LAPORAN PENELITIANeprints.ulm.ac.id/6664/7/Hasil Penelitian Sengketa... · 2019. 10. 22. ·...

49

Transcript of LAPORAN PENELITIANeprints.ulm.ac.id/6664/7/Hasil Penelitian Sengketa... · 2019. 10. 22. ·...

  • LAPORAN PENELITIAN

    Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Arbitrase

    Online Dalam Konstruksi Undang-Undang Nomor

    30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa

    oleh

    H. M. Erham Amin dan Mulyani Zulaeha

  • BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Revolusi terjadi diberbagai bidang kehidupan manusia, seperti industri,

    budaya, pendidikan, teknologi, sistem informasi dan lain-lain. Revolusi membawa

    perubahan yang cepat dan cenderung mengubah nilai-nilai dan paradigma lama yang

    baku. Dalam masa revolusi, kecepatan menjadi faktor yang paling utama, sehingga

    muncul pernyataan “siapa yang cepat ia dapat, siapa yang unggul dalam kecepatan

    maka ia yang akan memenangkan segalanya”.1 Menurut Wigrantoro Roes Setiadi,

    2

    hal ini juga semakin menguatkan hipotesis the winner takes all.

    Revolusi pada bidang teknologi informasi, berawal sejak ditemukannya

    komputer. Penggabungan komputer dengan telekomunikasi (internet) melahirkan

    suatu fenomena yang mengubah konfigurasi model komuniksi konvensional dan

    telah membawa kita memasuki era baru yang disebut sebagai era digital (digital age)

    yang dalam perkembangannya menciptakan suatu dunia tersendiri yaitu dunia maya

    (cyberspace).

    Perkembangan teknologi elektronika dari waktu ke waktu semakin berjalan

    dengan pesat. Kecanggihannya telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan

    masyarakat baik dalam bidang politik, sosial, budaya, maupun ekonomi dan bisnis.

    Salah satu media yang paling menonjol dalam transformasi elektronik tersebut yaitu

    internet. Internet merupakan sarana komunikasi global yang dapat mempersatukan

    1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom.2005. Cyber Law : Aspek Hukum Teknologi

    Informasi. Bandung : Refika Aditama. Hal. 21

    2 Ibid

  • individu-individu yang terpisah secara geografis di berbagai belahan dunia sehingga

    menyebabkan hubungan masyarakat dunia menjadi tanpa batas (borderless).

    Pesatnya perkembangan teknologi ini telah membawa manusia pada

    fenomena baru yang mengubah perilaku dalam berinteraksi dengan manusia lainnya,

    yang terus menjalar kebagian-bagian lain dari sisi kehidupan manusia, sehingga

    memunculkan adanya norma-norma baru, nilai-nilai baru dan sebagainya. Menurut

    Syamsul Muarif 3 teknologi telah mengubah pola kehidupan manusia diberbagai

    bidang sehingga secara langsung telah mempengaruhi munculnya perbuatan hukum

    baru dimasyarakat.

    Soerjono Soekanto4 menyatakan bahwa munculnya perubahan-perubahan

    didalam masyarakat berjalan bersamaan dengan perkembangan masyarakat,

    perubahan itu dapat mengenai nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola perikelakuan,

    organisasi dan susunan lembaga kemasyarakatan. Salah satu perubahan yang paling

    banyak dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi adalah di bidang

    perdagangan. Kekuatan dan kecepatan internet dalam mengubah cara orang

    melakukan bisnis membuat internet sebagai suatu revolusi. Lanny Elliot dari

    Guardian New Service menyatakan bahwa internet adalah sebagai suatu revolusi

    industrial ketiga. Revolusi industrial ketiga ini telah menjungkirbalikkan kehidupan

    manusia dengan teknologi yang berdasarkan pengetahuan (knowledge-based

    technologies).5

    3 Syamsul Muarif. “Menunggu Lahirnya Cyber Law”, dalam http//www.cybernews.cbn.net.id.

    akses tanggal 15 Pebruari 2008.

    4 Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press. Hal 317

    5 Budi Agus Riswandi. 2005. Aspek Hukum Internet Banking. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

    Hal. 40

  • Perwujudan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern

    yang diaplikasikan dalam dunia perdagangan melalui E-Commerce tersebut

    merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi bagi masyarakat

    pelaku bisnis karena pelayanan yang serba cepat, mudah dan praktis yang ditawarkan

    oleh teknologi tersebut akan senantiasa menjadi tuntutan dalam rangka

    mengembangkan aktifitas bisnis mereka dari masa ke masa. Tuntutan akan pelayanan

    yang serba cepat, murah ,dan praktis itu memberikan gambaran bahwa internet

    merupakan sarana yang paling tepat yang dipilih oleh para pelaku bisnis dalam

    bertransaksi secara on-line sehingga keberadaan sistem ini diharapkan dapat lebih

    meningkatkan kepuasan bagi kedua belah pihak baik produsen maupun konsumen

    dalam menjalankan aktifitas bisnis mereka.

    Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital dengan

    menggunakan media internet maka memunculkan ide agar penyelesaian sengketa

    khususnya sengketa perdagangan dapat diselesaikan melalui media internet.

    Penyelesaian sengketa yang kita kenal saat ini terdiri dari penyelesaian sengketa

    secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi. Masing-masing mempunyai

    keunggulan dan kekurangannya. Namun, dalam dunia bisnis saat ini penyelesaian

    sengketa secara nonlitigasi, yakni melalui lembaga alternative penyelesaian sengketa,

    lebih menjadi pilihan dari para pelaku bisnis. Hal ini terjadi karena terdapat

    keunggulan-keunggulan yang tidak dijumpai dalam penyelesaian sengketa secara

    litigasi. Terdapat beberapa kritik dari berbagai negara yang sering dilontarkan

    terhadap lembaga peradilan yaitu: penyelesaian sengketa “lambat”; biaya perkara

    “mahal”; peradilan tidak tanggap (unresponsive); putusan pengadilan tidak

    menyelesaikan masalah; kemampuan para hakim bersifat generalis.

  • Kelemahan-kelemahan dari sistem litigasi tersebut mengantarkan para pelaku

    bisnis kepada alternative penyelesaian sengketa (non litigasi) yang diharapkan lebih

    memiliki keunggulan sehingga sengketa yang terjadi dapat segera diselesaikan secara

    win-win solution. Arbitrase merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa

    non litigasi yang banyak dipilih oleh para pelaku bisnis dalam menyelesaikan

    sengketa perdagangan diantara mereka, dengan menggunakan media elektronik, yang

    lebih mengutamakan efisiensi, efektifitas, dan biaya murah, maka menurut Faizin

    Sulistiyo alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih adalah yang memiliki

    kesamaan sistem, dalam hal ini sistem yang tepat adalah arbitrase on-line. Ini berarti

    bahwa perkembangan teknologi telah mengantarkan masyarakat pada tahapan yang

    lebih maju sebagaimana pula dikatakan Paustinus Siburian bahwa perkembangan

    yang memungkinkan terjadinya perdagangan secara elektronik, telah mengilhami

    pula dilakukannya penyelesaian sengketa secara elektronik. Di tengah kegalauan atas

    sistem hukum yang tidak mudah mengikuti perkembangan dan cepatnya kemajuan,

    teknologi telah menggoreskan gagasan tentang penyelesaian sengketa online, dalam

    hal ini kita membicarakan mengenai arbitrase online (e-arbitration).

    Menyelesaikan sengketa melalui arbitrase harus didahului oleh perjanjian

    tertulis antara para pihak yang berisi kesepakatan kedua belah pihak untuk

    menyelesaikan sengketa perdata mereka melalui jalur arbitrase. Perjanjian yang

    dimaksud dapat dibuat sendiri oleh para pihak dengan ditandatangani maupun dapat

    juga dilakukan melalui akta notaris. Jika dalam perkembangan saat ini dimunculkaan

    ide menyelesaikan sengketa perdata memalui arbitrase online, maka yang menjadi

    permasalahan adalah apakah perjanjian para pihak untuk menyepakati jalur tersebut

    juga harus dilakukan secara online, dan bagaimana pula model penyelesaiannya.

  • Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk

    melakukan penelitian terhadap konsep perjanjian arbitrase online dan model

    penyelesaiannya dalan konstruksi sistem hukum di Indonesia dalam sebuah

    penelitian yang berjudul Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Arbitrase

    Online Dalam Konstruksi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

    Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

    B. Rumusan Masalah

    Permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :

    1. Bagaimanakah konsep perjanjian arbitrase online dalam Undang-Undang

    Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelasaian

    Sengketa ?

    2. Bagaimana penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase online dalam

    konstruksi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa ?

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Tujuan Penelitian adalah :

    1. Untuk mengetahui konsep perjanjian arbitrase online dalam Undang-

    Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelasaian Sengketa

  • 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase online

    dalam konstruksi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang arbitrase

    dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

    Kegunaan penelitian ini adalah :

    1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengkaji dan peneliti hukum sebagai

    upaya penggalian dan pengembangan konsep, pemikiran dan teori yang

    berkenaan dengan penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase online

    2. Sebagai bahan masukan bagi praktisi yang terkait dalam menyelesaikan

    sengketa perdata melalui arbitrase khususnya arbitrase online

  • BAB II

    METODE PENELITIAN

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    Penelitian Hukum Normatif, yaitu dengan mengkaji peraturan

    perundangan dan bahan-bahan hukum yaitu bahan hukum primer,

    bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

    2. Tipe Penelitian

    Tipe penelitian ini adalah inventarisasi terhadap bahan hukum,

    selanjutnya ditemukan adanya kekaburan hukum karena pengaturannya

    masih bersifat umum terutama terkait arbitrase online.

    3. Sifat Penelitian

    Sifat penelitian yang penulis pergunakan adalah bersifat

    deskriptif analitis yang dilakukan terhadap semua bahan hukum yang

    berkaitan dengan penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase

    online.

    4. Jenis Bahan Hukum

    a. Bahan hukum primer adalah:

    1. Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buingetewesten (RBg)

    2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

  • 3. UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

    Penyelesaian Sengketa

    4. UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

    b. Bahan hukum sekunder adalah :

    Buku – buku, hasil karya ilmiah berupa jurnal hukum, makalah,

    orasi ilmiah dan artikel terkait yang dimuat media cetak maupun

    yang ada di internet.

    c. Bahan hukum tertier adalah Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa

    Inggris.

    5. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

    Bahan hukum yang akan digunakan dalam penelitian ini dihimpun

    melalui studi kepustakaan. Teknik kepustakaan yang akan dipergunakan

    berupa studi dokumenter dilaksanakan dengan cara menginventarisasi

    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah disebutkan, dan

    dikualifikasi sehingga diperoleh bahan hukum yang sesuai dengan

    materi yang diteliti. Sedangkan studi pustaka dilaksanakan dengan

    mempelajari berbagai bahan pustaka yang berkaitan dengan topik yang

    dibahas. Studi pustaka yang dimaksudkan dilaksanakan dengan

    menggunakan sistem kartu (card sistem), dimana kartu-kartu tersebut

    disusun berdasarkan nama pengarang selanjutnya dalam pembahasan

    disusun berdasarkan pokok permasalahan dalam penelitian.

  • 6. Teknik Pengolahan dan Analisis

    Peraturan Perundang-undangan dan bahan pustaka diolah dan

    dianalisis dengan langkah berfikir sistematis dan pembahasan dilakukan

    secara deskriptif analisis. Untuk studi dokumen dilakukan dengan cara

    mengumpulkan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait

    dengan topik yang dibahas, selanjutnya diklasifikasikan secara hierarkis

    sesuai dengan tata urutan perundang-undangan yang berlaku dan akan

    diinventarisir asas-asas hukum. Hal yang sama juga dilakukan terhadap

    bahan pustaka, yaitu melakukan klasifkasi dan sistematisasi konsep atau

    pendapat-pendapat yang sesuai dengan pokok masalah dalam penelitian

    ini.

    Selanjutnya dilakukan pengolahan bahan hukum, bahan hukum

    tersebut diolah dengan menggunakan metode analisa isi ( content

    analysis ), yaitu menelaah isi peraturan perundang-undangan dan

    menelaah bahan hukum berupa buku, jurnal, makalah, dan artikel yang

    berkaitan dengan topik yang dibahas.

  • BAB III

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Pengertian Sengketa Perdata

    Interaksi antar manusia yang berlangsung secara terus – menerus dilakukan

    dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Sehingga manusia sebagai makhluk sosial

    selalu hidup dalam masyarakat. Namun, mengingat kepentingan manusia sangat

    banyak dan beragam, di dalam melakukan interaksi satu sama lain manusia selalu

    dihadapkan pada potensi – potensi untuk terjadi sengketa. Hal ini dapat terjadi karena

    kepentingan manusia tidak jarang saling bertentangan satu dengan yang

    lainnya.Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang

    merasadirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan

    apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan

    ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan

    memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak

    kedua menunjukkanperbedaan pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda,

    akan terjadilah apa yang dinamakan sengketa.

    Secara umum sengketa terbagi dalam dua macam, yaitu sengketa menyangkut

    kontrak dan yang bukan menyangkut kontrak. Sengketa menyangkut kontrak dapat

    dibagi lagi menjadi sengketa pengusaha dengan pengusaha dan sengketa pengusaha

    dengan konsumen. Namun sebagai konsekuensinya, dari pengusaha ke konsumen

    telah memunculkan pula sengketa antara konsumen dengan konsumen.

  • Sengketa dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai

    bagaimana cara melaksanakan klausul–klausul perjanjian maupun tentang apa isi dari

    ketentuan – ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan hal – hal lainnya.

    Secara umum, orang tidak akan mengutarakan pendapat yang mengakibatkan konflik

    terbuka. Hal ini disebabkan oleh kemungkinan timbulnya konsekuensi yang tidak

    menyenangkan, dimana seseorang (pribadi atau sebagai wakil kelompoknya) harus

    menghadapi situasi rumit yang mengundang ketidaktentuan sehingga dapat

    mempengaruhi kedudukannya. Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dapat

    ditempuh melalui cara–caraformal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara

    formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui

    pengadilan dan arbitrase sertaproses penyelesaian–penyelesaian konflik secara

    informal yang berbasis pada kesepakatan pihak– pihak yang bersengketa melalui

    konsultasi, negosiasi, mediasi dan konsiliasi.

    B. Konsep Perjanjian

    1. Hakikat Mengikatnya Perjanjian Menurut Filsafat Hukum Dan Teori Hukum

    Mengenai konsep daya mengikatnya perjanjian menurut Hukum Romawi

    perkembangannya dimulai dari yang paling sederhana sampai pada yang paling

    modern. Pada awalnya perkembangan yang terjadi perjanjian sesuai tahap corak

    perkembangan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh David Allen6 bahwa

    sejak 450 tahun Sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi 4 (empat) tahap

    perkembangan pemikiran yang melatarbelakangi konsep kekuatan mengikatnya suatu

    perjanjian.

    6Taryana Soenandar. 2006. Prinsip-Prinsip Unidroit Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

    Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 102

  • Kekuatan mengikatnya perjanjian pada tahap pertama disebut dengan

    Contracts Re, yang menitikberatkan kekuatan mengikat perjanjian pada barang

    (chattel atau res) yang akan diserahkan, bukan pada janji (promise). Perjanjian jenis

    ini ada 4 (empat) macam, yaitu :

    a. Mutuum, meminjamkan barang untuk dimakan;

    b. Commodatum, meminjamkan barang untuk dipakai;

    c. Depositum, menyerahkan barang untuk dijaga;

    d. Pignus, menyerahkan barang sebagai jaminan pelaksanaan kewajiban.

    Pada tahap kedua, kekuatan mengikatnya suatu perjanjian didasarkan pada

    Contracts Verbis, yaitu unsur mengikatnya perjanjian digantungkan pada kata-kata

    (verbis) yang diucapkannya, yang terdiri atas 4 (empat) macam, yaitu :

    a. Stipulatio, yaitu interaksi kata-kata dari dua orang atau lebih yang berupa

    pertanyaan dan jawaban, spondesne (Do you promise?), dan pihak yang

    berjanji menjawab spondeo (I promise);

    b. Dictio Dotis, yaitu pernyataan sungguh-sungguh (solemn declaration)

    yang melahirkan semacam mahar (dowry);

    c. Ius Iurandum Liberti, yaitu semacam kesaksian tersumpah oleh orang

    ketiga (freedman) untuk kepentingan dirinya;

    d. Votum, yaitu janji dibawah sumpah (vow) kepada Tuhan.

    Pada tahap ketiga dikenal dengan perjanjian Contracts Litteris yang

    menekankan unsur mengikatnya perjanjian pada bentuk tertulis. Perjanjian jenis ini

    ada 2 (dua) macam, yaitu :

    a. Expensilatio, suatu bentuk pemberitahuan yang dicatat dalam buku

    kreditor, yang atas dasar catatan itu debitor terikat untuk membayar;

    b. Synographae atau Chirographae, yaitu kewajiban yang ditulis secara

    khusus.

    Pada tahap keempat, dikenal dengan istilah Contracts Consensus. Unsur

    mengikat perjanjian jenis ini adalah persetujuan (agreement) para pihak. Ada 4

    (empat) bentuk perjanjian jenis ini, yaitu :

  • a. Emptio Venditio, yaitu perjanjian jual beli;

    b. Locatio Conductio, yaitu perjanjian yang membolehkan penggunaan atau

    penyewaan barang atau jasa;

    c. Societes, yaitu perjanjian kerja sama (partnership);

    d. Mandatum, yaitu suatu mandat pelayanan yang dilakukan untuk orang

    lain misalnya keagenan.

    Hakikat mengikatnya suatu perjanjian dapat dilihat berdasarkan sudut

    pandang Filsafat Hukum dan Teori Hukum.

    1. Filsafat Hukum

    Menurut Roscoe Pond7 filsafat hukum dapat memberikan jawaban mengapa

    suatu perjanjian mengikat, yaitu bahwa filsafat tidak saja memberi penjelasan

    mengapa aturan-aturan hukum (perjanjian) itu mengikat dan dasar-dasar yang

    menjadi pengikat perjanjian tetapi filsafat hukum juga dapat menghidupkan kembali

    aturan-aturan yang telah lama ada. Sebagaimana diungkapkan “Philosophical

    theories have arisen to explain the existingrules and have been the basis of new rules

    and of remaking the old ones”.

    Filsafat hukum dapat pula menjelaskan mengapa subjek-subjek hukum terikat

    pada hukum. Menurut Hans Kelsen8 filsafat hukum dapat menerangkan mengapa

    individu terikat pada hak dan kewajiban yang tertuang dalam perjanjian yang mereka

    buat.

    Beberapa aliran atau mahzhab dalam filsafat hukum yang berupaya

    memberikan konsep mengikatnya suatu perjanjian adalah9 :

    7 Theo Huijbers. (A). 2006. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta : Kanisius.

    Hal 73

    8 Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum : Perspektif Historis. Bandung : Nusamedia.

    Hal. 116

    9 Huala Adolf. (B). 2007. Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung : Refika

    Aditama Hal 15

  • a. Mahzhab Hukum Alam (Hugo Grotius)

    Mahzhab hukum alam adalah mahzhab tertua yang berupaya menjelaskan

    hakikat mengikatnya hubungan-hubungan perdata (privat) berupa perjanjian ini

    adalah teori hukum alam. Sarjana terkemuka penganut mahzhab ini adalah Hugo

    Grotius. Menurut Grotius kekuatan mengikat suatu perjanjian berasal dari hukum

    alam. Menurut hukum alam perjanjian tidak lain adalah kesepakatan timbal balik

    para pihak (mutual compact) yang memiliki daya mengikat dari hukum alam.

    Menurut Grotius, individu pada hakikatnya adalah makhluk yang lemah. Ia

    membutuhkan banyak hal untuk membuat hidupnya nyaman. Karena itulah

    mengikatkan diri pada suatu masyarakat dimana ia tinggal adalah untuk memenuhi

    kebutuhannya tersebut dan hukum hadir disitu.

    Filsuf ternama lain penganut mahzhab hukum alam ini adalah Pufendorf.

    Beliau berpendapat bahwa perjanjian melahirkan hak dan kewajiban pada kedua

    belah pihak. Berdasarkan hal ini maka keadilan menuntut bahwa kedua pihak itu

    melaksanakan perjanjian.

    Sedangkan filsuf John Locke sebagai pelopor aliran hukum alam menjelaskan

    bahwa prinsip janji harus dihormati (keeping of faith) tidak lain adalah prinsip yang

    berasal dari hukum alam. Janji orang perorangan tersebut menurut Locke tidaklah

    cukup digantungkan kepada para pihak, tetapi peran negara juga sangat perlu. Hal

    ini karena negara harus berfungsi sebagai pengawal hukum, untuk itu orang

  • perorangan perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka kepada negara,

    yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi.10

    b. Mahzhab Wiena (Hans Kelsen)

    Menurut Hans Kelsen hakikat mengikatnya suatu perjanjian adalah

    sebagaimana termuat dalam mahzhab beliau yang disebut sebagai Doktrin Transaksi

    atau Tindakan Hukum (Legal Transaction atau Juristic Act). Doktrin ini terbagi

    dalam dua bentuk yaitu pertama, Transaksi Hukum sebagai tindakan yang

    menciptakan hukum dan menerapkan hukum. Sedangkan bentuk kedua dari doktrin

    ini adalah Perjanjian.

    Transaksi Hukum menurut Hans Kelsen adalah suatu tindakan dimana

    individu diberi wewenang oleh (tertib) hukum untuk mengatur tindakan-tindakan

    tertentu secara sah. Transaksi inilah yang disebut dengan tindakan yang menciptakan

    hukum (law creating act). Disebut demikian karena tindakan tersebut melahirkan hak

    dan kewajiban pada para pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Pada saat yang

    sama tindakan transaksi hukum tidak saja menciptakan hukum tetapi juga sekaligus

    tindakan penerapan hukum (law applying act).

    Untuk memungkinkan semua tindakan hukum tersebut sah, para pihak

    menggunakan norma-norma hukum. Dengan memberi para pihak kemungkinan

    untuk mengatur hubungan-hubungan mereka secara timbal balik melalui apa yang

    disebut sebagai transaksi hukum, maka norma hukum memberikan para individu

    10 John Locke dikenal pula sebagai pelopor negara hukum. Ajarannya adalah bahwa “pihak

    yang berkuasa dalam negara harus memperhatikan kepentingan umum dibawah hukum umum. Oleh

    karena tu kekuasaan negara dibatasi oleh tujuan negaranya itu melindungi hak-hak asli manusia”.

  • suatu otonomi hukum tertentu. Dalam fungsinya sebagai pembentukan hukum inilah

    maka transaksi hukum tercermin didalamnya.

    Dengan adanya suatu tindakan hukum, maka terbentuklah suatu norma-norma

    hukum (umum) yang mengatur hubungan timbal balik para pihak. Norma-norma

    hukum ini disebut Hans Kelsen sebagai Norma Kedua (Secondery Norm). Alasannya

    karena tindakan hukum tersebut melahirkan hak dan kewajiban hukum yang apabila

    dilanggar maka akan menimbulkan suatu sanksi. Oleh karena itu Norma Kedua

    mengatur tingkah laku atau perbuatan para pihak.

    Bentuk kedua dari suatu transaksi adalah perjanjian yang pada hakikatnya

    adalah transaksi hukum yang bersifat hukum perdata (legal transaction of civil law).

    Perjanjian semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau lebih

    individu. Pernyataan merupakan syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan

    maka perjanjian yang dibuat tidak dapat ada atau dikuatkan oleh suatu prosedur

    hukum (pengadilan).

    Pernyataan atau deklarasi semata tidaklah cukup untuk melahirkan suatu

    perjanjian. Menurut Kelsen, pernyataan baru akan mengikat apabila pernyataan

    tersebut ditujukan kepada pihak lainnya dan pihak ini menyatakan penerimaannya.

    Kelsen menyebut adanya tindakan dua pihak ini sebagai transaksi hukum dua pihak

    (two-sided legal transaction).

    c. Mahzhab Positivisme Yuridis (Rudolf von Jhering)

    Menurut mahzhab positivisme yuridis, bahwa satu-satunya hukum yang

    diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat

    dipastikan kenyataannya.

  • Berkaitan dengan perjanjian, Jhering melihat perjanjian tidak lain daripada

    janji (promise). Janji menurut Jhering memiliki kekuatan hukum. Kekuatan hukum

    ini tidak berasal dari hal-hal diluar janji para pihak, tetapi fungsi praktis dari janji itu

    sendiri. Tanpa adanya kekuatan mengikat dari janji maka perjanjian tidak ada

    artinya.

    2. Teori Hukum

    Teori hukum yang berupaya menjelaskan hakikat mengikatnya perjanjian,

    adalah :11

    a. Teori Kehendak (Will Theory)

    Menurut teori ini suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan

    keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak

    sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri.

    b. Teori Persetujuan (the Bargain Theory)

    Teori ini menyatakan bahwa dasar mengikatnya suatu perjanjian bukan

    kehendak para pihak tetapi persetujuan para pihak. Persetujuan yang telah dibuat

    para pihak mengikat sepanjang apa yang telah disepakati para pihak.

    c. Teori Kesetaraan ( the Equivalent Theory)

    Teori ini menyatakan bahwa para pihak dalam kesepakatan tersebut telah

    memberikan kesetaraan (kesamaan) bagi para pihak.

    d. Teori Kerugian (Injurious-Reliance Theory)

    11 Huala Adolf. (B). Loc Cit.

  • Menurut teori ini bahwa kesepakatan itu mengikat karena para pihak telah

    menyatakan dirinya untuk mengandalkan pada pihak yang menerima janji dengan

    akibat adanya kerugian. Dengan kata lain, pelanggaran kesepakatan akan

    menimbulkan kerugian.

    2. Syarat Sah Sebuah Perjanjian

    Syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang menyatakan

    bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :

    a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

    Sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak dalam

    perjanjian. Orang dikatakan telah memberikan persetujuan atau sepakatnya kalau

    orang memang menghendaki apa yang disepakati. Kehendak tersebut harus saling

    bertemu dan untuk bisa saling bertemu maka kehendak tersebut harus dinyatakan.

    Pernyataan kehendak selain ditujukan kepada pihak lain, juga ditujukan kepada

    akibat hukum yang diharapkan timbul dari tindakannya.

    Dalam perjanjian menurut hukum perdata pertemuan dua kehendak saja

    belum cukup untuk menimbulkan perjanjian yang dilindungi oleh hukum, seperti

    pada perjanjian dua orang untuk nonton ke bioskop belum merupakan perjanjian

    seperti yang dimaksud oleh hukum karena perjanjian seperti itu tidak mengandung

    unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak menimbulkan

    perikatan sebagaimana yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Dari bunyi

    Pasal 1313 KUHPerdata dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian

    adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan perikatan,

    menimbulkan suatu kewajiban untuk dipenuhi dan perikatan disini merupakan suatu

  • hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan, dimana disatu pihak ada hak dan

    dilain pihak ada kewajiban. Karenanya dapat dibedakan antara sepakat yang

    menimbulkan perjanjian dengan yang tidak.

    Mariam Darus Badrulzaman12

    melukiskan pengertian sepakat sebagai

    persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-

    pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan

    pihak yang menerima dinamakan akseptasi (acceptatie). Penawaran menurut

    Rutten13

    didefinisikan sebagai suatu usul untuk menutup perjanjian yang ditujukan

    kepada pihak lawan janjinya, yang telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga

    penerimaan usul itu langsung menimbulkan perjanjian.

    Menurut American Restatement Contract ( second), Offer adalah manifestasi

    kehendak untuk mengadakan transaksi yang dilakukan agar orang lain tahu bahwa

    persetujuan didalam transaksi itu diharapkan dan hal itu akan menutup transaksi

    tersebut. Sedangkan acceptance adalah ekspresi yang dilakukan dengan kata-kata

    atau tingkah laku dari persetujuan terhadap term dari penawaran dengan cara yang

    digambarkan atau diindikasikan oleh pihak yang menawarkan. Offer ini adalah

    pernyataan mengenai syarat-syarat yang dikehendaji offeror (pihak yang

    menawarkan) supaya mengikat. Jika tawaran itu diterima oleh offeree (pihak yang

    menerma tawaran) sebagaimana adanya maka lahirlah perjanjian. Dengan perkataan

    lain, offer merupakan tawaran yang diajukan seseorang kepada pihak lawannya

    dengan suatu pemberitahuan bahwa dia berkemauan untuk terikat terhadap

    tawarannya. Offeror dapat menyampaikan tawaranya tersebut kepada orang tertentu

    12 Mariam Darus Badrulzaman (B). 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung : Alumni. Hal.24

    13

    J.Satrio. (B) 1992. Hukum Perjanjian. Cet. I. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hal.133

  • (particular persons) atau kelompok tertentu (group of persons) atau keseluruh dunia

    (the whole words). 14

    b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

    Pada dasarnya semua orang adalah cakap untuk membuat perikatan-

    perikatan, kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Menurut

    Pasal 1330 KUHPerdata, orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

    perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah

    pengampuan, orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan

    perbuatan hukum tertentu. Orang-orang yang belum dewasa menurut Pasal 330

    KUHPerdata adalah mereka yang belum genap 21 tahun dan tidak telah menikah.

    Secara a contrario dapat disimpulkan bahwa orang yang dewasa adalah telah

    berumur 21 tahun, telah menikah (termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun

    tetapi telah menikah). Sedangkan yang dimaksud dengan mereka yang ditaruh

    dibawah pengampuan adalah mereka yang berdasarkan permohonan kepada

    pengadilan untuk ditetapkan sebagai orang yang tidak cakap, mereka adalah orang

    yang terganggu jiwanya, lemah akalnya dan pemboros. Sedangkan orang yang

    dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu misalnya

    orang yang dinyatakan pailit.

    c. Suatu hal tertentu

    Suatu hal tertentu dalam perjanjian mengacu pada objek perjanjian, suatu hal

    pokok untuk mana diadakannya suatu perjanjian. Barang atau objek harus ditentukan

    jenisnya. Sebagaimana Pasal 1333 KUHPerdata bahwa “Barang yang menjadi objek

    14 Budi Agus Riswandi. Op.Cit. Hal 147

  • suatu perjanjian itu harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

    sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan

    atau diperhitungkan”. Suatu perjanjian itu sah jika prestasinya telah ditentukan atau

    setidak-tidaknya dapat ditentukan.

    d. Suatu sebab yang halal

    Suatu sebab yang halal maksudnya adalah isi dari perjanjian itu sendiri.

    Sebab merupakan sebab yang halal yang mempunyai arti bahwa isi yang menjadi

    perjanjian tersebut tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan

    yang berlaku disamping tidak menyimpang dari norma-norma ketertiban dan

    kesusilaan. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian

    tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang

    tidak mempunyai kekuatan”.

    Keempat syarat ini merupakan syarat pokok bagi suatu perjanjian . Artinya

    setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini bila ingin menjadi perjanjian

    yang sah. Keempat syarat pokok ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok,

    yaitu :

    1. Kelompok syarat subjektif, yaitu kelompok syarat-syarat yang berhubungan

    dengan subyeknya yang terdiri dari kesepakatan dan kecakapan

    2. Kelompok syarat objektif, yaitu kelompok syarat-syarat yang berhubungan

    dengan objeknya yang terdiri dari hal yang tertentu dan sebab yang halal.

  • d. Konsep dan Pengaturan Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia

    Dalam rangka menyelesaikan sengketa perdata, pengadilan bukanlah satu-

    satunya tempat untuk memperoleh keadilan, karena dewasa ini telah dikembangkan

    suatu pola penyelesaian sengketa khususnya sengketa perdata secara kooperatif yaitu

    melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigation dispute

    resolution) atau sering disebut dengan istilah Alternative Dispute Resolution (ADR).

    Konsep Alternative Dispute Resolution (ADR) merupakan jawaban atas

    ketidakpuasan atas sistem pengadilan. Ketidakpuasan tersebut bersumber pada

    persoalan-persoalan waktu yang dibutuhkan sangat lama dan biaya mahal, serta

    diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan kasus-kasus yang

    bersifat rumit.15

    Di Indonesia mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif

    terbuka luas berdasarkan peluang yang diberikan oleh Pasal 130 HIR/154 RBg yakni

    “jika hari yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri

    dengan perantaraan keduanya akan mencoba mendamaikan mereka”.

    Dasar pengaturan ADR di Indonesia sebagai lembaga penyelesaian sengketa

    di luar pengadilan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Bentuk

    penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang ini

    adalah dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli dan

    arbitrase.

    Negosiasi yaitu penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara

    para pihak yang bersengketa guna mencapai atau menemukan bentuk-bentuk

    penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa. Dalam negosiasi

    15 Mas Achmad Santosa. 1999. Court Connected ADR di Indonesia Urgensi dan Prasyarat

    Pengembangannya. The Asia Foundation. Hal. 1

  • para pihak yang bersengketa berunding secara langsung dimana penyelesaian

    sepenuhnya dibawah kontrol para pihak atas dasar prinsip win-win agar keputusan

    dapat diterima masing-masing pihak.

    Mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan dan bantuan

    pihak ketiga netral (mediator) mencari bentuk penyelesaian yang dapat disepakti para

    pihak. Peran mediator adalah memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada

    para pihak yang bersengketa, akan tetapi mediator tidak mempunyai kewenangan

    untuk memutuskan, sifatnya hanya sebagai penengah saja.

    Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan

    melibatkan pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam

    menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang disepakati para pihak. Peran

    konsiliator dalam hal ini adalah tidak saja bertindak sebagai penengah tetapi juga

    dapat memberikan saran-saran atau pendapat kepada para pihak dalam menemukan

    bentuk-bentuk penyelesaian sengketa. Namun walaupun demikian konsiliator tidak

    mempunyai kewenangan untuk memutuskan, putusan tetap berada ditangan para

    pihak yang bersengketa.

    Arbitrase adalah penyelesaian sengketa dengan cara menyerahkan kepada

    pihak ketiga netral (arbiter) yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan.

    Dengan memilih penyelesaian melalui arbitrase, berarti para pihak secara eksplisit

    memberi kewenangan kepada arbiter untuk menyelesaikan sengketa, sehingga arbiter

    mempunyai kewenangan mengambil keputusan untuk menyelesaikan sengketa yang

    bersifat final dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang bersengketa.

  • BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    A. Konsep Perjanjian Arbitrase Yang Dibuat Secara Online Dalam

    Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa

    Semakin berkembangnya internet telah memungkinkan penyelesaian

    sengketa secara online. Terdapat beberapa hal yang menarik sebagai kerangka teori

    dalam pelaksanaan arbitrase secara online ini, yaitu menyangkut sifat dari perjanjian

    arbitrase dan keberlakuan hukum didunia maya ini.

    Penyelenggaraan arbitrase secara online adalah sebagai suatu bentuk

    alternative penyelesaian sengketa bisnis sekarang ini Penyelenggaraan proses

    berarbitrase secara online ini, menurut ketentuan hukum Indonesia dapat dibenarkan

    melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum yaitu dalam pasal 4 ayat 3 berbunyi :

    “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk

    pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, facsimile, e-mail atau dalam

    bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan

    oleh para pihak”.

    Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan arbitrase

    secara online dimungkinkan asalkan ada kesepakatan terlebih dahulu untuk

    menyelenggarakannya.

  • Sudargo Gautama berpendirian bahwa ketentuan dalam pasal 4 ayat 3

    tersebut merupakan penekanan bahwa perjanjian harus dilakukan secara tertulis dan

    penyelesaian sengketa terjadi dalam bentuk surat.16

    Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sebagai dasar hukum dari

    penyelenggaraan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang dimaksud dengan

    Arbitrase (Pasal 1 butir 1) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar

    peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

    oleh para pihak. Perjanjian arbitrase yang dimaksud adalah suatu kesepakatan berupa

    klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang tertulis yang dibuat

    para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang

    dibuat para pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 butir 3).

    Berdasarkan pada bunyi pasal diatas, maka dapat disimpulkan pertama,

    arbitrase harus dilakukan dengan bentuk perjanjian arbitrase yang tertulis, kedua,

    arbitrase harus dibuat dalam bentuk perjanjian, maka dengan demikian secara tidak

    langsung ketentuan dari hukum perjanjian juga berlaku dalam arbitrase ini.

    Perjanjianm menurut pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan

    dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau

    lebih. Untuk sahnya suatu perjanjian maka harus memenuhi persyaratan sebagaimana

    ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

    1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal

    16 Sudargo Gautama.1999.Undang-Undang Arbitrase Baru 1999. Bandung : Citra Aditya Bakti.

  • Syarat sepakat dan cakap merupakan syarat subjektif, jika kedua syarat ini tidak

    dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat suatu hal tertentu dan

    sebab yang halal merupakan syarat objektif, jika tidak dipenuhi maka berakibat

    perjanjian itu batal demi hukum.

    Konsep dasar universal pembuatan perjanjian adalah, asas konsesualisme,

    system terbuka dari hukum perjanjian, syarat sahnya suatu perjanjian dan itikad

    baik. Selanjutnya dalam pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata , menentukan bahwa

    perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi para pihak.

    Dalam hukum Indonesia, perjanjian pada dasarnya dibagi dalam dua bentuk,

    yaitu tertulis dan tidak tertulis. Pengertian tertulis menunjuk pada pengertian bahwa

    perjanjian yang dilakukan ada tulisan, dapat dibaca, dapat diraba/dipegang , dan

    dapat dilihat . 17

    Perjanjian arbitrase yang dilakukan secara online jika kita lihat tidaklah sama

    dengan perjanjian arbitrase yang dilakukan secara konvensional, karena dalam

    perjanjian secara online tidak ada kertas dan tanda tangan18

    , sehingga tidak

    memenuhi syarat tertulis, mengingat perjanjian online tidak tertulis diatas kertas

    dan tidak ada tanda tangan yang menyertai perjanjian tersebut. Namun perjanjian

    online juga tidak dapat dikatakan tidak tertulis , karena pada dasarnya perjanjian

    secara online dapat dibaca. Keraguan semacam ini mengenai perjanjian online

    menurut Djuhaendah dapat diatasi mengingat sifat dari hukum perjanjian Indonesia

    yang mempunyai sifat terbuka. Dengan sifat terbuka tersebut perjanjian secara online

    dapat ditambahkan sebagai salah satu bentuk perjanjian, sehingga bentuk perjanjian

    17 Djuhaendah Hasan. 2002-2003. Bahan Perkuliahan dalam Mata Kuliah Kapita Selekta

    Hukum Perikatan. pada Program Magister Hukum. Program Pascasarjana Universitas Padjajaran.

    18

    Paustinus Siburian. Op.Cit. hal 19

  • menjadi tiga yaitu perjanjian tertulis, perjanjian tidak tertulis dan perjanjian secara

    online.19

    Konvensi New York (Konvensi berkenaan dengan Arbitrase yang diratifikasi

    Indonesia melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981). mengatur mengenai persyaratan

    bahwa suatu perjanjian arbitrase harus tertulis, yang termuat dalam ketentuan Article

    IV Konvensi NewYork. Menurut Article IV, persyaratan mengenai bentuk

    perjanjian adalah :

    To obtain the recognition and enforcement mentioned in the preceding

    Article, the party appling for recognition on and enforcement shall, at the

    time of the application supply :

    (a). ……..

    (b). The Original agreement referred to in Article II or a duly certified copy

    thereof

    Untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan sebagaimana disebut dalam

    pasal sebelumya, pihak yang mengajukan permohonan pengakuan dan

    pelaksanaan harus, pada waktu pengajuan permohonan menyerahkan :

    (a). ………

    (b). Perjanjian yang asli sebagaimana disebut dalam Article II atau salinan

    yang sudah dilegalisir sebagaimana mestinya. (terjemahan bebas).

    Dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi New York tersebut terdapat tiga

    persyaratan perjanjian arbitrase yaitu tertulis, ditandatangani dan asli.

    19 Djuhaendah Hasan. Op.Cit.

  • Penafsiran mengenai article IV diatas bahwa keaslian hanya dapat dipenhi

    jika perjanjian dibubuhi tanda tangan, berarti perjanjian yang dibuat melalui

    pertukaran faks, e-mail dan perjanjian online tidak memenuhi persyaratan mengenai

    keaslian. Sehingga pertukaran e-mail atau melalui perjanjian online tidak sah adanya.

    Jika hendak diakui keasliannya maka diperlukan tindakan dengan membubuhkan

    tanda tangan pada print out dari faks, email dan perjanjian online.

    Menurut H.M. Arsyad Sanusi, e-commerce merupakan model bisnis modern

    yang non sign (tidak memakai tanda tangan asli).20

    Dalam dunia internet

    penggunaan tanda tangan dilakukan secara digital (digital signature). Penggunaan

    tanda tangan digital ini adalah pendekatan yang dilakukan oleh teknologi encryption

    terhadap kebutuhan akan adanya suatu tanda tangan atau adanya suatu penghubung

    antara suatu dokumen/data/messeges dengan orang yang membuat atau menyetujui

    dokumen tersebut.21

    Menyangkut tanda tangan UU Nomor 30 tahun 1999 juga menyebutkan

    secara tersirat perlunya ada tanda tangan secara konvensional pakai tinta diatas

    kertas, namun tidak diatur secara jelas apakah tanda tangan tersebut dapat digantikan

    dengan bentuk tanda tangan digital. Dalam Rancangan UU Informasi dan Transaksi

    Elektronik (ITE) pasal 11 menyebutkan bahwa “ Tanda tangan elektronik

    mempunyai kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi

    ketentuan dalam undang-undang ini “

    Berkaitan dengan sifat tertulis dar perjanjian arbitrase, Indonesia melalui

    Undang-Undang No.30 Tahun 1999 juga secara tegas menyatakan bahwa

    20 H.M. Arsyad Sanusi. Op.Cit . hal 109

    21

    Lembaga Kajian Hukum Teknologi FH UI. 2001. Naskah Akademik Kerangka Hukum

    Indonesia Untuk Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik. http://www.dprin.go.id. Hal 81

    http://www.dprin.go.id/

  • persyaratan perjanjian arbitrase harus tertulis sebagaimana ketentuan pasal 1 butir 1

    dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, walaupun dengan menggunakan

    istilah yang berbeda-beda seperti istilah perjanjian arbitrase yang dibuat secara

    tertulis (pasal 1 butir 1) sedangkan pasal 1 butir 3 menggunakan istilah perjanjian

    tertulis dan perjanjian arbitrase sendiri. Sedangkan dalam pasal 4 ayat 1 dan 2

    menggunakan istilah dokumen , dalam pasal 4 ini dapat dilihat bahwa diperlukan

    adanya tanda tangan, yaitu :

    (1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan

    diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang,

    maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan

    kewajiban para pihak jka hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka

    (2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) dimat dalam suatu dokumen yang ditandatangani

    oleh para pihak.

    Ketentuan dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 tersebut berlaku secara umum baik untuk

    klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri. Ketentuan tersebut menyebut

    istilah dokumen. Dokumen tidak hanya berupa sesuatu yang tertulis diatas kertas saja

    tetapi juga dalam bentuk file yan dibuat secara elektronik. Tanda tangan untuk

    informasi elektronik juga dapat tidak berupa tanda tangan dalam pengertian

    tradisional.22

    Pasal 9 ayat 1 dan 2 juga mempunyai istilah yang berbeda, yaitu istilah

    perjanjian tertulis , yaitu :

    (1) Dalam hal para pihak memilh penyelesaian sengketa melalui arbitrase

    setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat

    dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak

    22 Paustinus Siburian. Op.Cit. hal 114

  • (2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perjanjian tersebut dapat dibuat

    dalam bentuk akta notaries.

    Perjanjian tertulis yang dimaksud diatas ditujukan pada perjanjian arbitrase yang

    dibuat setelah sengketa, dan yang diinginkan adalah penyelesaian melalui arbitrase

    ad hoc.

    Pasal 9 ayat 3 dan 4 selanjutnya berbunyi :

    (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus memuat :

    a. masalah ang dipersengketakan

    b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak

    c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter

    d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan

    e. nama lengkap sekretaris

    f. jangka waktu penyelesaian sengketa

    g. pernyataan kesediaan dari arbiter

    h. pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk

    menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian

    sengketa melalui arbitrase

    (4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat sebagaimana dmaksud dalam ayat

    (3) batal demi hukum

    Perjanjian sebagaimana ketentuan pasal 9 ayat 3 dan 4 diatas adalah bersifat wajib.

    Dari kedua pasal diatas yaitu pasal 4 dan pasal 9, dapat di tarik kesimpulan

    bahwa untuk perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum sengketa (pasal 4) maka

    perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis tersebut tidak mengharuskan dibuat

    dalam bentuk diatas kertas saja, melainkan ia dapat juga berupa informasi elektronik.

    Sedangkan untuk perjanjian arbitrase yang dibuat setelah sengketa tidak demikian, ia

    harus dibuat dalam bentuk konvensional diatas kertas. Perjanjian arbitrase setelah

  • sengketa diadakan lagi perbedaan antara arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc.

    Untuk arbitrase institusional perjanjian arbitrase tidak perlu ditandatangani

    sedangkan untuk arbitrase ad hoc perjanjian tertulis yang dibuat harus

    ditandatangani.

    Kesimpulan diatas diperkuat dengan ketentuan pasal 62 yang berbunyi :

    (1) …….

    (2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 sebelum

    memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah

    putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan pasal 5 serta tidak

    bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

    (3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi syarat sebagaimana dimasud

    dalam ayat 2 maka Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan

    pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut

    tidak terbuka upaya hukum.

    Ketentuan pasal 62 ayat 2 diatas mensyaratkan dokumen yang harus diperiksa dalam

    hal dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase. Ketentuan pasal 62 ayat 2 dan 3

    merujuknya pada pasal 4. Tidak ada persyaratan apakah perjanjian tertulis tersebut

    harus asli atau tidak. Dengan demikian perjanjian tertulis tersebut dapat diartikan

    tidak harus diatas kertas dan tanda tangan tidak harus dibuat dengan tinta diatas

    kertas. Hal ini berarti merujuk untuk perjanjian tertulis dalam arbitrase nasional

    dapat berupa informasi elektronik.

    Mengenai sifat tertulis dari suatu perjanjian arbitrase, dijelaskan juga dalam

    pasal 36 yang menentukan bahwa :

    (1). Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis

  • (2). Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau

    dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase

    Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999

    adalah arbitrase yang dilakukan dengan menggunakan dokumen-dokumen tertulis

    saja, jika dikaitkan dengan pasal 4 ayat 3, maka arbitrase dapat dilakukan dengan

    menggunakan sarana elektronik dalam hal ada persetujuan/kesepakatan terlebih

    dahulu dari para pihak.

    Sedangkan ketentuan mengenai Arbitrase Internasional menurut UU Nomor

    30 Tahun 1999, persyaratan perjanjian yang diatur dalam pasal 1 butir 1 dan 3 serta

    pasal 4 ayat 1 dan 2 juga berlaku. Dokumen yang harus ada dalam permohonan

    pengakuan dan pelaksanaan putusan diatur dalam asal 67 ayat 2b, bahwa lembar asli

    atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional

    sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan

    resminya daam bahasa Indonesia. Dengan adanya kata lembar asli menunjukan

    bahwa dalam rangka menjalankan putusan arbitrase internasional, perjanjian

    arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis secara konvensional (tangible).

    Perjanjian arbitrase internasional harus tertulis, ditandatangani, dan asli. Perjanjian

    yang dibuat melalui e-mail dan perjanjian online tidak memenuhi syarat, karenanya

    tidak sah.

  • B. Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Arbitrase Online Dalam

    Konstruksi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

    Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

    Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis merupakan suatu hal yang harus

    dilakukan secara cepat dan tepat. Penyelesaian sengketa khususnya sengketa bisnis

    melalui pengadilan dianggap kurang tepat dan efektif. Kritik yang muncul terhadap

    lembaga peradilan bukan hanya gejala yang tumbuh di Indonesia, melainkan terjadi

    di seluruh dunia.23

    Dinegara-negara industri maju, kritik yang dilontarkan

    masyarakat pencari keadilan terutama dari kelompok ekonomi jauh lebih gencar.

    Kalangan ekonomi Amerika menuduh bahwa hancurnya perekonomian nasional

    diakibatkan oleh mahalnya biaya peradilan. Sebagaimana dikemukakan oleh Tony

    Mc. Adam “Law has become a very big American business and that litigation cost

    may be doing damage to nations company”. Kritik yang terpenting tentang lembaga

    peradilan yang dirangkum dari berbagai negara adalah sebagai berikut :24

    1. Proses penyelesaian sengketa yang lambat

    2. Biaya perkara yang mahal

    3. Peradilan tidak tanggap

    4. Putusan pengadilan sering tidak menyelesaikan masalah

    5. Kemampuan hakim yang bersifat generalis

    Berkurangnya penghargaan terhadap lembaga peradilan terutama oleh

    kalangan bisnis sehingga dalam perkembangan sekarang untuk sengketa-sengketa

    bisnis mulai ada pergeseran kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari

    23 Contohnya di Jepang yang dianggap sebagai negara maju, proses penyelesain sengketa rata-

    rata memakan waktu 10 sampai 15 tahun. Di Korea Selatan, Hongkong, dan Singapura proses

    penyelesaian perkara melalui pengadilan dianggap lama dan biaya tinggi. Demikian pula di Amerika

    Serikat, disamping waktu yang lama masyarakat amerika kebanyakan berpendapat pengadilan

    terkesan tidak adil (un fair)karena lebih condong pada pengusaha besar dan orang kaya, dan secara

    tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizen).

    24

    .Moch. Faisal Salman. Op.Cit. Hal 173

  • keadilan dari menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang

    formatnya lebih tidak terstruktur secara formal.25

    M.Yahya Harahap26

    dalam penelitiannya telah mengemukakan semakin

    banyaknya keluhan masyarakat terutama kalangan dunia usaha terhadap berbagai

    kelemahan yang terdapat dalam sistem peradilan. Penyelesaian sengketa bisnis

    melalui lembaga peradilan dinilai kurang efektif disebabkan karena : (a)

    penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu, (b) biaya mahal, (c)

    peradilan tidak responsive terhadap kepentingan umum, (d) putusan pengadilan tidak

    menyelesaikan sengketa, (e) kemampuan hakim bersifat generalis, (f) seringkali

    putusan yang dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang cukup rasional.

    Bertolak dari alasan tersebut ia merekomendasikan tentang pentingnya penggunaan

    model Alternatif Dispute Resolution (ADR) yang menyangkut penyelesaian sengketa

    yang bersifat “out of court settlement model” terutama terhadap sengketa bisnis.

    Penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan ditempatkan sebagai ultimum

    remedium bagi penyelesaian sengketa bisnis.27

    Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

    Penyelesaian Sengketa sebagai dasar hukum dari penyelenggaraan penyelesaian

    sengketa diluar pengadilan di Indonesia, yang dimaksud dengan arbitrase termuat

    dalam Pasal 1 angka 1 yaitu, “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa

    perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

    25 Eman Suparman. Loc.Cit.

    26

    Yahya Harahap dalam Laporan Akhir Penelitian tentang Penyelesaian Sengketa Diluar

    Peradilan (Alternatif Dispute Resolution) Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman

    RI 1995/1996

    27

    Basuki Rekso Wibowo. “Menyelesaikan Sengketa Bisnis Diluar Pengadilan” Orasi Ilmiah

    pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

    Airlangga tanggal 17 Desember 2005.

  • secara tertulis oleh para pihakyang dalam suatu perjanjian tertulis bersangkutan”.

    Perjanjian arbitrase yang dimaksud diatur dalam Pasal 1 angka 3, “Perjanjian

    arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum yang

    dibuat para pihak sebelum sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang

    dibuat para pihak setelah timbul sengketa”. Berdasarkan pada bunyi pasal tersebut,

    maka dapat disimpulkan pertama, arbitrase harus dilakukan dengan bentuk perjanjian

    arbitrase yang tertulis, kedua, arbitrase harus dibuat dalam bentuk perjanjian, maka

    dengan demikian secara tidak langsung ketentuan dari hukum perjanjian juga berlaku

    dalam arbitrase ini.

    Ruang lingkup sengketa yang boleh diajukan melalui arbitrase adalah terbatas

    pada sengketa di bidang perdagangan yang meliputi bidang perniagaan, perbankan,

    keuangan, penanaman modal, industri dan kekayaan intelektual dan mengenai hak

    yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh

    pihak yang bersengketa. Sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui

    arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undagan tidak dapat

    diadakan perdamaian.

    Mengacu pada Konvensi New York 1958 dan ketentuan yang terdapat dalam

    Uncitral Arbitration Ruler serta ketentuan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 maka

    dapat dikemukakan jenis-jenis arbitrase, yaitu :

    1. Arbitrase ad hoc

    Merupakan arbitrase yang dibentuk oleh para pihak khusus untuk menangani

    suatu kasus tertentu, arbitrase bentuk ad hoc ini para pihak dapat mengatur cara-cara

    bagaimana pemilihan para arbiter, mengatur kerangka kerja prosedur arbitrase dan

  • aparatur administratif dari arbiter. Dalam bentuk ini persetujuan atau kata sepakat

    para pihak mutlak diperlukan terhadap metode yang ditentukan.

    2. Arbitrase Institusional

    Merupakan bentuk arbitrase yang berbentuk lembaga atau badan arbitrase

    yang sengaja didirikan yang ditunjuk oleh para pihak berdasarkan kesepakatan untuk

    menyelesaiakan suatu sengketa. Arbitrase bentuk ini para pihak tidak dapat mengatur

    sendiri tentang cara pemilihan atau kerangka kerja prosedur arbitrase, tetapi harus

    mengikuti format penyelesian menurut lembaga atau badan arbitrase yang ditunjuk

    tersebut. Sebagai contoh adalah lembaga arbitrase adalah BANI, ICSID, American

    Arbiter, ICC.

    Kesepakatan untuk menyerahkan suatu sengketa pada arbitrase baik yang ad

    hoc maupun yang institusional dapat dilakukan sebelum suatu sengketa terjadi

    maupun setelah sengketa terjadi yang dimuat dalam suatu perjanjian tertulis.

    Kesepakatan yang dibuat sebelum terjadinya sengketa sering disebut dengan istilah

    pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang merupakan suatu ketentuan

    yang tercantum didalam perjanjian yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan

    yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian tersebut akan

    diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan. Klausul arbitrase yang harus dalam

    bentuk tertulis sebagaimana dituntut secara tegas dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor

    30 Tahun 1999. Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

    memungkinkan arbitrase dilakukan secara online, sebagaimana dinyatakan dalam

    Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui

    arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,

  • facsimile, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan

    suatu catatan penerimaan oleh para pihak”.

    Kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya ke arbitrase yang

    muncul setelah sengketa terjadi dilakukan melalui sebuah akta kompromis. Akta

    kompromis diatur dalam Pasal 9 ayat (1) sampai dengan ayat (4), yaitu jika para

    pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,

    persetujuan mengenai hal itu harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang

    ditandatangani oleh para pihak. Jika mereka tdak dapat menandatangani perjanjian

    tertulis tersebut, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) sampai (4) tersebut, maka jika para

    pihak ingin menyelesaikan sengketa mereka ke arbitrase setelah sengketa terjadi ada

    dua kemungkinan perjanjian yang dibuat yaitu dalam bentuk perjanjian tertulis biasa

    yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam bentuk akta notaris jika para pihak

    tidak dapat menandatangani perjanjian tersebut.

    Berkaitan dengan bentuk tertulis secara konvensional dan dalam bentuk

    dokumen elektronik dalam perjanjian arbitrase maka dapat diuraikan sebagai berikut,

    Konvensi New York mengatur mengenai persyaratan bahwa suatu perjanjian

    arbitrase harus tertulis, yang termuat dalam ketentuan Article IV Konvensi

    NewYork. Menurut Article IV, persyaratan mengenai bentuk perjanjian adalah :

    To obtain the recognition and enforcement mentioned in the preceding

    Article, the party appling for recognition on and enforcement shall, at the

    time of the application supply :

    (a). ……..

  • (b). The Original agreement referred to in Article II or a duly certified copy

    thereof

    Untuk mendapatkan pengakuan dan pelaksanaan, pihak yang mengajukan

    permohonan pengakuan dan pelaksanaan pada waktu pengajuan permohonan harus

    menyerahkan perjanjian yang asli sebagaimana disebut dalam Article II atau salinan

    yang sudah dilegalisir sebagaimana mestinya.

    Dari ketentuan-ketentuan dalam Konvensi New York tersebut terdapat tiga

    persyaratan perjanjian arbitrase yaitu tertulis, ditandatangani dan asli.

    Penafsiran mengenai article IV diatas bahwa keaslian hanya dapat dipenuhi

    jika perjanjian dibubuhi tanda tangan, berarti perjanjian yang dibuat melalui

    pertukaran faks, e-mail dan perjanjian online tidak memenuhi persyaratan mengenai

    keaslian. Sehingga pertukaran e-mail atau melalui perjanjian online tidak sah adanya.

    Jika hendak diakui keasliannya maka diperlukan tindakan dengan membubuhkan

    tanda tangan pada print out dari faks, email dan perjanjian online.

    Menyangkut tanda tangan UU Nomor 30 tahun 1999 juga menyebutkan

    secara tersirat perlunya ada tanda tangan secara konvensional pakai tinta diatas

    kertas, namun tidak diatur secara jelas apakah tanda tangan tersebut dapat digantikan

    dengan bentuk tanda tangan digital. Berkaitan dengan hal ini sudah dijawab oleh UU

    ITE Pasal 11 menyebutkan bahwa “ Tanda tangan elektronik mempunyai kekuatan

    hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi ketentuan dalam undang-

    undang ini “

  • Berkaitan dengan sifat tertulis dari perjanjian arbitrase, Indonesia melalui

    Undang-Undang No.30 Tahun 1999 juga secara tegas menyatakan bahwa

    persyaratan perjanjian arbitrase harus tertulis sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir 1

    dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, walaupun dengan menggunakan

    istilah yang berbeda-beda seperti istilah perjanjian arbitrase yang dibuat secara

    tertulis (Pasal 1 butir 1) sedangkan Pasal 1 butir 3 menggunakan istilah perjanjian

    tertulis dan perjanjian arbitrase sendiri. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2)

    menggunakan istilah dokumen , dalam Pasal 4 ini dapat dilihat bahwa diperlukan

    adanya tanda tangan, yaitu :

    (3) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan

    wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya

    mengenai hak dan kewajiban para pihak jka hal ini tidak diatur dalam

    perjanjian mereka

    (4) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang

    ditandatangani oleh para pihak.

    Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) tersebut berlaku secara umum baik

    untuk klausul arbitrase maupun perjanjian arbitrase tersendiri. Ketentuan tersebut

    menyebut istilah dokumen. Dokumen tidak hanya berupa sesuatu yang tertulis diatas

    kertas saja tetapi juga dalam bentuk file yang dibuat secara elektronik. Tanda tangan

    untuk informasi elektronik juga dapat tidak berupa tanda tangan dalam pengertian

    tradisional.28

    Pasal 9 ayat (1) dan (2) juga mempunyai istilah yang berbeda, yaitu istilah

    perjanjian tertulis , yaitu :

    28 Paustinus Siburian. Op.Cit. hal 114

  • (5) Dalam hal para pihak memilh penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat

    dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak

    (6) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) perjanjian tersebut dapat dibuat

    dalam bentuk akta notaris.

    Perjanjian tertulis yang dimaksud diatas ditujukan pada perjanjian arbitrase yang

    dibuat setelah sengketa, dan yang diinginkan adalah penyelesaian melalui arbitrase

    ad hoc.

    Pasal 9 ayat (3) dan (4) selanjutnya berbunyi :

    Pasal 9 ayat (3) menyatakan “Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud

    dalam ayat 1 harus memuat :

    a. masalah yang dipersengketakan b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e. nama lengkap sekretaris f. jangka waktu penyelesaian sengketa g. pernyataan kesediaan dari arbiter h. pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk

    menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian

    sengketa melalui arbitrase

    Pasal 9 ayat (4) menyatakan “Perjanjian tertulis yang tidak memuat

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum”

    Perjanjian sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (3) dan (4) diatas adalah

    bersifat wajib.

    Dari kedua pasal diatas yaitu Pasal 4 dan Pasal 9, dapat di tarik kesimpulan

    bahwa untuk perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum sengketa (Pasal 4) maka

    perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis tersebut tidak mengharuskan dibuat

    dalam bentuk diatas kertas saja, melainkan ia dapat juga berupa informasi elektronik.

  • Sedangkan untuk perjanjian arbitrase yang dibuat setelah sengketa tidak demikian, ia

    harus dibuat dalam bentuk konvensional diatas kertas karena harus dalam bentuk

    akta notaris. Hal ini juga dijelaskan dalam UU ITE Pasal 5 ayat (4) yaitu “jika

    menurut undang-undang surat beserta dokumennya harus dibuat dalam bentuk akta

    notariil atau akta yang dibuat oleh pejabat akta.” Perjanjian arbitrase setelah

    sengketa, dibedakan lagi antara arbitrase institusional dan arbitrase ad hoc. Untuk

    arbitrase institusional perjanjian arbitrase tidak perlu ditandatangani sedangkan untuk

    arbitrase ad hoc perjanjian tertulis yang dibuat harus ditandatangani.

    Kesimpulan diatas diperkuat dengan ketentuan Pasal 62 ayat (2) dan (3) UU

    Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi :

    (2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum

    memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah

    putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 serta tidak

    bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum

    (3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi syarat sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (2) maka Ketua Pengadilan Negeri menolak

    permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua

    Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum.

    Ketentuan Pasal 62 ayat (2) diatas mensyaratkan dokumen yang harus

    diperiksa dalam hal dimohonkan pelaksanaan putusan arbitrase. Ketentuan Pasal 62

    ayat (2) dan (3) merujuknya pada Pasal 4. Tidak ada persyaratan apakah perjanjian

    tertulis tersebut harus asli atau tidak. Dengan demikian perjanjian tertulis tersebut

    dapat diartikan tidak harus diatas kertas dan tanda tangan tidak harus dibuat dengan

    tinta diatas kertas. Hal ini berarti merujuk untuk perjanjian tertulis dalam arbitrase

    nasional dapat berupa informasi elektronik.

  • Sedangkan ketentuan mengenai Arbitrase Internasional menurut UU Nomor

    30 Tahun 1999, persyaratan perjanjian yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 3 serta

    Pasal 4 ayat (1) dan (2) juga berlaku. Dokumen yang harus ada dalam permohonan

    pengakuan dan pelaksanaan putusan diatur dalam Pasal 67 ayat (2) b, bahwa lembar

    asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase

    Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah

    terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya kata “lembar asli”

    menunjukan bahwa dalam rangka menjalankan putusan arbitrase internasional,

    perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis secara konvensional

    (tangible). Perjanjian arbitrase internasional harus tertulis, ditandatangani, dan asli.

    Hukum acara arbitrase diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun

    1999 menyatakan bahwa, “Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis,

    bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan

    sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.

    Ketentuan ini merupakan prinsip party autonomy yang memberi para pihak

    kebebasan penuh untuk memutuskan prosedur beracara arbitrase, termasuk

    pelaksanaan secara online. Pasal 31 ayat (3), menyebutkan bahwa “Dalam hal para

    pihak telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ada

    kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan,

    arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan”.

  • Dalam hal persidangan diatur dalam Pasal 36 Undang – Undang Nomor 30

    Tahun 1999menentukan proses arbitrase secara tertulis. Jika diperlukan, dapat juga

    diadakan pemeriksaan secara lisan. Akan tetapi secara teknis pemeriksaan lisan

    dengan elektronik dapat dilakukan. Namun biaya untuk menyelenggarakan

    persidangan secara elektronik sangat mahal. Dengan adanya kemajuan teknologi

    yang semakin berkembang, persidangan antara pemohon dan termohon di hadapan

    arbiter dapat dilakukan dengan handphone melalui 3G ataupun melalui video

    conference.

    Bagian akhir dari proses arbitrase adalah permusyawaratan, permusyawaratan

    secara online dimungkinkan jika para arbiter berda di wilayah yang berjauhan maka

    permusyawarahan akan dilakukan dengan menggunakan fasilitas email , sehingga

    diperlukan waktu tertentu untuk melakukan permusyawarahan. Undang – Undang

    Nomor 30 Tahun 1999 sendiri kurang mengatur masalah permusyawarahan para

    arbiter.

    Pengiriman putusan secara online dengan memanfaatkan sarana elektronik,

    belum diatur secara tegas dalam undang-undang. Dalam Pasal 55 Undang – Undang

    Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan :“ Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai,

    pemeriksaan segeraditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan

    arbitrase “.Pasal 57 selanjutnya menentukan “ Putusan diucapkan dalam waktu

    paling lama 30 ( tiga puluh ) hari setelahpemeriksaan ditutup “.Putusan demikian

    diucapkan dalam suatu persidangan.

  • BAB V

    KESIMPULAN

    A. Kesimpulan

    1. Perjanjian arbitrase yang dilakukan secara online dimungkinkan sebagaimana

    diatur dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

    Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu “Dalam hal

    disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk

    pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-

    mail ataudalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan

    suatu catatanpenerimaan oleh para pihak”.

    2. Penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase online tidak diatur secara

    tegas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun1999 Tentang Arbitrase dan

    Alternatif Penyelesaian Sengketa .

    B. Saran

    Meskipun secara tersirat pelaksanaan arbitrase online di Indonesia telah

    sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada,

    khususnya Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999. Namun permasalahannya

    adalah tidak ada aturan pelaksanaan yang mengatur bagaimana arbitrase online itu

    dijalankan. Hal ini dikhawatirkan tidak ada standar yang baku tentang pelaksanaan

    arbitrase online tersebut, sehingga pelaksanaan nya menjadi tidak efektif dan efisien.

    Oleh karena itu diharapkan adanya pengaturan yang jelas tentang arbitrase online

  • dalam bentuk revisi undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 serta dilengkapi dengan

    aturan pelaksananya.