LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan...

31
LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI MASYARAKAT NONPETANI DI PERUMAHAN BUMI DALUNG PERMAI, KUTA UTARA TIM PENELITI : Dr. I Nyoman Dhana, MA. Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Universitas Udayana Nomor : DIPA-023.04.2.415253/2014 sesuai SK Nomor : 2767/UN 14.4.5/KU/2014 Tanggal 11 Juni 2014 PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYA PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2014

Transcript of LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan...

Page 1: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

LAPORAN PENELITIAN

MAKNA PURA SUBAK BAGI MASYARAKATNONPETANI DI PERUMAHAN BUMI DALUNG

PERMAI, KUTA UTARA

TIM PENELITI :

Dr. I Nyoman Dhana, MA.

Dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Universitas UdayanaNomor : DIPA-023.04.2.415253/2014 sesuai SK Nomor : 2767/UN

14.4.5/KU/2014 Tanggal 11 Juni 2014

PROGRAM MAGISTER KAJIAN BUDAYAPROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA2014

Page 2: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura
Page 3: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena kami

sangat yakin bahwa berkat rakhmatNya-lah pelaksanaan dan penyusunan laporan

penelitian ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Selain itu, kami juga

mendapat bantuan dari Ketua Program Studi Magister Kajian Budaya Universitas

Udayana beserta staf pegawainya yang telah memberikan kesempatan, dana, dan

partisipasinya untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini. Oleh karena itu, melalui

kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Kami menyadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak kekurangannya.

Karenanya kami mengharapkan masukan untuk menyempurnakannya. Walaupun

demikian, mudah-mudahan hasil penelitian ini memberikan manfaat sesuai

dengan harapan semua pihak terkait.

Denpasar, Desember 2014

Ketua Pelaksana Kegiatan

Page 4: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

DAFTAR ISI

JUDUL………………………………………………………………..KATA PENGANTAR ……….......………………………………...DAFTAR ISI ………………………………………………………..

I PENDAHULUAN …………………….……………………………1.1 atar Belakang ..................………..……………………………..1.2 Rumusan Masalah………..…………………………………….1.3 Tujuan .........................................................................................1.4 Manfaat........................................................................................1.5 Kerangka Teoretis.......................................................................1.6 Metode Penelitian........................................................................

II GAMBARAN UMUM KAWASAN WARISAN BUDAYADUNIA JATILUWIH…………………………………….............

2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam ………………….......................2.2 Penduduk dan Angka demografi .......………………………..2.3 Organisasi Sosial.........................................................................2.4 Sistem Budaya.............................................................................

III RENCANA AKSI DALAM PENGELOLAAN KAWASANWBD JATILUWIH...........................………………………………...3.1 Rencana Aksi dalam Konteks Parhyangan.................................3.2 Rencana Aksi dalam Konteks Pawongan....................................3.3 Rencana Aksi dalam Konteks Palemahan...................................IV SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………...

5.1 Simpulan………………………………………………………...5.2 Saran……………………………………………………………

Daftar Pustaka……………………………………………………….

Halamaniiiiii

11445

1133

1616222224

29313436393939

41

BAB I

PENDAHULUAN

Page 5: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini dilatari oleh adanya fakta yang unik terkait peran masyarakat

nonpetani dalam pengelolaan Pura Subak Tegal di kawasan Perumahan Bumi

Dalung Permai sebagaimana ditunjukkan dalam hasil penelitian Dhana (2010).

Secara lebih lengkap fakta tersebut menyatakan bahwa di kawasan Perumahan

Bumi Dalung Permai ada pura yang dimiliki oleh kelompok sosial sosial petani,

yakni Subak Tegal. Pura tersebut dikelola tidak hanya oleh petani anggota Subak

Tegal, melainkan juga oleh masyarakat yang tidak menjadi petani dan dengan

demikian tidak pula menjadi anggota Subak Tegal. Masyarakat nonpetani

tersebut adalah umat Hindu yang berasal dari berbagai daerah di Bali; bermukim

di kawasan Perumahan Bumi Dalung Permai, Kuta Utara, Badung, Bali; bekerja

di luar sektor pertanian seperti pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dan lain-

lain; dan terhimpun dalam satu kelompok sosial sosial yang bernama Lokantara

Parisuda Hindu Dharma Bumi Dalung Permai. Peran mereka cukup dominan, baik

dalam menggagas maupun melaksanakan program dan kegiatan terkait dengan

pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan

biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura tersebut mengalami

perubahan yang cukup signifikan.

Fakta terurai di atas sangatlah unik dan sekaligus menarik untuk dipahami,

mengingat pura subak pada umumnya dikelola hanya oleh para petani anggota

subak yang bersangkutan. Selain itu, betapa unik dan menariknya fakta tersebut

karena justru masyarakat nonpetani itu mau dan mampu berperan aktif dalam

pengelolaan Pura Subak Tegal. Tampaknya keunikan fakta ini dapat dipahami dan

dijelaskan dengan mengacu pendekatan fenomenologis dalam arti sebagaimana

dikemukakan oleh Mulyana (2006 : 20), “pandangan ilmu sosial yang

menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk

memahami tindakan sosial”. Dengan mengacu pandangan ini dapat diduga bahwa

ada makna subjektif tersendiri di balik peran aktif masyarakat nonpetani dalam

pengelolaan pura subak sebagaimana dipaparkan di atas. Berdasarkan dugaan

inilah pada judul penelitian ini tertera kalimat “Makna Pura Subak bagi

Masyarakat Nonpetani”.

Page 6: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Judul penelitian serta dugaan yang melandasinya sebagaimana

dipaparkan di atas tampak relevan dengan pandangan yang ada dalam ilmu kajian

budaya (cultural studies). Dalam konteks ini, Barker (2014 : 167) menegaskan

bahwa “ide makna adalah salah satu ide paling penting dalam kajian budaya”.

Penegasan Barker ini terlihat berkontekstual dengan penegasannya yang lain,

bahwa “kajian budaya mempelajari praktik-praktik pemaknaan” (Barker (2005 :

45). Keterkaitan antara dua penegasannya ini secara implisit menunjukkan bahwa

praktik pemaknaan merupakan proses berpikir reflektif yang berkontekstual

dengan makna yang merupakan produk yang dihasilkan melalui proses berpikir

refkeltif tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya judul penelitian ini beserta

dugaan yang melandasinya menunjukkan perspektif ilmu kajian budaya.

Mempelajari atau menelaah praktik pemaknaan sebagai proses beserta

makna-makna sebagai produk yang dihasilkan melalui proses tersebut merupakan

langkah yang relevan dan penting dalam melaksanakan penelitian yang

menggunakan perspektif kajian budaya. Dengan mencermati praktik pemaknaan

dan makna yang dihasilkannya itulah kiranya tindakan orang yang diposisikan

sebagai subjek penelitian dapat dipahami. Dikatakan demikian, karena

sebagaimana dikemukakan oleh Barker (2014 : 168), “makna memandu tindakan

kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan kita

tersebut”. Oleh karena itu, yang hendak ditelaah dalam penelitian ini adalah

makna pura subak yang tidak dapat dipisahkan dengan praktik pemaknaan yang

dilakukan oleh masyarakat nonpetani terhadap pura subak.

1.2 Rumusan Masalah

Mengingat bahwa makna dapat berfungsi sebagai pemandu atau dapat

dipergunakan sebagai penjelasan dan pembenaran atas tindakan, maka masalah

penelitian yang kiranya relevan dapat diformulasikan dalam bentuk pertanyaan

yang memungkinkan untuk mengeksplorasi penjelasan dan pembenaran atau alas

an atas tindakan. Sejalan dengan pemikiran ini, maka formulasi pertanyaan yang

dianggap relevan khusus dalam penelitian ini adalah pertanyaan yang

memungkinkan untuk memperoleh informasi tentang penjelasan dan pembenaran

atau alasan atas tindakan yang dilakukan oleh masyarakat nonpetani dari

kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai dalam

pengelolaan Pura Subak Tegal. Dengan demikian, rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian ini adalah : Mengapa masyarakat nonpetani dari kelompok

Page 7: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai berperan aktif

dalam pengelolaan pura Subak Tegal?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah/pertanyaan penelitian di atas, tujuan

penelitian ini adalah memahami makna Pura Subak Tegal bagi masyarakat

nonpetani dari kelompok sosial Lokantara Parisudha hindu Dharma Bumi Dalung

Permai yang tercermin pada penjelasan dan pembenaran atau alasan atas tindakan

mereka dalam pengelolaan Pura Subak Tegal.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian sebagaimana disebutkan di atas, hasil

penelitian ini diharapkan bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. Secara

teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi

pengembangan Ilmu Kajian Budaya di Universitas Udayana. Secara praktis, hasil

penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi para pihak

sebagai berikut.

1) Bagi pihak Subak Tegal, yaitu untuk merenungkan kembali apakah makna

Pura Subak Tegal yang dijadikan pembenaran atau alasan atas peran

masyarakat nonpetani tetap dapat diterima dalam konteks kelangsungan

hidup subak tersebut.

2) Bagi masyarakat nonpetani di Perumahan Bumi Dalung Permai, yaitu

untuk merenungkan kembali apakah peran mereka dalam pengelolaan Pura

Subak Tegal yang mengacu kepada makna yang mereka berikan kepada

pura tersebut selama ini masih tetap relevan dalam konteks kehidupan

mereka.

1.5 Kerangka Teoretis : Praktik Pemaknaan, Makna, dan Tindakan Sosial

Pengertian istilah kerangka teoretis dalam hal ini perlu ditegaskan terlebih

dahulu agar dapat disusun dan dipergunakan sebagaimana mestinya dalam

penelitian ini. Menurut Irawan (2006 : 39), kerangka teori diperlukan dalam

penelitian sebagai titik berangkat dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis

dan memahami realitas yang ditelitinya. Sehubungan dengan hal ini, isi kerangka

teori adalah rangkaian teori-teori yang relevan dan dipilih oleh peneliti sendiri

berdasarkan argumentasi yang meyakinkan untuk dipakai sebagai alat bantu

dalam mendapatkan jawaban masalah yang dikaji (Ariasumantri, 1984 : 316;

Irawan, 2006 : 39), atau teori-teori yang relevan untuk menganalisis objek (Kutha

Page 8: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Ratna, 2010 : 218). Berdasarkan teori-teori pilihan itulah kerangka teoretis yang

meyakinkan disusun dengan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan

kesimpulan berupa hipotesis (Ariasumantri, 1984 : 322; Mely G Tan, 1989 : 21),

dan dalam konteks ini pula, kerangka teoritis dalam penelitian kualitatif dianggap

sama dengan hipotesis (Irawan, 2006 : 38). Secara teknis, dalam penyusunan

kerangka teoretis, peneliti memulainya dengan membaca berbagai teori yang

relevan dengan fokus/masalah penelitiannya dilanjutkan dengan membuat sintesis

(“menyatukan”) berbagai teori itu menjadi kerangka teori versinya sendiri

(Irawan, 2006 : 46).

Pengertian istilah kerangka teori sebagaimana dipaparkan di atas secara

implisit menegaskan bahwa uraian tentang kerangka teori, tidaklah hanya memuat

tentang isi teori-teori, melainkan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan

kesimpulan berupa hipotesis yang disusun berdasarkan pengetahuan teoretis yang

relevan dan hendak dirujuk dalam penelitian yang bersangkutan. Karenanya,

sesuai dengan masalah yang dikaji, maka kerangka teori dalam penelitian ini

diberi judul ”Kerangka Teoretis : Praktik Pemaknaan, Makna, dan Tindakan

Sosial”.

Berdasarkan pemikiran Barker (2005 : 45; 2014 : 167-168), praktik

pemaknaan dapat dilihat sebagai proses aktivitas berpikir yang menghasilkan

makna suatu objek yang dipikirkan, dan kemudian dijadikan alasan atau

pembenaran atas tindakan sosial yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan dengan

objek tersebut. Menurut Hoede (2008 : 3), dalam kacamata semiotika, makna

disejajarkan dengan isi yang dipahami oleh manusia pemakai tanda. Dengan

demikian, praktik pemaknaan kiranya dapat diartikan sebagai proses berpikir

dalam rangka memahami suatu objek yang dalam ilmu semiotika disebut tanda.

Berdasarkan pengertian ini, maka dapat diduga bahwa masyarakat nonpetani di

Perumahan Bumi Dalung Permai telah melakukan proses berpikir tentang Pura

Subak Tegal hingga menghasilkan makna, yaitu pemahaman tentang pura

tersebut. Pemahamannya itulah yang mereka pergunakan sebagai rujukan dan/atau

alat pembenar atas tindakan yang mereka lakukan dalam pengelolaan Pura Subak

Tegal.

Jika didekonstruksi, praktik pemaknaan atas suatu objek atau tanda serta

makna yang dihasilkannya bisa jadi tampak adanya beragam makna atas objek

atau tanda tersebut. Hal ini sejalan dengan gagasan Derrida dalam teori dan

Page 9: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

metode dekonstruksi yanfg dikembangkannya. Dalam konteks ini, sebagaimana

dikemukakan oleh Hoede (2008 : 68-69), Derrida berpendapat bahwa makna

suatu tanda dapat berubah-ubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang,

dan waktu. Oleh karena itu, dalam konteks berpikir kritis, orang mesti berusaha

menemukan beragam makna tanda. Berdasarkan pemikiran ini, maka satu dugaan

yang dapat dirumuskan adalah bahwa masyarakat nonpetani di kawasan

Perumahan Bumi Dalung Permai memahami atau memaknai Pura Subak Tegal

sesuai pula dengan kehendak mereka sendiri. Jika kehendaknya beragam, maka

beragam pula makna pura yang dihasilkan dalam praktik pemaknaan terhadap

pura tersebut.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan penelitian kualitatif. Mengacu kepada gagasan Satori dan Komariah

(2009 : 219), dengan pendekatan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan

peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan

mendalam dalam bentuk narasi.

1.6.2 Lokasi Penelitian

Fenomena yang diteliti dalam penelitian ini adalah di Perumahan Bumi

Dalung permai, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Namun data

yang digunakan diambil dari hasil penelitian Dhana (2010) yang memang

penelitiannya itu dilakukan di lokasi tersebut tadi.

1.6.3 Penentuan Informan

Informan dalam penelitian Dhana (2010) yang sebagian hasilnya berupa

data atau informan dipakai dalam penelitian ini adalah para partisipan dalam

pengelolaan Pura Subak Tegal. Penentuan informan dilakukan secara purposif,

yakni dengan memilih orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman

yang memadai terkait dengan hal-hal yang hendak dikaji dalam penelitian

tersebut. Selain itu, pemilihan informan juga dilakukan secara beranting dengan

teknik snowball.

1.6.4 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dan dipakai dalam penelitian yasng hasilnya

berupa data digunakan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif berupa kata-

Page 10: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

kata, kalimat, dan ungkapan. Dilihat dari sumbernya, data tersebut meliputi

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer yang

dimaksud adalah sumber data yang datanya itu digali sendiri oleh peneliti, baik

melalui pengamatan maupun wawancara, sedangkan sumber data sekunder

adalah sumber data yang datanya itu telah ada dalam dokumentasi terkait yang

disusun oleh orang lain dalam rangka kepentingan lain, tetapi ada gunanya untuk

penelitian yang dilakukan. Sumber data sekunder tersebut, antara lain berupa

dokumen Peraturan Subak Tegal (awig-awig), Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga Lokantara Parisuda Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, surat-

surat dan laporan panitia kegiatan terkait dengan pengelolaan Pura Subak Tegal.

1.6.5 Instrumen Penelitian

Mengingat penelitian ini bersifat kualitatif, maka dengan mengacu pada apa

yang dikatakan Moleong (1993 : 4), instrumen utama (primer) penelitian ini

adalah peneliti sendiri.

1.6.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian yang datanya itu digunakan

dalam penelitian ini meliputi teknik pengamatan terlibat, teknik wawancara, dan

teknik penggunaan dokumen. Khusus untuk penelitian ini, data dikumpulkan

melalui pengamatan terhadap hasil penelitian Dhana (2010), sehingga mirip

dengan teknik penggunaan dokumen.

1.6.7 Teknik Analisis Data

Mengacu kepada pendapat Miles dan Huberman (1992), analisis data dalam

penelitian ini dilakukan dengan teknik reduksi data, penyajian data sementara,

penafsiran data, dan menarik simpulan. Reduksi data meliputi berbagai kegiatan,

yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, penggolongan data, pengutipan

informasi dalam wawancara yang memiliki makna subyektif, dan refleksi.

Penyajian data dan penafsiran data dilakukan dengan penyusunan teks naratif

yang menunjukkan keteraturan, penjelasan, dan alur sebab akibat; sedangkan

penarikan kesimpulan atau verifikasi dilakukan dengan mengintisarikan hasil

penelitian yang telah disajikan.

1.6.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian

Page 11: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Penyajian hasil penelitian ini dilakukan dengan mengikuti sistematika

yang disusun sebelumnya sesuai dengan formulasi permasalahan yang dikaji.

Penjabaran hasil analisis data atau informasi dilakukan secara informal, yakni

dengan mendeskripsikan kata-kata dan ungkapan-ungkapan serta secara formal,

yakni dengan menyajikan hasil penelitian dalam bentuk gambar, tabel, dan

matrik.

BAB II

PANDANGAN DAN TINDAKAN MASYARAKAT NONPETANI DALAM

KONTEKS PURA SUBAK TEGAL : PRAKTIK PEMAKNAAN DAN

PRODUKNYA

Judul bab II ini dimaksudkan untuk menjawab masalah penelitian

yang dikaji, yakni Mengapa masyarakat nonpetani dari Lokantara Parisudha

Hindu Dharma Bumi Dalung Permai berperan aktif dalam pengelolaan Pura

Subak Tegal? Terkait dengan hal ini, ada fakta tentang pembenaran atau alasan

masyarakat nonpetani tersebut atas tindakan mereka dalam pengelolaan Pura

Subak Tegal. Pembenaran atau alas an mereka itulah yang dapat dilihat sebagai

proses praktik pemaknaan yang menghasilkan beragam makna Pura Subak Tegal

menurut pandangan mereka, sehingga mereka berperan aktif dengan melakukan

pelbagai tindakan dalam pengelolaan Pura Subak Tegal. Secara lebih lengkap,

fakta-fakta mengenai beragam makna Pura Subak Tegal yang dihasilkan dalam

praktik pemaknaan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

2.1 Pura Subak Tegal sebagai Alat Penguat Kesatuan Sosial

Ada fakta yang menunjukkan bahwa salah satu dari beragam makna Pura

Subak Tegal menurut pandangan masyarakat nonpetani yang terhimpun dalam

kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai adalah

Page 12: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

sebagai alat penguat kesatuan sosial di dalam kelompok sosial tersebut. Hal ini

terlihat dari gagasan yang dinyatakan secara tertulis dalam pasal 3 Anggaran

Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (ADART) kelompok sosial Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai (2000 : 4), sebagai berikut.

”Agar Lokantara Parisudha Hindu Dharma dimaksud Pasal 1 dapatmenjadi satu kesatuan dan mathaksu diperlukan adanya tali pengikatsekaligus sebagai Pancering jagat berupa Parhyangan (Pura) yang diemongoleh seluruh Umat Sedharma Krama dari Lokantara Parisudha HinduDharma”.

Gagasan dalam kutipan teks ini secara jelas menunjukkan betapa pentingnya atau

betapa berartinya pura bagi Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung

Permai, yakni untuk menjadikan kelompok sosial itu sebagai satu kesatuan.

Padahal sebagaimana dikemukakan oleh Soekanto (1983 : 111), kelompok-

kelompok sosial merupakan himpunan atau kesatuan-kesatuan yang hidup

bersama, oleh karena adanya hubungan antara mereka. Berdasarkan pendapat

Soekanto ini, maka pernyataan yang menegaskan keinginan menjadikan

kelompok sosial bernama Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung

Permai sebagai satu kesatuan terlihat kurang tepat, karena kelompok sosial sudah

merupakan kesatuan sosial. Oleh karena itu, tampaknya pernyataan yang lebih

tepat dalam konteks ini adalah bahwa untuk menjadikan kelompok sosial itu

sebagai satu kesatuan yang benar-benar kuat, maka diperlukan pura. Dicermati

secara lebih mendalam tampaklah pemaknaan terhadap pura sebagaimana terlihat

pada petikan teks di atas menunjukkan adanya kesadaran di kalangan Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, bahwa daya ikat kelompok sosial

ini masih kurang kuat sehingga perlu diperkuat.

Kesadaran akan kurang kuatnya daya ikat kelompok sosial tersebut

memang logis, karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, para angggota

kelompok sosial itu bersifat multikultural, yakni berasal dari berbagai kelompok

sosial yang lain yang ada di seluruh Bali. Dapat dibayangkan mereka berasal dari

desa dan kelompok kekerabatan seperti keluarga luas dan klen yang berbeda-beda

dan masing-masing sudah memiliki tradisi budaya yang berdaya ikat cukup kuat.

Dengan mengacu pendapat Koentjaraningrat (1984 : 377-376), kemultikulturalan

para anggota Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai seperti itu

berpotensi untuk terjadinya konflik, terutama jika mereka saling memaksakan

tradisi satu sama lainnya. Oleh karena itu wajarlah penguatan kesatuan sosial

Page 13: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Lokantara Parisudha Hindu Dharma terus diupayakan dengan pelbagai cara agar

para anggotanya yang bersifat multikultural mampu mewujudkan keharmonisan

sosial berdasarkan ideologi multikulturalisme.

Mengingat pura dimaknai sebagai alat penguat kesatuan sosial hanya

secara internal di kalangan warga Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi

Dalung Permai saja, sedangkan pura yang dimaksud untuk itu adalah Pura Subak

Tegal, maka hal ini juga berpotensi terjadinya masalah konflik antara pihak

Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai versus Subak Tegal.

Masalah konflik antara keduanya bisa muncul, terutama jika antara keduanya

terjadi saling memaksakan kehendak dalam pengelolaan pura tersebut. Dengan

perkataan lain, berdasarkan fakta tersebut, makna Pura Subak Tegal dalam hal ini

dapat dilihat secara emik dan etik. Secara emik (oleh subjek penelitian ini) pura

itu dimaknai sebagai alat penguat kesatuan sosial, namun hanya di kalangan

internal Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai saja, sedangkan

secara etik (peneliti), bisa melihat bahwa makna pura seperti itu juga berpotensi

menimbulkan masalah konflik antara kalangan internal Lokantara Parisudha

Hindu Dharma Bumi Dalung Permai versus kalangan eksternalnya, yakni Subak

Tegal.

Masalah konflik sosial yang bisa saja muncul berdasarkan pemaknaan

Pura Subak Tegal seperti itu tentu saja bisa ditandai oleh relasi kuasa antara

Lokantara Parisudha hindu Dharma bumi Dalung Permai versus Subak Tegal.

Dalam relasi kuasa itulah memungkinkan bagi keduanya untuk saling

menghegemoni dan mendominasi dengan melakukan permainan politik

penggunaan aneka modal yang dimiliki oleh masing-masing pihak, baik modal

sosial budaya maupun modal sosial dan modal ekonomi. Dalam konteks ini, pihak

Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai terlihat memiliki

akumulasi modal yang relatif besar. Mereka terdiri atas orang-orang yang menjadi

pegawai negeri sipil di Pemerintahan Provinsi Bali dan Kabupaten Badung, ada

juga yang menjadi anggota legislatif serta menjadi pengusaha dan banyak pula

yang berpendidikan tinggi. Sementara itu warga Subak Tegal memiliki modal

yang relatif lebih kecil, baik dilihat dari segi jumlah mereka maupun dari

pendidikan dan status sosial- ekonominya, sebagai petani.

Walaupun demikian, keduanya berpeluang menjadi pihak superordinat

atau unggul ataupun menjadi pihak yang subordinat dalam relasi kuasa yang

Page 14: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

bernuansa permainan politik penggunaan modal. Lokantara parisudha Hindu

Dharma Bumi Dalung Permai di satu pihak berpeluang untuk mengungguli

Subak Tegal, mengingat mereka memiliki akumulasi modal yang relatif lebaih

besar. Namun di pihak lain, yakni Subak Tegal, meskipun memiliki modal yang

lebih kecil, berpeluang juga untuk unggul dalam relasi kuasa tersebut, terutama

karena mereka memiliki modal utama yang tidak dimiliki oleh Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, yakni Pura Subak Tegal. Jika

Subak Tegal melarang Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai

ikut mengelola pura tersebut, maka permainan kekuasaan antara keduanya bisa

bubar.

Berbeda halnya jika pura subak itu dimaknai sebagai alat penguat

kesatuan sosial dalam rangka menyatukan masyarakat nonpetani tersebut dan

masyarakat petani Subak Tegal. Dengan gagasan Soekanto (1983 : 111; dan

Koentjaraningrat, 1984 : 378), pemaknaan seperti ini terlihat memungkinkan

terjadinya integrasi antara keduanya, terutama jika mereka secara bersama-sama

menyadari bahwa mereka saling membutuhkan. Rasa saling membutuhkan dalam

hal ini tampak sangat penting, karena sebagaimana dikemukakan oleh Susanto

(1985 : 61), dengan tempat tinggal yang sama sudah cukup bagi suatu kelompok

sosial untuk mengikat orang dalam satu kesatuan. Mengingtat tempat tinggal

masyarakat petani Subak Tegal berbeda dengan tempat tinggal masyarakat

nonpetani yang terhimpun dalam kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu

Dharma Bumi Dalung Permai, maka rasa saling membutuhkan antara keduanya

menjadi penting dalam rangka menyatukan keduanya. Berdasarkan rasa saling

membutuhkan itulah kiranya bisa dikembangkan hubungan sosial yang bersifat

simbiotik dalam suasana saling toleransi.

Praktik pemaknaan pura sebagai alat penguat kesatuan sosial bagi

kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai

tampaknya berkaitan pula dengan ideologi yang dianut orang Bali, yakni Tri Hita

Karana. Ideologi ini mengidealkan keharmonisan hubungan manusia-Tuhan

(parhyangan), manusia-manusia (pawongan), dan manusia-lingkungan alam

(palemahan). Keterkaitan praktik pemaknaan terhadap pura sebagai alat penguat

kesatuan sosial dengan ideologi Tri Hita Karana terlihat dalam pernyataan yang

tertulis dalam Pembukaan ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi

Dalung Permai (2000 : 2 ), sebagai berikut.

Page 15: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

”..... perlu dibentuk suatu wadah yang merupakan Himpunan dariseluruh Suka Duka Hindu/Banjar yang ada di Kawasan Perumahan BumiDalung Permai sebagai tempat konsolidasi, komunikasi dan pembinaancrada keumatan dengan mengambil landasan palsafah Tri Hita Karanauntuk selanjutnya dirumuskan ke dalam Anggaran Dasar/Piagem IlikitaPatra/Pikukuh Dasar dan Anggaran Rumah Tangga/Perarem yangmengatur keberadaan Himpunan dan Pengaturan kewajiban umatsedharma sesuai dengan palsafah yang dimaksud yaitu :1. Pengaturan Krama terhadap Parhyangan.2. Pengaturan Krama terhadap sesama umat sedharma dan umat

lainnya.3. Pengaturan Krama terhadap lingkungannya baik fisik maupun non

fisik”(Pembukaan Anggaran Dasar Lokantara Parisudha HinduDharma Bumi Dalung Permai, 2000 : 2).

Petikan teks ini terlihat sangat ideal, terutama karena Tri Hita Karana dijadikan

landasan untuk pengembangan kelompok Lokantara Parisudha Hindu Dharma

Bumi Dalung Permai. Landasan ideal seperti ini tentu tidak mudah

diimplementasikan, dan tidak tertutup kemungkinan dalam tindakan nyata sehari-

hari terjadi pelanggaran terhadap landasan ideal. Bahkan di kalangan Desa

Pakraman di Bali yang juga menjadikan ideologi Tri Hita Karana sebagai

landasan idealnya justru sering terjadi masalah konflik, baik secara internal

maupun eksternal (Windia, 2008).

Potensi untuk terjadinya pelanggaran terhadap ideologi Tri hita Karana

terlihat dalam ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai

(2000 : 1) sebagai berikut.

”...sebagai umat Hindu yang mayoritas bermukim di Perumahan tersebutdisamping diharapkan dapat menjadi motor dan inisiator penciptaankondisi dimaksud, diwajibkan pula untuk mentaati Hukum dan Perundang-undangan yang bersifat formal yang mengikat selaku warga negara sertamenjalankan kegiatan adat kebiasaan yang menjadi ciri khas pendudukmayoritas serta kegiatan yang berhubungan dengan ajaran agama menurutDesa, Kala, Patra”.

Dengan menggarisbawahi pemakaian istilah mayoritas pada petikan teks ini, maka

terlihatlah adanya potensi terjadinya pelanggaran atas ideologi Tri Hita Karana,

karena kelompok mayoritas merupakan kelompok sosial yang jumlah anggotanya

lebih banyak dan kekuasaannya lebih kuat dibandingkan dengan kelompok sosial

lainnya. Kemayoritasan dalam artiseperti inilah yang bisa mendorong orang untuk

melakukan tindakan yang kurang sesuai dengan asas keadilan, asas toleransi, dan

sebaginya. Dalam kenyataannya, pengelolaan Pura Subak Tegal tidak luput dari

Page 16: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

kontroversi, baik di kalangan internal pengelola maupun antara pengelola versus

pihak eksternal (Dhana, 2010).

Berdasarkan paparan mengenai pemaknaan Pura Subak Tegal sebagai alat

penguat kesatuan sosial, maka dapat disimpulkan bahwa disadari atau tidak oleh

para pihak terkait pengelolaan pura itu, pemaknaan tersebut pada dasarnya

merupakan wacana. Di satu sisi wacana tersebut memang perlu dimunculkan

terutama untuk tujuan membangun kesatuan sosial dalam suasana damai, nyaman,

dan tenteram di kalangan para pihak terkait pengelolaan pura tersebut. Namun di

sisi lain, wacana itu juga justru berpotensi untuk terjadinya fenomena yang

bertolakbelakang dengan tujuan tersebut, yakni terjadinya masalah konflik sosial.

Untuk menghindarkan dan/atau memecahkan masalah seperti itu, maka Pura

Subak Tegal sebaiknya dimaknai sebagai alat penguat kesatuan sosial di kalangan

para pihak terkait dengan pengelolaan pura tersebut.

2.2 Pura sebagai Tempat Memohon Kekuatan : Pemaknaan Berbasis

Keyakinan

Mencermati pemakaian istilah mathaksu dalam pernyataan Pasal 3

Anggaran Dasar Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai sebagaimana

telah dikutip di atas, tampaklah pura dimaknai sebagai tempat memohon

kekuatan. Adapun pemakaian istilah thaksu dalam pernyataan tersebut, yakni

”Agar Lokantara Parisudha Hindu Dharma ..... dapat menjadi ...... dan mathaksu

diperlukan adanya tali pengikat sekaligus sebagai Pancering jagat berupa

Parhyangan (Pura)”. Mathaksu adalah kata dalam bahasa Bali. Dalam Kamus

Bahasa Bali yang dikarang oleh Sri Reshi Anandakusuma (1986) terdapat istilah

taksu yang berarti ”suatu bangunan di pura untuk memohon kekuatan”.

Berdasarkan hal ini, maka mathaksu atau mataksu dapat diartikan mempunyai

kekuatan. Dengan demikian, pernyataan bahwa ”Agar Lokantara Parisudha

Hindu Dharma ..... dapat menjadi ...... dan mathaksu diperlukan adanya tali

pengikat sekaligus sebagai Pancering jagat berupa Parhyangan (Pura)” terlihat

mengandung arti bahwa pura diperlukan agar kelompok sosial tersebut

mempunyai kekuatan yang diyakini dapat diperoleh dengan memohon di pura.

Mengingat Pura Subak Tegal yang dijadikan tempat sembahyang oleh para

anggota kelompok sosial tersebut, maka pura itulah yang dimaknai sebagai tempat

memohon kekuatan bagi kelompokm sosial tersebut.

Page 17: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Selain itu, makna pura sebagai tempat memohon kekuatan juga terlihat

dari pemakaian istilah Pancering Jagat yang tertera dalam petikan Pasal 3

Anggaran Dasar di atas, bahwa pura diperlukan pura sebagai tali pengikat

sekaligus sebagai Pancering Jagat. Tampaknya kata pancering yang akar katanya

pancer dalam hal ini dipakai sebagai kata kias, karena kata tersebut mempunyai

arti ganda, yaitu ”akar tunggang” dan ”kemudi jukung atau perahu”(Sri Rsi

Anandakusuma :1986 : 137). Sedangkan jagat berarti ”negeri” (Sri Rsi

Anandakusuma, 1986 : 73). Sebagaimana diketahui fungsi akar tunggang (pancer)

adalah sebagai penguat atau pengokoh pohon yang bersangkutan, sedangkan

kemudi berfungsi sebagai pengendali atau pengarah, dan negeri (jagat) dapat

diartikan sebagai negara atau masyarakat. Berdasarkan kombinasi beberapa arti

istilah tersebut, maka pernyataan dalam petikan di atas dapat dilihat sebagai

pernyataan yang menunjukkan makna pura sebagai sumber kekuatan bagi

Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai agar dengan kekuatan

itu kelompok sosial kelompok sosial mampu mengikat, mengendalikan atau

mengarahkan masyarakat dalam rangka mencapai tujuannya. Kekuatan dalam

arti sebagaimana diterangkan di atas dimaksudkan juga untuk menjadikan

Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai sebagai kelompok

sosial yang tetap hidup kokoh.

Mengingat pemaknaan pura dalam hal ini berbasis pada keyakinan, maka

pernyataan tentang yang menunjukkan pemaknaan tersebut pada dasarnya dapat

dilihat sebagai sebuah teks atau disebut juga wacana. Artinya, bahwa pernyataan

tersebut tidaklah menggambarkan realita sebagaimana adanya, melainkan lebih

tepat dikatakan sebagai pernyataan yang menunjukkan harapan atau angan-angan

yang diyakini bisa terkabulkan dengan melakukan permohonan kepada Tuhan di

pura. Di satu sisi, hal ini memungkinkan untuk mengikat serta mengarahkan

warga masyarakat, terutama mereka yang berkeyakinan bahwa kekuatan bisa

diperoleh dengan memohonnya di pura. Orang-orang seperti inilah yang kiranya

lebih mudah terhegemoni oleh pernyataan yang menunjukkan makna pura sebagai

tempat memohon kekuatan, sehingga mereka dengan sukarela atau senang hati

melakukan tindakan berupa persembahyangan di pura untuk memohon kekuatan.

Mungkin saja mereka akan semakin terhegemoni jika kekuatan yang dimaksud

adalah kekuatan untuk memperoleh pelbagai barang, jasa, kedudukan, kekayaan,

Page 18: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

kewibawaan, kesaktian, dan lain-lain yang mereka perlukan untuk memenuhi

kehidupan mereka.

Sebaliknya di sisi lain, pernyataan tentang makna pura sebagai tempat

memohon kekuatan tersebut juga memungkinkan untuk ditanggapi dengan dengan

sikap permisif bahkan perlawanan, terutama oleh orang yang tidak terhegemoni

oleh pernyataan tersebut. Kemungkinan seperti ini bisa muncul dari orang yang

keikutsertaannya menjadi anggota kelompok sosial lebih dilatari oleh

keinginannya untuk memperoleh pelbagai hal dari sesama anggota kelompok

sosial tersebut. Dikatakan demikian, karena sebagaimana dikemukakan oleh

Soekanto (1983 : 111), bahwa timbulnya kelompok sosial karena manusia tidak

bisa sendirian memenuhi semua kebutuhannya yang sangat banyak dan/atau

sangat beragam. Terkait dengan hal ini, suatu himpunan manusia akan dapat

disebut kelompok sosial jika anggota-anggotanya secara bersama-sama memiliki

kepentingan, tujuan, ideologi, dan lain-lain.

Berdasarkan pemikiran Soekanto tersebut di atas, maka dapat dipahami

bahwa para anggota kelompok sosial akan bersinergi membangun kesatuan sosial

dengan melakukan kegiatan tertentu secara bersama-sama jikalau dengan

demikian mereka merasa yakin akan mendapat bahkan sudah mendapat banyak

hal yang dibutuhkannya. Oleh karena itu, agar pernyataan tenatng makna pura

sebagai tempat memohon kekuatan itu berdaya hegemonik yang memadai,

tampaknya pernyataan tersebut perlu diiringi dengan tindakan nyata yang kreatif,

yakni menciptakan pelbagai peluang yang memungkinkan bagi orang untuk

memperoleh apa yang dibutuhkannya. Hal ini penting karena, sebagaimana

diasumsikan dalam teori rasionalitas, bahwa setiap manusia pada dasarnya

rasional dengan selalu mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam

melakukan setiap tindakan, termasuk tindakan dalam melakukan gerakan sosial

(Basrowi dan Sukidin, 2003; dan Mustain, 2007). Sementara itu, teori tentang

“tindakan individu yang rasional” menyatakan bahwa individu-individu dalam

kehidupan bermasyarakat memiliki pertimbangan rasional dan kesadaran akan

adanya keuntungan yang dapat diperoleh melalui tindakan-tindakannya (Yunita,

1986). Demikian juga “teori insentif selektif” menjelaskan bahwa keikutsertaan

seseorang dalam suatu gerakan sosial banyak dipengaruhi oleh jenis, bentuk, dan

isi harapan-harapan yang bakal menguntungkan : insentif selektif (Mustain, 2007 :

49).

Page 19: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Jika Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai mampu

mengadakan peluang bagi para anggotanya untuk memperoleh apa yang mereka

butuhkan, maka para anggotanya akan lebih mendukung pelaksanaan program-

program kerjanya. Dikatakan demikian karena manusia pada era global sekarang

ini sudah dihinggapi oleh ideologi kapitaalisme yang menekankan pada perolehan

keuntungan. Dalam keadaan demikian manusia menganut apa yang oleh

Habermas (dalam Thompson, 2007), sebagai ”rasio instrumental), yang

mengarahkan pikiran manusia untuk menanggapi objek-objek sebagai alat untuk

memenuhi kebutuhan, kepentingan, tujuan, dan sebagainya sesuai dengan ideologi

yasng dianutnya, misalnya ideologi pasar yang bersifat materialistik atau

ekonomistik.

2.3 Pura sebagai Alat Pencitraan

Pemakaian istilah taksu dalam ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma

Bumi Dalung Permai sebagaimana diulas di atas, kiranya dapat pula dilihat

sebagai tanda bahwa pura dimaknai sebagai alat pencitraan, terutama jika dilihat

dengan menggunakan konsep taksu yang dikemukakan oleh Mantra (1993), yakni

sebagai berikut.

”Adalah kekuatan dalam, inner power, yang memberikan kecerdasan,keindahan, dan mujizat. Dalam kaitannya dengan pelbagai aktivitasbudaya Bali, taksu juga punya arti sebagai kreativitas budaya murni,genuine creativity, yang memberi kekuatan spiritual kepada seorangseniman untuk mengungkapkan dirinya ”lebih besar” dari kehidupansehari-harinya. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu apabila iamampu mentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yangditampilkannya dan muncul dengan stage presence yang memukau,sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakatpendukungnya” (Mantra, 1993 : 16-17).

Berdasarkan konsep taksu ini, maka pernyataan dalam ADRT Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai, bahwa ”agar kelompok sosial

tersebut mataksu maka diperlukan pura” terlihat berkontekstual dengan nama

kelompok sosial tersebut yang bernuansa keagamaan Hindu, yakni Parisadha

Hindu Dharma. Jika kelompok sosial ini tidak aktif melaksanakan aktivitas

keagamaan di pura yang merupakan tempat suci agama Hindu, maka bisa jadi

muncul citra atau kesan bahwa hanya namanya saja Parisudha Hindu Dharma

tetapi tidak melakukan aktivitas keagamaan Hindu. Keinginan untuk mencegah

Page 20: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

kemungkinan munculnya citra seperti inilah kiranya merupakan salah satu hal

yang melatari pemakaian istilah taksu dalam ADRT Lokantara Parisudha Hindu

Dharma Bumi Dalung Permai sebagaimana telah dikutip di atas.

Pencegahan citra yang tidak bagus seperti di atas dilakukan dengan

memakai kata atau istilah taksu itu juga terlihat untuk membangun citra yang

ideal, yakni dengan memaknai pura sebagai sumber taksu yang diperlukan

mengokohkan Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai. Dalam

hal ini taksu diyakini sekaligus diharapkan dapat memberikan kekuatan dahsyat

yang disebut kekuatan dalam (inner power). Inner power diyakini dan diharapkan

bisa bermanfaat untuk membangun kecerdasan, keindahan, mujizat, kreativitas,

sehingga mereka dapat menunjukkan diri ”lebih besar” dari kehidupan sehari-

harinya atau memiliki prestasi yang lebih berbobot dibandingkan prestasinya

yang mungkin terkesan tidak seberapa jika dilihat dari penampilannya sehari-

hari.

Pernyataan yang memakai istilah taksu untuk membangun citra dalam

ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai sebagaimana

dikutip di atas tampaknya bisa juga dilihat sebagai upaya untuk membangun citra

ideal, yakni agar kelompok sosial tersebut mampu memukau guna memperoleh

dukungan dari kalangan publik untuk membesarkan dan menguatkan kelompok

sosial tersebut. Hal ini tampak, terutama teks pada ADRT kelompok sosial itu

dicermati dengan menggunakan konsep taksu di atas, khususnya yang

menyatakan :

”Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu apabila ia mampumentransformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yangditampilkannya dan muncul dengan stage presence yang memukau,sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakatpendukungnya”.

Jika pengertian istilah taksu pada teks ini digunakan dalam

menginterpretasi pernyataan pada ADRT Lokantara Parisudha Hindu Dharmas

Bumi Dalung Permai sebagaimana telah dikutip di atas, maka dapat dikatakan

bahwa dengan pernyataan yang menunjukkan makna pura sebagai alat pencitraan

itu, tampaknya Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai hendak

menebar pesona. Pesona yang hendak ditebar dengan menyatakan bahwa agar

kelompok sosial itu ber-taksu maka diperlukan adanya pura. Dengan demikian,

pura dalam konteks ini dimaknai sebagai sumber taksu, yaitu innerpower yang

Page 21: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

bisa menjadikan kelompok sosial itu tampil mempesona, baik di hadapan para

anggotanya maupun di hadapan publik. Dalam keadaan terpesona atau terpukau

itulah orang diharapkan mau mendengar dan sekaligus mengikuti wacana tentang

segala sesuatu mengenai kelompok sosial itu, baik wacana yang ada di dalam

ADRT-nya maupun wacana yang dikembangkan dalam rangka pelaksanaan

program yang telah ditetapkan berdasarkan ADRT tersebut.

Di satu sisi wacana seperti itu tampak penting dan memungkinkan untuk

menarik simpati dalam rangka pengembangan kelompok sosial tersebut, karena

orang pada umumnya tertarik dan simpati kepada sesuatu yang unggul sehingga

berdaya terik tinggi atau memukau. Sebaliknya di sisi lain, hal itu juga bisa

menimbulkan antipati, terutama jika wacana tentang keunggulan itu tidak disertai

dengan tanda-tanda bukti nyata.

5.4 Pura sebagai Modal Ekonomi dan Penetral Kepentingan Umat Lain

Pengertian istilah modal ekonomidalam hal ini mengacu kepada konsep

modal menurut Pierre Bourdieu sebagaimana diulas oleh Harker dkk (t.t. 276),

yakni ”sesuatu yang dihargai masyarakat dan (oleh sebab itu) diperjuangkan

mereka”. Menurut Bourdieu, salah satu jenis modal adalah modal ekonomi, yaitu

modal yang cakupannya antara lain berupa tanah, pendapatan, benda-benda, dan

uang yang dengan mudah dapat digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan

dari satu generasi ke generasi berikutnya (Fahri, 2007 : 98).

Ada fakta-fakta yang menunjukkan pemaknaan pura sebagai modal

ekonomi oleh pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung terhadap

Pura Subak Tegal, terungkap dalam hasil penelitian Dhana (2010 : 149-151).

Dalam hasil penelitiannya itu dikemukakan bahwa keputusan Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai untuk ikut mengelola Pura Subak

Tegal berkaitan juga dengan pertimbangan ekonomis. Hal ini terlihat dari gagasan

yang dipakai dasar untuk mengambil keputusan ikut mengelola Pura Subak Tegal.

Gagasan tersebut adalah bahwa Pura Subak Tegal memang cocok untuk

memenuhi keperluan Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai

akan pura. Cocoknya pura tersebut karena jika kelompok sosial ini mendirikan

pura baru tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan sudah dapat

dibayangkan jumlahnya sekian kali lipat jika dibandingkan dengan biaya yang

diperlukan hanya untuk ikut mengelola Pura Subak Tegal.

Page 22: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Selain itu, jika kelompok sosial itu mendirikan pura khusus oleh dan untuk

mereka saja, maka selain perlu banyak biaya untuk mendirikannya juga

memerlukan biaya untuk merawat pura dan biaya untuk melaksanakan upacara

di pura tersebut secara rutin pada hari-hari tertentu. Jika hanya ikut mengelola

pura yang sudah ada, yakni Pura Subak Tegal, sudah dipastikan tidak perlu lagi

biaya pengadaan lahan dan biaya pembangunan pura baru. Lagipula biaya

perawatan dan upacara bisa ditanggung bersama Subak Tegal sehingga beban

biaya relatif jauh lebih ringan ketimbang biaya untuk perawatan pura khusus

untuk Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai saja.

Berdasarkan kenyataan itu terlihatlah gagasan dasar Lokantara Parisudha

Hindu Dharma Bumi Dalung Permai dalam proses pengambilan keputusan untuk

ikut mengelola Pura Subak Tegal terurai di atas mencerminkan pemaknaan

terhadap pura tersebut. Pura dalam hal ini dimaknai sebagai modal ekonomi yang

diharapkan dapat meringankan beban ekonomi mereka dalam rangka memenuhi

keperluannya akan pura sebagaimana telah ditegaskan dalam ADART-nya.

Pemaknaan Pura Subak Tegal seperti itu dipandang tidak hanya

bermanfaat bagi Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai saja,

melainkan juga bagi Subak Tegal, karena dengan demikian beban ekonomi Subak

Tegal untuk keperluan terkait puranya itu bisa berkurang. Artinya bahwa dengan

kehadiran Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai dalam

pengelolaan Pura Subak Tegal menyebabkan beban biaya perawatan dan beban

biaya upacara di pura itu diharapkan akan terbagi, sehingga mengurangi beban

ekonomi bagi Subak Tegal dalam mengelola puranya. Dengan demikian, baik

Subak Tegal maupun Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai

dalam konteks ini secara bersama-sama memperoleh penghematan untuk dalam

upaya pemenuhan keperluannya.

Hasil penelitian Dhana (2010 : 151-155) juga memaparkan fakta-fakta

yang menunjukkan bahwa pihak Lokantara parisudha Hindu Dharma Bumi

Dalung Permai memaknai Pura Subak Tegal sebagai alat untuk menetralkan

kemungkinan adanya kepentingan umat non-Hindu yang juga memrlukan lahan

untuk mendirikan tempat ibadahnya di Perumahan Bumi Dalung Permai. Jika

umat lain mendirikan tempat ibadah di kawasan perumahan tersebut, warga

Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai mengkhawatirkan diri

Page 23: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

mereka akan mengalami masalah. Logika mereka dalam hal ini dapat dicermati

dan diuilustrasikan sebagai berikut.

Munculnya pemaknaan terhadap Pura Subak Tegal sebagai alat penetral

kepentingan umat lain itu bermula ketika pihak Lokantara Parisudha Hindu

Dharma Bumi Dalung Permai menyadari bahwa jika mereka mendirikan pura

baru, maka mereka membutuhkan dana yang banyak, sedangkan sumber dana

untuk itu belum dapat mereka pastikan. Banyaknya dana yang dibutuhkan untuk

itu, baik untuk pengadaan lahan maupun untuk membangun pura, bahkan juga

untuk melakukan upacara secara berkala di pura tersebut. Berkaitan dengan ini, di

kawasan Perumahan Bumi Dalung Permai ada lahan untuk fasilitas sosial yang

disediakan oleh investor yang mengadakan perumahan tersebut, tetapi luasnya

dipandang terbatas. Lahan untuk fasilitas sosial tersebut bisa dimohon untuk

kepentingan kelompok penduduk setempat, sedangkan kelompok penduduk

menurut agama di perumahan tersebut bukan hanya kelompok umat Hindu,

melainkan juga kelompok umat Islan, Kristen, dan Budha. Jika pihak Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai memohon lahan tersebut dan juga

memohon dana bantuan kepada pihak terkait untuk mendirikan pura baru,

dikhawatirkan kelompok umat agama lain juga ikut mendirikan tempat ibadah di

kawasan perumahan tersebut dengan cara yang sama, sehingga luas lahan yang

diperoleh oleh pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai

tidak sesuai dengan keperluannya.

Suatu langkah yang menurut pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma

Bumi Dalung Permai strategis untuk mencegah apa yang mereka khawatirkan itu

adalah dengan ikut mengelola Pura Subak Tegal. Dipandang strategis karena

dengan ikut mengelola pura itu, pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi

Dalung Permai yakin bahwa pihaknya akan bisa mendapatkan sebagian dari lahan

(fasilitas sosial) yang disediakan oleh investor itu yang luasnya sesuai dengan

keperluan mereka. Logika mereka dalam hal ini adalah bahwa dengan ikut

mengelola Pura Subak Tegal, mereka bisa memohon dan mendapatkan lahan

fasilitas sosial itu bukan untuk membangun pura baru, tetapi untuk

mengembangkan pura yang sudah ada. Kalaupun dengan cara demikian, umat lain

juga akan memohon lahan untuk mendirikan tempat ibadah, maka pihak

Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai yakin akan bisa

menghalanginya dengan cara tidak menyetujuinya. Mereka yakin bisa

Page 24: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

menghalangi umat non-Hindu, karena mereka menganggap pihak umat lain itu

sebagai penduduk pendatang dari luar Bali yang dari segi jumlahnya merupakan

penduduk minoritas; sedangkan mereka sendiri sebagaimana dinyatakan dalam

Pembukaan Anggaran Dasar kelompok sosial itu (2000 : 1), merupakan penduduk

mayoritas di Perumahan Bumi Dalung Permai. Logikanya inilah yang ikut

mendorong pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai untuk

ikut mengelola Pura Subak Tegal dalam rangka memenuhi kepentingan mereka.

Dengan demikian, tampaklah pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi

Dalung Permai dalam hal ini memaknai Pura Subak Tegal sebagai alat penetral

kepentingan umat lain yang diperkirakan dan/atau dikhawatirkan bisa muncul di

Perumahan Bumi Dalung Permai.

Gagasan Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai terurai

di atas menarik untuk dicermati lebih jauh, karena gagasannya itu mencerminkan

mereka secara sadar atau tidak sadar hendak melarang umat non-Hindu

membangun tempat ibadah menggunakan fasilitas sosial yang pada dasarnya

diperuntukkan bagi semua warga masyarakat setempat. Hal seperti ini berpeluang

untuk menimbulkan perebutan sumber daya berupa fasilitas sosial tersebut, yang

busa juga berlanjut dengan persaingan yang menimbulkan masalah konflik sosial.

Hal ini bisa terjadi karena semua orang mengetahui bahwa Pasal 29 Undang-

Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti orang tidak oleh melarang pihak

lain untuk mendirikan tempat ibadah tanpa alasan yang sah menurut ketentuan

hukum yang berlaku.

Dicermati dengan berpegang pada konsep mayoritas dan minoritas

sebagaimana dikemukakan Leliweri (2005), gagasan pihak Lokantara Parisudha

Hindu Dharama Bumi Dalung Permai terurai di atas menunjukkan sikap mereka

yang hendak memposisikan diri mereka sebagai golongan mayoritas di

Perumahan Bumi Dalung Permai, dan sebaliknya penduduk non-Hindu yang

jumlahnya lebih kecil hendak diposisikannya sebagai golongan minoritas di

perumahan tersebut. Selain itu, secara sadar atau tidak sadar mereka mempunyai

rasa khawartir dan mencurigai umat non-Hindu itu sebagai golongan minoritas

yang mempunyai keinginan dan rencana untuk membangun tempat ibadah

dengan menggunakan lahan yang disediakan oleh investor sebagai fasilitas sosial

Page 25: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

di Kawasan Parumahan Bumi Dalung Permai. Hal ini dikhawatirkan dapat

mengurangi keuntungan ekonomis yang hendak mereka raih dengan memohon

lahan tersebut untuk keperluan mereka sendiri, yakni keprrluan akan pura.

Lebih jauh, gagasan pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi

Dalung Permai terurai di atas juga terlihat mencerminkan bahwa sebagai golongan

mayoritas mereka secara sadar atau tidak sadar merasa lebih berkuasa di

Perumahan Bumi Dalung Permai. Oleh karena itu mereka merasa mempunyai

status sosial yang tinggi dan karena itu pula mereka mempunyai hak dan harga

diri yang harus dihormati oleh orang lain. Berdasarkan identitas diri mereka itu

juga mereka merasa sebagai pihak yang superior di hadapan umat non-Hindu

yang hendak diposisikannya sebagai golongan imferior.

Dicermati dengan mengacu Sudagung (2001), gagasan Lokantara

Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai terurai di atas juga mencerminkan

adanya prasangka stereotipe mereka terhadap umat non-Hindu. Akibatnya mereka

sebagai golongan mayoritas dan superior mengembangkan paham ”kekamian”

dan ”kemerekaan” sehingga mereka menganggap umat non-Hindu sebagai pihak

yang berlainan daripada diri mereka. ”Kami” adalah orang Hindu Bali, dan

”mereka” adalah orang non-Hindu dan bukan orang Bali melainkan orang asing,

pendatang atau tamu. Dengan mengikuti pendapat Cahyadi (2004), anggapan

seperti itu terlihat bersifat oposisi biner yang memperlawankan diri sendiri atau

kelompok sendiri dengan orang atau kelompok lain. Oleh karena itu,

mendominasi dan mendiskriminasi orang lain itu secara sosial, budaya, ekonomi,

dan politik dianggap sebagai sikap yang sah.

Page 26: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

BAB II

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

Simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian sebagaimana dipaparkan

di atas adalah bahwa peran aktif masyarakat nonpetani yang terhimpun dalam

kelompok sosial bernama Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung

Permai dalam pengelolaan Pura Subak Tegal yang berdiri di kawasan Perumahan

Bumi Dalung Permai, Kuta Utara dilatari oleh beragam makna yang mereka

berikan kepada pura tersebut. Adapun beragam makna pura tersebut adalah

sebagai alat penguat kesatuan sosial secara internal, tempat memohon kekuatan,

alat pencitraan, modal ekonomi dan penetral kepentingan umat lain.

3.2 Saran

Saran yang dapat diajukan atas dasar hasil penelitian ini adalah bahwa

dalam rangka mengimplementasikan falsafah Tri Hita Karana yang telah

dinyatakan sebagai landasan bagi kelompok sosial Lokantara Parisudha Hindu

Dharma Bumi Dalung Permai yang beranggotakan warga nonpetani, sebaiknya

mereka mengubah pemaknaan yang mereka lakukan terhadap Pura Subak Tegal

sebagaimana telah dikemukakan dalam simpulan di atas. Adapun perubahan

pemaknaan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Makna pura sebagai alat penguat kesatuan sosial secara internal, sebaiknya

diubah menjadi pura sebagai alat penguat kesatuan sosial di kalangan para

pihak terkait atau hendak dilibatkan dengan pengelolaan Pura Subak

Tegal.

2. Makna pura sebagai tempat memohon kekuatan hendaknya diiringi dengan

upaya kreatif yang nyata agar tujuan yang melatari keikutsertaan orang

menjadi anggota kelompok sosial itu dapat dipenuhi.

3. Makna pura sebagai alat pencitraan sebaiknya diiringi dengan sikap dan

perilaku yang sesuai dengan citra yang hendak dibangun.

4. Makna pura sebagai modal ekonomi dan penetral kepentingan orang lain

sebaiknya diikuti dengan perilaku yang tidak merugikan pihak manapun.

Page 27: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Dengan demikian, keharmonisan hubungan mereka dengan sesama manusia

yang dalam konteks Tri Hitas Karana disebut pawongan dapat diwujudkan.

DAFTAR PUSTAKA

Page 28: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Barker, Chris. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta : PT BentangPustaka.

Barker, Chris. 2014. Kamus kajian Budaya. Yogyakarta : Kanisius.Cahyadi, Haryanto. 2004. ”Keterlemparan Manusia dalam Dunia Ambigu”, dalam

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed.), HermeneutikaPascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta : Kanisius. Halaman 31-60.

Dhana, I Nyoman. 2010. Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus IdeologiPasar pada Masyarakat Multikultural : Studi Kasus PengelolaanPura Subak Tegal di Perumahan Bumi Dalung Permai, Kuta Utara.Disertasi Program Studi Doktor Universitas Udayana.

Fashri, Fauzi, 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif PemikiranPierre Bourdieu. Yogyakarta : Juxtapose.

Harker, Richard. t.t. ”Bourdieu-Pendidikan dan Reproduksi”, dalam (Habitus xModal) + Ranah = Praktik (Richard Harker, ed.; Pipit Maizier,penerjemah). Yogyakarta : Jalasutra. Halaman 109-138.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok :Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Irawan, Prasetya. 2006. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta :Penerbit Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat. 1984. “Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesiadalam Pembangunan”. Dalam Koentjaraningrat (red.), Manusia danKebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan. Halaman 367-388.

Leliweri, A. 2005. Prasangka dan Etnik Komunikasi Lintas Budaya MasyarakatMultikultur. Yogyakarta: LKiS.

Mantra, Ida Bagus. 1993. Bali masalah Sosial Budaya dan Modernisasi (SukayaSukawati, ed.). Denpasar : Penerbit PT Upada sastra.

Mely G. Tan. 1989. ”Masalah Perencanaan Penelitian”. Dalam Koentjaraningrat(ed.) Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PTGramedia. Halaman 14-43.

Miles, M.B. dan A.M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumbertentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohindi, penerjemah). Jakarta :Penerbit Universitas Indonesia.

Moleong, J Lexy. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : RemajaRosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Penerbit PTRemaja Rosdakarya.

Mustain. 2007. Petani VS Negara Gerakan Sosial Petani Melawan HegemoniNegara. Yogyakarta : AR-Ruzz Media.

Pitana dan I Gede Setiawan. 2005. “Keterhimpitan Subak dalam Derasnya ArusPerdagangan Bebas’, dalam Revitalisasi Subak dalam Memasuki EraGlobalisasi (Pitana dan I Gede Setiawan AP, ed.). Yogyakarta :Penerbit Andi. Halaman xuuu-xix.

Satori, Djaman dan Aan Komariah. 2009. Metodologi penelitian Kualitatif.Bandung : Penerbit Alfabeta.

Sri Reshi Anandakusuma. 1986. Kamus Bahasa Bali. Denpasar : CV. Kayumas.Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Penerbit Sinar

Harapan.

Page 29: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Susanto, Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta :Binacipta.

Sutawan, Nyoman. 2005. “Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi PerliuUpaya Pelestarian dan Pemberdayaan Secara Lebih Serius”, dalamRevitalisasi Subak dalam Memasuki Era Globalisasi (Pitana dan IGede Setiawan AP, ed.). Yogyakarta : Penerbit Andi. Halaman 1-18.

________ . 1993. “Strategi Pengembangan Subak sebagai Lembaga IrigasiTradisional di Bali’ dalam dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional diBali Sebuah Canangsari (Pitana, ed.). Denpasar : Penerbit UpadaSastra. Halaman 33-48.

Sudagung, H.S. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis Migrasi Swakarsa EtnisMadura ke Kalimantan Barat. Yogyakarta: ISAI.

Soekanto, Soerjono. 1983. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV Rajawali.Thompson, John B. 2007. Analisis Ideologi, Kritik Wacana Ideologi-Ideologi

Dunia (Haqqul Yaqin, penerjemah). Yogyakarta : IRCiSoD.Yunita, T Winarto. 1986. “Perberdaan Antara Interpretasi Neofungsionalisme dan

Tindakan Individu yang Rasional”, dalam Berita Antropologi.Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Indonesia. Jakarta. Halaman 66-80

Kamus :

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. 2005. Jakarta : Pusat BahasaDepartemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.

Surat Kabar :

Bali Post, 9 Desember 2006, halaman 13.Bali Post, 24 Pebruari 2007, halaman 13.Bali Post, 17 Nopember 2007, halaman 13.

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pedoman Wawancaraa. Latar Belakang Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi

Pasar Menggunakan Pura Subak Tegal sebagai Simbol dan ArenaPerjuangan

Page 30: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

1. Bagaimana pemikiran pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma BumiDalung Permai terkait dengan perlunya revitalisasi ideologi Tri Hita Karanaversus ideologi pasar?

2. Mengapa Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permai ikutmengelola Pura Subak Tegal?

3. Bagaimana pemikiran pihak Subak Tegal mengenai keberadaan Pura SubakTegal terkait dengan jumlah anggotanya yang banyak berkurang akibatpenjualan dan alih fungsi sawahnya?

4. Mengapa pihak Subak Tegal mengajak Lokantara Parisudha Hindu DharmaBumi Dalung Permai mengelola Pura Subak Tegal?

b. Strategi Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana versus Ideologi Pasarpada Masyarakat Multikultural

1. Langkah-langkah apa yang menurut pihak Lokantara Parisudha HinduDharma Bumi Dalung Permai perlu dilakukan dalam rangka revitalisasiideologi Tri Hita Karana versus ideologi pasar pada masyarakatmultikultural di Perumahan Bumi Dalung Permai?

2. Mengapa langkah-langkah itu dianggap penting?3. Langkah-langkah apa yang menurut pihak Subak Tegal perlu dilakukan dalam

rangka pengelolaan Pura Subak Tegal bersama Lokantara Parisudha HinduDharma Bumi Dalung Permai?

4. Mengapa langkah-langkah itu dianggap penting?

c. Implikasi Revitalisasi Ideologi Tri Hita Karana Versus Ideologi Pasarpada Masyarakat Multikultural

1. Masalah apa saja yang terjadi sebagai implikasi langkah-langkah yangdilakukan pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma Bumi Dalung Permaibersama pihak Subak Tegal dalam rangka pengelolaan Pura Subak Tegal?

2. Apa saja yang dilakukan pihak Lokantara Parisudha Hindu Dharma BumiDalung Permai dalam menangani masalah yang muncul sebagai implikasikegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelumnya dalam pengelolaan Pura subakTegal?

3. Mengapa hal itu dilakukan?4. Apa saja yang dilakukan pihak Subak Tegal dalam menangani masalah yang

muncul sebagai implikasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelumnyadalam pengelolaan Pura subak Tegal?

5. Mengapa hal itu dilakukan?

Lampiran 2 : Daftar Informan

No. Nama Pekerjaan Alamat1. Drs. I Nyoman Widya, .Si. Pegawai Negeri

SipilDusun Taman Tira,Dalung

2. Ir. I Wayan Suratnya, M.M. Pegawai NegeriSipil

Dusun CampuanAsri, Dalung

3 I Wayan Sumawa Swasta Lingkungan BlubuhSari, KerobokanKaja

4 I Wayan Ginantra, S.H Pegawai Negeri Dusun Campuan

Page 31: LAPORAN PENELITIAN MAKNA PURA SUBAK BAGI … · pengelolaan Pura Subak Tegal yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya sehingga wujud fisik dan aktivitas keagamaan di pura

Sipil Asri, Dalung5 I Nyoman Bendiyasa Pegawai Negeri

SipilLingkungan BuanaShanti, KerobokanKaja

6 I Gusti Putu Suparta Pegawai NegeriSipil

Dusun SuksmaBakti, Dalung

7 Ida bagus Subali Pegawai NegeriSipil

Lingkungan BuanaShanti, KerobokanKaja

8 I Made Arya Santosa Swasta Lingkungan SuryaBhuana, KerobokanKaja

9 Ir. I Made Suarnata Swasta Tegal Permai,Kerobokan Kaja

10 A.A Oka Saputra, S.H. M.H. Pegawai NegeriSipil

Lingkungan TegalPermai, KerobokanKaja

11 Pemangku Pura Subak Tegal Rohaniawan Dusun Taman Tirta,Dalung

12 I Gusti Ketut Setiawan Pensiunan Polisi/Petani

Lingkungan Jambe,Kerobokan Kaja

13 Nyoman Rina Petani Lingkungan Anyar,Kerobokan Kaja