Pura Kahyangan Tiga

41
 TINJAUAN TEORI A. PENGERTIAN PURA KHAY ANGAN TIGA 1. Pur a untuk tempat pemu jaan war ga sede sa yang ler dir i dar i beber apa banjar disebut Kahyangan Tiga, tiga unit pura yang merupakan bagian dari desa. Da- lam pengertian desa adat di Bali, T ri Hita Karana perwu judan suatu desa. T ri Hit a Kha rana tig a unsur ya ng men jadi kan ada ny a Des a, mas ing -rna sing Kahyangan Tiga sebagai jiwanya Desa, Desa Pakraman teritorial Desa sebagai isik Desa dan !ima Krama atau warga Desa sebagai tenaga Desa. Dengan ada nya ket iga uns ur jiwa, isi k dan tenaga , sempurnal ah suat u kehidu pan manusia, ke"uarga, desa atau wi#ayah. Kahyangan Tiga, masing-masing Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dengan ungsinya masing-masing sebagai tempat pemujaa n Tu han $ a ng %aha &sa dal am man ie stas iny a sebaga i Brahma, 'isnu dan !iwa. Pura Desa dan Pura Puseh terletak di pusat Desa di  bagian (oning utama, kaja kangin dari perempatan pusat desa. Pura Dalem terletak di dekat kuburan di bagian teben Desa pada arah kelod atau kelod kauh. PURA DESA Tempatnya di pusat desa di bagian kaja kangin dari perempatan desa da lam pe ka ra ng an yang di ba ta si te mb ok pe ny engk er. Tata (oni ng  pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba s isi, jaba tengah dan jeroan. Bagian utamanya adalah Bale )gung sehingga ada juga yang menyebutnya Pura Bale )gung. bangunan Bale Kulkul merupakan bangunan yang menempati sudut- sudut depan pekarangan Pura. Bangunan wantilan dengan luas yang *ukup  besar dibangun di jaba sisi untuk kegiatan bersama pada upa*ara di Pura Desa. Pintu masuk memakai +andi Bentar dari aba sisi ke aba tengah dan Kori )gung dari aba tengah ke eroan. )da pula yang dilengkapi pintu betelan kea rah samping untuk hubungan dengan bangunan bangunan samping.  PURA PUSEH Tempatnya di pusat Desa berdekatan atau menjadi satu bersebelahan dengan Pura Desa. Tata (oning pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba 1

description

PENGERTIAN PURA KHAYANGAN TIGAPURA DESAPURA PUSEH PURA DALEMJENIS BANGUNAN DAN FUNGSINYA BENTUK BAGIAN – BAGIANASTA KOSALA KOSALI dan ASTA BUMIARTI DAN MAKSUD RAGAM HIAS

Transcript of Pura Kahyangan Tiga

PURA KHAYANGAN TIGA

TINJAUAN TEORIA. PENGERTIAN PURA KHAYANGAN TIGA1. Pura untuk tempat pemujaan warga sedesa yang lerdiri dari beberapa banjar disebut Kahyangan Tiga, tiga unit pura yang merupakan bagian dari desa. Dalam pengertian desa adat di Bali, Tri Hita Karana perwujudan suatu desa. Tri Hita Kharana tiga unsur yang menjadikan adanya Desa, masing-rnasing Kahyangan Tiga sebagai jiwanya Desa, Desa Pakraman teritorial Desa sebagai fisik Desa dan Sima Krama atau warga Desa sebagai tenaga Desa. Dengan adanya ketiga unsur jiwa, fisik dan tenaga, sempurnalah suatu kehidupan manusia, ke]uarga, desa atau wiIayah. Kahyangan Tiga, masing-masing Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem dengan fungsinya masing-masing sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Brahma, Wisnu dan Siwa. Pura Desa dan Pura Puseh terletak di pusat Desa di bagian zoning utama, kaja kangin dari perempatan pusat desa. Pura Dalem terletak di dekat kuburan di bagian teben Desa pada arah kelod atau kelod kauh. PURA DESA

Tempatnya di pusat desa di bagian kaja kangin dari perempatan desa dalam pekarangan yang dibatasi tembok penyengker. Tata zoning pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Bagian utamanya adalah Bale Agung sehingga ada juga yang menyebutnya Pura Bale Agung. bangunan Bale Kulkul merupakan bangunan yang menempati sudut-sudut depan pekarangan Pura. Bangunan wantilan dengan luas yang cukup besar dibangun di jaba sisi untuk kegiatan bersama pada upacara di Pura Desa. Pintu masuk memakai Candi Bentar dari Jaba sisi ke Jaba tengah dan Kori Agung dari Jaba tengah ke Jeroan. Ada pula yang dilengkapi pintu betelan kea rah samping untuk hubungan dengan bangunan bangunan samping. PURA PUSEH

Tempatnya di pusat Desa berdekatan atau menjadi satu bersebelahan dengan Pura Desa. Tata zoning pekarangannya di bagi dua atau tiga, jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Pekarangannya ada yang merupakan area tersendiri. Umumnya Pura Desa (Bale Agung) di tempatkan di bagian depan dari Pura Puseh, ada pula yang bersisian kea rah samping. Di beberapa Desa ada yang menata kahyangan tiganya dengan pola pola khusus di luar ketentuan tradisional yang berlaku umum

PURA DALEM

Tempatnya di dekat kuburan di tepi Desa atau di luar Desa. Pekarangan pura dibatasi tembok penyengker sekelilingnya dengan candi bentar di depan dan kori agung di jeroan. Bangunan pemujaan lainnya yang merupakan hulu juburan adalah praja pati. Kahyangan tiga masing masing Pura Desa untuk pemujaan dewa Brahma, Pura Puseh untuk pemujaan Dewa Wisnu dan Pura Dalem untuk pemujaan Dewa Siwa.

Bangunan bangunan utama seperti Bale agung, Pelinggih Puseh, Pelinggih Dalem, dan beberapa pelinggih lainnya ada di semua Khayangan Tiga.

Bangunan bangunan tambahan atau pelengkap lainya disesuaikan dengan keadaan masing masing Desa yang merupakan bagian dari Khayangan Tiga.

2. Temples and other places of worship are always build in a special direction: sea direction (South) means kelod, and Gunung Agung direction (North) means kaja. Even the place of the bed in the bedroom is stipulated by this axis. The head shall be lead down in the kaja direction.

Every villages have at least three temples: Pura Dalem, the temple of the dead, at Kelod direction outside the village. Pura Desa, the village temple, in the middle of the village. Dedicated to god Wishnu. Pura Puseh, the temple of origin, dedicated to the ancestors and the gods, at Kaja direction.

3. Village temples: Kahyangan Tiga

There are the following three temples in nearly every village. They are called the Kahyangan Tiga, the Three Great Temples, and are said to have been initiated by Empu Kuturan, the legendary Javanese priest in the 11th century:

Pura Puseh

in the mountainward kaja area devoted to the founders of the village and dedicated to Wisnu, god of water, called the Origin or Navel Temple.

Pura Desa

in the centre of the village, at the village courtyard or main crossroads, devoted to the affairs of the village, men in other words, where the banjar meets and dedicated to Brahma.

Pura Dalem

in the seaward kelod area, devoted to the souls of the dead but not yet cremated, and dedicated to Siwa or his wife, Durga, called the Death or the Underworld Temple.

B. JENIS BANGUNAN DAN FUNGSINYA

1. CANDI BENTAR

Merupakan pintu masuk, batas wilayah antara jaba sisi/luar (Nista Mandala) dengan areal luar. Juga merupakan pintu masuk, yang menentukan batas wilayah antara jaba sisi (Nista Mandala) dengan Jaba Tengah (Madya Mandala). Ruangan/pintu candi bentar dibuat agak lebar, dimaksudkan agar umat dapat lebih banyak masuk ke jaba tengah sekaligus. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya.

2. KORI AGUNG (CANDI KURUNG)

Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara Jaba Tengah (Madya Mandala) dengan Jeroan (Utama Mandala).

Ruang/pintu tempat masuknya sengaja dibuat kecil, hanya cukup untuk satu orang, di atasnya terdapat ukiran berbentuk Kala (Boma), di jaga oleh dua buah patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian bahwa untuk masuk ke Utama Mandala tidak setiap orang bebas dengan leluasa melainkan hanya satu persatu, maksudnya agar mereka yang hendak masuk ke Utama Mandala supaya benar-benar orang yang sudah satu antara Bayu (tenaganya), Sabda (perkataanya), Idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.

Kala berarti waktu, maksudnya hanya dalam keadaan dan waktu tertentu seseorang yang telah satu Bayu, Sabda dan Idepnya dapat masuk ke Utama Mandala, misalnya tidak dalam keadaan cuntaka. Hanya dalam keadaan suci, bersih lahir batin orang boleh masuk Utama ke Mandala.

Boma merupakan simbul hutan belantara di lereng gunung dan puncak gunungnya adalah puncak Padmasana (Mandara Giri) sebagai tempat stana Tuhan. Dalam Lontar Awig-awig Krama Desa dijelaskan bahwa orang yang telah masuk ke Utama Mandala dilarang untuk berbicara, bercakap-cakap, lebih-lebih mengucapkan kata-kata kasar, dilarang bercanda dan dianJurkan hanyalah mengumandangkan lagu-lagu keagamaan seperti kidung Wargasari atau mantram suci. Kalau tidak bisa melagukan kidung sebaiknya diam diiringi dengan peranayama.

Jika masih ingin berbicara, bercakap-cakap, berdiskusi sudah disiapkan tempat istirahat di Jaba Tengah atau Jaba Sisi untuk berdharma tula.

Demikian pula Dwara Pala (Penjaga Pintu) berfungsi untuk membatasi/menentukan spiritual umat yang masuk ke Utarm Mandala, apakah mereka sudah siap atau belum untuk menyembah Tuhan/Yang Widhi secara bulat.

3. PADMASANA

Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga teratai; dan Asana berarti sikap dalam yoga atau sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu simbul kesucian dalam agama Hindu, karena teratai ini walaupun hidup dalam lumpur namun tak sedikitpun lumpur dapat menempel pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan simbul bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan (noda).

Teratai ini berhelai mahkota bunga delapan buah (asta dala), dijadikan simbul stana Asta Dewata (delapan manifestasi Prabhawa Hyang Widhi). Bunga Padma (8 helai) dengan sarinya menunjukkan sembilan arah yang dikaitkan dengan Dewata Nawa Sangga dengan wijaksaranya Sang-Bang-Tang-Ang-Ing-Nang-Mang-Sing-Wang-Yang. Atau di suarakan pula dengan: Sa-Ba-Ta-A-I-Na-Ma-Si-Wa-Ya.

Bangunan suci ini disebut Padmasana karena memang pada bagian atas (tempat duduk) bangunan terdapat lambang Padma.

BENTUK BANGUNAN PADMASANA:Sebagai dasar adalah bunga teratai (Padma), di atasnya disangga oleh empas/kurma (Bedawang Nala) kemudian dibelit/dipegang oleh Naga Anantabhoga dan Naga Basuki. Di atasnya, pepalihan dasar, madya dan puncak yang penuh dengan ornamen seperti karang asti/gajah, karang paksi/goak, pai dan bermacam-macam patra.

Paling atas berbentuk kursi (tempat duduk) Asana dan pada bagian belakang bangunan terdapat patung Garuda dan Angsa.

Bila dikaitkan dengan Upa Weda yaitu Itihasa, maka bangunan Padmasana adalah lambang gunung dalam usaha Dewa dan Raksasa untuk mendapatkan tirta amerta yaitu air suci yang menyebabkan hidup kekal.

Pemutaran Mandara Giri di Ksira Arnawa, oleh para Dewa dan Yaksa di mana Dewa Wisnu berawatara menjadi Kunna (empas) untuk menyangga agar Gunung Mandara tidak tenggelam, dan agar gunung tidak lepas/pecah, maka Basuki dan Anantabhoga yang membelitnya. Anantabhoga sebagai simbul pangan (makanan yang tak terhingga) dan Basuki sebagai simbul air yang mengalir dari gunung. Terdapat berbagai jenis binatang dan tumbuh-tumbuhan yang dilukiskan dengan karang asti, pai, dan patra. Garuda sebagai lambang pembebasan dari keterikatan, diambil dari metologi Garuda mencari tirta amertha ke sorga untuk membebaskan ibunya dari perbudakan dengan jalan Garuda siap menjadi wahana Dewa Wisnu.

Pada bagian atas dibuatlah seperti tempat duduk (asana) yang tidak beratap sebagai simbul bahwa kekuasaan Hyang Widhi tidak terbatas.

Lambang Acintya adalah sebagai simbul Hyang Widhi yang tidak terpikirkan. Acintya berbentuk seperti manusia yang luar biasa, setiap ruasnya memakai senjata (bunga api) dan berdiri di atas kaki kiri. Kiri sebagai simbul pradana atau sakti sehingga lis sebelum dipakai diberi kekuatan dengan tangan kiri.

Dengan demikian bentuk Padmasana adalah simbul pemutaran Mandara Giri untuk mendapatkan tirta amertha atau air suci (hidup kekal abadi) bagi siapa saja yang meminumnya.

Jadi hidup abadi adalah bersatu dengan Sang Pencipta, maka hendaklah manusia mencari dan memuja Tuhan melalui Padmasana.

FUNGSI PADMASANA:Padmasana berfungsi sebagai: 1) Stana Hyang Widhi dalam segala manifestasinya. 2) Tempat memuja Hyang Widhi dalam berbagai fungsi-Nya, dalam wujud Ista Dewata atau dalam wujud Sadha Siwa dengan segala manifestasiNya dan sakti beliau.

Dalam Lontar Wrespati Tatwa disebutkan: "Sawyaparah: Bhatara Sadasiwa sira, hana Padmasana pinaka palungguhan ira, aparan ikang Padmasana ngaranya: sakti nira, sakti ngaranya, wibhusakti, prabhusakti, jnana sakti, kriya sakti, nahan yang cadu sakti, ngaranya. Nahan yang cadu sakti ngaranya padmakara, ri madyan ika, mangkana ta palungguhan Bhalara, kalan ira masarira, matratma ta sira, mantra pinaka sariranira, Isana murdhanya, Tat purusa waktraya, Aghora hrdayaya, Bamadewa guhyaya, Sadyojata murti ya, AUM, nahan pinaka sarira Bhatara." (13- 14) Maksudnya:Tuhan Sadasiwa ialah sawyaparah (bersenyawa dengan hukum kemahakuasaan-Nya). Ada Padmasana sebagai singgasanaNya. Apakah yang dimaksud Padmasana? Yaitu sakti (kemahakuasaan)Nya meliputi Wibhusakti, Prabhusakti, Jenyanasakti, Kriyasakti. Itulah yang disebut Cadu Sakti. Cadu Sakti inilah yang disimbulkan berbentuk seroja, di tengahnya itulah singgasana Tuhan Sadasiwa pada waktu Beliau mengambil wu*jd. Mantratmalah Beliau, yakni mantra sebagai badanNya, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagal muka, Aghora sebagal hati, Bhamadewa sebagai anggota rahasia dan Sadhyajata sebagal bentukNya, itulah yang menjadi wujud Beliau.

4. PANGLURAH/PENGRURAH

Bangunan Anglurah/Pengrurah ini berbentuk Tugu. Dibuat dari batu cadas dan bata merah. Bangunan ini berfungsi untuk pelinggih (stana) Pangelurah, iringan, atau pengawal para Dewa, yang dipuja pada hari raya seperti pada PuJawali, Purnama, Tilem dan hari raya lainnya.

Pelinggih ini selalu ada di setiap Pura, karena Dewa-dewa yang dihadirkan, di puja dalam setiap pemujaan/hari raya selalu disertai oleh iringan, pengawal, dan Pangrencang.

5. BALE PAPELIK/PENGARUMAN

Pepelik/Pengaruman ini berbentuk seperti rumah beratapkan ijuk. Bangunan ini berfungsi untuk menstanakan para dewa yang dimohon/dipuja untuk hadir pada waktu upacara Pitiawali atau pada hari raya lainnya seperti hari raya Galungan, Kuningan, Saraswati dan sebagainya.

Pada upacara Pujjawali, Bale Pepelik/Pengaruman ini di pergunakan untuk menempatkan pratima/tapakan/pelinggih Bhatara dari Pura-pura lain yang hadir pada waktu upacara Pujawali.

6. TAMAN SARI Taman sari merupakan salah satu pelinggih yang menjadi bagian dari bangunan Pura. Pelinggih Taman Sari ini terletak di areal jeroan.

Dilihat dari nama Pelinggih ini terdiri dari dua suku kata yaitu Taman berarti tempat yang indah di mana terdapat sari yang berarti bunga atau kembang.

Bangunan ini berfungsi sebagai tempat PemuJaan Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pancaka Tirta. Di tempat inijuga memohon Tirta Amartha atau air suci yang dapat memberikan sumber kehidupan dari segala yang hidup di dunia ini. Air suci dari Taman Sari ini dialirkan ke dalam telaga atau kolam melalui pancoran yang disebut Beji

7. PELINGGIH BEJI

Beji adalah tempat pensucian pratima. Pelinggih Beji ini berbentuk tugu atau Padmasari, tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Sang Hyang Taya. Yang mempunyai fungsi sebagai pembersih, penyuci segala leteh (kotoran), mala petaka, sebel (kotor) dan lain-lain.

Tirtha yang diambil (dimohon) dari Beji pada umumnya dipergunakan sebagai penglukatan, pembersihan untuk melukat (pembersihan) banten (sajen) dan juga sebagai pamarisuda umat yang hendak melaksanakan persembahyangan di Pura. BaleEach courtyard may have several little pavillions called bale. These bale may be as simple as a roofed structure supported by four pillars with cement or stone floors. For a village temple, the orchestra will be housed in one of these bale.

8. BALE PAWEDAN

Bale Pawedan merupakan bagian bangunan suci yang ada di Pura (Jeroan). Bale artinya tempat atau bangunan, Pawedan artinya pemujaan.

Fungsi Bale Pawedan dilihat dari artinya adalah sebagai tempat pemujaan oleh Pandita, Pinandita atau Sulinggih pada saat Pujawali atau pada hari-hari suci lainnya.

Bale Pawedan sering ditafsirkan hanya semata-mata tempat duduk Pandita, Pinandita atau Sulinggih dalam pengertian orang. Padahal yang berstana di Bale Pawedan adalah Dewa Siwa, pada waktu Pandita, atau Sulingglh memula/maweda, karena Pandita saat memuja Beliau menstanakan Dewa Siwa dalam dirinya.

Dari sisi lain peralatan yang digunakan Pandita, atau Sulinggih disebut Siwa Karana, itu sebagai pertanda/simbul bahwa yang berstana disana adalah Siwa.

KulkulKulkul is a hollow log that functions similar to a church bell; it is used to call together the village community. In a village temple, it is usually housed in a tower whose base is elaborately decorated with carvings. Sounding the kulkul has its own language; different rhythms of hitting the kulkul will communicate different reasons for the gathering of the village.

9. BALE KULKUL

Secara umum kulkul (kentongan) mempunyai fungsi untuk memberikan isyarat tertentu kepada masyarakat. Misalnya: Kulkul Desa (Banjar) berfungsi sebagai syarat atas kejadian tertentu di desa tersebut sesuai dengan irarna suara kulkul itu, seperti irama (suara) sebagai tanda untuk kerja bakti, irama sebagai tanda terjadi kebakaran dan sebagainya. Sedangkan untuk di Pura bunyi kulkul berfungsi sebagai isyarat:

umat/warga pengempon siap untuk ngayah/kerja bakti,

pada hari Pujawali, upacara melis/mesucian slap dilakukan tepat waktu, sehingga umat yang hendak ikut melis bisa segera bergabung.

upacara Pujawali mulai, agar masyarakat/umat siap sedia baik yang masih di luar agar segera masuk ke Pura untuk ikut ambil bagian dalam upacara Pujawali.

ada Pratima yang rawuh/datang agar para petugas (tukang banten, pemangku) yang memendak segera melaksanakan tugasnya.

pratima dari suatu Pura meninggalkan Pura tersebut dan pengiring yang masih ada di sekitar Pura agar segera bersiap/ bergabung untuk mepamit (pulang).

upacara Piodalan telah berakhir atau Nyimpen/Ngeluhur/ Pralina.

10. TUGU

Bentuk bangunan denah bujursangkar dengan luas sekitar 0,6 m x 0,6 m, tinggi sekitas 2, terdiri dari 3 bagian yaitu kepala / tepas batur tenggek, badan dan kak. Dari bawah mengecil kearah atas dengan hiasan hiasan yang serasi. Bagian kepala bidang bidang parangan membentuk ruang tempat sesajen. Bahan bangunan umumnya batu alam yang banyak dipakai batu padas, batu karang laut, batu bata atau jenis jensi batu lainnya sejenis atau campuran. Konstruksi keseluruhan bagian dari karangan rapi dengan perekat alus. Bentuk hiasan ukiran berupa pepalihan dan lelengisan.Fungsi bangunan untuk pelinggih atau menstanakan sarwa bhuta khala, dengan atau roh-roh halus lainnya. Letakk bangunan lainnya di bagian depan atau di bagian teben kelod atau kauh. 11. GEDONG Bentuknya serupa dengan tugu, hanya bagian kepala terbaut dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan bahan penutup atap lainnya yang disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.bagian badan dan kaki atau batur dan tepas, pasangan batu harus rapi tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan. Fungsi bangunan gedong ada berbagai macam sesuai dengan tempatnya di pamrajan, di pura, di khayangan atau tempat tempat tertentu.tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan ketentuan lain menentukan atau sesuai dengan fungsi Gedong atau yang dipuja pad agedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi danhiasannya sesuai tingkatan utama, madia dan sederhana suatu pura yang ditempatinnya. Selain gedong dalam bentuknya yang umum ada pula gedong dalam bentuknya yang umum ada pula gedong dengan bentuk dan fungsi tertentu. Gedong dengan dua ruangan atau gedong kembar. Komposisi orientasi dan tata letak gedong disesuaikan dengan yang dipuja. Umumnya bangunan gedong sebagia tempat pemujaan menghadap ke barat dari jajaran kaja kelod atau utara selatan.

Dasar dasar ukuran gedong, proporsi bebaturan dan rangka ruangnya didasarkan pada ketentuan tradisional.

11. MERUBentuknya menonjolkan keindahan atap bertingkat tingkat yang disebut atap tumpang, jumlah tumpang atap selalu ganjil, meru tumpang 3, 5 ,7, 9 dan 11 sebagai tingkat tertinggi.Bagian bagian meru yatiu terdiri dari bagian kepala, badan, kaki masing masing atap, ruang pemujaan dan bebaturan. Fungsi meru adalah untuk tempat pemujaan Tuhan Yangm Maha Esa, Dewa-dewa dan Leluhur. Bentuk bentuk meru konstruksi rangka di atas bebaturan merupakan konstruksi tahan gempa yang lebih tahan dibandingkan dengan candi atau bentuk bentuk lain bangunan pemujaan yang tinggi. Variasi meru pada bebaturan, rangka ruang pemujaan bentuk bentuk atap dan bidang bidang antara tumpang tumpang atap. Keindahan bangunan Meru timbul dari ketepatan proporsi, teknik teknik konstruksi dan hiasannya.Tata letak Meru di suatu pura tempat pemujaan adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru umumnya menghadap ke barat di sisi timur sebagai tempat pemujaan utama. Deretan bangunan pelinggih Meru, Padma, gedong dan pelinggih pelinggih lainnya berderet kaja kelod di sisi timur menghadap ke barat. Persembahyangan pemujaan menghadap ke arah timur (matahari terbit).

12. TAJUK / PEPELIKBentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong terbuka tiga sisi kedepan dan sisi sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara.13. BANGUNAN dan PALIANGAN

Bentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong, sedikit lebih besar dan ada yang memakai tiang jajar. Terbuka pada tiga sisi fungsinya untuk menstanakan simbol simbol, dan sarana upacara. Letak tajuk atau pepelik, pangaruman atau peliangan di bagian samping depan di sisi halaman pelinggih pelinggih utama.14. GEDONG MAS CATU dan MAS SARI

Bentuk dan konstruksinya sama dengan gedong. Mas Catu puncak atapnya tumpul dan Mas Sari puncak atapnya perucut lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan Sri Sedana, harta kekayaan untuk kesejahteraan.15. MANJANGAN SALU WANGBentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong, terbuka tiga sis, didepan memakai tiang tengah dengan kepala manjangan. Fungsi untuk tempat pemujaan Empu Kuturan penyebar Agama Hindu dan pembinanya.16. GEDONG AGUNGDisebut pula dengan Gedong Ibu atau Gedong Batu merupakan bangunan besar dengan dinding tembok batu berhias ornamen pepalihan. Fungsinya untuk tempat pemujaan baik di Pura Desa, pura Puseh dan Pura Dalem.17. BALE PIYASANMerupakan bangunan tipe sakepat, sakenem astasari atau sakaroras sesuai dengan besarnya tingkatan pura tempat pemujaan. Fungsinya untuk temapt penyajian sarana - sarana upacara atau keaktifan serangkaian upacara. Bangunan Bale Piyasan terbuka tiga atau keempat sisi, letaknya disisi barat halaman atau sisi lain menghadap kearah tempat pemujaan Meru, Gedong atau Padmasana. Atap bangunan dari alang alang, bahan- bahan bangunan lainnya dari klas khusus untuk bangunan bangunan pemujaan. 18. PEWAREGAN SUCILetaknya di jaba tengaha tau di jaba sisi. Bentuk bangunan memanjang deretan tiang dua-dua, luas bangunan tergantung keperluan dari besarnya suatu Pura. Fungsi bangunan untuk dapur mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di Pura yang umumnya jauh dari Desa tempat pemukiman.19. BALE GONGTerletak di jaba tengah atau di jaba sisi. Bentuk bangunan tanpa balai-balai jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Luas bangunan sekitar 20 m2, terbuka keempat sisinya atau ke belakang berbatasan dengan tembok penyengker. Fungsi bangunan adalah untuk tempat menabuh gamelan gong atau gamelan lainnya.20. PENGGUNAANMerupakan bangunan tiang empat dengan atap pelana balai balai tinggi luasnya sekitar 2m2. letaknya di bagian selatan menghadap ke utara atau ke jabaan.bentuk bangunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten upacara. Bangunaan Penggunaan di bangun di beberapa pura yang tergolong besar dan sering melakukan pemujaan utama. 21. WANTILAN

Wantilan sebagai tempat musyawarah atau rapat anggota dengan duduk di lantai atau bale bale yang ditempatkan. Dalam perkembangannya wantilan juga dilengkapi dengan kursi sebagai temapt duduk untuk bermusyawarah atau fungsinya yang lain.Letak wantilan dalam suatu pekarangan di tengah agak ke tepi dengan ruang luar sekitarnya dapat merupakan perluasan dari keterbukaannya pada keempat sisi.dalam fungsi fungsi tertentu wantilan juga dilengkapi dengan ruang ruang pentas dan ruang ruang lainnya.

C. BENTUK BAGIAN BAGIAN

Bangunan tempat pemujaan terdiri dari tiga unsur Tri Hita Karana yang dipuja di suatu pura sebagai jiwa yang dijadikan tempat pemujaan sebagai fisik yang melaksanakan pemujaan sebagai tenaga. Untuk suatu kehidupan diperukan adanya jiwa fisik dan tenaga.

Fisik bangunan tempat pemujaan terdiri dari bagian bagian kepala, badan dan kaki atau atap, rangka ruang dan bebaturan masing masing dengan bentuk bentuk yang sesuai dengan fungsinya. Bebaturan

Bentuknya sederhana berupa pasangan batu alam atau batu dasar segi empat tinggi disesuaikan, dengan macam dan fungsi bangunan nya. Untuk yang madia tepas di bagian bawah bebaturan dan sari di banguan atas bebaturan. Bentuknya yang utama bagian bagian bebaturan tepas batur dan sarinya bertumpang diulang beberapa kali sesuai dengan tingkat keutamaannya. Bebaturan utama terlihat jelas pada bagian Candi, Padmasana, Bale Kulkul dan Bade Wadah.bentuk bentuk pepalihan dan hiasan juga menentukan keutamaan bebaturan. Tepas atau repas ujan merupakan bidang dasar bangunan antara pondasi dan pasangan bebaturan. Bahan bangunan untuk bebaturan adalah bata pasangan telanjang siar rapi atau batu batu alam jenis-jenis pada atau buntek laut. Jenis jensi hiasan memakai pepelok penyu kambang, lamak, pepalihan dan pepateran kekarangan. Bagian sari dia tas batur dengan bidang taled antara bebaturan dan sari. Untuk bebaturan tinggi utama sari berulang tumpang dua tatu tiga kali mengecil pada setiap tumpang. Hiasan sari dnegan bentuk cakep sari atau gula sari pada sudut sudut tepi bidang bidang slimar denga kekarangan. Karang asti dan karang batu di bawah, karang simbar dan karang bunga di tengah dan karang goak atau karang manuk di bagian atas. Pepalihan dan pepateran timbul dari kreasi kreatifitas perancang, undafi atau sangging yang mengerjakannya. Rangka Ruang

Sebagian badan bangunan tempat pemujaan adalah rangka yang membentuk ruang tempat pemujaa, konstruksi kayu pada Meru dan Gedong dengan berbagai macamnya.

Empat tiang merupakan pokok konstruksi dengan lambang dan sineb ikatan atas dan sunduk waton ikatan bwah, kaki tiang di bawah waton. Untuk Meru dan Gedong, tiga sisi tertutup ke arah depan dengan pintu Tajuk dan yang semacam terbuka pada tiga sisi.Meru dan gedong dengan berbagai jenisnya yang tergolong agungatau utama dilengkapi dengan tiang tiang jajar dedepan atau pada tempat sisi-sisinya.Hiasan ukiran pada pintu, dantiang tiang sejajar sendi a;as tiang hiasnya singa bersayap, karang tapel atau kera penyangga tiang. Untuk kerangka ruang pemujaan dipakai kayu kayu khas khusus untuk parhyang, kayu cendana menengan, majagau, cempaka dan beberapa jenis khusus lainnya. Atap

Bagian kepala adalah struktur atap dengan bentuk bentuk pelana kampyah atau limasan. Kayu kayu bahan kerangka atap dari kaui klas khusus seperti kerangka ruang badan. Betaka sebagai konstruksi pengikat puncak atap bahannya kayu cendana atau jenis kayu utama lainnnya.Bahanpenutup atap dipakai ijuk, alang alang atau sirep bambu di pegunungan yang mudah mendapatkan atau menghasilkan bambu. Penyelesaian konsturksi rangka atap serupa dengan atap bangunan rumah, ukuran ukuran batang konstruksi dan jarak jarak lebih keci sesuai dengan besar bangunan. Susunan rangka, pemade, pemucu, iga-iga dedalas, kolong dedeleg atau betaga dan tugeh bila diperlukan.alang-alang sebagai penutup diikat dalam bentuk bidang bidang ingketan angndiikatkan pada iga-iga.ujung atap dipotong rapi. Atap ijuk bisa dengan sistem ingketan atau dengan sisitem jepit pada bilah bilah jepitan. Atap bagian bawah pada dedalas dengan lekesan ijuk yang dipotong dengan paso atau murdha berornamen.

D. ASTA KOSALA KOSALI dan ASTA BUMI

Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta : Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab : Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.

Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut : 1) Tujuan Asta Bumi adalah : a) Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi.b) Mendapat vibrasi kesucian. c) Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi. 2) Luas halaman : a) Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya) : 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa :1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa : 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. b) Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran depa : 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa : 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa : 6x5, 13x6, 18x13. Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu : 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).

HULU-TEBEN.

"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu 1) Arah Timur, dan 2) Arah "Kaja" Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.

BENTUK HALAMAN.

Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.

PEMBAGIAN HALAMAN.

Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu : 1) Utama Mandala, 2) Madya Mandala, dan 3) Nista Mandala. Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain. Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi; Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala; Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama. Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih "Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.

MENETAPKAN PEMEDAL.

Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori. Cara menetapkan pemedal sebagai berikut : 1) Ukur lebar halaman dengan tali. 2) Panjang tali itu dibagi tiga. 3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.

JARAK ANTAR PELINGGIH.

Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.

PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.

Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih:TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah : PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, dimana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan. BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun BALE GONG, tempat gambelan, BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala. BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.

Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah". Turut 3 : Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti : Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing. Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain. Turut 7 : adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya : lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll. Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali. Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).

Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, dimana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan ke teben kanan.E. ARTI DAN MAKSUD RAGAM HIAS

Ragam hias dalam bangunan-bangunan tradisional mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Penyajian keindahan, ungkapan simbol-simbol dan penyampaian komunikasi merupakan maksud dan arti ragam hias pada bangunan-bangunan, peralatan dan perlengkapan.

1 Ragam Hias Untuk Keindahan

Umumnya ragam hias dimaksudkan untuk memperindah penampilan suatu bangunan yang dihias. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan lebih indah dan menyegarkan pandangan.

2 Ragam Hias Sebagai Simbolis

Dari berbagai macam, bentuk dan penempatan ragam hias dapat mengungkapkan simbol-simbol yang terkandung padanya. Warna-warna juga merupakan simbol arah orientasi, merah untuk warna kelod, kuning untuk warna kauh atau Barat, putih untuk warna kangin atau Timur, hitam untuk warna kaja dan penyatuan dua bersisian untuk warna sudut. Bentuk-bentuk hiasan pepalihan menyimbulkan pula tingkat ketinggian bangunan yang dihias.

3 Ragam Hias Sebagai Alat Komunikasi

Dengan bentuk hiasan yang dikenakan pada upacara atau bangunan-bangunan tertentu dapat diketahui apa yang diinformasikan oleh hiasan yang dikenakan. Hiasan serba putih pada Wade wadah yang berbentuk padma, menunjukkan fungsinya untuk Pedanda. Jumlah tumpang atap Bade, Wadah atau Meru juga menunjukkan fungsinya. Hiasan peralatan dan perlengkapan upacara juga sebagai alat komunikasi.FLORA

Bentuknya yang mendekati keadaan sebenarnya ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-hiasan bidang dalam bentuk hiasan atau pahatan relief. Cerita-cerita pewayangan, legenda dan kepercayaan, yang dituangkan ke dalam lukisan atau pahatan relief umumnya dilengkapi dengan latar belakang berbagi macam tumbuh-tumbuhan yang menunjang penampilannya.

Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam bentuk simbolis atau pendekatan bentuk-bentuk tumbuh-tumbuhan dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan dengan macam-macam ungkapan masing-masing.

Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan atau peralatan dan perlengkapan bangunan dari jenis-jenis flora dinamakan sesuai jenis dan keadaannya.

1. Keketusan

Mengambil sebagian terpenting dari suatu tumbuh-tumbuhan yang dipolakan berulang dengan pengolahan untuk memperindah penonjolannya. Keketusan wangga melukiskan bunga-bunga besar yang mekar dari jenis berdaun lebar dengan lengkung-lengkung keindahan. Keketusan wangga umumnya ditatahkan pada bidang-bidang luas atau peperadaan lukisancat perada warna emas pada lembar-lembar kain hiasan. Keketusan bunga tuwung, hiasan berpola bunga terung dipolakan dalam bentuk liku-liku segi banyak berulang atau bertumpuk menyerupai bentuk bunga terung. Keketusan bun-bunan, hiasan berpola tumbuh-tumbuhan jalar ataujalar bersulur, memperlihatkan jajar-jajar jalaran dan sulur-sulur di sel-sel bunga-bunga dan dedaunan.2. Kekarangan

Menampilkan suatu bentuk hiasan dengan suatu karangan atau rancangan yang berusaha mendekati bentuk-bentuk flora yang ada dengan penekanan pada bagian-bagian keindahan.

Karang simbar, suatu hiasan rancangan yang mendekati atau serupa dengan tumbuh-tumbuhan lekar dengan daun terurai ke bawah yang namanya simbar manjangan. Karang simbar dipakai untuk hiasan-hiasan sudut bebaturan dibagian atas pada pasangan batu atau tatahan kertas pada bangunan bade wadah, bukur atau hiasan-hiasan sementara lainnya.

Karang bunga, suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga dengan kelopak dan seberkas daun yang juga digunakan untuk hiasan sudut-sudut bebaturan atau hiasan penjolan bidang-bidang.

Karang suring, suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh yang dalam bentuk lain dipakai singa bersayap atau garuda. Karangan suring yang diukir dalam-dalam, memungkinkan karena tiang tugeh bebas beban.

Bentuk-bentuk karangan yang lain mengambil bentuk-bentuk binatang atu jenis fauna yang dikarang keindahannya.

3. Pepatraan

Mewujudkan gubahan-gubahan keindahan hiasan dalm patern-patern yang disebut patra atau pepatraan. Pepatraan yang juga banyak didasrkan pada bentuk-bentuk keindahan flora menamai pepatraan dengan jenis flora yang diwujudkan. Pepatraan yang memakai nama yang memungkinkan kemungkinan negara asalnya ada pula yang merupakan perwujudan jenis-jenis flora tertentu.Ragam hias yang tergolong pepatraan merupakan pola yang berulang yang dapat juga diwujudkan dalam pola berkembang. Masing-masing Patra memiliki identitas yang kuat untuk penampilannya sehingga mudah diketahui. Dalam penterapannya dapat bervariasi sesuai kreasi masing-masing seniman. Sangging yang merancang tanpa meninggalkan pakem-pakem identitasnya.

Patra Wangga

Kembang mekar atau kuncup dengan daun-daun lebar divariasi lengkung-lengkung keserasian yang harmonis. Batang-batang bersulur di sela-sela bawah bunga dan daun-daun. Patra Wangga juga tergolong keketusan yang merupakan sebagian dari suatu flora dengan penampilan bagian bagian keindahannya.

Patra Sari

Bentuknya menyerupai flora dan jenis berbatang jalar melingkar-lingkar timbal balik berulang. Penonjolan sari bunga merupakan identitas pengenal sesuai namanya, Patra Sari. Daun-daun dan bunga-bunga dilukiskan dalam patern-patern yang diperindah. Patra Sari dapat digunakan pada bidang bidang lebar (gb. 1770 atas, dan umumnya untuk bidang-bidang sempit tidak banyak dapat variasi karena lingkar-lingkar batang jalar, daun-daun sari kelopak dan daun bunga merupakan pola-pola tetap sebagai identitas.

Patra Bun-bunan

Dapat bervariasi dalam berbagi jenis flora yang tergolong bun-bunan (tumbuh-tumbuhan berbatang jalar). Dipolakan berulang antara daun dan bunga dirangkai batang jalar. Dapat pula divariasi dengan julur-julur dari batang-batang jalar.

Patra Pidpid

Juga melukiskan flora dari sejenis daun bertulang tengah dengan daun-daun simetris yang dapat bervariasi sesuai dengan jenis daun yang dilukiskan penempatannnya pada bidang-bidang sempit.

Patra Punggel

Mengambil bentuk dasar liking paku, sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun muda pohon paku. Bagian-bagiannya ada yang disebut batun poh, kuping guling, util sebagai identitas Patra Punggel. Pola patern Patra Punggel merupakan pengulangan dengan lengkung timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut-sudut atau bangunan. Dapat pula dengan pola mengembang untuk bidang-bidang lebar atau bervariasi/kombinasi dengan patra lainnya.

Patra Samblung

Pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk patern yang disebut Patra Samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dan daun-daun dihias lengkung harmonis.

Serupa dengan Patra Samblung ada patra olanda. Patra cina,patra bali, masing masing dengan nama kemungkinan negara asalnya. Ada pula patra Banci yang bervariasi dari gabungan patra yang dirangkai dalam satu kesatuan serasi dengan mewujudkan identitas baru.

Patra pae

Mengambil bentuk tumbuh-tumbuhan sejenis kapu-kapu yang dipolakan berulang dalam deretan memanjang.

Patra Ganggong

Menyerupai bentuk tumbuh-tumbuhan ganggang air yang dipolakan dalam bentuk berulang berjajar memanjang.

Patra Batun TimunBentuk dasar serupa biji mentimun yang dipolakan dalam susunan diagonal dalam susunan diagonal berulang. Sela-sela susunan dihias dengan bentuk-bentuk patra mas-masan setengah bidang.

Patra Sulur

Melukiskan pohon jalar jenis beruas-ruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun berulang. Patra sulur dipolakan pula dalam bentuk tiga jalur batang jalar teranyam nerulang.

Patra bun dengan motif

Mengambil bentuk dasar yang menyerupai patra wangga patra punggel, patra sari, patra samblung. Bentuk-bentuk dasar divariasi dengan motif-motif cerita pewayangan, cerita rakyat, cerita dari dunia fauna atau dengan gabungan beberapa patra yang disesuaikan.

Bentuk.

Ragam hias yang digunakan dalam bangunan-bangunan tradisional diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, pepulasan,pepalihan dan lelengisan. Beberapa bangunan ada pula yang menterapkan beberapa bentuk dalam satu bangunan.

1. Ukiran

Elemen-elemen bangunan, bebeturan, tiang-tiang dan kerangka atap yang dihias dengan jenis-jenis flora diwujudkan dalam bentuk-bentuk ukiran. Bidang-bidang datar dengan ukuran relief, bidang-bidang tepi, batas dan sudut-sudut diukir dengan bentuk-bentuk ukiran timbul. Massa-massa terlepas seperti patung-patung topeng dan massa-massa lainnya juga dihias dengan bentuk-bentuk ukiran. Bahan-bahan kayu dan batu merupakan bahan ukuran untuk hiasan-hiasan bangunan.

2. Tatahan

Untuk hiasan-hiasan pada bidang-bidang lembaran logam atau kertas dipakai bentuk-bentuk tatahan. Tatahan pada kertas umumnya tembus seperti pepatraan hiasan pada bangunan bade atau bukur. Pada lembar-lembar logam seperti hiasan pada emas, perak, tembaga atau perunggu ditatah timbul tenggelam tanpa atau sebagian tembusan. Untuk tatahan logam umumnya dikerjakan pada landasan-landasan pembentuk.

3. Pepulasan

Bentuk-bentuk hiasan yang diterapkan pada bidang-bidang kayu yang dihaluskan atua kain-kain hias dibentuk dengan pepulasan. Untuk bahan pepulasan digunakan jenis-jenis cat minyak perada cat mas atau ramuan pewarna tradisional. Untuk pepulasan umumnya dipakai warna-warna polos.

4. Pepalihan

Bentuk hiasan yang umumnya dipakai pada bebaturan pasangan, batu untuk pelinggih-pelinggih pemujaan atau Bale Kulkul, pepalihan dengan berbagi macam variasi yang berpedoman pada pakem-pakem dasar pepalihan. Macam-macam pepalihan ada yang disebut palih begenda, palih wayah, palih bacean, palih taman sari, bagian-bagian sesuatu pepalihan yang disebut cakep gula, cakep sari, pepiringan, sebitan, gemulung, ringring, bogem, bunga tuwung dengan berbagai kombinasi dan variasi.

Bentuk-bentuk pepalihan umumnya tanpa ukiran. Keindahan bentuk pada variasi permainan garis-garis pepalihan.

5. Lelengisan

Bentuk hiasan tanpa ukiran, keindahan dari bentuk-bentuk hiasan dengan permainan variasi timbul tenggelamnya bidang-bidang hiasan dan penonjolan bagian-bagian tertentu. Bentuk-bentuk hiasan lelengisan umumnya disatukan dengan hiasan pepalihan.

Warna

Ragam hias pada bangunan-bangunan tradisional umumnya menampakkan warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam merupakan penonjolan keindahan hiasan.

Kelembutan atau keserasian bentuk-bentuk ukiran juga didukung oleh kelembutan atau keserasian warna-warna asal dari jenis-jenis batu alam atau jenis-jenis kayu yang diukir.

Cara Membuat

Untuk membuat ragam hias flora atau jenis lainnya umumnya dibuat dengan cara pahatan. Untuk fungsi-fungsi tertentu dibuat dengan cara tatahan yang ditempelkan, pewarnaan, tempelan atau akit-akitan.

1. Pahatan

Bahan dasar dari batu alam atau batu buatan dalam bentuk tunggal atau susunan pasangan, juga dari jenis-jenis kayu tertentu untuk bahan ukiran diukir dengan pahat pengukir. Pahat pengukir dalam satu set ada sekitar 35 buah dengan berbagai ukuran lebar mata, lengkung dan atau rata atau beberapa buah. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sulit seperti liku-liku dasr, rongga-ruang, serat-serat beralur dibuatkan pahat-pahat khusus. Pahatan pembentukan topeng atau patung pahatt dilengkapi dengan pisau lancip yang disebut pengutik dan pisau lancip lengkung yang disebut pangot. Palu pemukul pahat dibuat dari kayu keras disebut pangotok atau semeti.

Bahan ukiran dirancang sesuai dengan hiasan flora atau jenis lainnya yang akan dipahat. Pekerjaan bakalan dikerjakan dengan pahat pembakal, dibentuk dihaluskan dan diselesaikan. 2. Tatahan yang ditempel / diwarna

Untuk tatahan ada yang ditatah timbul tenggelam pada lembaran atau bentuk dari logam dan ada yang ditatah tembus pada hiasan-hiasan yang bahannya dari kertas atu kulit sapi yang dihaluskan. Tatahan melukiskan bentuk-bentuk hiasan dengan menenggelamkan atau melubangi bagian-bagian yang bukan merupakan satu jenis flora yang ditimbulkan. Tatahna pada kulit keras yang dihaluskan seperti pada pembuatan wayang, pembuatan hiasan busana seni tari tradisional tatahan tembus diberi warna pulasan atau warna perada kuning emas. Tatahan pada kulit pada umumnya dengan pepatraan yang kebanyakan menterapkan patra punggel dengan berbagi variasinya sesuai dengan bentuk lembar hiasan yang ditatah.

3. Pasangan Batu

Hiasan pepalihan atau lelengisan pad bebaturan bangunan dengan pasangan batu atau batu buatan disusun dengan pasangan batu. Propil-propil batu yang telah dibentuk sesuai dengan pola-pola hiasan dipasang dalam susunan yang membentuk bentuk hiasan bebaturan.

4. Akit-akitan

Bangunan tradisional yang bersifat sementara dan memerlukan hiasan, umumnya dihias dengan akit-akitan atau elemen-elemen keranggka yang diakit. Contohnya Bade Wadah unutuk ngaben. Dengan kontryuksi akit-akitan bangunan sementara dapat dikerjakan dnegan cepat, indah dan cukup ringan. Untuk hiasan penutup rangka ditempelkan kertas-kertas berwarna dengan tatahan tembus dipasang diatas kertas dasar. Pada beberapa bagian dipakai pula kapas berwarna yang dilekatkan membentuk patra-patra hiasan. 5. Pewarna

Hiasan tradisional pada bangunan sarana upacara dan ruang dalam atau bagian-bagian di dalam ruang umumnya memakai hiasan pewarnaan. Hiasan-hiasan bersama kain-kain penghias ruangan juga dibuat dari pewarnaan dalam bentuk-bentuk patraan flora atau fauna.

Penempatan

Ragam hias dengan nama-nama dan berbagai macam bentuknya ditempatkan sesuai dengan aturan penempatannya. Ragam hias dari pepatraan, patra wangga, patra sari, patra punggel, dan patra bun-bunan penempatannya pada bidang yang cukup luas. Pepatraan patra samblung, patra pae, patra ganggeng dan yang merupakan pola-pola yang berulang memanjang penempatannya pada bidang-bidang panjang seperti pada hiasan- hiasan bingkai.

Pembuat.

Ragam hias dalam berbagai macam dan bentuknya dibuat oleh Undagi atau Sanging sesuai dengan fungsi hiasan atau bangunan yang akan dihias . beberapa bentuk hiasan tertentuyang mengandung arti magic atau symbol-simbol upacara dikerjakan oleh Sangging atau Undagi yang telah mampu menguasai mantra dan cara-cara dalam proses pembuatannya. Tukang, didalam ragam hias fungsinya untuk membantu Sanging atau Undagi dalam menyelesaikannya. Peranan Undagi adalah untuk merancang dan melaksanakan bangunan yang dibuat. Rancangan dimensi disebut gegulak dengan tabikan-tabikan dimensi untuk masing-masing sisi lebar, tebal panjang atau tinggi elemen. Sanging fungsinya sebagai pembuat ragam hias,merancang dan mengenakan hiasan dalam suatu proses yang umumnya disertai upacara. Undagi atau Sangging umumnya bekerja sama dan masing-masing dibantu oleh pembantu-pembantunya. Sanging, selain membuat hiasan-hiasan pada bangunan-bangunan, juga membuat hiasan-hiasan busana adat dan busana tari, beda-benda sarana, perlengkapan da peralatan upacara agama umumnya dibuat oleh Sanging.

FAUNA

Dijadikan materi hiasan dalam bentuk ukiran-ukiran, tatahan atau pepulasan. Penterappannya, merupakan pendekatan dari keadaan sebenarnya. Pada beberapa bagian keadaan sebenarnya divariasi dengan bentuk-bentuk penyesuaian untuk menampilkan keindahan yang harmonis dengan pola hias keseluruhan.

Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk kekarangan yang merupakan pola tetap, relief yang bervariasi dari berbagai macam binatang dan patung dari beberapa macam jenis binatang. Hiasan faunu pada penempatannya umumnya disertai atau dilengkapi dengan jenis-jenis flora yang disesuaikan.

Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya mengambil beberapa jenis kera dari cerita Ramayana. Patung-patyung sebagai souvenir biasanya mengambil bentuk-bentuk garuda, singa, naga, harimau, kera, sapi dan binatang ternak lainnya.

Ukiran fauna sebagai bidang-bidang relief pada dinding, panil atau bagian bidang lainnya umumnya menerapkan cerita-cerita rakyat yang melegenda. Penampilan fauna dalam bentuk-bentuk patung bercorak Expresionis pada kekarangan bercorak abstrak dan realis pada relief.

Fauna sebagai hiasan dan berfungsi sebagai bentuk-bentuk patung yang disebut Pratima.Patung berbentuk, patung sebagai bagian bangunan Berbentuk Bedawang Nala. Fauna sebagai corac magic lengkap dengan hurup-hurup symbol mantra-mantra. Fauna sebagai elemen bangunan yang berfungsi juuga sebagai ragam hias dikenakan sebagai sendi alas tiang dengan bentuk garuda, singa, singa bersayap dan bentuk-bentuk lainnya.

Nama.

Ragam hias dari dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai materi hiasan dalam berbagai macam dengan namanya masing-masing. Bentk-bentuk penampilannya berupa patung, kekarangan atau relief-relief yang dilengkapi pepatran dari berbagai jenis flora.

1. Kekarangan.

Penampilannya ekspresionis, meninggalkan bentuk dasar dari fauna yang diekspresikan secara abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk-bentuk binatang gajah atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayal primitif lainnya dinamai dengan nama-nama binatang yang dijadikan bentuknya.

Karang BomaBerbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher keatas lengkap dengan hiasan dan mahkota,diturunkan dari cerita Boamantaka. Karang Boma ada yang tanpa tangan ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan kearah jari dengan jari-jari mekar.Karang Boma biasanya dilengkapi ddengan bun-bunan atau patra punggel. Ditempatkan sebagai hiasan diatas lubang pintu dari Kori Agung atau pada Wade wadah dan di beberapa tempat sebagai hiasan elemen lepas seperti papan nama diatas meja, papan hiasan gamelan dan bentuk hiasan-hiasan serupa.

Karang Sae

Berbentuk kelelawar raksasa seakan bertanduk dengan gigi-gigi runcing. Karang sae umumnya dilengkapi dengan tangan-tangan seperti pada karang boma. Penampilannya dilengkapi dengan hiasan flora patra punggel dan patra bun-bunan. Hiasan karang sae ditempatkan diatas pintu kori atau pintu rumah dan beberapa tempat lainnya.

Karang Asti

Disebut juga gajah karena asti adalah gajah. Bentuknya mengambil bentuk gajah yang diabstrakkan sasuai dengan seni hias yang diekspresikan dengan bentuk kekarangan. Karang asti yang melukiskan kepala gajah lengkap dengan belalai dan taring gadingnya bermata bulat. Hiasan flora patra punggel melengkapi kearah pipi asti. Sesuai kehidupannya di tanah, karang asti ditempatkan sebagai hiasan sudut-sudut bebaturan bagian bawah.

Karang Goak

Bentuknya menyerupai kepala burung gagak atau goak. Disebut pula karang manuk karena serupa dengan kepala ayam dengan penekanan pada paruhnya. Karang goak dengan paruh atas bertaring dengan gigi-gigi runcing dan mata bulat. Sesuai dengan kehidupan manuk atau gagak yang bersayap, Hiasan Karang Goak atau Karang Manuk ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di bagian atas.Karang Goak sebagai hiasan pada bagian kepala dan pipi dilengkapi dengan hiasan pattra punggel. Karang Goak biasanya disatukan dengan karang simbar dari jenis flora yang ditempatkan di bagian bawah karang goak.

Karang Tapel

Serupa dengan karang boma dalam bentuk yang lebih kecil hanya dengan bibir atas. Gigi datar taring runcing mata bulat dengan hidung kedepan lidah terjulur, Tapel adalah topeng, bagian muka yang diambil dari berbagai jenis muka galak. Hiasan kepala dan pipi menggunakan patra punggel. Ke arah bawah kepala menggunakan karang simbar dari jenis flora yang disatukan.Karang tapel ditempatkan sebagai peralihan bidang di bagian tengah.

Karang BentuluBentuknya serupa dengan karang tapel lebih kecil dan lebih sederhana. Tempatnya di bagian tengah atau peralihan bidang di bidang tengah. Bentuknya abstrak bibir hanya sebelah atas, gigi datar taring runcing lidah terjulur. Bermata satu di tengah tanpa hidung.Hiasan kepala dan pipi Patra punggel yang disatukan. Kearah bawah, karang simbar yang disatukan merupakan suatu kesatuan Karang Bentulu.

Bentuk-bentuk karangan lainnya, Karang Simbar dari jenis flora, Karang Batu dari jenis bebatuan, Karang Bunga dari jenis flora sebagai hiasan-hiasan sudut, tepi atau peralihan bidang yang berdekatan atau melengkapi kekarangan dari jenis fauna.

Wantilan Pura Gelap Besakih

Sumber : Data Pribadi

Bale Pawedan pura Gelap Besakih

Sumber : Data Pribadi

Kori Agung Pura Puseh Desa Ungasan, Kuta Selatan

Sumber : Observasi lapangan November 2006

Kaki

(Kanista Angga)

Badan

(Madya Angga)

Kepala

(Utama Angga)

Nama Gbr : Konsep Tri Angga

Sbr : Bali Trevel

CandiBentar Pura Melanting,Buleleng

Sumber Observasi lapangan Oktober 2007

Padmasana Pura Gelap, Besakih

Sumber : Data Pribadi

Panglurah Pura Desa Ungasan, Kuta Selatan

Sumber Observasi Lapangan November 2006

Contoh Gambar Pewaregan Suci

Sumber : Data Pribadi

Contoh Gambar Bale Gong Pura Gelap, Besakih

Sumber : Data Pribadi

Bale Kulkul Pura Jagatnatha Singaraja

Sumber Observasi lapangan Oktober 2006

Tugu Linggih panglurah Ratu Puseh

Sumber : Observasi Lapangan November 2006

Gedong Linggih Sanghyang Ganapati

Sumber : Observasi Lapangan November 2006

Bale Piyasan Ratu Puseh Desa Ungasan, Kuta Selatan

Sumber Observasi Lapangan November 2006

Contoh Meru Tumpang

Sumber Data Pribadi

Contoh Penerapan Tri Mandala pada Adhitya Jaya

Sumber Internet

A. TRI MANDALA

Pengertian kata Tri Mandala berasal dari kata Tri yang berarti tiga dan Mandala berarti wilayah.

Jadi, Tri Mandala adalah 3 (tiga) wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap Pura dan antara mandala yang satu dengan yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang has.

Sebagai mana Pura pada umumnya, areal Pura Adhitya Jaya juga tediri atas Tri Mandala. 1. NISTA MANDALA/JABA SISI

Nista Mandala ialah areal Pura paling luar yang masih meqjadi satu kesatuan dengan Pura. Mencari Nista, Mandala Pura Adhitya Jaya bisa masuk dari Jalan Daksinapati atau dari Jalan DI. Panjaitan (bypass) dengan melewati Candi Bentar.

Pada Nista Mandala ini ada bangunan Pasraman tempat pembinaan umat, seperti Sekolah Minggu Agama Hindu (untuk SD sampai SMU), dan juga untuk kuliah Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Jakarta. Selain itu terdapat kantin untuk menikmati berbagai makanan khas Bali dan jugar menjual buku-buku agama Hindu, bangunan untuk pelaksanaan manusa yadnya berupa Bale Gede, dapur, dan rumah tunggu. Di sudut barat laut dan di depan jalan keluar Pura bagian timur terdapat Bedogol. 2. MADYA MANDALA/JABA TENGAH

Masuk ke Madya Mandala dapat dari arah barat (pintu utama) atau timur dengan melalui Candi Bentar.

Pada Madya Mandala terdapat bangunan Perantenan serta Balai Wantilan yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (Pujawali).

Wantilan juga berfungsi sebagai tempat pertunjukan berbagai tari baik tari sakral yang berkaitan dengan upacara atau tari profan yang relevan dengan upacara Pujawali yang bersifat hiburan. Kadangkala di Wantilan ini juga diselenggarakan dharma tula. 3. UTAMA MANDALA

Untuk masuk ke Utama Mandala melewati Kori Agung dengan 3 pintu yaitu pintu utama dan 2 pintu lagi di kanan kirinya. Pada Utama Mandala terdapat bangunan antara lain, Padmasana, Pengrurah, Pelinggih Taman Sari, Pelinggih Beji Bale Pepelik, Pemujaan/Pemiosan.

Meru di Pura Penataran, Klungkung

Cara Pengukuran Arsitektur Tradisional bali

Simbar

Patra Wangga

Karang Boma

Karang Sae

Karang Asti

Karang Goak

Karang Tapel

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986

Artikel Balinese Hinduism Temple

Sumber : HYPERLINK "http://www.murni'sinbalionlineshop.com" www.murni'sinbalionlineshop.com

Artikel struktur Bangunan : sumber Internet

Bali & Indonesia on The Net Bali : The Land of Themples, sumber : HYPERLINK "http://www.indo.com" www.indo.com

Bali & Indonesia on The Net Bali : The Land of Themples, sumber : HYPERLINK "http://www.indo.com" www.indo.com

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986

Media Anak Muda Bali, sumber : HYPERLINK "http://www.iloveblue.com" www.iloveblue.com

Glebet, I Nyoman dkk, Arsitektur Tradisional Bali : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986. Hal 331

PAGE - 32 -