Laporan PBL KTPI Sken. 1 Auto Saved)
-
Upload
yoan-juntak -
Category
Documents
-
view
577 -
download
8
Transcript of Laporan PBL KTPI Sken. 1 Auto Saved)
BLOK KEDOKTERAN TROPIS DAN PENYAKIT INFEKSI LAPORAN PBL
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER 13, APRIL 2011
UNIVERSITAS PATTIMURA
SKENARIO I :
DEMAM
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III
TUTOR: dr. Merlin. Maelissa
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2011
KETUA KELOMPOK : Yohanes F. Simanjuntak (2009-83-039)
SEKRETARIS I : Claudia. Kakisina (2009-83-038)
SEKRETARIS II : Jurgen A. Pattiasina (2009-83-037)
ANGGOTA KELOMPOK:
Heron R. F. Titarsole (2009-83-033)
Theo Vito Buyang (2009-83-034)
Kevin J. F. Noya (2009-83-035)
Ditta Septia Wulandari (2009-83-040)
Delfy Adonia Akihary (2009-83-041)
Devi Herianto Udiata (2009-83-042)
Aisyah Amelia Z. R. Wattimena (2009-83-043)
Leberina Tunjanan (2009-83-044)
Maria Mediatrix Ohoiwirin (2009-83-045)
Heldyanti A.W. Solissa (2009-83-046)
Milka Margareta (2009-83-047)
Meis Malirmasele (2009-83-048)
Amsal Amson Kdise (2009-83-049)
Vidya Agatha Relmaesira (2009-83-050)
SKENARIO 1: Demam
Seorang laki-laki berumur 17 tahun, datang dengan keluhan demam, dirasakan selama 7 hari.
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai adanya limpa membesar, temperature 38OC, dari hasil
pemeriksaan laboratorium : Hb: 9 g/dl, leucosit: 11.000 mm3/dl, trombosit : 125.000 mm3/dl.
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, pasien mendapat obat antipiretik.
STEP I
IDENTIFIKASI KATA SULIT DAN KATA KUNCI
KATA SULIT
ANTIPIRETIK : Menghilangkan atau menurunkan demam; agen yang bekerja seperti
itu.
Sumber: Kamus Saku Kedokteran DORLAND, edisi 25
KATA KUNCI
Seorang laki-laki berumur 17 tahun
Keluhan Utama: Demam (selama 7 hari)
Pemeriksaan Fisik: Limpa membesar, temperature 38oC
Pemeriksaan Laboratorium: Hb: 9 g/dl, leucosit: 11.000 mm3/dl, trombosit : 125.000
mm3/dl
Pasien diberikan Obat Antipiretik
STEP II
IDENTIFIKASI MASALAH
1. Bagaimana pengaruh obat antipiretik terhadap demam ?
2. Apa Hubungan Pemeriksaan Fisis dan Pemeriksaan Laboratorium dengan Keluhan
serta gejala-gejala pasien ?
3. Apa yang menyebabkan hingga timbulnya gejala-gejala tersebut ?
4. Jelaskan Mekanisme Demam, dan Jenis-jenis demam, serta demam apa yang dialami
oleh pasien dalam skenario tersebut ?
5. Penyakit apa yang diderita pasien tersebut ?
6. Jelaskan Penyebaran atau penularan serta patogenesis penyakit yang diderita pasien
tersebut !
7. Jelaskan Penyebab, Penegakan Diagnosis, Pengobatan, serta Pencegahan penyakit
yang diderita pasien tersebut !
STEP III
BRAIN STORMING
1. Pengaruh obat Antipiretik terhadap demam yakni, menghambat pelepasan sitokin IL-1
sehingga pelepasan PG yang dapat menyebabkan demampun tidak dikeluarkan oleh pusat
suhu di Hipothalamus, maka otomatis gejala demam akan menurun karena tidak ada zat
pencetus.
2. Pemeriksaas Fisis serta Pemeriksaan Laboratorium dilakukan sebagai jalan untuk
penegakan diagnosis penyakit. Sesuai skenario, pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya
pembesaran limpa, dan peningkatan suhu tubuh, sedangkan pemeriksaan lab. Ditemukan
Hb: 9 g/dl, leucosit: 11.000 mm3/dl, trombosit : 125.000 mm3/dl. Melalui kedua
pemeriksaan ini, selain untuk mendiagnosis, dapat digunakan juga sebagai acuan untuk
pemberian terapi.
3. Gejala-gejala tersebut timbul akibat adanya infeksi. Infeksi yang dimaksud adalah
melalui vektor, yang dalam hal ini adalah nyamuk.
Dalam kasus ini keluhan utama pasien adalah DEMAM selama 7 hari. Gejala demam
dapat disebabkan akibat adanya pelepasan sitokin-sitokin dalam hal ini TNF dan IL-1 oleh
sel maka terjadilah perangsangan kepusat suhu tubuh di hipothalamus, sehingga
menyebabkan timbulnya gejala demam.
Menurunnya kadar Hb darah (Anemia) disebabkan oleh adanya gangguan atau masalah
pada sel darah merah. Hal ini disebabkan oleh parasit yang menyerang sel tersebut,
ataupun melalui penyebab lainnya.
Pada pemeriksaan Fisis ditemukan adanya pembesaran Limpa. Sesuai dengan fungsinya
sebagai Reticulo Endotelial System (RES), jika terjadi infeksi kuman, maka akan
meningkatkan kerja dari limpa itu sendiri, penigkatan kerja selain utnuk memproduksi
sistem imun, limpa juga bekerja keras untuk menhancurkan eritrosik-eritrosit yang sudah
tua, ataupun eritrosit yang terinfeksi. Hal ini mengakibatkan limpa beradaptasi dengan
mengalami Hipertofi sehingga terjadilah pembesaran limpa yang dapat ditemukan melalui
pemeriksaan fisik yang baik dan benar.
4. 1. Mekanisme Demam:
Zat Toksin (Pirogen Eksogen)
TUBUH
↑ produksi panas, ↓pengurangan rasa panas
Merangsang sel-sel endotel Hipothalamus
Pirogen Endogen (IL-2)NEUTOFIL
Enzim Siklooksigenase
Pengaruhi kerja dari Termostat Hipothalamus
Prostaglandin (PGE2)
Hipothalamus akan ↑ titik patokan suhu tubuh diatas
suhu normal
DEMAM
Respon menggigil /dingin
4. 2. Jenis-jenis Demam:a. Demam Septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang
tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi
hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi
tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hetktik. Contoh
penyakit dengan gejala demam septik yaitu demam tifoid.
b. Demam Remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat
pada demam septik
c. Demam Intermiten : pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua
hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi terjadi dua hari bebas demam di antara dua
serangan demam disebut kuartana. Contoh penyakit dengan gejala demam intermiten
adalah malaria
d. Demam Kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari 1 derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali
disebut Hiperpireksia. Contoh penyakit dengan gejala demam kontinyu yaitu
Leptospirosis
e. Demam Siklik : pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selam beberapa
hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu pemula. Contoh penyakit dengan
gejala demam siklik yaitu DBD
5. Penyakit yang diderita ialah:
DBD (Demam Berdarah Dengue)
Malaria
Demam Typhoid
Leptospirosisa
HIV/AIDS
6. Penyebaran dan Penularan penyakit yang diderita
Penyakit infeksi ini dapat ditularkan atau dapat menyebar jika terjadi kontaminasi
dengan agen penyebab penyakit. Ketika seseorang terinfeksi kuman, maka kuman
tersebut akan berkembang dalam tubuh manusia, dalam tubuh manusia kuman-kuman
tersebut melakukan replikasi. Ketika ada vektor yang menggigit atau menghisap darah
pasien yang telah terkontaminasi ataupun jika orang normal melakukan kontak dengan
pasien, maka kuman tersebut dapat ditularkan.
Patogenesis.
a. Malaria
Penyakit malaria disebabkan oleh adanya infeksi oleh protozoa dalam hal ini adalah
plasmodium. Plasmodium ini ditularkan oleh nyamuk anophelles betina sebagai
vektor. Terjadi dua siklus dalam perkembangan parasit ini, yakni siklus seksual dan
aseksual. Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk, sedangkan siklus aseksual
terjadi dalam tubuh Hospes yakni manusia.
Siklus Seksual
Siklus ini melibatkan pembuahan antara gamet jantan dan gamet betina. Hasil akhir
dari proses tersebut adalah terbentuknya sporozoit yang disimpan dala kelenjar ludah
nyamuk anophelles. Sporozoit inilah yang nantinya akan dikeluarkan oleh nyamuk
dan akan menginfeksi tubuh hospes.
Siklus Aseksual
Jika seseorang digigit oleh nyamuk anophelles, maka nyamuk ini selain menghisap
darah orang itu, ia juga melepaskan air liurnya ke dalam sirkulasi darah. Liur nyamuk
yang mengandung sprozoit tersebut beredar dalam sistem sirkulasi, dan akhirnya
masuk dalam Hepar, dan menginfeksi parenkim Hepar. Terjadi pembentukan skizon
di dalam Hepar. Ketika skizon itu penuh makan dia akan pecah dan melepaskan
merozoit ke dalam sistem sirkulasi. Ada sebagian skizon yang tidak pecah, sebagian
skizon tersebut mengalami dormant, yang akan diaktifkan jika ada rangsangan.
Merozoit yang berada dalam sistim sirkulasi inilah yang menginfeksi sel darah
merah. Merozoit akan menginvasi sel darah merah dan membentuk kompleks
Eritrosit-Parasit. Setelah itu terjadi tahapan-tahapan perkembangan parasit didalam
sel darah. Dimulai dari pembentukan cincin, sampai pembentukan gamet. Gamet
yang terbentuk dari siklus inilah yang akan dihisap oleh nyamuk, kemudian
melanjutkan siklus seksual dan akan menularkan kepada orang lain. Sedangkan
merozoit akan menyebabkan pecahnya eritrosit yang mengakibatkan terjadinya
penurun Hb (Anemia), serta pembesaran limpa akibat adanya penghancurasn eritrosit
yang meningkaat.
7. Penyebab, Pengobatan, Penegakan Diagnosa serta Pencegahan Penyakit
Penyebab
a. Malaria : Anophelles Betina (Plamodium)
- Plasmodium Falciparum ( Malaria Tertiana Maligna/Tropika)
- Plasmodium Vivax (Malaria Tertiana Benigna)
- Plasmodium Malariae (Malaria kuartana)
- Plasmodium Ovale (Malaria Ovale)
b. DBD : Aides Aegypti
c. Demam Typhoid : Salmonella Typhi
d. Leptospirosis : Leptospira
e. HIV/AIDS : HIV
Pengobatan (LO)
a. Malaria : Kloroquin, Primaquin, Kina (Quinin dan Quinolon), Artemicin
b. D. Typhoid : Kloramfenikol, Kotrimoksasol, Ampicilin, Amoxycillin
Penegakan Diagnosa
Pada umumnyadiagnosa suatu penyakit dapat ditegakan melalui 3 hal penting:
Anamnesis, Pemeriksaan Fisis, serta Pemeriksaan Laboratorium.
Pada penyakit malaria kita dapat mendeteksi plasmodium melalui Apusan Darah
Tepi, sedangkan pada penyakit demam typhoid dapat dilakukan uji widal
Pada penyakit DBD, Leptospirosis, derta HIV/AIDS dapat dilekukan
imunochromatogtraphi tes untuk mendiagnosa penyakit tersebut
Pencegahan
Hindari kontaminasi dengan agen penyebab infeksi, baik dari vektor atau reservoir,
maupun hospes yang dapat menjadi sumber penularan.
STEP IV
MIND MAPPING
STEP V
LEARNING OBJEKTIVE (LO)
1. Penyakit yang diderita seta Patogenesisnya
2. Pengobatan terhadap penyakit yang diderita
3. Menjelaskan Seluruh Ruang Lingkup (definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis,
diagnosis, manifestasi klinis, terapi, komplikasi, dan prognosis)mengenai
kemungkinan penyakit yang diderita (DBD, malaria, Demam Typhoid, Leptospirosis,
dan HIV/AIDS)
STEP VI
BELAJAR MANDIRI
PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN
DENGAN DEMAM
MALARIA DEMAM TIFOID DEMAM BERDARAH
DENGUE
LEPTOSPIROSIS HIV-AIDS
definisi etiologi epidemiologi patogenesis Diagnosis banding
Manifestasiklinik
komplikasi Pengobatan dan pencegahan
prognosis
STEP VII
1. MALARIA
DEFENISI
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebakan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
ETIOLOGI
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium.Plasmodium ini pada manusia menginfeksi
eritrosit (sel darah merah) dan mengalami pembiakan aseksual dijaringan hati dan di eritrosit.
Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yaitu anopheles betina.Indonesia adalah salah
satu negara yang mengalami masalah malariaMalaria membunuh seorang anak didunia setiap
30 detik Sekitar 40% penduduk dunia berisiko tertular malaria.Sebagian besar kematian
karena malaria terjadi di Afrika yang merupakan 90% dari jumlah total kematian.
EPIDEMIOLOGI
Pada negara yang beriklim dingin sudah tidak ditemukan lagi daerah endemik malaria.
Namun demikian, malaria masih merupakan persoalan kesehatan yang besar didaerah
tropis dan sub tropis seperti Brasil, Asia Tenggara dan seluruh sub-sahara Afrika.
DiIndonesia, malaria ditemukan hampir semua wilayah. Pada tahun 1996 ditemukan kasus
malaria dijawa-bali dengan jumlah penderita sebanyak 2.341.401 orang. Menurut laporan
diprovinsi jawa tengah 1999, sebagian besar disebabkan oleh plasmodium falciparum dan
plasmodium vivax. Plasmodium malariae banyak ditemukan di Indonesaia Timur sedangkan
plasmodium ovale di Papua dan NTT .
MANIFESTASI KLINIK
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam, anemia, dan splenomegali. keluhan
prodromal dapat terjadi sebelum demam, berupa :
Kelesuan
Sakit kepala
Sakit belakang
Merasa dingin dipunggung
Nyeri sendi dan tulang
Demam ringan
Anorexia
Perut tidak enak enak
Diare ringan, dan
Kadang-kadang dingin.
Manifestasi Klinik berdasar plasmodium.
1. P. falciparum
Gejala gastrointestinal
Hemolisis
Anemia
Ikterus
Hemoglobinuria
Syok
Algid
Gejala serebral
Edema paru
Hipoglikemi
Gangguan kehamilan
Kelainan retina kematian
2. P. vivax
Anemia kronik
Splenomegali ruptur limpa
3. P. ovale
Sama dengan vivax
4. P. malariae
Splenomegali menetap
Limpa jarang ruptur
Sindroma nefrotik
MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP
Daur hidup keempat spesies Plasmodium pada manusia umumnya sama. Proses tersebut
terdiri atas fase seksual eksogen (sporogoni) dalam badan nyamuk anopheles dan fase
aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebrata.
Fase aseksual mempunyai 2 daur, yaitu:
1. Daur eritrosit dalam darah (skizogoni eritrosit)
2. Daur dalam sel parenkim hati (skizogoni eksoeritrosit) atau stadium jaringan
Pada infeksi P.falciparum dan P. malariae hanya terdapat satu generasi aseksual dalam hati
sebelum daur dalam darah dimulai; sesudah itu daur dalam hati tidak dilanjutkan lagi. Pada
infeksi P.vivax dan P.ovale daur eksoeritrosit berlangsung terus sampai bertahun-tahun
melengkapi perjalanan penyakit yang dapat berlangsung lama(bila tidak diobati) disertai
banyak relaps.
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Setelah melalui jaringan hati p.falcifarum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam
sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di limpa dan mengalami
fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit dalam eritrosit inilah yang bertanggung jawab dalam
patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenea malaria yang disebabkan oleh
P.falciparum.
Pathogenesis malaria falcifarum dipengaruhi oleh factor parasit adalah intensitas
transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam factor penjamu
adalah tingkat endermisitas daerah tempat tinggal, genetic, usia, status nutrisi dan status
immunologi. Parasit dalam eritrosit secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium
cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan eritrosit dalam stadium
cincin akan menampilkan antigen RESA (ring-erythrocyte surgace antigen) yang menghilang
setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan EP stadium matur akan mengalami
penonjolan dan membentuk knob dengan histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen
utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria
berupa GPI yaitu glikosilfosfatilinositol yang merangsang pelepasan TNF-a dan interleukin-1
(IL-1).
Factor penting dalam patogenesa malaria
Sitoadherensi. Sitoadherensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada
permukaan endotel vaskuler. Perlekantan terjadi dengan cara molekul adhesive yang
terletak di permukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesive yang
terletak dipermukaan endotel vaskuler.
Sekuestrasi. Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam
sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang mengalami sekustrasi. Hanya p.falcifarum
yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi
pada pembuluh darah perifer.
Resetting. ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih eritrosit
yang non-parasit.roseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokaL/ dalam jaringan
sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren.
Sitokin. Sitokinterbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat
stimulasi dari malaria toksin(LPS,GPI). Sitokin ini antara lain TNF-a, IL-1, IL-6, IL-
3, limphotoxin dan interferon gamma.
Nitrit Oksida. Akhir-akhir ini diteliti peran mediator nitrit okside baik dalam
menumbuhkan malaria berat terutama malaria sereberal, maupun sebaliknya NO
justru memberikan protektif karena membatasi perkembangan parasit dan mnurunkan
ekspresi molekuladesi.
Imunologi
Imunitas terhadap malria sangat kompleks, melibatkan hamper seluruh komponen
system imun baik spesifik maupun non spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang
timbul secara alami maupun didapat (aquried) akibat in feksi atau vaksinasi. Imunitas spesifik
timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek dan barangkali tidak ada imunitas
yang permanen dan sempurna.
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas:
1. Imunitas alamiah non-imunologis berupa kelainan-kelainan genetic polimorfisme yang
dikaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Misalnya golongan darah duffy negative
kebal terhadap infeksi P.vivax atau misalnya HLA bw 53 lebih rentan terhadap malaria
dan melindungi terhadap malaria berat.
2. Imunitas didapat non-spesifik. Sporozoit yang msuk darah segera dihadapi oleh respon
imun non-spesifik yang terutama dilakukan oleh makrofag dan monosit, yang
menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, Il-8, IL- 10 secara
langsung menghambat pertumbuhan parasit, membunuh parasit
3. Imunitas diadapat yang tanggapan system imun lebih spesifik terhadap infeksi malaria.
Iunitas terhadap siklus hidup parasit, dibagi menjadi:
a. Imunitas pada stadium eksoeritrositer
Eksoerisiter eksrahepatal(stadium sporozoit). Respon imun pada stadium ini
1. Antibody yang menghambat masuknya sporozoit ke hepatosit.
2. Antibody yang membunuh sporozoit melalui opsonisasi Eksoeritrositer
intrahepatik. Respon imun pada stadium ini : limfosit T sitotoksik CD8+,
ntigen/antibody pada stadium hepatosit.
b. Imunitas pada system aksesual eritrosit berupa:
Antibody yang mengaglutinasi merozoit , antibody yang menghambat cytoadherance,
antibody yang menghambat pelepasan atau menetralkan toksin-toksin parasit.
c. Imunitas pada stasium seksual berupa:
Antibody yang membunuh gametosit, antibody yang menghambat fertilisasi, antibody
yang menghambat transformasi zigot menjadi ookinete, antigen/antibody pada
stadium seksual prefertilisasi
DIAGNOSIS
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal
penderita apakah dari daerah andemik malaria ,riwayat bepergian ke daerah malaria, riwayat
pengobatan kuratif dan preventif.
1. PEMERIKSAAN TETES DARAH UNTUK MALARIA
Pemeriksaan darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative tidak
mengenyampingkan diagnose malaria. Pemeriksaan darah tepi 3 kali dan hasil negative maka
diagnose malaria dapat dikesampingkan. Pemeriksaaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga
laboratorium yang berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan saat
penderita demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya parasit.
Pemeriksaan dengan stimulasi adrenalin 1: 1000 tidak jelas manfaatnya dan sering
membahayakan terutama penderita dengan hipertensi. Pemeriksaan parasit malaria melalui
aspirasi sumsum tulang hanya untuk maksud akademis dan tidak sebagai cara diagnosis yang
praktis. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui :
Tetesan darah tebal . merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena
tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat
khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk
memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5
menit( diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan
negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran kuat 700-1000 kali
tidak ditemukan parasit . hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung
jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 1000/ul maka hitung parasitnya adalah jumlah
parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah.
Tetes darah tipis . digunakan untuk mengidentifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat
darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit( parasit
count), dapat dilakukan berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel
darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung
parasit penting untuk menentuka prognosa penderita malaria, walaupun komplikasi juga
dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal. Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa,
atau Leishman’s atau Field’s dan juga Romanowsky. Pengecatan Giemsa yang umum dipakai
pada beebrapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah denga hasil yang cukup
baik.
2. TES ANTIGEN : P-F TEST
Yaitu mendeteksi antigen dari P.Falciparum( histidine rich protein II). Deteksi sangat cepat
hanya 3 sampai 5 menit , tidak memerlukan latihan khusus, sensitivitasnya baik, tidak
meemrlukan alat khusus. Deteksi untuk antigen vivaks sudah beredar dipasaran yaitu dengan
metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium (pLDH)
denga cara immunochromatographic telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL. Optimal
dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedaka apakah infeksi
P.Falciparum atau P. Vivaks. Sensitivitas sampai 95% dan hasil positif salah lebih rendah
dari tes deteksi HRP-2. Tes ini sekarang dikenal sebagai tes cepat (rapit test). Tes ini tersedia
dalam berbagai nama tergantung pabrik pembuatnya.
3. TES SEROLOGI
Tes serologi mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai teknik indirect
fluorescent antibody test . Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibody spesifik
terhadap malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes ini kurang
bermanfaat sebagai alat diagnostik, sebab antibody baru terjadi setelah beberapa hari
parasitemia. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring
donor darah. Titer >1:200 dianggap sebagai infeksi baru ; dan tes > 1:20 dinyatakan positif.
Motode-metode tes serologi antara lain indirect haemagglutination test, immune-
precipitation techniques, ELISA test, radio- immunoassay.
4. PEMERIKSAAN PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA ,waktu yang
dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini
walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil positif. Tes ini baru dipakai
sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
PENGOBATAN MALARIA
Secara global WHO telahmenetapkan dipakainya pengobatan malaria dengan memakai obat
ACT(Artemisinin base Combination Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih
sebagai obat pertama karena efektif dalam mengatasi Plasmodium yang resisten dengan
pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium dalam semua
stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua spesies, P.falciparum, P.vivax
maupun lainnya. Laporan kegagalan terhadap ART belum dilaporkan hingga saat ini.
Golongan Artemisinin
Berasal dari golongan Artemisia annua. L yang disebut dalam bahasa china sebagai
Qinghaosu. Obat ini termasuk kelompok seskuiterpen lakton mempunyai beberapa formula
seperti : artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik, dan dehidroartemisinin.
Obat inin bekerja sangat cepat dengan paruh waktu kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja
sebagai obat sizontocidal darah. Karena beberapa penelitian bahwa pemakaian obat tunggal
menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka direkomendasikan untuk dipakai dengan
kombinasi obat lain. Dengan demikian juga akan memperpendek pemakaian obat. Obat ini
cepat diubah dalam bentuk aktifnya dan penyediaan ada yang oral, parenteral/ injeksi dalam
suppositoria.
Pengobatan ACT( Artemisinin base Combination Therapy)
Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi akan mengakibatkan terjadinya
rekrudensi. Karenanya WHO memberikan petunjuk penggunaan artemisinin dengan
mengkombinasikan dengan obat antimalaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base
Combination Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap( fixed
dose) atau kombinasi tidak tetap ( non-fixed dose) . kombinasi dosis tetap lebih memudahkan
pemberian pengobatan. Contoh ialah “ Co-Artem” yaitu kombinasi artemeter (20mg) +
lumefantrine ( 120 mg) . dosis Coartem 4 tablet 2 x1 sehari selama 3 hari. Kombinasi tetap
yang lain ialah dehidroartemisinin (40 mg) + piperakuin (320mg) yaitu “artekin” . Dosis
artekin untuk dewasa : dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam,
masing-masing 2 tablet.
Kombinasi ACT yang tidak tetap misalnya :
Artesunat + Meflokuin.
Artesunat + Amodiakin.
Artesunat + Klorokuin.
Artesunat + Sulfadoksin-pirimetamin.
Artesunat + Pironaridin.
Artesunat + Chlorproguanil-dapson ( CDA/Lapdap plus).
Dihidroartemisinin + Piperaukin + Trimethoprim (Artekom).
Artekom + primakuin (CV8).
Dehidroartemisinin + naptokuin.
Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah kombinasi Artesunat +
amodiakuin dengan nama dagang “ARTESDIAQUINE” atau Artesumoon. Dosis untuk orang
dewasa yaitu Artesunate (50 mg/tablet) 200mg pada hari I-III ( 4 tablet) untuk Amodiakuin
( 200mg/tablet) yaitu 3 tablet hari I dan II dan 11/2 tablet hari III. Artesumoon ialah
kombinasi yang dikemas sebagai blister dengan aturan pakai tiap blister /hari (Artesunate +
amodiakuin) diminum selama 3 hari. Dosis amodiakuin adalah 25-30 mg/kg BB selama 3
hari.
Pengemb angan terhadap pengobatan masa depan ialah dengan tersedianya formula
kombinasi yang mudah bagi penderita baik dewasa maupun anak (dosis tetap) dan kombinasi
yang paling poten dan efektif dengan toksisitas yang rendah. Sekarang sedang
dikembangkan obat semi sinthetik artemisinin seperti artemison ataupun trioksalon sintetik.
CATATAN : untuk pemakaian obat golongan artemisinin HARUS disertai/dibuktikan
dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan dengan tes cepat antigen
yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat antigen yang positif. Bila malaria klinis / tidak
ada hasil pemeriksaan parasitologik TETAP menggunakan obat non-ACT.
Pengobatan malaria dengan obat-obat non-ACT
Walaupun resistensi terhadap obat-obat standar golongan non ACT telah dilaporkan dari
seluruh provinsi di Indonesia, beberapa daerah masih cukup efektif baik terhadap klorokuin
maupun sulfadoksin pirimetamin ( kegagalan masih kurang 25% ) . Dibeberapa daerah
pengobatan menggunakan obat standar seperti klorokuin dan sulfadoksin- pirimetamin masih
dapat digunakan dengan pengawasan terhadap respon pengobatan.
OBAT non-ACT ialah :
1. Klorokuin difosfat/ sulfat, 250 mg garam ( 150 mg basa ), dosis 25 mg basa/ kg BB
untuk 3 hari, terbagi 10 mg/kg BB hari I dan II, 5 mg/kg BB pada hari III. Pada orang
dewasa biasa dipakai dosis 4 tablet hari I & II dan 2 tablet hari III. Dipakai untuk
P.falciparum maupun vivax.
2. Sulfadoksin – Pirimetamin(SP), (500 mg sulfadoksin + 25 mg pirimetamin), dosis
orang dewasa 3 tablet dosis tunggal (1 kali). Atau dosis anak memakai takaran
pirimetamin 1,25 mg/kg BB. Obat ini hanya dipakai untuk P.falciparum dan tidak
efektif untuk P.vivax. bila terjadi kegagalan dengan pemakaian klorokuin, dapat
menggunakan SP.
3. Kina sulfat : ( 1 tablet 220mg), dosis yang dianjurkan ialah 3 x 10 mg/ kg BB selama
7 hari, dapat dipakai untuk P. falciparum maupun P.vivax. kina dipakai sebagai obat
cadangan untuk mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP. Pemakaian obat ini
untuk waktu yang lama (7 hari) menyebabkan kegagalan untuk memakai sampai
selesai.
4. Primakuin ( 1 tablet 15 mg), dipakai sebagai obat pelengkap/ pengobatan radikal
terhadap P.Falciparum maupun P. Vivax. Pada P. falciparum dosisnya 45mg ( 3
tablet) dosis tunggal untuk membunuh gamet; sedangkan untuk P.vivax dosisnya 15
mg/ hari selamaa 14 hari yaitu untuk membunuh gamet dan hipnozoit( anti- relaps).
KOMPLIKASI
malaria serebral
Edema paru
Malaria algida/kolaps
Black water fever
Anemia hemolitik
Gagal ginjal akut
Ruptur lien
Gejala-gejala gastrointestinal
Dehidrasi
Gangguan hati
PROGNOSIS
Plasmodium vivax dapat menjadi kronis.
Plasmodium falciparum dapat menjadi malaria berat sampai fatal.
2. DEMAM TIFOID
DEFENISI
Penyakit infeksi menular, berkembang biak di usus, dan menyebabkan demam selama 1
minggu atau lebih. Penyakit ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
EPIDEMOLOGI
Surveilansi DEPKES RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990
sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 100.000
penduduk. Insidensi demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per100.000 penduduk, sedangkan di
daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan
berhubungan dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan
dengan pembuangan samapah yang belum memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Case
Fatality Rate demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia.
Namun demikian, berdasarkan hasil survey kesehatan rumah tangga DEPKES tahun 1995
demam tifoid yidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.
ETIOLOGI
Masuknya kuman S. Typhi ked lam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang
terkontaminasi kuman. Kuman itu masuk ke dalam tubuh dan sebagian akan dimusnahkan
oleh asam lambung. Namun ada sebagian yang lolos dan masuk ke usus, selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka
kuman akan menginfeksi sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria.
GEJALA KLINIS
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Pada minggu pertama gejala klinis
penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu,
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
Pada pemeriksaan fisis hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah
meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam bradikardi relative ( peningkatan suhu 1 C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali per menit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi serta ujung lidah), hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, gangguan mental somnolen, stupor, koma, delirium, atau
psikosis.
PATOFISIOLOGI
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F
yaitu Food (makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui
Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada
orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan
hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut
kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang
tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian
kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-
sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam
sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan
kandung empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan
oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia
berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus.
Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan
pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari)
bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap
dalam keadaan asimtomatis.
Different diagnose
• Malaria
• Dengue
• Leptospira
• HIV/AIDS
KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalamn :
1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopeni dan atau koagulasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
sindrom Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi lebih
sreing terjadi pada keadaaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan
pasien kurang sempurna
PEMERIKSAAN DAN GAMBARAN LABORATORIK
1. leukosit
Akan terjadi peningkatan jumlah leukosit dalam tubuh (leukositosis)
2. SGOT dan SGPT
akan mengalami peningkatan
3. Biakan darah
(+) memastikan Demam tifoid, orang yang hasil + makan orang tersebut sudah
terjangkit Demam tifoid, (-) tidak menyingkirkan Demam tifoid artinya jika hasil
negatif maka belum tentu orang tersebut tidak mengalami Demam tifoid
4. Uji widal
- Reaksi aglutinasi antara antigen dan antibody
- Aglutinin positif terhadap S. Thypii terdapat dalam serum penderita Demam tifoid
dan carrier.
- Reaksi widal (+) : titer < 1/160 atau 1/200. biasanya baru positif pada minggu
kedua.
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
Istirahat dan perawatan → mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan
Diet dan terapi penunjang → mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien
secara optimal
Pemberian antimikroba → menghentikan dan mencegah penyebaran kuman
1. Istirahat & Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring *(bed rest)* dengan sempurna untuk mencegah
komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat, penderita harus
istirahat total.
Perawatan baik makan, minum, BAK dan BAB sehingga dapatt mempercepat masa
penyembuhan.
Menjaga Kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai penderita.
2. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)
Dengan tujuan untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Makanan yg kurang dapat menurunkan keadaan umum sehingga gizi yang diperlukan tidak
mencukupi menyebabkan proses penyembuhan yang lama.
Diet diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
Tujuan pemberian bubur saring untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus.
Terapi simptomatik
Dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita, yakni
vitamin, antipiretik (penurun panas) untuk kenyamanan penderita terutama anak, dan
antiemetik bila penderita muntah hebat.
3. Pemberian antimikroba
Sefalosporin Generasi Ketiga
ex: Seftriakson
Dosis : 3-4 gram dlm dekstrosa 100 cc, diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari,
selama 3-5 hari.
Golongan Fluorokuinolon
Beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya :
- Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
- Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
- Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Kloramfenikol
Dosis : 4 x 500 mg/hari (oral atau IV)
Demam rata-rata turun setelah hari ke-5.
Tiamfenikol
Hampir = Kloramfenikol, tetapi komplikasi hemtologi masih lebih rendah.
Dosis : 4 x 500 mg
Demam rata-rata turun pada hari ke 5-6.
Kortimoksazol
Efektifitas obat ini dilaporkan hampir = kloramfenikol.
Dosis : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dgn
kloramfenikol.
Dosis : 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
Azitromisin
Dosis 2 x 500 mg
Antibiotika ini terkonsentrasi dalam sel, sehingga ideal untuk digunakan dalam
pengobatan infeksi oleh S.typhi yg merupakan kuman intraseluler.
Tersedia dalam bentuk oral maupun suntikan IV.
Antimikroba lini pertama untuk demam tifoid adalah:
Kloramfenikol, Ampisillin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang
hamil),Trimetroprim-Sulfametoksazol (Kotrimoksazol).
Jika pemberian salah satu anti mikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti
dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua.
Antimikroba lini kedua untuk demam tifoid adalah:
Seftriakson (diberikan untuk dewasa dan anak) Cefixim (efektif untuk anak)
Quinolone (tidak dianjurkan untuk anak di bawah usia 18 tahun karena dinilai
mengganggu pertumbuhan tulang).
Efek samping obat Kloramfenikol
1. Gangguan pada sumsum Tulang
Kloramfenikol sering menyebabkan supresi reversibel produksi sel darah merah pada
dosis yang melebihi 50 mg/kg/hari setelah 1-2 minggu.
Anemia apalastik merupakan suatu efek yang jarang terjadi (1 dalam 24.000 hingga
40.000 rangkaian terapi) akibat pemberian kloramfenikol melalui jalur apapun, adalah
reaksi idiosinkratik yang tidak bergantung pada dosis, meskipun terjadi lebih sering
pada penggunaan obat yang lama. Kejadian ini cenderung ireversibel dan dapat
berakibat fatal.
2. Gangguan pada saluran cerna
Orang dewasa sesekali merasakan mual, muntah, dan diare. Kejadian ini jarang
dialami anak. Kandidiasis oral dan vaginal dapat terjadi akibat perubahan flora
mikroba normal.
3. Toksisitas pada neonatus
Neonatus tidak memiliki mekanisme konjugasi asam glukoronat yang efektif untuk
degradasi dan detoksifikasi kloramfenikol. Akibatnya jika bayi diberi kloramfenikol
dengan dosis di atas 50 mg/kg/hari, obat tersebut dapat terakumulasi dan
menimbulkan sindrom bayi kelabu (gray baby sindrom).
Gejalanya muntah, flaksid, hipotermia, warna kelabu, syok dan kolaps.
4. Interaksi dengan obat lain
Kloramfenikol menghambat enzim mikrosomal hati yang memetabolisme beberapa
obat. Waktu-paruhnya memanjang, dan kadar fenitoin, tolbutamid, klorpropamid, dan
warfarin dalam serum meningkat.
Seperti penghambat sintesis protein mikroba lain yang bersifat bakteriostatis,
kloramfnikol dapat mengantagonis obat-obat bakterisidal, seperti pensilin atau
aminoglikosida.
Kombinasi Obat Antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu jika ditemukan 2
macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella,
ex : toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik
Kortikosteroid
Hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik.
Dosis : 3 x 5 mg
Pencegahan Demam Tifoid
Preventif dan Kontrol Penularan
Mencakup agen (S.typhi) dan faktor penjamu serta lingkungan.
Tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu :
Identifikasi dan eradikasi S.typhi
Pencegahan transmisi langsung dr pasien terinfeksi
Proteksi pd org yg berisiko terinfeksi
1. Identifikasi dan eradikasi S.typhi
Cara pelaksanaanya dpt scr aktif yaitu mendatangi sasaran, maupun pasif menunggu
bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi.
Sasaran aktif : pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha RT, restoran,
hotel sampai pabrik beserta distributornya.
2. Pencegahan transmisi langsung dr pasien terinfeksi
Kegiatan ini dilakukan di RS, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar org yg
tlh diketahui pengidap kuman S.typhi.
3. Proteksi pd org yg berisiko terinfeksi
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :
Daerah non-endemik
- Sanitasi air dan kebrsihan lingkungan
- Penyaringan pengelola pembuatan/distributor/penjualan makanan-minuman
- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid
Bila ada kejadian epidemi tifoid
- Pencarian dan eliminasi sumber penularan
- Pemeriksaan air minum dan MCK
- Penyuluhan higiene dan sanitasi pd populasi umum daerah tersebut
Daerah endemik
- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi dan kloriniasi)
- Pengunjung ke daerah ini harus minum air yg telah melalui pendidihan.
- Vaksinasi secara menyeluruh pd masyarakat setempat maupun pengunjung.
Vaksinasi
Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan oral
(bakteri hidup yang dilemahkan)
Vaksin capsular Vi polysaccharide
Diberikan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan dilakukan setiap 3 tahun. Kemasan dalam
prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara intramuskular
Typhoid oral Ty 21 a
Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun
Dikemas dalam kapsul, diberikan 3 dosis dengan interval selang sehari (hari 1,3 dan 5)
Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk
turis yang akan berkunjung ke daerah endemis.
Vaksin ini tidak menjamin orang bisa bebas dari penyakit tipes. Semua sangat tergantung
pada kebersihan pribadi masing-masing. Kalau orang selalu menjaga kebersihan diri pastinya
akan terhindar dari penyakit tipes.
PROGNOSIS
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat berobat,
mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 6%.
- Prognosis menjadi kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang sangat
berat, seperti :
- Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinyu.
- Kesadaran menurun sekali yaitu sopor, komas atau delirium
- Terdapat komplikasi yang berat, misalnya dehidrasi dan asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia dan lain-lain.
- Keadaan gizi penderita yang buruk (malnutrisi energi protein).
3. DEMAM BERDARAH DENGUE
DEFENISI
Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh
virus Dengue , menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan sistem pembekuan
darah sehingga mengakibatkan pendarahan dan terutama menyerang anak- anak dengan ciri-
ciri demam tinggi mendadak dengan manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan
shock dan kematian.
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
ETIOLOGI
Penyebab penyakit adalah virus Dengue. Virus ini termasuk kelompok Arthropoda. Borne
Viruses (Arbovirosis). Sampai saat ini dikenal ada 4 serotype virus yaitu ;
1. Dengue 1 diisolasi oleh Sabin pada tahun1944.
2. Dengue 2 diisolasi oleh Sabin pada tahun 1944.
3. Dengue 3 diisolasi oleh Sather
4. Dengue 4 diisolasi oleh Sather.
Keempat type virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan yang
terbanyak adalah type 2 dan type 3. Penelitian di Indonesia menunjukkan Dengue type 3
merupakan serotype virus yang dominan menyebabkan kasus yang berat.
EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)
kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena
demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,
dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan
penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.
Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi
klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke
negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit
DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi.
Di Indonesia penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan
jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Selanjutnya sejak saat itu
penyakit Demam Berdarah Dengue cenderung menyebar ke seluruh tanah air Indonesia dan
mencapai puncaknya pada tahun 1988 dengan insidens rate mencapai 13,45 % per 100.000
penduduk.
MANIFESTASI KLINIS
Demam
Penyakit DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak terus-menerus berlangsung 2 - 7
hari, kemudian turun secara cepat. Demam secara mendadak disertai gejala klinis yang tidak
spesifik seperti: anorexia lemas, nyeri pada tulang, sendi, punggung dan kepala.
Manifestasi Pendarahan.
Perdarahan terjadi pada semua organ umumnya timbul pada hari 2-3 setelah demam. Sebab
perdarahan adalah trombositopenia. Bentuk perdarahan dapat berupa :
- Ptechiae
- Purpura
- Echymosis
- Perdarahan cunjunctiva
- Perdarahan dari hidung (mimisan atau epestaxis)
- Perdarahan gusi
- Muntah darah (Hematenesis)
- Buang air besar berdarah (melena)
- Kencing berdarah (Hematuri)
Gejala ini tidak semua harus muncul pada setiap penderita, untuk itu diperlukan toreniquet
test dan biasanya positif pada sebagian besar penderita Demam Berdarah Dengue.
Pembesaran hati (Hepotomegali).
Pembesaran hati dapat diraba pada penularan demam. Derajat pembesaran hati tidak sejajar
dengan berapa penyakit Pembesan hati mungkin berkaitan dengan strain serotype virus
dengue.
Renjatan (ShocK).
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7 mulai sakit. Renjatan
terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapilar
yang rusak. Adapun tanda-tanda perdarahan:
- Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari dan kaki.
- Penderita menjadi gelisah.
- Nadi cepat, lemah, kecil sampai tas teraba.
- Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang)
- Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmhg atau kurang). Renjatan
yang terjadi pada saat demam, biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih buruk.
Gejala Klinis Lain.
GejaJa lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual, muntah, lemah, sakit perut,
diare atau konstipasi dan kejang.
DIAGNOSA
Diagnosa penyakit DBD ditegakkan jika ditemukan:
a. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7
b. Manitestasi Perdarahan
c. Tombositoperiia yaitu jumlah trombosit dibawah 150.000/mm3, biasanya Ditemukan
antara hari ke 3-7 sakit.
d. Mokonsentrasi yaitu meningkatnya hematokrit, merupakan indikator yang peka Terhadap
jadinya renjatan sehingga perlu dilaksanakan penekanan berulang secara periodik.
Kenaikan Ht 20% menunjang diagnosa klinis Demam Berdarah Dengue.
Mengingat derajat berat ringan penyakit berbeda-beda, maka diagnosa secara klinis dapat
dibagi atas (WHO 75).
1. Derajat I (ringan).
Demam mendadak 2 – 7 hari disertai gejala klinis lain, dengan manifestasi
perdarahan dengan uji truniquet positif
2. Derajat II (sedang).
Penderita dengan gejala sama, sedikit lebih berat karena ditemukan perdarahan
spontan kulit dan perdarahan lain.
3. Derajat III (berat).
Penderita dengan gejala shoch/kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menyempit (< 20 mmhg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan penderita menjadi
gelisah.
4. Derajat IV (berat).
Penderita shocK berat dengan tensi yang tak dapat diukur dan nadi yang tak
dapat diraba.
PATOGENESIS
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host)
terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul
antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement.
Hipotesis ini menyatakansecara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang
kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodinheterolog yang telah ada sebelumnya akan
mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen
antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama
makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh
sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi
tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan
anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna
mencegah kematian. Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus
binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari
perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua
hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan :
demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan.
Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah
sering ditemukan.
Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan
pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek.
Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah.
Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila,
wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam.
Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam.
Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm di bawah
arcus costae kanan.
Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit
namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang
bervariasi dalam berat-ringannya.
Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan
sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
Laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan
pada DBD.
Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-
8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan
nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan -nilai
hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu
turun atau sebelum syok terjadi.
Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau
oleh perdarahan.
Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif
dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok.
Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan.
Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen,
protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosit juga terganggu.
Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat.
Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan.
Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada
pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral.
Sindrom Syok Dengue (SSD)
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai
hari sakit ke-7.
Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang
ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah,
tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi.
Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir.
Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan
segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat
menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik,
perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis.
Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang
ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda
prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan.
Penyulit SSD : penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis, flebitis) dan
terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim
seperti ensefalopati dan gagal hati.
Definisi kasus DD/DBD
A. Secara Laboratoris
1. Presumtif Positif (Kemungkinan Demam Dengue)
Apabila ditemukan demam akut disertai dua atau lebih manifestasi klinis berikut; nyeri
kepala, nyeri belakang mata, miagia, artralgia, ruam, manifestasi perdarahan, leukopenia, uji
HI >_ 1.280 dan atau IgM anti dengue positif, atau pasien berasal dari daerah yang pada saat
yang sama ditemukan kasus confirmed dengue infection.
2. Corfirmed DBD
(Pasti DBD)
Kasus dengan konfirmasi laboratorium sebagai berikut deteksi antigen dengue, peningkatan
titer antibodi > 4 kali pada pasangan serum akut dan serum konvalesens, dan atau isolasi
virus.
B. Secara Minis
1. Kasus DBD
1. Demam akut 2-7 hari, bersifat bifasik.
2. Manifestasi perdarahan yang biasanya berupa
• uji tourniquet positif
• petekia, ekimosis, atau purpura
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan
• Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia < 100.00/pl
4. Kebocoran plasma yang ditandai dengan
• Peningkatan nilai hematrokrit >_ 20 % dari nilai baku sesuai umur dan
jenis kelamin.
• Penurunan nilai hematokrit >_ 20 % setelah pemberian cairan yang
adekuat Nilai Ht normal diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian
cairan.
• Efusi pleura, asites, hipoproteinemi
2. SSD
Definisi kasus DBD ditambah gangguan sirkulasi yang ditandai dengan :
• Nadi cepat, lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, perfusi perifer menurun
• Hipotensi, kulit dingin-lembab, dan anak tampak gelisah.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terdiri dari :
a. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam berdarah.
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vektor
nyamuk demam berdarah.
Cara pencegahan DBD :
Pencegahan dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk diwaktu pagi sampai sore, karena
nyamuk aedes aktif di siang hari (bukan malam hari). Misalnya hindarkan berada di lokasi
yang banyak nyamuknya di siang hari, terutama di daerah yang ada penderita DBD nya.
Beberapa cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD melalui metode
pengontrolan atau pengendalian vektornya adalah :
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi
tempat. perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan
perbaikan desain rumah.
2. Pemeliharaan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) pada tempat air kolam,
dan bakteri (Bt.H-14).
3. Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion).
4. Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air
seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.
5. Bersihakan tempat penyimpanan air ( bak mandi, WC ).
6. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air.
7. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng bekas, botol
bekas ).
8. Tutuplah lubang-lubang, pagar pada pagar bambu dengan tanah.
9. Lipatlah pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap di situ.
10. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin untuk membunuh jintik-jintik
nyamuk ( ulangi hal ini setiap 2 sampai 3 bulan sekali).
b. Pengobatan
Fokus pengobatan pada penderita penyakit DBD adalah mengatasi perdarahan, mencegah
atau mengatasi keadaan syok/presyok, yaitu dengan mengusahakan agar penderita banyak
minum sekitar 1,5 sampai 2 liter air dalam 24 jam (air teh dan gula sirup atau susu).
Penambahan cairan tubuh melalui infus (intravena) mungkin diperlukan untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi yang berlebihan. Transfusi platelet dilakukan jika jumlah
platelet menurun drastis. Selanjutnya adalah pemberian obat-obatan terhadap keluhan yang
timbul, misalnya :
- Paracetamol membantu menurunkan demam
- Garam elektrolit (oralit) jika disertai diare
- Antibiotik berguna untuk mencegah infeksi sekunder
Lakukan kompress dingin, tidak perlu dengan es karena bisa berdampak syok. Bahkan
beberapa tim medis menyarankan kompres dapat dilakukan dengan alkohol. Pengobatan
alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum jus jambu biji bangkok, namun
khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik, akan tetapi jambu biji kenyataannya dapat
mengembalikan cairan intravena dan peningkatan nilai trombosit darah.
Pengobatan penderita demam berdarah adalah dengan cara :
1. Pengantian cairan tubuh
2. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter sampai 2 liter dalam 24 jam.
3. Gastroenteritis oral solution atau kristal diare yaitu garam elektrolid ( oralit
kalau perlu 1 sendok makan setiap 3 sampai 5 menit )
4. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit diperlukan untuk mencegah
terjadinya syok yang dapat terjadi secara tepat.
5. Pemasangan infus NaCl atau Ringer melihat keperluanya dapat ditambahkan,
Plasma atau Plasma expander atau preparat hemasel.
6. Antibiotik diberikan bila ada dugaan infeksi sekunder.
PROGNOSIS
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak
ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak
teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh
sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian
terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf,
kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.
4. LEPTOSPIROSIS
DEFENISI
Suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikro organisme Leptospirosis interogans
tanpa memandang bentuk spesifik serotipnya.
ETIOLOGI
• Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili treponemataceae, suatu
mikroorganisme spirochaeta.
• Ciri khas organisme ini yaitu berbelit, tipis, fleksibel,
EPIDEMOLOGI
Leptrospirosis tersebar luas diseluruh dunia. Namun terbanyak terdapat di daerah tropis.
Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda,kucing,
marmut atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelelawar dll.
Didalam tubuh binatang-binatang tersebut leptospira hidup (Ginjal/air kemihnya) Tikus
merupakan vektor utama dari L.icterohamorrhagica penyebab utama leptospirosis pada
manusia International leptospirosis society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidens leptrospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia mortalitas. Leptospira ditemukan
di DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa tangah, Lampung, Sumatera selatan, Bengkulu, Riau,
Sumatera Barat,Sumatera utara,Bali,NTB, Sulawesi selatan, Sulawasi utara, Kalimantan
timur dan kalimantan barat.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospira mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan fase imun.
Gambaran klinis pada leptospirosis.
Sering : Demam,menggigi,sakit kepala, meningismus,anoreksia,mialgia, conjuctival
suffusion,mual,muntah,nyeri abdomen,ikterus,hepatomegali,ruam kulit,fotopobi.
Jarang : Penumonitis,hemaptoe,delirium,perdarahan, diare, edema, spleennomegali, artralgia,
gagal ginjal, peroferal neuritis, pankreatitis, parotitis, parotis, epididimytis, hematemesis,
asites, miokarditis
• Fase Leptospiraemia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira dalam darah dan cairan serebrospinal,
berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala biasanya di bagian frontal,
rasa sakit pada yang hebat terutama pada paha, betis, dan pinggan disertai nyeri tekan.
Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam menggigil,juga didapati mual
dengan atau tanpa muntah disertai mencret bahkan pada sekitat 25% kasus disertai
penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan sakit berat,bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat
dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia.
Pada kulit dijumpai adanya rash yang berbentuk makular, makulopapular atau utrikaria.
• Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam yang mencapai
40% C disertai menggigil dan kelemahan umum.
Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher,perut,dan otot-otot kaki terutama otot
betis
Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati , uremia ,
ikterik, purpura , ptechiae , epistaksis , perdarahan gusi merupakan menifestasi yang paling
sering.
Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini
PATOGENESIS
Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lender, memasuki aliran
darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon
imunologi baik secara seluler maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan
terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada
daerah yang terisolasi secara imunologi seperti dalam ginjal dimana sebagian
mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan disana dan dilepaskan melalui
urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu
setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira
dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat
lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Setelah fase leptospiremia 4-7 hari,
mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria
berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis : invasi
bakteri langsung, factor inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.
PATOLOGI
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang
bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul
terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan
antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histiologik. Pada leptospirosis
lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit dan sel
plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan
disfungsi hepatoseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal leptospira juga dapat bertahan
pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk kedalam cairan serebrospinalis pada fase
leptospiremia. Hal ini akan menyebabkan meningitis yang merupakan gangguan neurologi
terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai
leptospira adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ :
1. Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan bentuk lesi pada
leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
2. Hati
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan
proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan
leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
3. Jantung
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat
fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.
Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endokarditis.
4. Otot rangka
Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa local nekrotis, vakuolisasi dan
kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
5. Mata
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan
beberapa bulan walaupun antibody yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan
uveitis.
6. Pembuluh darah
Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan
menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan
serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit
7. Susunan saraf pusat
Leptospira mudah masuk kedalam cairan cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan
terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada
saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme
imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuclear
arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering
disebabkan oleh L. canicola.
8. Weil Disease
Weil disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus, biasanya disertai
perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil
ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil disease adalah
serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype copanhageni dan bataviae.
Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatic, atau disfungsi vascular.
PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
1. Suspek, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. Diagnosis menurut
Faine dengan menggunakan nilai skor berdasarkan gejala klinis dan data
epidemiologi, sekarang tidak dianjurkan lagi, karena pasien dengan nilai skor rendah,
pemeriksaan kultur dapat positif atau sebaliknya.
2. Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu
dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.
3. Definitif, bila:
Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi polimerase berantai.
Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT
serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau
lebih, atau IgM ELISA positif.
Penegakan diagnosa leptospirosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis berupa keluhan demam yang muncul mendadak, nyeri
kepala terutama di daerah frontal, mata merah atau fotofobia, keluhan gastrointestinal, dan
lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, bradikardi, mialgia, nyeri sendi serta
conjungtival suffussion.
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan penyakit leptospirosis ada dua, yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium umum.
Pemeriksaan laboratorium umum meliputi pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan
fungsi ginjal, dan pemeriksaan fungsi hati
2. pemeriksaan laboratorium spesifik.
Pemeriksaan laboratorium spesifik meliputi pemeriksaan mikroskopik, biakan,
inokulasi, MAT, dan ELISA.
Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di beberapa rumah sakit tidak sama,
tergantung dari : jenis kuman leptospira, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-
lain.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data bepidemiologis penderita
harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan
jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena
berhubungan dengan leptospirosis.
B. Pemeriksaan fisik
Gejala klinik menonjol yaitu: ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival
suffusion.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan.
Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke
7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang
disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.
Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan
hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang
meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul
akibat proses vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia, uji
pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan
manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan ruam kulit.
Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata
maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.
C. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium umum
Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu:
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal atau menurun, hitung jenis
leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3
pada keadaan anikterik.
Morfologi darah tepi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran ke kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masa pembekuan umumnya normal,
begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang
pada sebagian pasien namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia ringan
80.000 per mm3 sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan
gagal ginjal, dan pertanda penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu 5000 per
mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia hipokromia
mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium lanjut perjalanan penyakit.
2) Pemeriksaan fungsi ginjal
Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria dan peningkatan silinder ( hialin, granuler
ataupun selular) pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat
terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan
hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah
dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek
prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL. Proses perjalanan gagal ginjal
berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian akan terjadi anuri total. Ganguan ginjal
pada pasien penyakit Weil ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga
nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat
dehidrasi, hipotensi.
3) Pemeriksaan fungsi hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan
karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya
serum transaminase (serum glutamic oxalloacetic transaminase = SGOT dan serum glutamic
pyruvate transaminase = SGPT). Peningkatannya t idak pasti, dapat tetap normal ataupun
meningkat 2 – 3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan
peningkatan bermakna SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin
fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit,
rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan
kadar enzim kreatinin fosfokinase.
Pemeriksaan laboratorium khusus
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira dapat
secara langsung dengan mencari kuman leptospira atau antigennya dan secara tidak melalui
pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira dengan uji serologis
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan
prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ke 3 –
7, dan di dalam urin pada minggu ke dua, untuk diagnosis definitif leptospirosis.
Spesimen urin diambil dengan kateter, punksi supra pubik dan urin aliran tengah,
diberi pengawet formalin 10 % dengan perbandingan 1:4. Bila jumlah spesimen
banyak dilakukan dua kali pemusingan untuk memperbesar peluang menemukan
kuman leptospira. Pemusingan pertama dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya
1000 g selama 10 menit untuk membuang sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada
kecepatan tinggi antara 3000 – 4000 g selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira
terkonsentrasi, kemudian satu tetes sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas kaca
obyek bersih dan diberi kaca [penutup agar tersebar rata.
Selain itu dapat dipakai pewarnaan Romanowsky jenis Giemsa, dan pewarnaan perak
yang hasilnya lebih baik dibanding Gram dan Giemsa (kuman leptospira lebih jelas
terlihat).
Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai dari pada pewarnaan perak karena kuman
leptospira lebih muda terlihat dan dapat ditentukan jenis serovar. Kelebihan
pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai tanpa mikroskop fluoresein dengan
memakai antibodi yang telah dilabel enzim, seperti fosfotase dan peroksidase atau
logam seperti emas.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman
leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer khusus untuk
memperkuat semua strain patogen. Spesimen dari 2 ml serum, 5 mL darah tanpa
antikoagulan dan 10 mL urin.
c) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan
serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke media, kemudian
dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.
d) Inokulasi hewan percobaan
Kuman leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu hewan
dapat dipakai untuk isolasi primer kuman leptospira. Umumnya dipakai golden
hamsters (umur 4 – 6 minggu) dan marmut muda ( 150 – 175 g), yang bukan karier
kuman leptospira.
2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Jenis uji serologi:
Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide agglutination test (MSAT)
Uji carik celup:
o LEPTO Dipstick
o LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Aglutinasi lateks Kering
(LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test
Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc – slide agglutination test (PSAT)
Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis (CIE)
Complement fixation Test (CFT)
DIAGNOSIS BANDING
Leptospirosis anikterik: influensa, demam dengue dan demam berdarah dengue, infeksi
virus hanta, demam kuning, riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria, pielonefritis,
meningitis aseptik, keracunan bahan kimia, keracunan makanan, demam tifoid dan penyakit
demam enterik lain, Fever of known origin (FUO), serokonversi HIV primer, penyakit
legioner, dan infeksi virus/bakteri lain.
Leptospirosis ikterik: malaria falciparum berat, hepatitis virus, demam tifus dengan
komplokasi ganda, haemorrhagic fever with renal failure, demam berdarah virus lain dengan
komplikasi.
KOMPLIKASI
Pada leptospirosis, komplikasi yang sering terjadi ialah iridoksiklitis, gagal ginjal,
myocarditis, meningitis aseptik, dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila
terjadi selalu menyebabkan kematian.
PROGNOSIS
Prognosis ditentukan oleh berbagai faktor seperti virulensi kuman leptospira, kondisi fisik
pasien, umur pasien, adanya ikterik, adanya gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati berat
serta cepat lambatnya penanganan oleh tim medik.
TERAPI LEPTOSPIROSIS
Terapi leptospirosis mencakup aspek terapi aspek kausatif, dengan pemberian antibiotik
Prokain Penisilin, Amoksisilin, Ampisilin, Doksisiklin pada minggu pertama infekasi,
maupun aspek simtomatik dan suportif dengan pemberian antipiretik, nutrisi, dll.
Semua kasus leptospirosis ringan dapat sembuh sempurna, berbeda dengan leptospirosis berat
yang mempunyai angka CFR tinggi, antara 5 - 40%.
Kuman leptospira sensitif terhadap sebagian besar antibiotika, terkecuali vakomisin,
rafampisin dan mitronidasol.
Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan mencakup
aspek terapi kausatif, simtomatik dan suportif.
Terapi leptospirosis ringan
1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya melebihi 38 C.
2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Pada leptospirosis ringan diberikan terapi:
Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kali sehari, selama 7 hari, pada anak di atas
8 tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg)
Ampisilin 500 – 750 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral
Amoksisilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral.
Terapi leptospirosis berat
1. Pemberian antipiretik.
2. Pemberian Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, sehingga asupan
nutrisi berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen,
dengan perhitungan:
Berat badan 0 – 10 kg : 100 kalori/kgBB/hari
Berat badan 20 – 30 kg : ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari
Berat badan 30 – 40 kg : ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari
Berat badan 40 – 50 kg : ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari
Berat badan 50 – 60 kg : ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari
Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein yang
cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5 gram/kgBB/ hari..
Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan makanan secara
parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup kandungan nutrisinya)
Pemberian antibiotik :
Prokain penisilin 6 – 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Ampisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena
Antibiotik pada anak:
Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB; maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali sehari
intramuskular
Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang diberikan 2 kali
sehari per oral.
Pananganan khusus:
Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera ditangani, karena
menyebabkan cardiac arrest;
Asidosis metabolik;
Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;
Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik;
Perdarahan diatasi dengan transfusi.
Diagnosis is suspect (hanya didukung oleh gejala klinis&riwayat pajanan) Demam,
cojunctival suffusion, nkaku&nyeri otot (betis dan paha) Ikterik, sakit kepala, menggigil,
oliguria,anuria kaku kuduk,dll. Ditambah: riwayat pajanan dengan hewan/lingkungan
terkontaminasi urin hewan faktor resiko transmisi leptospirosis
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM
(+)Azotemia
PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi
yang meliputi:
1) Intervensi sumber infeksi;
2) Intervensi pada jalur penularan ;
3) Intervensi pada pejamu manusia.
Menghindari atau mengurangi kontak dengan hewan yang berpotensi terkena paparan
air atau lahan yang dicemari kuman. Orang yang berisiko tinggi infeksi harus
memakai sarung tangan, baju dan kacamata pelindung. Harus memperhatikan secara
ketat kebersihan dan sanitasi lingkungan seperti kontrol hewan pengerat seperti tikus,
dekontaminasi infeksi
Penggunaan vaksinasi pada hewan dan manusia masih kontroversi.
Kemoprofilaksis menunjukkan hasil yang efektif pada manusia dengan risiko tinggi
seperti anggota militer atau wisatawan yang berkunjung di daerah endemik.
Pemberian doksisiklin 250 mg peroral sekali seminggu, menunjukkan efikasi yang
sangat baik. Tetapi pencegahan ini tidak dianjurkan untuk jangka panjang.
5. HIV/AIDS
DEFENISI
AIDS (Acquired Immunodeficieny Syndrome), merupakan kumpulan gejala yang timbul
karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia karena infeksi virus HIV (Huma
Immunideficiency Virus).
ETIOLOGI
Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus), yang menyebabkan kerusakan sistem imun
tubuh sehingga tubuh dengan mudah akan terinfeksi bakteri, virus, fungi dan parasit lain.
Karena sistem imun tubuh rusak, maka infeksi bakteri dan parasit lainnya ini akan
menimbulkan penyakit yang pada akhirnya menyebabkan kematian.
EPIDEMIOLOGI
AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara, yang sekarang telah menjadi wabah penyakit.
AIDS diperkirakan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia
Pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS di Indonesia sejak 1 januari 1987 s.d 30 juni 2008
adalah
– 677 HIV dan
– 12689 AIDS
CARA PENULARAN
1. Hubungan seksual dengan resiko penularan 0.1 - 1 % tiap hubungan seksual
2. Melalui darah, yaitu :
– Transfusi darah yang mengandung HIV, resiko penularan 90-98 %
– Tertusuk jarum yang mengandung HIV, resiko penularan 0.3 %
– Terpapar mukosa yang mengandung HIV, resiko penularan 0.0051 %
3. Transmisi dari ibu ke anak
– Selama kehamilan
– Saat persalinan
– Melalui ASI
PATOGENESIS HIV
HIV merupakan sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh
manusia .
Human Immunodeficincy Virus (HIV) adalah penyebab Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS), yaitu suatu kumpulan gejala penyakit yang bersifat fatal.
Virus ini memiliki materi genetik berupa sepasang asam ribonukleat rantai tunggal
(single-stranded Ribonucleic acid = ss-RNA) yang identik dan suatu enzim yang
disebut sebagai reverse transcriptase
HIV menginfeksi terutama sel-sel penting dalam sistem kekebalan manusia seperti sel
T helper (khusus CD4 + sel T), makrofag , dan sel dendritik. infeksi HIV
menyebabkan tingkat rendah CD4 + sel T melalui tiga mekanisme utama:
1. membunuh virus langsung dari sel yang terinfeksi,
2. meningkatkan tingkat apoptosis dalam sel yang terinfeksi, dan
3. membunuh sel CD4 + T terinfeksi oleh limfosit CD8 sitotoksik yang mengakui sel
yang terinfeksi.
Ketika CD4 + T sel nomor penurunan di bawah tingkat kritis, kekebalan yang
dimediasi sel hilang, dan tubuh menjadi semakin lebih rentan terhadap infeksi
oportunistik.
Infeksi HIV dapat terjadi melalui 3 cara, yaitu langsung ke aliran darah melalui
suntikan, melalui permukaan mukosa atau penularan dari ibu ke anaknya .
Setelah HiV masuk ke tubuh, virus menuju ke kelenjar limfe dan berada di dalam sel
dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu
(serupa infeksi mononukleus), di sertai viremia hebat dan keterlibatan berbagai
kelenjar limfe. Pada tubuh timbul respon imun humoral maupun selular. Sindrom ini
akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat di
turunkan oleh system imun tubuh. Proses berlangsung berminggu sampai terjadi
keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon imun.
Titik keseimbangan di sebut sel point dan amat penting karna menentuka perjalanan
penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalan penyakit menuju acquired
immunodefieciency syndrome (sindrom defisiensi imun yang di dapat, AIDS) akan
berlangsung lebih cepat.
Serokonversi (perubahan antibody negative menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah
infeksi tetapi pernah juga di laporkan sampa 8 bulan. Kemidian pasien akan
memasuki masa tabpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurnan bertahap jumlah CD4
(jumlah normal 800-1.000) yang terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar
RNA virus relative konstan. CD 4 adalah reseptor pada limfosit T4 yang menjadi target
sel utama HIV. penurunan jumlah CD4 sekitar 50-100/tahun, sehingga tanpa
pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10 tahun.
Dimana jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200.
Sumber:
Kapita selekta kedokteran jilid 1, edisi ketiga fakulta;s kedokteran UI
KOMPLIKASI HIV
Menurut Revisi Kriteria menurut Center For Disease Control (CDC) Amerika Serikat Tahun
1993 untuk Keadaan yang Berhubungan dengan HIV adalah sebagai berikut:
1. Kandiosis bronkus, trakea, paru
2. Kandiosis esofagus
3. Kanker serviks invasif
4. Koksidoidomikosis diseminata atau ekstrapulmonal
5. Kriptokosis ekstrapulmonal
6. Kriptosporidiosis intestinal kronik (1 bulan)
7. Infeksi sitomegalovirus (kecuali di hati, limpa atau nodus lymphaticus)
8. Rinitis sitomegalovirus dengan gangguan penglihatan
9. Ensefalopati terkait HIV
10. Herpes simpleks, ulkus kronik (>1 bulan) atau bronkitis, pneumonia dan esofagitis.
11. Histoplasmosis diseminata atau ekstrapulmonal
12. Isopporiasis intestinal kronik (> 1bulan)
13. Sarkoma kaposi
14. Limfoma Burkitt
15. Limfoma primer pada otak
16. mycrobacterium avium kompleks atau m. kansasii atau ekstrapulmonal
17. Imycrobacterium tubercolosis, pulmoner atau ekstrapulmoner
18. Pneumonia pneumocystis (PCP)
19. Pneumonia rekurens
20. Leukoenselofati multifokal progresif
21. Septikemia salmonela rekurens
22. Ensefalitis toksoplasma
23. wasting syndrome yang terkait HIV
Dari komplikasi-komplikasi diatas dapat dijelaskan beberapa kompliukasi sebagai
berikut.
Penyakit paru-paru utama
Pneumonia pneumocystis
jarang dijumpai pada orang yang sehat dan imunokompeten, tetapi umum dijumpai pada
orang yang terinfeksi HIV. Penyakit ini disebabkan oleh fungi Pneumocystis jirovecii
Tuberkulosis
Tuberkulosis (TBC) dapat ditularkan ke orang yang imunokompeten melalui rute
respirasi,
Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per μL), TB muncul sebagai
penyakit paru-paru.
Pada infeksi HIV belakangan, TB sering muncul dengan penyakit ekstrapulmoner
(sistemik). Gejala biasanya bersifat konstitusional dan tidak dibatasi pada satu tempat,
sering menyerang sumsum tulang, tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati,
nodus limfa regional, dan sistem saraf pusat. Selain itu, gejala yang muncul mungkin
lebih berkaitan dengan tempat keterlibatan penyakit ekstrapulmoner
Penyakit saluran pencernaan utama
Esofagitis
Esofagitis adalah peradangan pada esofagus
Pada individual yang terinfeksi HIV, hal ini terjadi karena infeksi jamur (kandidiasis)
atau virus (herpes simpleks-1 atau sitomegalovirus).
Penyakit saraf utama
Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu disebut
Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan toksoplasma
ensefalitis, tetapi juga dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada mata dan paru-
paru.
Leukoensefalopati multifocal progresif
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yang merupakan
penghancuran sedikit demi sedikit selubung mielin yang menutupi akson sel saraf
sehingga merusak penghantaran impuls saraf.
Hal ini disebabkan oleh virus yang disebut virus JC yang 70% populasinya terdapat
dalam bentuk laten, menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan sangat
lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS. Penyakit ini berkembang cepat,
biasanya menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS
Kompleks demensia AIDS adalah ensefalopati metabolik yang disebabkan oleh
infeksi HIV dan didorong oleh aktivasi imun makrofag dan mikroglia otak yang
terinfeksi HIV yang mengeluarkan neurotoksin.
Kerusakan neurologis spesifik tampak sebagai ketidaknormalan kognitif, perilaku,
dan motorik yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV dan berhubungan
dengan rendahnya jumlah sel T CD4+ dan tingginya muatan virus pada plasma.
Meningitis kriptokokal
Meningitis kriptokokal adalah infeksi meninges (membran yang menutupi otak dan
sumsum tulang belakang) oleh jamur Cryptococcus neoformans.
Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual, dan muntah. Pasien
juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak ditangani dapat
mematikan.
Kanker yang berhubungan dengan HIV
Pasien dengan infeksi HIV pada pokoknya meningkatkan insiden beberapa kanker. Hal
ini terjadi karena infeksi dengan virus DNA onkogenik, terutama virus Epstein-Barr
(EBV), virus herpes penyebab sarkoma Kaposi (KSHV) dan papilomavirus manusia
(HPV).
Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi
HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah
salah satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari
subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes
sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik
keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran
pencernaan, dan paru-paru.
Limfoma
Limfoma sel B tingkat tinggi seperti limfoma Burkitt (Burkitt's lymphoma), Burkitt's-
like lymphoma, diffuse large B-cell lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem saraf
pusat primer muncul lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV.
Kanker ini seringkali mengakibatkan prognosis yang buruk. Pada beberapa kasus,
limfoma ini merupakan tanda utama AIDS. Limfoma ini sebagian besar disebabkan
oleh virus Epstein-Barr (EBV) atau KSHV.
Kanker leher rahim
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh papilomavirus manusia (HPV).
Tumor lainnya
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma
Hodgkin, karsinoma anal, dan karsinoma usus besar.
Infeksi oportunistik lainnya
Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan.
Infeksi oportunistik ini termasuk infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan
sitomegalovirus. Sitomegalovirus dapat menyebabkan kolitis, seperti yang dijelaskan
di atas, dan retinitis sitomegalovirus →kebutaan.
Penisiliosis yang disebabkan oleh Penicillium marneffei kini adalah infeksi
oportunistik ketiga paling umum (setelah tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang
yang positif HIV di daerah endemik Asia Tenggara.
Dari komplikasi-komplikasi diatas dapat diklasifikasikan infeksi HIV dalam beberapa
stadium yaitu:
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran
pernafasan atas yang berulang
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari
sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau
paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.
PENGOBATAN HIV
pengobatan dan penatlaksanaan HIV dilakukan secara fisik, psikologi, dan sosial.
1. Pengobatan suportif
- Nutrisi dan vitamin yang cukup
- Bekerja
- Pandangan hidup yang positif
- Hobi
- Dukungan psikologis
- Dukungan sosial
2. Pencegahan serta pengobatan infeksi oportunistik dan kanker
3. Pengobatan antiretroviral
Saat memulai pengobatan:
- Asimtomatik, CD4>500 tapi RNA HIV (viral load) tinggi (lebih dari 30.000
kopi/ml)
- Asimtomatik, CD4>350 (boleh di tunda bila CD4>350 dan viral load rendah <
10.000)
- Infeksi HIV dengan gejala
Sekarang yang di anut adalah pengobatan kombinasi dengan kombinasi 3 obat, terdiri
dari, dua inhibitor reserve transcriptase dan satu inhibitor enzim protease. Monoterapi
(ddl atau d4T) hanya di pertimbangkan bila pengobatan kombinasi tak dapat
dilakukan atau pasien telah menggunakan monoterapi dalam waktu yang lama dan
hasil klinis maupun pemantauan laboratorium tetap baik (CD4 baik).
HIV /AIDS belum dapat disembuhkan secara total Hanya obat untuk menurunkan morbiditasHanya obat untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas dini akibat HIVdan mortalitas dini akibat HIV.
Terapi ARV
Obat-obatan antiretroviral memperlambat replikasi sel-sel, yang berarti memperlambat
penyebaran virus dalam tubuh, dengan mengganggu proses replikasi dengan berbagai cara.
Penghambat Nucleoside Reverse Transcriptase (NRTI)
o HIV memerlukan enzim yang disebut reverse trancriptase untuk mereplikasi
diri. Jenis obat-obatan ini memprlambat kerja reverse transcriptase dengan
cara mencegah proses pengembangbiakkan materi genetic virus tersebut.
Penghambat Non-Nucleoside Reverse Transcriptase (NNRTI)
o Jenis-jenis obat-obatan ini juga mengacaukan replikasi HIV dengan mengikat
enzim reverse transriptase itu sendiri. Hal ini mencegah agar enzim ini tidak
bekerja dan menghentikan produksi partikel virus baru dalam sel-sel yang
terinfeksi.
Penghambat Protease (PI)
o Protease merupakan enzim pencernaan yang diperlukan dalam replikasi HIV
untuk membentuk partikel-partikel virus baru. Protease memecah belah
protein dan enzim dalam sel-sel yang terinfeksi, yang kemudian dapat
menginfeksi sel yang lain. Penghambata protease mencegah pemecah-belahan
protein dan karenanya memperlambat produksi partikel virus baru
PENCEGAHAN HIV
1. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS atau tersangka penderita
AIDS
2. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang
yang mempunyai banyak pasangan
3. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika obat suntik
4. Melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok beresiko tinggi untuk
melakukan donor darah
5. Memastikan sterilitas alat suntik
PROGNOSIS HIV
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal, sekitar 75% pasien yang didiagnosis AIDS
meninggal 3 tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien terinfeksi HIV
yang tetap sehat secara klinis dan imunologis.
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada STEP VII, maka dapat disimpulkan bahwa
pasien tersebut menderita penyakit malaria. Hal ini dilihat dari segi Gejala-gejala pasien sama
dengan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi plasmodium malaria. Kurang Hb disebabkan
oleh adanya penghancuran eritrosit oleh plasmodium. Sedangkan pembesaran limpa
diakibatkan oleh adanya pelepasan sistem imun, serta peningkatan penghancuran eritrosit
rusak akibatnya terjadi hipertofi. Demam diakibatkan oleh adanya pelepasan sitokin-sitokin
oleh sel radang berupa TNF dan IL-1 yang akan merangsang hipothalamus sebagai pusat
suhu, sehingga timbul mekanisme demam. Demam yang dialami merupakan tipe demam
intermiten. Demam dapat diturunkan dengan menggunakan obat antipiretik, contohnya
paracetamol. Obat tersebut akan menghambat pelepasan sitokin IL-1 sehingga tidak dapat
merangsang hipothalamus, makanya tidak terjadi mekanisme demam.
Untuk mendiagnosa penyakit ini dapat dilakukan tetesan darah tepi untuk melihat adanya
plasmodium dalam eritrosit,. Penyakit malaria dapat diobati dengan primaquin, kloroquin,
kina, artemicin.
Untuk mencegah penularan penyakit ini, maka harus dibiasakan hidup sehat dengan menutup
air-air yang tergenang, ataupun hal-hal yang dapat menyebabkan perkembangbiakan jenti-
jentik nyamuk. Agar tidak ada nyamuk yang nantinya akan menginfeksi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
MALARIA
Aru W.sudoyo,Bambang Setiyohana,Idrus Alwi,Marcellus Simandibrata, K,Siti Setiati,
Buku Ajar OLmu Penyakit Dalam, Cetakan Pertma Jilid III, Edisi V, Tahun 2009
Buku Parasitologi FK UI
DEMAM TYPHOID
http://perawatpskiatri.blogspot.com/2009/04/asuhan-keperawatan-pada-pasien-
dengan_02.html
http://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/demam-thypoid.pdf
http://www.infokedokteran.com/tag/patofisiologi-demam-tifoid
http://cetrione.blogspot.com/2008/05/demam-tifoid.html
DBD
Kurt. J. Isselbacher...[et al.]. 1999. HARRISON, PRINSIP DAN ILMU PENYAKIT
DALAM ED. 13. VOL. 2. Jakarta : EGC.
Buku kapita selekta.
www.depkes.go.id .
LEPTOSPIROSIS
Aru W.sudoyo,Bambang Setiyohana,Idrus Alwi,Marcellus Simandibrata, K,Siti Setiati,
Buku Ajar OLmu Penyakit Dalam, Cetakan Pertma Jilid III, Edisi V, Tahun 2009
Kapita selekta kedokteran/ editor, manjoer Arif. (et al.).—Ed. 3; cet. 1 – Jakarta: Media
Aesculapius, 2000
http://www.indonesiaindonesia.com/f/13740-penyakit-leptospirosis-manusia/
HIV/AIDS
http://mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/yemima-septiany-puraja-0781141201.pdf
http://purwa.blog.unair.ac.id/2009/09/14/perawatan-dan-pengobatan-hiv-aids/
kapita selekta kedokteran/ editor, manjoer Arif. (et al.).—Ed. 3; cet. 1 – Jakarta: Media
Aesculapius, 2000