LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU DAMPAK...

15
1 LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU DAMPAK EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LARANGAN PENANGKAPAN IKAN (KASUS BANDA NEIRA, PROVINSI MALUKU DAN KABUPATEN SUMBAWA, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT) OLEH: LUKMAN ADAM PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI 2016

Transcript of LAPORAN PENELITIAN INDIVIDU DAMPAK...

1

LAPORAN

PENELITIAN INDIVIDU

DAMPAK EKONOMI TERHADAP KEBIJAKAN LARANGAN PENANGKAPAN IKAN

(KASUS BANDA NEIRA, PROVINSI MALUKU DAN KABUPATEN SUMBAWA, PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT)

OLEH:

LUKMAN ADAM

PUSAT PENELITIAN

BADAN KEAHLIAN DPR RI

2016

2

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kebijakan larangan penangkapan ikan yang dikeluarkan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan, antara lain dengan Peraturan Menteri Kelautan dan

Perikanan (Permen KP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan

Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) dan

Permen KP Nomor 4 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan di

WPP RI 714 membuat pelaku usaha perikanan-seperti nelayan dan pengolah

hasil perikanan-yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya

ikan menjadi gelisah. Ada nelayan yang melakukan penolakan dan ada yang

mendukung. Penolakan khususnya terjadi di wilayah perikanan yang: (a)

sudah mengalami overfishing sehingga nelayannya harus beroperasi jauh ke

tengah, dan (b) banyak terdapat pelaku usaha skala besar. Sedangkan yang

memberikan dukungan merupakan nelayan yang berada di kawasan yang

masih memungkinkan dilakukannya eksploitasi dan banyak terdapat nelayan

tradisional atau nelayan skala kecil, contohnya di Kabupaten Maluku Barat

Daya.

Pemberlakuan Permen KP No. 2 dan 4 Tahun 2015 menyiratkan pergeseran

paradigma pengelolaan perikanan di Indonesia dari peningkatan

produktivitas dan industrialisasi perikanan ke paradigma pemulihan ekologi

lingkungan perairan pesisir dan lautan. Pergeseran paradigma tersebut

seolah-olah mengabaikan keberadaan 927,25 ribu nelayan1 yang selama ini

menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya di perairan

pesisir dan lautan.

1 Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013 dalam Sonny Harry Harmadi, “Nelayan Kita”, Kompas, 19

November 2014, hlm. 5.

3

Dampak ekonomi yang ditimbulkan dalam jangka pendek dari kedua Permen

KP tersebut sangat terasa bagi nelayan dan keluarganya, serta para pihak

yang selama ini bergantung pada pemanfaatan hasil sumber daya ikan,

termasuk pengolah dan pedagang. Dampak ekonomi yang ditimbulkan

adalah merosotnya pendapatan karena alat tangkap yang biasa digunakan

menjadi alat tangkap yang terlarang, sedangkan permasalahan yang timbul di

WPP 714 adalah jangkauan melaut yang lebih jauh bagi nelayan di sekitar

Laut Banda.

Pembatasan upaya penangkapan dalam pengelolaan sumber daya perikanan

secara teoritis tepat karena dapat melestarikan stok ikan yang pada

gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha sektor perikanan.

Namun dalam waktu singkat, kebijakan pembatasan akan menciptakan

masalah lain seperti masalah sosial. Dalam hal ini, administrasi pemerintah

di sektor perikanan harus mempertimbangkan solusi yang komprehensif

untuk menyelesaikan masalah ini. 2 Atas dasar tersebut, penelitian ini

diarahkan untuk mengetahui secara langsung dampak ekonomi yang

ditimbulkan dari pemberlakuan 2 Permen KP tersebut. Sementara itu, secara

khusus penelitian ditujukan untuk mengkaji: alasan terbitnya kedua Permen

KP tersebut, dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan dan solusi yang harus

dilakukan.

Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari

paradigma produktivitas ke paradigma ekologi, sehingga bisa disebutkan

konsep pembangunan perikanan berkelanjutan menjadi perhatian pengambil

kebijakan saat ini.

Secara umum, tujuan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan dalam

berbagai kategori tujuan, yaitu kategori ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Interaksi tujuan pembangunan perikanan dengan ketiga aspek pengelolaan,

yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak tujuan pembangunan

perikanan, tidak ada satu pun yang memiliki tanda checked yang berada 2 Nimmi Zulbainarni, 2012, Teori dan Praktik Pemodelan Bioekonomi dalam Pengelolaan Perikanan

Tangkap, Bogor: PT Penerbit IPB Press, hal. 131.

4

pada semua aspek. Ini menunjukkan adanya trade off dalam pengelolaan

perikanan untuk mencapai kondisi ideal.3

Penelitian lapangan pertama dilaksanakan pada bulan Juli 2016 di Ambon,

Provinsi Maluku dan Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah,

Provinsi Maluku. Alasan pemilihan lokasi penelitian di Ambon dan Banda

Neira adalah: (1) Masyarakat di Kecamatan Banda Neira terkena dampak

langsung dari Permen KP No. 4 Tahun 2015, karena WPP 714 merupakan

wilayah Laut Banda; (2) Nilai Tukar Nelayan di Provinsi Maluku termasuk

tertinggi dengan angka mencapai 105,38;4 (3) kelompok usaha bersama

perikanan tangkap di Provinsi Maluku mengalami peningkatan signifikan

dari 17 kelompok di tahun 2010 menjadi 721 kelompok di tahun 2014;5 dan

(4) rata-rata produksi perikanan tangkap di Provinsi Maluku pada tahun

2003 sampai 2013 adalah yang terbesar di seluruh Indonesia, yaitu mencapai

8,99%.6

Penelitian lapangan kedua dilaksanakan pada 10 sampai 19 Agustus 2016 di

Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat

(NTB). Alasan pemilihan Provinsi NTB pada umumnya dan secara khusus

Kabupaten Sumbawa adalah: (1) Sumbawa merupakan lumbung perikanan

Provinsi NTB dan nasional, dengan perolehan satu orang pengepul di

kabupaten tersebut rata-rata lebih dari 2 ton/hari. Namun minim

infrastruktur.7 Tentunya larangan penangkapan ikan dengan menggunakan

alat tangkap pukat hela dan pukat tarik berdampak terhadap nelayan dan

pengepul; (2) kelompok usaha bersama perikanan tangkap di Provinsi NTB

terus mengalami peningkatan signifikan. Bahkan untuk bagian selatan

Indonesia, KUB perikanan tangkap di Provinsi NTB sangat banyak, yaitu

3 Ahmad Fauzi, Ekonomi Perikanan: Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2010. Hal. 27. 4 Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan

dalam Angka Tahun 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. 5 ibid. 6 Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Analisis Data Pokok

Kelautan dan Perikanan 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. 7

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/19/1604587/Sumbawa.Kaya.Potensi.Perikanan.tapi.Minim.Infrastruktur, diakses 22 Juni 2016.

5

mencapai 720 di tahun 2014 meningkat pesat dari 191 unit di tahun 20098;

dan (3) perairan di Provinsi NTB termasuk dalam WPP 573, dan satu-satunya

WPP yang mengalami penurunan pada tahun 2009 – 2013, namun

mengalami peningkatan positif mencapai 1,15 persen pada tahun 2012 –

2013. 9

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data

primer diperlukan dalam menjawab pertanyaan penelitian nomor 1, yaitu

alasan terbitnya kedua Permen KP yang menjadi topik penelitian dan

kerugian ekonomi. Narasumber yang diperlukan adalah narasumber yang

berada di wilayah Jakarta, seperti dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,

dan LSM, serta narasumber yang berada di lokasi penelitian lapangan yang

berkaitan langsung dengan topik penelitian, seperti Dinas Kelautan dan

Perikanan Provinsi dan Kabupaten, LSM, kelompok dan organisasi nelayan,

pengusaha perikanan, dan nelayan. Sedangkan data sekunder diperlukan

untuk menjawab sebagian pertanyaan penelitian nomor 2. Data sekunder

yang diperlukan adalah Statistik Perikanan Tangkap Provinsi dan Kabupaten

Tahun 2015 dan sebelumnya, serta Kecamatan Banda Neira dalam Angka.

Informasi yang diperoleh dari Biro Hukum, Kementerian Kelautan dan

Perikanan, menyebutkan bahwa tidak ada kajian akademis yang melengkapi

Permen KP No. 4 Tahun 2015. Latar belakang terbitnya Permen KP tersebut

didasari dua faktor, yaitu: (1) besarnya volume, nilai produksi, dan

pengeluaran terhadap subsidi sub sektor perikanan tangkap tidak sebanding

dengan kontribusi sub sektor ini terhadap total Pungutan Negara Bukan

Pajak (PNBP); dan (2) ada hasil penelitian dari Badan Litbang Kelautan dan

Perikanan yang menunjukkan terjadi penurunan potensi SDI tuna di WPP

8 Pusat Data, Statistik, dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kelautan dan Perikanan

dalam Angka Tahun 2014, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014. 9 ibid.

6

714.10 Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku juga tidak diminta

masukan terhadap penyusunan Permen KP No. 4 Tahun 2015 ini.11

PDB perikanan tangkap yang tergolong tinggi, nyatanya hanya menyumbang

PNBP sebesar 0,2 persen dari total PNBP tahun 2012. Bahkan ada indikasi

inefficiency lost yang tinggi dari PNBP perikanan yang menyebabkan potensi

kerugian negara sebesar 386 persen dari total PNBP perikanan di tahun

2011.12 Pada tahun 2011, dengan nilai perikanan tangkap Rp 70,03 triliun

hanya 0,26 persen dana yang disumbangkan ke APBN, sedangkan pada tahun

2013 dengan nilai perikanan tangkap Rp101,32 triliun13 hanya 0,22 persen

yang dikontribusikan pada APBN 2013.

Terbitnya PP No. 75 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP

yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan

bahwa pemerintah sedang berupaya meningkatkan PNBP sektor kelautan

dan perikanan, khususnya perikanan tangkap. Namun terbitnya PP ini

menunjukkan dua hal yang tidak tepat dengan keinginan memberdayakan

usaha perikanan kecil dan menengah, serta keinginan pengelolaan perikanan

berkelanjutan, yaitu (1) rumus perhitungan pungutan hasil perikanan (PHP)

memberatkan usaha perikanan skala kecil dan menengah. Tarif royalti PHP

usaha perikanan skala kecil naik dari 1,5% menjadi 5% dan untuk skala

menengah ditetapkan sebesar 10%, sedangkan usaha besar meningkat 25%.

Perlu diperhatikan implikasi dari kebijakan tarif tersebut bagi keberlanjutan

usaha perikanan tangkap kedepan. Tarif yang tinggi memang secara otomatis

akan mendongkrak PNBP dan menghindari eksploitasi berlebih pada SDI.

Namun jika terlalu tinggi akan melemahkan usaha perikanan skala kecil dan

menengah (khususnya usaha lokal), ditengah-tengah keinginan

10 Wawancara dengan Husni Mubarak, Kepala Sub Bagian Perundang-undangan Perikanan Tangkap,

Biro Hukum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 21 Juli 2016 11 Wawancara dengan Ahmad Umarella, Kepala Bidang Penangkapan Ikan, Dinas Kelautan dan

Perikanan, Provinsi Maluku, 25 Juli 2016. 12 Departemen Kajian Strategis BEM FEB UI, Penyempurnaan Zonasi Kelautan dan Pengoptimalan

Lembaga Keuangan Mikro Nelayan dalam Upaya Pembangunan Sektor Perikanan, http://www.fmeindonesia.org., diakses 25 Juli 2016.

13 Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015, Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014.

7

memberdayakan usaha perikanan skala kecil dan menengah; dan (2) saat ini

arah kebijakan KKP mengarah pada pengelolaan perikanan berkelanjutan.

Hal ini bisa dilihat dari aksi-aksi yang dilakukan oleh KKP, salah satunya

melarang penggunaan pukat. Namun, sangat mengejutkan KKP membuka

peluang beroperasinya alat tangkap pukat seperti tertera dalam Lampiran PP

di halaman 2, dalam point I.A.1.c.

Informasi dari Biro Hukum KKP bahwa hasil penelitian Badan Litbang KKP

menunjukkan terjadi penurunan SDI tuna di WPP 714. Namun berdasarkan

data tingkat eksploitasi SDI di setiap WPP tahun 2011, tuna sirip kuning

(Thunnus albacores, madidihang) berada pada tingkat fully exploited.14 Fully

exploited menunjukkan bahwa ikan tuna sirip kuning masih memungkinkan

untuk dieksploitasi, namun dengan prinsip hati-hati.

Hal yang juga bertentangan dengan informasi dari Biro Hukum KKP, Dinas

Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku menyebutkan tingkat pemanfaatan

pada tahun 2015 di tiga WPP (WPP 714, 715, dan 718) yang berada dalam

lingkup administrasi Provinsi Maluku hanya mencapai 29,18 persen.15 Di sisi

lain, dari rancangan estimasi potensi SDI di WPP 714 untuk ikan pelagis

besar16 tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatannya mencapai

86 persen, dengan potensi mencapai 43,062 dan jumlah tangkapan yang

diperbolehkan mencapai 34.45. 17 Dari angka tahun 2016 tersebut

menunjukkan bahwa status pemanfaatan ikan pelagis besar di WPP 714

masih berada pada moderate exploited.

Selain itu, berdasarkan analisis komposit SDI di WPP 714, yang

dipublikasikan tahun 2016, diperoleh nilai sejumlah 228.57. Hasil analisis ini

menunjukkan kondisi SDI di WPP 714 adalah ‘sedang’ atau warna bendera

14 Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2015, Kelautan dan

Perikanan dalam Angka Tahun 2014. Hal. 252. 15 Catatan tertulis Dinas Kelautan dan Perikanan dalam penelitian mengenai Dampak Ekonomi

Kebijakan Pelarangan Penangkapan Ikan, 25 Juli 2016. 16 Ikan pelagis besar mencakup: ikan layaran, setuhuk hitam, setuhuk biru, setuhuk loreng, ikan

pedang, madidihang, albakora, tuna sirip biru selatan, tuna mata besar, tongkol abu-abu, tenggiri, tenggiri papan, tongkol krai, tongkol komo, dan cakalang.

17 Komisi Nasional Kajian Sumber Daya Ikan, Tabel Rancangan Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Status Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, 2016 (Belum dipublikasikan).

8

kuning. Indikator SDI yang ditinjau antara lain ukuran ikan, proporsi

tertangkapnya juvenile, komposisi jenis, dan selektivitas alat tangkap.18

Berdasarkan nilai keberlanjutannya, alat tangkap dapat dibedakan kedalam

empat kelompok sebagai berikut; (1) Alat tangkap selektif, ialah alat tangkap

yang ramah secara ekologis (ecologically friendly). Contoh paling umum dari

alat penangkapan ikan kategori ini adalah pancing; (2) Alat tangkap yang

cenderung menyebabkan terjadinya tangkap lebih (overfishing), sehingga

bisa merusak sumber daya dan ekologi; (3) Alat tangkap yang dalam

operasinya cederung menyebabkan kerusakan habitat ikan sehingga

berdampak negatif secara ekologis; (4) Alat tangkap yang cenderung

merusak secara ekologis melalui tangkap lebih dan kerusakan habitat ikan.

Alat tangkap seperti peledak, atau di masyarakat dikenal dengan istilah “bom

ikan” sudah umum dikenal sebagai alat tangkap kategori 4 di atas.

Berdasarkan hasil penilaian pakar, 14 jenis alat penangkapan ikan yang

dilarang oleh pemerintah termasuk dalam salah satu kategori sebagai

berikut: (1) seluruh alat tangkap (14 jenis alat penangkapan ikan)

diperkirakan memberikan dampak negatif secara ekologis. Lebih dari 50% (9

dari 17) diduga menyebabkan kerusakan habitat dan juga penurunan stok

sumber daya ikan; (2) seluruh jenis alat tangkap memberikan keuntungan

ekonomi jangka pendek kepada nelayan dan rumah tangga perikanan (RTP).

Alat tangkap ini cenderung untuk dipertahankan oleh nelayan, kecuali

terdapat pilihan ekonomi jangka pendek yang lebih menguntungkan; (3)

sejumlah enam jenis alat penangkapan ikan (35%) yang dalam operasinya

tidak menimbulkan kecemburuan nelayan lain dan tidak menimbulkan

konflik. Terdapat sembilan jenis alat yang dalam operasinya dirasakan

menimbulkan kecemburuan sosial dari nelayan lainnya dan terkadang

menimbulkan konflik di permukaan. Sisanya, ada dua jenis alat tangkap

(cantrang dan lampara dasar) yang sering menimbulkan konflik dengan

nelayan lainnya.

18 http://www.eafm-indonesia.net/data/sumberdayaikan/714, diakses 30 Juli 2016.

9

Berdasarkan data Statistik Perikanan Provinsi Maluku terlihat bahwa Tuna

Sirip Kuning (Yellowfin Tuna/Thunnus albaceres/madidihang) merupakan

ikan pelagis besar yang bernilai ekonomis penting di Kabupaten Maluku

Tengah dengan produksi 5.137,7 ton atau Rp25,688 miliar (2013) dan

1.961,7 ton atau Rp17,655 miliar (2014). Diatas tuna mata besar, tongkol

abu-abu, tenggiri, dan tenggiri papan. Namun, masih dibawah tongkol komo

dan cakalang.19

Pendapatan per kapita nelayan di Kecamatan Banda Neira mengalami

peningkatan pesat sejak tahun 2014. Nilai produksi meningkat pesat

sehingga keuntungan bertambah dua kali lipat. Hal ini juga berpengaruh

pada tingkat kesejahteraan masyarakat di Kecamatan Banda Neira. Jenis ikan

yang banyak ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira adalah tuna

dan cakalang.

Substansi Permen KP No. 4 Tahun 2015 tidak diketahui oleh nelayan di

Kecamatan Banda Neira. Kapal motor tempel dan kapal motor di bawah 5 GT

yang dikuasai oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira telah sampai di

koordinat yang dilarang dalam lampiran Permen KP tersebut. Nelayan juga

menyebutkan bahwa tidak ada patroli pengawas sumber daya kelautan dan

perikanan yang menghalau nelayan pada koordinat tersebut. Nelayan di

Banda Neira yang menggunakan kapal motor tempel bahkan mampu

mencapai perairan sejauh 9 mil. Sedangkan nelayan yang memiliki armada

perikanan dengan ukuran di bawah 10 GT mampu mencapai koordinat yang

dilarang dalam lampiran Permen KP No. 4 Tahun 2015. Patroli pengawas

hanya memberikan sosialisasi dan informasi pada nelayan agar tidak

merusak terumbu karang yang banyak di jumpai di perairan sejauh hampir 5

mil dari lepas pantai Pulau Banda Besar atau Pulau Manukang.

Nelayan kecil tidak memperoleh dampak berarti dari larangan menangkap

ikan yang ada dalam Permen KP No. 4 Tahun 2015. Bahkan penelitian yang

dilakukan staf pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

19 Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku (2014 dan 2015)

10

Pattimura, menunjukkan bahwa perikanan rakyat di Maluku berkembang

sebesar 40 persen. Dampak luar biasa dirasakan oleh industri perikanan

skala besar, dimana terjadi pemutusan hubungan kerja, baik tenaga kerja

asing maupun lokal. 20

Tuna Sirip Kuning (Yellowfin Tuna/Thunnus albaceres/madidihang) tidak

boleh ditangkap di bulan Oktober sampai Desember pada koordinat 126 –

132° BT dan 4 – 6° LS di Laut Banda. Pelacakan asal penangkapan ikan tuna

sirip kuning sangat sulit dilakukan, karena nelayan di Laut Banda yang

menguasai armada penangkapan ikan mulai dari 1 sampai 10 GT dapat

menangkap ikan pada koordinat yang dilarang dan bercampur dengan

koordinat yang diperbolehkan. Nelayan juga tidak mengetahui jika pada

koordinat tersebut ada larangan. Namun, ditinjau dari ukuran tuna sirip

kuning yang ditangkap oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira menunjukkan

bahwa ikan tuna sirip kuning yang ditangkap termasuk kategori dewasa

karena sudah memiliki panjang mencapai 1 meter lebih.

Data yang ada menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara pendapatan

per kapita nelayan saat sebelum ada pelarangan dan sesudah ada pelarangan.

Pendapatan per kapita nelayan mengalami peningkatan karena produksi

perikanan tangkap pada tahun 2015 meningkat. Saat itu, musim timur yang

tidak bersahabat dengan nelayan berlangsung lebih singkat dibandingkan

musim barat. Sehingga dampak ekonomi dari Permen KP No. 4 Tahun 2015

tidak dirasakan oleh nelayan di Kecamatan Banda Neira, Kabupaten Maluku

Tengah. Nelayan tetap dapat menangkap ikan tanpa ada hambatan dari

pengawas sumber daya kelautan dan perikanan, KKP atau Polisi Perairan.

Berdasarkan informasi dari Camat dan nelayan Banda Neira, tidak ada

nelayan yang ditangkap karena menangkap ikan Tuna Sirip Kuning (Yellowfin

Tuna/Thunnus albaceres/madidihang) pada bulan Oktober sampai Desember

2015.

20 FGD dengan W. Waileruny dan Delly Matrutty, Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Pattimura, tanggal 26 Juli 2016.

11

Mungkin dampak dari Permen KP No. 4 Tahun 2015 dirasakan oleh usaha

perikanan skala besar yang memiliki armada perikanan di atas 30 GT. Dari

data dan informasi yang berkembang bahwa banyak kapal perikanan yang

juga mendaratkan ikan di Bitung, Kendari, Bali, dan Jakarta. Namun, bagi

nelayan di Banda Neira, dampak ekonomi, seperti penurunan hasil

tangkapan, tidak ada. Nelayan mengalami kemunduran pendapatan apabila

sedang musim timur yang berlangsung dari Juni sampai September.

Dari 24 kecamatan di Kabupaten Sumbawa, hanya ada 15 kecamatan yang

memiliki nelayan dalam jumlah signifikan. Ikan ekonomis penting yang

terdapat di Kabupaten Sumbawa adalah ubur-ubur, kembung, layang, dan

kerapu. Pada tahun 2013, produksi komoditas ubur-ubur mencapai 8.720,3

ton; kembung mencapai 4.339,3 ton; layang mencapai 2.977,9 ton, dan

kerapu mencapai 2.791,1 ton. Ikan komoditas perikanan tangkap yang

memiliki nilai ekonomis penting di Kabupaten Sumbawa adalah ikan

kembung, ikan kakap, ikan kerapu, dan ikan tongkol.

Pelarangan penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan, khususnya alat

tangkap cantrang, berdampak bagi kehidupan nelayan sehari-hari dalam

melakukan kegiatan penangkapan ikan mulai dari aspek ekologis, sosial,

maupun ekonomi. Sejak diperkenalkan kepada nelayan-nelayan pesisir

Indonesia, trawl mulai berkembang pesat dan memengaruhi kehidupan

sosial-ekonomi nelayan tradisional hingga saat ini. Hal itu merupakan salah

satu modernisasi perikanan untuk meningkatkan produksi perikanan. Akibat

penggunaan pukat (trawl, alat tangkap yang dilarang dalam Permen KP No. 2

Tahun 2015), kompetisi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern

tidak dapat dihindari dan akhirnya menimbulkan konflik antar nelayan.

Mayoritas nelayan di NTB menggunakan alat tangkap cantrang sebagai alat

tangkap tradisional yang menurut mereka tidak merusak ekosistem dan

tidak bersifat eksploitatif. Tidak berbeda dengan penggunaan trawl,

penggunaan cantrang juga menimbulkan konflik antar nelayan dan

kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, dikeluarkan Permen KP No. 2 tahun

12

2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela

(trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan

Indonesia. Pemerintah menerapkan pelarangan penggunaan cantrang karena

alat tangkap cantrang dan pukat merusak ekosistem terumbu karang di

perairan dengan radius 4-12 mil dari pantai dan mata jaring pukat yang rapat

dapat menangkap seluruh jenis ikan baik target maupun yang bukan target

penangkapan.

Saat ini di Provinsi NTB dan Kabupaten Sumbawa isu yang menarik terkait

dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan adalah Permen KP No. 1

Tahun 2015 tentang Larangan Ekspor Kepiting Bertelur, Rajungan Bertelur,

dan Lobster Bertelur. Pertentangan yang terjadi disebabkan kepiting,

rajungan, dan lobster bertelur menjadi komoditas yang disukai oleh

konsumen di luar negeri. Akibatnya permintaan terhadap komoditas ini

menjadi tinggi, apalagi kepitingan, rajungan, dan lobster bertelur yang

diperoleh dari hasil tangkapan. Padahal spesies ini membutuhkan tempat

yang baik untuk dapat bertelur. Penangkapannya dianggap oleh Pemerintah

sudah harus dikendalikan karena sudah mengancam keberlangsungan

ekosistemnya. Namun sesungguhnya yang banyak dirugikan adalah

pedagang pengumpul besar, yang berjumlah 6 orang di Provinsi NTB.

Permen KP No. 1 Tahun 2015 merupakan bentuk kehati-hatian dari

pengambil kebijakan, karena pengelolaan sumber daya perlu diatur. Permen

KP No. 1 Tahun 2015 lebih mempertimbangkan pada aspek keseimbangan

ekologi. Namun, sangat disayangkan bahwa tidak ada sosialisasi menyeluruh

dan tidak ada perhitungan stock assessment (berapa sumber daya yang boleh

diambil). Sebelum ada Permen KP No. 1 Tahun 2015, pembibit/nelayan yang

menangkap kepiting bertelur, rajungan bertelur, dan lobster bertelur lebih

suka langsung menjual pada pedagang pengumpul daripada ke pembudi daya

karena harga jualnya yang tinggi.

Adanya Permen KP No. 1 Tahun 2015 seharusnya menimbulkan kesadaran

agar pihak yang terbiasa hidup dari penjualan kepiting bertelur, rajungan

13

bertelur, dan lobster bertelur, khususnya yang berada di sektor hulu, untuk

beralih komoditas.

Saat ini, penjualan kepiting bertelur, rajungan bertelur, dan lobster bertelur

masih dilakukan secara tidak sah (illegal). Rantai pemasaran menjadi lebih

panjang, dimana nelayan tidak bisa langsung ke pedagang pengumpul, tapi

melalui pedagang perantara, baru ke pedagang pengumpul. Ekspor juga

dilakukan secara tidak sah (illegal), tidak melalui karantina maupun bea

cukai.

Permasalahan yang dihadapi nelayan di Kecamatan Banda Neira, Kabupaten

Maluku Tengah sebelum dan sesudah terbitnya Permen KP No. 4 Tahun 2015

adalah armada perikanan sederhana, potensi peningkatan alat tangkap tidak

ramah lingkungan, harga, dan kesulitan ketika paceklik. Sejumlah 88 persen

nelayan di Kecamatan Banda Neira pada tahun 2015 hanya memiliki perahu

tanpa motor dan motor tempel. Sedangkan 12 persen diantaranya sudah

memiliki kapal motor di bawah 10 GT. Walaupun armada perikanan yang

dimiliki sederhana dan termasuk kategori nelayan kecil, namun aksesibilitas

nelayan di Banda Neira mampu mengeksploitasi SDI di Laut Banda.

Permen KP No. 4 Tahun 2015 sangat bagus dari aspek SDI, dimana SDI yang

sudah tereksploitasi akan segera pulih. Di masa depan perlu dilakukan kajian

mengenai potensi SDI yang tepat agar bisa diketahui alokasi izin terhadap

kapal dan alat tangkap yang digunakan.

Penutupan eksploitasi pada koordinat tertentu di Laut Banda pada bulan

Oktober sampai Desember merupakan kebijakan yang baik, asalkan tiga

syarat dipenuhi, yaitu kajian yang didasarkan data SDI yang tepat dan

dipublikasikan, solusi terhadap nelayan yang tidak boleh menangkap ikan

tuna sirip kuning, dan sosialisasi terhadap Permen yang dikeluarkan.

Sosialisasi diperlukan agar nelayan tidak menangkap ikan tuna sirip kuning

pada koordinat tersebut karena merupakan daerah beruaya dan berpijah

ikan. Namun perlu dipikirkan bahwa ada potensi SDI tuna sirip kuning yang

harus dikembalikan dan nelayan harus memperoleh intangible cost akibat

14

kehilangan potensi pendapatan. Pemerintah harus memikirkan bagaimana

pelaksanaan di lapangan pada bulan Oktober sampai Desember pada

koordinat tersebut, mengingat penangkapan diluar jenis ikan tuna sirip

kuning masih diperbolehkan. Khususnya terhadap nelayan yang

menggunakan alat tangkap huhate dan jaring insang hanyut, dimana ikan

tuna sirip kuning yang bergerombol dengan ikan tuna mata besar terdapat

kemungkinan terjaring bersama. Idealnya, perairan pada koordinat 126 –

132° BT dan 4 – 6° LS di Laut Banda di bulan Oktober sampai Desember

ditutup total, sehingga lebih mudah dilakukan pengawasan. Penutupan tuna

sirip kuning pada saat itu memungkinkan terjadinya eksploitasi berlebih

pada jenis ikan lain, seperti tuna komo dan tuna mata besar.

Faktor penghambat sulitnya penerapan Permen KP No. 1 dan 2 Tahun 2015

di Provinsi NTB adalah masyarakat nelayan/perikanan kurang memiliki

kepercayaan pada pemerintah menjaga ekosistem laut. Larangan

penggunaan alat penangkapan ikan bukan merupakan solusi yang baik.

Seharusnya pemerintah menanam rumpon atau meningkatkan budidaya ikan

di laut. Program rumponisasi telah dimiliki oleh pemerintah daerah, namun

dirasakan oleh masyarakat bahwa pemerintah daerah kurang serius dalam

mengembangkan program ini. Dari pengamatan penelitian, program yang

dimiliki oleh pemerintah daerah tidak berkesinambungan. Demikian juga

dengan program di pemerintah pusat. Berganti pemerintah pada setiap 5

atau 10 tahun, maka kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah akan

berganti.

Selain itu, faktor penghambat lainnya adalah jumlah penyuluh yang sangat

minim. Saat ini jumlah tenaga penyuluh di Kabupaten Sumbawa mencapai 10

orang dan harus memberikan penyuluhan di 15 kecamatan. Faktor sarana

pendukung juga menjadi masalah, dimana keterbatasan sarana dan

prasarana masih menjadi persoalan klasik di Indonesia. Kapal patroli untuk

mengawasi penggunaan alat tangkap yang dilarang dan pengawasan

terhadap kegiatan ekspor kepiting dan rajungan bertelur sangat minim.

15

Faktor masyarakat juga merupakan masalah besar, mengingat karakter

masyarakat NTB yang terkenal keras. Mereka berani melawan walaupun

mengetahui telah melanggar aturan.

Untuk mencapai upaya yang diharapkan akibat terbitnya Permen KP No. 1

Tahun 2015 adalah peningkatan pendapatan nelayan melalui penguatan

sistem produksi hulu-hilir. Upaya peningkatan nilai tambah produksi

perikanan, baik tangkap maupun budi daya.