2001.

Grafik 2.12

Perkembangan Produksi Semen

Sumber : Asosiasi Semen Indonesia

1 3 5 7 9 111 3 5 7 9 11

Ribu ton

1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

-30

0

30

60

90Tingkat Produksi Semen

Pertumbuhan Produksi Semen

Persen

1 3 5 7 9 11

Grafik 2.13

Pertumbuhan Investasi Berdasarkan Jenis

Sumber : BPS

I II III IV I II III IV I II III IV-200

-150

-100

-50

0

50

100

150

200

1999 2000* 2001**

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

Investasi (aksis kanan)

Mesin & Perlengkapan

Alat Angkutan

Bangunan (aksis kanan)

Persen Persen

Grafik 2.14

Kredit Perbankan Menurut Penggunaan

Kondisi Ekonomi Makro

38

I II III IVI II III IVI II III IV-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

1 9 9 9

Persen

2 0 0 0 * 2 0 0 1 * *

PemerintahTabungan 48,0 62,9 36,1 6,6Investasi 49,8 74,2 64,4 61,3Defisit/Surplus –1,8 –11,2 –28,3 –54,7

SwastaTabungan 236,4 222,9 344,9 406,9Investasi 193,3 166,1 249,5 300,9Defisit/Surplus 43,1 56,8 95,4 106,0

TotalTabungan 284,4 285,9 381,0 413,5Investasi 243,0 240,3 313,9 362,2Defisit/Surplus 41,4 45,5 67,1 51,3

Rasio Terhadap PDB

PemerintahTabungan 5,0 5,7 2,8 0,4Investasi 5,2 6,7 5,0 4,2Defisit/Surplus –0,2 –1,0 –2,2 –3,7

SwastaTabungan 24,7 20,1 26,7 27,6Investasi 20,2 15,0 19,3 20,4Defisit/Surplus 4,5 5,1 7,4 7,2

TotalTabungan 29,8 25,8 29,5 28,0Investasi 25,4 21,7 24,3 24,6Defisit/Surplus 4,3 4,1 5,3 3,4

Produk Domestik Bruto (triliun Rp) 955,8 1.110,0 1.282,0 1.476,21)

Transaksi Berjalan (miliar $) 4,1 5,8 8,0 5,0Nilai Tukar (Rp/$) 1.008,8 7.850 8.438 10.255

1) PDB harga berlaku menggunakan asumsi yang digunakan dalam APBNP 2001

1998 1999 2000 2001

Harga Berlaku

Tabel 2.4

Kesenjangan Tabungan - Investasi

oleh peningkatan defisit di sektor pemerintah. Defisit

di sektor pemerintah tersebut terutama disebabkan

oleh menurunnya tabungan pemerintah akibat

peningkatan yang tajam pada alokasi pengeluaran

rutin khususnya untuk subsidi dan pembayaran

bunga.

Penyumbang terkecil dalam pembentukan

PDB dalam tahun laporan adalah ekspor barang dan

jasa yang mencatat pertumbuhan sebesar 1,9%,

dengan sumbangan terhadap laju pertumbuhan PDB

sebesar 0,6%. Meskipun demikian, angka pertum-

buhan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan

tahun lalu yang mencapai 26,1% (Grafik 2.15).

Melambatnya kinerja ekspor disebabkan oleh bebe-

rapa faktor baik yang disebabkan oleh hambatan di

sisi produksi barang ekspor maupun gangguan

permintaan terhadap barang ekspor oleh pihak luar

negeri. Dari dalam negeri, melambatnya kegiatan

ekspor terutama disebabkan oleh meningkatnya faktor

ketidakpastian dan gangguan keamanan yang pada

gilirannya mengganggu kegiatan produksi barang

ekspor. Hal ini antara lain terjadi pada kasus Exxon

Mobil Oil di Arun dan kasus pertambangan Caltex di

Pekanbaru. Meningkatnya ketidakpastian dan gang-

guan keamanan tersebut antara lain terkait dengan

memanasnya kondisi sosial politik terutama menjelang

pergantian kepemimpinan nasional, kerusuhan antar

etnis dan kerusuhan yang terkait dengan isu pemi-

sahan wilayah. Selain itu, maraknya aksi demonstrasi

dan kasus pemogokan buruh yang terjadi pada

beberapa industri barang ekspor penting seperti tekstil

dan alas kaki ikut memperburuk kinerja ekspor.

Dari luar negeri, memburuknya kinerja ekspor

terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dunia

Grafik 2.15

Pertumbuhan Ekspor Barang

dan Jasa Dalam PDB

Sumber : BPS

Kondisi Ekonomi Makro

39

PDB

Jasa-jasa

Bank & LbgKeuangan

Pengangkutan

Perdagangan

Bangunan

Listik, Gas & AirBersih

Industri Pengolahan

Pertambangan

Pertanian

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 0,10

2000*2001**

-2,0

yang melambat termasuk di negara-negara yang

merupakan mitra dagang utama Indonesia seperti

Amerika Serikat dan Jepang. Pada awal 2001, pereko-

nomian Amerika Serikat dan Jepang diperkirakan

tumbuh masing-masing sebesar 4,1% dan 2,2%.

Dalam perkembangannya, Amerika Serikat justru

mengalami pertumbuhan yang melambat bahkan sejak

akhir triwulan III-2001 telah memasuki resesi.3 Semen-

tara itu, perekonomian Jepang masih mengalami

kontraksi. Perkembangan ekonomi yang memburuk di

dua negara tersebut selanjutnya menyebabkan

melambatnya perekonomian dunia. Kondisi pereko-

nomian global yang memburuk tersebut diikuti oleh

perkembangan harga barang-barang di pasar inter-

nasional yang secara umum mengalami penurunan.

Kombinasi kedua hal tersebut pada gilirannya telah

berdampak kurang menguntungkan bagi pertumbuhan

ekspor Indonesia.

Sejalan dengan melambatnya kegiatan

ekspor, kegiatan impor juga mencatat perlambatan

yang cukup tajam, walaupun sempat meningkat pada

awal tahun laporan. Impor barang dan jasa mencatat

pertumbuhan 8,1%, jauh lebih rendah apabila diban-

dingkan dengan pertumbuhan tahun lalu sebesar

21,1%. Melambatnya kegiatan impor tersebut

ditengarai sejalan dengan melambatnya kegiatan

investasi dan terganggunya proses restrukturisasi dan

revitalisasi industri di dalam negeri. Impor bahan baku

dan barang modal yang umumnya digunakan untuk

mendukung kegiatan investasi dan produksi menga-

lami penurunan yang cukup besar yakni masing-

masing sebesar 8,5%dan 10,2%. Selain itu, lebih

rendahnya pertumbuhan impor tersebut antara lain

juga dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah

yang terdepresiasi dan berfluktuasi cukup tajam

dalam tahun 2001.4 Perkembangan nilai tukar yang

demikian menyebabkan harga barang impor menjadi

relatif lebih mahal dalam satuan rupiah. Kondisi ini

diperberat pula oleh belum normalnya fungsi

intermediasi perbankan yang mengakibatkan

pembiayaan dunia usaha sangat terbatas termasuk

pembiayaan dalam rangka pembelian impor barang

yang digunakan dalam kegiatan usaha.

PENAWARAN AGREGAT

Di lihat dari sisi produksi, perekonomian

Indonesia memperlihatkan perlambatan pertumbuhan

pada hampir seluruh sektor perekonomian, kecuali

sektor pertambangan dan penggalian yang me-

ngalami kontraksi (Grafik 2.16). Lambatnya kegiatan

di sisi produksi tidak terlepas dari sejumlah per-

masalahan yang masih membebani perekonomian

seperti masih tingginya ketidakpastian di bidang

sosial, politik, keamanan, dan hukum; lambatnya

3 The National Bureau for Economic Research (NBER) mem-

perkirakan bahwa perekonomian Amerika Serikat telah memasuki

masa resesi sejak Maret 2001.

4 Secara keseluruhan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

tahun 2001 mencapai 17,7%.

Grafik 2.16

Pertumbuhan PDB dari Sisi Penawaran

Sumber : BPS

Kondisi Ekonomi Makro

40

85

90

95

100

105

110

115

PDB Aktual

PDB Potensial

Triliun rupiah

1996 1997 1998 1999 2000 2001

I III I III I III I III I III I III

40

60

80

100

120

140

160

180

200

Triliun rupiah

- -

5

10

15

20

25

30

35

40

45Perindustrian

Perdagangan

Jasa-jasa

Pertanian (aksis kanan)

Pertambangan (aksis kanan)

Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.

20

1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1

Penawaran Jangka Pendek

Dari sisi penawaran, perlambatan pertum-

buhan terjadi pada hampir semua sektor ekonomi.

Meski melambat, seluruh sektor tersebut masih tetap

mencatat pertumbuhan yang positif. Seperti halnya

dengan tahun lalu, sektor industri pengolahan, sektor

perdagangan, dan sektor pengangkutan yang mem-

punyai pangsa sekitar 50% dari total PDB masih

merupakan penyumbang terbesar pada pertumbuhan

PDB. Sementara itu, sektor pertanian dan perkebunan

yang mempunyai pangsa terbesar kedua setelah

sektor industri pengolahan dan sempat menjadi

primadona pada awal krisis hanya mengalami pertum-

buhan kurang dari 1%. Pertumbuhan sektor pertanian

ini merupakan pertumbuhan terendah yang pernah

terjadi sejak periode krisis 1998 yang lalu.

Sebagaimana telah diutarakan pada bagian

sebelumnya, masih besarnya permasalahan yang

dihadapi perekonomian Indonesia menyebabkan upaya

untuk meningkatkan kapasitas perkonomian secara

keseluruhan menjadi terhambat. Momentum peralihan

proses restrukturisasi utang luar negeri, kredit, dan

perusahaan; kondisi perekonomian dunia yang

kurang menguntungkan; serta relatif rendahnya

realisasi kredit yang berasal dari sektor perbankan

(Grafik 2.17).

Meski melambat, hampir seluruh sektor

dalam perhitungan PDB memberikan pertumbuhan

nilai tambah yang positif. Sektor industri diikuti oleh

sektor perdagangan dan sektor pengangkutan masih

merupakan sektor yang memberikan sumbangan

terbesar. Sementara itu, sektor pertanian mencatat

angka pertumbuhan terendah sejak 1998.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang

dibarengi oleh rendahnya pertumbuhan investasi baik

yang berasal dari investasi baru maupun ekspansi

kegiatan usaha yang ada, mengakibatkan pening-

katan output potensial perekonomian menjadi ter-

batas. Sementara itu, perkembangan output aktual

yang cenderung lebih pesat pada dua tahun terakhir

menyebabkan kesenjangan output (output gap)

semakin menyempit (narrowing gap) yang pada

gilirannya memberikan tekanan terhadap perkem-

bangan harga-harga (Grafik 2.18).55 Kesenjangan output merupakan selisih antara output aktual dan

output potensial. Output potensial diukur dengan metode HP filter.

Grafik 2.17

Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi

Grafik 2.18

Kesenjangan Output Agregat

Kondisi Ekonomi Makro

41

kepemimpinan nasional pada semester kedua tahun

laporan yang sempat menimbulkan optimisme positif

akan membaiknya kondisi perekonomian belum dapat

dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, pelaksanaan

otonomi daerah juga menimbulkan sejumlah permasa-

lahan baru antara lain berupa ekonomi biaya tinggi yang

menghambat iklim berusaha. Permasalahan penting

lainnya yang terkait dengan otonomi daerah adalah

memburuknya koordinasi kebijakan, khususnya yang

terkait dengan bidang ekonomi antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah maupun antar pemerintah

daerah sendiri. Berbagai permasalahan tersebut pada

akhirnya menyebabkan banyak investor menunda

realisasi investasinya.

Dari sisi eksternal, perkembangan ekonomi

di luar negeri juga tidak banyak memberikan sum-

bangan positif bagi perkembangan kegiatan ekonomi

di dalam negeri. Perlambatan perekonomian dunia

yang telah terjadi pada awal tahun laporan semakin

diperparah oleh tragedi WTC. Selain itu, dampak

lanjutan pasca tragedi tersebut menyebabkan menu-

runnya bisnis sektor pariwisata dunia yang pada gili-

rannya mempengaruhi kegiatan usaha di sektor

perdagangan, hotel dan restoran. Bersamaan dengan

itu, perkembangan harga-harga secara umum di

pasar dunia yang cenderung menurun —termasuk

untuk komoditas pertanian dan pertambangan—

memberikan dampak yang kurang menguntungkan

bagi perkembangan sektor pertanian dan sektor

pertambangan.

Berbagai permasalahan tersebut di atas,

menyebabkan rendahnya aliran masuk modal asing

ke Indonesia, sementara alternatif pembiayaan dari

dalam negeri belum dapat diharapkan. Pada giliran-

nya, kondisi ini menyebabkan ekspansi kapasitas

perekonomian menjadi sangat terbatas, bahkan

terdapat indikasi beberapa sektor ekonomi mengalami

kemunduran.

Dalam tiga tahun terakhir, sektor industri

pengolahan selalu menjadi penyumbang terbesar

pada pertumbuhan ekonomi. Pada 2001, pertum-

buhan nilai tambah sektor ini tercatat sebesar 4,3%,

dengan sumbangan terhadap laju pertumbuhan PDB

sebesar 1,1%. Pertumbuhan pada sektor industri ini

terutama masih didorong oleh peningkatan yang

cukup tinggi pada nilai tambah industri nonmigas.

Kegiatan yang memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan nilai tambah sektor industri tanpa

migas ini adalah subsektor makanan, minuman, dan

tembakau, subsektor alat angkutan mesin dan

peralatannya, dan subsektor kimia dan barang dari

karet. Namun demikian, dalam tahun laporan ter-

dapat sejumlah permasalahan yang menyebabkan

lebih rendahnya pertumbuhan kegiatan usaha di

sektor ini dibandingkan tahun lalu. Permasalahan

utama bagi perkembangan sektor industri pengo-

lahan ini adalah terbatasnya pembiayaan kegiatan

usaha. Hal ini antara lain tercermin dari relatif kecil-

nya peningkatan kredit investasi. Dalam kondisi

dimana ketidakpastian iklim usaha masih tinggi,

aliran investasi asing masih sulit diharapkan. Kondisi

ini diperburuk oleh adanya sejumlah investor yang

mengalihkan usahanya ke negara lain yang lebih

menjanjikan seperti Cina dan Vietnam.

Selain masalah terbatasnya pembiayaan

kegiatan usaha, permasalahan di sektor industri di-

perberat oleh dampak kebijakan pemerintah menye-

suaikan harga dan tarif. Kebijakan tersebut menye-

babkan biaya produksi menjadi semakin tinggi yang

menyulitkan bagi para pengusaha untuk mengem-

Kondisi Ekonomi Makro

42

bangkan usahanya. Dari sisi biaya produksi, kenaikan

biaya produksi terutama berasal dari penyesuaian

harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik

(TDL) yang mengharuskan sektor ini melakukan

penyesuaian yang cukup besar dengan dijadikannya

harga BBM di pasar internasional sebagai dasar pene-

tapan harga BBM industri dalam negeri. Selain itu,

kelesuan yang dialami perekonomian dunia sangat

memukul sektor industri yang berorientasi ekspor.

Masalah peraturan perdagangan juga turut memper-

sulit ruang gerak bagi produk ekspor Indonesia,

terutama penerapan trade barrier, seperti peraturan

anti dumping dan masalah hak asasi manusia (HAM)

yang diberlakukan oleh negara mitra dagang.

Berbagai hal tersebut di atas, pada gilirannya

ikut melemahkan daya saing produk ekspor Indone-

sia sehingga produksi barang yang terjadi pada tahun

laporan menjadi lebih difokuskan ke pasar dalam

negeri. Hal lain yang turut menghambat perdagangan

ekspor Indonesia adalah peraturan pemerintah se-

perti larangan impor kulit mentah. Di satu sisi, lara-

ngan impor kulit ini dimaksudkan untuk mencegah

penularan wabah penyakit mulut dan kuku masuk ke

Indonesia. Namun di sisi lain, larangan impor ini

kurang mendukung kegiatan industri perajin kulit.

Guna mengatasi berbagai kendala dan

perkembangan yang kurang menguntungkan tersebut

di atas, pemerintah melakukan berbagai upaya yang

diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor industri

pengolahan. Upaya yang telah dilakukan antara lain

dengan membebaskan impor alat berat dan kom-

puter bekas untuk memenuhi kebutuhan barang

modal yang murah bagi kegiatan industri di dalam

negeri. Langkah lain adalah mencabut larangan impor

barang cetak dalam huruf/aksara Cina dalam rangka

menarik investor dari Cina Taiwan, Hong Kong dan

Singapura. Pemerintah juga menerapkan bea masuk

anti dumping (BMAD) terhadap produk terigu impor

sebesar 15%-30% untuk menjaga daya saing industri

dalam negeri. Selain itu, dalam rangka mendorong

pengembangan industri mesin dalam negeri, peme-

rintah juga memberikan keringanan bea masuk atas

impor bahan baku/penolong dan komponen untuk

perakitan mesin dan motor berputar. Namun demi-

kian, berbagai upaya tersebut belum berhasil sepe-

nuhnya mengatasi perlambatan pertumbuhan sektor

industri pengolahan.

Sektor perdagangan, hotel, dan restoran

tetap menjadi salah satu ujung tombak pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan sektor ini meningkat cukup

signifikan sebesar 5,1% sejalan dengan terus

meningkatnya permintaan konsumsi, khususnya

untuk bahan makanan dan barang-barang ritel. Relatif

tingginya pertumbuhan sektor ini terutama berasal

dari perdagangan domestik yang tercermin dari ting-

ginya ekspansi kegiatan perdagangan di sektor ritel

dan maraknya pembukaan gerai pusat perdagangan

ritel di sejumlah kota besar di Indonesia. Tumbuhnya

subsektor perdagangan juga terjadi seiring dengan

meningkatnya fasilitas pembiayaan konsumen seperti

kredit konsumsi yang dapat dimanfaatkan oleh sektor

rumah tangga. Selain itu, meningkatnya subsektor ini

juga tercermin dari hasil survei properti yang menun-

jukkan adanya peningkatan jumlah hunian di pusat

perdagangan, khususnya untuk usaha ritel.

Sementara itu, perkembangan di subsektor

hotel menunjukkan penurunan yang cukup tajam

terutama pada pasca tragedi WTC. Hal ini tercermin

dari hasil survei properti yang mengindikasikan ta-

jamnya penurunan tingkat hunian hotel (occupancy

Kondisi Ekonomi Makro

43

rate) walaupun pada periode yang sama tarif hotel

relatif tidak mengalami peningkatan yang berarti

(Grafik 2.19).

Sektor pengangkutan dan komunikasi

mencatat pertumbuhan yang tinggi yakni mencapai

7,5% dan menjadi penyumbang terbesar ketiga ter-

hadap laju pertumbuhan PDB. Subsektor angkutan

jalan raya masih menjadi motor utama bagi pertum-

buhan subsektor pengangkutan. Sementara itu,

pertumbuhan subsektor komunikasi antara lain

masih bersumber dari meningkatnya permintaan

sambungan telepon baru serta meningkatnya

kegiatan usaha perusahaan penyelenggara telpon

selular.

Dalam tahun laporan sektor keuangan,

persewaan, dan perusahaan jasa mengalami

pertumbuhan sebesar 3,0%, lebih rendah dari

pertumbuhan yang dicapai tahun lalu sebesar 4,3%.

Pertumbuhan sektor ini terutama masih disumbang

oleh subsektor Bank. Meskipun dalam kenyataannya

sebagian bank telah mulai menyalurkan kredit,

subsektor ini tumbuh melambat sehubungan dengan

fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuh-

nya pulih. Hal ini tercermin dari jenis portofolio aset

perbankan yang masih didominasi oleh SBI dan

obligasi. Selain itu, melambatnya pertumbuhan

subsektor ini juga tercermin pada posisi kredit

perbankan yang hanya tumbuh sebesar 11,5%, lebih

lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun

sebelumnya sebesar 15,5%.

Sektor pertanian yang sempat menjadi

andalan pada awal krisis, pada 2001 mengalami

pertumbuhan yang sangat rendah yaitu hanya

sebesar 0,6%. Tingkat pertumbuhan ini merupakan

yang terendah yang pernah terjadi setelah 1998.

Sejumlah permasalahan yang menyebabkan ren-

dahnya pertumbuhan sektor ini antara lain mahalnya

harga pupuk dan pestisida, rendahnya kualitas bibit/

benih yang digunakan, dan adanya gangguan pro-

duksi akibat bencana alam, serangan hama dan

organisme pengganggu tanaman. Berbagai per-

masalahan tersebut menyebabkan produktivitas hasil

pertanian menurun. Selain itu, hal lain yang diperki-

rakan turut menyebabkan rendahnya pertumbuhan

nilai tambah sektor ini terkait dengan fluktuasi harga,

khususnya harga dasar gabah yang seringkali kurang

memberikan insentif bagi petani. Akibat permasa-

lahan tersebut di atas, realisasi produksi sejumlah

komoditas pertanian penting seperti padi, jagung, dan

kedelai mengalami penurunan.6 Produksi padi hanya

mencapai 49,6 juta ton gabah kering giling pada tahun

laporan atau menurun 4,5% jika dibandingkan

produksi padi tahun lalu. Sementara itu, produksi

jagung dan kedelai masing-masing mencapai 9,2 juta

ton pipilan kering dan 0,8 juta ton bijih kering atau

6 Angka sementara BPS

Grafik 2.19

Tingkat Hunian Hotel

30

40

50

60

2 0 0 0

350

400

450

500

Tingkat Hunian Hotel

Harga Sewa Hotel

Persen

Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov

2 0 0 1

Kondisi Ekonomi Makro

44

2 0 0 1

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

Persen

To t a lMakanan, Minuman & TembakauTekstil, Pakaian Jadi & Kulit

Kertas, Percetakan & PenerbitanBarang dari logam

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.

kapasitas terpakai di sektor industri pengolahan masih

rendah, terdapat sejumlah subsektor yang mengalami

laju peningkatan utilisasi yang cukup tinggi seperti

industri makanan, minuman, dan tembakau, dan in-

dustri barang galian bukan logam. Sementara itu,

subsektor industri barang galian dan plastik, industri

tekstil, pakaian jadi, dan kulit, dan industri kertas,

percetakan, dan penerbitan mencatat peningkatan

rata-rata sebesar 65% dari kapasitas terpasangnya.

Sedangkan untuk industri barang dari logam dan

industri logam dasar tingkat utilisasinya mengalami

penurunan (Grafik 2.20). Masih relatif rendahnya

tingkat utilisasi di sektor industri pengolahan tersebut

mengindikasikan bahwa sektor industri masih

menghadapi permasalahan internal sehingga mem-

batasi pemanfaatan utilisasi yang tersedia. Selain itu,

masih tingginya ketidakpastian dan risiko usaha

menyebabkan dunia usaha belum meningkatkan

kapasitas terpasangnya.

Kondisi tersebut di atas memberikan gam-

baran bahwa peningkatan potential output pada tahun

laporan masih sangat rendah. Sementara itu, perkem-

bangan output aktual sebagaimana dijelaskan di atas

Grafik 2.20

Kapasitas Terpakai

mengalami penurunan sebesar 5,3% dan 19,7% di-

bandingkan produksinya tahun lalu.

Penawaran Jangka Panjang

Berbagai permasalahan yang terjadi di sektor

riil sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, me-

nyebabkan upaya meningkatkan kapasitas pere-

konomian (potential output) menjadi sangat terbatas.

Keterbatasan dalam meningkatkan kapasitas pere-

konomian ini antara lain tercermin dari rendahnya

pertumbuhan investasi, baik dalam bentuk investasi

baru maupun dalam bentuk ekspansi dari kegiatan

usaha yang ada. Sementara itu, keterbatasan dalam

meningkatkan kapasitas perekonomian juga di-

pengaruhi oleh pesatnya pertumbuhan angkatan kerja

yang masih didominasi oleh tenaga kerja dengan

kualitas yang masih rendah.

Rendahnya peningkatan kapasitas pere-

konomian yang bersumber dari investasi baru

ditunjukkan oleh hasil SKDU yang memperlihatkan

adanya penurunan realisasi investasi pada triwulan

ketiga serta minat investasi pada triwulan terakhir

tahun laporan (Grafik 2.10). Selain itu, rendahnya

investasi baru juga dapat dilihat dari hampir tidak

adanya realisasi investasi baik yang dilakukan oleh

asing (PMA) maupun domestik (PMDN), serta

rendahnya pertumbuhan realisasi kredit investasi.

Sementara itu, rendahnya peningkatan kapa-

sitas perekonomian yang bersumber dari ekspansi

kegiatan usaha yang ada tercermin dari masih ren-

dahnya tingkat utilisasi sektor industri seperti yang

ditunjukkan oleh hasil survei sektor industri pengo-

lahan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Berdasar-

kan hasil survei tersebut sampai dengan November

2001, memberikan gambaran meskipun secara total

Kondisi Ekonomi Makro

45

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1990-1991 1992-1993 1994-1995 1996-1997 1998-1999 2000-2001

Persenuraikan sebelumnya menyebabkan tingkat efisiensi

perekonomian belum membaik seperti masa sebelum

krisis. Untuk mengukur efisiensi suatu perekonomian

dari satu periode ke periode yang lain, pendekatan

yang seringkali digunakan adalah Incremental Capi-

tal Output Ratio (ICOR).7 Dalam perkembangannya,

ICOR pada periode 2000-2001 menunjukkan adanya

perbaikan dibanding dengan ICOR pada periode

1998-1999 (Grafik 2.21). Namun demikian, ICOR

pada periode laporan masih lebih tinggi dibanding

dengan ICOR pada masa sebelum krisis. Hal ini

menunjukkan bahwa perekonomian pada periode

laporan masih belum seeffisien dibandingkan dengan

masa sebelum krisis.

KETENAGAKERJAAN

Perkembangan perekonomian yang melambat pada

tahun laporan sebagaimana telah diuraikan se-

belumnya memberikan dampak yang kurang mengun-

tungkan bagi kondisi ketenagakerjaan. Hal ini ter-

cermin dari menurunnya rasio jumlah penduduk yang

bekerja di sektor formal terhadap jumlah angkatan

kerja akibat meningkatnya jumlah angkatan kerja

yang tidak dapat diimbangi oleh penyediaan lapangan

kerja secara memadai. Namun demikian, jumlah

penganggur dan setengah penganggur tidak menga-

lami peningkatan yang berarti karena sebagian

angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor for-

mal dapat menemukan pekerjaan di sektor informal.

Sementara itu, kesejahteraan pekerja yang diukur

masih menunjukkan peningkatan yang lebih pesat

dibandingkan dengan output potentialnya. Perkem-

bangan ini menyebabkan kesenjangan output (output

gap) yang merupakan perbedaan antara output

potensial dan output aktual menjadi semakin me-

nyempit (narrowing gap).

Kecenderungan semakin menyempitnya

kesenjangan output yang terutama disebabkan oleh

lebih rendahnya peningkatan output potensial

dibandingkan peningkatan output aktual perlu segera

diantisipasi. Apabila upaya untuk meningkatkan ouput

potensial ini tidak segera dilakukan, maka tekanan

terhadap harga akan mulai meningkat. Terlebih lagi

bila melihat bahwa peningkatan utilisasi yang pesat

terjadi pada kelompok industri yang memproduksi

barang-barang yang termasuk dalam keranjang IHK.

Apabila berbagai permasalahan yang membatasi

investasi baru dan ekspansi usaha yang ada tidak

segera diatasi, maka kenaikan ouput aktual akan

menjadi ancaman yang serius pada peningkatan

inflasi IHK pada periode mendatang.

Berbagai permasalahan yang dihadapi

perekonomian Indonesia sebagaimana telah di-

Grafik 2.21

I C O R

Sumber : BPS (diolah)

7 ICOR dihitung dengan rumus :

ICORt1–t2

=

P M T D Bt

Σt2-1

t = t1-1

PDB - PDBt2 t1

Kondisi Ekonomi Makro

46

Grafik 2.22

Upah Minimum Propinsi (rata-rata)

Dalam Rupiah per Hari

dengan upah minimum propinsi (UMP) secara rata-

rata mengalami peningkatan walaupun masih berada

di bawah tingkat kebutuhan hidup minimum (KHM).

Kasus perburuhan masih mewarnai tahun laporan

yang tercermin dari masih tingginya kasus pemo-

gokan dan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Jumlah angkatan kerja pada 2001 diper-

kirakan mencapai 98 juta orang atau mengalami

peningkatan hampir 2,5% dibandingkan tahun sebe-

lumnya. Namun, peningkatan jumlah angkatan kerja

tersebut masih belum diikuti oleh peningkatan kualitas

yang tercermin dari masih besarnya proporsi angka-

tan kerja yang berpendidikan Sekolah Dasar yaitu

mencapai 63,5% atau sekitar 62 juta orang. Survei

dari United Nation Development Program (UNDP)

menunjukan bahwa Human Development Index (HDI)

Indonesia masih berada pada peringkat 109 dari 147

negara.8 Berdasarkan sensus penduduk 2000, jum-

lah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas)

sebanyak 141,2 juta orang dimana 67,8% dari jumlah

tersebut atau 95,7 juta orang diklasifikasikan dalam

angkatan kerja. Angka tersebut diperkirakan mening-

kat mencapai 98 juta orang pada 2001. Dari jumlah

angkatan kerja tersebut, sekitar 93% diantaranya

termasuk bekerja dan 7% termasuk penganggur

terbuka. Namun demikian, sekitar 36% atau 35 juta

dari penduduk yang bekerja hanya bekerja kurang

dari 35 jam seminggu. Berdasarkan lapangan usaha,

sebagian besar penduduk yang bekerja tersebut

(45,3%) berusaha di sektor pertanian. Meskipun

jumlah penduduk yang bekerja mencatat peningkatan,

jumlah penduduk yang bekerja dengan status formal

mengalami penurunan, sedangkan jumlah penduduk

yang bekerja dengan status informal mencatat

peningkatan.

Melambatnya kegiatan ekonomi 2001 seba-

gai dampak dari rendahnya investasi serta masih

rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja menga-

kibatkan angka pengangguran diperkirakan me-

ningkat dari 6,1% pada 2000 menjadi 6,7%-7,0%

pada 2001.9 Berdasarkan daerah, jumlah penganggur

di kota lebih besar dibandingkan di desa. Berdasarkan

jenis kelamin, proporsi penganggur perempuan lebih

banyak dibandingkan penganggur laki-laki.

Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh

masih tingginya jumlah pengangguran terbuka an-

tara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar

(bargaining power) pekerja dalam negosiasi upah.

Hal ini tercermin dari relatif kecilnya kenaikan UMP

yang ditetapkan. Pada 2001 UMP secara rata-rata

mengalami kenaikan sebesar 33,7% dan mencapai

Rp295.981/bulan (Grafik 2.22), sedangkan KHM

sebagai dasar perhitungan UMP pada periode yang

sama rata-rata meningkat sebesar 21,7% menjadi

9 Suara Pembaharuan tanggal 13 Juli 20018 Suara Pembaharuan tanggal 13 Juli 2001

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

10.000

Rupiah/Hari

3.7084.101

4.830

5.575

6.962

9.750

1996 1997 1998 1999 2000 2001

Kondisi Ekonomi Makro

47

Rp323.798/bulan. Dengan demikian, UMP yang

ditetapkan pemerintah tersebut baru dapat me-

menuhi rata-rata 91,4% kebutuhan hidup minimum

pekerja. Walaupun UMP tersebut belum memenuhi

seluruh KHM pekerja, saat ini ada 10 propinsi yang

telah dapat memenuhi KHM-nya, yakni Sumatera

Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kali-

mantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Sela-

tan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Nusa

Tenggara Timur.

Masih banyaknya pengusaha yang belum

memenuhi ketentuan UMP dan tuntutan lainnya se-

perti keikutsertaan dalam Jamsostek dan peme-

nuhan tunjangan hari raya keagamaan telah memicu

terjadinya kasus pemogokan buruh dalam tahun

laporan. Sampai dengan September 200110, pemo-

11 Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia sebagaimana dimuat di Suara

Pembaharuan tanggal 23 Oktober 200110 Sumber Depnakertrans, 2001

gokan yang terjadi sebanyak 164 kasus dengan

melibatkan 107.523 pekerja dan mengakibatkan

1.148.778 jam kerja hilang. Sementara itu, pekerja

yang kehilangan pekerjaan akibat PHK pada 2001

sedikit lebih rendah dibandingkan tahun lalu yakni

mencapai 58.006 tenaga kerja. Masih tingginya

angka PHK tersebut antara lain disebabkan oleh

memburuknya situasi dunia usaha terutama yang

berorientasi ekspor. Industri tekstil dan produk tekstil

yang merupakan industri padat karya merupakan

industri yang paling mengalami kerugian mengingat

besarnya porsi produknya yang ditujukan untuk

ekspor. Industri tekstil dan produk tekstil yang saat

ini menyerap sekitar 1,2 juta orang tenaga kerja

diperkirakan akan melakukan PHK antara 10%–20%

bila kondisi perekonomian tidak membaik.11

Kondisi Ekonomi Makro

48

Dalam text book ekonomi, penawaran agre-

gat menjelaskan hubungan antara tingkat harga dan

jumlah barang yang dihasilkan oleh perusahaan

dalam suatu perekonomian.1 Analisa ekonomi makro

seringkali membedakan antara penawaran jangka

pendek (short run aggregate supply) dan penawaran

jangka panjang (long run aggregate supply). Dalam

jangka pendek, penawaran agregat dapat berubah

antara lain apabila terjadi perubahan pada input

produksi yang digunakan dengan kapasitas produksi

yang tersedia. Dalam jangka panjang, perubahan

penawaran agregat —atau sering disebut dengan

ouput potensial— hanya dapat terjadi apabila kapa-

sitas perekonomian juga mengalami perubahan.

Secara empiris, untuk menghitung penawaran agre-

gat dalam jangka panjang (output potensial) dapat

dilakukan dengan beberapa pendekatan mulai dari

yang sederhana yakni dengan metode pemulusan

(smoothing) data PDB, sampai metode yang lebih

rumit yakni dengan menaksir suatu persamaan fungsi

produksi perekonomian.

Mengingat pentingnya informasi mengenai

ouput potensial bagi Bank Indonesia dalam hal

melakukan analisa dan penyusunan proyeksi tekanan

inflasi, saat ini Bank Indonesia sedang mengem-

bangkan penghitungan output potensial dengan

pendekatan fungsi produksi, dimana salah satu

variabel utamanya adalah data stok kapital.

Secara umum, stok kapital didefinisikan

sebagai persediaan berbagai jenis barang modal

seperti bangunan, mesin-mesin, alat transportasi, ter-

nak, dan barang modal lainnya2 , yang memberikan

kontribusi terhadap kelangsungan suatu proses

produksi. Dalam prakteknya, data stok kapital tersebut

menggambarkan posisi barang modal yang terbentuk

dari suatu proses akumulasi investasi dalam jangka

waktu tertentu. Dalam terminologi SNA 1968, investasi

tersebut dikenal sebagai Gross Fixed Capital

Formation (GFCF) atau Pembentukan Modal Tetap

Bruto (PMTB). Sampai saat ini data PMTB telah

dihitung dan dipublikasikan secara periodik oleh BPS.

Data stok kapital secara umum digunakan

untuk : (1) memperoleh gambaran mengenai produk

neto (nilai tambah neto) dari hasil suatu proses

produksi, yaitu seluruh nilai produksi dikurangi dengan

besarnya penyusutan (consumption of fixed capital),

(2) menghitung nilai kekayaan (wealth capital stock)

yang diperoleh dari hasil pembangunan dalam suatu

periode tertentu, dan (3) menghitung produktifitas dan

efisiensi suatu perokonomian (economic efficiency

dan economic productivity).

Pada dasarnya, terdapat dua pendekatan

untuk menyusun data stok kapital yaitu metode lang-

sung dan metode tidak langsung. Metode langsung

terdiri dari Direct Observation of Capital (DOC), Fixed

Asset Accounting Simulation Model (FAASM), dan

Penghitungan Stok Kapital dengan Metode

Perpetual Inventory

b o k s

2 Sesuai dengan konsep Statistics of National Account (SNA) tahun

1968, barang modal tersebut belum termasuk intangible assets.

1 N.Gregory Mankiw, Macroeconomics, 3rd edition, Worth Publishers,

1997, hal. 503

Kondisi Ekonomi Makro

48

Kondisi Ekonomi Makro

49

Anchored FAASM. Penghitungan secara langsung

dilakukan dengan cara mengumpulkan data stok

kapital secara langsung dari laporan keuangan

perusahaan dan administrasi pemerintahan. Metode

DOC merupakan metode langsung yang paling sering

digunakan karena memiliki tingkat akurasi data

investasi dan pengukuran umur aset (asset life) serta

usia pakai (discard pattern) yang lebih baik. Namun

dalam implementasinya, metode secara langsung

memerlukan biaya yang sangat besar dan sumber

daya manusia yang memadai, baik dari segi kualitas

maupun kuantitasnya.

Sementara itu, metode penghitungan stok

kapital secara tidak langsung lebih memfokuskan

pada pemanfaatan data sekunder. Metode tidak

langsung yang banyak digunakan adalah Perpetual

Inventory Method (PIM), yaitu penghitungan stok

kapital yang dilakukan dengan cara memanfaatkan

data sekunder yang tersedia, yaitu data PMTB. Dua

syarat yang harus dipenuhi agar metode PIM meng-

hasilkan angka yang reliable adalah tersedianya data

PMTB yang akurat, rinci dengan cakupan data yang

luas, dan asumsi yang digunakan seperti umur aset,

pola distribusi, dan metode depresiasinya. Secara

garis besar, penghitungan stok kapital dengan me-

tode PIM dilakukan dengan cara mengakumulasikan

investasi barang modal (PMTB) dalam periode

tertentu dengan mempertimbangkan barang modal

yang telah usai pakai (retired) dan yang mengalami

penyusutan selama periode tersebut.

Beberapa negara seperti Belanda, Inggris,

Jerman, Australia, dan Kanada telah memiliki data

stok kapital sejak lama, meskipun dengan metode

penghitungan yang berbeda-beda. Sementara di

Indonesia, ketersediaan informasi mengenai stok

kapital (PMTB) masih terbatas pada pemanfaatannya

sebagai proxy variable perkembangan kegiatan

investasi. Beberapa penelitian mengenai stok kapital

yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain oleh

Keuning (1988 dan 1991), Badan Pusat Statistik

(1995), dan Timmer (1999).

Mengingat pentingnya informasi mengenai

stok kapital tersebut, pada 2000 Bank Indonesia telah

melakukan kajian awal mengenai kemungkinan

pengumpulan data stok kapital sektor industri

pengolahan. Dari sejumlah alternatif penghitungan

stok kapital yang ada, hasil kajian tersebut menyim-

pulkan bahwa metode PIM merupakan metode yang

lebih tepat digunakan untuk menghitung stok kapital

di seluruh sektor perekonomian. Hal utama yang

mendasari pemilihan metode PIM tersebut antara lain

faktor efisiensi biaya dan ketersediaan sumber daya

manusia. Sebagai kelanjutan dari penelitian se-

belumnya, pada 2001 Bank Indonesia bekerjasama

dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan

penghitungan stok kapital berdasarkan konsep

‘wealth’ dengan menggunakan metode PIM.

Hasil penghitungan stok kapital berdasarkan

konsep wealth dengan menggunakan harga konstan

1993 disajikan dalam 2 (dua) konsep, yaitu stok kapital

bruto (Gross Capital Stock/GCS) dan stok kapital neto

(Net Capital Stock/NCS). Angka GCS diperoleh

setelah memperhitungkan sejumlah barang modal

yang retired dalam suatu periode namun belum ter-

masuk nilai penyusutannya. Sedangkan angka NCS

adalah jumlah barang modal setelah dikurangi

penyusutan.

Secara matematis, hubungan antara NCS,

GCS, dan besarnya GFCF dapat diformulasikan seba-

gai berikut:

Kondisi Ekonomi Makro

49

Kondisi Ekonomi Makro

50

Hasil simulasi penghitungan stok kapital yang

telah dilakukan menunjukkan bahwa stok kapital baik

GCS maupun NCS senantisa mengalami pertum-

buhan positif. Indeks GCS tumbuh dari 103,3 pada

1980 menjadi 201,9 pada 2000 (Grafik 1). Dalam

periode yang sama, indeks NCS tumbuh dari 105,1

menjadi 200,5 (Grafik 2). Sementara itu, pertumbuhan

rata-rata per tahun (yearly average) stok kapital

Grafik 1

Perkembangan Indeks GCS Indonesia

Grafik 2

Perkembangan Indeks NCS Indonesia

0

50

100

150

200

250

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Indeks

0

50

100

150

200

250

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000

Indeks

NCS = Net Capital Stock

GFCF = Gross Fixed Capital Formation

AdjD = Adjusted Depreciation

ret = Retirement

i = periode/tahun ke – i

n = akhir periode stok kapital

hampir sama antara GCS maupun NCS yakni

sebesar 3,4%. Krisis ekonomi yang berkepanjangan

sejak pertengahan 1997 tercermin pada turunnya

stok kapital, yang ditandai dengan melambatnya

pertumbuhan NCS pada 1998 menjadi sebesar 0,8%

dan bahkan sempat mengalami kontraksi pada 1999

sebesar 1,2%.

Berdasarkan pangsa dari masing-masing

jenis barang modal, stok kapital Indonesia selama ku-

run waktu 20 tahun terakhir didominasi oleh 3 kelom-

pok besar yaitu kelompok bangunan, kelompok

mesin, dan kelompok transportasi. Pangsa kelompok

bangunan sebesar 60,0% (1980) dan terus mening-

kat menjadi 75,7% (2000), sementara pangsa kelom-

pok transportasi mengalami penurunan dari 23,2%

(1980) menjadi hanya 4,0% (2000). Di sisi lain,

pangsa kelompok mesin relatif tetap yakni rata-rata

sebesar 15,9%.

Kondisi Ekonomi Makro

50

iiii AdjDGFCFNCSNCS −+= −1

1−+−= iiii GCSretGFCFGCS

==+= n

in

n

iretGCSGFCF11Σ Σ

Nilai Tukar

51

bab 3 NILAI TUKAR

Nilai Tukar

52

b a b 3

NILAI TUKAR

Dalam tahun 2001, nilai tukar rupiah mengalami

tekanan depresiasi yang sangat besar, mes-

kipun sempat terapresiasi tajam pada pertengahan

tahun. Secara keseluruhan, nilai tukar rupiah terde-

presiasi sekitar 17,7%, yaitu dari rata-rata Rp8.438

dalam tahun 2000 menjadi rata-rata Rp10.255 per

dolar dalam tahun 2001. Besarnya tekanan depre-

siasi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya

country risk sejalan dengan memburuknya ketidak-

pastian kondisi sosial politik di dalam negeri yang

terjadi dalam tahun laporan. Di pihak lain, meskipun

terdapat kemajuan, kondisi fundamental ekonomi

makro dan mikro masih menghadapi sejumlah

permasalahan (Bagan 3.1). Sebagai akibat dari

besarnya tekanan depresiasi tersebut, nilai tukar ru-

piah secara riil menjadi semakin undervalued dan

menimbulkan tekanan yang cukup besar terhadap

laju inflasi. Dalam menyikapi perkembangan

tersebut, Bank Indonesia telah menempuh berbagai

upaya yang diperlukan, yakni dengan mengop-

timalkan seluruh instrumen kebijakan yang tersedia.

Selain itu, implementasi beberapa program restruk-

turisasi perekonomian masih terus dilanjutkan

meskipun belum sepenuhnya memenuhi harapan

semua pihak. Ke depan, berbagai upaya tersebut

akan terus dilanjutkan dan lebih dioptimalkan dengan

harapan dapat memperbaiki kondisi fundamental

ekonomi, yang pada gilirannya dapat mengurangi

kesenjangan permintaan dan penawaran valuta

asing, sekaligus dapat memperbaiki kepercayaan

pasar. Kendati demikian, berbagai upaya tersebut

perlu dibarengi dengan terciptanya kondisi sosial

politik yang kondusif sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dalam membangun kepercayaan publik

terhadap proses pemulihan ekonomi.

Berbagai faktor risiko (ketidakpastian) yang

semula diperkirakan akan mulai membaik pada perte-

ngahan tahun laporan, dalam kenyataannya justru me-

ngalami perkembangan yang memburuk. Sampai per-

tengahan 2001, ketidakpastian situasi sosial politik di

dalam negeri semakin memburuk, yang ditandai

dengan terjadinya gejolak politik, serta beberapa

kerusuhan sosial dan ancaman disintegrasi di bebe-

rapa daerah. Perkembangan tersebut pada gilirannya

mengakibatkan kepercayaan pasar semakin merosot

dan secara persisten menimbulkan sentimen negatif

terhadap rupiah. Selanjutnya, pasca pengalihan kepe-

mimpinan nasional pada pertengahan tahun, situasi

politik di dalam negeri memperlihatkan kecenderungan

yang membaik, bahkan menebarkan optimisme yang

tinggi bagi berlanjutnya proses pemulihan ekonomi. Hal

ini tercermin dari pulihnya kepercayaan pasar yang

ditandai dengan apresiasi nilai tukar rupiah yang sangat

tajam. Namun, apresiasi nilai tukar rupiah tersebut tidak

berlangsung lama karena kepercayaan pasar kembali

menurun, terutama dipengaruhi oleh kondisi funda-

mental ekonomi makro dan mikro yang dalam kenyata-

anya masih menghadapi sejumlah permasalahan.

Dari sisi makro-fundamental, meskipun ter-

catat adanya beberapa kemajuan, penangangan

Nilai Tukar

53

beberapa program restrukturisasi ekonomi secara

umum dinilai pelaku pasar masih berjalan lamban.

Hal ini terutama terlihat pada restrukturisasi utang dan

korporasi, privatisasi dan divestasi, serta upaya revi-

talisasi sektor perbankan dan korporasi. Lambannya

perbaikan kondisi makro-fundamental tersebut, selain

sebagai akibat dari kompleksitas permasalahan

ekonomi yang semakin berat, juga karena lemahnya

dukungan sistim kelembagaan, jaminan kepastian hu-

kum, dan keamanan berusaha. Di sampingitu, kondisi

ekonomi dunia memperlihatkan perkembangan yang

kurang menguntungkan sehingga kurang kondusif

bagi kinerja sektor eksternal.

Kondisi tersebut di atas mengakibatkan

masih tetap terbatasnya aliran devisa masuk ke dalam

negeri sehingga di pasar masih terjadi kelangkaan

pasokan valuta asing. Di pihak lain, permintaan valuta

asing masih tetap tinggi, baik untuk kebutuhan impor

maupun pelunasan utang luar negeri swasta. Muncul-

nya permintaan valuta asing semakin dipermudah

dalam kondisi di mana terjadi kelebihan likuiditas

rupiah di sektor keuangan, terutama sebagai akibat

Bagan 3.1

Permasalahan Nilai Tukar 2001

PENAWARAN

VALUTA ASING

PERMINTAAN

VALUTA ASING

EKSPOR

NILAI

TUKAR

INVESTASI

ASING

LANGSUNG (FDI)

INVESTASI

PORTOFOLIO

STERILISASI

BANK SENTRAL

IMPOR

PELUNASAN

UTANG LN

PENYELAMATANASET (FLIGHT TO

SAFETY)

SPEKULASI

KEPERCAYAAN

PUBLIK

EKONOMI DUNIA

STRUKTURAL

RISIKO

POLITIK

RISIKO

KEUANGAN

RISIKO

EKONOMI

CAD. DEVISA &

KONDISI PASAR

DAYA SAING

RETRUKTURISASI

STRUKTUR

MIKRO

PASAR

SEGMENTASI

PASAR

KESEHATAN

BANK

KELEBIHAN LIKUIDITAS RUPIAH

DI SEKTOR KEUANGAN

INTERMEDIASI

PERBANKAN BELUM

SEPENUHYA PULIH

Nilai Tukar

54

dari proses intermediasi perbankan yang belum

sepenuhnya pulih.

Dari sisi mikro-fundamental, berbagai kele-

mahan mendasar yang melekat pada struktur mikro

pasar keuangan di dalam negeri masih mewarnai

ekonomi Indonesia. Hal ini tercermin dari struktur

pasar keuangan yang masih tersegmentasi dan

kurang berkembangnya pasar lindung nilai (hedging).

Terjadinya segmentasi pasar mengakibatkan meka-

nisme pembentukan harga menjadi kurang berfungsi

secara baik (well-functioning market).1 Dalam kondisi

tersebut, harga yang terbentuk di pasar valuta asing

tidak mewakili kekuatan pelaku pasar secara ke-

seluruhan, tetapi merupakan cerminan dari kekuatan

beberapa pelaku yang menguasai sebagian besar

pangsa pasar.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Perkembangan nilai tukar rupiah sepanjang

tahun laporan tidak terlepas dari berbagai ketidak-

pastian (risiko), baik ketidakpastian di bidang sosial

politik, maupun ketidakpastian di bidang ekonomi dan

keuangan. Sejak krisis ekonomi berlangsung,

fluktuasi nilai tukar rupiah secara persisten telah di-

warnai oleh ketidakpastian situasi sosial politik, yang

pada gilirannya menjadi sumber utama terjadinya

lingkaran permasalahan ekonomi (vicious circle) sela-

ma ini. Keterkaitan yang sangat erat antara ketidak-

pastian situasi sosial politik dan fluktuasi nilai tukar

rupiah tersebut tercermin dari pergerakan searah (co-

movement) antara premi risiko2 dan nilai tukar ru-

piah dalam beberapa tahun terakhir (Grafik 3.1).

Pengaruh ketidakpastian sosial politik ter-

hadap fluktuasi nilai tukar rupiah dapat terjadi baik

secara langsung maupun tidak langsung. Secara

langsung, pengaruh tersebut terutama tercermin

dari reaksi yang bersifat segera yang diwujudkan

dalam bentuk aksi beli (atau jual) valuta asing

karena terjadinya perubahan sentimen pelaku

pasar sebagai respon terhadap beberapa

peristiwa sosial politik. Secara tidak langsung,

ketidakpastian sosial polit ik mempengaruhi

f luktuasi n i la i tukar melalui perubahan

kepercayaan publik baik domestik maupun inter-

nasional yang mempengaruhi arus lalu lintas

modal, yang pada gilirannya berdampak terhadap

permintaan atau penawaran valuta asing.

Sepanjang tahun laporan, sentimen pasar

sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian situasi sosial

politik di dalam negeri yang secara umum me-

nunjukkan peningkatan meskipun cenderung

membaik sejak pertengahan tahun laporan (Grafik

3.2). Sepanjang paro pertama 2001, kepercayaan

Grafik 3.1

Arah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

dan Premi Risiko

7000

7500

8000

8500

9000

9500

10000

10500

11000

11500

12000

12500

Premi Risiko (bp) Kurs Rp/$

400

450

500

550

600

650

700

750

800

850

Premi Risiko

Nilai Tukar Rupiah

2 0 0 0 2 0 0 1

3/1 17/4 1/8 15/11 2/2 11/05 24/08 07/12

1 Mekanisme pembentukan harga pasar yang baik terjadi dalam

kondisi di mana harga mencerminkan kekuatan pelaku pasar secara

keseluruhan, tidak hanya mewakili beberapa pelaku pasar.

2 Premi risiko di proksi dengan menggunakan perbedaan yield antara

Yankee Bond Indonesia dengan Benchmark US Treasury Note yang

sama-sama berjangka waktu 10 tahun dan akan jatuh tempo tahun

2006.

Nilai Tukar

55

pasar terus merosot terutama disebabkan oleh

meningkatnya konflik politik, serta beberapa

kerusuhan sosial dan ancaman disintegrasi di

beberapa daerah. Sejalan dengan perkembangan

tersebut nilai tukar rupiah secara persisten

mengalami tekanan depresiasi yang sangat besar.

Selanjutnya, pasca pengalihan kepemimpinan

nasional Juli 2001, kepercayaan pasar cenderung

membaik yang dipicu oleh harapan bahwa

berakhirnya krisis politik dapat menjadi tumpuan bagi

bangkitnya perekonomian Indonesia dari krisis yang

berkepanjangan. Membaiknya kepercayaan pasar

tersebut ditandai dengan terjadinya apresiasi nilai

rupiah yang cukup tajam. Namun menjelang akhir

tahun laporan, kepercayaan pasar kembali

memburuk dan nilai tukar rupiah turut tertekan

menyusul tragedi World Trade Center (WTC) 11

September 2001. Tragedi tersebut telah mening-

katkan suhu politik internasional yang pada

gilirannya berimbas ke dalam negeri antara lain

berupa reaksi-reaksi yang menimbulkan rasa tidak

aman bagi investor asing. Selain itu, tragedi tersebut

juga membuat kalangan investor internasional

menjadi lebih bersikap hati-hati (risk averse) karena

meningkatkan risiko global, sehingga turut memberi

tekanan terhadap sebagian besar nilai tukar mata

uang regional, termasuk rupiah.

Selain ketidakpastian situasi sosial politik,

fluktuasi nilai tukar rupiah sepanjang tahun laporan

dipengaruhi oleh masih rendahnya kepercayaan

publik terhadap kondisi fundamental ekonomi baik

dalam skala makro maupun mikro. Rendahnya

kepercayaan publik tersebut terutama sebagai akibat

dari penanganan beberapa program restrukturisasi

Grafik 3.2

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Faktor Sentimen

8000

8500

9000

9500

10000

10500

11000

11500

12000

12500Panic buying menjelang Memorandum II

DPR kepada Presiden

Penundaan pencairanbantuan IMF

Situasi aman pascaMemo II dan aksi profit

taking pelaku pasar

Presiden menolakmenjawab Memo II

Desakan percepatanSI MPR

Kerusuhan di Sampit danmemburuknya hubungan

dengan IMF

Koreksi outlook rating olehMoody's dan S&P

Debt repayment dankerusuhan di Aceh

Percepatan SI MPR

Dekrit Presiden tidakmendapat dukungan

luas dan SI MPRberjalan lancar

Megawati terpilih sebagaiPresiden RI

Wakil Presiden terpilih

Pengumuman kabinet baru

Perbaikan outlook

oleh S&P menjadi"stable"

Dukungan internasional kepadaIndonesia menguat

Tragedi WTC 11 September 2001

Menguatnya sentimen anti-ASdisertai ancaman sweeping

S&P menurunkan credit rating

dan outlook Indonesia

CGI memberikan komitmenpinjaman untuk tahun 2002

Penjualan asetBPPN kepadainvestor asing

31/12 12/1 24/1 5/2 17/2 6/3 22/3 12/4 1/5 18/5 6/6 22/6 10/7 26/7 13/8 29/8 14/9 2/10 18/10 5/11 21/11 7/12 25/12

2 0 0 0 2 0 0 1

Rp/$

Nilai Tukar

56

ekonomi yang masih menghadapi sejumlah kendala.

Hal ini selain karena kompleksitas permasalahan

ekonomi yang semakin berat, juga karena lemahnya

dukungan sistem kelembagaan, jaminan kepastian

hukum, serta keamanan berusaha.

Kepercayaan publik sangat dipengaruhi oleh

persepsi terhadap beban keuangan pemerintah yang

semakin berat, restrukturisasi utang swasta dan

korporasi serta proses privatisasi dan divestasi yang

dinilai lamban, proses intermediasi perbankan yang

belum sepenuhnya berjalan normal, serta pelak-

sanaan otonomi daerah yang memperlihatkan se-

jumlah permasalahan. Di pihak lain, tingginya kepe-

kaan beberapa permasalahan ekonomi tersebut

terhadap gejolak nilai tukar dan suku bunga menga-

kibatkan lingkaran permasalahan ekonomi masih

terus berlangsung, yang pada gilirannya semakin

menurunkan kepercayaan publik.

Beban pengeluaran pemerintah terutama

pembiayaan subsidi dan bunga obligasi yang sangat

besar di dalam negeri dipandang masih sangat berat

dan sangat rentan terhadap fluktuasi suku bunga dan

nilai tukar. Sementara itu, beban pengeluaran untuk

pembayaran utang luar negeri pemerintah sangat

tergantung pada keberhasilan negosiasi dengan

lembaga donor. Keberhasilan dalam negosiasi utang

luar negeri dengan lembaga donor tersebut sangat

berpengaruh besar terhadap ekspektasi pasar dan

seringkali digunakan sebagai referensi sejumlah

lembaga pemeringkat utang internasional dalam

menentukan peringkat utang negara (sovereign

credit rating). Menurunnya kepercayaan publik ter-

hadap kesinambungan fiskal juga sangat dipenga-

ruhi oleh lambannya realisasi privatisasi sejumlah

badan usaha milik negara (BUMN) dan proses

divestasi aset-aset yang berada di bawah penge-

lolaan BPPN, yang sedianya diharapkan dapat

menjadi salah satu penopang penting bagi pene-

rimaan keuangan pemerintah.

Di sampingfaktor-faktor sebagaimana

dikemukakan di atas, kondisi fundamental ekonomi

yang masih lemah pada dasarnya merupakan faktor

utama yang mempengaruhi nilai tukar melalui terjadi-

nya ketidakseimbangan antara permintaan dan

penawaran di pasar valuta asing. Permintaan valuta

asing sepanjang tahun laporan ditengarai masih

tetap tinggi terutama untuk kebutuhan riil (genuine

demand) perekonomian seperti pembiayaan impor

dan pelunasan utang luar negeri. Selain itu, kegiatan

spekulasi dan penyelamatan aset (flight to safety)

yang sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian sosial

politik masih tetap menjadi salah satu sumber

permintaan valuta asing di pasar. Di pihak lain,

pasokan valuta asing ditengarai masih tetap terbatas

sehubungan dengan masih terhambatnya aliran

masuk devisa swasta akibat situasi di dalam negeri

yang belum kondusif dan kondisi eksternal yang tidak

menguntungkan.

Dari sisi mikro, menurunnya kepercayaan

pasar terhadap rupiah seringkali terefleksikan dalam

fluktuasi nilai tukar yang sangat tajam. Hal ini

disebabkan oleh kondisi pasar valuta asing di dalam

negeri yang tidak likuid dan kurang dalam, terutama

sebagai akibat dari berbagai kelemahan mendasar yang

melekat pada struktur mikro pasar keuangan di dalam

negeri (Boks : Memahami Dinamika Nilai Tukar Melalui

Pendekatan Struktur Mikro Pasar). Struktur mikro pasar,

baik pasar valuta asing maupun pasar uang di dalam

negeri masih ditandai oleh adanya segmentasi yang

terjadi akibat adanya perbedaan risiko keuangan.

Nilai Tukar

57

Dalam kondisi pasar yang tersegmentasi,

beberapa bank yang menguasai pangsa pasar

mengalami kelebihan likuiditas valuta asing karena

terbatasnya outlet penanaman di dalam negeri yang

dipandang cukup aman, baik dalam bentuk penya-

luran kredit ke dunia usaha maupun pada PUAB

valuta asing di dalam negeri. Hal ini terutama di-

sebabkan oleh belum membaiknya prospek berusaha

di dalam negeri dan terbatasnya credit line yang di-

miliki bank-bank lokal. Keterbatasan credit line

tersebut disebabkan oleh masih rendahnya keper-

cayaan terhadap bank-bank lokal yang sebagian

besar masih dipandang memiliki struktur neraca yang

belum kuat dan sangat rentan terhadap risiko

sistemik, meskipun telah didukung oleh program

penjaminan pemerintah.

Sebagai akibat dari masih tingginya risiko

penempatan dana di dalam negeri tersebut, sepan-

jang tahun laporan terdapat kecenderungan pening-

katan penempatan portofolio valuta asing bank di

pasar uang luar negeri (offshore money market)

dalam bentuk instrumen keuangan jangka pendek,

khususnya dilakukan oleh sejumlah bank besar yang

memiliki akses ke pasar offshore. Sumber pembia-

yaan portofolio valuta asing bank-bank tersebut

antara lain berasal dari dana rupiah yang dihimpun

di dalam negeri, sehingga dapat menimbulkan

tekanan terhadap nilai tukar pada saat terjadinya

konversi dari rupiah ke valuta asing. Selain itu, kon-

versi dari rupiah ke valuta asing juga terjadi melalui

transaksi swap dengan memanfaatkan perbedaan

antara tingkat implied swap premium3 dan tingkat

suku bunga rupiah.

Lemahnya struktur mikro pasar valuta asing

di dalam negeri juga ditandai dengan kurang berkem-

bangnya pasar lindung nilai sebagai instrumen yang

sangat bermanfaat dalam menghindari risiko fluktuasi

nilai tukar. Instrumen lindung nilai seperti transaksi

swap dan forward hanya tersedia dalam tenor waktu

yang relatif sangat pendek. Sementara itu, pasokan

fasilitas lindung nilai untuk transaksi dengan tenor

jangka menengah-panjang, yang sesungguhnya

sangat diperlukan dalam mendukung kepastian

transaksi di sektor riil belum tersedia dalam jumlah

yang memadai. Sebagai akibatnya, kebutuhan valuta

asing di masa depan pada umumnya direalisasikan

melalui pembelian lebih dini di pasar spot.

Meningkatnya permintaan valuta asing me-

lalui pasar spot semakin menimbulkan tekanan de-

presiasi yang berlebihan terhadap rupiah, terutama

pada saat aksi pembelian valuta asing yang dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan besar (big players)

sering menimbulkan dampak berantai (bandwagon

effect) di pasar. Masuknya perusahaan-perusahaan

besar tersebut secara rutin ke pasar sering memicu

pembelian valuta asing lebih dini oleh sejumlah bank

dan sering diikuti oleh pelaku pasar lainnya (herd

behavior) termasuk pelaku pasar yang sesungguhnya

membutuhkan valuta asing di masa depan. Tekanan

depresiasi semakin mudah timbul terutama dalam

kondisi terjadinya kelebihan likuiditas rupiah di pasar

keuangan sebagai akibat dari proses intermediasi

perbankan yang belum sepenuhnya pulih. Dalam

kondisi seperti itu, likuiditas rupiah lebih banyak

berputar di sektor keuangan dan ditengarai lebih

dioptimalkan hanya untuk meraih keuntungan jangka

pendek di pasar valuta asing dan pasar uang daripada

disalurkan ke sektor produktif.3 Implied swap premium adalah tingkat premi swap ditambah suku

bunga simpanan valuta asing.

Nilai Tukar

58

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH

Sepanjang 2001, nilai tukar rupiah melemah

725 poin atau 7,0% terhadap dolar dari Rp9.675 pada

akhir Desember 2000 menjadi Rp10.400 per dolar

pada akhir Desember 2001. Tingkat depresiasi ru-

piah terlihat cukup tajam bila dihitung secara rata-

rata harian, yaitu melemah sebesar 1.817 poin atau

17,7% dari Rp8.438 dalam tahun 2000 menjadi

Rp10.255 per dolar dalam tahun 2001 (Grafik 3.3).

Tekanan depresiasi tersebut disertai dengan besarnya

fluktuasi nilai tukar rupiah, yang tercermin dari

tingginya tingkat volatilitas.4 Secara rata-rata harian,

tingkat volatilitas nilai tukar rupiah mengalami

peningkatan dari 2,2% dalam tahun 2000 menjadi

2,8% dalam tahun 2001, dan sempat mencapai

tingkat tertinggi 14,4% pada pertengahan Agustus

2001 (Grafik 3.4).

Perkembangan nilai tukar rupiah dapat

diamati dalam empat fase. Fase pertama, rupiah

menunjukkan kecenderungan melemah dalam

empat bulan pertama 2001 hingga mencapai nilai

terendah Rp12.090 sebelum akhirnya ditutup pada

level Rp11.600 pada akhir April 2001. Selanjutnya,

pada fase kedua, nilai tukar rupiah bergerak relatif

stabil (sideways) dalam kisaran Rp11.200 hingga

menjelang Sidang Istimewa MPR. Sementara itu,

pada fase ketiga, sejak digelarnya Sidang Istimewa

MPR pada 21 Juli 2001, nilai tukar rupiah menguat

tajam hingga mencapai nilai tertinggi Rp8.485 per

dolar pada 14 Agustus 2001. Namun, pada fase

keempat, nilai tukar rupiah kembali bergerak mele-

mah hingga menembus batas pertahanan psikologis

pasar Rp10.000.

Pada fase pertama, tekanan depresiasi

terhadap nilai tukar rupiah terutama dipengaruhi oleh

sentimen pasar, yang dipicu oleh kekhawatiran

terhadap ketidakpastian kondisi politik dan keamanan

yang mengiringi proses impeachment —melalui

memorandum I dan II— terhadap kepemimpinan

nasional saat itu. Situasi ketidakpastian tersebut

menimbulkan ekspektasi terhadap melemahnya nilai

tukar rupiah ke depan yang pada gilirannya mendo-

rong terjadinya aksi beli (panic buying) sehingga

rupiah melemah cukup tajam. Menghadapi gejolak

nilai tukar rupiah tersebut, Bank Indonesia berupaya

Grafik 3.3

Rata-Rata Harian Nilai Tukar Rupiah

Grafik 3.4

Volatilitas Nilai Tukar Rupiah

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

10.500

11.000

11.500

2 0 0 0

9,449 9,4859,611

10,213

11,11611,285 11,314

10,877

8,967

9,304

10,086

10,560

10,260

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.Mei

2 0 0 1

Rp/$

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

Volatilitas Nilai Tukar Rp

Rata-rata Volatilitas

2 0 0 0 2 0 0 1

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Persen

4 Deviasi nilai tukar harian dari 22 days moving average (1 bulan

kalender).

Nilai Tukar

59

melakukan penyerapan kelebihan likuiditas di pasar

keuangan melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang

dibantu melalui langkah strerilisasi di pasar valuta

asing. Kebijakan ini terus dilakukan sepanjang tahun

laporan secara konsisten dan terukur. Selain itu, pada

12 Januari 2001 Bank Indonesia menerbitkan PBI No.

3/3/2001 yang dimaksudkan untuk membatasi

transaksi rupiah oleh bukan penduduk yang

berpotensi digunakan untuk berspekulasi (Boks :

Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan

Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank).

Pada fase ke dua, situasi politik di dalam

negeri semakin diwarnai oleh merosotnya keper-

cayaan terhadap kepemimpinan nasional. Hal ini pada

gilirannya semakin memperkuat dukungan terhadap

perlunya digelar Sidang Istimewa MPR yang

diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan nasional

baru. Menyikapi situasi politik di Indonesia yang

semakin rawan, pada 21 Mei 2001 lembaga

pemeringkat internasional, Standard & Poor’s (S&P),

menurunkan peringkat utang (sovereign credit rating)

Indonesia dari B- menjadi CCC+. Selanjutnya, rapat

paripurna DPR pada 30 Mei 2001 akhirnya meminta

secara resmi kepada MPR untuk menggelar Sidang

Istimewa. Kendati demikian, dengan nilai tukar yang

sangat undervalued, dalam situasi seperti ini pelaku

pasar tidak banyak mengambil posisi karena bersikap

menunggu (wait and see) perkembangan politik

menjelang Sidang Istimewa MPR sehingga

pergerakan nilai tukar rupiah relatif stabil (sideways)

dalam kisaran Rp11.200 hingga menjelang Sidang

Istimewa MPR.

Pada fase ketiga, optimisme terhadap

membaiknya situasi politik meningkat seiring dengan

berhasilnya Sidang Istimewa MPR memilih kepe-

mimpinan nasional baru. Kondisi ini diharapkan

menjadi landasan baru bagi Indonesia untuk keluar

dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga

mampu mendorong apresiasi nilai tukar rupiah yang

sangat tajam. Dalam kurun waktu tersebut,

dukungan dari dalam negeri maupun dari luar negeri

terhadap pemerintahan baru terus mengalir sehing-

ga nilai tukar rupiah menguat lebih lanjut mencapai

nilai tertinggi Rp8.485 per dolar pada 14 Agustus

2001.

Pada fase keempat, rupiah kembali bergerak

melemah hingga menembus batas pertahanan

psikologis pasar Rp10.000 (clear break) dan berlanjut

hingga menjelang akhir 2001. Tekanan depresiasi

tersebut terutama diawali oleh meningkatnya kembali

aksi beli valuta asing oleh korporasi dengan

memanfaatkan level nilai tukar rupiah yang rendah

akibat apresiasi yang sangat tajam pasca pengalihan

kepemimpinan nasional. Dalam saat yang sama,

kepercayaan pasar mulai merosot kembali sebagai

akibat meningkatnya ketidakpastian mengenai

penanganan beberapa program restrukturisasi

ekonomi. Meskipun situasi politik cenderung

membaik, pelaku pasar belum melihat terdapatnya

sinyal perbaikan pada sisi fundamental ekonomi.

Kepercayaan pasar terutama dipengaruhi

oleh persepsi terhadap besarnya utang pemerintah

baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang

dipandang akan menjadi ancaman yang sangat

berat dalam memelihara kesinambungan fiskal.

Beratnya kondisi keuangan pemerintah tersebut

dikonfirmasi oleh S&P pada 2 November 2001

dengan menurunkan kembali peringkat utang

Indonesia dari CCC+ menjadi CCC dengan negative

outlook, yang berarti bahwa peringkat utang Indone-

Nilai Tukar

60

sia tersebut masih berpeluang untuk diturunkan lagi

di masa yang akan datang. Rencana pemerintah yang

akan meminta penjadwalan utang luar negeri melalui

forum Paris Club III menjadi alasan utama bagi S&P

dalam menurunkan peringkat utang Indonesia

tersebut. Bahkan S&P mengancam akan kembali

menurunkan peringkat utang Indonesia ketingkat

terendah, yaitu Selected Default (SD), jika bunga

Yankee Bonds Indonesia sampai harus dijadwalkan

sebagai konsekuensi atas penerapan azas

comparibility of treatment dalam Paris Club. Keper-

cayaan pasar semakin memburuk karena keter-

lambatan pencairan pinjaman dari IMF sebesar $400

juta yang baru dicairkan pada Agustus 2001 setelah

tertunda sejak Desember 2000.

Sementara itu, krisis politik internasional

sebagai dampak peristiwa serangan teroris di Amerika

Serikat pada 11 September 2001 selanjutnya

berimbas ke dalam negeri berupa reaksi keras yang

menimbulkan situasi yang tidak aman bagi investor

asing di dalam negeri. Berbagai peristiwa tersebut

dipandang semakin memperburuk country risk Indo-

nesia sebagaimana dikonfirmasi oleh Political &

Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis

di Hong Kong. Berdasarkan hasil kajian PERC, coun-

try risk Indonesia meningkat dari 7,3 menjadi 7,6.

Namun, menjelang penutupan akhir tahun, nilai tukar

rupiah sedikit menguat kembali sehubungan dengan

terdapatnya pasokan valuta asing dari BPPN, serta

meningkatnya kebutuhan rupiah dalam rangka

menghadapi beberapa hari besar yang hampir

berlangsung secara bersamaan pada Desember

2001.

Meningkatnya country risk Indonesia juga

ditandai dengan melonjaknya rata-rata tingkat premi

swap untuk semua tenor dan naiknya tingkat premi

risiko secara tajam (Grafik 3.5 dan 3.6). Rata-rata

tingkat premi swap untuk tenor overnight, 1 bulan, 3

bulan, 6 bulan, dan 12 bulan melonjak masing-masing

dari 3,86%, 4,97%, 5,02%, 4,89%, dan 4,95% pada

2000 menjadi 11,98%, 13,88%, 14,36%, 14,20%, dan

13,85% pada 2001. Dalam periode yang sama, rata-

rata tingkat premi risiko naik dari 603 bp menjadi 712

bp (Grafik 3.1).

Grafik 3.6

Kurva Yield Swap

8,00

9,00

10,00

11,00

12,00

13,00

14,00

15,00

16,00

17,00

18,00

Maret Juni September Desember

O/N 1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan

Persen

Grafik 3.5

Perkembangan Premi Swap

Persen

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

18,0

O/N 1 Bulan3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan

2000 2 0 0 1

Des. Jan. Feb . Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Nilai Tukar

61

Sejalan dengan melonjaknya premi swap,

covered interest rate parity5 (berjangka waktu 1 bulan)

juga memburuk. Hampir sepanjang periode laporan,

covered interest rate parity terus-menerus mencatat

angka negatif. Secara point to point, angka covered

interest rate parity memburuk dari 0,55% pada akhir

2000 menjadi –0,83% pada akhir 2001 (Grafik 3.7).

Walaupun perbedaan suku bunga (interest rate

differential) membaik akibat naiknya suku bunga

nominal dalam negeri dan turunnya suku bunga luar

negeri, namun besarnya peningkatan premi swap

telah menyebabkan covered interest rate selalu

negatif. Hal ini merefleksikan masih tingginya faktor

risiko, yang tidak dapat ditutup oleh perbedaan suku

bunga nominal, sehingga menurunkan minat inves-

tor untuk memegang aset berdenominasi rupiah.

Kecenderungan melemahnya mata uang re-

gional dan mata uang kuat dunia lainnya terhadap

dolar sepanjang tahun laporan juga menimbulkan

dampak penularan (contagion effect) sehingga nilai

tukar rupiah turut tertekan. Melambatnya kinerja

ekonomi Amerika Serikat pada khususnya dan dunia

pada umumnya telah memukul kinerja sektor eks-

ternal sejumlah negara Asia karena menurunnya per-

mintaan terhadap produk ekspor, yang pada gili-

rannya turut memberi tekanan terhadap mata uang

domestik di negara-negara tersebut seperti tercermin

dari perkembangan indeks nilai tukar nominal

beberapa negara Asia (Grafik 3.8).

PENAWARAN DAN PERMINTAAN VALUTA ASING

Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan

nilai tukar rupiah sepanjang 2001 sebagaimana

dikemukakan di atas, juga dapat dilihat dari kondisi

keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar

valuta asing. Kecenderungan depresiasi nilai tukar

rupiah yang disertai dengan tingkat volatilitas yang

tinggi merupakan cermin dari besarnya tingkat per-

mintaan valuta asing yang tidak diimbangi dengan

pasokan yang memadai di pasar valuta asing.

Terjadinya kesenjangan tersebut pada gilirannya

Grafik 3.7

Covered Interest Rate Parity

-3,0

-2,5

-2,0

-1,5

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0 2 0 0 1

Persen

Grafik 3.8

Perkembangan Indeks Nilai Tukar Beberapa Mata Uang

5 Covered interest rate parity = suku bunga dalam negeri (JIBOR 1

bulan) – suku bunga luar negeri (SIBOR 1 bulan) – premi swap (1

bulan).

85

90

95

100

105

110

115

120

125

Indeks

1 Januari 2001 = 100IDR

JPY

EUR

PHP THBKRW

31/121/1 15/1 29/1 12/2 26/2 12/3 26/3 9/4 23/4 3/5 13/5 23/5 4/6 18/6 2/7 16/7 30/7 13/8 27/8 10/9 24/9 8/10 22/10 5/11 19/11 3/12 17/12

2 0 0 1

Nilai Tukar

62

WTC di Amerika Serikat. Secara keseluruhan, nilai

ekspor pada 2001 tercatat sebesar $58,7 miliar, lebih

rendah dari nilai ekspor 2000 yang mencapai $65,4

miliar. Sementara itu, defisit neraca jasa didominasi

oleh pembayaran bunga utang luar negeri. Surplus

transaksi berjalan tersebut secara riil (cash basis)

bahkan dapat menjadi lebih kecil apabila ternyata

tidak seluruh devisa hasil ekspor (DHE) mengalir

masuk ke dalam negeri.

Penurunan kinerja ekspor 2001 lebih

dipengaruhi oleh lesunya perekonomian dunia, diban-

dingkan dengan stimulus yang bersumber dari ter-

depresiasinya nilai tukar rupiah baik secara nominal

maupun riil. Kecenderungan terdepresiasinya nilai

tukar rupiah secara riil terutama sebagai akibat dari

besarnya tingkat depresiasi nominal nilai tukar rupiah

yang melebihi pengaruh besarnya kenaikan inflasi di

dalam negeri. Depresiasi nilai tukar rupiah secara riil

terlihat dari menurunnya rata-rata indeks real effec-

tive exchange rate (REER) dari 69,6 dalam tahun

2000 menjadi 67,8 dalam tahun 2001 (Grafik 3.9).

Sementara itu, rata-rata indeks bilateral real exchange

rate (BRER) juga menunjukkan penurunan dari 54,8

dalam tahun 2000 menjadi 49,3 pada 2001, dan masih

jauh di bawah indeks BRER sejumlah negara Asia

seperti Cina, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan

Thailand meskipun mata uang negara-negara

tersebut secara riil juga mengalami depresiasi

sepanjang 2001 (Grafik 3.10).

Dalam periode yang sama, defisit lalu lintas

modal diperkirakan mencapai $8,9 miliar, meningkat

dari $6,8 miliar dalam periode sebelumnya. Hal ini

disebabkan oleh defisit lalu lintas modal pemerintah

setelah dalam periode sebelumnya mencatat surplus,

sementara defisit lalu lintas modal swasta masih.

menyebabkan nilai tukar rupiah sangat peka terhadap

terjadinya perubahan sentimen pasar.

Dari sisi penawaran, potensi pasokan di

pasar valuta asing dalam negeri dapat bersumber dari

devisa hasil ekspor, aliran masuk modal asing baik

berupa investasi asing langsung (FDI) maupun inves-

tasi portofolio, penarikan pinjaman luar negeri, serta

sterilisasi valuta asing oleh bank sentral. Sepanjang

2001, sebagian besar sumber penghasil devisa

tersebut masih menunjukkan berbagai keterbatasan

dan hambatan dalam peranannya untuk meningkatkan

pasokan valuta asing ke pasar. Keterbatasan pasokan

tersebut terutama disebabkan oleh belum kondusifnya

situasi di dalam negeri, kecenderungan memburuknya

kinerja ekonomi dunia, serta beberapa permasalahan

struktural yang menghambat aliran masuk devisa ke

dalam negeri. Di pihak lain, peranan bank sentral seba-

gai pemasok valuta asing di pasar sangat tergantung

pada kecukupan cadangan devisa.

Secara fundamental, tekanan depresiasi

terhadap rupiah merupakan refleksi dari mem-

buruknya kinerja sektor eksternal sebagaimana

tercermin dari merosotnya surplus transaksi berjalan

dan membengkaknya defisit lalu lintas modal (Lihat

uraian lebih lengkap dalam Bab 6 Neraca

Pembayaran). Surplus transaksi berjalan dalam tahun

laporan hanya mencapai $5,0 miliar atau 3,4% dari

PDB, jauh di bawah surplus tahun sebelumnya

sebesar $8,0 miliar atau 5,3% dari PDB. Merosotnya

surplus transaksi berjalan tersebut terutama

disebabkan oleh turunnya kinerja ekspor dan masih

tingginya defisit neraca jasa. Sepanjang 2001, kinerja

ekspor Indonesia menunjukkan kecenderungan yang

terus menurun sejalan dengan lesunya kondisi

perekonomian dunia yang diperparah oleh tragedi

Nilai Tukar

63

tinggi. Masih tingginya defisit lalu lintas modal swasta

selain disebabkan oleh masih terhambatnya aliran

masuk devisa, juga disebabkan oleh masih terus

berlangsungnya aliran modal keluar. Terhambatnya

aliran masuk devisa baik berupa penanaman modal

asing langsung (FDI) maupun surat-surat berharga

di pasar uang dan modal (portfolio), terutama karena

belum kondusifnya situasi di dalam negeri. Hal ini

berkaitan dengan masih lemahnya jaminan ke-

amanan berusaha dan kepastian hukum serta ber-

bagai ketidakpastian situasi sosial politik. Sementara

itu, aliran modal keluar terutama berkaitan dengan

masih besarnya pembayaran utang luar negeri

swasta, serta masih tingginya penempatan portofolio

valuta asing di pasar uang offshore.

Peningkatan penempatan portofolio valuta

asing di pasar uang offshore terutama sebagai akibat

dari masih tingginya risiko penempatan valuta asing

di dalam negeri, baik dalam bentuk penyaluran kredit

valuta asing maupun di PUAB valuta asing di dalam

negeri. Selanjutnya, masih tingginya risiko penem-

patan dana di PUAB valuta asing dalam negeri pada

gilirannya mengakibatkan likuiditas di PUAB valuta

asing dalam negeri semakin menurun sehingga turut

membatasi ketersediaan likuiditas valuta asing di

pasar valuta asing dalam negeri.

Secara keseluruhan, neraca pembayaran

Indonesia dalam tahun 2001 diperkirakan mengalami

defisit $1,4 miliar setelah selama tiga tahun terakhir

mencatat surplus. Dari sisi fundamental, gambaran

sektor eksternal yang kurang menggembirakan ter-

sebut mencerminkan terbatasnya sumber devisa

yang menjadi salah satu penyebab kelangkaan paso-

kan valuta asing di pasar keuangan dalam negeri.

Dari sisi permintaan, situasinya sangat

kontras dengan sisi penawaran di pasar valuta asing

dalam negeri. Di tengah-tengah kelangkaan pasokan

valuta asing di pasar, permintaan valuta asing masih

cukup besar dan cenderung meningkat baik yang di-

dasari oleh permintaan murni (genuine demand),

maupun motif spekulasi (speculative demand) dan

tindakan penyelamatan aset (flight to quality). Hal

ini pada umumnya dipicu oleh memburuknya

sentimen pasar akibat dari meningkatnya berbagai

Grafik 3.9

Real Effective Exchange Rate

55

60

65

70

75

80

85

90

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

Indeks

1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1

Grafik 3.10

Bilateral Real Exchange Rate

35

45

55

65

75

85

95

Indeks

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

KoreaSelatan

Thailand

2 0 0 0

Singapura

MalaysiaIndonesia

RRC

2 0 0 1

Nilai Tukar

64

6 Khusus untuk transaksi dolar-rupiah.

faktor ketidakpastian dan risiko. Kendati demikian,

dalam prakteknya masih sulit untuk membedakan

realisasi pembelian valuta asing yang dilatar-

belakangi ketiga motif tersebut mengingat seringkali

terjadi secara simultan. Namun dari ketiga motif

permintaan tersebut, jenis transaksi yang ditengarai

paling besar dan relatif terukur menurut penggu-

naannya adalah permintaan valuta asing untuk

pembiayaan impor dan pembayaran cicilan pokok

dan bunga utang luar negeri.

Permintaan valuta asing untuk kebutuhan

impor migas dan nonmigas ditengarai masih tetap

tinggi meskipun mengalami penurunan dibanding

tahun sebelumnya. Selain untuk membiayai impor,

permintaan valuta asing juga ditengarai banyak

digunakan dalam rangka pelunasan cicilan pokok dan

bunga utang luar negeri khususnya sektor swasta.

Pembayaran utang luar negeri tersebut berpotensi

menjadi sumber permintaan valuta asing di pasar.

Besarnya pembayaran utang luar negeri tersebut juga

tercermin dari menurunnya posisi utang luar negeri

dalam tahun laporan (lihat uraian di Bab 6 Neraca

Pembayaran).

Dampak yang ditimbulkan oleh realisasi

pembelian valuta asing oleh korporasi baik untuk

kebutuhan impor maupun pembayaran cicilan utang

luar negeri swasta di tengah-tengah kelangkaan

pasokan devisa cenderung menimbulkan tekanan

depresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Dalam prak-

teknya, timing dari realisasi pembelian valuta asing

oleh korporasi tersebut tidak selalu sejalan dengan

jadwal kebutuhan valuta asing untuk kegiatan impor

di masa depan atau jadwal pelunasan utang luar

negeri, namun pada umumnya lebih didasarkan

pada ekspektasi terhadap arah perkembangan nilai

tukar ke depan. Ekspektasi terhadap kemungkinan

melemahnya nilai tukar rupiah yang dipicu oleh

sentimen negatif sering mendorong sektor kor-

porasi merealisasikan pembelian valuta asing lebih

dini di pasar spot, daripada melakukan transaksi

lindung nilai sebagai sarana untuk melindungi risiko

fluktuasi nilai tukar. Kondisi tersebut disebabkan

oleh kurang berkembangnya pasar lindung nilai/

hedging (derivative market) terutama untuk yang

berjangka waktu menengah-panjang. Selain itu,

realisasi permintaan valuta asing oleh korporasi —

terutama yang tergolong besar (big players)—

seringkali menjadi pemicu transaksi bagi pelaku pa-

sar lainnya (herd behaviour) terutama yang bermotif

spekulasi.

Sementara itu, permintaan valuta asing yang

murni dilatarbelakangi oleh motif spekulasi masih sulit

untuk dapat diukur besarannya. Namun, secara u-

mum permintaan yang bermotif spekulasi ini sering-

kali muncul bertepatan dengan memburuknya sen-

timen pasar sebagai reaksi terhadap meningkatnya

ketidakpastian yang dipicu baik oleh faktor ekonomi

maupun nonekonomi.

TRANSAKSI DEVISA ANTARBANK

Meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah sejalan

dengan terjadinya perubahan pola transaksi di pasar

valuta asing dalam negeri. Secara kumulatif, transaksi

devisa antarbank6 menurun 4,0% dari $298,0 miliar

tahun 2000 menjadi $286,1 miliar tahun 2001 (Tabel

3.1). Dari jenis transaksinya, transaksi swap masih

mendominasi komposisi transaksi devisa antarbank

sepanjang 2001 (Grafik 3.11). Namun, dalam periode

Nilai Tukar

65

yang tercermin dari tingginya tingkat premi swap.

Kelangkaan instrumen lindung nilai tersebut terutama

disebabkan oleh kurang berkembangnya pasar

derivatif di pasar keuangan domestik.

Dari total volume transaksi devisa antarbank

(dolar-rupiah) sebesar $286,1 miliar dalam periode

laporan, sebesar $160,3 miliar merupakan pembelian

dolar dan sebesar $125,8 miliar merupakan penjualan

dolar sehingga secara keseluruhan transaksi devisa

antarbank mencatat posisi total net overbought

sebesar $34,5 miliar. Dengan kata lain, sepanjang

periode laporan perbankan cenderung berada dalam

posisi long dollar. Posisi net overbought tersebut

terutama bersumber dari transaksi dengan counter-

part di luar negeri yang mencatat net overbought,

sedangkan transaksi dengan counterpart di dalam

negeri justru mencatat net oversold. Dilihat dari jenis

transaksinya, posisi net overbought sebagian besar

berasal dari transaksi swap.

Perkembangan volume transaksi devisa

antarbank juga menunjukkan pola yang relatif searah

dengan volatilitas nilai tukar rupiah (Grafik 3.12).

Volume transaksi terbesar terjadi pada Agustus 2001

yang sama, transaksi swap menurun 18,3% dari

$187,6 miliar menjadi $153,2 miliar sedangkan

transaksi spot justru meningkat 17,8% dari $109,0

miliar menjadi $128,4 miliar. Dilihat dari pelaku

pasarnya, bank-bank asing masih mendominasi

transaksi devisa antarbank dengan volume transaksi

yang cukup besar.

Pergeseran komposisi transaksi dari pasar

swap ke pasar spot menunjukkan perubahan pola

perilaku pasar menjadi lebih bersifat spekulatif. Hal

ini ditengarai karena semakin langkanya penawaran

fasilitas swap khususnya yang berjangka menengah-

panjang (3 bulan ke atas). Di pihak lain, ongkos untuk

melakukan lindung nilai di pasar swap semakin mahal

Grafik 3.11

Komposisi Volume Transaksi Devisa

Spot

45%

Forward

2%

Swap

53%

Grafik 3.12

Volume Transaksi Spot dan Volatilitas Nilai Tukar

0

100

200

300

400

500

600

700

800

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10Rata-rata Harian Volume Transaksi Spot Dolar-Rupiah

Rata-rata Harian Volatilitas Kurs Rupiah

Juta dolar Persen

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 1

Juta Dolar

Spot 109.045,6 128.372,6

Forward 1.385,9 4.533,0

Swap 187.596,8 153.225,1

Total Volume 298.028,3 286.130,7

Volume Transaksi2000 2001

Tabel 3.1

Transaksi Devisa Antarbank Khusus Dolar-Rupiah

Nilai Tukar

66

7 Lihat Boks: Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan Pemberian

Kredit Valuta Asing oleh Bank.

yang secara rata-rata harian mencapai $668 juta.

Besarnya volume transaksi dalam Agustus tersebut

diiringi dengan tingginya tingkat volatilitas nilai tukar

rupiah yang secara rata-rata harian mencapai 8,0%,

tertinggi sepanjang periode laporan.

KEBIJAKAN

Menyikapi tingginya gejolak nilai tukar ru-

piah sebagaimana disampaikan sebelumnya,

sepanjang tahun laporan Bank Indonesia telah

menempuh beberapa langkah yang diperlukan

melalui kebijakan moneter dengan mengoptimalkan

seluruh instrumen yang tersedia. Upaya tersebut

juga diperkuat dengan penyempurnaan beberapa

peraturan, pengawasan terhadap sejumlah bank

pelaku terbesar di pasar valuta asing, serta

monitoring terhadap transaksi devisa. Disadari

bahwa, berbagai langkah yang ditempuh Bank

Indonesia tersebut belum sepenuhnya memberikan

hasil yang optimal karena besarnya pengaruh faktor

nonekonomi, serta kompleksitas permasalahan

ekonomi makro dan mikro yang mempengaruhi nilai

tukar (yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali

Bank Indonesia).

Dalam rangka penyerapan kelebihan likui-

ditas rupiah yang berpotensi dapat memberikan

tekanan terhadap nilai tukar rupiah, sepanjang

periode laporan Bank Indonesia melakukan kebijakan

moneter melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), yang

dibantu dengan sterilisasi valuta asing di pasar.

Langkah sterilisasi valuta asing ini juga bertujuan

untuk menambah likuiditas valuta asing di pasar

dalam negeri yang ditengarai mengalami kelangkaan

pasokan. Di tengah-tengah derasnya permintaan

valuta asing —yang seringkali dipicu oleh mem-

buruknya sentimen karena gejolak sosial politik—,

langkah sterilisasi ini berhasil menahan nilai tukar

rupiah agar tidak terdepresiasi lebih tajam lagi.

Selanjutnya, kebijakan sterilisasi ini terus

dijalankan secara konsisten dan terukur, dalam arti

kebijakan tersebut dilakukan sepanjang tahun

laporan dan pelaksanaannya disesuaikan dengan

kondisi pasar dan kecukupan cadangan devisa yang

harus dipelihara Bank Indonesia. Konsistensi

pelaksanaan kebijakan ini sangat penting dalam

upaya memberikan sinyal kepada publik terhadap

komitmen Bank Indonesia dalam memelihara

kestabilan nilai tukar.

Selain itu, Bank Indonesia juga telah mener-

bitkan PBI No.3/3/2001 yang mengatur ketentuan

pembatasan transaksi rupiah oleh bukan penduduk

pada 12 Januari 2001.7 Kebijakan ini dilatarbelakangi

oleh perilaku bukan penduduk yang cenderung

menggunakan rupiah sebagai alat spekulasi sehingga

sering menimbulkan gejolak nilai tukar rupiah. Dalam

pelaksanaannya, kebijakan ini terbukti mampu mem-

batasi ruang gerak bukan penduduk untuk bertran-

saksi rupiah yang tidak didasarkan pada kegiatan

ekonomi riil.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,

Bank Indonesia tetap melakukan pengawasan terha-

dap bank-bank yang aktif di pasar valuta asing baik

secara langsung maupun tidak langsung. Pengawa-

san secara langsung terhadap bank-bank —sebagai

pelaku utama di pasar valuta asing— sangat penting

guna memastikan kepatuhan terhadap peraturan

kehati-hatian (prudential regulation) termasuk kehati-

hatian dalam transaksi devisa. Sementara itu,

Nilai Tukar

67

pengawasan secara tidak langsung terutama

dilakukan dengan melakukan pemantauan terhadap

laporan keuangan yang disampaikan secara rutin oleh

bank-bank devisa serta pemantauan terhadap

transaksi valuta asing melalui data Pusat Informasi

Pasar Uang (PIPU).

Berbagai langkah kebijakan tersebut akan

lebih efektif apabila memperoleh dukungan dari kondisi

fundamental ekonomi makro dan kondisi sosial politik

yang kondusif. Kondisi fundamental ekonomi dan sosial

politik yang kondusif merupakan modal dasar baik

dalam membangun kepercayaan pasar maupun

sebagai bagian yang sangat penting dalam mengu-

rangi kesenjangan permintaan dan penawaran di pasar

valuta asing. Meskipun secara keseluruhan berjalan

lamban, tercatat beberapa kemajuan dalam re-

strukturisasi ekonomi terutama restrukturisasi utang

pemerintah dan beberapa program restrukturisasi

dalam kerangka kesepakatan dengan IMF.

Ke depan, kebijakan moneter akan tetap

dilaksanakan secara konsisten, terarah, dan terukur

agar kestabilan harga tetap terjaga serta dapat men-

cegah timbulnya potensi yang dapat memberi tekanan

terhadap nilai tukar. Sementara itu, pengawasan

terhadap transaksi devisa bank-bank, baik secara

langsung maupun tidak langsung akan terus

dioptimalkan. Sejalan dengan beberapa langkah yang

akan ditempuh guna meyehatkan sektor perbankan,

beberapa upaya akan terus ditempuh guna mem-

perbaiki struktur mikro pasar valuta asing termasuk

mengurangi segmentasi pasar sehingga dapat tercipta

pasar valuta asing yang likuid dan efisien. Dalam

hubungan ini, guna melahirkan kebijakan yang kredibel

dan realistis, berbagai penelitian dan kajian akan terus

ditingkatkan. Upaya tersebut akan ditempuh antara lain

melalui koordinasi dengan Pemerintah serta

komunikasi secara rutin dengan bank-bank guna

mengetahui kondisi yang sesungguhnya terjadi di

pasar valuta asing. Penelitian dan kajian terutama

diarahkan guna mengurangi terjadinya kesenjangan

permintaan dan penawaran di pasar valuta asing serta

menutup beberapa kelemahan mendasar pada

struktur mikro perbankan pada umumnya dan pasar

valuta asing pada khususnya.

Sementara itu, guna mengurangi kesen-

jangan permintaan dan penawaran valuta asing

sekaligus membangun kepercayaan pasar, program

restrukturisasi ekonomi seperti restrukturisasi utang

dan korporasi, privatisasi dan divestasi, serta

revitalisasi sektor dunia usaha dan perbankan, akan

terus dilanjutkan. Namun demikian, seluruh upaya

tersebut di atas akan lebih efektif apabila

memperoleh dukungan kondisi sosial politik yang

stabil dan kondusif. Selain itu, upaya-upaya yang

dapat meningkatkan kepastian hukum dan

keamanan berusaha merupakan bagian terpenting

dalam upaya memelihara kestabilan nilai tukar ru-

piah.

Nilai Tukar

68

SPREAD KURS (HARGA BELI-JUAL)

MENINGKAT

KEUNTUNGAN DARI

FLUKTUASI KURSONGKOS TRANSAKSI>

KEUNTUNGAN BERSIH

VOLATILITAS MENINGKATPROFIL RISIKO

TRADERS

ONGKOS TRANSAKSI MENINGKAT

PROFIL RISIKO

TRADERS

VOLUME PERDAGANGAN

(UNEXPECTED)

MEMERLUKAN FLUKTUASIKURS YANG BESAR

Bagan 1

Keterkaitan Antara Likuiditas Pasar, Volume Transaksi,

dan Volatilitas

Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar me-

ngambang bebas pada pertengahan 1997, nilai tukar

rupiah sering mengalami fluktuasi yang sangat besar.

Fluktuasi nilai tukar rupiah bahkan jauh lebih besar

apabila dibandingkan dengan fluktuasi nilai tukar mata

uang negara-negara lain termasuk mata uang utama

dunia seperti euro dan yen Jepang yang diper-

dagangkan secara aktif dan spekulatif dalam skala

global. Tidak dapat dipungkiri bahwa sentimen negatif

terhadap meningkatnya berbagai ketidakpastian di

dalam negeri merupakan pemicu awal terjadinya

fluktuasi nilai tukar rupiah. Namun, fluktuasi tersebut

ditengarai tidak akan terjadi secara berlebihan apabila

rupiah diperdagangkan dalam pasar valuta asing yang

likuid dan efisien.

Suatu pasar keuangan dapat dikatakan

likuid dan efisien apabila setiap saat selalu tersedia

harga beli dan harga jual (bid-offer spread) dengan

selisih atau spread yang relatif sangat kecil --yang

pada dasarnya mencerminkan ongkos bertransaksi

yang efisien-- dan volume transaksi yang sangat

besar dapat segera dieksekusi dengan dampak

minimal terhadap fluktuasi harga. Dalam kondisi

pasar yang likuid, sensitivitas nilai tukar terhadap

perubahan volume transaksi valuta asing dalam

jumlah yang relatif kecil tidak akan menimbulkan

b o k s

Memahami Dinamika Nilai Tukar Rupiah

Melalui Pendekatan Model Struktur Mikro Pasar 1

1 Disarikan dari, ‘Studies on Exchange Rate Dynamic Through Infor-

mation Asymetric Model and Survey’ (Direktorat Riset Ekonomi dan

Kebijakan Moneter), Jakarta 2001.

perubahan nilai tukar secara berlebihan (Upper,

2000).

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,

ongkos transaksi valuta asing secara implisit

tercermin dari bid-ask spread. Semakin besar spread

tersebut, maka ongkos untuk bertransaksi di pasar

akan semakin mahal. Di pihak lain, prinsip bisnis bagi

pelaku pasar khususnya spekulator berlaku, bahwa

apabila ongkos yang timbul akibat melebarnya spread

meningkat, maka pelaku pasar memerlukan terjadinya

perubahan nilai tukar yang besar atau terjadinya large

swing untuk dapat memperoleh exchange rate gain,

sehingga dengan demikian dapat diraih laba (Bagan).

Terjadinya large swing nilai tukar akan

semakin besar apabila informasi tidak menyebar

secara merata di pasar atau terjadi asimetri informasi,

yang pada umumnya dipengaruhi oleh struktur mikro

pasar. Dengan demikian, terdapat keterkaitan yang

Nilai Tukar

68

Nilai Tukar

69

erat antara struktur mikro pasar, spread, volume

transaksi, fluktuasi atau volatilitas nilai tukar. Bebe-

rapa model market microstructure menelaah

keterkaitan tersebut, misalnya model “the mixture

distribution hypothesis” (Tauchen and Pitt, 1993).

Dengan menggunakan model ‘the mixture

distribution hypothesis’ (MDH) dan series data Januari

1998 s.d. Mei 2001, diestimasi hubungan volatilitas,

volume, dan spread di pasar valuta asing-rupiah

Dalam model ini di lakukan dekomposisi antara

volume transaksi yang dapat diperkirakan (expected

volume) dan volume transaksi yang tidak terduga

(unexpected volume), karena keduanya memiliki

dampak yang berbeda terhadap spread (Cornell,

1978). Expected volume diestimasi dengan

pendekatan ARMA (Auto Regressive Moving Aver-

age). Spread diasumsikan menjadi suatu fungsi yang

menurun dari volume karena skala ekonomi dari

meningkatnya volume akan meningkatkan proses

perdagangan yang lebih efisien dan tingkat

persaingan diantara traders. Oleh karena itu, ex-

pected volume diasumsikan memiliki korelasi negatif

dengan spread (Easley O’Hara, 1992). Sebaliknya,

unexpected volume atau perubahan volume yang

tidak terduga mencerminkan volatilitas yang bersifat

contemporaneous melalui model MDH, dengan

demikian diasumsikan memiliki hubungan positif

dengan spread. Sementara itu, volatilitas diestimasi

dengan menggunakan GARCH (General Auto-

regressive Conditional Heteroscedasticity) untuk

mencerminkan volatilitas yang dapat diperkirakan

(expected volatility).

Di pasar valuta asing rupiah, perubahan

unexpected volume berkorelasi positif dengan

volatilitas. Peningkatan unexpected volume sebesar

1,0%, mengakibatkan volatilitas meningkat 0,3%.

Tingginya sensitivitas volatilitas terhadap unexpected

volume tersebut menunjukkan bahwa pasar valuta

asing di Indonesia sangat dangkal. Tingkat volatilitas

secara signifikan juga sangat dipengaruhi oleh

spread. Peningkatan spread sebesar 1,0% mengaki-

batkan volatilitas meningkat 0,2%. Hasil dari estimasi

ini membuktikan bahwa semakin lebar spread atau

semakin tidak likuid pasar valuta asing, semakin

membuat volatilitas nilai tukar semakin tinggi. Dengan

semakin melebarnya spread, peserta pasar yang

memiliki motif spekulatif membutuhkan perubahan

atau fluktuasi nilai tukar –baik naik atau turun— yang

cukup besar (large swing). Dengan demikian, dapat

diperoleh keuntungan dari flluktuasi nilai tukar yang

melebihi ongkos yang timbul dari spread.

Perbandingan rasio spread terhadap mid-

point kurs beberapa negara Asia sejak Januari 1998

- Mei 2001 memperlihatkan bahwa ongkos bertran-

saksi dalam perdagangan nilai tukar rupiah jauh sa-

ngat tinggi (tidak efisien) dibandingkan beberapa nilai

tukar mata uang Asia lainnya seperti bath Thailand

dan peso Filipina. Hal ini merupakan gambaran

bahwa nilai tukar rupiah diperdagangkan dalam

kondisi pasar yang tidak likuid, sehingga mudah

berfluktuasi secara tajam. Besarnya spread tersebut

terutama dipengaruhi oleh struktur pasar valuta asing

yang tidak efisien dan tersegmentasi, serta faktor

ketidakpastian yang secara persisten mempengaruhi

sentimen pelaku pasar. Ketika pelaku pasar semakin

tidak pasti mengenai arah perkembangan kurs,

mereka akan cenderung bersikap risk averse

sehingga melebarkan spread. Hal ini terlihat dari

pengaruh volatilitas yang secara signifikan mem-

pengaruhi spread. Meningkatnya volatilitas sebesar

Nilai Tukar

69

Nilai Tukar

70

1,0% mengakibatkan terjadinya pelebaran spread

sebesar 0,06%.

Menyikapi kondisi tersebut di atas,

diperlukan beberapa langkah struktural guna

memperbaiki struktur mikro pasar valuta asing

rupiah, sehingga dapat tercipta pasar yang likuid dan

efisien. Hal ini antara lain dapat ditempuh dengan

mengurangi terjadinya segmentasi pasar (sehingga

harga yang terbentuk di pasar dapat mewakili seluruh

kekuatan pasar), dan meningkatkan pasokan valuta

asing di pasar guna meningkatkan kedalaman pasar

(market deepening). Selain itu, langkah-langkah

tersebut perlu didukung dengan terciptanya kondisi

yang kondusif di dalam negeri yang dapat

mengurangi berbagai ketidakpastian (risiko).

Berkurangnya ketidakpastian ditengarai akan turut

mempengaruhi mekanisme pembentukan harga di

pasar valuta asing, yang dapat tercermin dalam

bentuk penyempitan spread. Hal ini pada gilirannya

akan turut mendorong terciptanya pasar valuta asing

yang efisien sehingga gejolak nilai tukar yang

berlebihan dapat dikurangi.

Nilai Tukar

70

Nilai Tukar

71

b o k s

Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan Pemberian

Kredit Valuta Asing oleh Bank

Sebagaimana dimaklumi, sejak triwulan IV-

1997 nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan

depresiasi, yang disertai dengan fluktuasi yang tinggi.

Dari data yang ada mengindikasikan bahwa tingginya

tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut antara

lain karena rupiah banyak digunakan oleh bukan

penduduk (nonresiden) di pasar uang luar negeri

(offshore market) untuk tujuan spekulasi dengan

memanfaatkan fluktuasi nilai tukar rupiah. Hal tersebut

tercermin dari terjadinya peningkatan saldo rekening

vostro rupiah milik nonresiden di bank-bank domestik

sejalan dengan meningkatnya tekanan depresiasi dan

tingginya volatilitas nilai tukar rupiah (Grafik 1 dan 2).

Faktor lain yang juga menyumbang terhadap

volatilitas nilai tukar rupiah adalah perkembangan

faktor-faktor nonfundamental ekonomi yang kurang

kondusif terhadap kegiatan investasi, sehingga

menghambat aliran modal dari luar negeri.

Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap

rupiah tersebut, pada 12 Januari 2001, Bank

Indonesia menerbitkan PBI No. 3/3/2001 yang

mengatur pembatasan transaksi rupiah dan

pemberian kredit valuta asing oleh bank. Pada

dasarnya, ketentuan tersebut mengatur transaksi

yang dilakukan perbankan di Indonesia dengan

mencakup 2 hal, yaitu:

1. Pelarangan transfer rupiah oleh perbankan

Indonesia kepada nonresiden, khususnya untuk

transfer rupiah tanpa didasari transaksi riil yang

mendukung kegiatan ekonomi Indonesia.

2. Pembatasan terhadap transaksi derivatif yang

tidak didasari oleh kegiatan ekonomi riil atau non-

Grafik 1

Rata-Rata Harian Mutasi Rekening Vostro

Grafik 2

Perkembangan Saldo Rekening Vostro

(1.000.000)

(500.000)

500.000

1.000.000

1.500.000

Des 2000 Sep 2001

Juta Rp

100.000

200.000

300.000

400.000

500.000

600.000

700.000

800.000

Des 2000 Sep 2001

Juta Rp

Nilai Tukar

71

Nilai Tukar

72

underlying transaction, yakni dengan menu-

runkan batas maksimum transaksi derivatif

penjualan valuta asing dari bank domestik kepada

nonresiden dari $5 juta menjadi $3 juta.

Tujuan utama diberlakukannya peraturan ter-

sebut adalah untuk mengurangi internasionalisasi

rupiah, dengan membatasi aliran rupiah ke luar

negeri. Dengan diterbitkannya ketentuan PBI No. 3/

3/2001 ini diharapkan pasokan rupiah dari residen

kepada nonresiden yang berpotensi digunakan untuk

berspekulasi dapat dibatasi, sehingga dapat me-

ngurangi gejolak nilai tukar rupiah yang berlebihan.

Implikasi pemberlakuan PBI No. 3/3/2001

terhadap pasar valuta asing-rupiah dan pergerakan

nilai tukar rupiah adalah sebagai berikut :

1. Berkurangnya secara drastis aktivitas transaksi

peserta pasar luar negeri (nonresiden) yang tidak

didasari transaksi riil, sebagaimana tercermin dari

penurunan saldo harian rekening vostro dari

Rp531,6 miliar sebelum PBI diterbitkan menjadi

sekitar Rp88,6 miliar setelah PBI diterbitkan.

2. Beralihnya sebagian besar transaksi yang semula

dilakukan di pasar valuta asing-rupiah luar negeri

ke pasar dalam negeri, seperti tercermin dari

peningkatan transaksi swap dan forward yang

sebagian besar berasal dari bank-bank asing

(Grafik 3). Bersamaan dengan itu, transaksi spot

yang dilakukan bank pemerintah dan lokal juga

mengalami peningkatan. Rata-rata harian

transaksi spot meningkat dari $438 juta (sebelum

PBI) menjadi $511 juta (sesudah PBI).

3. Beralihnya transaksi valuta asing-rupiah yang

semula banyak dilakukan di perbankan luar negeri

menjadi di perbankan dalam negeri, sehingga

menyebabkan kesempatan untuk melakukan

transaksi spekulasi oleh pihak nonresiden dapat

diminimalkan. Hal tersebut sejalan dengan

peraturan kehati-hatian (prudensial) Bank

Indonesia yang harus diterapkan perbankan,

seperti ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN),

monitoring pasar valuta asing-rupiah melalui data

Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU), serta Lalu

Lintas Devisa (LLD), maupun ketentuan lainnya.

4. Rata-rata volatilitas rupiah pasca diberlakukannya

PBI tersebut memang masih tinggi, namun

tingginya volatilitas tersebut terjadi karena dua

peristiwa yang dipicu oleh perubahan situasi

politik. Tingginya volatilitas yang pertama terutama

Grafik 3

Rata-Rata Harian Transaksi Dolar-Rupiah

Grafik 4

Perkembangan Volatilitas Kurs Rp/$

200

300

400

500

600

700

800

900

1.000

1.100

1.200

spot

swap/forward

Des 2000 Des 2001

Juta $

0

2

4

6

8

10

12

14

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

10.500

11.000

11.500

12.000

12.500

RupiahVolatilitas (%)

Rupiah

Rata-RataVolatilitasBulanan

Volatilitas Harian

1/1 11/1 21/1 31/1 10/2 20/2 7/3 21/3 5/4 19/4 3/5 17/5 31/5 14/6 28/6 13/7 27/7 10/8 24/8 7/9 21/9 5/10 19/10 2/11 16/1130/1110/1220/12 30/12

2 0 0 1

Nilai Tukar

72

Nilai Tukar

73

terjadi sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar

rupiah yang tajam ketika suhu politik memanas

menjelang pengalihan kepemimpinan nasional.

Sementara itu, tingginya volatilitas yang

berikutnya terjadi ketika nilai tukar rupiah

menguat secara tajam pasca pengalihan

kepemimpinan nasional pada pertengahan 2001

(Grafik 4). Dalam kenyataannya, volatilitas nilai

tukar rupiah di luar kedua peristiwa tersebut

cenderung lebih rendah dibandingkan tahun

2000 (sebelum PBI), dimana sepanjang 2000

nilai tukar rupiah terdepresiasi secara persisten

tanpa ada koreksi apresiasi yang signifikan.

Secara keseluruhan, peraturan PBI No. 3/3/

2001 telah mampu mengurangi transaksi rupiah yang

dilakukan oleh pihak nonresiden. Namun, gejolak nilai

tukar rupiah yang terjadi dalam tahun 2001 tidak dapat

dihindari karena bersamaan dengan tingginya faktor

ketidakpastian kondisi sosial, politik, dan keamanan

di dalam negeri.

Upaya penyempurnaan ketentuan tersebut

perlu terus dilakukan. Dengan demikian, sasaran

untuk mengurangi potensi sumber spekulasi dari

pihak nonresiden dapat dicapai tanpa menghambat

aliran dana luar negeri yang mendorong investasi di

dalam negeri.

Nilai Tukar

73

I n f l a s i

74

bab 4 INFLASI

I n f l a s i

75

b a b 4

INFLASI

Pada awal 2001, Bank Indonesia memperkirakan

kondisi ekonomi dan moneter secara keseluruhan

pada 2001 akan semakin membaik. Pertumbuhan

ekonomi diperkirakan meningkat mencapai 4,5%–

5,5%, sementara nilai tukar rupiah diperkirakan me-

nguat mencapai rata-rata Rp7.750–Rp8.250 per dolar.

Berdasarkan asumsi indikator-indikator ekonomi ter-

sebut, Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi

indeks harga konsumen (IHK) di luar dampak kebi-

jakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, dampak kebi-

jakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

diperkirakan dapat menimbulkan tambahan inflasi se-

besar 2,0%–2,5% di atas sasaran tersebut. Secara

keseluruhan, tekanan inflasi pada 2001 diperkirakan

berasal dari dampak kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan, meningkatnya sisi permintaan

agregat, dan ekspektasi inflasi masyarakat yang

terkait dengan dampak kebijakan pemerintah

tersebut.

Namun, dalam perkembangannya pertum-

buhan ekonomi dan pergerakan nilai tukar pada

2001 tidak sesuai dengan yang diasumsikan semula

dan tekanan inflasi lebih besar dari yang diperkirakan

di awal tahun. Meningkatnya tekanan inflasi ber-

sumber dari semakin kuatnya pengaruh kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan, mele-

mahnya nilai tukar rupiah, memburuknya ekspektasi

inflasi yang terkait dengan melemahnya nilai tukar

rupiah dan kebijakan pemerintah tersebut, serta

adanya keterbatasan produksi tanaman bahan

makanan. Di sisi lain, kondisi permintaan agregat

belum memberikan tekanan inflasi yang berarti.

Bank Indonesia telah menempuh berbagai

upaya untuk mencapai sasaran inflasi, yakni dengan

mengoptimalkan seluruh instrumen moneter yang ter-

sedia dan dengan mengeluarkan instrumen regulasi

baru di bidang nilai tukar dan devisa. Untuk meredam

pengaruh melemahnya nilai tukar terhadap inflasi

serta untuk mencapai sasaran uang primer yang

ditetapkan di awal tahun, Bank Indonesia berupaya

menyerap kelebihan likuiditas melalui instrumen

Operasi Pasar Terbuka. Selain itu, guna membantu

penyerapan likuiditas, Bank Indonesia secara intensif

melakukan sterilisasi valuta asing. Upaya-upaya

tersebut didukung pula oleh kebijakan pembatasan

transaksi rupiah oleh bukan penduduk. Sementara

itu, guna mengurangi terbentuknya ekspektasi inflasi

yang tinggi, Bank Indonesia menetapkan sasaran

inflasi yang rendah pada awal tahun.

Namun, berbagai upaya tersebut belum

dapat secara maksimal mengurangi tekanan

depresiasi dan fluktuasi nilai tukar yang terjadi

mengingat sumber tekanan tersebut banyak

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak sepenuhnya

dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Faktor-faktor

tersebut antara lain masih tingginya permintaan valuta

asing yang tidak diimbangi dengan ketersediaan

pasokan yang memadai di pasar domestik, sentimen

negatif pelaku pasar terhadap kelemahan imple-

I n f l a s i

76

mentasi berbagai program restrukturisasi ekonomi

dan berbagai faktor nonekonomi, serta berbagai

kelemahan pada struktur mikro di pasar keuangan

domestik dan fungsi intermediasi perbankan yang

belum sepenuhnya pulih. Hal tersebut menyebabkan

likuiditas perekonomian lebih banyak berputar di

pasar keuangan sehingga cenderung dimanfaatkan

untuk kegiatan spekulasi valuta asing.

Kuatnya tekanan inflasi dari sisi biaya dan

ekspektasi inflasi serta adanya berbagai permasa-

lahan yang dihadapi Bank Indonesia dalam pengen-

dalian inflasi, menyebabkan tingginya realisasi

inflasi IHK pada 2001 yang mencapai 12,55%.

Tingginya tekanan inflasi dari sisi biaya tidak terlepas

dari kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan yang diperkirakan memberikan

tambahan inflasi sebesar 3,83%. Kebijakan

pemerintah tersebut meliputi kenaikan beberapa

harga barang dan tarif jasa seperti bahan bakar

minyak (BBM), angkutan, listrik, air minum dan rokok,

serta kenaikan upah minimum tenaga kerja swasta

dan gaji pegawai negeri. Dengan mengeluarkan

dampak kebijakan pemerintah tersebut, maka inflasi

IHK di luar pengaruh kebijakan harga dan pen-

dapatan pada 2001 diperkirakan mencapai 8,72%.

Meskipun realisasi inflasi IHK di luar dampak

kebijakan pemerintah melebihi sasaran, namun hal

itu terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya

pada tingkat produsen sebagai dampak dari

melemahnya nilai tukar rupiah serta memburuknya

Bagan 4.1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi 2001

KapasitasIndustri

Pengolahan

Investasi

E k s p o r

Konsumsi

Barang

Domestik

PDBPotensial

P D B

HargaLuar Negeri

Nilai TukarRupiah

INFLASI BARANG IMPOR

INFLASI BARANG DANJASA DOMESTIK

KEBIJAKAN HARGA DAN

PENDAPATAN

INFLASI IHK

cukup/berlebih

melemah

sangat melemah

menguat

rendah dandeflasi

melemah danfluktuatif

Tekanan biaya :dampak nilai tukar melaluibahan baku dan barang

setengah jadi impor

EKSPEKTASIINFLASI

Dampak inersia inflasi danekspektasi kenaikan biaya

Tekanan

permintaan

dan penawaran

Tekanan biaya :dampak nilai tukar melalui

barang jadi impor

Tekanan biaya :dampak langsung dan tidak langsungKapasitas

Pertanian

Impor Bahan Baku danBarang Konsumsi

sangat melemah

sangat melemah melemah

I n f l a s i

77

ekspektasi inflasi yang terkait dengan meningkatnya

tekanan biaya.

PERKEMBANGAN INFLASI IHK

Harga-harga barang dan jasa selama 2001

mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan

tahun sebelumnya. Kondisi itu tercermin dari inflasi

IHK yang mencapai 12,55%, lebih tinggi di-

bandingkan inflasi IHK 2000 sebesar 9,35%. Secara

bulanan, inflasi IHK terjadi pada 11 bulan kecuali

pada Agustus yang mencatat deflasi. Inflasi bulanan

tertinggi terjadi pada Juli sebesar 2,12%. Penyum-

bang terbesar terhadap inflasi IHK adalah kelompok

bahan makanan yaitu sebesar 3,17%, disusul

kelompok perumahan 3,07% serta kelompok

makanan jadi, minuman, dan rokok 2,65%. Semen-

tara itu sumbangan terkecil berasal dari kelompok

kesehatan sebesar 0,44% (Tabel 4.1).

Berdasarkan subkelompok barang, penyum-

bang utama inflasi IHK adalah subkelompok biaya

tempat tinggal, subkelompok transpor, subkelompok

makanan jadi, subkelompok rokok, tembakau dan

minuman yang beralkohol, subkelompok padi-

Tabel 4.2

Sumbangan Inflasi IHK 2001 Berdasarkan

Subkelompok Barang

Sumber: BPS, diolah

Biaya Tempat Tinggal 11,98 1,59

Transportasi 17,24 1,50

Makanan Jadi 11,38 1,27

Rokok, Tembakau, dan Minuman yang

beralkohol 32,89 1,23

Padi-padian, Umbi-umbian, dan hasilnya 16,89 1,06

Bahan Bakar, Penerangan, dan Air 28,41 1,04

Biaya Pendidikan 17,38 0,71

Dagang dan hasilnya 9,87 0,38

Buah-buahan 13,75 0,32

Penyelenggaraan Rumah Tangga 10,00 0,30

Sayuran 11,38 0,28

Lemak dan Minyak 19,55 0,27

Barang Pribadi dan Sandang lainnya 12,22 0,27

Ikan Segar 7,42 0,26

Perawatan Jasmani dan Kosmetika 8,50 0,24

Bumbu-bumbuan 10,98 0,22

Telur, Susu dan hasilnya 9,64 0,20

Jasa Kesehatan dan Obat-obatan 9,12 0,20

Sandang Laki-laki 7,45 0,18

Sandang Wanita 6,46 0,18

Rekreasi dan Olahraga 6,09 0,18

Minuman yang tidak beralkohol 4,50 0,15

Perlengkapan Rumah Tangga 5,14 0,14

Sandang Anak-anak 6,86 0,11

Ikan diawetkan 9,58 0,08

Kacang-kacangan 4,86 0,06

Sarana dan Penunjang Transpor 7,56 0,06

Perlengkapan/peralatan Pendidikan 5,50 0,05

Bahan Makanan lainnya 9,49 0,01

Komunikasi dan Pengiriman 0,21 0,00

IHK 12,55 12,55

Sub Kelompok Barang Inflasi Sumbangan

Grafik 4.1

Inflasi IHK dan Inflasi Inti (y-o-y)

Tabel 4.1

Sumbangan Inflasi IHK 2001 Berdasarkan

Kelompok Barang

Sumber : BPS, diolah

Bahan Makanan 12,03 3,17

Perumahan 13,59 3,07

Makanan Jadi, Minuman, dan Rokok 14,48 2,65

Transportasi dan Komunikasi 14,16 1,56

Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga 11,90 0,93

Sandang 8,14 0,73

Kesehatan 8,92 0,44

IHK 12,55 12,55

Kelompok Barang Inflasi Sumbangan

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Persen

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

16

2 0 0 0

Jan

2 0 0 1

Inflasi IHKInflasi inti

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

I n f l a s i

78

Persen

1,32

0,07

-0,45

0,84

0,50

1,28

-0,06

1,161,32

0,33

0,87

0,46

1,13

1,67

2,12

-0,21

0,64 0,68

1,711,62

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

Jan.

2 0 0 0

Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan.

2 0 0 1

Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

Inflasi IHK

Inflasi Inti

0,51

0,56

0,89

1,94

padian, umbi-umbian dan hasilnya, dan sub-

kelompok bahan bakar, penerangan, dan air.

Tekanan yang tinggi terhadap inflasi IHK

2001 tercermin pada perkembangan indikator yang

menggambarkan kecenderungan dan persistensi

pergerakan inflasi. Salah satu indikator tersebut

adalah inflasi inti (core inflation) yang dihitung de-

ngan pendekatan asymmetric trimming.1 Inflasi inti

(y-o-y) menunjukkan kecenderungan meningkat dan

secara persisten berada di atas inflasi IHK (Grafik

4.1). Demikian pula halnya dengan pergerakan

inflasi inti bulanan (m-t-m) yang menunjukkan ke-

cenderungan meningkat sejak 2000 (Grafik 4.2). Hal

itu menunjukkan terjadinya peningkatan inflasi

selama dua tahun terakhir ini.

PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG

HARGA DAN PENDAPATAN

Kebijakan pemerintah menaikkan harga dan

tarif sejumlah barang dan jasa seperti BBM, listrik,

air minum, dan rokok, serta menaikkan upah mini-

mum tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri,

diperkirakan memberikan tambahan inflasi IHK se-

besar 3,83% secara tahunan (Tabel 4.3). Dampak

aktual kebijakan pemerintah tersebut terhadap inflasi

IHK lebih besar dari perkiraan semula di awal tahun

sebesar 2,0%–2,5%. Perbedaan tersebut antara lain

terjadi karena realisasi persentasi kenaikan pada

beberapa kebijakan lebih besar daripada yang

diperkirakan semula di awal tahun. Di samping itu,

sebagian dari rencana kebijakan pemerintah belum

diketahui secara lengkap pada saat penyusunan

perkiraan inflasi di awal tahun. Keterbatasan informasi

di awal tahun antara lain terkait dengan besarnya

persentasi kenaikan dan tahapan pelaksanaannya.

Dari seluruh kebijakan pemerintah tersebut,

keputusan pemerintah menaikkan harga BBM untuk

transportasi, menaikkan harga BBM untuk industri

menjadi 50% dari harga pasar, dan menaikkan tarif

angkutan, diperkirakan memberikan tambahan inflasi

sebesar 1,78%. Dampaknya pada inflasi terjadi pada

Juni dan Juli setelah kenaikan harga BBM diberla-

Sumber: BPS, Bank Indonesia

Grafik 4.2

Inflasi IHK dan Inflasi Inti (m-t-m)

1 Inflasi inti yang dihitung dengan metode assymetric trimming bukan

merupakan sasaran inflasi Bank Indonesia. Beberapa metode dalam

metode penghitungan inflasi inti diuraikan pada boks Penetapan

Sasaran Inflasi Bank Indonesia.

Tabel 4.3

Perkiraan Dampak Kebijakan Pemerintah

di Bidang Harga dan Pendapatan 2001

Sumber : BPS, diolah

Bahan Bakar Minyak dan Angkutan 1,78

Harga Jual Eceran Minimum Rokok 0,73

Tarif Dasar Listrik 0,56

Tarif Air Minum 0,05

Upah Minimum Provinsi 0,17

Gaji Pegawai Negeri 0,20

Pajak Penjualan Barang Mewah 0,01

Perkiraan dampak kebijakan peme- kumulatif m-t-m 3,50

rintah terhadap inflasi IHK 2001 y-o-y 3,83

Perkiraan Dampak Kenaikan Harga pada Inflasi IHK m-t-m

(Persen)

I n f l a s i

79

kukan pada Juni 2001. Dampak pada Juni terdiri dari

dampak langsung pada komoditas bensin, bensin

pompa, dan solar dalam keranjang IHK, serta dampak

tidak langsung pada biaya operasional kegiatan

usaha termasuk ongkos angkutan. Sementara itu,

dampak pada Juli merupakan dampak tidak langsung

terhadap kenaikan harga barang-barang melalui

kenaikan biaya produksi.

Selanjutnya, kenaikan tarif listrik pada Juli

dan Oktober diperkirakan memberikan tambahan

inflasi pada Agustus dan Desember sebesar 0,56%.

Kebijakan lain di bidang harga yang besar penga-

ruhnya terhadap inflasi IHK 2001 adalah kenaikan

harga jual eceran (HJE) minimum rokok. Kebijakan

yang dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan

pemerintah melalui peningkatan cukai rokok yang

dihitung atas dasar HJE minimum tersebut, diperkira-

kan memberikan tambahan inflasi IHK sebesar

0,73%. Selanjutnya, kebijakan pemerintah di bidang

pendapatan berupa kenaikan UMP dan gaji pegawai

negeri diperkirakan memberikan tambahan kenaikan

harga sebesar 0,37%. Kebijakan lain yang berdampak

pada kenaikan harga adalah kenaikan Pajak

Penjualan Barang Mewah (PPn-BM) pada Februari.

Namun kebijakan tersebut diperkirakan hanya

memberikan tambahan inflasi IHK sebesar 0,01%.

PENGARUH MELEMAHNYA NILAI TUKAR RUPIAH

Nilai tukar rupiah yang semula diperkirakan

menguat sepanjang 2001 sehingga secara rata-rata

mencapai Rp8.000 per dolar, dalam perkem-

bangannya melemah sehingga mencapai rata-rata

Grafik 4.3

Perkembangan Inflasi

Sumber : Berbagai sumber

Januari UMP 15% 15%

Februari PPn-BM untuk 41 kelompok barang diluar kendaraan bermotor belum diketahui 10% – 15%

Maret Tarif air minum 20% 18,77% – 42,47%

April Cukai/HJE rokok (Tahap I) 5% dalam satu tahap 5% (Tahap I)

Juni BBM 20% 30%

Tarif angkutan kota belum diketahui 28,57% (khusus Jakarta)

Juli Tarif dasar bus ekonomi antarkota antarpropinsi belum diketahui 36%

Cukai/HJE rokok (Tahap II) 5% dalam satu tahap 6% (Tahap II)

TDL (Tahap I) belum diketahui 29,2%

September Gaji PNS 30% 11,2%

Oktober TDL (tahap II) belum diketahui 12,4%

Desember Cukai/HJE rokok (Tahap II) 5% dalam satu tahap 3% (Tahap III)

Persen KenaikanBulan Keterangan

Asumsi di awal tahun Realisasi

Tabel 4.4

Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 2001

0,33

0,87 0,89

0,46

1,13

1,67

2,12

-0,21

0,64 0,68

1,711,62

0,25

0,770,89

0,25

1,08

0,86

1,13

-0,42

0,13

0,58

1,71

1,18

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

Jan.

2 0 0 1

Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Inflasi IHK

Inflasi IHK di luar dampak kebijakan harga dan pendapatan

Persen

I n f l a s i

80

Grafik 4.4

Pergerakan Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi (m-t-m)

Sumber : BPS, Bank Indonesia, Bloomberg

Rp10.255 per dolar meskipun sempat menguat pada

awal paro kedua 2001. Perkembangan tersebut

menyebabkan terjadinya kenaikan inflasi IHK yang

bersumber dari kenaikan biaya pengadaan bahan

baku dan barang setengah jadi impor yang meru-

pakan komponen produksi barang domestik.2 Di

samping itu, pengaruh melemahnya nilai tukar rupiah

terhadap inflasi IHK juga terjadi melalui kenaikan

harga barang konsumsi impor, mengingat keranjang

IHK tidak hanya terdiri dari barang-barang produksi

domestik tetapi juga mencakup barang-barang

konsumsi impor.

Kuatnya pengaruh depresiasi nilai tukar

rupiah tersebut tercermin pada pergerakan nilai tukar

rupiah yang sejalan dengan pergerakan inflasi

bulanan IHK. Nilai tukar rupiah yang melemah sejak

awal tahun dan berada pada tingkat yang rendah

pada April hingga Juni sejalan dengan tingginya inflasi

IHK terutama pada Mei hingga Juli (Grafik 4.4).

Pergerakan nilai tukar tersebut juga sejalan dengan

inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan

inflasi IHK kelompok barang-barang yang di-

perdagangkan secara internasional (traded goods)

yang merupakan indikator perkembangan biaya

produksi dan harga barang impor. Selanjutnya,

melemahnya nilai tukar rupiah juga mendorong

terjadinya peningkatan inflasi IHK kelompok barang-

barang yang tidak diperdagangkan secara inter-

nasional (non-traded goods).

Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah

ke inflasi sejalan dengan hasil penelitian Bank Indo-

nesia mengenai transmisi kebijakan moneter melalui

jalur nilai tukar rupiah ke inflasi. Penelitian tersebut

menunjukkan pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi

sangat kuat terjadi sejak berlakunya sistem nilai tukar

mengambang bebas . Sebaliknya, selama periode

sebelum krisis, efek pengaruh nilai tukar ke inflasi

hampir tidak terjadi karena nilai tukar yang stabil dan

mudah diprediksi. Selain dari penelitian tersebut,

melalui Survei Mekanisme Pembentukan Harga di

Sektor Manufaktur dan Ritel pada 2001 diketahui pula

bahwa faktor pendorong utama kenaikan harga

adalah depresiasi nilai tukar. Selanjutnya, dari survei

tersebut diperoleh indikasi perilaku harga yang

cenderung mudah meningkat karena pengaruh

melemahnya nilai tukar rupiah. Pengaruh mele-

mahnya nilai tukar terhadap kenaikan harga terjadi

dalam waktu kurang dari satu minggu hingga satu

bulan.

Sementara itu, penguatan nilai tukar rupiah

pada Juli dan Agustus juga berdampak pada pe-

nurunan harga. Namun demikian, penguatan nilai

tukar yang sangat besar pada Juli dan Agustus tidak

2 Berdasarkan Survei Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor

Manufaktur dan Ritel tahun 2001, persentase biaya bahan baku

impor terhadap total biaya pengadaan bahan pada industri hilir

penghasil barang konsumsi dalam keranjang IHK, berkisar 30%–

40%.

-5

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4

6.000

7.000

8.000

9.000

10.000

11.000

12.000

Persen Rp/$

0,33

0,870,89

0,46

1,13 1,67

2,12

–0,21

0,640,68

1,71 1,62

Inflasi IHKInflasi IHK kelompok non-tradedInflasi IHK kelompok barang tradedInflasi IHPBNilai tukar rupiah

Jan.

2 0 0 1

Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

I n f l a s i

81

terlalu besar pengaruhnya terhadap inflasi di-

bandingkan pengaruh melemahnya nilai tukar rupiah

terhadap inflasi. Menguatnya nilai tukar rupiah rupiah

sebesar 4,0% bulan Juli dan 21,3% pada Agustus

dibandingkan bulan sebelumnya, hanya menye-

babkan terjadinya deflasi bulanan sebesar 0,24%

pada Agustus. Kondisi itu mengindikasikan adanya

perilaku harga yang cenderung sulit untuk turun

meskipun terjadi penurunan biaya misalnya karena

menguatnya nilai tukar rupiah. Indikasi perilaku

perubahan harga secara asimetri tersebut sejalan

dengan hasil penelitian mengenai transmisi kebi-

jakan moneter melalui jalur nilai tukar serta Survei

Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor Manu-

faktur dan Ritel (Boks : Survei Mekanisme Pemben-

tukan Harga di Sektor Manufaktur dan Ritel). Selan-

jutnya, dari survei tersebut juga diperoleh informasi

bahwa perilaku asimetri perubahan harga tersebut

lebih banyak terjadi pada tingkat ritel dibandingkan

pada tingkat produsen. Hal itu sejalan dengan

perkembangan deflasi pada Agustus dimana deflasi

IHK jauh lebih kecil dibandingkan deflasi IHPB.

Grafik 4.5

Perkembangan Indeks Harga Komoditas Internasional

Sumber : Bank Dunia

Grafik 4.6

Ekspektasi Inflasi Menurut Produsen

Di lain pihak, perkembangan harga komo-

ditas internasional yang cenderung turun diper-

kirakan membawa pengaruh deflasi terhadap harga

barang impor. Seperti terlihat pada Grafik 4.5, indeks

harga komoditas internasional cenderung menurun

untuk komoditas kayu, kapas, wol, karet, pupuk,

serta logam dan material. Namun demikian, kuatnya

pengaruh depresiasi nilai tukar melebihi pengaruh

positif deflasi harga internasional sehingga secara

keseluruhan menimbulkan dampak inflasi terhadap

barang impor.

PENGARUH EKSPEKTASI INFLASI

Tingginya inflasi IHK tidak terlepas dari

pengaruh ekspektasi inflasi produsen dan pedagang,

serta konsumen. Di sisi produsen, ekspektasi inflasi

cenderung meningkat sepanjang 2001 sebagaimana

diketahui dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (Grafik

4.6). Ekspektasi inflasi yang tinggi terutama dipen-

garuhi oleh tingginya inflasi 2000 yang mencapai

9,35%. Berdasarkan Survei Mekanisme Pemben-

tukan Harga di Sektor Manufaktur dan Ritel 2001,

60

70

80

90

100

110

120

III IV I II III IV

Makanan: Beras & GandumBahan Baku: KayuBahan Baku: Kapas, Wol, Karet

PupukLogam & Mineral

2 0 0 0 2 0 0 1

2000

2001

I

II

III

IV

I

II

III

IV

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P e r s e n

36%

32%

28%

20%

18%

14%

15%

11%

21%

16%

18%

17%

17%

16%

8%

10%

6%

7%

7%

7%

6%

8%

5%

5%

6%

10%

7%

10%

5%

5%

7%

6%

5%

7%

11%

10%

7%

5%

6%

4%

5%

6%

5%

8%

7%

6%

9%

10%

21%

20%

24%

28%

40%

47%

50%

54%

< 5% 5% 6% 7% 8% 9% > 9%

I n f l a s i

82

diketahui bahwa dasar pembentukan ekspektasi

inflasi pada produsen dan pedagang ritel lebih

banyak bersumber dari perkembangan inflasi aktual

dan inflasi tahun sebelumnya (Grafik 4.7). Perilaku

pembentukan ekspektasi inflasi secara adaptif

tersebut sejalan dengan hasil penelitian Bank

Indonesia mengenai transmisi kebijakan moneter

melalui jalur ekspektasi inflasi.

Sementara itu, ekspektasi inflasi konsumen

juga mengalami peningkatan sebagaimana diketahui

dari Survei Konsumen (Grafik 4.8). Ekspektasi

konsumen pada umumnya dipengaruhi oleh

ekspektasi kenaikan harga barang-barang adminis-

tered dan ekspektasi depresiasi nilai tukar rupiah. Hal

itu terlihat dari pergerakan ekspektasi konsumen

terhadap peningkatan harga dalam 6-12 bulan

Grafik 4.7

Acuan dalam Pembentukan Ekspektasi

Inflasi Produsen (% Responden)

Grafik 4.8

Ekspektasi Konsumen Terhadap

Perkembangan Harga 6-12 Bulan ke Depan

(% Responden)

Grafik 4.10

Ekspektasi Konsumen Terhadap

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 6-12 Bulan ke Depan

(% Responden)

Grafik 4.9

Ekspektasi Konsumen Terhadap

Biaya Transportasi/Komunikasi 6-12 Bulan ke Depan

(% Responden)

Proyeksi inflasi

lembaga swasta

14%

Target inflasi

Bank Indonesia

31%

Perkembangan

Inflasi aktual

55%

Meningkat Sama seperti saat ini Menurun

Persen

Jan.

Feb.

Mar.

Apr.

Mei

Jun.

Jul.

Ags.

Sep.

Okt.

Nov.

Des.

84

87

91

95

93

95

96

58

64

88

92

91

14

11

9

4

5

4

3

16

15

7

5

8

1

1

1

26

20

5

2

1

2

2

2

2

0 20 40 60 80 100

Persen

Meningkat Sama seperti saat ini Menurun

80

81

87

90

88

94

88

60

65

85

90

91

20

18

12

10

11

5

12

34

31

13

9

9

6

4

1

0

2

1

0

1

1

0

0

1

Jan.

Feb.

Mar.

Apr.

Mei

Jun.

Jul.

Ags.

Sep.

Okt.

Nov.

Des.

0 20 40 60 80 100

Melemah Sama seperti saat ini Menguat

Persen

0

47

50

61

60

51

51

45

17

41

51

42

32

32

27

20

19

20

27

15

24

24

26

32

21

18

12

20

30

28

28

76

60

34

23

26

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Jan.

Feb.

Mar.

Apr.

Mei

Jun.

Jul.

Ags.

Sep.

Okt.

Nov.

Des.

2001

I n f l a s i

83

makanan. Keterbatasan penawaran bahan makanan

yang tidak dapat mengimbangi kondisi permintaan

yang sebenarnya masih rendah, berpengaruh

terhadap inflasi IHK mengingat bahan makanan

memiliki bobot yang besar dalam keranjang IHK.

Pertumbuhan permintaan agregat mengalami

penurunan baik dari sisi permintaan domestik, yang

terdiri dari konsumsi dan investasi, maupun per-

mintaan eksternal (Grafik 4.11). Dari sisi penawaran,

melemahnya permintaan domestik dan eksternal

tersebut sejalan dengan penurunan pertumbuhan

produk domestik bruto (PDB) pada sektor Pertanian,

sektor Bangunan, dan sektor Industri Pengolahan,

serta pertumbuhan indeks produksi industri. Semen-

tara itu penambahan kapasitas perekonomian me-

ngalami perlambatan sebagaimana tercermin dari

menurunnya pertumbuhan investasi.

Ditinjau dari ketersediaan kapasitas per-

ekonomian, kapasitas di sektor industri pengolahan

diperkirakan masih berlebih dibandingkan per-

mintaan terhadap barang-barang yang dihasilkan

sektor tersebut. Berdasarkan Survei Sektor Industri

Pengolahan, tingkat penggunaan kapasitas industri

pengolahan sepanjang 2001 menunjukkan kecen-

derungan yang relatif stabil pada kisaran yang masih

rendah yaitu 39%–51%. Tingkat penggunaan kapa-

sitas tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tingkat

tertinggi yang pernah terjadi pada 2000 yaitu se-

besar 68% (Grafik 4.12). Kapasitas terpakai yang

masih rendah tersebut didukung oleh hasil Survei

Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor Manu-

faktur dan Ritel Agustus 2001, yang menunjukkan

kapasitas produksi industri pengolahan yang masih

cukup dan cenderung berlebih dibandingkan per-

mintaan (Grafik 4.13).

mendatang yang sejalan dengan ekspektasi kon-

sumen terhadap kenaikan biaya transportasi dan

komunikasi 6-12 bulan ke depan (Grafik 4.9) dan

ekspektasi konsumen terhadap melemahnya nilai

tukar rupiah 6-12 bulan ke depan (Grafik 4.10).

PENGARUH KONDISI PERMINTAAN DAN PE-

NAWARAN

Pengaruh kondisi permintaan dan penawaran

terhadap inflasi IHK dapat ditinjau dari dua sektor

utama penghasil barang konsumsi dalam keranjang

IHK, yaitu sektor industri pengolahan dan sektor

pertanian. Di sektor industri pengolahan, tekanan

inflasi karena pengaruh kondisi permintaan dan pe-

nawaran diperkirakan masih rendah. Hal itu sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan

masih berlebihnya kapasitas produksi di sektor

tersebut. Di lain pihak, tekanan inflasi karena pe-

ngaruh kondisi permintaan dan penawaran terjadi di

sektor Pertanian. Namun, tekanan inflasi tersebut

bukan dipicu oleh meningkatnya permintaan melain-

kan karena menurunnya produksi tanaman bahan

Grafik 4.11

Pertumbuhan PDB

Sumber : BPS

2 0 0 0 2 0 0 1

0

5

10

15

20

25

Permintaan DomestikPermintaan EksternalInvestasi

Indeks Produksi Industri

Persen (y-o-y)

7,65,6

26,5

1,9

21,9

4,03,33,64,9

30

1,0

Produk Domestik Bruto

I n f l a s i

84

Secara sektoral, kapasitas terpakai di industri

makanan, minuman, dan tembakau, yang produk-

produknya merupakan penyumbang terbesar inflasi

2001, cenderung meningkat sepanjang 2001. Namun,

kapasitas terpakai di sektor tersebut pada akhir 2001

masih berada di bawah 40%, jauh lebih rendah

dibandingkan tingkat tertinggi yang pernah terjadi

pada 2000 yaitu sebesar 76% (Grafik 4.14). Hal ini

mengindikasikan bahwa pengaruh kondisi permintaan

dan penawaran belum memberikan tekanan yang

besar terhadap inflasi pada kelompok makanan jadi,

minuman, dan tembakau. Demikian pula halnya

dengan kapasitas terpakai industri penghasil barang

kelompok sandang yang meskipun cenderung

meningkat namun tidak jauh berbeda dibandingkan

tahun sebelumnya, yaitu di bawah 75% (Grafik 4.15).

Di sisi lain, kapasitas terpakai yang tinggi dan menga-

lami peningkatan yang besar terjadi pada industri

Grafik 4.13

Kecukupan Kapasitas Produksi Industri Pengolahan

(% Responden)

Grafik 4.12

Tingkat Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan

Grafik 4.14

Tingkat Kapasitas Terpakai Industri

Makanan, Minuman, dan Tembakau

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Persen

32,9

49,251,7

46,0

50,7 49,7

54,851,7

48,3

67,664,0

55,6

42,039,4

43,1 42,9 41,444,5

40,7

45,241,7

51,4

1

2000

3 5 7 9 11 1

2001

3 5 7 9

48,2

110

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Persen

2000 2001

29,6

51,7 52,0

41,543,8 45,4

54,8

44,541,6

75,6

65,9 67,3

40,9

23,127,2

29,6

24,1

30,427,1

29,732,0

38,5

1 3 5 7 9 111 3 5 7 9

36,8

11

Sangat berlebih4%

Berlebih14%

Secara umum berlebih,tetapi pada saat tertentu

kurang18%

Cukup55%

Kurang9%

Grafik 4.15

Tingkat Kapasitas Terpakai Industri

Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit

100

Persen

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

2000 2001

43,8

62,7 63,8

57,361,3 61,2

70,568,3

59,2

66,7

72,7

64,861,6

54,2

60,856,4

59,9 60,7

71,2

64,4 64,4

71,8

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11

I n f l a s i

85

Grafik 4.17

Kendala Memanfaatkan

Kapasitas Menganggur Industri Pengolahan

(% Responden)

barang galian bukan logam yang terutama mengha-

silkan bahan-bahan bangunan yang tergabung dalam

subkelompok biaya tempat tinggal pada keranjang

IHK (Grafik 4.16). Kondisi ini diperkirakan mem-

pengaruhi kenaikan harga bahan bangunan. Meski-

pun demikian, tingginya sumbangan inflasi oleh sub-

kelompok biaya tempat tinggal pada umumnya lebih

banyak bersumber dari kenaikan sewa dan kontrak

rumah serta upah tukang dibandingkan dari kenaikan

harga bahan bangunan.

Tingkat kapasitas terpakai industri pengo-

lahan yang masih rendah secara total seharusnya

tidak menimbulkan tekanan terhadap inflasi IHK.

Namun demikian, adanya kendala pembiayaan modal

kerja untuk mendayagunakan kapasitas menganggur

dapat menjadi penyebab timbulnya tekanan harga.

Berdasarkan Survei Mekanisme Pembentukan Harga

diketahui bahwa salah satu kendala yang dihadapi

perusahaan manufaktur dalam memanfaatkan kapa-

sitas yang menganggur adalah faktor pembiayaan

modal kerja (33% dari total responden). Namun,

secara keseluruhan masalah utama yang dihadapi

dalam mengaktifkan kapasitas menganggur justru

karena permintaan yang masih rendah (51% dari total

responden), di samping adanya faktor teknis produksi

(Grafik 4.17). Kondisi tersebut menggambarkan

bahwa meskipun pemanfaatan kapasitas industri

pengolahan menghadapi kendala, hal tersebut belum

menimbulkan sumber tekanan inflasi yang berarti

mengingat permintaan yang masih lemah selama

2001. Namun demikian, jika kendala pembiayaan

produksi industri tersebut tidak teratasi dalam kondisi

permintaan yang meningkat, hal tersebut dapat

menjadi sumber potensi tekanan inflasi pada periode

mendatang.

Tekanan harga sebagai akibat ketidak-

seimbangan antara permintaan dan penawaran

diperkirakan terjadi pada sektor produksi bahan

makanan. Meskipun pengeluaran konsumsi rumah

tangga mengalami peningkatan dari 1,8% pada 2000

menjadi 2,3% pada 2001, namun pengeluaran

konsumsi tersebut masih rendah. Sebaliknya, PDB

yang dihasilkan subsektor pertanian tanaman bahan

makanan mengalami kontraksi sebesar 1,1% pada

Grafik 4.16

Tingkat Kapasitas Terpakai Industri

Barang Galian Bukan Logam

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Persen

1

2000

3 5 7 9 11 1

2001

3 5 7 9 11

53,6

62,7

72,7 71,4

83,0

77,681,9 83,4

47,7

68,6

54,1

47,943,6

56,2

50,653,1

79,8

86,584,0

75,5

81,6

92,196,3

Permintaan rendah51%

Pembiayaan33%

Teknis16%

I n f l a s i

86

Grafik 4.19

Faktor Pendorong Kenaikan Harga

menjelang Hari Raya

2001 (Grafik 4.18). Ketidakseimbangan antara per-

mintaan dan penawaran yang lebih disebabkan oleh

keterbatasan produksi bahan makanan tersebut, turut

menyebabkan tingginya inflasi pada kelompok bahan

makanan, khususnya subkelompok padi-padian,

umbi-umbian dan hasilnya.

Di sisi lain, tekanan permintaan yang bersifat

musiman menjelang hari raya Idul Fitri, Natal, dan

Tahun Baru berpengaruh besar terhadap tingginya

inflasi. Hal tersebut terlihat dari tingginya inflasi IHK

(m-t-m) pada November saat nilai tukar rupiah stabil

pada level rata-rata Rp10.560 per dolar AS, semen-

tara tidak terjadi kelangkaan pasokan barang selama

kurun waktu tersebut. Mengacu pada hasil Survei

Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor Manu-

faktur dan Ritel, inflasi yang tinggi menjelang hari raya

Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru lebih dipicu oleh

meningkatnya permintaan daripada faktor keterba-

tasan atau gangguan pasokan barang. Di samping

itu, tingginya inflasi pada periode tersebut juga

dipengaruhi oleh perilaku konsumsi masyarakat

secara umum yang cenderung menjadi kurang sensitif

terhadap kenaikan harga (Grafik 4.19). Survei ter-

sebut juga menunjukkan bahwa langkah menaikkan

harga dengan memanfaatkan momentum pening-

katan permintaan menjelang hari raya keagamaan

itu lebih banyak dilakukan oleh pedagang daripada

produsen industri pengolahan.

Grafik 4.18

Permintaan dan Penawaran

Barang Kelompok Makanan

Sumber : BPS

Persen

0,9

-1,1

1,82,3

4,00

12,03

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

PDB Sub Sektor Pertanian Tanaman Bahan Makanan

Konsumsi Makanan oleh Sektor Rumah Tangga

Inflasi IHK Kelompok Bahan Makanan

2000 2001

16

20

27

37

Pasokan kurang

Pesaing meningkatkanharga

Walaupun harga naikproduk tetap terjual

Tingginya permintaan

Persen

0 5 10 15 20 25 30 35 40

I n f l a s i

87

Sebagaimana diamanatkan oleh UU No.23

tahun 1999, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai

dan mempertahankan kestabilan nilai rupiah. Dalam

pelaksanaannya, Bank Indonesia bertanggung jawab

mengendalikan inflasi agar berada pada tingkat yang

cukup rendah dan stabil. Upaya pengendalian inflasi

memerlukan perkiraan inflasi dan perkiraan dampak

kebijakan moneter dalam mempengaruhi perubahan

harga. Untuk dapat memperkirakan inflasi secara aku-

rat, menetapkan target inflasi yang realistis, dan me-

nentukan respon kebijakan yang tepat, Bank Indo-

nesia perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi pembentukan harga, serta memper-

hitungkan kemampuan kebijakan moneter dalam

mengendalikan inflasi. Kebijakan penetapan harga

yang dilakukan oleh produsen dan pedagang ter-

utama dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, besarnya

perubahan biaya, serta besarnya perubahan permin-

taan dan penawaran. Namun demikian, pembentukan

harga dapat terjadi secara asimetris dalam hal terjadi

kenaikan atau penurunan biaya dan permintaan.

Sementara itu, kemampuan kebijakan moneter dalam

mengendalikan inflasi dipengaruhi oleh jalur dan lama

transmisi kebijakan moneter ke inflasi serta perilaku

pembentukan harga.

Dengan latar belakang tersebut, Bank Indo-

nesia perlu memperoleh gambaran mengenai perilaku

pembentukan harga barang-barang konsumsi yang

terdapat dalam keranjang IHK dengan melakukan

survei terhadap produsen barang-barang manufaktur

dan pedagang ritel yang berlangsung pada Juli hingga

September 2001. Responden survei ditentukan

dengan menggunakan metode Purposive Sample,1

yang terdiri atas 200 perusahaan di sektor manufaktur

yang memproduksi barang-barang konsumsi yang

terdapat pada keranjang IHK dan 220 unit usaha

sektor ritel yang merupakan responden Survei Pen-

jualan Eceran Bank Indonesia.

Hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa

kenaikan IHK pada saat ini lebih banyak bersumber

dari tekanan biaya (cost-push inflation) daripada

tekanan permintaan (demand-pull inflation). Tekanan

dari sisi biaya terutama berasal dari depresiasi nilai

tukar rupiah disamping pengaruh kebijakan peme-

rintah menaikkan bea masuk bahan baku dan

peralatan produksi, harga BBM, tarif listrik serta upah

minimum buruh.

Ditinjau dari pengaruh perubahan biaya, hasil

survei mengindikasikan bahwa produsen dan penjual

cenderung lebih responsif terhadap tekanan kenaikan

biaya daripada penurunan biaya. Perilaku tersebut

menyebabkan harga cenderung mudah meningkat

jika terjadi kenaikan biaya namun cenderung sulit

turun apabila terjadi penurunan biaya. Karakteristik

harga tersebut antara lain tercermin dari tingkat harga

pada sektor ritel yang rata-rata hanya mampu ber-

1 Purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel

dengan memilih responden berdasarkan tujuan tertentu.

Survei Mekanisme Pembentukan Harga

Di Sektor Manufaktur dan Ritel

b o k s

I n f l a s i

87

I n f l a s i

88

tahan selama 2,9 bulan selama kurun waktu satu

tahun terakhir sebelum survei berlangsung. Perilaku

harga yang cenderung mudah meningkat tersebut

lebih terasa pada sektor ritel dibandingkan pada

sektor manufaktur. Pada sektor manufaktur, secara

rata-rata tingkat harga mampu bertahan selama 4,6

bulan selama kurun waktu yang sama. Periode

bertahannya harga tersebut jauh lebih singkat

dibandingkan yang terjadi di beberapa negara maju

yang berdasarkan survei berkisar 6 hingga 15 bulan.

Perilaku harga yang cenderung mudah

mengalami peningkatan juga tercermin dari waktu

yang cukup singkat antara saat terjadinya peruba-

han biaya hingga berlakunya perubahan harga,

yaitu selama empat minggu pada sektor manufaktur

dan kurang dari satu minggu pada sektor ritel. Hal

tersebut juga mengindikasikan bahwa pengaruh

perubahan nilai tukar ke inflasi melalui harga barang

konsumsi impor terjadi dalam waktu kurang dari satu

minggu dan dampaknya melalui biaya bahan baku

impor berlangsung sekitar lima minggu. Disamping

itu, kecepatan merespon perubahan biaya tersebut

secara tidak langsung juga mengindikasikan bahwa

kenaikan biaya sebagai akibat dari kenaikan harga

BBM dan tarif listrik, dapat menimbulkan kenaikan

harga-harga barang konsumsi hingga satu bulan

sejak kenaikan harga barang administered

tersebut.

Sementara itu, ditinjau dari pengaruh

ekspektasi inflasi, perilaku pembentukan dan peru-

bahan harga pada produsen manufaktur dan peda-

gang ritel lebih banyak bersumber dari perkembangan

inflasi yang telah terjadi (55% responden) daripada

berdasarkan target inflasi Bank Indonesia (31%

responden) atau proyeksi inflasi yang dikeluarkan oleh

lembaga-lembaga swasta (14% responden). Hasil ini

mengindikasikan perilaku ekpektasi inflasi pada

produsen dan pedagang yang lebih bersifat adaptif.

Di sisi lain, baik produsen manufaktur dan

pedagang ritel belum melihat tekanan perubahan

permintaan sebagai faktor utama yang mendorong

kenaikan atau penurunan harga sepanjang tahun,

kecuali pada periode tertentu yaitu menjelang hari

raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada umumnya,

peningkatan permintaan terhadap produk atau barang

dagangan direspon oleh perusahaan manufaktur dan

ritel dengan meningkatkan produksi dan persediaan

barang dagangan. Hanya sebagian kecil perusahaan

yang meresponnya dengan menaikkan harga.

Demikian pula sebaliknya, jika terjadi penurunan per-

mintaan, perusahaan cenderung meresponnya de-

ngan menurunkan produksi atau mengurangi pasokan

barang dagangan. Hasil survei tersebut menunjukkan

bahwa perubahan pemintaan, baik peningkatan

maupun penurunan, lebih berpengaruh pada peru-

bahan tingkat produksi daripada terhadap perubahan

harga. Dengan kata lain, ditinjau dari pengaruh

perubahan permintaan, tingkat harga cenderung tidak

mudah turun jika terjadi penurunan permintaan dan

juga cenderung tidak mudah naik apabila terjadi

kenaikan permintaan.

Perilaku perubahan harga dalam merespon

perubahan permintaan tersebut mengindikasikan

masih cukup tersedianya kapasitas produksi untuk

memenuhi peningkatan permintaan di tengah kondisi

permintaan yang masih lemah. Sebagian besar

responden manufaktur menilai tingkat penggunaan

kapasitas produksi berkisar antara 61%-80% dengan

rata-rata 65,8%. Tingkat penggunaan kapasitas pro-

duksi tersebut dinilai oleh sebagian besar responden

I n f l a s i

88

I n f l a s i

89

(54%) mencukupi untuk memenuhi permintaan.

Sementara itu 18% responden menilai kapasitas yang

ada secara umum berlebih atau sangat berlebih, dan

19% responden menilai kapasitas secara umum

berlebih namun terjadi kekurangan kapasitas pada

saat-saat tertentu. Selebihnya, hanya 9% responden

menyatakan kekurangan kapasitas.

Khusus pada masa-masa menjelang hari

raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, perilaku pem-

bentukan harga sangat dipengaruhi oleh mening-

katnya permintaan dan berkurangnya elastisitas

harga terhadap permintaan. Kondisi tersebut cende-

rung dimanfaatkan terutama oleh pedagang untuk

menaikkan harga meskipun pada umumnya tidak

terjadi kendala pasokan barang. Survei mencatat

sebanyak 74% responden pedagang ritel dan 43%

responden produsen manufaktur yang memanfaatkan

kesempatan tersebut.

Karakteristik harga yang lebih banyak

dipengaruhi faktor biaya daripada permintaan, bersifat

cenderung tidak mudah turun, cenderung mudah naik

karena tekanan biaya, namun cenderung tidak mudah

naik karena tekanan permintaan, membawa implikasi

tertentu pada kebijakan penetapan sasaran inflasi dan

kebijakan moneter Bank Indonesia. Selama nilai tukar

rupiah masih menghadapi tekanan dan berbagai

kebijakan pemerintah menaikkan harga barang ad-

ministered masih terus berlangsung, Bank Indonesia

tidak dapat menetapkan sasaran inflasi yang terlalu

rendah dengan jangka waktu pencapaian yang terlalu

singkat. Sebaliknya, Bank Indonesia perlu mene-

tapkan sasaran inflasi yang lebih realistis untuk

dicapai sesuai dengan kemampuan kebijakan mone-

ter. Dengan mempertimbangkan perilaku pemben-

tukan harga, kondisi permintaan saat ini yang masih

lemah, dan penetapan sasaran inflasi yang realistis,

maka kebijakan moneter yang lebih ketat dari kondisi

di akhir 2001 diperkirakan belum dapat secara efektif

mengurangi tekanan inflasi. Sebaliknya, kebijakan

moneter perlu diarahkan kepada upaya memberikan

ruang bagi penurunan suku bunga sehingga mem-

berikan sinyal kepada perbankan dan pelaku usaha

sektor riil untuk meningkatkan aktivitas perekonomian.

Namun demikian, arah kebijakan moneter tersebut

harus didukung oleh upaya pemulihan fungsi perban-

kan sebagai lembaga intermediasi keuangan.

I n f l a s i

89

Moneter

90

bab 5 MONETER

Moneter

91

b a b 5

MONETER

Di awal 2001, dalam situasi yang lebih optimis

terhadap terus berlanjutnya proses pemulihan

ekonomi, Bank Indonesia memandang bahwa inflasi

yang relatif tinggi pada tahun sebelumnya perlu

diarahkan kepada tingkat yang lebih rendah, sebagai

prasyarat bagi upaya untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka

panjang. Berkaitan dengan itu, sasaran inflasi di luar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan ditetapkan sebesar 4,0%–6,0%. Untuk

mencapai sasaran inflasi tersebut, dengan asumsi

pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5%–5,5% dan nilai

tukar berkisar antara Rp7.750–Rp8.250 per dolar AS,

Bank Indonesia menetapkan sasaran pertumbuhan

uang primer sebesar 11,0%–12,0% pada akhir 2001,

yang lebih rendah dari pertumbuhan akhir tahun

sebelumnya yang mencapai 22,3%.

Sasaran kebijakan moneter yang cenderung

ketat ini ditempuh dengan tetap berupaya menjaga

agar perkembangan uang primer sepanjang tahun

2001 dapat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.

Guna mencapai sasaran uang primer tersebut, Bank

Indonesia selalu berusaha untuk menyerap kelebihan

likuiditas di sektor perbankan yang berpotensi

memberikan tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi.

Kebijakan ini ditempuh terutama melalui Operasi

Pasar Terbuka (OPT) dengan instrumen Sertifikat

Bank Indonesia (SBI) dan intervensi rupiah. Upaya

pengendalian uang primer tersebut juga didukung

oleh kebijakan sterilisasi di pasar valuta asing yang

diarahkan untuk menyerap ekspansi uang primer

yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam

rupiah yang dibiayai dari penerimaan luar negeri.

Langkah ini dimaksudkan agar upaya pencapaian

sasaran uang primer tersebut tidak menimbulkan

dampak kenaikan suku bunga yang berlebihan.

Kebijakan sterilisasi valuta asing ini sekaligus dituju-

kan untuk menambah pasokan valuta asing guna

mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai

tukar rupiah.

Dalam pelaksanaannya, upaya pengen-

dalian moneter tersebut mulai menghadapi beberapa

kendala yang mengakibatkan pengendalian uang

primer tidak dapat dilaksanakan secara optimal ter-

utama sejak Mei 2001. Hal ini diindikasikan oleh lebih

seringnya test date1 uang primer berada di atas

sasaran indikatif yang ditetapkan,2 terutama

didorong oleh terus meningkatnya permintaan uang

kartal di masyarakat sebagai komponen utama uang

primer. Peningkatan uang kartal tersebut terkait

dengan meningkatnya secara signifikan peranan

sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dan sektor

informal yang pada umumnya masih banyak

menggunakan uang kartal. Di samping itu, mema-

nasnya kondisi sosial dan politik mendorong masya-

rakat menyimpan uang kartal di atas kebutuhan

1 Test date uang primer dihitung dari rata-rata posisi tanggal 16 bulan

tersebut hingga tanggal 15 bulan berikutnya.

2 Sasaran uang primer disusun berdasarkan asumsi inflasi, PDB, suku

bunga deposito dan nilai tukar dan ditetapkan dalam Letter of Intent

(LoI).

Moneter

92

normalnya untuk tujuan berjaga-jaga hingga per-

tengahan 2001. Posisi uang kartal tersebut menjadi

semakin tinggi seiring dengan naiknya kebutuhan

transaksi akibat meningkatnya harga yang dipicu oleh

kebijakan pemerintah di bidang harga dan penda-

patan pada Juni 2001. Dalam kondisi yang demikian,

permintaan uang primer menjadi kurang responsif

terhadap perubahan suku bunga. Hal ini menga-

kibatkan upaya untuk menyerap uang primer memer-

lukan peningkatan suku bunga.

Upaya pengendalian moneter tersebut se-

makin dipersulit oleh fungsi intermediasi perbankan

yang belum sepenuhnya pulih, sehingga menye-

babkan jumlah ekses likuiditas perbankan yang harus

diserap oleh Bank Indonesia menjadi semakin besar.

Di samping itu, belum pulihnya fungsi intermediasi

tersebut juga menyebabkan proses transmisi kebi-

jakan moneter menjadi kurang berjalan dengan baik

sebagaimana tercermin dari kurang diresponnya

kenaikan suku bunga SBI oleh kenaikan suku bunga

deposito.

Tingginya permintaan uang kartal dan

kurang efektifnya transmisi kebijakan moneter akibat

masih belum pulihnya intermediasi perbankan

menyebabkan penyerapan uang primer menjadi sulit

dilakukan. Meskipun berbagai langkah penyerapan

likuiditas telah dilakukan, baik melalui lelang SBI,

kenaikan suku bunga intervensi rupiah, maupun

sterilisasi valuta asing, perkembangan uang primer

lebih banyak berada di luar sasaran yang telah

ditetapkan. Dalam kondisi demikian, upaya kenaikan

suku bunga SBI untuk menyerap uang primer dinilai

tidak terlampau efektif. Menyikapi kondisi tersebut,

dalam perkembangannya terutama sejak akhir

triwulan ketiga 2001, Bank Indonesia cenderung

berusaha menyerap kelebihan likuiditas di sektor

perbankan yang diupayakan tanpa menimbulkan

peningkatan suku bunga SBI yang berlebihan.

Selanjutnya, kelebihan likuiditas yang tidak berhasil

diserap melalui lelang SBI telah diupayakan untuk

diserap melalui intervensi rupiah.

Pada awal pelaksanaan kebijakan moneter,

posisi uang primer yang sempat meningkat tinggi

pada akhir 2000 berhasil dikendalikan hingga kembali

ke dalam sasaran indikatifnya sampai dengan April

2001. Namun demikian, akibat munculnya berbagai

kendala seperti disebutkan di atas, test date uang

primer mulai meningkat tinggi dan terus bergerak di

atas sasaran indikatifnya sejak Mei 2001. Hingga

Desember 2001, uang primer telah mengalami per-

tumbuhan sebesar 15,4%3 atau rata-rata telah

tumbuh sebesar 18,2% selama 2001. Pertumbuhan

uang primer di akhir Desember tersebut lebih tinggi

dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan di

awal tahun sebesar 11,0%–12,0%.

Upaya pengendalian uang primer yang

dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut mendorong

peningkatan suku bunga SBI. Selama 2001, suku

bunga SBI 1 bulan meningkat sebesar 309 basis point

(bp) hingga menjadi 17,62% dan SBI 3 bulan mening-

kat sebesar 332 bp menjadi 17,63%. Sementara itu,

guna mendorong agar suku bunga deposito dapat

meningkat seiring dengan perkembangan suku bunga

SBI, Bank Indonesia meningkatkan marjin suku bunga

penjaminan deposito. Peningkatan ini dilakukan 2 kali,

yaitu pada Januari dan Agustus 2001 masing-masing

sebesar 100 bp hingga mencapai marjin 400 bp di

3 Pertumbuhan dihitung berdasarkan posisi test date uang primer

Desember 2000 yang telah dibebaskan dari pengaruh musiman

lebaran yang selalu bergeser setiap tahunnya.

Moneter

93

atas suku bunga deposito bank anggota JIBOR.4

Kebijakan ini berhasil mendorong peningkatan rata-

rata tertimbang suku bunga deposito nominal. Secara

riil, suku bunga deposito tersebut juga meningkat,

namun masih jauh di bawah tingkatnya pada masa

sebelum krisis, apalagi jika dipertimbangkan relatif

lebih tingginya premi risiko pada saat ini.

Sejalan dengan peningkatan suku bunga

deposito, simpanan deposito juga meningkat

dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pening-

katan jenis simpanan ini ditengarai juga terkait de-

ngan adanya perpindahan dana dari jenis penanaman

lain yang lebih bersifat jangka pendek seperti

tabungan dan giro. Perkembangan tersebut

menyebabkan pertumbuhan uang beredar dalam arti

luas (M2) pada akhir tahun lebih besar dibandingkan

dengan uang beredar dalam arti sempit (M1).

UANG PRIMER

Secara umum, pengendalian uang primer selama

tahun laporan menghadapi berbagai tantangan yang

cukup berat sehingga mengakibatkan posisi test date

uang primer lebih banyak berada di luar sasaran

indikatif yang ditetapkan. Dalam empat bulan pertama

tahun laporan, test date uang primer masih berada

dalam sasaran indikatifnya bahkan sempat mencapai

posisi terendahnya sebesar Rp101,9 triliun pada

Februari. Dalam perkembangannya, sejak Mei 2001

uang primer terus mengalami peningkatan hingga

berada di atas sasaran indikatifnya, kecuali pada

November (Grafik 5.1). Posisi test date uang primer

tersebut mencapai posisi tertingginya sebesar

Rp124,7 triliun pada Desember, atau lebih besar

dibandingkan dengan sasaran indikatifnya sebesar

Rp122,9 triliun. Secara rata-rata, pertumbuhan tahu-

nan uang primer telah mencapai 18,2% selama 2001,

sedikit lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata

pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 18,6%.

Pada akhir 2001, posisi uang primer telah

mencapai Rp127,8 triliun, atau meningkat sebesar

Rp2,2 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya

sebesar Rp125,6 triliun. Uang primer tersebut sempat

mencapai posisi tertinggi sebesar Rp134,1 triliun pada

saat menjelang lebaran, namun kemudian turun

setelah berakhirnya periode lebaran. Peningkatan ini

terutama didorong oleh kenaikan komponen uang

kartal yang selama 2001 telah mengalami

pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 20,1%, lebih

besar dibandingkan rata-rata pertumbuhan uang

primer pada periode yang sama (Grafik 5.2). Se-

mentara itu, faktor lainnya seperti saldo positif bank

dan simpanan swasta domestik relatif tidak

mengalami perubahan dalam tahun laporan. Relatif

stabilnya saldo positif sebagai akibat rendahnya ex-

cess reserves perbankan, mengindikasikan bahwa

Grafik 5.1

Uang Primer : Aktual dan Sasaran

4 Marjin suku bunga pinjaman dari 200 bp menjadi 300 bp sesuai

dengan SE No. 3/1/DPNP tanggal 5 Januari 2001, dan naik dari

300 bp menjadi 400 bp sesuai SE No. 3/19/DPNP tanggal 14

Agustus 2001.

80

90

100

110

120

130

Triliun Rp

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2000 2001

Aktual

Sasaran indikatif

Moneter

94

upaya penyerapan likuiditas perbankan telah

dilaksanakan secara optimal.

Selama 2001, uang kartal meningkat

sebesar Rp4,1 triliun hingga mencapai posisi Rp76,5

triliun dari posisi tahun sebelumnya sebesar Rp72,4

triliun (Tabel 5.1). Uang kartal ini, sempat mencapai

posisi tertinggi sebesar Rp85,8 triliun pada saat

menjelang perayaan hari lebaran. Peningkatan ini

lebih bersifat musiman mengingat kebutuhan

masyarakat akan uang kartal pada setiap lebaran

akan meningkat, meskipun kemudian turun kembali

setelah berakhirnya perayaan tersebut.

Tingginya peningkatan uang kartal tersebut

tidak terlepas dari meningkatnya secara cukup

signifikan kegiatan usaha sektor Usaha Kecil dan

Menengah (UKM) serta sektor informal yang cen-

derung menggunakan uang kartal dalam melakukan

transaksinya. Peningkatan uang kartal tersebut juga

terkait dengan memanasnya kondisi sosial politik di

Indonesia hingga pertengahan 2001 yang telah

mendorong kebutuhan uang kartal untuk berjaga-

jaga bergerak naik. Permintaan uang kartal tersebut

menjadi semakin meningkat, seiring dengan mening-

katnya kebutuhan uang untuk transaksi sehubungan

dengan meningkatnya harga-harga barang yang

dipicu oleh kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan pada akhir Juni 2001. Kondisi ini terlihat

dari berubahnya pola perilaku uang kartal yang me-

ningkat lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya

sejak bulan Juli 2001(Grafik 5.3).

Kenaikan uang kartal yang disebabkan oleh

meningkatnya harga dan kebutuhan berjaga-jaga

tersebut juga didukung oleh hasil survei “Motif Masya-

rakat dalam Memegang Uang Kartal” yang dilakukan

di 5 kota besar di Indonesia (Grafik 5.4). Berdasarkan

hasil survei tersebut diketahui bahwa motif utama

yang mendorong masyarakat meningkatkan

permintaan terhadap uang kartal adalah akibat

meningkatnya kebutuhan transaksi sehubungan

dengan naiknya harga-harga barang kebutuhan

pokok (21,6%). Adapun motif kedua tertinggi adalah

akibat meningkatnya jenis barang dan jasa yang ingin

2001

Rincian 2000 I II III IV

Triliun Rupiah

Uang Primer 125,6 103,3 110,6 115,2 127,8 2,2Uang Kertas dan Logam

Yang Diedarkan 89,7 69,9 76,9 80,8 91,3 1,6– di masyarakat 72,4 60,1 66,2 69,0 76,5 4,1– di perbankan 17,3 9,8 10,7 11,8 14,8 –2,5Giro Bank pada Bank Indonesia 33,9 30,9 30,9 31,6 34,8 0,9Giro Sektor Swasta 2,0 2,4 2,9 2,8 1,7 –0,3

Faktor-faktor Yang Mempenga-ruhi Uang Primer 125,6 103,3 110,6 115,2 127,8 2,2Cadangan Devisa Bersih (NIR) 124,5 124,3 128,0 127,8 128,1 3,6Aktiva Domestik Bersih (NDA) 1,1 –21,0 –17,4 –12,6 –0,3 –1,4– Tagihan Bersih pada

Pemerintah 133,7 134,4 125,6 135,5 160,8 27,0– Bantuan Likuiditas 37,3 36,7 37,1 37,1 37,1 –0,2– Kredit Likuiditas 15,9 15,6 15,3 15,2 15,1 –0,8– Tagihan Lainnya 1,5 1,3 1,7 1,9 1,9 0,3– Operasi pasar uang –78,9 –90,0 –85,6 –86,0 –102,6 –23,7– Lainnya Bersih (NOI) –108,4 –119,2 –111,5 –116,2 –112,4 –4,0

Tabel 5.1

Uang Primer 2001

Peru–bahan

Tahunan

Grafik 5.2

Pertumbuhan Uang Kartal dan Uang Primer

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

Pertumbuhan Uang Primer

Pertumbuhan Currency Outside Bank

Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

1998 1999 2000 2001

Persen

Moneter

95

dibeli (20,9%) sebagai cerminan masih meningkatnya

pendapatan riil masyarakat, dan motif berjaga-jaga

(13,4%) seiring dengan kurang kondusifnya situasi

politik dan keamanan di dalam negeri. Sementara

faktor lain seperti melemahnya nilai tukar, faktor suku

bunga simpanan, meningkatnya denominasi uang

kartal, dan tujuan untuk spekulasi masih relatif rendah

mempengaruhi masyarakat dalam memegang uang

kartal (hanya 12,2%).

Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya,

peningkatan uang primer tersebut terutama

disebabkan oleh lebih besarnya ekspansi rupiah

rekening pemerintah dibandingkan dengan pengaruh

kontraksi OPT dan sterilisasi valuta asing. Net

ekspansi rupiah rekening pemerintah yang mencapai

Rp41,1 triliun terutama ditujukan untuk pembayaran

gaji, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil

(DBH) sebesar Rp81,3 triliun, kupon obligasi Rp58,2

triliun, subsidi Rp32,6 triliun, dan pembiayaan proyek

Rp27,4 triliun. Pengeluaran rupiah pemerintah ini lebih

besar dibandingkan dengan penerimaannya yang

terutama bersumber dari penerimaan pajak Rp127,5

triliun dan penjualan aset dan privatisasi Rp31,4 triliun.

Grafik 5.4

Hasil Survei Motif Penyimpanan Uang Kartal

Sebagian ekspansi rekening rupiah tersebut juga

dibiayai oleh penerimaan valuta asing pemerintah dan

pengambilan simpanan pemerintah di Bank

Indonesia. Penerimaan valuta asing pemerintah

tersebut terutama bersumber dari penerimaan migas

yang mencapai Rp62,4 triliun, lebih besar diban-

dingkan dengan net pembayaran utang luar negeri

pemerintah Rp37,4 triliun.

Sementara itu, net kontraksi dari OPT

sebesar Rp23,7 triliun selama 2001 terutama berasal

dari intervensi rupiah sebesar Rp28,0 triliun

khususnya pada Desember, berkaitan dengan

meningkatnya sikap berjaga-jaga bank terhadap

penarikan dana masyarakat menjelang lebaran dan

akhir tahun. Adapun SBI lelang pada periode yang

sama justru memberikan pengaruh ekspansi sebesar

Rp4,3 triliun.

Sejalan dengan perkembangan komponen-

nya yang cenderung ekspansif tersebut, Aktiva

Domestik Bersih (Net Domestic Assets/NDA) selama

2001 menunjukkan kecenderungan yang terus

meningkat, hingga sempat mencatat nilai positif dan

bergerak di atas sasaran indikatifnya selama periode

Pecahan uang yangsemakin besar

0 5 10 15 20 25 30 35

Melemahnya nilai tukarrupiah

Spekulasi

Suku bunga simpanankurang menarik

Untuk berjaga-jaga

Meningkatnya jenis barang/jasa kebutuhan yangdikonsumsi

Meningkatnya harga-hargabarang

Persen

Perusahaan

Rumah Tangga

Total

Grafik 5.3

Perilaku Musiman Uang Kartal

55.000

60.000

65.000

70.000

75.000

80.000

85.000

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Pola Perilaku Uang Kartal

Aktual

2 0 0 1

Miliar Rp

Moneter

96

lebaran. Setelah berakhirnya periode lebaran, secara

perlahan NDA turun hingga mencapai posisi test date

negatif Rp2,7 triliun pada akhir tahun, lebih rendah

dibandingkan sasaran indikatifnya sebesar Rp5,3

triliun (Grafik 5.5). Sementara itu, posisi Cadangan

Devisa Bersih (Net International Reserves /NIR)

meningkat sebesar $0,5 miliar hingga mencapai

posisi $18,3 miliar atau setara dengan Rp128,1

triliun5 pada akhir 2001. Peningkatan NIR tersebut

terutama berasal dari penerimaan migas sebesar

$5,3 miliar, serta pinjaman luar negeri dan hasil

pengelolaan devisa $4,2 miliar. Penerimaan valuta

asing tersebut lebih besar dibandingkan dengan

pengeluarannya yang terutama digunakan untuk

pembayaran utang luar negeri dan sterilisasi valuta

asing sebesar $9,6 miliar. Walaupun telah dilakukan

penyesuaian sasaran floor NIR lebih tinggi sebesar

$1,9 miliar menjadi $17,6 miliar pada September,

posisi NIR selama 2001 masih tetap berada di atas

sasaran indikatifnya (Grafik 5.6).

OPERASI PASAR TERBUKA (OPT)

Sebagaimana telah dikemukakan sebelum-

nya, upaya pengendalian uang primer selama 2001

masih bertumpu pada OPT terutama melalui lelang

SBI yang dibantu dengan intervensi rupiah. Guna

memberikan dukungan yang lebih kuat pada upaya

pengendalian uang primer, suku bunga intervensi

rupiah dinaikkan sebanyak 8 kali selama 2001

sebesar 425 bp dari 10,8% pada 2000 menjadi

15,13%. Secara keseluruhan, posisi OPT menun-

jukkan peningkatan, yaitu dari Rp78,9 triliun pada

akhir 2000 menjadi Rp102,6 triliun. Peningkatan

tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya

posisi intervensi rupiah sebesar Rp28,1 triliun menjadi

Rp46,9 triliun pada periode yang sama. Sementara

itu, posisi SBI justru mengalami penurunan sebesar

Rp4,3 triliun menjadi Rp55,7 triliun.

Selama tahun laporan, secara umum pe-

laksanaan OPT telah dapat menyerap kelebihan

likuiditas perbankan sebagaimana tercermin pada

relatif kecilnya excess reserve perbankan. Upaya

penyerapan excess reserve perbankan tersebut

terutama dilakukan melalui lelang SBI, sementara

Grafik 5.5

Net Domestic Assets

Grafik 5.6

Net International Reserves

5 Konversi NIR dari dolar ke rupiah di dalam faktor uang primer

dihitung dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh IMF sebesar

Rp7000.

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

Triliun Rp

Aktual

Sasaran indikatif

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2000 2001

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2 0 0 0

12

13

14

15

16

17

18

19

Miliar $

Aktual

Sasaran indikatif

2 0 0 1

Moneter

97

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

(15.000)

(10.000)

(5.000)

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

SBI Jatuh tempo (aksis kiri)

SBI Hasil lelang (aksis kiri)

Intervensi Rp (aksis kanan)

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2 0 0 1

Miliar Rp Miliar Rp

intervensi rupiah hanya berfungsi sebagai fine tuning.

Namun demikian, seiring dengan upaya Bank

Indonesia untuk tidak mendorong terjadinya

perubahan suku bunga, sejak September upaya

penyerapan uang primer tersebut lebih banyak

dilakukan melalui intervensi rupiah. Hal ini tercermin

dari lebih rendahnya jumlah SBI yang berhasil diserap

dibandingkan dengan jumlah yang jatuh tempo dan

meningkatnya posisi intervensi rupiah sejak bulan

tersebut (Grafik 5.7).

Berdasarkan kepemilikannya, pada akhir

2001 kelompok bank swasta nasional masih men-

dominasi kepemilikan SBI dengan pangsa 44,6%,

disusul oleh kelompok bank pemerintah 20,5%, ke-

lompok bank asing dan campuran 19,3%, dan Bank

Pembangunan Daerah (BPD) 7,6% (Grafik 5.8). Jika

dibandingkan dengan komposisi kepemilikan SBI pada

akhir 2000, pangsa kepemilikan SBI oleh bank asing

dan campuran serta BPD menunjukkan peningkatan

selama 2001. Peningkatan kepemilikan SBI oleh BPD

tersebut seiring dengan meningkatnya sumber dana

BPD yang dimiliki oleh pemerintah daerah terkait

dengan pelaksanaan kebijakan Perimbangan

Grafik 5.7

Penyerapan Melalui SBI dan Intervensi Rupiah

Grafik 5.8

Kepemilikan SBI oleh Kelompok Bank

Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Sebaliknya,

kepemilikan SBI oleh penduduk menunjukkan adanya

penurunan dari 33,4% pada 2000 menjadi hanya 7,6%

dari total SBI. Hal ini berkaitan dengan relatif

menariknya maksimum suku bunga deposito yang

ditawarkan perbankan selama 2001 dibandingkan

suku bunga SBI yang ditawarkan oleh broker.

Sementara itu, posisi Sertifikat Wadiah Bank

Indonesia (SWBI) relatif tidak mengalami perubahan

yang berarti pada 2001, terlihat dari rendahnya posisi

SWBI yang hanya bergerak pada kisaran Rp206 miliar

– Rp304 miliar. SWBI yang mulai diterbitkan sejak

Februari 2000 ini merupakan sertifikat yang diterbitkan

Bank Indonesia sebagai bukti penitipan jangka

pendek dengan prinsip syariah. Walaupun posisinya

relatif stabil, bonus SWBI meningkat dari 8,72% pada

akhir 2000 menjadi 12,43% seiring dengan

Penduduk7,6%

Bank Swasta44,6%

Asing0,6%

Bank Asing danCampuran

19,3%

Bank Pemerintah20,5%

BPD7,6%

Penduduk33,4%

Bank Swasta56,9%

Bank Asing danCampuran

4,4%

Bank Pemerintah1,8%

BPD3,2%

Asing0,4%

2 0 0 1

2 0 0 0

Moneter

98

meningkatnya suku bunga instrumen Bank Indone-

sia lainnya. Bonus SWBI tersebut dihitung

berdasarkan indikasi imbalan pasar uang antarbank

syariah atau deposito mudharabah satu bulan

sebelumnya.

PASAR UANG ANTARBANK

Selama 2001, aktivitas di pasar uang antarbank

(PUAB) rupiah menunjukkan kenaikan dibandingkan

dengan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, rata-

rata suku bunga PUAB meningkat 410 bp dari 10,46%

menjadi 14,56%, sementara volume transaksi

mengalami peningkatan sebesar 39,9% (Tabel 5.2).

Peningkatan suku bunga dan volume transaksi

tersebut terjadi baik di PUAB pagi maupun PUAB

sore. Di PUAB pagi, rata-rata suku bunga meningkat

sebesar 425 bp dari 10,67% pada 2000 menjadi

14,92%, sedangkan rata-rata volume transaksi

meningkat sebesar 61,0%. Perkembangan yang

sama terjadi di PUAB sore dimana rata-rata suku

bunga meningkat 424 bp menjadi 18,33%.

Peningkatan volume transaksi di PUAB

tersebut di atas mengindikasikan tingginya kebutuhan

likuiditas jangka pendek perbankan sepanjang 2001,

khususnya pada bank-bank asing dan campuran

sejak diberlakukannya ketentuan PBI No.3/3/2001

tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Tran-

saksi Rupiah kepada Bukan penduduk dan

Pengurangan Batas Maksimum Transaksi Forward.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan likuiditas

perbankan semakin mengandalkan penempatan

dalam jangka pendek selain penempatan dalam SBI

dan obligasi pemerintah. Sementara itu, naiknya

tingkat suku bunga PUAB terkait dengan mening-

katnya kebutuhan likuiditas jangka pendek perbankan

dan upaya Bank Indonesia untuk meredam volatilitas

nilai tukar melalui kenaikan suku bunga intervensi

rupiah.

Sejalan dengan peningkatan aktivitas PUAB

rupiah, rata-rata volume PUAB valuta asing dalam

tahun 2001 juga mengalami peningkatan sebesar

$12,2 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya

sehingga menjadi rata-rata $167,4 juta per hari.

Walaupun sempat meningkat tinggi pada paro

pertama tahun laporan, namun dalam perkembangan

berikutnya, rata-rata volume PUAB valuta asing

kembali menurun. Hal ini diduga akibat adanya

sejumlah bank papan atas yang melakukan penem-

Tabel 5.2

Rata-rata Suku Bunga dan Volume Transaksi Harian PUAB

Periode

Trw I -2000 9,74 9,32 9,50 5,66 1.003,4 708,2 1.712,0 135,5

Trw II - 2000 10,19 9,87 10,03 6,25 961,5 945,5 1.906,9 149,0

Trw III - 2000 11,16 10,62 10,89 6,44 1.196,6 1.289,3 2.485,9 177,6

Trw IV - 2000 11,64 11,21 11,43 6,45 1.340,0 1.470,0 2.810,0 158,9

Rata-Rata Tahun 2000 10,67 10,25 10,46 6,20 1.125,4 1.103,2 2.288,0 155,3

Trw I - 2001 12,76 12,64 12,71 5,49 1.812,0 1.318,0 3.130,0 204,6

Trw II - 2001 14,72 14,10 14,45 4,06 1.816,0 1.288,0 3.104,0 200,1

Trw III - 2001 16,14 15,49 15,15 3,34 1.792,0 1.278,0 3.070,0 162,8

Trw IV - 2001 16,06 15,75 15,93 2,17 1.830,0 1.337,0 3.167,0 102,1

Rata-Rata Tahun 2001 14,92 14,50 14,56 3,76 1.812,0 1.305,0 3.118,0 167,4

Suku Bunga (%)

Pagi Sore Total (PUAB Rp) PUAB Valas

Volume (Miliar Rp)

Pagi Sore Total (PUAB Rp) PUAB Vls ($ Juta)

Moneter

99

patan dana di luar negeri (Lihat Bab 3 Nilai Tukar).

Dominasi volume transaksi di PUAB valuta asing lebih

banyak dilakukan oleh bank-bank pemerintah, bank

asing, dan bank campuran. Sementara itu, rata-rata

suku bunga PUAB valuta asing selama periode

laporan mengalami penurunan sebesar 244 bp

sehingga menjadi 3,76%. Menurunnya suku bunga

PUAB valuta asing terkait dengan kecenderungan

menurunnya suku bunga luar negeri terutama Fed

fund rate .

Selama tahun laporan, kelompok bank yang

banyak melakukan penempatan dalam PUAB rupiah

adalah kelompok bank devisa, bank persero, dan

bank nondevisa (Grafik 5.9). Hal ini menunjukkan

semakin likuidnya ketiga kelompok bank tersebut.

Sementara itu, kelompok bank asing dan bank

campuran lebih banyak melakukan peminjaman baik

di PUAB rupiah maupun valuta asing. Aktivitas bank

asing dan campuran yang cenderung menjadi net

peminjam di PUAB bukan semata-mata dimaksudkan

untuk memenuhi kebutuhan likuditas, tetapi juga

sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan

dari adanya perbedaan suku bunga (arbitrase). Hal

ini dilakukan dengan meminjam di PUAB yang

selanjutnya ditanamkan di SBI maupun transaksi

lainnya seperti memenuhi kebutuhan hedging

perusahaan-perusahaan multinasional (MNC)

terhadap kewajiban rupiahnya.

SUKU BUNGA

Sejalan dengan upaya penyerapan likuiditas

dalam rangka pencapaian sasaran uang primer, suku

bunga SBI meningkat selama 2001. Suku bunga SBI

1 bulan meningkat sebesar 309 bp bila dibandingkan

dengan posisi akhir 2000 hingga mencapai 17,62%

pada akhir Desember 2001. Sementara itu, suku bu-

nga SBI 3 bulan meningkat 332 bp hingga mencapai

posisi 17,63%. Peningkatan suku bunga SBI terse-

but terutama terjadi hingga Agustus 2001. Selan-

jutnya, sejak September hingga akhir tahun suku

bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan bergerak stabil pada

kisaran 17,58% - 17,63%. Adapun peningkatan suku

bunga intervensi rupiah overnight (O/N) seperti telah

di jelaskan di subbab Operasi Pasar Terbuka di depan,

terutama terjadi pada paro pertama tahun laporan,

sementara pada paro kedua suku bunga intervensi

rupiah O/N tetap pada posisi 15,13% (Grafik 5.10).

Meskipun secara nominal meningkat, suku

bunga riil SBI yang terjadi lebih rendah dibandingkan

tahun sebelumnya. Secara riil pada akhir 2001, suku

bunga SBI 1 bulan hanya mencapai 5,07% atau

menurun 11 bp dibandingkan posisi akhir tahun

sebelumnya sebesar 5,18%.

Peningkatan suku bunga SBI tersebut tidak

secara langsung berpengaruh pada peningkatan suku

bunga deposito secara signifikan. Hal ini berkaitan

dengan masih tingginya likuiditas perbankan sebagai

akibat fungsi intermediasi perbankan yang belum

Grafik 5.9

Net Pemberi - Peminjam Harian di PUAB

(1.500)

(1.000)

(500)

0

500

1.000

1.500

I II III IV I II III IV

B. Persero B.Devisa B. Nondevisa B.Campuran B. Asing

Bank Pemberi

Bank Penerima

2 0 0 0 2 0 0 1

Miliar Rp

Moneter

100

10.5

11.5

12.5

13.5

14.5

15.5

16.5

17.5

Persen

Intervensi Rupiah

Des. Feb. Apr. Jun. Ags. Okt. Des.

2 0 0 12 0 0 0

SBI 1 bulan

SBI 3 bulan

upaya tersebut juga didukung dengan kebijakan

perubahan penentuan suku bunga penjaminan yang

semula dilakukan seminggu sekali menjadi sebulan

sekali.

Peningkatan suku bunga maksimum penja-

minan tersebut telah mendorong perbankan untuk

menaikkan tingkat suku bunga depositonya selama

2001. Dibandingkan dengan posisi akhir 2000, suku

bunga nominal dan riil deposito telah meningkat

masing-masing sebesar 411 bp dan 91 bp menjadi

16,07% dan 3,52% (Grafik 5.11). Perkembangan ini

mengindikasikan bahwa upaya perbaikan struktur

sepenuhnya pulih. Belum pulihnya intermediasi ini

mendorong perbankan untuk memaksimalkan

keuntungannya dengan memanfaatkan selisih antara

suku bunga SBI dengan deposito. Dalam rangka

mendorong peningkatan suku bunga deposito agar

dapat searah dengan perkembangan SBI, maka Bank

Indonesia telah menigkatkan margin suku bunga

penjaminan sebanyak 2 kali pada Januari dan

Agustus 2001 masing-masing sebesar 100 bp diatas

suku bunga deposito bank anggota JIBOR. Selain itu,

Tabel 5.3

Perkembangan Suku Bunga 1)

R i n c i a n1999 2000 2001

Persen

SBI1 Bulan 11,9 14,5 17,6

PUABO/N 112,1 11,4 15,66

Deposito 1 Bulan 12,2 12,0 16,07 3 Bulan 12,9 13,2 17,24 6 Bulan 14,3 13,2 16,1812 Bulan 22,4 12,2 15,4824 Bulan 18,4 14,3 18,05

KreditModal Kerja 20,7 17,7 19,19Investasi 17,9 16,9 17,90

1) Rata-rata tertimbang dalam bulan Desember

12

13

14

15

16

17

18

19

Des. Jun. Des.

Persen

SBI 1 bulan

Penjaminan deposito 1 bulan

Deposito 1 bulan

2 0 0 0 2 0 0 1

Mar. Sep.

Grafik 5.11

Suku Bunga Deposito 1 Bulan

11

12

13

14

15

16

17

Des Mar Jun Sep Des

1

2

2

3

3

4

4

5

5

2000 2001

Nominal, % Riil, %

Deposito riil

Deposito nominal

Grafik 5.10

Diskonto Intervensi Rp, SBI 1 dan 3 bulan

Grafik 5.12

Perkembangan Suku Bunga SBI dan Deposito

Moneter

101

sebagaimana telah dijelaskan di atas, mengalami

peningkatan sebesar 5,5%. Dilihat dari kepemilikan,

pertumbuhan uang giral terutama terjadi pada

simpanan giro milik Pemerintah Daerah sebesar

138,9% (Grafik 5.14), sebagai dampak dari mulai

dilaksanakannya kebijakan Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah (PKPD) sejak Januari 2001, dalam

bentuk droping Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi

hasil Sumber Daya Alam Migas. Pada akhir tahunan

simpanan giro pemerintah tersebut mengalami

penurunan sehubungan dengan pembayaran proyek-

proyek yang dilakukan.

Uang kuasi dalam periode yang sama me-

ngalami peningkatan sebesar 13,9% hingga

mencapai Rp666,3 triliun. Dilihat dari komponennya,

peningkatan uang kuasi tersebut terutama terjadi

pada kuasi rupiah dalam bentuk deposito yang

meningkat sebesar 16,7% hingga menjadi Rp340,9

triliun dan tabungan sebesar 11,8% hingga mencapai

posisi Rp170,6 triliun. Lebih tingginya pertumbuhan

deposito dibandingkan dengan pertumbuhan

tabungan dan simpanan giro selama periode laporan,

mencerminkan terjadinya pergeseran preferensi

suku bunga melalui peningkatan suku bunga

penjaminan cukup efektif dalam menarik suku bunga

deposito ke atas (Grafik 5.12).

Dalam pada itu, perkembangan suku bunga

perbankan lainnya seperti suku bunga deposito 3

bulan, suku bunga kredit modal kerja dan suku bunga

kredit investasi juga mengalami peningkatan bila di-

bandingkan dengan posisi pada akhir tahun lalu.

Sampai dengan akhir 2001, suku bunga deposito 3

bulan meningkat sebesar 400 bp menjadi 17,24%,

suku bunga kredit modal kerja naik sebesar 154 bp

menjadi 19,19%, sedangkan suku bunga kredit

investasi naik 104 bp menjadi 17,90% apabila diban-

dingkan dengan suku bunga pada akhir Desember

2001 (Grafik 5.13).

UANG BEREDAR

Pada periode laporan, posisi M1 mengalami

peningkatan sebesar 9,6% dibandingkan dengan

tahun sebelumnya, sehingga mencapai posisi

Rp177,7 triliun pada Desember 2001. Peningkatan

tersebut sebagian besar disebabkan oleh peningkatan

uang giral sebesar 12,9%, sedangkan uang kartal

Grafik 5.13

Perkembangan Suku Bunga Jangka Panjang

Grafik 5.14

Giro Pemerintah Daerah di Bank

12

13

14

15

16

17

18

19

20

Deposito 3 bulan

Kredit Investasi

Kredit Modal Kerja

Persen

Des. Mar. Jun. Sep. Des.

2000 2001

Total Giro (Miliar Rp) Giro Pemda (Miliar Rp)

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

100.000

110.000

Nov.5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

Total Giro

Giro Pemda

2 0 0 1

Jan. Mar. Mei Jul. Sep.

Moneter

102

masyarakat dalam menempatkan dananya ke dalam

bentuk simpanan yang lebih panjang (Grafik 5.15).

Hal ini berkaitan dengan kenaikan suku bunga

deposito selama tahun laporan (Grafik 5.16) dan

membaiknya ekspektasi terhadap prospek pereko-

Rincian1999 2000 2001

Tabel 5.4

Uang Beredar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi

PosisiPerubahan2000-2001

Triliun Rupiah

M2 646,2 747,0 844,1 97,0M1 124,6 162,2 177,7 15,5– Uang kartal 58,4 72,4 76,3 4,0– Uang giral 66,3 89,8 101,4 11,5

Uang Kuasi 521,6 584,8 666,3 81,5– Deposito dan Tabungan dalam Rupiah 408,6 444,7 511,6 66,9– Simpanan dalam valuta asing 113,0 140,2 154,8 14,6

Faktor-faktor YangMempengaruhi M2 646,2 747,0 844,1 97,0Aktiva luar negeri (bersih) 129,1 210,7 234,0 23,2– Bank Indonesia 109,3 201,2 192,6 -8,6– Bank-bank umum 19,8 9,5 41,4 31,9

Tagihan kepada pemerintah(bersih) 397,3 520,3 529,7 9,4

Tagihan bersih kepada BPPN 0,0 0,0 0,0 0,0Tagihan kepada sektor usaha 252,6 294,9 329,2 34,2– Kredit dalam rupiah 140,5 152,5 202,6 50,1– Kredit dalam valuta asing 84,6 116,5 105,0 -11,5– Tagihan lainnya 27,4 25,9 21,6 -4,4Lainnya (bersih) -132,7 -278,9 -248,8 30,2

nomian ke depan. Perkembangan ini berbeda dengan

kondisi pada 2000, dimana deposito hanya

mengalami pertumbuhan sebesar 2,1% sedangkan

tabungan dan giral masing-masing tumbuh sebesar

24,4% dan 35,5%.

Sementara itu, selama 2001 simpanan valuta

asing mengalami peningkatan sebesar 10,4%

sehingga pada akhir tahun mencapai Rp154,8 triliun.

Namun demikian, peningkatan yang tinggi tersebut

sebagian besar merupakan dampak dari melemahnya

nilai tukar rupiah. Apabila dinilai dalam valuta dolar,

simpanan valuta asing tersebut hanya mengalami

peningkatan sebesar $270,5 juta atau setara dengan

Rp2,6 triliun, sehingga pada akhir tahun mencapai

Rp142,8 triliun.

Berdasarkan perkembangan M1 dan uang

kuasi di atas, uang beredar dalam arti luas (M2)

pada Desember 2001 mengalami peningkatan

sebesar 13,0% dari tahun sebelumnya menjadi

Rp844,1 triliun. Secara rata-rata selama 2001, M2

telah tumbuh sebesar 14,7% year on year (y-o-y).

Pertumbuhan M2 ini lebih rendah dibandingkan

dengan rata-rata pertumbuhan M1 selama 2001

Grafik 5.16

Suku Bunga Deposito dan Simpanan Deposito

Grafik 5.15

Pertumbuhan Giro, Tabungan dan Deposito

(20)

-

20

40

60

80

100

120

Persen

Giro

Deposito

Tabungan

Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1

270

280

290

300

310

320

330

340

350

Feb. Mei Ags. Nov. Feb. Mei Ags. Nov.1

3

5

7

9

11

13

15

17Vol. Deposito Rp

Suku bunga deposito nominal

Suku bunga deposito riil

PersenTriliun Rp

2 0 0 0 2 0 0 1

Moneter

103

5,0

5,5

6,0

6,5

7,0

7,5

8,0

8,5

9,0

1,3

1,4

1,5

1,6

1,7

1,8

1,9

2,0

APU 2, C/D APU 1

APU 2

APU 1

C/D

2 0 0 0 2 0 0 1

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

yang mencapai 19,8% (y-o-y). Hal ini berkaitan

dengan tingginya peningkatan uang kartal yang ter-

jadi selama tahun 2001. Tingginya peningkatan uang

kartal dibandingkan dengan pertumbuhan M2 terse-

but juga tercermin dari meningkatnya rasio C/D

selama tahun 2001 (Grafik 5.17). Meningkatnya rasio

C/D ini menyebabkan turunnya angka pengganda

uang (APU) M2 selama tahun 2001 hingga mencapai

rasio 6,7 pada akhir 2001. Rasio ini lebih rendah

dibandingkan rata-rata sebelum krisis yang men-

capai rasio sebesar 8,0, yang mencerminkan belum

pulihnya fungsi intermediasi perbankan.

Berdasarkan faktor-faktor yang mempe-

ngaruhi, ekspansi M2 dalam tahun laporan terutama

berasal dari ekspansi NDA sebesar Rp73,8 triliun.

Ekspansi NDA tersebut bersumber dari ekspansi

tagihan bersih kepada sektor usaha (Claims on

Business Sector / CBS) sebesar Rp34,2 triliun dan

tagihan bersih kepada pemerintah (Net Claims on

Goverment / NCG) sebesar Rp9,4 triliun dibandingkan

tahun sebelumnya.

Ekspansi CBS terjadi karena peningkatan

kredit dalam rupiah sebesar Rp50,1 triliun, sebaliknya

Grafik 5.17

Angka Pengganda Uang dan Rasio C/D

kredit valuta asing dan tagihan lainnya mengalami

penurunan masing-masing sebesar Rp11,5 triliun dan

Rp4,4 triliun. Peningkatan kredit rupiah tersebut

termasuk diantaranya kredit yang dibeli kembali oleh

perbankan dari BPPN. Kredit rupiah tersebut

sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan kredit

modal kerja bagi sektor perindustrian dan perda-

gangan, serta untuk pembiayaan kredit konsumsi.

Adapun penurunan kredit valuta asing tersebut

terutama disebabkan oleh pengalihan kredit valuta

asing kelompok Bank Swasta Nasional kepada BPPN

yang ditukar dengan hedge bonds dan penghapus-

bukuan kredit valuta asing kelompok Bank Persero.

Sementara itu, ekspansi NCG bersumber dari

ekspansi NCG di Bank Indonesia sebesar Rp27,0

triliun, sedangkan NCG di bank umum mengalami

kontraksi sebesar Rp17,7 triliun. Ekspansi NCG di

Bank Indonesia yang antara lain ditujukan untuk

droping DAU, pembayaran kupon obligasi peme-

rintah, pembayaran utang luar negeri, pembayaran

termin proyek, dan subsidi BBM (lihat sub bab uang

primer). Dalam pada itu, kontraksi NCG di bank umum

terutama disebabkan oleh menurunnya tagihan

perbankan kepada pemerintah dalam bentuk obligasi

sebesar Rp22,0 triliun, berkaitan dengan kompensasi

obligasi pemerintah dengan kewajiban perbankan

kepada BPPN dan penurunan nilai pasar obligasi

pemerintah.

Sementara itu, faktor Aktiva Luar Negeri

Bersih (Net Foreign Assets / NFA) mengalami

peningkatan sebesar Rp23,2 triliun, terutama berasal

dari peningkatan NFA di bank umum sebesar Rp31,9

triliun. Peningkatan NFA di bank umum tersebut

sebagian besar berasal dari penurunan kewajiban

perbankan kepada bukan penduduk sebesar Rp24,3

Moneter

104

triliun, antara lain kewajiban dalam bentuk giro dan

call money masing-masing sebesar Rp12,4 triliun dan

Rp7,0 triliun.

PASAR MODAL

Kinerja pasar modal di tahun 2001 mengalami

perkembangan yang kurang menggembirakan,

ditandai oleh pergerakan Indeks Harga Saham

Gabungan (IHSG) yang berfluktuatif dengan kecen-

derungan menurun. Pada akhir tahun laporan, IHSG

ditutup terkoreksi 24,285 poin atau (5,83%) pada level

392,0 dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya

yang berada pada level 416,3 (Grafik 5.18).

Penurunan IHSG dipengaruhi baik oleh faktor

ekonomi maupun nonekonomi. Faktor ekonomi ter-

utama akibat melemahnya nilai tukar rupiah, naiknya

tingkat diskonto SBI hingga level 17%, turunnya

peringkat investasi di Indonesia dari “stabil” ke

“negatif” menurut lembaga pemeringkat Moody’s di

awal Maret 2001, serta melemahnya kinerja bursa

regional yang didorong oleh ketidakpastian dari

prospek perekonomian Jepang dan Amerika Serikat.

Sementara faktor nonekonomi yang mempengaruhi

melemahnya IHSG terutama bersumber dari mening-

katnya kekhawatiran pasar terhadap stabilitas

keamanan dan politik selama 2001. Selain itu. ter-

jadinya tragedi WTC 11 September 2001 yang diikuti

oleh aksi anti AS di sejumlah kota besar dan penuru-

nan peringkat utang Indonesia oleh S&P dari CCC+

menjadi CCC serta prospek utang dari stabil menjadi

negatif pada minggu ke II November 2001 semakin

menekan pergerakan indeks. Meskipun demikian,

pada Februari dan Agustus 2001 indeks sempat

menguat yang dipicu oleh penurunan tingkat suku

bunga oleh bank sentral AS, berhasilnya pelaksanaan

Sidang Istimewa dan pergantian kepemimpinan

nasional yang berlangsung aman.Kondisi ini juga

mendorong peningkatan indeks kepercayaan

konsumen dari 94,1 menjadi 112,3.

Menurunnya IHSG pada 2001 juga tidak

terlepas dari berkurangnya kontribusi investor asing

di pasar modal Indonesia. Hal tersebut tercermin dari

menurunnya posisi nilai transaksi investor asing

terhadap total perdagangan dari Rp24,7 triliun

(20,1%) pada tahun lalu menjadi Rp14,6 triliun (9,9%)

pada 2001. Seiring dengan melemahnya IHSG, nilai

kapitalisasi pasar mengalami penurunan sebesar

7,8% dari Rp259,6 triliun pada akhir tahun 2000

menjadi Rp239,3 triliun. Sementara itu, jumlah emiten

di bursa saham mengalami peningkatan dari 347

emiten senilai Rp226,1 triliun menjadi 379 emiten

senilai Rp231,3 triliun.

Guna meningkatkan kinerja pasar modal

dalam tahun laporan, pemerintah telah mengeluar-

kan kebijakan di pasar modal yang terkait dengan

perubahan struktur organisasi Bapepam dan pem-

berian ijin kepemilikan maksimal 99% saham efek

Grafik 5.18

IHSG dan Nilai Perdagangan 2001

IHSG Ni la i

2-Jan. 13-Feb. 29-Mar. 14-Mei 27-Jun. 8-Ags. 20-Sep. 2-Nov. 19-Des.

1003005007009001100130015001700190021002300250027002900310033003500

300

320

340

360

380

400

420

440

460

480

Nilai

IHSG

2 0 0 1

Moneter

105

perusahaan patungan sebelum penawaran umum

kepada sekuritas asing. Untuk memungkinkan bursa

dapat diakses dari jarak jauh (sistem remote tra-

ding), pada November 2001 pemerintah memba-

ngun sistem perdagangan dengan teknologi cang-

gih. Upaya tersebut juga didukung oleh kebijakan

penghapusan “pasar segera” dalam rangka efisiensi

melalui penyederhanaan pasar. Namun demikian,

pada saat yang sama pemerintah juga mengenakan

PPh atas penghasilan dari obligasi yang diper-

dagangkan di bursa efek sebesar 0,03% dari nilai

transaksi. Kebijakan ini berlawanan dengan tujuan

untuk mengembangkan pasar modal sebagai salah

satu alternatif sumber pembiayaan bagi dunia

usaha.

Berbeda dengan pergerakan IHSG, perkem-

bangan indeks saham dengan prinsip syariah (Jakarta

Islamic Index) mengalami kenaikan dari level 57,9

pada akhir 2000 menjadi 61,4 pada akhir 2001. Indeks

tersebut dihitung mengacu pada 30 saham

perusahaan yang kegiatannya berdasarkan prinsip

syariah Islam.

Sementara itu, di pasar obligasi korporasi

terjadi peningkatan jumlah emiten dari 91 emiten

dengan nilai emisi sebesar Rp28,8 triliun menjadi 94

emiten dengan nilai emisi Rp31,7 triliun. Namun

demikian, aktivitas perdagangan obligasi korporasi

pada 2001 mengalami penurunan dibandingkan 2000

meskipun indeks perdagangan meningkat sebesar

24,9% dari 433,8 pada tahun lalu menjadi 541,5 pada

2001. Total volume transaksi obligasi korporasi tercatat

sebesar Rp1,1 triliun atau mengalami penurunan

sebesar 87,3% dibandingkan tahun 2000 yang

mencapai Rp8,8 triliun, dengan total frekuensi

sebanyak 403 kali menurun dibanding 2.497 kali pada

2000. Penurunan aktivitas perdagangan obligasi

disebabkan oleh terjadinya pengalihan portofolio

investasi oleh para investor ke bentuk lain sebagai

akibat kondisi perekonomian yang belum membaik,

pengenaan pajak penghasilan dan pajak transaksi atas

penghasilan yang diterima, penurunan nilai rupiah,

tingginya tekanan inflasi serta naiknya tingkat diskonto

SBI.

Di sisi lain, volume perdagangan obligasi

pemerintah di pasar sekunder pada 2001 meningkat

hingga mencapai Rp66,2 triliun dibandingkan

dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai

Rp27,9 triliun (Tabel 5.5). Hal ini sejalan dengan

peningkatan kebutuhan likuiditas beberapa bank

pemilik obligasi rekap. Guna lebih mendorong

peningkatan transaksi obligasi pemerintah, jumlah

maksimum obligasi pemerintah yang dapat masuk

Tabel 5.5

Jumlah Obligasi Pemerintah Yang Diperdagangkan 1)

Variable Rate Fixed Rate Total

Februari 6.000 0 6.000M e i 61.730 25.650 87.380J u n i 1.587.188 7.000.000 8.587.188J u l i 85.740 0 85.740Agustus 2.788.381 1.053.235 3.841.616September 2.284.318 418.676 2.702.994Oktober 797.475 - 797.475November 5.370.127 2.278.500 7.648.627Desember 3.227.200 921.600 4.148.800

2000 16.208.159 11.697.661 27.905.820

Januari 4.508.000 7.929.500 12.437.500Februari 3.357.113 1.064.500 4.421.613Maret 1.466.197 1.439.654 2.905.851April 7.104.770 1.844.500 8.949.270M e i 1.387.590 1.518.186 2.905.776J u n i 2.873.130 5.337.291 8.210.421J u l i 2.739.751 1.572.920 4.312.671Agustus 1.701.927 1.578.000 3.279.927September 1.393.822 2.004.409 3.398.231Oktober 565.010 2.824.720 3.389.730November 3.551.644 3.116.753 6.668.397Desember 1.779.713 3.563.011 5.342.724

2001 32.428.667 33.793.444 66.222.111

48.636.826 45.491.105 94.127.931

1) Dalam juta rupiah

Moneter

106

Grafik 5.19

Volume Perdagangan Obligasi

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Volume Frekuensi

Volume (Rp miliar)

Frekuensi

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 1

ke dalam portofolio perdagangan ditingkatkan dari

25% pada 8 Desember 2000 menjadi 100% pada

31 Juli 2001. Dari keseluruhan transaksi obligasi

pemerintah tersebut jumlah obligasi fixed rate (FR)

mencapai Rp33,8 triliun, lebih besar dibandingkan

dengan transaksi variable rate (VR) Rp32,4 triliun.

Lebih besarnya transaksi obligasi FR dibandingkan

dengan VR lebih berkaitan dengan motif dari inves-

tor untuk mencari pandapatan yang lebih tinggi

akibat besarnya discount rate yang terbentuk hingga

mencapai 35% - 50%. Dengan demikian, sejak

Februari 2000, total transaksi perdagangan obligasi

pemerintah di pasar sekunder telah mencapai

Rp94,1 triliun yang meliputi transaksi obligasi VR

sebesar Rp48,6 triliun dan obligasi FR sebesar

Rp45,5 triliun.

Neraca Pembayaran

107

bab 6 NERACA PEMBAYARAN

Neraca Pembayaran

108

b a b 6

NERACA PEMBAYARAN

Dalam tahun 2001, kinerja Neraca Pembayaran

Indonesia (NPI) menunjukkan perkembangan

yang kurang menggembirakan. Hal itu dapat dilihat

dari berkurangnya surplus transaksi berjalan terutama

sebagai akibat dari menurunnya kinerja ekspor dan

meningkatnya defisit pada lalu lintas modal. Menu-

runnya kinerja ekspor tidak terlepas dari perkem-

bangan kondisi yang terjadi baik di luar maupun di

dalam negeri. Di sisi eksternal, melambatnya pertum-

buhan ekonomi dunia terutama di negara-negara

tujuan ekspor, yang diperburuk oleh dampak tragedi

WTC 11 September 2001, dan turunnya harga-harga

komoditas utama mengakibatkan ekspor, khususnya

ekspor nonmigas mengalami penurunan yang cukup

besar. Penurunan ekspor juga dipengaruhi oleh

adanya penetapan syarat-syarat tambahan bagi

produk ekspor Indonesia seperti penerapan per-

syaratan ramah lingkungan dan perlindungan hak

konsumen. Di sisi internal, menurunnya ekspor ter-

sebut dipengaruhi oleh terjadinya gangguan produksi

dan distribusi yang disebabkan oleh meningkatnya

faktor ketidakpastian sehubungan dengan masih

maraknya aksi mogok buruh, gangguan keamanan,

dan masih belum pulihnya fungsi intermediasi

perbankan. Sejalan dengan masih rendahnya kegia-

tan investasi dan menurunnya ekspor, impor juga

mengalami penurunan, terutama impor barang modal

dan bahan baku penolong. Penurunan impor ini

berkaitan pula dengan perkembangan nilai tukar

rupiah yang mengalami depresiasi dan fluktuasi yang

cukup tajam. Sementara itu, defisit transaksi jasa-jasa

mengalami penurunan yang disebabkan oleh

berkurangnya pembayaran bunga utang luar negeri,

dan berkurangnya pembayaran jasa-jasa angkutan

yang terkait dengan menurunnya kegiatan impor.

Tabel 6.1

Neraca Pembayaran Indonesia

A. Transaksi Berjalan 5,8 8,0 5,01. Barang 20,6 25,0 21,6

a. Ekspor f.o.b 51,2 65,4 58,7Nonmigas 41,0 50,3 45,8Migas 10,3 15,1 12,9

Minyak 5,7 8,0 7,2LNG 4,2 6,8 5,4LPG 0,4 0,4 0,4

b. Impor f.o.b –30,6 –40,4 –37,0Nonmigas –26,6 –34,4 –31,4Migas –4,0 –6,0 –5,6

Minyak –3,7 –5,8 –5,3Gas –0,3 –0,2 –0,3

2. Jasa –14,9 –17,1 –16,7a. Nonmigas –11,7 –12,5 –12,4b. Migas –3,2 –4,6 –4,3

Minyak –1,5 –2,2 –2,2Gas –1,7 –2,4 –2,1

B. Lalu Lintas Modal -4,6 –6,8 –8,91. Lalu lintas modal pemerintah (bersih) 5,4 3,2 –0,3

a. Penerimaan pinjaman dan bantuan 7,9 5,0 3,3b. Pelunasan pinjaman 1) –2,6 –1,8 –3,6

2. Lalu lintas modal swasta (bersih) –9,9 –10,0 –8,6a. Penanaman modal langsung (bersih) –2,7 –4,6 –5,9b. Lainnya (bersih) –7,2 –5,4 –2,7

C. Jumlah (A+B) 1,2 1,2 –3,9D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2,1 3,8 2,6E. Lalu-lintas Moneter2) –3,3 –5,0 1,4

Catatan:1. Aktiva Luar Negeri (GFA)3) 27,1 29,4 28,0

Setara Impor Nonmigas dan pembayaran utang luar negeri pemerintah (bulan) 6,7 6,0 6,1

2. Transaksi Berjalan/PDB (%) 4,1 5,3 3,4

1999 2000 2001*

Miliar $

1) Setelah diperhitungkan rescheduling dan termasuk pembayaran kepada IMF

2) Minus (–) = Surplus, dan sebaliknya

3) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCL menggantikan konsep cadangan devisa

bruto (GFA)

R i n c i a n

Neraca Pembayaran

109

Sementara itu, peningkatan defisit pada

transaksi modal terutama berasal dari defisit lalu lintas

modal (LLM) pemerintah setelah dalam beberapa

tahun terakhir mencatat surplus. Defisit LLM

pemerintah disebabkan oleh penurunan yang tajam

pada penarikan utang luar negeri pemerintah sebagai

akibat belum dapat dipenuhinya beberapa

persyaratan yang ditetapkan oleh pihak kreditur.

Dalam pada itu, defisit LLM swasta mengalami

penurunan sebagai akibat dari menurunnya

pembayaran utang luar negeri swasta.

Dengan perkembangan tersebut di atas, NPI

secara keseluruhan mengalami defisit sebesar $1,4

miliar sehingga posisi cadangan devisa pada akhir

2001 menurun menjadi $28,0 miliar atau setara

dengan 6,1 bulan kebutuhan impor dan pembayaran

utang luar negeri (Tabel 6.1).

Dalam mengatasi berbagai masalah di sektor

perdagangan internasional dan lalu lintas modal,

pemerintah telah menempuh beberapa langkah kebi-

jakan. Di bidang ekspor, kebijakan yang ditempuh

antara lain berupa penurunan tarif pajak ekspor

beberapa komoditas tertentu dan penyempurnaan

sistem manajemen kuota tekstil. Sejalan dengan

kebijakan tersebut, produsen yang berorientasi

ekspor yang didukung oleh pemerintah telah

melaksanakan beberapa pameran produk ekspor di

dalam dan luar negeri. Di bidang impor, pemerintah

antara lain telah mempermudah impor barang untuk

memperlancar kegiatan produksi. Sementara itu, di

bidang LLM, pemerintah mengeluarkan perubahan

ketentuan mengenai pemilikan saham oleh investor

asing yang memungkinkan pembelian perusahaan

domestik tertentu yang belum berproduksi secara

komersial.

TRANSAKSI BERJALAN

Dalam tahun 2001, transaksi berjalan

diperkirakan mencatat surplus sebesar $5,0 miliar

atau 3,4% dari PDB, turun dibandingkan dengan

surplus tahun sebelumnya yang mencapai $8,0 miliar

atau 5,3% dari PDB (Grafik 6.1). Turunnya surplus

transaksi berjalan sebagian besar disebabkan oleh

menurunnya surplus perdagangan. Penurunan

tersebut terjadi pada neraca perdagangan migas dan

nonmigas yang masing-masing turun sebesar $1,8

Grafik 6.2

Nilai Ekspor Bersih Nonmigas dan Migas

Grafik 6.1

Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan, dan

Neraca Jasa

Miliar $

Transaksi Berjalan

Neraca Perdagangan

Neraca Jasa

-20

-8

4

16

28

1997 1998 1999 2000 2001*

Nilai Ekspor Bersih NonmigasNilai Ekspor Bersih Migas

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Miliar $

1997 1998 1999 2000 2001*

Neraca Pembayaran

110

miliar dan $1,6 miliar sehingga menjadi sebesar $7,3

miliar dan $14,4 miliar (Grafik 6.2). Sebagaimana

tahun-tahun sebelumnya neraca jasa masih tetap

mengalami defisit. Dalam periode laporan, defisit

neraca jasa tercatat sebesar $16,7 miliar, lebih kecil

dari tahun sebelumnya yang mencatat defisit sebesar

$17,1 miliar.

Dalam rangka memperbaiki kinerja ekspor,

pemerintah dalam tahun laporan telah mengeluarkan

berbagai kebijakan. Sejak tanggal 9 Februari 2001,

tarif pajak ekspor kelapa sawit dan Crude Palm Oil

(CPO) diturunkan dari 5% menjadi 3%.1 Sementara

itu, tarif pajak Crude Olein (CRD Olein), Refined Blea-

ched Deodorized Palm Oil (RBD PO), dan Refined

Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Olein) juga

diturunkan dari sebelumnya 2% menjadi 1%. Se-

lanjutnya, untuk lebih meningkatkan ekspor tekstil

dan produk tekstil, khususnya ke negara-negara kuo-

ta, pemerintah telah menyempurnakan sistem

manajemen kuota menjadi lebih transparan sehingga

pemanfaatan kuota lebih optimal dan lebih menjamin

kepastian berusaha bagi dunia usaha pertekstilan.2

Selain itu, untuk lebih meningkatkan kegiatan promo-

si komoditas ekspor Indonesia, anggota misi dagang

atau pameran yang mewakili Pemerintah Republik

Indonesia dikecualikan dari kewajiban pembayaran

pajak penghasilan pada saat bertolak ke luar negeri

(fiskal luar negeri).3

Sementara itu, untuk mempermudah pelak-

sanaan impor barang guna mendukung kelancaran

kegiatan produksi dalam negeri, pemerintah

memperbolehkan impor mesin dan peralatan mesin

bekas.4 Selanjutnya, dalam rangka mendorong

pengembangan industri mesin dalam negeri, impor

bahan baku/bahan penolong dan bagian/komponen

untuk perakitan mesin dan motor berputar diberikan

keringanan bea masuk sehingga tarif bea masuknya

menjadi 5%.5

Ekspor

Kondisi eksternal ekonomi global sangat mempe-

ngaruhi kinerja ekspor Indonesia. Melambatnya

perekonomian dunia serta melemahnya harga-harga

komoditas unggulan ekspor baik migas maupun

nonmigas di pasar internasional mengakibatkan

kinerja ekspor mengalami penurunan. Total ekspor

dalam tahun 2001 turun sebesar 10,3% sehingga

menjadi $58,7 miliar. Dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, nilai ekspor nonmigas dalam tahun lapo-

ran mengalami penurunan sebesar 9,0% atau menjadi

$45,8 miliar, sedangkan nilai ekspor migas turun

14,6% menjadi $12,9 miliar (Grafik 6.3). Walaupun

mengalami penurunan, kinerja ekspor Indonesia ter-

utama komoditas industri relatif lebih baik dibanding-

kan dengan negara Asia lainnya seperti Taiwan,

Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan.

Struktur ekspor nonmigas, sebagaimana

tahun sebelumnya, masih didominasi oleh sektor1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:66/KMK.017/2001 tanggal 9

Februari 2001 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor

Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya.

2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:311/

MPP/Kep/10/2001 tanggal 30 Oktober 2001 tentang Ketentuan

Kuota Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil.

3 Peraturan Pemerintah Nomor: 41 tahun 2001 tanggal 28 Mei 2001

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang

Akan Bertolak ke Luar Negeri.

4 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 172/

MPP/Kep/5/2001 tanggal 17 Mei 2001 tentang Impor Mesin dan

Peralatan Mesin Bukan Baru.

5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:190/KMK.01 tanggal 16 April

2001 tentang Keringanan Bea Masuk Atas Impor Bahan Baku/

Penolong dan Bagian/Komponen Untuk Perakitan Mesin dan Motor

Berputar.

Neraca Pembayaran

111

utama seperti tekstil dan produk tekstil (-3,7%), produk

kayu (-8,9%), minyak sawit (-14,9%), kertas (-18,8%),

dan mesin dan pesawat mekanik (-23,5%). Semen-

tara itu, berkaitan dengan meningkatnya permintaan

dari negara-negara di kawasan ASEAN, nilai ekspor

semen mengalami peningkatan sebesar 25,3%.

Di sektor pertambangan, nilai ekspor men-

capai $5,1 miliar atau menurun 8,1% dibanding tahun

sebelumnya. Penurunan ekspor terjadi di hampir selu-

ruh komoditas yaitu timah (-5,0%), nikel (-19,0%), dan

alumunium (-20,5%). Sebaliknya, nilai ekspor komo-

ditas batubara mengalami peningkatan sebesar 1,6%.

Ekspor sektor pertanian dalam tahun laporan

mengalami penurunan sebesar 3,3% sehingga

menjadi $4,0 miliar. Beberapa komoditas utama yang

mengalami penurunan antara lain kopi dan lada yang

masing-masing turun sebesar 44,6% dan 57,0%.

industri yang mencapai 80% dari total nilai ekspor

nonmigas, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan

dan sektor pertanian masing-masing sebesar 11%

dan 9% (Grafik 6.4). Kontribusi masing-masing sektor

ini relatif tidak berubah dibandingkan dengan periode

laporan tahun sebelumnya.

Dalam tahun 2001, total nilai ekspor barang

industri turun sebesar 9,7% dari tahun sebelumnya

sehingga mencapai $36,7 miliar (Tabel 6.2). Penu-

runan tersebut terjadi pada beberapa komoditas

Grafik 6.4

Pangsa Ekspor Nonmigas

0

20

40

60

80

100

1997 1998 1999 2000 2001*

IndustriPertanianPertambangan

Persen

Tekstil & produk tekstil 16,3 -3,7 7.047 15,4

– Pakaian jadi 17,9 -0,7 4.038 8,8

Kerajinan tangan -3,6 6,0 581 1,3

Produk kayu -0,7 -8,9 4.094 8,9

– Kayu lapis -11,6 -7,1 1.854 4,0

Produk rotan 16,1 -3,6 285 0,6

Minyak sawit -7,6 -14,9 1.076 2,3

Bungkil kopra 31,9 -33,8 41 0,1

Produk kimia 23,1 3,5 2.338 5,1

Produk logam 12,9 -1,7 1.197 2,6

Barang-barang listrik 89,2 1,3 6.446 14,1

Semen -1,8 25,3 176 0,4

Kertas 15,2 -18,8 2.473 5,4

Produk karet 17,5 -1,7 432 0,9

Gelas dan alat dari gelas 25,1 -14,3 299 0,7

Alas kaki 6,7 -5,4 1.533 3,3

Produk plastik 41,4 -14,1 1.045 2,3

Mesin & pesawat mekanik 104,2 -23,5 2.894 6,3

Lainnya 9,4 -23,8 4.731 10,3

T o t a l 24,3 -9,7 36.688 80,1

Perubahan Nilai Pangsa

(%) (juta $) (%)

R i n c i a n

Tabel 6.2

Ekspor Barang Industri

2 0 0 0 2 0 0 1* 2 0 0 1*

Grafik 6.3

Nilai Ekspor Nonmigas dan Migas

Miliar $

Ekspor Nonmigas

Ekspor Migas

0

10

20

30

40

50

60

1997 1998 1999 2000 2001*

Neraca Pembayaran

112

Penurunan ekspor komoditas kopi terutama disebab-

kan kegagalan retensi kopi dunia sehingga menga-

kibatkan jatuhnya harga jual.

Berdasarkan negara tujuan ekspor, pangsa

ekspor ke negara-negara di kawasan Amerika

mencapai 21%, Asia di luar ASEAN 37%, ASEAN

dan Eropa masing-masing 19% serta Afrika dan

Australia masing-masing 2% (Grafik 6.5). Pangsa

ekspor ke kawasan tersebut sedikit berubah

dibandingkan dengan tahun 2000. Secara individual,

ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 18%,

naik dari tahun sebelumnya. Sedangkan pangsa

ekspor ke negara Jepang sebesar 16%, relatif tidak

mengalami perubahan dibandingkan tahun

sebelumnya.

Sementara itu, penurunan ekspor migas

disebabkan oleh turunnya harga minyak bumi dan gas

di pasar internasional. Dalam tahun laporan, harga

rata-rata minyak bumi turun cukup tajam sehingga

mencapai $24,0 per barel, dibandingkan dengan

$28,2 per barel dalam tahun 2000. Penurunan harga

tersebut berkaitan dengan masih berlanjutnya

dampak kenaikan kuota produksi negara-negara

OPEC di akhir 2000. Masuknya Irak ke pasar atas

persetujuan PBB dalam rangka oil for food dan

meningkatnya produksi minyak negara-negara di luar

OPEC turut mempengaruhi melemahnya harga

minyak dalam tahun laporan, meskipun negara-

negara OPEC sejak permulaan tahun laporan telah

menurunkan produksinya. Sementara itu, harga

ekspor gas alam cair (LNG) dan ekspor gas minyak

cair (LPG) juga menurun masing-masing menjadi

sebesar $4,0 per MMBTU dan $282,7 per Mton dari

tahun sebelumnya yang sebesar $4,8 per MMBTU

dan $291,8 per Mton. Ditinjau dari nilainya, ekspor

minyak bumi, LNG dan LPG menurun masing-masing

sebesar 9,9%, 20,7%, dan 1,1%. Sementara itu dari

sisi volumenya, ekspor minyak bumi dan LPG

meningkat sebesar 3,3% dan 2,9%, sedangkan

ekspor LNG menurun sebesar 4,5%.

Impor

Sejalan dengan melemahnya kegiatan

investasi dalam negeri dan turunnya ekspor dalam

tahun laporan, permintaan impor juga mengalami

penurunan. Nilai impor total (c&f) turun sebesar 7,8%

yang disebabkan oleh menurunnya impor nonmigas

Grafik 6.5

Pangsa Ekspor Nonmigas

Menurut Kawasan Negara Tujuan

ASEAN19%

Eropa19%

Australia/Oceania2%

Amerika20%

Asia kecualiASEAN

38%

Afrika2%

Tahun 2000

ASEAN19%

Eropa19%

Australia/Oceania2%

Amerika21%

Asia kecualiASEAN

37%

Afrika2%

Tahun 2001

Neraca Pembayaran

113

(c&f) maupun impor migas (c&f) masing-masing

sebesar 8,0% dan 6,6%.

Berdasarkan kelompok barang, penurunan

impor nonmigas terjadi pada barang modal dan bahan

baku penolong masing-masing sebesar 10,2% dan

8,5%, sedangkan barang konsumsi mengalami sedikit

kenaikan sebesar 3,4% (Tabel 6.3). Meskipun

mengalami penurunan nilai yang cukup besar, pangsa

bahan baku penolong terhadap total nilai impor

nonmigas masih merupakan yang terbesar diban-

dingkan dua kelompok barang lainnya.

Penurunan impor bahan baku penolong dan

barang modal berdasarkan jenis komoditasnya dapat

dilihat pada Tabel 6.4 dan Tabel 6.5. Sementara itu,

penurunan impor barang modal terutama terjadi pada

komoditas lokomotif, kapal & pesawat, dan alat optik

& ukur masing-masing sebesar 26,6%, dan 33,8%.

Ditinjau dari negara asalnya, impor barang

nonmigas Indonesia terutama berasal dari negara-

Traktor & alat pertanian 144,1 -54,0 22 0,1

Alat kerajinan / perhiasan -95,8 27,2 0 0,0

Kontainer & kotak penyimpanan -21,3 29,4 67 0,2

Mesin mekanik 23,3 -1,0 4.253 12,5

Generator & alat elektronika 26,8 -0,2 703 2,1

Lokomotif, kapal, pesawat 50,8 -26,6 1.325 3,9

Alat pertukangan 30,5 -1,5 43 0,1

Alat optik & ukur 57,0 -33,8 427 1,3

Mobil penumpang 797,4 -28,8 96 0,3

T o t a l 33,6 -10,2 6.936 20,3

2000 2001* 2001*

Perubahan Nilai Pangsa

(%) (Juta $) (%)

R i n c i a n

Tabel 6.5

Impor Barang Modal

Tabel 6.3

Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang

Barang konsumsi 2.619 2.708 74,2 3,4 6,8 7,9Bahan baku penolong 26.741 24.481 23,2 -8,5 72,9 71,7Barang modal 7.727 6.936 33,6 -10,2 20,3 20,3

2000 2001* 2000 2001* 2000 2001*

Nilai (Juta $) Pertumbuhan (%) Pangsa (%)R i n c i a n

Makanan & minuman (industri) 8,9 1,2 1.242 3,6

Makanan & minuman (industri 1/2 jadi) -8,8 -2,5 960 2,8

Bahan baku mentah untuk industri -21,1 -15,0 3.004 8,8

Bahan baku 1/2 jadi untuk industri 34,9 -7,4 15.247 44,7

Bahan bakar & pelumas (mentah) -13,4 -10,1 15 0,0

Bahan bakar & pelumas (1/2 jadi) 53,1 28,8 188 0,6

Suku cadang & perlengkapan

barang modal 12,3 3,3 1.931 5,7

Suku cadang & perlengkapan

alat angkutan 139,3 -24,2 1.894 5,6

T o t a l 23,2 -8,5 24.481 71,7

2000 2001* 2001*

Perubahan Nilai Pangsa

(%) (Juta $) (%)

R i n c i a n

Tabel 6.4

Impor Bahan Baku Penolong

Grafik 6.6

Pangsa Impor Nonmigas

Menurut Kawasan Negara Asal

Tahun 2 0 0 1

Tahun 2 0 0 0

Afrika1%

Amerika16%

Australia/Oceania7% Asia kecuali ASEAN

43%

Eropa19%

ASEAN14%

Afrika2%

Amerika16%

Australia/Oceania8% Asia kecuali ASEAN

41%

Eropa18%

ASEAN15%

Neraca Pembayaran

114

negara di kawasan Asia dan Amerika, yang pangsa-

nya sekitar 70% dari total impor nonmigas (Grafik 6.6).

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pangsa

impor dari negara-negara di kawasan tersebut sedikit

berubah. Secara individual, impor dari Amerika Serikat

dan Singapura dalam tahun 2001 masing-masing

sebesar 12% dan 8%, relatif tidak mengalami

perubahan dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu, pangsa impor yang berasal dari

Jepang sebesar 17%, turun dari tahun sebelumnya.

Jasa-jasa

Dalam tahun laporan, neraca jasa masih

mencatat defisit meskipun lebih rendah dari tahun

sebelumnya. Besarnya defisit mencapai $16,7 miliar

atau menurun $380 juta dari tahun 2000. Menurunnya

defisit tersebut berasal dari penurunan defisit jasa

migas sebesar $241 juta dan jasa nonmigas sebesar

$139 juta. Penurunan defisit jasa di sektor migas

terjadi pada jasa freight dan non freight sehingga

masing-masing mencapai defisit sebesar $0,5 miliar

dan $3,8 miliar. Menurunnya defisit tersebut antara

lain terkait dengan penurunan nilai impor migas. Di

sektor nonmigas, defisit jasa freight menurun

sehingga mencapai defisit $2,7 miliar sebagai akibat

menurunnya kegiatan impor nonmigas. Sementara

itu, defisit jasa non-freight mencapai $9,7 miliar atau

menurun dari $9,8 miliar pada tahun sebelumnya. Hal

tersebut terutama berkaitan dengan menurunnya

posisi utang luar negeri swasta dan turunnya suku

bunga di pasar keuangan internasional.

Di sisi penerimaan jasa-jasa nonmigas,

sumber penerimaan devisa terbesar masih berasal

dari sektor pariwisata, kemudian diikuti oleh transfer

pendapatan tenaga kerja Indonesia. Perolehan devisa

bersih dari sektor pariwisata tercatat sebesar $5,0

miliar, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Dalam pada itu, jumlah wisatawan asing yang

berkunjung ke Indonesia dalam 2001 mencapai 5,0

juta orang. Walaupun jumlah kunjungan wisatawan

asing relatif tidak berubah dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, namun lebih rendah dari target

pemerintah yang ditetapkan pada awal 2001 sebesar

5,4 juta orang. Seperti tahun sebelumnya, Denpasar,

Medan, Batam, dan Jakarta, masih tetap merupakan

pintu masuk utama wisatawan mancanegara.

LALU LINTAS MODAL (LLM)

Dalam tahun 2001, defisit transaksi LLM

secara keseluruhan membesar sebagai akibat defisit

LLM pemerintah setelah dalam empat tahun terakhir

mencatat surplus, dan belum pulihnya kinerja LLM

swasta.

Lalu lintas modal pemerintah dalam tahun

2001 mengalami defisit sebesar $0,3 miliar, setelah

tahun sebelumnya mengalami surplus sebesar $3,2

miliar. Defisit lalu lintas modal pemerintah timbul

akibat rendahnya realisasi penarikan pinjaman dari

ADB, IBRD, dan JBIC khususnya pinjaman program

maupun proyek. Pinjaman program dalam tahun

laporan tercatat sebesar $0,5 miliar atau menurun

tajam sebesar $0,9 miliar. Sementara itu, pinjaman

proyek diperkirakan sedikit meningkat sehingga

menjadi $2,5 miliar yang bersumber dari peningkatan

pinjaman non-ODA sebesar $0,2 miliar.

Kendala utama dari kecilnya pencairan

tersebut adalah belum dapat terpenuhinya beberapa

persyaratan yang ditetapkan oleh pihak pemberi

utang yang terkait dengan kebijakan dan peraturan

pemerintah maupun undang-undang (UU) seperti UU

Neraca Pembayaran

115

Pemerintah 75.862 74.916 71.980 72.496 75.185 71.403 Swasta 72.235 66.777 66.335 66.405 62.594 59.841

Bank 10.836 7.718 7.848 7.684 6.564 6.537Nonbank 58.243 56.888 56.409 56.845 54.446 51.666

- PMA 29.805 30.264 29.445 28.731 27.888 26.381- Non PMA 28.438 26.624 26.964 28.114 26.558 25.285

Surat-surat berharga 3.156 2.171 2.078 1.876 1.584 1.638

T o t a l 148.097 141.693 138.316 138.901 137.778 131.244

Anti Money Laundering, UU Kelistrikan dan peraturan

di bidang sumber daya air. Selain rendahnya realisasi

penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, faktor

penyebab defisit adalah adanya pembayaran cicilan

pokok pinjaman yang berasal dari IMF.

Defisit LLM swasta sebesar $8,6 miliar, lebih

rendah $1,4 miliar dari defisit tahun sebelumnya.

Turunnya defisit LLM swasta tersebut dipengaruhi oleh

menurunnya pembayaran utang luar negeri swasta

terutama sektor PMA dari $7,5 miliar pada 2000

menjadi $5,2 miliar pada 2001 serta penurunan net

outflow portfolio investment dari $1,9 miliar menjadi

$1,4 miliar. Dengan perkembangan ini LLM bersih

tercatat mengalami defisit sebesar $8,9 miliar atau

meningkat 31,7% dibandingkan defisit pada tahun

sebelumnya.

Dalam rangka memberikan insentif bagi

investor asing, pemerintah mengeluarkan peraturan

yang memungkinkan bagi investor asing untuk

membeli perusahaan domestik tertentu walaupun

belum berproduksi secara komersial.6 Peraturan yang

mengubah ketentuan tentang kepemilikan saham

pada perusahaan yang didirikan dalam rangka

penanaman modal asing tersebut diharapkan dapat

lebih menarik minat investor asing.

Sementara itu, posisi utang luar negeri

Indonesia hingga akhir 2001 turun 7,4% menjadi

$131,2 miliar dibandingkan dengan posisi akhir tahun

2000 (Tabel 6.6). Penurunan tersebut disebabkan

oleh penurunan pada utang swasta maupun utang

pemerintah. Penurunan utang luar negeri swasta

terutama disebabkan pembayaran terhadap sebagian

6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2001

tanggal 19 Desember 2001 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam

Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

Tabel 6.6

Posisi Utang Luar Negeri Indonesia

1999 20002001

Mar Jun Sept Des*

Grafik 6.7

Pangsa Utang Luar Negeri

utang yang telah jatuh tempo. Sementara penurunan

utang luar negeri pemerintah selain disebabkan oleh

pembayaran utang yang jatuh tempo juga karena

terdepresiasinya yen Jepang terhadap dolar Amerika

Serikat. Dampak depresiasi yen Jepang terhadap

posisi utang luar negeri pemerintah cukup besar

mengingat pangsa utang pemerintah dalam mata

uang yen Jepang yang mencapai sekitar 33% dari

total utang luar negeri pemerintah.

Pangsa utang luar negeri pemerintah men-

capai 54% dari total utang luar negeri sementara

pangsa utang swasta nonbank (termasuk surat-surat

berharga) dan swasta bank masing-masing tercatat

sebesar 41% dan 5% (Grafik 6.7). Meskipun utang

Juta $

Pemerintah

54%

Swasta Bank

5%

Swasta Nonbank

41%

Keterangan

Neraca Pembayaran

116

luar negeri pemerintah lebih besar dari utang luar

negeri swasta, satu hal yang meringankan beban

pembayaran adalah lebih ringannya persyaratan baik

berdasarkan jangka waktu maupun tingkat bunganya.

Dibandingkan dengan tahun sebelumya,

posisi utang luar negeri pemerintah pada akhir tahun

laporan mengalami penurunan sebesar $3,5 miliar.

Dari total utang luar negeri pemerintah, sebesar $29,1

miliar merupakan utang multilateral, $22,7 miliar utang

bilateral, $14,9 miliar berupa fasilitas kredit ekspor

(FKE), $439,2 juta utang leasing, $2,3 miliar utang

komersial dan $2,0 miliar dalam bentuk surat-surat

berharga yang dimiliki oleh investor asing.

Sementara itu, posisi utang luar negeri

swasta pada akhir tahun laporan mencapai $59,8

miliar, turun 10,5% dibandingkan posisi tahun

sebelumnya. Dari total utang swasta tersebut, sebesar

$6,5 miliar merupakan utang swasta bank, $51,7

miliar utang swasta nonbank dan $1,6 miliar dalam

bentuk surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor

asing.

Dilihat dari jangka waktu pembayarannya,

utang luar negeri jangka pendek yang akan jatuh waktu

sampai dengan Desember 2002 diperkirakan

mencapai $25,2 miliar atau 19,2% dari total utang luar

negeri Indonesia (Tabel 6.7). Jumlah tersebut terdiri

dari utang pemerintah dan swasta termasuk bank

masing-masing sebesar $7,6 miliar dan $17,5 miliar,

sementara selebihnya, yaitu sebesar $106,1 miliar

adalah utang dengan jangka waktu lebih dari satu

tahun. Dari total utang jangka pendek swasta sebesar

$17,5 miliar, sebesar $1,2 miliar atau 6,9% merupakan

utang bank dan $16,3 miliar atau 93,1% adalah utang

swasta nonbank. Utang jangka pendek swasta

nonbank yang berjangka waktu sampai dengan satu

tahun (original maturity) mencapai $6,6 miliar atau

40%, sedangkan sebesar $9,8 miliar atau 60%

merupakan utang jangka pendek yang berasal dari

utang jangka panjang yang akan jatuh tempo sampai

dengan Desember 2002 (remaining maturity).

Berdasarkan sektor ekonomi yang dibiayai,

sektor industri pengolahan merupakan sektor

Total Jangka Pendek 7.609,6 1.211,3 6.955,0 532,0 4.125,0 828,0 3.898,6 16.338,6 17.549,9 25.159,5

- Original Maturity2) 49,6 84,3 2.098,7 199,0 1.655,7 115,3 2.490,6 6.559,3 6.643,6 6.693,2

- Remaining Maturity 7.560,0 1.127,0 4.856,3 333,0 2.469,3 712,7 1.408,0 9.779,3 10.906,3 18.466,3

Jangka Menengah

dan Panjang3) 63.793,4 5.325,4 19.426,2 387,2 9.322,9 3.546,7 4.282,3 36.965,3 42.290,7 106.084,0

T o t a l 71.403,0 6.536,7 26.381,2 919,2 13.447,9 4.374,7 8.180,9 53.303,9 59.840,6 131.243,6

Nonbank

Tabel 6.7

Posisi Utang Luar Negeri Menurut Jangka waktu

per Desember 2001*

S w a s t a

PMA LKBB PMDN BUMN BUMS4) Total

Nonbank

Jangka Waktu Pemerintah1) Bank TotalSwasta

1) Angka setelah Paris Club II & London Club

2) Sampai dengan 1 tahun

3) Lebih dari 1 tahun

4) Termasuk Domestik Sekurities

Juta $

No

1

2

Jumlah

Neraca Pembayaran

117

ekonomi terbesar yang dibiayai dengan utang luar

negeri, yaitu mencapai $30,8 miliar atau 23,5% dari

total utang luar negeri. Sektor kedua terbesar adalah

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yaitu

mencapai $26,5 miliar atau 20,2% dari total utang

luar negeri. Berikutnya adalah sektor listrik, gas dan

air bersih sebesar $13,5 miliar atau sekitar 10,3% dari

total utang luar negeri. Dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, terdapat pergeseran dari sektor

keuangan, persewaan dan jasa keuangan kepada

sektor industri sebagai sektor ekonomi terbesar yang

dibiayai oleh utang luar negeri.

Dilihat dari negara pemberi utang, Jepang

merupakan kreditur terbesar dengan jumlah mencapai

$41,3 miliar atau 31,5% dari total utang luar negeri.

Amerika Serikat di urutan kedua dengan jumlah

sebesar $13,3 miliar atau 10,1%, kemudian berturut-

turut diikuti oleh Jerman, Belanda dan Inggris masing-

masing sebesar $7,6 miliar (5,8%), $7,4 miliar (5,6%)

dan $4,2 miliar (3,2%). Sementara itu lembaga

internasional seperti IBRD, IMF dan ADB merupakan

lembaga pemberi pinjaman terbesar masing-masing

mencapai $11,5 miliar (8,8%), $9,1 miliar (6,9%) dan

$7,3 miliar (5,6%).

Dari total utang luar negeri $131,2 miliar,

sebesar $85,5 miliar atau 65,2% tercatat dalam mata

uang dolar Amerika Serikat, sebesar $26,5 miliar atau

20,2% dalam yen Jepang, $9,3 miliar (7,1%) dalam

SDR, $7,1 miliar (5,4%) dalam euro, $1,2 miliar (0,9%)

dalam poundsterling dan selebihnya dalam beberapa

mata uang lainnya.

Dalam hal restrukturisasi utang, periode

laporan ini ditandai dengan timbulnya ketidakpastian

proses restrukturisasi utang luar negeri pemerintah.

Hambatan tersebut terkait dengan lambatnya penye-

lesaian penjadwalan ulang tahap kedua Paris Club II

(1 April 2001 s.d 31 Maret 2002) sebesar $2,7 miliar

yang disebabkan oleh tertundanya kesepakatan

tentang Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan

Pemerintah RI. Salah satu penyebab tertundanya

kesepakatan tersebut adalah masih terdapatnya ke-

tidaksesuaian mengenai masalah pencapaian target

privatisasi BUMN, asset recovery oleh BPPN, dan

amandemen Undang-Undang Bank Sentral oleh

DPR.

Di sektor perbankan, dari total utang yang

berhasil direstrukturisasi melalui Program Interbank

Debt Exchange Offer I dan II (EO I dan EO II) sebesar

$6,3 miliar (terdiri dari EO I sebesar $3 miliar dan EO

II sebesar $3,3 miliar), sebesar $2,9 miliar telah

dilunasi baik melalui pembayaran sesuai jadwal yang

telah ditentukan (repayment) maupun melalui

prepayment dan pembelian kembali. Sampai dengan

tahun 2001, beberapa hal telah dilakukan, yaitu

repayment EO I dan II sebesar $2,1 miliar,

prepayment sebesar $457,0 juta dan pembelian

kembali sebesar $346,2 juta. Posisi pokok pinjaman

Exchange Offer I dan II yang masih harus dibayar

masing-masing sebesar $284,4 juta dan $3,1 miliar

atau total sebesar $3,4 miliar.

Sementara proses penyelesaian restruk-

turisasi utang luar negeri swasta secara umum juga

masih berjalan lambat. Sampai dengan akhir tahun

laporan, baru sebanyak 68 korporasi yang melapor-

kan ke Bank Indonesia telah menyelesaikan restruk-

turisasi utang luar negeri dengan total nilai sekitar

$4,1 miliar. Dibandingkan dengan posisi utang luar

negeri korporasi yang bermasalah sekitar $30 miliar

(estimasi Prakarsa Jakarta/JITF), maka jumlah utang

luar negeri yang telah berhasil direkstrukturisasi

Neraca Pembayaran

118

DSR 44,5 57,9 56,8 41,1 39,4 20,0Rasio Total Utang

terhadap Ekspor 207,3 261,8 252,1 191,0 194,5 130–220

Rasio Total Utangterhadap PDB 62,2 146,3 105,0 92,8 90,3 50–80

1997 1998 1999 2000 2001* Kriteria

Bank Dunia

P e r s e n

I n d i k a t o r

Tabel 6.8

Indikator Beban Utang

ditetapkan oleh Bank Dunia (Tabel 6.8). Rasio pem-

bayaran utang terhadap ekspor (DSR) tercatat

sebesar 39,4%, rasio total utang terhadap ekspor dan

rasio total utang terhadap PDB masing-masing

sebesar 194,5% dan 90,3%. Masih tingginya rasio

beban utang tersebut menunjukkan masih beratnya

beban utang luar negeri dan masih tingginya tingkat

ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap

sumber dana dari luar negeri.

CADANGAN DEVISA

Dengan defisit neraca pembayaran sebesar

$1,4 miliar, posisi cadangan devisa pada akhir 2001

mencapai $28,0 miliar atau setara dengan 6,1 bulan

impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah

(Grafik 6.8).

masih tergolong kecil, yaitu hanya sekitar 13,7%.

Lambatnya proses restrukturisasi utang luar negeri

sektor swasta secara umum disebabkan oleh faktor-

faktor teknis seperti lamanya proses negosiasi

mengenai terms and conditions yang disebabkan

ketidaksesuaian antara syarat yang ditawarkan

kreditur dengan kondisi arus dana perusahaan dan

sulitnya mengakomodir berbagai kepentingan dari

banyak pihak yang terlibat dalam proses

restrukturisasi khususnya untuk pinjaman sindikasi.

Lambatnya proses restrukturisasi tersebut juga

dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar yang sukar

diprediksi sehingga menyebabkan sulitnya penyusu-

nan proyeksi arus dana bagi perusahaan.

Belum terselesaikannya berbagai permasa-

lahan mendasar di sektor eksternal menyebabkan

rasio-rasio beban utang selama tahun 2001 relatif

masih tinggi dibandingkan dengan kriteria yang

1) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCL, menggantikan konsep cadangan devisa bruto (GFA)

0

5

10

15

20

25

30

1997 1998 1999 20001) 2001*

Miliar $

Grafik 6.8

Cadangan Devisa

Neraca Pembayaran

118

Keuangan Pemerintah

119

bab 7 KEUANGAN PEMERINTAH

Keuangan Pemerintah

120

b a b 7

KEUANGAN PEMERINTAH

K ondisi keuangan pemerintah selama beberapa

bulan pertama tahun 2001 mendapat tekanan

yang cukup berat. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga)

faktor utama yang menjadi penyebab, yaitu pertama,

memburuknya lingkungan makroekonomi, terutama

nilai tukar rupiah dan suku bunga Sertifikat Bank Indo-

nesia (SBI); kedua, tidak terlaksananya atau tidak opti-

malnya beberapa kebijakan fiskal yang direncanakan

seperti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

terhadap beberapa komoditas strategis dan kenaikan

harga seluruh produk BBM sebesar rata-rata 20

persen; dan ketiga, adanya pembatalan sebagian

rencana pencairan pinjaman program sebagai pendu-

kung pembiayaan pembangunan.

Perkembangan berbagai indikator makro-

ekonomi, penundaan, dan pembatalan beberapa ke-

bijakan fiskal tersebut di atas dikhawatirkan akan mem-

berikan dampak negatif terhadap APBN 2001 berupa

membengkaknya defisit anggaran. Menghadapi hal

tersebut, Pemerintah melakukan beberapa penye-

suaian fiskal dengan merevisi APBN pada periode

berjalan melalui Paket Kebijakan Penyesuaian APBN

2001. Beberapa asumsi dasar penyusunan APBN 2001

seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, dan

suku bunga SBI 3 bulan disesuaikan dengan angka-

angka perkiraan yang lebih realistis (Tabel 7.1). Selain

itu, pemerintah menyusun ulang berbagai rencana aksi

(action plan) penyesuaian fiskal (policy measures) baik

di sisi pendapatan dan belanja negara maupun

pembiayaan anggaran. Dengan berbagai penyesuaian

di atas, target defisit diupayakan tetap konsisten

dengan kebijakan umum jangka menengah dan jangka

panjang (Propenas dan GBHN) atau dikendalikan

seperti rencana semula yaitu sebesar 3,7% dari PDB.

Adapun beberapa action plan penyesuaian

di sisi pendapatan negara antara lain adalah (a) pe-

ningkatan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12,5 per-

sen; (b) program penyisiran (canvassing) wajib pa-

jak PPN yang ditujukan pada pedagang eceran yang

mempunyai omzet di atas Rp360 juta per tahun; (c)

peningkatan harga jual eceran (HJE) hasil tembakau;

(d) pengupayaan pay out ratio dari deviden BUMN

tahun buku 2000 agar mencapai angka 50%; dan (e)

penyelesaian tunggakan pinjaman Pemerintah Dae-

rah yang mempunyai surplus anggaran dari dana

perimbangan.

Di sisi belanja negara antara lain adalah (a)

penghematan anggaran belanja pegawai dengan

Tabel 7.1

Asumsi Pokok APBN 2001

A s u m s i2000 2 0 0 1

APBN1) APBN APBNR) APBNP)

PDB a.d. harga berlaku (triliun rupiah) 988,3 1.425,0 1.468,1 1.476,2

Pertumbuhan ekonomi (%) 4,9 5,0 3,5 3,5

Laju inflasi (%) 8,33 7,20 9,30 11,90

Harga minyak mentah ($ per barel) 29,2 24,0 24,0 24,6

Produksi minyak mentah

(juta barel per hari) 1,4 1,5 1,5 1,3

Nilai Tukar (Rp/$) 8.774 7.800 9.600 10.219

Suku bunga SBI 3 bulan rata-rata (%) 12,70 11,50 15,00 16,40

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 2000R) APBN penyesuaian (revisi)P) APBN perubahan (perkiraan realisasi)Sumber : Departemen Keuangan

Keuangan Pemerintah

121

mempercepat proses pemindahan pegawai pusat ke

daerah; (b) penghematan anggaran subsidi BBM

melalui kenaikan harga BBM; (c) pengurangan

subsidi listrik melalui kenaikan tarif dasar listrik; (d)

rasionalisasi dan lebih memfokuskan alokasi angga-

ran pengeluaran pembangunan; dan (e) penetapan

alokasi dana perimbangan yang berasal dari dana

bagi hasil dan dana alokasi umum sesuai rencana

semula.

Di sisi pembiayaan anggaran, kebijakan

penyesuaian yang diambil adalah penerbitan obligasi

pemerintah yang diharapkan akan dibeli oleh bebe-

rapa pemerintah daerah yang memiliki surplus dana

perimbangan dan pengoptimalan penarikan pinjaman

program yang telah ada (within the pipe line).

Meskipun telah direvisi, pelaksanaan APBN

tetap menghadapi tantangan yang tidak mudah,

khususnya di sisi pembiayaan anggaran dan belanja

negara sebagaimana tercermin dari angka perkiraan

realisasi dalam APBN-Perubahan 2001.1) Di sisi

pembiayaan anggaran, penarikan utang luar negeri

diperkirakan 24,5% di bawah target, sementara di sisi

pengeluaran pembayaran subsidi BBM diperkirakan

27% di atas target. Rendahnya penarikan utang luar

negeri terutama karena penundaan penyaluran utang

oleh donor sehubungan belum terpenuhinya policy

matrix sebagai syarat pencairan pinjaman program

dan sempitnya kurun waktu yang tersedia untuk imple-

mentasi proyek pasca dilakukannya revisi APBN.

Sementara itu, pelampauan subsidi BBM –meskipun

pemerintah telah menaikkan harga BBM sebesar rata-

rata 30%– terutama diakibatkan oleh lebih tingginya

jumlah konsumsi BBM dari perkiraan semula dan

adanya pembebanan kekurangan pembayaran

subsidi tahun 2000 sesuai hasil audit BPKP.

Permasalahan pada pembiayaan anggaran

dan belanja negara tersebut terlihat sangat mem-

pengaruhi manajemen likuiditas pemerintah selama

2001. Rendahnya tingkat penarikan utang luar negeri

berdampak langsung pada rendahnya realisasi

pengeluaran pembangunan, sedangkan tingginya

pengalokasian dana untuk subsidi BBM secara tidak

langsung telah membatasi ruang gerak pemerintah

untuk menyediakan dana pendamping rupiah untuk

proyek-proyek yang didanai dengan utang luar

negeri.

Di luar permasalahan tersebut di atas, perlu

pula dicatat bahwa pemerintah berhasil merea-

lisasikan beberapa pos penting dalam APBN sesuai

dengan masing-masing target anggarannya. Di sisi

penerimaan, penerimaan perpajakan berhasil men-

capai target dengan tax ratio yang sedikit meningkat

dibandingkan tahun lalu 11,7% menjadi 12,5%. Di sisi

pembiayaan, penjualan aset program restrukturisasi

perbankan bahkan melampaui target, meskipun

diwarnai dengan berbagai tantangan dalam imple-

mentasinya. Sementara itu, di sisi pengeluaran peme-

rintah berhasil memenuhi kewajibannya untuk penge-

luaran-pengeluaran yang bersifat wajib (non-discre-

tionary) seperti belanja pegawai, bunga utang, sub-

sidi, dan dana perimbangan.

Secara keseluruhan, pendapatan dan belanja

negara melampaui target dengan angka persentase

yang hampir sama yaitu 4,8% dan 4,2% di atas target.

Dengan kondisi tersebut, defisit operasi keuangan

pemerintah pada 2001 diperkirakan dapat diken-

dalikan pada angka Rp54,7 triliun atau 3,7% dari PDB,

relatif sama dengan rencana defisit sebesar Rp54,31 Disahkan dengan UU No. 1 Tahun 2002, tanggal 7 Januari 2002

Keuangan Pemerintah

122

triliun atau 3,7% dari PDB pada APBN penyesuaian

2001.

Dalam kaitannya dengan permintaan agre-

gat, kontribusi sektor pemerintah terhadap per-

mintaan agregat masih meningkat dibandingkan ta-

hun lalu dari 10,8% menjadi 11,9% dari PDB. Pening-

katan tersebut terutama disumbang oleh alokasi dana

ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbang-

an. Sebagian besar (65%) dari pengeluaran

pemerintah yang mempengaruhi permintaan agregat

tersebut adalah dalam bentuk pengeluaran konsumsi,

sisanya dalam bentuk pengeluaran investasi.

Sementara itu, alokasi dana untuk pembayaran

transfer ke sektor swasta meningkat cukup tajam dari

6,4% menjadi 10,0% dari PDB sehubungan dengan

lebih tingginya alokasi dana untuk pembayaran

subsidi dan bunga utang dalam negeri.

Dalam kaitannya dengan bidang moneter,

operasi keuangan pemerintah selama 2001 secara

neto mengalami ekspansi terhadap jumlah uang

beredar setara 3,8% dari PDB, meningkat

dibandingkan tahun lalu yang tercatat 3,3% dari PDB.

Di sisi lain, untuk membiayai ekspansi rupiah neto

tersebut terjadi aliran devisa masuk bersih setara

3,3% dari PDB, menurun dibandingkan tahun lalu

yang tercatat 4,7% dari PDB. Dengan demikian,

selama 2001 terjadi Sisa Kurang Pembiayaan

Anggaran (SIKPA)2 sebesar Rp7,6 triliun atau setara

0,5% dari PDB.

PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH

Realisasi pendapatan negara dan hibah

diperkirakan mencapai Rp299,9 triliun atau 4,8% di

atas target APBN penyesuaian (Tabel 7.2). Jumlah

ini setara dengan 20,3% terhadap PDB atau sedikit

lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2000 yang

mencapai 20,7%. Sumber pendapatan negara

terbesar masih berasal dari kelompok penerimaan

perpajakan sebesar Rp184,7 triliun atau 61,6% dari

total penerimaan. Dengan pencapaian tersebut, tax

ratio mencapai 12,5% dari PDB atau hampir sama

dengan target anggaran yang ditetapkan sebesar

12,6% dari PDB. Perolehan penerimaan perpajakan

tersebut dimotori oleh penerimaan pajak nonmigas,

sedangkan pencapaian pajak migas berada di bawah

target karena rendahnya penerimaan migas. Penca-

paian penerimaan pajak nonmigas dimotori oleh

penerimaan dari pajak penghasilan nonmigas dan

pajak pertambahan nilai. Sementara itu, penerimaan

yang bersumber dari bukan pajak berhasil menyum-

bang Rp115,1 triliun atau 14,3% di atas target yang

sebagian besar berasal dari penerimaan migas.

Secara individual, sumber pendapatan nega-

ra terbesar berasal dari pajak penghasilan nonmigas

dan pajak pertambahan nilai yang masing-masing

menyumbang Rp69,7 triliun (23,2%) dan Rp55,8

triliun (18,6%) dari total pendapatan negara atau

setara dengan 4,7% dan 3,8% terhadap PDB. Kontri-

busi komponen-komponen di atas terhadap total

pendapatan negara selama 2001 lebih tinggi diban-

dingkan dengan 2000 yang masing-masing hanya

menyumbang 18,8% dan 17,1% dari total penerimaan

atau setara dengan 3,9% dan 3,5% terhadap PDB.

Pencapaian penerimaan di sektor-sektor tersebut

antara lain didukung oleh kenaikan tarif pajak

penghasilan atas bunga deposito, tabungan, dan

diskonto SBI dari 15% menjadi 20%, peningkatan

ekstensifikasi PPh dan intensifikasi pemungutannya,2 Selisih kurang antara total penerimaan dan pembiayaan terhadap

total pengeluaran

Keuangan Pemerintah

123

optimalisasi program penyisiran (canvassing) wajib

pajak terutama kepada pedagang eceran yang

memiliki omzet di atas Rp360 juta per tahun.

Sementara itu, pada kelompok penerimaan

bukan pajak porsi terbesar masih berasal dari migas

yang secara total menyumbang Rp81,9 triliun

(27,3%) dari total pendapatan negara atau setara

dengan 5,6% terhadap PDB. Kontribusi migas

tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2000 yang

masing-masing tercatat 32,5% atau setara dengan

6,8% dari PDB mengingat rata-rata produksi minyak

mentah turun dari 1,5 juta barel menjadi 1,3 juta barel

per hari. Meskipun terjadi penurunan produksi, pene-

Tabel 7.2

Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2001

R i n c i a n

2 0 0 1

APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB

2 0 0 01)

A. Pendapatan Negara dan Hibah 204,9 20,7 286,0 19,5 299,9 104,8 20,3

I. Penerimaan Dalam Negeri 204,9 20,7 286,0 19,5 299,8 104,8 20,3

1. Penerimaan Pajak 115,8 11,7 185,3 12,6 184,7 99,7 12,5

a. Pajak Dalam Negeri 108,8 11,0 174,3 11,9 174,2 100,0 11,8

i. Pajak penghasilan 57,1 5,8 95,0 6,5 92,8 97,7 6,3 1. Migas 18,7 1,9 25,7 1,8 23,1 89,8 1,6 2. Nonmigas 38,4 3,9 69,2 4,7 69,7 100,6 4,7ii. Pajak pertambahan nilai 35,0 3,5 53,5 3,6 55,8 104,5 3,8iii. Pajak bumi dan bangunan 3,5 0,4 5,1 0,3 4,8 94,2 0,3iv. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 0,9 0,1 1,2 0,1 1,5 124,6 0,1v. Cukai 11,3 1,1 17,6 1,2 17,6 100,1 1,2vi. Pajak lainnya 0,9 0,1 1,9 0,1 1,7 86,2 0,1

b. Pajak Perdagangan Internasional 7,0 0,7 11,0 0,7 10,5 95,8 0,7

i. Bea masuk 6,7 0,7 10,4 0,7 9,8 94,5 0,7ii. Pajak/pungutan ekspor 0,3 0,0 0,6 0,0 0,7 118,6 0,0

2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 89,2 9,0 100,7 6,9 115,1 114,3 7,8

a. Penerimaan SDA 76,0 7,7 79,4 5,4 86,7 109,1 5,9

i. Minyak Bumi 51,0 5,2 57,9 3,9 60,0 103,8 4,1ii. Gas Alam 15,7 1,6 17,4 1,2 21,8 125,8 1,5iii. Pertambangan Umum 0,6 0,1 0,9 0,1 1,6 175,3 0,1iv. Kehutanan 8,8 0,9 3,0 0,2 3,0 100,0 0,2v. Perikanan 0,0 0,0 0,3 0,0 0,1 50,0 0,0

b. Bagian Laba BUMN 3,9 0,4 9,0 0,6 10,4 116,0 0,7

c. PNBP Lainnya 9,3 0,9 12,3 0,8 18,0 146,4 1,2

II. Hibah - - - - 0,0 - 0,0

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber : Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

PPh Migas8%

PPN19%Cukai

6%

Migas27%

Pajak Lainnya6%

Non pajaklainnya

11% PPh Nonmigas23%

Grafik 7.1

Komposisi Penerimaan Pemerintah

pencabutan berbagai fasilitas PPN dab PPnBM yang

diberikan kepada pengusaha kena pajak tertentu, dan

Keuangan Pemerintah

124

rimaan migas pada 2001 dapat melampaui target

karena faktor melemahnya nilai tukar rupiah dan

adanya penerimaan minyak bumi pada tahun ang-

garan 2000 yang baru disetorkan pada tahun

anggaran 2001.

Beberapa pos penerimaan lainnya –yang

umumnya pos-pos yang relatif kecil— terlihat jauh di

bawah target. Pos-pos tersebut antara lain adalah bea

masuk dan pajak lainnya. Rendahnya penerimaan

dari bea masuk antara lain disebabkan oleh penuru-

nan tarif bea masuk terutama untuk komoditas yang

terkait dengan perjanjian internasional berdasarkan

UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Semen-

tara itu, rendahnya penerimaan dari pajak lainnya

antara lain disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah

transaksi yang memerlukan meterai.

BELANJA NEGARA

Realisasi belanja negara yang dicerminkan

baik dari belanja pemerintah pusat dan dana perim-

bangan diperkirakan mencapai Rp354,6 triliun atau

4,2% di atas target (Tabel 7.3). Jumlah ini setara

dengan 24,0% dari PDB atau lebih tinggi diban-

dingkan dengan tahun 2000 yang mencapai 23,3%

dari PDB. Pengeluaran terbesar pemerintah tersebut

didominasi oleh pengeluaran rutin pemerintah pusat

yang mencapai Rp232,8 triliun atau 65,7% dari total

pengeluaran atau setara dengan 15,8% dari PDB.

Sementara itu, realisasi pengeluaran pembangunan

mencapai Rp39,4 triliun atau 11,1% dari total penge-

luaran atau setara 2,7% dari PDB nominal. Sisanya

sebesar Rp82,4 triliun (23,2%) atau setara dengan

5,6% dari PDB nominal diperuntukkan bagi dana

perimbangan. Jika dibandingkan dengan target,

realisasi pengeluaran rutin pemerintah pusat dan

dana perimbangan diperkirakan akan melampaui

target, yaitu masing-masing 107,9% dan 101,1%.

Grafik 7.3

Komposisi Pengeluaran Pemerintah

Belanja Pegawai11%

Bunga Utang27%

Dana Perimbangan23%

Pembangunan11%

Lainnya5%

Subsidi23%

Realisasi

Budget

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0

Belanja Pegawai

Subsidi

Bunga Utang

Dana Perimbangan

Pembangunan

Lainnya 74,4%

91,4%

101,1%

106,7%

123,1%

103,5%

Grafik 7.4

Pencapaian Target Pengeluaran Pemerintah

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0

PPh Migas

PPh Nonmigas

PPN

Cukai

Migas

Pajak Lainnya

Non pajak lainnya Realisasi

Budget

130,2%

96,2%

100,1%

104,5%

100,6%

89,8%

108,9%

Grafik 7.2

Pencapaian Target Penerimaan Pemerintah

Keuangan Pemerintah

125

Tabel 7.4.

Perkiraan Realisasi Dana Perimbangan Tahun Anggaran 2001 (triliun Rp)

B. Belanja Negara 219,9 22,3 340,3 23,2 354,6 104,2 24,0

I. Belanja Pemerintah Pusat 187,1 18,9 258,8 17,6 272,2 105,1 18,4

1. Pengeluaran Rutin 161,4 16,3 215,8 14,7 232,8 107,9 15,8

a. Belanja Pegawai 29,4 3,0 38,2 2,6 39,5 103,5 2,7

i. Gaji dan Pensiun 24,3 2,5 31,9 2,2 33,3 104,3 2,3ii. Tunjangan Beras 1,5 0,2 1,3 0,1 1,3 98,3 0,1iii. Uang Makan/Lauk Pauk 1,8 0,2 2,1 0,1 2,1 100,0 0,1iv. Lain-lain Belanja Pegawai DN 1,5 0,1 1,4 0,1 1,8 133,5 0,1v. Belanja Pegawai LN 0,3 0,0 1,5 0,1 1,1 69,9 0,1

b. Belanja Barang 8,1 0,8 9,9 0,7 9,6 96,9 0,7

i. Belanja Barang DN 8,0 0,8 8,7 0,6 8,7 100,0 0,6ii. Belanja Barang LN 0,1 0,0 1,2 0,1 0,9 74,0 0,1

c. Pembayaran Bunga Utang 50,1 5,1 89,6 6,1 95,5 106,7 6,5

i. Utang Dalam Negeri 31,2 3,2 61,2 4,2 66,3 108,3 4,5ii. Utang Luar Negeri 18,8 1,9 28,4 1,9 29,3 103,1 2,0

d. Subsidi 62,8 6,4 66,3 4,5 81,6 123,1 5,5

i. Subsidi BBM 53,6 5,4 53,8 3,7 68,4 127,2 4,6ii. Subsidi non BBM 9,1 0,9 12,5 0,9 13,2 105,6 0,9 - Pangan 2,2 0,2 2,4 0,2 2,7 110,6 0,2 - Listrik 3,9 0,4 4,7 0,3 4,6 97,7 0,3 - Bunga Kredit Program 2,4 0,2 4,9 0,3 4,9 100,0 0,3 - Lainnya 0,6 0,1 0,4 0,0 1,0 237,5 0,1

e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,0 1,1 11,8 0,8 6,5 55,5 0,4

2. Pengeluaran Pembangunan 25,7 2,6 43,1 2,9 39,4 91,4 2,7

a. Pembiayaan pembangunan rupiah 9,4 0,9 20,6 1,4 19,7 95,6 1,3b. Pembiayaan proyek 16,3 1,7 22,5 1,5 19,7 87,5 1,3

II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,6

1. Dana Perimbangan 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,6

a. Dana Bagi Hasil 4,3 0,4 20,3 1,4 21,2 104,6 1,4b. Dana Alokasi Umum 28,6 2,9 60,5 4,1 60,5 100,0 4,1c. Dana Alokasi Khusus - - 0,7 0,0 0,7 100,0 0,0

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang - - - - - - -

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 2000

2) APBN penyesuaian (revisi)

3) APBN perubahan

Sumber : Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.3

Perkiraan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001

R i n c i a n

2 0 0 1

APBN2) APBN3)

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB

2 0 0 01)

Sementara itu, realisasi pengeluaran pembangunan

diperkirakan hanya mencapai 91,4% dari target.

Jika dilihat dari komponennya, sebagian be-

sar atau 84,3% dari pengeluaran pemerintah dido-

minasi oleh belanja wajib pemerintah (non-discre-

tionary items), seperti bunga utang, subsidi dana

perimbangan, dan belanja pegawai, pembayaran,

dan dengan alokasi dana masing-masing sebesar

26,9%, 23,0%, 23,2%, dan 11,2%, dari total

pengeluaran dan tingkat realisasi masing-masing

sebesar 106,7%, 123,1%, 101,1%, dan 103,5%, dari

target yang ditetapkan. Tingginya alokasi dana untuk

pembayaran bunga utang terkait dengan kenaikan

suku bunga SBI dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Tingginya alokasi dana untuk pengeluaran subsidi

disebabkan oleh peningkatan volume konsumsi BBM

dalam negeri dari 52,8 juta kiloliter menjadi 56,6 juta

kiloliter, lebih besarnya depresiasi nilai tukar terhadap

Keuangan Pemerintah

126

dolar AS dari perkiraan semula, dan adanya koreksi

kekurangan pembayaran subsidi tahun 2000 yang

mencapai Rp5,6 trilliun sesuai hasil audit BPKP. Ren-

dahnya realisasi pengeluaran pembangunan terkait

langsung dengan rendahnya penarikan utang luar

negeri pemerintah.

Sementara itu, menandai dimulainya desen-

tralisasi keuangan pusat ke daerah (otonomi daerah),

pemerintah telah mengalokasikan hampir 23,2% dari

total pengeluarannya untuk dana perimbangan. Se-

cara umum, meskipun implementasi otonomi daerah

ini diwarnai oleh berbagai tantangan, namun tingkat

pencapaiannya sesuai dengan target anggaran. Alo-

kasi terbesar diperuntukkan untuk dana alokasi umum

(DAU) dengan porsi sebesar hampir 73,4% dari rea-

lisasi dana perimbangan. Di dalam dana alokasi

umum tersebut sudah termasuk pembayaran rapel

gaji pegawai negeri sipil (PNS) yang pelaksanaannya

dimulai sekitar pertengahan 2001.

DEFISIT DAN PEMBIAYAAN

Dengan pelampauan pendapatan dan

belanja negara di atas target masing-masing sebesar

angka persentase yang hampir sama, maka defisit

operasi keuangan pemerintah pada 2001 diperkirakan

dapat dikendalikan pada angka Rp54,7 triliun atau

3,7% dari PDB, relatif sama dengan rencana defisit

sebesar Rp54,3 triliun atau 3,7% dari PDB pada APBN

penyesuaian 2001 (Tabel 7.4). Sebagian besar defisit

tersebut ditutup dengan penjualan aset program

restrukturisasi perbankan sebesar Rp31,0 triliun

(56,6%), pembiayaan luar negeri neto sebesar Rp10,5

triliun (19,3%), dan privatisasi sebesar Rp5,0 triliun

(9,1%). Dengan lebih kecilnya total sumber pem-

biayaan dibandingkan dengan realisasi defisit, maka

terdapat SIKPA sebesar Rp7,6 triliun atau 0,5% dari

PDB yang akan mengurangi rekening pemerintah

bersih di sistem moneter.

Dilihat dari pencapaian sasaran, penjualan

aset program restrukturisasi perbankan mencapai

114,7%, sedangkan privatisasi dan pembiayaan luar

negeri neto masing-masing hanya 76,9% dan 52,9%.

Rendahnya hasil privatisasi antara lain disebabkan

oleh masih belum kondusifnya pasar modal domestik

maupun internasional, perbedaan kepentingan

antara pihak yang terlibat dalam proses privatisasi,

infrastruktur maupun law enforcement yang masih

lemah, dan belum selesainya restrukturisasi pe-

rusahaan.

Dari sisi eksternal, rendahnya tingkat penari-

kan utang luar negeri terjadi baik pada jenis pinjaman

program maupun pinjaman proyek dengan tingkat

pencapaian masing-masing sebesar 65,0% dan

82,8% dari target anggaran. Rendahnya tingkat pe-

narikan pinjaman program terutama disebabkan oleh

belum dapat dipenuhinya beberapa persyaratan dan

jadwal penyelesaian dalam matriks kebijakan (policy

matrix) sesuai kesepakatan antara pemerintah

dengan negara donor, seperti penyelesaian Undang-

Undang (UU) tentang money laundering, UU tentang

kelistrikan, dan Amandemen UU No.23/1999 tentang

Bank Indonesia. Sementara itu, rendahnya tingkat

penarikan pinjaman proyek antara lain disebabkan

oleh sempitnya kurun waktu yang tersedia untuk

implementasi proyek pasca dilakukannya revisi APBN

dan terbatasnya dana pendamping rupiah untuk

proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar

negeri. Adapun komposisi antara pinjaman program

dan pinjaman proyek terhadap jumlah penarikan

utang luar negeri adalah sebesar 35% dan 65%.

Keuangan Pemerintah

127

Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Per-

mintaan Agregat, Moneter dan Neraca Pembayaran.

Pemerintah diperkirakan telah melakukan

pengeluaran sebesar Rp354,6 triliun, dimana 49,5%

atau setara dengan Rp175,5 triliun (11,9% dari PDB)

diantaranya mempengaruhi permintaan agregat

sebagai belanja konsumsi dan investasi pemerintah

(Tabel 7.5). Dari jumlah yang mempengaruhi

permintaan agregat tersebut , 65,1% diantaranya da-

lam bentuk pengeluaran konsumsi dan sisanya

A. Pendapatan Negara dan Hibah 204,9 20,7 286,0 19,5 299,9 104,8 20,3I. Penerimaan Dalam Negeri 204,9 20,7 286,0 19,5 299,8 104,8 20,3

1. Penerimaan Pajak 115,8 11,7 185,3 12,6 184,7 99,7 12,5a. Pajak Dalam Negeri 108,8 11,0 174,3 11,9 174,2 100,0 11,8b. Pajak Perdagangan Internasional 7,0 0,7 11,0 0,7 10,5 95,8 0,7

2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 89,2 9,0 100,7 6,9 115,1 114,3 7,8a. Penerimaan SDA 76,0 7,7 79,4 5,4 86,7 109,1 5,9b. Bagian Laba BUMN 3,9 0,4 9,0 0,6 10,4 116,0 0,7c. PNBP Lainnya 9,3 0,9 12,3 0,8 18,0 146,4 1,2

II. Hibah - - - - 0,0 - 0,0

B. Belanja Negara 219,9 22,3 340,3 23,2 354,6 104,2 24,0I. Belanja Pemerintah Pusat 187,1 18,9 258,8 17,6 272,2 105,1 18,4

1. Pengeluaran Rutin 161,4 16,3 215,8 14,7 232,8 107,9 15,8a. Belanja Pegawai 29,4 3,0 38,2 2,6 39,5 103,5 2,7b. Belanja Barang 8,1 0,8 9,9 0,7 9,6 96,9 0,7c. Pembayaran Bunga Utang 50,1 5,1 89,6 6,1 95,5 106,7 6,5d. Subsidi 62,8 6,4 66,3 4,5 81,6 123,1 5,5e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,0 1,1 11,8 0,8 6,5 55,5 0,4

2. Pengeluaran Pembangunan 25,7 2,6 43,1 2,9 39,4 91,4 2,7a. Pembiayaan pembangunan rupiah 9,4 0,9 20,6 1,4 19,7 95,6 1,3b. Pembiayaan proyek 16,3 1,7 22,5 1,5 19,7 87,5 1,3

II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,61. Dana Perimbangan 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,62. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang - - - - - - -

C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0D. Keseimbangan Primer 35,1 3,6 35,2 2,4 40,8 115,7 2,8E. Surplus/(Defisit) Anggaran (15,0) (1,5) (54,3) (3,7) (54,7) 100,7 (3,7)

F. Pembiayaan 15,0 1,5 54,3 3,7 54,7 100,7 3,7I. Pembiayaan Dalam Negeri 5,4 0,6 34,4 2,3 44,2 128,5 3,0

1. Perbankan dalam negeri (13,5) (1,4) 0,0 0,0 7,6 - 0,52. Non-Perbankan dalam negeri 18,9 1,9 34,4 2,3 36,6 106,5 2,5

a, Privatisasi 0,0 0,0 6,5 0,4 5,0 76,9 0,3b, Penjualan aset program restrukturisasi perbankan 18,9 1,9 27,0 1,8 31,0 114,7 2,1c, Penjualan Obligasi Pemerintah 0,0 0,0 0,9 0,1 0,7 74,2 0,0

II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 9,6 1,0 19,9 1,4 10,5 52,9 0,71. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 17,2 1,7 40,1 2,7 30,3 75,5 2,1

a. Pinjaman Program 0,8 0,1 16,3 1,1 10,6 65,0 0,7b. Pinjaman Proyek 16,3 1,7 23,7 1,6 19,7 82,8 1,3

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (7,6) (0,8) (20,2) (1,4) (19,7) 98,0 (1,3)

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.4

Perkiraan Operasi Keuangan Pemerintah Tahun 2001

R i n c i a n

2 0 0 1

APBN2) APBN3)

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB

2 0 0 01)

Keuangan Pemerintah

128

I. Konsumsi Pemerintah 76,7 7,8 117,7 8,0 114,3 97,1 7,7

Belanja Pegawai DN 29,1 2,9 36,7 2,5 38,5 104,9 2,6Belanja Barang DN 8,0 0,8 8,7 0,6 8,7 100,0 0,6Dana Alokasi Umum 28,6 2,9 60,5 4,1 60,5 100,0 4,1Pengeluaran Rutin Lainnya 11,0 1,1 11,8 0,8 6,5 55,5 0,4

II. Pembentukan Modal Domestik Bruto 29,9 3,0 64,0 4,4 61,3 95,7 4,2

Pembiayaan Dalam Rupiah 9,4 0,9 20,6 1,4 19,7 95,6 1,3Bantuan Proyek 16,3 1,7 22,5 1,5 19,7 87,5 1,3Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus 4,3 0,4 21,0 1,4 21,9 104,4 1,5

III. Jumlah I + II 106,6 10,8 181,8 12,4 175,5 96,6 11,9

Memo Items : Pembayaran Transfer 94,0 6,4 127,4 8,7 147,8 120,6 10,0a. Bunga Utang Dalam Negeri 31,2 2,1 61,2 4,2 66,3 108,3 4,5b. Subsidi 62,8 4,3 66,3 4,5 81,6 12,3 5,5

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

sebesar 34,9% dalam bentuk pengeluaran investasi.

Sementara itu, 41,7% dari total pengeluaran atau

setara dengan Rp147,8 triliun (10,0% dari PDB)

digunakan untuk pembayaran transfer ke sektor

swasta dalam bentuk pembayaran subsidi dan pem-

bayaran bunga utang dalam negeri.

Dibandingkan tahun sebelumnya, penge-

luaran konsumsi pemerintah terlihat hampir sama

yaitu dari 7,8% menjadi 7,7% dari PDB, sedangkan

pengeluaran investasi pemerintah meningkat dari

3,0% menjadi 4,2% terutama karena adanya alokasi

dana untuk dana bagi hasil (DBH) mulai 2001.

Sementara itu, pembayaran transfer ke sektor swasta

dalam bentuk subsidi dan bunga utang dalam negeri

meningkat cukup tajam dari 6,4% menjadi 10,0% dari

PDB. Secara keseluruhan, kontribusi langsung sektor

pemerintah terhadap permintaan agregat meningkat

dibandingkan tahun lalu dari 10,8% menjadi 11,9%

dari PDB.

Dari sisi moneter, transaksi keuangan pe-

merintah selama 2001 memberikan ekspansi rupiah

neto sebesar Rp56,0 triliun (Tabel 7.6). Ekspansi

terbesar adalah anggaran belanja untuk daerah,

subsidi, dan bunga utang dalam negeri. Diban-

dingkan dengan tahun sebelumnya, ekspansi rupiah

neto tersebut meningkat dari 3,3% menjadi 3,8% dari

PDB. Faktor utama yang mendorong naiknya eks-

pansi rupiah neto pada periode laporan adalah

peningkatan alokasi anggaran belanja untuk daerah

dari 3,3% menjadi 5,6% dari PDB dan bunga utang

dalam negeri dari 3,2% menjadi 4,5% dari PDB.

Dari sisi neraca pembayaran, transaksi ke-

uangan pemerintah diperkirakan memberikan aliran

devisa masuk bersih (net capital inflows) setara

Tabel 7.5

Perkiraan Dampak Keuangan Pemerintah Terhadap Sektor Riil

R i n c i a n

2 0 0 1

APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB

2 0 0 01)

Keuangan Pemerintah

129

A. Penerimaan rupiah

Pajak

Migas 18,7 1,9 25,7 1,8 23,1 1,6 89,8

Nonmigas 97,1 9,8 159,5 10,9 161,6 10,9 101,3

Bukan Pajak 22,5 2,3 25,5 1,7 33,2 2,3 130,2

Privatisasi 0,0 0,0 6,5 0,4 5,0 0,3 76,9

Penjualan Asset Program Restrukturisasi Perbankan 18,9 1,9 27,0 1,8 31,0 2,1 114,7

Penjualan Obligasi Pemerintah 0,0 0,0 0,9 0,1 0,7 0,0 74,2

Jumlah Penerimaan 157,2 15,9 245,2 16,7 254,6 17,2 103,8

B. Pengeluaran rupiah

Operasional -142,1 -14,4 -184,7 -12,6 -201,6 -13,7 109,2

Belanja Pegawai DN -29,1 -2,9 -36,7 -2,5 -38,5 -2,6 104,9

Subsidi -62,8 -6,4 -66,3 -4,5 -81,6 -5,5 123,1

Bunga Utang DN -31,2 -3,2 -61,2 -4,2 -66,3 -4,5 108,3

Pengeluaran Rutin Lainnya -19,0 -1,9 -20,5 -1,4 -15,3 -1,0 74,4

Investasi -15,1 -1,5 -28,5 -1,9 -26,6 -1,8 93,4

Anggaran Belanja Untuk Daerah -32,9 -3,3 -81,5 -5,5 -82,4 -5,6 101,1

Jumlah Pengeluaran -190,0 -19,2 -294,6 -20,1 -310,6 -21,0 105,4

C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

D. Dampak Rupiah -32,8 -3,3 -49,5 -3,4 -56,0 -3,8 113,2

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahan

Sumber : Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

Tabel 7.6

Perkiraan Dampak Rupiah Keuangan Pemerintah

R i n c i a n

2 0 0 1

APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB

2 0 0 01)

PROSPEK APBN 2002

Dalam tahun 2002, kebijakan keuangan

negara diarahkan pada upaya untuk mewujudkan

ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal

sustainability). Untuk itu, ada dua langkah strategis

yang tergambar dalam penyusunan APBN 2002.

Pertama, mengupayakan penurunan volume dan

rasio defisit anggaran terhadap PDB. Kedua,

menurunkan rasio posisi utang pemerintah --baik

utang dalam negeri maupun luar negeri-- terhadap

PDB. Oleh karena itu, pemerintah mempersiapkan

langkah-langkah guna meningkatkan pendapatan

negara, mengendalikan belanja negara, dan

Rp48,4 trilliun, atau lebih rendah sekitar Rp7,6 triliun

dari ekspansi rupiah neto tersebut di atas (Tabel 7.7).

Dengan demikian, terdapat SIKPA sebesar Rp7,6

triliun yang ditutup dengan penarikan tabungan pe-

merintah di sistem moneter. Kontributor utama aliran

devisa masuk adalah ekspor migas yang mencapai

hampir 73% penerimaan valuta asing pemerintah.

Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, aliran de-

visa masuk bersih pemerintah menurun dari 4,7%

menjadi 3,3% dari PDB. Faktor penting yang menye-

babkan turunnya aliran devisa masuk bersih adalah

rendahnya tingkat penarikan utang luar negeri yang

hanya mencapai sekitar 75% dari rencana.

Keuangan Pemerintah

130

A. Transaksi Berjalan 36,8 3,7 29,5 2,0 37,9 2,6 128,3

Neraca Barang 55,9 5,7 59,4 4,0 68,2 4,6 114,8Ekspor Migas 66,7 6,7 75,2 5,1 81,9 5,5 108,9Impor Bantuan Proyek -10,6 -1,1 -14,6 -1,0 -12,8 -0,9 87,5Belanja Barang LN -0,1 0,0 -1,2 -0,1 -0,9 -0,1 74,0

Neraca Jasa -19,1 -1,9 -29,9 -2,0 -30,3 -2,1 101,4Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri -18,8 -1,9 -28,4 -1,9 -29,3 -2,0 103,1Belanja Pegawai LN -0,3 0,0 -1,5 -0,1 -1,1 -0,1 69,9

B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 9,6 1,0 19,9 1,4 10,5 0,7 52,9

Penarikan Utang LN dan Hibah 17,2 1,7 40,1 2,7 30,3 2,1 75,6Pembayaran Cicilan Pokok

Utang Luar Negeri Pemerintah -7,6 -0,8 -20,2 -1,4 -19,7 -1,3 98,0

C. Dampak Valas (A+B) 46,3 4,7 49,5 3,4 48,4 3,3 97,9

1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)

tercatat sebesar Rp54,3 triliun (3,7% dari PDB).

Penurunan defisit tersebut diupayakan dengan

meningkatkan penerimaan terutama dengan meng-

optimalkan penghimpunan pajak melalui perluasan

basis pajak dan lebih mengefisienkan pengeluaran

dengan memprioritaskan anggaran. Di sisi pem-

biayaan, pemerintah berupaya mengoptimalkan hasil

penjualan aset program restrukturisasi perbankan dan

privatisasi dan menggunakan sebagian hasilnya untuk

mengurangi posisi utang dalam negeri (asset to bond

swap and cash to bond swap).

Total penerimaan pemerintah secara nominal

diharapkan meningkat dari Rp286 triliun menjadi

Rp301,9 triliun. Namun demikian, dalam persentase

terhadap PDB menurun dari 19,5% menjadi 17,9%,

terutama karena perkiraan turunnya harga minyak

mentah Indonesia dari $24 per barel menjadi $22 per

Tabel 7.7

Perkiraan Dampak Valas Keuangan Pemerintah

R i n c i a n

2 0 0 1

APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB

2 0 0 01)

PDB a.d. harga berlaku (triliun rupiah) 1.468,1 1.685,4

Pertumbuhan ekonomi (%) 3,5 4,0

Laju inflasi (%) 9,30 9,00

Harga minyak mentah ($ per barel) 24,0 22,0

Produksi minyak mentah

(juta barel per hari) 1,5 1,3

Nilai Tukar (Rp/$) 9.600 9.000

Suku bunga SBI 3 bulan rata-rata (%) 15,00 14,00

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel 7.8

Asumsi APBN 2001 - 2002

A s u m s i2 0 0 1 2 0 0 2

APBN APBN

mengoptimalkan pilihan pembiayaan defisit anggaran

negara.

Operasi keuangan pemerintah pada 2002

direncanakan akan mengalami defisit sebesar Rp42,1

triliun atau 2,5% dari PDB, menurun dibandingkan

rencana defisit pada APBN tahun sebelumnya yang

Keuangan Pemerintah

131

barel. Sumber utama penerimaan diharapkan dari

penerimaan perpajakan sebesar Rp219,6 trilliun

dengan target tax ratio yang meningkat dibandingkan

target APBN sebelumnya yaitu dari 12,6% menjadi

13,0% dari PDB. Untuk mendukung tercapainya

sasaran penerimaan perpajakan, pemerintah akan

melanjutkan berbagai kebijakan intensifikasi

pemungutan pajak dan ekstensifikasi subjek/objek

pajak. Kebijakan tersebut diimplementasikan

terhadap semua jenis pajak, yang selanjutnya

masing-masing akan dijabarkan secara lebih spesifik

dalam kebijakan operasionalnya. Selain untuk

mengantisipasi turunnya penerimaan migas,

peningkatan target pajak secara bertahap sampai ke

titik optimalnya sangat dibutuhkan untuk menjaga

kesinambungan fiskal di masa depan. Sebaliknya,

sejalan dengan perkiraan penurunan harga minyak,

maka penerimaan negara bukan pajak diperkirakan

akan menurun dibandingkan tahun lalu dari 6,9%

menjadi 4,9% dari PDB.

Di sisi pengeluaran, volume anggaran belanja

negara direncanakan sebesar Rp344,0 trilliun.

Meskipun secara nominal meningkat, namun dalam

persentase terhadap PDB menurun dibandingkan

tahun lalu dari 23,2% menjadi 20,4%. Penurunan

tersebut terutama terjadi pada alokasi pengeluaran

rutin untuk pemerintah pusat yaitu dari 14,7% menjadi

11,5% dari PDB.

A. Pendapatan Negara dan Hibah 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6

I. Penerimaan Dalam Negeri 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6

1. Penerimaan Pajak 185,3 12,6 219,6 13,0 0,4

a. Pajak Dalam Negeri 174,3 11,9 207,0 12,3 0,4

i. Pajak penghasilan 95,0 6,5 104,5 6,2 -0,3 1. Migas 25,7 1,8 15,7 0,9 -0,8 2. Nonmigas 69,2 4,7 88,8 5,3 0,6ii. Pajak pertambahan nilai 53,5 3,6 70,1 4,2 0,5iii. Pajak bumi dan bangunan 5,1 0,3 5,9 0,4 0,0iv. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 1,2 0,1 2,2 0,1 0,0v. Cukai 17,6 1,2 22,4 1,3 0,1vi. Pajak lainnya 1,9 0,1 1,9 0,1 0,0

b. Pajak Perdagangan Internasional 11,0 0,7 12,6 0,7 0,0

i. Bea masuk 10,4 0,7 12,2 0,7 0,0ii. Pajak/pungutan ekspor 0,6 0,0 0,3 0,0 0,0

2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 100,7 6,9 82,2 4,9 -2,0

a. Penerimaan SDA 79,4 5,4 63,2 3,7 -1,7

i. Minyak Bumi 57,9 3,9 44,0 2,6 -1,3ii. Gas Alam 17,4 1,2 14,5 0,9 -0,3iii. Pertambangan Umum 0,9 0,1 1,3 0,1 0,0iv. Kehutanan 3,0 0,2 3,0 0,2 0,0v. Perikanan 0,3 0,0 0,3 0,0 0,0

b. Bagian Laba BUMN 9,0 0,6 10,4 0,6 0,0

c. PNBP Lainnya 12,3 0,8 8,7 0,5 -0,3

II. Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 2001

2) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001

Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 7.9

Proyeksi Penerimaan Pemerintah

R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB

Keuangan Pemerintah

132

B. Belanja Negara 340,3 23,2 344,0 20,4 -2,8

I. Belanja Pemerintah Pusat 258,8 17,6 246,0 14,6 -3,0

1. Pengeluaran Rutin 215,8 14,7 193,7 11,5 -3,2

a. Belanja Pegawai 38,2 2,6 41,3 2,5 -0,2

i. Gaji dan Pensiun 31,9 2,2 34,0 2,0 -0,2ii. Tunjangan Beras 1,3 0,1 1,4 0,1 0,0iii. Uang Makan/Lauk Pauk 2,1 0,1 2,8 0,2 0,0iv. Lain-lain Belanja Pegawai DN 1,4 0,1 1,5 0,1 0,0v. Belanja Pegawai LN 1,5 0,1 1,5 0,1 0,0

b. Belanja Barang 9,9 0,7 12,9 0,8 0,1

i. Belanja Barang DN 8,7 0,6 11,7 0,7 0,1ii. Belanja Barang LN 1,2 0,1 1,2 0,1 0,0

c. Pembayaran Bunga Hutang 89,6 6,1 88,5 5,3 -0,9

i. Utang Dalam Negeri 61,2 4,2 59,5 3,5 -0,6ii. Utang Luar Negeri 28,4 1,9 29,0 1,7 -0,2

d. Subsidi 66,3 4,5 41,6 2,5 -2,0

i. Subsidi BBM 53,8 3,7 30,4 1,8 -1,9ii. Subsidi non BBM 12,5 0,9 11,2 0,7 -0,2- Pangan 2,4 0,2 4,7 0,3 0,1- Listrik 4,7 0,3 4,1 0,2 -0,1- Bunga Kredit Program 4,9 0,3 2,2 0,1 -0,2- Lainnya 0,4 0,0 0,2 0,0 0,0

e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,8 0,8 9,5 0,6 -0,2

2. Pengeluaran Pembangunan 43,1 2,9 52,3 3,1 0,2

a. Pembiayaan pembangunan rupiah 20,6 1,4 26,5 1,6 0,2b. Pembiayaan proyek 22,5 1,5 25,8 1,5 0,0

II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 81,5 5,5 98,0 5,8 0,3

1. Dana Perimbangan 81,5 5,5 94,5 5,6 0,1

a. Dana Bagi Hasil 20,3 1,4 24,6 1,5 0,1b. Dana Alokasi Umum 60,5 4,1 69,1 4,1 0,0c. Dana Alokasi Khusus 0,7 0,0 0,8 0,0 0,0

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang 0,0 0,0 3,4 0,2 0,2

1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 20012) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 7.10

Proyeksi Pengeluaran Pemerintah

R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB

Secara individual, pengeluaran terbesar ada-

lah untuk pembayaran bunga utang yang mencapai

Rp88,5 trilliun atau setara dengan 5,3% dari PDB.

Meskipun demikian, jumlah tersebut relatif lebih

rendah dari tahun 2001 sejalan dengan penggunaan

asumsi suku bunga SBI yang lebih rendah, nilai tukar

rupiah yang lebih optimis dari tahun lalu serta

dampak dari pengurangan obligasi pemerintah

dengan cara membeli kembali dan mempertukarkan

aset-aset yang telah direstrukturisasi dengan obligasi

yang dimiliki bank-bank (asset to bond swap and cash

to bond swap).

Tiga kelompok pengeluaran terbesar lainnya

adalah (i) subsidi (2,5% dari PDB), (ii) belanja

pegawai (2,4%), dan (iii) pengeluaran pembangunan

(3,1%). Subsidi jauh menurun dibandingkan tahun

2001, antara lain karena rencana pemerintah untuk

menaikkan harga BBM dalam negeri sebesar rata-

rata 25% mulai Januari 2002 dan tarif dasar listrik

(TDL) sebesar 4%–6% setiap triwulan. Belanja

Keuangan Pemerintah

133

A. Pendapatan Negara dan Hibah 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6

I. Penerimaan Dalam Negeri 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6

1. Penerimaan Pajak 185,3 12,6 219,6 13,0 0,4

a. Pajak Dalam Negeri 174,3 11,9 207,0 12,3 0,4b. Pajak Perdagangan Internasional 11,0 0,7 12,6 0,7 0,0

2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 100,7 6,9 82,2 4,9 -2,0

a. Penerimaan SDA 79,4 5,4 63,2 3,7 -1,7b. Bagian Laba BUMN 9,0 0,6 10,4 0,6 0,0c. PNBP Lainnya 12,3 0,8 8,7 0,5 -0,3

II. Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

B. Belanja Negara 340,3 23,2 344,0 20,4 -2,8

I. Belanja Pemerintah Pusat 258,8 17,6 246,0 14,6 -3,0

1. Pengeluaran Rutin 215,8 14,7 193,7 11,5 -3,2

a. Belanja Pegawai 38,2 2,6 41,3 2,5 -0,2b. Belanja Barang 9,9 0,7 12,9 0,8 0,1c. Pembayaran Bunga Utang 89,6 6,1 88,5 5,3 -0,9d. Subsidi 66,3 4,5 41,6 2,5 -2,0e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,8 0,8 9,5 0,6 -0,2

2. Pengeluaran Pembangunan 43,1 2,9 52,3 3,1 0,2

a. Pembiayaan pembangunan rupiah 20,6 1,4 26,5 1,6 0,2b. Pembiayaan proyek 22,5 1,5 25,8 1,5 0,0

II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 81,5 5,5 98,0 5,8 0,3

1. Dana Perimbangan 81,5 5,5 94,5 5,6 0,1

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang 0,0 0,0 3,4 0,2 0,2

C. Perbedaan statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

D. Keseimbangan Primer 35,2 2,4 46,4 2,8 0,3

E. Surplus/(Defisit) Anggaran -54,3 -3,7 -42,1 -2,5 1,2

F. Pembiayaan 54,3 3,7 42,1 2,5 -1,2

I. Pembiayaan Dalam Negeri 34,4 2,3 23,5 1,4 -0,9

1. Perbankan dalam negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

2. Non Perbankan dalam negeri 34,4 2,3 23,5 1,4 -0,9

a. Privatisasi 6,5 0,4 4,0 0,2 -0,2b. Penjualan aset program restrukturisasi perbankan 27,0 1,8 19,5 1,2 -0,7c. Penjualan Obligasi Pemerintah 0,9 0,1 0,0 0,0 -0,1

II. Pembiayaan Luar Negeri (Netto) 19,9 1,4 18,6 1,1 -0,3

1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) 40,1 2,7 62,6 3,7 1,0

a. Pinjaman Program 16,3 1,1 36,8 2,2 1,1b. Pinjaman Proyek 23,7 1,6 25,8 1,5 –0,1

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN -20,2 -1,4 -44,0 -2,6 -1,2

1) Total Target Privatisasi 6,5 0,4 6,5 0,4 -0,1(Termasuk penarikan obligasi) 0,0 0,0 -2,5 -0,2 -0,2

2) Total Target Penjualan Aset oleh BPPN 37,0 2,5 42,8 2,5 0,0(Termasuk penarikan obligasi) -10,0 -0,7 -23,3 -1,4 -0,7

1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 20012) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 7.11

Proyeksi Operasi Keuangan Pemerintah

R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB

belum pernah mengalami kenaikan. Sementara itu,

alokasi dana untuk pengeluaran pembangunan

masih tetap rendah dibandingkan pengeluaran

rutin.

pegawai dianggarkan naik secara nominal sebagai

upaya pemerintah untuk menaikkan tunjangan

beberapa jabatan fungsional tertentu mengingat

selama beberapa tahun terakhir tunjangan tersebut

Keuangan Pemerintah

134

Dalam pada itu, alokasi anggaran belanja un-

tuk daerah selama 2002 diperkirakan mencapai

Rp98,0 trilliun (5,8% dari PDB) sedikit meningkat

dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat Rp81,5

trilliun (5,5% dari PDB). Bagian terbesar dari alokasi

tersebut adalah untuk Dana Alokasi Umum (Rp69,1

triliun), diikuti oleh Dana Bagi Hasil (Rp24,6 triliun),

dan sisanya untuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain

itu, pemerintah mengalokasikan pula dana sebesar

Rp3,4 triliun untuk penyelenggaraan otonomi khusus

dan sebagai dana penyeimbang.

Dengan kondisi di atas, maka keseimbangan

primer APBN 2002 diharapkan surplus 2,8% dari PDB

atau sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun

2001. Secara keseluruhan, defisit fiskal diperkirakan

akan mencapai Rp42,1 triliun atau 2,5% dari PDB.

Sebagian dari defisit tersebut akan dibiayai dengan

sumber pembiayaan dalam negeri khususnya dari

privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi

perbankan, sedangkan sisanya dengan sumber

pembiayaan luar negeri.

Target privatisasi ditetapkan Rp6,5 triliun

dimana Rp2,6 triliun diantaranya digunakan untuk

membeli kembali obligasi pemerintah. Dalam pada

itu, penjualan aset ditargetkan sebesar Rp42,8 triliun

dimana Rp7,5 triliun diantaranya dicapai dalam bentuk

asset to bond swap dan Rp15,8 triliun dalam bentuk

cash to bond swap. Dengan demikian, total obligasi

pemerintah yang diharapkan dapat ditarik kembali

selama 2001 adalah sebesar Rp25,8 triliun. Kebijakan

membeli kembali obligasi yang telah diterbitkan ini

ditujukan untuk mengurangi volume utang dalam

A. Penerimaan rupiah

PajakMigas 25,7 1,8 15,7 0,9 -0,8Nonmigas 159,5 10,9 203,9 12,1 1,2

Bukan Pajak 25,5 1,7 23,7 1,4 -0,3Privatisasi 6,5 0,4 4,0 0,2 -0,2Penjualan Asset Program Restrukturisasi Perbankan 27,0 1,8 19,5 1,2 -0,7Penjualan Obligasi Pemerintah 0,9 0,1 0,0 0,0 -0,1Jumlah Penerimaan 245,2 16,7 266,8 15,8 -0,9

B. Pengeluaran rupiah

Operasional -184,7 -12,6 -162,1 -9,6 3,0Belanja Pegawai DN -36,7 -2,5 -39,8 -2,4 0,1Subsidi -66,3 -4,5 -41,6 -2,5 2,0Bunga Utang DN -61,2 -4,2 -59,5 -3,5 0,6Pengeluaran Rutin Lainnya -20,5 -1,4 -21,2 -1,3 0,1

Investasi -28,5 -1,9 -35,5 -2,1 -0,2Anggaran Belanja Untuk Daerah -81,5 -5,5 -98,0 -5,8 -0,3Jumlah Pengeluaran -294,6 -20,1 -295,6 -17,5 2,5

C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

D. Dampak Rupiah -49,5 -3,4 -28,7 -1,7 1,7

1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 2001

2) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001

Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 7.12

Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah

R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB

Keuangan Pemerintah

135

A. Transaksi Berjalan 29,5 2,0 10,1 0,6 -1,4

Neraca Barang 59,4 4,0 40,6 2,4 -1,6

Ekspor Migas 75,2 5,1 58,5 3,5 -1,7

Impor Bantuan Proyek -14,6 -1,0 -16,8 -1,0 0,0

Belanja Barang LN -1,2 -0,1 -1,2 -0,1 0,0

Neraca Jasa -29,9 -2,0 -30,5 -1,8 0,2

Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri -28,4 -1,9 -29,0 -1,7 0,2

Belanja Pegawai LN -1,5 -0,1 -1,5 -0,1 0,0

B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 19,9 1,4 18,6 1,1 -0,3

Penarikan Utang LN dan Hibah 40,1 2,7 62,6 3,7 1,0

Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN Pemerintah -20,2 -1,4 -44,0 -2,6 -1,2

C. Dampak Valas (A+B) 49,5 3,4 28,7 1,7 -1,7

1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 2001

2) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001

Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

negeri pemerintah yang sejauh ini bebannya lebih

tinggi dibandingkan utang luar negeri.

Sementara itu, pembiayaan luar negeri bersih

pada 2002 diperkirakan menurun dibandingkan tahun

lalu, yaitu dari Rp19,9 trilliun menjadi Rp18,6 triliun.

Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan total nilai

pembelian kembali obligasi pemerintah. Dengan

melakukan asset to bond swap, volume utang peme-

rintah diharapkan menurun. Penurunan posisi utang

tersebut diperlukan untuk menjaga kesinambungan

fiskal di masa depan.

Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap

Moneter, Neraca Pembayaran dan Permintaan

Agregat.

Berbagai kebijakan operasi keuangan peme-

rintah yang secara kuantitatif tertuang dalam APBN

2002 tersebut selanjutnya akan mempengaruhi sisi

moneter, neraca pembayaran, dan permintaan agre-

gat 2002. Dari sisi moneter, transaksi keuangan

pemerintah pada 2002 diperkirakan akan mem-

berikan ekspansi rupiah neto sebesar Rp28,8 triliun

(1,7% dari PDB), jauh lebih rendah dari 2001 yang

tercatat Rp49,5 triliun (3,4% dari PDB). Penurunan

terbesar berasal dari pengurangan subsidi BBM dan

TDL. Penurunan ekspansi rupiah neto tersebut di-

dukung pula oleh optimisme peningkatan tax ratio

dari 12,6% menjadi 13,0% pada 2002. Ekspansi

rupiah neto pemerintah yang lebih rendah ini

diharapkan akan mengurangi beban pengendalian

moneter, sehingga diharapkan suku bunga dapat

diarahkan pada level yang lebih rendah sehingga

dapat mendorong kegiatan di sektor riil. Kondisi ini

pada gilirannya akan memberikan manfaat kepada

sektor fiskal itu sendiri terutama untuk mencapai

sustainabilitas fiskal.

Tabel 7.13

Dampak Valas Operasi Keuangan Pemerintah

R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB

Keuangan Pemerintah

136

Dari sisi neraca pembayaran, potensi aliran

devisa masuk terutama bersumber dari penerimaan

migas dan penarikan utang luar negeri masing-

masing sebesar Rp58,5 triliun dan Rp62,6 triliun.

Sementara itu, aliran devisa keluar terutama diguna-

kan untuk pembayaran bunga dan amortisasi utang

luar negeri yang masing-masing sebesar Rp29,0

triliun dan Rp44,0 triliun. Dengan demikian, dampak

valuta asing yang terjadi diperkirakan sebesar

Rp28,7 triliun. Jumlah tersebut akan digunakan oleh

Bank Indonesia untuk mensterilisasi dampak eks-

pansi neto transaksi rupiah pemerintah.

Dari sisi permintaan agregat, kontribusi sektor

pemerintah terhadap permintaan agregat masih tetap

terbatas dan hanya sedikit meningkat dibandingkan

tahun lalu, yaitu 12,4% menjadi 12,5% dari PDB.

Peningkatan tersebut terjadi pada investasi yaitu dari

4,4% menjadi 4,6%, sedangkan konsumsi pemerintah

relatif tidak berubah. Sementara itu, jumlah

pengeluaran pemerintah dalam bentuk pembayaran

transfer ke sektor swasta menurun dari 8,7% menjadi

6,0% dari PDB, hal ini disebabkan karena berku-

rangnya jumlah subsidi yang harus ditanggung

pemerintah.

I. Konsumsi Pemerintah 117,7 8,0 133,5 7,9 -0,1

Belanja Pegawai DN 36,7 2,5 39,8 2,4 -0,1Belanja Barang DN 8,7 0,6 11,7 0,7 0,1Dana Alokasi Umum 60,5 4,1 69,1 4,1 0,0Pengeluaran Rutin Lainnya3) 11,8 0,8 12,9 0,8 0,0

II. Pembentukan Modal Domestik Bruto 64,0 4,4 77,7 4,6 0,2

Pembiayaan Dalam Rupiah 20,6 1,4 26,5 1,6 0,2Bantuan Proyek 22,5 1,5 25,8 1,5 0,0Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus 21,0 1,4 25,4 1,5 0,1

III. Jumlah I + II 181,8 12,4 211,3 12,5 0,2

Memo Items : Pembayaran Transfer 127,4 8,7 101,1 6,0 -2,7a. Bunga Utang Dalam Negeri 61,2 4,2 59,5 3,5 -0,6b. Subsidi 66,3 4,5 41,6 2,5 -2,0

1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 20012) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 20013) Termasuk dana otonomi khusus dan penyeimbangSumber : Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 7.14

Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap sektor Riil

R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan

Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB

Keuangan Pemerintah

137

b o k s

Masalah Utang Indonesia dan Opsi Penanganannya1

Masalah utang Indonesia dewasa ini cukup

pelik, berat, dan serius. Pelik dikarenakan masalah

utang itu bersumber baik dari utang domestik dan luar

negeri yang ditanggung Pemerintah, maupun utang

luar negeri yang harus ditanggung oleh sektor swasta

nasional. Berat dikarenakan beban utang tersebut

telah sedemikian menekan dan bahkan mengancam

kinerja neraca transaksi berjalan, neraca pemba-

yaran, dan keuangan pemerintah. Serius dikarenakan

hingga saat ini langkah-langkah penanganan utang

yang dilakukan dipandang belum mampu banyak

meringankan beban utang Indonesia.

Permasalahan utang harus membuat kita

bangun dan waspada. Utang yang ditanggung

Pemerintah dewasa ini hampir sama dengan jumlah

PDB, meningkat tajam dari hanya 25% PDB pada

1996. Sementara itu, utang luar negeri pemerintah

per Desember 2001 tercatat sebesar $71,4 miliar atau

49,1% dari PDB tahun 2001. Dengan utang luar negeri

swasta sebesar $59,8 miliar, utang luar negeri yang

ditanggung Indonesia secara keseluruhan telah

mencapai $131,2 miliar, atau 90,3% dari PDB tahun

2001.

Dengan tingkat utang sedemikian besar,

beban pembayaran pokok dan bunga utang (debt ser-

vice payments) yang ditanggung Pemerintah maupun

swasta nasional sebagai konsekuensinya membeng-

kak. Pada 2002 misalnya, Pemerintah harus

mencadangkan dana sekitar Rp136,4 triliun untuk

membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman, di mana

sekitar Rp73,0 triliun dialokasikan untuk utang luar

negeri dan sekitar Rp63,4 triliun untuk utang dalam

negeri. Dibandingkan dengan proyeksi penerimaan

pemerintah tahun yang sama, beban kewajiban utang

pemerintah mencapai 45,2%. Sementara itu, beban

kewajiban utang luar negeri sektor swasta di 2002

diperkirakan mencapai $11,8 miliar. Dengan demikian,

debt service payments utang luar negeri pemerintah

dan swasta untuk 2002 akan mencapai $24,2 miliar.

Debt service ratio (DSR) untuk tahun 2001 dan 2002

masing-masing diperkirakan sekitar 39,4% dan 34,9%,

jauh lebih tinggi dari 20% sebagai tingkat DSR yang

dianggap aman oleh Bank Dunia.

Pengukuran solvabilitas dan sustainabilitas

keuangan pemerintah sehubungan dengan beban

utang dalam dan luar negeri pemerintah dapat dila-

kukan atas dasar sebuah pendekatan intertemporal

budget constraint yang dikembangkan oleh Dinh

(1999).2 Hasil analisis oleh Bank Indonesia dengan

menggunakan pendekatan tersebut menunjukkan

bahwa keuangan pemerintah untuk periode 2001-

2005 secara umum diperkirakan masih dalam kondisi

yang solvabel dan sustainabel.

2 Hinh T. Dinh, “Fiscal Solvency and Sustainability in Economic

Management”, Macroeconomics In Southern Africa Region, the

World Bank, 1999.

1 Disarikan dari “Utang Indonesia: Kondisi, Permasalahan dan Opsi

Penanganannya”, Paper Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan

Moneter dan Direktorat Luar Negeri, Bank Indonesia, Desember

2001.

Keuangan Pemerintah

137

Keuangan Pemerintah

138

Meski demikian, terdapat sejumlah faktor-

faktor penentu (critical factors) yang akan sangat

mempengaruhi tingkat solvabilitas dan sutainabilitas

keuangan pemerintah dalam periode tersebut. Faktor-

faktor tersebut terkait baik dengan faktor-faktor di

bidang fiskal maupun faktor-faktor makroekonomi.

Secara khusus, faktor-faktor penentu di bidang fiskal

akan sangat menentukan besar kecilnya keseimbang-

an primer3 dalam keuangan pemerintah, sementara

faktor-faktor penentu makroekonomi akan berpenga-

ruh pada tinggi rendahnya indeks (passing grade)

solvabilitas dan sustainabilitas fiskal. Lebih penting

lagi, selain berpengaruh terhadap besar kecilnya

keseimbangan primer, faktor-faktor penentu di bidang

fiskal sangat menentukan terjadi tidaknya kesulitan

likuiditas jangka pendek (short-term liquidity

problems) bagi keuangan pemerintah sehubungan

dengan pemenuhan kewajiban beban utang yang

sangat besar.

Faktor-faktor penentu fiskal dimaksud

berturut-turut antara lain adalah keberhasilan priva-

tisasi BUMN dan penjualan aset BPPN, keberhasilan

program rekapitalisasi perbankan, pemenuhan target

pengurangan subsidi, dan pelaksanaan otonomi

daerah. Sementara itu, faktor-faktor penentu makro-

ekonomi mencakup sejumlah perkembangan makro

jangka pendek-menengah kedepan adalah sebagai

berikut : (i) perekonomian internasional yang bela-

kangan ini juga memiliki faktor ketidakpastian yang

tinggi; (ii) kondisi sosial, politik, dan keamanan dalam

negeri yang sangat mempengaruhi kepercayaan kon-

sumen (consumer confidence) dan kondusivitas iklim

investasi; (iii) pulihnya fungsi intermediasi perbankan.

Hasil analisis solvabilitas terhadap keuangan

(non-interest current account) Indonesia mendukung

gambaran yang diperoleh sebelumnya dari hasil

proyeksi kembali neraca pembayaran pemerintah dan

swasta nasional tentang beratnya beban utang yang

ditanggung perekonomian Indonesia. Meski ke-

uangan Indonesia sebagai negara secara umum

diperkirakan masih dalam kondisi solvabel dalam

periode 2000-2004, kondisinya cukup mengkuatirkan.

Perkembangannya ke depan juga sangat bergantung

pada sejumlah faktor-faktor penentu. Faktor-faktor ini,

selain terkait dengan perkembangan variabel-variabel

makroekonomi seperti sebelumnya, secara langsung

sangat terkait dengan tingkat keberhasilan upaya kita

dalam penanganan (restrukturisasi) utang luar negeri

pemerintah dan swasta nasional dalam jangka

pendek-menengah ke depan.

Dari ulasan di atas, jelas terlihat bahwa per-

masalahan utang yang membelit Indonesia dewasa

ini paling tidak memaksa kita untuk merumuskan tiga

kelompok penanganan, yakni (i) penanganan yang

ditujukan secara langsung pada masalah short-term

liquidity problems yang kemungkinan dihadapi

pemerintah sebagai akibat tingginya beban utang

yang harus ditanggung; (ii) penanganan masalah

solvabilitas dan sustainabilitas neraca pembayaran,

keuangan pemerintah, dan keuangan Indonesia

dalam jangka pendek-menengah; serta (iii) penanga-

nan utang dalam jangka menengah-panjang, yang

terutama terkait dengan stance dan arah kebijakan

pemerintah dalam menangani utang Indonesia.

Pertama, penanganan ancaman short-term

liquidity problems menuntut langkah-langkah yang

cepat namun sekaligus terencana. Di sisi domestik,

pemerintah pertama-tama dituntut mampu menjaga3 Surplus/defisit keseimbangan primer adalah surplus/defisit operasi

keuangan pemerintah diluar beban kewajiban bunga

Keuangan Pemerintah

138

Keuangan Pemerintah

139

kedisiplinan dalam pemenuhan target penerimaan

privatisasi dan penjualan aset BPPN, pengurangan

subsidi, dan pelaksanaan otonomi daerah. Selan-

jutnya, pemerintah secara khusus perlu mempercepat

penerbitan T-Bills ataupun surat utang lainnya, seperti

Medium Term Notes (MTN) dan Floating Rate Notes

(FRN), yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai

kembali (refinancing) obligasi pemerintah yang mulai

jatuh tempo tahun 2002, melakukan roll-over obligasi

yang jatuh tempo (terutama yang suku bunga dan

persyaratannya ringan), serta menukarkan kredit yang

direstrukturisasi BPPN dengan obligasi.

Di sisi internasional, upaya rescheduling

melalui forum Paris Club menjadi pilihan pertama dan

sekaligus paling feasible. Melalui forum Paris Club,

Pemerintah telah dua kali berhasil menjadwal ulang

utang bilateral sekitar $10,9 miliar. Meskipun penun-

daan pembayaran pokok utang tersebut berhasil

menolong mengatasi kesulitan keuangan jangka

pendek, namun terms and conditions yang diperoleh

dalam kedua rescheduling Paris Club tersebut masih

belum optimal—terutama jika dibandingkan dengan

terms and conditions yang diterima oleh Pakistan.

Rescheduling Paris Club untuk Pakistan menyetujui

exit rescheduling sebesar $12,5 miliar. Skim ini

memungkinkan pembayaran pinjaman Official

Development Assistance (ODA) dijadwal ulang

sampai dengan 38 tahun (termasuk 15 tahun grace

period) dan pinjaman non-ODA dijadwal ulang selama

23 tahun (termasuk 8 tahun grace period). Begitu

istimewanya perlakuan yang diterima oleh Pakistan,

sehingga skim ini diberi julukan sebagai the Islamabad

Terms.

Membandingkan dengan hasil yang diperoleh

Pakistan tersebut, tampaknya masih banyak peluang

yang dapat dimanfaatkan Pemerintah Indonesia

dalam negosiasi Paris Club III nanti untuk memper-

oleh terms and conditions pinjaman yang lebih

menguntungkan. Untuk itu diperlukan persiapan yang

lebih matang, termasuk penetapan secara eksplisit

target terms and conditions yang ingin dicapai Peme-

rintah, lobby ataupun pendekatan yang lebih intensif

ke IMF dan World Bank, serta pendekatan politis ke

negara-negara donor yang dominan seperti Amerika

Serikat dan Jepang. Bila perlu, pemerintah dapat

menjajagi pemakaian tenaga lobbyist dan penasehat

hukum berkelas internasional, yang tidak hanya dapat

bertindak sebagai penghubung namun juga mampu

memperjuangkan kepentingan pemerintah dalam

negosiasi rescheduling Paris Club yang akan datang.

Kedua, salah satu elemen utama dalam

penanganan masalah solvabilitas dan sustainabilitas

dalam jangka pendek-menengah adalah pengura-

ngan level utang. Di sisi domestik, sejumlah opsi

berikut dapat menjadi pertimbangan: (i) melunasi

obligasi dengan memanfaatkan dana hasil privatisasi

dan penjualan aset BPPN; (ii) memelihara persentase

tertentu dari penerimaan pemerintah guna memberi

ruang yang lebih besar bagi pemerintah untuk mengu-

rangi pokok obligasi; (iii) menjadikan obligasi

pemerintah sebagai piranti moneter untuk Operasi

Pasar Terbuka (OPT), yang diharapkan secara tidak

langsung akan meningkatkan kepercayaan publik ter-

hadap obligasi pemerintah; (iv) mempercepat pem-

bentukan lembaga penjamin simpanan, yang bila ter-

wujud akan mengurangi kewajiban kontinjen pemerin-

tah sehubungan dengan Program Penjaminan.

Di sisi internasional, di tengah-tengah keti-

dakpopuleran opsi debt haircut dan debt default di

kalangan negara kreditur dan keterbatasan kemam-

Keuangan Pemerintah

139

Keuangan Pemerintah

140

puan keuangan Pemerintah untuk melakukan debt

buyback, opsi yang paling feasible untuk mengurangi

pokok utang luar negeri pemerintah—meski dengan

magnitude yang masih terbatas—adalah debt for

nature swap. Dewasa ini, Pemerintah Amerika Serikat

dan Jerman telah menyediakan fasilitas debt for

nature swap. Untuk merealisasikan tawaran ini diper-

lukan fleksibilitas keuangan pemerintah dan koor-

dinasi antar departemen yang terkait untuk menindak-

lanjuti proyek konservasi alam yang ditawarkan.

Fasilitas ini telah dimanfaatkan di sejumlah negara,

seperti Bolivia, Polandia ($3,6 miliar), Equador ($10

juta), dan Filipina ($29 juta).

Keberhasilan upaya konservasi alam Indone-

sia, selain bermanfaat bagi bangsa Indonesia sendiri,

juga merupakan kampanye positif bagi Indonesia di

dunia internasional. Di samping itu, jika program debt

for nature swap ini dinilai berhasil oleh negara kreditur,

program ini bukan tidak mungkin akan diikuti program-

program serupa di kemudian hari dengan jumlah yang

semakin besar. Dengan pertimbangan yang sama,

opsi debt for development swap juga perlu dieksplo-

rasi dengan segera guna membantu mengurangi level

utang luar negeri pemerintah.

Ketiga, penanganan utang Indonesia dalam

jangka menengah-panjang terutama terkait dengan

kejelasan stance dan arah kebijakan Pemerintah

dalam bidang ini. Mengingat masalah utang yang

dihadapi Indonesia bersifat pelik dan multi-dimen-

sional, stance dan arah kebijakan Pemerintah ini

harus bersifat komprehensif, tidak hanya terkait de-

ngan utang pemerintah, namun juga dengan utang

(luar negeri) swasta nasional.

Dalam kaitan itu perlu dibentuk suatu

lembaga tersendiri untuk menangani utang peme-

rintah dan atau utang (luar negeri) swasta secara

terpadu. Sebagaimana layaknya struktur manajemen

utang yang baik, lembaga ini memiliki fungsi front,

middle dan back office. Lembaga ini sekaligus

berfungsi sebagai inisiator, koordinator, dan penga-

was dalam proses restrukturisasi utang. Lembaga

ini juga perlu dilengkapi dengan kewenangan mene-

tapkan sanksi termasuk membawa debitur yang tidak

kooperatif ke pengadilan. Khusus untuk utang luar

negeri swasta, lembaga tersebut juga dapat

berfungsi sebagai lembaga hedging.

Untuk menunjang stance kebijakan tersebut

di atas, khususnya yang terkait dengan utang luar

negeri swasta, diperlukan suatu pengaturan untuk

menghindari terulang kembali kondisi di mana ekspo-

sur sektor swasta terhadap utang luar negeri sangat

berlebihan dan tidak terkendali. Peraturan tersebut

memuat rambu-rambu tentang ‘prudential borrowing

guidance’, baik yang bersifat kualitatif maupun

kuantitatif.

Terakhir, di samping berbagai tindakan yang

sifatnya kuratif, peran aktif pemerintah juga diperlu-

kan dalam menyiapkan perangkat hukum yang

komprehensif dan mengimplementasikannya di

lapangan secara kredibel dan sungguh-sungguh

dalam rangka turut mencegah berulangnya krisis

utang di kemudian hari.

Keuangan Pemerintah

140

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

141

bab 8 PERBANKAN DANLEMBAGA KEUANGAN LAIN

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

142

b a b 8

PERBANKAN DAN

LEMBAGA KEUANGAN LAIN

Secara umum kinerja sektor perbankan menun-

jukkan perbaikan dalam tahun 2001 setelah

berakhirnya program rekapitalisasi perbankan pada

tahun 2000. Hal ini terutama ditunjukkan dengan

membaiknya struktur permodalan sektor perbankan,

menurunnya Non Performing Loans (NPLs), dan

meningkatnya Net Interest Margin (NIM). Sejalan

dengan membaiknya kinerja sektor perbankan, kinerja

lembaga keuangan lainnya seperti perusahaan

pembiayaan dan perum pegadaian juga mengalami

perbaikan. Meskipun perbankan mengalami per-

baikan kinerja, namun lembaga ini masih menghadapi

tantangan berupa fungsi intermediasi yang belum

sepenuhnya pulih dalam mendukung proses pe-

mulihan ekonomi. Sementara itu, fungsi intermediasi

pembiayaan keuangan di luar sektor perbankan

walaupun menunjukkan kenaikan, kontribusinya

terhadap perekonomian masih relatif kecil di-

bandingkan dengan total pembiayaan kredit per-

bankan.

Fungsi intermediasi perbankan yang belum

sepenuhnya pulih tercermin dari Loan to Deposit Ratio

(LDR) yang dimiliki perbankan nasional yang tidak

banyak mengalami perubahan dalam dua tahun

terakhir. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi

tersebut antara lain adalah masih berlangsungnya

upaya konsolidasi internal perbankan dan lambatnya

proses restrukturisasi kredit dan korporasi. Upaya

konsolidasi internal terkait dengan pencapaian

sasaran strategis program restrukturisasi perbankan

pada tahun 2001 yaitu pemenuhan Capital Adequacy

Ratio (CAR) minimum 8% dan target indikatif non

Performing Loans (NPLs) sebesar 5%. Sementara

itu, lambatnya restrukturisasi kredit dan korporasi

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketidak-

sesuaian terms and conditions antara debitur dan

kreditur, menurunnya nilai agunan kredit yang dikelola

oleh BPPN, meningkatnya country risk yang

menyebabkan biaya bunga lebih mahal serta meng-

hambat investor asing untuk mengambil alih utang

luar negeri perusahaan, volatilitas nilai tukar, serta

ketidakpastian dalam masalah hukum.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut di

atas, Bank Indonesia selain tetap melanjutkan

program restrukturisasi perbankan juga mendorong

bank-bank untuk lebih memfokuskan pemberian kredit

ke sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) maupun

Proyek Kredit Mikro (PKM) dengan tetap mem-

perhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang

sehat. Kedua sektor ini memiliki peranan yang bersifat

langsung terhadap sektor riil dan masih memiliki

potensi yang sangat besar untuk dikembangkan guna

mendorong pemulihan perekonomian.

PERBANKAN

Dalam tahun laporan, kebijakan perbankan

nasional masih tetap diarahkan pada restrukturisasi

perbankan yang berkesinambungan yang mencakup

dua bagian besar, yaitu program penyehatan per-

bankan, dan pemantapan ketahanan sistem per-

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

143

bankan. Untuk menciptakan perbankan yang sehat

dalam menghadapi berbagai eksposur risiko yang

semakin kompleks, Bank Indonesia secara khusus

lebih menitikberatkan pada upaya pencapaian CAR

minimum 8% dan pencapaian target indikatif NPLs

5% pada akhir tahun 2001. Dalam rangka pemenuhan

modal minimum, kebijakan yang diambil antara lain

meminta bank-bank untuk menambah setoran modal,

menggabung bank melalui merger, dan mencari

strategic investor baru baik domestik maupun asing.

Namun demikian bagi bank-bank yang setelah di-

lakukan upaya tersebut masih tidak mampu meme-

nuhi ketentuan modal minimum diberikan alternatif

terakhir untuk mengikuti exit policy. Sampai dengan

akhir tahun 20011 jumlah bank yang telah memenuhi

ketentuan CAR minimum 8% berjumlah 138 (95%)

dari 145 bank.

Dalam hal pemenuhan target indikatif NPLs,

perbankan telah melakukan berbagai upaya antara

lain melakukan restrukturisasi kredit baik melalui per-

bankan sendiri maupun melalui fasilitasi Satuan

Tugas (Satgas) Kredit Bank Indonesia, melakukan

penghapusbukuan (write-off) atas portofolio NPLs,

dan meningkatkan penyaluran kredit baru. Sampai

akhir periode laporan, meskipun angka NPLs nasional

membaik namun posisinya baru mencapai 12,1% dan

masih jauh dari harapan yang telah ditargetkan.

Seiring dengan upaya tersebut, dalam hal

pemantapan ketahanan sistem perbankan, Bank

Indonesia juga tetap menyempurnakan pola

pengawasan bank yang mengacu pada 25 Basel Core

Principles for Effective Banking Supervision, yang

telah berlaku secara internasional. Selain itu, Bank

Indonesia tetap konsisten mendorong bank-bank

untuk meningkatkan mutu pengelolaan bank (Good

Governance) serta memperkuat infrastruktur per-

bankan dengan mendorong perluasan jaringan bank

syariah dan pemberdayaan Bank Perkreditan Rakyat

(BPR).

Berbagai kebijakan perbankan yang di-

tempuh telah memberikan hasil positif pada kinerja

perbankan dalam tahun laporan. Hal ini tercermin dari

peningkatan total aset, dana pihak ketiga, penyaluran

kredit baru, kualitas kredit, permodalan, serta pro-

fitabilitas perbankan. Seiring dengan terus berjalannya

proses restrukturisasi perbankan dan masih ber-

lakunya program penjaminan pemerintah yang ber-

hasil menjaga kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan, mobilisasi dana pihak ketiga dari masya-

rakat oleh perbankan mengalami peningkatan dan

pada gilirannya mendorong penyaluran kredit baru

perbankan kepada dunia usaha.

Perkembangan kinerja perbankan yang

membaik tersebut masih belum mampu meningkatkan

fungsi intermediasi secara keseluruhan. Hal ini

tercermin dari masih tingginya porsi obligasi peme-

rintah di dalam aset perbankan dan porsi bunga

obligasi pemerintah di dalam net interest margin bank.

Sementara itu, walaupun ekspansi kredit baru telah

menunjukkan peningkatan, namun pemanfaatannya

masih relatif rendah dibandingkan dengan komitmen

kredit yang telah disediakan oleh perbankan berkaitan

dengan masih tingginya faktor risiko yang dihadapi

dunia usaha.

Kebijakan Perbankan

Kebijakan perbankan pada tahun laporan

secara khusus ditujukan untuk mencapai dua sasaran1 Data sampai dengan November 2001

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

144

strategis yaitu pencapaian target CAR minimum 8%

dan target indikatif NPLs maksimum 5%. Selain itu

Bank Indonesia tetap melanjutkan kebijakan per-

bankan yang telah berjalan yaitu (i) program penye-

hatan lembaga perbankan melalui program penjami-

nan pemerintah bagi bank umum dan BPR, peman-

tauan program rekapitalisasi bank umum, dan melan-

jutkan restrukturisasi kredit perbankan; serta (ii) upaya

lebih meningkatkan ketahanan sistem perbankan,

melalui pengembangan infrastuktur perbankan,

peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good

corporate governance), serta penyempurnaan

ketentuan perbankan dan pemantapan sistem penga-

wasan bank yang mengacu pada 25 Basel Core

Principles for Effective Banking Supervision.

Berdasarkan penilaian (assesment) terakhir yang

dilakukan International Monetary Fund (IMF) pada

bulan September 2000 dari 25 Core Principles (CP)

tersebut, Indonesia sudah mematuhi dan me-

laksanakan (fully compliant) 2 principles yaitu CP-1

mengenai Preconditions for Effective banking

Supervision yang mencakup Objectives, Independ-

ence and Resources, Legal Framework, Enforcement

Powers, dan Legal Protection; serta CP-2 mengenai

Permissible Activities of Banks. Sementara itu juga

terdapat 5 CP lainnya yang sudah mencapai Largely

Compliant.

Program Penyehatan Perbankan

Kebijakan penyehatan perbankan dalam

tahun 2001 diarahkan untuk melanjutkan program

penjaminan pemerintah dengan tetap melakukan

pengkajian pembentukan lembaga penjamin sim-

panan serta proses restrukturisasi kredit. Pelaksa-

naan kebijakan program penyehatan perbankan

secara khusus ditujukan untuk memenuhi kesepaka-

tan LoI dengan IMF, yaitu menitikberatkan pada target

pencapaian CAR minimum 8% dan pencapaian target

indikatif NPLs 5% yang harus dipenuhi oleh bank-

bank pada akhir tahun 2001. Hal ini bertujuan untuk

memperkuat permodalan bank-bank sehingga

mereka mampu menghadapi segala macam eksposur

risiko yang akan muncul dikemudian hari sekaligus

untuk memenuhi standar yang telah berlaku secara

internasional.

Program Penjaminan

Dalam rangka menjaga kepercayaan

masyarakat terhadap sistem perbankan, pemerintah

tetap memberlakukan program penjaminan untuk

bank umum dan BPR. Sementara itu, kajian tentang

kemungkinan dihapuskannya program blanket

guarantee secara bertahap terus dilakukan agar

rencana pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) segera dapat direalisasikan.

Dalam pada itu, pelaksanaan program

penjaminan terkait dengan interbank debt exchange

offer masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia.

Selama tahun laporan telah dilakukan pembayaran

pokok dan bunga atas interbank debt exchange offer

sebesar $902,3 juta yang merupakan bagian dari

penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka program

penjaminan sebesar Rp53,8 triliun yang diterbitkan

pada tahun 1999.

Selain itu, sebagai kelanjutan pelaksanaan

penjaminan BPR, pada tahun laporan telah disele-

saikan penyusunan pedoman operasional tata cara

pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban

pembayaran BPR dalam bentuk Peraturan Bank

Indonesia (PBI) tentang penjaminan dan exit policy

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

145

portofolio perdagangan dan dalam portofolio yang

diagunkan masing-masing sebesar Rp61,2 triliun dan

Rp3,5 triliun, sedangkan obligasi dalam portofolio

investasi sebesar Rp370,6 triliun. Posisi obligasi

pemerintah yang diterbitkan dalam rangka program

rekapitalisasi bank-bank umum nasional pada tahun

laporan tercatat sebesar Rp435,3 triliun (Tabel 8.1).

Program Restrukturisasi Kredit

Upaya restrukturisasi kredit bermasalah yang

berada dalam portofolio bank tetap dilakukan baik

oleh bank sendiri maupun melalui Satuan Tugas

Restrukturisasi Kredit (Satgas) di Bank Indonesia.

Sementara itu, Badan Penyehatan Perbankan

Nasional (BPPN) juga tetap melakukan restrukturisasi

atas kredit bermasalah yang dialihkan dari bank-bank

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bank-bank

peserta program rekapitalisasi. Sementara itu,

restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan

swasta non-bank masih dilakukan melalui Prakarsa

Jakarta.

Sampai dengan November 2001, kredit

bermasalah di luar BPPN yang sudah direstrukturisasi

baik oleh bank sendiri maupun yang dilakukan melalui

mediasi Satgas yang telah memasuki tahap imple-

mentasi tercatat sebesar Rp91,8 triliun dengan jumlah

debitur sebanyak 21.824 debitur. Sesuai dengan

Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.1/15/

KEP.GBI/1999 tanggal 1 September 1999 masa kerja

Satgas Restrukturisasi Kredit (SRK) di Bank

Indonesia adalah 3 tahun sehingga pada tanggal 31

Desember 2001 masa kerja SRK Bank Indonesia

telah berakhir. Sementara itu, posisi kredit yang

dialihkan ke BPPN hingga akhir Desember 2001

sebesar Rp 310,7 triliun, dimana Rp19,9 triliun sudah

untuk BPR. Dalam PBI ini antara lain dijelaskan

bahwa program penjaminan BPR untuk sementara

waktu dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang

bertindak untuk dan atas nama pemerintah sampai

dengan terbentuknya LPS BPR.

Program Rekapitalisasi Bank Umum

Dengan selesainya pelaksanaan program

rekapitalisasi pada tahun 2000, permodalan bank

diharapkan tidak lagi menjadi kendala utama bagi

penyehatan perbankan. Obligasi yang dimiliki oleh

perbankan dapat menjadi salah satu sumber

pendanaan bagi bank rekap baik dengan cara menjual

maupun mengagunkannya.

Guna mendukung pemulihan fungsi inter-

mediasi perbankan dan pengembangan pasar sekun-

der obligasi, Pemerintah dan Bank Indonesia telah

memperbolehkan seluruh (100%) obligasi rekap yang

dimiliki perbankan untuk diperdagangkan (lihat Bab

Moneter). Namun sampai akhir periode laporan, jum-

lah obligasi pemerintah yang diperdagangkan hanya

sebesar Rp64,7 triliun (14,9% dari total obligasi

rekapitalisasi) yang terdiri dari obligasi dalam

Tabel 8.1

Rincian Posisi Nominal Obligasi Pemerintah

Dalam Program Rekapitalisasi

(Per 31 Desember 2001)

Kelompok Bank Jumlah

Bank

Nominal Obligasi (Triliun Rp)

Fixed Rate Variable Rate Hedge Bond

Total

(Triliun Rp)

Perbankan 163,3 217,8 40,4 421,4

Bank Persero 4 123,2 112,2 28,5 263,9BTO 4 28,9 74,3 - 103,1Bank Rekap 7 4,0 12,5 11,9 28,4BPD 12 0,4 0,8 - 1,2Non Rekap - 6,7 18,0 - 24,8Sub-registry - 11,3 1,7 - 13,0

Departemen

Keuangan - 0,9 - - 0,9

TOTAL 175,5 219,5 40,4 435,3

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

146

memasuki tahap implementasi restrukturisasi dan

yang terbayar penuh Rp12,2 triliun. Sedangkan kredit

yang telah direstrukturisasi dan terbayar penuh

melalui mediasi Prakarsa Jakarta per Desember 2001

adalah sebesar $14,2 miliar.

Peningkatan Ketahanan Sistem Perbankan

Upaya peningkatan ketahanan sistem

perbankan melalui perbaikan infrastruktur, pening-

katan Good Corporate Governance dan penyempur-

naan peraturan perbankan serta pemantapan sistem

pengawasan bank terus dilakukan dan telah menun-

jukkan beberapa kemajuan. Sebagaimana tahun

sebelumnya, beberapa indikasi kemajuan masih

ditandai oleh : (i) perbaikan infrastruktur perbankan

yang tercermin dari pengembangan BPR dan per-

bankan syariah, pengkajian pembentukan Lembaga

Penjamin Simpanan baik untuk bank umum maupun

BPR sebagai pengganti program penjaminan

pemerintah; (ii) peningkatan mutu pengelolaan bank

(Good Governance) dengan tetap melaksanakan fit

and proper test, penetapan proses seleksi yang lebih

ketat terhadap calon pengurus baru di bidang per-

bankan, penunjukan direktur kepatuhan, dan penye-

rahan kasus hasil investigasi tindak pidana di bidang

perbankan kepada lembaga penegak hukum; serta

(iii) penyempurnaan berbagai ketentuan dan sistem

pengawasan bank yang berbasis risiko (risk based

supervison) yang berorientasi ke depan (forward

looking) yang mengacu standar Bank for International

Settlements (BIS).

Perbaikan Infrastruktur Perbankan

Langkah perbaikan infrastruktur perbankan

selama tahun laporan tetap diwujudkan dalam bentuk

upaya pengembangan BPR dan bank syariah serta

persiapan penggantian program blanket guarantee

dengan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) guna mendukung infrastruktur sistem per-

bankan yang mantap dan menjaga kepercayaan

masyarakat terhadap perbankan.

Pengembangan BPR

Dalam periode laporan, kerjasama dengan

GTZ dalam proyek ProFI (Promotion of Small Finan-

cial Institution) serta dengan United States Agencies

for International Development (USAID) dan Institut

Bankir Indonesia (IBI), dalam bentuk penelitian dan

seminar tetap dilakukan untuk lebih memberdayakan

serta meningkatkan pengawasan BPR.

Hal-hal lain yang dilakukan untuk pengem-

bangan BPR adalah pembuatan program database

BPR yang telah melalui suatu pengujian berupa

system test oleh Direktorat Teknologi Informasi (DTI)

Bank Indonesia dan user acceptance test oleh Tim

Pengembangan Database Bank Indonesia. Program

ini telah disosialisasikan dan diimplementasikan di

lingkungan Kantor Pusat Bank Indonesia. Program

database ini memuat mengenai data pokok, tingkat

kesehatan, laporan bulanan, dan statistik BPR se

Indonesia yang sangat diperlukan dalam fungsi

pengawasan BPR.

Disamping itu, telah disusun konsep keten-

tuan penilaian fit and proper khusus untuk pemilik dan

pengurus BPR. Ketentuan ini diharapkan dapat

memberikan landasan penilaian terhadap orang-

orang yang mampu dan pantas dalam pengelolaan

BPR. Sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi

BPR tahun sebelumnya, pada bulan Desember 2001

telah dibekukan 15 BPR.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

147

Pengembangan Bank Syariah

Dalam rangka pengembangan perbankan

syariah yang sebelumnya hanya ditangani dalam

suatu Tim Kerja, sejak akhir Mei 2001 Bank Indonesia

secara kelembagaan telah membentuk Biro Per-

bankan Syariah. Peningkatan status tersebut men-

cerminkan komitmen Bank Indonesia untuk mem-

berikan alternatif bagi masyarakat dalam memilih

sistim perbankan yang sesuai, baik dengan sistem

konvensional maupun dengan sistem syariah. Ke-

bijakan Bank Indonesia dalam mendorong pengem-

bangan perbankan syariah tetap berlandaskan pada

strategi pengembangan jaringan kantor bank syariah,

penyempurnaan ketentuan perbankan syariah,

sosialisasi dan penelitian, serta pengembangan SDM

perbankan syariah.

Pengembangan jaringan kantor bank syariah

terutama ditujukan untuk meningkatkan pelayanaan

jasa perbankan syariah khususnya di wilayah-wilayah

potensial dimana belum terdapat kantor bank syariah,

sementara berdasarkan penelitian, masyarakat

menginginkan kehadiran kantor bank syariah.

Penyempurnaan ketentuan perbankan

syariah mencakup penyusunan kajian awal cetak biru

pengembangan perbankan syariah yang diharapkan

akan menjadi acuan dalam program pengembangan

perbankan syariah. Penyelesaian Pernyataan Stan-

dar Akuntansi Perbankan Syariah (PSAKS) dan

pedoman teknis dalam bentuk Pedoman Akuntansi

Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) telah mema-

suki tahap finalisasi. Dewan Syariah Nasional telah

memberikan persetujuan terhadap draft PSAKS

tersebut sehingga tinggal menunggu pengesahan dari

Dewan Standar Akuntansi Indonesia. Sementara itu,

survei dan simulasi implementasi konsep awal CAR

dan Kualitas Aktiva Produktif (KAP) bagi bank syariah

telah selesai dilaksanakan dan masih terus dilakukan

penyempurnaan.

Program sosialisasi dalam rangka pening-

katan pemahaman masyarakat terhadap perbankan

syariah terus dilaksanakan secara intensif di berbagai

daerah melalui kerjasama dengan Majelis Ulama dan

perguruan tinggi setempat. Disamping itu, Bank

Indonesia telah melakukan penelitian yang terkait

dengan produk, jasa dan pengaturan perbankan

syariah dalam bentuk kajian tentang : (i) pengem-

bangan instrumen waqaf tunai; (ii) kinerja BPR syariah

di wilayah Jabotabek; (iii) penempatan aktiva produktif

bank umum syariah; (iv) reserve requirement bagi

bank syariah, dan (v) fasilitas pembiayaan jangka

pendek (FPJP) bagi bank umum syariah.

Dalam rangka pengembangan SDM, telah

dilakukan program seminar dan pelatihan yang

bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

wawasan dalam berbagai bidang yang terkait dengan

perbankan syariah. Sebagai bentuk bantuan teknis

bagi perbankan serta dalam rangka pembinaan dan

pengembangan kompetensi dan profesionalisme

pengurus BPR syariah, Bank Indonesia pada tahun

laporan telah melaksanakan pelatihan Up-Grading

bagi direksi dan senior officer BPR syariah seluruh

Indonesia.

Lembaga Penjamin Simpanan

Dalam tahun laporan, tim Kerja Persiapan

Pendirian LPS telah merampungkan konsep akhir ran-

cangan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang

memuat tahapan pengurangan cakupan penjaminan

(phasing-out) dalam Program Penjaminan Peme-

rintah sebagaimana diatur dalam KMK No. 179/

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

148

KMK.017/2000. Dalam waktu dekat, rancangan KMK

tersebut akan disampaikan kepada Tim Pengarah

yang selanjutnya akan dipresentasikan kepada

Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan

pimpinan instansi terkait lainnya sebelum secara

formal ditetapkan berlaku.

Bersamaan dengan itu, proses penyusunan

RUU LPS juga masih berlangsung intensif dengan

beberapa muatan bahasan yang dipandang relatif

baru. Muatan bahasan dimaksud diantaranya adalah

usulan menghapus terminologi Bank Dalam

Penyehatan (BDP) karena pola penyelesaian bank

bermasalah (exit policy) yang akan dilakukan akan

sama sekali berbeda dengan yang berlaku saat ini.

Sementara itu, proses sosialisasi kepada

publik perihal rencana pendirian LPS dipandang

masih relevan untuk dilanjutkan sebagai upaya

mendapatkan masukan yang lebih komprehensif atas

rencana pendirian LPS di Indonesia. Kelanjutan

sosialisasi LPS ini direncanakan akan berlangsung

di kota-kota besar yang dipandang memiliki kegiatan

ekonomi yang cukup signifikan.

Sementara itu untuk BPR telah disusun

konsep pendirian LPS BPR yang selanjutnya akan

dilakukan pembahasan dengan tim LPS Departemen

Keuangan guna membahas mengenai kemungkinan

penggabungan LPS Bank Umum dengan BPR.

Penyempurnaan Ketentuan dan Pemantapan Pengawasan

Bank

Dengan semakin berkembangnya produk dan

permasalahan perbankan, Bank Indonesia terus

melakukan penyempurnaan ketentuan perbankan

serta pemantapan fungsi pengawasan bank. Dalam

kaitan tersebut, pada tahun laporan Bank Indonesia

Tabel 8.2

Hasil Penilaian IMF Terhadap Pemenuhan 25

Basel Core Principles

Degree of Compliance

(Tingkat Kepatuhan)Principles Remarks

(Penjelasan)

1. Compliant (2 CPs) • CP. 1 (1) Objectives• CP. 1 (2) Independence and

Resources• CP. 1 (3) Legal Framework• CP. 1 (4) Enforcement Powers• CP. 1 (5) Legal Protection• CP. 2 Permissible Activities

2. Largely Compliant, and• Efforts to achieve fully • CP. 21 Accounting

compliance underway • CP. 22 Remedial Measures(2 CPs);

• Efforts to achieve fully • CP. 1 (6) Information Sharingcompliance not underway • CP. 5 Investment Criteria(4 Cps) • CP. 24 Host Country Supervision

• CP. 25 Supervision of ForeignEstablishment

telah menyempurnakan beberapa ketentuan per-

bankan dan lebih memantapkan sistem pengawasan

bank. Penyempurnaan ketentuan perbankan antara

lain mencakup ketentuan mengenai proyek kredit

mikro (PKM), kredit usaha kecil (KUK), pembatasan

transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing

oleh bank, peningkatan persentase portofolio obligasi

pemerintah yang dapat diperdagangkan oleh bank

umum peserta program rekapitalisasi perbankan,

penjaminan atas simpanan pihak ketiga dan pasar

uang antar bank (PUAB), penerapan prinsip mengenal

nasabah (Know Your Customer Principles), persya-

ratan dan tata cara pelaksanaan jaminan pemerintah

terhadap kewajiban pembayaran BPR, penetapan

status BPR dalam pengawasan khusus dan pem-

bekuan kegiatan usaha, laporan berkala bank umum,

kewajiban penyediaan modal minimum, transparansi

kondisi keuangan bank, serta penetapan status bank

dan penyerahan bank kepada BPPN (exit policy).

Sementara itu, pemantapan sistem pengawasan bank

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

149

dilakukan dengan perubahan paradigma pengawasan

menjadi berorientasi ke depan (forward looking),

dengan berdasarkan pada pengawasan berbasis

risiko (risk based supervision). Dalam kaitan tersebut,

telah disusun Master Plan Peningkatan Efektivitas

Pengawasan Bank yang mengacu pada standar

internasional dengan 25 Basel Core Principles for

Effective Banking Supervision. Berdasarkan penilaian

IMF, Bank Indonesia telah fully compliant (mematuhi

dan melaksanakan) 2 principles yaitu CP-1 mengenai

Preconditions for Effective banking Supervision yang

mencakup Objectives, Independence and Resources,

Legal Framework, Enforcement Powers, dan Legal

Protection; serta CP-2 mengenai Permissible Activities

of Banks. Sementara itu juga terdapat 5 CP lainnya

yang sudah mencapai Largely Compliant, seba-

gaimana Tabel 8.2.

Penyempurnaan Ketentuan Perbankan

Selama tahun laporan Bank Indonesia telah

mengeluarkan beberapa ketentuan yang ruang

lingkupnya meliputi: (i) sistem pengawasan; (ii) prinsip

kehati-hatian (prudential banking); (iii) likuiditas

perbankan; serta, (iv) penjaminan pemerintah.

(i) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup sistem

pengawasan mencakup laporan berkala bank

umum,2 kewajiban penyediaan modal minimum

bank umum (CAR),3 transparansi kondisi

keuangan bank4 dan exit policy.5 Ketentuan lapo-

ran berkala bank umum mewajibkan bank umum

untuk memberikan informasi yang akurat, tepat

waktu dan effisien dalam rangka kebijakan mone-

ter. Hal-hal yang diatur antara lain jenis laporan

yang disampaikan; periode dan prosedur untuk

penyampaian dan koreksi laporan; serta, sanksi

atas pelanggaran ketentuan tersebut. Ketentuan

CAR mempersyaratkan bank-bank menyediakan

CAR minimum 8% dalam rangka memperkuat

struktur permodalan bank sesuai dengan standar

internasional sehingga mampu bersaing secara

nasional maupun internasional. Ketentuan trans-

paransi kondisi keuangan bank merupakan salah

satu upaya untuk meningkatkan transparansi

kondisi keuangan dan kinerja bank dalam rangka

menciptakan disiplin pasar (market discipline).

Sedangkan ketentuan exit policy merupakan

tindak lanjut dari ketentuan CAR minimum 8%

serta untuk meningkatkan fungsi pengawasan

bank.

(ii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup prinsip

kehati-hatian mencakup proyek kredit mikro,6

pemberian kredit usaha kecil,7 pembatasan

transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta

asing oleh bank,8 dan penerapan prinsip

mengenal nasabah (Know Your Customer

Principles) .9 Ketentuan pemberian kredit usaha

2 Peraturan Bank Indonesia No.3/17/PBI/2001 tanggal 4 Oktober 2001

tentang Laporan Berkala Bank Umum.

3 Peraturan Bank Indonesia No.3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember

2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

4 Peraturan Bank Indonesia No.3/22/PBI/2001 tanggal 13 Desember

2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.

5 Peraturan Bank Indonesia No.3/25/PBI/2001 tanggal 24 Desember

2001 tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada

BPPN.

6 Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001

tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah diubah dengan PBI

No.8/1/2001 tanggal 25 April 2001 dan PBI No.3/16/2001 tanggal 3

Oktober 2001.

7 Peraturan Bank Indonesia No.3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001

tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil.

8 Peraturan Bank Indonesia No.3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001

tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta

Asing oleh Bank.

9 Peraturan Bank Indonesia No.3/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember

2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your

Customer Principles).

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

150

kecil pada intinya meningkatkan jumlah plafon

kredit keseluruhan maksimum kepada nasabah

kecil untuk membiayai usaha yang produktif dari

Rp350 juta menjadi Rp500 juta. Ketentuan

pembatasan transaksi rupiah dan pemberian

kredit valuta asing oleh bank merupakan salah

satu cara untuk membatasi aliran dana rupiah ke

luar negeri yang dapat digunakan untuk tujuan

spekulasi disamping mendorong transaksi

antarbank domestik. Sedangkan ketentuan Know

Your Customer Principles merupakan salah satu

upaya penerapan prinsip kehati-hatian terutama

berkaitan dengan manajemen risiko operasional

dan reputasional bank serta untuk mencegah

industri perbankan digunakan sebagai sarana

atau sasaran kejahatan baik yang dilakukan

secara langsung maupun tidak langsung oleh

pelaku kejahatan.

(iii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup

likuiditas bank mencakup peningkatan per-

sentase portofolio obligasi pemerintah yang dapat

diperdagangkan oleh bank umum peserta pro-

gram rekapitalisasi perbankan.10 Ketentuan ini

merupakan perubahan dari SE No.3/6/DPM

dimana persentase perdagangan ditingkatkan

dari 35% menjadi 100% yang antara lain bertu-

juan untuk mengantisipasi penggunaan obligasi

pemerintah sebagai agunan dalam transaksi

PUAB maupun fasilitas likuiditas intrahari dan me-

ningkatkan fleksibilitas pasar dalam perdagangan

obligasi pemerintah di pasar sekunder.

(iv) Dalam kaitan dengan penjaminan pemerintah,

ketentuan yang dikeluarkan mencakup jaminan

pembiayaan perdagangan internasional,11

penjaminan atas simpanan pihak ketiga dan

PUAB,12 petunjuk pelaksanaan pemberian

jaminan pemerintah terhadap kewajiban

pembayaran bank umum,13 persyaratan dan tata

cara pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap

kewajiban BPR,14 dan jaminan pinjaman luar

negeri antar bank.15 Ketentuan penjaminan atas

simpanan pihak ketiga dan PUAB antara lain

menetapkan perubahan periode pengumuman

suku bunga maksimum penjaminan yang

sebelumnya mingguan menjadi bulanan. Hal ini

dilakukan dalam rangka mengurangi pengaruh

penetapan maksimum suku bunga yang dijamin

pemerintah terhadap kebijakan moneter. Sedang-

kan ketentuan petunjuk pelaksanaan pemberian

jaminan pemerintah terhadap kewajiban pemba-

yaran bank umum diterbitkan dalam rangka

pengalihan tugas pelaksanaan program pen-

jaminan pemerintah yang semula pelaksanaannya

dibantu oleh Bank Indonesia, saat ini menjadi

sepenuhnya dilaksanakan oleh BPPN.

10 Surat Edaran Bank Indonesia No.3/18/DPM tanggal 31 Juli 2001

tentang Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah

yang dapat Diperdagangkan oleh Bank Umum Peserta Program

Rekapitalisasi Perbankan.

11 Peraturan Bank Indonesia No.3/20/PBI/2001 tanggal 29 November

2001 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional.

12 Peraturan Bank Indonesia No.3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001

tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang

Antar Bank.

13 Peraturan Bank Indonesia No.3/7/PBI/2001 tanggal 2 April 2001

tentang Pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

32/46/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 sebagaimana tertuang dalam

Surat Keputusan Bersama antara Direksi Bank Indonesia dan Ketua

BPPN No.32/46/KEP/DIR dan No.181/BPPN/0599 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban

Pembayaran Bank Umum.

14 Peraturan Bank Indonesia No.3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001

tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan

Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR.

15 Peraturan Bank Indonesia No.3/14/PBI/2001 tanggal 20 September

2001 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

151

dari ancaman penutupan karena CAR-nya di bawah

ketentuan Bank Indonesia. Untuk itu BPPN me-

ngajukan permohonan kepada Bank Indonesia agar

memberi status Bank Dalam Penyehatan (BDP)

kepada 4 bank BUSN peserta rekap tersebut dan saat

ini masih dalam proses. Sedangkan untuk 2 bank

BUSN kategori A telah memberikan komitmen untuk

menambah modal.

Sementara itu rencana pendirian lembaga

pengawas jasa keuangan, sebagaimana tertuang

dalam UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia,

hingga periode laporan masih dalam proses pe-

rumusan konsep Rancangan Undang-undang lem-

baga pengawas jasa keuangan (Boks : Lembaga

Pengawas Jasa Keuangan).

Peningkatan Mutu Pengelolaan Perbankan (good corporate

governance)

Pelaksanaan fit and proper test terhadap

pemilik dan pengurus bank, wawancara bagi calon

pemilik dan pengurus bank (new entry), penunjukan

direktur kepatuhan, dan investigasi tindak pidana di

bidang perbankan terus dilakukan sebagai upaya

untuk meningkatkan mutu pengelolaan perbankan

dalam rangka memantapkan ketahanan sistem

perbankan.

(v) Dalam hal Pedoman Akuntansi Perbankan, Bank

Indonesia telah melakukan penyempurnaan

Pedoman Akuntansi Indonesia (PAPI) yang mulai

berlaku pada tanggal 13 Desember 2001. PAPI

merupakan penjabaran lebih lanjut Pernyataan

Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 31

(Revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan dan

beberapa standar akuntansi lain yang relevan

untuk industri perbankan. PAPI yang disempur-

nakan memiliki cakupan pengaturan yang lebih

komprehensif dalam hal dasar pengaturan,

perlakuan akuntansi, ilustrasi jurnal dan pengung-

kapan yang diwajibkan.

Pemantapan Sistem Pengawasan Bank

Berdasarkan perkembangan pelaksanaan

Master Plan Pengawasan Bank dalam rangka

pemenuhan Basel Core Principles dan dalam upaya

meningkatkan prinsip kehati-hatian (prudential

regulation), pada periode laporan telah diterbitkan

tiga ketentuan perbankan, yaitu Peraturan Bank

Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan

Bank, Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, dan

Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank

kepada BPPN.

Sesuai ketentuan, bank-bank yang tidak

memenuhi CAR 4% dimasukkan dalam pengawasan

khusus (special surveillance). Pada periode laporan

jumlah bank yang ditempatkan dalam pengawasan

khusus sebanyak 6 bank yang terdiri dari 4 Bank

Umum Swasta Nasional (BUSN) peserta rekap dan

2 bank BUSN kategori A. BPPN merencanakan akan

melakukan merger terhadap 4 bank BUSN peserta

rekap dengan salah satu BTO. Merger tersebut

dilakukan untuk menyelamatkan bank-bank tersebut

Tabel 8.3

Hasil Pelaksanaan Peningkatan Mutu Pengelolaan

Perbankan Periode Juli 1999 - Desember 2001

Keterangan JumlahCalon

LulusDisetujui

LulusBersyarat

MasihDalamProses

TidakLulus/Tidak

Disetujui

Dibatalkan

Fit and Proper Test 1.149 593 399 - 157 -

Wawancara

- Calon Pemilik 8 8 - - - -

- Calon Pengurus 775 690 - - 85 -

Direktur Kepatuhan 248 189 - 7 34 18

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

152

Pelaksanaan Penilaian Fit and Proper

Dalam rangka menegakkan integritas pemilik

maupun integritas dan kompetensi Dewan Komisaris,

Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank yang selama ini

telah aktif di bank (existing) dalam pengelolaan

kegiatan operasional bank dilakukan penilaian fit and

proper secara berkala atau sewaktu-waktu apabila

dianggap perlu. Sejak tahun 1999 sampai dengan

tahun laporan telah dilakukan penilaian fit and proper

terhadap 1.149 orang (pemilik dan pengurus bank).

Wawancara Terhadap Calon Pemilik dan Pengurus Bank

Agar bank hanya dimiliki oleh orang-orang

yang beritikad baik dan bertanggungjawab serta

dikelola secara profesional maka dilakukan wawan-

cara terhadap calon pengurus baru (new entry) ter-

masuk pimpinan kantor perwakilan bank dan calon

pemilik bank.

Jumlah calon pengurus yang diwawancara

dalam tahun laporan bertambah sebanyak 40 calon,

sehingga sejak Juli 1999 sampai dengan Desember

2001 sebanyak 166 bank telah mengajukan per-

mohonan 783 calon yang terdiri dari 8 calon pemilik

dan 775 calon pengurus untuk diwawancara.

Direktur Kepatuhan (Compliance Director)

Untuk menegakkan pelaksanaan prinsip ke-

hati-hatian dalam pengelolaan bank, sampai dengan

akhir tahun laporan sebanyak 162 bank telah

mengajukan sebanyak 248 orang calon Direktur

Kepatuhan.

Investigasi Tindak Pidana di Bidang Perbankan

Bank Indonesia melalui Unit Khusus

Investigasi Perbankan (UKIP) bersama Kepolisian

Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung terus

melakukan pertemuan dan pembahasan kasus-kasus

tindak pidana yang terjadi pada beberapa bank

sebagai upaya untuk meningkatkan penanganan

tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Jum-

lah kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan

yang diserahkan kepada penegak hukum oleh UKIP

dari Januari sampai dengan akhir tahun laporan

sebanyak 5 kasus pada 4 bank.

Disamping itu, UKIP telah melakukan

sosialisasi kepada masyarakat dan penegak hukum

mengenai upaya penanganan penyimpangan di

bidang perbankan.

Kelembagaan

Perkembangan Bank Umum

Hingga akhir tahun laporan, jumlah bank yang

masih beroperasi menjadi 145 bank, turun sebanyak

6 bank dari 151 bank pada tahun sebelumnya (Tabel

8.4). Hal ini sejalan dengan upaya penutupan ter-

hadap 1 (satu) bank umum swasta devisa dan 1 (satu)

bank campuran serta merger bank-bank campuran.

(Tabel 8.5)

Walaupun jumlah bank mengalami penu-

runan, jumlah kantor bank justru menunjukkan pe-

ningkatan dari 6.509 kantor menjadi 6.765 kantor.

Peningkatan tersebut terjadi pada semua kelompok

bank kecuali kelompok bank campuran. Peningkatan

tersebut seiring dengan upaya bank untuk mening-

katkan pelayanan dan ekspansi usaha.

Dari 145 bank yang ada, pemerintah mem-

punyai kepemilikan terhadap 42 bank (28,9%) yang

terdiri dari 5 bank BUMN, 4 Bank Take Over (BTO), 7

BUSN Rekap dan 26 Bank Pembangunan Daerah

(BPD)--terdiri dari 12 BPD Rekap dan 14 BPD Non

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

153

Rekap. Sedangkan sisanya sebanyak 69 bank

kategori A (47,6%) dimiliki oleh swasta nasional, 24

bank campuran (16,6%) dimiliki oleh swasta nasional

dan asing, dan sebanyak 10 bank asing (6,9%) dimiliki

oleh pihak asing.

Perkembangan BPR

Dalam tahun laporan, jumlah BPR yang

masih beroperasi berkurang sebanyak 61 BPR

karena adanya pencabutan izin usaha BPR pada

bulan 2001 sehingga menjadi 7.703 BPR. BPR yang

beroperasi dengan prinsip syariah tercatat sejumlah

81 BPR, bertambah 2 dibandingkan posisi tahun

sebelumnya. Dari sisi kegiatan usaha, BPR meng-

alami kemajuan yang signifikan dan tercermin pada

peningkatan total aset, penyaluran kredit dan

pendanaan (Tabel 8.6). Kondisi ini mendorong pe-

ningkatan laba tahun berjalan dari Rp116 miliar pada

tahun 2000 menjadi Rp200 miliar pada tahun lapo-

ran. Walaupun BPR belum dapat beroperasi seperti

halnya bank umum yang melakukan penetrasi pasar

pada segmen yang sama, namun perbaikan kinerja

BPR menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap BPR dan prospek BPR yang

baik di masa datang.

Tabel 8.5

Daftar Bank Merger, Bank Beku Kegiatan Usaha

Tahun 2001

Bank Merger Bank Beku Kegiatan Usaha

Tgl 27 Maret 2001 menjadi

Bank Sumitomo Mitsui Indonesia Tgl 5 Februari 2001 :

1. Bank Sakura Swadarma 1. Bank Paribas - BBD Indonesia

3. Bank Sumitomo Indonesia

Tgl 29 Oktober 2001 :

Tgl 7 September 2001 menjadi

Bank UFJ Indonesia 1. Unibank

1. Sanwa Bank

2. Tokai Lippo Bank

Tgl 28 September 2001 menjadi

Bank Mizuho Indonesia

1. IBJ Indonesia

2. Daichi Kangyo Bank

3. Fuji Internasional Bank

Kelompok BankPosisi

1999 2000

Pertumbuhan%

I. Bank Umum

Jumlah Bank 164 151 145 -7,9 -4,0 100,00

Jumlah Kantor 2) 7.113 6.509 6.765 -8,5 3,9 100,00

Bank Persero

Jumlah Bank 5 5 5 0,0 0,0 3,45

Jumlah Kantor 1.853 1.736 1.807 -6,3 4,1 26,71

BPD

Jumlah Bank 27 26 26 -3,7 0,0 17,93

Jumlah Kantor 825 826 857 0,1 3,8 12,67

BUSN Devisa

Jumlah Bank 47 38 38 -19,1 0,0 26,21

Jumlah Kantor 3.798 3.302 3.432 -13,1 3,9 50,73

BUSN Nondevisa

Jumlah Bank 45 43 42 -4,4 -2,3 28,97

Jumlah Kantor 533 535 556 0,4 3,9 8,22

Bank Campuran

Jumlah Bank 30 29 24 -3,3 -17,2 16,55

Jumlah Kantor 57 57 53 0,0 -7,0 0,78

Bank Asing

Jumlah Bank 10 10 10 0,0 0,0 6,90

Jumlah Kantor 47 53 60 12,8 13,2 0,89

II.BPR 7.772 7.764 7.703 -0,10 -0,8 -

BKD 5.345 5.345 5.345 0 0,0 -

NonBKD 2.427 2.419 2.358 -0,33 -2,5 -

1) Pangsa terhadap seluruh bank umum

2) Tidak termasuk BRI Unit Desa

Tabel 8.4

Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor bank

2001 2000 2001

Pangsa 1)

(%)

Tabel 8.6

Perkembangan Usaha BPR

Uraian 1999 2000 20011)

Miliar Rp

Volume Usaha 3.462 4.731 6.020

Dana Pihak Ketiga 2.038 3.082 3.906

Kredit 2.452 3.619 4.496

Modal Disetor 587 705 832

Laba (Rugi) Tahun Berjalan 7 116 200

1) Data September 2001

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

154

Perkembangan Bank Syariah

Jumlah kantor cabang bank umum yang ber-

operasi dengan prinsip syariah meningkat sebanyak

11 sehingga menjadi 130 kantor bank. Peningkatan

tersebut sejalan dengan kebijakan pengembangan

bank syariah. Secara rinci, jumlah kantor cabang

tersebut terdiri dari 37 kantor cabang Bank Muamalat

Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, 12 Kantor

Cabang Syariah (KCS) dari 3 bank umum konven-

sional yaitu Bank IFI, Bank BNI dan Bank Jabar, serta

81 BPR syariah.

Pada periode laporan, total aset bank syariah

mengalami peningkatan dari Rp1,71 triliun (0,17% dari

total aset perbankan) menjadi Rp2,6 triliun (0,24%

dari total aset perbankan). Peningkatan juga terjadi

pada dana yang dihimpun maupun pembiayaan yang

disalurkan masing-masing sebesar Rp1,7 triliun dan

Rp1,9 triliun. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan

jumlah kantor bank syariah dan sosialisasi yang

dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masya-

rakat terhadap bank syariah.

Kegiatan Usaha Bank Umum

Berbagai langkah kebijakan yang telah di-

tempuh dalam rangka restrukturisasi perbankan yang

masih terus berlanjut telah mendorong perbaikan

kinerja perbankan. Secara agregat, seluruh indikator

kinerja perbankan dalam tahun 2001 menunjukkan

perbaikan yang tercermin dari peningkatan total aset,

penghimpunan dana, penyaluran kredit, kualitas

kredit, permodalan, dan profitabilitas bank (Tabel 8.7).

Meskipun kinerja perbankan mengalami

perbaikan, fungsi intermediasi perbankan masih

belum sepenuhnya pulih sebagaimana yang diharap-

kan. Dalam penempatan dananya, perbankan masih

melihat tingginya risiko dunia usaha dan cenderung

untuk memilih alternatif penanaman berjangka waktu

pendek dengan risiko rendah seperti SBI dan

penempatan antarbank. Selain itu, masih ber-

langsungnya proses konsolidasi internal perbankan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan modal minimum

pada akhir tahun 2001 dan belum selesainya proses

restrukturisasi kredit dan korporasi juga ikut

mempengaruhi lambannya keputusan penyaluran

kredit. Fungsi intermediasi perbankan yang belum

sepenuhnya pulih juga tercermin pada rendahnya

realisasi kredit dari komitmen yang telah diberikan

dan masih relatif rendahnya Loan to Deposit Ratio

(LDR) perbankan nasional.

Total Aset

Total aset perbankan secara agregat

meningkat 6,7% dibanding tahun 2000 sehingga

menjadi Rp1.099,7 triliun. Peningkatan tersebut

sebagian besar berasal dari kredit dan surat-surat

berharga. Bila dilihat komposisinya, sebesar 38,3%

(Rp421,4 triliun) dari aset berupa obligasi pemerintah

yang dimiliki oleh bank-bank peserta rekap dan yang

telah dibeli bank non rekap. Sementara itu, porsi kredit

dan SBI masing-masing sebesar 32,6% dan 6,8%.

Tabel 8.7

Indikator Perbankan

1999 2000 2001

Triliun Rp

Total Asset 1.006,7 1.030,5 1.099,7

Kredit 277,3 320,4 358,6

Dana Pihak Ketiga 617,6 699,1 797,4

Modal -41,2 52,3r 62,3

NPL - gross (%) 32,8 18,8 12,1

NPL - net (%) 7,3 5,8 3,6

Laba (Rugi) Sebelum Pajak -91,7 10,5 13,1

Net Interest Margin -38,6 22,8 37,8

I n d i k a t o r

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

155

ningkatan kredit juga dilakukan dengan pembelian

kredit yang telah direstrukturisasi BPPN, namun

upaya tersebut masih belum menunjukkan hasil yang

memuaskan. Bila dilihat komposisi aktiva produktif,

obligasi pemerintah juga masih menempati porsi

terbesar (41,4%) dari total aktiva produktif sebesar

Rp1.018,1 triliun. (Grafik 8.1)

Dengan melihat komposisi aktiva produktif

perbankan selama 2 (dua) tahun terakhir yang tidak

banyak mengalami perubahan dan masih didominasi

oleh obligasi pemerintah, maka ketergantungan

pendapatan operasional dari pendapatan bunga

obligasi masih sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan

bahwa restrukturisasi perbankan yang telah dilakukan

dalam kenyataannya belum mampu meningkatkan

fungsi intermediasi perbankan secara keseluruhan.

Sementara itu dilihat dari sisi kepemilikan

aset per kelompok bank, bank BUMN memiliki pangsa

terbesar dari total aset perbankan yaitu sebesar

48,5% (Rp533,4 triliun) diikuti dengan kelompok bank

BTO sebesar 17,3% (Rp190,6 triliun) dan bank

kategori A sebesar 10,1% (Rp111,1 triliun)

Penghimpunan Dana

Dana pihak ketiga16 yang berhasil dihimpun

oleh perbankan dalam tahun 2001 mengalami pening-

katan sebesar 14,1% sehingga menjadi Rp797,4

triliun (Tabel 8.8). Peningkatan tersebut lebih besar

bila dibandingkan dengan peningkatan pada tahun

sebelumnya sebesar 13,2%. Peningkatan DPK

tersebut meliputi seluruh jenis simpanan baik dalam

rupiah maupun valuta asing, dengan peningkatan

Masih tingginya porsi obligasi pemerintah ditengarai

selain akibat belum likuidnya pasar sekunder obligasi

juga karena masih terbatasnya alternatif penempatan

dengan risiko rendah sehingga bank-bank masih

belum secara optimal menjual obligasinya untuk

mendapatkan dana segar. Sementara itu penyaluran

kredit juga relatif masih rendah walaupun terjadi

peningkatan baik secara nominal maupun pangsa

kredit bila dibandingkan tahun 2000. Upaya me-

16 Dana pihak ketiga perbankan berbeda dengan konsep yang ada di

bab moneter. Dalam konsep perbankan, dana pihak ketiga

mencakup pula dana milik bukan penduduk dan pemerintah.

Grafik 8.2

Pangsa Aset per Kelompok Bank

Grafik 8.1

Komposisi Aset Perbankan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100Penyertaan

Antar Bank Aktiva

SSB dan tagihanlainnya

ObligasiPemerintah

SBI

Kredit YangDiberikan

33,7 33,1 35,2

8,8 6,17,3

34,3 44,4 41,4

19,213,4 14,7

1999 2000 2001

Persen

Bank BUMN48,5%

BUSN Rekap7,5%

BTO17,3

Bank Kategori A10,1%

BPD4,3%

Bank Campuran3.9%

Bank Asing8,4%

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

156

terbesar terjadi pada komponen deposito khususnya

deposito rupiah. Faktor utama penyebab mening-

katnya dana pihak ketiga antara lain adalah

peningkatan suku bunga yang ditawarkan bank-bank

(khususnya suku bunga deposito yang mendekati

suku bunga penjaminan), disamping karena masih

terjaganya kepercayaan masyarakat seiring dengan

dilanjutkannya program penjaminan pemerintah dan

proses restrukturisasi perbankan. Dana pihak ketiga

dalam rupiah meningkat 15,0% sementara dana pihak

ketiga dalam valuta asing meningkat 10,5%, namun

apabila pengaruh nilai tukar diabaikan dana pihak

ketiga dalam valuta asing tersebut hanya meningkat

sebesar 2%, yang masih terkait dengan berfluk-

tuasinya nilai tukar rupiah. Dengan demikian pening-

katan DPK secara riil (di luar fluktuasi kurs) sebesar

12,3%.

Dilihat dari komposisinya, deposito masih

mendominasi dana pihak ketiga dengan pangsa

sebesar 55,2%, sementara giro dan tabungan

masing-masing memiliki pangsa sebesar 23,3% dan

Tabel 8.8

Perkembangan Dana Pihak Ketiga

Posisi Pertumbuhan Pangsa(triliun rupiah) (%) (%)

1999 2000 2001 2000 2001 2000 2001

Giro 111,8 161,5 186,2 44,4 15,3 23,1 23,3

- Rupiah 68,5 103,6 120,0 51,3 15,8 64,2 64,5

- Valas 43,4 57,9 66,2 33,4 14,3 35,8 35,5

Deposito 382,8 384,7 439,9 0,5 14,4 55,0 55,2

- Rupiah 301,4 296,7 344,9 -1,6 16,2 77,1 78,4

- Valas 81,4 88,0 95,1 8,1 8,0 22,9 21,6

Tabungan 123,0 152,9 171,3 24,4 12,0 21,9 21,5

Total 617,6 699,1 797,4 13,2 14,1 100,0 100,0

- Rupiah 492,9 553,2 636,2 12,2 15,0 79,1 79,8

- Valas 124,8 145,9 161,2 16,9 10,5 20,9 20,2

21,5%. Bila pada tahun 2000 giro dan tabungan

mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar

44,4% dan 24,4%, maka pada tahun laporan giro

dan tabungan hanya meningkat sebesar 15,3% dan

12%. Sedangkan deposito meningkat sebesar 14,4%

dan lebih besar dibandingkan tahun lalu yang hanya

meningkat sebesar 0,5%. Peningkatan deposito ini

sebagian besar berasal dari deposito rupiah (16,2%).

Peningkatan deposito menunjukkan perubahan minat

masyarakat dari penanaman jangka pendek ke dalam

penanaman jangka panjang, berlawanan dengan

kondisi pada tahun 2000 dimana masyarakat lebih

memilih menanamkan dananya dalam jangka pendek.

Tingginya minat masyarakat untuk menanamkan

dananya pada deposito dipicu oleh tingginya suku

bunga deposito yang ditawarkan oleh beberapa bank

(mendekati suku bunga penjaminan).

Kredit Perbankan

Pada akhir tahun 2001, posisi kredit per-

bankan meningkat sebesar 11,9% sehingga menjadi

Rp358,6 triliun (Tabel 8.9). Peningkatan tersebut

berasal dari kredit rupiah sebesar Rp50,6 triliun

(28,4%), sedangkan kredit dalam valuta asing meng-

alami penurunan sebesar Rp12,3 triliun (8,7%). Apa-

bila pengaruh nilai tukar diabaikan, kredit dalam valuta

asing turun sebesar 15,7%, sehingga secara riil (diluar

fluktuasi kurs) posisi kredit dalam tahun laporan

meningkat sebesar 8,8%.

Peningkatan kredit rupiah antara lain di-

sebabkan adanya penyaluran kredit baru dan pen-

jualan kembali kredit yang telah direstrukturisasi oleh

BPPN ke sektor perbankan, sedangkan penurunan

kredit valuta asing disebabkan karena adanya

pelunasan, penghapusbukuan dan penjualan kredit.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

157

Selama tahun laporan, kredit baru yang telah

disalurkan oleh perbankan sebesar Rp56,8 triliun17

atau rata-rata Rp4,7 triliun per bulan. Kredit baru yang

disalurkan tersebut terutama disalurkan ke sektor

perindustrian, perdagangan dan jasa dunia usaha,

dan sebagian besar kredit tersebut didistribusikan

oleh kelompok bank BUMN, BTO dan bank kategori

A. Sementara itu, jumlah kredit yang telah direstruk-

turisasi, baik oleh bank sendiri maupun melalui

fasilitasi Satgas sampai dengan bulan November

2001 tercatat sebesar Rp91,8 triliun meningkat

dibanding tahun 2000 yang besarnya Rp59,9 triliun.

Sementara itu berdasarkan Laporan Bulanan BPPN

bulan Desember 2001, dari Rp310,7 triliun kredit

perbankan yang telah dialihkan ke BPPN, tercatat

sejumlah Rp58,2 triliun telah memasuki tahap

penandatangan Memorandum of Understanding

(MoU), Rp19,9 triliun telah memasuki tahap imple-

mentasi restrukturisasi kredit dan Rp12,2 triliun sudah

terbayar penuh. Selama tahun 2001 tidak terdapat

pengalihan kredit bermasalah ke BPPN.

Walaupun kredit meningkat, Loan to Deposit

Ratio (LDR) perbankan yang tercatat masih tidak

mengalami perubahan yang berarti dibandingkan

tahun sebelumnya yaitu sebesar 33%. Hal ini

mengindikasikan perbankan belum menjalankan

fungsi intermediasinya secara optimal. Secara

potensial LDR tersebut sebenarnya masih dapat

ditingkatkan apabila komitmen kredit yang telah

disediakan perbankan dapat ditarik secara maksimal

oleh nasabah. Sampai dengan periode laporan,

jumlah kredit yang belum ditarik (undisbursed loan)

mencapai Rp70,5 triliun dari plafon sebesar Rp127,3

triliun. Kondisi ini mencerminkan bahwa perbankan

sudah cukup ekspansif dalam penyaluran kredit,

namun dari sisi permintaan dalam kenyataannya

debitur belum mampu menyerap kredit yang telah

disediakan. Hal ini ditengarai akibat masih tingginya

risiko dunia usaha sehubungan dengan belum

kondusifnya kondisi makro ekonomi seperti belum

stabilnya nilai tukar dan masih tingginya suku bunga,

serta masih belum stabilnya kondisi politik-sosial-

keamanan. Namun demikian, disadari pula bahwa

belum optimalnya fungsi perbankan sebagai lembaga

intermediasi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor

internal bank yang masih melakukan konsolidasi serta

berupaya memenuhi ketentuan prudensial per-17 Berdasarkan data Sistem Informasi Debitur (SID) yang didukung

hasil survei terhadap sejumlah bank

Tabel 8.9

Perkembangan Kredit Perbankan

Posisi Pertumbuhan Pangsa(Triliun rupiah) (%) (%)

1999 2000 2001 2000 2001 2001

Menurut Sektor

Ekonomi 277,3 320,4 358,6 15,5 11,9 100,0

Pertanian 26,1 19,9 21,3 -23,8 7,1 5,9Pertambangan 5,4 5,3 3,1 -1,9 -42,2 0,9Perindustrian 97,9 109,7 118,7 12,1 8,2 33,1Listrik 20,0 5,1 5,1 -74,5 -0,7 1,4Konstruksi 13,3 7,2 8,2 -45,9 14,3 2,3Perdagangan 45,2 46,0 49,3 1,8 7,2 13,7Pengangkutan 12,4 7,3 7,6 -41,1 4,1 2,1Jasa Dunia Usaha 26,4 26,4 27,7 - 5,1 7,7Jasa Sosial 3,3 2,9 3,6 -12,1 22,6 1,0Lain-lain 27,3 90,6 114,1 231,9 26,0 31,8

Menurut Kelompok

Bank 277,3 320,4 358,6 15,6 11,9 100,0

Bank BUMN 152,1 142,8 159,9 -6,1 11,9 44,6BUSN Devisa 56,5 79,4 97,6 40,5 22,9 27,2BUSN Non Devisa 5,0 10,6 10,3 112,0 -2,6 2,9BPD 13,6 11,5 17,1 -15,3 48,3 4,8Bank Campuran 22,5 29,3 29,2 30,0 -0,5 8,1Bank Asing 27,6 46,8 44,7 69,6 -4,5 12,5

Menurut Denominasi 277,3 320,4 358,6 15,5 11,9 100,0

Rupiah 159,1 178,0 228,6 11,9 28,4 63,7Valuta asing 118,2 142,4 130,1 20,5 -8,7 36,3

Jenis Kredit

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

158

bankan. Sementara itu, penyaluran kredit kepada

debitur-debitur besar (korporasi) dalam tahun laporan

tidak banyak mengalami kemajuan karena sebagian

besar debitur tersebut masih dalam proses restruk-

turisasi di BPPN. Berdasarkan hasil survei dalam

paper Credit Crunch18 diperoleh informasi bahwa

bank-bank juga masih enggan memberikan kredit ke

sektor korporasi mengingat masih adanya trauma dari

pengalaman masa lalu, sedangkan untuk mencetak

debitur-debitur baru yang besar memerlukan waktu

yang lama.

Kualitas Kredit Perbankan

Dalam periode laporan, kualitas kredit

perbankan menunjukkan perbaikan baik secara

nominal maupun rasio sejalan dengan kemajuan

proses restrukturisasi kredit. Secara nominal Non

Performing Loans (NPLs) turun dari Rp60,1 triliun

pada Desember 2000 menjadi Rp43,4 triliun pada

akhir tahun laporan. Sementara rasio NPLs tanpa

memperhitungkan Penyisihan Penghapusan Aktiva

Produktif (PPAP) yang dibentuk (Gross NPLs) turun

dari 18,8% pada posisi Desember 2000 menjadi

12,1% pada akhir tahun laporan (Grafik 8.3). Apabila

PPAP yang dibentuk diperhitungkan (Net NPLs) maka

nilainya menjadi sebesar 3,6% pada akhir tahun

laporan. Perbaikan tersebut antara lain dipengaruhi

oleh adanya ekspansi kredit baru yang menambah

jumlah kredit yang tergolong lancar, perbaikan kualitas

kredit yang tergolong kurang lancar, diragukan dan

macet, serta penghapusan kredit macet. Walaupun

terjadi perbaikan namun rasio gross NPLs tersebut

masih di atas target indikatif yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia sebesar 5%. Masih tingginya rasio

NPLs tersebut berkaitan dengan prioritas bank untuk

lebih memfokuskan pada pencapaian CAR minimum

8% pada akhir tahun 2001. Walaupun tidak bersifat

wajib, pencapaian target rasio NPLs tersebut akan

membantu mempercepat proses pemulihan inter-

mediasi bank sehingga langkah-langkah percepatan

restrukturisasi kredit, peningkatan pemberian kredit

baru dan pengalihan kredit yang telah direstrukturisasi

dari BPPN ke perbankan tetap harus dilakukan.

Disamping itu Bank Indonesia telah melakukan pe-

nyesuaian dalam perlakuan kualitas kredit, Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan PPAP

kredit yang direstrukturisasi sebagai upaya untuk

mendorong percepatan restrukturisasi kredit.

Pengembangan Usaha Kecil Dan Menengah

Dalam tahun laporan Bank Indonesia tetap

memberikan komitmen untuk mendorong pengem-

bangan usaha kecil dan menengah. Komitmen ter-

sebut diwujudkan dalam bentuk Bantuan Teknis

18 Agung, Kusmiarso, Pramono, Hutapea, Prasmuko, Prastowo

(2001). “Credit Crunch in Indonesia in The Aftermath of Crisis :

Facts, Causes and Policy Implications”. Bank Indonesia.

Grafik 8.3

Perkembangan NPLs

Persen

0

5

10

15

20

25

30

35

Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

1999 20012000

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

159

Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM), yang

lebih difokuskan pada kegiatan pelatihan, penelitian,

dan penyediaan informasi di sektor perbankan.

Dalam pelaksanaannya, kegiatan bantuan

teknis yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia selama

tahun laporan, antara lain meliputi :

a. Di bidang pelatihan, Bank Indonesia telah melak-

sanakan kegiatan pelatihan kepada perbankan

yang meliputi training of facilitator untuk Bank

Perkreditan Rakyat (BPR) dan pelatihan usaha

kecil dan mikro untuk bank umum.

b. Di bidang penelitian, Bank Indonesia telah

melakukan penelitian mengenai komoditas skala

kecil yang potensial dibiayai oleh bank yang

mencakup 10 komoditas. Kesepuluh pola pem-

biayaan tersebut melengkapi 45 Model Kela-

yakan Proyek Kemitraan Terpadu dari berbagai

sektor baik pertanian, industri maupun jasa yang

telah diteliti dari tahun 1995 sampai dengan

1999.

c. Di bidang penyediaan informasi, Bank Indonesia

telah memasukkan hasil-hasil penelitian dimak-

sud ke dalam suatu Sistem Informasi Terpadu

Pengembangan Usaha Kecil (SI-PUK) yang

dapat diakses melalui internet/website Bank

Indonesia. Informasi tersebut terdiri dari Sistem

Informasi Baseline Economic Survey (SIB),

Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor

(SIABE), Sistem Informasi Pola Pembiayaan/

Lending Model Usaha Kecil (SI-LMUK), Sistem

Penunjang Keputusan Untuk Investasi (SPKUI)

dan Sistem Informasi Prosedur Memperoleh

Kredit (SI-PMK).

d. Dalam rangka mendorong perbankan agar

meningkatkan pembiayaannya khususnya

kepada usaha kecil dan menengah, Bank

Indonesia juga secara terus menerus melakukan

sosialisasi dalam bentuk seminar atau

lokakarya.

Sementara itu, kegiatan bantuan teknis lain

yang masih ditangani oleh Bank Indonesia adalah

Proyek Kredit Mikro (PKM) yang merupakan proyek

kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia

dengan Asian Development Bank (ADB). Dengan

berlakunya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia

seharusnya mengalihkan pengelolaann PKM kepada

BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah. Namun,

dengan pertimbangan dana pinjaman ADB belum

ditarik seluruhnya, serta pelaksanaan PKM cukup

berhasil, dan kebutuhan masyarakat atas kredit PKM

masih tinggi, maka atas kesepakatan ADB, Pe-

merintah, dan Bank Indonesia, pelaksanaan PKM

tetap dilakukan oleh Bank Indonesia sampai dengan

berakhirnya jangka waktu penarikan pinjaman, yaitu

30 Juni 200119 yang kemudian diperpanjang sampai

dengan 31 Desember 2001.20

Saat ini PKM telah mencakup 15 Propinsi

yang melibatkan 24 Kantor Bank Indonesia (KBI) yang

tersebar diberbagai propinsi di Indonesia. Sementara

itu, jumlah maksimal kredit yang diberikan kepada

nasabah mikro juga telah mengalami beberapa kali

perubahan yang disesuaikan dengan kondisi

perekonomian nasional. Perubahan yang terakhir

menetapkan jumlah kredit PKM yang pertama kali

diberikan maksimal sebesar Rp2 juta per nasabah

19 Peraturan Bank Indonesia No. 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001

tentang Proyek Kredit Mikro

20 Peraturan Bank Indonesia No. 3/16/PBI/2001 tanggal 3 Oktober

2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia

No. 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

160

dan untuk kredit selanjutnya maksimal Rp5 juta per

nasabah.21

Untuk periode laporan, besarnya kredit yang

telah disalurkan Bank Indonesia kepada usaha mikro

berjumlah Rp137,4 miliar, sehingga jumlah kredit

kepada usaha mikro yang telah direalisasikan

seluruhnya (sejak tahun 1996 s.d. Desember 2001)

berjumlah Rp417,1 miliar kepada 752.492 nasabah

mikro dengan melibatkan BPD, BPR, Lembaga Dana

dan Kredit Pedesaan (LDKP) dan Lembaga

Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM).

Berdasarkan tingkat kolektibilitasnya, PKM dinilai

cukup berhasil karena memiliki kredit macet sebesar

1,2%.

Sementara itu, dalam hal kebijakan

perkreditan, Bank Indonesia telah menyempurnakan

ketentuan tentang KUK22 yang pada intinya tidak lagi

mewajibkan namun menganjurkan penyaluran KUK

dan merubah plafon KUK menjadi Rp500 juta per

nasabah. Realisasinya KUK pada tahun laporan

posisinya mengalami peningkatan sebesar 14,8%

dibandingkan tahun sebelumnya sehingga menjadi

Rp65 triliun (Tabel 8.10). Dengan perkembangan

tersebut, sampai dengan akhir tahun 2001 rasio

penyaluran KUK terhadap total kredit perbankan

menjadi 18,5%.

Selain melalui kebijakan perkreditan, sebagai

upaya penyediaan pembiayaan bagi usaha kecil dan

menengah, Bank Indonesia masih tetap menjaga

keseimbangan pembiayaan atau pendanaan kredit

program. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pemberian

kesempatan kepada BUMN Koordinator untuk

menyalurkan kembali angsuran Kredit Likuiditas Bank

Indonesia (KLBI) sampai dengan KLBI tersebut jatuh

tempo. Jumlah angsuran KLBI yang dikelola oleh

BUMN Koordinator sampai dengan akhir tahun

laporan sebesar Rp1,45 triliun atau meningkat sekitar

44% dibandingkan posisi 31 Desember 2000 yang

hanya Rp1,0 triliun. Dari dana hasil angsuran tersebut,

telah disalurkan kembali sebesar Rp1,3 triliun atau

meningkat sekitar 186% dibandingkan Rp453,5 miliar

pada tahun sebelumnya. Penyaluran dana yang

disalurkan kembali tersebut sebagian besar dilakukan

oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan

Bank Tabungan Negara (BTN).

Dengan melihat masih rendahnya penyaluran

kembali dana hasil angsuran KLBI oleh BUMN

Koordinator khususnya pada tahun 2000, maka pada

tahun 2001 Bank Indonesia memandang perlu untuk

mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan

pengelolaan KLBI oleh BUMN Koordinator. Dari hasil

evaluasi tersebut secara umum dapat disimpulkan

bahwa pengelolaan KLBI oleh 3 BUMN Koordinator,

khususnya dalam hal penyaluran kembali dana hasil

angsuran KLBI belum dilaksanakan secara optimal.

Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan dan

kendala yang dihadapi oleh masing-masing BUMN

Koordinator tersebut, antara lain disebabkan karena

angsuran KLBI yang dikelola berjangka waktu lebih

pendek dari pada jangka waktu kredit yang akan di-

relending, sehingga dikhawatirkan terjadi mismatch

pendanaan. Disamping itu masih sangat terbatasnya

jaringan kantor dan permodalan PNM juga menjadi

menjadi kendala rendahnya penyaluran kembali dana

hasil angsuran KLBI tersebut.

21 Peraturan Bank Indonesia No. 3/8/PBI/2001 tanggal 25 April 2001

tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 3/1/PBI/2001

tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro

22 Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001

tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil dan Surat Edaran No. 3/9/

BKR tanggal 17 Mei 2001tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian

Kredit Usaha Kecil

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

161

Untuk mengatasi permasalah di atas Bank

Indonesia telah merekomendasikan kepada Peme-

rintah untuk lebih memberdayakan BUMN Koor-

dinator agar dapat melaksanakan tugasnya dengan

lebih baik. Hal-hal yang direkomendasikan antara lain

perlu ditunjuknya satu BUMN Koordinator sebagai

pengelola kredit program secara keseluruhan. BUMN

Koordinator dimaksud selanjutnya dapat dijadikan

cikal bakal bagi terbentuknya suatu bank khusus yang

membiayai usaha kecil dan menengah, atau sebagai

lembaga sementara yang khusus menangani

pembiayaan usaha kecil dan menengah (termasuk

kredit program) sampai dengan terbentuknya bank

khusus tersebut.

Selain itu, dalam rangka pengembangan

usaha kecil dan menengah, berbagai masukan telah

disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah

antara lain perlunya pemanfaatan dana Surat Utang

Pemerintah dalam rangka kredit program (SUP No.

005)23 secara optimal guna membantu pendanaan

kredit program. Sampai dengan posisi akhir tahun,

dana SUP No. 005 yang dapat dicairkan adalah

sebesar Rp3,1 triliun dan baru dicairkan Pemerintah

sebesar Rp850 miliar, sehingga dana yang masih

dapat dicairkan sebesar Rp2,2 triliun.

Permodalan

Pada tahun laporan, permodalan bank me-

ningkat dari Rp52,3 triliun di akhir tahun 2000 menjadi

Rp62,3 triliun atau naik sebesar 19,1%. Peningkatan

permodalan tersebut disamping karena perolehan

laba tahun berjalan juga adanya tambahan setoran

modal oleh beberapa bank dalam kelompok kategori

A, BPD dan bank campuran dalam rangka peme-

nuhan ketentuan CAR minimun 8% pada akhir tahun

2001.

Semua kelompok bank sudah mencatat

permodalan yang positif sejak triwulan kedua tahun

2000. Modal terbesar dimiliki oleh kelompok bank

BUMN sebesar Rp20,7 triliun, sedangkan modal

terkecil dimiliki oleh bank asing yaitu sebesar Rp1,4

triliun. Walaupun telah mencapai permodalan yang

positif, namun secara individu masih terdapat bank-

bank yang mempunyai CAR di bawah 8%, yang

terdiri dari bank kelompok A dan BUSN rekap. Upaya

peningkatan permodalan bank untuk bank-bank

yang mempunyai CAR < 8% terus dilakukan di

antaranya dengan meminta para pemilik bank untuk

23 Surat Utang Pemerintah dalam rangka kredit program (SUP No.

005) adalah surat utang yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk

pembiayaan kredit program sebagai pengganti dana KLBI karena

dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia tidak

dapat lagi memberikan KLBI untuk pembiayaan kredit program.

Besarnya SUP No. 005 adalah Rp9,97 triliun, tetapi penarikannya

tergantung dari KLBI yang telah diberikan untuk kredit program yang

jatuh tempo dan diterima oleh Bank Indonesia dalam tahun 2000

dan 2001.

Tabel 8.10

Perkembangan Kredit Usaha Kecil

Menurut Jenis Penggunaan 37,2 56,6 64,9 52,1 14,8 100,0Modal Kerja 15,7 22,0 27,3 40,0 23,8 42,0Investasi 5,4 7,8 9,4 44,0 21,3 14,5Konsumsi 16,1 26,8 28,3 66,6 5,4 43,5

Menurut Sektor Ekonomi 37,2 56,6 64,9 52,1 14,8 100,0Pertanian 7,7 9,3 11,4 19,8 23,3 17,6Perindustrian 1,1 1,7 2,6 54,5 51,3 4,0Perdagangan, Restoran dan Hotel 8,8 10,3 12,8 17,0 24,0 19,7Jasa-jasa 3,4 4,7 5,2 38,7 11,0 8,1Lain-lain 16,2 30,6 32,9 89,3 7,6 50,6

Menurut Kelompok Bank 37,2 56,6 64,9 52,1 14,8 100,0Bank Persero 25,4 30,5 36,9 20,3 21,0 56,8BUSN Devisa 5,9 12,3 13,7 108,7 11,5 21,1BUSN Non Devisa 1,8 5,1 2,5 180,4 -51,3 3,8B P D 4,1 8,6 11,8 111,9 36,9 18,2Bank Campuran & Asing 0,1 0,1 0,01 -1,4 -90,3 0,01

Posisi Pertumbuhan PangsaPenyebaran KUK (Triliun rupiah) (%) (%)

1999 2000r 2001 2000 2001 2001

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

162

menambah modal disetor maupun dengan

melakukan merger. Sampai dengan akhir tahun

200124 jumlah bank yang telah memenuhi target

CAR minimum 8% telah mencapai 138 bank (95%)

dari 145 bank yang ada.

Profitabilitas

Dalam tahun laporan, kegiatan perbankan

terus menunjukkan perbaikan yang tercermin pada

peningkatan laba usaha. Perolehan laba sebelum

pajak selama tahun 2001 mencapai Rp13,1 triliun,

meningkat dibandingkan tahun 2000 sebesar Rp10,5

triliun (Grafik 8.5). Pada tahun 2001 walaupun per-

bankan masih mengalami kerugian operasional Rp0,2

triliun, namun kerugian tersebut lebih kecil bila diban-

dingkan dengan kerugian tahun sebelumnya yang

besarnya Rp0,7 triliun. Masih meruginya perbankan

disebabkan karena masih tingginya beban PPAP dan

beban overhead lainnya yang harus ditanggung oleh

bank-bank. Di sisi lain, laba non operasional yang

diperoleh perbankan sebesar Rp13,3 triliun meningkat

dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp11,2

triliun. Peningkatan ini terutama masih berasal dari

keuntungan selisih kurs akibat melemahnya nilai tukar

dan adanya koreksi PPAP berkaitan dengan penda-

patan yang diperoleh dari kredit yang telah dihapus-

bukukan.

Sementara itu Net Interest Margin (NIM) yang

diperoleh perbankan dalam tahun laporan juga me-

ningkat menjadi Rp37,8 triliun atau rata-rata sebesar

Rp3,2 triliun per bulan (Grafik 8.6) dibanding tahun

sebelumnya yang hanya Rp22,8 triliun atau Rp1,9

triliun per bulan. Meningkatnya perolehan NIM

tersebut disebabkan meningkatnya pemberian kredit

pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun 2000

dan meningkatnya perolehan pendapatan bunga yang

berasal dari bunga SBI dan bunga obligasi pemerintah

pada beberapa bank rekap yang memiliki obligasi

dengan variable rate. Ditinjau dari prosentasenya,

perolehan pendapatan bunga perbankan terbesar

berasal dari obligasi pemerintah yaitu sebesar 45,3%

terhadap total pendapatan bunga, sementara yang

berasal dari kredit dan SBI masing-masing sebesar

32,2% dan 9,7%. Kondisi ini menunjukan masih24. Data sampai dengan bulan November 2001.

Grafik 8.5

Perkembangan Laba/Rugi Perbankan

Grafik 8.4

Perkembangan Permodalan Bank

-80,0

-40,0

0,0

40,0

80,0

Triliun Rp

1999 2000 2001

Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Nov.

Bank BUMN BUSN Rekap BTO

Bank Kategori A BPD Bank Campuran

Bank Asing Seluruh Bank

Des.

Triliun Rp

-120

-100

-80

-60

-40

-20

0

20

40

Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep.

Laba/Rugi Operasional

Laba/Rugi non operasional

Laba Rugi sebelum pajak

1999 2000 2001

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

163

tingginya ketergantungan perbankan dari bunga

obligasi pemerintah. Dilihat per kelompok bank, bank

BTO adalah kelompok bank yang sangat bergantung

pada pendapatan bunga obligasi pemerintah yang

terlihat dari cukup tingginya pangsa pendapatan

bunga obligasi pemerintah terhadap total pendapatan

bunga sebesar 69,1% diikuti dengan kelompok bank

BUMN sebesar 56,6% dan BUSN Rekap sebesar

20,4%.

LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA

Seiring dengan membaiknya kinerja per-

bankan dalam tahun 2001, sumber dana perusahaan

pembiayaan yang berasal dari perbankan meningkat

sehingga memberikan kemampuan untuk mening-

katkan kinerja perusahaan pembiayaan yang ter-

cermin dari kenaikan nilai kegiatan usahanya. Semen-

tara itu, seiring dengan masih adanya keengganan

perbankan untuk menyalurkan kredit telah membuka

peluang kepada Perusahaan Umum (PERUM)

pegadaian untuk meningkatkan penyaluran dananya

kepada masyarakat baik untuk konsumsi maupun

modal jangka pendek.

Perusahaan Pembiayaan

Kinerja perusahaan pembiayaan dalam tahun

2001 masih ditandai dengan perkembangan yang

membaik walaupun dengan pertumbuhan yang jauh

lebih rendah dibanding dengan periode sebelumnya.

Peningkatan kinerja tersebut tercermin dari

meningkatnya total nilai kegiatan usaha yang sampai

dengan November 2001 naik sebesar 28,9% diban-

ding tahun sebelumnya.

Sepanjang tahun laporan terdapat tiga peru-

sahaan pembiayaan yang baru didirikan (PT. Karya

Technik Multifinance, PT Kembang Delapan Delapan

Multifinance, dan PT. Sinar Mitra Sepadan Finance)

dan dua perusahaan pembiayaan yang dilikuidasi (PT.

Bahan Pembinaan Usaha dan PT Bali Tunas

Finance).25 Sehingga sampai dengan November

2001, jumlah perusahaan pembiayaan yang masih

menjalankan kegiatan usahanya meningkat menjadi

246 perusahaan dibanding tahun sebelumnya.

Dibandingkan dengan akhir tahun sebe-

lumnya, seluruh jenis kegiatan usaha perusahaan

pembiayaan mengalami peningkatan kecuali

pembiayaan anjak piutang yang mengalami penu-

runan sebesar 47,7%. Peningkatan terbesar terjadi

pada pembiayaan kartu kredit dan pembiayaan

konsumen yaitu masing-masing naik sebesar 89,2%

dan 47,9. Hal ini sejalan dengan perkembangan

konsumsi domestik yang mengalami peningkatan

dibanding tahun sebelumnya yang diduga dibiayai

dari perusahaan pembiayaan (Lihat Bab Makro).

Grafik 8.6

Perkembangan Net Interest Margin

25 Dasar keputusan : Keputusan Menteri Keuangan No. 275/KMK.06/

2001 tanggal 8 Mei 2001, Keputusan Menkeu No. 364/KMK.06/

2001 tanggal 11 Juni 2001, Keputusan Menteri Keuangan No. 365/

KMK.06/2001 tanggal 11 Juni 2001, Keputusan Menteri Keuangan

No. 626/KMK.06/2001 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 365/

KMK.06/2001.

Triliun Rp

Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep.

1999 2000 2001

Des.

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

50

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

164

Dilihat dari komposisinya, kegiatan sewa guna usaha

masih mendominasi kegiatan usaha perusahaan

pembiayaan, yaitu mencapai 45,8 dari total pem-

biayaan. Komposisi kegiatan usaha lainnya adalah

pembiayaan konsumen sebesar 40,0%, pembiayaan

anjak piutang sebesar 10,9%, dan kartu kredit 2,4%.

Sampai dengan November 2001, sumber da-

na yang berhasil dihimpun perusahaan pembiayaan

meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau naik 6,8% di-

bandingkan posisi akhir Desember 2000 (Tabel 8.12).

Sebagaimana tahun sebelumnya, sumber utama

pendanaan perusahaan pembiayaan masih berasal

dari pinjaman bank dalam negeri. Sejalan dengan

membaiknya kinerja perbankan, pinjaman yang di-

peroleh perusahaan pembiayaan dari bank dalam ne-

geri meningkat sebesar Rp 3,5 triliun sehingga men-

jadi 14,8 triliun. Dalam tahun laporan, walaupun peru-

sahaan pembiayaan mengalami laba bersih sebesar

Rp 396,4 juta, modal yang dimiliki perusahaan pem-

biayaan masih tetap negatif akibat set off terhadap

kerugian yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Dalam tahun laporan, penggunaan dana

perusahaan pembiayaan sebagian besar disalurkan

dalam bentuk pembiayaan, yaitu sebesar Rp 31,4

triliun atau 82,4% dari total dana yang dimiliki. (Tabel

8.12). Seiring dengan melambatnya pertumbuhan

perekonomian, aktivitas pembiayaan yang dilakukan

perusahaan ini juga mengalami pertumbuhan yang

melambat dibanding tahun sebelumnya yaitu dari

32,5% pada tahun 2000 menjadi 7,0% sampai

November 2001. Sementara itu, simpanan dana peru-

sahaan pembiayaan pada bank mengalami penuru-

nan sebesar 20,7%. Hal ini mengindikasikan adanya

shifiting dana antara simpanan di bank dan pembia-

yaan yang dapat diartikan lebih menguntungkannya

pemberian pembiayaan kepada konsumen diban-

dingkan dengan penempatan dalam produk-produk

perbankan.

Tabel 8.11

Perkembangan Perusahaan Pembiayaan

Posisi PertumbuhanKeterangan (Triliun rupiah) (%)

1999 2000r 20011) 2000 20011)

Jumlah Perusahaan 2) 245 245 246

Nilai Kegiatan Usaha 22,2 29,4 31,4 32,4 7,0

Sewa guna usaha 10,9 13,7 14,39 25,7 4,8Pembiayaan anjak piutang 6,4 6,6 3,4 2,3 -47,7Pembiayaan kartu kredit 0,3 0,4 0,8 19,9 89,2Pembiayaan konsumen 4,3 8,5 12,6 97,0 47,9Lainnya 0,2 0,2 0,3 -5,7 44,7

Pinjaman yang Diterima 14,4 17,1 18,5 18,8 7,9

Dalam negeri 14,4 17,1 18,5 18,8 7,9

- Bank 10,7 11,3 14,8 5,6 30,8

- Bukan bank 3,7 5,8 3,7 56,9 -36,7

Luar negeri 10,8 12,5 11,2 15,2 -10,3

Obligasi 0,6 0,8 0,8 51,9 -1,0Pinjaman Subordinasi 1,4 1,7 2,2 18,8 29,0

1) November 2001

2) Satuan

Tabel 8.12

Sumber dan Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan

Posisi PertumbuhanKeterangan (Triliun rupiah) (%)

1999 2000r 20011) 2000 2001

Sumber Dana 30,2 35,8 38,2 18,3 6,8

Pinjaman bank dalam negeri 10,7 11,3 14,8 5,6 30,8

Pinjaman bank luar negeri 8,6 7,6 7,26 -11,7 -4,1

Pinjaman diterima lainnya d,n, 4,7 7,1 5,0 52,7 -30,3

Pinjaman diterima lainnya l,n, 11,9 11,8 13,7 -0,4 16,1

Modal 2) -1,3 -2,2 -0,3 -62,6 85,5

Lain-lain -4,3 0,1 -2,2 97,4 1957,8

Penggunaan Dana 30,2 35,8 38,2 18,3 6,8

Pembiayaan 22,2 29,4 31,4 32,5 7,0

Simpanan pada bank 5,1 3,7 3,0 -26,9 -20,7

Penyertaan 0,1 0,1 0,1 1,6 -21,7

Lain-lain 2,8 2,5 3,7 -10,2 45,9

1) November2) Modal bersih setelah ditambah/dikurangi laba/rugi th berjalan dan ditambah cadangan

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

165

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Dilihat dari kolektibilitasnya, kualitas aktiva

produktif perusahaan pembiayaan yang terdiri dari

kegiatan pembiayaan (sewa guna usaha, anjak piu-

tang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen),

surat berharga, dan penyertaan menunjukkan

perkembangan yang membaik dibanding tahun

sebelumnya. Kualitas aktiva produktif dalam

kategori lancar meningkat dari 67,8% menjadi

78,2%. Sementara itu, pangsa aktiva produktif yang

bermasalah, yaitu kategori diragukan dan macet,

menurun dari 3,22% menjadi 21,8% (Grafik 8.7).

Dilihat dari jenis pembiayaannya, anjak piutang

memiliki kualitas aktiva yang terburuk yaitu dengan

pangsa kategori macet mencapai 66,2%. Sedangkan

aktiva produktif yang terbaik dimiliki pembiayaan

konsumen dengan porsi kredit macet hanya sebesar

2,1% (Tabel 8.13).

Pegadaian

Kinerja perusahaan umum pegadaian dalam

tahun 2001 menunjukkan perkembangan yang lebih

baik dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan

ini merupakan hasil dari peningkatan jangkauan dan

kualitas pelayanan melalui pendirian cabang baru,

diversifikasi produk dan peningkatan profesionalisme

sumber daya manusia yang dimiliki, serta restruk-

turisasi internal melalui efisiensi terhadap unit-unit

kegiatan yang dinilai tidak produktif. Selain itu, masih

Tabel 8.14

Perkembangan Kinerja Pegadaian

Omzet 3.229.280 4.230.778 5.970.310

Pendapatan Usaha : 449.087 373.233 553.487

- Sewa Modal 417.370 341.936 500.562

- Jasa Taksiran 16 16 27

- Jasa Titipan 10 11 18

- Pendptn Penyimpanan &

Asuransi 25.319 31.270 47.033

- Lainnya 6.372 3.929 5.847

Posisi Pasiva

- Kewajiban Jangka Pendek 243.612 454.176 551.785

- Hutang Bank 120.067 157.631 425.240

- Lainnya 123.545 296.545 126.545

- Hutang Obligasi 389.556 439.486 635.933

- Hutang Jangka Panjang 100.000 105.000 105.000

- Ekuitas 409.553 415.258 574.105

Nilai Barang Lelang 91.712 38.946 47.298

Jumlah Nasabah 3) 12.427.554 12.982.306 15.692.228

1) Data Revisi Sesuai Laporan Tahunan Pegadaian 20002) Data Berdasarkan Data Laporan Operasional Desember 20013) OrangSumber: Pegadaian

19991) 20002) 20012)

Juta rupiahRincian

Grafik 8.7

Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan

Aktiva 1999 2000r 20011)

Produktif L D M L D M L D M

(%) (%) (%)

Pembiayaan :- Sewa Guna Usaha 70,3 10,3 19,4 69,0 12,4 18,6 77,0 7,4 15,6- Anjak Piutang 36,3 5,2 58,5 42,7 4,2 53,1 27,4 6,5 66,2- Kartu Kredit 31,4 3,8 64,7 66,8 1,5 31,7 75,1 2,1 22,8- Pembiayaan Konsumen 90,9 2,4 6,7 94,7 1,6 3,7 96,2 1,6 2,1

Surat Berharga yang dimiliki 88,5 2,4 9,0 88,0 0,2 11,7 82,5 6,7 10,8Penyertaan 97,8 0,0 2,2 97,7 0,0 2,3 92,9 0,2 6,9

L = Lancar, D = Diragukan, M = Macet

1) = November

Tabel 8.13

Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif

0

20

40

60

80

Persen

1999 2000r 20011)

Lancar Diragukan Macet

1) Angka posisi November

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

166

adanya keengganan perbankan untuk menyalurkan

kredit, memberikan peluang kepada pegadaian untuk

membiayai kebutuhan dana masyarakat baik untuk

modal jangka pendek maupun keperluan konsumsi

dan kebutuhan lainnya, khususnya bagi masyarakat

dan pengusaha golongan kecil menengah.

Dalam rangka meningkatkan jangkauan

pelayanan, perusahaan pegadaian telah menambah

jumlah kantor cabangnya dalam tahun 2001 sehingga

menjadi 714 cabang.26 Sementara itu, dalam tahun

2001 PERUM pegadaian telah melakukan upaya

diversifikasi produk dan jasa antara lain melalui kerja-

sama dengan Usaha Aneka Tambang sebagai distri-

butor utama produk-produk perhiasan dan menye-

diakan jasa penilaian batu permata dan berlian. Selain

itu pegadaian juga telah menambah jenis barang

jaminan berupa gabah dan kendaraan bermotor se-

bagai upaya pengembangan produk dalam meng-

akomodir permintaan masyarakat pedesaan.

Meningkatnya aktivitas usaha perum

pegadaian tercermin dari peningkatan omzet kegiatan

usaha (pinjaman yang diberikan), pendapatan usaha

dan jumlah masyarakat yang menjadi nasabah.

Omzet usaha pegadaian mengalami peningkatan

sebesar 41,1% sehingga menjadi Rp 6,0 triliun

dibandingkan akhir tahun 2000 (Tabel 8.14). Pertum-

buhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun

sebelumnya yang sebesar 31,0%, sejalan dengan

peningkatan pelayanan yang dilakukan dan semakin

besarnya jumlah nasabah yang dilayani. Jumlah ma-

syarakat yang menjadi nasabah pegadaian meningkat

sebesar 20,9% sehingga menjadi 15,7 juta nasabah.

Dalam pada itu, pendapatan usaha pegadaian me-

ningkat sebesar Rp180,3 miliar. Seluruh jenis kegiatan

usaha perum pegadaian mengalami peningkatan

pendapatan dengan kontribusi terbesar diberikan oleh

kegiatan utamanya yaitu sewa modal dengan

prosentase mencapai 90,4% dari total pendapatan

usaha. Dalam melakukan penyaluran kreditnya,

pegadaian disamping memberikan modal dana juga

memberikan pembinaan manajemen dan pemasaran

untuk mengembangkan usaha kepada para debitur-

nya khususnya kepada pengusaha kecil.

Sementara itu, kredit yang tidak dilunasi oleh

nasabah pegadaian sebagaimana tercermin dari nilai

barang lelang meningkat 21,5% menjadi Rp47,3 miliar

pada akhir tahun (Tabel 8.14). Hal ini disebabkan me-

ningkatnya barang jaminan yang tidak ditebus kembali

oleh para debitur.

Dari sisi sumber dana, sebagian besar ber-

asal dari penerbitan obligasi yaitu sebesar Rp 635,9

miliar atau 34,1% dari seluruh dana. Dalam tahun

2001, pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) membe-

rikan peringkat A+ untuk obligasi yang akan

diterbitkan Perum Pegadaian. Pemberian peringkat

didasarkan pada kinerja Pegadaian selama tahun

200 dan kecilnya jumlah kredit macet yang dimiliki

tercermin dari barang jaminan yang dilelangkan.

Sumber dana lainnya berasal dari modal sendiri

sebesar 30,8%, pinjaman bank 22,8%, hutang

jangka pendek lainnya 6,8%, dan pinjaman jangka

panjang 5,6%.

26 Laporan data operasional Pegadaian Bulan Desember 2001

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

167

Sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan

ketahanan sistem perbankan nasional, perlu

diciptakan suatu mekanisme untuk menjaga tingkat

kepercayaan masyarakat terhadap lembaga per-

bankan. Salah satu instrumen pendukung yang

diperlukan adalah adanya jaring pengaman ke-

uangan (financial safety net) yang dapat memberikan

keyakinan akan perlindungan dana nasabah dalam

hal bank gagal memenuhi kewajibannya. Penga-

laman yang mahal akibat hilangnya kepercayaan

masyarakat terbukti setelah dilakukannya likuidasi

terhadap 16 bank pada November 1997 dimana

likuiditas perbankan telah menurun secara drastis

sebagai akibat terjadinya bank-runs dalam masya-

rakat. Tidak adanya kebijakan penjaminan yang

eksplisit terhadap dana simpanan nasabah (explicit

guarantee) telah menjadi faktor pendorong sikap

masyarakat untuk melakukan rush ke bank-bank.

Untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk

lagi, maka pemerintah menempuh upaya untuk

memberikan jaminan penuh (blanket guarantee)

guna memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan. Kebijakan penjaminan pemerintah ini di

diatur dalam Keppres No. 26/1998 dan diatur lebih

lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.

197/KMK.017/2000.

Kebijakan pemberian blanket guarantee

tersebut terbukti efektif dalam mengembalikan

kepercayaan masyarakat. Dalam waktu yang relatif

singkat dana masyarakat kembali ke sistem

perbankan, dan saat ini total simpanan masyarakat

saat ini telah mencapai + 70% dari seluruh total aset

perbankan nasional. Namun demikian, dibalik

keberhasilan dalam meredam merosotnya keper-

cayaan masyarakat tersebut, terdapat beban besar

yang harus ditanggung pemerintah dan potensi

munculnya moral hazard pada perbankan di kemu-

dian hari. Agar keadaan ini tidak berlangsung terus

menerus, perlu segera dirumuskan suatu pola

penjaminan simpanan nasabah yang lebih efektif dan

efisien. Konsep penjaminan yang terbatas seperti

asuransi deposito (deposit insurance) di beberapa

negara dapat dipertimbangkan sebagai suatu

alternatif disamping alternatif lain seperti skim dana

bersama sebagaimana dimaksud dalam UU No. 10

Tahun 1998 tentang Perbankan.

Beranjak dari pemikiran di atas, telah

dibentuk Tim Kerja yang anggotanya terdiri dari Bank

Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN yang

bertugas untuk mempersiapkan pendirian LPS.

Fokus kegiatan Tim Kerja ini dibagi menjadi 2 (dua)

bagian. Agenda jangka pendek adalah merumuskan

pola pengurangan cakupan penjaminan secara

bertahap (phasing-out) dari hampir seluruh kewajiban

bank menjadi terbatas pada simpanan, inkaso dan

transfer masuk/keluar, pinjaman antar bank dan Letter

of Credit (L/C).

Sementara itu, agenda jangka panjang ada-

lah mempersiapkan pendirian LPS, termasuk pe-

manfaatan skim asuransi dengan cakupan pen-

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

b o k s

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

167

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

168

jaminan terbatas sampai dengan jumlah tertentu

saja. Selanjutnya, beberapa kriteria spesifik LPS

yang perlu juga diatur diantaranya mengenai status

kelembagaan, penetapan premi dan sifat keang-

gotaan.

Dalam status kelembagaan diharapkan

lembaga ini dapat melaksanakan tugasnya secara

optimal. Untuk ini diperlukan adanya jaminan atas

independensi lembaga ini dalam melaksanakan

tugas dan kewenangannya. Dengan independensi,

diharapkan LPS dapat menjadi sebagai suatu

lembaga badan hukum sendiri yang berada di luar

pemerintah yang jalur akuntabilitasnya sepenuhnya

disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam penetapan premi penjaminan, untuk

sementara waktu akan ditempuh pola yang sama

yaitu pengenaan premi secara flat. Direncanakan

pengenaan premi yang risk-adjusted dapat segera

dimulai untuk mencerminkan objektivitas risiko

masing-masing bank yang berbeda. Selanjutnya sifat

keanggotaan LPS akan bersifat wajib (compulsory)

bagi semua bank yang beroperasi di Indonesia

termasuk bank asing untuk menjamin kesempatan

berusaha yang sama.

Pendirian LPS tentunya dilakukan dengan

memperhatikan beberapa prakondisi, antara lain

adanya sistem perbankan yang sehat dan stabil.

Sejalan dengan prakondisi tersebut, maka upaya-

upaya restrukturisasi perbankan perlu terus dilakukan.

Diperkirakan jangka waktu 3 tahun sejak 2001

memadai untuk menyiapkan pendirian lembaga ini

sehingga pada tahun 2004 dipandang sebagai saat

yang tepat untuk memulai penjaminan yang

sepenuhnya berformat pada LPS.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

168

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

169

UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun

1999 telah mengamanatkan sekaligus memberikan

landasan hukum bagi Bank Indonesia untuk mengem-

bangkan perbankan syariah di Indonesia. Selain itu,

pengembangan perbankan syariah dipandang

penting untuk : (i) memenuhi kebutuhan masyarakat

yang menghendaki layanan jasa perbankan yang

sesuai dengan prinsip syariah; (ii) meningkatkan

mobilisasi dana masyarakat yang belum terserap

sistem perbankan yang ada; (iii) meningkatkan

ketahanan sistem perbankan nasional; dan (iv)

menyediakan sarana bagi investor internasional untuk

melaksanakan pembiayaan dan transaksi keuangan

yang sesuai dengan prinsip syariah.

Dalam upaya pengembangan perbankan

syariah masih terdapat sejumlah permasalahan yang

perlu segera diatasi, baik dalam jangka pendek, me-

nengah, maupun panjang. Belum lengkapnya pera-

turan dan infrastruktur bagi bank syariah merupakan

salah satu permasalahan mendasar yang perlu

segera diatasi agar bank syariah dapat beroperasi

secara optimal sesuai dengan karakteristiknya.

Penyempurnaan pengaturan bagi perbankan syariah

menjadi sangat penting, mengingat ketentuan yang

ada saat ini belum sepenuhnya dapat mengakomodir

kegiatan usaha perbankan syariah. Di sisi lain, relatif

rendahnya pemahaman masyarakat terhadap

operasional perbankan syariah dan terbatasnya

tenaga ahli perbankan syariah merupakan salah satu

tantangan dalam pengembangan perbankan syariah.

Di samping itu, masih relatif terbatasnya jaringan

kantor perbankan syariah menyebabkan belum

terlayaninya seluruh masyarakat yang menginginkan

pelayanan bank syariah. Keberadaan lembaga-

lembaga pendukung agar perbankan syariah dapat

beroperasi secara optimal juga dirasakan belum

memadai. Selain itu, sejumlah isu yang berkaitan

dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya

inovasi ragam produk perbankan syariah memerlukan

pengaturan yang memadai agar stabilitas sistem

perbankan syariah dapat terwujud.

Perkembangan perbankan syariah nasional

juga dipengaruhi oleh globalisasi jasa keuangan.

Sejumlah isu pokok yang terkait dengan perbankan

syariah internasional memerlukan perhatian agar

perbankan syariah nasional mampu menjadi lembaga

keuangan yang dapat diterima secara internasional.

Sejumlah isu pokok tersebut antara lain : (i)

pembentukan Internasional Islamic Financial Market

(IIFM), yang saat ini dalam tahap finalisasi, diharapkan

dapat mendukung efisiensi pengelolaan dana secara

internasional; (ii) 18 negara anggota IMF saat ini

sedang mempersiapkan pembentukan Islamic

Financial Services Organization (IFSO), lembaga

internasional yang akan mengeluarkan prudential

regulation bagi bank syariah.

Menyadari demikian kompleksnya upaya pe-

ngembangan perbankan syariah maka perlu adanya

kejelasan arah kebijakan pengembangan perbankan

syariah nasional. Sehubungan dengan hal tersebut,

Cetak Biru Pengembangan

Perbankan Syariah

b o k s

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

169

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

170

perlu disusun Cetak Biru Pengembangan Perbankan

Syariah diharapkan akan memberi manfaat antara lain

: (i) sebagai pedoman baku bagi internal Bank Indo-

nesia dalam pengembangan perbankan syariah seca-

ra bertahap; (ii) sebagai acuan bagi pihak eksternal

dalam pengembangan ekonomi dan lembaga

keuangan syariah lainnya; (iii) untuk menjamin

kesinambungan pelaksanaan tugas pengaturan dan

pengawasan bank syariah di masa depan; dan (iv)

untuk mewujudkan perbankan syariah yang sehat dan

konsisten (istiqamah) terhadap prinsip-prinsip syariah.

Misi Bank Indonesia dalam pengembangan

perbankan syariah adalah mewujudkan iklim yang

kondusif untuk pengembangan perbankan syariah

yang sehat dan istiqamah terhadap prinsip-prinsip

syariah. Selanjutnya, visi pengembangan perbankan

syariah adalah terwujudnya perbankan syariah yang

mampu menggerakkan sektor riil melalui kegiatan

pembiayaan berbasis ekuitas dalam kerangka tolong

menolong (ta’awun) dan menuju kebaikan (fastabiqul

khairat) guna mencapai kemashlahatan ummat

(rahmatan lil alamin). Untuk mencapai misi dan visi

tersebut, kebijakan-kebijakan Bank Indonesia dalam

pengembangan perbankan syariah berdasarkan

prinsip market driven, fair treatment, gradual and

sustainable approach yang secara konsisten sesuai

prinsip syariah dan standar internasional.

Keberadaan perbankan syariah yang sesuai

dengan misi dan visi di atas, juga tidak terlepas dari

nilai-nilai yang menyertainya yaitu nilai dalam

perspektif mikro dan perspektif makro. Perspektif mikro

berkaitan dengan nilai-nilai dalam pengelolaan bank

syariah yaitu nilai Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathanah

termasuk Ri’ayah (cermat dan santun) dan Mas’uliyah

(bertanggung jawab). Sedangkan perspektif makro

lebih berkaitan dengan keberadaan perbankan syariah

- di dalam format perekonomian makro - yang harus

mencerminkan nilai zakat dalam mendorong investasi,

menghilangkan ketidakpastian (ghoror) untuk

mendorong transparansi, menghilangkan riba untuk

menghindari predetermined result & kesiapan

menghadapi risiko, serta menghilangkan maisir untuk

mendorong linkages ke sektor riil.

Sesuai dengan prinsip-prinsip gradual dan

berkesinambungan tersebut di atas, pengembangan

perbankan syariah memiliki tujuan-tujuan tertentu

yang terbagi dalam periode waktu yang berke-

sinambungan. Dalam jangka pendek (2002-2004),

tujuan pengembangan perbankan syariah adalah

untuk menempatkan bank syariah sedemikian rupa

sebagai alternatif bank disamping bank konvensional.

Dalam jangka menengah (2004-2008) tujuan

pengembangan adalah agar bank syariah lebih

berperan dalam mendorong sektor riil. Sedangkan

tujuan pengembangan jangka panjang (2006-2011)

adalah menjadikan bank syariah menjadi lebih efisien

dan diharapkan dapat menjadi beroperasi secara

internasional.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

170

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

171

Lembaga PengawasJasa Keuangan (LPJK)

Sesuai dengan amanat pasal 34 Undang-

Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia

disebutkan akan adanya suatu lembaga baru yang

nantinya akan melakukan fungsi pengawasan bank.

Sesuai dengan amanat tersebut, fungsi pengawasan

bank akan beralih dari Bank Indonesia ke sebuah

lembaga baru yang bersifat independent dan harus

sudah berdiri sebelum 31 Desember 2002. Dengan

beralihnya fungsi pengawasan tersebut, fungsi Bank

Indonesia nantinya hanya sebagai otoritas moneter

saja yang tugas utamanya difokuskan pada masalah-

masalah moneter dan sistem pembayaran. Ide pemi-

sahan fungsi pengawasan bank dari bank sentral dan

diserahkan ke lembaga lain bukan merupakan se-

suatu yang baru di dalam praktek pengawasan per-

bankan di negara-negara lain. Inggris, Jepang, Korea

dan Australia adalah beberapa contoh negara-negara

yang telah mempraktekkan pemisahan fungsi dan

tugas pengawasan dari bank sentral ke lembaga lain.

Walaupun secara kelembagaan fungsi

pengawasan bank akan diserahkan ke lembaga baru,

Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan

tanggung jawab dalam hal pemeliharaan stabilitas

system keuangan (financial stability) secara

keseluruhan. Fungsi Bank Indonesia dalam meme-

lihara stabilitas sistem keuangan yang berkaitan

dengan bank-bank dan lembaga keuangan lainnya

nantinya akan menyangkut systemic risk yang

dihadapi oleh perbankan maupun industri keuangan

secara keseluruhan. Systemic risk menyangkut risiko

yang dihadapi oleh beberapa bank secara berantai

yang memiliki potensi untuk menyebar (domino effect)

ke seluruh industri perbankan dan keuangan,

sehingga penanggulannya harus bersifat makro.

Sedangkan lembaga pengawas jasa keuangan yang

baru tersebut akan lebih banyak menitik beratkan

pada aspek-aspek mikro perbankan yaitu prudential

regulation dalam arti kepatuhan individu bank-bank

maupun lembaga keuangan bukan bank lainnya

terhadap segala ketentuan yang berlaku. Dengan

pemisahan fungsi pengawasan tersebut, tugas

pemeliharaan kestabilan sitem keuangan tetap

berada di Bank Indonesia.

Lembaga pengawas jasa keuangan yang

baru secara struktural direncanakan merupakan

lembaga pemerintah di luar kabinet yang ber-

tanggung jawab kepada presiden. Tujuan dibentuknya

lembaga tersebut adalah untuk melakukan

pengawasan terhadap seluruh lembaga penyedia

jasa keuangan dalam rangka menciptakan industri

jasa keuangan yang sehat, akuntabel dan kompetitif.

Keberadaan lembaga pengawas jasa keuangan yang

baru tersebut akan lebih banyak menitik beratkan

pada aspek-aspek prudential regulations dalam arti

kepatuhan individu bank-bank maupun lembaga

keuangan bukan bank lainnya terhadap segala

ketentuan yang berlaku. Cakupan tugas dari lembaga

baru tersebut nantinya tidak hanya melakukan

pengawasan terhadap bank saja tetapi juga me-

lakukan pengawasan terhadap semua lembaga

b o k sb o k sb o k sb o k sb o k s

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

171

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

172

keuangan non bank seperti misalnya asuransi, modal

ventura, pegadaian, leasing, dana pensiun, peru-

sahaan sekuritas dan perusahaan jasa keuangan

lainnya termasuk pengelola dana masyarakat yang

bersifat micro financing.

Pada saat ini pengawasan terhadap berbagai

perusahaan penyedia jasa keuangan ada di berbagai

lembaga yang berbeda dan tidak terintegrasi satu

dengan yang lainnya, seperti misalnya pengawasan

bank-bank berada di Bank Indonesia, pengawasan

perusahaan sekuritas ada di Bapepam, dan penga-

wasan terhadap perusahaan asuransi berada di

Departemen Keuangan. Dengan banyaknya lembaga

pengawas jasa keuangan yang berbeda dan tidak

berhubungan satu sama lain dalam beberapa hal

menyebabkan terjadinya tumpang tindih serta

inefisiensi mengenai koordinasi dan pembinaan

lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan tersebut.

Disamping itu, keterkaitan antara bank-bank dengan

lembaga-lembaga keuangan lain yang bukan bank

adalah sangat erat dan memiliki beberapa kesamaan

dalam hal operasional usahanya serta risiko yang

dihadapi. Dengan berdirinya satu lembaga yang

mengawasi seluruh pengelola jasa keuangan

diharapkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga

tersebut akan menjadi lebih efisien serta bersifat

consolidated dan terintegrasi yang pada akhirnya

akan lebih menguntungkan para stake holders.

Secara konsep, lembaga pengawas jasa

keuangan yang akan dibentuk tersebut tidak hanya

memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan

saja, melainkan juga diberikan wewenang untuk

melakukan fungsi pengaturan termasuk memberikan

dan mencabut izin usaha lembaga pengelola jasa

keuangan. Disamping itu, untuk memudahkan

penyidikan terhadap praktek-praktek pelanggaran

hukum yang terjadi di sektor keuangan, lembaga baru

tersebut juga akan diberikan kewenangan untuk

melakukan fungsi “penyidikan” seperti halnya yang

dimiliki oleh aparat penegak hukum lainnya walaupun

sifatnya hanya terbatas dan khusus menyangkut

masalah pelanggaran di bidang keuangan saja.

Dengan berakhirnya fungsi pembinaan dan penga-

wasan bank tersebut, maka perlu dilakukan revisi

(amandemen) terhadap Undang-undang No.7 tahun

1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah

dengan Undang-undang No.10 tahun 1998.

Sebuah tim yang beranggotakan pejabat-

pejabat dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia,

Bapepam, dan Departemen Kehakimandengan

bantuan konsultan dari ADB telah bekerja sejak dua

tahun yang lalu untuk merumuskan kajian dan konsep

otoritas pengawas jasa keuangan yang baru. Sampai

saat ini tim tersebut telah berhasil menyusun blue print

pembentukan LPJK serta rancangan undang-undang

mengenai LPJK. Diharapkan RUU mengenai LPJK

tersebut dapat diajukan pada pertengahan tahun 2002

sehingga pada akhir tahun 2002 dapat ditetapkan

sebagai undang-undang dan mulai berdirinya lembaga

tersebut. Setelah LPJK terbentuk, akan dilakukan

proses pemindahan pengawasan dan pengaturan

bank dari Bank Indonesia ke lembaga tersebut secara

bertahap. Untuk itu perlu dilakukan berbagai persiapan

baik di Bank Indonesia maupun lembaga baru tersebut

terutama yang menyangkut sistem, data/informasi,

dan sumber daya manusia agar proses pengalihan

pembinaan dan pengawasan bank yang selama ini

telah berjalan tidak mengalami gangguan.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

172

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

173

Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil

(SI-PUK)

Sebagai upaya untuk lebih memberikan nilai

tambah dan manfaat yang lebih besar terhadap hasil-

hasil penelitian khususnya yang terkait dengan

pengembangan usaha kecil, dipandang perlu lebih

menyebarluaskan secara cepat laporan hasil pene-

litian tersebut kepada masyarakat luas. Sehubungan

dengan itu, Bank Indonesia telah memasukkan hasil-

hasil penelitian dimaksud kedalam suatu Sistem

Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil atau

SI-PUK yang dapat diakses melalui internet/ website

Bank Indonesia dalam versi Bahasa Indonesia

maupun Bahasa Inggris. SI-PUK merupakan

kumpulan sistem informasi usaha kecil berbasis

internet yang disusun oleh Bank Indonesia secara

terpadu/terintergrasi antara satu sistem informasi,

dengan sistem informasi lainnya, sehingga dapat

menyajikan informasi yang mudah diakses oleh

pengguna. Adapun sistem informasi usaha kecil

berbasis internet yang terintergrasi dalam SI-PUK

meliputi :

1. Sistem Informasi Baseline Economic Survey

(SIB)

Penelitian Dasar Potensi Ekonomi atau dikenal

dengan Baseline Economic Survey (BLS)

merupakan penelitian awal/dasar atas

keberadaan potensi sub sektor ekonomi/

komoditas disuatu Daerah Tingkat I/Propinsi

terutama dalam hubungannya dengan

pengembangan usaha kecil yang dilaksanakan

sejak tahun 1979. Untuk menyebarluaskan hasil

penelitian BLS secara cepat, hasil penelitian BLS

dimasukkan kedalam suatu sistem informasi yang

dikenal dengan Sistem Informasi BLS (SIB).

Manfaat dari SIB yaitu : (i) memberikan informasi

tentang subsektor ekonomi/komoditas yang

potensial untuk dikembangkan; dan (ii)

mengidentifikasi kesempatan usaha kecil serta

faktor-faktor pendorong maupun penghambat

yang mempengaruhinya.

Sementara ini informasi dalam SIB meliputi hasil

penelitian di 23 Propinsi yaitu Sumut, Riau,

Sumbar, Sumsel, Jambi, Bengkulu, Lampung,

DKI JAYA, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Kaltim,

Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sultra,

Sulsel, Bali, NTB dan NTT. Dalam upaya

memperoleh gambaran terkini dilakukan

penelitian ulang/up dating setiap 5 (lima) tahun.

Hasil akhir penelitian BLS adalah berupa Daftar

Skala Prioritas Sub Sektor Ekonomi/ komoditas

yang potensial untuk dikembangkan di setiap Dati

I, Dati II dan daerah kecamatan yang di-

kelompokan dalam sub sektor ekonomi/komo-

ditas yang Sangat Potensial (SP), Potensial (P)

dan Kurang Potensial (KP). Pengelompokan

tersebut di atas ditinjau dari 6 aspek yaitu dari

Aspek Pemasaran, Aspek Kewirausahaan, Aspek

Teknis Produksi, Aspek Pertumbuhan, Aspek

Infrastruktur (Sarana/Prasarana), dan Aspek

Kebijakan Pemerintah dalam pengembangan

usaha kecil.

b o k s

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

173

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

174

2. Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor

(SIABE)

Dalam upaya turut serta mengurangi dampak

krisis ekonomi, Bank Indonesia pada tahun 1999

mengembangkan Sistem Informasi Agroindustri

Berorientasi Ekspor (SIABE) yang datanya

merupakan hasil penelitian terhadap komoditas

agroindustri yang berpotensi untuk diekspor.

Tujuannya antara lain memberikan informasi

kepada masyarakat luas termasuk perbankan

dan calon importir dari luar negeri tentang

berbagai komoditas agroindustri yang potensial

untuk diekspor berikut informasi lainnya. Informasi

dimaksud antara lain mengenai : (i) Profil

komoditas, teknologi proses, pohon industri,

daerah bahan baku, volume ekspor, peraturan

tarif ekspor, nilai ekspor, negara tujuan ekspor

dan nama eksportir; (ii) Volume dan nilai ekspor

per negara tujuan, per Dati I; (iii) Daftar ekspotir

meliputi nama, alamat, contact person, telepon/

faksimili eksportir, jenis komoditas, dan Propinsi;

(iv) Daerah potensi komoditas tersebut di masing-

masing Dati I dan Dati II; (v) Standar mutu,

hambatan tarif, dan peraturan ekspor. Dengan

informasi tersebut diharapkan akan memper-

mudah calon importir luar negeri untuk

bekerjasama dengan eksportir dalam negeri,

yang pada akhirnya dapat meningkatkan ekspor

komoditas agroindustri yang sekaligus dapat

menambah pemasukan devisa.

Sementara ini informasi dalam SIABE mencakup

hasil penelitian 15 komoditas yaitu kulit, ubi kayu,

kelapa sawit, jambu mete, udang, karet, coklat,

kopi, teh, furniture (kayu jati/mahoni), kulit kayu

manis, nilam, ikan, lada, tembakau, berikut produk

turunannya sekitar 500 komoditas, yang meliputi

23 Propinsi seperti halnya SIB.

3. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending

Model Usaha Kecil (SI-LMUK)

SI-LMUK merupakan sistem informasi yang

menyajikan hasil penelitian Bank Indonesia

mengenai pola-pola pembiayaan usaha kecil

yang berpotensi untuk dikembangkan. Melalui

pola-pola pembiayaan ini diharapkan dapat

direplikasikan oleh para pengusaha sebagai

informasi awal bagi perbankan dalam

pembiayaan suatu komoditas.

Cakupan SI-LMUK antara lain meliputi aspek

pemasaran, aspek teknis produksi, aspek

finansial, aspek dampak ekonomi dan lingkungan.

Saat ini pola pembiayaan yang dapat disajikan

dalam sistem informasi ini sebanyak 37 pola

pembiayaan usaha.

4. Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi

(SPKUI)

Sistem ini merupakan pendamping SI-LMUK

yang dapat membantu memudahkan pengguna

apabila akan melakukan simulasi suatu usaha.

Simulasi dilakukan dengan mengganti besarnya

data kuantitas/volume dan atau nilai dalam

komponen yang tercantum dalam analisa ke-

uangan pada lending model antara lain asumsi

yang digunakan, misalnya kebutuhan biaya

investasi/pembiayaan, laba-rugi, dan arus kas.

Melalui sistem ini pengguna dapat menghitung

secara otomatis dan cepat besarnya pem-

biayaan suatu komoditas dalam lending model.

Dengan simulasi perhitungan dimaksud di-

harapkan pengguna segera memperoleh

gambaran kelayakan finansial suatu usaha

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

174

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

175

sesuai dengan kondisi/waktu dan daerah

komoditas tersebut.

5. Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit

(SI-PMK).

Merupakan suatu informasi kepada calon

nasabah tentang tata cara/prosedur dalam

mengajukan permohonan kredit kepada bank.

Dengan adanya sistem informasi ini diharapkan

dapat membantu pengguna/calon debitur

mengetahui prosedur secara umum untuk

permohonan kredit dari bank, meskipun pada

dasarnya masing-masing bank mempunyai

tatacara sendiri permohonan kredit seperti

formulir permohonan dan persyaratan lainnya.

Cakupan sistem informasi ini antara lain meliputi

informasi mengenai pengertian kredit, fungsi

kredit, manfaat kredit, manajemen kredit, jenis

kredit prosedur memperoleh kredit, dan analisis

kelayakan usaha dengan menggunakan rasio-

rasio keuangan calon debitur.

Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

175

Sistem Pembayaran Nasional

176

bab 9 SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL

Sistem Pembayaran Nasional

177

b a b 9

SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL

D alam rangka untuk memenuhi tujuan Bank

Indonesia sebagaimana tertuang dalam

Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah, diperlukan suatu sistem pembayaran nasio-

nal yang efisien, cepat, aman dan handal dalam mendu-

kung efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter serta

mendukung pengembangan sistem perbankan yang

sehat. Untuk mewujudkan arah kebijakan tersebut, te-

lah ditempuh berbagai kebijakan dibidang sistem

pembayaran baik tunai (kartal) maupun non tunai (giral).

Dalam tahun 2001 kebijakan dalam sistem

pembayaran tunai mencakup langkah Bank Indonesia

untuk meningkatkan pelayanan perkasan kepada

perbankan, meningkatkan pendistribusian uang peca-

han kecil kepada masyarakat bekerjasama dengan

pihak ketiga, serta mengeluarkan uang kertas emisi

baru dengan disain dan ukuran yang sesuai dengan

standar Bank Indonesia. Sementara dibidang sistem

pembayaran non tunai, kebijakan diarahkan pada

pengurangan resiko pembayaran antar bank yang

dapat mengganggu kestabilan keuangan, menunjang

pelaksanaan kebijakan moneter, peningkatan kualitas

dan kapasitas layanan sistem pembayaran, penyem-

purnaan ketentuan-ketentuan, serta pengaturan

terhadap pengawasan sistem pembayaran.

KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN DALAM TAHUN 2001

Pada tahun 2001, Bank Indonesia mening-

katkan penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan

kebutuhan masyarakat akan uang kartal seiring

dengan meningkatnya peranan usaha kecil mengah

dan sektor informal dalam perekonomian Indonesia

yang lebih banuak menggunakan pebiayaan sendiri

dibandingkan dengan pembiayaan dari sektor

perbankan. Selain itu kenaikan kebutuhan masya-

rkat juga dalam rangka menghadapi bulan Rama-

dhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal dan tahun baru

2002 yang waktunya saling berdekatan. Di samping

itu, dalam rangka standarisasi ukuran uang kertas

rupiah dan peningkatan pengamanannya, Bank

Indonesia telah menerbitkan uang kertas pecahan

Rp5.000 dengan desain baru serta ukuran lebar

yang sama dengan uang kertas pecahan Rp1.000

dan uang plastik pecahan Rp100.000. Selanjutnya,

dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat

terhadap uang pecahan kecil (Rp5.000 ke bawah),

telah dikembangkan pilot project kerjasama dengan

pihak ketiga untuk pendistribusian uang pecahan

kecil di Jakarta. Dengan kebijakan ini, masyarakat

dapat menukarkan uang pecahan kecil yang di-

butuhkan kepada pihak ketiga dimaksud yang ber-

operasi pada pusat-pusat keramaian, tanpa dipungut

biaya.

Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan

kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi negeri

yaitu Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dan

Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta untuk

melakukan penelitian potensi tanaman Indonesia

yang dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku

Sistem Pembayaran Nasional

178

pembuatan kertas uang, sehingga diharapkan nan-

tinya dapat mengurangi ketergantungan impor dan

meningkatkan efisiensi Bank Indonesia. Selanjutnya

dalam rangka meningkatkan pelayanan perkasan

kepada masyarakat, Bank Indonesia telah mene-

rapkan Otomasi Administrasi Perkasan dan Sistem

Informasi Pengedaran Uang, sehingga kegiatan

perkasan di Kantor Pusat dapat dilakukan secara on-

line.

Berkenaan dengan pemalsuan uang rupiah,

Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif

maupun represif untuk menanggulanginya. Langkah

preventif yang telah dilakukan antara lain adalah me-

nyempurnakan desain uang serta meningkatkan

penggunaan unsur-unsur pengaman pada pence-

takan uang rupiah yang baru. Selain itu, Bank Indo-

nesia juga menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang

rupiah, menyebarluaskan poster dan sticker menge-

nai cara mudah mengenali uang rupiah, meningkat-

kan kegiatan penataran serta mempersiapkan pena-

yangan iklan layanan masyarakat di media televisi

bekerjasama dengan Kepolisian RI. Upaya lain yang

telah dilakukan adalah dengan meningkatkan

koordinasi bersama unsur-unsur terkait yang ter-

gabung dalam Badan Kordinasi Pemberantasan Uang

Palsu (Botasupal).

Sementara itu, upaya represif dilakukan

melalui koordinasi dengan instansi terkait dalam

melakukan penangkapan dan pemrosesan ke

pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

pemalsuan uang rupiah. Namun demikian, kebera-

daan uang palsu tersebut masih tetap ditemukan di

tahun 2001, meskipun dengan jumlah yang lebih kecil

dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tetapi

dengan kualitas yang relatif lebih baik seiring dengan

berkembangnya teknologi misalnya komputer dan

scanner.

Berkenaan dengan sistem pembayaran

bukan tunai, sistem Bank Indonesia – Real Time

Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai suatu meka-

nisme setelmen pembayaran antar bank untuk

transaksi nilai besar (High Value Payment) dan yang

bersifat penting (urgent) telah diimplementasikan di

12 Kantor Bank Indonesia (KBI) yaitu Bandung,

Surabaya, Denpasar, Samarinda, Balikpapan,

Manado, Medan, Padang, Batam, Pekanbaru, Sema-

rang dan Yogyakarta. Implementasi BI-RTGS di

wilayah KBI tersebut selain ditujukan untuk mem-

perlancar transfer dan aliran dana, juga ditujukan

untuk mendukung terlaksananya program Centralized

Settlement Account (CSA).

Apabila sistem BI-RTGS telah diimplemen-

tasikan di seluruh wilayah KBI, maka setiap bank di

Indonesia hanya akan memelihara satu rekening giro

di Bank Indonesia. Pada akhir tahun 2001, jumlah

rekening tiap bank yang dipelihara di Bank Indonesia

telah menurun dari 38 rekening menjadi 26 rekening,

yakni 1 rekening yang berada di RTGS Central

Computer, yang merupakan gabungan dari rekening

giro bank di Kantor Pusat Bank Indonesia dan 12 KBI

yang telah mengimplementasikan sistem BI-RTGS,

dan 25 rekening giro yang masih berada di sistem

akunting di 25 KBI yang belum mengimplementasikan

sistem BI-RTGS.

Dengan adanya satu rekening giro untuk

setiap bank di Bank Indonesia, maka pelaksanaan

tugas dalam melakukan pemantauan ketaatan bank

dalam memenuhi ketentuan pemenuhan Giro Wajib

Minimum (GWM) dan pemantauan likuiditas bank

terutama bagi bank-bank yang mengalami kesulitan

Sistem Pembayaran Nasional

179

likuiditas akan sangat terbantu. Dari sisi bank, penge-

lolaan satu rekening di Bank Indonesia tentu lebih

mudah daripada pengelolaan 38 rekening.

Sementara itu dalam rangka meningkatkan

efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan kliring

secara elektronik dan otomasi, diperlukan suatu fasi-

litas yang mampu menyajikan informasi hasil penye-

lenggaraan kliring lokal secara dini, akurat, lengkap,

aman, cepat dan dapat diakses melalui sistem infor-

masi jarak jauh. Untuk mewujudkan hal tersebut,

Bank Indonesia telah mengembangkan sarana

penyampaian informasi yang dikenal dengan nama

Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ). Sistem

SIKJJ merupakan tindak lanjut dari kebijakan

standardisasi sistem dan kelengkapan pendukung

penyelenggaraan kliring yang dilaksanakan Bank

Indonesia. Saat ini penyebaran informasi hasil kliring

yang tersedia antara lain dilakukan dengan sarana

Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan Terminal

Peserta Kliring (TPK) - Sistem Kliring Elektronik

Jakarta (SKEJ) yang dirasakan masih memiliki

keterbatasan dalam penyediaan informasi posisi

akhir hasil kliring.

Pengembangan sistem SIKJJ dapat mening-

katkan kualitas dan kapasitas layanan sistem pem-

bayaran dan memenuhi kebutuhan informasi peserta

kliring mengenai hasil perhitungan kliring secara

lebih cepat, informatif dan tepat waktu. Dengan

sistem SIKJJ, bank peserta kliring tidak hanya dapat

mengakses data berupa hasil kliring hariannya

melalui fasilitas internet, tapi tersedia pula berbagai

informasi berkaitan dengan aktivitas penyeleng-

garaan kliring.

Selama tahun 2001, pengembangan sistem

SIKJJ telah mengalami tahap uji coba baik secara

internal Bank Indonesia maupun dengan pihak per-

bankan yang meliputi kegiatan yang bersifat me-

nyeluruh mulai dari pendaftaran sampai dengan

pengaksesan informasi. Untuk pertama kalinya, sistem

ini diterapkan di KBI Surabaya pada bulan November

2001. Dipilihnya KBI Surabaya sebagai kantor pertama

yang menerapkan sistem ini karena memiliki pangsa

kliring terbesar setelah Jakarta dan Voice Kit yang

dimiliki oleh KBI tersebut kondisinya sudah tidak dapat

digunakan. Dalam rangka menciptakan keseragaman

dan pengoperasian, pada akhir tahun 2001 telah

disusun buku pedoman pengoperasian SIKJJ baik

untuk Peserta maupun Penyelenggara yang memuat

tata cara penggunaan seluruh fungsi menu.

Selanjutnya, salah satu aspek yang perlu

diperhatikan dalam proses kliring yaitu faktor

keamanan data. Untuk memperpanjang usia penyim-

panan data transaksi pada wilayah kliring, telah

dilakukan penambahan suatu media simpan berupa

CD Burner. Alat ini mampu menyimpan image warkat

lebih dari 10 tahun sehingga dengan bertambahnya

usia simpan data image akan mendukung pelak-

sanaan audit (eksternal dan internal) dan investigasi

terhadap aktifitas kliring. Aplikasi sistem CD Burner

akan dipasang di empat kantor yaitu Kantor Pusat

(KP) Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung.

Selama tahun 2001, aplikasi ini baru dipasang di KP

Jakarta dan KBI Surabaya. Sementara untuk dua KBI

lainnya yaitu KBI Medan dan Bandung direncanakan

akan diterapkan pada tahun 2002 setelah penye-

lenggaraan kliring di kedua KBI tersebut dilakukan

secara otomasi berbasis image.

Selain itu, juga dilakukan penyempurnaan

ketentuan serta pengaturan pengawasan sistem

pembayaran, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

Sistem Pembayaran Nasional

180

1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI)

No.2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening

Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak

Ekstern

Berdasarkan PBI No.2/24/PBI/2000 pihak-pihak

yang dapat membuka rekening giro di Bank

Indonesia hanyalah Bank, Departemen Keua-

ngan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN

(budget) dan International Monetary Funds (IMF).

Pembatasan pihak-pihak yang dapat membuka

rekening giro di Bank Indonesia tersebut berdam-

pak terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia

dalam kebijakan moneter, sistem pembayaran

dan penyelesaian dana kredit likuiditas.

Guna mengantisipasi timbulnya permasalahan

yang dikarenakan adanya pembatasan tersebut

diperlukan perluasan pihak ekstern yang dapat

membuka rekening giro di Bank Indonesia. Dalam

kaitan dengan hal tersebut pada tanggal 20 Juni

2001 dikeluarkan PBI No. 3/11/PBI/2001 yang

memungkinkan bank, instansi pemerintah, lem-

baga keuangan internasional dan lembaga lain

untuk membuka rekening giro di Bank Indonesia.

2. Penyusunan PBI tentang Penyelenggaraan

Jasa Sistem Pembayaran dengan meng-

gunakan Alat Pembayaran Non Tunai dan Jasa

Pendukungnya

Pasal 15 UU No.23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia menyatakan bahwa perizinan, penga-

turan dan pengawasan jasa sistem pembayaran

merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pada

saat ini terdapat sejumlah kewenangan yang

berkaitan dengan jasa sistem pembayaran yang

diatur oleh lembaga lain misalnya Departemen

Keuangan. Selain itu rencana untuk membentuk

lembaga pengawasan jasa keuangan juga akan

menimbulkan konsekuensi kewenangan dalam

mengatur jasa-jasa sistem pembayaran. Kondisi

seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan

dualisme dalam pengaturan dan pengawasan,

sehingga perlu diatur lebih tegas batas-batas

kewenangan antar lembaga. Untuk mengatasi hal

di atas, saat ini tengah disusun konsep PBI

tentang Penyelenggaraan Jasa Sistem

Pembayaran Dengan Menggunakan Alat Pem-

bayaran Non Tunai dan Jasa Pendukungnya.

3. Pengaturan Pengawasan Sistem Pembayaran

Dalam penjelasan umum UU No. 23 tahun 1999

dinyatakan bahwa Bank Indonesia juga diberikan

kewenangan dan tanggung jawab untuk mela-

kukan pengawasan jasa sistem pembayaran agar

masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem

pembayaran yang efisien, cepat, dan aman.

Pengawasan sistem pembayaran ditujukan untuk

mendorong terwujudnya sistem pembayaran

yang aman dan efisien serta melindungi sistem

keuangan (financial system) dari kemungkinan

terjadinya efek domino yang dapat terjadi apabila

peserta sistem pembayaran mengalami risiko

kredit atau likuiditas.

Untuk meminimalisasi atau mengeliminasi risiko

sistemik yang mungkin timbul dari penye-

lenggaraan sistem pembayaran, tahun ini tengah

dikaji dan disusun mekanisme pengawasan

sistem pembayaran yang akan dilaksanakan

secara menyeluruh yang dituangkan dalam

naskah akademis mekanisme pengawasan

sistem pembayaran nasional. Dengan adanya

mekanisme pengawasan yang komprehensif,

pengawasan sistem pembayaran dapat di-

Sistem Pembayaran Nasional

181

laksanakan secara lebih tepat dan terarah.

Adapun cakupan bidang sistem pembayaran

yang diatur mekanisme pengawasannya tidak

hanya kegiatan kliring saja tapi juga jasa sistem

pembayaran lainnya yaitu BI-RTGS, sistem

pembayaran berbasis kartu (kartu ATM, kartu

kredit, kartu debet dan kartu pra-bayar), serta jasa

pendukungnya.

4. Penyusunan Pedoman Assesment terhadap

Penyelenggaraan Sistem Kliring dan BI-RTGS

Guna menjaga stabilitas keuangan, sistem pem-

bayaran yang penting secara sistem (systemically

important) perlu diberikan perlindungan terhadap

resiko sistemik, karena gangguan terhadap

sistem dapat mengganggu sistem keuangan

domestik maupun internasional. Berpegang pada

Core Principles for Systemically Important

Payment Systems, yang dikembangkan oleh

Bank for International Settlement , Bank Indonesia

melakukan assessment terhadap pemenuhan

Core Principles di atas pada sistem pembayaran

yang diselenggarakan saat ini.

Pada akhir tahun 2001 telah disusun pedoman

assessment yang berguna untuk menilai kese-

suaian penyelenggaraan sistem pembayaran

dengan BIS Core Principles for Systemically

Important Payment System. Pada tahap awal

assesment ini dilakukan pada sistem kliring dan

BI-RTGS. Diharapkan secara bertahap assess-

ment ini juga akan dilakukan terhadap sistem

pembayaran yang dilakukan oleh pihak lain di

luar Bank Indonesia meskipun sistem tersebut

belum memenuhi kategori systemically im-

portant. Hal ini ditujukan untuk menunjukan

bahwa Bank Indonesia memiliki komitmen untuk

memenuhi prinsip-prinsip BIS Core Principles

bagi penyelenggaraan sistem pembayaran di

Indonesia.

PERKEMBANGAN ALAT-ALAT PEMBAYARAN

Sejalan dengan meningkatnya kegiatan

ekonomi dalam tahun 2001, perkembangan alat-alat

pembayaran tunai maupun bukan tunai menunjukkan

peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Di

samping itu, berdekatannya hari-hari besar

keagamaan dan tahun baru menjadi faktor penyebab

meningkatnya penggunaan kedua alat pembayaran

tersebut di atas.

Alat Pembayaran Tunai

Posisi Uang kartal Yang Diedarkan (UYD)

sepanjang tahun 2001 cenderung meningkat. Posisi

UYD akhir Desember 2001 mencapai Rp 91,3 triliun

atau meningkat 1,76% dibandingkan dengan periode

yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya

sebesar Rp 89,7 triliun. Sementara itu, rata-rata posisi

UYD akhir bulan pada tahun 2001 mencapai Rp 77,0

triliun atau naik 18,48% dibandingkan tahun

sebelumnya sebesar Rp 65,0 triliun.

Kenaikan UYD ini secara umum dipengaruhi

oleh tingginya permintaan masyarakat terhadap uang

kartal untuk memenuhi kebutuhan yang terus me-

ningkat seiring dengan perkembangan ekonomi

nasional. Ditinjau dari besarnya kenaikan UYD, kenai-

kan yang cukup besar terjadi pada bulan November

dan Desember 2001 berkaitan dengan adanya

penarikan yang cukup besar dari masyarakat dalam

rangka menghadapi bulan Ramadhan, Hari Raya Idul

Fitri, Hari Natal dan tahun baru 2002 yang waktunya

saling berdekatan.

Sistem Pembayaran Nasional

182

Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan

antara uang kertas dan uang logam pada tahun 2001

tidak banyak mengalami perubahan, yaitu sebesar

98% untuk uang kertas dan 2% untuk uang logam.

Sementara itu, bila dilihat dari pecahannya, posisi

UYD tersebut didominasi oleh pecahan Rp 100.000

dan Rp 50.000 dengan pangsa masing-masing men-

capai 41,35% dan 28,90% dari total UYD.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan

masyarakat terhadap uang kartal, pada tahun 2001

Bank Indonesia melakukan pengadaan uang seba-

nyak 4,0 milyar bilyet uang kertas senilai Rp48,1

triliun dan 1,7 milyar keping uang logam senilai

Rp0,4 triliun. Sebagian besar dari pengadaan uang

ini digunakan untuk mengganti uang lusuh yang

dimusnahkan yaitu sekitar Rp33,4 triliun, dan sisanya

untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan

perekonomian serta menambah persediaan uang

kartal Bank Indonesia. Hasil cetak yang diterima dari

Perum Peruri sampai dengan Desember 2001 adalah

senilai Rp41,3 triliun atau 85,15% dari total

pengadaan uang. Meskipun jumlah pengadaan uang

yang terealisasi sebesar 85,15%, posisi kas Bank

Indonesia akhir tahun 2001 masih cukup aman yaitu

Rp 34,1 triliun atau mampu memenuhi lebih dari 2

bulan rata-rata permintaan masyarakat.

Selain menyediakan uang dalam jumlah yang

cukup, Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar

kualitas uang yang dipegang masyarakat terjaga kua-

litasnya dengan cara melakukan “clean money policy”

yaitu menarik dan memusnahkan uang yang tidak

layak edar atau Pemberian Tanda Tidak Berharga

(PTTB) serta mengganti uang yang dimusnahkan

tersebut. Jumlah PTTB tahun 2001 sebesar Rp 33,4

triliun atau turun 50,00% dengan tahun sebelumnya

yang mencapai Rp 66,8 triliun. Penurunan PTTB ini

terutama disebabkan adanya penerapan kebijakan

mengurangi jumlah (pengetatan) PTTB untuk

pecahan Rp 50.000 dan Rp 20.000.

Secara nominal, PTTB terbesar adalah untuk

pecahan Rp50.000 yaitu sebesar 45,24% dari total

PTTB, kemudian diikuti oleh pecahan Rp20.000

sebesar 28,89% dan Rp10.000 sebesar 15,42%.

Adapun dilihat dari jumlah lembar (bilyet), PTTB

terbesar adalah untuk pecahan Rp1.000 sebesar

22,16%, kemudian diikuti oleh pecahan Rp10.000

sebesar 17,75% dan Rp 20.000 sebesar 16,62%.

Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar dan

Posisi Kas

Aliran uang masuk (inflow) secara nasional

cenderung berfluktuasi. Rata-rata bulanan inflow pada

Uang Yang Diedarkan 33,6 48,5 72,6 89,7 91,3

Uang Kertas 32,9 47,5 71,2 87,9 89,6

Uang Logam 0,7 1,0 1,4 1,8 1,7

Rincian Des 1997 Des 1998 Des 1999 Des 2000 Des 2001

Triliun Rp.

Tabel 9.1

Perkembangan Posisi Uang Kartal

yang Diedarkan (UYD)

1994 870 2.199 6.345 2.214 924 385 66 13.003

1995 749 2.247 3.920 1.615 894 407 56 9.889

1996 2.789 7.363 8.618 1.726 1.016 474 50 22.035

1997 3.615 8.301 8.440 1.866 1.277 564 36 24.099

1998 2.103 3.506 5.046 2.209 882 428 15 14.187

1999 0 20.645 12.473 10.582 3.461 805 362 6 48.333

2000 51 42.940 13.360 6.872 2.404 867 261 10 66.765

2001 354 15.092 9.637 5.144 2.329 642 144 20 33.362

Jenis Pecahan

Periode 100.000 50.000 20.000 10.000 5.000 1.000 500 100 Jumlah

Miliar Rp.

Tabel 9.2

Perkembangan Jumlah Uang yang Dimusnahkan/PTTB

Sistem Pembayaran Nasional

183

Grafik 9.1

Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar

tahun 2001 adalah sebesar Rp15,4 triliun atau naik

24,48% dibandingkan dengan rata-rata bulanan inflow

pada tahun 2000 yang tercatat sebesar Rp12,3 triliun.

Sementara itu, rata-rata bulanan aliran uang keluar

(outflow) pada tahun 2001 mencapai Rp15,6 triliun atau

meningkat 13,55% dibandingkan rata-rata bulanan

outflow tahun 2000 yang mencapai Rp13,7 triliun.

Berdasarkan perkembangan inflow - outflow

di atas, secara nasional pada tahun 2001 terjadi net

outflow sebesar Rp1,8 triliun atau rata-rata Rp0,15

triliun/bulan. Sementara itu, bila dilihat dari masing-

masing Kantor Bank Indonesia (KBI), hampir seluruh

KBI di luar Jawa mengalami net outflow, sedangkan

KBI di Jawa kecuali Jakarta mengalami net inflow.

Hal ini terutama disebabkan aktifitas pengeluaran/

belanja masyarakat sebagian besar mengalir ke Jawa.

Posisi kas BI pada akhir tahun 2001 sebesar

Rp34,1 triliun atau naik 22,91% dibandingkan dengan

posisi kas pada akhir tahun 2000 yang tercatat

sebesar Rp27,7 triliun. Peningkatan posisi kas ini

disebabkan oleh menurunnya jumlah uang yang

dimusnahkan (PTTB) sebagai dampak dari kebijakan

mengurangi jumlah (pengetatan) PTTB untuk

pecahan Rp50.000 dan Rp20.000.

Perkembangan Jumlah Temuan Uang Palsu

Penemuan uang palsu yang berasal dari

laporan bank-bank, Kepolisian RI dan Bank

Indonesia, untuk periode Januari sampai dengan

November 2001 sebanyak 97.642 bilyet (senilai

Rp3,88 milyar). Dari jumlah tersebut, penemuan

terbesar adalah untuk pecahan Rp50.000 yaitu

65.307 bilyet (66,88%), diikuti pecahan Rp20.000,

sebanyak 25.305 bilyet (25,92%). Jumlah penemuan

uang palsu tersebut menurun 30,31% dibandingkan

dengan jumlah temuan uang palsu pada periode

yang sama tahun 2000, yaitu dari 322.108 bilyet

menjadi 97.642 bilyet.

Sebagian besar uang palsu yang ditemukan

adalah uang palsu yang belum sempat beredar di

masyarakat, dan merupakan hasil penangkapan oleh

Kepolisian RI. Data dari bulan Januari sampai de-

ngan November 2001 menunjukkan bahwa 63,42%

uang palsu yang ditemukan adalah berasal dari lapo-

Grafik 9.2

Perkembangan Posisi Kas

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

2001

1999

2000

Triliun Rp

0

5

10

15

20

25

30Aliran Uang Masuk

Aliran Uang Keluar

Triliun Rp

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sept. Okt. Nov. Des.

2 0 0 1

Sistem Pembayaran Nasional

184

Selanjutnya, Bank Indonesia juga senantiasa

meningkatkan unsur-unsur pengaman (security

features) pada setiap uang kertas yang diterbitkan

dan meningkatkan kegiatan sosialisasi pengenalan

keaslian uang Rupiah kepada masyarakat. Selama

tahun 2001 telah dilakukan 47 kali penyuluhan, yang

diikuti oleh siswa sekolah, guru-guru, tokoh masyarakat,

kasir, karyawan hotel, dan kepolisian. Selain upaya

yang bersifat preventif tersebut, Bank Indonesia

menerapkan upaya represif dengan melakukan

koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait dalam

melakukan penangkapan dan pemrosesan ke

pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

pemalsuan uang rupiah. Namun demikian, keberadaan

uang palsu tersebut masih tetap ditemukan di tahun

2001, meskipun dengan jumlah yang lebih kecil

dibandingkan dengan tahun sebelumnya tetapi dengan

kualitas teknik pemalsuan yang relatif lebih canggih

seiring dengan berkembangnya teknologi (misalnya

dengan menggunakan komputer dan scanner).

Apabila dibandingkan dengan uang kartal yang

diedarkan (UYD), ratio uang palsu tahun 2001 rata-

ran Kepolisian RI sedangkan sisanya berasal dari

laporan bank-bank.

Meskipun jumlah uang palsu yang ditemukan

pada tahun 2001 menurun dibandingkan tahun 2000,

Bank Indonesia tetap meningkatkan kerjasama de-

ngan instansi terkait dalam upaya memberantas

peredaran uang palsu tersebut antara lain dengan

Botasupal. Bank Indonesia juga mengedarkan poster

dan sticker mengenai cara mudah mengenali uang

Rupiah serta mempersiapkan pembuatan iklan

layanan masyarakat di media televisi bekerjasama

dengan Kepolisian RI.

1994 – 14 2.340 1.925 624 4.903

1995 – 74 5.349 7.224 403 13.050

1996 – 128 5.379 9.904 2.537 17.948

1997 – 16.392 139.938 82.274 234 238.838

1998 – 107.520 9.758 59.633 754 177.665

1999 – 89.137 100.536 26.053 224 215.950

2000 – 282.424 24.993 12.836 1.855 322.108

2001 425 65.307 25.305 6.317 288 97.642

Jumlah 425 560.996 313.598 206.166 6.919 1.088.104

Jenis Pecahan

B i l y e t

100.000 50.000 20.000 10.000 5.000 Jumlah

Tabel 9.3

Perkembangan Penemuan Uang Palsu Per Pecahan

Tahun 1994 – 2001

Periode

Tabel 9.5

Rasio uang Palsu Terhadap UYD

Periode

Jenis Pecahan

100.000 50.000 20.000 10.000 5.000

1994 - 0,0000001 0,0000070 0,0000030 0,0000020

1995 - 0,0000010 0,0000140 0,0000090 0,0000010

1996 - 0,0000010 0,0000110 0,0000140 0,0000080

1997 - 0,0000970 0,0002500 0,0000920 0,0000000

1998 - 0,0002840 0,0000140 0,0000620 0,0000010

1999 0,0000000 0,0001240 0,0001230 0,0000350 0,0000004

2000 0,0000000 0,0005150 0,0000360 0,0000210 0,0000030

2001 0,0000011 0,0001619 0,0000466 0,0000105 0,0000005

PeriodeKepolisian RI Bank

Persen

Tabel 9.4

Pangsa Penemuan Uang Palsu Menurut

Sumber Laporan

1997 92,89 7,11

1998 84,36 15,46

1999 80,39 19,61

2000 83,58 16,42

20011) 70,29 29,71

1) Data s.d. November 2001

Bilyet

Sistem Pembayaran Nasional

185

Grafik 9.5

Perputaran Kliring Secara Nasional (Nominal)

Nominal

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

1998 1999 2000 2001

Triliun Rp

Lembar

0

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

70.000

80.000

90.000

100.000

1998 1999 2000 2001

Lembar

Grafik 9.6

Perputaran Kliring Secara Nasional (Lembar)

Grafik 9.3

Perkembangan Volume Transaksi BI-RTGS

2 0 0 0 2 0 0 1

Transaksi

-

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

30/12 28/2 30/4 30/6 30/8 30/10 30/12

rata 36 lembar per satu juta lembar UYD (0,0036%).

Adapun perkembangan rasio antara uang palsu

dengan UYD adalah sebagaimana pada Tabel 9.5.

Alat Pembayaran Bukan Tunai

Perkembangan Transaksi RTGS

Pada tahun 2001, jumlah transaksi yang

diproses melalui sistem BI-RTGS secara nominal

menunjukan perkembangan yang relatif stabil yaitu

dengan rata-rata volume transaksi Rp43,4 triliun per

hari (Grafik 9.3). Namun bila dilihat dari perkem-

bangan jumlah transaksi yang diproses melalui sistem

ini, memperlihatkan adanya peningkatan yaitu dengan

rata-rata transaksi per hari sebanyak 3.996 (Grafik

9.4). Peningkatan ini terjadi karena makin luasnya

cakupan wilayah implementasi sistem BI-RTGS se-

hingga semakin besar pula minat pengguna jasa

sistem pembayaran terhadap sistem ini.

Perkembangan Transaksi Kliring

Sampai dengan akhir Desember 2001, nominal

kliring penyerahan secara nasional menunjukan

penurunan sebesar 72,1 % dibandingkan tahun

sebelumnya, dari Rp7.305 triliun menjadi Rp. 2.035

triliun. Penurunan volume transaksi kliring tersebut diikuti

pula dengan penurunan jumlah warkat yang diproses

Grafik 9.4

Perkembangan Jumlah Transaksi BI-RTGS

Trilliun Rp.

-

20

40

60

80

100

120

140

160

30 13 27 10 24 10 24 7 21 5 19 2 16 30 14 28 11 25 8 22 6 20 3 17 1 15 29

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2000 2 0 0 1

Sistem Pembayaran Nasional

186

melalui kliring yaitu sebesar 3 % dari 73.704 ribu lembar

pada tahun 2000 menjadi 71.616 pada tahun 2001.

Turunnya perputaran kliring baik dari sisi nominal

maupun jumlah transaksi terjadi karena bergesernya

penyelesaian transaksi nominal besar (High Value) yang

semula melalui kliring beralih ke sistem BI-RTGS.

Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu

Pada tahun 2001, terjadi peningkatan aktivitas

pengunaan alat pembayaran berbasis kartu yaitu kartu

kredit, kartu debet, dan ATM. Meningkatnya jumlah

transaksi penggunaan ketiga jenis kartu tersebut diikuti

pula dengan meningkatnya nilai transaksi. Dari ketiga

jenis kartu di atas, penggunaan kartu ATM menunjukan

peningkatan terbesar dibanding 2 jenis kartu lainnya

dimana nilai transaksi melalui ATM meningkat sebesar

17,4 % (dari Rp. 153,6 Trilyun menjadi Rp. 180,3

Trilyun) sementara nilai transaksi kartu kredit

meningkat sebesar 13,9 % (dari Rp13,6 triliun menjadi

Rp15,5 triliun) dan kartu debet meningkat sebesar 10,6

% (dari Rp4,7 triliun menjadi Rp5,2 triliun).

Meningkatnya jumlah transaksi melalui ATM

diantaranya dipicu oleh makin luasnya jaringan ATM di Indonesia yang ditunjukkan dengan meningkatnya

jumlah mesin ATM sebesar 16,4% atau sebanyak

6.767 mesin pada tahun 2000 menjadi 7.878 mesin

pada tahun 2001.

RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN

NASIONAL

Sistem Pembayaran Tunai

Melakukan penelitian tentang pengecualian

terhadap kewajiban penggunaan uang rupiah

dalam rangka penyusunan PBI

Sebagaimana amanat Undang-Undang No.

23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia perlu diatur

Grafik 9.8

Nilai Transaksi Kartu Kredit/Kartu Debet/ATM

0

50

100

150

200

250

1998 1999 2000 2001

Kartu Kredit

Kartu Debet

ATM

Trilin Rp

Grafik 9.9

Jumlah Mesin ATM

Jumlah Mesin ATM

0

5.000

10.000

1998 1999 2000 2001

Unit

Grafik 9.7

Jumlah Transaksi Kartu Kredit/Kartu Debet/ATM

Kartu Kredit

Kartu Debet

ATM

0

100.000

200.000

300.000

400.000

500.000

600.000

1998 1999 2000 2001

Ribuan Transaksi

Sistem Pembayaran Nasional

187

tersebut juga dilengkapi dengan peralatan untuk

menguji keaslian uang yang diterima dari masyarakat

dan Peruri, di samping dapat juga digunakan untuk

menguji kualitas bahan uang.

Kajian standarisasi uang logam

Dalam rangka mendapatkan bahan logam

uang yang secara ekonomis lebih rendah dari nilai

nominalnya tetapi memiliki masa edar yang relatif

lama, maka pada tahun 2002 akan dilakukan kajian

terhadap alternatif komposisi kandungan bahan

logam uang rupiah, di samping standarisasi ukuran

uang logam dengan antara lain memperhatikan

pengaruhnya terhadap sarana telepon umum koin.

Sistem Pembayaran Non Tunai

Untuk mendukung tercapainya kestabilan

sistem keuangan dan efektifitas kebijakan moneter,

kebijakan sistem pembayaran yang akan dilakukan

pada tahun 2002 adalah sebagai berikut.

Pengembangan Delivery Versus Payment (DVP)

Untuk menurunkan risiko setelmen di pasar

modal, akan dilakukan pengembangan Delivery Ver-

sus Payment tahap pertama. Dengan adanya pengem-

bangan ini akan terbentuk suatu integrasi sistem

setelmen antara sisi pembayaran (payment leg) melalui

sistem BI-RTGS dengan sisi penyerahan sekuritas

(delivery leg) melalui sistem setelmen sekuritas.

Pengembangan mekanisme pengawasan sistem

pembayaran

Ditujukan untuk mendorong terwujudnya

sistem pembayaran yang aman dan efisien serta

menjaga stabilitas sistem keuangan dari kemungkinan

daerah dan jenis transaksi tertentu yang dapat

dikecualikan dari kewajiban penggunaan uang rupiah.

Untuk itu, dalam tahun 2002, Bank Indonesia akan

melakukan kajian terhadap transaksi-transaksi yang

perlu dikecualikan dari kewajiban penggunaan uang

rupiah. Arti penting pengaturan pengecualian

penggunaan rupiah di wilayah RI adalah guna mem-

berikan kepastian hukum bagi masyarakat.

Menata kembali jalur distribusi uang

Dalam rangka memperlancar serta mening-

katkan efisiensi dan efektifitas dalam distribusi uang,

maupun untuk lebih menjamin ketersediaan uang di

seluruh Kantor Bank Indonesia, pada tahun 2002 Bank

Indonesia akan menata kembali jalur distribusi uang

antara lain melakukan kajian terhadap posisi depot

kas, sarana transportasi dan kapasitas khazanah.

Menerapkan SIPU di KKBI untuk mendukung

distribusi uang

Dalam rangka mendukung kegiatan-kegiatan

dibidang pengedaran uang, seperti penyusunan

rencana cetak, penyediaan stok uang dan kertas

uang, sistim distribusi uang kertas/uang logam dan

lain sebagainya, penerapan Sistem Informasi

Pengedaran Uang (SIPU) akan dilanjutkan pada

Kantor-Kantor Koordinator Bank Indonesia (KKBI),

sehingga dapat terintegrasi dengan kantor pusat.

Mendirikan laboratorium mini untuk menguji

bahan uang

Dalam rangka untuk melihat kesesuaian

kualitas uang yang dibeli dengan spesifikasi teknis

yang ditetapkan, Bank Indonesia akan mendirikan

laboratorium mini untuk menguji uang. Laboratorium

Sistem Pembayaran Nasional

188

terjadinya efek domino yang dapat terjadi apabila

peserta sistem pembayaran mengalami risiko kredit

dan risiko likuiditas.

Penyusunan mekanisme untuk mengatasi

kegagalan peserta kliring dalam penyelesaians

setelmen (Failure to Settle Scheme).

Bank Indonesia saat ini tengah mempelajari

kemungkinan penerapan suatu metode, dimana Bank

Indonesia sebagai Bank Sentral tidak harus bertang-

gung jawab atas kekurangan dana bank untuk setel-

men atas hasil kliringnya, namun kelancaran setelmen

kliring tetap terjaga.

Penyusunan peraturan mengenai penyelenggara

jasa sistem pembayaran dengan menggunakan

alat pembayaran non tunai dan jasa pendu-

kungnya.

Pada saat ini terdapat sejumlah kewe-

nangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

jasa sistem pembayaran yang diatur oleh lembaga

lain selain Bank Indonesia. Hal ini dikuatirkan akan

menimbulkan dualisme kewenangan pengaturan dan

pengawasan terhadap penyelenggara sistem

pembayaran.Untuk itu tengah disusun konsep

ketentuan yang mengatur koordinasi antar lembaga

tersebut.

Sistem Pembayaran Nasional

189

Kebijakan Bank Indonesia dibidang sistem

pembayaran non tunai diarahkan pada pengurangan

resiko pembayaran antar bank. Salah satu realisasi

dari kebijakan tersebut adalah dikembangkannya

suatu sistem setelmen berbasis gross dengan koneksi

elektronis on line antara bank-bank dengan Bank

Indonesia. Sistem ini dikenal dengan nama sistem

Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-

RTGS). Sistem BI-RTGS adalah proses penyelesaian

akhir transaksi (settlement) pembayaran yang

dilakukan per transaksi (individually processed/gross

settlement) dan bersifat real time (electronically

processed), dimana rekening bank peserta dapat

didebit/dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai

dengan perintah pembayaran dan penerimaan

pembayaran.

Tersedianya sistem BI-RTGS dapat

mendorong bank untuk dapat menjalankan mana-

jemen likuiditas secara lebih baik. Dengan demikian

penggunaan sistem BI-RTGS dapat menurunkan

risiko-risiko sistem pembayaran yaitu risiko kredit

(credit risk) dan resiko likuiditas (liquidity risk). Dengan

sistem setelmen yang didasarkan pada kecukupan

saldo rekening bank di Bank Indonesia, risiko

kemungkinan kegagalan salah satu bank dalam

memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo yang

dapat menyebabkan bank lain juga mengalami

kesulitan likuiditas dapat dieliminir.

Penggunaan sistem BI-RTGS dapat

mengurangi risiko yang bersifat sistemik (systemic

risk) melalui tiga cara yaitu:

a. Penurunan secara signifikan intraday interbank

exposure dapat mengurangi kemungkinan

ketidakmampuan suatu bank dalam menutup

kekurangan likuiditas karena bank lain tidak

mampu memenuhi kewajibannya.

b. Sistem BI-RTGS dapat mencegah terjadinya

unwinding payment

c. Waktu setelmen yang dilakukan setiap saat

selama window time, memberikan waktu yang

cukup bagi bank untuk menyelesaikan kesulitan

likuiditasnya dengan cara meminjam dari bank

lain atau menunggu incoming transfer dari bank

lain.

Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement

(BI-RTGS)

b o k s

Sistem Pembayaran Nasional

189

Sistem Pembayaran Nasional

190

Secara umum mekanisme transfer dana

melalui sistem BI-RTGS dimulai dengan langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Bank pengirim menginput credit transfer ke dalam

terminal RTGS di masing-masing bank untuk

selanjutnya ditransmisikan ke RTGS Central

Computer (RCC) di Bank Indonesia.

2. Selanjutnya, RCC memproses credit transfer

dengan mekanisme sebagai berikut:

i. Mengecek kecukupan saldo apakah saldo re-

kening giro bank pengirim lebih besar dari atau

sama dengan nilai nominal credit transfer.

ii. Jika saldo rekening giro bank pengirim

mencukupi, akan dilakukan posting secara

simultan pada rekening giro bank pengirim

dan rekening giro penerima.

iii. Jika saldo rekening giro bank pengirim tidak

mencukupi, credit transfer tersebut akan

ditempatkan dalam antrian di mesin RTGS

Mekanisme Transfer Dana Melalui

BI-RTGS

sambil menunggu adanya incoming transfer

yang mencukupi.

3. Informasi credit transfer yang telah diselesaikan

(settled) akan ditransmisikan secara otomatis

oleh RCC ke terminal RTGS bank penerima.

Berdasarkan mekanisme tersebut di atas,

dapat terjadi bahwa pada suatu waktu tertentu, saldo

bank lebih kecil daripada nominal transaksi, maka

transaksi yang akan di selesaikan masuk kedalam

antrian. Hal ini tidak berarti bahwa bank tersebut

mengalami kesulitan likuiditas, karena pada dasarnya

bank tersebut berharap akan menerima incoming

transfer dari bank lain beberapa saat kemudian. Yang

terjadi hanyalah intraday gap antara outgoing

transaction dengan incoming transaction pada suatu

saat tertentu saja. Untuk mengatasi intraday gap ini

diperlukan fasilitas pendukung berupa Fasilitas

Likuiditas Intra-hari (FLI) yang berguna untuk

memperlancar real time transaction.

b o k s

Sistem Pembayaran Nasional

190

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

191

bab 10 PEREKONOMIAN DUNIA DANKERJA SAMA INTERNASIONAL

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

192

b a b 10

PEREKONOMIAN DUNIA DANKERJA SAMA INTERNASIONAL

D alam tahun laporan, kondisi perekonomian

dunia ditandai dengan terjadinya perlambatan

kegiatan ekonomi di berbagai kawasan. Melambatnya

kegiatan ekonomi terutama terlihat di beberapa negara

industri utama, yang memberikan sumbangan cukup

besar terhadap terjadinya penurunan pertumbuhan

ekonomi dunia dalam tahun 2001 (Tabel 10.1).

Kegiatan ekonomi di negara-negara industri bahkan

memperlihatkan kecenderungan yang semakin

melambat pasca tragedi WTC 11 September 2001.

Sejalan dengan melambatnya kegiatan ekonomi di

berbagai kawasan, volume perdagangan dunia

merosot tajam. Hal ini selanjutnya berakibat kepada

turunnya harga berbagai komoditas —terutama

komoditas primer seperti minyak mentah— di pasar

internasional. Sebagai akibat dari merosotnya volume

perdagangan dunia dan harga-harga komoditas

tersebut, kinerja sektor eksternal negara-negara

berkembang mengalami penurunan yang sangat

berarti. Perkembangan ekonomi dunia pada tahun

2001 juga ditandai dengan meningkatnya risiko global

(global risk) yang pada gilirannya mempengaruhi lalu

lintas modal internasional khususnya ke negara-

negara emerging market. Fenomena yang menonjol

dari perpindahan dana selama tahun laporan adalah

gejala flight to safety. Guna menghindari terjadinya

resesi ekonomi yang sangat dalam, baik negara-

negara maju maupun negara-negara berkembang

menempuh kebijakan moneter dan fiskal yang

ekspansif yang dimungkinkan oleh tekanan inflasi

yang relatif terkendali. Dengan berbagai kebijakan

ekonomi yang ditempuh, pemulihan ekonomi dunia

diperkirakan akan dimulai pada semester II tahun

2002.

Berbagai permasalahan yang telah mewarnai

perekonomian dunia sebagaimana diuraikan di atas,

telah memperoleh perhatian yang sangat besar di

berbagai forum kerja sama internasional. Di samping

untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi global,

berbagai forum tersebut juga membahas upaya-upaya

Tabel 10.1

Beberapa Indikator Ekonomi Dunia

Indikator 1999 2000 2001*

Pertumbuhan Ekonomi (%)Dunia 3,6 4,7 2,4Negara-negara industri 3,3 3,9 1,1Negara-negara berkembang 3,9 5,8 4,0

Laju Inflasi (%)Negara-negara industri 1,4 2,3 2,3Negara-negara berkembang 6,8 5,9 6,0

Volume Perdagangan Dunia(% pertumbuhan) 5,4 12,4 1,0

Nilai TukarUSD/JPY 102,51 114,41 131,66EUR/USD 1,01 0,94 0,89

Harga Perdagangan Dunia (% perubahan)Barang manufaktur -1,8 -5,1 -1,7Minyak mentah 37,5 56,9 -14,0Komoditas primer nonmigas -7,0 1,8 -5,5

Suku Bunga LIBOR (%)US Dollar 5,5 6,6 3,8Japanese Yen 0,2 0,3 0,2Euro 3,0 4,6 4,1

Sumber : - IMF, World Economic Outlook, Desember 2001

- Bloomberg

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

193

untuk mengatasi terjadinya krisis keuangan secara

cepat dan efektif. Selain itu, pembahasan juga

menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan kerja

sama dalam memberantas sumber-sumber pem-

biayaan teroris. Misalnya, dalam pertemuan G-20 dan

IMF Committee (IMFC)1 disepakati langkah-langkah

yang harus dilakukan negara-negara anggota dalam

upaya memberantas sumber pembiayaan teroris.

Sementara itu, forum-forum lembaga keuangan

internasional lainnya masih terus membahas upaya-

upaya reformasi sistem keuangan internasional dan

mencegah terulangnya krisis keuangan dan sekaligus

untuk menemukan cara-cara pemberian bantuan yang

dapat mengatasi krisis ekonomi yang telah cukup lama

dialami oleh beberapa negara berkembang. Di forum

regional Asia, kerjasama untuk mencegah krisis

tersebut diwujudkan dalam Asian Surveillance dan

Bilateral Swap Arrangement.

PEREKONOMIAN DUNIA

Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun

2001 hanya mencapai 2,4%, turun tajam dibandingkan

dengan pertumbuhan tahun 2000 yang mencapai 4,7%.

Menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia tersebut

terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan

ekonomi di negara-negara industri , yang sudah mulai

dirasakan sejak akhir tahun 2000. Harapan akan

membaiknya perekonomian negara-negara industri di

akhir tahun laporan menjadi sulit terwujud menyusul

tragedi WTC 11 September 2001. Serangan teroris

terhadap Gedung WTC di New York, Amerika Serikat

(AS) semakin memperlemah urat nadi perekonomian

AS sebagai lokomotif perekonomian dunia sehingga

menurunkan permintaan secara global. Tragedi

tersebut juga telah meningkatkan risiko keamanan

global yang pada gilirannya menghambat kegiatan

investasi. Dengan perkembangan tersebut, secara

keseluruhan pertumbuhan ekonomi negara-negara

industri diperkirakan hanya mencapai 1,1% dalam

tahun laporan (Grafik 10.1).

Seiring dengan melambatnya perekonomian

negara-negara maju, pertumbuhan volume per-

dagangan dunia juga mengalami kemerosotan secara

tajam dari 12,4% pada tahun 2000 menjadi hanya

1,0% pada tahun laporan. Merosotnya volume

perdagangan dunia tersebut mengakibatkan turunnya

harga berbagai komoditas, terutama minyak mentah

yang mengalami penurunan harga sebesar 14%

dalam tahun laporan. Harga minyak mentah dalam

tahun laporan rata-rata mencapai $24,0 per barel dan

sempat mencapai level terendah sebesar $18,0 per

barel pada akhir November tahun 2001. Sementara

itu, harga komoditas primer nonmigas dan barang

manufaktur mengalami penurunan masing-masing

sebesar 5,5% dan 1,7% dalam periode yang sama.

1 Pertemuan IMFC dilakukan pada 17 November 2001 untuk

menggantikan Sidang Tahunan IMF yang dibatalkan sehubungan

tragedi WTC 11 September 2001.

Grafik 10.1

Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara Industri Utama

AS Jepang

United Kingdom Jerman

-2

0

2

4

6

8

12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8

1997 1998 1999 2000 2001

Persen

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

194

Komoditas primer nonmigas yang mengalami

penurunan tajam antara lain kopi, kapas, tembaga,

aluminium, timah, dan nikel. Sebaliknya, harga emas

justru meningkat disebabkan kenaikan permintaan

dunia sehubungan dengan meningkatnya alternatif

penanaman dana investasi dalam bentuk emas pasca

tragedi WTC. Sementara itu, produk manufaktur yang

mengalami penurunan harga yang tajam adalah

produk semikonduktor sehingga nilai penjualan

produk ini dalam tahun laporan hanya mencapai 20%

dari nilai yang dicapai dalam tahun 2000.

Melemahnya aktivitas perdagangan dunia

tersebut menimbulkan tekanan yang cukup berarti

terhadap kinerja perekonomian negara-negara

berkembang dan industri baru, terutama negara-

negara yang mempunyai ketergantungan tinggi

terhadap kegiatan ekspor. Secara keseluruhan, per-

tumbuhan ekonomi negara-negara berkembang

mencapai 4,0% dalam tahun laporan, turun di-

bandingkan 5,8% dalam tahun 2000. Menurunnya

kegiatan ekspor merupakan faktor penyebab utama

melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara

berkembang, bahkan beberapa negara industri baru

mengalami kontraksi ekonomi. Hal ini dialami oleh

Singapura dan Hong Kong yang masing-masing men-

catat kontraksi ekonomi sebesar 2,9% dan 0,3% dalam

tahun laporan akibat menurunnya ekspor masing-

masing sebesar 19,6% dan 10,4% dalam periode yang

sama. Masih tingginya pertumbuhan ekonomi negara-

negara berkembang tersebut terutama ditopang oleh

pertumbuhan ekonomi RRC yang masih tetap tinggi

meskipun sedikit menurun.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi dan

perdagangan dunia mengakibatkan berkurangnya

tekanan inflasi secara global. Dalam tahun laporan,

laju inflasi di negara-negara industri maju relatif stabil

dan tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun

sebelumnya, yaitu sebesar 2,3% (Grafik 10.2). Se-

mentara itu, laju inflasi di negara-negara berkembang

mencapai 6,0%, sedikit meningkat dibandingkan

tahun sebelumnya yang mencapai 5,9%. Relatif

stabilnya laju inflasi tersebut telah memberikan ruang

gerak bagi sejumlah negara maju dan berkembang

untuk menempuh kebijakan moneter dan fiskal yang

ekspansif guna mencegah terjadinya resesi ekonomi

yang sangat dalam.

Kebijakan moneter ekspansif yang ditempuh

bank sentral di negara-negara maju diharapkan akan

menstimulasi kegiatan ekonomi. Di Amerika Serikat,

penurunan suku bunga ditujukan untuk menstimulasi

konsumsi dan investasi domestik terutama setelah

tragedi WTC. Di Jepang, kebijakan suku bunga yang

diarahkan mendekati nol persen dimaksudkan untuk

mendukung proses pemulihan ekonomi Jepang yang

sudah dilanda resesi ekonomi selama lebih dari 10

tahun terakhir. Sementara itu di kawasan Euro,

penurunan suku bunga tidak terlalu agresif karena

Grafik 10.2

Perkembangan Inflasi Negara-negara Industri Utama

-2

-1

0

1

2

3

4

5

AS

Jepang

U.K

Jerman

1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 1111

1997 1998 1999 2000 2001

Persen

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

195

laju inflasi di kawasan tersebut masih di atas target

Bank Sentral Eropa (ECB).

Bagi negara-negara berkembang, kebijakan

moneter pada umumnya masih bervariasi bergantung

kepada kondisi laju inflasi dan permasalahan domes-

tik yang dihadapi. Kompleksitas permasalahan yang

dihadapi oleh negara-negara berkembang seringkali

menimbulkan dilema, tidak saja dalam pelaksanaan

kebijakan moneter tetapi juga dalam pelaksanaan

kebijakan fiskal. Permasalahan keuangan pemerintah

telah mendorong beberapa negara mengambil

kebijakan ekonomi yang lebih mengutamakan

kepentingan negara bersangkutan sebagaimana

dilakukan Argentina yang telah terperosok ke dalam

krisis ekonomi dan sosial. Eskalasi krisis ekonomi

yang dialami Argentina menjelang akhir tahun 2001

terutama dipicu oleh kegagalan pemerintah untuk

mengendalikan defisit anggaran dan melakukan

pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo

sehubungan dengan menurunnya penerimaan pajak

dan ekspor Argentina.

Kebijakan ekonomi yang ekspansif pada

gilirannya juga membawa implikasi terhadap per-

kembangan pasar keuangan internasional. Kombinasi

kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif di bebe-

rapa negara telah menimbulkan optimisme terhadap

proses pemulihan ekonomi sehingga dapat mencegah

perekonomian tidak terperosok ke dalam krisis berke-

panjangan. Gelombang penurunan suku bunga bench-

mark yang dilakukan berbagai otoritas moneter telah

mendorong penurunan suku bunga di pasar keuangan

internasional sehingga diharapkan dapat menggai-

rahkan kembali kegiatan ekonomi. Namun, langkah-

langkah kebijakan tersebut ternyata belum berdampak

signifikan terhadap pasar modal sebagaimana tercer-

min dari perkembangan indeks harga saham dunia

yang secara umum cenderung menurun dalam periode

laporan. Aktivitas perdagangan di bursa saham dunia

masih lebih banyak diwarnai oleh kondisi ekonomi dunia

yang secara keseluruhan masih lesu dan meningkatnya

ketidakpastian yang bersumber dari ketidakjelasan arah

dan prospek pemulihan ekonomi global.

Amerika Serikat

Setelah mengalami ekspansi perekonomian

yang berkesinambungan dalam sepuluh tahun ter-

akhir, sejak awal tahun 2000 perekonomian Amerika

Serikat mulai menunjukkan gejala perlambatan. Pada

tahun laporan, perlambatan ekspansi perekonomian

Amerika Serikat semakin jelas dan diperkirakan

hanya tumbuh 1,0%, jauh lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai

4,1%. Sejalan dengan melemahnya kegiatan

ekonomi, laju inflasi turun dari 3,4% pada tahun 2000

menjadi 2,9% pada tahun 2001. Melambatnya

kegiatan ekonomi AS dalam tahun 2001 terutama

tercermin dari kemerosotan yang cukup berarti pada

sektor konsumsi (tumbuh 3,03%) dan investasi

swasta (turun 7,99%), yang selama ini telah menjadi

penyumbang terbesar terhadap tingginya

pertumbuhan ekonomi AS dalam kurun waktu yang

cukup panjang. Melambatnya ekspansi ekonomi AS

juga tercermin dari kinerja beberapa indikator

ekonomi penting di sektor riil seperti penjualan eceran

dan perumahan yang menunjukkan perlambatan

yang cukup berarti sepanjang tahun laporan,

sedangkan tingkat pengangguran menunjukkan

peningkatan. Menurunnya kegiatan konsumsi dan

investasi swasta tersebut dipengaruhi oleh semakin

rendahnya tingkat keyakinan konsumen dan dunia

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

196

usaha, yang berakibat pada penundaan dan pengu-

rangan pengeluaran konsumsi dan investasi.

Semakin rendahnya tingkat keyakinan kon-

sumen dan dunia usaha tidak terlepas dari mem-

buruknya kinerja pasar modal di AS, terutama pasar

saham yang selama ini telah menjadi fondasi yang

cukup penting dalam menggerakkan roda pere-

konomian di berbagai sektor. Sepanjang tahun lapo-

ran, kinerja pasar saham di AS mengalami kemero-

sotan yang tajam sehingga berdampak terhadap

menurunnya nilai kekayaan sebagian masyarakat di

AS dan pada gilirannya mengurangi minat masyarakat

dan dunia usaha untuk melakukan konsumsi dan

investasi (negative wealth effect). Merosotnya harga

saham tersebut terutama dipicu oleh terjadinya

penilaian yang berlebihan (overvaluation) terhadap

saham-saham internet (perusahaan dot-com) dan

semakin diperburuk menyusul terjadinya tragedi

WTC, meskipun menjelang akhir tahun kembali

meningkat. Indeks saham Dow Jones (DJIA) sepan-

jang tahun 2001 merosot 7,10%, sementara indeks

saham lainnya seperti NASDAQ, S&P 500 merosot

masing-masing sebesar 21,05% dan 13,04 %.

Dalam upaya mencegah terjadinya kontraksi

ekonomi yang sangat dalam, sepanjang tahun 2001

Federal Reserve menempuh kebijakan moneter yang

ekspansif dengan melakukan pemangkasan tingkat

suku bunga Fed Fund yang ditargetkan sebanyak 11

kali hingga mencapai 1,75% (Grafik 10.3). Selain itu,

pemerintah AS menempuh kebijakan fiskal yang

ekspansif melalui pemotongan pajak dan pem-

bangunan prasarana guna menstimulasi permintaan

domestik.

Eropa Barat

Melambatnya perekonomian AS telah ber-

dampak besar terhadap melambatnya kinerja ekonomi

negara-negara di kawasan Euro yang sebagian besar

merupakan mitra dagang AS. Selama tahun laporan,

pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan

Euro diperkirakan mencapai 1,5%, lebih rendah

dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang dicapai

pada tahun sebelumnya sebesar 3,4%. Melambatnya

ekspansi perekonomian Euro terutama terjadi pada

tiga kekuatan ekonomi terbesar yaitu Jerman,

Perancis, dan Italia. Pada tahun 2001 perekonomian

Jerman diperkirakan hanya tumbuh 0,5% merosot

tajam dari pertumbuhan 3,0% yang dicapai pada tahun

2000. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Perancis

dan Italia diperkirakan melambat masing-masing

menjadi hanya 2,1% dan 1,8% pada tahun 2001

dibandingkan pertumbuhan sebesar 3,5% dan 2,9%

pada tahun 2000. Melemahnya kegiatan ekonomi di

kawasan Euro terutama disebabkan oleh mem-

buruknya kinerja sektor eksternal dan melemahnya

konsumsi dan investasi swasta domestik. Sebagai

akibat dari melemahnya kegiatan investasi swasta,

gelombang pemutusan hubungan kerja oleh dunia

Grafik 10.3

Perkembangan Suku Bunga Fed Fund

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

5,0

5,5

6,0

6,5

7,0

7,5

Fed Fund Rate Efektif

Fed Fund Rate yangditargetkan

Persen

4/30 6/30 8/31 10/29 12/31 2/29 4/28 6/30 8/31 10/31 12/30 2/28 4/30 6/12 8/31 10/31 12/31

1999 2000 2001

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

197

usaha cenderung meningkat, yang berakibat pada

terjadinya peningkatan tingkat pengangguran.

Sebaliknya, di tengah-tengah terjadinya

perlambatan kegiatan ekonomi, laju inflasi di kawasan

Euro masih memperlihatkan peningkatan. Dalam

tahun laporan, tingkat inflasi mencapai 2,7%, lebih

tinggi dibandingkatan laju inflasi tahun sebelumnya

yang mencapai 2,4%. Meningkatnya laju inflasi di

kawasan Euro terutama disumbang oleh kenaikan

harga makanan dan bahan bakar serta efek tunda dari

melemahnya mata uang euro sepanjang tahun 2000.

Namun demikian, menjelang akhir tahun, tingkat inflasi

turun dari 2,1% pada bulan November menjadi 2,0%

di bulan Desember, pertama kalinya menyamai ceiling

rate yang ditetapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB).

Tingkat inflasi yang dicapai pada bulan Desember

tersebut merupakan yang terendah dalam 19 bulan

terakhir, terutama sebagai akibat dari jatuhnya harga

minyak menjelang akhir tahun 2001. Hanya dalam

kurun waktu 3 bulan dari September sampai dengan

November 2001, harga minyak mentah Brent sebagai

benchmark terhadap 2/3 pasokan minyak dunia,

mengalami kejatuhan sebesar 35%.

Perkembangan di atas memberikan ruang

gerak bagi ECB untuk mendorong pemulihan

perekonomian dengan memangkas tingkat suku

bunga. Selama periode tahun laporan, ECB mela-

kukan pemangkasan suku bunga sebanyak 4 kali atau

sebesar 1,5% menjadi 3,5% sampai dengan akhir

tahun 2001. Dibandingkan dengan kebijakan yang

ditempuh Federal Reserve yang memangkas suku

bunga sebanyak 11 kali, langkah pemangkasan suku

bunga ECB tersebut tergolong konservatif dengan

pertimbangan bahwa laju inflasi di zona Euro masih

melampaui ceiling rate yang ditetapkan ECB sebesar

2,0%, bahkan mencapai puncaknya pada bulan Mei

2001 sebesar 3,4%.

Selain di negara-negara kawasan Euro,

melambatnya kegiatan ekonomi terlihat di Inggris.

Pada tahun 2001, perekonomian Inggris tumbuh

2,3%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan

sebesar 2,9% yang dicapai pada tahun 2000.

Sementara itu, laju inflasi sedikit meningkat dari 2,1%

pada tahun 2000 menjadi 2,3% pada tahun 2001.

Meskipun demikian, laju inflasi pada tahun laporan

masih lebih rendah dibandingkan target inflasi yang

ditetapkan Bank of England (BoE) sebesar 2,5%.

Guna memberikan stimulus bagi perekonomian,

sepanjang tahun laporan BoE telah menurunkan suku

bunga sebanyak 7 kali, sehingga suku bunga

benchmark (base rate) mencapai 4%, lebih rendah

dibandingkan yang dicapai pada tahun 2000 sebesar

6%.

Jepang

Imbas kemerosotan ekonomi AS juga

menimpa Jepang sebagai salah satu mitra dagang

utama AS. Pada tahun 2001, perekonomian Jepang

mengalami kontraksi sebesar 0,4%, setelah pada

tahun 2000 mengalami ekspansi sebesar 2,2%.

Memburuknya kinerja ekonomi Jepang tersebut

terutama sebagai akibat dari menurunnya kinerja

ekspor sehubungan dengan merosotnya permintaan

impor dari AS, yang diperkirakan menyumbang 1/3

sumber penerimaan devisa ekspor Jepang ke luar

negeri. Ekspor Jepang selama tahun laporan

diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 6,6%.

Guna mengatasi krisis ekonomi yang ber-

kepanjangan, pemerintah Jepang terus menempuh

berbagai kebijakan yang sangat ekspansif baik di

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

198

bidang moneter maupun fiskal. Di bidang moneter,

Bank of Japan tetap mempertahankan suku bunga

Overnight Call Rate sebesar 0,1%. Di bidang per-

bankan yang selama ini mengalami permasalahan

kredit macet dan turunnya nilai aset bank akibat dari

merosotnya harga saham dan properti, pemerintah

Jepang telah mengeluarkan dana bantuan sebesar

26 triliun yen untuk program rekapitalisasi bank, pem-

bayaran dana nasabah, dan pemberian pinjaman.

Sementara itu, guna menjaga daya saing ekspor di

tengah meningkatnya persaingan di pasar inter-

nasional, pemerintah Jepang telah membiarkan nilai

tukar yen terdepresiasi cukup tajam. Dalam tahun

laporan, nilai tukar yen melemah tajam terhadap dolar

AS terutama disebabkan oleh meningkatnya aliran

portofolio ke luar negeri yang dipicu oleh persepsi

terhadap prospek ekonomi yang suram serta

lambatnya penanganan terhadap permasalahan

struktural di sektor perbankan.

Asia non-Jepang

Negara-negara Asia selain Jepang seperti

Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura

merupakan negara-negara industri baru di Asia yang

sangat terpukul dengan melambatnya ekonomi

negara-negara industri maju terutama AS. Besarnya

sumbangan sektor ekspor dalam struktur per-

ekonomian telah mengakibatkan kinerja ekonomi

negara-negara tersebut sangat rentan terhadap

fluktuasi volume perdagangan global dan harga

komoditas internasional. Selain itu, struktur ekspor

dari negara-negara tersebut sebagian besar di-

dominasi oleh komoditas sektor manufakur terutama

komponen elektronik, yang pada umumnya sangat

elastis terhadap naik turunnya pendapatan di negara-

negara tujuan ekspor utama seperti AS. Pada tahun

2001, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan

diperkirakan hanya tumbuh 2,6% setelah tumbuh

cukup tinggi pada tahun 2000 sebesar 8,8%.

Sedangkan perekonomian Hong Kong, Taiwan, dan

Singapura pada tahun 2001 diperkirakan mengalami

kontraksi masing-masing sebesar 0,3%, 2,2% dan

2,9%, setelah mengalami ekspansi pada tahun

sebelumnya masing-masing sebesar 10,5%, 6,0%,

dan 9,9%. Malaysia dan Thailand yang berpotensi

menjadi negara industri baru di Asia pada tahun 2001

masing-masing hanya tumbuh 0,3% dan 1,5%, turun

dari 8,3% dan 4,4% yang dicapai pada tahun 2000.

Sejalan dengan merosotnya kegiatan ekonomi di

negara-negara tersebut, tekanan laju inflasi dapat

terkendali pada tingkat yang cukup rendah.

Dalam menghadapi ancaman resesi eko-

nomi global, sejumlah negara industri baru di Asia

pada umumnya telah mengantisipasinya dengan

menempuh kebijakan ekonomi yang ekspansif baik

di bidang moneter maupun fiskal. Kebijakan ekonomi

yang ekspansif terutama ditempuh guna mening-

katkan konsumsi domestik dan mencegah terjadinya

peningkatan tingkat pengangguran sebagai akibat

memburuknya kinerja sektor ekspor. Selain itu,

negara-negara tersebut menempuh berbagai lang-

kah struktural guna menciptakan efisiensi dan

meningkatkan daya saing terutama dalam rangka

menghadapi tekanan persaingan global yang se-

makin meningkat. Sementara itu, dengan merosot-

nya permintaan impor dari negara-negara industri

maju, persaingan antara beberapa negara Asia untuk

menembus pasar ekspor semakin meningkat. Selain

melalui langkah efisiensi produksi, upaya untuk me-

ningkatkan daya saing produk ekspor ditempuh

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

199

beberapa negara industri di Asia dengan mem-

biarkan nilai tukar mata uangnya terdepresiasi.

Meskipun demikian, tidak seluruh negara Asia

menunjukkan kinerja ekonomi yang memburuk. Pada

tahun 2001 perekonomian RRC masih memperlihatkan

kinerja yang cukup mengesankan dengan mencatat

laju pertumbuhan sebesar 7,3% dan inflasi yang tetap

terkendali sebesar 1,0%, dibandingkan 0,4% pada

tahun 2000. Prestasi kinerja ekonomi RRC tersebut

terutama disebabkan oleh dukungan kebijakan fiskal

yang ekspansif dan meningkatnya aliran modal asing

masuk dalam bentuk investasi langsung (FDI).

Meningkatnya aliran investasi asing langsung tersebut

pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan basis

pemasaran di pasar lokal RRC sebagai antisipasi

masuknya RRC ke dalam keanggotaan Organisasi

Perdagangan Dunia (WTO) dalam tahun laporan.

Amerika Latin

Sejalan dengan melambatnya kegiatan

ekonomi AS, perekonomian negara-negara Amerika

Latin selama tahun laporan menunjukkan kecen-

derungan melambat. Pada tahun laporan, laju pertum-

buhan negara-negara Amerika Latin hanya mencapai

1,0%, lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan

ekonomi yang dicapai pada tahun sebelumnya yang

mencapai 4,1%.

Kinerja ekonomi empat kekuatan ekonomi

terbesar di kawasan Amerika Latin yaitu Meksiko,

Brasil, Cile, dan Argentina memperlihatkan terjadinya

perlambatan yang cukup berarti, bahkan pereko-

nomian Argentina diperkirakan mengalami kontraksi

yang tajam sebagai akibat krisis ekonomi yang

melanda negara tersebut. Pada tahun 2001, kinerja

ekonomi Meksiko, sebagai salah satu mitra dagang

utama AS di benua Amerika diperkirakan akan tumbuh

lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang

tercatat sebesar 6,9%. Sementara itu, pertumbuhan

ekonomi Brasil dan Cile masing-masing hanya men-

capai 1,8% dan 3,3%, lebih rendah dibandingkan

tahun sebelumnya yang mencapai 4,4% dan 5,4%.

Di pihak lain, pada tahun laporan, perekonomian

Argentina diperkirakan masih mengalami kontraksi

sebesar 2,7% menyusul kontraksi yang terjadi pada

tahun 1999 dan 2000 masing-masing sebesar 3,4%

dan 0,5%. Eskalasi krisis ekonomi yang dialami

Argentina memuncak menjelang akhir tahun 2001 ter-

utama dipicu oleh kegagalan pemerintah untuk

mengendalikan defisit dan melakukan pembayaran

utang luar negeri yang jatuh tempo, yang pada gili-

rannya mengakibatkan terjadinya krisis politik dan

memicu berbagai kerusuhan sosial. Krisis keuangan

yang dialami Argentina tersebut terutama disebabkan

oleh ketidakmampuan negara tersebut untuk

menghimpun dana domestik yang cukup guna

memenuhi besarnya pembayaran kewajiban-kewa-

jiban pemerintah jangka pendek yang jatuh tempo.

Penurunan pendapatan dalam negeri selain disebab-

kan turunnya penerimaan pajak juga dikarenakan

merosotnya pendapatan dari ekspor akibat mele-

mahnya permintaan dunia dan kurang kompetitifnya

produk ekspor Argentina. Produk Argentina sulit

bersaing karena kebijakan peg mata uang peso

terhadap dolar AS dengan rasio 1:1 mengakibatkan

mata uang peso semakin overvalued.

Pasar Keuangan Internasional

Perkembangan pasar keuangan internasional

selama tahun laporan secara umum ditandai dengan

menguatnya nilai tukar dolar AS, menurunnya suku

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

200

bunga pasar uang, serta melemahnya harga saham

secara global. Meskipun kinerja ekonomi dan suku

bunga di AS memperlihatkan terjadinya penurunan,

nilai tukar dolar AS secara keseluruhan menguat

terhadap hampir sebagian besar mata uang dunia.

Hal ini menunjukkan bahwa mata uang dolar masih

menempati posisinya sebagai mata uang teraman di

dunia (safe heaven currency) terutama dalam kondisi

dimana risiko global semakin meningkat sepanjang

tahun laporan. Risiko global bahkan semakin mening-

kat pasca tragedi WTC yang mendorong investor

internasional lebih bersikap hati-hati dan cenderung

menghindari risiko (risk averse) dalam melakukan

investasi di negara-negara berkembang. Sebagai

akibatnya, aliran modal internasional lebih bersifat

flight to safety dan banyak tertahan serta mengalir

kembali ke pasar keuangan di negara-negara industri

maju terutama pasar keuangan AS.

Sementara itu, sejalan dengan melonggarnya

kebijakan moneter di berbagai negara guna men-

cegah terjadinya resesi ekonomi, suku bunga di pasar

uang internasional (money market) menunjukkan

kecenderungan menurun. Suku bunga LIBOR 6 bulan

rata-rata untuk dolar AS yang menjadi patokan

(benchmark) suku bunga simpanan beberapa mata

uang utama mengalami penurunan yang cukup besar

dari 6,6% pada akhir tahun 2000 menjadi 3,8% pada

akhir tahun laporan (Grafik 10.4). Meskipun demikian,

tingkat penurunan suku bunga simpanan beberapa

mata uang di pasar uang internasional ini relatif

beragam dengan memperhatikan perkembangan

tingkat inflasi di masing-masing negara.

Sejalan dengan terjadinya perlambatan ke-

giatan ekonomi di berbagai kawasan, perkembangan

harga saham di berbagai bursa saham dunia ditandai

dengan terjadinya penurunan indeks yang cukup

berarti. Penurunan indeks harga saham terutama

terjadi di pasar modal AS, yang pada gilirannya ber-

imbas secara global ke seluruh kawasan termasuk

ke negara-negara Asia yang perekonomiannya me-

miliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap

kinerja ekonomi AS. Penurunan harga saham ter-

utama terjadi pada sektor teknologi informasi dan

beberapa industri terkait seperti industri komponen

komputer dan elektronik, yang pada dasarnya

merupakan basis kekuatan industri di sejumlah

negara industri baru di Asia.

KER JA SAMA INTERNASIONAL

Selama tahun laporan, pembahasan pada

berbagai forum kerja sama internasional dan regional

menitikberatkan pada berbagai upaya untuk menga-

tasi perlambatan ekonomi melalui kebijakan moneter

dan fiskal yang tepat, penguatan sistem keuangan, dan

regional surveillance sebagai langkah guna mem-

perkuat pencegahan krisis. Selain itu, berbagai forum

juga membahas beberapa upaya pencegahan pem-

biayaan terorisme internasional sebagai respon terha-

Grafik 10.4

Perkembangan Suku Bunga LIBOR

0,00

1,50

3,00

4,50

6,00

Desember 2000 Maret 2001 Juni 2001

September 2001 Desember 2001

GBP-LIBOR USD-LIBOR JPY-LIBOR EURO-LIBOR

Persen

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

201

dap tragedi WTC. Perkembangan penting yang me-

warnai perdagangan dunia adalah bergabungnya RRC

dan Taiwan dalam World Trade Organization (WTO).

Kerja Sama di Bidang Moneter, Keuangan, dan

Perbankan

Dana Moneter Internasional (IMF)

Selama tahun laporan, isu-isu yang dibahas

oleh IMF meliputi: (i) upaya memperkuat sistem ke-

uangan internasional termasuk peran IMF, (ii) meram-

pingkan conditionality dan memperkuat ownership

negara-negara anggota dalam program IMF, (iii)

menghapus money laundering dan pembiayaan

terorisme, dan (iv) good governance. Dalam rangka

memperkuat sistem keuangan negara-negara

anggota, IMF berperan untuk mendorong kestabilan

makroekonomi dan keuangan sebagai prasyarat

untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,

mendorong kestabilan dan integritas sistem moneter

dan keuangan internasional sebagai public good,

serta membantu negara-negara anggota untuk

membangun sektor keuangan yang sehat.

IMF telah mengambil langkah-langkah untuk

merampingkan conditionality atas program kebijakan

dari negara anggota sehingga lebih efisien dan efektif.

Penerapan conditionality untuk reformasi struktural da-

pat dilakukan berdasarkan case by case basis dengan

menitikberatkan pada bidang-bidang yang sangat

menentukan keberhasilan stabilitas ekonomi makro

dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam rangka

meningkatkan ownership program-program reformasi

ekonomi oleh negara-negara anggota yang mendapat

pinjaman, IMF sedang mempelajari kemungkinan

penggunaan result based conditionality. Persyaratan

pencairan fasilitas IMF yang berdasarkan hasil-hasil

yang dicapai akan memberikan fleksibilitas dan

akuntabilitas yang lebih besar kepada negara-negara

tersebut dalam menentukan target-target yang akan

dicapai, sehingga ownership terhadap program-

program yang disepakati dengan IMF akan lebih tinggi.

Selanjutnya setelah terjadinya serangan

terhadap gedung WTC, isu mengenai combating

money laundering and financing of terrorism menjadi

perhatian utama dalam sidang-sidang IMF. IMFC

mengemukakan perhatian yang serius pada peng-

gunaan sistem keuangan internasional untuk mem-

biayai aksi teroris dan tindakan pencucian terhadap

aktivitas yang ilegal. Karenanya, IMF meminta

anggotanya untuk meratifikasi dan melaksanakan

resolusi PBB khususnya nomor 1.373 serta menyam-

but baik dan mendukung Special Recommendations

FATF mengenai pemberantasan pendanaan bagi

teroris. Dalam hal isu pengelolaan usaha yang sehat

(good governance), sidang sepakat agar IMF perlu

menangani permasalahan ini melalui langkah-langkah

khusus untuk mengatasi poor governance dan korupsi.

G-20

Kerjasama internasional dalam rangka G-20

dalam tahun laporan ditekankan kepada upaya-upa-

ya mencegah penggunaan sektor keuangan untuk

kegiatan terorisme, di samping membahas kebijakan-

kebijakan yang diperlukan untuk menghadapi kondisi

perekonomian dunia dewasa ini serta menghadapi

arus globalisasi. Langkah-langkah yang akan diambil

disusun dalam suatu Action Plan on Terrorist Finan-

cing, yang pokok-pokoknya mencakup :

(a) Pembekuan kekayaan (asset) milik terroris.

Setiap negara anggota akan menerapkan

resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

202

relevan, terutama resolusi nomor 1373, untuk

menghentikan sumber keuangan/pembiayaan

terorisme.

(b) Penerapan standar internasional. Setiap negara

anggota akan meratifikasi dan menerapkan the

UN Convention for the Suppression of the Finan-

cing of Terrorism sesegera mungkin dan merati-

fikasi the UN Convention against Transactional

Organized Crime.

(c) Kerjasama internasional melalui pertukaran

informasi dan akses antaranggota G-20.

Selanjutnya setiap anggota akan membentuk atau

mempertahankan Satuan Intelijen Keuangan dan

mengambil langkah-langkah untuk saling tukar

informasi.

(d) Bantuan teknis. Negara-negara anggota,

sepanjang memungkinkan, akan menyediakan

bantuan teknis untuk mencegah pembiayaan

terorisme dan memberantas pencucian uang

(money laundering) bagi negara lainnya yang

membutuhkan bantuan teknis tersebut. Selain itu,

G-20 akan menghimbau lembaga-lembaga

internasional dan regional untuk memberikan

bantuan teknis tersebut.

(e) Kepatuhan dan pelaporan. Dalam hal ini negara-

negara anggota akan mengambil langkah-langkah

untuk memastikan agar lembaga-lembaga

keuangan dan semua warga negaranya mematuhi

aturan-aturan untuk memberantas pembiayaan

terorisme serta tindak pidana keuangan lainnya.

Manila Framework Group (MFG)

Selama tahun laporan, Manila Framework

Group (MFG) menitikberatkan kepada masalah-

masalah: (i) restrukturisasi sektor keuangan dan

korporasi; (ii) reformasi sistem keuangan interna-

sional; dan (iii) MFG Financing Arrangement. Selain

membahas isu-isu tersebut, MFG membahas pula isu

regional surveillance, dan berupaya memperkuat IMF

surveillance dengan melibatkan sektor swasta dalam

mengatasi krisis.

Kerja Sama Bank Sentral

Dalam periode laporan, kerja sama antarbank

sentral berjalan sebagaimana tahun-tahun

sebelumnya melalui berbagai forum antara lain

Executive Meeting of East Asia Pacific Central Bank

(EMEAP) dan South-East Asia Central Bank

(SEACEN).

Forum EMEAP

Dalam pembahasan isu ekonomi dan

keuangan, forum EMEAP menekankan pengaruh

perlambatan ekonomi AS dan global terhadap

ekonomi kawasan EMEAP serta potensi kerentanan

kawasan dalam menghadapi kemungkinan krisis.

Dalam rangka menghadapi perkembangan tersebut,

anggota EMEAP berpandangan perlunya menerap-

kan kebijakan yang tepat untuk mendorong permin-

taan domestik. Berkaitan dengan dengan upaya

mendorong stabilitas keuangan, beberapa negara

EMEAP telah menyoroti pendekatan “one-size-fits-

all” dalam implementasi standar internasional di

tengah perbedaan karakteristik dan kemampuan

anggota dalam menerapkan kebijakan tersebut.

Dengan memperhatikan respon kebijakan IMF ter-

hadap krisis Asia, EMEAP berpandangan bahwa

kebijakan IMF dalam menangani krisis telah me-

nimbulkan kesulitan ekonomi yang semakin dalam.

Dalam kaitan ini, IMF perlu mempertimbangkan

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

203

perbedaan fundamental ekonomi masing-masing

negara serta melakukan penyederhanaan condi-

tionality dan meningkatkan ownership negara-negara

yang dibantu dalam mendukung keberhasilan

program IMF.

SEACEN

Dalam periode laporan , berbagai topik telah

dibahas dalam forum SEACEN. Topik-topik yang

dibahas berkaitan dengan: (i) SEACEN Trust Fund

(STF), (ii) SEACEN Experts Group (SEG) on Capital

Flows, (iii) pembentukan Electronic Data Exchange

di SEACEN Centre, dan (iv) pemberian bantuan

keuangan oleh Jepang.

Dalam kerangka STF, SEACEN mencatat

beberapa kemajuan sepanjang tahun laporan, yaitu :

(i) diterimanya Bank of Mongolia secara resmi menjadi

anggota STF pada tanggal 17 Februari 2000, (ii)

dicapainya kesepakatan untuk meningkatkan dana

STF, dan (iii) dilakukannya upaya -upaya untuk

memperbaiki manajemen STF. Upaya-upaya per-

baikan manajemen antara lain dilakukan melalui

pemberian keleluasaan kepada Direktur Operasi

Investasi dan Pasar Keuangan Bank Negara Malaysia

sebagai signatory tambahan, dan mengembalikan

prosedur aplikasi bantuan beasiswa ke sistem yang

lama yang dipandang lebih efektif.

Sementara itu, SEACEN yang merupakan

lembaga yang menangani riset dan pelatihan bagi

bank sentral di Asia Tenggara telah berupaya

mengendalikan potensi risiko yang dapat timbul dari

volatilitas arus modal melalui pertemuan SEACEN

Expert Group (SEG) on Capital Flows. Dalam kerang-

ka ini pula, SEACEN memperkuat surveillance ter-

hadap arus modal negara-negara anggotanya melalui

pertukaran data dan informasi antaranggota SEG

dengan membentuk SEG Database.

Dalam periode laporan, Bank of Japan (BOJ)

juga telah menawarkan bantuan keuangan senilai

JPY 10 juta setiap tahunnya yang digunakan untuk

membiayai kegiatan pelatihan tertentu yang

diselenggarakan oleh SEACEN tanpa persyaratan

apapun kecuali pelatihan tersebut telah diidentifikasi

oleh BOJ. Semakin berkembangnya SEACEN Centre

telah menarik minat dua otoritas moneter, yaitu

Monetary Authority of Brunei dan Reserve Bank of

Fiji, untuk bergabung menjadi anggota SEACEN

Centre.

Kerja Sama di Bidang Pembangunan

Bank Dunia

Dalam tahun laporan, Bank Dunia terus

melanjutkan fokus pada isu penanganan kemiskinan

dan penguatan pertumbuhan khususnya bagi negara-

negara termiskin. Pembahasan dikaitkan dengan

empat topik utama, yaitu: (i) tindak lanjut Highly

Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative dan Debt

Sustainability, (ii) penyempurnaan proses Poor

Reduction Growth Facility (PRGF) dan Poor Reduction

Strategy Paper (PRSP), (iii) perbaikan akses pasar

untuk ekspor negara berkembang, serta (iv) bantuan

bagi negara-negara yang baru mengalami konflik.

Langkah-langkah yang akan dilakukan Bank

Dunia menyangkut beberapa hal. Pertama, Bank

Dunia akan merekomendasikan strategi pemba-

ngunan yang berkelanjutan dan mendorong peme-

rataan ke negara-negara miskin dengan bantuan

dana dan pembukaan akses pasar oleh negara-

negara donor. Kedua, Bank Dunia akan meramping-

kan, memfokuskan, dan memprioritaskan condi-

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

204

tionality bagi program tersebut dengan berdasarkan

kepada strategi yang disusun sendiri oleh negara-

negara anggota (penyusunan PRGF dan PRSP)

dalam mendorong pertumbuhan dan mengatasi

kemiskinan. Ketiga, Bank Dunia bersama dengan

IMF akan memberikan bantuan teknis dan bantuan

capacity building untuk mempercepat proses pemu-

lihan negara-negara tersebut.

Bank Pembangunan Asia (ADB)

ADB akan terus berpartisipasi dalam pro-

gram-program pengentasan kemiskinan, pemberda-

yaan masyarakat, program good governance, serta

mendorong strategi pengembangan sektor swasta.

Di samping itu ADB juga berperan dalam upaya

pencegahan krisis dengan memberikan bantuan

kegiatan surveillance dengan bekerjasama dengan

Sekretariat ASEAN. Diharapkan di masa yang akan

datang inisiatif yang akan dilakukan ADB akan

berlanjut kepada upaya standarisasi statistik yang

digunakan serta metodologi sistem peringatan dini

(early warning system).

Kerja Sama Regional

Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)

Dalam rangka mendorong pertumbuhan

ekonomi yang berkelanjutan, APEC telah berupaya

mengadopsi kebijakan moneter dan fiskal maupun

upaya mendorong policy dialogue mengenai ekonomi

makro termasuk upaya memperkuat sistem keuangan

internasional guna menciptakan landasan ekonomi

yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

APEC juga telah menyatakan komitmen untuk mela-

kukan upaya lebih lanjut untuk mendorong liberalisasi

perdagangan dan investasi serta mendukung kuat

peluncuran putaran baru WTO. APEC menekankan

perlunya agenda putaran baru WTO untuk mema-

sukkan liberalisasi sektor pertanian, produk industri

dan jasa, memperkuat WTO rules, implementasi isu

serta memasukkan kepentingan dan perhatian

seluruh anggota khususnya negara berkembang

dalam menghadapi tantangan abad 21. Di samping

itu, anggota APEC juga menyadari kebutuhan untuk

memperkuat pengaturan dan pengawasan perban-

kan, good governance, dan financial disclosure, serta

memperkuat sistem keuangan domestik guna

menjamin konsistensi kebijakan makroekonomi,

memperkuat global financial sector surveillance, dan

melanjutkan upaya peningkatan efektifitas lembaga

keuangan internasional.

Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara

(ASEAN)

Dalam tahun laporan, berbagai pertemuan

telah diselenggarakan dalam kerangka ASEAN,

seperti ASEAN Central Bank Forum, ASEAN Finance

Minister and Central Bank Deputies, serta ASEAN

Finance Ministers. Perkembangan penting yang dapat

dicatat adalah kesepakatan mengenai fasilitas

Bilateral Swap Arrangement (BSA) yang bertujuan

memberikan bantuan keuangan jangka pendek dalam

bentuk swap kepada negara yang ikut serta dalam

Chiang Mai Initiative. Dalam tahun laporan, negara-

negara anggota ASEAN+3 —ASEAN dan ketiga

negara mitranya, yaitu Jepang, RRC, dan Korea—

telah menandatangani beberapa BSA. BSA tersebut

dilakukan antara Jepang dan Korea (sebesar $2

miliar), Jepang dan Thailand (sebesar $3 miliar),

Jepang dan Malaysia (sebesar $1 miliar), serta

Jepang dan Filipina ($3 miliar). Khusus untuk

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

205

Indonesia, sampai saat ini BSA belum dapat direali-

sasikan karena beberapa masalah yang belum dise-

pakati antara Indonesia dengan ketiga negara mitra

ASEAN tersebut. Masalah tersebut diantaranya

adalah belum jelasnya jumlah maksimum jaminan

pemerintah untuk fasilitas BSA yang diberikan.

Perkembangan lain adalah kelanjutan dari

pembentukan Task Force on ASEAN Currency and

Exchange Rate Regime. Negara-negara ASEAN telah

sepakat untuk melaksanakan feasibility study bagi ke-

mungkinan penerapan ASEAN Currency and Ex-

change Rate Mechanism dengan tujuan: (i) mening-

katkan stabilitas finansial terutama pada tingkat regio-

nal, (ii) menghindari kemungkinan krisis keuangan di

masa mendatang, dan (iii) menggalakkan perdaga-

ngan dan investasi melalui penurunan biaya transaksi.

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

206

bab 11 PROSPEK EKONOMI DANARAH KEBIJAKAN TAHUN 2002

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

207

b a b 11

PROSPEK EKONOMI DAN ARAH KEBIJAKAN TAHUN 2002

P rospek ekonomi tahun 2002 diperkirakan masih

menghadapi tantangan yang cukup berat. Adanya

ancaman resesi ekonomi global dan berbagai per-

masalahan struktural di dalam negeri menyebabkan

sumber-sumber pertumbuhan ekonomi menjadi

terbatas. Dengan asumsi kondisi sosial politik

semakin membaik, tekanan nilai tukar semakin

berkurang dan restrukturisasi ekonomi berjalan lebih

baik, pertumbuhan ekonomi tahun 2002 diprakirakan

akan mencapai kisaran 3,5%–4,0%.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi

masih akan lebih banyak bertumpu pada pertumbuhan

domestik terutama konsumsi swasta. Sementara itu,

kegiatan ekspor dan investasi masih belum begitu

menggembirakan. Prakiraan ini didasari oleh kondisi

ekonomi dunia yang belum akan pulih dalam waktu

dekat sehingga masih belum memberikan iklim yang

kondusif bagi ekspor serta menjadi salah satu kendala

masuknya arus modal luar negeri untuk mendorong

investasi swasta. Dari sisi fiskal, pengeluaran

pemerintah diprakirakan tumbuh melambat sehingga

belum mampu memberikan stimulus terhadap

perekonomian secara berarti. Selanjutnya, mengingat

permintaan domestik diharapkan dapat menjadi motor

pertumbuhan ekonomi, upaya yang lebih serius untuk

mempercepat penyelesaian berbagai permasalahan

mendasar dan faktor risiko dalam negeri menjadi

tantangan yang sangat penting untuk diselesaikan agar

momentum pemulihan ekonomi nasional yang ber-

kesinambungan dapat dipertahankan.

Dari sisi penawaran, hampir seluruh sektor

ekonomi diprakirakan akan memberikan kontribusi

positif terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun

2002. Sejalan dengan masih dominannya peran

konsumsi sebagai mesin utama pertumbuhan, maka

sumbangan terbesar diperkirakan akan berasal dari

sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan,

khususnya perdagangan ritel. Sementara itu, sektor

pertanian diperkirakan belum membaik akibat

kemungkinan datangnya badai El Nino. Kondisi ini

juga dipengaruhi oeh permasalahan yang ada di sisi

produksi dan distribusi pupuk. Komoditas per-

kebunan yang berorientasi ekspor diperkirakan

masih akan mendapat tekanan yang cukup berat

seiring dengan kondisi permintaan dunia yang belum

pulih. Sektor pertambangan diperkirakan tumbuh

positif namun masih relatif rendah terutama akibat

masih tingginya gangguan keamanan pada sektor

ini serta masih lemahnya permintaan luar negeri

terhadap beberapa komoditas tambang. Sektor

lainnya seperti bangunan diprakirakan akan bangkit

sejalan dengan akan direalisasikannya beberapa

proyek besar seperti Jakarta Outer Ring Road

(JORR) dan mulai maraknya penyediaan perumahan

seiring dengan meningkatnya kredit untuk pe-

rumahan.

Sementara itu, nilai tukar rupiah diprakirakan

dapat kembali menguat meskipun masih terdapat

potensi tekanan depresiasi. Di samping faktor

struktural ekonomi, perkembangan nilai tukar di tahun

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

208

2002 akan sangat dipengaruhi oleh sentimen pelaku

pasar terhadap beberapa perkembangan ekonomi

politik seperti masalah kesinambungan fiskal dan

beberapa peristiwa politik menjelang sidang tahunan

MPR. Nilai tukar rupiah diprakirakan secara rata-rata

akan berada pada kisaran Rp9.500/$–Rp10.500/$.

Penguatan nilai rupiah secara signifikan diharapkan

dapat terjadi pada pertengahan tahun sejalan dengan

terus membaiknya risiko politik, keuangan, dan eko-

nomi. Prakiraan tersebut juga didukung oleh mem-

baiknya kinerja neraca pembayaran yang terutama

disebabkan oleh membaiknya lalu lintas modal.

Proyeksi ini akan lebih optimis apabila dalam waktu

dekat terdapat kemajuan dalam pelaksanaan

program-program ekonomi pemerintah sehingga

dapat memperbaiki persepsi pelaku pasar, termasuk

adanya kemajuan yang signifikan dalam penjualan

aset oleh BPPN dan privatisasi BUMN.

Tekanan laju inflasi pada tahun 2002 dipra-

kirakan akan masih tinggi yang bersumber dari

tingginya ekspektasi inflasi, meningkatnya per-

mintaan yang kurang diimbangi oleh peningkatan

penawaran serta dampak kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan. Intensitas tekanan

inflasi diprakirakan akan semakin bertambah apabila

pengaruh El Nino mengakibatkan terjadinya gang-

guan produksi dan distribusi pangan yang sangat

signifikan. Memperhatikan berbagai faktor di atas,

sasaran inflasi IHK di tahun 2002 ditetapkan pada

kisaran 9%–10%.

Untuk mencapai sasaran inflasi yang cukup

realistis tersebut, kebijakan moneter akan dilakukan

secara berhati-hati dan terukur agar kestabilan harga

tetap terjaga untuk mendukung proses pemulihan

ekonomi yang sedang berjalan, sehingga dalam

jangka panjang dapat dicapai pertumbuhan ekonomi

yang berkesinambungan. Secara operasional, Bank

Indonesia akan mengoptimalkan instrumen-instrumen

moneter terutama melalui operasi pasar terbuka

(OPT) dan sterilisasi valas guna mengurangi tekanan

terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah. Di samping itu,

upaya untuk memulihkan fungsi intermediasi per-

bankan akan terus dilakukan antara lain dengan lebih

mendorong perbankan agar menyalurkan kredit ke

sektor-sektor ekonomi yang telah siap dan memiliki

risiko relatif lebih rendah.

Selanjutnya, mengingat konsumsi masih

akan merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi

di tahun mendatang maka diperlukan berbagai

kebijakan untuk mengatasi berbagai kendala pembia-

yaan dan distribusi di sisi penawaran agar kenaikan

konsumsi tidak menimbulkan dampak kenaikan harga

yang berlebihan. Di samping itu, dengan banyaknya

faktor-faktor nonmoneter yang mempengaruhi inflasi,

koordinasi dengan berbagai pihak khususnya peme-

rintah mutlak diperlukan untuk meminimalkan dampak

tekanan inflasi yang berasal dari kebijakan peme-

rintah, penurunan pasokan dan terganggunya distri-

busi barang dan jasa.

Optimisme terhadap beberapa indikator yang

dijadikan asumsi dasar dalam menyusun proyeksi di

atas masih dihadapkan pada berbagai tantangan dan

risiko ketidakpastian. Walaupun faktor tersebut telah

diidentifikasi pada tahun sebelumnya, upaya pe-

nanganannya masih belum menunjukkan kemajuan

yang berarti sehingga dapat meningkatkan ekspektasi

negatif masyarakat terhadap proses pemulihan

ekonomi. Untuk itu, percepatan penanganan berbagai

masalah tersebut harus dilakukan agar dapat me-

ngembalikan kepercayaan masyarakat.

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

209

TANTANGAN KE DEPAN

Memperhatikan proses penanganan ber-

bagai permasalahan mendasar dan faktor risiko di

tahun 2001 yang tidak secepat dari yang diperkira-

kan, tantangan yang dihadapi dalam upaya pengen-

dalian moneter di tahun 2002 cenderung akan

semakin berat. Upaya mengatasi berbagai faktor

risiko dan ketidakpastian tersebut akan menjadi kunci

keberhasilan untuk menjamin prospek pemulihan

ekonomi yang lebih baik pada tahun-tahun menda-

tang. Berbagai faktor risiko dan ketidakpastian

tersebut mencakup :

• Pertama, akselerasi penyelesaian restukturisasi

utang perusahaan- baik utang luar negeri

maupun utang kepada perbankan dalam negeri-

relatif berjalan lambat. Kondisi ini telah menye-

babkan peningkatan kegiatan ekonomi dan

penyaluran kredit perbankan tidak dapat berjalan

lebih cepat, karena sebagian besar perusahaan

yang masih dalam proses restrukturisasi tersebut

merupakan komponen terbesar dari per-

ekonomian nasional. Masih tingginya utang luar

negeri yang belum direstrukturisasi juga mencer-

minkan potensi terjadinya tekanan depresiasi

nilai tukar apabila permintaan valuta asing (valas)

untuk pembayaran utang luar negeri tidak

terpenuhi oleh pasar.

• Kedua, proses intermediasi perbankan yang

belum sepenuhnya berjalan normal. Ekspansi

kredit perbankan masih terbatas sejalan dengan

masih tingginya risiko usaha di sektor riil dan

masih berlangsungnya konsolidasi internal di

sektor perbankan. Kondisi ini sangat membatasi

sumber pembiayaan kegiatan ekonomi, sehingga

kegiatan ekonomi lebih banyak dibiayai oleh dana

sendiri (self-financing). Selanjutnya, terbatasnya

sumber pembiayaan dari sektor perbankan terkait

erat dengan keengganan bank untuk mena-

namkan kelebihan likuiditasnya ke dalam bentuk

kredit. Hal ini dikuatirkan akan menjadi sarana

berspekulasi yang pada gilirannya dapat memberi

tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi.

• Ketiga, beban keuangan pemerintah yang berat.

Beban pembayaran utang pemerintah dan penge-

luaran subsidi yang relatif masih tinggi meng-

akibatkan upaya memberikan stimulus pertum-

buhan ekonomi menjadi terbatas. Dengan posisi

utang luar negeri yang relatif besar, upaya untuk

mengurangi beban anggaran pemerintah akan

sangat tergantung pada keberhasilan negosiasi

Paris Club III.

• Keempat, relatif masih tingginya ketidakpastian

hukum. Kondisi ini selain memicu timbulnya

persepsi negatif investor luar negeri juga memper-

sulit upaya perbaikan country risk Indonesia se-

hingga membawa dampak yang kurang mengun-

tungkan bagi upaya restrukturisasi utang luar

negeri serta mengurangi minat investor asing

untuk melakukan investasi di Indonesia.

• Kelima, munculnya berbagai peraturan baru yang

terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah

sehingga menyebabkan kurang kondusifnya iklim

investasi di daerah. Di samping itu, pemanfaatan

Dana Alokasi Umum (DAU) secara tidak efisien

menyebabkan stimulus ekonomi dari sektor

pemerintah menjadi semakin terbatas.

• Keenam, di sisi eksternal, meskipun diperkirakan

akan mulai membaik pada semester kedua,

secara keseluruhan perekonomian dunia masih

akan mengalami resesi pada tahun 2002. Kondisi

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

210

ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja

sektor eksternal ekonomi Indonesia. Di samping

itu, pemberlakuan Asean Free Trade Area (AFTA)

sejak awal tahun 2002, di satu sisi dapat mem-

buka peluang ekspor, namun di sisi lain akan

mendorong masuknya pesaing luar negeri yang

dapat mengancam kinerja produsen dalam

negeri.

PROSPEK EKONOMI GLOBAL

Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia

Perlambatan ekonomi global yang terjadi di

tahun 2001 diprakirakan masih akan berlanjut di

tahun 2002. Perlambatan ini tidak terlepas dari

kebijakan moneter ketat yang diterapkan oleh mayo-

ritas negara maju dalam dua tahun terakhir untuk

meredam tekanan permintaan domestik yang

dianggap terlalu tinggi. Namun demikian, kebijakan

tersebut ternyata menimbulkan dampak kontraksi

yang lebih besar dan lebih cepat dari prakiraan.

Sementara itu, tragedi WTC telah menimbulkan

kekhawatiran terjadinya kontraksi pertumbuhan

ekonomi yang lebih besar sehingga memicu mayo-

ritas negara maju untuk melakukan ekspansi moneter

dan fiskal secara lebih agresif untuk kembali men-

dorong permintaan. Berdasarkan hal tersebut, IMF

memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia

sebesar 2,4% pada tahun 20021 dimana pemulihan

kegiatan ekonomi yang signifikan diharapkan akan

terjadi pada semester II tahun 2002. Sejalan dengan

itu, pertumbuhan volume perdagangan dunia diper-

kirakan juga akan sedikit meningkat dari 1,3% di

tahun 2001 menjadi 2,5% di tahun 2002.

Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju

secara umum diprakirakan masih akan melambat.

Perekonomian Amerika Serikat yang menjadi lokomotif

ekonomi global akan mengalami perlambatan dan

hanya akan tumbuh sebesar 0,7% di tahun 2002.

Perekonomian Uni Eropa hanya akan tumbuh sebesar

1,3% di tahun 2002 yang utamanya disebabkan oleh

melemahnya permintaan domestik di Jerman.

Sementara itu, perekonomian Jepang yang telah

mengalami resesi ekonomi lebih dari satu dasawarsa,

diprakirakan akan semakin memburuk dengan

pertumbuhan sebesar –1,0% di tahun 2002. Sedang-

kan pertumbuhan ekonomi negara industri baru di Asia

seperti Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan

Taiwan diprakirakan akan tumbuh masing-masing

sebesar 3,2%, 1,2%, 1,0% dan 0,7%.

Meskipun kondisi perekonomian global masih

diliputi oleh ketidakpastian dan risiko yang tinggi

namun peluang terjadinya proses pemulihan ekonomi

yang lebih cepat diprakirakan masih terbuka. Selain1 IMF, World Economic Outlook, Desember 2001

Tabel 11.1

Pertumbuhan Ekonomi Di Berbagai Kawasan Dunia

Rincian 2000* 2001** 20022)

Pertumbuhan Ekonomi Dunia 4,7 2,4 2,4Negara Industri 3,9 1,1 0,8

Amerika Serikat 4,1 1,0 0,7Jepang 2,2 –0,4 –1,0Uni Eropa 3,4 1,7 1,3Negara Industri Baru Asia 8,2 0,4 2,0

Negara Berkembang 5,8 4,0 4,4Afrika 2,8 3,5 3,5Asia 6,8 5,6 5,6China 8,0 7,3 6,8ASEAN - 41) 5,0 2,3 2,9Amerika Latin 4,1 1,0 1,7Negara Transisi 6,3 4,9 3,6

Sumber : IMF, World Economic Outlook, Desember 2001

1) Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand

2) Angka Proyeksi

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

211

didorong oleh adanya dukungan kebijakan moneter

dan fiskal yang lebih longgar, proses membaiknya

kepercayaan konsumen yang berlangsung lebih cepat

diprakirakan akan mampu mempercepat terjadinya

pemulihan ekonomi global. Di samping itu, relatif

masih rendahnya harga minyak dan membaiknya

kondisi pasar teknologi informasi juga akan mampu

mendorong produktivitas serta mempercepat pemu-

lihan kapasitas produksi.

Prospek ekonomi di negara berkembang,

kecuali beberapa negara tertentu seperti Cina dan

India, secara umum masih akan cenderung kurang

menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi di Ame-

rika Latin ditengarai akan mengalami penurunan

yang paling buruk yang utamanya dipengaruhi oleh

terjadinya krisis keuangan dan kondisi politik yang

tidak menentu di Argentina dan krisis energi di Brasil.

Inflasi dan Sukubunga Internasional

Dengan melemahnya permintaan dunia serta

kecenderungan menurunnya harga minyak di pasar

internasional, inflasi dunia diprakirakan akan semakin

menurun di tahun 2002. Kecenderungan menurunnya

inflasi terutama akan dialami oleh mayoritas negara

maju. Sementara itu inflasi di negara-negara ber-

kembang akan banyak dipengaruhi oleh perkem-

bangan di sektor eksternalnya. Terkait dengan hal

tersebut inflasi di negara maju akan mencapai 1,3%.

Sementara itu inflasi di negara-negara berkembang

akan mencapai 5,3%.

Untuk menangkal berlanjutnya penurunan

permintaan agregat, kebijakan moneter di negara-

negara maju diprakirakan masih akan cenderung

longgar sehingga perkembangan suku bunga pasar

jangka pendek akan cenderung masih rendah.

Sementara itu, suku bunga jangka panjang akan relatif

lebih tinggi seiring dengan ekspektasi membaiknya

kondisi perekonomian dunia.

Prospek Harga Komoditas Pasar Internasional

Secara umum, harga pasar komoditas inter-

nasional di tahun 2002 cenderung masih rendah.

Selain disebabkan oleh lemahnya permintaan, sulit-

nya mendongkrak harga komoditas juga disebab-

kan oleh tingginya tingkat produksi di tahun sebe-

lumnya sehingga terjadi penumpukan persediaan

barang yang cukup besar. Terkait dengan hal ter-

sebut, tingkat harga beberapa komoditas ekspor

Indonesia seperti komoditas tambang dan pertanian

diprakirakan masih akan menghadapi tekanan yang

cukup berat. Di samping itu, kondisi permintaan

yang lemah dapat memicu terjadinya persaingan

harga yang semakin tajam sehingga merugikan

negara eksportir. Dengan demikian, untuk mengu-

rangi pengaruh tekanan harga bagi Indonesia,

perluasan dan diversifikasi pasar penting dilakukan

meskipun secara teknis ketergantungan terhadap

pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan

Tabel 11.2

Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Internasional

Rincian 2000 2001 2002

Tingkat Inflasi

Negara Industri 2,3 2,3 1,3

Negara Berkembang 5,9 6,0 5,3

Negara Transisi 20,1 16,0 11,0

Suku Bunga Jangka Pendek

Amerika Serikat 6,6 3,8 2,8

Jepang 0,3 0,2 0,1

Uni Eropa 4,6 4,1 2,9

Sumber : IMF, World Economic Outlook, Desember 2001

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

212

Jepang relatif masih akan sulit diatasi dalam jangka

pendek.

Relatif lemahnya pertumbuhan ekonomi

negara maju juga akan mendorong turunnya harga

minyak sehingga cenderung bergerak dalam batas

bawah kisaran harga yang disepakati oleh anggota

OPEC, yaitu $22/barel. Hal ini antara lain disebabkan

oleh kebutuhan musim dingin yang relatif normal serta

relatif tingginya persediaan minyak Amerika Serikat

akibat adanya kelebihan pasok pasar minyak

internasional di tahun 2001.

Untuk mendorong stabilitas harga minyak

agar kembali pada kisaran harga $22 – $28 per barel,

negara anggota OPEC telah sepakat untuk melaku-

kan pengurangan kuota produksi minyak sebesar 1,5

juta barel per hari sejak 1 Januari 2002. Meskipun

demikian, agar kebijakan tersebut dapat berjalan

efektif, pengurangan jumlah kuota produksi OPEC

perlu diimbangi pula dengan kebijakan serupa oleh

negara penghasil minyak non OPEC seperti Rusia,

Norwegia, Oman dan Mexico. Terkait dengan kebi-

jakan OPEC tersebut, kuota produksi minyak

Indonesia diperkirakan akan berkurang sekitar 77 ribu

barel per hari.

PROSPEK EKONOMI INDONESIA

Pertumbuhan ekonomi tahun 2002 dipra-

kirakan masih akan relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Hal ini

antara lain ditunjukkan oleh pergerakan Leading

Indikator Ekonomi (LIE) (Grafik 11.2) yang masih

menunjukkan kecenderungan yang meningkat.

Tingginya pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh

hasil survei yang menunjukkan adanya peningkatan

tingkat hunian(occupancy rate) kantor.

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi

diprakirakan masih akan bersumber dari mening-

Grafik 11.2

Leading Indikator Ekonomi

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2001

PDB (Aksis Kiri)

Komposit (Aksis Kanan)

Trend Komposit (Aksis Kanan)

9 3 6 9 3 6 9 3 6 9 3 6 9 3 6 9 3

1,4

1,3

1,3

1,1

1,0

0,9

0,8

0,7

0,6

0,5

15,0

10,0

5,0

0,0

-5,0

-10,0

-15,0

-20,0

Persen

Grafik 11.1

Perkembangan Harga Komoditi Ekspor

Harga Internasional Komoditi Perkebunan

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100Kokoa Minyak Sawit Kayu

Kopi (aksis kanan) Karet (aksis kanan)

1/5 1/19 2/2 2/16 3/2 3/163/30 4/134/275/11 5/25 6/8 6/22 7/6 7/20 8/3 8/178/319/149/2810/1210/2611/911/2312/712/21

2 0 0 1

0

50

100

150

200

250

300

350

400Nikel (aksis kanan) Timah (aksis kanan) Tembaga

Timbal

Aluminium

1/5 1/19 2/2 2/16 3/2 3/16 3/30 4/13 4/27 5/11 5/25 6/8 6/22 7/6 7/20 8/3 8/17 8/31 9/14 9/2810/1210/26 11/911/2312/712/21

2 0 0 1

Harga Internasional Komoditi PertambanganIndeks

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

213

ekspor relatif lemah, pertumbuhan impor diprakirakan

masih akan cukup tinggi yang terutama didorong oleh

masih kuatnya permintaan domestik.

Relatif tingginya pertumbuhan konsumsi

antara lain didukung oleh hasil survei konsumen

rumah tangga yang masih menunjukkan kecen-

derungan yang optimis didorong oleh ekspektasi

membaiknya penghasilan dalam periode 6 – 12 bulan

mendatang serta ekspektasi membaiknya kondisi

makroekonomi (Grafik 11.3). Dari sisi pembiayaan,

kecenderungan meningkatnya penyaluran kredit

konsumsi juga masih akan berlanjut sehingga

pengeluaran konsumsi untuk barang-barang tahan

lama juga akan meningkat. Optimisme kenaikan

konsumsi masyarakat tercermin pula dari perilaku

produsen yang banyak melakukan impor bahan baku

dan barang modal - di tengah kondisi ekspor yang

menurun - di tiga triwulan pertama tahun 2001.

Konsumsi pemerintah masih akan mampu

tumbuh meskipun lebih rendah dibandingkan tahun

sebelumnya seiring dengan menurunnya

pengeluaran rutin pemerintah. Dilihat dari alokasinya,

keterbatasan pemerintah untuk mendorong

katnya permintaan domestik terutama untuk kegiatan

konsumsi, sementara permintaan luar negeri dipra-

kirakan masih rendah akibat lemahnya permintaan

dari mayoritas negara yang menjadi pasar tradisional

produk ekspor Indonesia. Dari sisi penawaran,

tingginya permintaan dalam negeri tersebut

diprakirakan akan diimbangi oleh peningkatan kinerja

di sektor industri pengolahan, sektor perdagangan,

dan sektor transportasi. Secara keseluruhan ekonomi

Indonesia tahun 2002 akan tumbuh dalam kisaran

3,5%–4,0%.

Di samping berbagai faktor risiko yang

berasal dari dalam negeri, proyeksi angka per-

tumbuhan tersebut pada dasarnya akan sangat

tergantung pada kecepatan pemulihan kegiatan

perdagangan luar negeri serta perkembangan harga

komoditas di pasar internasional. Sebagaimana

diungkapkan sebelumnya, perkembangan harga

komoditas ekspor utama Indonesia termasuk minyak

mentah cenderung masih akan tertekan di pasar

internasional. Dapat dikemukakan, adanya penuru-

nan harga minyak sebesar $2/barel secara agregat

diprakirakan dapat menyebabkan turunnya pertum-

buhan ekonomi kurang lebih sebesar 0,23%.

Prospek Permintaan

Dari sisi permintaan, kegiatan ekonomi di

tahun 2002 masih akan disumbang oleh pertumbuhan

permintaan domestik. Konsumsi yang telah mencatat

pertumbuhan yang signifikan di tahun 2001 di-

prakirakan masih akan mampu tumbuh positif di tahun

2002. Pertumbuhan investasi diperkirakan akan

meningkat, sedangkan pertumbuhan ekspor dipra-

kirakan masih akan terbatas sejalan dengan masih

lemahnya permintaan eksternal. Meskipun kegiatan

Total Konsumsi 6,2 4,3 - 4,8

Konsumsi Swasta 5,9 4,3 - 4,8

Konsumsi Pemerintah 8,2 4,8 - 5,3

Total Investasi 4,0 6,0 - 6,5

Ekspor Barang dan Jasa 1,9 2,3 - 2,8

Impor Barang dan Jasa 8,1 8,3 - 8,8

PDB Riil 3,3 3,5 - 4,0

J e n i s2001** 20021)

Tabel 11.4

Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran

1) Angka Proyeksi Bank Indonesia

Persen

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

214

pertumbuhan konsumsi disebabkan oleh relatif masih

tingginya alokasi pengeluaran beban pembayaran

bunga utang pemerintah dan subsidi yang di-

anggarkan dalam APBN 2002. Meskipun demikian,

pangsa pengeluaran APBN 2002 untuk Dana Alokasi

Umum yang mencapai lebih dari 20% dari total belanja

pemerintah diharapkan mampu mendorong konsumsi

terutama pada lapisan masyarakat di daerah.

Kegiatan investasi diprakirakan masih akan

tumbuh positif di tahun mendatang. Di satu sisi,

kecenderungan pasar internasional saat ini yang

semakin cenderung berhati-hati kemungkinan masih

akan berlanjut hingga mempersulit upaya untuk

menarik masuk investor luar negeri. Namun dari sisi

yang lain, berbagai data mikro masih memperlihatkan

adanya minat investasi yang cukup tinggi. Tingginya

minat investasi juga didukung oleh hasil survei

kegiatan usaha yang masih menunjukkan kecen-

derungan yang positif. Beberapa perusahaan besar

di sektor pertambangan dan industri pengolahan

bahkan telah merencanakan ekspansi yang cukup

tinggi di tahun 2002. Dengan kecenderungan

persetujuan PMA dan PMDN yang menurun, pertum-

buhan investasi di tahun mendatang diprakirakan

akan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang

telah lama mapan di Indonesia.

Sementara dari sisi pembiayaan,

pertumbuhan investasi diharapkan dapat didukung

oleh peningkatan kegiatan intermediasi perbankan

domestik, di samping pembiayaan dari supplier dan

sumber internal perusahaan. Selain itu, dengan

adanya kesungguhan pemerintah untuk memacu

investasi termasuk diantaranya rencana pendirian

lembaga penyedia dana investasi serta rencana

peningkatan penyaluran kredit untuk usaha kecil dan

menengah (UKM), diharapkan peluang untuk

memacu kegiatan investasi swasta akan semakin

terbuka. Di samping kondisi fundamental ekonomi

yang lebih kondusif, membaiknya kondisi sosial politik

diharapkan dapat lebih mendorong optimisme

pengusaha untuk tidak lagi menunda realisasi

investasinya di Indonesia.

Pertumbuhan investasi pemerintah

diprakirakan akan masih terbatas bahkan sedikit lebih

rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Relatif

rendahnya pertumbuhan investasi pemerintah

terutama disebabkan oleh terbatasnya sumber

pembiayaan pemerintah khususnya pinjaman program

dan pinjaman proyek. Dari sisi APBN, keterbatasan

mobilisasi pembiayaan tersebut tercermin dari rencana

defisit APBN 2002 yang menurun dari 3,7% PDB di

tahun 2001 menjadi 2,5% PDB di tahun 2002. Secara

nominal, total pengeluaran pemerintah untuk

pengeluaran investasi diprakirakan akan mencapai

Rp77,7 triliun dimana sebesar 32,6% dari jumlah

tersebut dialokasikan kepada pemerintah daerah.

Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekspor

diprakirakan akan meningkat meskipun relatif rendah

Grafik 11.3

Survei Ekspektasi Konsumen

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Kondisi Ekonomi

Kondisi Keuangan

2 0 0 1

Persen

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

215

akibat kondisi perekonomian dunia yang diprakirakan

baru akan pulih pada paro kedua tahun 2002. Pertum-

buhan ekspor diprakirakan akan lebih banyak

didorong oleh peningkatan ekspor nonmigas meski-

pun beberapa komoditas diprakirakan masih akan

mendapat tekanan yang cukup berat. Sementara itu,

ekspor migas diprakirakan akan mengalami

pertumbuhan negatif akibat harga minyak yang masih

cenderung rendah serta diturunkannya kuota produksi

minyak Indonesia. Beberapa komoditas ekspor

nonmigas yang diprakirakan akan terkena dampak

melemahnya perekonomian negara maju antara lain

adalah produk pipa baja (70% pasar ekspor pipa baja

ke Amerika Serikat), tekstil (26% pasar tekstil ke

Amerika Serikat) serta produk kerajinan dan furniture

untuk pasar Eropa (Jerman dan Denmark). Gambaran

pertumbuhan ekspor yang relatif kurang meng-

gembirakan tersebut didukung oleh data-data awal

dari berbagai asosiasi yang menunjukkan berkurang-

nya permintaan dari negara-negara yang secara

tradisional menjadi tujuan pasar ekspor.

Di samping faktor permintaan dunia,

rendahnya pertumbuhan ekspor juga dipengaruhi oleh

harga komoditas di pasar internasional yang secara

umum belum akan mencatat peningkatan berarti.

Tingkat harga yang relatif rendah diprakirakan masih

akan dialami oleh beberapa komoditas andalan

seperti komoditas pertanian dan komoditas tambang

termasuk minyak mentah. Faktor lain yang

mempengaruhi ekspor adalah tendensi meningkatnya

persaingan eksportir di pasar internasional akibat

menciutnya permintaan global, sehingga mempenga-

ruhi kemampuan daya saing produk ekspor Indonesia.

Selain itu, faktor kekhawatiran pihak luar negeri me-

ngenai kesinambungan pasokan ekspor akibat

persepsi negatif mengenai situasi keamanan di

Indonesia diprakirakan juga masih ada.

Sementara itu, pertumbuhan impor

diprakirakan masih cukup tinggi yang terutama di-

sebabkan oleh masih tingginya konsumsi masyarakat

serta sedikit meningkatnya pertumbuhan ekspor. Di

samping permintaan domestik yang cukup tinggi,

harga komoditas dunia cenderung masih rendah serta

nilai tukar yang relatif menguat diprakirakan akan

memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan

impor. Faktor lain yang mendorong pertumbuhan

impor ditengarai oleh terbatasnya kapasitas produksi

beberapa komoditas pertanian baik akibat adanya

penurunan produktivitas maupun terjadinya gang-

guan alam. Meskipun demikian, beberapa kebijakan

pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi

tingginya ketergantungan terhadap barang impor baik

melalui kebijakan untuk merangsang peningkatan

produksi dalam negeri maupun dengan kebijakan

proteksi perdagangan akan sedikit banyak meredam

serbuan barang impor dalam tahun mendatang.

Prospek Penawaran

Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi yang

moderat di tahun 2002 akan disumbang oleh hampir

seluruh sektor ekonomi dengan sumbangan terbesar

masih berasal dari sektor industri pengolahan dan

sektor perdagangan.

Kinerja sektor pertanian pada tahun 2002

diperkirakan belum membaik, terutama pada tanaman

pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan

datangnya badai El Nino, permasalahan distribusi

pupuk ke petani sehubungan dengan dibebaskannya

produsen mengekspor pupuk ke luar negeri, dan

terbatasnya pembiayaan kepada petani. Pemenuhan

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

216

kebutuhan pupuk dalam negeri diperkirakan masih

kurang mengingat belum optimalnya produksi pupuk

di Aceh akibat masih tersendatnya pasokan gas dari

Exxon. Produksi tahun 2002 diperkirakan mengalami

penurunan sebesar 1,89% akibat turunnya luas

panen.2

Sementara itu, sebagai dampak menurun-

nya permintaan luar negeri, ekspor produk pertanian,

seperti kayu, karet, kopi, dan teh, diperkirakan masih

melemah. Penurunan produksi yang cukup besar

diprakirakan akan dialami komoditas kopi yang

menurun sekitar 20%–25%. Penurunan tersebut

diperkirakan akibat kurangnya pemeliharaan kebun

kopi rakyat -khususnya dalam pemupukan- akibat

rendahnya pendapatan petani dari hasil penjualan

biji kopi yang harganya turun. Sementara itu,

subsektor kehutanan diprakirakan belum menunjuk-

kan kinerjanya yang berarti karena adanya kerusak-

an hutan yang cukup parah serta maraknya penja-

rahan, pencurian, dan penyelundupan kayu.

Namun di sisi lain, produksi 4 komoditas

holtikultura unggulan, yaitu buah-buahan, sayuran,

aneka tanaman, dan tanaman hias, di tahun 2002

diprakirakan meningkat 17%, yakni dari 16,1 juta ton

menjadi 18,9 juta ton. Selain itu, produksi ternak dan

hasil ternak diprakirakan juga meningkat sehingga

memberikan sumbangan positif terhadap kinerja

sektor pertanian seperti halnya pada tahun 2001.

Sektor pertambangan diprakirakan akan

tumbuh positif, meskipun masih relatif rendah. Faktor

keamanan dan ketidakpastian hukum, terutama pada

aktivitas penambangan liar, masih menjadi masalah

pada sektor ini. Selain itu, permintaan ekspor barang

tambang, seperti timah, tembaga, nickel, aluminium,

dan batu bara, diperkirakan akan mengalami penu-

runan. Namun demikian, investasi di bidang pertam-

bangan diantaranya oleh British Petroleum, Exxon

Mobil, Unocal, dan Gulf untuk eksplorasi minyak dan

gas di wilayah Jawa Tengah dan Papua diperkirakan

masih tetap berlangsung.

Sektor industri pengolahan diprakirakan

masih menjadi motor penggerak ekonomi yang

terutama didorong oleh tingginya permintaan do-

mestik. Hal ini dapat dilihat dari prakiraan mening-

katnya utilisasi industri. Diantara industri-industri

manufaktur yang berencana untuk menambah jumlah

produksinya atau meningkatkan tingkat utilisasinya

di tahun 2002 adalah industri perakitan sepeda motor,

industri elektronika, industri minuman, industri ban,

industri semen, industri farmasi, industri pakan ternak,

dan industri plastik. Selain itu, beberapa industri

bahkan berencana untuk melakukan ekspansi,

diantaranya adalah industri lampu, industri perce-

takan, dan industri kemasan. Sementara itu, sebagai

dampak dari lesunya perekonomian Amerika Serikat

S e k t o r2001** 20021)

Pertanian 0,6 -0,2 – 0,3

Pertambangan -0,6 0,7 – 1,2

Industri Pengolahan 4,3 5,0 – 5,5

Listrik 8,4 9,4 – 9,9

Bangunan 4,0 3,9 – 4,4

Perdagangan 5,1 5,3 – 5,8

Angkutan 7,5 6,5 – 7,0

Keuangan 3,0 3,3 – 3,8

Jasa 2,0 1,5 – 2,0

Total 3,3 3,5 – 4,0

Tabel 11.4

Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha

1) Angka Proyeksi Bank Indonesia

Persen

2 Angka Ramalan I BPS bulan Februari 2002

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

217

naik rata-rata 4,7% hingga 9,4%. Maraknya bisnis

properti ini ditunjang oleh trend yang meningkat pada

penjualan semen dan prakiraan meningkatnya kredit

di sektor properti sebesar 15,6% dibandingkan

dengan tahun 2001.

Sektor perdagangan diprakirakan akan

tumbuh cukup tinggi. Pasar ritel daerah Bogor -

Tangerang-Bekasi diperkirakan akan mulai bergairah

di tahun 2002, sedangkan pasar ritel Jakarta sudah

mulai bergerak tahun 2001. Pertumbuhan penjualan

ritel untuk tahun 2002 diperkirakan sebesar 15%. Hal

ini antara lain didukung oleh adanya rencana penam-

bahan beberapa gerai baru minimarket Indomaret di

Surabaya, rencana perluasan Rimo di Balikpapan,

Riau, dan Pontianak, serta rencana penambahan

beberapa gerai baru Ramayana di daerah tingkat satu

dan tingkat dua di luar pulau Jawa. Tingginya pen-

jualan ritel ini menunjukkan bahwa permintaan

domestik menjadi penggerak utama pertumbuhan

ekonomi. Indikator lainnya adalah penjualan sepeda

motor yang masih menunjukkan trend yang naik dan

diperkirakan terus berlanjut di tahun 2002 mendatang.

Sementara itu, trend pertumbuhan kunjungan

wisatawan mancanegara ke Indonesia di tahun 2002

diprakirakan akan membaik. Hal ini disebabkan

meningkatnya wisatawan yang berulang kali mengun-

jungi Indonesia (repeator tourists) dan adanya ten-

densi pengalihan kunjungan wisata dari tujuan semula

ke Amerika dan Eropa menjadi ke Asia. Kunjungan

wisatawan mancanegara tahun 2002 diprakirakan

berjumlah 5,3 juta naik dari 5,0 juta di tahun 2001.

Sektor angkutan menyumbang pertumbuh-

an ekonomi terbesar ketiga setelah sektor industri dan

sektor perdagangan. Sektor ini diperkirakan akan

tumbuh relatif tinggi di tahun 2002. Tragedi WTC tidak

dan Uni Eropa (global recession), beberapa industri

unggulan ekspor seperti industri TPT (Tekstil dan

Produk Tekstil) dan industri alas kaki diperkirakan

mengalami penurunan produksi paling tidak hingga

awal semester kedua tahun 2002.

Sektor listrik diprakirakan masih akan

tumbuh tinggi. Meskipun kapasitas dan produksi listrik

oleh PLN di Jawa-Bali tahun 2002 diprakirakan tidak

mengalami peningkatan yang berarti, namun kapa-

sitas IPP (Independent Power Producer) mengalami

peningkatan. Peningkatan kapasitas tersebut sebagai

upaya untuk merespon tingginya permintaan yang

tercermin dari meningkatnya trend penjualan listrik.

Tingginya rata-rata pertumbuhan penjualan listrik dari

tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 sebesar 9,3%

mengindikasikan kebutuhan akan listrik selalu

meningkat dan tinggi. Penjualan tenaga listrik sistem

Jawa Bali oleh PLN pada tahun 2002 diperkirakan

akan tumbuh 10,2%.

Sektor bangunan akan mulai bangkit pada

tahun 2002. Beberapa proyek besar seperti

penerusan pembuatan Jakarta Outer Ring Route

(JORR) akan direalisasikan. Pengembang (devel-

oper) perumahan mulai gencar membangun dan

memasarkan rumahnya sejalan dengan besarnya

permintaan tempat tinggal. Subsektor properti ritel dan

rumah tinggal menengah ke bawah diperkirakan

tumbuh, sementara properti perkantoran, apartemen,

kondominium, dan kawasan industri cenderung

stagnan. Penjualan rumah baru pada 2002 men-

datang diperkirakan meningkat sebesar 11%

dibandingkan tahun lalu sebagai akibat terjadinya

ekspansi kredit pemilikan rumah (KPR) perbankan

dan mulai pulihnya daya beli masyarakat. Penjualan

tersebut akan meningkat meskipun harga jual rumah

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

218

berdampak signifikan terhadap kinerja sektor

transportasi, terutama pelayaran dalam negeri. Total

volume kargo kapal untuk pelayaran domestik dan

internasional diproyeksikan meningkat. Jumlah

penumpang kereta api diperkirakan terus mengalami

peningkatan. Selain itu, jumlah penumpang angkutan

udara domestik pada tahun 2002 diperkirakan naik

9,8% menjadi 8,8 juta orang dibanding tahun 2001.

Hal tersebut didorong oleh semakin terjangkaunya

tarif penerbangan dalam negeri dan adanya

pengalihan pasar ke daerah-daerah potensial sebagai

dampak dari otonomi daerah.

Subsektor penerbangan diprakirakan masih

akan mampu tumbuh karena mempunyai captive

market yang besar di pasar domestik terutama

angkutan jamaah haji. Di tahun 2002 diprakirakan

tidak ada penambahan investasi untuk moda ang-

kutan laut dan udara namun pemanfaatan kapasitas

yang ada diprakirakan akan meningkat. Sementara

itu, investasi moda angkutan darat khususnya kereta

api dan bus diprakirakan masih akan meningkat,

termasuk diantaranya rencana pengoperasian KA

penumpang cepat jalur Yogyakarta-Solo-Semarang

yang sedang dirintis oleh pemerintah daerah Jawa

Tengah dan investor lokal.

Kinerja sektor keuangan nasional di tahun

2002 diprakirakan akan lebih baik dibandingkan

tahun 2001. Di subsektor perbankan, berbagai

indikator keuangan diprakirakan akan membaik.

Berdasarkan survei perbankan periode triwulan IV-

2001, permintaan kredit baru diprakirakan akan

meningkat sejalan dengan membaiknya prospek

usaha nasabah.

Sektor jasa diprakirakan masih tumbuh

positif. Implementasi otonomi daerah ditengarai akan

memberikan sumbangan positif pada sektor ini

terutama pada kegiatan pelayanan kepada publik

yang meningkat. Sementara itu, kegiatan hiburan dan

rekreasi diperkirakan masih tetap marak. Dalam pada

itu, Pemda DKI Jakarta berencana membangun

fasilitas pusat wisata belanja dan agribisnis di kawa-

san Bandara-Sukarno Hatta yang menjual produk

ekspor unggulan, termasuk hasil agrobisnis.

PROSPEK NERACA PEMBAYARAN

Kinerja neraca pembayaran Indonesia pada

tahun 2002 secara keseluruhan relatif membaik

dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat

terutama dari membaiknya lalu lintas modal. Semen-

tara itu, transaksi berjalan tetap mencatat surplus

meskipun cenderung menurun bila dibandingkan

dengan tahun 2001.

Menurunnya surplus transaksi berjalan

terutama disebabkan oleh masih rendahnya pertum-

buhan ekspor Indonesia sebagai akibat masih

lambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara

yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia seperti

Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Di samping

faktor permintaan dunia, pertumbuhan ekspor juga

dipengaruhi oleh perkembangan harga komoditas

nonmigas di pasar internasional yang secara umum

relatif masih rendah.

Namun demikian, tekanan permintaan dan

harga tersebut diprakirakan bersifat jangka pendek

dan akan berkurang pada pada paro kedua tahun

2002. Terkait dengan hal itu, ekspor nonmigas

diprakirakan masih akan mampu tumbuh di tahun

2002. Sementara itu, dengan tercapainya kesepa-

katan pembagian jumlah kuota produksi OPEC yang

berlaku sejak Januari 2002, perkembangan harga

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

219

minyak internasional yang pada beberapa bulan

terakhir tahun 2001 berada jauh di bawah kisaran

harga OPEC akan sedikit membaik, meskipun

kenaikan tersebut tidak akan terlalu signifikan.

Dengan perkembangan harga minyak yang masih

rendah serta sedikit berkurangnya kuota produksi

minyak, pertumbuhan ekspor migas masih akan

negatif di tahun 2002. Sementara itu, pertumbuhan

impor diprakirakan masih akan cukup tinggi yang

antara lain didorong oleh masih kuatnya pertum-

buhan konsumsi serta mulai meningkatnya kegiatan

investasi dan ekspor pada tahun 2002.

Secara lebih rinci, transaksi berjalan tahun

2002 akan mencatat surplus sebesar $3,1 miliar, lebih

rendah dari surplus tahun sebelumnya. Transaksi

perdagangan mencatat surplus sebesar $20,3 miliar

dan transaksi jasa-jasa mencatat defisit sebesar $17,3

miliar. Surplus transaksi perdagangan tersebut

terutama disumbang oleh peningkatan ekspor non-

migas sehingga menjadi $48,3 miliar atau meningkat

sebesar 5,5% dibandingkan tahun sebelumnya.

Sementara itu, nilai ekspor migas diperkirakan sebe-

sar $11,4 miliar atau mengalami penurunan sebesar

11,4% dibandingkan tahun lalu. Secara keseluruhan

impor tahun 2002 mencapai $39,4 miliar. Impor

nonmigas akan mencapai $34,0 miliar atau meningkat

sebesar 8,5% dibandingkan tahun lalu. Sementara

itu, defisit transaksi jasa-jasa meningkat sebesar $0,6

miliar menjadi $ 17,3 miliar. Sumber defisit terutama

berasal dari meningkatnya defisit jasa-jasa angkutan

barang yang terkait dengan meningkatnya kegiatan

impor, yakni sebesar $342 juta serta meningkatnya

defisit net investment income sebesar $738 juta.

Sementara itu, sumber penerimaan jasa-jasa ter-

utama akan berasal dari peningkatan kegiatan pari-

wisata sejalan dengan meningkatnya arus turis asing

ke Indonesia. Penerimaan devisa dari kegiatan

pariwisata akan meningkat sebesar $764 juta.

Lalu lintas modal tahun 2002 akan membaik

yang antara lain tercermin dari defisit yang lebih ren-

dah dibandingkan tahun lalu. Perkembangan defisit

lalu lintas modal turun menjadi $2,8 miliar, yang

berasal dari surplus lalu lintas modal pemerintah

bersih sebesar $930 juta dan defisit lalu lintas modal

swasta bersih sebesar $3,8 miliar. Tertundanya

pencairan pinjaman luar negeri pemerintah pada

tahun 2001 yang berkaitan dengan belum terpenuhi-

nya policy matrix, diharapkan akan dapat dicairkan

dalam tahun 2002. Selain itu, untuk mengurangi

beban pembayaran pokok utang luar negeri, peme-

rintah akan tetap mengajukan rescheduling dalam

forum Paris Club III.

Tabel 11.5

Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia

Keterangan 2001* 2002**

A. Transaksi Berjalan 5,0 3,11. Barang 21,6 20,3

a. Ekspor f,o,b, 58,7 59,7- Nonmigas 45,8 48,3- Migas 12,9 11,4

b. Impor f,o,b, -37,0 -39,4- Nonmigas -31,4 -34,0- Migas -5,6 -5,4

2. Jasa -16,7 -17,3a. Nonmigas -12,4 -14,2b. Migas -4,3 -3,0

B. Lalu Lintas Modal -8,9 -2,81. Lalu lintas modal pemerintah (bersih) -0,3 0,9

a. Penerimaan pinjaman 3,3 5,3b. Pelunasan pinjaman -3,6 -4,4

2. Lalu lintas modal swasta (bersih) -8,6 -3,8a. Penanaman modal langsung (bersih) -5,9 -5,3b. Lainnya (bersih) -2,7 1,6

C. Jumlah (A+B) -3,9 0,3

D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2,6 0

E. Lalu Lintas Moneter1) 1,4 -0,3

1) Minus (–) = Surplus, dan sebaliknya

Miliar $

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

220

Defisit lalu lintas modal swasta akan turun

menjadi $3,8 miliar. Lebih rendahnya prakiraan defisit

tersebut terutama disebabkan oleh turunnya prakiraan

pembayaran utang luar negeri sektor swasta sejalan

dengan semakin rendahnya posisi utang luar negeri

swasta dan masih rendahnya pinjaman swasta asing

yang masuk. Selain itu, defisit net portfolio investment

turun dari $1,4 miliar menjadi $0,2 miliar yang

terutama disebabkan oleh prakiraan net debt securi-

ties yang mencatat surplus sebesar $162 juta dari

defisit $1,2 miliar pada tahun 2001.

PROSPEK NILAI TUKAR

Pada tahun 2002, nilai tukar rupiah di-

perkirakan akan mencapai rata-rata antara Rp9.500

– Rp10.500 per dolar3 dengan tingkat volatilitas yang

cenderung lebih rendah dibandingkan tahun sebe-

lumnya. Proyeksi tersebut akan lebih optimis apabila

dalam waktu dekat terdapat beberapa langkah konkrit

dalam program restrukturisasi ekonomi yang dapat

memperbaiki ekspektasi pasar.

Kecenderungan penguatan nilai tukar rupiah

diperkirakan dapat terjadi sejak pertengahan tahun

2002. Hal ini didasari oleh optimisme bahwa kondisi

sosial politik yang menunjukkan kecenderungan

membaik sejak pertengahan tahun 2001 dapat

membuka jalan sekaligus mempercepat penanga-

nan berbagai program restrukturisasi perekonomian,

sehingga dapat tercipta kondisi fundamental

ekonomi yang lebih kondusif. Kendati demikian,

kewaspadaan masih tetap diperlukan terhadap ke-

mungkinan meningkatnya kembali ketidakpastian

kondisi sosial politik tersebut mengingat masih

rawannya proses transformasi demokrasi di dalam

negeri.

Dengan harapan membaiknya kondisi sosial

politik, maka kondisi sektor riil, perbankan, dan

moneter diperkirakan akan lebih kondusif sehingga

proses intermediasi perbankan akan berjalan lebih

baik. Hal ini dapat mengurangi berlebihnya likuiditas

rupiah disektor keuangan yang berpotensi dapat

memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Bertepatan dengan membaiknya kondisi di dalam

negeri tersebut, kondisi ekonomi dunia diperkirakan

akan menunjukkan awal pemulihan sejak perte-

ngahan tahun 2002.

Membaiknya kondisi di dalam dan luar negeri

tersebut pada gilirannya akan memperbaiki kesen-

jangan permintaan dan penawaran valas. Besarnya

kebutuhan valas untuk kegiatan impor dan pemba-

yaran utang luar negeri swasta diperkirakan dapat

diimbangi dengan mulai pulihnya aliran devisa masuk

yang bersumber dari devisa ekspor dan penanaman

modal asing baik dalam bentuk FDI maupun porto-

folio. Selain itu, dengan kecenderungan membaiknya

kondisi sosial politik, tekanan permintaan valas yang

bersumber dari kegiatan spekulasi dan penyelamatan

asset (flight to quality) dapat lebih diminimalisir.

Sementara itu, nilai tukar yang lebih stabil akan

memberikan harapan bagi terdapatnya kepastian

dalam penanganan berbagai permasalahan ekonomi

sehingga dapat berjalan lebih efektif daripada tahun

sebelumnya. Berbagai program restrukturisasi

ekonomi seperti restrukturisasi utang dan korporasi

diperkirakan akan berjalan lebih baik sehingga

tekanan permintaan valas untuk kebutuhan pem-

bayaran utang luar negeri diperkirakan akan mulai

berkurang. Di samping itu, stabilnya nilai tukar rupiah3 Diestimasi dengan menggunakan pendekatan model Technical

Adjusted Behavioral Equilibrium Exchange Rate (BEER)

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

221

dapat mengurangi ketidakpastian kondisi fiskal yang

pada gilirannya dapat mendorong terciptanya

kestabilan ekonomi makro sekaligus memperbaiki

kepercayaan publik.

PROSPEK DAN SASARAN INFLASI

Prospek Inflasi

Perkembangan inflasi di Indonesia

dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi dan

gangguan (shocks) yang berasal dari perkembangan

di luar kondisi makro ekonomi. Kondisi makroekonomi

yang dimaksud terutama adalah perkembangan

permintaan dan penawaran agregat, perkembangan

faktor eksternal yang memiliki pengaruh langsung

terhadap inflasi (efek pass-through) dan ekspektasi

inflasi masyarakat. Sementara itu, faktor di luar kondisi

makro ekonomi adalah adanya penerapan kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan, faktor

alam dan masalah yang terkait dengan produksi dan

distribusi.

Dalam jangka pendek, tekanan inflasi dari

sisi permintaan agregat diperkirakan akan meningkat.

Namun demikian, tekanan inflasi tersebut

diperkirakan bukan diakibatkan oleh permintaan yang

terlalu tinggi (excess demand) melainkan lebih

disebabkan oleh pertumbuhan kapasitas produksi

yang relatif terbatas. Hal ini antara lain tercermin dari

pertumbuhan investasi yang rendah sementara

pertumbuhan konsumsi masyarakat meningkat. Me-

nurunnya produktivitas di sektor pertanian diper-

kirakan juga akan turut menyumbang kenaikan harga-

harga bahan makanan karena tidak mampu mengim-

bangi kenaikan permintaan.

Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi

eksternal diprakirakan tidak terlalu signifikan pada

tahun-tahun mendatang. Perkembangan harga

komoditas di pasar internasional diprakirakan masih

relatif rendah sehingga perkembangan inflasi dunia

diprakirakan belum menunjukkan peningkatan yang

berarti. Di samping itu, perkembangan nilai tukar

tahun 2002 diprakirakan akan sedikit menguat

mencapai rata-rata antara Rp9.500 – Rp10.500 per

dolar terutama berkaitan dengan risiko politik yang

memiliki kecenderungan yang membaik. Walaupun

demikian, pergerakan nilai tukar masih perlu diwas-

padai mengingat efek pass-through nilai tukar yang

sangat signifikan terhadap perkembangan laju

inflasi.

Faktor fundamental lainnya adalah ekspek-

tasi masyarakat terhadap perkembangan inflasi

yang merupakan faktor yang paling dominan dalam

menentukan laju inflasi. Faktor ekspektasi inflasi ini

ditentukan oleh perkembangan inflasi pada periode

lalu (ekspektasi adaptif) dan perkembangan kondisi

perekonomian terutama variabel-variabel yang me-

miliki hubungan erat dengan perkembangan inflasi,

yaitu perkembangan nilai tukar dan kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Untuk

tahun 2002 inflasi yang diekspektasikan oleh

masyarakat diperkirakan sedikit menurun diban-

dingkan dengan inflasi tahun 2001. Hal ini didasar-

kan pada angka rata-rata prakiraan inflasi dari

berbagai lembaga penelitian yang sedikit lebih

rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2001,

yaitu sekitar 10%.

Di luar faktor makro ekonomi, faktor gang-

guan yang diperkirakan akan memberikan tekanan

yang cukup tinggi terhadap perkembangan laju inflasi

di tahun 2002 adalah adanya penerapan kebijakan

pemerintah di bidang harga yang tekanannya muncul

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

222

melalui cost-push inflation. Dampak yang tinggi

terhadap inflasi terutama bersumber dari kenaikan

harga BBM, kenaikan TDL, kenaikan tarif telepon,

prakiraan kenaikan cukai rokok dan rencana kenaikan

UMP. Dari berbagai rencana penerapan kebijakan

pemerintah di bidang harga yang telah teridentifikasi

persentase kenaikannya, dampak inflatoirnya

terhadap perkembangan inflasi IHK diperkirakan

mencapai sekitar 2,6%.

Faktor gangguan lainnya yang memiliki

dampak cukup signifikan adalah faktor alam dan

masalah distribusi. Gangguan dari faktor alam pada

tahun 2002 diperkirakan akan muncul seiring dengan

prakiraan adanya El-Nino yang akan mengganggu

proses produksi di sektor pertanian. Hal ini akan

berdampak pada kenaikan harga-harga kelompok

bahan makanan akibat berkurangnya pasokan.

Sementara itu, perkembangan Leading

Indikator Inflasi (LII) diperkirakan telah menunjukkan

puncak siklus (peak) di sekitar bulan Oktober tahun

2001. Dengan prakiraan lead time sekitar 8 bulan

terhadap siklus inflasi, siklus inflasi diperkirakan akan

mencapai puncaknya di sekitar semester pertama

tahun 2002. Berdasarkan hal ini, perkembangan

inflasi (y-o-y) diperkirakan akan mulai menunjukkan

penurunan di pertengahan tahun 2002.

Dalam jangka menengah, perkembangan

inflasi akan lebih banyak didominasi perkembangan

inflasi yang diekspektasikan oleh masyarakat. Upaya

Bank Indonesia dalam mengendalikan laju inflasi

diharapkan akan dapat mengarahkan ekspektasi

masyarakat pada perkembangan inflasi yang menu-

run pada tahun-tahun mendatang. Sementara itu,

penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan masih akan terus berlangsung dalam

beberapa tahun mendatang, seiring dengan upaya

pemerintah dalam mengurangi defisit anggaran

melalui pengurangan subsidi dan peningkatan pene-

rimaan pajak. Namun dampak inflasinya diperkirakan

akan semakin menurun terutama berkaitan dengan

prakiraan penurunan intensitas dari penerapan

kebijakan ini di tahun-tahun mendatang. Sementara

itu, stabilnya perkembangan nilai tukar rupiah dalam

jangka menengah diperkirakan tidak memberikan

dampak inflatoir terhadap perkembangan inflasi

dalam jangka menengah.

Grafik 11.4

Perkembangan Leading Indikator Inflasi

Tabel 11.6

Rencana Kebijakan Pemerintah

Di Bidang Harga Tahun 2002

TDL Tahap I 6 trw I

TDL Tahap II 6 trw II

TDL Tahap III 6 trw III

TDL Tahap IV 6 trw IV

BBM 22 trw I

Cukai (HJE) Rokok 10 trw I

Tarif Telepon 15 trw I

UMR/UMP 30 trw I

KenaikanKebijakan Pemerintah Harga/Tarif Periode Penerapan

(%)

0.7

0.8

0.9

1.0

1.1

1.2

1.3

1.4

1

1997

4 7 10 1

1998

4 7 10 1

1999

4 7 10 1

2000

4 7 10 1

2001

4 7 10 1

2002

4

L I I + 8 b ln

Persen

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

223

Sasaran Inflasi

Berdasarkan evaluasi perkembangan pen-

capaian sasaran inflasi Bank Indonesia dalam dua

tahun terakhir, pada tahun 2002 Bank Indonesia

melakukan perubahan dalam metode penetapan sa-

saran inflasi. Dalam perubahan ini ini ditetapkan jenis

sasaran inflasi yang lebih dapat diterima oleh

masyarakat serta ditetapkan level dan periode

pencapaian sasaran inflasi yang optimal (Boks :

Penetapan Sasaran Inflasi Bank Indonesia). Untuk

itu pada tahun 2002, Bank Indonesia menggunakan

inflasi IHK sebagai jenis inflasi yang dijadikan sasaran

untuk dicapai. Di samping itu, selain mengumumkan

sasaran inflasi jangka pendek yang akan dicapai pada

tahun 2002, Bank Indonesia juga menetapkan

sasaran inflasi jangka menengah yang akan dicapai

dalam 5 tahun.

Penggunaan inflasi IHK sebagai jenis inflasi

yang dijadikan sasaran Bank Indonesia perlu dila-

kukan dalam upaya meningkatkan peran Bank

Indonesia dalam pembentukan ekspektasi inflasi di

masyarakat. Untuk tujuan ini, maka dari berbagai

kriteria yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis

sasaran inflasi, yaitu akseptabilitas, prediktabilitas,

dan kontrolabilitas, Bank Indonesia perlu untuk lebih

mengutamakan kriteria akseptabilitas. Inflasi IHK

merupakan jenis inflasi yang paling memenuhi

kriteria akseptabilitas ini. Karena dari berbagai jenis

indikator inflasi yang dapat dijadikan sasaran oleh

Bank Indonesia, inflasi IHK merupakan jenis inflasi

yang lebih dikenal dan lebih dipahami oleh ma-

syarakat.

Dengan memperhatikan prospek makro

ekonomi dan sumber-sumber tekanan inflasi serta

adanya keterbatasan kebijakan moneter dalam

menghadapi trade off antara laju inflasi dan pertum-

buhan ekonomi, proses disinflasi belum dapat

dilakukan secara tajam pada 2002. Penetapan

sasaran inflasi yang rendah di tahun 2002 akan

membutuhkan reaksi kebijakan moneter yang

ekstra ketat sehingga dapat menghambat proses

pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan demikian

level sasaran inflasi yang optimal untuk dicapai di

akhir tahun 2002 adalah pada level yang relatif

masih berada dalam kisaran prakiraan laju inflasi

di tahun tersebut, yaitu pada kisaran 9%-10%.

Dalam jangka menengah, Bank Indonesia

dapat melakukan proses disinflasi dengan penetapan

sasaran inflasi yang menurun secara bertahap.

Berdasarkan proses simulasi yang didasarkan pada

asumsi menurunnya intensitas kebijakan pemerintah

di bidang harga dan tidak terjadinya gejolak nilai tukar

rupiah, proses disinflasi dapat dilakukan dengan

penerapan kebijakan moneter yang berhati-hati.

Melalui kebijakan tersebut, dalam 5 tahun ke depan

secara bertahap inflasi akan diarahkan pada kisaran

6%–7%.

Dengan mengupayakan penurunan inflasi

secara bertahap, diharapkan kebijakan moneter yang

ekstra ketat dapat dihindarkan sehingga proses

pemulihan ekonomi dapat terus berlangsung. Semen-

tara itu, keberhasilan dalam mencapai sasaran inflasi

secara bertahap akan meningkatkan kredibilitas Bank

Indonesia sehingga proses disinflasi ke tingkat yang

rendah dapat dilakukan dengan biaya sosial yang

minimal.

ARAH KEBIJAKAN

Dengan memperhatikan prospek ekonomi

dan sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

224

tantangan yang dihadapi di tahun 2002, Bank Indo-

nesia akan berupaya untuk menempuh kebijakan-

kebijakan di bidang moneter, perbankan dan sistem

pembayaran secara konsisten.

Di bidang moneter, kebijakan Bank Indo-

nesia tetap diarahkan untuk mencapai sasaran laju

inflasi yang ditetapkan. Upaya tersebut akan

difokuskan pada penyerapan ekses likuiditas agar

tetap sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Hal

ini dilakukan dengan mempertimbangkan pula suku

bunga riil yang positif pada kisaran 4,0%–5,0%.

Secara operasional, pengendalian moneter akan di-

lakukan dengan mengoptimalkan instrumen-

instrumen moneter terutama melalui OPT dengan

lelang SBI. Upaya tersebut juga didukung dengan

melakukan sterilisasi valas. Langkah ini akan

dilakukan secara berhati-hati dan terukur agar kesta-

bilan harga tetap terjaga untuk mendukung proses

pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung,

sehingga dalam jangka panjang dapat dicapai

pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Di samping itu, dalam rangka meredam

fluktuasi nilai tukar, pengawasan terhadap transaksi

devisa bank-bank, baik secara langsung maupun

tidak langsung akan terus dioptimalkan. Berbagai

upaya untuk memperbaiki struktur mikro pasar valas

termasuk mengurangi segmentasi pasar juga akan

terus dilakukan sehingga dapat tercipta pasar valas

yang likuid dan efisien.

Di sisi lain, dengan banyaknya faktor-faktor

nonmoneter yang berpengaruh terhadap inflasi,

koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah

perlu ditingkatkan untuk mengatasi sumber-sumber

inflasi yang berasal dari dampak kebijakan pemerintah

serta faktor produksi dan distribusi barang dan jasa.

Di bidang perbankan, prioritas utama

kebijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan

sistem perbankan. Untuk mencapai hal tersebut,

Bank Indonesia akan terus meneruskan memak-

simalkan penerapan 25 Basel Core Principles for

Effective Banking Supervision yang penjabarannya

dituangkan dalam Master Plan Peningkatan Efek-

tivitas Pengawasan Bank. Upaya untuk memelihara

CAR bank-bank yang telah mencapai 8% terus

dilakukan khususnya terhadap bank-bank yang

struktur permodalannya masih rentan terhadap

pengaruh kenaikan suku bunga dan melemahnya nilai

tukar serta penurunan kualitas kredit. Bagi bank-bank

besar yang beroperasi secara internasional akan

didorong untuk lebih meningkatkan rasio kecukupan

modalnya di atas 8%. Di samping itu, dalam rangka

meningkatkan stabilitas sistem keuangan, pada saat

ini Bank Indonesia sedang melakukan pengkajian

mengenai landscape perbankan Indonesia yang

terintegrasi dengan pengembangan lembaga finansial

lainnya.

Sementara itu, untuk memulihkan fungsi

intermediasi perbankan, Bank Indonesia akan mendo-

rong perbankan untuk lebih banyak lagi menyalurkan

kredit kepada sektor-sektor yang dianggap telah siap

dan memiliki risiko yang relatif rendah seperti kredit

ekspor dan kredit bagi usaha kecil dan menengah

dengan tetap memperhatikan prinsip perkreditan yang

sehat, serta melakukan penyempurnaan terhadap

beberapa ketentuan untuk mempercepat intermediasi

perbankan. Selain itu, usaha untuk meningkatkan

kesehatan bank juga didukung oleh upaya-upaya

yang terus menerus untuk menekan angka NPLs

perbankan nasional dengan mewajibkan bank-bank

untuk mencapai target NPLs sebesar 5% pada akhir

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002

225

tahun 2002. Sementara itu, upaya yang perlu di-

lakukan untuk memperkuat infrastruktur perbankan

nasional dapat dilakukan dengan terus mendorong

pengembangan bank syariah dan keberadaan BPR

serta bersama-sama dengan pemerintah memper-

siapkan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan

dan lembaga pengawas jasa keuangan.

Di bidang sistem pembayaran tunai,

kebijakan diarahkan pada penyediaan uang yang

layak edar dan mencukupi kebutuhan masyarakat

baik dari sisi nominal maupun jenis pecahannya.

Kebijakan ini antara lain mencakup penataan kembali

jalur distribusi uang serta pendirian laboratorium untuk

menguji bahan uang. Di samping itu, Bank Indonesia

juga akan melanjutkan penerapan Sistem Informasi

Pengedaran Uang pada kantor-kantor koordinator

agar dapat terintegrasi dengan kantor pusat.

Sementara dari sisi pembayaran nontunai,

kebijakan tetap diarahkan pada pengurangan risiko

pembayaran, peningkatan kualitas dan kapasitas

layanan sistem pembayaran serta pengaturan pe-

ngawasan sistem pembayaran guna mendorong

terwujudnya sistem pembayaran yang cepat, aman

dan efisien. Kebijakan tersebut direalisasikan dengan

terus dilanjutkannya implementasi sistem BI-RTGS

ke 15 KBI lainnya sehingga apabila seluruh KBI telah

menggunakan sistem BI-RTGS, pelaksanaan tugas

Bank Indonesia dalam melakukan pemantauan

ketaatan bank dalam memenuhi ketentuan GWM

dan pemantauan likuiditas bank akan sangat

terbantu.

Sementara itu, dalam rangka peningkatan

kualitas dan kapasitas layanan sistem pembayaran

khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan

kliring, Bank Indonesia telah mengembangkan SIKJJ

yang direncanakan akan diimplementasikan di

Kantor Pusat Jakarta dan KBI yang telah meng-

gunakan sistem kliring otomasi. Selain itu, Bank

Indonesia juga melakukan penyusunan ketentuan

mengenai pengawasan penyelenggara sistem

pembayaran, menyelenggarakan jasa sistem pem-

bayaran dengan menggunakan alat pembayaran non

tunai dan jasa pendukungnya serta melakukan

pengaturan yang terkait dengan upaya mengatasi

kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian kewa-

jiban setelmennya.

Untuk menurunkan risiko setelmen di pasar

modal, Bank Indonesia akan melakukan pengem-

bangan sistem Delivery Versus Payment (DVP)

tahap pertama. Dengan adanya pengembangan ini

akan terbentuk suatu integrasi sistem setelmen

antara sisi pembayaran (payment leg) melalui

sistem BI-RTGS dengan sisi penyerahan sekuritas

(delivery leg) melalui setelmen sekuritas.

Lampiran

226

LAMPIRAN

Lampiran

227

Lampiran A

BANK INDONESIA

Kantor Pusat

Jakarta

Kantor Perwakilan

London

New York

Singapura

Tokyo

Kantor-Kantor Bank Indonesia

Ambon, Balikpapan,

Banda Aceh, Bandar Lampung,

Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Cirebon

Denpasar, Jambi, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari,

Kupang, Lhokseumawe, Makassar, Malang, Manado, Mataram,

Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu,Pekanbaru,

Pontianak, Purwokerto, Samarinda, Semarang,

Sibolga, Solo, Surabaya, Tasikmalaya,

Ternate, Yogyakarta

Lampiran

228

Lampiran B

Dewan Gubernur Bank Indonesiaper tanggal 31 Desember 2001

Gubernur

Syahril Sabirin

Deputi Gubernur Senior

Anwar Nasution

Deputi Gubernur

Miranda S. Goeltom

Aulia Pohan

Achjar Iljas

Lampiran

229

Lampiran C.1

Selama tahun laporan, Bank Indonesia telah melakukan

beberapa penyempurnaan organisasi dan pengembangan

sumber daya manusia (SDM). Penyempurnaan organisasi telah

dilakukan untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan

yang terjadi. Sehubungan dengan pemantauan kegiatan lalu

lintas devisa telah dilakukan penyempurnaan organisasi

Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter dengan melakukan

perubahan pada Struktur Organisasi dan Tugas Pokok

Direktorat dimaksud.

Dengan semakin meningkatnya volume kegiatan

pengaturan, perizinan dan pengawasan Bank Syariah, telah

dibentuk sebuah satuan kerja berbentuk Biro yang menangani

hal-hal tersebut yaitu Biro Perbankan Syariah.

Di samping itu, dalam rangka melaksanakan verifikasi

(off-site) atas kelayakan penjaminan Trade Maintenance Facility

(TMF) dan Inter Bank Debt/Exchange Offer (IBD/EO) telah

dilakukan penyempurnaan organisasi Direktorat Luar Negeri.

Verifikasi tersebut semula ditangani oleh satuan kerja di sektor

Perbankan.

Sehubungan dengan pembentukan beberapa propinsi

baru di wilayah Republik Indonesia yaitu Propinsi Banten,

Kepulauan Bangka Belitung dan Gorontalo, telah dilakukan

pengaturan kembali wilayah kerja Kantor Bank Indonesia di

daerah. Hal ini dilakukan untuk memperjelas kewenangan

masing-masing Kantor Bank Indonesia yang meliputi wilayah

propinsi-propinsi bentukan baru tersebut.

Dalam rangka melakukan perubahan secara mendasar

dan bersifat menyeluruh, saat ini Bank Indonesia sedang

melaksanakan Program Transformasi Bank Indonesia. Program

ini dilakukan secara bertahap dan telah memasuki tahap

implementasi sejak pertengahan bulan Oktober 2001 dengan

pelaksanaan 7 (tujuh) program strategis yaitu Proyek

Perencanaan, Anggaran dan Manajemen Kinerja; Proyek

Manajemen Sumber Daya Manusia; Proyek Perbankan; Proyek

Manajemen Informasi; Proyek Teknologi Informasi; Proyek

Moneter; dan Proyek Logistik (Bagan 1).

Implementasi masing-masing proyek dimaksud

dilaksanakan di bawah organisasi Unit Khusus Program

Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Bagan 1

Organisasi Unit Khusus Program Transformasi Bank Indonesia

Penanggung Jawab

Program

Direktur

Program

Tim Pengarah

Program

Tim Pengarah

Proyek

Masing-masing

Penanggung Jawab Proyek

(anggota Dewan Gubernur)

SumberDaya

Manusia

1

Perencanaan,Anggaran dan

Manajemen Kinerja

2

ManajemenInformasi

3

Moneter

4

Perbankan

5

TeknologiInformasi

6

Logistik

7

PengendalianProgram

8

Keterangan :

– Penanggungjawab program dipimpin langsung oleh Gubernur Bank Indonesia dibantu oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia

– Pemilik Program adalah Deputi Gubernur yang langsung mengelola workstream

Lampiran

230

Jumlah Pegawai

Akhir Kantor Kantor Kantor

No. Tahun Anggaran Pusat Bank Indonesia Perwakilan Jumlah

di Daerah

1. 1997/1998 3.341 2.882 671) 6.290

2. 1998/1999 3.299 2.852 21 6.172

3. 1999/2000 3.068 2.601 17 5.686

4. 2000/2001 3.123 2.615 18 5.756

5. Januari 2002 3.119 2.556 18 5.693

Transformasi (UKPT) sebagai tindak lanjut atas hasil diagnostic

study yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Tahap

implementasi yang tengah dilakukan saat ini merupakan fase

pertama dari tiga fase yang telah dijadwalkan, mengingat

cakupan penyempurnaan organisasi yang cukup luas dalam

program ini.

Sejalan dengan reorganisasi melalui Program

Transformasi, penyempurnaan organisasi di bidang lain tetap

dilakukan. Penyempurnaan dimaksud adalah penyempurnaan

organisasi Direktorat Pengedaran Uang dengan pertimbangan

untuk meningkatkan fungsi penelitian dan pengembangan serta

pengaturan di bidang Pengedaran Uang. Pertimbangan-

pertimbangan lain yang mendasari penyempurnaan organisasi

tersebut adalah diterapkannya Currency Handling System yang

terpadu secara efektif dan efisien, standarisasi untuk

mempercepat pelayanan kebutuhan kas bank, serta

pemanfaatan perkembangan teknologi sortasi, pemusnahan

dan handling material yang berdampak pada prosedur kerja.

Disamping itu, telah pula dilakukan penyempurnaan

organisasi di Sektor Moneter, untuk mengakomodasikan tugas

penatausahaan Surat Utang Pemerintah (SUP). Penggunaan

SUP tersebut adalah untuk penyediaan dana penjaminan

dalam rangka Inter Bank Debt/Exchange Offer (IBD/EO), program

penjaminan kewajiban pembayaran Bank Umum dan Bank

Perkreditan Rakyat.

Dalam rangka mewujudkan manajemen sumber daya

manusia yang mampu mengembangkan sumber daya manusia

yang efektif dan memiliki kompetensi tinggi melalui pelaksanaan

fungsi sumber daya manusia yang profesional dengan dukungan

sistem sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan

organisasi, Bank Indonesia secara terus-menerus melakukan

penyempurnaan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia.

Pada tahun 2001 telah diimplementasikan ketentuan

mengenai Disiplin Pegawai dan pengaturan Penghargaan Masa

Pengabdian. Selain itu telah diterbitkan pula ketentuan

Manajemen Jalur Karir bagi Kasir dan Satuan Pengamanan.

Tujuan ketentuan ini adalah untuk memberikan kejelasan tentang

Jalur Karir Kasir dan Satpam di Bank Indonesia dalam rangka

meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja.

Untuk melaksanakan tugas dan wewenang secara bersih

dan bebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme,

kepada Pimpinan (Anggota Dewan Gubernur) dan Pejabat Bank

Indonesia sampai dengan tingkat tertentu diwajibkan melakukan

pelaporan harta kekayaannya.

1) Termasuk petugas belajar jangka panjang.

Lampiran

231

Kantor Pusat

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter : Hartadi A. Sarwono

Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter : Ratnawati Priyono

Direktorat Pengelolaan Moneter : Aslim Tajuddin

Direktorat Pengelolaan Devisa : Made Sukada

Direktorat Luar Negeri : Ny. Veronica W.S.P.

Biro Kredit : Nn. Roswita Roza

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan : -

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan : Imam Sukarno

Direktorat Pengawasan Bank 1 : Ny. Siti Ch. Fadjriah S.

Direktorat Pemeriksaan Bank 1 : Aris Anwari

Direktorat Pengawasan Bank 2 : -

Direktorat Pemeriksaan Bank 2 : Octo R. Nasution

Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat : Abdul Salam

Direktorat Pengedaran Uang : Adi Putra Hasan

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran : Harmain Salim

Direktorat Logistik dan Pengamanan : M. Ashadhi

Direktorat Teknologi Informasi : J. L. Mangunsong

Direktorat Sumber Daya Manusia : Baridjussalam Hadi

Direktorat Keuangan Intern : -

Direktorat Hukum : Ny. Kusumaningtuty

Direktorat Pengawasan Intern : Bachri Ansjori

Biro Gubernur : Halim Alamsyah S.

Biro Sekretariat : Djatiwaluyo

Unit Khusus Investasi Perbankan : Prihono Bagio

Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan : Bambang S. Wahyudi

Biro Perbankan Syariah : Harisman

Unit Khusus Program Transformasi : Romeo Rissal

Kantor Perwakilan

Perwakilan Singapura : Kemas A. Sjarifuddin

Perwakilan Tokyo : Djakaria

Perwakilan London : Rasmo Samiun

Perwakilan New York : Maman Hendarman

Lampiran

232

Kantor Bank Indonesia

Kelas I

Kantor Bank Indonesia Bandung : Djoko Sarwono

Kantor Bank Indonesia Medan : Bambang Setijoprodjo

Kantor Bank Indonesia Semarang : Ardhayadi

Kantor Bank Indonesia Surabaya : Sumantri

Kelas II

Kantor Bank Indonesia Bandar Lampung : Imrandani

Kantor Bank Indonesia Banjarmasin : M. Zaeni Abu Amin

Kantor Bank Indonesia Denpasar : Ilham Ikhsan

Kantor Bank Indonesia Manado : M. Djaelani S.

Kantor Bank Indonesia Padang : Abdul Azis

Kantor Bank Indonesia Palembang : Irman Djaja Dalimi

Kantor Bank Indonesia Makassar : Djoko Sutrisno

Kantor Bank Indonesia Yogyakarta : Amril Arief

Kelas III

Kantor Bank Indonesia Ambon : M. Yusuf Oesep W.

Kantor Bank Indonesia Banda Aceh : Yusmanazir Katin

Kantor Bank Indonesia Cirebon : Djarot Sumartono

Kantor Bank Indonesia Jambi : Ade N. Rachmana

Kantor Bank Indonesia Jayapura : Sahat Tampubolon

Kantor Bank Indonesia Malang : Sentot Purnomo

Kantor Bank Indonesia Mataram : Satria Mulya

Kantor Bank Indonesia Pekanbaru : C. Y. Boestal

Kantor Bank Indonesia Pontianak : Amin Sisworo

Kantor Bank Indonesia Samarinda : Sarman Bona Sihotang

Kantor Bank Indonesia Solo : Adiastopo Joko Purnomo

Lampiran

233

Kelas IV

Kantor Bank Indonesia Balikpapan : Erman Kurnandi

Kantor Bank Indonesia Kupang : Dikan

Kantor Bank Indonesia Jember : Sutikno

Kantor Bank Indonesia Kediri : Budhi Santoso

Kantor Bank Indonesia Purwokerto : Sumarno

Kantor Bank Indonesia Tasikmalaya : Sunarko

Kantor Bank Indonesia Palangkaraya : -

Kantor Bank Indonesia Bengkulu : Joko Wardoyo

Kantor Bank Indonesia Kendari : Mokhammad Dakhlan

Kantor Bank Indonesia Palu : Moch. Zaenal Alim

Kelas V

Kantor Bank Indonesia Batam : Ali Imron Murim

Kantor Bank Indonesia Sibolga : Yasin Effendi

Kantor Bank Indonesia Lhokseumawe : Fachrurrazi

Kantor Bank Indonesia Ternate : Muh. Abdul Fadlil

Lampiran

234 Lampiran C.2

Gubernur

Deputi Gubernur Senior

Deputi-Deputi Gubernur

DEWAN GUBERNUR

STRUKTUR ORGANISASI BANK INDONESIA

DKM

PwB11Tim

IDIP

PPTI

PmTI

PDE

OPU

PP

PTPU

Admp

DR

Tim

PTD

AdPS

SMon

SNP

SRKP

PDIE

Adms

APLN

PLN

EXIM

KEPI

PAdk

Tim

PrLJ

PGL-I

DSM DPM DPD DLN BKr DPIP DPwB1 DPmB1 BPS DPU DASP DLP DTIDPBPR UKIP

Tim Tim Tim

P3BPR

Mdn

Bna

Lsm

Sbg

Pdg

Pbr

Jb

Bn

Btm

Bd

Pg

Bdl

Cn

Tsm

Sm

Yk

Slo

Pwt

Sb

Dpr

Ml

Mtr

Kpa

Kd

Jr

Bjm Mks

Mo

Kdi

Ab

Jap

Pal

Tt

APK

SPPK

SSR

SEI

PRAd

SEM

Tim

DKI

PPKI

DPwB2 DPmB2

IDMB2

DPI

Kel.

PPSK

Tim

AdPI

DSDM

PrOS

NY Lnd Tky Sn

AkDv

KIJ

PSPN

DU

PPgU

Tim

BPUM

DPNP

Tim

PNPB

IDPn

DtB

Prz

Tim

IPSiP

Ptk

Bpp

Plk

Smr

DHK

Tim

Adml

PwB12

PwB13

PwB14

PwB15

PwB16

IDWB1

PwB21

PwB22

PwB23

PwB24

PwB25

PwB26

IDWB2

IDMB1

IDBPR

BPU

PTR

PGL-II

PgJ

Pam

PgKP

PPbP

LKeu

PGKI

Ang

Proyek

UKPT

Tim

BGub

Pro

BSk

PPr Tim Ars

Lampiran

235

I.

II.

III.

IV.

V.

VI.

VII.

DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER DKM

1. Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan APK

2. Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan SPPK

3. Bagian Studi Ekonomi Makro SEM

4. Bagian Studi Sektor Riil SSR

5. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional SEI

6. Bagian Perpustakaan Riset dan Administrasi PRAd

DIREKTORAT STATISTIK EKONOMI DAN MONETER DSM

1. Bagian Statistik Moneter SMon

2. Bagian Statistik Neraca Pembayaran SNP

3. Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah SRKP

4. Bagian Pengelolaan Data dan Informasi Ekonomi dan Moneter PDIE

5. Bagian Administrasi Adms

DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER DPM

1. Bagian Operasi Pasar Uang OPU

2. Bagian Pengembangan Pasar Uang PPU

3. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang PTPU

4. Bagian Administrasi Admp

DIREKTORAT PENGELOLAAN DEVISA DPD

1. Dealing Room DR

2. Tim Pengelolaan Risiko -

3. Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa -

4. Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa PTD

5. Bagian Administrasi dan Pemeliharaan Sistem Tresuri AdPS

DIREKTORAT LUAR NEGERI DLN

1. Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri APLN

2. Bagian Pinjaman Luar Negeri PLN

3. Bagian Ekspor Impor EXIM

4. Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional KEPI

5. Bagian Administrasi Adml

BIRO KREDIT BKr

1. Bagian Pengelolaan dan Administrasi Kredit PAdk

2. Tim Penelitian dan Pengembangan -

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN DPNP

1. Tim-tim -

a. Tim Pengaturan Bank

b. Tim Pengembangan Pengawasan Bank

2. Biro Penelitian Perbankan PNPB

3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Penelitian & Pengaturan Perbankan IDPnP

Daftar Satuan Kerja di Bank Indonesia

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

Lampiran

236

DIREKTORAT PERIZINAN DAN INFORMASI PERBANKAN DPIP

1. Tim Bank Dalam Likuidasi –

2. Bagian Data Perbankan DtB

3. Bagian Perizinan Prz

4. Bagian Informasi dan Pengembangan Sistem Informasi Perbankan IDSiP

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 1 DPwB1

1. Bagian Pengawasan Bank 11 PwB11

2. Bagian Pengawasan Bank 12 PwB12

3. Bagian Pengawasan Bank 13 PwB13

4. Bagian Pengawasan Bank 14 PwB14

5. Bagian Pengawasan Bank 15 PwB15

6. Bagian Pengawasan Bank 16 PwB16

7. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 1 IDWB1

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 2 DPwB2

1. Bagian Pengawasan Bank 21 PwB21

2. Bagian Pengawasan Bank 22 PwB22

3. Bagian Pengawasan Bank 23 PwB23

4. Bagian Pengawasan Bank 24 PwB24

5. Bagian Pengawasan Bank 25 PwB25

6. Bagian Pengawasan Bank 26 PwB26

7. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 2 IDWB2

DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 1 DPmB1

1. Tim-tim Pemeriksa -

2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 1 IDMB1

DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 2 DPmB2

1. Tim-tim Pemeriksa -

2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 2 IDMB2

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DPBPR

1. Tim-tim -

a. Tim Pengawasan

b. Tim Penjaminan & Likuiditas BPR

2. Bagian Perizinan, Penelitian dan Pengaturan BPR P3BPR

3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan BPR IDBPR

UNIT KHUSUS INVESTIGASI PERBANKAN UKIP

1. Tim-tim Investigasi -

2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Investigasi Perbankan IDIP

BIRO PERBANKAN SYARIAH BPS

1. Tim-Tim –

a. Tim Penelitian dan Pengaturan Perbankan Syariah

b. Tim Pengawasan Bank Syariah

c. Tim Perizinan dan Administrasi Perbankan Syariah

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

VIII.

IX.

X.

XI.

XII.

XIII.

XIV.

XV.

Lampiran

237

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

XVI.

XVII.

XVIII.

XIX.

XX.

XXI.

XXII.

XXIII.

DIREKTORAT PENGEDARAN UANG DPU

1. Bagian Pengelolaan Uang Masuk BPUM

2. Bagian Pengelolaan Uang Keluar BPUK

3. Bagian Distribusi Uang DU

4. Bagian Pelaksanaan Pengadaan Uang PPgu

5. Tim Penelitian, Perencanaan dan Pengaturan Pengedaran Uang –

DIREKTORAT AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP

1. Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional PSPN

2. Bagian Akunting Devisa AkDv

3. Bagian Kliring Jakarta KlJ

4. Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah PTR

DIREKTORAT LOGISTIK DAN PENGAMANAN DLP

1. Bagian Perencanaan Logistik dan Jasa PrLJ

2. Bagian Pengelolaan Logistik I PgL-I

3. Bagian Pengelolaan Logistik II PgL-II

4. Bagian Pengelolaan Jasa PgJ

5. Bagian Pengamanan Pam

DIREKTORAT TEKNOLOGI INFORMASI DTI

1. Biro Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi PPTI

2. Bagian Pemeliharaan Teknologi Informasi PmTI

3. Bagian Pemrosesan Data Elektronis PDE

DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA DSDM

1. Biro Perencanaan Organisasi dan Sumber Daya Manusia PrOS

2. Bagian Pengembangan Karir Pegawai PgKP

3. Bagian Penerimaan dan Pembinaan Pegawai PPbP

DIREKTORAT KEUANGAN INTERN DKI

1. Biro Perencanaan dan Pengendalian Keuangan Intern PPKI

2. Bagian Laporan Keuangan LKeu

3. Bagian Pelaksanaan Gaji dan Keuangan Intern PGKI

4. Bagian Anggaran Ang

DIREKTORAT HUKUM DHk

1. Tim-Tim –

a. Tim Penasehat Hukum

b. Tim Dokumentasi dan Informasi Hukum

c. Tim Enquiry Point

DIREKTORAT PENGAWASAN INTERN DPI

1. Tim-Tim

a. Tim Pengembangan Pengawasan Intern

b. Tim Analisis Ketentuan

c. Tim Pengawasan Intern

2. Bagian Administrasi dan Informasi AdPI

Lampiran

238

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN PPSK

1. Kelompok Pengembangan dan Monitoring Program -

2. Kelompok Peneliti -

3. Bagian Pelaksanaan Program PPr

UNIT KHUSUS PROGRAM TRANSFORMASI UKPT

1. Proyek-proyek –

2. Tim Pengendalian Program

BIRO GUBERNUR BGub

1. Tim-Tim -

a. Perencanaan dan Pemantauan

b. Tim Hubungan Masyarakat

c. Staf Gubernur

BIRO SEKRETARIAT Bsk

1. Bagian Protokol Pro

2. Bagian Arsip Ars

XXIV.

XXV.

XXVI.

XXVII.

Lampiran

239

Kantor Perwakilan Bank Indonesia

1. New York NY

2. London Lnd

3. Tokyo Tky

4. Singapura Sn

Kantor Bank Indonesia

1. Ambon Ab

2. Balikpapan Bpp

3. Banda Aceh Bna

4. Bandar Lampung Bdl

5. Bandung Bd

6. Banjarmasin Bjm

7. Batam Btm

8. Bengkulu Bn

9. Cirebon Cn

10. Denpasar Dpr

11. Jayapura Jap

12. Jambi Jb

13. Jember Jr

14. Kediri Kd

15. Kendari Kdi

16. Kupang Kpa

17. Lhokseumawe Lsm

18. Makassar Mks

19. Malang Ml

20. Mataram Mtr

21. Medan Mdn

22. Manado Mo

23. Padang Pdg

24. Palangkaraya Plk

25. Palembang Pg

26. Palu Pal

27. Pekanbaru Pbr

28. Pontianak Ptk

29. Purwokerto Pwt

30. Samarinda Smr

31. Semarang Sm

32. Sibolga Sbg

33. Solo Slo

34. Surabaya Sb

35. Tasikmalaya Tsm

36. Ternate Tt

37. Yogyakarta Yk

Nama Satuan Kerja Singkatan

Lampiran

240

Aktiva 31 Des. 2001 31 Des.2000

Unaudited Audited

1. Emas 8.934.005 8.170.712

2. Uang asing 453.368 794.307

3. Hak tarik khusus 165.030 317.855

4. Giro 11.488.488 5.300.013

4.1 Bank Sentral 8.758.350 2.950.464

4.2 Bank Koresponden 2.730.138 2.349.549

5. Deposito pada Bank Koresponden 69.068.707 61.544.917

6. Surat berharga 209.659.339 218.064.845

6.1 Dalam rupiah 0 0

6.2 Dalam valuta asing 209.659.339 218.064.845

7. Tagihan

7.1 Kepada pemerintah 315.944.501 279.600.597

7.1.1 Dalam rupiah 315.914.159 279.477.036

7.1.2 Dalam valuta asing 30.342 123.561

7.2 Kepada bank 19.182.641 20.296.434

7.2.1 Dalam rupiah 17.949.682 18.634.761

7.2.2 Dalam valuta asing 1.232.959 1.661.673

7.3 Kepada lainnya 7.496.935 7.280.073

7.3.1 Dalam rupiah 7.496.935 7.280.073

7.3.2 Dalam valuta asing 0 0

8. Penyisihan kerugian aktiva (49.455.231) (27.654.796)

9. Penyertaan 238.974 241.955

10. Aktiva lain-lain 9.400.041 6.364.478

Jumlah Aktiva 602.576.798 580.321.390

Lampiran D.1

Bank Indonesia

Neraca

per 31 Desember 2001 dan Desember 20001)

(Jutaan Rupiah)

Pasiva 31 Des. 2001 31 Des.2000

Unaudited Audited

A. Kewajiban

1. Uang dalam peredaran 91.275.598 89.704.449

2. Giro

2.1 Pemerintah 84.954.294 96.190.490

2.1.1 Dalam rupiah 47.984.852 66.228.447

2.1.2 Dalam valuta asing 36.969.442 29.962

2.2 Bank 41.863.845 41.105.359

2.2.1 Dalam rupiah 34.644.502 33.677.047

2.2.2 Dalam valuta asing 7.219.343 7.428.312

2.3 Pihak swasta lainnya 1.141.237 1.933.458

2.3.1 Dalam rupiah 1.014.322 1.731.572

2.3.2 Dalam valuta asing 126.915 201.886

2.4 Lembaga keuangan internasional 95.791.501 105.134.986

2.4.1 Dalam rupiah 95.791.501 105.134.986

2.4.2 Dalam valuta asing 0 0

3. Surat berharga yang diterbitkan 102.143.747 78.672.929

3.1 Dalam rupiah 102.143.747 78.672.929

3.2 Dalam valuta asing 0 0

4. Pinjaman dari pemerintah 30.226.201 28.092.771

4.1 Dalam rupiah 309.089 340.694

4.2 Dalam valuta asing 2.679.045 2.721.585

4.3 Surat Utang Bank Indonesia 27.238.067 25.030.492

5. Pinjaman luar negeri 19.872.947 19.142.030

6. Kewajiban lain-lain 1.432.711 1.143.421

Jumlah Kewajiban 468.702.081 461.119.893

B. Ekuitas

1. Modal 2.948.029 2.606.236

2. Cadangan umum 8.233.006 6.430.544

3. Cadangan tujuan 3.528.431 2.755.947

4. Hasil revaluasi aktiva tetap 4.871.249 4.768.103

5. Hasil revaluasi kurs dan SSB 50.675.217 79.950.773

6. Hasil indeksasi SUP 48.575.749 18.817.604

7. Hasil indeksasi SUBI (2.339.793) (476.122)

8. Surplus (defisit) tahun sebelumnya 0 1.773.466

9. Surplus (defisit) tahun berjalan 17.442.829 2.574.946

Jumlah Ekuitas 133.874.717 119.201.497

Jumlah Kewajiban dan Ekuitas 602.576.798 580.321.390

1) a. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2000 telah diaudit oleh BPK-RI sesuai laporan No.01/01/Auditama II/GA/V/2001 tanggal 8 Mei 2001

dengan dengan pendapat Wajar dengan Pengecualian atas pos tagihan karena adanya pengaruh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

b. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2001(belum di audit) yang lengkap telah disampaikan kepada BPK-RI melalui surat No.4/1/GBI/DKI

tanggal 31 Januari 2002 untuk dimulai pemeriksaan.

c. Kurs Neraca tanggal 31 Desember 2000: $1 = Rp9.595,00 dan pada tanggal 31 Desember 2001: $1 = Rp10.400,00.

Lampiran

241

2001 2000

Unaudited Audited

PENERIMAAN

1. Pengelolaan Moneter 62.904.839 46.223.030

1.1 Pengelolaan Devisa 54.480.178 35.552.594

1.2 Kegiatan Pasar Uang 3.889 51.984

1.3 Pemberian Kredit dan Pembiayaan 8.420.772 10.618.452

2. Penyelenggaraan Sistem Pembayaran 42.162 38.703

3. Pengaturan Perbankan 46.811 32.509

4. Lainnya 173.919 3.295.396

4.1 Penerimaan Lainnya 173.919 570.849

4.2 Pemulihan Penyisihan Aktiva 0 2.724.547

Jumlah Penerimaan 63.167.732 49.589.638

PENGELUARAN

1. Beban Pengendalian Moneter (21.068.778) (19.929.814)

1.1 Beban Perumusan dan Pelaksanaan

Kebijakan Moneter (15.408.536) (11.914.197)

1.2 Beban Pengelolaan Devisa (5.660.242) (8.015.617)

2. Beban Sistem Pembayaran (727.482) (720.873)

2.1 Beban Pengedaran Uang (679.295) (695.602)

2.2 Beban Penyelenggaraan Sistem Pembayaran (48.187) (25.271)

3. Beban Pengaturan dan Pengawasan Bank (52.505) (131.855)

4. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (23.876.138) (1.677.780)

4.1 Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (1.979.252) (1.539.234)

4.2 Beban Penyusutan Aktiva Tetap (127.393) (138.546)

4.3 Beban Penambahan Penyisihan Aktiva (21.769.493) 0

Jumlah Pengeluaran (45.724.904) (22.460.322)

Surplus Sebelum Pos Luar Biasa 17.442.829 27.129.316

Beban karena Pos Luar Biasa 0 (24.554.370)

SURPLUS 17.442.829 2.574.946

Lampiran D.2

Bank Indonesia

Laporan Surplus Defisit

Periode 1 Januari – 31 Desember 2001 dan 2000

(Jutaan Rupiah)

242

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

Daftar Peraturan Bank Indonesia

Tahun 2001

Lampiran E.1

Untuk memperlancar pengelolaan Proyek Kredit Mikro

(PKM) yang tetap mengacu pada UU No.23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia (“UUBI”), Bank Indonesia

menyesuaikan ketentuan tentang PKM yang antara lain

mengatur (i) sumber dana, yang semula seluruhnya

berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia, menjadi

seluruhnya berasal dari Asian Development Bank dan (ii)

perpanjangan pengelolaan Proyek dari Desember 2000

sampai dengan akhir Juni 2001.

Dirubah dengan PBI No.3/8/PBI/2001 tgl 25-04-2001

Bank Indonesia mengubah ketentuan mengenai Kredit

Usaha Kecil. Perubahan mencakup (i) peningkatan dana

untuk disalurkan ke KUK (ii) kewajiban bank untuk

mencantumkan rencana realisasi KUK dalam Rencana

Kerja Anggaran Tahunan (RKAT), (iii) kewajiban bank

untuk melaporkan realisasi KUK pada Laporan Bulanan

Bank Umum, (iv) kewajiban bank untuk mengumumkan

realisasi KUK pada Laporan Keuangan, (v) penyesuaian

plafon KUK menjadi Rp500 juta untuk setiap nasabah, (vi)

bantuan teknis dari Bank Indonesia bagi bank-bank yang

menyalurkan KUK. Sementara itu, sanksi dan insentif juga

dikurangi.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

pembatasan transaksi Rupiah dan pemberian kredit valuta

asing oleh bank. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa

bank dilarang melakukan transaksi-transaksi tertentu

dengan warga negara asing, badan hukum asing atau

badang asing lainnya, warga negara Indonesia yang

memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

1 3/1/PBI/2001 04-01-2001 LN Thn 2001 No.2;

TLN No.4071

2 3/02/PBI/2001 04-01-2001 LN Thn 2001 No.3;

TLN No.4072

3 3/03/PBI/2001 12-01-2001 LN Thn 2001 No.7;

TLN No.4074

243

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan

lembaga internasional di Indonesia serta kantor Bank/

badan hukum Indonesia di luar negeri.

Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan

mengenai jaminan pembiayaan perdagangan

internasional (trade maintenance facility/TMF) dengan

memperpanjang pelaksanaan program tersebut menjadi

sampai dengan tanggal 30 Juni 2001. Program tersebut

diperpanjang dengan pertimbangan bahwa program TMF

masih diperlukan dalam rangka meningkatkan kembali

kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan

perdagangan internasional.

Dicabut dgn PBI No.3/20/PBI/2001 tgl 29-11-2001

Ketentuan mengenai Penjaminan atas Simpanan Pihak

Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana diatur

dalam SK Direksi Bank Indonesia No.31/32/KEP/DIR

tanggal 29 Mei 1998 diubah dengan PBI perihal serupa

No.3/5/PBI/2001. Dalam PBI ini diatur bahwa dalam

rangka Program Penjaminan, Pemerintah tidak menjamin

Simpanan Pihak Ketiga yang diterima dengan suku bunga

lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang

ditetapkan.

Dengan diberlakukannya UUBI, Bank Indonesia tidak

diperkenankan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan

kecuali untuk mengatasi kesulitan jangka pendek

perbankan dengan disertai oleh agunan yang berkulitas

tinggi dan mudah dicairkan. Mengingat fasilitas

penjaminan dan pembiayaan yang disediakan Bank

Indonesia selama ini terdapat unsur pemberian kredit

maka Bank Indonesia mencabut beberapa ketentuan

terkait, yaitu:

a. SK Direksi Bank Indonesia No.30/138/KEP/DIR

tentang Jual Beli Tagihan atas Dasar Surat Kredit

Berdokumen Dalam Negeri kepada Bank Indonesia,

b. SK Direksi Bank Indonesia No.30/193/KEP/DIR

4 3/04/PBI/2001 12-03-2001 LN Thn 2001 No.7;

TLN No.4080

5 3/05/PBI/2001 22-03-2001 LN Thn 2001 No.23;

TLN No.4082

6 3/06/PBI/2001 02-04-2001 LN Thn 2001

244

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

tentang Jual Beli Devisa Hasil Ekspor untuk Eksportir

dan Eksportir Tertentu,

c. SK Direksi Bank Indonesia No.30/194/KEP/DIR tentang

Jual Beli Devisa Hasil Ekspor yang akan datang untuk

Eksportir Tertentu,

d. SK Direksi Bank Indonesia No.31/187/KEP/DIR tentang

Penjaminan dan atau Pembiayaan Letter of Credit

melalui Penempatan Dana Bank Indonesia pada Bank

Asing.

Mengingat Bank Indonesia tidak lagi diperbolehkan

menyediakan fasilitas pembiayaan dan atau penjaminan,

maka ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan

pemberian jaminan Pemerintah terhadap kewajiban

pembayaran bank umum dicabut.

Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan

tentang Proyek Kredit Mikro yang isinya antara lain

menaikkan jumlah plafon kredit untuk membiayai

pengusaha mikro.

Bank Indonesia menerbitkan dan mengeluarkan uang

Rupiah khusus untuk memperingati 100 tahun kelahiran

Bung Karno Proklamator Republik Indonesia pada tanggal

6 Juni 2001 dalam pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan

25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan 100 Tahun

Bung Karno” tanda tahun 2001.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your

Customer ”KYC”), yaitu prinsip yang diterapkan bank

umum untuk mengetahui identitas nasabah, memantau

kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi

yang mencurigakan. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan

bahwa bank wajib menerapkan Prinsip KYC yaitu

menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah, kebijakan

dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah, kebijakan

dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi

7 3/07/PBI/2001 02-04-2001 LN Thn 2001 No.32

8 3/08/PBI/2001 25-04-2001 LN Thn 2001 No.39; TLN

No.4089

9 3/09/PBI/2001 06-06-2001 LN Thn 2001 No.70

10 3/10/PBI/2001 18-06-2001 LN Thn 2001 No.78

TLN No.4107

245

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

11 3/11/PBI/2001 20-06-2001 LN Thn 2001 No.79

TLN No.4108

12 3/12/PBI/2001 09-07-2001 LN Thn 2001 No.98

TLN No.4123

13 3/13/PBI/2001 03-09-2001 LN Thn 2001 No.115

TLN No.4135

14 3/14/PBI/2001 20-09-2001 LN Thn 2001 No.121

TLN No.4140

Nasabah serta kebijakan dan prosedur manajemen risiko

yang berkaitan dengan penerapan Prinsip KYC.

Dalam rangka mendukung kelancaran pencapaian tujuan

Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah, maka Bank Indonesia memperluas

pihak-pihak ekstern yang dapat membuka Rekening Giro

di Bank Indonesia menjadi terdiri dari bank, instansi

pemerintah, lembaga keuangan internasional dan lembaga

lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk

mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

persyaratan dan tatacara pelaksanaan jaminan Pemerintah

terhadap kewajiban pembayaran BPR. Ketentuan ini

merupakan perubahan atas ketentuan yang berlaku

sebelumnya yaitu Surat Keputusan Direksi No.31/166/

KEP/DIR dan No.31/167/KEP/DIR tanggal 11 Desember

1998. Dalam ketentuan ini ditetapkan kriteria simpanan

pihak ketiga yang dijamin maupun yang tidak dijamin

dengan memperhatikan tujuan pengaturan Program

Penjaminan Pemerintah itu sendiri yakni perlindungan

dana nasabah dan kepentingan publik. Sementara itu,

untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah,

BPR perlu memenuhi persyaratan yaitu pernyataan

keikutsertaan, membayar fee penjaminan dan

penyampaian dokumen pendukung administratif.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia

tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank

Indonesia serta Intervensi Rupiah. Ketentuan ini diubah

untuk menyesuaikan dengan jadwal operasional Sistem

Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS).

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai peru-

bahan atas PBI No.2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinja-

man Luar Negeri Antar Bank (Interbank Debt Exchange

246

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

15 3/15/PBI/2001 21-09-2001 LN Thn 2001 No.122

TLN No.4141

16 3/16/PBI/2001 03-10-2001 LN Thn 2001 No.123

TLN No.4142

17 3/17/PBI/2001 04-10-2001 LN Thn 2001 No.125

TLN No.4143

18 3/18/PBI/2001 17-10-2001 LN Thn 2001 No.130

TLN No.4147

19 3/19/PBI/2001 26-10-2001 LN Thn 2001 No.131

Offer). Pokok perubahan dalam ketentuan dimaksud adalah

mengenai dimungkinkannya sejumlah bank untuk melunasi

seluruh atau sebagian pinjaman Interbank Debt Exchange

Offer melalui Prepayment dan Buy Back. Penetapan Status

Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan

Pembekuan Kegiatan Usaha.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dan

pembekuan kegiatan usaha untuk melakukan penyehatan

industri BPR.

Bank Indonesia mengeluarkan perubahan kedua atas PBI

No.3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro (PKM) yang

memperpanjang masa pengelolaan PKM menjadi sampai

dengan tanggal 31 Desember 2001 dan dapat ditinjau

kembali berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah RI

dan Asian Development Bank.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

Laporan Berkala Bank Umum (LBBU). Dalam ketentuan

ini diatur bahwa bank umum termasuk kantor cabang bank

asing wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada

Bank Indonesia secara akurat, lengkap dan tepat waktu

yang dilakukan oleh kantor pusat bank.

Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan

mengenai persyaratan dan tata cara membawa Uang

Rupiah dalam jumlah tertentu keluar atau masuk wilayah

Republik Indonesia kecuali dengan persetujuan Bank

Indonesia.

Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang

Rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001 yang

pada bagian muka mencantumkan gambar Pahlawan

Nasional Tuanku Imam Bondjol sedangkan bagian

belakang mencantumkan gambar Pandai Sikek tenunan

dari Sumatera Barat.

247

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

20 3/20/PBI/2001 29-11-2001 LN Thn 2001 No. 140

21 3/21/PBI/2001 13-12-2001 LN Thn 2001 No.149

TLN No.4158

22 3/22/PBI/2001 13-12-2001 LN Thn 2001 No.150

TLN No.4159

23 3/23/PBI/2001 13-12-2001 LN Thn 2001 No.151

TLN No.4160

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

pencabutan PBI No.2/13/PBI/2000 tentang Jaminan

Pembiayaan Perdagangan Internasional dan

perubahannya PBI No.3/4/PBI.2001 sehubungan dengan

berakhirnya fasilitas perdagangan internasional pada

tanggal 30 Juni 2001.

Untuk menyesuaikan struktur permodalan sesuai dengan

standar internasional yang berlaku, maka terhitung sejak

akhir bulan Desember 2001 bank umum wajib

menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva

tertimbang menurut risiko.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

transparansi kondisi keuangan bank dalam rangka

pencapaian good corporate governance pada perbankan

Indonesia. Dengan adanya transparansi, diharapkan

dapat lebih meningkatkan kepercayaan publik terhadap

lembaga perbankan nasional. Di sisi lain, peningkatan

transparansi akan mengurangi kesenjangan informasi

sehingga para pelaku pasar dapat memberikan penilaian

yang wajar dan dapat mendorong terciptanya disiplin

pasar. Dalam ketentuan ini, diatur mengenai Pedoman

Akuntansi Perbankan Indonesia serta Hubungan Bank,

Akuntan Publik dan Bank Indonesia.

Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan

mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know

Your Customer/”KYC”) dalam rangka penerapan peraturan

sebelumnya secara lebih efektif. Pada intinya, penerapan

Prinsip KYC oleh bank dilakukan antara lain dengan

menyusun kebijakan dan prosedur Penerapan Prinsip

KYC yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan

Penerapan Prinsip KYC dengan mengacu pada Pedoman

Standar Penerapan KYC yang ditetapkan dalam Surat

Edaran Bank Indonesia.

248

Lampiran

No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan

Urut

24 3/24/PBI/2001 24-12-2001 LN Thn 2001 No.155

TLN No.4163

25 3/25/PBI/2001 26-12-2001 LN Thn 2001 No. 156

TLN No.4164

Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan

mengenai penetapan status Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) dalam pengawasan khusus dan pembekuan

kegiatan usaha dalam rangka mempercepat penyelesaian

BPR bermasalah sebagai upaya penyehatan industri

BPR.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan tentang

penetapan status bank dan penyerahan bank kepada

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan

dikeluarkannya ketentuan ini, maka Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No.2/11/PBI/2000 perihal sama tersebut

di atas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam

ketentuan ini diatur bahwa dalam hal Bank Indonesia

menilai kondisi suatu bank memiliki potensi kesulitan yang

dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka

bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan intensif

Bank Indonesia.

249

Lampiran

No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan

Urut

Daftar Surat Edaran (Ekstern)

Bank Indonesia Tahun 2001

Lampiran E.2

Perubahan atas Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga

yang Dijamin Pemerintah

Pemberian Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya

(KKPA) Dalam Rangka Penyaluran Kembali Angsuran Kredit

Likuiditas BI (KLBI) yang Dikelola oleh PT Permodalan

Nasional Madani (Persero)

Proyek Kredit Mikro

Jenis dan Batasan Nominal Warkat Serta Jadwal Penyeleng-

garaan Kliring Lokal di Jakarta

Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta

Asing oleh Bank

Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR 003, VR 0004, VR

0007, VR 0009, VR 0011, VR 0013, dan VR 0015 untuk

diperdagangkan di Pasar Sekunder serta Peningkatan

Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah yang Dapat

Diperdagangkan

Pencabutan SE No.5/163/ULN tanggal 30 Januari 1973

tentang Lampiran Mutasi Bulanan Rekening-Rekening PMA,

Rupiah PMA, dan Disc. Rupiah

Bank Umum

Petunjuk Pelaksanaan Pemberian KUK

Jadwal Kliring dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir Sistem

No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan

Urut

1 3/1/DPNP 05-01-2001

2 3/2/BKr 11-01-2001

3 3/3/BKr 16-01-2001

4 3/4/DASP 23-01-2001

5 3/5/DPD 31-01-2001

6 3/6/DPM 09-02-2001

7 3/7/DLN 09-03-2001

8 3/8/DPNP 16-03-2001

9 3/9/BKr 17-05-2001

10 3/10/DASP 28-05-2001

250

Lampiran

No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan

Urut

Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Jenis dan Batasan

Nominal Warkat atau Data Keuangan Elektronik

Perubahan Kedua Atas SE BI No.29/10/ULN tanggal 4 Juni

1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran Transaksi Impor

Perubahan Surat Edaran Bank Indonesia No.2/20/DLN

tanggal 9 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang

Luar Negeri

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank

Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga

Keuangan Non Bank

Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang

Dapat Diperdagangkan Bagi Bank Umum Peserta Program

Rekapitalisasi Perbankan

Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan

Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR

Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan

Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR

Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008,

VR0010, VR0012, VR0014 dan VR0016 untuk Diperdagang-

kan di Pasar Sekunder serta Peningkatan Prosentase

Portofolio Pemerintah yang Dapat Diperdagangkan bagi

Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan

Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang

Dijamin Pemerintah

Perubahan Atas SE BI No.2/24/DASP Tanggal 17 November

2000 Perihal Bank Indonesia Real Time Gross Settlement

Perubahan Atas SE BI No.2/27/DPM Tanggal 13 Desember

2000 Perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas

11 3/11/DLN 07-06-2001

12 3/12/DLN 08-06-2001

13 3/13/DSM 13-06-2001

14 3/14/DSM 13-06-2001

15 3/15/DPM 05-07-2001

16 3/16/DPBPR 18-07-2001

17 3/17/DPBPR 18-07-2001

18 3/18/DPM 31-07-2001

19 3/19/DPNP 14-08-2001

20 3/20/DASP 31-08-2001

21 3/21/DPM 03-09-2001

251

Lampiran

No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan

Urut

Intrahari Bagi Bank Umum

Perubahan SE No.3/3/BKr tanggal 16 Januari 2001 tentang

Proyek Kredit Mikro

Laporan Berkala Bank Umum

Tata Cara Penatausahaan Obligasi Pemerintah

Perubahan Atas SE No.1/4/DASP tanggal 29 November 2001

perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk

Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat

Kantor Bank Indonesia

Perubahan SE No.3/10/DASP tanggal 28 Mei 2001 perihal

Jadwal Kliring dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem

Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Jenis dan Batasan

Nominal Warkat atau Data Keuangan Elektronik

Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada

Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti

Penggunaan Jasa Kurir dan Tanda Pengenal Petugas Kliring

(TPPK) Dalam Penyelenggaraan Kliring Yang Menggunakan

Sistem Otomasi Elektronik

Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah

Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank

Umum serta Laporan Tertentu Yang Disampaikan Kepada

Bank Indonesia

Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu

Yang Disampaikan Kepada Bank Indonesia

Hubungan Antara Bank, Akuntan Publik dan Bank Indonesia

Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia

22 3/22/BKr 16-10-2001

23 3/23/DPNP 30-10-2001

24 3/24/DPM 16-11-2001

25 3/25/DASP 28-11-2001

26 3/26/DASP 5-12-2001

27 3/27/DASP 12-12-2001

28 3/28/DASP 12-12-2001

29 3/29/DPNP 13-12-2001

30 3/30/DPNP 14-12-2001

31 3/31/DPNP 14-12-2001

32 3/32/DPNP 14-12-2001

33 3/33/DPNP 14-12-2001

252

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Penting

di Bidang Ekonomi dan Keuangan Tahun 2001

Lampiran E.3

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai ketentuan

kuota ekspor tekstil dan produk tekstil.

Dalam upaya mendorong Kerjasama Ekonomi Sub Regional

antar daerah-daerah dari negara-negara tetangga, Pemerintah

membentuk Tim Koordinasi Kerjasama Ekonomi Sub Regional.

Sehubungan dengan adanya perubahan susunan organisasi

dan instansi dalam Kabinet periode tahun 1999-2004, maka

Pemerintah melakukan penyesuaian susunan keanggotaan

Tim Nasional untuk Perundingan Perdagangan Multilateral

dalam kerangka World Trade Organization.

Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai penghentian

perdagangan (suspensi) atas efek perusahaan tercatat yang

mengalami peristiwa atau kejadian penting yang berdampak

material terhadap kelangsungan usahanya dan atau proses

pembentukan harga efek yang teratur, wajar dan efisien di

bursa. Peristiwa penting tersebut antara lain Laporan

Keuangan Tahunan Auditan Perusahaan Tercatat memper-

oleh opini disclaimer sebanyak 2 kali berturut-turut atau

Perusahaan Tercatat dimohonkan pailit oleh krediturnya atau

mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pem-

bayaran Utang (PKPU).

2001

Januari

4

18

29

31

SK Memperindag

No.01/MPP/Kep/1/2001

Keppres No.13

Tahun 2001

Keppres No.18

Tahun 2001

SE PT Bursa Efek Jakarta

No.SE-002/BEJ/012001

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

253

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Pemerintah mengeluarkan ketentuan pemotongan pajak

penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta

diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan

besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk

turunannya.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan

pembagian hasil penerimaan pajak penghasilan orang

pribadi dalam negeri dan pajak penghasilan pasal 21 antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Dalam rangka mendukung program restrukturisasi utang,

Pemerintah memandang perlu untuk menetapkan peraturan

yang memberi keringanan pajak penghasilan kepada wajib

pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui

lembaga khusus yang dibentuk pemerintah.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara

penghitungan besarnya pemberian imbalan bunga kepada

wajib pajak.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan

eksportir terdaftar tekstil dan produk tekstil pengusaha kecil

dan koperasi (STTPT-PKK) untuk memperoleh kuota

pertumbuhan (KPt) tekstil dan produk tekstil tahun 2001.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai crash

program pengurusan piutang negara perbankan II.

Februari

7

9

14

19

SK Menkeu No.51/

KMK.04/2001

SK Menkeu No.66/

KMK.17/2001

SK Menkeu No.6/

KMK.04/2001

PP No.7 Tahun 2001

SE Dirjen Pajak

No.SE-03/PJ.33/2001

SK Menperindag No.51/

MPP/Kep/2/2001

SK Menkeu No.81/

KMK.01/2001

254

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

SK Menkeu No.88/

KMK.03/2001

Kep-06/PM/2001

SK Dirjen Pajak No.

KEP-213/PJ/2001

SK Dirjen Pajak No.

KEP-217/PJ/2001

PBI No.3/6/PBI/2001

Kep-07/PM/2001

20

Maret

8

15

16

22

23

Pemerintah mengeluarkan peraturan pelimpahan wewenang

penanganan dan penandatanganan keputusan dan surat-

surat yang berhubungan dengan pemberian pelayanan

kemudahan ekspor kepada Kepala Badan Informasi dan

Tehnologi Keuangan.

Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai pembatasan

atas saham yang diterbitkan sebelum penawaran umum

untuk dialihkan kepada pihak lain.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan

perpajakan atas penyediaan makanan dan minuman bagi

seluruh pegawai dan penggantian atau imbalan sehubungan

dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk

natura dan kenikmatan di daerah tertentu serta yang berkai-

tan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat dikurangkan

dari penghasilan bruto pemberi kerja.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai tatacara

penerbitan surat keterangan bebas (SKB) pemotongan pajak

penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskon-

to sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh dana

pensiun yang pendirinya telah disahkan Menkeu.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai impor dan

atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat

strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertam-

bahan nilai.

Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai hak memesan

255

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

27

28

29

April

11

16

efek terlebih dahulu. Apabila suatu perusahaan yang telah

melakukan Penawaran Umum saham atau Perusahaan

Publik bermaksud menambah modal sahamnya, termasuk

melalui penerbitan waran atau efek konversi, maka setiap

pemegang saham harus diberi Hak Memesan Efek Terlebih

Dahulu atas Efek baru dimaksud sebanding dengan persen-

tase pemilikan mereka.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pemberi-

tahuan berlakunya persetujuan penghindaran pajak

berganda (P3B) RI-Venezuela.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pengha-

pusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan

perpajakandikawasan pengembangan ekonomi terpadu

(Kapet).

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai harga jual

eceran bahan bakar minyak dalam negeri.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai kebijakan

penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusa-

haan berdasarkan hasil rapat komite kebijakan sektor

keuangan tanggal 11 April 2001.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai keringanan

bea masuk atas impor bahan baku/penolong dan bagian/

komponen untuk perakitan mesin dan motor berputar.

PP No.12 Tahun 2001

SE Dirjen Pajak No.SE-

02/PJ.10/2001

SK Dirjen Pajak No.

KEP-238/PJ/2001

SK Dirjen Pajak No.

KEP-229/PJ/2001

Kep.Presiden No.45

Tahun 2001

Kep.Komite Kebijakan

Sektor Keuangan No.

Kep-01/K.KKSK/04/2001

SK Menkeu No.190/

KMK.01/2001

256

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan

PPn & PPnBM atas impor barang kena pajak yang dibebas-

kan dari pungutan bea masuk.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai impor mesin

dan peralatan mesin bukan baru.

Pemerintah mengeluarkan perubahan ketiga ketentuan

tentang bea masuk, bea masuk tambahan, pajak pertam-

bahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dan

pajak penghasilan dalam rangka pelaksanaan proyek

pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman

luar negeri dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan

atas peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2000 tentang

pembayaran pajak penghasilan orang pribadi yang akan

bertolak ke luar negeri.

Pemerintah mengeluarkan perubahan keempat atas PP

No.17 Tahun 1999 tentang BPPN yang menetapkan bahwa

sebelum dilakukan penyerahan oleh BPPN kepada Bank

Indonesia, Bank Dalam Penyehatan yang telah selesai

menjalani program penyehatan terlebih dahulu melalui masa

pengamatan di BPPN paling lama 6 bulan terhitung sejak

Bank Dalam Penyehatan tersebut memenuhi persyaratan

atau kriteria tingkat kesehatan untuk diserahkan kepada

Bank Indonesia.

30

Mei

17

18

28

Juni

8

SK Menkeu No.231/

KMK.03/2001

SK Menperindag No.172/

MPP/Kep/5/2001

PP No.25 Tahun 2001

PP No.41 Tahun 2001

PP No.47 Tahun 2001

257

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai harga jual

eceran bahan bakar minyak dalam negeri.

Menteri Keuangan RI mengeluarkan ketentuan mengenai

divestasi saham negara dalam rangka penyertaan modal

sementara oleh BPPN.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan

rincian jumlah dana kontingensi untuk bantuan kepada

pemerintah daerah yang mengalami surplus marginal setelah

pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen

(P3D).

Sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah

diratifikasi Indonesia, maka pengaturan mengenai paten dan

merek menjadi sangat penting terutama dalam menjaga

persaingan usaha yang sehat. Untuk itu, Pemerintah menge-

luarkan peraturan mengenai paten dan merek yang masing-

masing diatur dalam undang-undang.

Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang

pencapaian maksud dan tujuannya di bidang sosial, keaga-

maan dan kemanusiaan dengan cara mendirikan badan

usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Keka-

yaan yayasan dilarang dialihkan atau dibagikan secara

langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus,

pengawas dan karyawan yayasan atau pihak lain yang

mempunyai kepentingan terhadap yayasan.

15

Juli

9

23

Agustus

1

6

Kep.Presiden No.73

Tahun 2001

Keputusan

Menteri Keuangan No.

401/KMK.01/2001

SK Menkeu No.190/

KMK.01/2001

UU No.14 Tahun 2001

UU No.16 Tahun 2001

258

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pengalihan

kedudukan, tugas dan kewenangan menteri keuangan pa-

da badan penyehatan perbankan nasional kepada menteri

negara badan usaha milik negara.

Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan ketentuan menge-

nai tata cara pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta

kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank

dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa. Dalam

melaksanakan penyitaan, terlebih dahulu dilakukan pemblo-

kiran terhadap harta kekayaan dimaksud. Untuk melak-

sanakan pemblokiran, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/

Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan wajib menga-

jukan permohonan pemblokiran kepada pimpinan bank

tempat harta kekayaan penanggung pajak tersimpan disertai

dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melak-

sanakan Penyitaan. Selanjutnya, pimpinan bank wajib mem-

blokir seketika dan membuat Berita Acara.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan

jalur bagi barang ekspor yang mendapat fasilitas pengem-

balian bea masuk dan atau cukai serta pajak pertambahan

nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pem-

bentukan tim pemantauan harga dan antisipasi pengadaan

dan pendistribusian barang kebutuhan pokok menghadapi

hari raya keagamaan nasional tahun 2001/2002.

PP No.63 Tahun 2001

Keputusan Dirjen Pajak

No.KEP-627/PJ/2001

SE Dirjen Bea dan Cukai

No.SE-31/BC/2001

SK Menperindag No.300/

MPP/Kep/10/2001

September

13

24

27

Oktober

24

259

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

SK Menperindag No.311/

MPP/Kep/10/2001

Keputusan Gubernur DKI

Jakarta No.3052 Tahun

2001

UU No.19 Tahun 2001

PP No.22 Tahun 2001

PP No.78 Tahun 2001

PP No.79 Tahun 2001

PP No.80 Tahun 2001

Kep.Komite Kebijakan

Sektor Keuangan

No.Kep-01/K.KKSK/12/2001

Keputusan

Menteri Keuangan No.625/

KMK.01/2001

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai ketentuan

kuota ekspor tekstil dan produk tekstil.

Gubernur DKI Jakarta menetapkan Upah Minimum Propinsi

(UMP) Tahun 2002 di Propinsi DKI Jakarta sebesar

Rp591.266,- per bulan.

Pemerintah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN) Tahun Anggaran 2002 yang diperkirakan

akan mengalami defisit dan akan dibiayai dari pembiayaan

defisit anggaran yang bersumber dari pembiayaan dalam

negeri dan luar negeri.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai minyak dan

gas bumi.

Negara c.q.Pemerintah menjual saham milik negara RI yang

ada pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Socfin

Indonesia dan PT Wisma Nusantara Internasional.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai kebijakan

penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusa-

haan berdasarkan hasil rapat komite kebijakan sektor ke-

uangan tanggal 11 Desember 2001.

Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan untuk menunda

pelaksanaan PP No.107 Tahun 2000 tentang Pinjaman

Daerah, dimana dengan UU tersebut Pemerintah Daerah

dapat memanfaatkan pinjaman daerah sebagai salah satu

30

31

November

14

23

Desember

7

11

12

260

Lampiran

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

PP No.127 Tahun 2001

PP No.83 Tahun 2001

sumber untuk membiayai pelaksanaan pembangunan dae-

rah dengan memperhatikan kemampuan daerah dalam

mengelola dan mengembalikan pinjaman tersebut. Dengan

keputusan dimaksud, perjanjian baru pinjaman daerah yang

bersumber dari dalam negeri dan luar negeri ditunda sampai

dengan berakhirnya tahun anggaran 2002.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai bidang/jenis

usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidang/

jenis usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau

besar dengan syarat kemitraan.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan

atas peraturan pemerintah nomor 20 tahun 1994 tentang

pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam

rangka penanaman modal asing.

14

19

Lampiran

263

Pengeluaran konsumsi 308.816,9 286.850,6 299.084,5 310.725,2 329.841,7

Rumah tangga 277.116,1 260.022,7 272.070,2 281.957,4 298.703,6

Pemerintah 31.700,8 26.827,9 27.014,3 28.767,8 31.138,1

Pembentukan modal tetap domestik bruto 139.725,6 93.604,7 76.572,9 93.360,2 97.057,7

Perubahan stok 3.341,7 -6.386,9 -9.622,1 -27.232,6 -31.371,6

Ekspor barang dan jasa 121.157,9 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0

dikurangi Impor barang dan jasa 139.796,1 132.400,7 78.546,4 95.112,1 102.772,7

Produk Domestik Bruto 433.246,0 376.374,7 379.352,5 397.934,3 411.132,1

Pendapatan neto terhadap luar negeri

atas faktor produksi -15.462,9 -27.965,4 -22.145,1 -25.391,1 -17.399,1

Produk Nasional Bruto 417.783,1 348.409,5 357.207,4 372.543,2 393.733,0

dikurangi Pajak tidak langsung 26.100,1 1.858,9 6.181,9 -11.687,3 8.815,8

dikurangi Penyusutan 21.662,4 18.818,8 18.967,6 19.896,7 20.556,6

Pendapatan Nasional 370.020,6 327.731,8 332.057,9 364.333,7 364.360,6

Pengeluaran konsumsi 430.122,7 702.239,5 885.814,6 958.776,8 1.110.103,0

Rumah tangga 387.170,7 647.823,6 813.183,3 867.997,1 999.266,3

Pemerintah 42.952,0 54.415,9 72.631,3 90.779,7 110.836,7

Pembentukan modal tetap domestik bruto 177.686,1 243.043,4 221.472,3 268.669,4 310.908,7

Perubahan stok 21.615,1 -82.716,1 -96.461,4 -81.384,6 -56.820,0

Ekspor barang dan jasa 174.871,3 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2

dikurangi Impor barang dan jasa 176.599,8 413.058,1 301.654,0 407.036,4 485.699,7

Produk Domestik Bruto 627.695,4 955.753,5 1.099.731,6 1.282.017,6 1.490.974,2

Pendapatan neto terhadap luar negeri

atas faktor produksi -18.355,0 -53.893,7 -83.764,2 -92.161,8 -58.079,0

Produk Nasional Bruto 609.340,4 901.859,8 1.015.967,4 1.189.855,8 1.432.895,2

dikurangi Pajak tidak langsung 37.828,7 6.480,5 17.950,1 -37.820,3 31.425,7

dikurangi Penyusutan 31.384,8 47.787,7 54.986,6 64.100,9 74.548,7

Pendapatan Nasional 540.126,9 847.591,6 943.030,7 1.163.575,2 1.326.920,8

Memorandum item:

Produk Domestik Bruto per kapita1)

dalam ribuan rupiah 3.205,5 4.814,7 5.489,7 6.301,2

dalam $ 1.118,3 491,1 696,5 777,3

Produk Nasional Bruto per kapita1)

dalam ribuan rupiah 3.111,8 4.543,2 5.071,5 5.848,2

dalam $ 1.085,6 463,4 643,5 721,4

Pendapatan Nasional per kapita1)

dalam ribuan rupiah 2.758,3 4.269,8 4.707,5 5.719,1

dalam $ 962,3 435,5 597,3 705,4

Tabel 1

Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan

(miliar rupiah)

Jenis penggunaan 1997 1998 1999 2000* 2001**

Harga konstan 1993

1) Berdasarkan harga berlaku

Sumber : Badan Pusat Statistik

Harga berlaku

Lampiran

264

Tabel 2

Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha

(miliar rupiah)

Pertanian, peternakan,

kehutanan, dan perikanan 64.468,0 63.609,5 64.985,3 66.088,3 66.503,8 101.009,4 172.827,6 215.686,7 218.301,3 244.381,0

Tanaman bahan makanan 32.688,4 33.350,4 34.012,4 34.312,2 33.932,1 52.189,4 91.346,0 116.222,5 111.886,5 124.287,7

Tanaman perkebunan 10.496,6 10.501,8 10.702,0 10.870,7 11.096,3 16.447,3 33.289,6 35.966,5 33.993,8 38.434,8

Peternakan 7.483,1 6.439,7 6.836,9 7.051,6 7.322,4 11.688,2 15.743,6 23.761,2 28.087,5 31.575,1

Kehutanan 7.189,8 6.580,7 6.288,1 6.364,4 6.431,5 6.806,5 11.700,5 13.803,8 14.861,8 15.406,2

Perikanan 6.610,1 6.736,9 7.145,8 7.489,4 7.721,6 10.878,0 20.747,9 25.932,8 29.471,7 34.677,2

Pertambangan dan penggalian 38.538,2 37.474,0 36.865,8 38.730,2 38.483,3 55.561,9 120.328,5 109.925,4 176.639,9 202.680,1

Minyak dan gas bumi 23.919,8 23.340,1 22.136,8 22.658,3 21.706,9 34.036,7 74.883,7 72.424,9 131.079,4 143.063,4

Pertambangan tanpa migas 7.645,6 9.678,0 10.357,7 11.459,3 11.966,1 11.192,4 35.459,9 27.696,1 34.031,6 45.558,1

Penggalian 6.972,8 4.455,9 4.371,2 4.612,6 4.810,3 10.332,8 9.984,9 9.804,3 11.528,8 14.058,6

Industri pengolahan 107.629,7 95.320,6 99.058,5 105.102,5 109.641,3 168.178,0 238.897,1 385.873,9 335.339,4 389.320,9

Industri migas 10.650,3 11.042,2 11.797,2 11.599,9 11.271,5 15.621,9 33.172,4 35.127,6 53.167,6 61.878,0

Pengilangan minyak bumi 5.925,5 6.310,0 6.606,6 6.843,1 6.964,5 8.116,1 15.092,2 16.320,8 22.500,1 28.604,9

Gas alam cair 4.724,8 4.732,3 5.190,6 4.756,9 4.307,0 7.505,8 18.080,2 18.806,8 30.667,4 33.273,1

Industri tanpa migas 96.979,4 84.278,4 87.261,3 93.502,6 98.369,8 152.556,1 205.724,7 250.746,3 282.171,8 327.443,0

Listrik, gas, dan air bersih 5.479,9 5.646,1 6.112,9 6.649,5 7.210,0 7.832,4 11.283,1 13.429,0 15.072,4 17.285,6

Bangunan 35.346,4 22.465,3 22.035,6 23.246,9 24.168,0 46.678,8 61.761,6 67.616,2 76.090,8 84.045,3

Perdagangan, hotel, dan restoran 73.523,8 60.130,7 60.093,7 63.448,8 66.691,8 99.581,9 146.740,1 175.835,4 194.910,1 239.959,2

Perdagangan besar dan eceran 58.842,3 47.845,9 47.574,5 50.284,3 52.859,0 77.543,3 116.688,5 140.588,7 155.184,4 193.692,6

Hotel dan restoran 14.681,6 12.284,8 12.519,2 13.164,5 13.832,7 22.038,6 30.051,6 35.246,7 39.725,7 46.266,6

Pengangkutan dan komunikasi 31.782,5 26.975,1 26.772,1 29.284,0 31.483,0 38.530,9 51.937,2 55.189,6 64.550,1 79.824,8

Pengangkutan 25.609,1 20.503,8 19.737,6 21.430,5 22.746,9 31.497,6 41.837,2 42.735,7 49.336,7 62.274,4

Komunikasi 6.173,4 6.471,3 7.034,5 7.853,5 8.736,1 7.033,3 10.100,0 12.453,9 15.213,4 17.550,4

Keuangan, persewaan, dan jasa

perusahaan 38.543,0 28.278,7 26.244,6 27.382,7 28.201,1 54.360,3 69.891,7 71.220,2 79.476,8 92.459,4

Bank 1) 19.956,0 13.173,0 11.861,7 12.429,5 12.899,0 25.205,2 31.710,2 31.088,6 35.404,8 42.234,2

Sewa bangunan & jasa perusahaan 18.587,0 15.105,7 14.382,8 14.953,1 15.302,2 29.155,1 38.181,5 40.131,6 44.072,1 50.225,2

Jasa-jasa 37.934,5 36.475,0 37.184,0 38.001,5 38.749,9 55.962,0 82.102,5 104.955,3 121.636,9 141.017,8

Pemerintahan umum 23.616,5 21.887,5 22.250,6 22.555,1 22.795,4 32.127,9 40.641,0 59.745,0 69.460,2 81.850,9

Swasta 14.318,0 14.587,5 14.933,4 15.446,4 15.954,5 23.834,1 41.445,8 48.210,3 52.176,7 59.166,9

PRODUK DOMESTIK BRUTO 433.245,9 376.374,9 379.352,5 397.934,3 411.132,1 627.695,6 989.611,6 1.099.731,6 1.282.017,6 1.490.974,2

Nonmigas 398.675,8 341.992,5 345.418,5 363.676,1 378.153,8 578.037,0 881.555,5 992.179,1 1.097.770,6 1.286.032,8

Migas 34.570,1 34.382,4 33.934,0 34.258,2 32.978,3 49.658,6 108.056,1 107.552,5 184.247,0 204.941,4

Lapangan usaha

Harga konstan 1993 Harga berlaku

1997 1998 1999 2000* 2001** 1997 1998 1999 2000* 2001**

1) Termasuk lembaga keuangan di luar bank dan jasa penunjang keuangan

Sumber : Badan Pusat Statistik

Lampiran

265

1. Ekspor barang dan jasaatas dasar harga berlaku 174.871,3 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2

2. Ekspor barang dan jasaatas dasar harga konstan 121.157,9 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0

3. Deflator ekspor (1:2) x 100) 144,3 375,8 425,2 467,3 517,4

4. Impor barang dan jasaatas dasar harga berlaku 176.599,8 413.058,1 301.654,0 407.036,4 485.699,7

5. Impor barang dan jasaatas dasar harga konstan 139.796,1 132.400,7 78.546,4 95.112,1 102.772,7

6. Deflator impor (4:5) x 100) 126,3 312,0 384,0 428,0 472,6

7. Indeks nilai tukar dagang (3:6) x 100) 114,3 120,5 110,7 109,2 109,5

8. Perubahan indeksnilai tukar dagang (%) 7,89 5,43 -8,10 -1,36 0,26

9. Kapasitas impor riil dari ekspor(1:6) x 100) 138.427,8 162.270,6 101.696,3 126.880,9 129.599,5

10. Pengaruh nilai tukar dagang (9 - 2) 17.269,9 27.563,4 9.832,7 10.687,3 11.222,5

11. Perubahan nilai tukar dagang (%) 160,33 59,60 -64,33 8,69 5,01

12. PDB atas dasar harga konstan 1993 433.246,0 376.374,7 379.352,5 397.934,3 411.132,1

13. Perubahan PDB atas dasarharga konstan (%) 4,70 -13,13 0,79 4,90 3,32

14. Pendapatan Domestik Bruto (PnDB) -415.976,1 -348.811,3 -369.519,8 -387.247,0 -399.909,6(10 - 12)

15. Pertumbuhan PnDB (%) 2,16 -16,15 5,94 4,80 3,27

Tabel 3

Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto

(miliar rupiah)

Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Rincian 1997 1998 1999 2000* 2001**

Lampiran

266

Tanaman pangan

Padi 49.377,1 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.096,5 1)

Jagung 8.770,9 10.169,4 9.204,0 9.676,9 9.121,4 1)

Ubi kayu 15.134,0 14.696,2 16.458,5 16.089,0 -

Ubi jalar 1.847,5 1.935,0 1.665,5 1.827,7 -

Kacang tanah 688,3 692,4 659,6 736,5 695,8 1)

Kacang kedelai 1.356,9 1.305,6 1.382,8 1.017,6 862,6 1)

Kacang hijau 261,7 306,1 265,1 289,9 286,5 1)

Tanaman perkebunan

Karet Kering 309,8 330,9 303,7 336,2 138,3 2)

Minyak Sawit 2.980,9 3.855,4 4.024,8 4.094,0 1.466,5 2)

Biji Sawit 708,3 778,3 914,6 930,6 333,3 2)

Coklat 59,7 83,0 59,0 59,7 23,6 2)

Kopi 23,0 24,1 27,3 29,5 2,6 2)

T e h 99,9 157,2 132,2 127,8 56,2 2)

Kulit Kina 0,1 0,4 0,4 0,6 0,1 2)

Gula Tebu 2.166,7 2.065,3 1.907,5 1.896,3 224,4 2)

Tembakau 8,1 17,8 28,1 14,8 0,3 2)

Kehutanan

Kayu Bulat 3) 29.520,3 19.026,9 20,619,9 - -

Kayu Gergajian 3) 2.613,5 2.707,2 2,060,2 - -

Kayu Lapis 3) 6.709,8 7.154,7 4,611,9 - -

Peternakan

Daging 1.555,1 1.228,5 1.193,5 1.445,2 1.450,7 4)

Telur 768,6 529,8 640,4 783,3 793,8 4)

Susu (juta liter) 423,7 375,4 436,0 495,7 505,0 4)

Perikanan

Laut 3.613,0 3.837,0 3.950,0 - -

Darat 966,5 1.000,0 1.020,0 - -

1) Angka Prakiraan Triwulan III-20012) Data sampai dengan bulan Juli 20013) Tahun fiskal dalam ribu meter kubik4) Angka sementaraSumber : – Departemen Pertanian

– Departemen Kehutanan– Badan Pusat Statistik

Tabel 4

Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian

(ribu ton)

Rincian 1997 1998 1999 2000 2001

Lampiran

267

Produksi (ribu ton)

Padi 49.377,1 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.096,5

Jagung 8.770,9 10.169,4 9.204,0 9.676,9 9.121,4

Ubi kayu 15.134,0 14.696,2 16.458,5 16.089,0 -

Ubi jalar 1.847,5 1.935,0 1.665,5 1.827,7 -

Kacang tanah 688,3 692,4 659,6 736,5 695,8

Kacang kedelai 1.356,9 1.305,6 1.382,8 1.017,6 862,6

Kacang hijau 261,7 306,1 265,1 289,9 286,5

Luas panen (ribu hektar)

Padi 11.140,6 11.730,3 11.963,2 11.793,5 11.412,0

Jagung 3.355,2 3.847,8 3.456,4 3.500,3 3.305,1

Ubi kayu 1.243,4 1.205,4 1.350,0 1.284,0 1.279,9

Ubi jalar 195,4 202,1 172,2 194,3 167,1

Kacang tanah 628,1 651,1 625,0 683,6 650,7

Kacang kedelai 1.119,1 1.095,1 1.151,1 824,5 723,0

Kacang hijau 294,2 339,2 298,1 131,3 319,6

Produktivitas (kuintal/hektar)

Padi 44,3 42,0 42,5 44,0 43,9

Jagung 26,1 26,4 26,6 27,6 27,6

Ubi kayu 121,7 121,9 121,9 125,3 -

Ubi jalar 94,5 95,8 96,7 94,1 -

Kacang tanah 11,0 10,6 10,6 10,8 10,7

Kacang kedelai 12,1 11,9 12,0 12,3 11,9

Kacang hijau 8,9 9,0 8,9 22,1 9,0

Tabel 5

Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas

Tanaman Pangan

Rincian 1997 1998 1999 2000 20011)

1) Angka Prakiraan Triwulan III 2001

Sumber : Departemen Pertanian

Lampiran

268

Tabel 6

Hasil Beberapa Jenis Produk

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Rincian Satuan 1997 1998 1999 2000 2001

Pertambangan Migas

Minyak Mentah 1) Juta Barel 576,4 569,2 545,7 507,3 448,7 2)

LNG Ribu Metric Ton 27.136,7 27.179,9 29.812,4 27.203,0 10.727,2 3)

LPG Ribu Metric Ton 2.805,1 2.312,2 2.249,8 2.047,3 892,2 3)

Pertambangan Non Migas

Batubara Ribu Metric Ton 52.074,3 60.320,8 69.357,6 76.820,2 52.406,8 4)

Nikel Ribu Metric Ton 2.829,9 2.734,0 3.245,3 3.349,3 2.079,5 4)

Tembaga 1) Ribu Metric Ton 1.840,7 2.640,0 2.645,2 3.193,5 2.241,8 4)

Timah Ribu Metric Ton 55,2 54,0 47,8 50,2 48,7 4)

Bauksit Ribu Metric Ton 808,7 1.055,6 1.142,5 1.175,4 926,8 4)

Pasir Besi Ribu Metric Ton 487,4 561,0 562,3 538,9 341,9 4)

Emas Ribu Kg 90,0 124,0 129,0 117,6 99,3 4)

Perak Ribu Kg 270,4 350,0 292,3 334,6 154,6 4)

1) Termasuk Kondensat

2) Data sampai dengan bulan November 2001

3) Data sampai dengan bulan Mei 2001

4) Data sampai dengan bulan September 2001

Sumber : - Departemen Pertambangan dan Energi

- Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi

- Badan Pusat Statistik

Total 64.314,5 64.383,3 71.337,7 79.050,3 69.964,5

Sosial 1.396,3 1.425,8 1.488,7 1.667,1 1.508,0

Rumah Tangga 22.642,4 24.391,0 26.859,2 30.506,0 27.381,8

Bisnis 8.660,4 8.507,5 9.332,2 10.224,4 9.002,1

Industri 29.358,1 27.779,1 31.338,5 33.994,4 29.876,3

Publik 2.257,3 2.280,0 1.341,6 2.096,7 1.990,9

Multiguna - - 977,3 561,7 205,4

Tabel 7

Penjualan Tenaga Listrik

(juta KWJ)1)

T a h u n 1997 1998 1999 2000 20011)

1) Data sampai dengan bulan Oktober 2001

Sumber : PT. Perusahaan Listrik Negara

Lampiran

269

Tabel 8

Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi

(dalam rupiah)

Rincian 1997 1998 1999 2000 2001

D.I. Aceh 4.270 4.900 5.700 8.833 10.000

Sumatera Utara 5.030 5.800 7.000 8.467 11.350

Sumatera Barat 3.970 4.567 5.333 6.667 8.333

Riau 5.050 5.800 7.267 10.000 14.050

Batam 7.830 9.000 9.667 14.167 17.000

Jambi 3.980 4.583 5.000 5.767 8.167

Sumatera Selatan 4.250 5.183 5.850 6.533 8.500

Bengkulu 4.250 4.883 5.000 5.777 8.000

Lampung 4.200 4.833 5.333 6.400 8.000

DKI Jakarta 5.750 6.617 7.700 11.475 14.208

Jawa Barat 5.120 5.892 6.958 7.667 8.167

Jawa Tengah 3.770 4.333 5.100 6.167 8.167

D.I. Yogyakarta 3.550 4.083 4.333 6.483 7.917

Jawa Timur 4.150 4.767 5.683 0 8.355

Bali 4.720 5.417 5.883 6.343 10.325

Nusa Tenggara Barat 3.600 4.133 4.833 6.000 8.000

Nusa Tenggara Timur 3.550 4.083 4.767 6.133 9.167

Timor Timur 4.600 5.283 6.100 0 n.a.

Kalimantan Barat 4.220 4.850 5.833 7.600 10.150

Kalimantan Tengah 4.600 5.283 6.500 9.500 12.067

Kalimantan Selatan 4.170 4.800 5.533 6.667 9.833

Kalimantan Timur 5.100 5.867 6.467 7.767 10.000

Sulawesi 3.930 4.517 5.167 6.200 12.400

Sulawesi 3.550 4.083 5.000 6.767 8.167

Sulawesi 3.750 4.317 4.933 6.667 10.000

Sulawesi 4.030 4.633 5.333 7.000 9.167

Maluku 4.530 5.217 6.000 6.000 7.667

Irian Jaya 5.670 6.517 7.500 10.500 13.333

Rata-rata 1) 4.347 5.009 5.782 7.053 9.750

Rata-rata 2) 4.471 5.151 5.921 7.316 10.018

Perubahan (%) 3) 10 15 15 22 38

1) Tidak termasuk Batam

2) Termasuk Batam

3) Perubahan tidak termasuk Batam

Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (diolah)

Lampiran

270

Tabel 9

Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri

yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor

(miliar rupiah)

Sektor 1997 1998 1999 2000 20012) 1968 s.d. Juli 2000

Nilai a) Proyek b)

Pertanian, kehutanan, dan perikanan 14.807,7 5.315,1 2.408,3 1.578,7 1.331,0 88.020,7 1.711

Pertanian 13.737,5 4.757,9 1.614,8 1.408,3 731,0 70.944,4 1.094

Kehutanan 165,5 542,9 749,3 35,0 445,9 6.608,7 301

Perikanan 904,7 14,3 44,2 135,4 154,1 10.467,6 316

Pertambangan 126,3 116,3 174,0 36,4 1.198,2 5.974,4 172

Industri 79.334,3 44.908,0 46.747,5 81.976,1 41.609,1 580.991,0 6.561

Makanan 13.048,6 6.711,8 12.729,9 8.547,6 8.957,0 153.704,9 990

Tekstil 6.831,3 1.137,6 2.561,5 2.386,4 2.217,4 56.017,6 1.358

Kayu 762,2 1.971,9 1.229,0 168,8 546,5 19.342,0 816

Kertas 11.841,9 12.754,1 20.244,1 8.174,2 4.771,0 101.120,1 423

Kimia dan farmasi 22.497,2 15.583,2 2.480,9 56.435,9 22.236,2 122.656,5 1.350

Mineral bukan logam 11.638,7 3.469,0 70,4 3.523,0 596,5 63.561,2 436

Logam dasar 8.021,5 1.786,3 6.354,2 274,3 287,0 33.437,8 211

Barang-barang logam 4.683,9 960,9 1.070,7 2.465,9 0,0 30.024,3 873

Lain-lain 9,0 533,2 6,8 0,0 1.997,5 1.126,6 104

Konstruksi 877,0 1.992,0 395,1 843,6 2.006,8 9.569,2 170

Perhotelan 2.587,9 1.150,4 1.379,9 153,5 2.459,0 32.676,8 717

Pengangkutan 4.649,4 3.260,5 225,3 1.801,6 1.416,4 26.151,8 1.004

Perumahan dan perkantoran 4.300,5 1.547,5 995,5 292,6 4.540,9 37.540,0 369

Jasa lainnya 13.189,8 2.459,5 1.226,3 1.611,9 1.635,1 28.715,4 387

Jumlah 119.872,9 60.749,3 53.551,9 88.294,4 56.196,5 809.639,3 11.091

Jumlah1)

1) a. Data kumulatif investasi sejak 1968 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan

b. Data kumulatif proyek sejak 1968 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih-status, dan penggabungan dikurangi pencabutan

Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMDN) sejak th. 1968 hanya sampai dengan Juli 2000

2) Data s.d. akhir Desember 2001

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Lampiran

271

Tabel 10

Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri

yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I

(miliar rupiah)

Daerah Tingkat I 1997 1998 1999 2000 20012) 1968 s.d. Juli 2000

Nilai a) Proyek b)

Jawa dan Madura 63.680,8 18.871,5 22.126,8 17.314,0 20.272,4 401.423,9 7.419

DKI Jakarta 8.553,5 4.289,7 1.260,5 3.521,8 7.845,4 71.339,3 1.841Jawa Barat 37.423,5 8.117,1 18.393,9 9.742,2 7.024,7 3) 221.414,4 3.434Jawa Tengah 5.764,2 2.574,9 849,6 1.019,5 2.174,3 36.884,6 758DI Yogyakarta 235,6 6,0 34,6 119,9 105,5 2.053,4 127Jawa Timur 11.704,0 3.883,8 1.588,2 2.910,6 3.122,5 69.732,2 1.259

Sumatera 33.561,7 10.669,4 14.746,3 35.584,3 8.677,3 239.389,2 1.677

DI Aceh 1.114,1 1.297,3 94,2 89,6 64,4 9.435,6 135Sumatera Utara 3.395,5 1.101,5 1.079,4 363,8 981,6 15.841,5 356Sumatera Barat 522,6 336,8 597,6 575,5 1,0 90.401,7 137Riau 11.862,4 4.925,1 9.091,5 33.285,1 5.584,5 61.807,6 470Jambi 9.793,5 1.429,4 3.001,7 882,2 771,5 28.618,3 90Sumatera Selatan 5.391,4 882,7 149,3 67,7 625,6 19.123,8 251Bengkulu 630,7 4,0 121,4 22,5 0,0 3.013,6 58Lampung 851,5 692,6 611,2 297,9 648,7 11.147,1 180

Kalimantan 13.935,7 11.966,6 5.359,5 4.277,7 3.776,9 77.561,5 845

Kalimantan Barat 3.825,9 416,9 222,6 21,1 10,1 20.110,6 253Kalimantan Tengah 1.688,0 9.093,4 3.561,4 331,5 164,3 20.243,0 145Kalimantan Selatan 4.300,1 640,6 410,5 3.064,8 188,4 12.899,4 166Kalimantan Timur 4.121,7 1.815,7 1.165,0 860,3 3.414,1 24.308,5 281

Sulawesi 3.849,9 13.022,9 1.795,8 30.297,3 20.191,3 39.054,2 475

Sulawesi Utara 277,8 1.132,4 51,8 1.487,5 2.241,6 4) 6.062,4 91Sulawesi Tengah 725,5 630,7 543,9 262,5 1.067,8 6.389,0 74Sulawesi Selatan 1.880,0 11.168,7 696,2 28.380,4 16.581,5 22.443,0 268Sulawesi Tenggara 966,6 91,1 503,9 166,9 300,4 4.159,8 42

Nusa Tenggara 1.222,5 1.289,0 35,2 757,0 1,600,6 5.237,3 131

Nusa Tenggara Barat 352,5 638,5 14,9 755,5 519,7 2.821,1 78Nusa Tenggara Timur 870,0 650,5 20,3 1,5 1.080,9 2.416,2 53

Bali 850,7 804,6 1.002,7 21,6 540,2 10.979,2 316

Timor Timur 0,0 2.802,6 47,8 0,0 0,0 3.359,4 8

Maluku 1.060,0 44,5 20,0 0,0 0,0 7.688,7 133

Irian Jaya 1.711,6 1.278,7 8.416,0 42,5 1.137,8 24.945,9 87

Jumlah 119.872,9 60.749,8 53.550,1 88.294,4 56.196,5 809.639,3 11.091

1) a. Data kumulatif investasi sejak 1968 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan

b. Data kumulatif proyek sejak 1968 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih-status, dan penggabungan dikurangi pencabutan

Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMDN) sejak th. 1968 hanya sampai dengan Juli 2000

2) Data s.d. akhir Desember 2001

3) Termasuk Propinsi Banten

4) Termasuk Propinsi Gorontalo

Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal

Jumlah1)

Lampiran

272

Sektor 1997 1998 1999 2000 20012) 1967 s.d. Juli 2000

Nilai a) Proyek b)

Tabel 11

Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor

(juta $)

Pertanian, kehutanan, dan perikanan 463,7 998,2 482,4 443,5 387,3 8.063,6 380

Pertanian 436,6 965,2 412,7 388,9 281,3 6.686,6 240

Kehutanan 0,0 0,0 0,0 5,0 100,5 653,1 28

Perikanan 27,1 33,0 69,7 49,6 5,5 723,9 112

Pertambangan 1,6 0,3 14,2 1,1 112,4 9.925,3 207

Industri 23.017,3 8.388,2 6.929,2 10.633,7 5.097,7 146.967,7 4.376

Makanan 572,8 342,0 680,9 701,3 278,8 7.276,6 352

Tekstil 372,6 216,9 240,2 400,3 328,0 7.730,4 800

Kayu 69,7 70,8 113,2 157,0 19,9 2.369,2 391

Kertas 5.353,3 40,8 1.411,8 88,0 741,2 24.809,9 130

Kimia dan farmasi 12.376,4 6.178,8 3.268,2 7.406,4 2.309,7 68.478,9 928

Mineral bukan logam 1.457,3 237,1 110,4 9,6 105,0 7.068,8 166

Logam dasar 357,0 394,4 501,3 830,7 651,0 9.786,2 136

Barang-barang logam 2.331,7 890,5 593,0 1.005,5 0,0 18.801,2 1.337

Lain-lain 126,5 16,9 10,2 34,9 664,1 646,5 136

Konstruksi 306,8 197,8 153,4 125,3 47,6 2.049,0 376

Perhotelan 462,6 451,1 228,6 257,0 891,6 11.327,4 331

Pengangkutan 5.900,0 79,0 102,7 1.217,3 378,0 13.529,6 279

Perumahan dan perkantoran 1.397,6 1.270,9 171,1 301,5 177,4 12.697,6 221

Jasa lainnya 2.282,9 2.177,6 2.800,2 2.303,4 1.887,6 23.922,3 2.278

Jumlah 33.832,5 13.563,1 10.881,8 15.282,8 8.979,6 228.482,5 8.448

1) a. Data kumulatif investasi sejak 1967 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan

b. Data kumulatif proyek sejak 1967 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih-status, dan penggabungan dikurangi pencabutan

Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMA) sejak th. 1967 hanya sampai dengan Juli 2000

2) Data s.d. akhir Desember 2001

Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal

Jumlah1)

Lampiran

273

Tabel 12

Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I

(juta $)

Daerah Tingkat I 1997 1998 1999 2000 20012) 1967 s.d. Juli 2000

Nilai a) Proyek b)

Jawa dan Madura 20.535,0 10.840,4 2.635,9 10.539,9 5.718,9 144.536,6 6.345

DKI Jakarta 6.136,1 1.700,1 783,8 3.270,5 1.145,0 34.897,1 2.754

Jawa Barat 7.973,3 5.504,1 1.498,2 3.138,0 2.771,9 3) 64.993,2 2.646

Jawa Tengah 2.195,7 3.066,7 69,7 3.013,8 116,0 13.837,6 267

DI Yogyakarta 14,3 6,0 10,5 4,0 10,0 309,9 45

Jawa Timur 4.215,6 563,5 273,7 1.113,6 1.676,0 30.498,8 633

Sumatera 11.163,9 1.415,7 7.652,6 2.945,6 2.325,5 49.753,1 1.061

DI Aceh 771,9 6,2 51,8 1.811,1 6,0 2.549,5 44

Sumatera Utara 3.514,6 229,6 102,7 193,3 82,3 9.978,0 203

Sumatera Barat 7,1 175,8 344,9 18,5 37,3 1.036,2 52

Riau 6.743,0 537,1 6.956,9 418,0 2.093,9 24.801,8 607

Jambi 0,0 201,9 42,0 252,7 5,6 4.407,8 19

Sumatera Selatan 73,2 129,3 39,7 215,5 44,6 5.147,4 61

Bengkulu 0,0 37,7 18,4 0,2 1,9 258,1 23

Lampung 54,1 98,1 96,2 36,3 53,9 1.574,3 52

Kalimantan 1.056,1 722,7 226,8 137,0 235,0 11.513,7 267

Kalimantan Barat 28,2 251,2 102,0 3,3 21,8 1.225,6 73

Kalimantan Tengah 6,0 0,4 50,3 74,8 11,8 547,4 55

Kalimantan Selatan 438,7 73,4 30,3 3,1 9,7 3.279,0 49

Kalimantan Timur 583,2 397,7 44,2 55,8 191,7 6.461,7 90

Sulawesi 426,1 192,7 141,8 68,5 70,8 8.916,0 170

Sulawesi Utara 358,8 157,4 24,1 22,2 1,1 1.117,9 68

Sulawesi Tengah 5,5 6,9 2,7 1,8 0,5 172,2 21

Sulawesi Selatan 58,3 27,8 12,5 36,5 68,7 7.373,8 60

Sulawesi Tenggara 3,5 0,6 102,5 8,0 0,5 252,1 21

Nusa Tenggara 14,6 57,2 15,0 1.413,5 5,7 3.936,8 77

Nusa Tenggara Barat 0,6 34,6 13,6 1.408,5 5,0 3,774,3 59

Nusa Tenggara Timur 14,0 22,6 1,4 5,0 0,7 162,5 18

Bali 114,7 308,5 193,8 125,8 518,9 3.381,7 441

Timor Timur 0,0 12,4 0,0 0,0 0,0 45,2 2

Maluku 17,8 4,9 1,7 0,1 9,3 395,5 28

Irian Jaya 504,4 8,6 23,2 52,4 95,5 6.003,9 57

Jumlah 33.832,6 13.563,1 10.890,8 15.282,8 8.979,6 228.482,5 8.448

Jumlah1)

1) a. Data kumulatif investasi sejak 1967 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan

b. Data kumulatif proyek sejak 1967 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih- status, dan penggabungan dikurangi pencabutan

Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMA) sejak th. 1967 hanya sampai dengan Juli 2000

2) Data s.d. akhir Desember 2001

3) Termasuk Propinsi Banten

Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal

Lampiran

274

Tabel 13

Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal

(juta $)

Eropa 11.740,2 5.311,0 730,2 5.864,8 920,4 41.250,8 1.254

Belanda 319,5 411,8 48,7 1.159,2 88,0 6.228,8 267

Belgia 16,5 11,5 9,8 5,7 0,2 367,3 50

Inggris 5.473,6 4.745,3 507,0 3.574,0 722,6 21.163,5 390

Jerman 4.467,8 71,0 87,1 958,6 42,7 8.329,1 192

Perancis 456,6 7,5 22,7 64,4 14,4 1.219,8 107

Swiss 73,5 35,1 42,1 42,2 11,7 1.083,1 74

Lainnya 932,7 28,8 12,8 60,7 40,8 2.859,2 174

Amerika 1.112,8 699,6 144,2 254,3 81,3 11.642,4 550

Amerika Serikat 1.017,7 568,3 136,7 243,1 72,6 10.449,2 397

Kanada 6,2 8,1 3,2 3,6 8,4 156,7 109

Lainnya 88,9 123,2 4,3 7,6 0,3 1.036,5 44

Asia 15.169,6 4.673,8 6.486,1 3.824,0 6.154,0 110.509,6 5.103

Hongkong 251,0 549,1 76,9 106,2 39,4 14.594,4 404

Jepang 5.421,3 1.330,7 644,3 1.961,1 759,7 36.586,1 1.179

Korea Selatan 1.409,9 202,4 263,0 688,4 357,2 9.490,0 936

Malaysia 2.289,3 1.060,2 186,1 167,7 2.226,3 7.035,3 366

Filipina 0,0 62,5 4,9 7,4 1,8 165,2 26

Singapura 2.298,6 1.267,4 731,1 535,0 1.129,5 19.190,2 1.094

Taiwan 3.419,4 165,4 1.489,3 131,0 72,1 16.100,7 809

Thailand 19,1 2,8 8,4 6,8 3,0 1.781,8 38

Lainnya 61,0 33,3 3.082,1 220,4 1.565,0 5.565,9 251

Australia 187,5 85,1 2.458,5 58,6 255,2 9.501,0 456

Afrika 93,5 75,2 65,6 466,5 560,1 1.440,1 47

Gabungan negara 5.528,9 2.718,4 1.006,0 4.814,6 1.008,6 54.138,6 1.038

Jumlah 33.832,5 13.563,1 10.890,6 15.282,8 8.979,6 228.482,5 8.448

1) a. Data kumulatif investasi sejak 1967 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalanb. Data kumulatif proyek sejak 1967 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alihstatus, dan penggabungan dikurangi pencabutan

Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMA) sejak th. 1967 hanya sampai dengan Juli 20002) Data s.d. akhir Desember 2001

Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal

Jumlah 1)

Negara Asal 1997 1998 1999 2000 20012) 1967 s.d. Juli 2000

Nilai a) Proyek b)

Lampiran

275

1994 2) 156,97 - 178,57 147,53 161,69 - - 163,17 9,241995 179,14 - 188,93 157,42 173,33 - - 177,83 8,641996 189,99 - 198,00 166,76 190,72 - - 189,62 6,471997 227,88 - 210,36 179,96 206,72 - - 211,62 11,051998 263,22 211,58 159,03 219,71 212,54 161,84 163,70 198,64 1,23

Januari - Maret 166,71 142,23 128,61 161,39 155,88 134,74 119,74 142,15 27,11April - Juni 3) 196,39 167,92 139,17 195,29 171,97 140,84 150,38 163,89 15,29Juli - September 261,00 207,21 155,92 225,22 204,49 162,17 163,18 196,23 19,73Oktober - Desember 163,22 211,58 159,03 219,71 212,54 161,84 163,70 198,64 1,23

1999 - - - - - - - - 2,01Januari 281,09 213,80 160,62 232,11 214,07 161,40 164,95 204,54 2,97Februari 287,60 216,87 162,06 234,23 214,12 161,89 164,29 207,12 1,26Maret 281,65 216,34 162,92 234,71 215,80 162,05 169,16 206,75 -0,18April 275,09 215,52 164,04 233,58 216,57 162,04 169,07 205,34 -0,68Mei 271,38 215,20 164,91 231,18 217,60 162,59 170,06 204,76 -0,28Juni 268,25 215,16 165,34 228,32 218,22 163,06 170,23 204,07 -0,34Juli 258,96 214,87 166,06 224,69 219,48 163,87 169,94 201,93 -1,05Agustus 248,54 215,33 165,87 226,56 220,98 166,48 169,68 200,05 -0,93September 239,06 216,26 166,12 229,63 220,00 169,52 169,94 198,68 -0,68Oktober 4) 237,24 216,13 166,45 232,23 220,06 170,17 171,31 198,79 0,06November 240,00 216,51 165,93 228,38 219,97 170,42 171,56 199,00 0,25Desember 249,54 219,20 166,77 233,21 220,37 170,44 172,20 202,45 1,73

2000 - - - - - - - - 9,35Januari 256,85 220,00 167,56 237,47 220,87 170,43 173,68 205,12 1,32Februari 256,00 220,17 168,34 239,79 221,85 170,23 173,45 205,27 0,07Maret 250,16 219,97 169,05 240,09 222,43 171,83 174,01 204,34 -0,45April 246,16 225,28 171,03 240,50 224,87 173,50 176,83 205,48 0,56Mei 246,08 225,07 174,18 242,55 225,76 174,91 181,19 207,21 0,84Juni 246,47 227,25 174,87 244,54 226,50 175,41 182,54 208,24 0,50Juli 251,39 229,45 176,06 248,54 229,42 178,51 183,37 210,91 1,28Agustus 246,68 231,43 176,71 247,01 230,43 195,70 184,69 211,99 0,51September 240,76 232,73 177,93 247,12 236,19 198,02 186,65 211,87 -0,06Oktober 241,37 237,42 180,60 248,68 238,16 199,24 191,19 214,33 1,16November 246,96 241,62 182,93 249,95 240,47 199,50 191,78 217,15 1,32Desember 259,53 243,49 183,61 256,98 241,46 200,28 194,00 221,37 1,94

2001 - - - - - - - - 12,55

Januari 258,68 245,87 184,74 259,03 242,26 200,61 193,21 222,10 0,33Februari 263,04 247,59 185,96 258,88 244,77 201,38 194,29 224,04 0,87Maret 265,51 250,49 188,19 260,70 247,97 202,17 195,00 226,04 0,89April 262,89 252,77 190,09 264,85 252,17 203,41 196,06 227,07 0,46Mei 266,84 255,28 191,63 270,08 254,79 203,89 197,42 229,63 1,13Juni 270,43 261,35 194,72 271,94 257,03 204,61 204,14 233,46 1,67Juli 274,88 266,46 197,93 272,10 259,74 209,40 218,09 238,52 2,12Agustus 268,42 267,54 199,69 264,80 260,26 218,08 218,12 237,92 -0,21September 266,45 269,14 203,04 266,57 260,62 222,74 219,75 239,44 0,64Oktober 269,53 270,38 203,89 271,77 261,32 223,38 219,99 241,06 0,68November 282,50 272,38 206,05 274,81 262,26 223,57 220,14 245,18 1,71Desember 290,74 278,75 208,57 277,90 262,99 224,12 221,47 249,15 1,62

Tabel 14

Indeks Harga Konsumen Indonesia

Bahan Makanan Peru- Kese- Pendidikan, Transpor Perubahan

Makanan Jadi, mahan Sandang hatan Rekreasi & dan Umum Indeks

Akhir periode 1) Minuman, Olahraga Komunikasi Umum

Rokok dan

Tembakau

1) Angka tahunan/triwulanan adalah angka akhir periode yang bersangkutan2) Berdasarkan April 1988 - Maret 1989 = 100 dengan 4 kelompok: kolom (2) adalah kelompok Makanan; kolom (6) adalah kelompok Aneka Barang dan Jasa3) Berdasarkan Januari 1996 - Desember 1996 = 100, IHK dihitung di 44 kota dan dibagi menjadi 7 kelompok4) Sejak Oktober 1999, IHK dihitung di 43 kota (minus kota Dili)Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Lampiran

276

Pertanian 445 750 410 459 567 24

Pertambangan dan penggalian 318 396 214 236 275 17

Industri 275 455 268 278 309 11

Impor 260 598 289 316 356 13

Ekspor 238 592 366 461 669 45

Migas 204 474 355 393 462 18

Nonmigas 353 994 370 634 521 -18

Indeks Umum 282 568 314 353 403 14

Tabel 15

Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia 1)

Perubahan 2001

Kelompok 1997 1998 1999 2000 2001 terhadap 2000

(%)

1) Angka tahunan merupakan rata-rata Indeks selama satu tahun yang bersangkutan

Tahun 1996 - 1998, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100)

Tahun 1999 - 2001, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1993 (1993=100)

Sumber : Badan Pusat Statistik

Lampiran

277

Tabel 16

Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota

(persen)

Lhokseumawe 8,44 79,66 6,61 8,73 11,67Banda Aceh 9,90 79,01 5,57 10,57 16,60Padang Sidempuan 16,84 85,72 -0,14 3,95 9,84Sibolga 14,60 85,01 1,65 6,95 8,66Pematang Siantar 15,14 80,23 -0,54 4,67 13,55Medan 13,10 83,81 1,68 5,90 15,50Padang 10,72 87,20 4,23 10,99 9,86Pekanbaru 11,05 75,86 4,35 10,34 14,65Batam 17,13 52,89 -0,28 9,00 12,64Jambi 9,89 72,31 0,49 8,40 10,11Palembang 13,58 89,18 -1,01 8,49 15,15Bengkulu 9,21 84,10 0,47 8,21 10,58Bandar Lampung 9,70 85,22 3,34 10,18 12,94Jakarta 11,70 74,42 1,77 10,29 11,52Tasikmalaya 10,44 73,55 1,58 4,57 16,71Serang/Celegon 12,45 65,43 -0,04 7,03 12,75Bandung 9,95 72,59 4,29 8,52 11,91Cirebon 10,74 62,23 4,75 6,52 12,93Purwokerto 9,38 80,93 0,99 10,02 11,76Surakarta 9,07 66,38 0,46 7,89 15,58Semarang 10,88 67,19 1,51 8,73 13,98Tegal 10,44 67,73 1,11 7,85 11,26Yogyakarta 10,72 77,46 2,51 7,32 12,56Jember 9,89 84,95 3,16 10,35 13,92Kediri 12,75 77,08 -0,64 7,05 15,91Malang 7,38 93,16 1,49 10,62 12,45Surabaya 9,11 95,21 0,24 10,46 14,13Denpasar 9,75 75,11 4,39 9,81 11,52Mataram 8,66 90,50 0,59 5,19 14,76Kupang 7,71 62,58 10,65 10,62 12,34Pontianak 12,29 78,85 4,49 8,34 10,60Sampit 15,79 75,94 -4,98 11,87 14,69Palangkaraya 13,03 74,65 -0,13 8,57 13,35Banjarmasin 12,98 74,43 1,47 7,57 8,36Balikpapan 13,28 75,10 3,01 10,67 10,82Samarinda 10,93 68,31 3,69 11,91 10,21Manado 13,66 74,24 7,41 11,41 13,30Palu 9,70 95,18 3,58 8,41 18,73Makasar 8,20 80,86 1,64 9,73 11,77Kendari 8,42 97,79 1,29 11,25 12,56Ternate 16,77 72,98 0,38 14,51 13,71Ambon 7,99 75,82 8,26 8,52 14,12Jayapura 10,35 61,83 3,49 10,23 14,00Inflasi Nasional 11,05 77,63 2,01 9,35 12,55

Kota 1997 1998 1) 1999 2) 2000 2001

Keterangan

1) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 44 kota dan terbagi menjadi tujuh kelompok

2) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 43 kota (minus kota Dili) dan terbagi menjadi tujuh kelompok

Sumber : Badan Pusat Statistik

Lampiran

278

Tabel 17

Neraca Pembayaran Indonesia

(juta $)

A. Transaksi Berjalan -5.001 4.096 5.783 7.992 4.977

1. Barang 10.074 18.428 20.644 25.042 21.647

a. Ekspor f.o.b 56.297 50.370 51.243 65.407 58.689

- Nonmigas 44.576 42.951 40.988 50.341 45.816

- Migas 11.721 7.419 10.255 15.066 12.873

b. Impor f.o.b -46.223 -31.942 -30.599 -40.366 -37.042

- Nonmigas -41.447 -29.087 -26.632 -34.378 -31.448

- Migas -4.776 -2.855 -3.967 -5.988 -5.594

2. Jasa-jasa (bersih) -15.075 -14.332 -14.861 -17.050 -16.670

- Nonmigas -10.525 -11.420 -11.660 -12.500 -12.361

- Migas -4.550 -2.911 -3.201 -4.550 -4.309

B. Transaksi Modal 2.542 -3.836 -4.571 -6.772 -8.915

1. Lalu Lintas Modal Pemerintah (bersih) 2.880 10.009 5.352 3.217 -290

a. Penerimaan 7.594 13.213 7.932 4.986 3.329

- Bantuan program 0 1.821 3.870 1.361 458

- Bantuan pangan 0 160 273 76 0

- IGGI/CGI 4.538 2.788 2.408 2.420 2.470

- Diluar IGGI/CGI 1) 3.056 8.444 1.381 1.130 401

b. Pelunasan pinjaman2) -4.714 -3.204 -2.581 -1.769 -3.619

2. Lalu Lintas Modal Swasta (bersih) -338 -13.845 -9.923 -9.989 -8.625

a. Penanaman modal langsung (bersih) 4.677 -355 -2.745 -4.550 -5.912

b. Lainnya (bersih) -5.015 -13.491 -7.178 -5.439 -2.713

C. Jumlah (A+B) -2.459 260 1.212 1.220 -3.938

D. Selisih Perhitungan (bersih) -1.651 2.084 2.080 3.822 2.560

E. Lalu-lintas Moneter 3) 4.110 -2.344 -3.292 -5.042 1.378

1) Termasuk bantuan IMF

2) Setelah diperhitungkan rescheduling dan termasuk pembayaran kepada IMF

3) Minus (-) : Suplus ; Sejak tahun 2000 lalu lintas moneter berdasarkan pada mutasi cadangan devisa atas dasar konsep

International Reserve and Foreign Currency Liquidity (IRFCL) menggantikan Gross Foreign Assets (GFA).

Rincian 1997 1998 1999 2000 2001*

Lampiran

279

Tabel 18

Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas

(juta $)

Total Ekspor 44.577 42.951 40.987 50.341 45.816

Pertanian 5.166 5.091 4.179 4.152 4.015

Kayu 64 53 86 97 128Getah karet 1.505 1.006 854 883 980Kopi 583 602 465 327 181Teh 152 169 102 115 107Lada 165 195 183 227 98Tembakau 124 139 108 80 120Tapioka 23 21 23 11 13Hewan & hasilnya 1.789 1.779 1.574 1.622 1.685- Udang 1.047 1.041 886 971 994Kulit 56 72 74 94 101Lainnya 706 1.056 710 695 601

Mineral 4.353 4.703 4.130 5.566 5.113

Timah 277 260 242 234 222Tembaga 1.548 1.792 1.441 2.272 2.265Nikel 233 165 219 360 292Aluminium 280 202 138 260 207Batu bara 1.638 1.669 1.665 1.635 1.662Lainnya 377 614 425 805 466

Industri 35.057 33.157 32.678 40.623 36.688

Tekstil & produk tekstil 7.614 7.034 6.291 7.317 7.047- Pakaian jadi 4.186 3.769 3.450 4.067 4.038Kerajinan tangan 1.031 2.089 569 548 581Produk kayu 5.704 4.245 4.526 4.495 4.094- Kayu lapis 3.482 2.328 2.259 1.996 1.854Produk rotan 204 39 255 296 285Minyak sawit 1.662 888 1.369 1.265 1.076Bungkil kopra 86 51 47 62 41Produk kimia 1.746 2.098 1.835 2.259 2.338Produk logam 1.140 1.387 1.078 1.217 1.197Barang-barang listrik 3.264 2.813 3.365 6.366 6.446Semen 37 87 143 141 176Kertas 1.957 2.471 2.645 3.046 2.473Produk karet 406 415 374 440 432Gelas dan alat dari gelas 272 269 279 349 299Alas kaki 2.219 1.583 1.519 1.620 1.533Produk plastik 787 935 860 1.216 1.045Mesin & psw. mekanik 1.415 1.478 1.853 3.783 2.894Lainnya 5.515 5.275 5.670 6.205 4.731

1) Angka proyeksi

Rincian 1997 1998 1999 2000 20011)

Lampiran

280

Tabel 19

Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas

(ribu ton)

1997 1998 1999 2000 2001 1)

Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%)Rincian

Total Ekspor 251.845 100,0 199.771 100,0 175,610 100,0 176,535 100,0 246.148 100,0

Pertanian 4.731 1,9 5.936 3,0 5.395 3,1 4,649 2,6 5.329 2,2Kayu 708 0,3 489 0,2 679 0,4 685 0,4 740 0,3Getah karet 1.483 0,6 1.584 0,8 1.544 0,9 1.410 0,8 1.565 0,6Kopi 356 0,1 411 0,2 362 0,2 363 0,2 422 0,2Teh 96 0,0 113 0,1 107 0,1 109 0,1 114 0,0Lada 33 0,0 45 0,0 35 0,0 67 0,0 110 0,0Tembakau 56 0,0 114 0,1 78 0,0 32 0,0 36 0,0Tapioka 244 0,1 211 0,1 300 0,2 161 0,1 166 0,1Hewan & hasilnya 704 0,3 949 0,5 819 0,5 664 0,4 632 0,3- Udang 141 0,1 165 0,1 164 0,1 182 0,1 156 0,1Kulit 1 0,0 13 0,0 38 0,0 11 0,0 12 0,0Lainnya 1.050 0,4 2.007 1,0 1.433 0,8 965 0,5 1.131 0,5

Mineral 217.018 86,2 154.226 77,2 116.809 66,5 125.015 70,8 179.395 72,9Timah 50 0,0 49 0,0 47 0,0 46 0,0 58 0,0Tembaga 1.932 0,8 2.946 1,5 2.261 1,3 3.144 1,8 2.860 1,2Nikel 2.224 0,9 1.409 0,7 2.008 1,1 1.918 1,1 2.138 0,9Aluminium 1.081 0,4 1.076 0,5 1.125 0,6 1.204 0,7 1.467 0,6Batu bara 45.822 18,2 52.411 26,2 53.899 30,7 59.742 33,8 58.149 23,6Lainnya 165.909 65,9 96.335 48,2 57.469 32,7 58.961 33,4 172.651 70,1

Industri 30.096 12,0 39.609 19,8 49.307 28,1 46.871 26,6 61.425 25,0Tekstil & produk tekstil 1.369 0,5 1.635 0,8 1.525 0,9 1.677 0,9 1.827 0,7- Pakaian jadi 318 0,1 414 0,2 333 0,2 351 0,2 370 0,2Kerajinan tangan 183 0,1 223 0,1 196 0,1 205 0,1 202 0,1Produk kayu 6.914 2,7 7.302 3,7 6.791 3,9 6.770 3,8 7.327 3,0- Kayu lapis 5.087 2,0 5.157 2,6 4.302 2,4 3.970 2,2 4.365 1,8Produk rotan 52 0,0 14 0,0 114 0,1 130 0,1 124 0,1Minyak sawit 3.245 1,3 1.700 0,9 3.600 2,0 4.521 2,6 6.107 2,5Bungkil kopra 1.090 0,4 984 0,5 983 0,6 1.225 0,7 1.927 0,8Produk kimia 4.206 1,7 6.883 3,4 5.378 3,1 5.916 3,4 5.728 2,3Produk logam 1.090 0,4 3.391 1,7 3.191 1,8 1.515 0,9 1.955 0,8Barang-barang listrik 356 0,1 381 0,2 437 0,2 692 0,4 715 0,3Semen 794 0,3 3.736 1,9 7.383 4,2 7.292 4,1 9.808 4,0Kertas 3.768 1,5 5.585 2,8 9.048 5,2 5.048 2,9 5.314 2,2Produk karet 167 0,1 203 0,1 209 0,1 279 0,2 292 0,1Gelas dan alat dari gelas 643 0,3 957 0,5 1.555 0,9 960 0,5 962 0,4Alas kaki 193 0,1 173 0,1 165 0,1 157 0,1 170 0,1Produk plastik 720 0,3 1.244 0,6 1.045 0,6 1.195 0,7 1.285 0,5Mesin & psw, mekanik 114 0,0 763 0,4 166 0,1 288 0,2 377 0,2Lainnya 5.192 2,1 4.435 2,2 7.156 4,1 4.680 2,7 10.446 4,2

1) Angka proyeksi

Lampiran

281

Tabel 20

Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan

(juta $)

1997 1998 1999 2000 2001 1)

Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)

Afrika 777 1,7 904 2,1 1.032 2,5 1.157 2,3 1.110 2,4

Amerika 8.286 18,6 7.815 18,2 7.679 18,7 9.993 19,9 9.505 20,7

Amerika Serikat 6.701 15,0 6.383 14,9 6.297 15,4 8.463 16,8 8.094 17,7Amerika Latin 875 2,0 459 1,1 429 1,0 626 1,2 576 1,3Kanada 397 0,9 409 1,0 346 0,8 446 0,9 414 0,9Lain-lain 314 0,7 564 1,3 607 1,5 458 0,9 420 0,9

Asia 25.350 56,9 24.831 57,8 23.573 57,5 28.579 56,8 25.535 55,7

ASEAN 7.723 17,3 8.723 20,3 7.982 19,5 9.748 19,4 8.622 18,8

Brunei 47 0,1 43 0,1 26 0,1 24 0,0 32 0,1Malaysia 1.343 3,0 1.358 3,2 1.388 3,4 1.861 3,7 1.710 3,7Filipina 734 1,6 608 1,4 646 1,6 861 1,7 798 1,7Singapura 4.913 11,0 5.798 13,5 4.998 12,2 6.073 12,1 5.130 11,2Thailand 686 1,5 916 2,1 923 2,3 928 1,8 952 2,1

Hongkong 2.053 4,6 2.037 4,7 1.400 3,4 1.574 3,1 1.288 2,8India 597 1,3 782 1,8 807 2,0 1.088 2,2 956 2,1Irak 19 0,0 45 0,1 63 0,2 95 0,2 106 0,2Jepang 7.015 15,7 5.964 13,9 5.791 14,1 7.844 15,6 7.208 15,7Korea Selatan 1.297 2,9 1.166 2,7 1.287 3,1 1.710 3,4 1.564 3,4Myanmar 159 0,4 175 0,4 101 0,2 64 0,1 76 0,2Pakistan 170 0,4 152 0,4 151 0,4 148 0,3 155 0,3RRC 1.387 3,1 1.320 3,1 1.486 3,6 1.828 3,6 1.559 3,4Arab Saudi 627 1,4 476 1,1 428 1,0 535 1,1 476 1,0Taiwan 1.330 3,0 1.288 3,0 1.234 3,0 1.487 3,0 1.358 3,0Lain-lain 2.975 6,7 2.702 6,3 2.846 6,9 2.458 4,9 2.166 4,7

Australia/Oceania 783 1,8 910 2,1 1.058 2,6 1.080 2,1 950 2,1

Eropa 9.379 21,0 8.491 19,8 7.645 18,7 9.532 18,9 8.716 19,0

MEE 8.408 18,9 7.474 17,4 6.744 16,5 8.774 17,4 7.785 17,0

Belanda 1.825 4,1 1.488 3,5 1.464 3,6 1.895 3,8 1.570 3,4Belgia dan Luxemburg 804 1,8 773 1,8 687 1,7 892 1,8 758 1,7Inggris 1.263 2,8 1.120 2,6 1.175 2,9 1.575 3,1 1.550 3,4Italia 636 1,4 729 1,7 605 1,5 708 1,4 686 1,5Jerman 1.502 3,4 1.458 3,4 1.217 3,0 1.435 2,9 1.329 2,9Perancis 527 1,2 545 1,3 506 1,2 730 1,5 627 1,4Lainnya 1.851 4,2 1.360 3,2 1.090 2,7 1.540 3,1 1.265 2,8

Bekas Uni Soviet 120 0,3 67 0,2 49 0,1 81 0,2 52 0,1Eropa Timur Lain-lain 196 0,4 310 0,7 232 0,6 243 0,5 251 0,5Lain-lain 656 1,5 640 1,5 621 1,5 433 0,9 629 1,4

TOTAL 44.576 100,0 42.951 100,0 40.987 100,0 50.341 100,0 45.816 100,0

Benua/negara

1) Angka proyeksi

Lampiran

282

Tabel 21

Nilai Impor Nonmigas menurut Negara Asal (FOB)

(juta $)

1997 1998 1999 2000 2001 1)

Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)

Afrika 422 1,0 362 1,2 449 1,7 460 1,3 602 1,9

Amerika 7.374 17,8 5.285 18,2 4.973 18,7 5.641 16,4 4.940 15,7

Amerika Serikat 4.765 11,5 3.150 10,8 2.541 9,5 4.044 11,8 3.917 12,5Amerika Latin 733 1,8 420 1,4 507 1,9 670 1,9 454 1,4Kanada 609 1,3 422 1,5 360 1,4 804 2,3 495 1,6Lain-lain 1.267 3,1 1.294 4,4 1.566 5,9 124 0,4 73 0,2

Asia 20.495 49,4 14.354 49,3 13.810 51,9 19.463 56,6 17.599 56,0

Asean 3.494 8,4 2.396 8,2 2.730 10,2 4.706 13,7 4.610 14,7

Brunei 4 0,0 2 0,0 1 0,0 2 0,0 2 0,0Malaysia 619 1,5 344 1,2 424 1,6 840 2,4 883 2,8Filipina 108 0,3 71 0,2 48 0,2 147 0,4 123 0,4Singapura 1.788 4,3 1.195 4,1 1.433 5,4 2.422 7,0 2.359 7,5Thailand 974 2,3 785 2,7 824 3,1 1.295 3,8 1.243 4,0

Hongkong 269 0,6 236 0,8 212 0,8 452 1,3 324 1,0India 630 1,5 256 0,9 231 0,9 582 1,7 595 1,9Irak 3 0,0 3 0,0 0,0 0,0 0 0,0 0 0,0Jepang 7.517 18,1 4.202 14,4 2.541 9,5 6.576 19,1 5.298 16,8Korea Selatan 1.973 4,8 1.228 4,2 1.064 4,0 2.293 6,7 2.374 7,5Myanmar 19 0,0 10 0,0 17 0,1 27 0,1 27 0,1Pakistan 42 0,1 128 0,4 98 0,4 68 0,2 106 0,3RRC 1.167 2,8 887 3,0 1.039 3,9 2.238 6,5 2.053 6,5Arab Saudi 115 0,3 105 0,4 120 0,5 279 0,8 287 0,9Taiwan 1.360 3,3 882 3,0 695 2,6 1.592 4,6 1.438 4,6Lain-lain 3.907 9,4 4.022 13,8 5.062 19,0 649 1,9 487 1,5

Australia/Oceania 2.181 5,3 1.614 5,5 2.021 7,6 2.371 6,9 2.507 8,0

Eropa 10.974 26,5 7.472 25,7 5.378 20,2 6.443 18,7 5.800 18,4

MEE 7.686 18,5 4.938 17,0 3.027 11,4 4.871 14,2 4.604 14,6

Belanda 474 1,1 316 1,1 314 1,2 566 1,6 433 1,4Belgia dan Luxemburg 292 0,7 232 0,8 143 0,5 366 1,1 286 0,9Inggris 1.082 2,6 779 2,7 500 1,9 866 2,5 702 2,2Italia 931 2,2 476 1,6 232 0,9 421 1,2 541 1,7Jerman 2.410 5,8 2.399 8,2 1.232 4,6 1.601 4,7 1.704 5,4Perancis 1.929 4,7 513 1,8 328 1,2 600 1,7 511 1,6Lainnya 570 1,4 224 0,8 277 1,0 449 1,3 426 1,4

Bekas Uni Soviet 312 0,8 151 0,5 102 0,4 295 0,9 169 0,5Eropa Timur Lain-lain 124 0,3 68 0,2 44 0,2 60 0,2 65 0,2Lain-lain 2.853 6,9 2.316 8,0 2.204 8,3 1.217 3,5 963 3,1

TOTAL 41.447 100,0 29.087 100,0 26.632 100,0 34.378 100,0 31.448 100,0

Benua/negara

1) Angka proyeksi

Lampiran

283

Tabel 22

Ekspor Migas 1)

Negara 1997 1998 1999 2000 20011)

Nilai Ekspor 2)

Minyak Bumi dan hasilnya 6.771 4.141 5.680 7.954 7.166

Gas

- LNG 4.432 3.046 4.207 6.756 5.355

- LPG 518 233 369 356 352

Total 11.721 7.420 10.256 15.066 12.873

Volume Ekspor

Minyak Bumi dan hasilnya (juta barrel) 362 340 336 291 300

Gas

- LNG (juta MMBTU) 3) 1.387 1.384 1.511 1.400 1.336

- LPG(ribuan Mton) 2.233 1.620 1.865 1.215 1.251

1) Nilai f.o.b. sistem klasifikasi barang berubah dari sistem CCN ke HS sehingga beberapa barang ekspor mengalami pergesaran dalam pengelompokkannya.

2) Terdiri atas minyak mentah dan hasil-hasil minyak dalam juta $

3) MMBTU : Million British Thermal Unit

Lampiran

284

1997 78.343 22,0 277.300 78,0 355.643 23,2 8,1

1997/1998 98.270 21,8 351.554 78,2 449.824 52,7 26,5

1998 101.197 17,5 476.184 82,5 577.381 62,3 4,9

1998/1999 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,5

1999 4) 124.633 19,3 521.572 80,7 646.205 11,9 -0,9

2000

Maret 124.663 19,0 531.788 81,0 656.451 8,8 1,6

Juni 133.832 19,6 550.503 80,4 684.335 11,2 4,2

September r 135.430 19,7 551.023 80,3 686.453 5,2 0,3

Desember r 162.186 21,7 584.842 78,3 747.028 15,6 8,8

2001

Januari 145.345 19,7 593.386 80,3 738.731 13,5

Februari 149.879 19,8 606.019 80,2 755.898 15,7

Maret 148.375 19,3 618.437 80,7 766.812 16,8 2,6

April 154.297 19,5 637.930 80,5 792.227 19,0

Mei 155.791 19,8 632.529 80,2 788.320 15,3

Juni 160.142 20,1 636.298 79,9 796.440 16,4 3,9

Juli 162.154 21,0 608.981 79,0 771.135 11,8

Agustus 166.851 21,6 607.186 78,4 774.037 12,9

September 164.237 21,0 618.867 79,0 783.104 14,1 -1,7

Oktober 169.963 21,0 638.551 79,0 808.514 14,3

November 171.383 20,9 650.308 79,1 821.691 14,1

Desember 177.731 21,1 666.323 78,9 844.054 13,0 7,8

1) Terdiri atas uang kartal dan uang giral

2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing, serta giro valuta asing milik penduduk

3) Terdiri atas uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi

4) Data statistik Bank Beku Operasional telah dikeluarkan (7 Bank sejak April 1998, 3 bank sejak Agustus 1998, dan 38 bank sejak Maret 1999)

Tabel 23

Uang Beredar

(miliar rupiah)

M11) Uang Kuasi2) M23)

Akhir Periode Posisi Pangsa Posisi Pangsa Posisi Perubahan (%)

(%) (%) Tahunan Triwulanan

Lampiran

285

Uang Beredar :

M2

M1

Kartal

Giral

Kuasi 1)

Faktor-faktor yang mempengaruhi :

Aktiva luar negeri bersih

Tagihan kepada pemerintah bersih

Tagihan bersih pada BPPN

Tagihan kepada sektor swasta

Tagihan kepada lembaga/

perusahaan pemerintah

Tagihan kepada perusahaan

swasta dan perorangan

Aktiva lainnya bersih

1) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk

67.011 221.738 68.824 100.823 97.026 19.784 29.629 -13.337 60.950

14.254 22.854 23.436 37.553 15.545 -13.811 11.768 4.094 13.494

5.937 12.970 16.959 14.018 3.971 -12.257 6.087 2.846 7.295

8.317 9.884 6.477 23.535 11.574 -1.554 5.681 1.248 6.199

52.757 198.884 45.388 63.270 81.481 33.595 17.861 -17.431 47.456

17.344 73.692 -12.581 81.637 23.242 37.521 44.969 -89.552 30.304

-16.486 17.513 425.287 123.060 9.389 870 -18.679 963 26.235

- 29.693 -29.693 - - - - - -

137.062 99.421 -299.689 42.347 34.233 14.348 21.338 -2.996 1.544

5.031 6.389 -8.139 -4.505 3.910 -291 973 -770 3.998

132.031 93.032 -291.550 46.852 30.323 14.639 20.365 -2.226 -2.454

-70.909 1.419 -14.500 -146.221 30.162 -32.955 -17.999 78.248 2.867

Tabel 24

Perubahan Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

(miliar rupiah)

2001

R i n c i a n 1997r 1998 1999r 2000r 2001

I II III IV

Lampiran

286

Bank Persero

1 Bulan 19,74 7,31 41,24 13,23 12,52 5,44 12,05 6,37 16,59 4,95

` 3 Bulan 19,88 7,41 48,69 13,70 13,19 5,45 13,33 6,59 17,47 5,36

6 Bulan 15,66 7,49 35,17 8,14 14,44 7,94 13,42 6,17 16,55 5,67

12 Bulan 15,19 7,81 28,75 12,61 23,14 8,91 12,48 6,24 15,81 5,95

24 Bulan 15,32 7,23 16,01 14,87 18,53 14,87 14,32 10,23 18,06 6,34

Bank Swasta Nasional

1 Bulan 27,68 8,77 41,88 12,72 12,14 5,34 12,05 6,07 15,83 4,05

3 Bulan 27,76 8,40 50,24 10,64 12,66 5,68 13,20 6,43 16,94 4,90

6 Bulan3 19,17 7,81 33,34 10,21 13,55 7,98 13,16 6,23 15,58 5,32

12 Bulan 17,43 7,99 26,16 11,49 17,07 16,63 11,50 11,39 14,74 5,70

24 Bulan 16,79 7,76 22,85 14,91 17,59 8,02 14,22 8,14 17,22 6,27

Bank Pemerintah Daerah

1 Bulan 21,10 6,23 42,05 12,99 12,20 5,09 11,39 4,97 15,04 5,05

3 Bulan 20,62 6,76 45,35 10,99 12,51 6,19 12,92 4,56 15,98 4,71

6 Bulan 14,16 7,15 29,46 10,43 13,46 5,18 12,94 5,13 15,61 5,48

12 Bulan 16,65 7,2 23,91 12,94 16,17 5,67 11,43 5,05 14,99 5,37

24 Bulan 14,58 - 14,03 - 13,73 - 13,44 - 17,42 -

Bank Asing & Campuran

1 Bulan 17,70 5,19 33,07 4,71 9,46 4,08 9,73 4,61 12,96 1,92

3 Bulan 18,03 5,99 40,84 4,71 9,24 4,03 11,21 4,81 12,35 2,00

6 Bulan 13,99 5,71 44,42 5,15 9,05 4,31 8,13 4,12 11,63 2,58

12 Bulan 13,64 5,92 31,74 5,17 13,46 4,67 8,51 5,09 12,99 3,40

24 Bulan 15,48 3,57 15,57 3,59 11,67 4,00 13,00 6,05 8,72 2,53

Bank Umum

1 Bulan 25,39 7,97 41,42 12,11 12,24 5,15 11,96 5,94 16,07 4,18

3 Bulan 23,92 7,77 49,23 10,73 12,95 5,24 13,24 6,11 17,24 4,35

6 Bulan 16,96 7,53 36,78 8,22 14,25 7,85 13,31 5,72 16,18 5,12

12 Bulan 15,92 7,73 28,29 11,66 22,35 9,11 12,17 7,86 15,48 5,62

24 Bulan 15,46 6,47 16,61 14,71 18,38 14,63 14,32 9,47 18,05 6,32

Tabel 25

Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank 1)

(persen per tahun)

Jangka Waktu

Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas

Desember 1997 Desember 1998 Desember 1999 Desember 2000 Desember 2001

1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode

Lampiran

287

1997 Januari - Desember 784.368 26,98

1998 Januari - Desember r 2.104.924 63,14

1999 Januari - Desember 595.362 23,79

2000 Januari - Desember 8.915 10,46

1997 Januari - Maret 138.121 12,08

April - Juni 157.529 13,45

Juli - September 210.670 42,70

Oktober - Desember 278.048 39,68

1998 Januari - Maret 526.347 57,36

April - Juni 500.713 66,38

Juli - September 625.331 74,13

Oktober - Desember 452.533 54,68

1999 Januari - Maret 173.045 39,57

April - Juni 160.470 29,70

Juli - September 127.906 13,44

Oktober - Desember 133.941 12,43

2000 Januari - Maret 1.712 9,50

April - Juni 1.907 10,03

Juli - September 2.486 10,89

Oktober - Desember 2.810 11,43

2001 1) Januari 2.542 11,74

Februari 3.286 12,65

Maret 3.562 13,75

Januari - Maret 3.130 12,71

April 3.076 14,32

Mei 2.912 14,29

Juni 3.324 14,73

April - Juni 3.104 14,45

Juli 3.240 15,34

Agustus 2.912 14,29

September 3.059 15,82

Juli - September 3.070 15,15

Oktober 3.166 15,92

November 3.070 15,78

Desember 3.266 16,09

Oktober - Desember 3.167 15,93

Tabel 26

Pasar Uang Antarbank di Jakarta

Nilai transaksi Suku bunga rata-rata tertimbang

(miliar rupiah) (persen per tahun)Akhir periode

1) Angka rata-rata harian

Lampiran

288

Tabel 27

Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank 1)

(persen per tahun)

1998 1999 2000 2001

Maret Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember

Bank Persero

1 Bulan 18,05 43,95 37,96 10,59 10,23 11,48 12,04 13,26 15,33 16,22 16,48

3 Bulan 23,71 55,30 36,94 11,81 10,67 11,86 12,95 13,05 14,99 16,26 17,51

6 Bulan 23,42 32,18 28,13 11,56 11,51 11,55 11,62 11,36 14,84 15,15 14,25

12 Bulan 14,21 23,86 23,60 15,36 13,93 11,68 11,66 12,04 14,89 15,88 16,03

24 Bulan 14,01 12,90 14,22 - - - 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28

Bank Swasta Nasional

1 Bulan 29,41 44,26 38,77 11,34 11,20 12,29 12,59 14,20 14,50 16,76 17,28

3 Bulan 30,29 48,62 39,53 11,36 11,09 11,51 11,81 12,93 14,35 15,49 16,81

6 Bulan 22,11 38,35 32,62 10,28 11,74 12,13 13,24 14,16 14,81 15,34 15,77

12 Bulan 15,63 49,89 52,40 16,02 10,44 10,40 12,12 12,73 12,81 17,19 17,62

24 Bulan 17,47 15,93 30,00 - - - - - - - -

Bank Pemerintah Daerah

1 Bulan 22,49 40,49 31,90 11,52 10,33 12,32 11,26 11,98 13,95 14,69 15,85

3 Bulan 20,85 52,57 35,48 12,62 12,10 13,40 13,88 15,62 15,78 17,24 18,19

6 Bulan 15,71 22,00 26,26 12,00 12,00 12,00 12,00 12,00 12,49 12,50 -

12 Bulan 18,04 21,20 25,21 12,50 12,10 12,08 13,81 13,83 14,60 14,54 13,00

24 Bulan 13,86 14,50 14,50 - - - - - - - -

Bank Asing & Campuran

1 Bulan 13,02 58,46 48,41 - - 9,07 9,43 10,05 10,63 10,93 11,90

3 Bulan 20,41 39,91 34,00 9,54 10,25 9,26 9,70 10,06 11,43 12,43 13,78

6 Bulan 19,08 - 35,50 - - 7,98 8,28 8,64 8,70 9,00 10,24

12 Bulan - - - 12,00 12,00 7,98 7,90 8,20 8,33 8,38 8,40

24 Bulan - - - - - - - - - - -

Bank Umum

1 Bulan 28,80 45,94 39,57 11,31 11,15 12,13 12,47 14,09 14,60 16,55 16,81

3 Bulan 27,56 49,99 38,68 11,31 11,07 11,49 11,83 12,89 14,40 15,58 16,97

6 Bulan 22,40 35,50 30,89 10,87 11,68 11,91 12,00 12,00 14,81 15,18 14,65

12 Bulan 15,58 41,51 28,77 14,41 12,41 10,97 12,11 12,65 13,97 16,39 16,50

24 Bulan 16,95 14,56 14,53 - - - 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28

Jangka Waktu

1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode

Lampiran

289

Tabel 28

Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

(miliar rupiah)

Akhir Periode Penerbitan Pelunasan Posisi1)

Januari - Desember 1997 176.452 187.969 7.034

Januari - Desember 1998 735.844 700.182 42.765

Januari - Desember 1999 711.542 691.408 62.899

Januari - Desember 2000 928.944 937.212 59.781

2001

Januari 83.318 55.915 87.184

Februari 84.500 82.504 89.180

Maret 100.791 121.362 68.609

April 65.798 62.867 71.539

Mei 91.906 88.874 74.570

Juni 76.941 74.103 77.408

Juli 77.083 77.081 77.410

Agustus 96.017 94.933 78.494

September 87.452 94.978 70.967

Oktober 68.023 65.461 73.530

November 89.172 86.925 75.777

Desember 49.379 69.696 55.460

Keterangan :

Penerbitan SBI dimulai pada bulan Februari 1984, dan sejak Juli 1998 penjualan SBI dilakukan melalui lelang dengan sistem SOR (Stop Out Rate)

1) Angka rata-rata harian

Lampiran

290

Tabel 29

Tingkat Diskonto SBI1)

(persen per tahun)

Periode 7 hari 14 hari 28 hari 90 hari 180 hari 360 hari

1997

Maret 7,61 8,70 11,07 11,88 - -

Juni 7,29 8,50 10,50 11,25 12,00 12,50

September 18,35 20,06 22,00 - - -

Desember 16,00 18,00 20,00 - - -

1998

Maret 29,24 - 27,75 - - -

Juni - 52,81 58,00 - - -

September - - 68,76 - - -

Desember - - 38,44 39,00 - -

1999

Maret - - 37,84 38,00 - -

Juni - - 22,05 23,75 - -

September - - 13,02 13,25 - -

Desember - - 12,51 12,75 - -

2000

Maret - - 11,03 11,00 - -

Juni - - 11,74 11,09 - -

September - - 13,62 13,32 - -

Desember - - 14,53 14,31 - -

2001

Januari - - 14,79 14,79 - -

Februari - - 14,79 14,84 - -

Maret - - 15,16 14,94 - -

April - - 15,91 15,80 - -

Mei - - 16,27 15,80 - -

Juni - - 16,52 16,28 - -

Juli - - 16,98 16,96 - -

Agustus - - 17,37 17,03 - -

September - - 17,65 17,56 - -

Oktober - - 17,58 17,61 - -

November - - 17,59 17,62 - -

Desember - - 17,62 17,63 - -

1) Rata-rata tertimbang

Lampiran

291

Tabel 30

Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara

Bank Indonesia dan Bank-bank

(miliar rupiah)

Periode Pembelian Pelunasan Posisi

1997

Januari - Maret 15.954 13.455 2.670

April - Juni 18.937 19.480 2.126

Juli - September 50.131 52.237 21

Oktober - Desember 94.934 91.499 3.455

1998

Januari - Maret 257.109 256.474 4.090

April - Juni 42.929 46.873 146

Juli - September 24.136 24.057 227

Oktober - Desember 1.342 550 1.018

1999

Januari - Maret 1.018 1.018 1.018

April - Juni 0 0 1.018

Juli - September 0 0 1.018

Oktober - Desember 644 1.662 0

2000

Januari - Maret 0 0 0

April - Juni 0 0 0

Juli - September 0 0 0

Oktober - Desember 0 0 0

2001

Januari 0 0 0

Februari 112 2 110

Maret 0 110 0

April 18 18 0

Mei 4 4 0

Juni 0 0 0

Juli 0 0 0

Agustus 0 0 0

September 0 0 0

Oktober 8 8 0

November 0 0 0

Desember 0 0 0

292

Lampiran

Pendapatan Negara dan Hibah 156.470 187.819 204.942 286.006 299.851 301.874Penerimaan Dalam Negeri 156.409 187.819 204.942 286.006 299.842 301.874

Penerimaan Perpajakan 102.395 125.951 115.788 185.260 184.737 219.627Pajak dalam negeri 95.459 120.915 108.787 174.255 174.189 207.029

PPh 55.944 72.729 57.079 94.971 92.767 104.497Nonmigas 55.944 59.683 38.427 69.246 69.696 88.815Migas - 13.046 18.652 25.725 23.071 15.682

PPN 27.803 33.087 35.042 53.457 55.841 70.100PBB 3.043 3.504 3.545 5.094 4.800 5.924Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 523 604 927 1.195 1.489 2.205Cukai 7.733 10.381 11.302 17.601 17.622 22.353Pajak lainnya 413 611 892 1.938 1.670 1.950

Pajak perdagangan internasional 6.936 5.036 7.002 11.005 10.548 12.599Bea masuk 2.306 4.177 6.652 10.398 9.828 12.249Pajak ekspor 4.630 859 349 607 720 350

Penerimaan Bukan Pajak 54.014 61.868 89.154 100.746 115.105 82.247Penerimaan Sumber Daya Alam 41.368 45.435 76.017 79.446 86.658 63.195

Minyak bumi 25.957 - 51.003 57.857 60.038 44.013Gas alam 15.411 - 15.658 17.369 21.647 14.524SDA lainnya 5) - - 9.356 4.220 4.974 4.658

Pertambangan umum - - 556 928 1.827 1.340Kehutanan - - 8.776 3.001 3.001 3.026Perikanan - - 24 292 146 292

Bagian laba BUMN 3.428 5.430 3.868 9.000 10.440 10.351PNBP 9.217 11.002 9.269 12.300 18.007 8.700

Hibah 6) 62 - - - 10 -

Belanja Negara 172.669 231.879 219.935 340.326 354.578 344.009Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 146.020 201.943 187.058 258.849 272.178 246.040

Pengeluaran Rutin 103.261 156.756 161.369 213.388 232.796 193.741Belanja pegawai 23.216 32.719 29.350 38.206 39.544 41.298

Gaji dan pensiun 18.657 27.010 24.269 31.915 33.275 34.003Tunjangan beras 1.245 1.822 1.524 1.281 1.259 1.412Uang makan/lauk-pauk 1.547 2.567 1.800 2.114 2.114 2.832Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 1.073 1.294 1.458 1.371 1.831 1.550Belanja pegawai luar negeri 695 25 300 1.526 1.066 1.502

Belanja barang 9.862 10.765 8.135 9.909 9.604 12.863Belanja barang dalam negeri 8.888 9.784 7.985 8.735 8.735 11.707Belanja barang luar negeri 974 980 150 1.174 869 1.156

Pembayaran bunga utang 32.864 42.910 50.086 89.570 95.527 88.500Utang dalam negeri 8.385 22.230 31.238 61.174 66.251 59.525Utang luar negeri 24.480 20.679 18.848 28.395 29.277 28.975

Subsidi 34.614 65.916 62.758 66.269 81.575 41.586Subsidi BBM 28.607 40.923 53.635 53.774 68.381 30.377Subsidi non BBM 6.008 24.993 9.123 12.495 13.194 11.209

Pengeluaran rutin lainnya 2.703 4.446 11.039 9.433 6.546 9.494

Pengeluaran Pembangunan 42.759 45.187 25.689 45.461 39.382 52.299Pembiayaan rupiah 16.578 20.804 9.370 21.712 19.712 26.469Bantuan proyek 26.181 24.383 16.319 23.749 19.670 25.830

Anggaran Belanja untuk Daerah 26.650 29.936 32.878 81.477 82.400 97.969Dana Perimbangan 26.650 29.936 32.878 81.477 82.400 94.532

Dana bagi hasil 3.703 3.993 4.251 20.259 21.183 24.600Dana alokasi umum 7) 22.947 25.943 28.626 60.517 60.517 69.114Dana alokasi khusus - - - 701 701 817

Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang - - - - - 3.437

Tabel 31

Pendapatan dan Belanja Negara

(miliar rupiah)

1998/1999p 1999/2000p 20001) 2001 2002

APBN2) Realisasi3) APBN4)R i n c i a n

p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)1) Realisasi 1 April 2000 s.d. 31 Desember 20002) APBN Penyesuaian (revisi)3) APBN Perubahan (perkiraan realisasi)4) APBN yang telah disetujui DPR5) Berlaku sejak TA. 20006) Merupakan hibah dari USAID dan Pemerintah Jepang7) s.d. TA.2000 terdiri atas Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan DaerahSumber: Departemen Keuangan

293

Lampiran

Tabel 32

Pengeluaran Pemerintah

(miliar rupiah)

I. Pembiayaan Dalam Negeri -4.799 14.672 5.439 34.387 44.189 23.501

1. Perbankan dalam negeri (SILPA/SIKPA) 5) -6.433 -1.941 -13.461 - 7.551 -

2. Non perbankan dalam negeri 1.634 16.613 18.900 34.387 36.638 23.501

a. Privatisasi 1.634 3.727 - 6.500 5.000 3.952

b. Penjualan aset program restrukturisasi - 12.886 18.900 27.000 30.980 19.549

c. Obligasi negara. neto - - - 887 658 -

i. Penerbitan obligasi pemerintah - - - 887 658 3.931

ii. Pembayaran cicilan pokok utang/

obligasi DN - - - - - -3.931

II. Pembiayaan Luar Negeri. neto 20.998 29.388 9.554 19.933 10.538 18.634

1. Penarikan pinjaman luar negeri. bruto 51.045 49.584 17.168 40.091 30.284 62.601

Pinjaman program 24.926 25.201 849 16.341 10.624 36.771

Pinjaman proyek 26.119 24.383 16.319 23.749 19.660 25.830

2. Pembayaran cicilan pokok utang luar

negeri (amortisasi) -30.047 -20.196 -7.613 -20.158 -19.746 -43.967

Pembiayaan Bersih 16.199 44.060 14.993 54.320 54.727 42.135

p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)1) Realisasi 1 April 2000 s.d. 31 Desember 20002) APBN Penyesuaian (revisi)3) APBN perubahan (perkiraan realisasi)4) APBN yang telah disetujui DPR5) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA)Sumber: Departemen Keuangan

R i n c i a n

Tabel 32

Pembiayaan Defisit Anggaran

(miliar rupiah)

1998/1999p 1999/2000p 20001) 2001 2002

APBN2) Realisasi3) APBN4)

294

Lampiran

Tabel 33

Penghimpunan Dana oleh Bank Umum 1)

(miliar rupiah)

G i r o Deposito

Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub

Rupiah Valas Jumlah Rupiah2) Valas Jumlah

Tabungan JumlahAkhir periode

1997 53.103 30.125 83.228 125.743 80.652 206.395 67.990 357.613

1997/1998 64.074 44.629 108.703 177.954 94.106 272.060 72.173 452.936

1998 58.067 39.351 97.418 303.016 103.782 406.798 69.308 573.524

1998/1999 60.002 47.244 107.246 303.022 109.778 412.800 79.453 599.499

1999 68.456 47.110 115.566 301.431 85.640 387.071 122.981 625.618

2000

Maret 75.847 46.078 121.925 301.087 86.670 387.757 135.801 645.483

Juni 84.262 49.805 134.067 289.385 87.737 377.122 146.662 657.851

September r 94.575 56.820 151.395 286.844 83.943 370.787 148.665 670.847

Desember r 104.539 70.969 175.508 296.885 93.658 390.543 154.328 720.379

2001

Januari 102.404 59.233 161.637 306.903 91.661 398.564 156.977 717.178

Februari 105.105 58.972 164.077 318.203 93.518 411.721 155.691 731.489

Maret 102.113 64.116 166.229 321.209 99.132 420.341 153.383 739.953

April 105.534 72.321 177.855 314.144 114.778 428.922 159.257 766.034

Mei 106.233 68.997 175.230 313.774 109.728 423.502 160.150 758.882

Juni 107.089 68.124 175.213 315.200 111.615 426.815 160.825 762.854

Juli 109.209 57.657 166.866 311.845 92.875 404.720 164.344 735.930

Agustus 110.594 52.642 163.236 318.146 85.412 403.558 167.144 733.938

September 109.021 56.781 165.802 323.337 92.226 415.563 163.278 744.643

Oktober 115.711 62.378 178.089 334.133 99.347 433.480 162.677 774.246

November 112.007 64.003 176.011 340.066 98.628 438.694 166.007 780.712

Desember 120.541 66.478 187.018 348.257 97.940 446.196 172.613 805.827

1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk2) Termasuk sertifikat deposito

295

Lampiran

Bank Persero Bank Swasta Nasional Bank Pemerintah Daerah Bank Asing & Campuran J u m l a h

Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub-

rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah

Tabel 34

Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum

menurut Kelompok Bank

(miliar rupiah)

1997 17.492 7.125 24.617 24.301 12.693 36.994 4.014 7 4.021 7.296 10.300 17.596 53.103 30.125 83.228

1997/1998 20.595 9.638 30.233 28.663 14.812 43.475 2.738 12 2.750 12.078 20.167 32.245 64.074 44.629 108.703

1998 24.751 8.476 33.227 23.151 13.447 36.598 4.895 13 4.908 5.270 17.415 22.685 58.067 39.351 97.418

1998/1999 28.271 11.624 39.895 21.921 14.255 36.176 4.374 12 4.386 5.436 21.353 26.789 60.002 47.244 107.246

1999 25.407 12.483 37.890 26.866 15.792 42.658 7.055 15 7.070 9.128 18.820 27.948 68.456 47.110 115.566

2000

Maret 28.859 12.539 41.398 32.432 14.695 47.127 5.412 16 5.428 9.144 18.828 27.972 75.847 46.078 121.925

Juni 33.858 9.696 43.554 33.056 16.768 49.824 8.123 20 8.143 9.225 23.321 32.546 84.262 49.805 134.067

September r 40.390 14.888 55.278 33.638 17.963 51.601 10.277 23 10.300 10.270 23.946 34.216 94.575 56.820 151.395

Desember r 49.205 24.284 73.489 34.123 18.973 53.096 10.806 17 10.823 10.405 27.695 38.100 104.539 70.969 175.508

2001

Januari 44.082 14.007 58.089 34.653 18.685 53.338 12.375 19 12.394 11.294 26.522 37.816 102.404 59.233 161.637

Februari 44.828 14.387 59.214 36.295 18.486 54.781 14.180 16 14.196 9.803 26.083 35.885 105.105 58.972 164.077

Maret 43.822 12.892 56.714 34.134 20.915 55.049 15.083 23 15.106 9.074 30.286 39.360 102.113 64.116 166.229

April 43.889 15.512 59.401 35.748 24.292 60.040 15.832 20 15.852 10.066 32.497 42.563 105.534 72.321 177.855

Mei 45.465 12.752 58.217 34.987 24.595 59.582 16.555 13 16.568 9.226 31.637 40.863 106.233 68.997 175.230

Juni 44.526 12.442 56.968 34.728 25.398 60.126 19.539 15 19.554 8.296 30.269 38.565 107.089 68.124 175.213

Juli 45.527 10.843 56.370 34.645 20.743 55.388 20.186 13 20.199 8.851 26.058 34.909 109.209 57.657 166.866

Agustus 46.270 9.803 56.073 34.552 19.115 53.667 21.427 16 21.443 8.345 23.708 32.053 110.594 52.642 163.236

September 45.145 10.539 55.684 34.546 20.872 55.418 20.810 15 20.825 8.520 25.355 33.875 109.021 56.781 165.802

Oktober 47.170 12.470 59.639 35.952 22.541 58.493 23.167 21 23.187 9.421 27.347 36.768 115.711 62.378 178.089

November 44.590 11.895 56.486 36.470 23.366 59.835 21.874 14 21.888 9.074 28.728 37.802 112.007 64.003 176.011

Desember 50.956 14.430 65.386 38.099 24.270 62.369 22.775 21 22.797 8.710 27.756 36.466 120.541 66.478 187.018

Akhir periode

296

Lampiran

Tabel 35

Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum

menurut Jangka Waktu

(miliar rupiah)

1997 359 25.377 28.664 34.637 88.987 28.371 206.395

1997/1998 2.140 28.937 27.841 30.101 138.596 44.445 272.060

1998 610 21.039 17.151 50.352 266.585 51.061 406.798

1998/1999 502 15.449 19.414 24.840 307.610 44.984 412.799

1999 436 14.742 35.244 42.125 243.645 50.879 387.071

2000

Maret 628 12.992 45.123 55.711 231.854 41.449 387.757

Juni 666 9.217 42.666 52.589 230.451 41.534 377.123

September 6.836 7.719 35.941 59.614 204.986 55.689 370.785

Desember 14.061 6.920 23.503 68.877 215.532 61.649 390.542

2001

Januari 14.946 7.314 23.175 74.668 221.001 57.460 398.564

Februari 14.388 7.698 23.864 75.966 231.107 58.698 411.721

Maret 14.038 7.767 23.174 75.696 236.772 62.894 420.340

April 14.438 7.478 26.038 71.315 242.358 67.295 428.922

Mei 13.651 8.218 24.358 68.114 241.134 68.028 423.502

Juni 14.395 9.451 23.644 66.928 249.025 63.371 426.814

Juli 12.671 9.871 21.279 67.800 232.362 60.735 404.719

Agustus 14.483 10.489 20.054 72.109 224.257 62.165 403.557

September 14.847 10.553 20.258 75.042 231.910 62.953 415.562

Oktober 17.316 12.450 20.131 75.590 239.527 68.465 433.480

November 18.031 13.297 18.624 75.589 240.270 72.883 438.695

Desember 18.882 13.533 17.903 77.768 242.685 75.425 446.196

Akhir periode 24 bulan 12 bulan 6 bulan 3 bulan 1 bulan1) Lain-lain Jumlah

1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu

297

Lampiran

Tabel 36

Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum

menurut Golongan Pemilik

(miliar rupiah)

Badan/ Perusahaan Perusahaan Perusahaan Yayasan Sub-Pemerintah lembaga asuransi negara swasta dan badan Koperasi Perorangan Lainnya jumlah

pemerintah sosial

Akhir periodeJumlah

Bukan

penduduk

P e n d u d u k

1997 5.363 1.786 6.323 6.540 26.512 12.784 282 56.856 9.031 125.477 266 125.743

1997/1998 6.124 1.882 6.845 11.470 35.877 13.344 420 94.053 7.500 177.515 439 177.954

1998 8.805 3.626 8.399 18.241 46.408 20.041 768 182.561 13.555 302.404 612 303.016

1998/1999 8.150 3.320 7.963 16.755 47.583 17.970 726 188.258 11.487 302.212 810 303.022

1999 r 11.268 4.713 11.916 20.463 46.883 20.188 953 173.785 10.165 300.334 1.097 301.431

2000

Maret r 12.454 3.863 10.844 22.616 48.713 22.329 619 169.245 9.600 300.283 804 301.087

Juni r 7.595 4.023 12.011 23.603 48.049 19.435 604 162.654 10.598 288.572 813 289.385

September 4.206 4.846 24.420 19.843 41.948 21.207 1.041 162.539 4.579 284.628 2.215 286.843

Desember r 4.408 5.162 24.412 18.595 39.653 22.864 941 172.917 6.274 295.226 1.659 296.885

2001

Januari 5.042 5.018 25.729 19.858 39.550 24.433 1.092 178.014 6.567 305.304 1.599 306.903

Februari 5.255 5.242 26.725 20.654 40.720 25.962 1.722 185.317 5.620 317.218 985 318.203

Maret 6.343 5.320 26.722 21.707 40.385 26.143 2.244 187.611 3.758 320.233 976 321.209

April 5.858 5.068 25.712 21.008 39.251 26.974 2.419 183.834 2.704 312.828 1.314 314.142

Mei 6.383 5.771 24.285 18.742 38.260 28.372 2.484 184.899 3.378 312.574 1.200 313.774

Juni 6.559 6.017 25.154 16.746 40.117 30.118 1.756 184.916 2.574 313.957 1.243 315.200

Juli 6.577 5.971 22.520 13.942 40.487 30.823 1.736 185.499 3.145 310.700 1.145 311.845

Agustus 7.364 5.530 24.560 15.741 40.739 29.222 1.429 189.748 2.563 316.896 1.250 318.146

September 7.622 5.783 23.028 14.275 39.665 28.616 1.716 198.439 2.769 321.914 1.424 323.338

Oktober 7.481 4.989 22.679 14.039 47.284 28.083 1.136 203.257 3.209 332.157 1.976 334.133

November 7.545 5.642 23.089 15.782 52.148 28.757 926 201.768 2.866 338.525 1.542 340.066

Desember 7.729 8.761 23.547 13.331 50.718 28.255 893 208.994 2.586 344.812 3.444 348.257

298

Lampiran

Tabel 37

Sertifikat Deposito

(miliar rupiah)

Akhir periode Bank Persero Selain Bank Persero Jumlah

1997 777 5.894 6.671

1997/1998 493 3.409 3.902

1998 1.792 5.004 6.796

1998/1999 829 2.825 3.654

1999 491 2.156 2.647

2000

Maret 279 2.715 2.994

Juni 245 3.017 3.262

September 360 3.434 3.794

Desember 410 3.215 3.625

2001

Januari 396 3.708 4.104

Februari 606 4.212 4.818

Maret 441 3.297 3.739

April 494 3.580 4.073

Mei 760 3.781 4.541

Juni 1.574 4.001 5.575

Juli 1.404 5.681 7.085

Agustus 1.574 3.522 5.097

September 1.945 3.855 5.799

Oktober 1.969 3.753 5.722

November 2.900 3.016 5.916

Desember 2.719 2.882 5.601

299

Lampiran

1997 42.872 62.765 274 173 17.295 5.052 60.441 67.990

1997/1998 43.232 66.653 271 220 19.102 5.300 62.605 72.173

1998 46.292 62.506 307 1.908 18.890 4.894 65.489 69.308

1998/1999 45.442 72.328 222 2.047 18.549 5.078 64.213 79.453

1999 66.926 115.945 161 855 17.437 6.181 84.524 122.981

2000

Maret 47.607 127.821 196 1.532 17.755 6.448 65.558 135.801

Juni 49.442 138.732 191 1.065 16.825 6.865 66.458 146.662

September 80.913 146.300 302 1.290 748 1.075 81.963 148.665

Desember 65.041 152.388 355 755 1.298 1.185 66.694 154.328

2001

Januari 65.460 155.231 347 689 941 1.057 66.748 156.977

Februari 66.518 153.914 360 719 961 1.058 67.838 155.691

Maret 86.571 151.593 564 984 626 806 87.761 153.383

April 66.733 157.093 715 1.325 715 839 68.163 159.257

Mei 67.538 157.461 562 1.445 661 1.244 68.761 160.150

Juni 67.422 157.535 787 1.960 650 1.330 68.859 160.825

Juli 78.069 160.875 788 2.145 586 1.324 79.443 164.344

Agustus 67.098 163.458 780 2.240 643 1.446 68.521 167.144

September 67.007 161.323 963 1.022 752 933 68.722 163.278

Oktober 67.996 160.669 846 1.094 554 913 69.396 162.676

November 67.669 164.027 645 935 876 1.045 69.190 166.007

Desember 68.138 170.783 510 995 823 834 69.470 172.613

Tabel 38

Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum

Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi

(ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp)

Tabungan yang

penarikannya dapat

dilakukan sewaktu-waktu Tabungan berjangka Tabungan lainnya JumlahAkhir periode

300

Lampiran

Tabel 39

Suku Bunga Kredit Rupiah menurut Kelompok Bank 1)

(persen)

Bank Bank Bank Bank Asing & Bank Umum

Pemerintah Pemerintah Daerah Swata Nasional Campuran

Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi

Kerja Kerja Kerja Kerja Kerja

Akhir Periode

1) Rata-rata tertimbang

1997 20,41 16,12 23,04 15,49 28,22 27,31 26,76 25,22 25,40 18,94

1998 29,03 22,35 30,20 15,83 38,70 40,32 42,89 35,53 34,75 26,23

1999 21,61 17,48 21,81 13,43 19,57 20,61 18,28 22,70 20,68 17,80

2000

Maret 20,36 16,48 20,23 11,64 17,62 18,28 16,37 16,81 18,93 16,46

Juni 18,99 15,79 19,42 18,98 17,65 17,85 15,96 15,20 18,14 16,21

September 18,62 16,19 21,58 18,00 17,88 18,00 15,32 14,88 17,99 16,62

Desember 18,40 16,53 21,11 18,11 17,55 17,59 15,42 15,49 17,65 16,86

2001

Januari 18,48 16,37 20,78 18,04 17,86 17,61 15,80 15,73 17,85 16,77

Februari 18,44 16,43 20,81 18,00 17,77 17,77 15,89 16,07 17,80 16,88

Maret 18,47 16,31 20,87 18,02 17,84 17,95 16,28 16,30 17,90 16,86

April 18,52 16,16 20,63 18,00 17,88 18,06 17,48 16,43 18,13 16,80

Mei 18,62 16,21 20,82 18,05 18,13 18,08 17,11 16,73 18,21 16,85

Juni 18,64 16,41 20,84 18,07 18,28 17,94 18,05 16,69 18,45 17,04

Juli 18,73 16,17 20,94 18,02 18,47 17,91 18,64 17,22 18,68 16,90

Agustus 18,82 16,26 20,93 17,97 18,83 18,16 18,80 17,86 18,89 17,08

September 18,91 16,44 20,84 17,73 18,96 18,22 19,24 17,98 19,06 17,22

Oktober 19,10 16,61 20,79 17,81 19,10 18,38 19,17 17,90 19,18 17,38

November 19,15 16,83 20,74 17,77 19,15 18,89 19,28 17,98 19,23 17,64

Desember 19,15 17,11 20,48 17,76 19,16 19,02 19,09 18,55 19,19 17,90

301

Lampiran

R i n c i a n 1997 1998 1999 2000

Tabel 40

Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing

menurut Sektor Ekonomi 1)

(miliar rupiah)

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank. pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek

2001

Mar. Jun. Sep. Des.

Kredit dalam Rupiah 261.534 313.118 140.527 152.482 158.023 171.984 187.953 202.618

Pertanian 20.340 29.430 21.139 15.028 15.383 16.291 16.004 16.851

Pertambangan 2.769 2.729 879 2.879 3.364 2.651 2.861 3.676

Perindustrian 56.123 85.594 35.561 35.697 35.802 41.752 47.012 50.434

Perdagangan 57.471 59.830 29.687 30.601 30.555 33.827 36.374 38.491

Jasa-Jasa 85.598 101.129 26.332 23.784 25.939 26.685 28.615 30.696

Lain-Lain 39.233 34.406 26.929 44.493 46.980 50.778 57.087 62.470

Kredit dalam Valuta Asing 116.600 174.308 84.606 116.518 127.352 134.349 116.467 104.976

Pertanian 5.662 9.878 2.638 4.475 5.629 6.475 5.724 4.012

Pertambangan 2.547 3.180 2.818 3.801 4.323 2.232 1.775 3.764

Perindustrian 55.556 86.074 48.698 71.085 78.072 85.105 75.532 66.091

Perdagangan 24.793 36.534 13.601 13.498 14.508 12.932 10.881 9.959

Jasa-Jasa 27.971 37.995 16.829 20.532 22.313 23.828 20.258 18.365

Lain-Lain 71 647 22 3.127 2.507 3.777 2.297 2.785

Jumlah 378.134 487.426 225.133 269.000 285.375 306.333 304.420 307.594

Pertanian 26.002 39.308 23.777 19.503 21.012 22.766 21.728 20.863

Pertambangan 5.316 5.909 3.697 6.680 7.687 4.883 4.636 7.440

Perindustrian 111.679 171.668 84.259 106.782 113.874 126.857 122.544 116.525

Perdagangan 82.264 96.364 43.288 44.099 45.063 46.759 47.255 48.450

Jasa-Jasa 113.569 139.124 43.161 44.316 48.252 50.513 48.873 49.061

Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255

302

Lampiran

Tabel 41

Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing

menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1)

(miliar rupiah)

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek

2 0 0 1

Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1997 1998 1999 2000

Kredit Modal Kerja 277.399 345.962 167.442 203.724 213.278 221.410 220.755 234.128

Pertanian 11.373 22.058 12.162 8.693 9.065 9.322 8.498 8.748

Pertambangan 3.995 3.880 2.368 3.796 4.406 1.325 1.202 1.197

Perindustrian 76.585 121.867 61.278 80.572 85.535 89.877 83.957 88.208

Perdagangan 64.336 72.065 36.181 36.318 36.751 37.716 38.625 40.360

Jasa-Jasa 81.806 91.039 28.502 26.725 28.034 28.615 29.089 30.359

Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255

Kredit Investasi 100.735 141.464 57.691 65.276 72.097 84.923 83.665 73.466

Pertanian 14.629 17.250 11.615 10.810 11.947 13.444 13.230 12.115

Pertambangan 1.321 2.029 1.329 2.884 3.281 3.558 3.434 6.243

Perindustrian 35.094 49.801 22.981 26.210 28.339 36.980 38.587 28.317

Perdagangan 17.928 24.299 7.107 7.781 8.312 9.043 8.630 8.090

Jasa-Jasa 31.763 48.085 14.659 17.591 20.218 21.898 19.784 18.701

Lain-Lain - - - - - - - -

Jumlah 378.134 487.426 225.133 269.000 285.375 306.333 304.420 307.594

Pertanian 26.002 39.308 23.777 19.503 21.012 22.766 21.728 20.863

Pertambangan 5.316 5.909 3.697 6.680 7.687 4.883 4.636 7.440

Perindustrian 111.679 171.668 84.259 106.782 113.874 126.857 122.544 116.525

Perdagangan 82.264 96.364 43.288 44.099 45.063 46.759 47.255 48.450

Jasa-Jasa 113.569 139.124 43.161 44.316 48.252 50.513 48.873 49.061

Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255

303

Lampiran

2 0 0 1

Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1997 1998 1999 2000

Tabel 42

Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing

menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi 1)

(miliar rupiah)

1. Bank Persero 153.266 220.747 112.288 102.061 106.542 112.726 113.577 117.104

Pertanian 14.279 17.012 15.516 11.209 12.082 12.035 11.677 12.034

Pertambangan 1.939 1.989 1.360 2.522 2.995 2.936 2.833 5.554

Perindustrian 46.868 84.510 38.489 34.878 36.652 39.239 40.949 40.099

Perdagangan 32.970 43.601 21.958 16.431 16.597 17.985 17.512 17.973

Jasa-Jasa 39.421 55.792 19.945 16.370 17.367 17.249 15.691 15.537

Lain-Lain 17.789 17.843 15.020 20.651 20.849 23.282 24.915 25.907

2. Bank Swasta Nasional 168.723 193.361 56.012 82.425 87.869 98.660 104.092 101.871

Pertanian 10.185 20.272 5.740 4.987 5.524 6.865 6.674 6.050

Pertambangan 2.500 2.414 371 863 808 745 720 838

Perindustrian 35.592 45.416 14.421 22.914 24.427 30.876 33.761 28.237

Perdagangan 40.513 40.687 13.307 21.656 22.306 22.144 23.453 23.402

Jasa-Jasa 63.716 72.058 15.605 17.500 19.274 21.461 20.859 22.160

Lain-Lain 16.217 12.514 6.568 14.505 15.530 16.569 18.625 21.185

3. Bank Pemerintah Daerah 7.539 6.570 6.793 10.106 11.152 12.453 14.674 15.419

Pertanian 267 354 853 527 512 498 526 536

Pertambangan 21 19 18 65 71 84 147 188

Perindustrian 429 409 190 249 261 279 284 257

Perdagangan 1.206 1.053 816 1.182 1.329 1.578 1.930 2.108

Jasa-Jasa 2.386 1.820 1.376 1.260 1.308 1.262 1.752 1.411

Lain-Lain 3.230 2.915 3.540 6.823 7.671 8.752 10.035 10.920

4. Bank Asing & Campuran 48.606 66.748 50.040 74.408 79.812 82.494 72.077 73.199

Pertanian 1.271 1.670 1.668 2.780 2.894 3.368 2.851 2.244

Pertambangan 856 1.487 1.948 3.230 3.813 1.118 936 860

Perindustrian 28.790 41.333 31.159 48.741 52.534 56.463 47.550 47.932

Perdagangan 7.575 11.023 7.207 4.830 4.831 5.052 4.360 4.968

Jasa-Jasa 8.046 9.454 6.235 9.186 10.303 10.541 10.571 9.952

Lain-Lain 2.068 1.781 1.823 5.641 5.437 5.952 5.809 7.243

5. Jumlah (1 s.d. 4) 378.134 487.426 225.133 269.000 285.375 306.333 304.420 307.594

Pertanian 26.002 39.308 23.777 19.503 21.012 22.766 21.728 20.863

Pertambangan 5.316 5.909 3.697 6.680 7.687 4.883 4.636 7.440

Perindustrian 111.679 171.668 84.259 106.782 113.874 126.857 122.544 116.525

Perdagangan 82.264 96.364 43.288 44.099 45.063 46.759 47.255 48.450

Jasa-Jasa 113.569 139.124 43.161 44.316 48.252 50.513 48.873 49.061

Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank. pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek

304

Lampiran

Tabel 43

Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI

(triliun rupiah)

1997 1998 1999 2000 2001

Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

Jakarta 18.7 32.2 24.2 39,9 24,4 47,2 33,2 51,4 34,9 53,7

Bandung 14,1 9,1 17,9 14,7 22,2 17,1 28,0 20,4 37,6 23,7

Semarang 11,8 6,9 14,5 9,3 17,8 13,6 20,2 15,1 25,5 17,4

Surabaya 13,9 13,3 18,8 18,5 23,4 23,9 28,8 28,6 37,9 33,5

Medan 6,9 7,7 9,4 10,3 11,4 12,8 11,5 11,9 15,1 15,3

Padang 4,2 5,6 5,8 8,7 6,5 11,7 7,8 13,1 10,1 14,9

Makassar 4,7 5,4 7,3 8,8 8,7 10,0 10,4 12,4 13,8 14,9

Banjarmasin 3,6 4,9 4,8 7,2 6,1 9,0 7,8 11,2 10,1 13,4

Jumlah 77,9 85,1 102,7 117,4 120,5 145,3 147,7 164,1 185,0 186,8

Tabel 44

Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2001

(persen)

Kantor Rp100.000,00 Rp50.000,00 Rp20.000,00 Rp10.000,00 Rp5.000,00 <= Rp1.000,00 Total

Jakarta 42 38 12 5 2 1 100

Bandung 51 33 11 3 1 1 100

Semarang 50 33 11 4 1 0 100

Surabaya 49 38 7 4 1 1 100

Medan 47 36 10 4 2 1 100

Padang 43 34 13 8 2 1 100

Makassar 44 35 14 4 2 1 100

Banjarmasin 47 34 12 5 2 1 100

Kantor

305

Lampiran

Tabel 45

Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI

(miliar rupiah)

1997 1998 1999 2000 2001

Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

Jakarta 14,4 79,5 4,4 105,5 2,2 117,7 4,1 184,5 0,1 196,9

Bandung 17,3 8,7 10,8 12,9 11,1 14,8 15,2 21,0 16,5 28,5

Semarang 23,2 7,4 13,9 8,3 12,2 13,2 14,3 14,4 17,0 15,6

Surabaya 2,9 15,9 1,2 32,8 2,2 29,7 1,8 33,5 4,0 44,2

Medan 2,0 7,4 3,3 11,2 1,1 13,1 0,4 14,0 0,7 24,1

Padang 0,7 7,3 0,3 14,1 0,3 9,7 0,3 12,3 0,5 21,8

Makassar 1,0 7,4 0,5 12,6 0,6 11,2 1,1 10,9 0,5 20,8

Banjarmasin 0,7 6,1 0,7 15,5 0,6 11,4 1,4 11,0 0,8 15,6

Jumlah 62,2 139,7 35,1 212,9 30,3 220,8 38,6 301,6 40,1 367,5

Kantor

306

Lampiran

Tabel 46

Pertumbuhan Ekonomi Dunia

(persen)

Negara 1997 1998 1999r 2000r 2001*

1) Tidak termasuk Belarusia dan Ukraina

Sumber: – IMF, World Economic Outlook, December 2001

– Bank Indonesia

Dunia 4,1 2,6 3,6 4,7 2,4

Negara Industri/Maju 3,4 2,4 3,3 3,9 1,1

7 Negara industri utama 3,2 2,5 3,0 3,5 1,0

Amerika Serikat 4,4 4,4 4,1 4,1 1,0

Jepang 1,6 -2,5 0,7 2,2 -0,4

Jerman 1,4 2,1 1,8 3,0 0,5

Perancis 2,0 3,2 3,0 3,5 2,1

Italia 1,8 1,5 1,6 2,9 1,8

Inggris 3,5 2,6 2,1 2,9 2,3

Kanada 4,4 3,3 5,1 4,4 1,4

Lain-Lain 4,2 2,0 4,9 5,2 1,5

Negara Berkembang 5,7 3,5 3,9 5,8 4,0

Afrika 2,8 3,1 2,5 2,8 3,5

Timur Tengah, Malta, dan Turki 5,1 4,1 1,1 5,9 1,8

Amerika Latin 5,4 2,2 0,1 4,1 1,0

Asia 6,5 4,1 5,9 6,7 5,6

NIEs Asia 5,8 -2,3 7,9 8,2 0,4

RRC 8,8 7,8 7,1 8,0 7,3

Indonesia 4,7 -13,2 0,8 4,8 3,2

Singapura 9,0 0,3 4,5 9,9 -2,9

Malaysia 7,7 -6,7 6,1 8,3 0,3

Thailand -1,3 -9,4 4,3 4,4 1,5

Filipina 5,2 -0,5 3,4 4,0 2,9

Vietnam 8,2 3,5 4,2 5,5 4,7

Negara-Negara Transisi 1) 1,6 -0,8 3,6 6,3 4,9

Eropa Tengah dan Timur 2,1 2,0 2,0 3,8 3,0

Rusia 0,9 -4,9 5,4 8,3 5,8

Transcaucasus dan Asia Tengah 2,6 2,5 4,6 5,3 -

307

Lampiran

Tabel 47

Inflasi Dunia

(persen)

Negara 1997 1998 1999r 2000r 2001 *

Dunia 4,2 2,5 3,0 - -

Negara Industri/Maju 2,1 1,5 1,4 2,3 2,3

7 Negara industri utama 2,0 1,3 1,4 2,3 2,2

Amerika Serikat 2,3 1,6 2,2 3,4 2,9

Jepang 1,7 0,6 -0,3 -0,8 -0,7

Jerman 1,5 0,6 0,7 2,1 2,4

Perancis 1,3 0,7 0,6 1,8 1,8

Italia 1,7 1,7 1,7 2,6 2,6

Inggris 2,8 2,7 2,3 2,1 2,3

Kanada 1,4 1,0 1,7 2,7 2,8

Lain-Lain 2,4 2,5 1,3 2,4 2,9

Negara Berkembang 9,2 10,3 6,8 5,9 6,0

Afrika 11,1 8,7 11,8 13,5 12,8

Timur Tengah, Malta, dan Turki 27,7 27,6 23,3 19,1 19,1

Amerika Latin 13,2 10,6 9,3 8,1 6,3

Asia 4,8 8,0 2,4 1,9 2,8

NIEs Asia 3,4 4,4 0,3 1,2 2,0

RRC 2,8 -0,8 -1,5 0,4 1,0

Indonesia 11,1 77,6 2,01 3,8 11,5

Singapura 2,0 -0,3 0,2 1,4 1,0

Malaysia 2,7 5,3 3,0 1,5 1,5

Thailand 5,6 8,1 0,5 1,5 1,7

Filipina 6,0 9,7 8,5 4,3 6,1

Vietnam 3,2 7,7 7,6 -1,7 0,8

Negara-Negara Transisi 1) 28,2 20,9 43,9 20,1 16,0

Eropa Tengah dan Timur 41,8 17,1 10,9 12,8 9,3

Rusia 14,7 27,8 85,7 20,8 21,5

Transcaucasus dan Asia Tengah 36,5 15,3 15,4 14,8 -

Sumber : – IMF, World Economic Outlook, December 2001

– Bank Indonesia

– BPS

308

Lampiran

Tabel 48

Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar

Rincian 1997 1998 1999r 2000r 2001 *

Suku Bunga di Negara-negara IndustriJangka Pendek 4,00 4,00 3,80 - - Jangka Panjang 5,40 4,50 5,30 - -

LIBOR 6 bulanUSD - - 5,50 6,60 3,80Yen - - 0,20 0,30 0,20Euro - - 3,00 4,60 4,10

Nilai TukarYen/USD 120,99 130,91 102,51 114,41 131,66DM/USD 1,73 1,76 1,94 2,08 2,20SD/GBP 1,64 1,66 1,62 1,49 1,45

Sumber : – IMF, World Economic Outlook , December 2001 – IMF, International Financial Statistics, December 2001

Tabel 49

Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia

(persen)

Rincian 1997 1998 1999r 2000r 2001 *

Volume Perdagangan Barang 10,0 4,1 5,4 12,4 1,0

Harga

Barang-barang Industri -7,8 -1,2 -1,8 -5,1 -1,7

Komoditas Primer Nonmigas -3,2 -14,7 -7,0 1,8 -5,5

Minyak -5,4 -32,1 37,5 56,9 -14,0

Sumber : – IMF, World Economic Outlook, December 2001

309

Lampiran

Tabel 50

Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang

(persen PDB)

Negara 1997 1998 1999r 2000r 2001*

7 Negara industri utama

Amerika Serikat -1,7 -2,5 -3,5 -4,5 -4,8

Jepang 2,2 3,2 2,4 2,5 2,2

Jerman -0,1 -0,2 -0,9 -1,0 -0,8

Perancis 2,8 2,7 2,6 1,8 2,5

Italia 2,8 1,7 0,5 -0,5 -0,1

Inggris 0,8 - -1,1 -1,7 -1,7

Kanada -1,6 -1,8 0,2 2,5 1,9

Negara Berkembang

RRC 3,8 3,4 1,6 1,9 1,0

Indonesia -2,3 4,3 4,10 5,2 3,4

Singapura 15,7 20,9 21,1 21,9 7,5

Malaysia -5,1 12,9 15,9 9,4 7,5

Thailand -2,0 12,8 10,2 7,5 4,7

Filipina -5,3 2,0 10,0 12,1 4,9

Sumber : – IMF, World Economic Outlook, December 2001

310

Lampiran

Specimen Pecahan Uang Kartal

Yang Diterbitkan Pada Tahun 2001

Pecahan Rp 5000

Lampiran G

Anti copy dalam bentuk tulisan “RI”

Tulisan mikro

“BANK INDONESIA 5000”

Benang pengaman

Bayang-bayang logo

"BI" ( Latent Image)

Rectoverso

Benang pengaman Tulisan mikro

"BANK INDONESIA"

Rectoverso

Nomor Seri

Tulisan mikro

"BANK INDONESIA"

Angka Nominal

Garuda Pancasila

Nomor Seri

Gambar utama terasa

kasar bila diraba

Tulisan Nominal

terasa kasar bila

diraba

Angka Nominal

terasa kasar bila

diraba

Angka Nominal

terasa kasar bila

diraba

Tanda air

Cut Nyak Meutia

Tanda air

Cut Nyak Meutia

Angka Nominal

Tulisan mikro "BI"

Angka “5000” yang terlihat

apabila disinar dengan UVAnti copy dalam

bentuk tulisan “RI”

Tulisan mikro

"BANK INDONESIA 5000”

311

Lampiran

Lampiran H

ad atas dasar

ACBF ASEAN Central Bank Forum

ADB Asian Development Bank

AFMM ASEAN Finance Ministers Meeting

AFTA Asian Free Trade Area

Ags Agustus

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APEC Asia-Pacific Economic Cooperation

Apr April

ARMA Auto Regressive Moving Average

AS Amerika Serikat

ASA ASEAN Swap Arrangements

ASEAN Association of South-east Asian Nations

ATM automated teller machine

BBKU bank beku kegiatan usaha

BBM bahan bakar minyak

BCSB Basel Committee of Bank Supervisors

BDP bank dalam penyehatan

BEJ Bursa Efek Jakarta

BI Bank Indonesia

BI-RTGS Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement

BIS Bank For International Settlement

BKD Badan Kredit Desa

BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal

BLS Baseline Economic Survey

BM Base Money

BMPK batas maksimum pemberian kredit

BNI Bank Negara Indonesia

BNM Bank Negara Malaysia

BOE Bank of England

BOP Balance of Payment

BOTASUPAL Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu

bp basis point

Daftar Singkatan

312

Lampiran

BPD Bank Pembangunan Daerah

BPEN Badan Pengembangan Ekspor Nasional

BPKP Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan

BPPN Badan Penyehatan Perbankan Nasional

BPR Bank Perkreditan Rakyat

BPS Badan Pusat Statistik

BRER Bilateral Real Exchange Rate

BRI Bank Rakyat Indonesia

BSA Bilateral Swap Arrangement

BTN Bank Tabungan Negara

BTO bank take over

BUMN Badan Usaha Milik Negara

BUMS Badan Usaha Milik Swasta

BUSN Bank Umum Swasta Nasional

CAR capital adequacy ratio

CBS Claims on Busines Sector

CBS Currency Board System

CBU Completely Built Up

CCI Consumer Confidence Index

CGI Consultative Group on I–ndonesia

C & F Cost and Freight

CMI Chiang Mai Initiative

CPO crude palm oil

crd crude

CSA Centralized Settlement Account

D diragukan

DAK dana alokasi khusus

Dati Daerah Tingkat

DAU dana alokasi umum

DBH dana bagi hasil

Des Desember

DHE devisa hasil ekspor

Dir Direktur

DIY Daerah Istimewa Yogyakarta

DJIA Dow Jones Industrial Average

DKI Daerah Khusus Ibukota

313

Lampiran

DKM-BI Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter - Bank Indonesia

DN dalam negeri

doc dokumen

DPK dana pihak ketiga

DPM Direktorat Pengelolaan Moneter

DPNP Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DRI Danareksa Research Institute

DSM Direktorat Statistik Moneter

DTI Direktorat Teknologi Informasi

DSR debt service ratio

DVP Delivery Versus Payment

ECB European Central Bank

EFT electronic fund transfer

EFF Extended Fund Facility

EMEAP Executive Meeting of East Asia and Pacific Central Bankers

EO Exchange Offer

EUR Euro

FAASM Fixed Asset Accounting Simulation Model

FATF Financial Action Task Force

FDI Foreign Direct Investment

Feb Februari

FKE Fasilitas Kredit Ekspor

FLI Fasilitas Likuiditas Intrahari

f o b free on board

FR Fixed Rate

FSF Financial Stability Forum

GARCH General Auto-regresive Conditional Heteroscidasticity

GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara

GBI Gubernur Bank Indonesia

GBP Great Britain Poundsterling

GCS gross capital stock

GDP gross domestic product

GFA gross foreign assets

GFCF gross fixed capital formation

GTZ Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH

314

Lampiran

GWM Giro Wajib Minimum

G–20 Group 20, terdiri atas 20 negara

HAM hak asasi manusia

HDI Human Development Index

HIPC Highly Indebted Poor Countries

HJE harga jual eceran

IBI Institut Bankir Indonesia

IBJ Industrial Bank of Japan

IBRD International Bank for Reconstruction and Development

ICOR Incremental Capital Output Ratio

IAP Individual Action Plan

IDR Indonesia Rupiah

IFSO Islamic Financial Services Organization

IHK indeks harga konsumen

IHPB indeks harga perdagangan besar

IHSG indeks harga saham gabungan

IIFM Internasional Islamic Financial Market

IMF International Monetary Fund

IMFC International Monetary Financial Committee

IPP Independen Power Producer

IRFCL International Reserve and Foreign Currency Liquidity

ITS Institut Teknologi Surabaya

Jan Januari

JBIC Japan Bank for International Cooperation

JIBOR Jakarta interbank offered rate

JITF Jakarta Initiative Task Force

JPY Japan Yen

JORR Jakarta Outer Ring Road

Jul Juli

Jun Juni

KA Kereta Api

KAP kualitas aktiva produktif

KBI Kantor Bank Indonesia

KCS Kantor Cabang Syariah

Kep keputusan

KHM kebutuhan hidup minimum

315

Lampiran

KLBI Kredit Likuiditas Bank Indonesia

KMK Keputusan Menteri Keuangan

KP Kurang Potensial

KP Kantor Pusat

KPMM kewajiban penyediaan modal minimum

KPR Kredit Pemilikan Rumah

KRW Korean Won

KUK Kredit Usaha Kecil

L lancar

L/C Letter of Credit

LDKP Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan

LDR laon to deposit ratio

LIE Leading Indikator Ekonomi

LIBOR London Interbank Offered Rate

LKBB lembaga keuangan bukan bank

LLD lalu lintas devisa

LLM lalu lintas modal

LN luar negeri

LNG liquefied natural gas

LoI Letter of Intent

LPG liquefied petroleum gas

LPJK Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan

LPSM Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat

LPS Lembaga Penjamin Simpanan

Mar Maret

MDH the mixture distribution hypothesis

MFG Manila Framework Group

Migas minyak dan gas

MMBTU mille mille British thermal unit

MNC multinational corporation

MoU Memorandum of Understanding

MPP Menteri Perindustrian dan Perdagangan

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

m t m month to month

NBER the National Bureu for Economic Research

NCG net claims on government

316

Lampiran

NCS net capital stock

NDA net domestic assets

NFA net foreign assets

NIM net interest margin

NIR net international reserve

NOI net other items

Nov November

NPI Neraca Pembayaran Indonesia

NPLs non performing loans

NTB Nusa Tenggara Barat

NTT Nusa Tenggara Timur

OAA Osaka Action Agenda

ODA Official Development Assistance

Okt Oktober

O/N overnight

OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries

OPT operasi pasar terbuka

P Potensial

PAM Perusahaan Air Minum

PAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia

PBB pajak bumi dan bangunan

PBB Persatuan Bangsa-Bangsa

PBI Peraturan Bank Indonesia

PDB produk domestik bruto

PDN Posisi Devisa Neto

Pefindo Pemeringkat Efek Indonesia

PERC Political Economic Risk

PERUM Perusahaan Umum

PHK pemutusan hubungan kerja

PHP Philippines Peso

PIM Perpetual Inventory Method

PIPU Pusat Informasi Pasar Uang

PKPD Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

PLN Perusahaan Listrik Negara

PLN Pinjaman Luar Negeri

PMA penanaman modal asing

317

Lampiran

PMTDB Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

PMDN penanaman modal dalam negeri

PNB Pendapatan Nasional Bruto

PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak

PNM Permodalan Nasional Madani

PNS pegawai negeri sipil

Polri Polisi Republik Indonesia

PPAP penyisihan penghapusan aktiva produktif

PPh pajak penghasilan

PPN pajak pertambahan nilai

PPn-BM pajak penjualan barang mewah

PrsFI Promotion of Small Financial Institution

PRGF Poverty Reduction and Growth Facility

PRSP Poverty Reduction Strategy Paper

PRBC Poverty Reduction Support Credit

PSAKS Pernyataan Standar Akuntansi Perbankan Syariah

PTTB pemberian tanda tidak berharga

PUAB pasar uang antar bank

PUKM Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro

RBDPO Refired Blenched Deodorized Palm Oil

RCC RTGS Central Computer

REER real effective exchange rate

RKAT Rencana Kerja Anggaran Tahunan

Rp Rupiah

RRC Republik Rakyat China

RTGS Real Time Gross Settlement

RUU Rancangan Undang-Undang

SBA Stand By Arrangement

SBI Sertifikat Bank Indonesia

SD selected default

SDA sumber daya alam

SDM sumber daya manusia

SDR Special Drawing Rights

SE Surat Edaran

SEACEN South East Asia Central Bank

SEANZA South East Asia, New Zealand, and Australia Central Bank

318

Lampiran

SEG SEACEN Expert Group

Sep September

SIABE Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor

SIB Sistem Informasi Baseline Economic Survey

SIBOR Singapore Interbank Offered Rate

SID Sistem Informasi Debitur

SIKJI Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh

SIKPA sisa kurang pembiayaan anggaran

SI-LMUK Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil

SIPMK Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit

SIPU Sistem Informasi Pengedaran Uang

SI-PUK Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil

SKDU Survei Kegiatan Dunia Usaha

SKEJ Sistem Kliring Elektronik Jakarta

SNA Standardized National Account

SP sangat potensial

SPE survey penjualan eceran

S&P Standard and Poor’s

SPKUI Sistem Peninjau Keputusan untuk Investasi

SPPK Studi Struktur & Perkembangan Pasar Keuangan

SRK Satgas Restrukturisasi Kredit

SSB Surat-Surat Berharga

STB Survei Tendensi Bisnis

STK Survei Tendensi Konsumen

SUP Surat Utang Pemerintah

SWBI Sertifikat Wadiah bank Indonesia

TAMC Thai Asset Management Company

TDL tarif dasar listrik

THB Thailand Baht

TKI Tenaga Kerja Indonesia

TNI Tentara Nasional Indonesia

TPK Terminal Peserta Kliring

TPT Tekstil dan Produk Tekstil

Trw triwulan

UGM Universitas Gajah Mada

UK United Kingdom

319

Lampiran

UKIP Unit Khusus Investigasi Perbankan

UKM usaha kecil dan menengah

UMP upah minimum propinsi

UMR upah minimum regional

UN United Nation

UNDP United National Development Program

US United States

USAID United States Agencies for International Development

USD United States Dollar

UU Undang-Undang

UYD uang yang diedarkan

Valas valuta asing

VR variable rate

WEO World Economic Outlook

WTC World Trade Centre

WTO World Trade Organization

Y o Y year on year